166
IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF MUS{T{ AFA< S{ ABRI< (1869-1954) Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Ilmu Agama Oleh: Muhib Rosyidi NIM: 11.2.00.1.05.09.0003 Pembimbing: Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN SEKOLAH PASCASARJANA (SPS) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M

IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

  • Upload
    lamphuc

  • View
    267

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

i

IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW

DALAM PERSPEKTIF MUS{T{AFA< S{ABRI< (1869-1954)

Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Ilmu Agama

Oleh:

Muhib Rosyidi

NIM: 11.2.00.1.05.09.0003

Pembimbing:

Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA

KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN

SEKOLAH PASCASARJANA (SPS)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/ 2014 M

Page 2: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

ii

Page 3: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

iii

SURAT KETERANGAN PENGESAHAN PENGUJI

Tesis dengan judul Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam

Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi Analisis atas Relasi

Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

dengan Nomor Pokok: 11.2.00.1.05.09.0003, telah lulus dalam ujian

pendahuluan tesis pada hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014 M, dan

telah diperbaiki sesuai saran dan komentar Tim Penguji sehingga dapat

diajukan ke sidang ujian promosi magister.

Tim Penguji:

Dr. Yusuf Rahman, MA ……...…………….…

(Ketua sidang/merangkap Penguji) Tanggal

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA .……………………….

(Penguji 1) Tanggal

Dr. Fuad Jabali, MA ……...…………………

(Penguji 2) Tanggal

Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawar, MA …….....………………..

(Pembimbing/merangkap Penguji 1) Tanggal

Page 4: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

iv

Page 5: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

v

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah diadakan pembimbingan, tesis dengan judul Ijtihad

Nabi Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954):

Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang telah

ditulis oleh:

Nama : Muhib Rosyidi

NIM : 11.2.00.1.05.09.0003

Program : Magister (S2)

Konsentrasi : Tafsir Hadis

Telah melalui work in progress I, II, III dan Ujian Pendahuluan

dan serta telah diperiksa dan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Dengan ini saya menyetujui untuk diajukan pada ujian Promosi.

Ciputat, Februari 2014

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Said Agil Husain al-Munawwar, MA

Page 6: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

vi

Page 7: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

vii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhib Rosyidi

Tempat Tanggal Lahir : Lamongan, 15 Agustus 1987

Nim : 11.2.00.1.05.09.0003

Jenjang Pendidikan : S2 Studi Islam

Konsentrasi : Tafsir Hadis

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul “Ijtihad Nabi

Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi

Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis,” adalah hasil

karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya.

Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu apabila di

dalamnya terdapat plagiasi yang dapat berakibat diberikan sanksi

berupa pencabutan gelar oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, maka saya siap

menanggung resikonya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 15 Februari 2014

Yang Membuat Pernyataan

MUHIB ROSYIDI

Page 8: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

viii

Page 9: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan

rahmat, karunia, dan kesabaran sehingga penulisan tesis ini bisa

diselesaikan. Shalawat dan salam penulis sampaikan pada Nabi

Muhammad Saw yang dengan segala pengetahuan dan ijtihadnya telah

memberikan jalan yang benar pada wahyu Allah Yang Agung.

Penulis berterima kasih pada segenap pihak yang turut

membantu atas terselesaikannya tesis ini. Pertama penulis sampaikan

pada segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidauyatullah Jakarta, Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar MA

selaku pembimbing, Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Prof. Dr. Suwito,

MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA selaku direktur dan pimpinan yang

selalu membuka gagasan dan wawasan baru. Juga kepada Kemenag

yang telah memberikan beasiswa selama 2 tahun menempuh studi

menyelesaikan tulisan ini.

Kepada seluruh keluarga, orang tua bapak Murochis dan ibu

Muntamah atas segala doa , ridho dan nasehat kehidupannya. kakak

Muhammad Muhbib dan Widati Rosyida atas segala dorongan dan

bantuannya. Tak lupa pada istri tercinta Ewi Nerni S.Hi, M.H, atas

segala dukungan, kesabaran dan pengertiannya sehingga hingga

akhirnya terselesaikan tesis ini.

Dengan selesainya tulisan ini, harapan besar adalah adanya

kedekatan pada sosok Muhammad Saw untuk selalu menemani sisi

kehidupan penulis maupun pembaca semua. Perlu difahami bahwa ia

adalah manusia biasa, yang bisa salah, lupa, menangis, atau tertawa.

Yang beda hanyalah karena ia menerima misi Allah yang tak terkira.

Namun justru karena itu, ia telah menjadi model untuk selalu

dicermati dan difahami kehidupannya. Sehingga, karena itulah penulis

percaya bahwa ia hadir di bumi ini tidak untuk dipuja, dibanggakan,

ataupun dimuliakan, namun ia hadir untuk diikuti, ditaati dan

ditemani.

Jika memang untuk membaca Alquran kita harus bersikap

seolah Alquran turun untuk kita, Maka bacalah hadis seolah Nabi

Muhammad Saw adalah sahabat karibmu.

Page 10: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam tesis ini mengacu

kepada pedoman ALA-LC Romanization Tables.

A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf latin adalah

sebagai berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

Ba> b Be

Ta> T Te

Tha> Th Te dan ha

Ji>m J Je

H{a> h} Ha (titik bawah)

Kha> Kh Ka dan ha

Da>l D De

Dha>l Dh De dan ha

Ra R Er

Zay Z Zet

Si>n S Es

Shi>n Sh Es dan ha

S{ad s} Es (titik di bawah)

D{a>d d} De (titik di bawah)

T{a> t} Te (titik di bawah)

Z{a> z} Zet (titik di bawah)

‘Ayn …‘… Koma terbalik di atas

Ghayn Gh Ge dan ha

Fa> F Ef

Qa>f Q Qi

Page 11: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xi

Ka>f K Ka

La>m L El

Mi>m M Em

Nu>n N En

Wa>wu W We

Ha, ta>

marbut}

ah

H Ha*

Hamza

h

….’… Apostrof

Ya> Y Ye

*Untuk huruf (ة), ta> marbu>t}ah dalam kata benda majemuk

(mud}a>f) dilambangkan dengan huruf t (te).

B. Vokal

1. Vokal Tunggal 2. Vokal Rangkap

▬▬ = a يـ = ay

وـ = ▬▬ = aw

▬▬ = u

3. Mad atau Vokal Panjang

<a = ـا

<i = ـي

<u = ـو

C. Kata Sandang

= al-qalam

= al-shams

= wa al-‘as}r

D. Shaddah atau Tashdi>d

= nazzala

= nu’i’ima

= al-h{ajju

Page 12: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xii

ABSTRAK

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang “Ijtihad Nabi

Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi

Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis,” pada tesis ini

menyimpulkan bahwa otoritas hadis yang beraviliasi terhadap Ijtihad

Nabi tidak memiliki otoritas yang cukup sebagai sumber hukum Islam,

meskipun dalam beberapa hal hadis tersebut menyampaikan sebuah

kebenaran informasi.

Tesis ini memperkuat pendapat ‘Abd al-Jali>l ‘Isa> ‘Abd al-Nasr

(2001), Muhammad Sayid T{ant{awi (2009) dan Yu>suf al-Qarad{a>wi>

(2002) bahwa keberadaan ijtihad Nabi Muhammad adalah benar

adanya dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaan Nabi Muhammad

yang tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya. Tesis ini juga

melemahkan para penulis biografi Muhammad kontemporer seperti

Muh{ammad H{usain Haekal (2000) yang sangat terpengaruh dengan

perkembangan sains modern dengan mengesampingkan sisi kenabian,

kemukjizatan dan ketuhanan dalam hidup Nabi.

Berkaitan dengan kajian hadis Nabi, dalam hal respon Sahabat

terhadap hadis Nabi terutama yang memiliki afiliasi terhadai ijtihad

menjadi point tersendiri dalam metode kritik matan. Respon ini

menjadi metode yang sangat penting untuk mengetahui kapan Nabi

Muhammad tampil sebagai serang Nabi ataukah sebagai manusia

biasa. Dengan kata lain, dalam memahami hadis seorang muslim harus

seolah menjadi Sahabat yang mengerti tentang pemilahan sisi

kenabian, ijtihad dan kemanusiaan Nabi Muhammad.

Pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan library

research. Penelitian ini merupakan studi naskah atau content analysis

dengan menggunakan metode interpretatif. Sedangkan pendekatan

yang digunakan dalam tesis ini adalah sosiologis-teologis dan filosofis

yuridis. Sosiologis-teologis untuk mengkaji makna kenabian

Muhammad saw yang terikat dengan aspek sosialogis kemanusiaanya.

Sedangkan filosofis-yuridis digunakan untuk menggambarkan dampak

ada atau tidaknya ijtihad Nabi terhadap pemikiran dan hukum Islam.

Page 13: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xiii

Abstract

The research on The Ijtihad of Prophet Muhammad saw in the

Perspective of Must}afa> S{abri> (1869-1954); Analysis Study of the

Ijtihad of the Prophet and the Authority of the Hadith concludes that

the authority of the hadith which is affiliated to the Ijtihad of the

prophet does not have sufficient authority as a source of Islamic law,

although in some respects this hadith convey a truth information.

This thesis reinforces the opinion of ‘Abd al-Jali>l Isa >, ‘Abd al-

Nasr (2001), Muhammad Sayyid T{ant}awi> (2009), and Yusuf al-

Qarad{a>wi> about the Ijtihad of Muhammad. They argue that the

existence of Ijtihad of Prophet Muhammad was true and it’s part

arguments of his humanity. It also weakens the contemporary

biographers of Muhammad such as Muhammad H{usein Haikal (2000)

who is highly affected by the development of modern science and

takes aside the prophetic aspect, miracle, and divinity in the life of the

prophet.

In this study, The Companions response to hadiths related to

Ijtihad, has been a separated point in the critical method of matn

hadith. Their response is an important method to know whether

Muhammad appeared as a prophet or he acted as an ordinary man. In

other words, moslem must act according to Companions who

understood the prophetic, Ijtihad, and humanitarian side of

Muhammad.

This is a content analysis study by using interpretative method.

Data in this thesis was collected trough library research. It used

theological-sociological approach to examine the meaning of prophetic

of Muhammad related to humanity sociological aspects and

philosophical-sociological approach to describe whether there is an

impact of Ijtihad of prophet in the Islamic legal thought or not.

Page 14: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xiv

Page 15: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xv

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................. i

Surat Keterangan Pengesahan Penguji ........................................... iii

Surat Persetujuan Pembimbing ........................................................ v

Surat Keterangan .......................................................................... vii

Pengantar ....................................................................................... ix

Pedoman Transliterasi ..................................................................... x

Abstrak ......................................................................................... xii

Daftar Isi ....................................................................................... xv

Bab I Pendahuluan ................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ............................ 11

1. Identifikasi Masalah ................................................. 11

2. Batasan Masalah....................................................... 12

3. Rumusan Masalah .................................................... 13

C. Studi Terdahulu .............................................................. 13

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................ 17

E. Metodologi Penelitian .................................................... 19

1. Jenis Penelitian ......................................................... 19

2. Sumber Data ............................................................. 20

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data .................. 21

F. Sistematika Penulisan .................................................... 21

Bab II Kenabian: Antara Rahmat Allas Swt dan Kecerdasan

Akal Manusia ............................................................... 23

A. Kedudukan Nabi dalam Alquran dan Sunah .................. 24

1. Nabi dalam Alquran ................................................. 25

2. Nabi dalam Hadis ..................................................... 28

B. Pandangan Ulama Tentang Kenabian ............................ 30

1. Mukjizat ................................................................... 33

2. Sifat Maksum ........................................................... 34

Page 16: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xvi

C. Hadis Menjadi Bagian dari Mukjizat Kenabian ............ 37

1. Fenomena Alam dan Sains ....................................... 39

2. Nasehat Nabi pada Para Sahabat ............................. 41

3. Tindakan Kemanusiaan Nabi ................................... 43

4. Kekeliruan Nabi ....................................................... 45

D. Hadis Nabi Muhammad sebelum Menerima Wahyu

Alquran ........................................................................... 46

1. Kecerdasan Rahmat Pra-Kenabian ........................... 46

2. Kecerdasan Akal Pra-Kenabian................................ 50

Bab III Mus}t}afa> S{abri> dan Problematika Ijtihad Nabi ............... 53

A. Alam Pemikiran Mus{t{afa< S{abri< (1869-1954) ................. 53

1. Biografi Singkat ....................................................... 53

2. Karya dan Alam Pikiran ........................................... 56

3. Kritik Terhadap Sarjana Modern ............................. 58

B. Makna Ijtihad dalam Kepribadian Nabi ......................... 60

1. Pengertian Ijtihad dalam Islam ................................. 61

2. Antara yang Setuju dan Tidak akan Adanya Ijtihad

Nabi ........................................................................... 63

C. Hadis-Hadis bernuansa Ijtihad Nabi Muhammad Saw. . 68

1. Ijtihad yang Disalahkan atau Dibenarkan oleh

wahyu ....................................................................... 70

2. Ijtihad Nabi sebagai Respon atas Ijtihad Sahabat ... 72

3. Ijtihad Nabi yang Salah namun tidak

Dibenarkan dengan Wahyu ...................................... 74

D. Keberadaan Wahyu Allah Dalam Hadis Nabi................ 76

E. Posisi Hadis antara Wahyu dan Ijtihad .......................... 82

F. Respon Sahabat atas Ijtihad Nabi .................................. 87

Bab IV Implikasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis .................... 93

A. Interrelasi Ijtihad Nabi dan Hadis sebagai sumber

hukum ............................................................................ 93

1. Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan

non Tashri>’iyyah ...................................................... 96

Page 17: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

xvii

2. Kerancuan Perdebatan Sunnah Tashri’i >yyah

dan non Tashri’i >yyah ............................................. 100

3. Dari Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan

non Tashri>’iyyah ke Sunnah Ijtiha>diyah dan

Wah{yiyyah ............................................................. 103

B. Universalitas Hadis dan Ijtihad yang Lokal-

Temporal ...................................................................... 108

1. Universalitas hadis Nabi Muhammad Saw. .......... 109

2. Ijtihad Nabi sebagai Hadis yang Universal dan

Lokal Temporal ..................................................... 111

3. Menyikapi Semangat dan Hasil Ijtihad Nabi ........ 112

a. Ijtihad Nabi yang Dibenarkan Wahyu ............. 112

b. Ijtihad Nabi Terhadap Kasus Duniawi ............ 113

c. Ijtihad Nabi Terhadap Hukum Agama ............ 115

d. Ijtihad Nabi sebagai Nasehat dan Model

Kesempurnaan Ijtihad Manusia ....................... 117

C. Respon Sahabat Sebagai Metode Kritik Matan

Hadis ............................................................................ 118

1. Kemanusiaan Sahabat dalam Melihat Nabi .......... 119

2. Respon Sahabat terhadap Ijtihad Nabi .................. 121

a. Menjadikan Nabi Model Kehidupan ............... 121

b. Mengubah Ijtihad Nabi demi ‘Illah ................. 122

c. Merespon Hal yang Dikhususkan bagi Nabi .. 124

d. Nabi yang Paling Tahu Soal Agama ............... 126

3. Respon Sahabat Terhadap Matan Hadis sebagai

Model Kritik Matan Kontemporer ........................ 127

Bab V Penutup ....................................................................... 131

A. Kesimpulan ................................................................... 131

B. Saran ............................................................................. 132

Daftar Pustaka ............................................................................. 133

Glosarium .................................................................................... 143

Indeks .......................................................................................... 145

Page 18: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Muhammad Saw menuai banyak perdebatan dan

kritik karena menyebut dirinya sebagai utusan Tuhan kepada manusia

namun justru berbentuk manusia. Kritik pertama bahkan datang dari

orang kafir yang tak rela jika seorang nabi ternyata mempunyai

tingkah-laku yang sama seperti manusia lainnya.1 Namun, hal ini

secara umum tidaklah menjadi perdebatan di kalangan muslim.

Tindakan kemanusiaan, atau al-af’a>l al-jibliyyah, dalam istilah

Sulaima>n al-Ashqa>r ternyata banyak yang memang tidak ada

kaitannya dengan misi kenabian.2 Tindakan seperti makan, minum,

tidur, benci, marah dan sebagainya adalah sifat manusia yang secara

umum tidak terkait dengan ajaran agama.3 Ciri kemanusiaan tertinggi

adalah akal. Pemikiran akal inilah yang kemudian disebut sebagai

ijtihad.4 Namun, yang perlu dipertanyakan berikutnya adalah benarkah

bahwa Muhammad pernah berijtihad? Jika benar, apakah ijtihad Nabi

menjadi bagian dari ajaran agama?

Dua pertanyaan di atas memerlukan jawaban yang cukup

panjang karena akan berimbas bukan hanya dari segi teologi Islam,

namun juga yuridis dan filosofis. Untuk itu, kenabian memang bukan

hal yang mudah untuk dijelaskan. Ibn Khaldu>n (1332-1406) misalnya

1QS. Al-Furqa>n [25]: 7.

2Muh{ammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala al-

Ah}ka>m al-Shar‘iyah (Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976), 219. 3Walaupun, jika kemudian dianggap itu datang dari sosok yang memiliki

kenabian ia tetap akan menjadi panutan seperti tindak-tanduk dalam keluarga yang

muncul sebagaimana manusia pada umumnya. Lihat, Fah{d Tala>l Sali>m al-Khalidy

“Al-Manhaj al-Nabawy fi> al-Ta‘a>mul al-Usra>.” College of Basisc Education Researches 4 (2007) : 79-92.

4Karena bagaimanapun ijtihad tidak bisa lepas dari ra’y atau pertimbangan

akal manusia yang memungkinkan kesalahan dan kebenaran. Lihat, Mohammad

Nazami, “Ijtihad: Takhti’ah or Tas}wi>b.” Message of Thaqalayn, A Quarterly Journal of Islamic Studies 10, no. 2 (2009) : 74-75; Saim Kayadibi, “Ijtihad by Ra’y: The

Main Source Inspiration Behind Istihsan.” Islamic Social Science 24, no. 1 (2007) :

76.

Page 19: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

2

menilai bahwa nabi adalah mereka yang memiliki jiwa di luar

kemanusiaan pada umumnya dan mendekati malaikat. Bahkan mereka

kemudian berinteraksi dengan malaikat dan kemudian menjadi lebih

tinggi derajatnya dan mampu berkomunikasi dengan Tuhan.5 Pada sisi

tertentu nabi adalah manusia biasa. Namun, pada sisi lain tentu ia

lebih dari sekedar manusia biasa. Karena itulah Fazlur Rahman

menyebut nabi adalah sebagai extraordinary-man yang memiliki

kelebihan luar biasa di hadapan manusia ketika berbicara tentang

Tuhan. Merekalah yang bisa menunjukkan secara pasti bahwa Tuhan

adalah Tuhan dan setan adalah setan.6 Terlebih John L. Esposito

menyampaikan bahwa Muhammad adalah intrumen manusia-Tuhan

dalam menyampaikan fiman-Nya sekaligus menjadi model teladan

yang harus diikuti orang beriman.7 Oleh karena itu, memahami dan

mengikuti Nabi Muhammad adalah penting sebagai keimanan dan

tindakan keseharian orang Islam yang sebenarnya.

Setidaknya terminologi yang bisa membedakan antara manusia

dan nabi yakni sifat maksum. Etimologi maksum diambil dari kata

dalam kalimat .8 Yakni, maksud dari maksum

adalah keterjagaan Nabi dari gangguan manusia. Namun, terminologi

ini berubah menjadi keterjagaan Nabi dari kesalahan dan dosa.9

Sebagai utusan Tuhan tentu nabi harus terhindar dari kesalahan dalam

5‘Abd al-Rahma>n ibn Muhammad ibn Khaldu>n, Al-Muqaddimah (Maroko:

Dar al-Baidha’, 2005), 146-149; Abdul Kabir Husain Solihu, “Revelation and

Prophethood in The Islamic Worldview.” Journal of Islam in Asia 6, no. 1 (2009) :

170 ; Malak Muh{ammad Thabit ‘Abd al-H{ami>d, “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z

‘Inda al-Muslimi>n.” Jurnal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 117 ; Hakim

‘Abd Na>s}ir, “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah.” Ada>b al-Kufa 1,

(2011) : 229. 6Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca

Islamica, 1994), 80. 7John L. Esposito, Terj. Arif maftuhi, Islam Warna-warni (Jakarta:

Paramadina, 2004), 10; Adis Duderija, “Toward a Methodology of Understanding the

Nature and Scope of the Concept of Sunnah.” Arab Law Quarterly 21 (2007) : 4. 8QS. Al-Ma>idah [5]: 67.

9Namun demikian, adanya kemaksuman pada diri Nabi justru meniadakan

proses ketaatan padanya karena tiadanya balasan dan hukuman. Lihat, Al-‘Any,

Asma>‘ ‘Abd al-Qa>dir ‘Abdulla>h. “Bara>’atu al-Anbiya>’ minma> nasaba Ilaihim min

Akhta>’.” Journal of Research Diyala University 52 (2011) : 37-91.

Page 20: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

3

menyampaikan misi dari Allah Swt. Oleh karena itu nabi tidak

mungkin menyembunyikan suatu hal tentang perintah Tuhan kepada

manusia.10

Bahkan, ancaman kesalahan Nabi tidaklah muncul dari

logika belaka, namun Allah pun mengancam Nabi dalam firman-Nya

sendiri bahwa andaikata Nabi mengada-ada tentang misi Allah, maka

Dia sendiri yang akan menghukumnya.11

Namun, Qad}i ‘Iyad} (w. 544 H) menyatakan bahwa sepanjang

urusan dunia para Nabi tidak diisyaratkan jaminan atas kemaksuman.

Kekurang-pahaman para nabi tentang masalah tersebut tidak menodai

kenabiaannya, karena perhatian umat adalah kepada urusan akhirat dan

syariat keagamaan.12

Sedangkan, Muhammad al-‘Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir

mengungkapkan bahwa kemaksuman nabi menyisakan dua kelompok.

Pertama, adalah mereka yang mengatakan bahwa nabi tidak pernah

melakukan dosa. Dan kedua mereka yang menyatakan nabi pernah

melakukan dosa. Keduanya pun memiliki antitesis mendasar.

Kelompok pertama dianggap menyalahi Alquran dan sunnah yang

banyak menyatakan tentang pertaubatan para nabi. Artinya, nabi

pernah melakukan dosa. Kelompok kedua juga akan menemukan

bahwa Nabi tidaklah berdosa karena yang dilakukan para nabi

hanyalah kekeliruan yang kemudian Allah membersihkan jiwa mereka

dan menjamin kesucian mereka.13

Satu alasan yang membuat

perdebatan ini muncul adalah kerena sosok Nabi adalah orang yang

harus diikuti.14

Kemudian, bagaimanakah jika yang diikuti itu salah

atau pernah melakukan kesalahan apalagi dosa?

10

QS. Al-Takwi>r [81]: 24. Karnanya, dalam hal ketuhanan, Nabi tidak

mungkin mengarangnya ataupun berijtihad tentangnya. Lihat, Salih Kesgin, “A

Critical Analysis of the Schacht’s Argument and Contemporary Debates on Legal

Reasoning Throughout The History of Islamic Jurisprudence.” The Journal of International Social research 4 (2011) : 158.

11QS. Al-H{a>qqah [69]: 44-47.

12Abu> al-Fad}l ‘Iyad} Ibn Mu>sa>, al-Shifa> bi Ta’rif H{uqu>q al-Mus}t}afa> (Kairo:

Da>r al-H{adith, 2004), juz 2, 115-116. 13

Muh{ammad al-Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala > al-Ah}ka>m (Jedah: Da>r al-Mujtama’, tth), 23.

14Bahkan segala hal yang menjadi ciri khas kenabian seperti isra’ mi’raj

Nabi tetap menjadi perhatian terhadap sumber ajaran Islam. Lihat, ‘Abd al-

H{a>fid’Abd Muhammad al-Kabisy “Khus}u >s}iat al-Nabi> Salla Alla>hu ‘Alaihi wa

Page 21: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

4

Ittiba>‘ kepada Nabi adalah suatu kewajiban bagi orang muslim.

Konsekuensi teolog kenabian adalah tuntunan tentang kebertuhanan.

Sedang mengenai bentuk kebertuhanan, Nabi adalah orang yang paling

otoritatif untuk menjelaskannya. Oleh karena itu, wajar jika apapun

yang dilakukan Nabi menuntut keberlakuan juga pada umatnya.

Sebagaimana dikisahkan bahwa al-H{umaidi (w. 219 H) pernah

bercerita bahwa ketika sedang bersama Imam Sha>fi’i > (w. 204 H)

datang seorang laki-laki dan bertanya tentang suatu hal. Imam Sha>fi’i >

pun menjawab, “tentang hal ini Rasulullah mengatakan demikian dan

demikian.” Orang itu pun bertanya kembali, “Lalu bagaimana menurut

anda sendiri?” Sha>fi’i pun berkata, “Subhanallah, apa kau kira aku

berada di gereja atau di tempat lain? Aku mengatakan bahwa

Rasulullah mengatakan demikian, lalu kau tanya pendapatku?”15

Inilah

bentuk ittiba>‘ para ulama terhadap Nabi. Bagaimanapun kedekatan

manusia kepada Allah dalam bentuk cinta sekalipun hanya satu

jalannya, yakni mengikuti Nabi-Nya.16

Meskipun mengikuti Nabi adalah suatu keharusan, setidaknya

secara umum muncul dua permasalahan. Pertama, perbedaan ruang dan

waktu Nabi dengan hari ini yang juga memunculkan perbedaan situasi

sosial dan peralatan.17

Kedua, visi kebertuhanan Nabi sebagai utusan

Tuhan dan tindakan keseharian kadang kala tidak nampak sebagai

bagian dari visi tersebut. Hal ini tentu karena Muhammad Saw. tidak

hanya muncul sebagai pengajar agama semata namun beliau juga

seorang ayah, hakim, pimpinan18

dan sebagainya.19

Dari masalah yang

sallama wa Dala>latuha> fi> al-Tashri>’.” Journal of The Iraqi University 1 (2010) : 166-

167. 15

Abu> ‘Abdilla>h Shamsu al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-Dhahabi> (673-

748 H), Siyaru A‘la>m al-Nubala> (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), 3279. 16

QS. Ali Imran [3]: 31. 17

Pembahasan ini kemudian menjadikan perdebatan anyata perbedaan

tekstual dan kontekstual dari Nabi. Lebih lengkap lihat, Muh}ammad al-Ghaza>li>, al-Sunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adith (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1989).

18Setidaknya kenabian dalam realitas kemanusiaan juga memunculkan sifat

sebagai panutan atas kepemimpinan. Lihat, Abed el-Rahman Tayyara, “Prophethood

and Kingship in Early Islamic Historical tought.” Der Islam 84 (2007) : 76-77. 19

Tentang hal ini salah satunya bisa dilihat pada, Muh }ammad Sa’id

Ramad}a>n al-Bu>ti>, Fiqh Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 18.

Page 22: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

5

pertama muncullah konsep bahwa jika aspek sosial dan peralatan itu

tidak terkait dengan agama maka diperbolehkan untuk adanya

perubahan.20

Sedangkan dari masalah kedua, para ulama kemudian

membagi tindakan Nabi kepada dua hal yakni yang membawa

implikasi syari’at dan yang tidak membawa implikasi syariat.21

Di

sinilah kemudian, posisi ijtihad Nabi sebagai manusia diperdebatkan.

Mengenai ijtihad Nabi para ulama memiliki beberapa pendapat

yang berbeda. Ada di antara mereka yang mendukung adanya ijtihad

yang dilakukan Nabi sebagai seorang manusia. Namun, ada pula yang

mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berijtihad karena beliau adalah

seorang pembawa wahyu, yang jika ia memilikinya maka tidaklah ada

gunanya ijtihad. Selain itu, ada pula di antara mereka yang

mendiamkan permasalahan ini.22

Walaupun, Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010)

mengatakan bahwa secara umum sebenarnya para ulama bersepakat

dengan adanya pembolehan untuk ijtihad dalam diri Nabi mengenai hal

duniawi, namun jika terkait dengan masalah agama maka hal tersebut

dilarang.23

Sebenarnya Alquran telah menyatakan:

Ayat di atas hampir dan selalu menjadi perdebatan dalam

kaitan ada dan tidaknya ijtihad Nabi. Secara eksplisit ayat tersebut

berarti, “Tidaklah apa yang ia ucapkan berasal dari hawa nafsunya.

Ucapan itu tiada lain adalah wahyu.” (QS. Al-Najm [53]: 3-4). Artinya

Nabi memang tidak melakukan ijtihad dan hanya mengungkapkan

wahyu. Terlebih, dibuktikan banyaknya catatan yang mengatakan

bahwa jika ditanyakan kepada Nabi suatu hal, maka beliau akan

20

Muh{ammad Abu> Zahrah, Us}u>l Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr, 1958),114. 21

Secara lengkap bisa dibaca di, Yu>suf Qard}awi>, al-Sunnah Masdaran Li Ma‘rifah wa al-H{ad{a>rah (Kairo: Dar al-Shuruq, cet. 3, 2002)

22Ada dan tidaknya ijtihad secara langsung akan bersinggungan dengan

apakah pendapat Nabi itu disejajarkan dengan wahyu atau tidak. Lihat, Zainuddin

MZ, “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wahyu Ilahi atau Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel,

Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007) : 4-5. 23

M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad dalam Hukum Syarak. Terj. Safri

Mahayedin, (Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, Cet. 2 2009),

44.

Page 23: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

6

menunggu wahyu terlebih dahulu.24

Namun, tidak semua mufasir

sebenarnya sepakat dengan hal ini. Al-Qurtu>bi> (w. 671 H) misalnya,

mengatakan bahwa yang dimaksud sebagai dhamir pada ayat tersebut

bukanlah perkataan nabi atau hadis melainkan Alquran. Al-Qurtu>bi>

mengambil dari penafsiran Qata>dah yang mengatakan bahwa ayat

tersebut menghendaki bahwa tidak ada dalam Alquran yang berasal

dari hawa nafsu Nabi, melainkan semua adalah wahyu Allah.25

Dalam masalah ini ‘Abd al-Lat}if Kasa>b setidaknya memberikan

tiga persoalan yang patut menjadi wacana khusus dalam memahami

posisi ijtihad nabi dalam tradisi Islam. Pertama rasionalisasi adanya

ijtihad dalam diri Nabi, kedua Ijtihad Nabi terkait syariat dan non-

syariat dan ketiga kemungkinan adanya kesalahan ijtihad Nabi.26

Lain

halnya, Na>diyah Shari>f al-‘Umri memberikan bahasan secara khusus

pada bukunya Ijtiha>d al-Rasu>l dengan memberikan enam bahasan

antara lain: pertama, ijtihad rasul dalam pandangan ulama ushul.

Kedua, persepsi ijtihad yang terjadi pada zaman Nabi dan

keterkaitannya dengan ijtihad Nabi. Ketiga, metode ijtihad Nabi.

Keempat, metode ijtihad pada masa sahabat. Kelima, perbandingan

ijtihad Nabi dan ijtihad yang terjadi pada yang lain.27

Ijtihad memang tidak bisa dihindarkan dari sosok manusia,

bahkan Nabi sekalipun. Alasan ini secara jelas sebenarnya menjadi

perintah Allah kepada Nabi.28

Bahwa perintah memang ditujukan kepada Nabi. Walaupun, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b

24

M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad dalam Hukum Syarak, 44. Ayat ini

juga dianggap membuktikan bahwa baik Alquran dan sunnah adalah sama-sama

wahyu dari Allah Swt. Lihat, Rihaizan bin Baru dan Rosmalizawati Abd al-Rashid.

“The Receonciliation Approach in Resolving Contradictory Prophetic Tradition.”

International Journal of Business and Social Science 2, no. 3 (2011) : 228. 25

Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Ah}mad Shamshu al-Di>n al-Qurtubi> (w. 671

H), al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-Misriyah, 1980), 241-242. 26

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa>’u h}aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah (Saudi: Da>r al-Taufi>q, 1984), 43.

27Lihat selengkapnya pada, Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla

Alla>h ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), buku ini secara umum

sebenarnya lebih banyak mengacu dan mengarahkan pada pembacaan metode ijtihad

yang dilakukan Nabi dan bukan kepada perdebatan kedudukan ijtihad itu sendiri. 28

QS. Al-H{ayr [59]: 2.

Page 24: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

7

mencoba mereduksi bahwa pembolehan ijtihad nabi itu secara umum

hanya pada masalah duniawi dan bukan masalah agama. Karena

memang ia masih banyak merujuk pada para ulama salaf yang masih

memperdebatkannya.29

Terlebih masalah adanya respon sahabat yang

menganggap bahwa pendapat atau ijtihad nabi itu salah atau perlu

pertimbangan. Adapun di antara kalimat yang dilontarkan sebagian

sahabat Nabi seperti Sa’d ibn Mu’a >z dan Sa’d ibn ‘Uba >dah kepada

Nabi dalam suatu persoalan, atau

bahkan H{abbab ibn Munzir pernah menyatakan kepada Nabi,

. Yang pada hasilnya

kemudian nabi menyatakan bahwa beliau berijtihad dan bahkan

kemudian Nabi mengikuti ijtihad Sahabat tersebut.31

Pernyataan Sahabat kepada Nabi di atas juga membuktikan

ketidakbenaran rasionalitas Muktazilah seperti al-Jubba>’i> (w. 915)

bahwa Nabi tidak mungkin melakukan ijtihad. Al-Jubba>’i > beralasan

bahwa ijtihad hanya akan berujung pada prasangka, sedangkan wahyu

berujung pada kebenaran. Tidak mungkin seorang Nabi mengajarkan

dengan prasangkanya dan bukan wahyu.32

Alasan al-Jubba>’i > memang

logis ketika menyamakan ijtihad Nabi dengan ijtihad yang dilakukan

para ulama. Namun, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b memberikan perbedaan

mendasar bahwa ijtihad yang dilakukan selain Nabi memiliki unsur

29

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h}aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah (Saudi: Dar al-Taufiq, 1984), 45-47.

30‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhari, Kashfu Al-Ashra>r ‘An Us{u >l Al-Fah}r

Al-Islamy Al-Bazdawy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H), Juz 3, 210. Pada

penelitian ini, hadis-hadis seperti inilah yang akan penulis lacak lebih dalam lagi

guna mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap inti penulisan tesis ini. 31

Terlebih Nabi juga memang sering bermusyawarah dengan para Sahabat

seperti pada masa peperangan. Lihat Ahmad Mat}ar Khadhir. “Musha>wara>t al-Rasu>l

Saw Li As}habihi fi> al-Ghazawa>t.” Journal of Research Diyala Unversity (2009) : 74-

86. 32

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Adhwa’u h{aul: Qadhiyat al-Ijtiha>d fi> al-Shari>ah al-Isla>miyah (Saudi: Dar al-Taufiq, 1984), 48; Muhammad Sayyid T{ant}a>wi,

Terj. Safri Mahayedin, Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak , 46 ; Na>diyat Sharif al-

‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), 55-56; lihat pula

Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab

dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010) : 68.

Page 25: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

8

kesalahan dan pengulangan. Berbeda dengan ijtihad Nabi yang secara

umum ulama mengatakan tidak memiliki implikasi kesalahan, dan

adapun jika terjadi kesalahan maka wahyu Allah akan mengkoreksinya

sehingga mengarah kepada kebenaran dan tidak mengakhibatkan

pengulangan kesalahan sebagaimana manusia biasa.33

Persoalan ijtihad Nabi terkait masalah agama, ‘Abd al-Lat}i>f

Kasa>b membaginya dalam tiga kelompok34

yakni; pertama, mereka

yang setuju dengan adanya ijtihad tersebut seperti Ibn H{ibba>n (270-

354 H), Imam Ma>lik (93-178 H), dan juga Imam Sha>fi’i > (150-204 H).

Adapun golongan H{anafiyah memberikan syarat kebolehan ijtihad

Nabi hanya terkait dengan yang belum ada dalam nas atau wahyu.

itupun, harus dengan cara menunggu wahyu tersebut terlebih dahulu,

yang jika wahyu tersebut belum juga ada baru hal ini menjadi tanda

pembolehan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi. Kedua, mereka yang

tidak sepakat dengan adanya ijtihad Nabi tentang agama seperti

pengikut al-Ash’a >ri> (260-324 H), Ibn H{azm (384-456 H), sebagian

pengikut Imam Sha>fi’i > (150-204 H) dan juga Imam H{anbali (164-241

H).35

Ketiga, mereka yang ber-tawaquf terkait hal ini seperti al-

Ghaza>li> (450-505 H), Abu H{asan al-Bashri> (21-110 H), dan juga al-

Qad}i ‘Abd al-Jabba>r (w. 400 H).

33

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h{aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah, 49.

34Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h{aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah

al-Isla>miyah, 50-51. Bahkan penafsiran Nabi terhadap Alquran pun tidak dapat

dipungkiri. Lihat, ‘Ali Ramadan al-Ausy “al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qura>n al-Kari>m

wa Atha>rihi fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.” al-Turath al-‘Ilmy al-‘Araby 1 (2012) : 197. 35

Alasan yang paling patut jadi pertimbangan dalam pendapat ini adalah

bahwa Nabi tidak dibenarkan untuk mengikuti pendapatnya sendiri segala yang

terkait dengan kewahyuan (QS. Yunus [10]:15). Bagi Ibn H{azm ayat ini

menunjukkan bahwa Nabi tidak mungkin mengutarakan sesuatu yang selain Alquran

tentang Islam. lihat, ‘Ali> ibn H{azm al-Andalu>si>, al-Ih}ka>m fi> Us}ul al-Ah}ka>m (Beirut:

Da>r al-Ifa>q al-Jadi>dah, 1979), juz 5, 698. Bahkan, Nadi>r al-Jaisy mengungkapkan

bahwa Hadis tidaklah muncul dari Nabi melainkan melalui pertimbangan Nabi

terhadap Alquran. Lihat, Hasyim Taha Yasin dan Manna ‘Abd al-Ghafu>r Dah{m,

“Manhaj Nadi>r al-Jaisy (w. 778 H) fi al-Istidla>l bi al-H{adi>th al-Nabawi al-Syari>f fi

Kita>bihi Tamhi>d al-Qawa>id.” Journal of al-Anbar University for Language and Literrature 8, (2012) : 79.

Page 26: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

9

Ijtihad Nabi secara normatif pasti bersisian dengan otoritas

hadis Nabi sebagai bagian dari ajaran Islam. Karenanya, ijtihad Nabi

secara filosofis menjadi ukuran terhadap arti kenabian itu sendiri. Hal

ini tak lepas dari pembahasan seorang muhaddis seperti Mus}t}afa> S{abri>.

Baginya, Nabi tetap harus diikuti baik dalam urusan Agama maupun

dunia karena Nabi memang tidak mengajarkan hanya soal agama tapi

juga dunia.36

Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954)37

adalah seorang ulama yang

menjabat sebagai syaikh al-isla>m38 pada masa akhir kerajaan Ottoman,

Turki. Ia adalah seorang intelektual yang sejak usia 22 tahun telah

mengajar berbagai macam ilmu seperti tafsir, hadis, usul fikih dan juga

ilmu bayan di berbagai madrasah dan juga universitas seperti Ja>mi’

Sult}a>n al-Fa>tih{ –sebuah universitas sekelas Al-Azhar Mesir kala itu–,

Da>r al-H{ikmah al-Isla>miyyah, Madrasah al-Wa>’izi >n dan sebagainya.39

Hingga akhirnya jabatan shaikh al-Isla>m –sebuah jabatan petinggi

mufti– diberikan pada tahun 1919 sebagai penghargaan atas

keilmuannya oleh Kepala Dewan Kerajaan.40

Namun demikian,

sebagaimana diketahui bahwa pada masa kehidupannya Turki

36

Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa

Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48,

no. 1 (2009) : 25. 37

Meskipun ia lahir di Turki, namun ia meninggal karena stroke dalam

pengasingannya di Mesir. Lihat. Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman

Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual

Contribution.” (Tesis di Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal,

2003), 50. 38

Adapun dalam bahasa Turki ditulis “Şeyhülislam” 39

Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa

Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48,

no. 1 (2009) : 7. Setidaknya ada dua karya tulis yang penulis temui yang

membicarakan biografi Mustafa Sabri yakni, pertama Mehmet Kadri karabela, “One

of The last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life,

Works, and Intellectual Contribution.” (Tesis di Institute of Islamic Studies Mc Gill

University, Montreal, 2003). Kedua, Mufarrih} Sulaiman al-Qawsi>, as-Shaikh Mus}t}afa> S{abri> wa Mawqifuh min al-Fikr al-Wafi>d (Riyad: Markaz al-Malik faishal,

1997). 40

Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam,

Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution”, 46.

Page 27: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

10

mengalami gejolak politik luar biasa yang tentunya ikut

mempengaruhi sisi kehidupannya, termasuk tentang pemahaman

agama.

Keunikan Mus}t}afa> S{abri> dalam membahas posisi kenabian

dimulai ketika memberikan kritikan terhadap Muh{ammad ‘Abduh

(1849-1905). Saat itu Muh{ammad ‘Abduh melontarkan sebuah definisi

tentang Nabi. Bahwa nabi adalah manusia yang diberikan wahyu

kebenaran baik secara teoritis maupun praktis, ia tidak mengetahui

sesuatu selain kebenaran dan melakukan sesuatu selain kebenaran. Di

mana kebenaran itu bukan dari kecerdasannya, bukan pula hasil

penalarannya. Ajarannya adalah murni dari Tuhan.41

Hal yang terkesan sederhana di atas, bagi S{abri> memiliki

implikasi tersendiri terhadap posisi kemanusiaan Nabi, tentunya tak

terlepas dari ijtihad sebagai bagian dari sifat manusia. Titik poin

dalam hal ini, bagi S{abri>, kenabian adalah pada kemampuan manusian

untuk berkomunikasi kepada Tuhan dan bukan sekedar diberi wahyu

tanpa ada komunikasi timbal-balik.42

Artinya, komunikasi ini

memungkinkan adanya kemampuan Nabi untuk berijtihad terhadap

permasalahan yang ia hadapi dengan cara berkomunikasi dengan

Tuhan jika memang Nabi menganggap bahwa komunikasi itu

dibutuhkan.

Selain berbagai permasalahan kenabian di atas, Mus}t}afa> S{abri>

juga memiliki catatan yang cukup komprehensif terhadap berbagai

gagasan modern terhadap pendefinisian Nabi. S{abri> pun banyak

memberi kritikan kepada tokoh-tokoh masa itu seperti Ra>shid Rid{a>

(1865-1935), Fari>d Wajdi> (1875-1954), Zaki> Muba>rak, Muh{ammad

H{usain Haikal (1888-1956), hingga Mah{mu>d Shaltu>t (1893-1963) baik

mengenai mukjizat, kenabian maupun kerasulan yang pada akhirnya

berimplikasi erat terhadap keberadaan dan posisi ijtihad dalam diri

Nabi Muhammad. Selain itu, kedalamannya terhadap kajian kenabian

41

Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa

Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48,

no. 1 (2009) : 11. 42

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Turath, 1981), Juz 4, 152.

Page 28: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

11

juga menjadi bahasan dalam ilmu kalam yang S{abri> geluti. Karena itu,

ia juga ikut membahas masalah mazhab seperti pada al-Maturi>di> (w.

333 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H) dan al-Baqillani> (w. 403 H). Hal ini

tentu menjadi kajian yang cukup komprehensif dalam mengkaji

pemikiran kalam sabri lebih dalam tentang kenabian, terutama ijtihad.

Namun demikian, karya-karya S{abri> tentang kenabian terutama

terkait ijtihad Nabi ini masih berserakan minimal pada tiga karyanya

yakni: pertama Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-

‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath,

1981), kedua Al-Qawl Al-Fas{l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi’l-Ghayb

Wa-Allad{i>na La> Yu’minu>n (ttp: Dar al-Salam, 1905) dan ketiga

Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar (Kairo: Matba’ah al-

Salafiyah, 1352 H).

Dengan demikian, penelitian mengenai gagasan Ijtihad Nabi

Muhammad Saw dalam perpektif Mus}t}afa> S{abri> dalam rangka analisis

relasi akal dalam bentuk ijtihad Nabi dan Naqd al-Matn ini menjadi

penting adanya sebagai tolak ukur atas otoritas hadis Nabi. Selain

menjadi bacaan tersendiri dalam studi ilmu kalam tentang kenabian,

sebenarnya membahas tentang ijtihad Nabi tidak akan lepas dari dua

konteks yang berbeda. Pertama, adalah hadis sebagai bagian dari Nabi

selain Alquran yang menjadi pedoman bagi umat Islam. Kedua, adalah

fikih karena memang ijtihad Nabi berimplikasi baik langsung maupun

tidak terhadap keberagamaan umat Islam secara menyeluruh.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari apa yang dipaparkan sebelumnya terdapat beberapa

masalah krusial yang terkait dengan posisi ijtihad Nabi dalam

pemikiran Islam. Pertama, berkaitan dengan interfensi wahyu dalam

ijtihad Nabi sebagai bagian dari sifat kemaksuman Nabi. Dengan

kemaksumannya, bagaimanapun Nabi tidak mungkin berbohong atas

suatu tindakan baik yang berkaitan dengan agama tak terkecuali juga

yang berkaitan dengan dunia. Memisahkan adanya ijtihad yang

diterima sebagai bagian dari ajaran agama dan menolak sebagian lain

tentu perlu batasan-batasan yang jelas agar tidak disalahgunakan.

