36
II. TINJAUAN PUSTAKA Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit. Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit (Elais gueneensis JACK) sedang dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun 1969 menjadi 7 juta Ha pada tahun 2010 dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih dari 19 juta ton (Ditjen Perkebunan 2010), dengan meningkatnya luas per-kebunan kelapa sawit tiap tahunnya 12,6 % (Liwang 2003), akan meningkatkan limbah pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dan berpotensi mengganggu lingkungan. Salah satu limbah pengolahan kelapa sawit adalah serat sawit (palm press fibre). Setiap Ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan limbah berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto et al 2004), dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta Ha (90 % nya berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888 metrik ton BK/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Terbatasnya penggunaan serat sawit dalam ransum karena tingginya kandungan sellulosa (38.69 %) dan lignin (20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi ini diperlukan suatu teknologi, salah satu diantaranya memberikan perlakuan secara kimia (NaOH) dan biologis yakni melakukan fermentasi menggunakan kapang Aspergillus niger. Menurut hasil penelitian Purwaningrum (2003) bahwa pemanfaatan SS yang mendapatka n pe ngolahan de ngan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan LSKS (limbah serat kelapa sawit) dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50% dan lebih dari itu akan menurunkan kecernaan dan keracunan amonia. Jamarun et al (2000) mendapatkan hasil penelitian bahwa serat sawit yang telah direndam dengan NaOH 2,5% dengan lama perendaman 24 jam telah mampu memberikan hasil yang terbaik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika serat sawit tanpa mempengaruhi nilai protein kasar. Mut u suatu ba han paka n

II. TINJAUAN PUSTAKA · bermutu rendah dapat ditingkatkan kegunaannya dengan cara fisika, secara fisika usaha lain unt uk memperbaiki kualitas bahan makanan berserat

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia

Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan

terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit.

Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit (Elais gueneensis JACK) sedang

dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun

1969 menjadi 7 juta Ha pada tahun 2010 dengan produksi minyak sawit (crude

palm oil) lebih dari 19 juta ton (Ditjen Perkebunan 2010), dengan meningkatnya

luas per-kebunan kelapa sawit tiap tahunnya 12,6 % (Liwang 2003), akan

meningkatkan limbah pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dan berpotensi

mengganggu lingkungan. Salah satu limbah pengolahan kelapa sawit adalah serat

sawit (palm press fibre). Setiap Ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan limbah

berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto et al

2004), dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta

Ha (90 % nya berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar

16,888 metrik ton BK/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan

pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Terbatasnya penggunaan serat sawit

dalam ransum karena tingginya kandungan sellulosa (38.69 %) dan lignin

(20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi

ini diperlukan suatu teknologi, salah satu diantaranya memberikan perlakuan

secara kimia (NaOH) dan biologis yakni melakukan fermentasi menggunakan

kapang Aspergillus niger.

Menurut hasil penelitian Purwaningrum (2003) bahwa pemanfaatan SS

yang mendapatkan pengolahan dengan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan

LSKS (limbah serat kelapa sawit) dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai

pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50% dan lebih dari itu akan

menurunkan kecernaan dan keracunan amonia. Jamarun et al (2000)

mendapatkan hasil penelitian bahwa serat sawit yang telah direndam dengan

NaOH 2,5% dengan lama perendaman 24 jam telah mampu memberikan hasil

yang terba ik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika

serat sawit tanpa mempengaruhi nilai protein kasar. Mutu suatu bahan pakan

8

ditentukan oleh interaksi antara konsentrasi unsur gizi, tingkat kecernaan dan

tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang

menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Kandungan gizi beberapa produk

hasil samping perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.

Tabe l 1 Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit

Bahan/produk samping

BK (%)

Abu PK SK L BETN Ca P GE (kal/g) …% BK …

Daun tanpa lidi (5) Pelepah (4) Solid (4) Bungkil (2) Serat perasan (5) Tandan kosong (3)

46,18 26,07 24,08 91,83 93,11 92,10

13,40 5,10 14,40 4,14 5,90 7,89

14,12 3,07 14,58 16,33 6,20 3,70

21,52 50,94 35,88 36,68 48,10 47,93

4,37 1,07 14,78 6,49 3,22 4,70

46,59 39,82 16,36 28,19

-- --

0,84 0,96 1,08 0,56

-- --

0,17 0,08 0,25 0,84

-- --

4461 4841 4082 5178 4684

-- ( ) jumlah contoh Sumber : Mathius et al. (2004)

Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang

terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk

produksi ternak. Bahan pakan dengan kandungan serat tinggi seperti pelepah,

daun, serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi

untuk produksi. Bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi bagi

ternak, karena berperan sebagai pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam

jumlah yang relatif lebih besar.

Unsur kimiawi yang terkandung dalam serat atau dinding sel yang secara

efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan

keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin, kutin dan silika (Tabel 2). Dari unsur

penyusun dinding sel atau serat tersebut pada dasarnya yang berpotensi sebagai

sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses

fermentasi di dalam sistem pencernaan ternak.

Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam keseluruhan serat merupakan

yang terbesar (60-83%) atau setara dengan 44-69% dari bahan kering. Lignin,

selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi

mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa

mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi

9

Tabe l 2 Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit

Komponen serat Fraksi kelapa sawit Daun Pelepah Serat perasan buah Batang

Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Silika (%) Total

16,6 27,6 27,6

3,8 75,6

31,7 33,9 17,4

0,6 83,6

18,3 44,9 21,3

tt 84,5

34 35,8 12,6

1,4 83,8

Sumber : Bejo (1995)

ternak (Fengel & Wegener 1995).

Oleh karena itu ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi dan

amat ditentukan oleh intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang

merupakan elemen struktural dan bersama lignin secara komplementer

memperkuat rigiditas serat/ dinding sel (Fengel & Wegener 1995) juga

menghambat pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi.

Kandungan lignin dan silika secara bersama yang relatif tinggi (18-40% dari total

dinding sel) merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan

merupakan salah satu kendala penting dan membutuhkan teknik untuk

mengatasinya. Data ini memberi indikasi bahwa masalah utama pemanfaatan

hasil samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan

kecernaan. Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat memberi

pengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.

Peningkatan Kualitas Serat Sawit dengan NaOH

Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45 %, karena itu

sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan kecernaannya.

Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan pretreatment yaitu

untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan

teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mos ier et al., 2005), secara kimia

diantaranya perendaman dengan NaOH, fisik (uap panas, menggiling dan

memotong), dan biologi (suplemen nitrogen dan fermentasi media padat) untuk

memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling (Vadiveloo et al.

2009). Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa

agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer

10

polisakarida menjadi monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis

ditunjukkan pada Gambar 1.

Amorphous

Crystalline Region

Gambar 1. Skema pretreatment biomassa lingo-selulosa (Mosier et al.,

2005). Selain cara hidrolisis kimiawi, menurut Hendriks & Zeeman (2009) bahan

bermutu rendah dapat ditingkatkan kegunaannya dengan cara fisika, secara fisika

usaha lain unt uk memperba iki kualitas bahan makanan berserat dapat dilakukan

dengan pemanasan dan steam bertekanan (autoclave). NaOH adalah alkali yang

paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah pertanian/industri

karena mampu merenggangkan ikatan ligno-selulosa yang lebih besar sehingga

kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. (1993) bahwa perlakuan

dengan NaOH adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas

jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH membuat defisiensi

nitrogen lebih buruk pada jerami padi. Ringkasan berbagai teknik pretreatment

yang dikembangkan ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini.

