14
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Jeruk Kedudukan tanaman jeruk dalam sistem klasifikasi tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (2002) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Class : Dicotyledomae Ordo : Rutales Famili : Rutaceae Genus : Citrus Spesies : Citrus spp. Jeruk sebagai tanaman budidaya terdapat bermacam-macam spesies. Masing-masing jenis banyak sekali kultivarnya. Pada umumnya bentuk tanaman anggota suku Rutaceae berupa pohon atau perdu dan jarang sekali berbentuk semak. Posisi daun berhadap-hadapan atau berseling, merupakan daun majemuk menyirip beranak daun satu (unifoliolatus), permukaan daun berkelenjar minyak yang transparan (Sarwono, 1982). Bunga beraturan berbentuk anak payung, tandan atau malai, umumnya berkelamin dua. Kelopak bunga berjumlah empat sampai lima ada yang berlekatan atau tidak, berwarna hijau, mahkota bunga kebanyakan berjumlah empat sampai lima dan berdaun lepas berwarna putih. Benang sari berjumlah empat sampai lima atau delapan sampai sepuluh jarang enam dan jarang lebih dari sepuluh. Kepala sari berjumlah dua. Tonjolan dasar bunga beringgit atau berlekuk di dalam benang sari. Bakal buah menumpang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Jeruk 2.pdfyang sangat serius pada tanaman jeruk adalah adanya serangan Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD). Penyakit ini tergolong

Embed Size (px)

Citation preview

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tanaman Jeruk

Kedudukan tanaman jeruk dalam sistem klasifikasi tumbuhan menurut

Tjitrosoepomo (2002) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Class : Dicotyledomae

Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus spp.

Jeruk sebagai tanaman budidaya terdapat bermacam-macam spesies.

Masing-masing jenis banyak sekali kultivarnya. Pada umumnya bentuk tanaman

anggota suku Rutaceae berupa pohon atau perdu dan jarang sekali berbentuk

semak. Posisi daun berhadap-hadapan atau berseling, merupakan daun majemuk

menyirip beranak daun satu (unifoliolatus), permukaan daun berkelenjar minyak

yang transparan (Sarwono, 1982). Bunga beraturan berbentuk anak payung,

tandan atau malai, umumnya berkelamin dua. Kelopak bunga berjumlah empat

sampai lima ada yang berlekatan atau tidak, berwarna hijau, mahkota bunga

kebanyakan berjumlah empat sampai lima dan berdaun lepas berwarna putih.

Benang sari berjumlah empat sampai lima atau delapan sampai sepuluh jarang

enam dan jarang lebih dari sepuluh. Kepala sari berjumlah dua. Tonjolan dasar

bunga beringgit atau berlekuk di dalam benang sari. Bakal buah menumpang

5

tergolong dalam kelompok buah sejati tunggal berdaging. Dinding buah

mempunyai lapisan kulit luar yang tipis, kaku agak menjangat dan mengandung

banyak kelenjar minyak atsiri, mula-mula berwarna hijau setelah masak warnanya

berubah menjadi kuning atau jingga, lapisan ini berubah menjadi kuning atau

jingga, lapisan ini disebut flavedo. Lapisan tengah bersifat seperti spons terdiri

dari jaringan bunga karang yang berwarna putih, lapisan ini disebut albedo.

Lapisan dalam bersekat-sekat sehingga terbentuk beberapa ruangan. Dalam

ruangan terdapat gelembung-gelembung yang berair yang disebut juice sac. Biji-

biji terdapat bebas diantara gelembung-gelembung tersebut, Placenta axillaris.

Bentuk buah bervariasi antara bulat, oval dan memanjang (Sarwono, 1986).

2.2 Penyakit CVPD pada Tanaman Jeruk

Tanaman jeruk merupakan komoditas buah-buahan terpenting di Indonesia

setelah pisang dan mangga yang tersebar luas di beberapa sentra pengembangan

jeruk seperti di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur,

Bali dan Sulawesi Tenggara (Anonimous, 2002). Salah satu kendala dan ancaman

yang sangat serius pada tanaman jeruk adalah adanya serangan Citrus Vein

Phloem Degeneration (CVPD). Penyakit ini tergolong salah satu penyakit penting

pada tanaman jeruk yang telah berkembang luas dan menjadi kendala utama pada

usaha pengembangan peningkatan produksi jeruk di Bali. Penyebab CVPD yang

juga disebut citrus greening atau huang long bing adalah bakteri Liberobacter

asiaticumyang tergolong dalam subdivisi Protobacteria (Sandrine et al., 1996).