Page 29: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

12

Kedua, masalah yang cukup terkait dengan masalah pertama adalah

kedudukan otoritas hadis sebagai bagian dari ajaran Islam yang

bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Karena yang paling tahu tentang

perintah Allah tentu adalah rasul-Nya, dan dengan demikian apakah

ijtihad rasul dalam hadis merupakan bagian dari apa ajaran Allah?

Ketiga, respon sahabat terhadap ijtihad yang dilakukan Nabi.

Hal ini menjadi penting bukan hanya karena Sahabat yang pertama

langsung berkomunikasi dengan Rasul, namun respon ini juga bisa

menunjukkan apakah sahabat serta-merta mengikuti segala apa yang

diungkapkan Nabi ataukah memilih antara yang memang wahyu dan

gagasan Nabi pribadi.43

Keempat, masalah posisi Nabi yang hanya

mengantar agama Allah tanpa melakukan melakukan intervensi

terhadap isi agama itu, ataukah ia adalah mediator yang

membahasakan perintah Tuhan kepada manusia. Karenanya, ijtihad

pun dilakukan guna memudahkan manusia untuk mengetahui perintah

Tuhannya. Kelima, adalah tentang hikmah di balik perdebatan tentang

ada dan tidaknya ijtihad dalam diri seorang Nabi. Hikmah ini

memungkinkan untuk menemukan adanya titik temu antar pemahaman

yang menolak akan adanya ijtihad dalam diri Nabi dan mereka yang

membolehkan adanya ijtihad dalam diri Nabi.

Terakhir, keenam adalah sosok Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954),

baik sebagai seorang muhaddis,44

maupun sarjana yang menulis banyak

kajian dan kritikan terkait masalah kenabian, mukjizat dan akal dalam

pandangan sarjana modern.

2. Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas tentunya tidak semua masalah

akan dikaji dalam tesis ini. Penulis harus melakukan pembatasan.

43

Di sinilah pentingnya untuk mengetahui asbab wurud sebuah hadis

terlebih perlu tidaknya ungkapan Nabi itu dicatat atau tidak oleh para Sahabat.

Lihat, ‘Amar bin ‘Abdullah Nasir ‘Ulwan, “Tahli>l Asba>b Ihmal Wuru>d al-H{adi>th wa

Ahammiyatu Ma’rifatih fi> Fahmi Maqa>sid al-Tashri>‘.” Al-Bayan, Journal of Quran and Hadith Studies 7 (2009) : 4.

44Ia telah menjadi Profesor bidang hadis pada 25 Desember 1918. Lihat,

Mehmet Kadri Karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mus}t}afa> S{abri>

Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution”, 40.

Page 30: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

13

Terlebih, tulisan ini akan memotret bagaimana pemahaman Mus}t}afa>

S{abri> (1869-1954). Untuk itu pembatasan yang mungkin dilakukan

tentang keberadaan ijtihad Nabi dalam Mus}t}afa> S{abri> serta

implikasinta terhadap otoritas hadis sebagai bagian dari ajaran Agama.

Namun, pastinya tidak menutup kemungkinan permasalah lain di atas

juga akan tetap disinggung karena memang saling berkaitan dan

memang diperlukan pembacaan yang komprehensif untuk menemukan

jawaban yang lebih argumentatif.

3. Rumusan Masalah

Sebagaimana diketahui bahwa perdebatan tentang ijtihad Nabi

pasti memiliki implikasi yang besar terhadap ajaran Islam. Oleh karena

itu, sosok Mus}t}afa> S{abri> yang ikut serta membincangkan dalam

masalah ini perlu dikaji dan ditelaah untuk menemukan sebuah konsep

ijtihad yang lebih bisa diterima. Untuk itu, sekurang-kurangnya dua

pertanyaan penting yang bisa diajukan. Pertama, bagaimana

sebenarnya titik temu perdebatan keberadaan ijtihad Nabi Muhammad

Saw., terutama yang dilakukan oleh Mus}t}afa> S{abri>? Kedua, implikasi

terhadap ada dan tidaknya ijtihad Nabi terhadap otoritas hadis sebagai

ajaran Islam baik secara yuridis, teologis, maupun filosofis?

C. Studi Terdahulu

Kajian tentang posisi ijtihad Nabi dalam pemikiran Islam telah

dilakukan oleh para pakar cukup banyak antara lain:

Pertama, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallama,

karya ‘Abd al-Jali>l I<sa ‘Abd al-Nasr (Kairo: Dar al-Ih}ya‘ al-‘Arabi,

1950). Kedua. Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah}ka>m al-

Shar‘i>yah karya Muh}ammad Sulaiman al-Ashqar (Kuwait: Maktabah

al-Manar, 1976). Ketiga Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala > al-Ah}ka>m

karya Muh}ammad Arush ‘Abd al-Qadi>r (Jedah: Dar al-Mujtama’, tth).

Keempat, Prophethood from the Perspective of The Qur’an karya J.W.

Fiegenbaum, (Thesis di McGill University, 1973). Kelima, al-Sunnah

Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}a>rah karya Yusuf al-Qard{a>wi> (Kairo:

Da>r al-Shuru>q, cet. 3, 2002). Dan keenam, Prophecy in Islam:

Page 31: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

14

Philosophy and Orthodoxy karya Fazlur Rahman (London: Allen and

Ulwin, 1958)

‘Abd al-Jali>l Isa> memberikan karya yang cukup ringkas namun

cukup komprehensif membahas tentang ijtihad Nabi. Buku setebal 180

halaman ini tidak hanya membahas tentang ijtihad yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad semata namun juga membahas tentang ijtihad

yang dilakukan oleh para nabi dan rasul yang lain. Mengawali

kepentingan pembahasan ijtihad sebelum memberikan pengantar ‘Abd

Jali>l Isa> memberikan secara khusus penghargaan kepada ‘Uma>r ibn al-

Khatta>b yang menjadi inspirasi terhadap pentingnya ijtihad dalam

Islam.45

Bagi ‘Abd al-Jali>l Isa> ijtihad adalah merupakan ciri dari sifat

kemanusiaan yang hal itu ada pula dalam diri para nabi dan rasul, tentu

tak terkecuali nabi Muhammad.46

Dalam karya ini ‘Abd al-Jali>l

nampaknya ingin mempertentangkan antara yang sepakat tentang

adanya keberadaan ijtihad dalan diri para Nabi seperti Ibn Taimiyyah

(w. 728 H), Qad}i> ‘Iya>d{ (w. 544 H)), dan Ibn Khaldu>n (w. 808 H)

dengan yang tidak sepakat terhadap adanya ijtihad dalam diri para

Nabi seperti al-Jubba’i> (w. 303 H). Namun kesimpulan akhir dari ‘Abd

al-Jali>l Isa> tetap mengungkapkan bahwa ijtihad tetaplah ada dalam diri

seorang rasul karena bagaimanapun hal ini adalah suatu yang

dibolehkan dari nas Islam sendiri yakni Alquran dan sunah.47

Muh}ammad Sulaima>n al-Ashqa>r memberikan deskripsi

terhadap berbagai tindakan dan keseharian Nabi. Tindakan-tindakan

tersebut tidak hanya yang menggambarkan terhadap sosok Nabi

sebagai utusan dan pengajar agama dari Allah, namun juga sebagai

sosok manusia biasa yang bertingkah sebagaimana umumnya manusia.

Secara umum Sulaima>n al-Ashqa>r menilai bahwa tindakan Nabi

apapun itu adalah bagian dari ajaran kehidupan manusia. Bagi al-

Ashqa>r agama bukan hanya bentuk peribadatan namun juga keseharian

45

‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam (Kairo: Dar al-Ihya’ al-‘Arabi, 1950), 3.

46‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa

Sallam, 19. 47

‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam, 167.

Page 32: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

15

manusia. Karena itu perbuatan Nabi baik itu berupa ijtihad dari Nabi

ataupun wahyu Allah adalah bagian yang harus diikuti karena

bagaimanapun, menurut al-Ashqa>r, bahwa yang paling tahu dengan

hukum Allah bagi manusia adalah Nabi itu sendiri.48

Namun demikian

bukan berarti segala tindakan nabi menjadi keharusan untuk diikuti,

hal ini karena memang karena Nabi sendiri memberitakan tentang hal

yang wajib, sunah, mubah hingga yang haram dilakukan.49

Artinya,

bagi Sulaima>n al-Ashqa>r, kewajiban seorang muslim adalah dengan

mengikuti perintahnya dan bukan secara buta mengikuti tindakan Nabi

tanpa tahu Nabi menyuruh untuk mengikuti atau tidak.50

Muh}ammad al-‘Aru>siy ‘Abd al-Qad>ir hampir sama dengan

Sulaiman al-Ashqa>r telah mengurai tentang tidakan fi‘liyah Nabi. Bagi

al-Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir menilai bahwa kemaksuman Nabi

mengindikasikan adanya penjagaan terhadap kesalahan tindakan,

namun Nabi sebagai manusia tetap memiliki hak atas nafsu dan lupa.

Artinya, maksum bukanlah berarti tidak pernah ingin atau pernah

berbuat kesalahan, namun maksum berarti dijaga untuk tidak

melakukan kesalahan, walaupun pada saat tertentu Nabi ingin dan

pernah melakukannya. Tentunya, juga terkait dengan ijtihad Nabi yang

dimungkinkan adanya kesalahan namun sebelum kesalahan itu

berlanjut maka Allah –sebagai sifat kemaksuman Nabi– akan

mengingatkan beliau.51

Karya J.W. Fiegenbaum merupakan disertasi pada tahun 1973

di McGill University. Kajiannya terhadap konsep kenabian yang

terdapat dalam Alquran menunjukkan bahwa kenabian adalah wujud

48

Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m al-Shar’iyah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamy, 1976), 202.

49Berbagai pendapat Nabi itulah yang kemudian dimaknai ijtihad Nabi.

Karenanya, dalam hal Ijtihad agama secara umum Nabi telah melakannya lebih dulu

dari pada ulama. Lihat, Al-Jami>ly, Kha>lid Rashid, “al-Ijtiha>d min ‘Asri al-Rasu>l

Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam Ila> Dhuhu>ri al-Maz{a>hib al-Fiqhiyyah.” Research and Islamic Studies (2006) : 40.

50Berbagai contoh bisa dilihat di Muhammad Sulaima>n al-Ashqar, Af‘a>l al-

Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m al-Shar‘iyah, 385-402. 51

Muhammad ‘Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> al-Ah{ka>m (Jeddah: Da>r al-Mujtama’, tth), 25.

Page 33: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

16

eksistensi keberadaan Tuhan dan perintah-Nya.52

Namun, bagi

Fiegenbaum, kenabian dalam Alquran hanya bisa dinilai dengan

adanya Alquran itu sendiri sedang pendapat Nabi dalam hadis adalah

interpretasi di luar Alquran dan di luar sisi kenabian atau wahyu.53

Karena itu, ijtihad nabi merupakan respon pribadi Nabi terhadap

keadaan sekitar yang bisa saja keliru karena memang tidak adanya

acuan wahyu yang mendampinginya atau berkenaan dengan keadaan

tersebut.

Karya Yusuf al-Qarad{a>wi> dalam bagian pertama dari karya

setebal 312 ini mengetengahkan cukup panjang perdebatan tentang

kedudukan kenabian dalam diri Muhammad Saw. Dalam sisi tertentu

Nabi adalah seorang manusia biasa yang munkin bisa marah, benci,

maupun salah. Hal ini dibuktikan sendiri tentang adanya hadis nabi

yang mengingatkan bahwa beliau adalah selain sebagai nabi juga

sebagai manusia biasa.54

Adapun tentang ijtihad Nabi, pada bab yang

sama al-Qard{a>wi> juga menyampaikan bahwa perdebatan tentang ada

dan tidaknya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi menunjukkan bahwa

Nabi bisa saja melakukan ijtihad dalam hal permasalah dunia, namun

tidak dalam masalah agama.55

Karya Fazlur Rahman memang tidak cukup tebal, namun bagi

para peminat kajian kenabian buku ini cukup otoritatif dalam

pembahasan tersebut. Rahman, menulis dalam buku ini bukan hanya

dari sisi makna kenabian dalam Islam semata, namun ia juga

melakukan eksplorasi terhadap pemahaman filsafat Islam tentang

kenabian. Karenanya, buku ini kemudian menjadi catatan penting

tentang salah satu perbedaan inti dari filsafat barat dan Islam yakni

tentang kenabian. Di sisi lain, dalam buku tersebut Rahman juga

membeberkan kedudukan akal dalam tradisi filsafat Islam yakni al-

52

J.W. Fiegenbaum, “Prophethood From The Perspective of The Qur’an.”

(Montreal: McGill University, 1973), iii. 53

J.W. Fiegenbaum, “Prophethood From The Perspective of The Qur’an,”

241-243. 54

Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah

(Kairo: Dar al-Suru>q, cet. 3, 2002), 74. 55

Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.

Page 34: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

17

Fara>bi> (w. 339 H) dan Ibn Si>na> (w. 428 H). Terkait dengan ijtihad

Nabi, Rahman mengakui bahwa akal nabi berada pada posisi di atas

akal manusia, yang disebut dengan akal aktif. Karenanya, dengan

mengutip dari Ibn Si>na>, Rahman mengatakan bahwa nabi telah

dianugerahi akal intelektual yang luar biasa. Dengan akal tersebut

Nabi mampu mengetahui hal ghaib dengan dirinya sediri tanpa

bantuan dari sumber eksternal.56

Meskipun hal ini terkesan hampir

sama dengan kedudukan para filosof, Rahman memberikan catatan

bahwa perbedaan nabi dan filosof yang paling inti adalah kekuatan

imajinatif. Imanijanif ini bukanlah hayalan, namun imajinatif murni

tentang Ilahi, yakni wahyu.57

Dengan demikian ijtihad Nabi tidaklah

mungkin terlepas dari akal aktif (wahyu) itu sendiri.

Sedangkan tesis yang penulis teliti menghendaki adanya

bangunan dasar terhadap ijtihad dan keterkaitannya dengan kenabian

Muhammad terkhusus otoritas hadis. Ijtihad tentu adalah bagian dari

olah logika manusia, namun apakah kemudian olah logika Nabi sama

dengan olah logika yang dilakukan oleh manusia biasa. Hal ini menjadi

titik tolak keharusan untuk mengikuti atau tidaknya ijtihad yang

diberikan oleh Nabi baik itu terkait dengan agama maupun tidak. Yang

nantinya tidak kemudian lari kepada adagium awal yang selalu

mempertanyakan dan mengatakan apakah kebenaran dari Nabi adalah

selalu wujud ketuhanan atau wahyu sedang kesalahan yang ada dan

pernah dilakukan dalam berbagai ijtihadnya adalah selalu wujud dari

kemanusiaan beliau?

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Tujuan penilitian ini dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan

umum dan tujuan khusus.

56

Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan

Ortidoksi. Terj. Ahsin Muhammad. (Bandung: Mizan, 2003), 49; Idris Zakaria,

“Ketuhanan, Kenabian dan kebahagiaan Menurut Ibn Sina.” Islamiyyat 32 (2010) :

46 dan 49. 57

Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, 56.

Page 35: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

18

1. Tujuan umum

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan umum, antara lain:

a. Memberikan gambaran sosok Mus}t}afa> S{abri> (w. 1954) sebagai

seorang pemikir Muslim modern.

b. Mengelaborasi gambaran tentang ijtihad Nabi dalam perpektif

Mus}t}afa> S{abri>.

c. Menelaah secara seksama dampak keberadaan ijtihad Nabi

terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam.

2. Tujuan Khusus

Sebagaimana tergambar dalam latar belakang masalah,

penulisan ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

a. Memformat gagasan dan konsep Mus}t}afa> S{abri> tentang wahyu

dalam ijtihad Nabi dan segala anti-tesis terhadap pemikiran

modern tentangnya. Secara mendalam penulis akan menelaah

karya monumental Mus}t}afa> S{abri> yakni Mawqif al-‘Aql wa al-

‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba >dihi al-Mursali>n,

(Beirut: Da>r al-Ih}ya’ al-Tura>th, 1981) terutama pada bab tiga

dalam buku tersebut yang menggambarkan kedudukan akal

dalam kenabian Muhammad Saw.

b. Menemukan benang merah dalam perdebatan kedudukan

ijtihad Nabi sebagai wahyu ataukah kecerdasan seorang

manusia.

c. Menelaah kapan dan dalam hal apakah nabi mengharuskan atau

melakukan ijtihad.

d. Mengkaji dampak keberadaan ijtihad Nabi terhadap otoritas

hadis yang berkonsekuensi pada pemikiran dan hukum Islam.

Hal ini terlihat dari yang tergambar dalam respon Sahabat

terhadap ijtihad Nabi hingga ijtihad ulama kontemporer.

Mengenai signifikansi atau manfaat penelitian ini memiliki

signifikansi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis penelitian ini

akan memberikan khazanah ilmiah terhadap ilmu pengetahuan dan

memberikan kontribusi ilmiah dalam bentuk deskripsi analisis

mengenai pemikiran Mus}t}hafa> S{abri> sebagai pemikir Islam modern.

Page 36: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

19

Secara praktis, tentunya penelitian ini diharapkan dapat

menjadi acuan terhadap penelitian lebih lanjut terutama tentang

kedudukan ijtihad dalam diri seorang Nabi Muhammad dengan

berbagai dampaknya dalam tradisi keilmuan Islam baik tafsir, hadis,

maupun fikih.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi naskah (content analysis)

menyangkut kajian tentang pemikiran Shaikhul Islam Mus}t}afa> S{abri>

baik yang berasal dari sumber primer maupun sekunder. Sumber

primer yang dimaksud adalah karya Mus}t}afa> S{abri>, sedang sekunder

adalah karya orang lain baik mengenai Mus}t}afa> S{abri> maupun tentang

permasalah ijtihad Nabi yang dikaji dalam penelitian ini. Peneliti juga

menggunakan metode deskriptif-analitik karena penelitian ini

merupakan analisis dan kritik terhadap pemikiran Mus}t}afa> S{abri>.

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah

metode interpretativ yakni metode yang memberikan kebebasan yang

luas bagi peneliti dalam menafsirkan teks. Selain itu, metode inilah

yang dianggap cocok dengan keseluruhan kajian dalam penelitian ini

yang memang bersifat analitik, terkhusus masalah hadis.

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah

sosiologis-teologis dan filosofis-yuridis. Hal ini karena yang dikaji

adalah ijtihad Nabi dalam kajian Mus}t}afa> S{abri> yang tidak lepas dari

aspek sosilogis dan doktriner agama. Pendekatan sosiologis-teologis

digunakan untuk mengkaji makna kenabian Muhammad Saw yang

terikat dengan aspek sosiologis kemanusiaannya. Adapun pendekatan

filosofis-yuridis digunakan untuk menggambarkan dampak ada

ataupun tiadanya ijtihad Nabi dalam pemikiran dan hukum Islam.58

58

Bagaimanapun pendekatan studi hadis tidak akan lepas dari konteks

hukum Islam sebagai dampak dari sebuah ajaran, karenanya studi hadis besar

kemungkinannya untuk bersentuhan kepada fiqih. Lihat, Duderija, Adis. “A Pradigm

Shift in Assesing/Evaluating the Value and Significance oh Hadith in Islamic

Tought: From ‘Ulum al-Isnad to ‘Usul al-Fiqh.” Arab Law Quarterly 23 (2009) : 4.

Page 37: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

20

Selanjutnya, penelitian ini tidak meninggalkan kajian kritik

hadis sebagai disiplin ilmu dalam tesis ini. Hal ini diutamakan terkaiat

kritik matan hadis yang banyak dibahas pada muh{addith kontemporer.

2. Sumber Data

Sumber primer dalam penulisan ini adalah karya Mus}t}afa> S{abri>

yang mengkaji baik secara langsung maupun tidak tentang ijtihad Nabi

Muhammad Saw dan tentunya juga karya tentang biografi seorang

Mus}t}afa> S{abri> itu sendiri.

Karya-karya Shaikhul Islam Mus}t}afa> S{abri> yang dibahas dalam

tulisan ini antara lain adalah:

Pertama, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-

‘A<lami>n wa ‘Iba >dihi al-Mursali>n, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath,

1981). Buku ini memberikan gambaran secara komprehensif tentang

kedudukan akal, ilmu pengetahuan, dan dunia dalam doktrin Islam

yang tergambar dari firman Allah Saw.dan para nabi-Nya. Kedua, Al-

Qawl al-Fas{l baina al-Ladhi>na Yu’minu>n bi’l-Ghaib wa-Alladhi>na La>

Yu’minu >n (ttp: Da>r al-Sala>m, 1905). Buku ini berisi kritik terhadap

pandangan Muh{ammad ‘Abduh (1849-1905), Rashid Rid{a (1865-

1935), Farid Wajdi> (1875-1954), Zaki> Muba>rak, Muh}ammad H}usain

Haika>l (1888-1956) dalam hal mukjizat, kenabian dan kerasulan.

Dalam karya ini S{abri> juga mengkoreksi pendapat Mahmud Shaltu>t

(1893-1963) tentang pendapatnya dalam hal pengangkatan Isa as ke

langit. Ketiga, Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar (Kairo:

Matba’ah al-Salafiyah, 1352 H). Buku ini adalah sebuah analisis

komparasi terhadap berbagai mazhab kalam dalam Islam. Mazhab

tersebut dirinci mulai dari yang paling awal seperti Mu’tazilah, al-

Ash’a>ri (w. 324 H), al-Maturidi> (w. 333 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H), al-

Baqillani> (w. 403 H), hingga Muh{ammad ‘Abduh (w. 1323 H) dan juga

beberapa pemahaman Barat tentang keyakinan, ketuhanan dan takdir

manusia.

Untuk biografi dari Mus}t}afa> S{abri> penulis mengambilnya dari

beberapa tulisan diantaranya: petama, Mehmet Kadri Karabela, One of

The last Ottoman Syaikhulislam, Mus{t{afa> Sabri> Efendi> (1869-1954):

His Life, Works, and Intellectual Contribution (Thesis on Institute of

Page 38: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

21

Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003). Kedua, Mufarrih}

Sulaima>n al-Qawsi>, as-Shaikh Mus}t}afa> S{abri> wa Mawqifuh min al-

Fikr al-Wafi>d (Riyad: Markaz al-Ma>lik Fais}a>l, 1997). Ketiga, tulisan

dalam jurnal oleh Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and

Miracles: Mustafa Sabri’s response.” Journal of Islamic Studies 48, no.

1 (2009).

Sumber sekunder dari penulisan ini didapat dari karya atau

penelitian terdahulu yang membahas ijtihad Nabi Saw. dan Kenabian

dalam tradisi Islam. Baik yang menyepakati adanya ijtihad pada diri

Nabi maupun yang mengkritisi pendapat bahwa nabi pernah berijtihad

tanpa tuntunan wahyu.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Seluruh data yang ada baik dari sumber primer maupun

sekunder kemudian dikumpulkan secara seksama untuk kemudian

dianalisis konteks maupun peranannya dalam memberikan penjelasan

terhadap ada dan tidaknya ijtihad dari Nabi Muhammad Saw. Dari

data yang diperoleh kemudian akan dilakukan pengkajian terhadap

dampak dan respon dari umas Islam secara keseluruhan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk menberikan gambaran apa yang dibahas dalam tesis ini,

penulis perlu mengetengahkan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I adalah bab pendahuan yang menjelaskan tentang latar

belakang masalah, perumusan, studi terdahulu yang relevan,

tujuan dan signifiikansi penelitian, metodologi penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab II ditulis sebagai landasan teoritis penelitian yang membahas

tentang problematika makna kenabian dalam diri Nabi

Muhammad dengan berbagai kaitannya terhadap pemikiran

Islam. Bab ini juga membahas tentang kaitan hadis sebagai

bagian dari mukjizat Nabi. Hingga, membahas tentang

kedudukan hadis Nabi sebelum menerima wahyu Alquran.

Bab III merupakan bab inti pertama yang memberikan gambaran

sosok Mus}t}afa> S{abri> dengan berbagai alam pikirannya dan

Page 39: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

22

gagasannya mengenai ijtihad Nabi Muhammad Saw. Dalam

bab ini akan menunjukkan hadis-hadis yang bernuansa

ijtihad serta berbagai respon yang dilakukan sahabat

terhadap penerimaan ijtihad tersebut. Di sisi lain, dalam

bab ini juga akan mengetengahkan posisi wahyu dalam

hadis Nabi sebagai konsekuensi terhadap ada dan tidaknya

ijtihad.

Bab V adalah bab inti kedua yang membahas tentang implikasi

keberadaan ijtihad Nabi Muhammad terhadap otoritas hadis

sebagai sumber ajaran Islam. Dalam bab ini terbagi menjadi

tiga bagian; pertama, interrelasi perbuatan Nabi dan hadis

sebagai sumber hukum. Kedua, universalitas hadis dan

ijtihad yang lokal-temporal. Dan ketiga, gagasan terhadap

adanya respon sahabat dalam penerimaan ijtihad Nabi

sebagai metode kritik matan hadis.

Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran

yang peneliti ajukan dalam upaya pengembangan penelitian

dan keilmuan.

Page 40: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

23

BAB II

KENABIAN: ANTARA

RAHMAT ALLAH SWT DAN KECERDASAN AKAL MANUSIA

Membahas ijtihad nabi memerlukan fondasi awal tentang

makna kenabian itu sendiri. Karena hal paling mendasar dalam kajian

Islam terutama ilmu kalam mencakup tiga hal yakni ila>hiyyat,

sam‘iyyat dan nubuwwat.1 Yang terakhir itulah yang menjadi pokok

pembahasan terhadap kedudukan ijtihad pada diri seorang nabi. Secara

etimologi nabi berasal dari kata atau yang secara umum

terambil dari kata yang berarti (berita atau kabar).2 Maka

adalah yakni yang diberikan kabar tentang Allah Swt.

Ada pula yang memaknainya dengan kata yakni

menaikkan dan memunculkan. Artinya, bahwa nabi adalah orang yang

dinaikkan derajatnya dibandingkan manusia yang lain.3

Adapun dari segi terminologi nabi diartikan sebagai manusia

yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada makhlukNya untuk

menyampaikan apa yang diwahyukan padanya bagi mereka. Sebagai

kemudahan Allah kepada hambanya, maka seorang nabi diutus dari

jenis manusia itu sendiri agar mudah ditiru dan diikuti segala perintah

dalan larangannya.4 Jika diperintahkan untuk menyampaikan wahyu

1Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.” Islamic Studies 48, No. 1 (2009) : 10. Menurut Mus}t}af>a S{abri>

tema kenabian dalam ilmu kalam biasanya diikuti dengan wujud eksistensi tuhan dan

berujung pada adanya hari kebangkitan. Karena itu Nabi adalah sosok kunci ajaran

sebuah agama. Lihat Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Da>r al-Ih {ya’ al-Turath, 1981) Juz 3, 160.

2H{aki>m‘Abd Na>s}ir. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah.”

Ada>b al-Ku>fa 1, (2011) : 215. 3Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z

‘Inda al-Muslimi>n.” Journal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 112; Baik Nabi

maupun rasul adalah perwujudan dari otoritas agama terhadap diri manusia. Karena,

mereka adalah yang membawa wahyu Tuhan kepada manusia untuk mengajarkan

nama dan peranan Tuhan. Lihat, Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood

in The Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashid Rid{a.” Islamic Studies 24, no. 2

(1985) : 139. 4QS. Al-Furqa>n [25] : 7-8.

Page 41: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

24

tersebut maka ia disebut rasul, namun jika tidak ada perintah untuk

menyampaikan maka ia disebut nabi.5

Adapun kapan dimulainya Muhammad Saw sebagai Nabi, Ibn

Hisha>m (w. 213 H) menyebut dalam kitabnya bahwa kenabian

Muhammad Saw dimulai sejak pertama kali ia mengalami mimpi yang

benar atau Mimpi inilah yang menurut cerita ‘Aisyah

bahwa Nabi tidak pernah berimpi sebagaimana mimpi itu yang

sungguh terang seperti terangnya fajar pagi. Sehingga, Allah kemudian

menjadikan Muhammad Saw orang yang suka menyendiri.6

Sebagai bagian dari keimanan ajaran Islam, Nabi mempunyai

posisi sentral untuk menghubungkan manusia dengan segala perintah

Allah Swt. Nabi yang muncul di tengah masyarakat kadang tidak

sekedar diyakini sebagai bagian dari kepercayaan agama atau

keyakinan teologi namun juga dilihat dari sisi kecerdasan akalnya

sebagai manusia biasa. Untuk itu dalam bab ini akan mengetengahkan

empat bagian yang fokus membahas persoalan tersebut. Pertama,

kedudukan Nabi dalam Alquran dan sunah. Kedua, historiografi

pandangan ulama tentang kenabian. Ketiga, hadis menjadi bagian dari

mukjizat kenabian. Keempat, hadis Nabi sebelum menerima wahyu

Alquran.

A. Kedudukan Nabi dalam Alquran dan Sunah

Secara umum nabi adalah media yang menghubungkan Tuhan

kepada manusia. Oleh karena itu, memahami kenabian dalam

perpektif Alquran setidaknya memiliki dua alasan penting yakni

keyakinan terhadap adannya Allah sebagai Tuhan dan kedua

keyakinan sebagai ciptaan Tuhan.7 Sebagai makhluk ciptaanNya

sudah seharusnya memahami apa yang diinginkan Allah sebagai titah

sang Khalik kepada makhlukNya. Sedang manusia sebagai makhluk

terbatas tidak mungkin langsung berkomunikasi dengan Tuhan, tanpa

5H{aki>m ‘Abd Na>s}ir. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah,” 215.

6‘Abd al-Ma>lik ibn Hisham, al-Si>rah al-Nabawiyah (Beirut: Dar ibn Hazm,

2009) 216. 7J.W. Fiegenbaum, “Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” (Tesis

di McGill University, Montreal, 1973), 196.

Page 42: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

25

kehendak Tuhan itu sendiri. Sehingga, Nabi diyakini sebagai

kehendak Tuhan untuk memediasi persoalan ini.

1. Nabi dalam Alquran

Meskipun seringkali diperdebatkan tentang perbedaan antara

nabi dan rasul,8 namun harus difahami bahwa dalam Alquran

keduanya tidaklah memiliki banyak perbedaan. Bahkan, Alquran

menyebut pula dengan sebutan lain seperti sha>hid, mubasshir, nad{i>r,

da>‘i, dan sira>j muni>r 9. Sebutan itu tak lain adalah bentuk fungsi dari

kenabian itu sendiri. Al-Kha>zin menjelaskan dalam tafsirnya bahwa

makna sha>hid berarti bahwa nabi berkewajiban menyampaikan apa

yang diberikan Allah, ada pula yang mengartikan sebagai saksi

terhadap semua makhluk di akhirat kelak. Mubasshir yakni pemberi

kabar gembira terhadap orang-orang yang percaya akan adanya surga.

Nad}i>r berarti memberi peringkatan kepada mereka yang tidak percaya

akan adanya neraka. Da>‘i artinya sebagai penyeru terhadap

ketauhidan Allah dan mentaati segala perintahNya. Sedang sira>j

muni>r adalah sebagai penjelas terhadap segala kejahilan, kesyirikan10

dan kegelapan kepada cahaya petunjuk dan kebenaran Allah.11

Untuk tugas yang tidak sederhana itulah para nabi kemudian

diberikan wahyu berupa Injil, Taurat, Alquran dan sebagainya.

Sehingga, dalam hal ini posisi wahyu menjadi penting terhadap ada

dan tidaknya kenabian pada diri seseorang. Bahkan, Allah

8Fazlur Rahman memahami bahwa secara umum Nabi adalah mereka yang

diberikan wahyu oleh Allah sedang rasul adalah mereka yang diperintahkan

menyebarkan ajaran Tuhan kepada manusia. Atau, ada pula yang memahami bahwa

Nabi adalah mereka yang tidak membawa shariah sedang rasul adalah yang

membawa shariah. Lihat, Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an

(Minneapolis: Blibiotheca Islamica, 1994), 82; Lihat pula perbedaan ini pembahasan

panjang pada J.W. Fiegenbaum, Prophethood From The Perspective of The Qur’an

55-113. 9QS. Al-Ahzab [33]: 45-46, 55

54 10

Kesyirikan juga menjadi pokok tersendiri dalam perintah Nabi, lihat QS. Al-

Isra’ [17]: 23. 11

‘Ala>‘u al-Di>n ibn Muh{ammad al-Kha>zin, Luba>b al-Ta‘wi>l fi> Ma‘a>ni al-Tanji>l (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyah, 1515 H) Juz 3, 530.

Page 43: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

26

menegaskan bahwa nabi hanyalah seorang manusia dan yang

membedakan dengan yang lainnya adalah wahyu yang diberikan

kepadanya.12

Bagi Fiegenbaum, alasan ini membuktikan bahwa

kenabian bukanlah hal yang dihasilkan dari kerja intelektual intuitif

manusia sehingga bisa dilakukan siapapun. Bahkan, nabi dalam

Alquran bukanlah orang yang dengan kebijaksanaanya sendiri

menyandarkan setiap hal tentang wawasan keagamaan.13

Hal ini

menjadi logis karena jika kenabian adalah hasil kerja akal manusia

maka sangat mungkin ditemukan kesalahan dan perbedaan. Dengan

demikian, tidaklah mungkin terjadi perdebatan dan bantahan terhadap

kebenaran yang dibawanya.14

Konsekuensi terhadap kebenaran yang dibawa nabi adalah

dengan mengikuti segala apa yang diperintahkannya.15

Bahkan,

Alquran menyebutkan bahwa kebertuhanan tidaklah ada manfaatnya

tanpa adanya ittiba‘ kepada nabi.16

Tentunya, mengikuti nabi

bukanlah menyembah nabi, karena seorang nabi tidak mungkin

memerintahkan untuk menyembah dirinya melainkan menyembah

Tuhan.17

Adanya kenabian memungkinkan manusia mencontoh sosok

yang sempurna dalam kebertuhanan. Maka pantaslah jika nabi seperti

Muhammad Saw diberikan mandat sebagai tauladan atau contoh

dalam setiap sisi kehidupan.18

Tentu tidak hanya prosesi ibadah saja

yang dicontohkan dan diperintahkan kepada Nabi namun juga

12

QS. Al-Kahfi [18]: 110. 13

J.W. Fiegenbaum, “Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” 200. 14

QS. Al-Nisa>’ [5]: 145, “Kami (Allah) utus rasul-rasul itu sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan agar tak ada alasan membantah Allah sesudah diutus para rasul tersebut….”

15 QS. Al-Nisa’ [5]: 80, “Barang siapa mentaati rasul berarti ia telah mentaati

Allah…” 16

QS. A<li Imra>n [3]: 31, “Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa kalian…”

17 QS. A<li Imra>n [3]: 79, “Tidak mungkin seorang yang Kami (Allah) beri

hikmah dan kenabian akan mengatakan kepada manusia, ‘hendaklah kalian menyembahku dan bukan menyembah Allah….”

18 QS. Al-Qalam [68]: 4; Al-Taubah [9]: 128; dan Ali Imran [3]: 159.

Page 44: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

27

berbagai hal tentang akhlak, etika terhadap siapapun seperti orang

tua,19

saudara dan bahkan dalam hal bersuku bangsa.20

Malak Muh}ammad Tha>bit21

mencatat bahwa dalam Alquran

Allah memberikan ciri yang melekat pada diri seorang selain dalam

posisi menerima wahyu. Pertama adalah berjenis kelamin laki-laki

atau . Hal ini tercermin dari kata yang ada pada Alquran

yakni pada surat Yu>suf [12] ayat 10922

dan al-An’a>m [4] ayat 9.23

Kedua adalah terlepas dari kekurangan atau , baik dalam

bentuk kekurangan fisik maupun mental termasuk terhindar dari

kemaksiatan. Hal ini tercermin dalam Alquran Surat Ta>ha> [20] ayat

25-28 dan 3624

dan surat al-Anbiya>’ [21] ayat 83-84.

Ketiga adalah kebenaran atau . Maka, apapun yang

disampaikan oleh nabi dari Allah Swt. pasti benar adanya baik dalam

bentuk perkataan ataupun tindakan. Hal ini didasari pada surat al-

Najm [53] 3-4.25

Keempat adalah menyampaikan atau . Bahwa

nabi memiliki kewajiban menyampaikan risalah yang diberikan Tuhan

kepadanya tanpa mengurangi ataupun menambahinya.26

Hal ini

19

QS. Al-Isra>’ [17]: 22. 20

QS. Al-H{ujura>t [49]: 13. 21

Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami >d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-

I‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” 118-121 22“Kami (Allah) tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki

yang Kami beri wahyu kepadanya..” 23“Dan andaikata Kami (Allah) jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami

jadikan ia seorang laki-laki…” 24

Ayat ini memperlihatkan bagaimana doa Musa kepada Allah, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkan untukku urusanku, lepaskanlah kekakuan di lidahku supaya mereka mengerti perkataanku.” Hingga Allah pun

mengabulkannya dengan berfiman, “Sungguh telah diperkenankan permintaanmu hai Musa.”

25“Dan tidaklah yang ia (Muhammad) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu melainkan hanya wahyu yang diberikan padanya.”

26 Kewajiban ini tidak bisa disangkal karena memang pemyampiakan risalah

inilah tujuan utama seorang manusia disebut sebagai Nabi. lihat ‘Ali> al-S{abu>ni>, al-Nubuwwah wa al-Anbiya>’ (Beirut: Ali>m al-Kutu>b, 1405 H), 42.

Page 45: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

28

tercermin dalam Alquran pada surat al-Baqarah [2] ayat 159.27

Kelima

adalah maksum atau , yakni terhindar dari kesalahan dan dosa.

Hal ini didasari pada ayat Alquran surat Yu>suf [12] ayat 32 dan surat

Hu>d [11] ayat 43. Terakhir keenam adalah cerdas atau .

Bagaimanapun seorang nabi tidak mungkin memiliki sifat kebodohan

karena mereka adalah orang-orang yang akan menyelesaikan

persoalan dalam msyarakat. Untuk itu kecerdasan dalam menghadapi

masalah dan menampilkan h{ujjah atau pendapat adalah sebuah

kewajiban adanya. Sehingga, hal ini pasti didasari dengan

kecerdasan.28

2. Nabi dalam Hadis

Sebagaimana difahami bahwa kenabian adalah miniatur

perintah Allah dan Muhammad adalah miniatur Islam. Dalam maksud

yang lebih panjang, mengimani kenabian adalah wujud awal mengenai

sosok Tuhan Allah dengan segala kekuasanNya. Sedang memahami

Muhammad dalam setiap gerak-geriknya adalah memahami ajaran

Islam dalam kehidupan. Karenanya, memahami Islam tidak hanya

sekedar dari Alquran semata karena memang nabi tidak sekedar

mengajarkan apa yang ada dalam Alquran, namun juga tampil sebagai

model Alquran.29

Model ini tentunya dengan berbagai aplikatif

kehidupan keagamaan tidak sekedar cara ibadah, namun juga pakaian,

tingkah laku, tutur kata dan sebagainya.

Kaharusan taat kepada Nabi tidak hanya dijelaskan dalam

Alquran melainkan juga ditegaskan oleh Nabi sendiri:

27“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang Kami (Allah)

turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk..”

28QS. Al-An’am [4]: 83.

29Abu> Abd al-Rah{ma>n al-Nasa>’i>, Suna>n al-Kubra> (Beirut: Muassasah al-

Risalah, 2001) juz 10, 193. Hadis ini meriwayatkan ketika ‘Aisyah ditanya mengenai

akhlak Nabi, yang kemudian ia jawab, dengan kalimat, .

Page 46: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

29

30

Nabi dalan hadis disebutkan berjumlah 313 dan rasul 124.000.31

Karena itu tidak ada manusia yang tidak lepas dari hidayah Allah. Di

sisi lain Alquran sendiri menegaskan setiap kaum pasti ada yang

dipilih menjadi utusan Allah.32

Namun Muhammad Saw dalam

hadisnya menyebutkan bahwa dirinyalah nabi yang terakhir dengan

analogi sebuah bangunan.33

Artinya, tidak patut mengakui adanya

nabi setelah Muhammad Saw.

Fungsi nabi dalam hadispun relatif sama dengan apa yang

tergambar Alquran. Bedanya, terletak ada sisi aplikatif sosok nabi

dalam kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari perilaku dan sejarah Nabi

sendiri di masyarakat. Di antara aplikatif yang paling mencolok

adanya adanya pembedaan terhadap kelebihan yang ada pada diri

Muhammad Saw yakni berupa mukjizat. Di antara mukjizat itu adalah

seperti mengelurkan air dari jari,34

membagikan makanan sedikit

kepada banyak orang dan sebagainya35

dan sebagainya. Inilah yang

memungkinkan untuk kemudian setiap orang sadar bahwa memang

Nabi Muhammad Saw bukanlah sosok menusia biasa.

30

Muh{ammad ibn Isma >‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{ (Kairo:

Da>r al-Tauq al-Najah, 1422 H) juz 9, 92. 31

Ah{mad ibn H{usain ibn ‘Ali > al-Baihaqi>, al-Suna>n al-Kubra> (Beirut: Da>r al-

Kutu>b al-‘Ilmi, 2003) juz 9, 7. 32

QS. Al-Nah{l [16]: 36; Fathir [35]: 24 dan al-Ra’d [13]: 7. 33

Muh}ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 4, 186;

Muslim ibn H{ajjaj al-Nisa>bu>ri, Sah{i>h{ Muslim (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Tutath, Tth)

juz 9, 1790. 34

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{,juz 5, 122 35

Muslim ibn al-H{ajja>j al-Nisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’,

tth) Juz 3, 1624.

Page 47: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

30

B. Pandangan Ulama tentang Kenabian

Sebagai manusia yang berfikir, selalu ada pertanyaan-

pertanyaan yang sulit untuk dijawab lewat akal semata.36

Pertanyaan

seperti kehidupan sebelum manusia lahir, kehidupan sesudah mati dan

sebagainya memerlukan jawaban yang kadang tidak bisa dijawab

lewat rasional manusia dan hanya bisa dijawab melalui ajaran agama.

Sehingga, kedudukan wahyu menjadi penting adanya dan kenabian

adalah konsekuensinya. Karena itu, secara general Muh}ammad

‘Abduh (1849-1905) mengartikan nubuwwat atau kenabian sebagai

sesuatu yang memungkinkan manusia mengenal Allah dan memahami

perintahNya. Hal ini ditujukan agar manusia menggapai kebahagiaan

dalam hidupnya baik di dunia maupun akhirat.37

Bagi ‘Abduh nabi adalah manusia yang menempatkan diri

untuk menjelaskan tentang kebenaran baik teoritis maupun praktis. Ia

tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran dan tidak melakukan

sesuatu kecuali kebenaran. Hal ini terjadi secara alami bukan dari

hasil olah pikiran ataupun pembelajaran, murni lebih kepada perintah

Tuhan atau al-ta‘li>m al-Ila>hi.38

Abu> Bakar al-Baqilani>39

(w. 403 H) mencatat bahwa akal tidak

bisa menggapai kebenaran sesuatu atau mengetahui sebuah akhibat

dari sesuatu, karena itu untuk mengetahui tentang sebuah hukum tata

kehidupan tidak ada jalan lain selain wahyu.40

Adapun al-Ash’a>ry41

36

Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of

Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 152-143. Pertanyaan mendasar tentang

akidah inilah yang kemudian memunculkan pembahasan tentang kenabian pada

mayoritas ulama kalam baik tentang nubuwwah, risalah atau semacamnya yang

bersangkutan terhadap kenabian. Lihat, Faruk Terzic, “The Problematic of

Prophethood and Miracles…” 11 37

Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d (Kairo: Da>r al-Nasr, 1969) 81-82. 38

Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles...” 11;

Muhammad ‘Abduh, Ta’liqat Shaikh Muh}ammad ‘Abduh ‘ala> Sharh{i al-Dawwani li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyah (Cairo: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1292 H) 152.

39Dia adalah Abu> bakr al-T{ib ibn Muh{ammad ibn Ja’far. Lahir di Basrah

tahun 38 H. Seorang hakim dari para ulama kalam. Ia meninggal pada tahun 103 H. 40

Al-Baqila>ni>, Kita>b al-Tamhi>d, (Beirut: maktabah al-Syariqah, 1957) 324. 41

Dia adalah Abu> H{asan ‘Ali> ibn Isma>’il ibn abi> Basyar ibn Mu>sa > al-Ash’ary.

Lahir di Bashrah tahun 60 H dan wafat pada 124 H di Baghdad. Dia sempat belajar

mazhab Muktazilah sebelum memberikan gagasan kalam tersendiri.

