121
IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR AHMAD DANIL EFFENDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN

FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI

KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR

AHMAD DANIL EFFENDI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN

FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI

KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR

AHMAD DANIL EFFENDI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor

DEPERTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 3: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

RINGKASAN

AHMAD DANIL EFFENDI (E14103032). Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH

PENDAHULUAN : Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor sehingga dapat menjadi rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya. TUJUAN : Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sebaran lokasi dan karakter/pola kejadian longsor di daerah penelitian serta menentukan faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di daerah penelitian. BAHAN DAN METODE : Objek penelitian ini adalah kasus longsor yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007. Bahan yang digunakan yaitu peta Kabupaten Bogor berbagai layer dan sampel tanah di lokasi kejadian longsor. Metode yang digunakan dalam pemerian tekstur tanah adalah metode uji rasa rabaan, dengan pengambilan contoh tanah terganggu (tanah tak utuh). Dalam pengolahan peta digital digunakan metode tumpang susun (overlay) antara peta Kabupaten Bogor berbagai layer dengan peta lokasi kejadian longsor hasil pemetaan dengan GPS menggunakan perangkat lunak ArcView 3.2. Pengklasifikasian kejadian longsor berdasarkan tingkat kerawanannya ditentukan menggunakan metode pemodelan daerah rawan kejadian longsor dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigas Bencana Geologi (DVMBG) tahun 2004. HASIL DAN KESIMPULAN : Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus (66,7%), dan penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi pada 8 kasus longsor (33,3 %). Desa Bojongkoneng adalah wilayah yang paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa Karang Tengah (8 kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus). Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan lahan kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan tegakan campuran masing-masing sebanyak 6 kasus (25%) dan lahan kosong sebanyak 4 kasus (16,7%). Sebanyak 8 kasus (33,3%) kejadian longsor termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus pada tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus pada tingkat kerawanan rendah.

Terdapat 17 parameter yang menjadi penyebab utama terjadinya longsor yang dihimpun dalam 5 faktor utama penyebab terjadinya longsor yaitu (1) Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m, (2) Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi, (3) Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung, (4) Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di daerah tersebut, dan (5) Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun Kata Kunci : Longsor, Identifikasi, Faktor Penyebab

Page 4: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

2

SUMMARY

AHMAD DANIL EFFENDI (E14103032). Identification of Landslide Case and Determination Main Cause of Landslide Case in Babakan Madang Sub District, Bogor District. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH.

FOREWARD : Landslide is an example of a geological process called mass wasting, which is also recall as mass movement. It is a movement of rock mass, regolith, and soil from a high position to a lower one due to gravitation. Once the rock deform, gravity force will pull material (as a result of deformation) to a lower position. Due to the impact by the landslide disaster, identification of areas which the landslide occurs is vital to be performed so that the main cause and characteristic from each landslide case can be known. Furthermore, a research in this area is expected to become reference in the next mitigation of landslide case. Identification of landslide case is also important as a way to prevent other case of landslide and to understand the relation between the location of landslide case versus the geological spread factor (rocks, siklin, antiklin) and the use of land. Hopefully, we can identify the best use of land based on its land and geological characteristic. OBJECTIVE : The goal of this research is to identified the character and pattern of landslide that occurs in area of research, identified and evaluate the main cause of landslide in the areas of research, and determine the major cause of landslide in research area. OBJECT AND METHODOLOGY: The object of this research is the landslide case in Babakan Madang Sub District, Bogor District which happen in the February 2007. This research uses a map of Bogor District on a various layer and a soil sample from the location of landslide case. The methodology of this research in identifying soil texture is the touch sensing test, by sampling disturbed soil sample. Digital map imaging is performed using overlay method by intersect extension between various layer of Bogor District map with landslide are location map (as a result of Global Positioning System (GPS) mapping using ArcView 3.2 software). The methods to determine of the landslide hazard are the landslide hazard modeling method by Department of Vulcanology and Mitigation of Geology Disaster (2004). RESULT AND CONCLUSION : There are 2 (two) kind of landslide characteristic in research area, which is slump (that build of 66,7 % case or 16 case) and subsidence (8 case or 33,3 %). Bojong Koneng village is an area which landslide case is majorly found (13 case), followed by Karang Tengah village (8 case), and Cijayanti village (3 case). Landslide is oftenly found in area that consist of mixed garden (8 case or 33,3%), followed by bush and stand of wood (6 case or 25% of each), and unused land (4 case or 16,7 %). In the research area there were found 3 classes of landslide hazard, namely: (1) Steady landslide zone equal to 29,2% (7 case); (2) potential landslide zone equal to 37,5% (9 case); (3) hazard landslide zone equal to 33,3% (8 case). Overall, there are 17 parameters that become an indicator of landslide with a high degree of hazard that can be classified into 5 group (1) soil class factor, which is the class of complex red yellowish latosol, brown reddish latosol, and litosol; soil texture of loam clay sandy; and a soil thickness above 20 m, (2) the use of land, that consist of land cover with bush, mixed garden, and unused land, with mixed garden that is cultivated without a stand of wood. And the use of land in the form of highway infrastructure by cutting slope without the building of conservation building, (3) class of slope by a abruptness slope to very abrupt by the mountainous landform, (4) geological class factor, by the kind of sediment stone (Tmj) and the existence of history landslide movement in that area, (5) class of rain intensity that is moderate climate type with a rain intensity between 2 000 – 2.500 mm/year. Keywords : Landslide, Identification, Cause Factor

Page 5: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

3

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Kejadian

Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan

Babakan Madang Kabupaten Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri

dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya

ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

Ahmad Danil Effendi

NRP E14103032

Page 6: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

Judul Skripsi : Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor

Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang

Kabupaten Bogor

Nama : Ahmad Danil Effendi

NIM : E14103032

Menyetujui :

Dosen Pembimbing

Dra. Nining Puspaningsih, MSi

NIP 131 918 662

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr

NIP 131 578 788

Tanggal Lulus :

Page 7: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Rahmat

dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan.