Bakteri L. asiaticum hidup dalam floem tanaman jeruk danmenimbulkan gejala

yang khas, bakteri tersebut belum bisa dibiakkan pada media buatan (Wirawan,

2001).

6

Gejala CVPD di lapangan berupa daun klorosis (Rustiani et al., 2015).

Gejala luar yang ditimbulkan penyakit ini yaitu klorosis atau daunnya menguning,

warna tulang daunnya menjadi hijau tua, daunnya lebih tebal, kaku dan ukurannya

menjadi lebih kecil (Gambar2.1) (Wijaya, 2003). Pada buah akibat infeksi patogen

CVPD, buah menjadi kecil-kecil dan keras serta kulit buah menjadi cepat

menguning (Wirawan et al., 1998) (Gambar2.2).

Gambar 2.1. Gejala Penyakit CVPD pada Daun Jeruk secara Visual (Sumber: Rustiani et al., 2015

http://journal.ipb.ac.id/index.php/jfiti/article/download/9600/7523)

Gambar 2.2 Gejala penyakit CVPD pada buah jeruk (Sumber: Maspary, 2012 http://www.gerbangpertanian.com/2012/10/mengendalikan-11-penyakit-tanaman-

jeruk.html?m=1)

7

2.3 Penyebab Penyakit CVPD

Penyakit yang juga disebut “citrus greening” atau “Huanglongbing” (dari

bahasa Cina) pada awalnya diduga disebabkan oleh virus (Tirtawidjaya, et al.,

1965; Tirtawidjaya, 1983; Chen dan Mei, 1965), kemudian karena pengembangan

penelitian pada penyakit ini, dikatakan disebabkan oleh Mycoplasma-Like

Organism (MLO), tetapi organisme yang diduga MLO ini segera diketahui

dibungkus oleh dinding setebal 25 nm yang jauh lebih tebal dari unit membran

yang khas untuk MLO yaitu antara 7-10 nm (Sandrine, et al., 1994). Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa membran setebal 25 nm itu merupakan

membran bakteri yang memberi indikasi bahwa penyebab CVPD adalah bakteri

dan bukan mikoplasma. Organisme yang sama seperti yang ditemukan pada

CVPD ini juga ditemukan pada tanaman selain jeruk pada lebih dari 20 jenis

penyakit (Greber and Gownalock, 1979; Holmes, et al., 1972; Nourrisseaum, et

al., 1993). Sejauh yang diketahui, organisme-organisme ini selalu berada dalam

jaringan floem, dan tidak satupun yang dapat dibiakkan pada media buatan.

Mengambil persamaan dengan MLO, organisme-organisme kemudian disebut

MLO, organisme-organisme ini kemudian disebut BLO (bacterium-like organism)

(Sandrine, et al., 1994).

Pada tahun 1993 Villechanoux, et al., berhasil mengklon dan mensekuen

2,6 kb fragmen DNA dari genom BLO yang diisolasi dari tanaman jeruk terserang

CVPD. Ditemukan bahwa fragmen ini mengandung conserved sequence dari

rplKAJI-rpoBC operon yang menyandi pembentukan empat ribosomal protein.

Dengan penemuan ini Sandrine, et al., pada tahun 1994, dengan teknik PCR

(Polymerase Chain Reaction) mencoba mengamplifikasi fragmen 16S rDNA dari

8

BLO yang diisolasi dari tanaman jeruk (var. Poona) yang terserang CVPD

menggunakan universal primer. Pada tahun 1996 Sandrine, et al., melaporkan

bahwa mereka telah berhasil mengembangkan satu primer yang spesifik dari 16S

rDNA tersebut untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD dan sejak itu

disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah bakteri yang mereka beri nama

Liberobacter (Sandrine, et al.,1996) serta ditemukannya dua spesies yaitu L.

asiaticum yang tersebar di kawasan Asia termasuk Indonesia dan L. africanum

yang tersebar di kawasan Afrika.

2.4 Morfologi dan Klasifikasi Bakteri Penyebab Penyakit CVPD

Informasi morfologi, fisiologi, biokimia dan genetik bakteri CVPD sangat

terbatas, karena belum bisa dikultur secara invitro (Nakashima et al., 1996).

Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa bakteri penyebab

CVPD bersifat pleomorfik, pada saat tumbuh berbentuk memanjang yang

fleksibel berukuran 100-250 x 500-2500 nm, pada saat dewasa berbentuk batang

yang kaku berukuran 350-550 x 600-1500 nm. Adapula yang berbentuk badan-

badan seperti bola dengan sitoplasma tipis, berdiameter 700-800 nm (Su dan

Huang, 1990) dan ada yang 300-1000 nm (Garnier dan Bove, 1973) seperti

terlihat pada (Gambar 2.3).

9

Gambar 2.3. Bakteri Liberobacter pada floem tanaman jeruk (Sumber : Jagoueix, 1994)

Klasifikasi bakteri tersebut menurut Jagoueix (1994) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Monera

Divisi : Bakteri

Kelas : Alphaproteobacteria

Ordo : Rhizobiaceae

Genus : Liberobacter

Spesies : Liberobacter asiaticum

2.5 Vektor Diaphorina citri dan Tanaman Inang

Patogen bakteri penyebab penyakit CVPD, Liberobacter asiaticum

diketahui disebarkan oleh serangga sejenis kutu loncat atau juga disebut kutu

loncat jeruk yang bernama Diaphorina citri Kuw. (Gambar 2.4 dan Gambar 2.5).

550 x 1500 nm

10

Klasifikasi serangga D. citri menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai

berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Homoptera

Famili : Psyllidae

Genus : Diaphorina

Spesies : Diaphorina citri KUW.

Bakteri CVPD, L. asiaticum, dapat berada pada bagian mulut (stilet) dari

serangga ini dan menular ke tanaman ketika serangga vektor mencucuk dan

mengisap makanan dari tunas atau daun tanaman jeruk.

Gambar 2.4. Serangga Vektor Diaphorina citri (Sumber: Mudita,W, 2010 http://citrusbiosecurity.blogspot.com/2010/10/kutu-loncat-jeruk-asia-diaphorina-

citri.html?m=1)

11

Gambar 2.5. Serangga Vektor Diaphorina citri (Sumber: Mudita,W, 2010 http://citrusbiosecurity.blogspot.com/2010/10/kutu-loncat-jeruk-asia-diaphorina-

citri.html?m=1)

Serangga D. citri sebagai vektor pembawa bakteri Liberobacter

mempunyai potensi berkembang biak yang tinggi khususnya di dataran rendah

dan periode penularannya (infective period) dapat berlangsung cukup lama sampai

90 hari dan mengalami metamorfosis paurometabola yaitu perkembangan dimulai

dari telur, nimfa, dan imago, tanpa adanya pupa (Gambar 2.6). Serangga ini dapat

bertelur sampai 800 butir dan telurnya dapat menetas setelah 3-5 hari kemudian

serta setahun terdapat sembilan generasi. Stadium nimfa terdiri dari 5 instar,

masing-masing instar berturut-turut selama 3, 2, 3, 3, dan 3 hari, sehingga

lamanya stadium nimfa berkisar 14 hari (Nurhadi et al., 1986). Di daerah serangan

CVPD, serangga penular ini perlu dikendalikan karena 10 ekor serangga D. citri

yang mengisap cairan tanaman sakit sanggup menularkan ke seluruh areal

pertanaman (Anonimous, 1996).

12

Gambar 2.6. Betina Dewasa dan Instar Nimfa D.citri (Sumber: Mudita,W, 2010 http://citrusbiosecurity.blogspot.com/2010/10/kutu-loncat-jeruk-asia-diaphorina-

citri.html?m=1)

Serangga D. citri mempunyai banyak tanaman inang. Dilaporkan bahwa

D. citri dapat ditemukan berasosiasi dengan lebih dari 1000 tanaman inang

(Anonimous, 1996), sehingga sangat sulit dilakukan pengendaliannya. Serangga

tersebut dapat menularkan bakteri Liberobacter tidak saja kepada tanaman jeruk,

tetapi juga kepada tanaman-tanaman yang masih berkerabat dengan jeruk dan

kepada tanaman-tanaman bukan jeruk, seperti tanaman tapak dara (Catharanthus

roseus) (Tirtawidjaya, 1981).