11

Tabe l 3 Pretreatment biomassa lingo-selulosa

Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa

Referensi

Pretreatment mekanik atau fisik

Milling: - ball milling - two-rol milling - hammer milling - colloid milling - vibrotory ball milling Irradiation: - gamma-ray - electron beam - microwave Lainnya: - hydrothermal - uap bertekanan tinggi - expansi - ext rusi - pirolisis - air panas

- mengurangi ukuran partikel - meningkatkan luas permukaan yang kontak dengan enzim - mengurangi

kristalisasi selulosa

Vadiveloo et al. (2009) Taherzadeh & Karimi (2008) Sun & Cheng (2002) Zhu et al., (2005) Thomsen, Thygesen, & Thomsen (2008) Ahring, Jensen, Nielsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Hendriks & Zeeman (2009) Eggeman & Elander, (2005) Ohgren, Rudolf,Galbe, & Zacchi (2006) Kabel, Bos,Zeevalking, Voragen, & Schols, (2007)

Pretreatmen kimia dan fisik-kimia

Exp losion: - eksplosi uap panas - ammonia fiber exp lotion (AFEX) - eksplosi CO- eksplosi SO

2

2

Alkali: - sodium h idroksida - ammonia - ammonium sulfat - ammonia recycle percolation (ARP) - kapur (lime) Asam: - asam sulfat - asam fosfat - asam hidroklorat - asam parasetat

- meningkatkan area permukaan yang mudah diakses - delignifikasi sebagian atau hampir keseluruhan

- menurunkan kristalisasi selulosa - menurunkan derajat polimerisasi - hidro lisis hemiselu losa sebagian atau keseluruhan

Sun & Cheng (2002) Taherzadeh & Karimi (2008) Eggeman & Elander (2005) Eklund, Galbe, & Zacchi (1995) Negro, Manzanares, Oliva, Ballesteros, & Ballesteros (2003) Bower, Wickramasinghe, Nagle, & Schell (2008) Fengel & Wegener (1995) Moss et al. (1993) Ginting (1996) Haddad et al.,(1995) Arysoi (1998) Cara, Ruiz, Ballesteros, Manzanares, Negro, & Castro (2008) Kim & Hong (2001) Mosier et al., (2005) Saha & Cotta (2008)

12

Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa

Referensi

Shimizu, Sudo, Ono, Ishihara, Fujii, & Hishiyama, 1998)

Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa

Referensi

Gas: - Clorin d ioksida - Nitrogen dioksida -Sulfur d ioksida Agen Oksidasi: -Hidrogen peroksida - oksidasi basah - Ozone Pelarut untuk ekstraksi lignin : - ekstrasi ethanol-air - ekstrasi benzene-air - ekstraksi etilen Gliko l - ekstraksi butanol- air - agen pemekar (swelling)

Sun & Chen Organosolv pretreatment by crude glycerol from oleochemicals industry for enzymatic hydrolysis of wheat straw (2008) Sun & Chen, Enhanced enzymatic hydrolysis of wheat straw by aqueous glycerol pretreatment (2008) Sun & Cheng (2005) Zhang, et al.,(2008) Kim & Lee (2002) Zhao, Zhang, & Liu (2008) Lloyd & Wayman (2005) Ahring, Jensen, Nielsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Silverstein, Chen, Sharma-Shivappa, Boyette, & Osborne (2007)

Biologi - Fungi pelapuk putih - Aktinomicetes

- delignifikasi - penurunan derajat polerisasi selulosa - penurunan derajat kristalisasi selulosa

Taniguchi, Suzuki, Watanabe, Sakai, Hoshino, & Tanaka (2005) Shi, Ch inn, & Sharma-Shivappa, (2008) Keller, Hamilton, & Nguyen (2003) Kirk & Chang, Potential applicat ion of bio-ligninolyt ic System (1981)

Keterangan: modifikasi dari Taherzadeh and Karimi (2008)

Tersedianya jumlah energi dari bahan yang kaya serat kasar dapat ditingkatkan

dengan perlakuan alkali, menurut Haddad et al (1995) mengatakan bahwa

hidrolisis bahan berserat kasar dengan NaOH, NH4OH, urea dan Ca(OH)2

13

menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan

turunnya kadar lignin. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat

meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun

tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar (Arysoi 1998), tetapi pada

penelitian Ginting (1996) perlakuan NaOH dengan konsentrasi 5 % memberikan

koefisien cerna bahan ke ring in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan

konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 %.

Fermentasi

Banyak cara yang dicoba untuk meningkatkan biomassa bagi kepentingan

manusia atau ternak dan dengan cara tersebut semuanya berdasarkan kemampuan

mikroba terutama jamur dan bakteri dalam merubah biomassa menjadi glukosa,

etanol, protein sel tunggal dari makanan ternak. Fermentasi adalah proses

metabolisme dimana enzim yang dihasilkan mikroorganisme menstimulasi reaksi

oksidasi, reaksi hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga mengakibatkan

perubahan struktur kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk

tertentu (Dwidjoseputro 2003). Fermentasi merupakan salah satu proses

pengolahan dan pengawetan dengan bantuan mikroba. Fermentasi dapat

meningkatkan nilai gizi bahan makanan menjadi lebih tinggi dari bahan asalnya,

sebab mikroba katabolik akan memecah komponen kompleks menjadi (zat-zat)

yang lebih sederhana.

Proses fermentasi menurut medianya dibagi atas dua golongan yaitu

fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat

adalah fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas

tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Sebaliknya fermentasi

medium cair adalah fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam

fase cair (Rahman 1990).

Fermentasi medium padat secara alami umumnya berlangsung pada

medium dengan kadar air berkisar antara 60-80%, karena pada keadaan ini

medium mengandung air yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Bentley &

Bennett 2008, Krishna 2005). Pada hakekatnya kadar air substrat pada fermentasi

14

medium padat tergantung pada sifat alamiah substrat, jenis organisme dan tipe

produk akhir dikehendaki.

Fermentasi medium padat mempunyai beberapa keuntungan antara lain

memiliki kesederhanaan dalam persiapan mediumnya, persiapan inokulum lebih

sederhana, kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah, kondisi mediumnya

mendekati keadaan tempat tumbuh kapang yang biasa dijumpai di alam dan

fermentasi memiliki kekurangan (Krishna 2005). Ada ms dan Moss (2008)

menyatakan bahwa kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin, dan

mineral bahan akan mengalami perubahan akibat aktifitas dan

perkembangbiakkan mikroorganisme selama fermentasi. Selanjutnya Fardiaz

(1992) mengatakan bahwa pada proses fermentasi akan terjadi perubahan pH,

kelembaban, aroma, serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya

peningkatan protein, vitamin, dan beberapa zat gizi lainnya walaupun mungkin

terjadinya penurunan vitamin B1 dan mineral fosfor.

Terjadinya peningkatan kadar air selama fermentasi disebabkan aktifitas

enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992)

mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang setelah

terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya

dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada proses

tersebut juga dihasilkan molekul air dan CO2

Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi terjadi pada dedak padi dan

bungkil inti sawit yang meningkat selama fermentasi berlangsung. Meningkatnya

kadar serat tersebut disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang

mengandung serat serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya (Nur

2006).

. Sebagian air akan keluar dari

produk sehingga berat kering produk cenderung berkurang setelah fermentasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi

Untuk meningkatkan nilai gizi serat sawit, dilakukan fermentasi dengan

menggunakan kapang Aspergillus niger. Dalam proses fermentasi akan terjadi

pemecahan oleh enzim-enzim tertentu terhadap zat-zat yang tidak dapat dicerna

oleh ternak seperti selulosa, hemiselulosa dan polimer-polimernya menjadi gula

15

sederhana dan alkhohol sehingga bahan yang telah difermentasi mempunyai daya

cerna yang lebih tinggi dari bahan asalnya (Bentley & Bennett 2008). Menurut

Fardiaz (1992) untuk mendapatkan pertumbuhan kapang yang baik, perlu

diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti suhu, pH, ketersediaan

O2 dan H2

Ikram et al, (2005) menyatakan bahwa, enzim yang dapat menghirolisis ikatan

β(1-4) pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis enzimatik yang sempurna

memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu :

O. Media yang diinokulasi pHnya diusahakan sesuai dengan kebutuhan

kapang. Aspergillus niger merupakan kapang yang tumbuh cepat, banyak

digunakan secara komersil dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan

beberapa enzim seperti amilase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley &

Bennett 2008, Iyayi 2004). Kapang A. niger berperan dalam meningkatkan

kandungan protein kasar bahan sehingga meningkatkan daya cerna bahan kering

dan bahan organik yang difermentasi. Jenis fungi yang biasa digunakan dalam

produksi selulase adalah Aspergillus niger (Immanuel et al. 2006, Ikram et al. 2005,

Omojasola et al. 2008, Narasimha et al. 2006).

Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase),

yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-

glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang

bervariasi.

Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung

pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan/atau glukosa.

β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa.

Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 2.

Kompleks selulase digunakan secara komersial dalam pengolahan kopi.

Selulase digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan kertas

bahkan kadang-kadang digunakan dalam industri farmasi. Dalam krisis energi

sekarang ini, selulase dapat digunakan dalam fermentasi biomassa menjadi

biofuel, walaupun proses ini sifatnya masih eksperimental. Di bidang kesehatan

selulase digunakan sebagai treatment untuk phytobezoars salah satu bentuk

selulosa bezoar di dalam perut manusia (en.wikipedia.org/wiki/cellulase). Seperti

yang dijelaskan di atas, selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan

menggunakan asam atau enzim. Hidrolisis menggunakan asam biasanya dilakukan

16

pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang

cukup tinggi. Baru pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa

dengan menggunakan enzim selulase (Gado et al. 2007). Selulosa diproduksi

oleh fungi, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Produksi komersial selulase pada

umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak

mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa, hanya beberapa

mikroorganisme yang memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang

mampu menghidrolisa kristal selulosa secara invitro. Fungi adalah

mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase, meskipun beberapa

bakteri dan actinomycetes telah dilaporkan juga menghasilkan aktivitas selulase.

Fungi berfilamen seperti Tricoderma dan Aspergillus adalah penghasil selulase dan

crude enzyme secara komersial fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam

memproduksi selulase (Ikram et al. 2005).

Gambar 2 Mekanisme hidrolisis selulosa (en.wikipedia.org/wiki/cellulase).

Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan

enzim selulase (Vrije et al., 2002) maupun mikroorganisme selobios glukosa

penghasil selulase (Aderemi et al ., 2008). Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh

jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit) dan ukuran

partikel. selulotik, jumlah β-glukosidasenya lebih rendah dari yang dibutuhkan

17

untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama

hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz et al., 2005; Martins et

al., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008), yang merupakan inhibitor kuat terhadap

endo dan eksoglukanase. Mikroorganisme yang mempunyai kemampuan

memprod uksi β-glukosidase yang kuat yaitu Aspergillus niger (Juhasz et al.

2005).

Perubahan zat-zat makanan selama fermentasi

Makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang

lebih baik dari asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme yang

memecah komponen-komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana

sehingga mudah dicerna, tetapi mikroorganisme juga dapat mensintesa beberapa

vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A dan faktor pertumbuhan

lain-nya, juga dapat terjadi pemecahan gula oleh enzim tertentu misalnya

hemiselulosa, sellulosa dan polimer-polimernya menjadi gula sederhana atau

turunannya (Winarno 2008).

Bentley dan Bennett (2008) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai

pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik yang akan dapat merubah lebih

banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan

terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat

meningkatkan protein kasar dari bahan. Fardiaz (1992) menambahkan selama

proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut

adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel

tunggal.

Menurut hasil penelitian Jamarun et al. (2000) bahwa serat sawit fermentasi

dapat digunakan sampai level 45% dari total ransum (menggantikan 75%

kebutuhan hijauan). Pemberian 60% serat sawit yang difermentasi dengan

Aspergillus niger Cz 51 VI/I dalam ransum atau pengganti 100% hijauan dengan

serat sawit, menyebabkan penurunan berat badan ternak domba. Terbatasnya

penggunaan serat sawit dalam ransum, karena tingginya kandungan lignoselulosa

(selulosa 38.60% dan lignin 20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna

serat kasar. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu teknologi, salah satunya

18

dengan memberikan perlakuan secara biologis yakni melakukan fermentasi

menggunakan kapang Aspergillus niger Cz 51 VI/I pensintesa Cr-organik.

Fermentasi dengan Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat, banyak

digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glutamat serta

beberapa enzim, seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase.

Kapang ini dapat menghasilkan berberapa vitamin yang larut dalam air seperti B6

, B12 , dan niasin. Aspergillus niger dapat tumbuh pada kisaran pH antara 2,8 –

8,8 dengan pH optimum berkisar antara 3,0 – 6,0 dalam pertumbuhannya

Aspergillus niger membutuhkan mineral Mg, Fe, K, Zn, Mn, tiamin dan urea.

Enzim selulsase yang dihasilkan Aspergillus niger menunjukkan aktivitas

optimum pada kisaran pH 4,5 – 5,5. Aspergillus niger bersifat aerobik, sehingga

dalam pertumbuhannya membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup. Suhu

pertumbuhan optimum Aspergillus niger adalah 35 – 37oC (Iyayi 2004),

sedangkan suhu untuk produksi enzim selulase adalah 25 – 28oC (Bentley &

Bennett 2008).

Aspergillus niger adalah kapang penghasil komplek enzim selulase yang

memiliki aktivitas tinggi dan berpotensi untuk dimanfaatkan dalam menkonversi

bahan lignoselulosik menjadi bioenergi. Dari hasil penelitian kompleks ensim

selulase yang dihasilkan dari Aspergillus niger terdiri da ri CMC-ase (1,4-ß-D-

glucan glucanohydro- lase), Avicelase (1,4-ß-cellobiosidase) dan ß-glukosidase (ß-

D-glucosidase gluco-hydrolase) dengan masing-masing memiliki kemampuan

yang berbeda dalam mendegradasi selulase. Dalam mendegradasi selulosa

kompleks enzim tersebut bertipe endo berbeda dengan enzim selulase yang

dihasilkan dari bakteri umumnya bertipe exo. Mod el aksi da ri enzim tersebut

akan berpengaruh pada kemampuan dalam mendegradasi bahan lignoselulos ik

menjadi komponen gula yang lebih sede rhana (Bentley & Bennett 2008 ).

Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan

mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales

dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,

diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam

glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase,

19

amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu

35ºC - 37ºC (optimum), 6 - 8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum) dan

memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar

berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat

gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah

menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.

Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat.

Aspergillus niger memerlukan mineral (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4,

urea, CaCl2.7H2O, FeSO4, MnSO4.H2O untuk menghasilkan enzim sellulase,

sedangkan untuk enzim amilase khususnya amiglukosa diperlukan (NH4)2SO4,

KH2PO4 .7H2O, Zn SO4, 7H2O. Bahan organik dengan kandungan nitrogen

tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah

kandungan nitrogennya pada tahap awal dekomposisi. Tahap selanjutnya bahan

organik yang rendah kandungan nitrogennya dapat dikomposisi lebih cepat

daripada bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi. Penurunan bahan

organik sebagai sumber karbon dan nitrogen disebabkan oleh Aspergillus niger

sebagai sumber energinya untuk bahan penunjang pertumbuhan atau growth

factor. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan

zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat

disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks

harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan

beberapa enzim ekstra seluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh

Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan

mobilitas sel. Amonia dapat digunakan oleh kapang untuk pembentukan asam

amino. Sedangkan perubahan kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas

pertumbuhan miselia kapang , kemampuan memecah SK untuk memenuhi

kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama fermentasi. Penurunan SK diduga

karena Aspergillus niger pada inkubasi 4 hari mulai mensintesa enzim pengurai,

yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Aspergillus niger

merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat an menghasilkan beberapa enzim

seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley & Bennett

2008).

