24
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Kering (Drylands) Menurut Notohadiprawiro (1989), penggunaan istilah “lahan kering” di Indonesia belum disepakati dengan benar. Ada yang menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau unirrigated land. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu diperhatikan tiga hal berikut, yaitu : 1) Iklim kering dalam istilah Bahasa Inggris adalah arid land yang artinya : (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi meskipun jumlahnya sedikit, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk dilakukannya pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan aktual. 2) Keadaan lahan yang berkaitan dengan drainase alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain). 3) Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan. Untuk rujukan pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan iklim kering”. Untuk rujukan kedua dapat dipilih istilah “lahan atasan” (upland). Untuk rujukan ketiga dapat diterapkan istilah “lahan kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering sebagai kondisi lingkungan dimana terdapat defisiensi kelembaban secara permanen, musiman maupun periodik. Dariah et al. (2004) mendefinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun atau sepanjang waktu. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di daerah tropis, subtropis, temperate, maupun kutub. Vegetasi penutup di lahan kering sangat mudah rusak dan jika hal ini terjadi, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya. Tanah di lahan kering sering mengalami kekurangan humus ataupun unsur hara, diantaranya pospat, dan ketersediaannya berkurang dengan cepat (Barrow, 1991).

II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

  • Upload
    donhan

  • View
    263

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Kering (Drylands)

Menurut Notohadiprawiro (1989), penggunaan istilah “lahan kering” di

Indonesia belum disepakati dengan benar. Ada yang menggunakan untuk padanan

istilah Inggris: upland, dryland, atau unirrigated land. Oleh karena itu, untuk

menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian

lahan kering, perlu diperhatikan tiga hal berikut, yaitu :

1) Iklim kering dalam istilah Bahasa Inggris adalah arid land yang

artinya : (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada

250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk

menghidupi vegetasi meskipun jumlahnya sedikit, (c) daerah yang jumlah

hujannya tidak mencukupi untuk dilakukannya pertanian tanpa irigasi, atau (d)

daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan aktual.

2) Keadaan lahan yang berkaitan dengan drainase alamiah lancar (bukan rawa,

dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain).

3) Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.

Untuk rujukan pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau

“kawasan iklim kering”. Untuk rujukan kedua dapat dipilih istilah

“lahan atasan” (upland). Untuk rujukan ketiga dapat diterapkan istilah “lahan

kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa

penggenangan.

Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering sebagai kondisi lingkungan

dimana terdapat defisiensi kelembaban secara permanen, musiman maupun

periodik. Dariah et al. (2004) mendefinisikan lahan kering sebagai hamparan

lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu

selama setahun atau sepanjang waktu. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di daerah

tropis, subtropis, temperate, maupun kutub. Vegetasi penutup di lahan kering sangat

mudah rusak dan jika hal ini terjadi, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya.

Tanah di lahan kering sering mengalami kekurangan humus ataupun unsur hara,

diantaranya pospat, dan ketersediaannya berkurang dengan cepat (Barrow, 1991).

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

8

Luas lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan kering di dunia kurang

lebih 35% dari luas total atau sekitar 30 – 40 juta km2, dan diantaranya : 14%

tergolong semi-arid (21,2 juta km2), dan 4% (5,8 juta km2

Banyak permasalahan yang dijumpai di lahan kering diantaranya :

drainase yang sangat cepat, adanya pengkerakan tanah (soil crusting), kandungan

garam atau basa yang sangat tinggi, rendahnya hara, dan kapasitas infiltrasi yang

lambat, disamping faktor hama dan penyakit yang menjadi kendala atau pembatas

bagi pertumbuhan tanaman.

) merupakan daerah

yang sangat kering (extreemely arid) (Barrow, 1991). Menurut Heathcote (1983)

dalam Barrow (1991), diperkirakan 37% lahan kering berada di Afrika, 34% di

Asia, 13% di Australia, 8% di Amerika Utara, 6% di Amerika Selatan, dan 2% di

Spanyol. Pada daerah tersebut terdapat 500 juta sampai 850 juta penduduk yang

tinggal menetap dan kehidupannya sangat tergantung pada daerah tersebut.

Jenis tanah utama lahan kering di Indonesia adalah Podsolik Merah-

Kuning (yang meliputi : Ultisol dan Inceptisol) seluas 23,3 juta ha atau 21

persen dari luas seluruh lahan kering, dan Latosol (meliputi : Oxisol, Ultisol

dan Inceptisol) seluas 16,4 juta ha atau 15 persen dari luas seluruh lahan kering.

Komplek tanah seluas 54,7 juta ha atau 49,1 persen dari luas seluruh lahan kering

kebanyakan mencakup Ultisol (Muljadi dan Arsyad, 1967; Sudjadi, 1984). Jadi,

lahan kering didominasi oleh Ultisol dan urutan berikutnya adalah Inceptisol dan

Oxisol. Dilihat dari jenis tanahnya, lahan kering dengan jenis tanah Ultisol dan

Oxisol berpotensi rendah, contohnya yang paling banyak dijumpai di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Ultisol dan Oxisol termasuk tanah

bermasalah (problem soils). Inceptisol yang berasosiasi dengan Ultisol atau

Oxisol memiliki sifat-sifat mirip Ultisol atau Oxisol.

Kendala tanah Ultisol dapat diringkas sebagai berikut :

1) Kejenuhan Al tinggi

2) Sering mengandung Mn dalam jumlah yang banyak sehingga meracuni

3) Sangat miskin hara

4) Kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah

5) Daya mengikat P dan anion lain kuat

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

9

6) Mudah mengalami penurunan kadar air karena kapasitas menyimpan air

rendah sekali, yaitu 0,10 – 0,15 fraksi volum, bahkan dapat hanya 85 mm/m.

7) Peka terhadap erosi karena lapisan permukaan mudah mengalami pemadatan

oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat dan

permeabilitas rendah.