Sholawat dan salam senantiasa tetap tercurahkan Kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang tetap istiqomah mengikuti semua

sunahnya dan melanjutkan perjuangannya.

Karya Ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang disusun sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen

Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema yang

dipilih dalam penelitian ini adalah longsor dengan judul Identifikasi Kejadian

Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan

Babakan Madang Kabupaten Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Nining Puspaningsih,

Msi selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula

kepada Bapak Didi Supardi, Bapak Bambang, dan Ibu Nia dari Instansi Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor atas bahan

dan data yang digunakan dalam penelitian ini. Juga kepada Bapak Toni dan Bapak

Tuhudi (Dinas Pertambangan Kab. Bogor) dan Bapak Esda, dan Bapak Agus

(Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Bogor) yang telah membantu selama

pengumpulan data, semoga menjadi amalan ibadah dan mendapatkan balasan

yang lebih baik dari Allah SWT.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuhnya bahwa

Karya Ilmiah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, jika ada masukan,

kritik, dan saran dari pembaca dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan

penulisan hasil penelitian dapat disampaikan melalui

[email protected]. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini

bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kehutanan khususnya.

Bogor, Maret 2008

Penulis

i

Page 8: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1985. Penulis

merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan

Alm. Bapak H. Abdul Matin Ciruas dan Ibu Hj. Ii Kusna Asliah.

Pendidikan penulis dimulai dari Pendidikan Dasar yang

diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Kedung Halang 1 Bogor, Sekolah

Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 1 Bogor dan Sekolah

Menengah Umum dilaksanakan di SMUN 1 Bogor yang diselesaikan tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa

Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2006 penulis

mengambil minat studi di Laboratorium Inventarisasi Sumber Daya Hutan.

Selama Mahasiswa, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) yang terdiri dari Praktek Umum Kehutanan (PUK) di

KPH Batu Raden dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Getas

serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (PT.

PSPI), anak perusahaan PT. Arara Abadi Riau. Selain itu penulis aktif dalam

organisasi kemahasiswaan yaitu himpunan mahasiswa Departemen Manajemen

Hutan, Forest Manajemen Study Club (FMSC) Biro Planologi Kehutanan tahun

2005-2006. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah

Dendrologi Hutan dan mata kuliah Ilmu Ukur Hutan pada tahun 2005.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan

kegiatan penelitian dengan judul “ Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan

Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten

Bogor” di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih, MSi.

Page 9: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillaahirrahmaanirraahiim

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahhirobil A’lamin

Segala puji syukur hanya pada Allah SWT atas segala nikmat yang

tercurah sejak pertama kali memandang dunia sampai akhir hayat nanti sehingga

karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa

tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya yang istiqomah

dalam jalan panjang perjuangan dakwah.

Melalui karya tulis ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Umi Hj. Ii Kusna Asliah (kekuatan terbesarku) dan (Alm) Abah H. Abdul

Matin Ciruas atas segala upaya jerih payahnya dan doa yang selalu

diberikan dati setiap hembusan nafasnya, serta dukungan dari setiap

tetesan keringat dan cucuran air matanya.

2. Kakak-kakaku tercinta : Ka Akim & Teh Titin, Teh Wiwie & A Iwan, Teh

Iis & A Engkos, Teh Dedeh & A Irwan, Teh Nur & A Asep, Ka Arif &

Istri, Ka Embin & Teh Yati, Teh Tini, dan Ka Agus atas doa dan segala

pengorbanannya serta semangat dan dorongan kepada penulis. Juga

kepada Keluarga Besar H. Syamsudin, Bi Mamah, dan Keluarga Besar Hj.

Marpuah (Alm.) atas doa, perhatian, dan kasih sayangnya kepada penulis.

3. Dra. Nining Puspaningsih, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas

bimbingan, ilmu, nasihat, serta curahan pikiran, tenaga, dan waktunya

dalam proses penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga Allah

memberikan balasan yang lebih baik.

4. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen

penguji Sidang Komprehensif atas bimbingan, saran, ilmu, dan nasihatnya

dalam perbaikan karya ilmiah ini. Semoga menjadi amal ibadah.

Page 10: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

iv

5. Murobbi dan teman seperjuangan di Forum Komunikasi Alumni Muslim

SMUN 1 Bogor (Forkom Alim’s) beserta tim mentor atas persahabatan,

persaudaraan, motivasi, nasihat, dan dukungan selama ini.

6. Raafqi, Andika (Terima Kasih tak terhingga atas bantuan selama ini),

Fajar Jumat dan Dani Ardiyanto (Terima Kasih untuk bantuan dan transfer

ilmu statistika yang diberikan), Shinta, Ana, Fheny (Terima Kasih untuk

segala saran dan bantuannya) moga menjadi amalan bernilai ibadah.

7. Seluruh Dosen Fakultas Kehutanan IPB khususnya Dosen Departemen

Manajemen Hutan, juga para Laboran (Pak Uus, Pak Mul, dan Pak

Endim), semoga semua yang telah diberikan akan menjadi bekal yang

berguna khususnya bagi penulis.

8. Rekan-rekan seperjuangan : Silviana Venus dan Fheny Fuzi Lestari atas

dorongan, motivasi, dan kerja sama selama ini.