20

Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger dapat

meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Hasil

penelitian yang telah dilakukan menggunakan berbagai level inokulum

Aspergillus niger dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH, terhadap

kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO)

meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi (Jamarun

et al 2000). Pemanfaatan hasil fermentasi bungkil inti sawit dengan Aspergillus

niger dalam ransum ayam broiler terhadap warna daging, memperlihatkan hasil

yang signifikan dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Pemakaian 7.5% bungkil

inti sawit fermentasi memberikan warna daging merah ceri dibandingkan dengan

tanpa bungkil inti sawit fermentasi (Nur 2001). Hasil dari fermentasi ini beraroma

wangi yang disenangi ayam dan dapat disimpan dalam jangka waktu 1 (satu)

bulan dan lemak pada abdomen tidak begitu banyak dan rasa dagingnya manis.

Setelah lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, kandungan PK nya naik menjadi

35,43 % dari 13,25% dan serat kasarnya menjadi 13,8% dari 16,3%. Kenaikan PK

LSF ini dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering

yang tinggi (28,77%), kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang

tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk

mencegah urea menjadi amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari.

Peranan kromium dalam sistem transport dan metabolisme nutrien

Kromium (Cr) diketahui merupakan mineral esensial sejak tahun 1959.

Schwart dan Mertz adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast

mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan uptake glukosa dan

meningkatkan potensi aktifitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai

faktor toleransi glukosa (Glucose Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF

tersusun dari kompleks antara Cr3+

dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam

amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder

1992, Underwood & Suttle 2001) seperti disajikan pada Gambar 3. Di dalam

struktur GTF kromium adalah komponen aktifnya sehingga tanpa adanya Cr pada

pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995).

21

Gambar 3 Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1992)

Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada mempengaruhi insulin (Burton 1995).

Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam

amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada

organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifik-nya, uptake seluler glukosa

dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan

efektifitas potensi insulin.

Fungsi GTF sebenarnya lebih berpusat pada sel target, kerja GTF dalam

transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Hasil-hasil

penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat,

Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, dalam hal ini difisiensi

Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya

inkorporasi asam amino pada protein hati. Asam amino yang dipengaruhi oleh Cr

adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994).

Fungsi utama Cr ialah untuk meningkatkan aktivitas insulin di dalam

metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan transport glukosa dari darah ke

dalam sel-sel. Kromium membentuk suatu komplek dengan insulin dan reseptor

insulin memfasilitasi respon jaringan yang sensitive terhadap insulin (NRC 1997).

Kegunaan Cr sebagai suatu faktor nutrien ditetapkan untuk pertama kalinya ketika

diketahui bahwa brewer`s yeast secara positif dapat mempengaruhi metabolism

karbohidrat pada organisme tingkat tinggi dan meningkatkan aktifitas hormon

insulin (NRC 1997; Demirci & Pornetto 2000; Vincent 2000 ). Kromium trivalent

mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk membentuk komplek

22

octahedral dengan ligand biologis pada membrane sel (Zetic et al. 2001).

Kromium merupakan suatu elemen yang dapat menstabilkan struktur tersier dari

protein (Demirci & Pornetto 2000). Hampir semua sumber Cr di alam terdapat

dalam bentuk trivalen (Cr III), tetapi produk dari pabrik (K2Cr2O7, K2Cr2O4 dan

Na2Cr2O4

Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia uptake glukosa tidak

ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan

asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin dan tirosin

(McGuire et al. 1995; Manalu 1999). Hasil penelitian Lyons (1995) mendapatkan

) terdapat dalam bentuk heksavalen (Cr VI). Bentuk Cr juga dapat

mempengaruhi ketersediaannya secara secara biologis (bioavailabilitas)

contohnya oksalat, meningkatkan absorbsi Cr pada tikus, sedangkan EDTA

(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) sitrat tidak meningkatkan absorbsi Cr.

Bentuk bentuk organik sintetik lainnya seperti kromium nikotinat dan kromium

pikolinat juga telah digunakan sebagai sumber kromium yang mudah tersedia.

Inkopo rasi kromium ke dalam jaringan sangat tergantung pada bentuk

kromiumnya dan inkoporasi kromium paling tinggi terjadi pada kromium

dinicotinic diglycerine glutamic acid, kromium pikolinat, kromium asetat,

kromium potassium sulfat dan komplek glycine kromium. Komplek kromium

yang terjadi secara alam, juga diketahui mempunyai bioavailabilitas yang relative

tinggi. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa 10-25% dari Cr diabsorbsi di

dalam ragi bir (NRC 1997). Kromium selain penting di dalam metabolisme

karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolism lemak dan protein (Davis &

Vincent 1997), asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam

sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3),

yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat,

lemak dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan

sintesis protein (Burton 1995; Stipanuk 2000). Suplementasi Cr ke dalam pakan

lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium

dalam bentuk trivalen yang tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa

kasus, Cr organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap

dan dikeluarkan lewat feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi

yaitu antara 25 sampai 30% (NRC 1997).

23

bahwa selain asam amino di atas, asam amino lain yang uptake selulernya ke

dalam sel kelenjar ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah

metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin, fungsi GTF adalah

meningkatkan efektifitas potensi insulin (Gambar 4). Burton (1995)

menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan konversi

tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan

meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein da lam hati, ginjal,

jantung dan otot serta meningkatkan sistesis protein.

Permukaan Membran sel Insulin

Insulin

GTF

Reseptor insulin Insulin pada permukaan membransel Gambar 4 Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktifitas insulin

(Lyons 1995)

Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang

peranan Cr dalam sistem kekebalan tubuh mengatakan bahwa Cr berpengaruh

baik pada pembentukan sistem kekebalan humoral (HI) maupun kekebalan yang

diperantarai oleh sel (CMI). Dalam HI suplementasi Cr meningkatkan produksi

antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI suplementasi Cr

menyebabkan peningkatan respons blastogenik (lymphocit blasgonesis) terhadap

imunostimulan. Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan produksi

antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol. Hormon ini

bekerja meningkatkan glukoneogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres.

Proses glukoneogenesis akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga

24

sintesis antibod i juga ditekan, dengan kata lain hormon kortisol bekerja

berlawanan dengan terbentuknya sistem kekebalan dalam tubuh ternak.

Kebutuhan kromium dan bentuk suplemen dalam pakan

Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi

stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh cadangan Cr dalam

tubuh berkurang akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer

untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian Cr itu

akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan dan laktasi

kebutuhan Cr juga meningkat, hal ini karena pada saat kebuntingan ternak

mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al.

1996).

Cr-GTF dapat diserap 15-20 %, dayagunanya lebih tinggi. Berdasarkan

pada banyaknya kromium yang hilang : 0,5-1 µg/hari dan rata-rata penyerapannya

1 %, dengan demikian kebutuhan minimum 50 µg/hari, dengan rekomendasi

konsumsi 50-200 µg. Setelah penyerapan, kromium diangkut pada protein

pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah : transferin. Tidak

diketahui apakah GTF yang diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah

tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Dari intestin, hampir

semua kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkoperasi ke dalam GTF.

Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia dalam

menolong aktivitas insulin. Kalau kadar glukose darah meningkat, dan/atau

insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF dan/atau kromium ke da lam plasma,

GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian

keluar melalui urin. Aktivitas GTF (dan/atau Cr) masih banyak yang belum

diketahui; mungkin terlibat pengaruhnya pada struktur insulin dan/atau pengikatan

resptor (Linder 1992).

Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan

cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm CrCl3 (NRC

1997). Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga

tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk Cr yang digunakan. Kompleks

organik Cr terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-yeast) dan

25

Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul

asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada

metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs

1992; Groff & Gropper 2000). Tahapan metabolisme triptopan menjadi niasin

disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Metabolisme triptopan menjadi niasin (Combs 1992)

Pengaruh suplementasi kromium terhadap produksi ternak

Page et al (1993), yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi sedang

tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb

meningkat-kan pertambahan bobot badan 0.87 kg/hari lebih tinggi dibanding

kontrol 0.81 kg/hari. Pertambahan bobot badan yang tinggi hasil penelitian di

atas, menggambarkan terjadinya peningkatan sintesis protein dan lemak pada

jaringan perifer akibat meningkatnya uptake asam amino dan glukosa oleh

efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr. Namun demikian suplementasi Cr pada

kondisi laktasi akan berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan perifer

26

terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjar

ambing untuk p roduks i susu.

Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada

sapi perah laktasi bahwa suplementasi chelate sebesar 5 mg Cr per hari

menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.25 % (27.5 vs 24.3 kg/hari).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi Cr juga meningkatkan konsumsi

bahan kering sebesar 15 % (13.76 vs 11.95 kg/hari), mengubah resistensi insulin

pada sel kelenjar ambing, menurunkan kejadian milk fever dan teat edema.

Penelitian senada yang dilakukan oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil

suplementasi Cr pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu

meningkatkan produksi susu sebesar 24 % (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu

pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-1 (39.05

vs 49.42 µg/ml) dan ratio insulin/glukosa (7.27 vs 5.76 U/mol). Pada domba

pengaruh penambahan kromium disajikan pada Tabel 4.

Tabe l 4 Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba

Referensi Kebutuhan konsentrasi per kg BK Berat badan pada awal dan selama penelitian

Peningkatan pertumbuhan rata-rata

Peningkatan efisiensi pakan

Britton et al. 1968 Samsell dan Spears 1989 Samsell dan Spears 1989 William et al. 1994 Kitchalong et al. 1995 DePew et al. 1996 Sano et al. 1996

Basal diet=tdk diketahui Cr diet=0,037 mg/d and basal (molasses ash or CrCl3Basal diet, low fiber=0,175 mg;

)

Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl3Basal diet, low fiber=0,175 mg;

)

Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl3Basal diet=tdk diketahui

)

Cr diet Basal diet= 1 mg Cr diet Basal diet=tdk diketahui Cr diet Basal diet=tdk diketahui Cr diet

Growing lambs 16 anak domba-45kg 28 hari percobaan 16 anak domba-50kg 28 hari percobaan 24 anak domba-29kg Heat stressed 24 anak domba-38kg 85 hari percobaan 24 anak domba-33kg 42 hari percobaan 6 domba jantan

ND ND ND ND ND Tidak ada pengaruh Yes-no Statistics provided

ND ND ND No effect ND ND ND

Sumber: NRC (1997) Keterangan: Cr = kromium ND= not determined CrCl3 = kromium klorida

27

Tang et al. (2008) meneliti pengaruh Cr terhadap pembentukan antibodi

dengan memberikan Cr-yeast sebanyak 200 µg/kg ransum pada babi yang disuntik

antigen virus demam. Empat belas hari setelah penyuntikan diperoleh hasil

bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang diberi Cr-yeast dibanding

kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 U. Hasil senada diperoleh Burton et al. (1994) bahwa

suplementasi Cr meningkatkan titer antibodi sapi yang disuntuk dengan antigen

sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus rhinotracheitis.

Pada kondisi stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh

mobilisasi cadangan Cr dalam tubuh meningkat akibat peningkatan mobilisasi

cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak,

yang selanjutnya sebagian Cr itu akan hilang melalui urine . Ternak yang

mengalami stress, kebutuhannya akan kromium meningkat karena pada kondisi

stress terjadi peningkatan metabolism glukosa secara cepat yang ditandai dengan

meningkatnya sekresi hormone kortisol di dalam darah, sedangkan hormone

kor tisol memiliki aks i yang antagonis denga n insulin yaitu mencegah masuknya

glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel

menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang disebut

dengan hiperglisemia. Ternak yang mengalami stres, kebutuhannya akan Cr

meningkat karena pada kondisi stres terjadi peningkatan metabolisme glukosa

secara cepat yang ditandai dengan meningkatnya sekresi hormon kortisol di dalam

darah sedangkan hormon kortisol memiliki aksi yang antagonis dengan insulin

yaitu mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa

yang masuk ke dalam sel menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah

meningkat yang disebut dengan hiperglisemia. Peningkatan kadar glukosa darah

merangsang mobilisasi Cr dari penyimpanannya di dalam tubuh. Unsur Cr yang

telah dimobilisasi bersifat tidak balik (irreversible) dan keluar melalui urin

sehingga pada kondisi stres peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat. Selain

hiperglisemia, stress akan mengganggu pertumbuhan. Oleh ka rena itu perlu untuk

menormalkan kadar glukosa darah agar tidak mengganggu pertumbuhan dan

performa ternak (Burton 1995).

Moonsie dan Mowat (1993) menyatakan bahwa, suplementasi Cr ragi

(0.2, 0.5 dan 1,0 ppm) pada anak sapi yang mengalami stres meningkatkan berat

28

badan dan konsumsi pakan masing-masing sebesar 29 dan 15% dibandingkan

dengan kontrol selama 30 hari pertama di feedlot. Suplementasi 0.4 ppm Cr yeast

pada sapi yang mengalami stres, setelah 28 hari hasilnya menunjukkan tidak

adanya perbedaan terhadap konsumsi bahan kering per minggu selama 4 minggu

dan pertambahan bobot badan sapi juga tidak berbeda, tetapi Cr nyata

menurunkan kadar kortisol serum (75.0 vs 55.6 nmol/L) dan meningkatkan IgM

dalam serum (kandungan Cr ransum basal (12.12 pp m). Tidak ada respon

terhadap vaksinasi PI-3 (para influenza-3) pada sapi yang stres akibat transportasi

yang disuplementasi 0.16 mg Cr chelate (Burton et al. 1995). Suplementasi 0.8

mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi cekaman panas (heat stress)

dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum,

kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan kemampuan untuk mencerna

serat (kandungan Cr ransum basal tidak diketahui) (Williams et al. 1994).

Suplementasi 0.25 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba dengan bobot badan 38

kg selama 85 hari tidak mempengaruhi total kolesterol, albumen, total protein, T3

dan T4, glukosa dan urea tetapi terjadi penurunan NEFA (non esterifed fatty acid)

(kandungan Cr ransum basal < 1 mg) (Kitchalong et al. 1995). Selanjutnya

menurut Uyanik (2001) suplementasi Cr tidak mempengaruhi pertambahan bobot

badan, kadar Cr darah, LDL dan kolesterol tetapi menurunkan kadar glukosa

darah pada domba yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr organik. Hasil uji

in vitro ransum yang disuplementasi Cr anorganik maupun Cr organik (1, 2, 3 dan

4 ppm) meningkatkan produksi total VFA tetapi kadar NH3 menurun dan

suplementasi Cr organik lebih efisien dibandingkan dengan bentuk anorganik.

Level terbaik penggunaan Cr organik adalah 1.0 ppm (Jayanegara et al. 2006).

Suplementasi Cr organik asal Rhizopus orizae dalam ransum sebesar 1 dan 3

mg/kg memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan

organik (secara invitro) (Astuti 2006).

Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila

diberikan dalam bentuk kompleks organik. Hal ini karena dalam bentuk

anorganik, Cr dapat meracuni terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+),

walaupun tingkat absorbsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+)

yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus Cr-anorganik yang

29

dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat

feses (Amatya et al. 2004). Sebaliknya ketersediaan Cr-organik cukup tinggi,

tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997). Hasil-hasil penelitian Cr

menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga

dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein dalam hal ini difisiensi Cr

dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya

inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang

dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994). Burton

(1995) menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan

konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan

dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam hati,

ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis protein. Kompleks Cr organik

terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-yeast) dan Cr-

pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+

Pencernaan mikroba pada ruminansia

yang mengikat 3 molekul asam

pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada

metabolisme triptofan sebelum membentuk nisin atau asam nikotinat (Combs

1992, Groff & Gropper 2000). Menurut Sahin et al (2011) yang melakukan

percobaan pada tikus yang diberi diet tinggi lemak mengatakan bahwa kondisi di

mana metabolisme glukosa terganggu karena resistensi insulin berkaitan dengan

gangguan memori, tambahan kromium (Cr) dapat mengurangi resistensi insulin

pada diabetes tipe 2 dan akibatnya meningkatkan akuisisi memori, tergantung

pada sumber dan tingkat. Selanjutnya hasil penelitian Toghyani et al (2010)

menunjukkan bahwa diet suplementasi Cr-yeast meningkatkan kualitas daging

ayam, paha ayam ras pedaging dalam kondisi stres panas

Ruminansia merupakan ternak yang unik, karena mempunyai sistem

pencernaan yang mampu merubah secara efisien sumber-sumber karbohidrat,

maupun bahan makanan kasar yang tedapat cukup di alam, hal ini dapat

berlangsung karena didalam rumenya terdapat mikroba yang mampu mencerna

serat kasar (Tillman et al 1998).

30

Pencernaan ada lah suatu rangka ian proses perubahan secara fisik dan kimia

yang terjadi pada pakan di dalam alat pencernaan hewan. Alat pencernaan

ruminansia terdiri dari mulut, perut, usus halus, dan alat pencernaan bagian

belakang (Hind gut). Perut ternak ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu

rumen (pe rut beludru), retikulum (perut laja/sarang lebah), omasum (perut buku),

dan abomasum (perut sejati/ perut kelenjer). Tiga pertama disebut perut bagian

depan (fore gut) dan abomasum disebut perut sejati . Rumen dan retikulum

tergabung menjadi satu bagian dan disebut retikolorumen, didalamnya terdapat

bakteri, protozoa, fungsi dan virus yang kesemuanya berperan pada metabolisme

dalam rumen (Van Soest 1987).

Proses degradasi dan fermentasi pakan karbohidrat di dalam rumen di bagi

menjadi 3 tahap yaitu 1) pemecahan partikel makanan menghasilkan polimer

karbohidrat; 2) polimer dihidrolisir menjadi sakharida sederhana; 3) sakharida

sederhana menghasilkan Volatile fatty Acid (VFA). Pakan yang kaya akan

karbohidrat dirombak menjadi gula sederhana (maltosa, selobiosa, silosa dan

pentosa). Selanjutnya pruduk tersebut di konversi oleh enzim yang diproduks i

oleh bakteri rumen menjadi glukosa atau glukosa l- fosfat dan melalui proses

glikolisis dibentuk menjadi asam piruvat dan energi berupa ATP. Asam piruvat

yang terbentuk difermentasi di rumen dan menghasilkan VFA, yang dapat

menggambarkan fermentasi suatu pakan. Peningkatan kosentrasi VFA dapat

mencerminkan peningkatan protein asal pakan dan karbohidrat yang mudah larut

(readily available carbohydrate/RAC), lebih kurang 75% dari total VFA yang

dihasilkan diserap ke dalam retikulo-rumen, kemudian dalam abomasum dan

omasum, sedang sisanya 5% diserap dalam usus. Secara umum kandungan VFA

individual cairan rumen sapi 50-65% untuk asetat, 18-24% propionat dan 13-21%

butirat, sedangkan untuk domba mengandung 53-66% asetat, 19-27% propionat

dan 12-17% butirat dari persen molar total VFA. Produksi VFA cairan rumen

mencerminkan tingkat fermentasi suatu bahan. Semakin rendah suatu bahan

difermentasi semakin besar pula produksi VFA yang dihasilkan. VFA yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktifitas mikroba maksimum 80-160 mM

(Arora 1995).

31

Kosentrasi amonia dalam rumen bervariasi dari 0-130 mM cairan rumen.

Protein yang berasal dari ransum masuk ke dalam rumen akan mengalami proses

degradasi oleh mikroba rumen menjadi peptida dan asam-asam amino.

Selanjutnya asam amino mengalami deaminasi amonia, CO2 dan mikroba dan

untuk menilai keefisienan penggunaan N pada ruminansia. Konsentrasi amonia

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) kandungan protein dalam ransum

serta kelarutannya, 2) jumlah karbohidrat dalam ransum, dan 3) waktu setelah

makan (Sutardi 1990).

Peningkatan karbohidrat yang mudah difermentasi (RAC) akan menurunkan

produk amonia, karena terjadi peningkatan penggunaan amonia untuk

pertumbuhan mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi sama cepatnya

difermentasi dengan pembentukan amonia, sehingga pada saat terbentuk amonia

terdapat juga rantai karbon dari fermentasi karbohidrat yang akan digunakan

sebagai sumber kerangka karbon protein mikroba yang telah tersedia (McDonald

et al. 2002).

Kebutuhan nutrisi pada domba

Nutrisi diperlukan oleh ternak untuk kebutuhan hidup pokok membangun

jaringan ba ru dan jaringa n tubuh yang mengalami kerusakan serta produks i,

sehingga dalam pemberian pakan untukternak domba harus memperhatikan

kandungan nutrisi dalam ransumnya serta disesuaikan dengan kebutuhannya

(Tillman et al. 1991). Standar kebutuhan nutrisi yang memenuhi persyaratan

kebutuhan domba di Indonesia, dengan pertambahan bobot badan harian (PBBH)

50 – 100 g/ekor/hari adalah BK 3.1 – 3.4% BB, PK 73.7 – 135.8 g/ekor/hari dan

energi 6.23 - 11.63 MJ/ekor/hari (Haryanto dan Djajanegara 1993). Ternak

domba lokal jantan umur 10 – 12 bulan dengan bobot badan 24.88± 3.77 kg yang

diberi pakan konsentrat 2% bobot badan dengan kandungan PK ±15%dan TDN

±70% menghasilkan rataan PBBH 122 g/ekor/hari (Ernawati dan Sunarso 2001).

Standar kebutuhan nutrisi per ekor per hari untuk domba di Indonesia disajikan

pada Tabel 5.

Anggorodi (1994) mengatakan bahwa faktor- faktor yang dapat menentukan

kebutuhan nutrisi adalah laju pertumbuhan, ukuran, jenis kelamin, kondisi

32

fisiologis dan lingkungan. Individu ternak dalam suatu bangsa yang memiliki laju

pertumbuhan cepat akan memerlukan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan

ternak dengan laju pertumbuhan lambat (Tulloh dan William dalam Soeparno

1994). Selanjutnya menurut Berg dan Butterfield dalam Soeparno (1994), ternak

dengan ukuran tubuh yang besar memerlukan nutrisi yang lebih banyak daripada

ternak dengan ukuran kecil.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan seekor

domba antara lain meliputi jenis dan tipe ternak, umur dan bobot badan, tingkat

produksi, pakan yang diberikan erta lingkungan tempat domba tersebut dipelihara

(Anggorodi 1994). Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa bangsa

unggul dengan tingkat

Tabel 5 Standar kebutuhan energi dan protein per ekor per hari untuk domba di Indonesia

BB (kg) PBB (g)

Kebutuhan Energi Kebutuhan Protein Konsumsi Bahan kering (% BB)

DE (MJ) ME (MJ) TP (g) DP (g) 10 12 14 16 18 20

0 50 100 0 50 100 0 50 100 0 50 100 0 50 100 0 50 100

4.84 6.23 8.28 4.90 6.91 8.95 5.57 7.58 9.62 6.23 8.24

10.29 6.91 8.95

10.96 7.57 9.62

11.63

3.43 5.11 6.78 4.02 5.65 7.32 4.56 6.23 7.91 5.11 6.78 8.45 5.65 7.32 8.99 6.32 7.87 9.54