Page 48: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

31

(w. 324 H) menilai bahwa akal hanya bisa menilai sesuatu yang

tampak oleh indra, namun untuk mengetahui tentang agama dan

Tuhan tidak ada jalan lain kecuali wahyu. Karena itu, akal tidak bisa

mengetahui baik dan buruk suatu yang menjadi kewajiban kepada

Tuhan dan untuk mencapainya hanya dengan lewat wahyu yang

dibawa oleh para nabi.42

Namun demikian, Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954) menilai bahwa

yang dimaksud dengan nabi adalah sosok manusia yang memiliki

hubungan khusus kepada Tuhan. Hubungan ini digunakan untuk

menjawab segala rasionalitas manusia terhadap kebesaran Tuhan dan

segala ciptaanNya. Nabi menerima wahyu dariNya, di mana wahyu

itu lebih besar dari segala penemuan akal manusia. Kedudukan

manusia seperti ini bukanlah hasil dari pencapaian usaha manusia,

melainkan keutamaan dari Allah yang diberikan kepada hambanya

yang Ia pilih.43

Dalam hal ini S{abri> mengkritik keyakinan orang barat yang

banyak menyakini keberadaan Tuhan namun tidak terhadap

keberadaan Nabi. Terlebih bagi kaum Nasrani, Isa bukan sekedar nabi

namun Tuhan.44

Artinya, kenabian dalam Islam bertujuan

menunjukkan jalan manusia kepada Tuhan sedang dalam Nasrani,

kenabian dinilai sebagai perwujudan Tuhan kepada manusia.45

Rasionalitas adanya kenabian yang selama ini diperdebatkan

lewat ilmu kalam dinilai S{abri> kurang tepat. Hal ini karena masalah

kenabian –bagi S{abri>– dimasukkan dalam kategori sam‘iyya>t dan

bukan tersendiri dalam kategori nubuwwa>t.46 Sam‘iyyat berarti segala

42

Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami >d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-

I‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” 115. 43

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Juz 4, 152.

44Lihat Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-

‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 1, 114-115 juga pada Rashid Rid}a>, al-Wah}yu al-Muh}ammadi. 99.

45Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.” 15. 46

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 1, 24-25.

Page 49: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

32

informasi Tuhan yang hanya bisa diambil dari wahyunya dan tidak

perlu dibuktikan kebenaran dan keberadaannya. Artinya, kenabian

adalah suatu yang tidak bisa dijelaskan secara nalar melainkan dari

Alquran dan hadis itu sendiri.47

Meskipun Nabi tidak terlepas dari konteks budaya masyarakat

pada masanya, setidaknya S{abri> (w. 1954) memberikan enam alasan

kenapa kemudian kenabian adalah Rahmat Allan dan bukan hasil

kecerdasan akalnya sendiri. Pertama, jika kenabian adalah hasil

kecerdasan akal, maka Nabi Muhammad pasti bukanlah yang terakhir

karena kecerdasan sangat bergantung pada kondisi suatu peradaban.

Kedua, jika Nabi Muhammad menganggap bahwa kenabiannya adalah

hasil dari kecerdasannya, maka ia tidak mungkin mengatakan bahwa

Alquran adalah wahyu melainkan hasil dari kecerdasannya sendiri.

Ketiga, kecerdasan Nabi Saw tidak menghendaki menyembah

kepadanya melainkan kepada Allah Swt. Keempat, tidak ada satupun

orang yang bisa mengupayakan untuk menjadi seorang nabi dengan

kecerdasannya melainkan pembenaran yang langsung datang dari

wahyu ataupun mukjizat. Kelima, Nabi tidak pernah melakukan

kesalahan terhadap apa yang diwahyukan kepada mereka karena

langsung didikte oleh Allah Swt. Dan keenam, hanya para nabi yang

bisa menentukan dan menggambarkan tentang ketuhanan dan cara

peribadatan.48

Karenanya, kecerdasan intelektual saja tidak cukup

tanpa adanya wahyu sebagai bagian tak terpisahkan dari kenabian.

Selain wahyu yang dibawa para nabi dari Allah, ada dua hal

yang menjadi perhatian dalam tema kenabian yakni mukjizat dan

kemaksuman. Mukjizat dianggap sebagai kelebihan yang

membedakan manusia biasa dengan nabi sebagai manusia pilihan

Tuhan yang penuh kekuasaan. Sedangkan, kemaksuman adalah wujud

kebenaran nabi yang tidak akan dan tidak mungkin melakukan

kesalahan dalam menyampaikan pesan Tuhan.

47

Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa

Sabri’s Response.” 15. 48

Lihat lebih lengkap pembahasan ini pada, Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa

al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Juz 4, 152-155.

Page 50: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

33

1. Mukjizat

Mukjizat berasal dari kata () secara etimologi

diartikan yakni ketidakmampuan. berarti kelemahan

dalam melakukan sesuatu atau kebalikan dari mampu dalam berbuat.

Karnanya, mukjizat kemudian diartikan sebagai bukti kebenaran nabi

Muhammad Saw. terhadap risalahnya dengan cara menjadikan

ketidakmampuan orang Arab pada masa itu.49

Namun, yang menjadi

catatan adalah bahwa mukjizat bukan kemampuan nabi, melainkan

sekedar bukti. Karena itu, Muh{ammad ‘Abduh (w. 1905) menilai

bahwa yang dimaksud mukjizat adalah sesuatu yang rasional dan

tidak memunculkan kontradiktif dari hukum Allah. Sedangkan,

mukjizat adalah tindakan Allah yang muncul pada diri Nabi.50

Dengan

kata lain, mukjizat adalah penampakan kekuasaan Allah pada diri

mereka yang Dia kehendaki.51

Setidaknya ada dua alasan mengapa mukjizat dianggap sebagai

tindakan Allah dan bukan tindakan Nabi. Pertama adalah karena nabi

tidak bisa melakukan pengulangan terhadap mukjizat yang pernah

dilakukannya.52

Kedua segala tindakan keluarbiasaan itu tidak

dipelajari oleh nabi dari siapapun bahkan dari Allah sekalipun,

sehingga pengetahuan tentang keluarbiasaan () adalah

pengetahuan di luar diri Nabi. Bahkan pada faktanya mukjizat itu

sering dimunculkan hanya pada saat-saat kritis semata seperti nabi

49

Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-

I‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n,” 120. 50

Muh{ammad Rashid Rid}a> (1865-1935), Tafsi>r Alqura>n al-H{aki>m aw Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947) juz 1, 314-315.

51Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d, 79.

52Hal inilah yang membedakannya dengan sihir, ataupun bahkan kelebihan

lain dalam diri para ulama yang dalam hal ini baik ‘Abduh maupun Rashid Rid}a>

membedakan antara mukjizat bagi Nabi dan karamah bagi seorang ulama. Lihat,

Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad

‘Abduh and Rasyid Rida.” 150.

Page 51: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

34

Musa as. membelah lautan,53

nabi Muhammad Saw. membelah

bulan,54

ataupun nabi Isa yang bisa bicara selagi bayi.55

Mus}t}afa> S{abri> juga menilai bahwa keberadaan mukjizat

penting bagi seorang Nabi adalah karena memang pengalaman

melakukan sebuah kemukjizatan juga merupakan sebuah bukti

eksistensi manusia sebagai seorang Nabi.56

Keberadaan mukjizat menjadi penting sebagai syarat

penerimaan pesan yang disampaikan para nabi. Karena itu seorang

nabi pasti memiliki mukjizat sebagai sesuatu yang di luar kemampuan

manusia sebagai bentuk kekuasaan Tuhan. ‘Abduh menilai bahwa

keluarbiasaan para nabi, kebenaran setiap ucapannnya, atau bahkan

tindakan mereka kepada manusia menihilkan kemungkinan manusia

untuk ragu dan menganggap mereka melakukan kesalahan.57

Mukjizat tertinggi nabi Muhammad adalah Alquran. Hampir

dipastikan tidak ada orang Islam yang tidak menyepakatinya. Di sisi

lain memang Alquran sendiri yang menyatakan bahwa ia adalah

kalam Allah yang tidak tertandingi oleh jin dan manusia sekalipun.58

2. Sifat Maksum

Maksum berasal dari kata yang berarti penjagaan atau

perlindungan. Nabi diyakini sebagai orang yang maksum berarti

bahwa nabi adalah orang yang terlindungi dari kesalahan dan dosa.

Dalam arti lebih panjang maksum memiliki dua sisi yakni intelektual

dan moral. Intelektual maksum berarti ia tidak mungkin melakukan

kesalahan terhadap apa yang ia sampaikan. Sedang moral yang

maksum berarti ia nabi tidak pernah melakukan sesuatu yang amoral

atau dosa.59

53

QS. Al-Syuara> [26]: 63. 54

QS. Al-Qamar [54]: 1. 55

QS. Al-Maryam [19]: 31-33. 56

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 25-26

57Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d, 86.

58QS. Al-Baqarah [2]: 23.

59Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of

Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 146.

Page 52: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

35

Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Alquran telah

menyebutkan bahwa para nabi pun tidak lepas dari kesalahan dan

dosa. Hal ini dilihat dari ungkapan para nabi itu sendiri seperti nabi

Adam as. dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 35-36, nabi Musa as. pada

surat al-Qas}a>s} [25] ayat 15 juga nabi Sulaiman as. pada surat S{a>d [38]

ayat 30-34. Bahkan nabi Muhammad pun tidak lepas dari tindakan-

tindakan ini seperti pada surat al-Fath{ [48] ayat 2 dan surat

Muh{ammad [47] ayat 19.60

Yusuf H.R. Seferta mencatat bahwa gagasan maksum

sebenarnya tidak disebutkan baik dalam Alquran maupun hadis.61

Namun perintah terhadap ketaatan kepada nabi sebagai contoh dan

tauladan dalam Alquran seperti pada surat al-An’am [4] ayat 91, surat

al-Anbiya>’ [21] ayat 73 dan paling jelas pada al-Ah}za>b [33] ayat 21

semua itu memberikan konsekuensi terhadap keberadaan gagasan

maksum itu sendiri.

Dalam al-Wah{yu al-Muh{ammadi> Rashid Rid{a> mencatat bahwa

nabi dibebaskan dari kesalahan yang disengaja yang menyalahi hukum

Tuhan. Hal ini karena nabi adalah yang membawa hukum Tuhan itu

sendiri.62

Karena itu, Rid{a> menganalogikan bahwa nabi adalah

perumpamaan yang jelas dalam bentuk manusia kepada manusia agar

mudah dicontoh dan diikuti. Terlebih ketaatan kepada nabi adalah

sebuah keharusan yang disampaikan Tuhan.63

Namun demikian, Seferta menyebutkan bahwa Rid{a>

memberikan penjelasan lanjutan dalam tafsirnya bahwa meskipun

kemaksuman nabi itu sesuai dengan apa yang ada pala nalar dan teks

60

Akan tetapi Alquran sendiri telah menyebutkan bahwa Nabi adalah para

pemimpin dalam memberikan pengajaran terhadap wahyu dan kebaikan dalam

tindalakan. Sehingga kesalahan itu tidak mengganggu ataupun mengecilkan nilai

kenabian itu sendiri. Lihat, Surat al-Anbiya [21] : 72 61

Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of

Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 157. 62

Maksud dibebaskan disini bukan berarti tidak melakukan kesalahan, namun

segala kesalahan yang dilakukan oleh Nabi dikoreksi dan diperbaiki oleh Allah.

Karenanya, Nabi kemudian bertaubat dan diampunilah taubatnya. Lihat, Muhammad

Rashid Rid}a>, Al-Wah{yu al-Muh{ammadi> (Beirut: Muassasah ‘Izzuddin, Cet. Ke 3,

1406 H) 37. 63

Muhammad Rashid Rid}a>, Al-Wah{yu al-Muh{ammadi> , 32.

Page 53: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

36

agama, namun kemaksuman nabi berbeda dengan kemaksuman

malaikat. Artinya, selama nabi berbentuk manusia dan terikat pada

hukum dunia, seperti lapar, sakit, dan sebagainya maka nabi pun

masih mungkin untuk melakukan kesalahan yang tidak disengaja.

Namun, sebagai manusia yang menerima wahyu Allah, tidak mungkin

Nabi kemudian salah dalam menyampaikan wahyu itu sendiri baik

disengaja maupun tidak.64

Terlebih hal ini pernah pula disampaikan sendiri oleh Nabi

Muhammad dalam riwayat Ibn H{ibba>n (w. 354 H/965 M)

sebagaimana berikut,

65

“Bahwa sungguh aku (Muhammad) hanyalah manusia

biasa. Jika aku mengatakan sesuatu pada kalian tentang agama

kalian maka ambillah. Namun jika aku mengatakan sesuatu

tentang dunia kalian (tidak terkait dengan agama), maka

sungguh aku hanya manusia biasa.”

Dengan demikian, maka kemaksuman nabi hanya bisa

dikaitkan dengan kebenaran yang dibawanya terkait dengan masalah

agama dan bukan masalah keduniaan. Dengan kata lain, masalah

keduniaan yang diketahui oleh Nabi Muhammad tidaklah selamanya

sebaik apa yang diketahui oleh manusia lainnya. Hal ini tergambar

ketika dalam sebuah periwayatan hadis tentang pembenihan kurma

hingga nabi harus mengatakan, “Antum a’lamu bi umu >ri

dunya>kum.”66

Adapun mengenai kemaksuman Nabi Saw sebelum, meskipun

sudah penulis sampaikan pada bab sebelumnya mengenai kecerdasan

Nabi sebelum menerima wahyu, namun agaknya kemaksuman ini

64

Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of

Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 149. 65

Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah{mad ibn H{ibba>n al-Tami>mi>, Sah{ih{ ibn H{ibbba>n bi Tarti>bi ibn Balba>n (Beirut: Mausu>’ah Risalah, 1993) Juz 1, 202.

66Muslim ibn al-H{ajja>j al-Nisa>bu>ri, al-Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ih{ya>‘

al-Tura>th, tth) juz 4, 1836.

Page 54: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

37

belum terlihat sepenuhnya sebagaimana keinginan Nabi dalam

berbuat kenakalan waktu mudanya.67

Sejalan dengan hal ini, Qad{i>

‘Iya>d{ (w. 544 H ) menyatakan bahwa kemaksuman Nabi Saw sebelum

menerima risalah cukuplah ditangguhkan. Hal ini karena larangan

atau hukum Allah belum pula datang kepada Nabi Saw. Sehingga,

andaikata pun itu pernah terjadi, maka Allah pasti mengampuninya

karena ketiadaan perintah maupun larangan sebelumnya.68

C. Hadis Menjadi Bagian dari Mukjizat Kenabian

Mukjizat adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari posisi

kenabian. Bukan hanya karena memang para nabi memiliki kelebihan

disbanding manusia pada umumnya yang kemudian itu disebuat

sebagai mukjizat, namun karena memang manusia –umat para Nabi–

dalam sejarah selalu menuntut kelebihan atau mukjizat itu sebagai

bentuk bukti kenabian. Nabi Muhammad sebagai fokus kajian

penelitian ini tentu memiliki banyak mukjizat dan yang utama adalah

Alquran. Tentunya, karena Alquranlah yang menjadi pedoman umat

manusia pada akhir zaman ini. Namun, yang menjadi pertanyaan

adalah bagaimana dengan hadis?

Yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah mengkaji tentang

hadis-hadis yang berkenaan dengan mukjizat Nabi, namun lebih

kepada apakah hadis itu sendiri bisa dikatakan sebagai kelebihan atau

mukjizat Nabi Muhammad? Mengingat bahwa sisi kemukjizatan

hadis (ungkapan dan tindakan Nabi) tentu memiliki implikasi yang

berbeda dengan Alquran.

Jika hadis terdiri dari sanad dan matan, maka kajian ini hanya

berfokus pada kajian matan. Karena memang yang dibahas adalah

apakah isi dari sebuah hadis itu bisa menjadi bagian dari mukjizat

nabi ataukah tidak? Di sisi lain dalam kaidah ushul hadis mengatakan

bahwa tidak semua hadis yang sahih sanadnya sahih pula matannya,

karena jika ditemukan sebuah hadis yang sahih sanandnya namun

67

Lihat pada materi kecerdasan Nabi sebelum menerima risalah pada akhir bab

ini. 68

Lihat pada catatan Z{a>fir ‘Abd al-Na>fi’ ‘Abd al-H{akim, “H {ayat al-Rasu>l al-

Ta’abudiyah qabla al-Bi’thah” Jurnal al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 17, no. 1 (2010) : 34

Page 55: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

38

tidak dengan matannya berarti ia tidak qat‘i >, dan sesungguhnya

Alquran harus lebih didahulukan dari pada hadis.69

Perlu disadari bahwa Muhammad selain sebagai seorang Nabi

atau utusan Allah tentu ia juga adalah seorang manusia biasa.

Manusia yang juga berjalan, bisa marah, menangis, sakit dan

sebagainya. Jika dilihat dalam persepektif hadis sebagai ungkapan dan

tindakan Nabi, tentu pula hadis memiliki dua area tersebut yakni

hadis dalam posisi Muhammad Saw sebagai Nabi dan hadis dalam

posisi Muhammad sebagai manusia. Hal ini tergambar jelas

sebagaimana hadis riwayat Ibn H{ibba>n di atas.70

Misalnya hadis tentang penjelasan Nabi terkait iman, islam dan

ihsan. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa ketika Nabi

mengajarkan agama Islam kepada para Sahabat kemudian Jibril hadir

dan ikut serta mengajarkan apa itu iman, islam dan ihsan.71

Nabi

kemudian menjelaskan dengan gamblang tentang apa yang ditanyakan

oleh Jibril. Penjelasan itupun kemudian menjadi dasar agama Islam

hingga hari ini. Terkait dengan posisi informasi Nabi tersebut, tentu

Muhammad muncul sebagai sosok seorang Nabi dan bukan manusia

biasa. Hadis-hadis semisal atau dalam cakupan ibadah dan akidah

secara umum memang tidak mungkin muncul dari sosok kemanusiaan

Nabi Muhammad melainkan muncul sebagai bagian dari risalah Allah

Swt yang ia bawa. Karenanya dalam hal ini tak banyak yang

mempersoalkannya sebagai bagian dari sunnah tasyri>‘iyyah. Yang

dalam hal ini penulis bisa memasukkanya dalam kategori sunnah yang

menjadi bagian dari mukjizat kenabian Muhammad Saw. Kenapa

demikian? Setidaknya ada alasan tersendiri yang mendasari terkait

dengan definisi mukjizat itu sendiri sebagaimana penjelasan berikut.

69

Abdul Jali>l I<sa> abu> al-Nasr, Ijtiha>d al-Rasu>l Saw (Kairo: Da>r al-Ih {ya>‘ al-

Kutub al-‘Arabi, 1950), 162. 70

Dalam hal ini al-Qarafi memperkenalkan dengan adanya istilah sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghairu tasyri’iyyah. Lihat, al-Qara>fi>, al-Furu>q (Beirut:

‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, 206-209. 71

Muslim ibn Hajja>j al-Nisa>bu>ri>, Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ih{ya>‘, tt),

juz 1, 36.

Page 56: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

39

Ibadah sebagai metode interaksi antara manusia dan Allah

tentu adalah hak prerogatif Allah. Sehingga, tidak sembarang manusia

bisa mengarang bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Untuk itulah

penjelasan Nabi dalam hal ini muncul sebagai kelebihan yang dibawa

sebagai tanda kenabian dan inilah yang dimaksud pula sebagai

mukjizat. Kemudian tentang akidah tidak ada satu manusiapun yang

mengetahui tentang hal yang ghaib kecuali manusia itu mendapatkan

pengetahuan dari Sang pemilik keghaiban itu yakni Allah Swt.72

Tentunya hal ini juga yang menjadi kelebihan dari tanda kenabian

Muhammad Saw. Dengan demikian materi agama yang terdapat

dalam hadis Nabi terutama adalah masalah ibadah dan akidah tidaklah

menjadi perhatian dan perdebatan karena memang itulah risalah yang

dibawa oleh Nabi.

Pernyataan yang perlu didiskusikan berikutnya adalah

bagaimana hadis baik ungkapam maupun tindakan Nabi yang terkait

dengan keduniaan? Apakah itu bisa menjadi bagian dari mukjizat

kenabian ataukah hal itu sama seperti yang dimiliki atau dilakukan

oleh manusia kebanyakan?

Untuk melakukan pembahasan ini setidaknya bisa dilihat dari 4

aspek materi hadis di luar materi yang terkait dengan agama: pertama,

mukjizat Nabi terkait dengan fenomena alam atau sains; kedua,

nasehat Nabi kepada para Sahabat; ketiga, tindakan kemanusiaan

seperti makan, dan pakaian; keempat, hadis tentang kekeliruan Nabi.

1. Mukjizat Nabi tentang Fenomena Alam atau Sains

Berbagai fenomena alam yang terjadi ataupun dijelaskan dalam

hadis banyak yang kemduain menjadi kajian tersendiri oleh para

sarjana muslim. Zaghlul al-Najjar (l. 1933) misalnya memberikan

dasar tentang pentingnya mengkaji tentang fenomena alam dan sains

yang terkandung dalam hadis. Dasar itu setidaknya ada dua hal;

pertama untuk meng-caunter siapapun yang meragukan al-sunnah

atau hadis Nabi. Meskipun terdapat hadis dhaif atau lemah bahkan

maudhu’ atau palsu tidak kemudian membuat siapapun enggan untuk

72

Lihat Surat Hud [11] ayat 31 dan Surat al-An‘am [6] ayat 50.

Page 57: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

40

meyakini adanya otentitas dan kebenaran agama. Kedua,

memunculkan fakta ilmiah tentang materi hadis Nabi.73

Di antara sekian banyak mukjizat nabi Muhammad Saw yang

diingat para muslim di antaranya adalah terkait dengan fenomena

alam seperti kisah Nabi membelah bulan,74

kisah Nabi mengeluarkan

air dari sela jari-jarinya,75

ataupun penjelasan Nabi terkait fenomena

alam itu sendiri. Untuk dua contoh awal secara nalar sudah pasti

menjadi bagian dari mukjizat karena memang yang terjadi adalah

tindakan di luar batas kemampuan manusia biasa dan itulah disebut

sebagai mukjizat. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Musa

ketika menjadikan tongkat sebagai ular ataupun membelah lautan dan

juga mukjizat Nabi yang lain. Namun tentang bagaimana dengan

penjelasan nabi terkait fenomena alam dapat dilihat sebagaimana

contoh hadis berikut;

76

Hadis dari Anas ibn Malik ini menceritakan bahwa nabi

pernah bersabda, “Ketika Allah menciptakan langit dan bumi,

bumi berguncang. Maka Allah memancangkannya dengan

gunung. Malaikat pun tercangang dengan kehebatan gunung.

Meskipun secara sederhana hadis ini menjelaskan kedudukan

dan fungsi gunung sebagai penyangga agar bumi tidak mudah

bergoncang, namun dari sisi sains bagaimana Nabi bisa menjelaskan

73

Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar, Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis

(Jakarta: Mizan, 2010), 32. 74

Muhammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}ih} (Kairo: Da>r

al-Thauq, 1422 H) juz 6, 142 75

Muhammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}ih}, juz 4, 192.

Dalam hadis tersebut menjelaskan ada 300 orang yang berwudhu dari tangan Nabi. 76

Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmizi pada no. 3369. Menurutnya, hadis ini

adalah hadis gharib, dan dari jalur Anas inilah satu-satunya ia marfu’. Lihat Abu> Isa>

al-Tirmizi>, Jami’ al-Sahih (Beirut: Dar al-Ihya>’ al-Tura>th, tt) juz 5, 454. Abu> Bakar

al-Baihaqi, Su‘ab al-Ima>n (Beirut: Dar al-Kutu>b, 1410 H) juz 3, 244. Namun, Ahmad

ibn Hanbal mengatakan bahwa sanad hadis ini dhaif, lihat Ah{mad ibn H{anbal,

Musnad Ah{mad (Kairo: Mausu>’ah Qurtubah, tt) juz 3, 125.

Page 58: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

41

ini sedangkan masa itu tentu ilmu geologi belum ada? Inilah yang

kemudian menjadi mukjizat tersendiri di mana kemudian hadis

menjadi inspirasi sains sebagaimana pula Alquran. Meskipun,

sebagaimana Alquran, hadis adalah ucapan Nabi dan bukan sumber

sains.77

Sehingga, Zaghlul al-Najjar sebagai seorang ahli geologi dan

bukan ahli ilmu hadis mencoba menjelaskan bagaimana fenomena ini

terjadi dan kesesuaiannya dengan fakta sains yang ada. Bahwa

memang gunung adalah peredam rotasi gerak bumi yang jika tidak

dipancangkan gunung, maka getaran rotasi bisa membuat alam tidak

normal.78

Dengan demikian, hadis yang tentang mukjizat Nabi terkait

fenomena alam dan sains baik itu yang murni dilakukan oleh Nabi

sendiri ataupun yang dijelaskan dalam hadisnya termasuk dalam

mukjizat kenabian. Karena, selain memang tidak bisa dilakukan oleh

manusia biasa, hal ini juga menjadi petunjuk keagungan dan

kebenaran risalah Muhammad Saw.

2. Nasehat Nabi Kepada Para Sahabat

Pembahasan nasehat ini menjadi bagian tersendiri setidaknya

karena dua alasan. Pertama, masalah ini muncul adalah respon Nabi

terhadap problem yang dihadapi oleh Sahabat dan bukan karena

perintah Allah atau wahyu. Dan kedua, masalah yang dialami oleh

Sahabat bukanlah terkait dengan wahyu.

Sebagai seorang Nabi utusan Allah, tentu Muhammad adalah

tempat bertanya bagi para Sahabat. Pertanyaan kadang tidak serta

77

Hal ini pernah pula diungkapkan oleh Mus}t}afa> S{abri>. Lihat, Mehmet Kadri

Karable, “One of the Last Ottoman Seyhulislam Mustafa Sabri Efendi (1869-1954):

His Life, Works and Intellectual Contributions.” (Tesis di McGill University,

Montreal, 2003) 66. 78

Lihat, Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar, Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis, 69; Dalam bab ini juga menjelaskan bahwa otoritas penafsiran hadis tidak

serta merta miliki para ahli hadis, namun juga akan lebih menarik jika materi hadis

terkait dengan sain maka dijelaskan oleh mereka yang ahli dibidangnya. Lihat

komentar penulis dalam, Muhib Rosyidi, “Metodologi Kritik Matan hadis Berbasis

Sains; Telaah Atas pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar”, Moderatio Diskursus Islam dan Peradaban I, no 3 : (2012), 80-81.

Page 59: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

42

merta masalah agama tapi juga masalah kehidupan sehari-hari para

Sahabat itu sendiri. Sebagaimana beberapa hadis berikut:

79

Dari Abu> Hurairah ra berkata bahwa seorang laki-laki datang

kepada Nabi dan berkata, “Berilah aku nasehat.” Nabi menjawab,

“Jangan marah.” Lalu Nabi mengulanginya berkali-kali, “Jangan

marah.”80

Singkatnya Nabi dalam hadis di atas selain karena Nabi

memang memiliki ciri jawa>mi’ al-kala>m atau berbicara singkat dan

padat. Namun ada pula riwayat yang mengatakan bahwa seseorang

yang meminta nasehat itu sebelumnya berkata, “Ya Rasulullah, ajari

aku sebuah perkara yang bisa memudahkanku dalam hidup, tapi

jangan terlalu banyak karena nanti aku mudah lupa.” Karena itulah

kemudian Nabi hanya memberikan nasehat singkat untuk tidak

marah.81

Ada pula nasehat Nabi yang diberikan kepada ‘Abdurrahman

ibn Samurah (w. 50 H) yang ingin meminta jabatan:

82

79

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih} (Kairo: Da>r al-Tauq al-

Naja>h, 1422 H), juz 8, 28. 80

Imam Nawani memasukkan hadis ini sebagai salah satu 40 hadis yang ia

agungkan. Hal ini karena marah ternayat imbasnya sangat besar dan marah adalah

salah satu sumber kesalahan dan dosa. Lihat, Mustafa Muhyidin Mitsu, Al-Wafi Syarah Kitab Arbain al-Nawawi, Terj. Muhil Dhofir (Jakarta: al-I’itisham, 2010)

110-113. 81

Ibn ‘Abd al-Bar (w. 463 H), al-Istizka>r (Beirut: Da>r al-Kutub, 2000) juz 8,

286. 82

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 8, 127.

Page 60: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

43

Tentunya siapapun berhak untuk memberikan nasehat, namun

harus disadari bahwa orang tidak akan meminta nasehat kepada

mereka yang dianggap tidak memiliki nilai kebijaksanaan. Dua hadis

di atas menggambarkan bahwa memang kebijaksanaan menjadi tolok

ukur mengapa Nabi menjadi tempat Sahabat meminta nasehat.

Sedang mengenai keterkaitannya dengan mukjizat secara umum hadis

ini tidak memiliki sisi kelebihan tersendiri. Kecuali ada anggapan

bahwa Nabi memiliki kemampuan untuk memahami masalah yang

dimiliki oleh penanya. Sehingga, sebagaimana hadis pertama seolah

Nabi mengetahui bahwa masalah yang dimiliki Sahabat tersebut

adalah mudah marah. Hal ini sebenarnya tidak berdasar mengingat

ada pula nasehat Nabi yang dianggap tidak sesuai sebagai solusi bagi

para Sahabat sebagaimana yang dijelaskan nanti.

Dengan demikian, hadis yang berisikan materi nasehat kepada

Sahabat tidak lebih dari sekedar saran sepengetahuan Nabi yang tentu

sangat terkait dengan pengalaman dan praktek kehidupan Nabi

sendiri.

3. Tindakan Kemanusiaan Nabi Muhammad

Yang dimaksud dengan tindakan kemanusiaan adalah segala

tindakah yang memang biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya

dan tidak memiliki keterkaitan terhadap wahyu Tuhan. Seperti sikap

terhadap makanan maupun pakaian sebagaimana contoh berikut.

83

Dari Abu> Hurairah berkata, “Rasulullah tidak pernah mencela

makanan sekalipun. Jika ia suka maka ia makan, dan jika tidak maka ia

tinggalkan.”

83

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74.

Page 61: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

44

84

Dari Sali>m ibn ‘Abdillah, dari ayahnya ra. bahwa Nabi Saw

pernah berkata, “Barang siapa menjulurkan pakaiannya karena

sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat,” Lalu Abu>

Bakr berkata, “Ya Rasulullah, salah satu pakaianku akan melorot

kecuali aku ikat dengan benar.” Rasul kemudian berkata, “Engkau

bukanlah orang yang melakukan hal itu karena sombong.”

Dari hadis pertama didapati bagaimana kebiasaan Nabi terkait

dengan makanan. Bahwa, selain makanan antara yang halal dan haram,

tentu manusia memiliki selera yang berbeda dalam hal makanan. Dan

poin penting yang lain adalah tidak sepatutnya mencela makanan yang

tidak disukai. Hal ini adalah sebuah fitrah manusia yang sehari-hari

menjadi kebiasaan manusia pada umumnya. Sehingga, dalam hal ini,

tidak semua makanan yang pernah dimakan oleh Nabi menjadi sunnah

dalam arti memiliki pahala tersendiri disamping makanan yang tidak

pernah dimakan oleh Nabi seperti kurma dan durian tentu adalah hal

yang berbeda.

Adapun dalam hadis yang kedua menjelaskan tentang adab

berpakaian, kadang menjadi perdebatan pada sebagaian kaum muslim.

Hal ini terjadi karena pemahaman pada titik poin pelarangan, yakni

apakah pada penjuluran pakaian ataukah pada tindakan kesombongan?

Bagi mereka yang menganggap bahwa penjuluran menjadi titik poin

maka mereka tidak akan menjulurkan pakainnya. Sedang bagi mereka

yang menekankan pada kesombongan, maka jika penjuluran itu tidak

berlebihan dan tidak disertai dengan kesombongan maka hal itu

diperbolehkan sebagaimana yang dilakukan Abu> Bakar.

Namun demikian, tulisan ini tidak akan mencoba mendebatkan

keduanya melainkan mendiskusikan apakah tindakan kemanusiaan

seperti makanan dan pakaian menjadi bagian dari mukjizat Nabi.

Jawabannya tentu tidak. Hal ini karena dua hal yakni; pertama bahwa

makanan dan pakaian semua diperbolehkan kecuali yang memang jelas

84

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 141.

Page 62: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

45

adanya pelarangan baik dalam Alquran dan hadis. Kedua, makanan dan

pakaian sangat terikat dengan waktu dan tempat. Sehingga, tidak bisa

dikatakan gamis ataupun surban itu sunnah karena memang itu adalah

pakaian Arab yang baik orang Islam ataupun non muslim pada zaman

itu seperti Abu> Lahab dan Abu> Jahal juga memakai hal yang sama.

Demikian pula dengan makanan seperti roti, kurma dan sebagainya.

Dengan kata lain, sisi kemanusiaan Nabi adalah sama sebagaimana sisi

kemanusiaan pada umumnya.

4. Kekeliruan Nabi

Salah satu riwayat tentang kesalahan Nabi dalam memberikan

yang paling sering disinggung ulama adalah tentang penyerbukan

kurma secara manual sebagaimana hadis berikut.

85

Pengutipan hadis di atas bukan tanpa sebab. Hal ini, karena

hampir setiap ulama yang membahas tentang kekeliruan Nabi maka

hadis ini menjadi contoh umumnya. Seperti yang sudah dibahas di

atas bahwa kekeliruan Nabi dalam memberikan saran terkait masalah

keduniaan adalah hal yang wajar dan tidak mengurangi makna

kenabian sedikitpun. Hal ini justru memperlihatkan sisi kemanusiaan

Nabi yang memiliki kekurangan dan kelebihan pada sisi yang berbeda.

Sebagaimana yang disampaikan Qad{i> ‘Iyad{ (476-544 H) berikut:

Sepanjang berkaitan dengan urusan dunia, para nabi

tidak diisyaratkan adanya jaminan dari kesalahan (‘ismah).

Ketidaktahuan para nabi terhadap sebagian urusan atau

kesalahan persepsi mereka terhadap persoalan dunia dari yang

85

Muslim ibn Hajjaj al-Nisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-

Tura>th al-‘Arabi>, tt) juz 5, 1735.

Page 63: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

46

sebenarnya, itu tidak menodai citra mereka. Karena, perhatian

utama mereka terkait dengan akhirat dan hal-ihwalnya serta

persoalan syariat dan aturan-aturannya.86

Dengan demikian jelaslah bahwa adanya kesalahan dan

kekeliruan Nabi tidak mungkin muncul menjadi bagian dari mukjizat

Nabi. Namun, justru menunjukkan sisi fitrah kemanusiaan

Muhammad Saw. Namun, yang menjadi pembeda antara kesalahan

Nabi Saw dan manusia pada umumnya adalah bahwa manusia hampir

pasti mengulang kesalahannya sedang Nabi Saw tidak pernah

mengulang kesalahan tersebut.87

D. Hadis Nabi Muhammad sebelum Menerima Wahyu Alquran

Kembali kepada persoalan pertama tentang makna kenabian

baik sebagai rahmat Allah Swt ataupun kecerdasan akal manusia.

Dalam hal ini perlu juga membahas bagaimana Muhammad sebelum

mendapatkan risalah pertamanya di gua Hira. Untuk itu pembahasan

terkahir pada bab ini akan difokuskan kepada dua hal yakni sisi

kecerdasan teologis dalam bentuk rahmat Allah Swt pada Muhammad

Saw sebelum menerima risalahnya dan sisi kecerdasan akal yang

terlihat dari perkembangan psikologis dan intelektual Muhammad

Saw itu sendiri.

1. Kecerdasan Rahmat Muhammad Pra-Kenabian

Maksud dari kecerdasan rahmat disini adalah kelebihan dalam

bentuk given yang langsung diberikan Allah. Kecerdasan atau

kelebihan ini tidak melalui proses pembelajaran yang panjang. Selain

itu, kecerdasan ini muncul sebagai bagian dari tanda risalah kenabian

Muhammad Saw. Berikut ini adalah tiga contoh dari kecerdasan dalam

bentuk rahmat Allah Ta’ala sebagai tanda kenabian Muhammad

sebelum menerima risalahnya.

86

Al-Qad}i ‘Iyadh, al-Syifa> bi Ta’rif Huqu>q al-Mus}t}afa> (Beirut: Da>r al-Kutu>b

al-‘Ilmiyyah, tt), juz 2, 115-116. dalam Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 21.

87Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala>

al-Ah{ka>m (Jeddah: Da>r al-Mujtama’, tth) 24.

Page 64: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

47

Pertama, adalah kisah pembelahan dada Muhammad sewaktu

kecil. Muhammad H{usain Haekal mengisahkan bahwa pada masa itu

usia Muhammad sekitar 3 tahun. Ia dibawah pengasuhan Halimah

Sa’diyah. Saat di luar pengawasan, tiba-tiba teman seasuhan

Muhammad lari menghampiri Halimah dan berkata, “Saudaraku dari

Quraish itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Di

dibaringkan, perutnya dibedah, diambil dan dibolik-balikkan.”88

Kemudian Halimah beserta suaminya pergi menemui

Muhammad. Mereka menjumpai Muhammad sedang berdiri dengan

wajah pucat, kemudian kami tanyakan, “Kenapa kau, nak?”

Muhammad menjawab, “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki

berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka

mencari sesuatu di dalamnya, sedang aku tak tahu apa yang mereka

cari.”89

Kisah sederhana ini sebenarnya sejalan dengan apa yang

dimaksud dalam Alquran, “Bukankah sudah kami (Allah) lapangkan

dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban darimu? Yang telah

memberati punggungmu.”90 Namun demikian, kehadiran kisah ini

menegaskan bahwa memang Muhammad telah dipersiapkan jauh-jauh

hari oleh Allah untuk membawa risalah-Nya kepada manusia. Hal ini

pula yang yang menjadi cikal bakal perbedaan sikap yang diberikan

baik dari keluarga Halimah maupun keluarga Muhammad nantinya.

Kedua, kisah ramalan rahib yang mengungkapkan adanya tanda

kenabian yang dibawa Muhammad. Dalam usianya sekitar 12 tahun,

Muhammad diajak oleh pamannya Abu> T{a>lib untuk melakukan

perdagangan ke Syam. Saat perjalanan itulah Abu> T{a>lib bertemu

dengan Buh{aira dan bertanya kepada Abu> T{a>lib, “Apa hubunganmu

dengan anak ini?” Abu> T{a>lib menjawab, “Dia adalah anakku.”

88

Muhammad Husain Haekal, Terj. Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad

(Jakarta: Lentera Natra Nusa, 2000), 51. 89

Kisah lebih panjang dari riwayat Halimah lihat, Muh}ammad ibn H{ibba>n,

S{ah}ih} ibn H{ibba>n (Beirut: Mausu>’ah al-Risa>lah, 1993), juz 14, 244. Dalam riwayat

lain Ibn H{ibba>n juga meriwayatkan tentang bagaimana proses pencucian hati

Muhammad dengan air zamzam; Shaki>r Mah{mu>d Isma>’il, “Al-Ah{dath al-Ma’thurah

fi> Haya>t al-Rasu>l.” Majallah Ja>mi’ah al-Anba>r 1, no. 4 (2011) : 125. 90

QS. Al-Insyirah [94] : 1-3.

Page 65: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

48

Mendengar hal itu Buh{aira nampaknya tidak percaya dan berkata,

“Tidak, dia pasti bukan anakmu. Ayah anak ini pasti sudah

meninggal.” “Sebenarnya dia keponakanku,” kata Abu> T{a>lib.

Mendengar hal itu Buh{aira meminta Abu> T{a>lib menceritakan

bagaimana nasib ayahnya dahulu. Akhinya Buh{aira berkata pada Abu>

T{a>lib, “Sekarang segeralah pulang ke negerimu. Jagalah anak ini baik-

baik dari orang Yahudi. Demi Allah, kalau saja orang-orang Yahudi

melihat anak ini, mereka pasti menimpakan hal yang sangat buruk

kepadanya. Sungguh, keponakanmu ini kelak akan mengemban sebuah

perkara yang sangat besar.”91

Sebagaimana kisah sebelumnya, hal ini tentu membuat Abu>

T{a>lib makin besar perhatian dan penjagaanya kepada Muhammad. Di

sisi lain perhatian dan ramalan Muhammad membuat rahib seperti

Buhaira menjadi sadar dan mengetahui akan datangnya sebuah

peristiwa besar, yakni diangkatnya seorang Nabi baru.

Yang terakhir adalah kisah yang disampaikan sendiri oleh Nabi

Muhammad sebagaimana bahwa ia tidak pernah berniat melakukan

sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa jahiliyyah,

kecuali hanya dua kali. Akan tetapi, pada kedua kesempatan itu pula

Allah Swt. menghindarkan diri Nabi dari hal buruk. Selanjutnya, Nabi

tidak pernah berniat melakukan hal buruk itu lagi sampai Allah Swt

memuliakan dirinya dengan misi kerasulan.

Pada suatu malam, Nabi berkata kepada seorang anak muda

yang menggembala domba bersamaku di dataran tinggi kota Mekah,

“Bagaimana jika kau menjaga dombaku agar aku dapat memasuki kota

Mekah untuk mengobrol sebagaimana layaknya yang dilakukan para

pemuda lainnya?” Temannya menjawab, “Baik, akan aku lakukan.”

Muhammad muda pun pergi. Setibanya di rumah pertama yang ia

lewati di Mekah, ia mendengar suara riuh. Nabi pun bertanya, “Apakah

yang terjadi?” Orang-orang menjawab, “Ada pesta pernikahan.” Nabi

pun ikut duduk mendengar tetabuhan itu. Sesaat kemudian, rupanya

Allah menutup telinganya sehingga tertidur. Lalu Nabi terbangun

91

Said Ramadha>n al-Bu>ty, Fiqh al-Si>rah al-Nabawiyah (Damaskus: Da>r al-

Fikr, 1991), 48.

Page 66: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

49

setelah tertimpa sinar mata hari yang terbit keesokan harinya. Nabi

segera kembali menemui temannya. Kemudian teman Nabi

menanyakan tentang perjalanannya. Maka, Nabi ceritakan yang ia

alami.

Di malam yang lain, Nabi kembali meminta temannya menjaga

dombanya lagi. Kembali Nabi mengalami hal serupa, seperti yang

terjadi malam sebelumnya. Setelah itu, Nabi tidak pernah lagi berniat

melakukan hal buruk yang sama.92

Dalam kisah yang disampaikan oleh Nabi di atas menunjukkan

bahwa memang sebelum menerima risalah kenabian Muhammad sama

seperti anak muda pada umumnya. Pada usia itu Muhammad masih

memiliki sifat canda gurau, bermain dan mungkin sifat kenakalan.

Namun demikian, sifat kecerdasan rahmat dalam bentuk penjagaan

dari sifat buruk manusia telah dimiliki oleh Nabi Muhammad sejak

muda. Karena itu, sifat maksum dalam bentuk penjagaan dari dosa

sebenarnya telah dimiliki jauh sebelum menerima wahyu. Sebaliknya,

kebaikan akhlak yang dimiliki Nabi memang langsung mendapatkan

ajaran dari Allah sebagaimana perkataan Nabi berikut,

93

Bahwa sungguh kebaikan akhlak Nabi tidaklah datang dengan

sendirinya melainkan Allah yang langsung memperbaiki dan

mengajarkannya. Dengan demikian Nabi Muhammad memang telah

jauh hari dipersiapkan sebagai Nabi sebelum pertama kali ia menerima

wahyu. Kebaikan perangai ini tentu tidak bisa serta merta dipisahkan

dari sisi kenabian dan kemanusiaan yang menyatu dalam diri

Muhammad. Karenanya, meskipun Nabi berijtihad, namun sangat

mungkin Allah akan meluruskan jika terjadi kesalahan fatal pada Nabi

yang mungkin bisa merubah kesucian misi risalah Muhammad Saw.

92

Said Ramadhan al-Buty, Fiqh al-Si>rah al-Nabawiyah, 45 93

Fais}al ibn ‘Abd al-‘Azi >z ibn Fais}al, Tatriz Riya>d} al-S{alih}i>n (Riyad: Da>r al-

‘Asimah, 2002), 408.

Page 67: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

50

2. Kecerdasan Akal Muhammad Pra-Kenabian

Selain kecerdasan rahmat yang bersifat given dari Allah tanpa

melalui proses pembelajaran, Muhammad hidup sebagaimana manusia

biasa yang berproses dengan lingkungan dan pengalaman hidupnya.

Kecerdasan akal intelektual yang ia miliki memang dimulai sejak

kecil. Dari sisi bahasa misalnya, Rasul pernah mengatakan, “Aku yang

paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraish tapi diasuh di

tengah-tengah keluarga Sa’d ibn Bakr.”94 Sehingga, hal ini yang

menjadikan pola bicara Muhammad begitu fasih dan memiliki tutur

kata yang baik di mata masyarakat, selain kemudian menjadi

kemampuan sebagai orator yang luar biasa.