9. Teman-teman terbaikku : Sigit, Elang, Budi, Rizal, Eko, A Rama, Okky,

Hadi, Latif, Aan, Arizia, Agus, Azzam, Alim, Shinta, Elza, Vivi, Lita,

Melda, Ika, Vita, Dwi, Asri, Nur, Dhany, Dali, Anggit, Dede, Yandi,

Guruh, Dedi, Zae, Tegar, Intan, Ubay, Beno, Iis, Arfan, Heru, Faery, Aziz,

Edy, Maya, Irwan, Faisal, (Alm. Eko), Krisdianto, Zenathan, Ria, Bayu,

dan keluarga besar MNH 40, BDH 40, KSH 40, dan THH 40 lainnya yang

tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, kebersamaan,

motivasi, dan pelajaran berharga yang diberikan pada penulis, semoga

semua mendapatkan kesuksesan.

Akhir kata penulis menyadari adanya kekurangan dalam penelitian dan

penyajian naskah karya ilmiah ini, namun demikian inilah wujud dari kerja keras

yang dapat diraih berkat semua dukungan tersebut di atas. Semoga segala bantuan

yang telah diberikan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan balasan yang

lebih baik serta semoga Karya Ilmiah ini dapat memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya. Amin.

Bogor, Maret 2008

Penulis

Page 11: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. v

DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3

1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4

2.1 Definisi Tanah Longsor.................................................................. 4

2.2 Tipe Longsor .................................................................................. 5

2.3 Penyebab Tanah Longsor ............................................................... 9

2.3.1 Kelerengan (Slope) ......................................................................... 13

2.3.2 Penutupan Vegetasi ........................................................................ 16

2.3.3 Faktor Tanah .................................................................................. 17

2.3.4 Curah Hujan ................................................................................... 18

2.3.5 Faktor Geologi ............................................................................... 19

III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 22

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 22

3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan .............................................. 22

3.3 Pengumpulan Data ......................................................................... 22

3.3.1 Pengumpulan Data Peta ................................................................. 22

3.3.2 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan ........................................ 23

3.4 Pengolahan dan Analisa Data......................................................... 26

3.4.1 Pengolahan Data............................................................................. 26

3.4.2 Analisa Data ................................................................................... 26

3.5 Penetapan Tingkat Kerawanan ....................................................... 29

3.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor .............................................. 29

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 34

Page 12: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

vi

4.1 Letak dan Luas ............................................................................... 34

4.2 Topografi ........................................................................................ 35

4.3 Klimatologi .................................................................................... 38

4.4 Karakteristik Tanah ........................................................................ 40

4.5 Penutupan Lahan ............................................................................ 42

4.6 Batuan dan Geologi ........................................................................ 46

4.7 Keadaan Sosial Ekonomi ............................................................... 48

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 50

5.1 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor ............................................. 50

5.2 Karakteristik Longsor Pada Wilayah Penelitian .............................. 52

5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor ....................... 54

5.3.1 Penggunaan Lahan ......................................................................... 54

5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi................................................. 61

5.3.3 Karakteristik Tanah ........................................................................ 66

5.3.4 Pergerakan Tanah ........................................................................... 70

5.3.5 Curah Hujan ................................................................................... 73

5.3.6 Geologi/Batuan Induk .................................................................... 74

5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor ............. 78

5.4.1 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Tinggi ............................... 81

5.4.2 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Menengah ........................ 82

5.4.3 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Rendah ............................. 82

5.5 Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor ..... 84

VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 91

6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 91

6.2 Saran ................................................................................................ 92

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 93

LAMPIRAN .................................................................................................. 97

Page 13: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

vii

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Faktor penyebab dan faktor pemicu tanah longsor .................................. 11

2. Klasifikasi kedalaman tanah .................................................................... 18

3. Karakteristik tanah longsor ...................................................................... 20

4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan

teknik uji rasa rabaan ................................................................................. 25

5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor............................................... 30

6. Parameter penduga longsor yang diamati ................................................ 32

7. Luasan administratif tiap desa di Kecamatan Babakan Madang ............. 34

8. Ketinggian wilayah daerah Kecamatan Babakan Madang....................... 35

9. Kelas lereng dan luasannya di Kecamatan Babakan Madang .................. 35

10. Kelas kemiringan lereng ......................................................................... 36

11. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 ................. 38

12. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong 1994-2007 (lanjutan) ............ 39

13. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 ................. 39

14. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas 1994-2007 (lanjutan)............ 40

15. Luasan jenis tanah di Kecamatan Babakan Madang ............................... 41

16. Sebaran kedalaman efektif di daerah penelitian...................................... 41

17. Kelas tekstur tanah di daerah penelitian.................................................. 41

18. Keadaan erosi di daerah penelitian ......................................................... 42

19. Luasan penutupan lahan di Kecamatan Babakan Madang ...................... 42

20. Luasan landuse (penggunaan lahan) di Kecamatan Babakan

Madang .................................................................................................... 45

21. Karakteristik geologi di Kecamatan Babakan Madang ........................... 46

22. Jenis batuan induk di daerah penelitian .................................................. 48

23. Karakteristik longsor dan tutupan lahannya ............................................ 52

24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor .......................... 54

25. Kelas Kemiringan Lereng ....................................................................... 61

26. Jenis Tanah di daerah Penelitian ............................................................. 66

27. Nilai erodibilitas tanah pada lokasi kejadian longsor ............................. 68

Page 14: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

viii

28. Kepekaan erosi tanah di Indonesia (hasil penelitian lapangan) .............. 68

29. Jenis batuan di daerah penelitian............................................................. 74

30. Frekuensi ditemukannya variabel-variabel penyebab terjadinya

tanah longsor ........................................................................................... 77

31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor .............................................. 79

32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor ........................................ 79

33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian dan Variabel

Penyebabnya (DVMBG, 2004) ............................................................... 80

Page 15: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

ix

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Macam-macam bentuk longsor ................................................................ 6

2. Peta kelas lereng Kecamatan Babakan Madang....................................... 37

3. Peta tutupan lahan Kecamatan Babakan Madang .................................... 44

4. Peta geologi Kecamatan Babakan Madang .............................................. 47

5. Longsor tipe nendatan/slump di Kp. Gombong (3) dan tipe longsor

amblesan/penurunan tanah di Kp. Cikeas (1) ......................................... 50

6. Peta titik lokasi kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang ............. 51

7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong

(4) dan longsor dengan penutupan kebun campuran .............................. 53

8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian

longsor di Kp. Wangun 1 ........................................................................ 56

9. Lahan dengan tegakan kayu afrika (Maesopsis eminii) yang tidak

mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai .......................................... 59

10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai ....... 62

11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran

tanpa tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala ..................................... 63

12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi pelindung

tebing jalan di Kp. Wangun 1 ................................................................. 64

13.Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp.