Kendala tanah oxisol antara lain :

1) Kejenuhan Al tinggi

2) KTK (Kapasitas Tukar Kation) rendah sekali

3) Sangat miskin hara dan cadangan mineral mudah lapuk rendah

4) Sering kahat S, B dan Mo

5) Daya mengikat P dan anion lain kuat

6) Tekstur yang sangat porous menyebabkan kelembaban tanah rendah dan

pencucian kuat.

Meskipun potensi tanahnya rendah, tetapi karena potensi luasnya sangat

besar, lahan kering harus dipandang sebagai suatu aset nasional yang

perlu diperhatikan dan dimanfaatkan. Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu

lagi kalau diingat bahwa lahan sawah (lowland) yang berpotensi baik sudah

semakin banyak pemanfaatannya, tidak hanya untuk pertanian tetapi juga untuk

keperluan non-pertanian.

2.2. Degradasi Lahan

Degradasi lahan merupakan salah satu masalah yang paling krusial saat

sekarang, dan masalahnya terus meningkat di seluruh dunia, terutama di negara-

negara tropis yang masih berkembang (Kertez, 2009). Sementara itu, masalah

degradasi lahan baru mendapat perhatian yang sangat sedikit dari pemerintah dan

masyarakat. Apabila pemerintah dan masyarakat kurang peduli terhadap

kelestarian sumberdaya lahan, khususnya dalam pengelolaannya maka proses

degradasi lahan akan terus meningkat dan mgancam kelestarian sumberdaya alam

sebagai alat pemenuhan kebutuhan huidup. Menurut Ballayan (2000),

pengelolaan tanah yang berkelanjutan dengan menerapkan tindakan konservasi

tanah yang baik merupakan kunci pengelolaan lahan berkelanjutan diantaranya

dapat melindungi sumberdaya tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan

yang sangat penting dapat mengurangi efek kekeringan di daerah semi-arid.

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

10

Degradasi lahan didefinisikan sebagai berkurangnya kemampuan tanah

untuk berproduksi jangka panjang yaitu dalam kaitannya dengan kuantitas,

kualitas dan penghasil barang atau jasa pada masa sekarang dan masa yang akan

datang (Sitorus, 2009), termasuk berkurangnya atau hilangnya produktivitas

biologis dan fungsi tanah sebagai ekosistem (Hudson dan Ayala, 2006; Acharya

dan Kafle, 2009). Degradasi lahan secara kuantitatif meliputi : kehilangan tanah

karena erosi, gerakan massa tanah dan larutan tanah, atau secara kualitatif

meliputi : penurunan kesuburan tanah, berkurangnya hara tanaman; perubahan

struktur; perubahan aerasi/kadar kelembaban tanah; berubahnya unsur mikro,

seperti kadar garam dan senyawa alkalin; polusi beberapa campuran bahan kimia;

perubahan flora dan fauna tanah (Sitorus, 2009).

Degradasi lahan dapat terjadi secara alami, seperti: penghanyutan

tanah/erosi, pembentukan fragipan, pembentukan laterit/plintit, atau pun karena

pengaruh manusia (anthropogenic) (Haridjaja, 2008). Proses degradasi lahan

secara alami sering dipercepat oleh aktivitas manusia seperti deforestasi

(penggurunan), pengolahan tanah, penggunaan lahan yang intensif, dan lain-lain

(Las et al., 2006). Tingkat degradasi lahan tergantung pada kecepatan proses

degradasi lahan, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan

pengelolaan (management) (Acharya dan Kafle, 2009).

Proses degradasi lahan menurut Kertez (2009) dan Tan (2009) dapat

dikelompokkan atas lima kelompok, yaitu : (1) soil sealing, yang terjadi akibat

kegiatan pembuatan konstruksi jalan, kereta api, ataupun bangunan sehingga

permukaan tanah menjadi padat dan tidak dapat berfungsi dengan benar apalagi

tanpa vegetasi di atasnya ; (2) erosi tanah, termasuk proses-proses seperti erosi

percikan, erosi permukaan, erosi parit, dan macam-macam bentuk bergeraknya

massa tanah (longsor dan banjir lumpur); (3) pencemaran tanah, terjadi akibat

penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk, pestisida, dan limbah pertanian/industri)

menyebabkan asidifikasi dan eutrofikasi; (4) Salinisasi, yaitu adanya akumulasi

garam dipermukaan tanah terjadi melalui evaporasi terutama di daerah kering dan

dekat pantai; (5) pemadatan tanah, terjadi pada daerah pertanian yang pengolahan

tanahnya, budidaya, dan pasca panennya menggunakan mesin/alat berat..

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

11

Degradasi lahan dapat terjadi akibat dari bencana alam atau karena

penggunaan lahan tidak sesuai dan praktek-praktek pengelolaan lahan yang tidak

tepat, serta faktor-faktor bencana alam mencakup iklim dan topografi tanah

seperti lereng yang curam, sering banjir, bertiupnya angin berkecepatan tinggi,

hujan dengan intensitas tinggi, pencucian kuat di daerah lembab dan kondisi

kekeringan di daerah arid. Deforestasi yang parah, penebangan vegetasi yang

berlebihan, perladangan berpindah, ladang penggembalaan yang berlebihan,

penggunaan pupuk yang tidak seimbang dan tidak adanya adopsi teknik

konservasi tanah dan air, pemompaan/pengambilan air tanah berlebihan (yang

melebihi kapasitas untuk mengisi ulang) adalah beberapa faktor-faktor yang

datang karena campur tangan manusia yang menyebabkan erosi tanah yang

berujung pada degradasi lahan (Ballayan, 2000).

Salah satu bentuk degradasi lahan adalah lahan kritis. Lahan kritis adalah

lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan

pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang

memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau

lebih faktor penghambat yang kurang mendukung dalam usaha-usaha

pemanfaatan kegiatan pertanian (Sitorus, 2004).

Lahan dapat dikategorikan lahan kritis apabila lahan tersebut mengalami

kerusakan dan kehilangan fungsi secara fisik kimia, hidroorologi, dan sosial

ekonomi. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan

sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan

kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat

kesuburan/toksisitasnya tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap

pertumbuhan tanaman bila lahan tersebut diusahakan sebagai areal pertanian.