Namun, disamping masalah bahasa ada hal lain yang membibit

Muhammad menjadi sosok yang memiliki psikologi yang kuat, dan

tidak mudah bergantung pada manusia yakni kehidupan masa kecilnya.

Sejak bayi ia telah menjadi yatim ditinggal ayah, belum genap 7 tahun

ibunya pun meninggal, hingga kakeknya yang sangat dihormati kaum

Quraish pun meninggal saat mengasuh Muhammad. Dalam

perkembangan intelektualnya tentu hal ini yang membuat Muhammad

menjadi manusia yang mandiri, tidak mudah menyerah dan kuat dalam

kepribadiannya. Inilah modal besar kecerdasan akal yang ia miliki.

Dari segi pandangan masyarakat Muhammad pun tak kalah

cerdasnya. Kebaikan akhlaknya yang baik itu muncul dari didikan

Allah Swt sebagaimana di atas maupun karena lingkungan keluarga

yang terpandang telah membawa Muhammad sebagai sosok yang

cerdas dan mudah dipercaya siapapun. Hingga tak heran ia kemudian

memiliki julukan al-ami>n yang berarti bisa dipercaya.

Sebuah kisah turunnya Surat al-Lahab pun menjadi saksi

tentang hal ini. Pada waktu itu perintah berdakwah sudah mulai turun

kepada Muhammad. akhirnya Muhammad kemudian mengumpulkan

seluruh keluarganya serta suku-suku di sana dan berkata, “Hai

manusia, andaikata aku berkata bahwa ada pasukan yang akan

menyerangmu di balik bukit, apakah kalian mempercayaiku?” Maka

94

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 53.

Page 68: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

51

jawaban yang sungguh sulit diberikan kepada orang lain, “Benar, tidak

sekalipun kami mendapatimu kecuali selalu berkata benar.”95

Selanjutnya kecerdasan Muhammad dalam meyelesaikan

sebuah persoalan terlihat dalam peristiwa pembangunan Ka’bah.

Akhibat dari sebuah bencana banjir Ka’bah mengalami kerusakan

cukup berat karenanya para kabilah Quraish mengusulkan adanya

pembangunan kembali. Namun masalah muncul diakhir pembangunan

Ka’bah itu. Yakni, kabilah mana yang berhak menempatkan Hajar

Aswad yang disucikan para kabilah itu? Pertengkaran mulut terjadi

antar kabilah dan akhirnya Abu> Umayyah ibn al-Mughi>ra dari Bani

Maktum sebagai orang tertua diantara pemimpin kabilah itu berkata,

“Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama kali

memasuki pintu Shafa ini.”

Kala mereka melihat ternyata Muhammad orang pertama yang

memasuki tempat itu, mereka pun berteriak, “Inilah al-Amin, kami

dapat menerima keputusanmu.” Akhirnya mereka menceritakan

masalah ini kepada Muhammad. Dan sungguh yang menjadi perhatian

kemudian, bukanlah Muhammad yang mengangkatnya sendiri namun

ia meminta sehelai kain. Kemudian dengan kain itu dibentangkan dan

diletakkan batu ditengahnya kemudian meminta para pimpinan kabilah

untuk mengangkatnya mendekati tempat dimana batu itu harus

diletakkan. Setelah dekat barulah Muhammad meletakkan batu itu

ketempat semula.96

Inilah bentuk kecerdasan akal Muhammad yang

tidak banyak dimiliki orang lain masa itu.

Mengenai keagamaan Muhammad Saw sebelum menerima

kenabian selain karena faham yang diwariskan oleh keluarganya, Nabi

sendiri tidaklah pernah menyembah berhala. Hal ini beliau sampaikan,

“Demi Allah aku tidak pernah menyembah Lata selamanya dan tidak

pula ‘Uzza.”97

Dengan demikian terlihatlah bahwa sosok Nabi Muhammad

Saw tidak serta merta menjadi Nabi tanpa melewati proses pembibitan

95

Muh}ammad ibn Isma>il al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-Musnad, juz 6, 111. 96

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 68-69 97

Ah{mad Ibn H{ambal, Musnad al-Ima>m Ahmad (Riyadh: Muassasah Risalah,

2001) juz 38, 166

Page 69: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

52

kecerdasan. Baik pembibitan yang ia peroleh secara teologis maupun

dari pengalaman hidupnya. Secara umum nampak bahwa memang

Muhammad sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk membawa

risalah kenabian. Kecerdasan akal dan kecerdasan teologis meliputi

segala perilaku kehidupannya dalam menyelesaikan persoalan.

Page 70: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

53

BAB III

MUS{T{AFA< S{ABRI<

DAN PROBLEMATIKA IJTIHAD NABI

A. Alam Pemikiran Mus{t{afa> S{abri> (1869-1954)

Pembiacaraan tentang sosok Mus}t}afa> S{abri> tidak akan

berkepanjangan dalam penelitian ini. Karenanya dalam

menggambarkan sosok Mus}t}afa> S{abri> setidaknya bisa dirangkum

dalam tiga aspek berikut: pertama, sekilas tentang kehidupan dan latar

belakang yang membawai sosok pelaku dalam bentuk biografi singkat.

Kedua, karya dan alam pikiran yang membawainya sebagai seorang

tokoh intelektual Islam pada zamannya. Ketiga, kritik terhadap sarjana

modern sebagai bentuk bukti bahwa memang ia ikut serta dalam

perdebatan para sarjana Islam pada masa hidupnya.

1. Biografi Singkat

Mus}t}afa> S{abri>, ia adalah anak dari Ah}mad ibn Muh}ammad al-

Qazabadi> yang lahir pada 12 Rabiul Awwal 1286 H atau sekitar tahun

1869 M di kota Tokat ( ), Turki.1 Ia telah hafal Alquran pada umur

9 tahun, karenanya ia dikenal sebagai al-h}afiz}. Kemudian ia

melanjutkan studinya di kota Keyseri ( ). Yakni, sebuah pusat

pendidikan Islam pada masa Ottoman Turki. Di sana ia belajar

berbagai ilmu seperti mantiq dan ilmu jada>l wa al-muna>zarah.2

Setelah dari Keyseri, S{abri> berpindah ke Istanbul untuk belajar ilmu

al-‘aqa>id dan us}u>l al-fiqh. Di sana S{abri> belajar kepada seorang

intelektual Turki Ahmed Asim Effendi (1836-1911). Di Istanbul ini

S{abri> juga menikahi Ulviye Hanim pada tahun 1892 M. Dari

1‘Umar Jaida>l, “Ra>id al-Fakr al-Isla>mi al-Hadi>th: Shaikh al-Isla>m Mus{t{afa>

S{abri>”, Hira’ 5 (2006) : 58. 2Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.” Islamic Studies 48, No. 1 (2009) : 5.

Page 71: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

54

perkawinan ini S{abri> dikaruniai dua anak perempuan Sabiha dan

Nezahet serta seorang anak laki-laki bernama Ibrahim.3

Setelah mencapai pendidikan sebagai Ru’u >s Tadri>s pada tahun

1890 S{abri> kemudian ditunjuk sebagai pengajar di Ja>mi’ Sult}a>n al-

Fa>tih. Di sana ia mengajar Tafsir, Hadis, Usul al-Fiqh dan Ilmu al-

Bayan.4 Tahun 1896 S{abri> ditunjuk sebagai Imam di masjid Besiktas

Asariye. Setahun kemudian 1897 di ditunjuk sebagai salah satu

mukha>t}ab (komentator) terhadap Huzur Dersleri, yakni yang bertugas

memberikan komentar terhadap tanya jawab Alquran dan hadis.5 Pada

masa inilah kemudian Sultan ‘Abd al-H{amid II (1842-1918)

memberikan perhatian kepada S{abri>, bahkan ia sempat berkomentar,

“Sarjana muda ini memiliki sisi lain yang berbeda dan kecerdasan yang

harus terus dibangkitkan.”6 Karena itulah kemudian Sultan ‘Abd al-

H{amid II menujuk S{abri> sebagai pimpinan perpustakaan milik Sultan

sejak 1900 hingga 1904.

Pada tahun 1904 S{abri> kembali ditunjuk sebagai pengajar di

Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih dan di sanalah kemudian ia mendapat

penghargaan berupa medali Ottoman. Lalu pada 1905 S{abri> dipilih

sebagai anggota komite sarjana dan peneliti studi Islam (Tadqiqa>t wa

Ta’lifa>t Isla>miyyah hay’ati Ilmiyyasi).7 Di sanalah ia kemudian

bergelut dengan perdebatan dan studi para sarjana Islam modern. S{abri>

juga pernah ditunjuk untuk mengajar tafsir Alquran di Madrasat al-

Wa>’izi>n dan Da>r al-Funu>n.8 Pada November 1918 S{abri> ditunjuk

sebagai anggota Academy for Islamic Philosophy. Lalu sebulah

kemudian, tepatnya 25 Desember 1918 S{abri> ditunjuk sebagai profesor

3Mehmet Kadri Karabela, One of The last Ottoman Suyaikhulislam, Mustafa

Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution (Tesis di

Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003), 37. 4Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.” 7 ; Mehmet Kadri karabela, Mustafa Sabri Efendi, 37. 5Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 38.

6Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 38.

7Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 39; Faruc Terzic, “The

Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” 7. 8Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.”, 8.

Page 72: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

55

dalam bidang hadis di perguruan Sulemaniye Darul Hadis. Ini adalah

posisi tertinggi dalam hirarki keulamaan pada masa itu.9

Penunjukan sebagai Syaikh al-Islam

Setelah berakhirnya perang dunia I (1914-1918) Turki telah

banyak dikuasai pihak Sekutu. Ini adalah masa yang sulit bagi kerajaan

Ottoman Turki. Saat inilah kemudian Sabri ditunjuk sebagai Syaikh

al-Islam pada masa kekuasaan Damat Ferit pada Meret 1919. Saat itu

S{abri> memimpin mazhab Hanafi yang dulunya dipegang oleh

Muhammed Zahid Kevseri (1879-1952).10

Sayangnya penunjukan S{abri> sebagai Syaikh al-Islam tidak

berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian S{abri> tidak setuju

dengan kebijakan kabinet Damat Ferit yang menganggap bahwa Ferit

tidak pantas menduduki perdana menteri. Karena masalah ini, akhirnya

S{abri> melepaskan jabatannya sebagai Syaikh al-Islam pada September

1919. Namun demikian sultan Mehmet VI Vahdettin memberikan

beberapa posisi kepada S{abri> agar tidak keluar dari pemerintahan.

Pada Oktober 1919 S{abri> ditunjuk sebagai anggota Senat seumur

hidup. Bahkan kemudian ia pun diangkat kembali sebagai Syaikh al-

Islam dan menjadi Ketua Dewan Negara pada Juli 1920. Namun

demikian S{abri> pun nampaknya banyak tidak menyetujui kebijakan

para menteri di kabinet ini dan akhirnya ia pun kembali melepaskan

jabatannya sebagai Syaikh al-Islam pada 25 Sebtember 1920. Jadi,

secara keseluruhan ia menduduki jabatan Syaikh al-Islam selama 8

bulan dan 21 hari.11

Setelah bergantinya kekuasaan Turki Usmani kepada Mus}t}afa>

Kemal Ataturk (w. 1357/1938), kerajaan Ottoman mengalami

kekacauan yang cukup drastis. Hal ini membuat S{abri> meninggalkan

negaranya guna mendapatkan keselamatan bagi keluarganya.12

Selama

10 tahun sejak 1340/1922 hingga 1351/1932 S{abri> berpindah-pindah

9Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 40.

10Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 45.

11Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 45-46.

12Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.”, 8.

Page 73: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

56

negara seperti Mesir, Hijaz, Libanon, Romania dan Yunani.13

Pada

saat-saat itu S{abri> menjadi salah seorang dari 150 tokoh terkenal yang

diawasi ketat oleh pemerintahan Turki hingga tahun 1342/1924.14

Namun pada akhirnya pada 1351/1932 S{abri> kembali ke Kairo dan ia

memperoleh ampunan dari Mus}t}afa> Kemal pada 1357/1938. S{abri> pun

menolak pemberian maaf dari Mus}t}afa> Kemal dan berkata, “Dia telah

memaafkanku, tapi aku tidak akan pernah memaafkannya.”15 Akhirnya

iapun tetap dalam pengasingannya di Kairo, Mesir dan meninggal di

sana pada 12 Maret 1954.16

2. Karya dan Alam Pikiran

Seorang Mus}t}afa> S{abri> sebagai tokoh intelektual tidak akan

lepas dari karya yang ia berikan kepada peradabannya. Setidaknya ia

telah menulis 40an buku termasuk artikel baik yang berbahasa Turki

maupun bahasa Arab. Hal yang menarik pada setiap tulisannya adalah

S{abri> selalu memulai dengan pendahuluan, kemudian memberikan

penjelasan tentang pendekatan tulisan dan metodologi yang pada saat

itu masih jarang dipakai para penulis pada umumnya.17

Dalam setiap

gaya tulisannya, cukup sulit untuk menerka keahlian seorang S{abri>

karena memang sering kali ia memasukkan berbagai bidang studi ilmu

seperti logika, studi Islam, filsafat baik klasik, pertengahan maupun

modern, literatur Arab, dan juga hukum.18

Berikut ini adalah beberapa buku karya Mus}tafa> S{abri>:

1. Islam’da Muna>kasaya hedef Olan Mes’eleler (Isu-isu Kontroversi

dalam Islam), Istanbul, 1908-1912, setebal 208 halaman.

13

Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.” 8; Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 47-48. 14

Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.”, 8. 15

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi 50. 16

Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.”, 9; Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 50. 17

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 54. 18

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 55; Faruc Terzic, “The

Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 9.

Page 74: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

57

2. Yeni Isla>m Muctehidlerinin Kiymet-I Ilmiyyesi (Gagasan-gagasan

Intelektual Muslim Reformis Kontemporer), Istambul, 1919. 164

halaman.

3. Dini> Mucedditler, Yahud, Turkiye Icin Necat ve I’tila Yollarinda

Bir Rehbeh (Para pembaharu Agama, Sebuah Panduan untuk

keselamatan dan Kemajuan Turki), Istanbul, 1922. 365 halaman.

4. Qawli> fi> al-Mar’ah wa Muqa>ranatuhu bi-Aqwa>l Muqallidah al-

Gharb (Pendapatku tentang Perempuan dan Perbandingan dengan

Mereka yang Terpengaruh barat), kairo, 1935. 92 halaman.

5. Al-Qawl al-Fas}l Baina allad{i>na Yu’minu>n bi’l-Ghayb wa allad{i>na

La> Yu’minu>n (Persoalan Utama antara mereka yang beriman dan

Tidak Beriman), Kairo, 1942. 244 halaman.

6. Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Ala>m min Rabb al-A<lami>n wa

Iba>dihi al-Mursali>n (Kedudukan akal, Pengetahuan dan Dunia

dalam Memandangan Tuhan dan Utusan-Nya), kairo, 1950. 4

volume, 2018 halaman.19

Selain keenam di atas tentu masih banyak karya lain dari

Mus}t}afa> S{abri>. Terlebih dalam catatan Karabela, S{abri> selain menulis

buku dia juga aktif menulis artikel baik berbahasa Turki maupun Arab,

berbagai mansukrip yang tidak sempat diterbitkan, terjemahan dan

juga buku-buku sastra seperti musik dan puisi.20

Dari pembacaan sekilas tentang berbagai karyanya dan juga

kehidupannya sangat terikat dengan masalah agama dan juga masalah

sosial yang dihadapi semasa hidupnya. Terkait masalah agama, S{abri>

menjelaskan bahwa agama adalah hal dasar yang paling prinsipil dan

pendapat yang sudah baku. Jadi, agama tidak bisa dirubah oleh

siapapun.21

S{abri> secara jelas membedakan iman dari amal dan

menjelaskan bahwa Islam lebih cenderung kepada agama iman dari

pada amal semata. Hal ini dikarenakan iman seseoranglah yang

menentukan amal itu diterima atau tidak dalam agama.22

19

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 54-59. 20

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 50-64. 21

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 65. 22

Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 66.

Page 75: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

58

S{abri> juga memiliki gagasan tersendiri mengenai tasawuf.

Tasawuf bagi S{abri> telah menempatkan dirinya sendiri terhadap reaksi

yang irrasional dan emosional melawan mazhab filsafat positifis dan

rasional yang berkembang pada abad 19 dan 20. Tentunya hal ini

memiliki kelemahan tersendiri bagi dunia modern. Bahkan, S{abri>

menilai bahwa di bawah bimbingan al-Ghaza>li> (w. 505 H), Islam telah

menjadi kepercayaan mistis dari pada agama yang rasional.23

Padahal

ilmu pengetahuan Islam seperti fiqh, tafsir dan hadis telah mencukupi

apa yang ada dalam beragama.24

Terkait dengan tasawuf dan filsafat Islam, S{abri> memberikan

pendapat berbeda terkait dengan sumber ilmu pengetahuan. S{abri>

menilai bahwa sumber pengetahuan ada tiga; pertama kelima indra,

kedua khaba>r al-s}a>diq seperti quran dan hadis, ketiga adalah akal.

Sedang ilham sebagaimana yang dipegang para sarjana muslim lain

bagi S{abri> tidak bisa menjadi dasar sumber ilmu pengetahuan. Ilham

bukanlah bagian tersendiri dalam ilmu pengetahuan, namun ia adalah

pergumulan dari akal yang bersentuhan dengan pengalaman dan

analisis. Karena itu, akallah yang pada akhirnya memastikan

kebenaran dalam proses berfikir.25

3. Kritik Terhadap Sarjana Modern

Sebagai seorang sarjana muslim dalam masa transisi Islam yang

luar biasa pada masa itu, S{abri> cukup intens memberikan kritikan dan

argumen terhadap sarjama muslim lain. Hal ini karena memang

perdebatan intelektual muslim pada masa itu cukup masif. Berikut ini

akan penulis berikan beberapa contoh sarjana muslim yang sempat

menjadi bahan kritikan oleh Mus}t}afa> S{abri> yakni; Muh{ammad ‘Abduh

(w. 1905), dan Muh{ammad H{usain Haikal ( w. 1956), Farid Wajdi> (w.

1954), dan juga Rashid Rid{a> (w. 1935). Perdebatan ini setidaknya

23

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 270 dan juz 2, 102-113

24Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 68.

25Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 69-70; Mus}t}afa> S{abri>,

Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 236.

Page 76: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

59

menggambarkan posisi S{abri> sebagai seorang tokoh intelektual muslim

pada zamannya.

Pertama tentang definisi kenabian yang dibawa oleh

Muh{ammad ‘Abduh. Definisi ini dinilai oleh S{abri> sebagai definisi

yang ambigu, tidak jelas dan banyak memunculkan kekeliruan. Adapun

‘Abduh berpendapat bahwa Nabi adalah:

Seorang manusia yang selalu mengungkapkan

kebenaran baik secara teori maupun praktis. Yakni, ia tidak

mengetahui sesuatu selain kebenaran dan tidak melakukan

sesuatu selain kebenaran yang selalu memunculkan hikmah dan

kebijaksanaan. Semua ini terjadi secara natural, tidak dengan

upaya intelektual atau pembelajaran namun lebih kepada

petunjuk ketuhanan.26

Bagi S{abri> definisi tersebut tidak cukup karena hanya

memfokuskan pada sosok kemanusiaan yang itu bisa lahir secara

natural dan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan, S{abri> menganggap

bahwa definisi Muh{ammad ‘Abduh tentang karakteristik kemanusiaan

dalam kenabian telah mengesampingkan makna agama, wahyu,

mukjizat dan tentunya adalah makna Ketuhanan.27

Agama tidak

terpisahkan dengan kenabian, karenanya bisa saja seseorang berbuat

kebenaran dan mengungkapkan kebenaran, namun jika ia tidak

menjelaskan tentang agama tentu ia tidak dianggap sebagai nabi dan

mungkin hanya sebagai ahli hikmah semata. Demikian pula tentang

wahyu, mukjizat dan juga ketuhanan.

Kedua tentang kecerdasan seorang Nabi. S{abri> banyak

menelaah perkembangan buku sejarah kehidupan nabi Muhammad

yang ditulis oleh para sarjana muslim saat itu. Dari sejumlah buku

yang ditelaah S{abri> seperti H{aya>t Muh}ammad karya Muh{ammad

26

Muh}ammad ‘Abduh, Ta’liqa>t al-Syaikh Muhammad ‘Abduh ‘ala> Sharh al-Dawwani> li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyyah (Kairo: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1291 H),

152; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 40-41.

27Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.”, 12; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 40-41.

Page 77: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

60

H{asain Haekal, al-Si>rah al-Muh{ammadiyah tah{ta D{aw al-Ilm wa al-

Falsafah karya Muhammad Farid Wajdi> dan beberapa lainnya, S{abri>

menyimpulkan bahwa buku-buku tersebut lebih banyak menampilkan

sosok kejeniusan seorang nabi dari pada pemberian Tuhan dalam

bentuk kenabian pada manusia.28

Bagi S{abri> kecerdasan dalam diri dan

bentuk kenabian adalah dua sisi yang berbeda. Meskipun yang tampak

kadang kejeniusan itu lebih unggul dari pada kenabian, namun

kenabian pasti lebih memiliki kelebihan dan kebenaran dari pada

hanya kejeniusan sosok manusia.29

Dalam posisi inilah sejarah nabi menjelaskan bahwa memang

kejeniusan nabi kadang ketika berujung pada kesalahan atau

ketidaktahuan Nabi, wahyu sebagai bagian dari kenabian itu lebih

banyak memberikan jawabannya. Sehingga, kejeniusan –yang dalam

bahasa lain karya dari kejeniusan ini adalah ijtihad– bisa pula memiliki

unsur kesalahan sebagaimana manusia biasa. Namun demikian, S{abri>

memahami bahwa penekanan terhadap penulisan kecerdasan sosok

nabi ini adalah karena berkembangnya fenomena yang memunculkan

apresiasi terhadap kejeniusan akal lebih besar dari pada sosok

kenabian. Hal ini kemudian menekan para Sarjana Modern untuk

memberikan bahasan yang sama sebagai bentuk “menyerah” terhadap

perdebatan logika dan teknologi modern.30

B. Makna Ijtihad dalam Kepribadian Nabi

Kepribadian Nabi yang yang masih mengandung unsur

kemanusiaan penting dalam kaitannya dengan ijtihad. Untuk itu

pembahasan tema ini akan menjabarkan apa kedudukan ijtihad dalam

kajian baik filosofis sebagai bagian dari hasil pikiran manusia maupun

pada sisi yuridis dalam perdebatan ada dan tidaknya pada diri seorang

Nabi yang muncul sebagai sumber hukum.

28

Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa>

S{abri>’s Response.”, 16. 29

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 9.

30Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n

wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 113.

Page 78: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

61

1. Pengertian Ijtihad dalam Islam

Ijtihad bermula dari kata yakni “ja ha da” yang berarti

kesulitan atau kesusahan. Kata ijtihad berasal dari kata yang

berarti kemauan dan kesulitan ( ), kata ini memiliki derivasi yang

sama dengan kata . Misalnya pada yang berarti

mencurahkan kemampuan dan daya untuk menghilangkan segala

kelemahan demi mencapai suatu tujuan tertentu.31

Dengan demikian,

respon terhadap kesulitan maupun keinginan manusia terhadap

sesuatu bisa dikatakan sebagai ijtihad.

Dalam Islam kata ijtihad selalu dikaitkan dengan penentuan

sebuah hukum tertentu. Al-Ghaza>li> (w. 505 H) misalnya mengatakan

bahwa ijtihad adalah, 32

Yakni “mencurahkan segala kemampuan seorang mujtahid

dalam mencari sebuah ilmu dengan hukum syariat.” Sejalan dengan

hal tersebut al-Baid{awi (w. 685 H) juga mengatakan bahwa ijtihad

adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum-hukum

syariat.33

Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa kata

ijtihad sering dikaitkan dengan masalah sumber hukum Islam.

Alquran dan hadis adalah sumber hukum Islam yang pasti dan diakui

oleh seluruh umat Islam. Namun demikian, jika suatu masalah tidak

ditemukan solusinya pada kedua nash tersebut disinilah fungsi ijtihad

itu bermain. Abu> Zahrah (w. 1394 H) mengatakan bahwa ijtihad

dalam hal ini adalah qiyas. Ia mengutip Imam Sha>fi’i > (w. 204 H) yang

mengatakan bahwa,

31

Wahbah Zuh{aili, Us}u>l al-Fiqh al-Islami> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986),

1037; lihat pula Ibn Munz}ir, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, tth) juz 2,

133-134. 32

‘Abd al-Wahhab Khallaf, Mas{a>dir al-Tashri’ al-Islam (Kuwait: Da>r al-

Qalami>, 1972) 7: Saim Kayadibi, “Ijtihad by Ra’y: The Main Source of Inspiration

behind Istihsan”, The American Journal of Islamic Social Science 24, no 1, (2007)

75. 33

Al-Baidhawi, Minha>jul Wus{u>l, (Beirut: Muassasah Risalah, 2006) 7.

Page 79: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

62

Setiap persoalan pasti ada kepastian hukum dan umat

Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada

ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dilakukan

pendekatan yang pasti maka harus dicarikan pendekatan yang

sah, yakni dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.34

Pendapat Imam Sha>fi’i > (w. 204 H) tersebut menggambarkan

peran akal dalam diri manusia untuk menentukan sebuah hukum.

Manusia tidak mungkin terlepas dari daya nalar akalnya, bahkan dalam

beragama sekalipun. Secara sederhana hal ini juga tergambar dalam

hadis Mu’az ibn Jabal berikut,

35

Kata ra’y di atas menunjukkan bagaimana akal menjadi pondasi

kuat sebagai sumber dalam menentukan sebuah hukum kala wahyu

dalam hal ini Alquran dan hadis tidak mampu menjawab sebuah

persoalan. Namun demikian, pembahasan dalam tesis ini tidak terpaku

dalam soal bagaimana seorang manusia biasa berijtihad, tapi pada

seorang Nabi utusan Allah Swt.

Agaknya, pentingnya akal ini menjadi sisi utama kemanusiaan

dalam melakukan tindakan. S{abri> menilai bahwa ijtihad adalah hasil

dari penafsiran atau penalaran terhadap sebuah pengalaman dan

percobaan. Sehingga, tak mungkin Nabi berijtihad tanpa sebab.

34

Muh{ammad Abu> Zahrah, Ushul Fiqih, Terj. Hamdan rasyid dkk. (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2005), 336. 35

Abu> Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni> (w. 275 H), Sunan Abu> Dau>d (Beirut:

Maktabah al-‘Asriyah, Tth) juz 2, 303.

Page 80: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

63

Bahkan S{abri> mengatakan pengalaman tanpa adanya penalaran adalah

tuli dan tindakan tanpa penalaran adalah buta.36

Dengan demikian, sebagaimana pembahasan pada bab kedua

bahwa Nabi adalah manusia biasa sebagaimana manusia umumnya

tanpa ada perbedaan.37

Sedang makna kenabian itu muncul pada

penerimaan risalah atau pesan Allah kepada Nabi untuk manusia

umumnya. Namun demikian, kemanusiaan Nabi juga menuntut

adanya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi dalam menghadapi persoalan

baik masalah agama maupun yang lainnya.

2. Antara yang Setuju dan Tidak Akan Adanya Ijtihad

Terkait masalah ijtihad dalam diri Nabi para ulama menjadi dua

kelompok yakni mereka yang setuju akan adanya ijtihad dan mereka

yang tidak setuju terhadap adanya ijtihad pada diri Nabi.38

Selain itu

ada pula sekelompok lain yang mendiamkan masalah ini. Perbedaan

ini tentu menjadi konsekuensi langsung terhadap pertanyaan apakah

ijtihad Nabi itu sejajar dengan wahyu atau tidak.39

Di sisi lain, karena

alasan rasional dan akal manusia, keharusan adanya ijtihad Nabi

menjadi penting apalagi terkait dengan masalah keduniaan bahkan

peperangan. Namun demikian sebelum membagi antara yang setuju

dan tidak, Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010 M/ 1431 H) memberikan

penjelasan bahwa sebenarnya secara umum para ulama setuju dengan

adanya ijtihad yang dilakukan Nabi mengenai hal duniawi, namun

malasah agama hal tersebutlah yang diperdebatkan bahkan dilarang.40

36

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 235-236..

37Al-‘Umri mencatat kemanusiaan Nabi bahkan menunjukkan bahwa Nabi

juga tidak mengetahui hal ghaib kecuali yang memang telah ditunjukkan Allah

kepadanya. Lihat Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985), 19-20 lihat juga surat Hud [11]: 31 dan

al-An’am [4]: 50. 38

Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat

al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010): 65. 39

Zainuddin MZ, “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wahyu Ilahi Atau Ijtihad

Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007): 4-5. 40

M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak. Terj. Safri

Mahayedin, (Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, Cet. 2 2009),

44.

Page 81: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

64

Berkaitan dengan adanya ijtihad pada diri Nabi, Latifah Abdul

Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid setidaknya memberikan 4

gambaran. Pertama, dari sudut realitas Nabi diperbolehkan melakukan

ijtihad secara mutlak karena haru menyelesaikan persoalan baru tanpa

harus menunggu wahyu. kedua, ijtihad secara umum hanya berlaku

pada urusan keduniaan semata dan bukan pada urusan syariat. Ketiga,

meskipun dalam realitasnya Nabi berijtihad, namun dalam catatan al-

Ghaza>li> (w. 505 H)41

, tidak ada nash yang menunjukkan keharusan

ijtihad itu sendiri. Keempat, secara umum keberadaan ijtihad hanya

berlaku setelah Nabi menunggu wahyu terlebih dahulu.42

Alasan pembolehan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi bisa

dilihat dari dua aspek, pertama aspek nash baik Alquran maupun hadis

dan kedua adalah alasan rasional. Dalam kaitan nash Alquran, Allah

menyebutkan dalam surat al-An’am,

76

76

Ayat di atas berikaitan dengan masalah tawanan perang yang

disepakati Nabi setelah bermusyawarah dengan para Sahabat.43

Teguran yang disampaikan Allah Swt kepada Rasulullah nampak jelas

menjadi pedoman akan adanya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi.

Namun demikian, Nadiyah Shari>f al-‘Umri menyatakan bahwa adanya

kesalahan dalam ijtihad Nabi adalah isyarat yang jelas akan adanya

pemikiran manusia yang dalam kecerdasan apapun bisa menimbulkan

kesalahan dan inilah bedanya dengan wahyu.44

41

Abu> Hami>d Muh{ammad al-Ghaza>li>, al-Mushtashfa> min ‘Ilmi al-‘Us{u>l (Kairo: Muassasah al-Halabi, Tth), 355.

42Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat

al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010): 66. 43

Persoalan terkait musyawarah Nabi dengan Sahabat dalam hal peperangan

lihat lebih lanjut, Ah{mad Mat}ar Khad{ir, “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}h}a>bihi fi>

al-Ghazawa>t.” Jurnal Research Diyala Unversity (2009): 74-86. 44

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 47-

48.

Page 82: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

65

Dalam kajian ‘ulum Alquran tentang teguran sebagaimana di

atas biasa disebut dengan yang secara bahasa berarti ayat-

ayat dalam Alquran yang menjelaskan teguran dan peringatan untuk

memperbaiki atau mengoreksi sebuah persoalan yang dihadapi atau

dilakukan oleh para nabi dan rasul. Peringatan ini secara tidak

langsung juga mengindikasikan bahwa nabi dan rasul telah melakukan

ijtihad.45

Harus pula difahami bahwa dalam hal permusyawaratan adalah

pula perintah Allah dan bukan sekedar keinginan Nabi.

Perintah pada surat Ali Imran ayat 139 juga

mengisyaratkan adanya permusyawaratan terhadap persoalan yang

dihadapi Nabi. Dengan demikian, Nabi diperbolehkan bahkan

diperintahkan untuk berijtihad dalam sebuah persoalan yang memang

tidak dijelaskan oleh wahyu.46

Adapun dalam hadis Nabi, Qad{i ‘Iyad{ (w. 544 H) memberikan

penjelasan dalam kitabnya al-Shifa’ tentang beberapa riwayat terkait

kesalahan Nabi dalam memberikan saran terhadap para petani

kurma.47

Nabi mengatakan,

juga48

maka baik kata ra’y maupun dhan mengindikasikan perilaku ijtihad

Nabi.

Dalam argumentasi rasional jelas bahwa manusia tidak

diciptakan seperti robot namun ia memiliki akal untuk menentukan

pilihan dan menyelesaikan persoalan. Hal ini berlaku bagi setiap

manusia tak terkecuali Nabi sekalipun. Bahkan al-Amidi (w. 631 H)

mengatakan bahwa andai Nabi tidak melakukan ijtihad sedang

45

Lebih jelas lihat pada tulisan Ami>n Muh{ammad Salla>m al-Muna>siyah,

“Nadrah fi > A<ya>t al-‘Ita>b” Jurnal Ja>mi’ah Dimasq Li al-‘Ulu>m al-Iqtis{a>diyah wa al-Qanu>niyah 23, no 1 (2007) : 322-325.

46Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 55-

56. 47

Al-Qad}i> ‘Iyad, al-Shifa’ (Kairo: al-Matba’ah al-Azhariyah, 1327 H), juz 4,

265: Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 41-43. 48

Muslim ibn Hajja>j al-Nisaburi, S{ah{ih{ Muslim (Beirut: Dar al-Ihya’ al-turath,

Tth) juz 4, 1835.

Page 83: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

66

umatnya diperbolehkan, hal ini malah menggambarkan betapa Nabi

tidak lebih cerdas dari umatnya.49

Mengapa demikian? Karena ijtihad

diperlukan kecerdasan akal sedang mereka yang tidak pernah

melakukan ijtihad berarti tidak memiliki kecerdasan akal.

Namun demikian adanya teguran terhadap kesalahan Nabi

dalam berijtihad menunjukkan bahwa posisi ijtihad tidak bisa

disamakan dengan wahyu. ijtihad hanya menunjukkan bahwa

kedudukan Nabi tidaklah berbeda dengan manusia biasa dalam

berfikir sedang perbedaan terletak pada wahyu yang diberikan sebagai

pembetulah Allah kepada kesalahan Nabi.

Terjadinya ijtihad Nabi Saw dalam catatan Muh{ammad Shaki>b

Qa>simi> terbagi menjadi tiga kelompok ulama; pertama, mereka yang

mengatakan bahwa Nabi Saw melakukan ijtihad tanpa menunggu

wahyu. Kedua, Nabi Saw melakukan ijtihad setelah menunggu wahyu.

Dan ketiga, mereka yang mengguhkan masalah ini karena tiadanya

kejelasan dari Nabi Saw sendiri.50

Di samping adanya persetujuan ulama terhadap ijtihad yang

dilakukan Nabi, ada pula ulama yang tidak sepakat dengan adanya

ijtihad tersebut. Mereka adalah Ibn H{azm (w. 456 H), al-Maturi>di> (w.

333 H) dari golongan al-Ash‘ariyah dan al-Jubbai> (w. 303 H) dari

golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa ijtihad tidak

diperbolehkan bagi para Nabi bahkan jika tidak ada nas sekalipun.51

Hal ini dilandaskan pada ayat berikut, 52

Bahwa memang tidak patut bagi nabi untuk mengikuti sesuatu

selain wahyu yang diberikan kepadanya. Sehingga ayat ini

49

‘Ali> Shaifuddin al-Amidi>, al-Ih{kam fi> ‘Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut: Da>r al-Kutub

al-‘Ilmiyyah), 157. 50

Adapun kelompok ketiga ini menganggap babwa yang tahu bahwa Nabi

menunggu wahyu dan tidak tentu ada Nabi sendiri. Adapun contoh ijtihad akan

dijelaskan pada pembahasan beriktnya. Lihat, Muhammad Shaki>b Qa>simi>, “Ijtiha >da>t

Nabi Salla> Allah ‘alaihi wa Sallama; Qira’atan Tahliliyatan ‘Usuliyatan” Jurnal al-Da’i> 36, no. 7 (2012) : 7.

51Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat

al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” 71-72 52

Yu>nus [10]: 15.

Page 84: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

67

menegasikan adanya ijtihad bagi seorang Nabi. Adapun ayat 67-68

Surat al-Anfal di atas, Ibn H{azm (w. 456 H) menjelaskan bahwa pada

hakekatnya Rasulullah pun memiliki pilihan yang sama seperti

Sahabat. Dalam hal ini Rasulullah lebih memilih pendapat Sahabat,

karena itulah Rasul ditegur bukan karena pendapatnya melainkan

karena kecenderungannya untuk mengikuti Sahabatnya itu.53

Namun demikian, Mus}t}afa> S{abri> menilai bahwa Ijtihad tetaplah

pernah dilakukan oleh Nabi. Hal ini terlihat baik dalam nash Alquran

maupun ungkapan Nabi sendiri. Mengenai ayat 15 dari surat Yunus di

atas S{abri> sebenarnya jelas bahwa ayat itu terkait dengan penjelasan

Nabi tentang Alquran.54

Sehingga memang tidak mungkin Nabi

mengungkapkan sesuatu yang lain mengenai pendapatnya pribadi

tentang Alquran kecuali wahyu yang diberikan kepadanya.

Adapun pendapat Mus}t}afa> S{abri> dalam hal ini bisa dilihat dari

beberapa aspek; pertama, bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh Nabi

Muhammad bersambungan langsung dengan wahyu yang disampaikan

kepadanya. Artinya ijtihad yang dilakukan Nabi meskipun kadang

memunculkan kesalahan namun tentu telah dipertimbangkan dengan

segala perintah dan wahyu Allah yang diberikan kepadanya.55

Kedua,

53

Abu> Muh{ammad ibn H{azm al-Andalu>si> al-Zahiri, al-Ih{ka>m fi Us{u>l al-Ah{ka>m

(Kairo: Sa’adah, Tth), 498-699. 54

Adapun secara lengkap ayat tersebut berarti, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah Alquran yang lain dari ini

atau

gantilah dia.’ Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku

sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya

aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." Dengan

demikian S{abri> menilai bahwa Nabi tidak mungkin salah dalam menyampaikan

wahyu Allah, Lihat lebih lanjut, Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ali>m min Rab al-‘A<lami>n wa Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981) Juz 4,

162-163. 55

Kenabian akan selalu menyisakan personalisasi manusia dan kekuasaan

Tuhan didalamnya. Untuk itulah kenabian tidak bisa sembarang dimiliki seseorang

melainkan khusus Allah yang memilihnya. Lihat lebih lanjut, Mus{t}afa> S{abri>, al-Qawl al-Fas}l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi al-Ghayb wa al-Ladhi>na la Yu’minu>n (Ttp:

Da>r al-Sala>m, 1905) 123-126: Mehmet Kadri Karabela, “One of the Last Ottoman

Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual

Contribution.” Tesis, Institute of Islamic Studies Mac Gill University, Montreal,

2003. 89-93.

Page 85: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

68

Nabi adalah manusia yang maksum dan terlepas dari kesalahan karena

tertutupi oleh wahyu dan mukjizat yang melekat pada kenabiannya.

Karenanya, ijtihad yang dilakukan Nabi jika memang menimbukan

kesalahan maka akan ditutupi atau ditegur dengan adanya wahyu

yang disampaikan Allah kepadanya.56

Ketiga, kepribadian

Muhammad Saw sebagai Nabi lebih banyak mendapat perhatian

daripada kepribadian Muhammad Saw sebagai manusia. Artinya,

meskipun Nabi melakukan ijtihad sebagaimana manusia biasa, namun

karena perhatian umat terfokus pada kenabian, maka sifat ittiba’

terhadap ijtihad tersebut masih menjadi perhatian atas kenabian itu

sendiri.57

C. Hadis-Hadis Bernuansa Ijtihad Nabi Muhammad Saw.

Kemanusiaan Nabi yang berbentuk ijtihad memunculkan

banyak varian yang tergambar dalam perilaku hidupnya. Nadiyah

Sharif Al-‘Umri mencatat setidaknya ada lima bentuk ijtihad yang

dilakukan Nabi, yakni dalam bentuk prasangka, larangan, keinginan,

perintah dan doa.58

Namun demikian, tidak pula menutup adanya

bentuk ijtihad yang lain karena memang Nabi makan sebagaimana

manusia lainnya, tidur sebagaimana manusia lainnya bahkan lupa

sebagaimana manusia lainnya.59

Gambaran ijtihad Nabi setidaknya menjawab beberapa

pertanyaan berikut:

a. Tentang keberadaan ijtihad. Mulai keberadaan ijtihad Nabi

apakah kemudian memungkinkan Nabi untuk melakukan

sesuatu tanpa ijin kepda Allah. Lalu tentang materi ijtihad,

56

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ali>m min Rab al-‘A<lami>n wa Iba>dihi al-Mursalin, juz 4, 155-156.

57Mufrih{ Sulaima>n al-Qawsi, al-Shaikh Mus{t{afa> S{abri> wa Mawqifuhu min al-

Fikri al-Wafid, (Riyadh: Markaz al-Malik Faisal, 1997), 384-385. 58

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 57. 59

Dalam riwayat Muslim Nabi pernah berkata,

. Lihat, Muslim ibn al-H{ajjaj, Musnad al-Sah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’,

Tth), juz 1, 400.

Page 86: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

69

apakah hanya terkait persoalah dunia ataukah ibadah, apakah

terkait pula masalah hal ghaib ataukah tidak.

b. Tentang benar tidaknya ijtihad. Apakah ijtihad Nabi selalu

benar atau tidak, kemudian jika memang salah apakah pernah

ijtihad Nabi salah dalam hal agama.

c. Tentang pembetulan. Apakah setiap kesalahan Nabi selalu

dibenarkan lewat wahyu Allah atau adakah yang tidak. Dan

jika tidak, apakah yang tidak terdapat pembenaran lewat

wahyu itu terkait dengan agama atau dunia semata?60

d. Tentang respon Sahabat. Apakah Sahabat selalu melaksanakan

setiap ijtihad yang diajukan Nabi ataukah

mempertimbangkannya atau bahkan menolaknya?

Adapun ketiga pertama terfokus pada keberadaan dan keadaan

Ijtihad Nabi itu sendiri, sedang mengenai respon Sahabat ini menjadi

penting karena respon ini setidaknya mampu menggambarkan pola dan

metode penerimaan hadis Nabi oleh para Sahabat. Di samping itu, bisa

pula menggambarkan bagaimana para Sahabat memilah kapan

perkataan Nabi harus diikuti tanpa pertimbangan dan kapan

dibutuhkan pertimbangan sebagai wujud dari pertanyaan –atau hadis–

pada masa itu.

Namun demikian penulis tidak akan memberikan seluruh

gambaran ijtihad dalam tulisan ini melainkan terfokus pada beberapa

hal saja yakni: pertama, ijtihad Nabi yang dibenarkan dan disalahkan

oleh wahyu, kedua, ijtihad Nabi dan respon Sahabat, yakni ijtihad

yang diterima, dipertimbangkan dan ditolak oleh Sahabat, dan ketiga,

ijtihad Nabi yang salah namun tidak dibenarkan dengan wahyu.

Ketiga pembagian ini penulis berikan karena adanya beberapan

pandangan. Pertama, kemaksuman Nabi memungkinkan Nabi tidak

melakukan kesalahan dan jika salah akan ada teguran. Kedua, tindakan

adalah respon terhadap adanya suatu persoalan yang dalam hal ini

60

Dalam penggambaran ijtihad Nabi al-‘Umry tidak menyebut tentang respon

Sahabat sebagai bagian dari wawasan yang bisa didapat. Menurut penulis hal ini

mungkin karena memang al-‘Umri terfokus para perilaku Nabi. lihat, Na>diyat Sharif

al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 57-59.

Page 87: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

70

Sahabat adalah lawan bicara Nabi. Ketiga, fakta harus diterima bahwa

ada pula kesalahan ijtihad Nabi namun tidak dibenarkan oleh wahyu.

1. Ijtihad Nabi yang Dibenarkan dan Disalahkan oleh Wahyu

Ijtihad Nabi yang dibenarkan oleh wahyu di antaranya adalah

adanya keinginan Nabi untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul

Maqdis ke Ka’bah sebagaimana riwayat berikut:

41161

“Rasulullah shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama

16/17 bulan. Namun, Nabi lebih menyukai untuk mengahadap

ke ka’bah. Karenanya turunlah ayat, “Sungguh kami (Allah)

sering melihatmu (Muhammad) menengadahkan wajahmu ke

langit.62’ Maka setelah itu Rasul shalat mengahadap ka’bah.”

Hadis di atas menggambarkan bagaimana ijtihad Nabi yang

telah lama meninginkan untuk menghadap kiblat ke Ka’bah kemudian

mendapat jawaban dari Allah berupa perintah untuk memindahkan

kiblat. Nadiyah Sharif Al-‘Umri memasukkan ijtihad ini ke dalam

ijtihad berbentuk harapan atau keinginan.63

Hal ini menjelaskan bahwa

ijtihad yang dilakukan Nabi dalam hal agama tidak berbentuk tindakan

atau perintah Nabi sendiri karena agama memang murni perintah dan

bukan pendapat Muhammad pribadi sebagaimana dijelaskan dalam

surat Yunus ayat 50 sebelumnya. Selain itu pembenaran atas ijtihad

Nabi memang bagian dari pemikiran Nabi yang menganggap bahwa

Ka’bah lebih cocok dari Baitul Maqdis. Peristiwa ini juga

menggambarkan bagaimana pembelajaran Islam kepada Nabi dan para

61

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Musnad al-Sah{ih{, (Kairo: Dar al-Tauq al-

Najah, 1422 H) juz 1, 88. 62

Maksudnya yakni menunggu wahyu. 63

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 71-

78.