Wangun 3 ................................................................................................ 65

14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3 ........................... 71

15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor di Kp.

Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug......................................................... 72

16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor Kp. Wangun 2 ............ 75

17. Grafik pengaruh faktor kelas tanah terhadap tingkat kerawanan

kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 84

18. Grafik pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat

kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................ 85

Page 16: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

x

19. Grafik pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan

kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 86

20. Grafik pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan

kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 86

21. Grafik pengaruh faktor kelas curah hujan terhadap tingkat

kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................ 87

Page 17: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus

longsor di daerah penelitian .................................................................... 98

2. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian ........................... 99

3. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian (lanjutan) ........... 102

4. Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab longsor di

daerah penelitian ..................................................................................... 104

Page 18: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam merupakan peristiwa alam yang dapat terjadi setiap saat

dimana saja dan kapan saja, yang menimbulkan kerugian material dan imaterial

bagi kehidupan masyarakat. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam

yang umumnya terjadi di wilayah pegunungan (mountainous area), terutama di

musim hujan, yang dapat mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban

jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya seperti

perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial

masyarakatnya dan menurunnya perekonomian di suatu daerah.

Menurut Goenadi et al. (2003) dalam Alhasanah (2006), faktor penyebab

tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan

lahan, litologi, struktur geologi, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga

disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam,

seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan

penambangan.

Bencana tanah longsor dampaknya bersifat lokal (dibandingkan dengan

gempa bumi dan letusan gunung api), sering terjadi dan dapat mematikan manusia

karena kejadiannya yang tiba-tiba. Kejadian tanah longsor di Indonesia sejak

tahun 1994-1998 terjadi di 410 lokasi, tersebar di beberapa propinsi. Kejadian

tersebut mengakibatkan 597 korban jiwa, 3400 rumah rusak sampai hancur, 1003

ha lahan pertanian, dan 7483,5 m jalan rusak dan terancamnya saluran irigasi.

Lokasi yang tertimpa bencana umumnya tergolong sebagai desa tertinggal.

(Sutikno, 1997). Sedangkan sejak tahun 2003-2005 sedikitnya telah terjadi 103

kejadian longsor yang tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Kejadian tersebut

mengakibatkan 411 korban meninggal, 149 korban luka-luka, 4608 rumah rusak

dan hancur, 751 ha lahan pertanian rusak, dan 920 m jalan rusak. (DVMBG,

2007).

Page 19: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

2

Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang paling rawan tanah longsor di

Indonesia. Selain kondisi alamnya yang rusak, banyaknya gunung api dan posisi

Propinsi Jawa Barat yang berada di sekitar tumbukan Lempeng Australia dan

Eurasia menjadikan Pulau Jawa sebagai wilayah yang rawan tanah longsor dan

gempa bumi. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan Tahun 2005

diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di

sepuluh kabupaten/kota antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi,

Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta.

Di Jawa Barat, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang

merupakan titik rawan longsor. Bencana longsor yang terjadi di Kecamatan

Babakan Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007 telah menyita

banyak perhatian dan menyebabkan banyak kerugian. Jumlah korban mengungsi

dalam peristiwa longsor ini sebanyak 7.200 jiwa terdiri dari 3.912 jiwa dari Desa

Bojong Koneng dan 3.288 jiwa dari Desa Karang Tengah. Di Desa Bojong

Koneng kerusakan bangunan yang tergolong berat sejumlah 161 unit, kerusakan

sedang 216 unit, dan kerusakan ringan 546 unit yang terdiri dari rumah tinggal,

masjid/musholla, pondok pesantren, dan bangunan sekolah (SD/MI). Sedangkan

di Desa Karang Tengah kerusakan bangunan yang tergolong berat 187 unit,

sedang 124 unit, dan ringan 420 unit yang terdiri dari rumah tinggal,

masjid/musholla, dan pondok pesantren.

Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor

tersebut, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan

agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian

longsor pada daerah-daerah di Indonesia serta sebagai langkah awal pencegahan

kejadian longsor nantinya dan merupakan langkah pertama dalam upaya

meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor. Identifikasi daerah

kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian

longsor dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan

penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui

penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.

Page 20: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

3

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1 Mengetahui lokasi sebaran area kejadian longsor di daerah penelitian.

2 Mengetahui karakter dan pola longsor yang terjadi di daerah penelitian.

3 Mengidentifikasi dan mengevaluasi penyebab-penyebab terjadinya longsor di

daerah penelitian.

4 Menentukan fakfor-faktor penyebab utama terjadinya longsor di daerah

penelitian.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi

tentang gambaran penyebab-penyebab longsor berdasarkan kejadian longsor yang

telah terjadi sehingga mampu menjadi rujukan dalam pencegahan dan mitigasi

bencana tanah longsor.

Page 21: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tanah Longsor

Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana

pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang

relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan

atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan

sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru

akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan

terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kamus

Wikipidea menambahkan bahwa tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi

dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar

tanah.