2.6 Mekanisme Infeksi Penyakit CVPD pada Tanaman Jeruk

Tanaman yang diserang CVPD memperlihatkan gejala daunnya

menguning atau klorosis, warna tulang daunnya menjadi hijau tua, daunnya lebih

tebal, kaku dan ukurannya menjadi lebih kecil. Hal yang sama juga dilaporkan

oleh Sarwono (1995). Klorosis terjadi karena pembentukan klorofil berkurang,

sehingga aktivitas fotosintesis tanaman menurun. Tanaman yang terinfeksi CVPD

juga menunjukkan gejala nekrosis dan gugur daun (Marlina, 1998). Proses

terjadinya klorosis diawali dengan tertularnya jaringan tanaman oleh patogen

Instar 1 Instar 2 Instar 3

Instar 4 Instar 5

13

melalui stilet serangga vektor pada saat mengisap cairan dari floem tanaman

jeruk. Selanjutnya patogen yang terdapat dalam floem tersebar ke bagian-bagian

tanaman bersama translokasi bahan organik. Kehadiran patogen dalam jumlah

yang relatif banyak dapat menimbulkan gejala klorosis bahkan terjadinya nekrosis

pada floem tulang daun (Yuniti, 2002).

Proses penularan patogen persisten diawali dengan terjadinya pengambilan

patogen bersamaan dengan cairan tanaman oleh serangga vektor pada waktu

makan melalui stiletnya, kemudian masuk ke saluran pencernaan menembus

dinding usus, sirkuasi dalam hemolimf dan mengkontaminasi air ludah. Bakteri

mengalami periode laten dalam tubuh vektor, setelah itu vektor menjadi infektif

(Carter 1973).

Setelah masuk ke dalam sel-sel floem tanaman jeruk, bakteri CVPD akan

berkembang biak dengan mengambil sumber karbon dan nitrogen sebagai

makanan dari metabolisme sel-sel floem tanaman jeruk. Masuknya patogen ke

dalam sel floem menyebabkan terjadinya reaksi tingkat molekul antara patogen

dan sel floem serta diduga L. asiaticum menghasilkan molekul protein virulen

(toksik) yang dapat mengganggu metabolisme sel-sel floem. Sementara itu sel-sel

floem menghasilkan protein khusus, misalnya protein reseptor, sebagai reaksi

terhadap masuknya patogen dan molekul protein virulennya ke dalam sel floem.

Karena serangan CVPD menyebabkan tanaman kekurangan unsur-unsur Zn, Mn,

dan Ca, maka ada indikasi yang menunjukkan bahwa infeksi CVPD pada tanaman

jeruk mengganggu mekanisme transport mineral atau ion-ion seperti Zn, Mn, dan

Ca ke dalam sel-sel floem tanaman jeruk.

14

Meskipun serangga tersebut tidak terbang jauh, karena panjangnya umur

tanaman sakit, kesempatan menularnya penyakit oleh D. citri cukup besar.

Penularan terutama terjadi pada waktu tanaman membentuk banyak kuncup.

Menurut Mahfud (1985), serangga tersebut baru dapat menularkan CVPD ke

tanaman sehat bila mengisap tanaman sakit selama 48 jam lalu mengisap tanaman

sehat selama 360 jam. Di dataran tinggi Diaphorina kurang aktif, dengan

demikian di daerah tersebut penularan CVPD agak berkurang.

Penularan CVPD di alam tergantung pada kepadatan populasi D. citri

sebagai serangga vektor dan keberadaan sumbek inokulum (Chen, 1998). Nurhadi

(1993) melaporkan bahwa patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu

tanaman ke tanaman lain setelah melalui : 1) periode makan akuisisi yaitu waktu

yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan

patogen, 2) periode makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk

makan pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen dan 3) periode

retensi yaitu selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya

ditambahkan ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit

dan proporsi vektor yang infektif mempengaruhi laju penularan CVPD.

Selain melalui vektor D. citri, penyakit ini dapat menyebar melalui bibit

terinfeksi. Bibit jeruk yang tampak sehat dapat mengandung patogen CVPD,

karena masa inkubasi patogen CVPD dalam tanaman inang berkisar tiga sampai

lima bulan (Tirtawidjaya dan Suharsodjo 1990), sehingga diperlukan cara yang

tepat dan cepat untuk mendeteksi keberadaan patogen CVPD pada bibit jeruk.

Media penular utama CVPD adalah bibit okulasi yang dibuat di daerah

endemis. Apabila bibit-bibit yang terinfeksi tersebut ditanam maka tanaman

15

tersebut menjadi pohon jeruk yang sakit dan selanjutnya berfungsi sebagai sumber

infeksi.