Page 88: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

71

Sahabat kala itu untuk menyingkirkan kesalahan agama Yahudi dari

Islam.64

Ijtihad Nabi yang disalahkan atau ditegur oleh wahyu di

antaranya adalah ketika Nabi dan para Sahabat bemusyawarah tentang

tawanan perang Badar. Nabi kemudian menanyakan kepada Abu Bakar

tentang pendapatnya mengenai tawanan itu. Abu Bakar menjawab,

“Ya Rasulullah, mereka dulu adalah bagian dari kita dan keluarga kita.

Apakah tidak lebih baik kita mengambil uang tebusan agar kita

menjadi kuat terhadap kaum kafir. Maka, semoga allah pun

memberikan hidayah kepada mereka untuk masuk Islam.” Nabi pun

bertanya hal yang sama kepada ‘Umar, lalu ‘Umar menjawab, “Tidak

ya Rasulullah, aku tidak sepakat dengan pendapat Abu Bakar, mereka

(tawanan) itu adalah pimpinan kaum kafir, maka hendaklah mereka

dibunuh.”

Saat itu Nabi Saw agaknya lebih cenderung kepada pendapat

Abu Bakar. Namun tiba-tiba Nabi dan Abu Bakar menangis, lalu

‘Umar pun bertanya, “Ya Rasul apa yang membuatmu dan sahabatmu

menangis?” Nabi menjawab, “Aku menangis karena aku setuju untuk

meminta tebusan dari tawanan ini.” Kemudian turunlah ayat Alquran,

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat

melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta

benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat

(untukmu)….”65 Akhirnya tawanan itupun dibunuh sebagaimana

perintah Allah. 66

Dengan demikian dari hadis di atas secara sederhana

memperlihatkan bagaimana ijtihad Nabi Saw yang jika keliru tentu

akan ditegur atau dibenarkan oleh Allah lewat wahyu. Namun,

demikian tentu tidak semua wahyu disampaikan kepada Nabi untuk

memberikan teguran buat beliau melainkan pula untuk para Sahabat

yang ikut menjadi pertimbangan Nabi.67

64

Abu ‘Abdullah al-Qurtubi (w. 671), al-Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qura>n, (Kairo: Dar

al-Kutub, 1964 M), juz 2, 161. 65

Al-Anfa>l [8]: 67-68. 66

Hadis lebih lengkap lihat. Sah{ih{ Muslim, juz 3, 1383. 67

Bisa pula lihat kisah lain tentang turunnya awal surah al-Naba.

Page 89: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

72

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ayat-ayat

teguran ayat al-‘ita >b hal yang lumrah dialami oleh Nabi dan menjadi

bagian dari sisi kemanusiaannya. Namun harus difahami bahwa

kesalahan yang dilakukan Nabi bukanlah tindakan maksiat atau

melawan Allah Swt. Amin Muhammad Salla>m68

mengatakan bahwa

kesalahan itu memang ada, namun bukan berarti menjadi maksiat atau

bahkan menurunkan derajat kenabian itu sendiri. Setidaknya hal ini

bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, adalah bahwa nabi memiliki sifat

maksum, karenanya segala kesalahan akan dimaafkan dan diampuni

sehingga tiada dosa dariNya. Kedua, makna ijtihad adalah adalah

mencari ilmu atau kesimpulan atas sebuah persoalan. Karenanya, tidak

ada dosa di dalamnya. Bahkan, kesalahannya pun akan menuai pahala

dari Allah sebagaimana ungkapan Nabi sendiri. “Jika seorang hakim

menentukan persoalan kemudian berijtihad dan ijtihadnya benar maka

ia mendapatkan dua pahala, sedang jika ijtihadnya salah ia masih

mendapatkan satu pahala.”69

2. Ijtihad Nabi sebagai Respon atas Sahabat

Ada pula riwayat tentang siasat perang yang disampaikan Nabi

kepada para Sahabat namun ternyata ada Sahabat yang menganggap

bahwa siasat itu salah dan ia pun menawarkan siasat baru bagi Nabi.

Kejadian ini terjadi pada saat perang Badar.

Pada waktu perang Badar, Nabi Muhammad Saw mendahului

orang Quraish menuju mata air. Kemudian H{abbab ibn Munz}ir

menemui Nabi Saw dan berkata, “Ya Rasulullah, apakah anda sengaja

memilih posisi ini? Ataukah posisi ini telah dipilihkan Allah sehingga

kita tidak berpindah? Ataukah ini hanya tipu daya dalam peperangan?”

Nabi menjawab, “Hal ini hanyalah taktik dan tipu daya peperangan.”

Selanjutnya H{abbab menyarankan, “Ya Rasul, posisi ini menurutku

kurang strategis. Lebih baik kita menyuruh beberapa orang untuk

menjaga sumber air dan kita buat telaga yang mengalir dari air ini.

68

Ami>n Muh{ammad Salla>m al-Muna>siyah, “Nadrah fi > A<ya>t al-‘Ita>b,” 326-327. 69

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Musnad al-Sah{ih{, juz 9, 108.

Page 90: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

73

Sehingga, kita bisa berperang tanpa kehausan, sedangkan musuh pasti

kehausan.” Akhirnya hal ini pun disetujui oleh Nabi.70

Hadis di atas mengisyaratkan sebuah respon Sahabat kepada

Nabi yang ternyata jika ada sebuah saran Nabi dan pada saat yang

sama Sahabat memiliki saran lain yang berbeda maka ia pun

mengutarakannya pada Nabi. Adapula isyarat yang menunjukkan

bahwa tidak selamanya perintah Nabi itu dilakukan dengan serta merta

oleh Sahabat. Namun, jika Nabi jelaskan bahwa perintah tersebut

berasal dari Allah, maka pasti Sahabat langsung mengerjakannya.

Adapun kisah lainnya pada nasehat Nabi kepada anak

angkatnya Zaid ibn Harithah yang ingin menceraikan istrinya Zainab

bint Jahsh. Akan tetapi, Nabi dengan ijtihadnya menyuruh Zaid untuk

tidak menceraikan Zainab dengan mengatakan, “Tetaplah pegang

istrimu (jangan ceraikan), dan bertakwalah kepada Allah.” Namun

ternyata Allah justru meperingatkan Nabi bahwa apa yang ia katakan

pada Zaid, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,”

tidaklah benar adanya. Meskipun, nasehat ini adalah suatu kebijakan

yang luar biasa dari Nabi agar kekhawatiran terhadap buruknya

hubungan dengan Zaid dan istrinya tidak terjadi dan bisa tetap

harmonis.

Akan tetapi Allah justru menggambarkan bahwa Ia mengetahui

bahwa apa yang ada di dalamnya adalah kekeliruan. Keinginan Nabi

untuk menikahi Zaenab harus dilanjutkan agar tidak ada lagi rasa

keberatan bagi siapapun nantinya untuk menikahi isteri anak angkat

mereka sendiri. Dengan catatan, tentu ia telah resmi bercerai dengan

anak angkatnya tersebut.71

Awal kasus ini sebenarnya karena keinginan Nabi untuk

menikahkan Zaid ibn Harithah dengan Zainab bint Jahsy. Namun, saat

Nabi melamar Zainab untuk Zaid ternyata Zainab enggan untuk

menerimanya. Karena itu turunlah sebuah ayat yang menegaskan

bahwa tidak pantas seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan

70

Abdul Jalil Isa Abu al-Nasr, Ijtihad Rasulullah Saw. terj. Wawan Djunaedi.

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2001) 190-192 71

Al-Ahzab [33]: 37

Page 91: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

74

yang jika Rasul sudah menetapkan sesuatu untuknya namun ia enggan

melakukannya.72

Akhirnya, setelah ayat ini turun berkenaan dengan

Zainab maka ia pun akhirnya menyetujui perintah Nabi tersebut.

Perlu diketahui bahwa dari kisah ini perintah Nabi bukanlah

ijtihad yang ia lakukan sendiri melainkan perintah yang datang dari

Allah. Karena itu, wahyu pun ikut serta di dalam penunjukan

pernikahan ini.73

Itulah kenapa Nabi agak memaksa adanya pernikahan

ini. Meskipun pada akhirnya terjadi perceraian di dalamnya.

Adapun pesan sebenarnya peristiwa ini adalah sebagaimana

yang dijelaskan Allah pada ayat di atas. Yakni, pembolehan dengan

menikahi istri anak angkat. Yang pada awalnya tindakan ini dianggap

tabu dan menyalahi kebiasaan masyarakat Arab kala itu.

3. Ijtihad Nabi yang Salah namun Tidak Dibenarkan dengan

Wahyu

Terkait masalah ijtihad Nabi yang keliru namun tidak

dibenarkan dengan adanya wahyu Allah adalah tentang saran Nabi

kepada para petani kurma di Madinah. Diriwayatkan dalam S{ah{ih{

Muslim bahwa suatu ketika Nabi pernah pergi ke Madinah dan melihat

para petani sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu Nabi berkata,

“Apa yang kalian lakukan itu?” Mereka menjawab, “Kami telah

terbiasa melakukannya.” Nabi pun memberi saran, “Jika kalian tidak

melakukan itu, mungkin akan lebih baik.” Akhirnya para petani kurma

pun tidak lagi melakukannya, namun ternyata panennya berkurang.

Akhirnya mereka pun lapor ke Nabi dan kemudian Nabi berkata,

“Sungguh aku hanya manusia biasa. Jika aku perintahkan kalian

tentang agama kalian maka taatilah, namun jika aku perintahkan

tentang suatu hal dari pendapatku, maka sungguh aku pun hanya

manusia biasa.”74

72

Al-Ahzab [33]:36 73

Abdul Jalil Isa Abu al-Nasr, Ijtihad Rasulullah Saw. (Jakarta: Pustaka Azam,

2001), 129. Lihat pula tafsir Sihabuddin Mah{mud al-Alu>si, Ru>h{ al-Ma’a>ni. (Beirut:

Dar al-Kutub, 1415 H) juz 11, 204. 74

Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, juz 3, 1745.

Page 92: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

75

Dalam riwayat lain Nabi mengatakan, “Jika hal itu bermanfaat

maka lakukanlah, sungguh aku hanya memberikan saran dengan

prasangkaku, maka janganlah ikuti prasangkaku. Namun, jika aku

ajarkan kalian sesuatu tentang Allah, maka terimalah. Karena sungguh

aku tidak akan pernah berbohong tentang Allah Swt.”75 al-‘Umri juga

memberikan riwayat lain tentang jawaban Nabi yakni, “Sungguh jika

ada suatu hal terkait dengan agama kalian maka akulah yang lebih tau.

Namun jika terkait masalah dunia kalian maka kalianlah yang lebih

tahu.”76 Dan juga, “Sungguh kalian lebih mengetahui tentang dunia

kalian.”77

Peristiwa di atas banyak menyita perhatian para pengkaji hadis

terkait dengan ijtihad Nabi yang keliru. Sebagaimana pada bab

sebelumnya bahwa Muhammad adalah manusia biasa yang sama

sebagaimana manusia lainnya.

sebenarnya kesalahan ini adalah hal wajar yang biasa saja.

Namun, jika dilihat sebagai kepribadian kenabian yang ada pada diri

Muhammad tentu menjadi problem tersendiri.

Al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa pendapat Nabi yang

terkait dengan masalah kehidupan dunia sebagaimana di atas bukanlah

tanggung jawab dan materi dari kenabian Muhammad Saw.78

Selain

itu Nabi dalam sejarahnya memang tidak pernah belajar tentang

pertanian. Sehingga, ketidaktahuan Nabi terahadap penyerbukan

pohon kurma adalah menjadi sebuah kewajaran. Selain itu Ibn Khaldu>n

(w. 808 H) mengatakan bahwa adapun perkataan Nabi terkait dengan

kehidupan dunia seperti pertanian dan pengobatan adalah berdasarkan

pengalaman dan pengamatan yang sehari-hari ia lakukan, tentunya

tanpa adanya wahyu di sana.79

Menutup pada poin berbagai model ijtihad dan dampaknya di

atas dapat diambil beberapa benang merah menarik sebagai berikut.

Pertama, bahwa Nabi memang manusia biasa yang tidak terlepas dari

75

Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim. 76

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 107. 77

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 108. 78

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 109. 79

Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 109-110.

Page 93: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

76

sisi kemanusia seperti ijtihad, kesalahan dan juga kritik. Sebaliknya,

hal ini juga menunjukkan bahwa Nabi bukanlah wujud Tuhan dalam

bentuk manusia suci tanpa kesalahan. Kedua, proses penerimaan hadis

dari Sahabat tidak sekedar wujud ketaatan buta, namun juga diproses

lewat logika yang memungkinkan interfensi Sahabat di dalam

pendapat Nabi dalam hadis itu sendiri. Ketiga, kemaksuman Nabi

bukanlah pada kesucian Nabi dari kesalahan, namun penjagaan

terhadap kesalahan Nabi yang jika itu terjadi dan berimbas dalam misi

kenabiannya, maka Wahyu Allah pun ikut interfensi dalam pembetulan

ijtihad tersebut.

Untuk masalah ketiga di atas, maka pembahasan wahyu dalam

kaitannya dengan hadis menjadi perlu didudukkan dengan jelas. Hal ini

agar kemudian dapat dipahami manakah yang kemudian ijtihad Nabi

dan manakah hadis Nabi yang sebenarnya bagian dari wahyu Allah itu

sendiri.

D. Keberadaan Wahyu Allah dalam Hadis Nabi Saw

Wahyu berasal dari kata yang berasal dari kosa kata

– – . Ibn Munzir (w. 316 H) berpendapat bahwa

wahyu berarti pengetahuan yang tersembunyi.80

Karena itu ilham juga

disamakan dengan wahyu. Sejalan dengan hal tersebut al-Raghib al-

Ishfahani (w. 502 H) juga menyampaikan bahwa wahyu adalah isyarat

yang cepat.81

Dalam Islam wahyu ini kemudian memiliki setidaknya

beberapa istilah. Pertama, wahyu adalah pemberitahuan atau

informasi dari Allah Swt yang diberikan kepada hamba-Nya yang

terpilih untuk menjadi sebuah petunjuk ataupun ilmu dengan jalan

yang cepat dan tidak biasa dilakukan oleh manusia.82

Kedua, wahyu

adalah informasi yang diberikan Allah Swt kepada para nabiNya yang

80

Ibn Manz{u>r (w. 740), Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, Tth) juz 3,

892. 81

Al-Raghib al-Isfaha>ni, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qura>n (Mesir: Matba’ah al-

Maimuniyah, 1324 H) 515. 82

Muh{ammad al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Ifra>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-

Fikr, Tth) juz 1, 56.

Page 94: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

77

berbentuk berita ghaib, ajaran agama maupun hukum tertentu. Di

antara mereka ada yang sudah terbukukan dan juga ada yang tidak.83

Ketiga, wahyu adalah segala bentuk perkataan Allah Swt dan yang

semakna yang disampaikan para rasul.84

Dengan demikian wahyu

adalah berita dari para Nabi yang dalam berita itu mereka

mengungkapkan bahwa Allahlah sumbernya perkataannya.

Mengenai wahyu dalam Alquran tidak memiliki perdebatan.

Disamping karena periwayatan Alquran yang dilakukan secara

mutawatir oleh para Sahabat, di dalam Alquran sendiri menyebutkan

ungkapan-ungkapan perkataan Allah Swt kepada para hamba

pilihanNya. Misalnya, percakapan Allah kepada Adam,85

perintah

kepada Nuh,86

Musa87

as. dan sebagainya. Karena itulah Alquran tetap

dipegang sebagai pedoman yang memang diyakini Allahlah sumber

satu-satunya.

Hadis yang paling mungkin dianggap sebagai wahyu adalah

hadis qudsi. Hadis jenis ini hampir tidak akan pernah disebut sebagai

ijtihad nabi. Karena memang hadis jenis ini memiliki indikasi bahwa

yang berkepentingan dalam isi atau objek matan hadisnya adalah

Allah sebagai sumber wahyu itu sendiri. Makna hadis qudsi sendiri

diambil dari kata al-quds yang berarti suci, di mana yang dimaksud

tentu adalah Allah Swt. Untuk itu, hadis qudsi adalah jenis hadis yang

menunjukkan bahwa Rasulullah adalah yang memiliki otoritas dalam

pemilihan kata sedang isi atau materi dari hadis tersebut memiliki

korelasi terhadap kesucian Allah. Atau, segala sesuatu yang

dikabarkan Allah kepada para nabi-Nya, maka kemudian kabar itu pun

disampaikan kepada manusia dengan ungkapan dari nabi sendiri. Hal

83

Muh}ammad Rashid Rid{a, al-Wah{yu al-Muh{ammadi (Kairo: Da>r al-Mana>r,

1935) 41. 84

H{asan Dhiya’ al-Di>n ‘Itr, Nubuwwatu Muh{ammad fi> al-Qura>n (Suriah: Da>r

al-Nasr, 1973) 145; Lihat juga Minhad Muhammad S{alih{ ‘A<tiyah, “al-Wahyu fi> al-

Qura>n wa Mauqifu al-Musyriqi>na Minhu”, Majallah Kuliyah al-Tarbiyyah al-Asasiyah 66 (2010) 177.

85QS. Al-Baqarah [2]:32.

86QS. Nu>h [71]: 1.

87QS. Ta>ha> [20]:9-13.

Page 95: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

78

ini tentu tidak sama dengan Alquran yang lafadnya pun diyakini dari

Allah.88

Setidaknya sisi kesucian dari hadis qudsi memiliki dua model

berbeda. Pertama adalah berisi tentang segala kegiatan atau pekerjaan

yang dilakukan oleh Allah dan kedua adalah tentang segala yang

dilakukan oleh Allah. Untuk yang pertama bisa terlihat dari beberapa

kalimat yang sering digunakan oleh nabi seperti: 89

,90 atau

91 . Hadis-hadis tersebut mengindikasikan tindakan Allah

dengan ungkapan nabi bahwa Allah melakukan ini dan itu. Karena

tindakan ini adalah tindakan yang dilakukan oleh Allah Yang Maha

Suci, hadis jenis ini pun digolongkan pada hadis qudsi.92

Sedangkan untuk hadis yang menyatakan ungkapan atau

perkataan Allah bisa dilihat dalam beberapa hadis seperti: 93

94, juga

95

Atau dengan kata lain makna al-quds dalam hadis-hadis tersebut

adalah isi dari ungkapan atau perkataan Allah didalamnya yang

memuat bahwa Allah mengatakan ini dan itu.

Tentunya, baik hadis qudsi yang mengungkapkan perkerjaan

maupun perkataan Allah ini tidak bisa dianggap sebagai ijtihad Nabi.

Namun, sebagaimana difahami awal bahwa hadis qudsi adalah isinya

dari Allah atau mengenai tindakan Allah namun lafadnya muncul dari

88

Ima>n Khalifah H{ami>d, “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith al-

Qudsiyah.” Al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 13, no. 4 (2006), 229. 89

Muh{ammad ibn H{ibba>n (w. 354), S{ah{ih{ ibn H{ibba>n, (Beirut: Muassasah

Risa>lah, 1993), juz 2, 67. 90

Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 1, 162; Lihat juga Muhammad ibn

Hibban, S{ah{ih{ Ibn H{ibba>n, juz 1. 499. 91

Abu> Sa’id ibn al-‘Araby, Mu’jam ibn al-‘Araby (Saudi: Da>r ibn Jauzi, 1997)

juz 3, 1040 92

Ima>n Khalifah H{ami>d, “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith al-

Qudsiyah.” 231-232. 93

Muslim ibn hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 1, 351. 94

Abu> Muhammad Abdullah al-Dari>mi>, Musnad al-Dari>mi>, (Saudi: Da>r al-

Mughni, 2000) juz 3, 1814. 95

Abu> Bakr Ah{mad ibn Ibrahim al-Isma’ili>, al-Mu’jam fi> Asa>mi Shaikh Abi Bakr al-Isma>’ily, (Madinah: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-Hukm, 1410 H) juz 3, 792.

Page 96: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

79

Nabi. Untuk itu, sisi kemanusaan atau ijtihad Muhammad dalam hal

ini pun tetap berlaku yakni pada pola pemilihan kalimat atau lafaz

agar mudah difahami oleh manusia pada umumnya.96

Jika kemudian hadis dimaknai sebagai segala yang datang dari

Nabi baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya, lalu apakah

ia juga dianggap sebagai wahyu? Hal ini tentu memerlukan untuk

kembali melihat bagaimana penafsiran para ulama terhadap surat al-

Najm ayat 3 dan 4. Penafsiran ini setidaknya menentukan apakah

segala yang disampaikan Nabi sebagai wahyu ataukah ijtihad Nabi

sendiri.

Ibn Kathi>r (w. 774 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa

maksud “Nabi tidak pernah berbicara menurut hawa nafsunya” adalah

bahwa memang Nabi memang menyampaikan segala yang

diperintahkan tanpa ada pengurangan dan ada tambahan di dalamnya.

Pendapat ini mengindikasikan bahwa memang segala informasi dari

Nabi bukanlah ijtihad melainkan wahyu. Ibn Kathi>r setidaknya

menyampaikan beberapa riwayat berikut:

‘Abdullah ibn ‘Umar pernah bercerita, “Dulu aku mencatat

segala yang aku dengar dari Nabi Saw. karena aku ingin

menghafalnya. Namun, orang Quraish melarangku dan berkata,

‘Kenapa kau mencatat segala yang datang dari Nabi padahal ia adalah

manusia biasa yang kadang berkata dengan emosionalnya!’ Maka aku

laporkan hal tersebut kepada Nabi dan beliau berkata, ‘Catatlah, demi

Allah yang nyawaku ada dalam genggamannya. Tidaklah datang

dariku kecuali kebenaran.’”97

Adapun dalam riwayat lain Nabi juga mengungkapkan bahwa,

“Sungguh segala yang aku beritahukan kepadamu adalah dari Allah

semata dan tidak ada keraguan di dalamnya.”98

96

Dalam hal ini Nabi memiliki otoritas untuk menetukan bagaimana pola

kalimat agar mudah dan sesuai dengan lawan bicara Nabi sendiri. Sehingga,

kemampuan Nabi dalam berbahasa pun menjadi penentunya. Lihat kesimpulan tesis

Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ah{a>dith al-Qudsiyah: Dira>sah Balaghiyah.” 2007,

Fakultas Adab, Universitas Ghaza, 194-195. 97

Ibn Kathir (w. 774 H), Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m (Kairo: Dar al-Tayiibah,

1999) juz 7, 443. 98

Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m, juz 7, 443.

Page 97: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

80

Penyataan di atas mengindikasikan bahwa ucapan Nabi Saw

adalah memang kebenaran. Persoalannya adalah apakah kebenaran itu

bagian dari wahyu? Ataukah segala yang dari Nabi namun terkait

dengan agama semata? Setidaknya dapat difahami bahwa yang

dialami oleh Ibn ‘Umar di atas adalah penentangan dari seorang

Quraish yang pada saat yang sama Nabi ingin menunjukan bahwa apa

yang datang darinya pastilah kebenaran. Namun apakah makna haq di

atas berarti Alquran atau hadis juga?\

Setidaknya Abu> H{afs} (w. 775 H) ketika menafsirkan surat al-

Najm ayat 3-4 menyatakan

bahwa kata pada surat al-Najm tersebut memang memiliki dua

dhamir yang berbeda. Pertama, pertama secara z}ahir tentu dhamirnya

adalah Nabi Muhammad Saw. Kedua, namun harus difahami bahwa

objek dari pembicaraan ini adalah Alquran. Hal ini sejalan dengan

kata haq yang ada pada hadis di atas dan juga diulang perkataan

tersebut dalam Alquran yakni .99

Jadi, z}amir

dari kata tersebut bukanlah Nabi sendiri melainkan adalah Alquran.100

Sejalan dengan hal ini sebenarnya sudah disampaikan pada

pembahasan sebelumnya bahwa adalah jika Nabi menyampaikan hal

terkait dengan Allah maka pastilah hal itu benar. Namun, jika yang

disampaikan adalah hal lain selain Allah atau ajarannya maka hal itu

bisa jadi datang dari ijtihad Nabi sendiri. Setidaknya Imam Taba>ri> (w.

310 H) memberikan alasan sebuah riwayat dari Sahabat yang juga

memiliki pendapat ini yakni dari Qata>dah. Dalam hal ini Qata>dah

memberikan pernyataan bahwa ayat 3 dan 4 dari Surat al-Najm

tersebut bermakna bahwa Allah memberikan wahyu kepada Jibril dan

Jibril memberikannya kepada Muhammad Saw. atau dengan kata lain

99

Al-Ja>siyah [45]: 29. 100

Abu Hafz Siraj al-Di>n al-Dimasqy (w. 775 H), al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-Kita>b

(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Imiyyah, 1997) juz 18, 107. Adapun mengenai kapan

beliau wafat penulis menemukan pula dalam terbitan Dar al-Kutub di Beirut tertulis

wafat pada 880 H.

Page 98: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

81

‘tidaklah Alquran itu perkataan dari hawa nafsu Muhammad Saw

melainkan ia adalah wahyu dari Allah yang diberikan kepadanya.’101

Dengan demikian kesimpulan dari penafsiran para ulama

tentang makna dari pembacaraan Nabi berupa wahyu dalam surat al-

Najm tersebut adalah Alquran. Sehingga, mengenai hadis maka hal ini

bisa saja ia menjadi wahyu jika memang terkait dengan ketuhanan dan

segala ajarannya. Namun jika terkait soal keduniaan dan kehidupan

sehari-hari sebagaimana kebutuhan manusia biasa maka hal itu bisa

berarti ijtihad Nabi Saw.

Dari berbagai pembahasan tentang ijtihad Nabi Saw di atas

nampak kemudian bisa disimpulkan beberapa hal mengenai ciri yang

bisa diperoleh dari ijtihad Nabi Saw yang terkandung di dalam hadis.

Pertama, tentu adalah ketiadaan kabar dari Nabi Saw bahwa

yang ia ucapkan adalah wahyu Allah ataupun hal yang berkait dengan

Allah sebagai hadis qudsi.

Kedua, bukan terkait tentang hal ketuhanan dan kebertuhanan.

Yakni, yang terkait dengan hal ghaib karena tentu Nabi Saw sendiri

pun tidak mengetahuinya tanpa diberitahu oleh Allah ataupun diberi

kemampuan untuk mengetahuinya. Sedang kebertuhanan adalah hal

yang terkait dengan cara bertuhan atau peribadatan. Bahwa Allahlah

yang paling tahu dan satu-satunya yang mengetahui bagaimana cara

beribadah kepadaNya. Karenanya, pengetahuan Nabi tidaklah sampai

kepada kehendak ataupun ijtihad untuk membentuk sebuah

peribadatan sendiri. Di sisi lain, hadis mengenai pemindahan arah

kiblat di atas menggambarkan bagaimana Nabi Saw sendiri hanya

pasrah pada Allah dalam hal ini. Namun demikian, perlu menjadi

catatan bahwa dalam hal kedua ini Nabi kadang tidak menyampaikan

kabar ini seolah dari Allah melainkan dari dirinya pribadi.

Ketiga, adalah hal-hal yang sudah dijadikan hukumnya atau

halal-haramnya dalam Alquran seperti hukum waris, makanan yang

haram dan sebagainya. Dalam hal ini tidak ditemukan dan tidaklah

101

Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qura>n (Riyadh:

Muassasah al-Risalah, 2000) juz 22, 497-498. Dalam hal ini al-Tabari menyebut

dengan ungkapan

Page 99: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

82

mungkin Nabi menyalahi wahyu Allah. Meskipun, secara umum

bahwa isi kandungan dalam Alquran tidaklah hanya sekitar hal

ketuhanan dan kebertuhanan semata melainkan di sana banyak terkait

soal sosial kemasyarakatan.

E. Posisi Hadis antara Wahyu dan Ijtihad

Dari berbagai polemik ijtihad Nabi di atas beserta pembahasan

tentang posisi hadis qudsi sebagai bagian dari wahyu Allah yang

include di dalam hadis, Maka tiba saatnya memetakan bagaimana

sesungguhnya posisi hadis sebagai wahyu ataupun ijtihad itu sendiri.

Nabi Muhammad sebagaimana difahami oleh Mus}tafa> S{abri>

bukan hanya manusia biasa yang tampil sebagai model bagi manusia

lain ataupun sekedar manusia yang menerima wahyu dari Allah lalu

kemudian disampaikan kepada manusia. Nabi adalah orang yang

memiliki kekhususan dalam hal pewahyuan tidak hanya soal

menerima namun pula bagaimana mengolahnya untuk disampaikan

kepada manusia. Kekhususan ini adalah tentang pemahaman itu

sendiri yang muncul sekaligus baik sebagai ciri kemanusiaan dan juga

keilahian yang muncul pada Nabi. Di sinilah difahami bahwa

kenabian adalah kemampuan manusia untuk berkomunikasi kepada

Tuhan dan bukan sekedar menerima wahyu namun juga ikut

berkomunikasi timbal balik antar keduanya.102

Artinya, komunikasi

ini memungkinkan adanya kemampuan Nabi untuk berijtihad

terhadap permasalahan yang ia hadapi dengan cara berkomunikasi

dengan Tuhan jika memang Nabi menganggap bahwa kemunikasi itu

dibutuhkan.103

Keberadaan ijtihad dalam hadis memang tidak bisa dipungkiri

adanya sebagai bagian dari kemanusiaan Nabi. Kemanusiaan ini

102

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981) Juz 4, 152.

103Salah satu contoh adalah pada perintiwa perintah kewajiban shalat yang

berkenaan dengan jumlahnya. Dalam hal hadis ini menggambarkan bagaimana sosok

Muhammad berijtihad dengan nalarnya untuk menyesuaikan perintah Tuhan

terhadap kemampuan manusia yakni pengikutnya nanti. Lihat pada kisah Isra’ Mi’raj

Nabi pada Muh{ammad ibn Isma’i>l al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1,

78.

Page 100: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

83

memang ada namun tentu dengan adanya pengetahuan terhadap yang

ghaib seperti wahyu dan kedekatannya kepada Allah tentu memiliki

entri poin yang berbeda dibandingkan dengan manusia lainnya.

Karena ijtihad adalah hasil pertimbangan pemikiran terhadap

persoalan dalam wawasan akal fikiran manusia. Sedangkan Nabi

dengan segala keimanan dan hidayah Tuhan memiliki wawasan yang

berbeda sebagaimana pada umumnya.

Mus}tafa> S{abri> juga memahami bahwa memang menunjukkan

sisi kemanusiaan Nabi kadang sering dianggap sebagai bentuk ingkar

terhadap kenabian Muhammad. Padahal, sifat kemanusiaan yang

bercampur dengan pengetahuan hidayah dan keilahian ini justru

menunjukkan pada kelebihan Muhammad itu sendiri dibanding

manusia pada umumnya.104

Dari uraian di atas setidaknya ada beberapa yang mampu

menunjukkan garis pembatas antara wahyu dan ijtihad Nabi dalam

hadis. Garis pembatas ini setidaknya adalah gambaran tentang ciri

khas dari hadis-hadis yang memiliki korelasi terhadap wahyu Allah

dan hadis-hadis yang memiliki korelasi terhadap ijtihad nabi sendiri.

Adapun ciri khas tersebut antara lain:

Pertama, pada sandaran hadis yang diungkapkan Nabi Saw.

Jika Nabi Saw menyandarkannya kepada Allah baik perkataan

maupun perbuatan Allah Ta’ala maka sudah pasti hadis tersebut

bukanlah ijtihad melainkan wahyu. Sebaliknya, jika Nabi tidak

menyebutkannya maka sangat dimungkinkan bahwa ungkapan atau

hadis tersebut adalah ijtihad beliau. Dalam hal ini biasanya dikenal

dengan istilah hadis qudsi.

Sebagaimana penjabaran di atas, hadis qudsi secara materinya

diyakini adalah dari Allah hal ini karena memang Nabi sendiri yang

menyandarkannya. Artinya Nabi dalam hal ini menjadi periwayat dan

bukan sumber ungkapan. Namun demikian Nabi dengan

104

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 7-8.

Page 101: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

84

kecerdasannya dalam penggunaan bahasa Arab105

menjadi piawai

dalam menyampaikan apa yang dipesankan Allah dengan bahasanya

sendiri. Sehingga, di sinilah letak perbedaan hadis dengan Alquran

yang lafaznya pun dari Allah Swt sendiri.

Dengan demikian posisi ijtihad Nabi dalam hadis qudsi terletak

pada bagaimana cara Nabi dalam menyampaikan kabar tersebut.

Selain keagungan bahsa Arab Nabi, hal ini pun menjadi sarana yang

memudahkan Sahabat dalam menerima kabar, perintah maupun

larangan Nabi secara langsung.106

Kedua, pada materi atau isi hadis yang diungkapkan oleh Nabi

Saw. Hadis Nabi Saw yang mengungkapkan materi tentang

ketuhanan, hal ghaib dan tata cara peribadatan tentu bukanlah

wilayah ijtihad Nabi. Karena, Nabi tidak memiliki sedikit andil dalam

menentukannya. Sebagaimana yang digambarkan Muhammad Sahrur

bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak melakukan interfensi dan

ijtihad karena pengetahuan ini adalah murni dari Allah.107

Adapun

tentang perintah peribadatan yang dianggap sulit jika dilakukan oleh

manusia, Nabi kemudian memberikan tanggapan berupa konfirmasi

timbal balik sebagaimana pada kasus perintah awal shalat sehari 50

kali pada peristiwa Isra’ Mi’raj.108

Karena itu, ijtihad Nabi dalam

masalah ini adalah tentang bagaimana penerapannya baik dalam

tindakan ataupun pemahaman manusia. Sehingga, dengan ijtihad Nabi

inilah dimungkinkan adanya kemudahan bagi kehidupan manusia

dalam berketuhanan.

Begitu pula hadis yang berkenaan dengan hal yang ghaib

seperti surga, neraka, malaikat, jin dan yang lainnya, Nabi memang

tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan selain yang memang

105

Hal ini sesuai dengan pernyataan Nabi bahwa beliaulah orang yang paling

fasih berbahasa Arab dan pernah belajar Arab di suku pedalaman Bani Sa’ad. Lihat,

Abu Muhammad al-Baghawi, Sharh{u Sunnah (Beirut: Maktabah Islamiyah, 1973)

juz 4, 202. 106

Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ah{adis al-Qudsiyah: Dira>sah Balaghiyah.”

195. 107

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogjakarta:

eLSAQ Press, 2004) 194-196. 108

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer , 194-196.

Page 102: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

85

dipaparkan petunjukya oleh Allah. Namun demikian, karena hal ini

adalah ghaib tentu tidak mudah menjelaskannya kepada manusia. Di

sinilah Nabi dituntut untuk menjelaskan sejelas dan senyata mungkin.

Bahkan, Marwah Ibrahim ketika menelaah gaya bahasa Nabi dalam

menjelaskan hal yang ghaib ini mengatakan bahwa penjelasan Nabi

adalah penjelasan yang sangat mudah dan sempurna bagi penerima

kabar tersebut seolah-olah Nabi memang benar-benar mengetahuinya

dan pernah disana.109

Sebaliknya, jika Nabi mengungkapkan materi hadis tentang

keduniaan di luar penjelasan wahyu dan tidak terkait dengan masalah

hal ghaib maupun masalah ketuhanan dan kebertuhanan sebagaimana

kasus penyerbukan kurma di atas tentu difahami sebagai ijtihad Nabi

sendiri.

Ketiga, pada cakupan lawan biacara hadis apakah itu umum

ataukah khusus. Maksud dari keumuman hadis disini adalah tentang

ucapan Nabi yang menyebutkan makna keumuman perintah. Salah

satu contoh pada

Informasi ini tentu bisa dimaknai sebagai

wahyu. Selain karena materi hadis ini berisi tentang anjuran tata cara

beibadah, panggilan terhadap keseluruhan mengindikasikan pada

ketaatan pada seluruh manusia pula.

Tidak jauh berbeda dengan Alquran yang juga memberikan

indikasi khusus dan umum terutama yang khusus pada Nabi, hadis

Nabi Saw juga kadang hanya bisa difungsikan pada lawan biacara

Nabi saat itu saja, atau mungkin pada mereka yang memiliki ‘illah

yang sama. Salah satu contohnya adalah apa yang diberikan pada Abu

Bakar tentang pembolehannya memanjangkan kain dibawah mata

kaki.111

Tentu ini bisa dimaknai sebagai ijtihad Nabi, sehingga khusus

bagi Abu Bakar dan siapapun yang sama kondisinya diperbolehkan

untuk melakukannya. Sebaliknya inti persoalan adalah siapapun tidak

boleh sombong. Adapun contoh lain yang sama bisa dilihat pada kasus

109

Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ahadis al-Qudsiyah: Dirasah balaghiyah.”

195. 110

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 2, 623. 111

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74.

Page 103: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

86

Zubair ibn Awwam dan Abdurrahma>n ibn ‘Auf yang diperbolehkan

oleh nabi memakai pakaian dari sutera karena alasan penyakit yang

mereka derita.112

Keempat, terletak pada materi hadis yang tetap dan berubah

ubah. Muhammas Shahrur dalam hal ini berpendapat bahwa ijtihad

Nabi mengenai hal keduniaan dan ilmu pengetahuan adalah dengan

cara memberikan batasan-batasan kepada hal-hal yang memang telah

dihalalkan oleh wahyu113

. Contoh yang paling sederhana adalah

tentang perubahan sikap nabi terhadap mereka yang berziarah

kubur.114

Pada awalnya Nabi tidak menyetujui hal ini karena

banyaknya orang yang berziarah justru masuk dalam kesyirikan

dengan meminta kepada mereka yang meninggal. Lambat laun dengan

berkembangnya pemahaman masyarakat maka Nabi pun

membolehkannya karena memang ziarah tidak diharamkan dan bisa

dijadikan sarana mengingat kematian. Dengan demikian diketahui

bahwa pembatasan yang dilakukan oleh Nabi tidak masuk dalam hal

yang haram melainkan hal yang dihalalkan semata.

Selain empat hal di atas perlu juga difahami bahwa hadis-hadis

yang berkenaan dengan sisi kemanusiaan pada umumnya seperti

berjalan, makan, pakaian, ataupun cara tidur adalah sebuah kewajaran

manusia yang timbul dari pengalaman dan pembelajaran terhadap

lingkungan. Artinya dalam hal ini ijtihad Nabi hampir pasti

mendominasi dan menjadi pilihan Nabi tanpa harus menunggu wahyu.

Namun demikian, Mus}tafa> S{abri> memahami bahwa pengetahuan

keilahian tidak juga dilepaskan begitu saja ketika ijtihad dilakukan

112

Lihat Muslim Ibh Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’ al-

Turath, tt) juz 3, 1636. 113

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 194-196., 223 114

Muhammad ibn H{ibba>n, S{ah{ih{ Ibn H{ibba>n, Juz 12, 212; Dalam hadis ini

Nabi tidak hanya merubah pendapatnya tentang ziarah melainkan juga tentang

makan daging kurban lebih dari tiga hari dan juga minum dari tempat bekas darah.

Hal ini disadari bahwa Nabi hanya melakukan pembatasan pada hal yang dihalalkan,

namun jika ada pengharaman atas sesuatu Nabi pun memberitahunya sebagaimana

pada hadis ini dimana Nabi memberikan peringatan bahwa minum dari tempat

apapun boleh asal tidak menyebabkan mabuk.

Page 104: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

87

oleh Nabi.115

Hal ini terlihat dari adanya beberapa makanan yang

kemudian diharamkan, ataupun batasan aurat116

yang kemudian

dijelaskan baik dalam Alquran maupun hadis itu sendiri. Hal ini

mengindikasikan adanya keterbatasan pengetahuan Nabi yang jika

hanya berdasarkan pada pengalaman Arab masa itu saja tidak cukup

untuk menjadi jawaban umat Islam hingga akhir zaman. Sebagai

contoh adalah pelarangan daging babi117

yang tentunya keberadaan

penyakit seperti cacing Pita masa masa modern tidak pernah

dijelaskan oleh Nabi sebelumnya.

F. Respon Para Sahabat

Setelah membahas posisi ijtihad Nabi dalam hadis di atas,

perlu kemudian melihat bagaimana pola ijtihad Nabi tersebut

dipandang oleh para Sahabat. Hal ini akan berfungsi maka kala

seorang muslim harus pula melihat ijtihad Nabi dalam hadis itu.

Pemantauan ini pula akan membuat seseorang yang hendak

melakukan studi hadis memiliki pola pikir dan cara pandang yang

sama sebagaimana Sahabat. Sehingga, hadis Nabi pada akhirnya akan

difahami secara baik dan benar sebagaimana para Sahabat

memahaminya.

Setiap umat muslim akan memahami bahwa pemahaman dan

pengetahuan Sahabat tentang hadis adalah yang paling baik.

Setidaknya hal ini bisa dilihat dari 3 hal. Pertama, Sahabat adalah

orang yang paling dekat hidupnya dengan Nabi. Kedua, Sahabat

adalah lawan bicara Nabi. Ketiga, selain masalah agama yang

disampaikan oleh Nabi, hadis merupakan solusi dari berbagai

persoalan kehidupan Sahabat. Karenanya, memahami ijtihad Nabi

yang lebih relevan tentu melihat bagaimana pandangan dan respon

Sahabat terhadap kenabian Muhammad dan pendapat (ijtihad) beliau

di dalamnya.

115

Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 10

116An-Nu>r [24]: 31.

117Al-Maidah [5]: 3.

Page 105: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

88

Sebagaimana difahami Sahabat adalah mereka yang dekat

dengan Nabi. Kedekatan ini memiliki persepsi berbeda pada beberapa

ulama. Ah{mad Ibn H{ambal (w. 241 H), sebagaimana catatan Khatib

al-Bagda>di> (w. 463 H) menyampaikan bahwa Sahabat adalah, 118

Yakni bahwa sahabat adalah orang yang pernah bertemu

dengan Nabi Saw., baik sebulan, sehari ataupun satu waktu saja. Al-

Bagdady menyampaikan pula bahwa Imam Bukhari menambahkan

dengan syarat bahwa mereka adalah kaum muslim.119

Kondisi Sahabat secara umum digambarkan oleh Nabi sebagai

generasi terbaik dalam Islam. Sebagaimana ungkapan hadis berikut.

Bahwa Nabi Saw., mengatakan sebaik-baik zaman adalah

zaman Nabi kemudian berikutnya dan berikutnya. Pernyataan ini

tentu membuktikan bagaimana sifat para Sahabat dihadapan Nabi. Di

mana, para Sahabat sangat dipercaya Nabi sebagai kaum yang terbaik

yang Nabi lihat. Terlebih Nuruddin ‘Itr menyatakan bahwa Nabi

Muhammad menerima dan mempercayai pernyataan siapapun yang

datang kepada beliau selama ia beriman kepada Allah dan rasul-

Nya.120

Padangan Sahabat terhadap kenabian Muhammad Saw bisa

pula dilihat dari cara para Sahabat mendapatkan hadis. ‘Umar pernah

mengungkapkan bahwa ia dan salah seorang Sahabat dari Bani

118

Khatib al-Bagdady, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah (Beirut: Da>r al-

Kutub, 1988), 51; lihat juga Ibn Atsir, Asa>d al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-Sah{a>bah (Kairo:

Da>r Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 1995) 14. 119

Khatib al-Bagda>dy, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah, 15. 120

Nuruddin ‘Itr, ‘Ulu>m al-H{adis, 107-108. Hal ini juga dicontohkan Nabi

ketika dalam peristiwa penerimaan Nabi terhadap kabar dari orang Arab Badui yang

mengaku melihat hilal bulan Ramadhan sedang Sahabat yang lain tidak. Lihat, Abu

Abdurrahman al-Nasa’i (w. 303), Sunan al-Nasa’i (Beirut: Muassasah Risalah, 2001)

juz 3, 97.