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005)

menyatakan bahwa tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah.

Didefinisikan sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir,

dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau

keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.

Gerakan tanah (tanah longsor) adalah suatu produk dari proses gangguan

keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke

tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng

tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah

yang bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh

pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam

dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng akibat penyerapan

air hujan, dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan

gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng,

penggalian tanah di tepi lereng, dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah

penduduk yang banyak mengalihfungsikan tanah-tanah berlereng menjadi

pemukiman atau lahan budidaya sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko

longsor.

Page 22: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

5

Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi

yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif

pendek dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-

bentuk erosi lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor

pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode yang sangat pendek.

Sedangkan menurut Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis gerakan

tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan

(debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi

dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability)

pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau

penimbunan.

Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan

mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement),

merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi

ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi

akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.

Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada

beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut

antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air,

gaya kohesi antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-

partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan

menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk

menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.

2.2 Tipe longsor

Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan

gerakannya dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu :

a. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.

b. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran

berbentuk tapal kuda.

c. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah

bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.

Page 23: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

6

d. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan

berkembang lebih lanjut menjadi aliran.

e. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah,

penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada

daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah.

Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu

penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau

perubahan volume suatu lapisan tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat

bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya.ataupun

pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif cepat.

Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air

tanah (pada sistem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik,

sedangkan tekanan antar batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun.

Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran yang dibangun oleh

batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).

Gambar 1 Macam-Macam Bentuk Longsor

1. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan

batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau

menggelombang landai.

2. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan

batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.

Page 24: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

7

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang

bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran

ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau

material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas.

Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga

menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar

yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

5. Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak

lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus.

Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.

Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini

bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah

miring ke bawah.

Page 25: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

8

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah

bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung

pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan

jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang

lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di

beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di

daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah

ini dapat menelan korban cukup banyak.

Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan

menjadi beberapa macam/tipe antara lain :

1. Jenis jatuhan

Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas

tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng

terjal.

2. Longsoran

Longsoran yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan

bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran

dengan bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan

mematikan karena tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran

dengan bidang longsoran mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap

tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya.

3. Jenis aliran

Jenis aliran yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air. Kecepatan

aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis materialnya.

Umumnya gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang

gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa tempat bahkan sampai

Page 26: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

9

ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api. Aliran

tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.

4. Gerakan tanah gabungan

Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran

dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini

yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan

korban cukup tinggi.

Menurut Dwiyanto (2002), dilihat dari kenampakan bidang gelincirnya

terdapat beberapa tipe longsoran yang sering terjadi diantaranya :

a. Kelongsoran rotasi (rotational slip).

b. Kelongsoran translasi (translational slip).

c. Kelongsoran gabungan (compound slip).

2.3 Penyebab Tanah Longsor

Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada

kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi

penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar

dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia.

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005),

tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu

terjadinya tanah longsor, yaitu :

a. Faktor alam

Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:

a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu

lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan

kekar (patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api,

lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi sebagai

bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi,

tektonik).

b. Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama,

ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh

karena air hujan.

Page 27: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

10

c. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal)

d. Keadaan topografi: lereng yang curam.

e. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa

air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat,

banjir, aliran bawah tanah pada sungai lama).

f. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong,

semak belukar di tanah kritis.

b. Faktor manusia

Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :

a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.

b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.

c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.

d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah

yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan

menyebabkan tanah menjadi lembek

e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.

f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.

g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran

masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan

sendiri.

h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng

semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing

i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang

bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang

padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing

j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran

Arsyad (1989) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan

bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat

meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh

air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi

Page 28: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

11

setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran akan terjadi jika

terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :

a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak

atau meluncur ke bawah,

b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan

lunak, yang akan menjadi bidang luncur, dan

c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di

atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.

Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat

tinggi, atau dapat juga berupa lapisan batuan.

Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis

merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan

kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah

manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga

pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng. (Surono,

2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah,

keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi, dan aktivitas manusia

di wilayah tersebut.

Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor

No Faktor Penyebab Parameter

1. Faktor Pemicu Dinamis 1. Kemiringan Lereng

2. Curah Hujan

3. Penggunan Lahan (aktivitas manusia)

2. Faktor Pemicu Statis 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi

5. Kedalaman Solum Tanah

6. Permeabilitas Tanah

7. Tekstur Tanah

Sumber : Goenadi et. Al (2003) dalam Alhasanah (2006)

Menurut Barus (1999), gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai

sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase,

Page 29: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

12

lereng/bentuk lahan, hujan, maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis

seperti penggunaan lahan dan infrastruktur.

Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi

bersamaan dengan terjadinya gempa. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat

sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah (Noor, 2006).

Karnawati (2004) dalam Alhasanah (2006) menjelaskan bahwa terjadinya

longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan di antaranya

geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya

proses-proses pemicu gerakan seperti : infiltrasi air ke dalam lereng, getaran,

aktivitas manusia/ perubahan dan gangguan lahan.

Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi,

struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling

berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau

berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi

rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila

ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun

non alamiah yang dapat mengubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak)

menjadi mulai bergerak.

Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa terdapat beberapa

ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu :

a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang

umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan

akan melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat

sarang, gembur, dan mudah meresapkan air.

b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah

pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin

dapat berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang

kompak dan bidang luncuran tersebut miring kea rah lereng yang terjal.

c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada

daerah jalur patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan

dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan

sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.

Page 30: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

13

d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan

lereng menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila

daerah tersebut disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan

yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk longsor.

e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di

lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok,

persawahan, kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau

bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan

mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat

massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat

tanah menurun sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang

dapat mengakibatkan lereng tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor.

Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981) faktor-faktor

penyebab terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut :

a. Topografi atau lereng,

b. Keadaan tanah/ batuan,

c. Curah hujan atau keairan,

d. Gempa /gempa bumi, dan

e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.

Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan

menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah

terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-

faktor ini satu sama lainnya.

2.3.1 Kelerengan (Slope)

Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting

dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait

dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu

mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya

dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya

sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau

pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan

Page 31: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

14

yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada

lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya,

struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada

lereng tersebut.

Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang

rentan untuk bergerak/ longsor, yaitu :

Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan

atau tanah yang lebih kompak.

Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.

Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

Kemantapan suatu lereng tergantung kapada gaya penggerak dan gaya

penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang

berusaha untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-

gaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini

lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami

gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan

Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003).

Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umum diklasifikasikan

sebagai berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003) :

1) Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya

berat unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal

seperti bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau

karena penggalian, dan bekerjanya beban goncangan.

2) Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya

absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban guncangan atau beban berulang,

pengaruh pembekuan atau pencairan, hilangnya sementasi material, proses

pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada

lempung sensitif.

Sitorus (2006) menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat

disebabkan oleh banyak faktor lain :

a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan

kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.

Page 32: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

15

b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan

di atas lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan

terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan.

c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.

d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air,

e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan

pengembangan tanah.

f. Stuktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah

kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan,

patahan, rekahan, sesar,dan perlapisan batuan yang terlampau miring.

g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan

vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak.

Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau

kurang kompak.

h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran

air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong

munculnya pergerakan tanah atau longsor.

i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat

kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu

menembus sampai lapisan batuan dasar maka tubuhan tersebut akan sangat

berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi ain meskipun tumbuhan

memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang

memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng.

Pada kadud tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan

tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong

terjadinya longsor.

Secara umum bentuk penampang keruntuhan lereng dibedakan atas : (1)

berbentuk rotasi lingkaran (circular rotational slips) untuk kondisi tanah

homogen, (2) tidak berbentuk lingkaran (non-circular) untuk kondisi tanah tidak

homogen, (3) bentuk translasi (translational slip) untuk kondisi tanah yang

mempunyai perbedaan kekuatan antara lapisan permukaan dengan lapisan dasar

Page 33: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

16

longsoran dan pada umumnya terletak pada lapisan tanah dangkal (shallow depth)

serta longsoran yang terjadi berupa bidang datar dan sejajar dengan lereng, dan (4)

bentuk kombinasi (compound slip) biasanya terjadi pada lapisan tanah dengan

dalam yang besar (greater depth) dan bentuk keruntuhan penampangnya terdiri

dari lengkung dan datar (Peck dan Terzaghi, 1987; McKyes, 1989; Craig, 1992;

Bhandari, 1995, dalam Mustafril, 2003).

Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah

perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lereng atau lahan

yang kemiringannya melampaui 20 derajat (40%), umumnya berbakat untuk

bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring

berpotensi untuk longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian

longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu:

a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak.

b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi.

c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

2.3.2 Penutupan Vegetasi

Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan,

erosi, dan longsor melalui (1) Intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2)

Batang mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan

merusak butir hujan, (3) Akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan

pergerakan tanah, (4) Transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang.

Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor.

Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara,

sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah

penjenuhan material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007).

Selanjutnya menurut Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi

dan pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil.

Dalam batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan lereng.

Namun, terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman

dalam mencegah longsor.

Page 34: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

17

Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor.

Jenis tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi

geofisik dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok

ditanam di lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki

jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003).

Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis

kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer, 1993). Penutupan

menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan

(Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara

langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup

dalam penutupan lahan, yaitu :

1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.

2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan

kehidupan binatang

3. Tipe pembangunan

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan

tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan

menggunakan penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang

kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara

langsung dari penutupan lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).

2.3.3 Faktor Tanah

Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah

yang gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan

lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti

tanah bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah.

Nilai kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami

erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K

makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).

Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar

kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah

bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian

Page 35: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

18

besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi

air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat,

dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi

dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian,

2006).

Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada

intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih

cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah

lempung, 0,03 jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.

Tabel 2. Klasifikasi Kedalaman Tanah

No. Kriteria Nilai (cm)

1 Sangat dangkal <25

2 Dangkal 50-25

3 Sedang 50-90

4 Dalam >90

Sumber : Arsyad, 1989

2.3.4 Curah Hujan

Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya

bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam

tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan

lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin

meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin

menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk

bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan

air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan

sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut.

Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin

cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah

tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin

tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang

Page 36: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

19

longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah

menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara

gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng

dan menurunkan kuat geser tanah.

Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di

bagian-bagian lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama

berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan

dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola

yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak

diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng

dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi

rawan longsor.

Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan sangat

rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi berjalan

berkepanjangan lebih dari 1 atau 2 hari, akan berpeluang untuk menimbulkan

tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, (Litbang Departemen Pertanian,

2006) hujan dengan curahan dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang

berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi

tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah.

Ada dua tipe hujan, yaitu tipe hujan deras yang dapat mencapai 70 mm/jam

atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran

pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah

lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan

kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang

tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu

hingga lebih satu bulan (Anonim, 2007).

2.3.5 Faktor Geologi

Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur

geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan

gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah

Page 37: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

20

kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan,

dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan

batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air

meresap (Surono, 2003).

Tabel 3. Karakteristik Tanah Longsor

1 Fenomena sebab

akibat

Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan sebgai akibat getaran-getaran yang

terjadi secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air,

hilangnya dukungan yang berdekatan, pengisian beban, pelapukan, atau

manipulasi manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi lereng.