Fungsi hidroorologi lahan berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur

tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap,

dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidroorologi berkaitan dengan

berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari

ketiga kemampuannya tadi.

Lahan kritis secara ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih

mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik,

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

12

tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi (misalnya sengketa

pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah), maka

lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar.

Degradasi lahan kering di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air

hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan,

terutama di Indonesia bagian Barat (Dariah et al., 2004). Oleh karena itu, Sitorus

(2009) menggolongkan proses degradasi lahan menjadi dua yaitu : degradasi

erosif dan degradasi non-erosif. Degradasi erosif berhubungan dengan

pemindahan bahan atau material tanah oleh air dan angin. Hasil penelitian Kurnia

et al. (2000), menunjukkan bahwa besarnya erosi pada Ultisol Lampung berlereng

3% berkisar antara 97,7-144,5 ton/ha/tahun atau rata-rata 1,5 cm/tahun, sedangkan

erosi pada Ultisol Sumatera Selatan dengan lereng 15% sebesar 423,6

ton/ha/tahun atau rata-rata 5 cm/tahun. Hilangnya tanah lapisan atas setebal 1,5-

5,0 cm tersebut akan mempercepat penurunan produktivitas tanah, karena dalam

waktu relatif singkat lapisan tanah atas yang tebalnya terbatas akan cepat hilang.

2.3. Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Degradasi Lahan

Banyak faktor penyebab degradasi lahan, diantaranya adalah adanya

tekanan jumlah penduduk, meningkatnya urbanisasi, dan perubahan iklim.

Selanjutnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan dapat dibedakan atas dua

kelompok, yaitu : (1) faktor jangka panjang, antara lain terlihat dalam sistem

usaha pertanian, pertambangan dan praktek-praktek produksi lainnya yang telah

menyebabkan erosi tanah, pengurasan unsur hara tanah, polusi sungai dan air

tanah, dan penggurunan yang timbul akibat deforestasi; (2) faktor jangka pendek

meliputi faktor-faktor fisik alam dan karakteristik lain dari tanah, yang

mempengaruhi erodibilitas tanah dan kemampuannya untuk menyimpan,

mengalirkan air dan memegang nutrisi; topografi dan kondisi iklim (Diao dan

Daniel, 2007).

Menurut Atmojo (2006), bahwa degradasi lahan yang terjadi di Indonesia

setelah 30 tahun mulai nampak dan terus mengalami peningkatan. Beberapa

indikator yang menunjukkan adanya degradasi lahan, diantaranya adalah: (1)

tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan lahan merosot, (3)

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

13

konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) lahan kritis semakin meluas, (5)

tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, dan (6) daya

dukung lingkungan merosot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi

lahan berupa penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1) erosi, 2) pencemaran agrokimia,

3) pencemaran industri, 4) pertambangan dan 5) galian C, serta alih fungsi lahan.

1. Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat

produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang berakibat terhadap luas lahan kritis

semakin meningkat. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi

dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan

degradasi lahan. Misalnya, lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya

sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian

tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor.

Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi

lahan yang sangat dominan.

Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan)

menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah

terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan

dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan

(deforestration) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah

aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi

deforestration atau penebangan hutan secara liar, baik di hutan produksi maupun

di hutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada

tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha,

sedangkan tahun 2002 mengindikasikan meningkat menjadi 94,17 juta ha, atau

meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya

dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir

(off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan

tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya

lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang

menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir

dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan di musim kemarau.

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

14

Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan

kegiatan usahatani di wilayah hulu suatu DAS. Erosi yang intensif di lahan

pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani karena

hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan

cadas yang keras. Penurunan produktivitas usahatani secara langsung akan

diikuti oleh penurunan pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Selain

menyebabkan ketidak-berlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani

tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di

wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan

usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan

sedimen, kerusakan sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan

kekeringan dimusim kemarau.

2. Pencemaran Agrokimia. Tingkat pencemaran dan kerusakan

lingkungan di lingkungan pertanian dapat disebabkan karena penggunaan

agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional. Pada tahun

enampuluhan terjadi biorevolusi di bidang pertanian, yang dikenal dengan

revolusi hijau dan telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler,

yaitu dengan diperkenalkannya penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk

anorganik, maupun obat-obatan (insektisida). Dengan revolusi hijau tersebut,

produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil

mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan. Namun demikian,

dampak penggunaan agrokimia mulai dirasakan saat ini. Dampak negatif dari

penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil

pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman hayati,

ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk dan dalam menentukan

komoditas yang akan ditanam.

Penggunaan pestisida yang berlebihan dalam kurun waktu yang panjang,

akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan

penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan

terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Sementara itu, pada

saat ini residu pestisida akan menjadi faktor penentu daya saing produk-produk

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

15

pertanian yang akan memasuki pasar global sehingga penggunaan pestisida secara

berlebihan perlu dihindari

Penggunaan pupuk anorganik yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis

yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya

kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan

hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Misalnya

petani menggunakan urea (hanya mengandung hara N) saja dalam dosis tinggi

secara terus menerus, sementara tanaman mengambil unsur hara tidak hanya N

(nitrogen) dalam jumlah yang banyak, maka akan terjadi pengurasan hara lainnya.

Unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman semuanya ada 16 unsur, sehingga

apabila tidak ditambahkan akan terjadi pengurasan hara lainnya (15 hara) dan

pada saatnya akan terjadi kemerosotan kesuburan karena terjadi kekurangan hara

lain.

Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada

penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang

kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen

areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen.

Sementara itu, sistem pertanian bisa menjadi berkelanjutan (sustainable) jika

kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping

memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur

tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan

organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin

menurun.

3. Pencemaran Industri. Pencemaran dan kerusakan lingkungan di

lingkungan pertanian dapat juga disebabkan karena kegiatan industri.