44.7 73.7 102.7 51.3 80.3 109.3 57.9 86.9 116.0 64.5 93.6 122.6 71.2 100.2 129.2 77.8 106.8 135.8

16.5 35.2 54.0 24.9 43.6 62.3 33.2 52.0 70.7 41.6 60.3 79.1 40.0 68.7 87.4 58.4 77.1 95.8

3.4

3.3

3.2

3.2

3.1

3.1

Sumber: Haryanto dan Djajanegara (1993) Keterangan:BB = bobot badan PBB= pertambahan bobot badan DE = d igestible energy ME= metabolizable energy TP = total protein DP= d igestible protein produktivitas tinggi cendrung mengkonsumsi pakan yang lebih banyak dibanding

dengan bangsa lokal. Haryanto dan Djajanegara (1993) menyatakan bahwa domba

tipe pedaging mengkonsumsi lebi banyak daripada tipe wool, dan domba dengan

bobot badan (BB) yang besar cendrung mengkonsumsi pakan lebih banyak

33

dibanding BB yang kecil. Cekaman panas sebagai akibat suhu lingkungan yang

tinggi akan menurunkan konsumsi pakan oleh ruminansia (Moose et al dalan

Rianto 1997). Jumlah konsumsi pakan dipengaruhi oleh kebutuhan BK dan zat-

zat pakan lainnya sesuai dengan BB dan fungsi fisiologisnya (Herman 1977).

Komposisi kimia dan kualitas dag ing

Daging adalah seluruh bagian karkas, tidak hanya terdiri dari jaringan otot,

tulang dan lemak, tetapi termasuk juga organ-organ tubuh dan kelenjar yang dapat

atau lazim dimakan. Daging terdiri dari otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat

seperti jaringan epithel, syaraf dan pembuluh darah. Komposisi kimia daging

bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ; bangsa, umur, pakan

dan perbedaan pertumbuhan, termasuk perbedaan waktu penggemukan (Soeparno

1998).

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil

pengolahan jaringan-jaringa n tersebut yang sesuai unt uk dimakan serta tidak

menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya, keadaan fisik daging

dapat dikelompokkan menjadi (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa

pelayuan, (2) daging yang dilayukan kemudian didingin-kan (daging dingin), (3)

daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku), (4)

daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan. Karkas tersusun atas

kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan

syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan

serta jenis geraknya. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi

kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan

perhatian khusus dalam penyediaan daging bagi konsumen (Aberley et al. 2001).

Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari hewan

yang sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran berada dalam pengawasan

petugas rumah potong hewan serta terbebas dari pencemaran mikroorganisme.

Secara fisik, kriteria daging yang baik adalah berwarna merah segar, berbau

aromatis, memiliki konsistensi

yang kenyal dan bila ditekan tidak terlalu banyak mengeluarkan cairan. Daging

sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological value) yang

34

tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein

dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Forrest et al. 1992). Komposisi

daging menurut Lawrie (2003) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak

dan 3,5% zat-zat non

protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70%

air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan be rubah bila

hewan

digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein serta

meningkatkan persentase lemak (Romans et al. 1994). Daging merupakan sumber

utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting

di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi

mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging

babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging.

Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70oC akan mengalami pengurangan

jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160o

Lawrie (2003) menyatakan bahwa susunan kimia daging secara umum

terdiri dari 75% air, 19% protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, dan 2,3% zat

terlarut dan vitamin. Protein daging terdistribusi pada miofibril 11,5%,

sarcoplasma 5,5% dan jaringan ikat 2%. Kadar protein daging relatif konstan

akan tetapi pada kasus tertentu perbedaan kadar protein pada urat daging

disebabkan karena perbedaan struktur daging yang terdiri atas protein miobril dan

jaringan ikat (kolagen, elastin dan retikulin). Actin dan myosin menyusun 75-

80% protein, sedangkan yang lain pada protein pengatur kontraksi yakni;

tropomin, tropomiosin, M-protein, C-protein, alfaactinin, dan beta actinin.

Kolagen ada lah komponen utama jaringan ikat, dan jaringan ini terdapat hampir

disemua komponen tubuh, sehingga kolagen paling banyak terdapat dalam tubuh

ternak.

C akan

menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga

sedikit mengurangi kadar asam amino (Lawrie 2003).

Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain warna,

keempukan, flavor dan bau, cita rasa dan jueceness, kandungan lemak, susut

masak, retensi cairan dan pH daging (Soeparno 1998). Kadar kolagen daging

35

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kandungan lemak, umur ternak, dan

aktifitas gerak dari urat daging. Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria

antara lain: warna, keempukan, flavor, dan aroma (bau, cita rasa, dan juceness),

kandungan lemak intramusculair (marbling), Susut masak (cooking lost ), retensi

cairan, dan pH daging (Soeparno 1998).

Komponen lemak yang paling menentukan adalah lemak intramuskuler

(marbling), lemak tersebut sangat menentukan keempukan rasa dan aroma.

Daging yang dinilai baik adalah daging yang tingkat perlemakannya tidak terlalu

banyak, tetapi cukup mempunyai perlemakan di dalam urat daging (McPhee

2008). Daging yang hampir tidak mengandung marbling tampak kering dan yang

mempunyai flavor yang kurang baik, namun sebaliknya apabila marbling terlalu

banyak akan mengurangi palatabilitas.

Satuan produk karkas dinyatakan dalam bobot dan persentase. Persentase

karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot potong, kondisi ternak, bangsa,

proporsi bagian non karkas, dan makanan. Persentase karkas sangat bervariasi

antar 50-60% dari bobot hidup, rata-rata persentase karkas domba lokal adalah

43.60 persen (Sunarlin & Usmiati 2006). Faktor yang perlu diperhitungkan

dalam memperkirakan jumlah daging dari karkas dalah; 1) ketebalan lemak sub

kutan, 2) luas mata rusuk longisimus dorsi area, 3) persen lemak viscena

(penyelubung gijal, pelvis, dan jantung), dan 4) berat karkas (Swatland 1994).

Lawrie (2003) menyatakan bahwa pembagian karkas menjadi potongan-

potongan karkas sangat bervariasi pada beberapa negara atau daerah, berbeda dari

satu tempat ke tempat lainnya, disesuaikan dengan spesies ternak dan selera

konsumen. Karkas domba terbagi atas dua bagian besar yaitu forsadle (51%) dan

hindsadle (49%), forsadle (bagian depan) terdiri shuoulder, rack, freshank, dan

breast, sedangkan hindsadle (bagian belakang) terdiri dari loin, leg, dan flank.

Selanjutnya dinyatakan bahwa potongan utama dari karkas domba adalah leg,

rack, dan breast, Potongan-potongan komersial karkas tercantum pada Gambar 6.

36

Topside and silverside Steakmeal Aitchbone Rumo S irloin Forerib Midrib Clod and sticking

Leg Top rump Flank Briska l Shin Gambar 6 Potongan-potongan karkas ko mersial (Lawrie 2003)

Soeparno (1998) menyatakan bahwa, kandungan lemak pada daging

menentukan kualitas daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma

daging. Keragaman yang nyata pada kompos isi lemak terdapat antara jenis ternak

memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya

hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Protein daging terdiri dari protein

sederhana dan protein terkonjugasi, berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan

dalam 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein

jaringan ikat. Protein sarkop lasma adalah protein larut air karena umumnya dapat

diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan

miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini

memiliki sifat larut dalam larutan garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi

protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin.

Kualitas fisik dag ing

Warna daging

Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen

daging myoglobin, tipe molekul dan status kimia myoglobin. Faktor penentu

warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis

kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Purbowati et al.