2 Karakteristik

umum

Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe gerakannya (jatuh, meluncur, tumbang,

menyebar ke samping, mengalir), dan mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya

adalah badai yang kencang, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Tanah

longsor lebih menyebar dibandingkan dengan kejadian geologi lainnya.

3 Bisa diramalkan

Frekuensi kemunculannya, tingkat, dan konsekuensi dari tanah longsor bisa

diperkirakan dan daerah-daerah yang beresiko tinggi ditetapkan dengan

penggunaan informasi pada area geolog, geomorphologi, hidrologi, & klimatologi

dan vegetasi.

4 Faktor-faktor

yang

memberikan

kontribusi

terhadap

kerentanan

Tempat tinggal yang dibangun pada lereng terjal, tanah yang lembek,

puncak batu karang.

Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, pada mulut-

mulut sungai dari lembah-lembah gunung.

Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah pegunungan.

Bangunan dengan pondasi lemah.

Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah patah.

Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor.

5 Pengaruh-

pengaruh umum

yang merugikan

Kerusakan fisik- Segala sesuatu yang berada di atas atau pada jalur tanah longsor

akan menderita kerusakan. Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur

komunikasi atau jalan-jalan air. Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup

kerugian produktifitas pertanian atau lahan-lahan hutan, banjir, berkurangnya nilai

property. Korban –kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puing-

puing yang hebat atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-ribu orang.

6 Tindakan

pengurangan

resiko yang

memungkinkan

Pemetaan bahaya

Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya

Asuransi

Page 38: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

21

7 Tindakan

kesiapan khusus

Pendidikan komunitas

Monitoring. System peringatan dan sistem evakuasi

8 Kebutuhan

khusus pasca

bencana

SAR (penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah)

Bantuan medis, emergensi tempat berlindung bagi yang tidak memiliki

tempat tinggal.

9 Alat-alat

penilaian

dampak

Formulir-formulir pengkajian kerusakan

Sumber : UNDP 1992

Page 39: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai dengan bulan

Desember 2007, dengan lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan, dan

pengambilan data di daerah kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang

Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk mengolah dan menganalisa data dilakukan di

Laboratorium Remote Sensing and Geographic Information System, Departemen

Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan

Peralatan yang digunakan adalah Perangkat Keras (hardware) terdiri dari

personal computer dan printer. Perangkat lunak (software) terdiri dari ArcView

3.2, Mapsource, dan Ms-Office, selain itu dalam pengambilan data bio-fisik

lapangan juga digunakan suunto clinometer, meteran, GPS (Global Positioning

System) Garmin 12 XL, kamera digital, kalkulator, dan alat tulis.

Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan diantaranya adalah peta digital

Kabupaten Bogor hasil Interpretasi Citra satelit (landsat SPOT 5) tahun 2005

berbagai layer dan Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1: 100.000

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Pengumpulan Data Peta

Data yang dikumpulkan berupa data spatial dan data atribut (data curah

hujan) yang diperoleh dari beberapa instansi terkait. Juga dilakukan pengamatan

di lokasi longsor pada daerah penelitian. Adapun data peta yang dikumpulkan

adalah sebagai berikut :

a. Peta digital Wilayah Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala

1:25.000 diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

b. Peta digital Jenis Tanah Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000

yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

Page 40: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

23

c. Peta digital Geologi Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang

diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

d. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 yang diperoleh dari Pusat

Penelitian Tanah

e. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1:

25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

f. Peta digital Landuse (Penggunaan Lahan) Kabupaten Bogor Tahun 2005

Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten

Bogor.

g. Peta digital Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang

diperoleh dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen

Hutan Fakultas Kehutanan IPB

h. Peta digital Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang diperoleh

dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan IPB

i. Peta digital Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala 1:25.000

diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

j. Data Atribut Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 1994-2007 diperoleh

dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor

k. Data Atribut Kejadian Longsor di Kawasan Hutan Kecamatan Babakan

Madang pada Februari 2007 diperoleh dari KPH Bogor

l. Peta Titik Lokasi Kejadian Longsor Hasil Pengolahan Data Pemetaan di

Lapangan dengan Menggunakan GPS.

3.3.2 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan

Pengumpulan data di lapangan dilakukan secara langsung melalui kegiatan

survey dan pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan dokumentasi yang

bertujuan mencatat sifat-sifat fisik di lapangan. Pengamatan dan pengumpulan

data lapangan dilakukan setelah faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor

dapat teridentifikasi. Proses identifikasi dan pemilihan parameter yang diamati

berdasarkan atas kondisi wilayah penelitian dan hasil kajian pustaka. Dalam hal

ini pertimbangan teoritis (hasil studi pustaka) dan faktor kondisi fisik wilayah

Page 41: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

24

penelitian menjadi acuan dalam menetapkan berbagai faktor penyebab tanah

longsor. Kondisi wilayah yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan suatu

parameter antara lain :

1) Kondisi Longsor (landslide), yaitu : tipe longsor, kondisi zona (wilayah) di

sekitar lokasi/titik longsor, dan luasan area kejadian longsor.

2) Keadaan vegetasi, yaitu : jenis vegetasi tutupan lahan (land cover) dan

jenis tanaman.

3) Karakteristik fisik tanah, yaitu : ketebalan tanah (solum), tekstur tanah,

dan struktur tanah pada lokasi kejadian longsor

4) Kelerengan yaitu slope (kemiringan lereng)

5) Bentang Lahan (landform), yaitu : material longsor, bentang lahan (bentuk

lahan)

6) Penggunaan lahan (landuse), yaitu : kebun campuran, tegakan campuran,

semak belukar, dan ladang/tegalan.

7) Usaha Konservasi, yaitu : upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah

terjadinya bahaya longsor : pembuatan teras, pembuatan saluran air, dan

pembangunan bronjong.