Pengembangan sektor industri akan berpotensi menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan pertanian, dikarenakan adanya limbah cair, gas dan padatan

yang asing bagi lingkungan pertanian. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa

gas buang seperti belerang dioksida (SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan

asam dan akan merusak lahan pertanian. Selain itu, adanya limbah cair dengan

kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi

lahan pertanian dan terjadinya pencemaran air. Limbah cair ini apabila masuk ke

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

16

badan air pengairan, dampak negatifnya akan menyebar secara luas. Penggalakan

terhadap program kali bersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan

sangsi bagi pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.

4. Pertambangan dan galian C. Usaha pertambangan besar sering

dilakukan di atas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif

pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak

teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan

berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi

sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi

kesuburan tanah.

Demikian juga semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan

terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga

semakin banyak (galian C). Tanah untuk pembuatan batu bata dan genteng lebih

cocok pada tanah tanah yang subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya

tingkat keuntungan berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan

lahan-lahan pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batu bata, genteng dan

tembikar. Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata air

pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah bagian

atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawahan

(sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi tidak produktif.

5. Alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat

akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian.

Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah

rendahnya insentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan

berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai

masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca,

hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi

lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas

tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-1999,

sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6

juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih penggunaan ke non-

pertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

17

2.4. Klasifikasi Degradasi Lahan

Pada umumya untuk mengetahui tingkat degradasi lahan disusun klasifikasi

degradasi lahan. Pengklasifikasian degradasi lahan dapat dibedakan menjadi tiga

tingkatan yaitu tingkat global (GLASOD), tingkat regional (ASSOD) dan tingkat

nasional di masing-masing negara. Klasifikasi degradasi lahan tingkat global dan

regional lebih menekankan pada faktor eksternal erosi, serta faktor internal

memburuknya sifat kimia dan sifat fisik tanah akibat ulah manusia (FAO, 1979;

Oldeman, 1991). Klasifikasi degradasi lahan di Indonesia beragam (Firmansyah et

al., 2008). Menurut Suwardjo et al. (1996), klasifikasi degradasi lahan di sektor

kehutanan menekankan aspek hidrologi lahan, sektor transmigrasi melihatnya sebagai

tanah marjinal, dan sektor pertanian mengartikannya sebagai tanah kritis, sedangkan

PP No. 150/2000 menyebutnya sebagai tanah rusak.

Klasifikasi degradasi lahan menurut Direktorat RKT (1997), disusun

berdasarkan tingkat kekritisan lahan yang dapat digolongkan ke dalam lima

kelompok yaitu : (1) sangat kritis, (2) kritis, (3) agak kritis, (4) potensial kritis, (5)

tidak kritis. Kriteria pengelompokkan ini didasarkan pada faktor-faktor : penutupan

lahan, kemiringan lereng, erosi, penutupan oleh batuan, dan tingkat pengelolaan

(manajemen).

Sementara itu menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997)

pengklasifikasian tingkat kekritisan lahan didasarkan pada parameter kondisi

penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan dan

kedalaman tanah. Parameter-parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk

membedakan lahan kritis ke dalam empat tingkat kekritisan yaitu : potensial kritis,

semi kritis, kritis dan sangat kritis seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997.

Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat Kritis

Penutupan vegetasi > 75% 50 - 75% 25 - 50% < 25% Tingkat torehan/ Kerapatan drainase

Agak tertoreh s/d Cukup tertoreh

Cukup tertoreh s/d Sangat tertoreh

Sangat tertoreh s/d Sangat teroreh sekali

Sangat tertoreh sekali

Penggunaan lahan/ Hutan, Kebun campuran,

Pertanian lahan kering,

Pertanian lahan kering,

Gundul, Rumput, Semak

Vegetasi Belukar, Perkebunan Semak belukar, Alang- alang

Rumput, Semak

Kedalaman tanah Dalam (>100 cm)

Sedang (60 - 100 cm)

Dangkal (30 - 60 cm)

Sangat Dangkal (< 30 cm)

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

18

Secara rinci ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis di atas menurut Kurnia et al. (2002) adalah sebagai berikut : 1) Lahan yang potensial kritis adalah lahan-lahan yang (a) masih tertutup

vegetasi lebih 75%, tetapi karena topografi dan sifat-sifat litologinya sedemikian rupa atau keadaan lereng yang curam maka bila vegetasi dibuka lahan akan mudah longsor dan terjadi erosi yang kuat serta lahan cepat menjadi kritis, (b) keadaan tanah masih cukup dalam dan (c) lahan masih mempunyai fungsi produksi dan hidrologi yang cukup baik tetapi bahaya erosi untuk menjadi kritis sangat besar bila lahan tersebut dibuka.

2) Lahan semi kritis adalah lahan dengan : (a) presentasi penutupan lahan 50% sampai 75%, (b) tumbuhan atau vegetasi umumnya alang-alang, rumput dan semak belukar, (c) lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang, tetapi produktivitasnya rendah, (d) lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga secara hidrologis tidak berfungsi. Bila tidak diadakan upaya perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi kritis, (e) kedalaman tanah sedang sampai agak dalam.

3) Lahan kritis adalah lahan dengan : (a) vegetasi penutupan lahan 25% sampai 50% dengan tumbuhan rerumputan dan alang-alang dimana pertumbuhannya sangat kerdil, (b) erosi sedang sampai berat, (c) lahan tidak produktif dengan bahaya erosi cukup tinggi dan (d) lereng 3 – 45%.

4) Lahan sangat kritis mempunyai ciri-ciri : (a) persentase penutupan lahan kurang dari 25% atau gundul, (b) tanah dangkal, (c) lahan dengan bahaya erosi sangat tinggi umumnya pada lereng > 8%.

Dengan pertimbangan bahwa : (a) tanah sebagai salah satu sumberdaya alam, tempat tumbuh, media lingkungan, dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestariannya; (b) meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumberdaya alam lainnya yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu dan fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa yaitu No. 150 tahun 2000. Dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini dijelaskan tentang kriteria kerusakan tanah untuk produksi biomassa.