Page 106: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

89

Umayyah ibn Yazid bergiliran dalam mendapatkan informasi dari

Nabi. Kegiatan ini dilakukan ‘Umar dengan cara jika sahabatnya tadi

pergi ke Nabi maka ‘Umar cukup mendengar dari Sahabatnya

tersebut, namun pada lain hari ‘Umarlah yang datang dan kemudian ia

memberitahukan informasi baik wahyu maupun yang lain kepada

temannya tersebut.121

Pandangan Sahabat terhadap kenabian juga terlihat bagaimana

ketaatan Sahabat pada Nabi Muhammad. Ketaatan ini kadang tidak

sekedar pada hal yang diperintahkan bahkan juga pada hal yang

sekedar pernah dilakukan oleh Nabi. Terlebih keikutsertaan ini

bahkan tidak disertai pengetahuan oleh Sahabat tentang manfaat

keikutsertaan tersebut. Hal ini pernah terjadi pula pada ‘Umar ketika

ia akan mencium Hajar Aswad. Ia berkata, “Sungguh, seandainya aku

tidak melihat Muhammad menciummu dan menyentuhmu nisacaya

aku tidak akan melakukannya.”122

Selain itu ada pula riwayat Ibn ‘Umar yang menceritakan

tentang cincin emas yang dipakai Nabi. Suatu hari Nabi pernah

memakai cincin emas, maka semua orang pun mengikutinya. Akan

tetapi Nabi kemudian hari mengungkapkan, “Aku telah memakai

cincin emas, kemudian aku pun melepaskannya.” Maka Ibn ‘Umar

berkata, “Sungguh aku tidak akan pernah lagi memakai cincin emas

dan seluruh manusia pun melepasnya.”123

Ada pula pernyataan dari ‘Ali bahwa ketika lewat jenazah di

depan Nabi, beliau pun berdiri dan semua orang pun akhirnya ikut

berdiri. Kemudian Nabi pun duduk dan yang lain pun demikian.124

Beberapa riwayat di atas menyebutkan bagaimana ketaatan

para Sahabat yang begitu tinggi meskipun tanpa adanya perintah

untuk mengikutinya. Namun demikian secara rasional al-Amidi (w.

631 H) memberikan pendapat setidaknya ada 4 alasan mengapa Nabi

121

Lihat Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ al-Bukhari (Riyadh: Da>r al-

Tauq al-Najjah, 1422 H) juz 1, 39. 122

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ Bukhari, juz 2, 151. 123

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ Bukhari, juz 9, 96 124

Ibn Ma>jah, Suna>n Ibn Ma>jah (Riyadh: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Araby, tth)

juz 1, 493

Page 107: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

90

menjadi model bagi para Sahabat. Pertama, perbuatan Nabi

mengandung hal yang wajib dan yang tidak dalam mengikutinya,

namun mengikuti yang tidak wajib itu dianggap lebih menentramkan

hati dari pada meninggalkannya. Kedua, kenabian adalah kedudukan

yang mulia. Dalam arti, mengikutinya pun berarti mengagungkan dan

menghormatinya. Ketiga, perbuatan Nabi dianggap sebagai penjelasan

terhadap segala ucapan Nabi, maka mengikutinya berarti pula

mengikuti ucapannya. Keempat, perbuatan Nabi pasti mengandung

kebenaran, maka mengikutinya berarti mengikuti kebenaran.125

Selintas pandangan di atas memang mengindikasikan

bagaimana para Sahabat menganggap Muhammad sebagai nabi yang

memang layak diikuti segala perilakunya. Namun demikian, jika

dilihat lebih lanjut pandangan Nabi terkait persoalan kehidupan

pribadi yang bersentuhan dengan sisi kemanusiaan kadang tidak

menjadi perhatian tersendiri bagi para Sahabat. Karenanya kadang

pula dalam hal ini Sahabat tidak kemudian mengikuti saran Nabi

bahkan terkesan tidak menganggapnya sebagai perintah umum kepada

para Sahabat.

Salah satu contohnya adalah yang terkait saran Nabi terhadap

Bari>rah untuk ruju’ dengan suaminya, Mughi >th.

126

Ibn ‘Abbas bercerita, “Adalah suami Bari>rah adalah seorang

budak bernama Mughi>th. Aku melihatnya mengitari Bari>rah sambil

menangis, hingga air matanya mengalir ke jenggotnya.” Kemudian

Nabi berkata kepada ‘Abbas, “Hai ‘Abbas apakah engkau tidak heran

betapa cintanya Mughits kepada Bari>rah dan betapa bencinya Bari>rah

kepada Mughi>th.” Lalu Nabi pun menyarankan pada Bari>rah,

125

Shaif al-Di>n Abu> H{asan al-Amidy, al-Ih{kam fi> Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983) 255-255 126

Muhamad ibn Isma’il al-Bukhari, Musnad al-Bukhari, juz 7, 48.

Page 108: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

91

“Bagaimana menurutmu jika kau kembali pada Mughi>th?” Bari>rah

menjawab, “Ya Rasulullah, apakah ini perintah?” Nabi menjawab,

“Ini hanyalah saran.” Bari >rah menjawab, “Tidak, aku tidak lagi

tertarik kepadanya.”

Secara jelas hadis di atas terlihat bagaimana seorang Sahabat

juga menimbang perintah Nabi apakah perlu dilakukan atau tidak.

Respon tersebut juga dapat difahami bahwa memang jika berkenaan

dengan hal pribadi yang kadang tidak terkait agama seperti soal sikap

suka dan tidak pada seseorang, tentu tidak ada kewajiban untuk

mengikuti perintah tersebut.

Selain hal pribadi, ternyata Sahabat juga memberikan sebuah

pertimbangan tentang sikap dan perintah Nabi, yakni apakah perintah

tersebut dari Allah atau hasil ijtihad pribadi Nabi. Tentunya ijtihad ini

pasti terkait dengan hal keduniaan selain akidah dan ibadah yang

memang Sahabat bahkan Nabi sekalipun tidak mungkin

mengarangnya. Salah satu contohnya adalah sikap Sahabat Sa’ad ibn

Mu’az dan Sa’ad ibn ‘Ubadah kepada Nabi saat beliau menyampaikan

sebuah taktik peperangan, keduanya malah berkata 127

. Hingga akhirnya Nabi pun

mengungkapkan bahwa pendapatnya bukanlah wahyu melainkan

taktik perang belaka. Disinilah kemudian Nabi mengikuti pendapat

kedua Sahabat tersebut dan meninggalkan pendapatnya sendiri.

Meskipun terdapat perbedaan apakah peperangan menjadi

bagian dari ajaran agama atau tidak, namun disadari bahwa taktik

perang adalah masalah pengalaman dan pengetahuan. Hal ini tentu

berbeda dengan masalah ibadah dan akidah yang sahabat hanya

menerima tanpa mempertimbangkanya kepada Nabi.

Dengan demikian bisa dilihat bagaimana kemudian ketaatan

Sahabat kepada Nabi tidaklah buta melainkan dengan daya nalar yang

sangat rasional. Setidaknya contoh di atas bisa memberikan gambaran

127

‘Abdul Malik ibn ‘Abdullah al-Juwaini (w. 478), Niha>yat al-Matlab fi> Niha>yat al-Mazhab (Riyadh: Da>r al-Manhaj, 2007) juz 18, 98; lihat juga ‘Abdul

‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhari, Kashfu Al-Asra>r ‘An Us{u>l Al-Fah}r Al-Islamy Al-Bazdawy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H), Juz 3, 210

Page 109: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

92

sebagaimana berikut. Pertama, pokok persoalan kenabian adalah bagi

Sahabat adalah wahyu. Karenanya, dalam berijtihad Nabi di depan

Sahabat memiliki standar yang sama dengan Sahabat lainnya. Kedua,

Jika ijtihad Nabi tersebut terkait soal privasi Sahabat dalam hal yang

diperbolehkan, maka Sahabat akan memilih sebagaimana yang mereka

anggap baik. Ketiga, namun demikian, wahyu sebagai keistimewaan

Nabi dalam berkomunikasi kepada Tuhan dianggap mampu

menjembatani segala kesalahan, artinya mengikuti Nabi dalam hal

apapun hampir tidak mungkin jatuh pada tindakan dosa. Karenanya

sebagian orang menganggap bahwa mengikuti Nabi dalam segala hal

adalah baik, meskipun tidak ada janji pahala di dalamnya.

Page 110: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

93

BAB IV

IMPLIKASI IJTIHAD NABI DAN OTORITAS HADIS

Setelah membahas tentang ijtihad Nabi dari berbagai sisi maka

perlu pula melihat bagaimana implikasi dari kedudukan ijtihad Nabi

pada ajaran Islam. Implikasi ijtihad ini pada fungsinya akan melihat

bagaimana ijtihad Nabi sebagai bagian dari kemanusiaan dan otoritas

ijtihad tersebut sebagai hadis Nabi, yang tak lain adalah sumber ajaran

Islam.

Setidaknya pembahasan implikasi ijtihad ini bisa ditelaah

melalui 3 hal berikut. Pertama, interrelasi perbuatan Nabi dan hadis

sebagai sumber hukum. Hal ini ditujukan untuk mengetahui posisi

ijtihad Nabi sebagai hadis yang berfungsi sebagai sumber hukum

Islam. Kedua, universalitas hadis dan ijtihad yang lokal-temporal.

Bahwa hadis bernilai universal sebagai sumber ajaran Islam tentu akan

berbeda dengan ijtihad yang terikat pada waktu dan kondisi tertentu.

Untuk itu, pembahasan ini perlu dipaparkan agar ijtihad tetap bisa

menjadi bagian dari hadis yang universal tersebut. Ketiga, respon

Sahabat sebagai metode kritik matan hadis. Sebagai poin akhir dari

penelitian ini akan mencoba mendesain bagaimana respon Sahabat

terhadap hadis terutama yang beraviliasi dengan ijtihad Nabi sebagai

metode kritik matan. Karena sebagaimana disebutkan sebelumnya

bahwa manusia yang memiliki pemahaman paling baik terhadap hadis

tentu adalah Sahabat.

A. Interrelasi Ijtihad Nabi dan Hadis Sebagai Sumber Hukum

Secara jelas ketaatan kepada Nabi tidak hanya dijelaskan oleh

Nabi sendiri melainkan juga didasarkan pada Alquran sebagai bagian

dari firman Allah.1 Selain sebagai model atau tauladan hamba

sempurna Tuhan,2 Nabi Muhammad ternyata juga diberikan

1Lihat QS. al-Anfal [8]: 20; al-Nisa [4]: 69 dan 80.

2QS. al-Ahzab [33]: 21

Page 111: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

94

wewenang untuk menentukan sebuah aturan.3 Maka, aturan Nabi

Muhammad Saw yang tergambar dalam hadis merupakan ajaran Islam

yang benar.

Mengikuti Nabi adalah jawaban atas tuntutan Alquran di atas.4

‘Ata>’ ibn Khalil menegaskan bahwa mengikuti Nabi jika dihubungkan

dengan berbagai jenis perbuatan terbagi menjadi empat cara pandang.

Pertama, dalam masalah keseharian Nabi yang sama seperti manusia

biasa atau al-af’a>l al-Jibliyyah maka dipandangan mubah baik bagi

Rasul maupun umatnya. Kedua, perbuatan yang merupakan

kekhususan bagi Nabi maka ia dipandangan haram untuk dilakukan

oleh umatnya. Ketiga, perbuatan yang ditujukan secara jelas dari Nabi

untuk dilakukan oleh umat Islam, maka ia dipandangan wajib untuk

diikuti. Dan keempat, perbuatan selain dari tiga yang pertama yang

nantinya harus dicarikan dalil lain (qari>nah) atas keharusan untuk

mengikutinya ataupun meninggalkannya.5

Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam cacatan Muhammad al-‘Aru>sy

mengenalkan tiga aspek yang harus difahami terkait masalah ketaatan

pada tindakan Nabi. Pertama, bahwa tindakan yang dilakukan umat

Muhammad Saw adalah pula tindakan yang dilakukan olehnya baik

mengenai masalah haram, halal, wajib, sunnah dan sebagainya,

kecuali yang memang dijelaskan kekhususannya. Hal ini tentu, karena

Nabi Saw adalah model ajaran Islam itu sendiri. Kedua, segala

tindakan Nabi Saw adalah dalil dari hukum sebuah tindakan itu

sendiri baik haram, halal, mudah dan sebagainya. Ketiga, adanya

tindakan yang berkaitan dengan sebuah konteks status, maka tidak

bisa dilakukan secara umum kecuali mereka yang berperan dalam

3QS. al-A’raf [7]: 157-158. Azami menilai bahwa ayat ini memberikan

indikasi bahwa konsekuensi keimanan kepada Allah adalah pula dengan cara

mentaati dan mengikuti ajaran atau aturan yang dibuat atau dilakukan oleh Nabi

Muhammad. Lihat, M.M. Azami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000), 31. 4QS. Ali Imran [3]: 31.

5‘Ata ibn Khalil, Taysir al-Wus}u>l ila> al-Us}ul: Dira>sat fi> Us}ul al-Fiqh

(Beirut: Da>r al-Ummah, 2000). 102-103.

Page 112: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

95

status tersebut. Misalkan; tindakan imam berbeda dengan makmum

atau tindakan pemimpin berbeda dengan rakyatnya.6

Selain cara pandang dalam penerimaan hadis di atas perlu juga

difahami apa sajakah inti atau isi dari risalah kenabian itu.

Muhammad Shahrur setidaknya meletakkan tiga pembagian dalam isi

risalah ini. Pertama, adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritual

keimanan seperit shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua, akhlak.

Dan ketiga, tentang perundang-undangan.7 Artinya selain dari ketiga

hal tersebut Nabi Muhammad adalah sama perbuatannya, persepsinya

dan tentu ijtihadnya sebagaimana manusia biasa.

Tentang ketiga tema ini Shahrur menilai bahwa masalah

pertama dan kedua tiada ijtihad di dalamnya. Sedang masalah ketiga

yakni tentang syariat atau perundang-undangan menjadi wilayah

pokok ijtihad bagi seluruh umat Islam. Dalam hal ini posisi Nabi

dalam risalahnya hanya bertumpu pada batas maksimal atau

minimalnya atau h{udu>diyyah. Sedang pertengahan dari itu ijtihad

berperan untuk menyesuaikan sebagaimana situasi dan konteksnya.8

Ijtihad ini tentu tidak saja dilakukan oleh umat Islam saja namun juga

oleh Nabi sendiri. Untuk itu, hal seperti pembentukan masyarakat

Arab zaman Nabi, keseharian beliau ataupun ketentuan atas tindakan

masyarakat adalah bentuk dari ijtihad Nabi dalam hadis tanpa harus

menunggu wahyu. Dengan kata lain, ia tidak bersifat abadi baik dalam

hukum mapun pelaksanaanya.9

Meskipun pandangan ini terkesan ekstrim, namun sebenarnya

para ulama hadis kontemporer telah mendiskusikan isi hadis dengan

6Contoh riil pada masalah ini adalah bahwa seorang makmum tidak

membaca dhahir sebagaimana imam atau pada kasus perintah perang hanya bisa

dilakukan oleh pemimpin. Lihat pada Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m, 190-191.

7Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogjakarta:

ElsaQ Press, 2004), 193 8Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 212-213

9Shahrur memberikan penambahan dalam hal ini, bahkan jika didatangkan

ratusan hadis sahih sekalipun namun ternhyata kondisi itu hanya sesuai pada konteks

zaman Nabi tidak kemudian menjadi hal yang seharusnya dilakukan. Lihat,

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 223

Page 113: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

96

memisahkannya ke dalam dua tema besar. Yakni, hadis yang memiliki

implikasi syariat dengan segala kewajiban untuk mentaatinya dan

hadis yang tidak memiliki implikasi syariat dengan ijtihad manusia

sebagai alat perabanya.

1. Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non-Tashri>’iyyah

Orang yang pertama kali membagi Nabi menurut statusnya

dalam menyampaikan hadis yakni Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi> (684 H).

setidaknya ada empat pembagian yang ia lakukan.10

Pertama, bahwa

sebagian ini hadis adalah berisi tabligh atau fatwa yang dengannya

maka siapapun yang menerimanya harus melaksanakannya termasuk

uamt muslim hingga akhir zaman. Kedua, sebagian hadis lain adalah

keputusan Nabi dengan status hakim. Karenanya, dalam hal ini

siapapun tidak boleh melakukannya kecuali dalam posisi sebagai

hakim.11

Ketiga, adalah posisi Nabi sebagai kepala negara.

Sebagaimana yang kedua, bagi siapapun tidak dibenarkan melakukan

hal yang sama selama ia tidak berkedudukan sebagai kepala negara.

Sebagaimana pembolehan Nabi atas kepemilikan tanah bagi mereka

yang menghidupkannya.12

Pemisahan di atas memiliki implikasi terhadap fungsi hadis itu

sendiri. Karenanya, kemudian Mah{mud Shaltu>t (w. 1963 H)

menjelaskan bahwa sunnah secara umum dapat dibagi dua yakni

sunnah tasyri>’iyyah dan non tasyri>’iyyah. Shaltu>t dalam memberikan

gambaran sunnah non tasyri>’iyyah dalam tiga kategori yakni;

pertama, sunnah dalam konteks kebutuhan hidup manusia sepeti

makan, minum, berdiri, jalan, tidur dan sebagainya. Kedua adalah

sunnah yang terkait dengan respon terhadap problem sosial

masyarakat seperti pertanian, kedokteran dan panjang pendeknya

baju. Ketiga, sunnah yang terkait dengan pengaturan manusia dalam

10

Pembahasan panjangnya bisa dilihat pada Shiahab al-Din al-Qarafi, al-Furu>q (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, 105-208.

11Seperti pada hadis pembolehan pemakaian sutera oleh beberapa Sahabat di

atas. 12

Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut: maktabah Asriyah, tt) juz 3,

178.

Page 114: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

97

peperangan seperti strategi perang, mengatur barisan dan

sebagianya.13

Artinya, semua riwayat yang berkaitan dengan hal

tersebut bukan merupakan syariat yang berkaitan dengan tntutan

berbeuat ataupun meninggalkannya.

Lain dari pada itu, ‘Abdul Wahab Khalaf (w. 1955)

memberikan pandangan lain bawa sunnah yang tidak menuntut

terhadap adanya kewajiban untuk diikuti terbagi dengan tiga katergori

lain yakni: pertama, berasal dari tabiat kemanusiaan Nabi. Kedua, apa

yang datang dari Nabi berupa padangan ilmu pengetahuan dan ketiga,

apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syariat yang menunjukkan

bahwa itu khusus bagi Nabi dan bukan perintah secara umum.14

Selain istilah sunnah non tashri>’iyyah yang digunakan oleh dua

ulama di atas ada pula istilah lain. Al-Shaukani (w. 1250) misalnya

menggunakan tiga istilah sekaligus yakni sunnah laisa fi>hi uswah

(bukan untuk dicontoh), sunnah laisa fi>hi ta’assin (bukan untuk

dijadikan dasar) dan sunnah la> bihi iqtida’ (tidak untuk diikuti).15

Al-

Juwaini (w. 478 H) mengatakan sebagai sunnah la> istimsaka (tidak

untuk jadi pegangan),16

bahkan al-Ghaza>li> (w. 505 H) memberikan

istilah la h{ukma lahu aslan (tidak mengandung hukum sama sekali).17

Dalam kajian ilmu hadis setidaknya Ibn Qutaibah (w. 276 H)

bisa menjadi titik awal pembahasan ini. Dalam kitabnya Ta’wil

Mukhtalif al-Hadith, Ibn Qutaibah menyampaikan bahwa sunnah

terbagi menjadi 3 macam.18

Pertama, sunnah yang diberikan Allah

melalui perantara jibril baik berbentuk hadis qudsi mapun hal yang

berikaitan hukum penjelas terhadap Alquran seperti hadis berikut.

13

Mahmut Shaltut, al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa Shari’ah (t.tp.: Dar al-Qalam,

1966), 509. 14

Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh (Kuwait : Dar al-Qalam, 1978)

43-33. 15

Al-Shaukani, Irsha>d al-Fuh}ul ila> Tahqi>q al-H}aq min ‘Ilm al-‘Ushul (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999) juz 1, 165.

16Al-Juwaini, Al-Burha>n fi> Us}ul al-Fiqh (Mesir: al-Wafa’, 1518 H) 321.

17Al-Ghazali, Al-Mankul min Ta’liqa>t al-‘Us}ul (Damaskus: Dar al-Fikr,

1400 H) 255. 18

Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) 181-

184.

Page 115: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

98

19

“haramnya (dinikahi) saudara sepersusuan sama dengan

haramnya (dinikahi) saudara satu nasab.”

Kedua, adalah ketika Nabi Saw diizinkan oleh Allah untuk

menetapkan sesuatu dengan menggunakan ijtihadnya untuk

memberikan keringanan sesuai dengan alasan hukum yang ada.

Seperti yang terjadi pada Zubair ibn Awwam dan Abdurrahma>n ibn

‘Auf yang diperbolehkan oleh nabi memakai pakaian dari sutera

karena alasan penyakit yang mereka derita.20

Ketiga adalah sunnah

yang ditetapkan Nabi sebagai pelajaran akhlak. Jika diikuti ia akan

mendapat keutamaan dan jika tidak ia tidak akan berakhibat dosa. Hal

ini seperti makan binatang ternak yang memakan kotoran.21

Adapun dalam tafsir al-Mana>r, Rashid Rid{a> (w. 1935) ketika

menjelaskan Surat al-A’raf ayat 158 mengatakan bahwa mengikuti

atau ittiba’ kepada Nabi adalah pada hal yang berkenaan dengan

syariat yang dibawanya yakni Alquran maupun sesuatu yang ia

jelaskan darinya.22

Tentu, tidak termasuk di dalamnya kebiasaan yang

dilakukan Nabi.23

disamping itu, lebih lanjut Ibn ‘Ashur (w. 1393 H)

menjelaskan bahwa memang kadang perbuatan Nabi seolah

mengandung sebuah shariat tertentu namun ternyata hal tersebut

19

Hadis ini berkenaan dengan anak perempuan Hamzah, lihat Muhammad

ibn Ismail al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{ (Riyadh: Dar Tahauq, 1422 H)

juz 3, 170. 20

Lihat Muslim Ibh Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’ al-

Turath, tt) juz 3, 1636. 21

Dalam hal ini istilah yang dipakai biasanya adalah al-jalla>lah. Lihat,

Ah{mad ibn al-H{usain al-Baihaqi, Ma’rifat Sunan wa al-Athar (Beirut: dar al-

Qutbiyyah, 1991) juz 14, 106. 22

Muhammad Rashid Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r (Kairo: Dar al-Manar, 1947)

juz 3, 303. Namun demikian, Ridha menyadari bahwa banyak ulama yang masih

menganggap bahwa apapun yang dilakukan Nabi adalah sunnah. Hal inilah yang

harus dikoreksi. Meskipun, bagi mereka yang melakukan perbuatan Nabi namun

sekedar untuk mengingat dan sebagai bukti cinta tanpa ada keyakinan bahwa hal itu

perintah agama dan tidak membahayakan akidah maka tentu hal ini juga dianggap

positif. Lihat, Rashid Rid{a, Tafsi>r Al-Manar>, juz 3,305. 23

Lihat sebagimana yang dikutip oleh Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah non-Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi (Yogjakarta: Arruz Media, 2011)

178-179.

Page 116: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

99

justru untuk menjelaskan sesuatu yang lain. Seperti hajinya Nabi

menggunakan unta. Tentu ini bukanlah perintah Nabi bahwa haji

harus menggunakan unta, melainkan pada saat itu agar mudah

difahami oleh banyak Sahabat maka Nabi pun menggunakan unta.24

Selain berbagai pandangan di atas, Al-Qarad{a>wi> menjelaskan

sebagaimana yang dikutib oleh Tarmizi M. Jakfar bahwa sunnah non

tashri>’iyyah memiliki dua posisi; pertama adalah pada perbuatan nabi

yang tidak ada perintah dan larangan didalamnya, maka hal ini

menjadi mubah dan kedua perbuatan Nabi yang terdapat di dalamnya

perintah dan larangan, maka hal ini masuk dalam kategori irsyad atau

anjuran semata.25

Pendapat ini sebenarnya sejalan dengan istilah yang

dipakai oleh Sulaima>n al-Ashqa>r dengan kata iba>h{ah atau

pembolehan. Al-Ashqa>r memberikan dua istilah iba>h{ah dengan istilah

iba>h{ah aqliyyah dan iba>h{ah shar’iyyah. Iba>h{ah aqliyyah adalah

kebolehan terhadap apa yang dilakukan Nabi berdasarkan argumentasi

rasional cara makan, minum, tidur, pengobatan dan sebagainya.

Sedang, ibah{ah syar’iyyah adalah kebolehan yang didasarkan pada

shari’at seperti menikahi istri anak angkat dan yang lainnya yang

diperbolehkan oleh syariat.26

Adapun bagi Muh{ammad al-‘Aru>sy27

sebagaimana yang ia

kutib dari Ibn H{azm (w. 456 H) bahwa isyarat mubah ini muncul dari

apa yang diungkapkan Nabi dalam sebuah hadis,

“Tinggalkanlah/biarkanlah apa-apa yang aku biarkan untuk kalian.

Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena pertanyaan

dan perselisihan mereka pada para Nabinya. Jika aku larang kalian

sesuatu maka jauhilah, dan jika aku perintah kalian sesuatu maka

kerjakanlah semampu kalian.”

24

Al-T{ahir ibn ‘Ashur, Maqa>s{id al-Shari’ah al-Isla>miyyah (Kairo: Dar al-

Salam, 2005) 27. 25

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi, 128-129

26Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala al-

Ah}ka>m al-Syar’iyyah (Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976), 195 dan 395. 27

Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha ‘ala> al-Ah{ka>m, 202.

Page 117: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

100

Perintah untuk mendiamkan apa yang dibiarkan Rasul dan

mengerjakan perintah semampunya inilah yang kemudian menjadi

alasan bahwa seseorang harus melakukan semampunya saja. Artinya,

jika ia tidak mampu maka tidak ada dosa baginya. Selain itu Ibn

H{azm (w. 456 H) melanjutkan, adanya penjelasan dalam Alquran 28

bukan menggunakan .

Sehingga, siapapun yang memahami bahasa Arab pasti akan

mengatakan bahwa ungkapan pertama adalah menujukkan anjukan

dan bukan kewajiban. Maka, siapapun boleh mengikutinya ataupun

meninggalkannya.

Istilah-istilah tersebut muncul tentu bukan tanpa alasan.

Melainkan, memang banyak ditemukan hadis-hadis yang pada

akhirnya tidak bisa digunakan pada masa kekinian karena perbedaan

ruang, waktu dan peralatan. Sedang konsekuensi adanya hadis ini

terkait penggunaanya sebagai sumber hukum Islam tidak dimasukkan

dalam golongan tasyri’ atau tidak ada kewajiban untuk mentaatinya.29

Pandangan ini yang kemudian bagi Sulaima>n al-Ashqa>r menegaskan

bahwa perbuatan Nabi akan dipandang sebagai sunnah hanya apabila

terletak di dalamnya otoritas, sedang kalau tidak ada kepastian

otoritasnya ia bukan sunnah tetapi sama seperti perbuatan manusia

pada umumnya.30

2. Kerancuan Perdebatan Sunnah Tashri>’iyyah dan non-

Tashri>’iyyah

Meskipun penjelasan antara sunnah tashri>’iyyah dan non-

tashri>’iyyah ini cukup banyak diperdebatkan ternyata hal ini masih

menyisakan beberapa persolan. Pertama, adalah tentang garis pembeda

yang manakah tashri>’iyyah dan mana yang tidak. Hal ini nampaknya

sama seperti perbedaan apakah Nabi hanya sebagai penjelas soal

ketuhanan dan kebertuhanan semata ataukah soal keduniaan juga?

28

QS. al-Ah{zab [33] : 21. 29

Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah. cet. 3,

(Kairo: Dar al-Suru>q, 2002) 48. 30

Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah, 189.

Page 118: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

101

Kedua, adalah tentang status hukum dari sunnah non-tashri>’iyyah itu

sendiri. Apakah semua hadis yang dimaksud sebagai sunnah

tashri>’iyyah itu akan dibuang begitu saja atau haruskah bagaimana?

Orang yang cukup keras terhadap pembagian sunnah ini adalah

Sulaima>n ibn Sha>lih{ al-Khurasy. Al-Khurasy bahkan mengatakan

bahwa hal ini adalah bid’ah karena memang tidak pernah disebutkan

oleh ulama salaf.31

Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut Tarmizi M.

Jakfar menyatakan bahwa sejak zaman Nabi sebenarnya kasus

pemilahan terhadap perbuatan Nabi sudah dilakukan oleh Sahabat.

Hal ini bisa dilihat pada hadis-hadis yang sudah dijelaskan

sebelumnya seperti: pernyataan H{abab ibn Munzir tentang strategi

perang yang diusulkan Nabi namun H{abab ternyata memiliki ide yang

lain32

atau tentang Bara>rah yang menolah rujuk dengan suaminya

padahal sudah diberikan saran oleh Rasulullah.33

Untuk itu, pemahaman tentang tiadanya pertimbangan perintah

Nabi yang berimplikasi terhadap tindakan umat atau tashri’

sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi sekalipun. Akan tetapi perlu

pula disadari bahwa tidak pernah kemudian Sahabat membaginya

sebagai tashri>’iyyah maupun non-tashri>’iyyah.

Persoalan berikutnya yang diungkapkan oleh al-Khurasy adalah

tentang kriteria yang bisa membagi keduanya. Hal ini cukup rumit

dilakukan bahkan bisa jadi setiap orang akan berpendapat berbeda

sebagaimana pembahasan sebelumnya. Terlebih yang paling tahu

perbedaan keduanya tentu adalah Nabi sendiri.

Dalam pandangan lain al-Maudu>di (w. 1979) mencoba

mendudukkan masalah ini terhadap bahasa teoritis dan praktis. Dalam

pandangan teoritis, kata al-Maudu>di, perbedaan antara kapasitas serta

fungsi menusia dan kenabian Rasulullah Saw tidaklah bisa ditolak

31

Sulaiman ibn Shalih al-Khurasy, Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafii, 2003) 187

32Lihat penjelasan pada bab 3 sebelumnya atau lihat ‘Abd al-Jalil Isa Abu>

al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam (Kairo: Da>r al-Ih{ya’ al-

‘Arabi, 1950) 190-192. 33

Lihat hadis dalam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad S{ah{ih{, juz 7, 48.

Page 119: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

102

begitu saja. Rasulullah datang untuk mengajarkan manusia agar taat

kepada Allah dan bukan mengikuti kehendak pribadinya. Kewenangan

yang ia miliki bukanlah berdasarkan kualitas kemanusiaan yang ia

miliki namun berdasarkan peranan yang ia dapatkan dari Allah

sebagai utusan yang menjelaskan perintah Allah sebagai Tuhan

kepada manusia.34

Problem sebenarnya menurut al-Maudu>di terletak dalam

pandangan praktis. Dalam hal ini persoalan lebih rumit karena

kapasitas kenabian dan kapasitas kemanusiaan menyatu dalam diri

Muhammad. Karenanya perbedaan tidak terlihat begitu jelas. Terlebih

segala perbuatan yang Nabi lakukan juga pasti dengan

mempertimbangkan pengetahuan akan wahyu Alquran yang langsung

ia terima. Untuk itu, al-Maudu>di menyatakan bahwa bagi umat Islam

tidak selayaknya memutuskan sendiri bahwa sebagian sunnah hanya

merupakan tindakan manusiawi dan tidak mengikat. Terlebih

pertanyaan Sahabat seperti H{abab ibn Munzir dalam riwayat perang

Badar sebelumnya menunjukkan bahwa Sahabat sekalipun akan

hampir selalu melakukan apa yang dilakukan Nabi kecuali hal itu

memang benar-benar dianggap bisa ditawar ataupun diinterpretasikan

dengan perbuatan lain.

Al-Maududi kemudian menawarkan dua cara untuk mengetahui

bagian dari sunnah itu yang tidak mengikat yakni dengan cara:

pertama, dengan alat informasi khusus dari Alquran atau hadis yang

membuat suatu hal menjadi jelas. Kedua, dengan menerapkan prinsip-

prinsip penafsiran yang mapan. Misalnya, masalah makanan35

dan

minuman yang mendetail yang dilakukan oleh Nabi memang tidak

mengikat, namun ada batasan umum yang dijelaskan oleh Alquran

maupun suatu hadis yang mengikat.

Membedakan sisi sunnah dalam sisi kenabian dan kemanusiaan

memang bukan hal yang mudah. Namun menurut al-Maududi, yang

34

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi. 134-135

35Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought (Cambridge:

Cambridge Univeristy Press, tth) 78; lihat pula Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi, 135-136.

Page 120: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

103

bisa dilakukan adalah dengan memungkinkan adanya penafsiran

terhadap apa yang dilakukan Nabi meskipun tindakan itu adalah

tindakan manusiawi belaka.36

Akan tetapi, jika memang jelas bahwa

sunnah itu berkaitan dengan Allah atau perintah dariNya maka sudah

selayaknya dan semestinya tidak ada lagi perdebatan.

Dengan demikian, perdebatan tentang sunnah tashri>’iyyah ini

bisa diambil dari tiga sisi yang berbeda. Pertama, adalah sisi

keniscayaan adanya sunnah non-tashri>’iyyah. Hal ini siapapun dan

bahkan para Sahabat pun terlihat bahwa mereka kadang memandang

perbuatan Nabi tidak selamanya berimplikasi terhadap ketaatan atau

tashri’. Sehingga kepastian akan adanya sunnah non tashri>’iyyah

sudahlah jelas.

Kedua, tentang otoritas penentu kriteria tashri>’iyyah dan non

tashri>’iyyah. Hal ini sangtalah sulit diambil titik-temunya selain

perkataan al-Khurasy bahwa yang paling mengetahui tentu adalah

Nabi sendiri yang berbuat. Bahkan, kekeliruan Sahabat dalam sistem

pertanian kurma yang ditawarkan Nabi pun terlihat dalam masalah

ini. Bahwa, Sahabat sendiri tidak mengetahui apakah ini sunnah yang

tashri>’iyyah atau tidak. Ketiga, mengenai ruang lingkup antara sunnah

tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah. Hal ini akan selalu menuai

perdebatan yang sama seperti perdebatan apakah Nabi hanya

menyampaikan pada masalah keduniaan ataukah hanya terkait

keagamaan belaka. Karenanya, pembedaan seperti al-Qara>fi> akan

banyak lagi macamnya jika dilihat dari status seperti guru, suami,

ayah, penasehat, pimpinan perang, imam, pedagang, dan sebagainya

yang menyatu dalam kepribadian Nabi.

3. Dari Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non-Tashri>’iyyah

ke Sunnah Ijtihadiyah dan Wahyiyyah

Dari problematika yang berkepanjangan di atas tentu tidak lagi

penulis kemudian ikut serta memperdebatkannya ataupun mencarikan

ruang lingkup yang memang saling terkait antara tashri>’iyyah dan non

tashri>’iyyah. Sebagaimana penjelasan pada bab sebelumnya dan

36

Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought, 79.

Page 121: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

104

beberapa tema di atas, pokok persoalan antara sisi kemanusiaan dan

kenabian Muhammad yang ada dalam hadis bukanlah terletak pada

perdebatan tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah. Mengapa demikian?

Setidaknya dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, bahwa

urusan tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah adalah urusan praktis yang

terikat dengan aplikasi lansung yang dilakukan oleh umat Islam,

sedang hadis adalah sebagaimana dasarnya adalah berkaitan dengan

tindakan Nabi. Karenanya, jika keduanya dipertemukan tentu akan

menuai banyak kesulitan dalam mengkategorikannya karena memang

beda medannya. Kedua. Wujud dari sisi kemanusiaan adalah akal, dan

hasil dari akal adalah ijtihad. Sedangkan, wujud dari kenabian adalah

risalah Tuhan, dan hasil dari risalah Tuhan adalah wahyu yang

disampaikan oleh Nabi. Karenanya, membahas sisi kenabian dan

kemanusiaan Nabi dalam hadis yang paling tepat bukan pada sisi

tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah melainkan pada sunnah ijtiha>diyah

dan sunnah wah{yiyyah.

Sunnah ijtiha>diyah adalah segala sunnah yang dihasilkan oleh

Nabi melalui ijtihadnya sediri. Tentunya, hal ini sangat erat dengan

sisi kemanusiaannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa ijtihad Nabi

tentu akan pula didasari dengan pengetahuannya terhadap Alquran

yang telah diterimanya, terkecuali hal-hal yang memang belum

diterimanya waktu itu. Sedang sunnah wah{yiyyah adalah segala

sunnah Nabi yang berkaitan langsung dengan penjelasan Allah Swt

kepada Nabi. Adapun contoh dari hal ini bisa dilihat dari apa yang

disampaikan Nabi berkaitan dengan ketuhanan, berketuhanan, atau

segala sesuatu di mana Nabi menyandarkannya kepada Allah sebagai

sumbernya.

Salah satu contoh sederhana adalah apa yang disampaikan nabi

tentang bawang putih. Suatu ketika banyak Sahabat setelah makan

bawang kemudian masuk masjid lalu Nabi mencium bau tersebut dan

berkata,

Page 122: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

105

37

“Sungguh siapa yang memakan pohon yang bau (bawang putih)

ini, maka jangan mendekati masjid.” Lalu orang-orang mengira bahwa

Nabi mengharamkannya, hingga terdengarlah kabar itu pada Nabi, lalu

Nabi berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada hak

bagiku mengharamkan apa yang dihalalkan Allah untukku, hanya saja

pohon itu (bawang putih) termasuk jenis tanaman yang tidak aku sukai

aromanya.”

Secara jelas Nabi sendiri mengatakan bahwa terkait tentang

halal dan haramnya sesuatu pasti Nabi tidak akan sembarangan

menggunakan ijtihadnya melainkan akan menunggu wahyu atau

perintah Allah secara langsung. Namun demikian, ada pula ijtihad

yang dimiliki oleh Nabi yang didasarkan pada sisi kemanusiaannya

pribadi tentang suka dan tidaknya pada sesuatu. Tentu hal ini adalah

manusiawi belaka selama tidak melanggar perintah atau wahyu yang

baku.38

Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam H{ujjatul Ba>lighah-nya telah

menyinggung hal ini. Meskipun ia memisahkan sunnah terhadap

sunnah dalam konteks penyampaian risalah dan yang bukan dalam

konteks penyampaian risalah. Al-Dahlawi juga menyinggung soal

ijtihad.39

Dalam konteks kedua sudah dipastikan akan berisi ijtihad

Nabi dengan segala pertimbangannya baik pengalaman, kebiasaan

maupun wahyu yang ia terima. Namun dalam konteks yang pertama,

ternyata ijtihad Nabi juga masih berpengaruh di dalamnya. Dalam

kategori konteks risalah, al-Dahlawi membaginya menjadi empat hal

37

Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 395. 38

Berbeda dengan penulis, Tarmizi dalam penelitiannya menanggap bahwa

hal inilah yang mengindikasikan adanya pemisahan Sahabat antara tashri>’iyyah dan

non-tashri>’iyyah, namun penulis menganggap bahwa inilah pemisah antara sunnah

ijtihadiyah dan sunnah wahyiyyah. Lihat Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi. 161.

39Syah Waliyullah al-Dahlawi, H{ujjatul al-Ba>lighah (Beirut: Da>r al-

Ma’rifah, tth) 128-129.

Page 123: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

106

yakni tentang keghaiban, syariat, kebijaksanaan dan kemaslahatan

umum dan amal utama. Di sini, dua hal yang terakhir, menurut al-

Dahlawi, Nabi masih pula menggunakan ijtihadnya. Dalam arti Allah

hanya mengajarkan kaidah-kaidahnya, kemudian Nabi yang

mengeluarkan hukumnya.40

Dengan demikian tidak lagi perlu memperdebatkan mana yang

tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah karena memang dalam diri Nabi sisi

kemanusiaan dan kenabian tidak bisa dipisahkan. Bahkan, dengan

adanya sisi kemanusiaan yakni ijtihad ini justru shari’ah kemudian

mudah dilakukan oleh manusia. Lihat misalnya pada perintah Allah

kepada Nabi tentang perintah shalat 50 kali.41

Andaikata sisi

kemanusiaan atau ijtihad tersebut tidak digunakan Nabi tentu akan

memberatkan manusia dalam melakukan perintah Allah tersebut.

Adapun tentang berita dalam sunnah Nabi, Ibn Qayyim (w. 751

H) telah memiliki dua kriteria. Pertama, berita yang bersumber dari

wahyu. berita jenis ini sudah pasti telah disepakati kebenarannya

kaena Nabi tidak mungkin berbohong mengenainya. Berita kedua

adalah dugaan Nabi mengenai persoalan dunia. Hal ini tergambar jelas

dalam riwayat tentang penyerbukan kurma. Dimana, Nabi mengatakan

bahwa jika yang disampaikan adalah wahyu maka pastilah

kebenarannya, namun jika tidak tentu ijtihadnya bisa jadi sama baik

benar maupun salahnya sebagaimana ijtihad manusia biasa42

Sehingga,

jelaslah bahwa manksud dari Ibn Qayyim dalam menjelaskan isi berita

dari sunnah itu terbagi menjadi dua yakni sunnah wah{yiyyah dan

sunnah ijtiha>diyah.

Al-Qarad{a>wi> juga sempat berkomentar tentang ijtihad Nabi,

meskipun ia lebih memfokuskan perdebatan antara tashri>’iyyah dan

non-tashri >’iyyah dari Sunnah. Bagi al-Qarad{a>wi>, Nabi tetaplah

40

Lihat penjelasan lengkap pada Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi, 174-175.

41Lihat para riwayat kisah Isra’ Mi’raj. Lihat penjelasan pada bab 3. Lihat

pula pada Musim ibn H{ajjaj, S{ah{ih} Muslim, juz 1, 145. 42

Ibn Qayyim, Mifta>h Da>r al-Sa’adah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1993) juz 2, 590-591.

Page 124: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

107

manusia biasa yang berijtihad, bahkan dalam sebuah persoalan agama

sekalipun. Ia contohkan dalam sebuah riwayat,

43

Suatu ketika datang seorang perempuan dari Junainah kepada

Nabi dan berkata, “Ibuku telah bernazar untuk melaksanakan haji,

namun ia telah meninggal sebelum bisa melaksanakan haji, maka

bolehkan aku haji untuknya?” Rasul kemudian menjawab, “Ya,

berhajilah untuknya. Bukankah jika ibumu memounyai hutang kau

akan membayarkannya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang kepada

Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”

Hadis di atas mengindikasikan bagaimana Nabi memberikan

analogi nazar dengan hutang yang harus dibayar. Tentu, ini dianggap

sebagai upaya ijtihad Nabi dalam menjawab persoalan Sahabat.

Sehingga ijtihad Nabi adalah hal yang sangat manusiawi. Namun

demikian, al-Qarad{a>wi> mengungkapkan bahwa terkadang ijtihad Nabi

bisa saja salah namun wahyu segera turun untuk memperbaiki

kesalahannya. Inilah keistimewaan Nabi Saw dibanding dengan ijtihad

pada ulama pada umumnya.44

Ungkapan al-Qarad{a>wi> di atas memang tidak sepenuhnya salah,

namun ada hal yang harus dikoreksi bahwa ada kalanya Nabi memang

berijtihad dan salah namun tidak dibenarkan oleh wahyu. Hal ini

terjadi pada contoh yang sering diungkapkan yakni soal penyerbukan

kurma. Namun demikian, al-Qarad{a>wi> memiliki argumen bahwa

masalah penyerbukan kurma adalah wilayah non-tashri>’iyyah dan

Ijtihad Nabi hanya berlaku pada masalah peperangan dan keduniaan.45

Tentunya hal ini menjadi aneh, karena contoh yang diberikan sendiri

adalah ijtihad Nabi masalah haji, apakah bagian dari masalah

43

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 3, 18. 44

Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64. 45

Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.

Page 125: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

108

keduaniaan? Tentu tidak, artinya bahwa memang sisi kemanusiaan

Nabi juga ikut serta dalam menjelaskan syariat.

B. Universalitas Hadis dan Ijtihad yang Lokal-Temporal

Persoalan berikutnya tentang ijtihad Nabi ini adalah bagaimana

kita bersikap terhadap ijtihad tersebut. Sebagaimana difahami pada

bab sebelumnya bahwa memang Nabi telah berijtihad dan tidak hanya

masalah keduniaan semata namun juga berkaitan dengan masalah

agama.

Sebelum sampai pada bagaimana kita berisikap terhadap

adanya ijtihad Nabi ini ada baiknya kita lihat terlebih dahulu sumber

ijtihad Nabi. Nabi Muhammad Saw secara pribadi memang tidak bisa

dipisahkan dari sisi kemanusiaan dan kenabiannya. Karenanya

pengetahuan yang ia peroleh pun melalui kedua alat itu. Pertama,

tentu adalah wahyu baik Alquran maupun lainnya (yang akhirnya

berbentuk hadis) yang selalu menyertainya ketika menyelesaikan

sebuah persoalan. Kedua, adalah faktor sosial masyarakat Arab yang

terikat dengan zaman baik dari segi budaya, peralatan, makanan,

peperangan dan sebagainya. Hal inilah yang kemudian membuat

kesempurnaan Nabi dalam berijtihad yang hampir sulit ditemukan

kesalahannya karena kecerdasannya itu.