2.7 Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR adalah suatu metode invitro untuk menghasilkan sejumlah besar

fragmen DNA spesifik dengan panjang dan sekuens yang telah ditentukan dari

sejumlah kecil template kompleks. Teknik PCR sebenarnya mengeksploitasi

berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase DNA

menggunakan DNA utas tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis utas baru

yang komplementer. Cetakan utas tunggal dapat diperoleh dengan melalui

pemanasan dari DNA cetakan utas ganda pada temperatur mendekati titik didih

(92-95ºC). Polimerase DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda

pendek untuk memulai proses sintesis.

Pada PCR posisi awal sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan

suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada

cetakan sesuai dengan yang diinginkan. Ini merupakan keunggulan PCR, yang

mana DNA polimerase dapat diarahkan untuk sintesis bila primer oligonukleotida

disediakan untuk masing-masing utas. Sepasang primer dapat dipilih untuk

membatasi wilayah dari DNA yang ingin diperbanyak, sehingga utas DNA yang

baru disintesis, dimulai dari posisi primer, membentang sampai melewati posisi

primer dari utas yang lainnya. Dengan demikian, tempat ikatan primer baru akan

dibuat pada utas DNA yang baru disintesis. Campuran reaksi kemudian

dipanaskan lagi untuk memisahkan utas awal dengan yang baru, yang kemudian

berperan sebagai cetakan untuk siklus berikut meliputi penempelan primer,

sintesis DNA dan pemisahan utas. Hasilnya adalah setelah n kali siklus, campuran

16

reaksi mengandung sebanyak 2n molekul DNA utas ganda, yang merupakan

salinan dari urutan DNA diantara kedua primer. Ini merupakan ciri PCR yang

menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu.

Pada prinsipnya teknologi PCR terdiri dari 3 tahap reaksi berbeda dalam

satu siklus. Ketiga tahap tersebut adalah denaturasi, annealing, dan polimerisasi.

Tahap denaturasi bertujuan untuk memutuskan ikatan H asam deoksiribonukleat

(DNA) double stranded yang akan diamplifikasi. Hasil yang diperoleh merupakan

DNA cetakan untai tunggal untuk penempelan oligonukleotida primer dalam

tahap annealing. Pada tahap annealing terbentuk ikatan H baru antara untai

tunggal DNA cetakan dengan oligonukleotida primer. Tahap polimerisasi

merupakan tahap pemanjangan rantai tunggal oligonukleotida primer dari ujung 3’

ke ujung 5’, dengan katalisis enzim DNA polimerase. Ketiga tahap ini merupakan

fungsi temperatur dengan temperatur masing-masing tahap sebagai berikut:

denaturasi ± 95ºC, 45ºC, dan polimerisasi 72ºC. Fungsi suhu ini sangat bervariasi

untuk setiap organisme, setiap jenis sel, setiap jenis gen dan sebagainya sehingga

tidak ada standar yang sama untuk temperatur pada tahap-tahap tersebut.

Penggunaan Taq DNA polimerase termostabil yang diisolasi dari bakteri

termofilik Thermus aquaaticus telah mendukung penggunaan teknik PCR. Taq

polimerase stabil panas menghindari kebutuhan untuk menambah polimerase baru

setelah setiap siklus panas denaturasi template (Adiartayasa et al., 2012).

Amplifikasi dengan PCR diperlukan kualitas DNA template yang baik dan

program yang sesuai. Oleh karena bakteri CVPD belum bisa diukur, sehingga

tidak memungkinkan untuk mengisolasi DNA nya saja, maka dilakukan

pendekatan dengan isolasi DNA total tanaman yang diinginkan untuk dideteksi.

17

Tanaman jeruk mengandung banyak senyawa polifenol dan karbohidrat yang

dapat menurunkan kualitas DNA template dan menghambat aktivitas Taq

polimerase dalam PCR. Oleh karena kandungan senyawa-senyawa tersebut

berbeda pada setiap bagian tanaman, maka diperlukan cara isolasi yang sesuai

untuk setiap bagian tanaman sehingga didapatkan DNA yang dapat diamplifikasi

dengan PCR. Deteksi molekuler dengan teknik PCR melalui tahapan: isolasi total

DNA, amplifikasi DNA dan visualisasi hasil PCR (Adiartayasa et al., 2012).