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

19

Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat

telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan terdegradasi, disebut

SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan penilaian parameter-

parameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural assessment), dan

paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia

(antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan divalidasi, sehingga

menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan kriteria Pusat Penelitian

Tanah tahun 1997.

Balai Penelitian Tanah pada tahun 2007 melakukan penelitian lanjutan dan

melakukan perubahan dan perbaikan kriteria degradasi lahan sebelumnya terutama

terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi, dan teknik konservasi

tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut adalah penetapan baku

mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi yang dimaksudkan

untuk perencanaan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pertanian pada skala

1:250.000. Parameter dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah

tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan terdegradasi

menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 .

Parameter Kriteria Skor Input/keterangan

Natural assessment 1. Curah hujan 1. Rendah 5 < 1.000 mm/tahun 2. Agak rendah 4 1.000-2.000 mm/tahun 3. Sedang 3 2.000-3.000 mm/tahun 4. Agak tinggi 2 3.000-4.000 mm/tahun 3. Tinggi 1 > 4.000 mm/tahun 2. Bahan induk 1. Tahan 5 Tabel Lampiran 1 2. Agak tahan 3 Tabel Lampiran 1 3. Peka 1 Tabel Lampiran 1 3. Bentuk wilayah 1. Datar 5 Tabel Lampiran 2 2. Berombak 4 Tabel Lampiran 2 3. Bergelombang 3 Tabel Lampiran 2 4. Berbukit 2 Tabel Lampiran 2 5. Bergunung 1 Tabel Lampiran 2 4. Kedalaman tanah 1. Dalam 5 > 50 cm 3. Dangkal 1 < 50 cm

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

20

Tabel 2. (Lanjutan) Parameter Kriteria Skor Input/keterangan

Antrophogenic assessment 5. Jenis vegetasi 1. Hutan/tanaman ta-

hunan/agroforestry 5 Jenis tanaman

2. Semak belukar 4 Semak, kebun campuran 3. Padang rumput,

alang-alang 3 Rumput-rumputan

4. Tanaman semusim 2 Jenis tanaman 5. Tanpa vegetasi 1 Non-tanaman 6. Penutupan vegetasi 1. Rapat sekali 5 >75% 2. Rapat 4 50-75% 3. Cukup rapat 3 25-<50% 4. Jarang 2 15-<25 % 5. Tanpa/bera 1 < 15% 7. Penerapan teknik

konservasi tanah 1. Baik 5 Terasering terpelihara,

alley cropping, sistem kontur

2. Sedang 3 Ada, tetapi tidak terpelihara

3. Jelek 1 Tak ada atau tidak sesuai kontur

Kelas lahan terdegradasi Kelas lahan terdegradasi Total skor Ringan >25 Sedang 15 – 25 Berat < 15

2.5. Metode Pengukuran Degradasi Lahan

Metode untuk penelitian degradasi lahan tergantung pada tipe degradasi

lahannya yaitu degradasi fisik, kimia, atau biologi. Penelitian degradasi lahan

membutuhkan penelitian dari masing-masing komponen proses. Pendekatan

degradasi lahan mulai dari observasi kualitatif sederhana di lapangan sampai

menggunakan model simulasi komputer dengan proses yang kompleks/rumit.

Menurut Herndanez (1999), metode penelitian degradasi lahan yang sudah

diadopsi adalah menggunakan pendekatan parametrik semi-kuantitatif, dengan alasan

antara lain : (1) metode ini relatif cepat dan tidak mahal serta tidak memerlukan

desain penelitian lapangan yang memerlukan waktu yang lama dan penggunaan

model simulasi komputer yang canggih; (2) tujuan utama dari penelitian degradasi

lahan ini adalah untuk menjelaskan mengenai gambaran tentang status degradasi

lahan secara cepat, murah, dan efisien dengan sedikit membutuhkan keahlian khusus

dalam proses permodelan ataupun data yang sangat spesifik.

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

21

Metode yang paling fundamental untuk pengukuran degradasi lahan adalah

bahwa degradasi lahan (D) merupakan fungsi dari iklim (C), resistensi tanah (S),

faktor topografi (T), vegetasi alami (V), penggunaan lahan (L), dan Manajemen (M).

Oleh karena itu, pada penggunaan lahan yang aktual, D = f(C, S, T, V, L, M).

Namun demikian metode untuk mengukur tingkat degradasi lahan masih

terus dikembangkan dan terus diperbaharui, karena memang belum didapatkan suatu

metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan di suatu wilayah

yang didasarkan pada hasil penelitian dan data-data yang akurat, sehingga kriteria

yang digunakan masih kasar.

Menurut Ballayan (2000), metode pengukuran degradasi lahan dapat didekati

menggunakan metode prediksi erosi, dimana metode ini telah dikembangkan oleh

Cook pada tahun 1936 dan kemudian diadopsi oleh Wischmeier tahun 1978.

GLASSOD mengembangkan metode degradasi lahan di lahan kering untuk skala

global yang bersifat umum mulai tahun 1990 dan didasarkan pada estimasi-estimasi

para pakar secara kualitatif (Sitorus, 2009).

2.6. Erosi Tanah

Erosi tanah merupakan suatu proses yang terdiri dari dua fase, yaitu:

penghancuran atau pelepasan partikel secara individual dari masa tanah dan fase

pengangkutan oleh suatu agen (air) (Gardiner dan Miller, 2004). Apabila energi

untuk mengangkut tersebut telah cukup menurun, maka akan terjadi proses

berikutnya, yaitu deposisi. Terjadinya endapan lumpur di sungai-sungai dapat

digunakan sebagai indikator erosi tanah yang semakin meningkat.

Menurut Arsyad (2006) dan Sitorus (2009) secara umum erosi dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu erosi geologi (geologic erosion) dan erosi

dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi merupakan ukuran besarnya tanah

hilang yang masih dapat diperkenankan, sedangkan erosi dipercepat merupakan

tingkatan erosi yang merusak. Erosi dipercepat pada saat ini merupakan masalah

serius, dan erosi tersebut telah terjadi semenjak manusia mulai mengusahakan lahan.

Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah antara lain: curah hujan,

aliran permukaan, angin, tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk dan ada atau

tidaknya tindakan konservasi tanah. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa faktor-

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

22

faktor yang mempengaruhi erosi adalah iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (v),

tanah (t) dan manusia (m). Lebih lanjut dinyatakan dalam persamaan deskriptif

sebagai berikut :

E = f(i, r, v, t, m)

Faktor-faktor yang mempengaruhi E (erosi) tersebut dapat digunakan sebagai

indikator ada tidaknya kerusakan tanah di suatu wilayah. Faktor-faktor dalam

persamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua peubah, yaitu : (1) peubah yang

dapat dipengaruhi manusia (jenis tumbuhan di atas tanah), sebagian dari sifat tanah

diantaranya adalah kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi, serta

unsur topografi yaitu panjang lereng; (2) peubah yang tidak dapat dipengaruhi oleh

manusia (iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng atau kemiringan lereng), sedangkan

faktor manusia sendiri tergantung dari aktivitasnya di atas tanah, yaitu berupa tata

guna atau penggunaan lahan.

Secara aktual, peristiwa erosi pada permukaan tanah yang berlereng tidak

dapat dihindarkan. Atau dengan kata lain bahwa laju erosi tidak dapat diturunkan

menjadi nol (zero erosion) pada lahan usahatani. Namun penilaian erosi tanah yang

ada sampai saat ini kebanyakan masih kualitatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan

prediksi dengan model erosi yang telah tersedia. Salah satu diantaranya adalah model

erosi yang biasa digunakan di daerah tropis, yaitu metode MUSLE (Modified

Universal Soil Loss Equation) yang dikemukakan oleh Kinnel dan Risse (1998)

dalam Arsyad (2006), dimana model ini dapat digunakan lebih baik dalam model

AGNPS (Agricultural Non Point Source of Pollution). Model persamaan tersebut

dinyatakan dalam suatu hubungan matematis sebagai berikut :

Ae = RUMe x KUMe x L x S x CUMe x P

dimana AUMe

e adalah besarnya erosi (ton/ha/th), RUMe adalah indeks erosivitas hujan,

KUMe adalah nilai erodibilitas tanah, L adalah panjang lereng, S adalah faktor

kemiringan lereng, CUMe adalah faktor pengelolaan tanaman, dan PUMe

R

adalah faktor

pengelolaan tanah (tindakan konservasi tanah). Pada model MUSLE faktor curah

hujan ditetapkan dengan menggunakan persamaan berikut:

Ume = Qr.EI

yang menyatakan Qr adalah rasio aliran permukaan kejadian hujan (Qe) terhadap

besarnya curah hujan pada kejadian tersebut (Be). Sesuai dengan perubahan

30

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

23

persamaan R nilai K yang menjadi KUMe

MUSLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk meprediksi erosi

rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah keadaan tertentu

dengan memperhitungkan besarnya aliran permukaan pada setiap kejadian hujan

(Arsyad, 2006). Hasil prediksi erosi dapat digunakan untuk perencanaan

pengelolaan lahan atau tindakan konservasi tanah yang mungkin akan dilakukan

pada suatu bidang tanah tertentu. Secara skematis persaman MUSLE disajikan

pada Gambar 2.

pada tanah terbuka tanpa tanaman dan

tindakan konservasi, dengan panjang lereng 22 m dan kecuraman lereng 9%, dihitung

menggunakan persamaan berikut :

MUSLE merupakan modifikasi dari permasaaan erosi USLE (Universal

Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier sejak tahun 1965

sampai 1978 (Renard et al., 1996). MUSLE dikembangkan oleh Kinnel dan Risse

pada tahun 1998 dimana pada tahun 1990 sudah dikuantifikasi ketidak pastiannya

menggunakan model linier klasik atau analisis regresi Bayesian untuk

menyempurnakan persamaan USLE yang dianggap masih terdapat kelemahan

dalam memprediksi besarnya erosi di lapangan. Hal ini sesuai pendapat

Gambar 2. Skema persamaan MUSLE

BESARNYA EROSI YANG AKAN TERJADI

ADALAH FUNGSI: HUJAN

ENERGI

Ae = RUMe KUMe LS PUMe CUMe

KEKUATAN PERUSAK HUJAN

EI30 dan Qr

SIFAT TANAH

KEMUNGKINAN EROSI TANAH

PENGELOLAAN

PENGELOLAAN LAHAN

PENGELOLAAN TANAMAN

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

24

Wischmeier (1976) yang menyatakan bahwa tingkat akurasi dari persamaan

USLE baru sekitar 84%. Sumber kesalahan dalam model erosi adalah pemilihan

nilai dari suatu faktor secara tidak tepat. Lebih spesifik lagi Renard et al. (1994)

dalam Parysow et al. (2001) menyatakan bahwa faktor K yang disajikan pada peta

satuan lahan secara substansi berbeda dengan nilai aktual di lapangan. Menurut

Risse et al. (1993), secara umum persamaan USLE, hasil prediksinya cenderung

lebih tinggi pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih rendah, dan hasil

prediksinya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih tinggi.

2.7. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Degradasi Lahan

Menurut Lal (1993), degradasi lahan adalah hilangnya produktivitas aktual

atau potensial dan kegunaannya akibat faktor alami atau campur tangan manusia.

Proses degradasi lahan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan tanah untuk

menghasilkan barang secara ekonomi dan kemampuan menjalankan fungsi

ekologisnya. Degradasi lahan adalah hasil bersih dari proses degradasi dan proses

restoratif yang diatur oleh faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Proses

degradasi alami sering dipercepat oleh faktor manusia misalnya deforestasi,

pengolahan tanah, intensitas pertanaman, penggembalaan dan lain-lain. Tingkat

degradasi lahan tergantung pada kerentanan tanah terhadap proses degradatif,

penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan pengelolaan.