Sebenarnya al-Qarad{a>wi> pernah mengungkit sedikit mengenai

hal ini ketika ijtihad Nabi ia kaitkan dengan sunnah tashri’iyyah dan

non tashri’iyyah. Baginya, ijtihad hanya berlaku pada sisi sunnah non-

tashri’iyyah karenanya dalam masalah ini kita, kata al-Qarad{a>wi>

boleh menolak ataupun sependapat dengan dengan Nabi. Ia

mencontohkan bahwa keputusan Barirah yang enggan rujuk kepada

suaminya adalah contoh yang jelas dalam hal ini.46

Persoalan yang bersisa dari gagasan al-Qarad{a>wi> di atas adalah

apakah semua hadis yang beriafiliasi terhadap ijtihad Nabi dalam hal

keduniaan boleh ditolak begitu saja? Ataukah justru ada hal yang

membolehkan kita untuk mempertimbangkan dan juga menafsirkan

kepada hal yang lain? Agaknya pendapat al-Maududi dalam hal ini

46

Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.

Page 126: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

109

lebih bisa diterima ketika mengatakan bahwa sunnah yang terkait

dengan hal keduniaan bukanlah berarti sunnah kemanusiaan semata

(hal ini karena memang sisi kenabian dan kemanusiaan tidak bisa

dipisahkan), melainkan semata-mata bahwa sunnah ini dimaksudkan

untuk tujuan berbeda. Oleh sebab itu, harus ditafsirkan dengan cara

yang berbeda pula.47

Salah satu contohnya adalah cara makan Nabi dengan tiga

jari.48

“Rasulullah biasa makan dengan tiga jari, dan menjilatinya

sebelum mencuci tangannya.”

Hal ini tentu selain kita mengingat bahwa pada masa Nabi

makanan yang sering adanya adalah kurma dan roti, tentu tidak

membutuhkan banyak jari terlebih peralatan modern seperti sendok,

garpu dan sebagainya. Namun, bukanlah alat itu yang menjadi

pelajarannya, melainkan bahwa kita dalam makan sesuatu hendaknya

tidak berlebihan. Inilah yang kemudian kita tafsirkan dengan adanya

semangat Alquran yang menyebutkan untuk makan dan minum

namun tidak berlebih-lebihan. “Makan dan minumlah, namun jangan

berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang

berlebih-lebihan.”49

1. Universalitas Hadis Nabi Muhammad Saw.

Kembali pada pokok persoalan awal bahwa hadis

bagaimanapun telah menjadi sumber ajaran Islam. Karena,

sebagimana ungkapan al-Sha>tibi, yang dicatat oleh Abu Zahrah50

memang Alquran lebih banyak menjelaskan sesuatu yang bersifat

general dan Nabi kemudian diberi tanggung jawab untuk

47

Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought, 79. 48

Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 3, 1605. 49

QS. al-A’raf [7]: 31. 50

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Hamdan Rasyid dkk (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2005) 151.

Page 127: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

110

menjelaskannya seperti cara shalat, haji, puasa dan sebagainya.

Karena itu ketaatan kepada Allah takkan berarti tanpa ketaatan

kepada Nabi sebagi pembawa firman Allah sendiri.51

Ketatan ini harus

bersifat universal dan tidak berubah sampai kapanpun.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ketaatan kepada

Allah yang harus dilakukan seumur hidup harus pula disertai dengan

ketaatan kepada Rasul, dan hadislah yang menjadi bagian tak

terpisahkan darinya. Selain karena Islam yang dibawa Nabi

Muhammad adalah agama terakhir dari Allah kepada manusia

setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan keharusan

universalitas hadis itu.52

Pertama, jumlah umat Islam yang begitu banyak tersebar

dengan berbagai budaya, wilayah geografis, dan kondisi sosial

berbeda tentu tidak sama dengan apa yang dialami Nabi. artinya,

Islam bukanlah agara orang Arab melainkan agama seluruh manusia.

Kedua, kenyataan bahwa saat ini umat Islam tidak menyatu

dalam satu daulah isla>miyah, maka konsekuensi kelanjutan hadis

sebagai bagian dari sumber ajaran Islam pun tak selamanya bisa

terlaksana dengan sama. Terlebih pada negara yang jumlah umat

Islam minoritas.

Ketiga, dalam keputusannya, Nabi telah memberikan contoh

agar menyesuaikan Islam sebagaimana kondisi masyarakat. Hal ini

tergambar pada perubahan yang dibuat Nabi dalam hukum ziarah

kubur bagi umat Islam.53

Dimana kekhawatiran Nabi terhadap akidah

Sahabat yang belum matang dan sangat rentan terhadap kekufuran

dan kemusyrikan membuat Nabi melarangnya, namun tatkala

pemahaman itu cukup maka Nabipun kemudian membolehkannya.54

51

QS. An-Nisa [40] : 80. 52

Sebenarnya banyak hal yang membahas hal ini, namun penulis mencoba

menyederhanakan dari apa yang penulsi anggap perlu. Lihat misalnya pada, Suryadi,

Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis, atau Hanim Ilyas, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama, yang terkumpul dalam Bunga Rampai Wacana Hadis Kontemporer (Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002) 138-180.

53Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 672.

54Lihat Fais{al ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Najdi, Tatri>z Riya>d{ al-S}a>lihi>n (Riyadh:

Da>r al-‘Asimah, 2002) 386. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa jika hari ini di

Page 128: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

111

Kempat, adanya peran Sahabat sebagai orang yang dekat

dengan Nabi namun mecoba menafsirkan perintah Nabi dengan

menyesuikan zamannya. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar ibn

Khattab saat menjadi khalifah namun tidak menghukum orang yang

mencuri karena pada masa itu terjadi kekeringan.

Kelima, Islam adalah agama rah{matan lil ‘a>lami>n. Karenanya ia

harus selalu bisa terlaksana dan difahami agar selalau s}a>lih{ li kulli

zama>n wa maka>n.

2. Ijtihad Nabi Sebagai Hadis yang Universal dan Lokal Temporal

Kelima hal sebelumnya memang akan menjadi pembahasan

terus menerus agar hadis mudah difahami dan diaplikasikan oleh umat

Islam. Namun, agaknya ada usaha yang berbeda jika kemudian yang

digunakan adalah ijtihad Nabi. Ijtihad sebagai upaya nalar manusia tak

terkecuali Nabi tentu sangat tergantung pada pengetahuan internal dan

eksternalnya. Yang dalam hal ini pengtahuan internal Nabi adalah sisi

kehidupan sosial yang mempengaruhi cara berfikir dan

pengetahuannya sedang sisi eksternalnya adalah wahyu yang kapan

saja bisa datang baik sekedar menginformasikan hal baru, ataupun

mengingatkan ketika terjadi kesalahan.

Contoh ijtihad Nabi yang lokal temporal namun berisi pesan

universal adalah berikut,

55

Bahwa Rasulullah pernah melarang tiga hal dan kemudian

membolehkannya. Yakni, tentang ziarah kubur, menyimpan daging

kurban lebih dari tiga hari, minum dari wadah kulit. Tentunya

perbahan ini harus melihat konteks sebab perubahan itu terjadi.

suatu daerah masih terdapat umat Islam yang melakukan ziarah namun masih

tercampur di dalamnya unsur kekufuran dan kesyirikan maka hal itu seharusnya

dilarang hingga mereka mengetahui fungi ziarah yang sebenarnya. 55

Muslim ibn H{ajjah, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 3, 672.

Page 129: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

112

Pertama tentang ziarah yang menjadi problematika sebenarnya adalah

bukan ziarah melainkan adalah masalah kesyirikan dan kekufuran

sebagiman dijelaskan sebelumnya. Kedua, adalah jaminan masyarakat

untuk mendapatkan daging kurban dan ketiga adalah dilarangnya

mabuk. Di sinilah sebenarnya secara langusng Nabi telah mengajrakan

bahwa ada sisi lokal temporal pada apa yang ia sampaikan dan ada sisi

universal yang sampai kapanpun harus terlaksana.

Dengan demikian, kesimpulan universal dari hadis di atas

adalah sampai kapanpun kesyirikan dan mabuk adalah hal yang

dilarang dalam agama karena jelasnya dalam wahyu Alquran dan

menjamin ketiadaan lapar dalam diri umat Islam adalah kewajiban

yang tidak boleh dilupakan.

3. Menyikapi Semangat dan Hasil Ijtihad Nabi

Setelah perbincangan mengenai Ijtihad telah benar adanya dan

berbagai kaitan dan contohnya telah disebutkan, maka saatnya kita

mediskusikan bagaiman menyikapi adanya ijtihad Nabi itu. Setidaknya

ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya perbedaan sikap kita

terhadap ijtihad Nabi dalam hadis yang berbeda dengan sikap kita

terhadap Nabi yang disertai dengan adanya perintah Alquran.

Setidaknya ada 4 ruang lingkup yang harus difahami secara

berbeda dalam ijtihad Nabi. antara lain:

a. Ijtihad Nabi yang dibenarkan Wahyu

Untuk masalah ijtihad model pertama ini sikap kita jelas akan

menerimanya karena alasan wahyu. Alasan ini tentu tidak perlu

diperdebatkan karena Nabi bertugas menyampaikan wahyu Tuhan,

oleh karenanya wahyulah yang kemudian menjadi alasan utama ijtihad

Nabi wajib diterima. Contoh seperti ijtihad Nabi tentang keinginannya

merubah kiblat, meringankan jumlah shalat dalam sehari bagi umat

Islam, keharusan Nabi menikahi anak angkatnya, ataupun kesalahan

Nabi dalam mengikuti pendapat Abu Bakar dalam menerima tawanan

perang dan sebagainya adalah model ijtihad Nabi yang kemudian

dibenarkan wahyu.

Page 130: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

113

Masalah ini membuktikan gambaran sebenarnya kemanusiaan

Nabi yang tidaklah jauh berbeda dengan manusia yang sangat

tergantung pada wahyu, terlebih pada hal-hal terkait masalah yang

ghaib dan ketuhanan.

b. Ijtihad Nabi Terhadap Kasus Duniawi

Untuk kasus kedua ini memang yang cukup banyak

diperdebatkan. Terlebih dalam kajian sunnah tashri>’iyyah dan non-

tashri>’iyyah ijtihad ini menjadi hal yang kadang tak lagi diperhatikan.

Namun, hadis tetaplah ungkapan Nabi yang bisa salah dan benar

terlebih menyangkut dunia. Hal ini karena memang disadari bahwa

sumber ijtihad Nabi adalah wawasan Alquran yang ia dapatkan dari

Allah secara langsung dan pengalaman kehidupannya yang mungkin

berbeda dengan pengalaman kehidupan masyarakat lainnya.

Oleh karena itu, hadis seperti kesalahan dalam penyerbukan

kurma, ketidakmauan Bara>rah untuk rujuk dengan suaminya, ataupun

masalah H{abab ibn Munzir tentang siasat perang tentu memiliki cara

pandang dan perpektif lain. Adapun jika terjadi kesalahan dalam hal

ini, maka sumber kesalahan itu pun dari dua hal. Pertama, adalah

ketiadaan informasi dari wahyu Allah Swt. Kedua, pengalaman

kehidupan Nabi dalam hidup bermasyarakat maupun berprofesi.

Misalnya kesalahan Nabi dalam mengusulkan model menyerbukan

kurma, tentu disadari bahwa memang Nabi tidak pernah bekerja

sebagai petani, sehingga mau tidak mau pengetahuan Nabi tentang hal

ini tidak lebih baik dari para petani itu.

Kedekatan Nabi kepada Allah membuatnya sangat mungin

untuk dituntun sebagai model kehidupan atau uswah,56

terlebih

masalah akhlak. Untuk itu dalam menyikap sisi kehidupan Nabi yang

perlu dilakukan ada beberapa hal. Pertama, adalah kemudian mencari

semangat dari Ijtihad Nabi itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk

difahami bahwa pemahaman Nabi tentang kehidupan sedikit banyak ia

juga dapatkan dari pemahamannya dalam Alquran. Misalnya masalah

56

QS. Al-Qalam [68]: 3; Lihat pula riwayat Abu> Hurairah dalam Ah{mad ibn

H{usain al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmi, 2002) juz 10,

323.

Page 131: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

114

seperti makan tiga jari57

di atas bukan keikutsertaan melakukan hal

yang sama yang menjadi persoalan, selain karena berbeda objek

makanan dan budaya, tentu sikap Nabi adalah cerminan dari keharusan

untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Begitu pun, hal ini terjadi

pada kasus memanjangkan pakaian hingga bawah mata kaki yang

dilarang Nabi. Ketika, Abu Bakar bertanya tentang pakaiannya, jawab

Nabi ia bukan termasuk yang didalamnya karena poin pentingnya

adalah kesombongan bagi pemakainya.58

Al-Qarad{a>wi> dalam hal ini bahkan lebih keras ketika

menganggapnya bid’ah, yakni tentang memegang tongkat sebagai hal

yang pernah dilakukan Nabi. Tentu al-Qarad{a>wi> tidak sepenuhnya

salah, karena yang ia maksud bid’ah adalah mereka yang menganggap

bahwa membawa tongkat adalah sunnah yang diperintahkan Nabi dan

bernilai pahala.59

Tindakan seperti itu ada mengada-ada, karena Nabi

menggunakannya untuk suatu tujuan seperti bersandar atau mengusir

binatang. Karenanya semangat yang harus diambil dari hadis ini

adalah seseorang harus kuat dan terhindar dari hal yang

membahayakan diri. Inilah yang memang bisa kita fahami dari apa

yang diungkapkan wahyu60

bahwa kita tidak boleh membahayakan diri

dan apa yang dilakukan Nabi tersebut.

Kedua, melakukan kontekstualisasi sebagaimana karakter

sosial masyarakat yang ada. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan

segala peralatan dan teknologi yang ada pada masa Nabi dan hari ini.

Misalkan masalah Nabi haji naik unta, tentu siapapun bahkan orang

Arab sendiri tidak akan melakukan hal yang sama. Ataupun hal yang

berkaitan dengan ibadah, namun ia bukan masalah ibadahnya. Seperti

menentukan arah kiblat yang dulu harus mengira dan bahkan sebagian

cukup hanya dengan sikap yakin saja maka hari ini harus dirubah

dengan adanya berbagai teknologi yang ada. Atau, masalah

57

Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 3, 1605. 58

Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74. 59

Yusuf Al-Qaradawi, terj. Abdul Hayyie al-Kattani. al-Sunnah wa al-Bid’ah (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) 25-30

60QS. Al-Baqarah {{2} : 195.

Page 132: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

115

menentukan awal bulan Hijriyah.61

Dulu, tentu sistem perhitungan

tidak se-moderen hari ini, sehingga mata kepala menjadi dasar utama.

Namun ketika ilmu astronomi hari ini telah maju, maka selayaknya

kita mengikuti zaman yang ada.

Ketiga, kepada sebuah informasi yang tidak perlu pelaksanaan

seperti masalah sains, ramalan masa depan dan sebagianya. Maka yang

harus dilakukan adalah menelaah kebenarannya dan menujukkannya

sebagai bagian dari keutamaan Nabi dalam memberikan informasi.

Bisa jadi informasi tersebut menjadi hal yang mutlak adanya

sebagaimana apa yang diungkapkan Nabi, bisa pula itu kiasan terhadap

penemuan sains modern.62

Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak hal dari

Nabi yang bisa tetap dilakukan sampai hari ini, terlebih masalah etika,

pengobatan, karakter sosial, ungkapan doa dan sebagainya. Tentu

patut kita contoh kebiasaan Nabi yang selalu ramah hingga Sahabat

seperti Jari>r tang mengatakan bahwa sejak masuk Islam ia tidak pernah

melihat Rasulullah kecuali tersenyum selalu wajahnya.63

Atau soal

khasiat madu, jintan hitam, bekam dan sebagainya yang menjadi

tradisi pengobatan masa Nabi.64

Berbagai pengobatan itu masih bisa

dilakukan hingga saat ini. Untuk kondisi penyakit terntentu, karena

memang jenis penyakit pun berkembang seiring zaman, maka sudah

selayaknya pengobatan pun berubah.

c. Ijtihad Nabi Terhadap Hukum Agama

Salah satu ijtihad Nabi yang ia lakukan dalam hal ini adalah

masalah menghajikan orang yang sudah meninggal sebagaimana

disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, Nabi berijtihad dengan

mengqiyaskan nazar dengan hutang yang harus dibayar.

61

Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 762. 62

Lihat salah satu contohnya pada Bab II tentang Mukjizat Nabi tentang

Fenomena Alam dan Sains. 63

Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 24 64

Bahkan dalam hal ini Bukhari membuat bab tersendiri dalam al-Musnad

al-Sahihnya tentang kedokterah. Lihat pada, Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 122.

Page 133: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

116

Pada awalnya mungkin kita berprasangka beribadah untuk

orang lain tidak ada dasarnya telebih wahyu Alquran sendiri

mengatakan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala dari

orang lain.65

Karena itu pandangan kita terhadap riwayat tentang

mengganti haji itu menjadi pindah poinnya yakni kepada qiyas Nabi

tentang nazar dan hutang. Oleh karena itu, jika seseorang yang

meninggal masih punya hutang hendaklah dibayar, karena ada qiyas

inilah dibolehkannya mengganti haji. Untuk itu, tidak sembarangan

bisa mengganti haji, kecuali orang yang meninggal telah bernazar pada

masa hidupnya. Sungguh qiyas inilah yang kemudian menjadi sandaran

dan bukan pada perintah Nabi untuk mengganti haji.

Contoh riwayat lain terdapat pada hadis tentang Nabi yang

mencium ‘Aisyah saat sedang berpuasa. Peristiwa tersebut pun

dilaporkan ‘Umar pada Nabi apakah ia batal atau tidak dalam

berpuasa. Nabi pun menjawab dengan bertanya kepada Umar,

“Bagaimana menurutmu jika kamu berkumur-kumur saat sedang

puasa?” Umar menjawab, “Tidak mengapa Ya Rasul.” Nabi pun

menambahkan, “Demikianlan pula pada apa yang kamu lakukan itu.”66

Dari dua contoh di atas, menunjukkan bahwa memang sandaran

hukum tetaplah pada wahyu yang didapat oleh Nabi baik dalam

Alquran maupun hadsi Nabi sendiri yang ia jelaskan pada Sahabat.

Karenanya, dalam masalah ini ada dua hal yang harus diambil.

Pertama, adalah pada hasil ijtihad Nabi itu sendiri, yakni bahwa Nabi

adalah orang yang paling faham terhadap Alquran dan wahyu,

karenanya ialah yang paling berhak melakukan qiyas. Hasil ijtihad ini

harus ditaati dan dilaksanakan. Kedua, adalah model ijtihad berbentuk

qiyas itu kemudian menjadi dasar ulama fikih dalam berijtihad.

65

Al-An’am [4] :145. Ayat ini berkenaan dengan tangisan bagi mayit, lihat

pada Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 79. 66

Abu al-‘Ala> memperdepatkan siapa yang dicium oleh Nabi apakah ‘Aisyah

atau Ummu Salamah. Namun, adapun tentang ‘Aisyah Abu Daud dan Nasa’i

menganggap hadis ini munkar, namun di sahihkan oleh Ibn H{uzaimah, Ibn H{ibba>n

dan H{a>kim. Lihat, Abu al-‘Ala>. Mubarakfuri>, Tuh{fat al-Ah{wa>zi (Beirut: dar al-Kutub

al-‘Ilmi, tt) juz 3, 359.

Page 134: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

117

d. Ijtihad Nabi Sebagai Nasehat dan Model Kesempurnaan

Ijtihad Manusia

Model ijtihad lain yang sering dilakukan Nabi adalah tentang

nasehat. Tentu bisa difahami bahwa Nabi adalah orang yang paling

dekat dengan Allah, karenanya patut kemudian para Sahabat

menjadikannya sandaran untuk bertanya bukan hanya masalah ibadah

dan akidah melainkan juga nasehat hidup. Karena memang masalah

yang dihadapi Sahabat bukan hanya terfokus pada ibadah dan akidah

melainkan juga masalah kehidupan dunia.

Misalkan pada pilihan menikah yang ditanyakan oleh Ma’qil

ibn Yasar kepada Nabi bahwa ia ingin menikah dengan salah seorang

perempuan namun ia mandul. Nabi pun melarang Ma’qil untuk

menikahinya. Bahkan Ia datang berkali-kali dan akhrinya Nabi

mengungkapkan bahwa, “Nikahilah orang yang penyayang dan subur

(banyak anak), sungguh aku bangga dengan banyaknya umatku.”67

Ada pula riwayat lain dari ‘Abdullah ibn ‘Umar yang bertanya

Islam seperti apakah yang paling baik. Nabi menjawab, “Engkau

memberi makan kepada yang lain, dan mengucapkan salam kepada

siapapun yang kau temui, baik kau kenal maupun tidak.” Namun

demikian pertanyaan ini juga ditanyakan oleh ‘Amru ibn ‘As namun

dengan ungkapan sedikit berbebda, yakni orang Islam seperti apakah

yang paling baik? Nabi menjawab, “Yakni orang yang bisa menjamin

keselamatan orang lain dari lidah dan tangannya.”68

Ungkapan nabi yang pertama memberikan pandangan memang

pernikahan bukan hanya bertujuan menyatukan dua individu

melainkan pula mendapatkan keturunan. Hal ini tentu bisa difahami

sebagu tujuan orang melakukan hubungan suami-istri. Meskipun tidak

didapatkan informasi dari wahyu bahwa bangga dan tidaknya Nabi

dengan banyaknya umat adalah perintah Allah.

Sedang tentang riwayat kedua meskipun didapati jawaban

berbeda, hal ini tentu tidak kemudian dianggap bahwa Nabi tidak

67

Abu Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni>, Sunan Abu> Dau>d (Beirut: Maktabah

al’Ashriyah, tt) juz 8, 20. 68

Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 65.

Page 135: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

118

konsisten dalam menjawab. Namun titik poin masalah Islam disini

memang masalah akhlak. Karenanya jawaban bisa berfariasi oleh Nabi,

namun pemaknaannya tetap bahwa akhlak adalah sombol Islam yang

paling utama.

Dengan demikian, untuk masalah nasehat ini yang menjadi

sikap seorang muslim adalah dengan melakukannya sedapat mungkin

atau sebisa mungkin. Hal ini tentu karna kadar seseorang mungkin saja

berbeda dalam melaksanakaannya, misalnya orang yang terlanjur

menikah namun baru ketahuan mandul atau orang bisu yang tidak bisa

mengucapkan salam tentu hal ini tidak menjadi beban dan dosa bagi

mereka. Di sisi lain, perintah ini hanyalah wujud dari keutamaan

ajaran Islam semata. Bahwa kemudian Nabi memberikan jawaban

yang berbeda adalah bentuk yang paling baik agar jalan keutamaan

terlebih masalah akhlak tidak hanya satu namun banyak jalannya.

Adapun masalah menyikap adanya riwayat tentang kesalahan

Nabi, hal ini sungguh tidak sama sekali mengurangi keutamaannya

dalam kenabian. Karena secara umum kesalahan itu jika tidak terkait

masalah agama dan etika maka hal itu memang bukan menjadi fokus

pandangan soal kenabian. Namun, jika nabi melakukan kesalahan

dalam masalah agama dan etika secara umum pasti wahyu akan

memperbaikinya untuk menjaga kesempurnaan agama dan akhlak

Nabi.

C. Respon Sahabat sebagai Metode Kritik Matan Hadis

Sebagai pembahasan terakhir dalam tulisan ini, penulis akan

ungkapkan bagaimana respon Sahabat terhadap Nabi terkhusus yang

menjadi ijtihad beliau. Ketika Rasulullah mengatakan bahwa Sahabat

sezamannyalah sebagai kaum yang baik baik, maka sudah seharusnya

umat Islam juga melihat bagaimana sikap dan respon Sahabat tersebut

kepada Nabinya. Hal ini kemudian bisa menjadi pandangan awal

model kritik matan terbaik. Alasan utamanya, kritik matan yang

dilakukan Sahabat sebagai orang yang paling dekat dengan Nabi akan

dianggap pula sebagai orang yang paling faham tentang Nabi.

meskipun tidak dipungkiri bahwa kekeliruan petani kurma Madinah

terhadap pendapat Nabi adalah bagian lain dari kesalahfahaman sikap

Page 136: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

119

Sahabat terhadap ijtihad Nabi. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang

harus difahami. Pertama, sisi kemanusiaan Sahabat dalam melihat

Nabi. Kedua, berbagai model respon Sahabat terhadap ijtihad dan

tingkah-laku Nabi. Ketiga, bagaimana respon ini menjadi model kritik

matan hadis sebagai bagian dari kajian ilmu hadis.

1. Kemanusiaan Sahabat dalam Melihat Nabi

Keutamaan Sahabat cukup besar dihadapan Nabi Saw.

karenanya Nabi menyebut mereka sebagai generasi terbaik umat.

Namun demikian, Sahabat tetaplah murni manusia biasa yang tidak

mengetahui soal wahyu sebagaimana Nabi Saw. Karenanya prasangka

Sahabat tentu berbeda dengan Nabi Saw yang langsung dibimbing

oleh Allah dalam menentukan sebuah keputusan.

Setidaknya kemanusiaan ini terlihat dari dua hal bahwa

sebagian Sahabat menganggap bahwa segala apa yang dikatakan Nabi

adalah perintah dan larangan yang bersifat wajib atau haram. Sehingga

saran seperti untuk tidak melakukan penyerbukan kurma dianggap

adalah larangan yang bersifat haram. Inilah yang justru memunculkan

kekeliruan.69

Dalam hal ini Al-Qarad{a>wi> menjelaskan bahwa Islam

menjanjikan pahala yang besar bagi petani, namun memang tidak

mungkin agama menjelaskan keharusan bagaimana cara bertanam,

tentang jenin tanaman yang ditanam atau hal lain yang lebih mendetail

yang mungkin tiap daerah bisa saja berbeda.70

Namun demikian, ketaatan Sahabat ini tidak kemudian

dianggap sebagai bagian dari kebodohan dalam menyikapi Nabi

melainkan inilah sisi kemanusiaan Sahabat yang sangat hormat dan

cinta pada Nabi. Sehingga, apapun yang disarankan beliau akan selalu

dilakukan.

Hal lain yang bisa memperlihatkan sisi kemanusiaan Sahabat

adalah apa yang diungkapkan Abu Bakar dalam pendapatnya terhadap

tawanan perang. Ketika Nabi bertanya kepada Abu bakar tentang

69

Dalam hal ini al-Qarad{a>wi> memahami bahwa hadis ini sebagai bagian dari

sunnah non tashri’iyyah. Lihat Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi, 277

70Yusuf al-Qarad{awi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-had{a>rah, 16.

Page 137: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

120

nasib tawanan Badar. Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, mereka

dulu adalah bagian dari kita dan keluarga kita. Apakah tidak lebih baik

kita mengambil uang tebusan agar kita menjadi kuat terhadap kaum

kafir. Maka, semoga allah pun memberikan hidayah kepada mereka

untuk masuk Islam.” Nabi pun bertanya hal yang sama kepada ‘Umar,

lalu ‘Umar menjawab, “Tidak ya Rasulullah, aku tidak sepakat dengan

pendapat Abu Bakar, mereka (tawanan) itu adalah pimpinan kaum

kafir, maka hendaklah mereka dibunuh.”

Saat itu Nabi agaknya lebih cenderung kepada pendapat Abu

Bakar. Namun tiba-tiba Nabi dan Abu Bakar menangis, lalu Umar pun

bertanya, “Ya Rasul apa yang membuatmu dan sahabatmu menangis?”

Nabi menjawab, “Aku menangis karena aku setuju untuk meminta

tebusan dari tawanan ini.” Kemudian turunlah ayat Alquran, “Tidak

patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat

melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta

benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat

(untukmu)….”71 Akhirnya tawanan itupun dibunuh sebagaimana

perintah Allah.72

Jawaban Abu Bakar tentu menjadi pertimbangan siapapun yang

dalam kondisi yang sama lalu ditanyakan oleh Nabi tentang hal itu.

Namun, sebagaimana kisah di atas bahwa baik Nabi maupun Abu

Bakar dengan sifat kasih sayangnya ternyata salah dalam menentukan

hukuman bagi tawanan tersebut. Dengan demikian kemanusiaan para

Sahabat adalah hal yang sangat normal mengingat mereka adalah

manusia biasa. Namun, karena mereka adalah orang terdekat Nabi

maka cara mereka menerima hadsi pun patut menjadi pelajaran

penting. Bahkan, Ra’fat Liay Husain73

menyatakan dalam tulisannya

bahwa mereka adalah ahli ushul yang sebenarnya. Mereka yang

mengetahui bagaimana Nabi menerima wahyu dan bagaimana Nabi

menjelaskannya. Dalam hal ini Ibnu Rushd (w. 595 H) juga

berpendapat bahwa mereka tidak membutuhkan ilmu usul fiqh dalam

71

Al-Anfa>l [8]: 67-68. 72

Hadis lebih lengkap lihat. Sah{ih{ Muslim, juz 3, 1383. 73

Ra’fat Luay H {usain, “al-Isha>rat al-Us{uliyyah ‘Inda al-S{ah{abah,” Jurnal Kulliyah al-‘Ulum al-Islami 5, no. 10 (2010) : 157

Page 138: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

121

membahas ini sebagaimana orang Arab yang tak perlu melatih diri

untuk berbicara sebagaimana mereka berbicara. Karena itu dalam

hipotesis sementara dapat dipastikan bahwa fatwa mereka dan

pendapat mereka terhadap Nabi pastilah benar ketika membahas

sebuah permasalahan.74

2. Respon Sahabat Terhadap Ijtihad Nabi

Untuk memahami lebih lanjut tentang bagaimana cara Sahabat

dalam memahami hadis ijtihad ini, ada baiknya melihat bagaimana

model respon Sahabat dalam beberapa persoalan berikut.

a. Menjadikan Nabi Model Kehidupan

Siapapun ketika memahami ayat 31 dari Surat A<li Imran pasti

akan mencoba menjadikan apa yang dilakukan Nabi menjadi tindakan

yang ada pada dirinya.Terlebih hal ini pasti pula diikuti oleh para

Sahabat Nabi yang sangat mencintai Nabi Saw karena kedekatannya.

Ibnu ‘Umar misalnya adalah satu Sahabat yang paling ingin mengikuti

segala tindakan Nabi. Dalam suatu riwayat Ibn ‘Umar pernah

menceritakan bahwa ketika Nabi Saw memakai cincin emas maka

semua orang kemudian menirukannya dengan memakai cincin emas.

Namun kemudian nabi berkata, “Aku telah memakai cincin emas dan

kini aku telah melepaskannya.” Maka semua orang melepas cincinya

bahkan Ibn ‘Umar berkata, “Sungguh aku tidak akan memakai cincin

lagi selamanya.”75

Selain masalah cincin ada pula tentang jenggot dan tongkat

sebagaimana sebelumnya dikisahkan dan sebagainya. Semua ini adalah

bentuk umum penerimaan Sahabat terhadap apa yang dilakukan oleh

Nabi.

Namun demikian, Nabi pun tidak sembarangan segala yang

dilakukan oleh Sahabat meskipun niatnya untuk kebaikan itu harus

dibiarkan saja. Hal ini adalah terkait tindakan Sahabat yang berlebihan

dalam beragama. Terkhusus biasanya pada kisah ‘Abdullah ibn ‘Amr

74

Abu Walid Muhammad Ibn Rusd, al-D{aru>ry fi ‘Us{u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r

al-Ghurub al-Islami, 1994), 35. 75

Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 156.

Page 139: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

122

ibn al-‘Ash yang berkata, “Aku pernah berpuasa setiap hari dan

menghatamkan Alquran tiap malam, namun ketika berita itu sampai

pada Nabi maka ia pun mendatangiku,” Lalu Nabi berkata, “Benarkah

kamu melakukan yang demikian itu?” ‘Abdullah menjawab, “Benar ya

Rasul, sungguh aku tidaklah melakukannya kecuali mengharap

kebaikan.” Dan ternyata Nabi pun melarangnya dan menjelaskan

tentang bagaiman cara shalat malam, puasa Daud dan cara

menghatamkan Alquran yang benar.76

Mengenai hal ini bahkan ada riwayat lain dari Anas r.a yang

menunjukkan ketidaksukaan Nabi terhadap cara Sahabat tersebut

dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh akulah orang yang paling

takut kepada Allah dan paling bertakwa kepadaNya. Tetapi kadang

aku berpuasa kadang berbuka, kadang juga shalat (tahajjud) kdang

juga tidur, aku juga menikah. Siapa yang tidak suka sunnahku maka ia

bukan golonganku.”77

Dari kisah di atas menunjukkan bahwa mengikuti Nabi pun ada

aturannya dan tidak dibenarkan berlebih-lebihan. Namun demikian

semua itu kita sadari bukan dengan niatan buruk melainkan

kebaikanlah yang ingin diperoleh Sahabat.

b. Mengubah Ijtihad Nabi Demi ‘Illah

Sahabat Nabi sebenarnya tidak hanya meniru secara buta

segala apa yang dilakukan Nabi, melainkan dengan melihat pula apa

yang menjadi pertimbangan Nabi saat melakukannya. Karena itu,

sebagian Sahabat terutama yang cukup dekat dengan Nabi mengetahui

kapan Nabi Saw berijtihad dan kapan ia tidak berijtihad. Untuk itu,

sebagaimana cara menyikapi ijtihad Nabi di atas dengan mengambil

semangatnya dan mengaplikasikannya secara berbeda pernah

dilakukan pula oleh ‘Umar ibn Khattab saat memimpin umat Islam.

Setelah menaklukan Irak, ‘Umar tidak lantas membagikan tanahnya

kepada umat Islam begitu saja melainkan mewakafkannya untuk

penduduk setempat yang menjadi muslim. ‘Umar mengatakan, “Aku

76

Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih}, 2, 813. 77

Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad, juz 7, 2.

Page 140: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

123

menginginkan suatu keputusan yang bermanfaat untuk generasi

sekarang dan yang akan datang.”78

Mengenai hal di atas, Ibn Qudamah (w. 629 H) sebagaimana

yang dikutip oleh al-Qarad{a>wi> mengatakan perbedaan keputusan Nabi

dan ‘Umar adalah karena kebutuhan pada waktu itu memang berbeda.

Pada masa Nabi umat Islam masik kecil dan sangat membutuhkan

perniagaan, namun pada masa ‘Umar umat Islam telah menyebar dan

kesejahteraan umum jauh lebih utama.79

Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Mujahid. Kisah ini

diceritakan oleh al-Shaukani (w. 1250) dalam kitabnya Nail al-At}>ar

bahwa Ibn Abi Nujaih pernah berkata, “Aku bertanya pada Mujahid,

mengapa penduduk Syiria wajib membayar paka 4 dinar, sedang

penduduk Yaman hanya 2 dinar? Lalu Mujahid menjawab bahwa

kebijakan itu menyesuaikan kemampuan mereka.” Al-Shaukani

menjelaskan bahwa hal itu tentu bukan berarti Sahabat tidak

mengetahui apa yang dilakukan Nabi, namun mereka memahaminya

dari apa yang diinginkan Nabi dalam menarik pajak tersebut.80

Bahkan, al-Qarad{a>wi> menjelaskan bahwa bisa jadi urusan menarik

pajak adalah urusan politik yang di dalamnya tidak terkait soal

ketaatan secara mutlak namun menyesuaikan kebutuhan masyarakat

yang ada.81

Dengan demikian, perubahan sikap Sahabat dalam menjalankan

sunnah Nabi tidak hanya terpaku pada hasil ijtihad Nabi semata

melainkan pada semangat atau pesan yang ada dalam hasil ijtihad

tersebut. Tentunya, hal ini akan lebih mudah dilakukan dan

diaplikasikan pada setiap ruang dan waktu yang memiliki kondisi

berbeda.

78

Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas{daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 99. 79

Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 99-

100. 80

al-Shaukani, Nailul Aut}ar (Beirut: Dar al-Kutub, 1995) juz 8, 217-219 81

Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 101.

Page 141: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

124

c. Merespon Hal yang Dikhususkan bagi Nabi Saw

Yang dimaksud dengan hal yang dikhususkan bagi Nabi Saw

adalah segala perkara baik yang mubah, wajib maupun haram bagi

Rasulullah Saw yang tidak untuk dilakukan oleh umat Islam.82

Perlu

difahami bahwa tidak semua yang dilakukan oleh Nabi Saw boleh

dilakukan oleh Sahabat. Pelarangan ini ada yang memang muncul

dengan penjelasannya dari wahyu Alquran secara langsung namun ada

pula yang muncul dari Nabi Saw.

Bagi Muhammad al-‘Aru >sy dalam Alquran pengkhususan ini

cukup jelas jika dilihat dari mukhatab atau lawan bicara Alquran. Jika

Alquran menyebut secara umum seperti atau

tentu difahami sebagai perintah kepada manusia secara umum. Namun

jika panggilan itu berupa atau tentu difahami

sebagai pengkhususan terhadapa nabi.83

Salah satu hal yang langsung diutarakan oleh Alquran adalah

kekhususan istri Nabi yang tidak boleh menikah sepeninggal Nabi.

Untuk alasan ini Alquran telah menjelaskan sendiri bahwa istri Nabi

adalah orang diutamakan sebaga ibu orang mukmin,84

dan mereka akan

selalu dijaga kehormatannya. Karena itu, Nabi pun tidak mungkin

menceraikan mereka. Karena jika Nabi menceraikan mereka tentu

mereka akan dibenci oleh keluarga dan suku mereka.85

Namun demikian, ada pula hal yang kemudian hanya boleh

dilakukan Nabi karena nabi khawatir hal itu pasti memberatkan

umatnya. Contohnya yakni tentang puasa terus-menerus atau wis{al.

Dari Ibn ‘Umar menceritakan bahwa Rasulullah melakukan wishal di

awal Ramadhan, maka semua orang pun melakukannya. Namun,

ternyata Nabi melarangnya dan berkata, “Kalian tidaklah sama dengan

82

‘Abd al-Ha>fiz ‘Abd Muhammad, “Khus {us{iya>t al-Nabi> Saw wa Dala>latuha>

fi> Tashri>’” Jurnal al-Jami’ah al-‘Iraqiyah 25, no. 1 (2010) : 167; Dalam tulisan ini

‘Abd al-Ha>fiz memberikan tiga model kekhususan Nabi yakni: pertama, terkait soal

pernikahan. Kedua, masalah thaharah dan ibadah. Ketiga masalah jihad, warisan dan

tabarruk (kemuliaan). 83

Lihat lebih lengkap pada Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala al-Ah{ka>m, 170-171

84Al-Ah{zab [33]: 6.

85Al-Ah{zab [33]: 53.

Page 142: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

125

ku, sebab Allah yang memberiku makan dan minum.”86 Sehingga,

disadari bahwa apa yang dilakukan Nabi ada yang menjadi kekhususan

baginya yang tidak selayaknya dilakukan oleh Nabi, tentunya karena

alasan yang berbeda pula. Bahwa jika ini dilakukan oleh umat Islam

tentu akan sangat berat baginya. Adapun apa yang diungkapkan Nabi

di atas, menurut penulis adalah kiasan bahwa hal itu sangat berat dan

agar umatnya mau meninggalkan tindakan itu. Hal ini karena memang

Nabi hanyalah manusia yang sama seperti yang lain, bedanya ia

menerima wahyu dan yang lain tidak.87

Misalnya yang kadang diperdebatkan adalah jumlah istri Nabi

yang lebih dari empat. Padahal, dalam riwayat Ibn ‘Umar bahwa

Ghailan ibn Salamah ketika masuk Islam ia memiliki istri 10 orang

namun Nabi menyuruhnya untuk menceraikan yang enam dan

mengambil 4 saja.88

Tentunya hal ini berbeda dengan apa yang

dilakukan Nabi, namun apakah pembatasan ini ijtihad atau wahyu.

secara umum tidak ada ungkapan Nabi yang menyatakan bahwa

penetapan ini adalah wahyu selain ulama kemudian menetapkannya

sebagaimana yang ada dalam Surat al-Nisa ayat 4. Namun, urusan

poligami ini bukan masalah batasan yang harus difahami, namun

tujuan pernikahanlah yang harusnya menjadi titik poinnya.

Masalah ini, sebenarnya telah selesai ketika memang turun ayat

yang mengkhususkan Nabi dalam masalah pernikahan sebagaimana

pada ungkapan Bahwa kekhususan ini hanya

bagi Nabi dan hukan orang mukmin yang lain. Meskipun wahyu

membenarkan ini, namun akal manusia mungkin sebagian akan

menentangnya. Akan tetapi, jika dilihat bagaimana kondisi status

perempuan masa Nabi Saw tersebut, tentu akan disadari bahwa hal ini

adalah untuk mengangkat derajat perempuan dan hanya Nabi lah yang

bisa melakukannya pada masa itu.

86

Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 776 87

Al-Kahfi [18]: 110 88

Abu> Isa> Al-Tirmizi, Sunan Tirmizi (Mesir: Shirkah Maktabah Mus{t{afa> al-

Ba>bi>, 1975) juz 3, 427. 89

Lihat lebih lengkap pada surat al-Ahzab [33] : 50

Page 143: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

126

Poligami bukanlah masalah yang mudah. Bahkan, Nabi

mengatakan siapa yang punya istri dua namun tidak adil ia akan

berjalan miring pada hari kiamat.90

Bukankah ini yang seharusnya

menjadi catatan! Bukan pula orang berpendapat bahwa poligami

adalah sunnah hukumnya. Bahwa tindakan tersebut sunnah Nabi

adalah benar adanya. Namun, dari catatan ini menunjukkan bahwa

Nabi bukan menganjurkan atau menyuruh poligami, namun hanya

membolehkan poligami. Alasan lain bahwa Nabi menikahi lebih dari

empat adalah guna melindungi perempuan lemah bukan urusah sahwat

belaka. Tentunya, inilah semangat adanya poligami itu dan bukan

urusan sahwat.

d. Nabi yang Paling Tahu Soal Agama

Masalah yang terakhir ini adalah segala yang dari Nabi sesuai

petunjuk Allah, yakni masalah hal yang ketuhanan dan kebertuhanan

atau masalah ibadah dan akidah. Dalam masalah ini hampir tidak

pernah seorang Sahabat pun menanyakan alasannya melainkan selalu

melakukan dan mempercayainya tanpa mempersoalkannya.

Salah satu contohnya adalah apa yang diungkapkan oleh Umar

saat mencium Hajar Aswad ketika haji bahwa, “Sungguh aku tahu kau

hanyalah sebuah batu yang tidak memberi manfaat atau madharat.

Andai aku tidak melihat Nabi menyentuh dan menciummu maka aku

tidak akan pernah menyentuh dan menciummu pula.”91

Contoh lain adalah segala tindakan Allah yang disampaikan

oleh Nabi seperti hal yang dicintai olehNya ataupun yang dibenci

olehnya. Salah satunya adalah ungkapan Nabi bahwa, “Siapa yang

senang bertemu Allah, maka Allah pun akan senang bertemu

dengannya, dan siapa yang benci bertemu dengan Allah Allah pun

akan membencinya." Lalu ‘Aisyah bertanya, “Bagaimana dengan

membeci kematian?” “Bukankah kita semua membenci kematian”

Jawab Nabi. Kemudian Nabi menjelaskan, “Orang beriman akan

senang jika dikabarkan padanya nikmat Allah, karena itu orang

90

Abu Daud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu> Dau>d, juz 2, 242. 91

Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih}, juz 2, 149.

Page 144: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

127

mukmin akan senang bertemu denganNya dan Allah pun demikian.

Sedang orang kafir akan benci dikabarkan tentang azabNya, karena

mereka punbenci bertemu dengannya, begitu pula dengan Allah.”92

Seperti pula laknat Allah kepada kaum Yahudi dan Nasari yang

membuat kuburan Nabinya sebagai tempat ibadah.93

Tentu, dalam hal

ini Nabi tidak mungkin berijtihad dengan menyandarkannya pada

Allah, melainkan Allahlah yang pasti memberi tahu Muhammad

tentang hal ini.

Karena itu, masalah yang terkait dengan kebertuhanan ataupun

yang disandarkan pada tindakan Allah adalah hal yang mutlak harus

dilakukan dan dipercaya. Tentunya, setelah sanad dari riwayat itu

sudah bisa diyakinkan kebenarannya.

3. Respon Sahabat Terhadap Matan Hadis sebagai Model Kritik

Matan Kontemporer

Sebagai akhir pembahasan dalam tesis ini setidaknya ada hal

yang harus kemudian menjadi kelanjutan terhadap pemahaman hadis

Nabi. Al-Adlabi mengungkapkan bahwa kajian hadis hari ini memang

telah mulai bergeser dari naqli kepada aqli. Dimana yang maksud dari

kajian naqli hadis adalah kajian yang mengupayakan kebenaran

periwayatan hadis. Studi hadis ini terfokus lebih banyak kepada sanad

hadis, dan bukan isi hadis yang justru menjadi objek pembicaraan Nabi

atau yang sering disebut dengan kritik sanad. Sedang aqli adalah

kajian matan hadis yakni isi yang disampaikan oleh Nabi, atau yang

sering disebut dengan kritik matan.94

Penulis menilai kritik setidaknya ada dua alasan kenapa kritik

matan hari ini menjadi fokus para ulam hadis. Pertama, kajian kritik

sanad yang sudah lebih dulu dikaji oleh para ulama hadis masa awal

telah lebih mudah dilacak pada masa kini sehingga perdebatan

mengenai hal ini tidak lagi banyak menjadi fokus. Namun, bukan

berarti menyepelekan kajian kritik sanad, melainkan sudah banyak

92

Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 4, 2065. 93

Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 88. 94

Lihat Salah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi>, Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) 3-7.