2005). Pada umumnya, makin bertambah umur ternak, konsentrasi myoglobin

37

makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak konstan. Warna daging dapat

diukur dengan notasi atau dimensi warna “tristimulus”, yaitu: 1. hue = warna

(misalnya merah, hijau, dan biru), 2. nilai = terang atau gelap, dan 3. kroma =

jumlah atau intensitas warna. Warna daging domba bervariasi antara merah

terang hingga merah gelap. Dalam daging segar, sebelum dimasak bentuk kimia

yang paling penting adalah oksimioglobin. Walau itu terjadi dipermukaan saja,

pigmen ini sangat penting karena menggambarkan warna merah cerah yang

dikehendaki oleh konsumen (Lawrie 2003).

Nilai pH dag ing

Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan

daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging,

karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan

masa simpan. Konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah

satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah

subs trat metabolik dalam glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat,

yang akan mempengaruhi pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH

berlangsung hingga cadangan glikogen habis atau terhentinya proses metabolik

terkait terhentinya proses enzimatik akibat pH yang rendah (Lukman et al 2007).

Aberley et al. (2001) menyatakan bahwa nilai pH daging ditentukan oleh

kadar glikogen dan asam laktat daging hewan setelah dipotong. Perubahan pH ini

tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Bila jumlah

glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik,

tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan

menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang

berkua litas jelek. Laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi

tiga yaitu:

1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6 – 5.7 dalam

waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3 – 5.7.

Pola penurunan pH ini ada lah normal.

38

2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan

dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5 – 6.8 . Sifat daging yang

dihasilkan adalah gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).

3. Nilai pH turun relative cepat sampai berkisar 5.4 – 5.5 pada jam-jam pertama

setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4 – 5.6 . Sifat daging

yang dihasilkan ialah pucat, lembek dan berair atau disebut pale soft

exudative (PSE).

Keempukan daging

Keempukan merupakan penentu kualitas daging domba. Komponen

utama yang menentukan keempukan ada lah jaringa n ikat dan lemak yang

berhubungan dengan otot (Aberle et al. 2001). Bertambahnya umur ternak akan

mengurangi tingkat keempukan dari daging karena ikatan silang intra dan

intermolekuler antara polipeptida kolagen meningkat. Pertumbuhan yang cepat

dapat mengurangi ikatan silang sehingga meningkatkan keempukan, perbedaan

bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe

kecil lebih empuk dari pada daging dari tipe besar (Lawrie 2003). Menurut

Epley (2008) bahwa keempukan daging akan menurun seiring dengan

meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak

mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika

dibandingkan dengan hewan tua. Pemasakan daging dalam oven 135oC sampai

suhu dalam 50oC atau 60oC tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler

(Lawrie 2003). Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60oC, 70oC,

80oC) akan mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi suhu akhir

pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir (60oC,

70oC, 80oC) secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi

keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah (60oC) perbedaan suhu dalam

daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan

daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan

dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan (Wheeler et al. 1999). Combes et al.

(2002) menyatakan bahwa nilai keempukan daging dengan Warner Bratzler

mencapai minimum pada suhu dalam 60-65oC dan meningkat kembali mencapai

maksimum pada suhu dalam daging 80-90oC. Keempukan daging berkisar antara

39

3.83-5.49 dan secara statistik hampir sama, hal ini disebabkan komposisi PK dan

lemak yang hampir sama.

Faktor yang mempengaruhi keempukan daging dapat digolongkan menjadi

dua, yakni faktor antemortem dan faktor postmortem.

Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis

yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB

(Warner Bratzler) < 4.15 kg/cm

Faktor antemortem tersebut

meliput i genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis

kelamin, dan stress. Faktor postmortem diantaranya adalah metode chilling,

refrigerasi, pelayuan, dan metode pengolahan. Jadi keempukan bisa bervariasi

antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan

diantara otot, serta pada otot yang sama. Keempukan daging ditentukan oleh 3

komposisi daging yaitu : 1. Struktur miofibril dan status kontraksinya, 2.

Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan 3. Daya ikat air oleh

protein daging dan marbling (Abe rle et al 2001). Perbedaan bangsa juga dapat

menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk

daripada daging dari tipe besar (Lawrie 2003). Menurut Epley (2008)

keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan.

Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki

ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua.

2, daging empuk 4.15 - < 5.86 kg/cm2, daging

agak empuk 5.86 - < 7.56 kg/cm2, daging agak alot 7.56 - < 9.27 kg/cm2, daging

alot 9.27 - < 10.97 kg/cm2, daging sangat alot = 10.97 kg/cm2

Keempukkan daging ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu; 1)

struktur miofibril dan status kontraksi, 2) kandungan jaringan ikat dan ikatan

silang, dan 3) daya ikat air oleh protein daging dan marbling (Soeparno 1998).

Tingkat keempukkan daging dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein

otot yaitu; 1) protein jaringan ikat (ko lagen, elastin, dan mukopolisakarida),

2) miofibril (miosin, actin, dan tropomiosin), dan 3) sarkoplasma (protein

sarkoplasmatik, dan sarkoplas-matik retikulum). Kontribusi masing-masing

kategori protein tersebut tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe otot dan

lama serta suhu pemasakan (Lawrie 2003).

.

40

Daya mengikat air (DMA)

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity

merupakan suatu nilai yang menunjukkan kemampuan untuk mengikat air atau

cairan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang ditambahkan. Daya

mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan daya

terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyak air yang hilang atau drip

merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi

bobot daging. Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju

glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan waktu (Honikel 1998). Fungsi atau

gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang

menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DMA

yang berbeda. Lawrie (2003) menambahkan bahwa daya mengikat air daging

sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan

DMA. Daya mengikat air sangat penting dalam proses pengolahan daging

sebaga i protein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah

larut. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH

titik isoelektrik protein-potein daging antara 5.0 – 5.1.

Daya ikat air (DMA) daging adalah kemampuan daging untuk mengikat

airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,

misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daya ikat

air dipengaruhi oleh perbedaan macam otot, species, umur dan fungsi otot. Fungsi

atau gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang

menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DIA

yang berbeda. Daya ikat air menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH

titik isoelektrik protein-potein daging antara 5,0–5,1

Salah satu faktor yang

mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak,

kapasitas memegang air daging lebih sedikit.

(Purbowati et al. 2005).

Lawrie (2003) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi DMA

daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak, kapasitas memegang air

daging lebih sedikit.

41

Susut masak

Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin

tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang

sampai mencapai tingkat yang konstan. Beberapa faktor yang memepengaruhi

susut masak adalah pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut

otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang

lintang daging (Soeparno 1998). Daging dengan susut masak yang lebih rendah

mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak yang

lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.

Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam

daging. Kesan jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan

susut masak. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak

yang tinggi. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak

yang tinggi. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas

yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar,

karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Perebusan daging

pada suhu 60 – 90oC menyebabkan rusaknya jaringan epimisium, perimisium dan

endomisium sehingga myofibril menyus ut yang menstimulasi keluarnya cairan

daging. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi susut masak adalah pH, panjang sarkomer

serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan

berat sampel daging dan penampang lintang daging. Daging dengan susut masak

yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan

susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan

akan lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk

mengestimasi jumlah jus dalam daging, jus daging atau juiciness mempunyai

hubungan yang erat dengan susut masak, kadar jus daging yang rendah dapat

disebabkan oleh susut masak yang tinggi, umumnya susut masak bervariasi

dengan kisaran antara 15-40% (Soeparno 1998). Selanjutnya Lawrie (2003)

menjelaskan bahwa bobot potong dapat mempengaruhi susut masak apabila

terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler (marbling). Daging dengan

susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari

42

pada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi

selama pemasakan akan lebih sedikit.