Berbagai penelitian yang berhubungan dengan degradasi lahan telah

banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian degradasi

lahan meliputi: pengembangan metode menyangkut penyusunan kriteria dan

klasifikasi tingkat degradasi lahan, faktor penyebab dan dampak degradasi lahan

baik fisik, kimia, biologi dan ekonomi, serta hubungan degradasi lahan dengan

produktivitas dan pendapatan masyarakat, serta upaya rehabilitasi terhadap lahan-

lahan terdegradasi baik secara fisik, kimia dan biologi.

Penelitian kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan sudah dilakukan

sejak tahun 1979 oleh FAO dan 1991 oleh Oldeman. Di Indonesia penentuan

kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan dilakukan melalui pendekatan

lahan kritis sejak tahun 1985 oleh Departemen Kehutanan RI, tahun 1991 oleh

Departemen Pertanian RI, dan tahun 1994 dan 1997 oleh Pusat Peneltian Tanah

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

25

dan Agroklimat. Karena parameter-parameter yang digunakan dalam penentuan

kriteria umumnya bersifat kualitatif dan beragam, maka tahun 2001, Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat mulai mengembangkan kriteria dan klasifikasi

tingkat degradasi lahan yang lebih operasional dengan menggunakan pendekatan

parameter-parameter yang bersifat alami (natural assessment) dan parameter-

parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia

(antrophogenic assessment). Namun untuk keperluan perencnaan rehabilitasi

lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan penelitian lebih

lanjut.

Sehubungan dengan bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan

Asia antara lain adalah erosi tanah oleh air dan degradasi sifat kimia berupa

penurunan kadar bahan organik tanah dan pencucian hara (Firmansyah, 2003),

maka banyak penelitian degradasi lahan yang dikaitkan dengan erosi air baik

secara alami maupun adanya campur tangan manusia.

Faktor alami penyebab degradasi lahan antara lain: areal berlereng curam,

tanah yang peka erosi, curah hujan yang tinggi, dan lain-lain (Firmansyah, 2003).

Faktor degradasi lahan akibat campur tangan manusia baik langsung maupun

tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain:

marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan,

ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi,

masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat (Barrow, 1991).

Lal (2000) menyebutkan, lima faktor penyebab degradasi lahan akibat campur

tangan manusia secara langsung yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas

pertanian, eksploitasi berlebihan, serta adanya aktivitas industri dan bioindustri.

Faktor penyebab lahan terdegradasi dan rendahnya produktivitas antara lain:

deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran penggunaan bahan kimia

pertanian, dan penanaman secara monokultur.

Kaitannya dengan erosi sebagai penyebab utama degradasi lahan, maka

banyak penelitian mengenai model prediksi erosi dan kejadian erosi di lapangan

yang telah dilakukan. Wischmeier pada tahun 1965 sampai tahun 1978

mnegembangkan model prediksi erosi USLE (Universal Soil Loss Equation) dan

pada tahun 1976 melakukan penelitian tentang penggunaan dan salah penggunaan

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

26

dari model persamaan USLE. Menurut Wischmeier (1976) bahwa sumber

kesalahan terbesar dalam prediksi erosi adalah dalam pemilihan nilai faktor,

disamping kesalahan yang lain seperti menentukan panjang lereng dan

mengevaluasi lereng yang tidak teratur. Risse et al. (1993) melanjutkan

penelitian terhadap model prediksi erosi USLE yaitu meneliti tentang kesalahan

dari persamaan USLE, dimana secara umum hasil prediksi erosi USLE

menunjukkan bahwa kehilangan tanah lebih besar pada plot erosi dengan tingkat

erosi rendah dan hasilnya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya

tinggi. Sejalan dengan pengembangan model USLE, maka pada tahun 1975,

Wiliam memodifikasi persamaan USLE yang dikenal dengan MUSLE (Modified

Universal Soil Loss Equation), dimana kalau USLE menggunakan curah hujan

sebagai indikator energi perusak, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran

permukaan untuk mensimulasi erosi dan hasil sedimen. Edward pada tahun 1990

melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian persamaan erosi MUSLE. Pada

tahun 1998 Kinnel dan Risse mengembangkan model persamaan MUSLE untuk

digunakan dalam model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution) yang

digunakan untuk memprediksi besarnya erosi pada suatu kejadian hujan dari suatu

DAS karena persamaan USLE tidak cocok untuk maksud tersebut.

Selain USLE dan MUSLE, model prediksi erosi yang lain juga

dikembangkan yaitu RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation). RUSLE

dikembangkan oleh Renard et al. pada tahun 1991, merupakan model erosi yang

didesain untuk memprediksi besarnya erosi tahunan oleh aliran permukaan dari

suatu bentang lahan berlereng dengan tanaman dan sistem pengelolaan tertentu.

RUSLE juga telah digunakan untuk memprediksi besarnya erosi dari padang

rumput dan lahan non-pertanian (bangunan). Pemilihan yang tepat mengenai nilai

faktor yang digunakan, RUSLE dapat menghitung erosi rata-rata untuk suatu

sistem pergiliran tanaman dalam suatu tahun atau untuk fase pertumbuhan

tanaman. Bartsch et al. (2002) menggunakan model erosi RUSLE yang

dikombinasikan dengan GIS (Geographic Information System) untuk menentukan

besarnya erosi pada pangkalan militer di Utah, Malaysia, akan tetapi hasilnya

tidak tepat karena data yang digunakan terlalu sedikit, sehingga prediksi erosi

yang dihasilkan terlalu besar.

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

27

Umumnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan baik secara alami

maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan penurunan

produktivitas tanah. Pada sistem usahatani tebas dan bakar atau perladangan

berpindah masih tergantung pada lama waktu bera sehingga tergolong sistem

usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Sistem tersebut pada beberapa daerah

marjinal dan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi

makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga merusak dan

menyebabkan degradasi lahan dan lingkungan. Banyak penelitian yang

menyatakan bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara

menurun, persentase Al tinggi, dan persentase kejenuhan rendah di subsoil setelah

2-5 tahun kebakaran. Tanah yang tererosi, subsoil menjadi media tumbuh

tanaman, tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya

kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman (Firmansyah, 2003).