Page 145: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

128

bacaan yang memudahkan untuk melakukan kajian ini. Kedua, hadis

yang telah ada 15 abad itu, harus menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan peradaban yang berbeda. Karenanya, tidak mungkin ia

dilakuakan secara tekstual, melainkan upaya kontekstual menjadi

penting. Berbeda dengan upaya yang pertama, bahwa upaya yang

kedua sisi rasionalitas lebih dominan dari pada tekstual hadis itu

sendiri.

Berbagai pandangan Sahabat di atas terhadap ijtihad Nabi

adalah sisi penting dari kritik matan sendiri. Sekaligus hal ini

membuktikan bahwa kirtik matan ternyata sudah dilakukan oleh

Sahabat langsung kepada Nabi. Yakni terhadap ungkapan Nabi yang

beraviliasi terhadap ijtihad beliau. Meskipun riwayat ini tidak banyak,

namun setidaknya menggambarkan apa dan bagaimana pertimbangan

Sahabat dalam menerima dan metaati ungkapan dan tindakan Nabi.

Al-Adla>bi> sebenarnya sudah menyinggung tentang krtik matan

yang dilakukan oleh Sahabat dalam kitabnya. Namun, karena beliau

tidak terfokus dalam kajian ijtihad Nabi maka contoh yang berikan

adalah upaya kritik matan yang dilakukan oleh Sahabat kepada

Sahabat lain dan bukan kepada Nabi.95

Sehingga, contoh yang

diberikan oleh al-Adla>bi> masih seputar hadis yang berkaitan dengan

hal ghaib dan kebertuhanan seperti ritual ibadah. Di mana, menurut

penulis masalah ini lebih membutuhkan kritik sanad dari pada matan

karena tidak adanya ijtihad Nabi di dalamnya kecuali beberapa saja.

Ijtihad sebagai bagian dari kemanusiaan Nabi tidak bisa

dilepaskan begitu saja dalam kajian hadis. ijtihad sebagai hasil usaha

rasional kepada problematika yang terikat ruang dan waktu tertentu

hanya bisa dikaji dengan sisi rasionalitas pula dan bukan pada kajian

sanad. Meskipun sebelum mengkaji sebuah matan hadis, selayaknya

sanad sudah tidak lagi diperdebatkan. Mengapa demikian, karena

kritik yang dilakukan oleh Sahabat terhadap ijtihad Nabi tidak

memerlukan kajian sanad karena langsung diungkapkan kepada Nabi.

95

Contohnya pada kritik ‘Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang tangisan

kepada mayit. Lihat Salah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi>, Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis 86-96

Page 146: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

129

Selain itu, Sahabat pun perlu mengetahui apakah ungkapan Nabi itu

adalah bagian dari wahyu atau yang menjelaskan wahyu, ataukah ia

hanya respon lain atau ijtihad diluar tema wahyu yang ada.

Mengikuti Nabi di luar perintah wahyu sebagaimana yang

dilakukan Sahabat, secara umum Muhammad al-‘Aru>sy menilai bisa

dilihat dari dua dalil baik aqli maupun naqli. Dalil aqli mengatakan

bahwa tindakan Nabi pasti bernilai wajib atau sunnah, namun

ketiadaan perintah lebih mendekatkan pada sunnah dari pada wajib.

Sedang dalil naqli dalam ayat karena

menggunakan kata lakum dan bukan ‘alaikum, maka hukum sunnah

lebih dekat dari pada wajib.96

Dari berbagai gambaran ijtihad Nabi di atas dan berbagai pula

respon Sahabat terhadapnya setidaknya ada empat tahapan yang bisa

dilakukan untuk melanjutkan kritik Sahabat terhadap ijtihad Nabi

dalam hadis agar bisa tetap terlaksana hingga saat ini. Pertama,

dengan memilah tema-tema yang ungkapkan atau diperbuat oleh Nabi

berdasarkan pada wahyu dan Ijtihad. Kedua, jika memang hal itu

adalah ijtihad Nabi dan bukan bersumber dari wahyu, maka harus

dikroscek kondisi sosial atau sekitar Nabi saat mengungkapkan hal

tersebut atau asbab wurudnya.

Ketiga, setelah itu dimungkinkan untuk mencari legal specific

atau pesan moral yang jelas di dalamnya. Hal inilah sebenarnya yang

dianggap sebagai sisi rasionalitas yang ada dibalik ijtihad Nabi.

Keempat, memahami lingkungan baru dimana hadis ijtihad tersebut

akan digunakan sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal

saat hadis itu dimunculkan. Kelima, jika terajdi persamaan yang lebih

dominan maka bisa jadi ijtihad Nabi dilakukan sebagaimana mestinya

yang juag dilakukan oleh Nabi. Namun jika terjadi perbedaan yang

dominan maka dilakukanlah penyesuain legal specific tersebut dengan

lingkungan yang baru tanpa menghilangkan legal spesific yang pernah

96

Muh{ammad al-‘Aru >sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m, 201

Page 147: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

130

ada.97

Keenam, adanya keyakinan sebagaimana di atas bahwa sumber

ijtihad Nabi selain dari pada rasionalitas yang ia miliki, namun juga

Alquran yang sudah menyatu dalam segala tindakannya. Dengan

demikian harus juga dimengerti alasan rasional Sahabat untuk

menerima ataupun menolak apa yang disampaikan Nabi.

Adapun ungkapan yang lebih jelas tentang hal ini adalah sama

seperti yang diungkapkan bahwa memahami Alquran harus seolah

bahwa untuk dialah Alquran itu diturunkan. Sama halnya dengan

hadis, bahwa mereka yang ingin mengungkapkan hadis, maka ia pun

harus tampil sebagai Sahabat yang langsung ikut merespon –dengan

segala rasionalitasnya– apa yang pernah diungkapkan Nabi.

97

Pada lima hal dari langkah kritik matan yang dilakukan Nabi penulis

elaborasi dari tulisan M. Sa’ad Ibrahim, “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran

Islam” al-Tahrir 4, no. (2004): 168.

Page 148: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

131

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan tesis ini difokuskan pada hadis sebagai bagian dari

dua sisi yakni kenabian dan kemanusiaan. Dari penelusuran terhadap

perdebatan ulama hadis dan kitab hadis ditemukan bahwa Nabi

mengeluarkan sebuah pernyataan berbentuk hadis tidak hanya ia

peroleh dari wahyu melainkan juga hasi ijtihad pribadinya. Sehingga

hadis kemudian terbagi menjadi hadis sebagai wahyu Allah dan hadis

sebagai ijtihad Nabi.

Dari beberapa pembahasan terdahulu menunjukkan hadis yang

beraviliasi terhadap ijtihad Nabi tidak memiliki otoritas yang cukup

sebagai sumber hukum Islam, meskipun dalam beberapa hal hadis

tersebut menyampaikan sebuah kebenaran informasi. Sisi kemanusiaan

yang ada dalam ijtihad Nabi masih memungkinkan terjadi kesalahan,

meskipun tidak sebanding dengan kebenaran yang ia sampaikan.

Namun demikian ijtihad Nabi meskipun muncul dari olah logika,

sumber ijtihad tersebut tidak hanya akal semata melainkan juga wahyu

yang ia peroleh. Untuk itu, mencari semangat wahyu dibalik ijtihad

Nabi adalah sebuah keharusan dalam memahami hadis selain

memahami konteks yang dihadapi Nabi saat hadis itu diungkapkan.

Tesis ini pada akhirnya mendukung pendapat ‘Abd al-Jali>l ‘Isa>

‘Abd al-Nasr, Muh{ammad Sayyid T}ant}a>wi> dan Yu>suf Qara>d{awi> yang

menyatakan bahwa keberadaan ijtihad Nabi Muhammad adalah benar

adanya dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaan yang tidak jauh

berbeda dengan manusia lainnya yang bisa salah, bisa benar, dan bisa

dipertimbangkan. Namun, tesis ini agaknya melemahkan gagasan

Muh{ammad H{usain Haikal yang menuliskan bahwa kemanusiaan dan

ijtihad Nabi tidak ada kaitannya dengan sisi kenabian dan wahyu yang

didapatkannya dari Allah, terlebih mukjizat yang didapatkannya.

Implikasi dari adanya ijtihad Nabi memungkinkan untuk

memahami hadis dengan kesadaran bahwa wahyu adalah pertimbangan

utama. Wahyu tidak akan berubah pada setai zamannya. Berbeda

Page 149: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

132

dengan ijtihad yang karena ia adalah pertimbangan yang sangat terikat

dengan ruang dan waktu, maka mempertimbangan dan mencari

semangat ijtihad adalah sebuah kewajiban. Ijtihad tidak kemudian

ditinggalkan begitu saja namun ia bisa diaplikasikan baik dalam

bentuk yang sama dengan semangat yang sama, maupun bentuk yang

berbeda dengan semangat yang sama.

Berkaitan dengan upaya pemahaman ijtihad Nabi tentu

Sahabat sebagai lawan bicara Nabi adalah yang paling otoritas dalam

emahamin hal ini. Untuk itu, pemahaman dan respon Sahabat ini

menjadi sangat penting dalam mengetahui kapan Nabi Muhammad

tampil sebagai seorang Nabi dan kapan sebagai manusia biasa. Dengan

kata lain, dalam memahami hadis seseorang haruslah tampil menjadi

seorang Sahabat Nabi yang mengerti tentang pemilahan sisi kenabian,

ijtihad dan kemanusiaan Nabi Muhammad Saw.

B. Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semestinya memahami

bahwa semua Nabi Muhammad adalah wahyu yang harus ditaati dan

diikuti sebagaimana yang terucap. Sebaliknya, harus mengetahui

apakah ucapan Nabi itu wahyu ataukah ijtihad beliau terhadap suatu

persoalan. Sehingga, rasionalitas menjadi penting dalam memahami

apa yang diungkapkan dalam sebuah hadis karena memang hadis yang

muncul dari ijtihad Nabi sanagt pula terikatdengan rasionalitas Nabi

dalam menghadapi sebuah persoalan.

Sebagai kelanjutan penelitian ini perlu setidaknya dua hal yang

harus dikembangan. Pertama, adalah upaya kontekstualisasi ijtihad

Nabi terhadap porblematika kekinian yang rasional, komprehensif dan

didasari dengan semangat wahyu. Kedua, jika seseorang membaca

Alquran ia harus seoalah menjadi yang menerimanya, maka kritik

matan ala Sahabat pun menjadi wajib bagi mereka yang ingin

memahami hadis. Sehingga, siapapun yang hendak memahami hadis

maka ia harus faham dua sisi rasional yang saling berhadapan yakni

rasionalitas Nabi dalam berijtihad dan rasionalitas Sahabat dalam

menerima Ijtihad tersebut.

Page 150: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

133

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Disertasi dan Tesis

‘Abduh, Muh{ammad. Risa>lah al-Tauh{i>d. Kairo: Da>r al-Nasr, 1969.

_______. Ta’liqa>t al-Syaikh Muhammad ‘Abduh ‘ala> Sharh al-Dawwani> li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyyah. Kairo: al-Matba’ah al-

Khairiyyah, 1291 H.

‘Abd al-‘Aziz al-Najdi, Fais{al ibn. Tatri>z Riya>d{ al-S}a>lihi>n. Riyadh:

Da>r al-‘Asimah, 2002.

‘Abd Al-Qa>dir, Muhammad al-‘Arusiy. Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha>

‘ala al-Ah}ka>m. Jeddah: Dar al-Mujtama’, tth.

Abu> Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni> (w. 275 H), Sunan Abu> Dau>d. Beirut:

Maktabah al-‘Asriyah, Tth. Abu> Zahrah, Muh{ammad. Ushul Fiqih, Terj. Hamdan rasyid dkk.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

Abu> Al-Nas}r, ‘Abd al-Jalil Isa. Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam. Kairo: Da>r al-Ih{ya’ al-‘Arabi, 1950.

Al-Alu>si, Sihabuddin Mah{mud. Ru>h{ al-Ma’a>ni. Beirut: Dar al-Kutub,

1415 H.

Al-Amidy, Shaif al-Di>n Abu> H{asan. al-Ih{kam fi> Us{u>l al-Ah{ka>m.

Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.

Al-Andalu>si>, ‘Ali ibn H{azm. Al-Ih}ka>m fi> Us}ul al-Ah}kam. Beirut: Dar

al-Ifa>q al-Jadi>dah, 1979.

Al-Ashqa>r, Muhammad Sulaima>n. Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala

al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah. Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy,

1976.

Al-Adlabi>, Salah{uddin ibn Ah{mad. Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik

Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Azami, M.M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2000.

Al-Bagdady, Khatib. Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah. Beirut: Da>r

al-Kutub, 1988.

Al-Baghawi, Abu Muhammad. Sharh{u Sunnah. Beirut: Maktabah

Islamiyah, 1973. Al-Baidhawi, Minha>jul Wus{u>l. Beirut: Muassasah Risalah, 2006. Al-Baihaqi, Abu> Bakar. Su’ab al-Ima>n. Beirut: Dar al-Kutu>b, 1410 H.

Page 151: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

134

Al-Baihaqi, Ahmad ibn Husain ibn ‘Ali. al-Suna>n al-Kubra>. Beirut:

Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmi, 2003.

_______. Ma’rifat Sunan wa al-Athar. Beirut: Dar al-Qutbiyyah, 1991.

Al-Baqila>ni>. Kita>b al-Tamhi>d. Beirut: Maktabah al-Syariqah, 1957.

Al-Bukha>ri, Muh}ammad ibn Ismail. Sah{i>h{ al-Bukha>ri, Kairo: Dar al-

Tauq al-Najah, 1422 H.

Al-Bukhari, ‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad. Kashfu Al-Ashra>r ‘An Us{ul Al-

Fah}r Al-Islamy Al-Bazdawy. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,

1308 H.

Al-Bu>ti>, Muhammad Sa’id Ramad}an. Fiqh Sirah. Beirut: Da>r al-Fikr,

1980.

Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Thought. Cambridge: Cambridge Univeristy Press, tth.

Al-Dari>mi>, Abu> Muhammad Abdullah. Musnad al-Dari>mi>. Saudi: Da>r

al-Mughni, 2000.

Al-Dhahabi>, Abu> ‘Abdilla>h Shamshu al-Di>n Muhammad ibn Ah}mad.

Siyaru A’la>m al-Nubala>. Riyadh: Bait al-Afka>r al-Dauliyah,

2004.

Al-Dahlawi, Syah Waliyullah. H{ujjatul al-Ba>lighah. Beirut: Da>r al-

Ma’rifah, tth.

Esposito, John L. Islam Warna-warni. Terj. Arif maftuhi, Jakarta:

Paramadina, 2004.

Fiegenbaum, “J.W. Prophethood from the Perspective of the Qur’an.”

Tesis di Mc Gill University, Montreal, 1973.

Al-Ghaza>li>, Al-Mankul min Ta’liqa>t al-Us}ul. Damaskus: Dar al-Fikr,

1400 H.

Al-Ghaza>li>, Abu> Hami>d Muh{ammad. al-Mushtashfa> min ‘Ilmi al-‘Us{u>l. Kairo: Muassasah al-Halabi, Tth.

Al-Ghaza>li>, Muh{ammad. al-Sunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-

H{adith. Kairo: Dar al-Syuru>q, 1989.

Al-Ghaza>li>, Muh{ammad. Studi Kritis atas Sunnah Nabi antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Terj. Muhammad al-

Baqir, Bandung: Mizan, 1996.

Haekal, Muhammad Husain. Terj. Ali Audah, Sejarah Hidup

Muhammad. Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2000.

Page 152: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

135

Ibn al-‘Araby, Abu> Sa’id. Mu’jam ibn al-‘Araby. Saudi: Da>r ibn Jauzi,

1997.

Ibn ‘Ashur, Al-T{ahir. Maqa>s{id al-Shari’ah al-Isla>miyyah. Kairo: Dar

al-Salam, 2005. Ibn Atsir, Asa>d al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-Sah{a>bah. Kairo: Da>r Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1994.

Ibn Fais}al, Fais}al ibn ‘Abd al-‘Azi>z. Tatriz Riya>d} al-S{alih}i>n. Riyad:

Da>r al-‘Asimah, 2002.

Ibn H{anbal, Ah{mad. Musnad Ah{mad. Kairo: Mausu>’ah Qurtubah, tt.

Ibn H{ibba>n (w. 354), Muh{ammad. S{ah{ih{ ibn H{ibba>n, Beirut:

Muassasah Risa>lah, 1993. Ibn H{azm, Abu> Muh{ammad al-Andalu>si> al-Zahiri. al-Ih{ka>m fi Us{u>l al-

Ah{ka>m. Kairo: Sa’adah, Tth. Ibn Kathi>r (w. 774 H), Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m. Kairo: Dar al-

Tayiibah, 1999. Ibn Khaldu>n, Abd al-Rah{ma>n ibn Muh{ammad. Al-Muqaddimah.

Maroko: Da>r al-Baidha’, 2005.

Ibn Khalil, ‘Ata’. Taysir al-Wus}u>l ila> al-Us}ul: Dira>sat fi> Us}ul al-Fiqh.

Beirut: Da>r al-Ummah, 2000.

Ibn Ma>jah, Suna>n Ibn Ma>jah. Riyadh: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Araby,

tth. Ibn Manz{u>r (w. 740), Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, Tth. Ibn Mu>sa>, Abu> al-Fad}l ‘Iyad}. al-Shifa> bi Ta’rif H{uqu>q al-Mus}t}afa.

Kairo: Dar al-Hadith, 2004.

Ibn Rusd, Abu Walid Muhammad. al-D{aru>ry fi ‘Us{u>l al-Fiqh. Beirut:

Da>r al-Ghurub al-Islami, 1994.

Ibn Qatadah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Ibn Qayyim, Mifta>h Da>r al-Sa’adah. Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1993.

Ibrahim al-Isma’ili>, Abu> Bakr Ah{mad ibn. al-Mu’jam fi> Asa>mi Shaikh Abi Bakr al-Isma>’ily. Madinah: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-

Hukm, 1410 H.

Al-Isfaha>ni, al-Raghib. al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qura>n. Mesir:

Matba’ah al-Maimuniyah, 1324 H. ‘Itr, H{asan Dhiya’ al-Di>n. Nubuwwatu Muh{ammad fi> al-Qura>n\.

Suriah: Da>r al-Nasr, 1973.

Page 153: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

136

‘Iyadh, Al-Qad}i. al-Shifa> bi Ta’rif Huqu>q al-Musht}afa>. Beirut: Da>r al-

Kutu>b al-‘Ilmiyyah, tt.

Jakfar,Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf

al-Qardhawi. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Al-Juwaini, Al-Burha>n fi> Us}ul al-Fiqh. Mesir: al-Wafa’, 1518 H.

Al-Juwaini (w. 578), ‘Abdul Malik ibn ‘Abdullah. Niha>yat al-Matlab fi>

Niha>yat al-Mazhab. Riyadh: Da>r al-Manhaj, 2007.

Karabela, Mehmet Kadri. “One of The last Ottoman Syaikhulislam,

Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and

Intellectual Contribution.” Tesis di Institute of Islamic Studies

Mc Gill University, Montreal, 2003.

Kasa>b, ‘Abd al-Lat}i>f. Adhwa’u h{aul: Qadhiyat al-Ijtiha>d fi> al-Shari>ah

al-Isla>miyah. Saudi: Dar al-Taufi>q, 1984.

Khallaf, ‘Abd al-Wahab. Mas{a>dir al-Tashri’ al-Islam. Kuwait: Da>r al-

Qalami>, 1972.

_______. ‘Ilm Us}ul al-Fiqh. Kuwait : Dar al-Qalam, 1978.

Al-Kha>zin, ‘Ala>‘u al-Di>n ibn Muh{ammad. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni

al-Tanji>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1515 H.

Al-Khurasy, Sulaiman ibn Shalih. terj. Abdul Ghaffar. Pemikiran

Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan. Bogor: Pustaka Imam

asy-Syafii, 2003.

Mubarakfuri>, Abu al-‘Ala>.Tuh{fat al-Ah{wa>zi. Beirut: dar al-Kutub al-

‘Ilmi, tt.

Al-Najjar, Zaghlul Raghib Muhammad. Buku Induk Mukjizat Ilmiah

Hadis. Jakarta: Mizan, 2010.

Al-Nasa’i (w. 303), Abu Abdurrahman. Sunan al-Nasa’i. Beirut:

Muassasah Risalah, 2001. Al-Nasr, Abdul Jalil Isa Abu. Ijtihad Rasulullah Saw. Jakarta: Pustaka

Azam, 2001.

Al-Nisa>bu>ri, Muslim ibn H{ajjaj. Sah{i>h{ Muslim. Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-

Turath, tt.

Al-Qarafi. al-Furuq. Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt.

Al-Qarad}a>wi>, Yusuf. al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah.

cet. 3, Kairo: Dar al-Suru>q, 2002.

Page 154: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

137

_______. terj. Abdul Hayyie al-Kattani. al-Sunnah wa al-Bid’ah.

Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Al-Qawsi, Mufrih{ Sulaima>n. al-Shaikh Mus{t{afa> S{abri> wa Mawqifuhu min al-Fikri al-Wafid. Riyadh: Markaz al-Malik Faisal, 1997.

Al-Qurtubi>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Ah}mad Shamshu al-Di>n

(w. 671 H). al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qura>n. Kairo: Dar al-Kutub

al-Misriyah, 1980.

Rahman, Fazlur. Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat

dan Ortodoksi. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2003.

_______. Major Themes of The Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca

Islamica, 1994.

Rid{a, Muh}ammad Rashid. al-Wah{yu al-Muh{ammadi. Kairo: Da>r al-

Mana>r, 1935. _______. Tafsi>r Alqura>n al-H{aki>m aw Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: Dar al-

Manar, 1947.

S{abri>, Mus{t}afa>. al-Qawl al-Fas}l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi al-Ghayb wa al-Ladhi>na la Yu’minu>n. Ttp: Da>r al-Sala>m, 1905.

_______. Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘A<lim min Rab al-‘A<lami>n

wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981.

_______. Al-Qawl al-Fas{l Bayna al-ladhina Yu’minu >n bi al-Ghayb

Wa-al-ladhi>na la> Yu’minu >n. Ttp: Dar al-Salam, 1905.

_______. Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar. Kairo: Matba’ah

al-Salafiyah, 1352 H.

Al-Shaukani, Irsha>d al-Fuh}ul ila> Tahqi>q al-H}aq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.

Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogjakarta: eLSAQ Press, 2004.

Shaltut, Mahmut. al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa Shari’ah. t.tp.: Dar al-Qalam,

1966. Siraj al-Di>n al-Dimasqy (w. 775 H), Abu Hafz. al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-

Kita>b. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Imiyyah, 1997.

Suryadi, dkk. Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002.

Sya’ban, Marwah Ibrahim. “al-Ahadis al-Qudsiyah: Dirasah balaghiyah.” Fakultas Adab. Universitas Ghaza, 2007.

Al-S{abu>ni>, ‘Ali.> al-Nubuwwah wa al-Anbiya>’. Beirut: Ali>m al-Kutu>b,

1405 H.

Page 155: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

138

Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qura>n.

Riyadh: Muassasah al-Risalah, 2000. T{ant}awi>, M. Sayyid. Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak. Terj. Safri

Mahayedin, Cet. 2, Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara

Malaysia, 2009.

Al-Tirmizi, Abu> Isa>. Sunan Tirmizi. Mesir: Shirkah Maktabah Mus{t{afa>

al-Ba>bi>, 1975.

Al-‘Umri, Na>diyat Sharif. Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa

Sallam. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985.

Zuh{aili, Wahbah. Us}u>l al-Fiqh al-Islami>. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Terj. Hamdan Rasyid dkk.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

Al-Zarqa>ni, Muh{ammad, Mana>hil al-‘Ifra>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n. Beirut:

Da>r al-Fikr, Tth.

Jurnal Ilmiah

‘A<tiyah, Minhad Muhammad S{alih{. “al-Wahyu fi> al-Qura>n wa

Mauqifu al-Musyriqi>na Minhu”, Majallaj Kuliyah al-Tarbiyyah

al-Asasiyah 66 (2010) : 166-179.

‘Abd al-H{ami>d, Malak Muh}ammad Tha>bit. “Mafhu>m al-Nubuwah wa

al-I’ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” Journal of The Iraqi University 25,

no. 1 (2010) : 111-134.

‘Abd Na>s}ir, H{aki>m. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-

Nubuwah.” Adab al-Kufa 1, (2011) : 213-237.

Al-‘Any, Asma>’ ‘Abd al-Qa>dir ‘Abdulla>h. “Bara>’atu al-Anbiya>’

minma> nasaba Ilaihim min Akhta>’.” Journal of Research Diyala

University 52 (2011) : 37-91.

Al-Ausy, ‘Ali Ramadan. “al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qura>n al-Kari>m wa

Atha>rihi fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.” al-Turath al-‘Ilmy al-‘Araby

1 (2012) : 197-218.

Bin Baru, Rihaizan , dan Rosmalizawati ‘Abd Rashid. “The

Reconciliation Approach in Resolving Contradictory Prophetic

Tradition.” International Journal of Business and Social Science

2, no. 3 (2011) : 227-232.

Page 156: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

139

Duderija, Adis. “A Pradigm Shift in Assesing/Evaluating the Value

and Significance oh Hadith in Islamic Tought: From ‘Ulum al-

Isnad to ‘Usul al-Fiqh.” Arab Law Quarterly 23 (2009) : 1-12.

Duderija, Adis. “Toward a Methodology of Understanding the Nature

and Scope of the Concept of Sunnah.” Arab Law Quarterly 21

(2007) : 1-12.

H{ami>d, Ima>n Khalifah. “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith al-

Qudsiyah.” Al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 13, no. 4 (2006) : 225-244 H{usain, Ra’fat Luay. “al-Isha>rat al-Us{uliyyah ‘Inda al-S{ah{abah,”

Jurnal Kulliyah al-‘Ulum al-Islami 5, no. 10 (2010) : 157-214.

Hamudi, Ibrahim Taha. “Al-Iqra>r al-Nabawy, Siya>ghuhu wa Anwa>’uhu

wa Mara>t}ibuhu fi al-Hadi>th al-Shari>f.” Research Diyala

University 33 (2009) : 81-109.

Ibrahim, M. Sa’ad. “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam”

al-Tahrir 4, no. (2004): 162-169.

Al-Jami>ly, Kha>lid Rashid, “al-Ijtiha>d min ‘Asri al-Rasu>l Salla Alla>h

‘Alaihi wa Sallam Ila> Dhuhu>ri al-Maz{a>hib al-Fiqhiyyah.”

Research and Islamic Studies (2006) : 37-71.

Jaida>l, ‘Umar. “Ra>id al-Fakr al-Isla>mi al-Hadi>th: Shaikh al-Isla>m

Mus{t{afa> S{abri>”, Hira’ 5 (2006) : 32-51.

Kayadibi, Saim. “Ijtihad by Ra’y: The Main Saource Inspiration

behind Istihsan.” Jurnal Islamic Social Science 24, no. 1 (2007) :

73-95.

Al-Kabsy, ‘Abd al-H{a>fiz} ‘Abd Muh }ammad. “Khus}us}iat al-Nabi Salla

Allah ‘Alaihi wa Sallam wa Dala>latuha> fi> al-Tashri>’.” Journal of

The Iraqi University 1 (2010) : 159-188.

Al-Khalidy, Fah{d Tala>l Sali>m. “Al-Manhaj al-Nabawy fi> al-Ta’a>mul

al-Usray.” College of Basic Education Researches 4 (2007) : 79-

92.

Kesgin, Salih. “A critical Analysis of The Schacht’s Argument and

Contemporary Debates on Legal Reasoning throughout the

History of Islamic Jurisprudence.” The Journal of International

Sosial Research 4 (2011) : 157-166.

Khadhir, Ah{mad Mat}ar. “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}h}a>bihi fi> al-

Ghazawa>t.” Jurnal Research Diyala Unversity (2009) : 75-86.

Page 157: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

140

Majid, Latifah Abdul. dan Mohd Nasir Abdul Majid. “Perkaitan

Antara Ayat al-Kitab dengan Ijtihad Rasulullah Saw.” Jurnal

Islamiyyat 32, (2010) : 63-87.

al-Muna>siyah, Ami>n Muh{ammad Salla>m, “Nadrah fi> A<ya>t al-‘Ita>b”

Jurnal Ja>mi’ah Dimasq Li al-‘Ulu>m al-Iqtis{a>diyah wa al-

Qanu>niyah 23, no 1 (2007) : 321-361.

MZ, Zainuddin. “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wah{yu Ilahi Atau

Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007) :

1-17.

Nazami, Mohammad. “Ijtihad: Takhti’ah or Taswib.” Message of

Thaqalayn, A Quarterly Journal of Islamic Studies 10, no. 2

(2009) : 71-86.

Rosyidi, Muhib. “Metodologi Kritik Matan hadis Berbasis Sains;

Telaah Atas pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar”, Moderatio

Diskursus Islam dan Peradaban I, no 3, (2012) : 61-82.

S}a>lih, S}a>diq Khali>l. “Khit}a>b al-Nabi> Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallama

wa Atha>ruha> fi> al-Mufassiri>n.” Journal Research and Islamic

Studies (2009) : 75-106.

Shaki>r Mah{mu>d Isma>’il, “Al-Ah{dath al-Ma’thurah fi> Haya>t al-Rasu>l

Qabla Bi’t}ah” Majallah Ja>mi’ah al-Anba>r 1, no. 4 (2011) :122-

137.

Solihu, Abdul Kabir Husain. “Revelation and Prophethood in the

Islamic Worldview.” International Islamic University Malaysia,

Islam in Asia 6, no. 1 (2009) : 167-189.

Tayyara, Abed el-Rahman. “Prophethood and Kingship in Early

Islamic Historical Thought.” Der Islam 84 (2007) : 73-102.

Terzic, Faruk. “The Problematic of Prophethood and Miracles:

Mus}tafa> S{abri>’s response.” Islamabad, International Islamic

University, Islamic Studies 48, no. 1, ( 2009) : 5-33.

‘Ulwan, ‘Amar bin ‘Abdullah Nasir. “Tah{li>l Asba>b Ihmal Wuru>d al-

H{adi>th wa Ahammiyatu Ma’rifatih fi> Fahmi Maqa>sid al-

Tashri>’.” Al-Bayan, Journal of Quran and Hadith Studies 7

(2009) : 1-9.

Page 158: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

141

Yasin, Hasyim Taha, Manna ‘Abd al-Ghafu>r Dah{m, “Manhaj Nadi>r al-

Jaisy (w. 778 H) fi al-Istidla>l bi al-Hadi>th al-Nabawi al-Shari>f fi

Kita>bihi Tamhi>d al-Qawa>id.” Journal of al-Anbar University for

Language and Literature 8, (2012) : 71-89.

Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of

Muh{ammad ‘Abduh and Rashid Rid{a.” Islamic Studies 24, no. 2

(1985) : 139-165.

Zakaria, Idris. “Ketuhanan, Kenabian, dan Kebahagiaan Menurut Ibn

Sina.” Jurnal Islamiyyat 32, (2010) : 135-156.

Page 159: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

142

Page 160: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

143

GLOSARIUM

Ijtihad : Ialah sebuah usaha yang sungguh-sungguh,

bisa dilaksanakan siapa saja untuk

memutuskan suatu perkara atau persoalan

tertentu dengan menggunakan akal yang

sehat atau pertimbangan yang matang, atau

hasil dari olah logika

Hadis : Ialah segala sesuatu yang disandarkan pada

Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun

ketetapannya

Wahyu : Ialah pengetahuan atau informasi yang

disampaikan Allah kepada makhluknya

baik melalui perantara maupun tidak

Maksum : Ialah terpeliharanya seseorang dari

kesalahan yang disengaja yang menyalahi

hukum Tuhan

Mukjizat : Ialah seuatu kejadian diluar adat kebiasaan,

melemahkan manusia atau makhluk lain,

baik sendiri-sendiri atau kelompok untuk

membuat tandingannya yang serupa

Nubuwwah : Ialah peran yang ada pada diri manusia

yang diutus oleh Allah Swt. untuk

menyampaikan pesan kepada makhlukNya

Al-af’a>l al-Jibliyyah : Ialah segala tindakan atau kebiasaa yang

sama yang dimiliki oleh semua manusia

atau difahami sebagai sisi kemanusiaan

Daulah Islamiyyah : Ialah sebuah tatanan negara atau politik

yang berdasarkan akidah Islam dan

menerapkan syariat Islam atas manusia

yang hidup di wilayah-wilayah yang ada

dalam cakupan hukum tersebut.

Page 161: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

144

Legal Specific : Ialah sebuah pesan moral atau inti

persoalan yang terdapat dalam sebuah

kejadian atau ungkapan

Sunnah : Segala sesuatu yang menjadi kebiasaan

atau pernah dilakukan oleh seseorang, atau

ajaran Nabi yang tidak muncul dalam

Alquran

Sunnah tashri>’iyyah : Ialah sunnah yang bersandarkan pada diri

Nabi dan memiliki implikasi syariat di

dalamnya, atau segala perbuatan Nabi yang

mengharuskan atau mewajibkan umat

Islam untuk mengikutinya

Sunnah non-

tashri>’iyyah

: Ialah sunnah yang didasarkan pada diri

Nabi namun tidak memiliki implikasi

syariat di dalamnya, atau segala perbuatan

Nabi yang tidak mengharuskan atau

mewajibkan bagi umat Islam untuk

mengikutinya

Sunnah wah{yiyyah : Ialah sunnah Nabi dalam sebuah tindakan

atau persoalan yang didasarkan informasi

atau pengetahuan yang didapat Nabi dari

Allah atau wahyu

Sunnah Ijtihadiyyah : Ialah sunnah Nabi dalam sebuah tindakan

atau persoalan yang didasarkan pada hasil

pembacaan sebuah persoalan atau ijtihad

Ibah{ah Aqliyyah : Kebolehan terhadap sesuatu berdasarkan

pada pertimbangan akal atau rasional

Ibah{ah Shar’iyyah : Kebolehan terhadap sesuatu berbadaskan

pada syariat atau ketentuan agama

Asbab wurud : Ialah suatu kejadian yang mengitari saat

sebuah hadis diucapkan oleh Nabi atau

yang menjadi sebab munculnya hadis

tersebut

Page 162: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

145

INDEKS

A

‘Abd al-Jali>l I<sa ‘Abd al-Nasr-------- 13, 14

‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b -------------------- 6, 7, 8

‘Abdurrahman ibn Samurah --------------- 42

‘Ata>’ ibn Khalil ------------------------------ 94

Abdul Wahab Khalaf ------------------------ 97

Abdurrahma>n ibn ‘Auf ---------------- 86, 98

Abu H{asan al-Bashri -------------------------- 8

Abu> Bakar al-Baqilani ---------------------- 30

Abu> H{afs --------------------------------------- 80

Abu> Hurairah----------------------- 42, 43, 113

Abu> T{a>lib --------------------------------- 47, 48

Abu> Umayya ibn al-Mughi>ra ------------- 51

Ah{mad Ibn H{ambal ------------------ 8, 51, 88

Al-Adlabi ------------------------------ 127, 128

al-af’a>l al-Jibliyyah ----------------------- 1, 94

al-Amidi ----------------------------------- 65, 66

al-Ash’a>ri ------------------------------ 8, 20, 30

Al-Azhar ----------------------------------------- 9

al-Baid{awi ------------------------------------- 61

al-Baqillani ------------------------------- 11, 20

al-Fara>bi> ---------------------------------------- 17

al-Ghaza>li ---------------------- 4, 8, 58, 64, 97

al-H{umaidi --------------------------------------- 4

al-Jubba’i ----------------------------------- 7, 14

Al-Juwaini ------------------------------- 97, 136

al-Khurasy ----------------------------- 101, 103

al-Maturi>di -------------------------- 11, 20, 66

al-Maududi --------------------- 101, 102, 108

Al-Nawawi ------------------------------------ 75

al-Qad}i ‘Abd al-Jabba>r ----------------------- 8

al-Qara>fi> ----------------------------- 38, 96, 103

al-Qarad{awi 13, 16, 99, 106, 108, 114, 119

Al-Qurtu>bi> --------------------------------------- 6

al-Raghib al-Ishfahani ---------------------- 76

Al-Shaukani ---------------------- 97, 123, 137

al-Syatibi ------------------------------------- 109

Amin Muhammad Salla>m ------------------ 72

aqliyyah ---------------------------------------- 99

B

Buh{aira ----------------------------------------- 47

D

Da>r al-Funu>n ---------------------------------- 54

Da>r al-H{ikmah al-Isla>miyyah --------------- 9

Damat Ferit ----------------------------------- 55

F

Fari>d Wajdi ------------------------------------ 10

Faruk Terzic ----------------- 9, 10, 21, 30, 31

Fazlur Rahman ------------- 2, 14, 16, 17, 25

Fiegenbaum ------------------------ 16, 26, 134

H

H{abab ibn Munzir ------------------7, 72, 102

Halimah Sa’diyah ---------------------------- 47

I

iba>h{ah ------------------------------------------- 99

Ibn ‘Arabi --------------------------------- 11, 20

Ibn ‘Ashur ------------------------------- 98, 135

Ibn H{anbal ------------------------------------- 88

Ibn H{azm-------------------- 8, 66, 67, 99, 100

Ibn H{ibba>n -- 8, 36, 38, 47, 78, 86, 116, 135

Ibn Hisha>m ------------------------------------ 24

Ibn Kathir -------------------------------------- 79

Ibn Khaldu>n ------------------ 1, 2,14, 75, 135

Ibn Qayyim ---------------------------- 106, 135

Ibn Qudamah --------------------------------- 123

Ibn Qutaibah ---------------------------------- 97

Ibn Si>na ---------------------------------------- 17

Page 163: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

146

Ibn Taimiyyah --------------------------- 14, 94

ijtiha>diyah------------------------------------ 104

Imam H{anbali ----------------------------------- 8

Imam Ma>lik ------------------------------------- 8

Imam Sha>fi’i -------------------------------- 4, 8

Imam Taba>ri> ----------------------------------- 80

J

J.W. Fiegenbaum ----- 13, 15, 16, 24, 25, 26

Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih --------------------- 9, 54

John L. Esposito -------------------------------- 2

K

Khatib al-Bagda>di --------------------------- 88

M

Ma’qil ibn Yasar --------------------------- 117

Madrasah al-Wa>’izi>n --------------------- 9, 54

Mah{mu>d Shaltu>t ------------------- 20, 96, 10

Malak Muh}ammad Tha>bit - 23, 27, 31, 33,

138

Mehmet Kadri Karabela 12, 20, 54, 55, 56,

57, 58, 67

Mu’az ibn Jabal ------------------------------- 62

Mu’tazilah ------------------------------------- 20

Mufarrih} Sulaima>n al-Qawsi -------------- 21

Muh{ammad ‘Abduh 10, 20, 23, 30, 33, 34,

58, 59, 141

Muh{ammad al-‘Aru>sy 46, 95, 99, 124, 129

Muh{ammad H{usain H{aikal ----- 10, 58, 131

Muh{ammad Shaki>b Qa>simi ---------------- 66

Muh}ammad ‘Abduh -------------------- 30, 59

Muh}ammad Sulaiman al-Ashqar 13, 14, 15

Muhammad al-‘Aru>sy -- 3, 15, 94, 124, 129

Muhammad Shahrur --------------- 84, 86, 95

Mus}t}afa> Kemal Ataturk -------------------- 55

Mus}t}afa> S{abri 9, 10, 11, 12, 13, 18, 19, 20,

21, 23, 31, 32, 34, 41, 53, 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 62, 63, 67, 68, 82, 83,

86, 87, 137, 139, 140

N

Na>diyah Shari>f al-‘Umri ------ 6, 64, 68, 70

Nuruddin ‘Itr ---------------------------------- 88

Q

Qad{i ‘Iyad ------------------- 3, 14, 37, 45, 65

Qata>dah -------------------------------- 6, 80, 97

Quraish ----------------- 47, 50, 51, 72, 79, 80

R

Ra’fat Liay Husain ------------------------ 120

Rahman -------------------- 4, 16, 25, 137, 140

Rashid Rid{a 10, 20, 23, 35, 58, 77, 98, 141

S

S{abri - 10, 11, 13, 18, 19, 20, 21, 23, 31, 32,

53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 67,

68, 82, 83, 86, 137, 139, 140

Sa’d ibn ‘Uba>dah ------------------------------ 7

Sa’d ibn Mu’a>z --------------------------------- 7

Sali>m ibn ‘Abdillah-------------------------- 44

Sayyid T{ant}a>wi> ---------------------------- 5, 63

shar’iyyah -------------------------------------- 99

Sulaima>n al-Ashqa>r ------ 1, 14, 15, 99, 100

Sulaima>n ibn Sha>lih{ al-Khurasy-------- 101

Sultan ‘Abd al-H{amid ---------------------- 54

syaikh al-isla>m ---------------------------------- 9

T

Tarmizi M. Jakfar ---- 46, 98, 99, 101, 102,

105, 106, 119

Page 164: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

147

tasyri>‘iyyah ------------------------------- 38, 96

Turki -------------------------- 9, 53, 55, 56, 57

W

wah{yiyyah ----------------------------------- 104

Waliyullah al-Dahlawi -------------------- 105

Y

Yusuf H.R. Seferta - 23, 30, 33, 34, 35, 36,

141

Z

Zaghlul al-Najjar ------------------------ 39, 41

Zaid ibn Harithah ---------------------------- 73

Zaki> Muba>rak ---------------------------- 10, 20

Zubair ibn Awwam --------------------- 86, 98

Page 165: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

148

TENTANG PENULIS

Nama : Muhib Rosyidi

TTL : Lamongan, 15 Agustus 1987

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Nama Orang Tua : Ayah : Murochis

Ibu : Muntamah

Nama Istri : Ewi Nerni, S.Hi, M.H

Pekerjaan : Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Prof.

Dr. HAMKA

Alamat Asal : Jl. Kelapa Sawit II, Rt. 005/010 Kel. Utan

Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur

No. Telp/Hp : 08568538518

E-mail : [email protected]

Pendidikan Formal

o TK Aisiyah Lamongan, 1991 – 1993

o MI Muhammadiyah 04 Blimbing Lamongan, 1993 – 2000

o SMP Muhammadiyah 12 Sendang Lamongan, 2000 – 2003

o MTS Al-Ishlah Lamongan, 2000 – 2003

o MA Al-Ishlah Lamongan, 2003 – 2006

o Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Jurusan Tafsir-Hadis Jakarta, 2006 – 2010

o Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

Konsentrasi Hadis dan Kenabian Jakarta, 2011 – 2014

Pendidikan Non Formal

Pelatihan ESQ Profesional Angkatan 4, Jakarta 2008

Pelatihan Leadership Skill Training di Forum Indonesia Muda FIM

(Forum Indonesia Muda) angkatan 8, Padang-Sumatra Barat 2009

Pelatihan Tamyiz (Terjemah al-Quran Mandiri 24 Jam), Bogor

2013

Page 166: IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41655/1/Muhib... · Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi

149

Pelatihan Pembelajaran Bahasan Arab BKS-PTIS dengan Al-

‘Arabiyah li al-Jami>’ Saudi Arabia, Univeristas Muhammadiyah

Malang, Jawa Timur 2014

Pengalaman Organisasi

Bendahara Umum OSIS SMP 12 Sendang 2002 - 2003

Ketua Bidang Keagamaan BESMA (Badan Eksekutif MA Al-

Islah) 2005 -2006

Ketua Umum OPPI (Organsasi Pondok Pesantren Al-Ishlah) 2005 -

2006

Ketua Asrama IMM Cabang Ciputat 2007 – 2008

Ketua Komisariat Ushuluddin dan Filsafat 2008 -2009

Sekertaris Menteri Kemahasiswaan BEM UIN Jakarta 2007-2008

Ketua Bidang I (Keorganisasian) IMM Cabang Ciputat 2009 –

2010

Anggota FIM Forum Indonesia Muda (Youth Indonesian Forum)

2010 - 2011

Karya Tulis

Kontekstualisasi Hadis-Hadis Korupsi (Sebuah Kajian Hadis

Maud{u‘i >) (2010), Skripsi-tidak diterbitkan

Editor buku, Dahsyatnya Energi Listrik Manusia, RM Book

(Rakyat Merdeka Group), 2011

Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Sunnag. Jurnal

Tajdid 2, no. 1 (2011),FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.

HAMKA

Membumikan Agama ala Nahdlatul Ulama. Jurnal Qur’a>n and

H{adi>th Studies 2, no. 1 (2012) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Editor Buku Ajar, Kemuhammadiyahan Untuk Perguruan Tinggi,

UHAMKA Press, 2013

Metodologi Kritik Matan Hadis Berbasis Sains; Telaah Pemikiran

Zaghlul Raghib al-Najjar. Jurnal Moderatio 2 (2013) Universitas

Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.