Pengaruh antrophogenic terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi

apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan

tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Akibat

penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di

Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba

dan arthropoda tanah, dan merubah iklim mikro (Hidayati, 2000).

Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan

dengan tanah yang tidak terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah

hutan sebagai tanah yang tidak terdegradasi karena memiliki siklus tertutup

artinya semua unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit

yang hilang atau keluar dari sistem siklus hutan. Tanah di luar hutan merupakan

sistem terbuka demana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan

sifat pada tanah untuk penggunaan bukan hutan akan menunjukkan memburuknya

sifat-sifat dari tanah tersebut (Firmansyah, 2003).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah Ultisol Bengkulu dengan

vegetasi hutan habis tebang empat bulan dan tanah pertanian yang diusahakan tiga

tahun terjadi penurunan kemampuan menyediakan N anorganik sebesar 12-13%

dibdaningkan tanah hutan. Selain itu, terjadi penurunan intensitas mineralisasi N

pada lahan pertanian sebesar 39% pada kedalaman tanah 0-10 cm. Hal ini

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

28

menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan tanah pertanian. Konversi penggunaan lahan hutan ke lahan

pertanian menyebabkan degradasi pada siklus N (Hdanayani, 1999).

Hubungan degradasi lahan dengan produktivitas menunjukkan bahwa

degradasi lahan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tanah yang mengalami degradasi baik sifat fisik,

kimia dan biologi berpengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai

sekitar 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis dan 38% pada lahan

sangat kritis. Kacang tanah mengalami penurunan produksi sekitar 9%, 46% dan

58% masing-masing pada lahan semi kritis, kritis dan sangat kritis (Sudirman dan

Vadari, 2000).

Kaitannya dengan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, banyak penelitian

yang sudah dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Menurut Suprayogo et al. (2001), degradasi sifat fisik tanah pada umumnya

disebabkan karena memburuknya struktur tanah. Kerusakan struktur tanah diawali

dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan

dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan

dengan penurunan kdanungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran dan

mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat tanah tersebut, selain

menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah juga menyebabkan terbentuknya

kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras

bila kering. Pada saat hujan turun, kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga

menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini,

porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan

air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat. Upaya

perbaikan degradasi sifat fisik tanah mengarah terhadap perbaikan struktur

tersebut.

Firmansyah (2003) menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumifikasi

rendah dengan BD 0,10 Mg m-3 memiliki pengaruh lebih besar daripada gambut

terhumifikasi tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan kekompakan

tanah. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan organik lebih efektif

untuk tanah dengan kekompakan tinggi, ketahanan penetrasi maksimum tanah liat

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

29

menurun dari 0,64 menjadi 0,30 Mpa, dan pada tanah berpasir meningkat dari

0,64 menjadi 1,08 Mpa. Pemberian bahan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik

tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah, pori air

tersedia, permeabilitas tanah dan menurunnya ketahanan penetrasi. Pemberian

dosis 20 Mg/ha dapat meningkatkan aerasi diatas 12%, sedangkan pada takaran 10

Mg/ha dapat memperbaiki ketahanan penetrasi.

Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat

kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan kandungan bahan

organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa bahan organik

sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau mucuna sebanyak

10 ton/ha dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu meningkatkan aktivitas

mikroba, meningkatkan pH H20, meningkatkan selisih pH, meningkatkan pH NaF

(mendorong pembentukan bahan anorganik tanah yang bersifat amorf),

meningkatkan pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH, menurunkan Aldd

dan meningkatkan C-organik tanah. Penurunan Aldd

Lal (2000) menyatakan bahwa dalam pertanian tradisional maka

pemanfaatan cover crop pada masa bera dapat meningkatkan produktivitas tanah

berliat aktivitas rendah di tropika basah diperkirakan dapat memfiksasi 172 kg/N

dari atmosfir selama siklus 2 tahun. Penelitian lainnya yang menggunakan

tanaman penutup tanah tinggi yaitu Leucochepphala dan Acacia leptocarpa

merupakan spesies yang menjanjikan untuk ditanam saat masa bera dengan tujuan

regenerasi tanah di tropika basah. Tingginya polifenol yang dihasilkan dari

serasah daun mampu mengikat protein selama dekomposisi daun, sehingga terjadi

immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol dalam bahan

organik tanah dan peningkatan N pada tanah terdegradasi.

selain disebabkan oleh

kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga

disebabkan karena pengkhelatan senyawa humik. Peranan asam fulvik dalam

mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibdaningkan asam humik sekitar tiga kalinya

(Widjaja, 2002).

Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah,

terutama limbah industri kelapa sawit yang banyak diluar pulau Jawa. Manik

(2002) menyatakan bahwa tdanan kosong kelapa sawit sebanyak 95 Mg/ha

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering

30

mampu meningkatkan pH tanah, kdanungan P, K, Mg, dan KTK tanah, serta

meningkatkan produksi tdanan buah segar 16,3%. Widhiastuti (2002)

pemanfaatan limbah cair kelapa sawit atau POME (Palm Oil Mill Effluent)

meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan kecenderungan makin lama

limbah diaplikasikan kdanungan C-mic makin meningkat.

Amelioran lain yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah

kapur. Pengapuran umumnya ditujukan untuk menetralkan Aldd terutama pada

tanaman yang peka terhadap keracunan Al dan meningkatkan pH tanah hingga

5,5, sedangkan bila keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan hingga 6,0

(Firmansyah, 2003). Penggunaan tanaman penutup tanah yang dikombinasikan

dengan penggunaan gypsum dapat mengurangi erosi sampai 86% dan

meningkatkan kapasitas infiltrasi 26-132% pada tanah Cecil sandy loam (Zhang et

al., 1996)