Dalam penentuan kelas tekstur dan struktur tanah di lokasi penelitian

dilakukan pengambilan contoh tanah terganggu atau tidak utuh (disturbed soil

sample). Adapun tahapannya adalah sebagai berikut (Sitorus, et al, 1980) :

1) Gali tanah sampai kedalaman yang diinginkan, misalnya kedalaman 0-20

cm; 0-30 cm; 0-40 cm; dan sebagainya.

2) Ambil dan masukkan contoh tanah ke dalam kantong plastik. Beri nomor

pada label, bungkus lebel dengan plastik kecil, masukkan ke dalam

kantong plastik lalu diikat.

Pemerian kelas tekstur tanah dilakukan dengan metode uji rasa rabaan

dengan tahapan sebagai berikut :

1) Mengambil setengah genggam contoh tanah dan membuang benda asing,

misalnya akar, biji, binatang tanah, mineral dan batu sehingga menyisakan

pisahan tanah halus

Page 42: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

25

2) Menambah sedikit air dari botol air (jika tanahnya kering),

membiarkannya terserap tanah, dikepal-kepal dan diuli dengan jari

telunjuk dan ibu jari sampai kebasahannya merata dan hancur menjadi

individu-individu jarah tanah (contoh tanah yang banyak lempungnyadan

awalnya kering membutuhkan pengulian lebih intensif)

3) Menambahkan massa tanah atau air, dilakukan pengulian sampai contoh

tanah tersebut berada pada titik lekatnya yaitu suatu keadaan tanah jika

ditingkatkan kebasahaannya akan menempel pada jari-jari tangan

4) Menetapkan kelas tekstur tanah kategori detil dan kategori semi detil.

5) Membuang contoh tanah yang diuji dan membersihkan sisa-sisanya yang

menempel di tangan sebelum melakukan pemerian pada contoh tanah

lainnya.

Adapun cara pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik

uji rasa rabaan terlampir dalam panduan pada Tabel 4.

Tabel 4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik uji rasa rabaan

Penciri Kelas

Tekstur

Semi Detil

Galir dan berwujud butir-butir tunggal yang dapat dikenali dan dipisahkan segera

Perepihan massa tanah kering menyebabkan pisahan pasirnya mudah runtuh

Perepihan massa tanah lembab merangsang terbentuknya panduan tanah yang

lemah dan jika dikenai tekanan ringan akan tercerai berai

Pasir

Massa tanahnya banyak mengandung pisahan pasir tetapi kandungan pisahan

lempungnya masih cukup banyak untuk dapat memberikan sensasi kelekatan

Butir-butir pasirnya dapat dikenali dan dipisahkan segera

Perepihan massa tanah lembab akan merangsang terbentuknya paduan tanah

tanpa memperlihatkan keretakan kecuali jika dikenai tekanan

Geluh

pasiran

Massa tanahnya mengandung campuran pisahan pasir, debu, dan lempung yang

memberikan sensasi rasa agak kasar, cukup halus, dan agak plastis

Peepihan massa tanah kering merangsang terbentuknya paduan tanah cukup

mantap dan jika diuli tidak menyebabkan kehancuran

Geluh

Massa tanahnya mengandung pisahan pasir halus dalam jumlah cukup dan sedikit

pisahan lempung

Massa tanah kering membentuk gumpalan yang mudah diremukkan dengan

Geluh

debuan

Page 43: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

26

remukannya terasa gembur dan lembut serupa tepung

Massa tanah kering atau lembab dapat membentuk paduan tanah yang dapat diuli

leluasa tanpa meremukkannya

Peremasan massa tanah basah dapat membentuk pita tanah – pita tanah

panjang/tidak terputus

Massa tanah keringnya keras dan jika dihancurkan membentuk/gumpal

Pengulian massa tanah lembab akan membentuk pita tanh mudah hancur

Pengulian massa tanah basah akan plastis, membentuk paduan tanah mantap, dan

jika ditekan cenderung membentuk massa pejal/padat

Geluh

lempungan

Massa tanah kering membentuk bungkah/gumpal sangat keras

Pengulian massa tanah lembab akan membentuk pita tanah lentur dan panjang

Pengulian massa tanah basah akan agak plastis dan lekat

Lempung

Sumber : Soil Survey Staff (1975) dalam Purwowidodo (2003)

3.4 Pengolahan dan Analisa Data.

3.4.1 Pengolahan Data.

Pengolahan data adalah merupakan tahapan pekerjaan menyusun dan

merangkaikan berbagai jenis data menjadi satu susunan data yang sistematik dan

terinci menurut fungsi, klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya. Data yang

diperoleh dikelompokkan menurut jenisnya. Data yang diperoleh terdiri dari :

1. Data atribut hasil analisis data spatial.

2. Data bio-fisik hasil pengukuran, pengamatan, dan pengujian di lapangan

(tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng, ketebalan tanah)

3. Data sosial, ekonomi dan budaya, jumlah penduduk, produktivitas pertanian,

mata pencaharian, budaya dan agama, dan sebagainya

3.4.2 Analisa Data

Analisa data adalah suatu proses saling menghadapkan dua jenis data atau

lebih untuk mendapatkan hubungan informasi antara data yang satu dengan

lainnya. Hubungan informasi tersebut diperlukan untuk mengidentifikasikan

permasalahan dan alternatif pemecahannya. Hasil analisa yang diharapkan yakni

dapat teridentifikasinya faktor-faktor penyebab terjadinya longsor di Kecamatan

Babakan Madang.

Page 44: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

27

Proses analisa data spasial daerah kejadian longsor Kecamatan Babakan

Madang sebagian besar dilakukan dengan menggunakan alat (instrumen)

perangkat lunak (software) Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcView 3.2.

Proses analisa dengan menggunakan software SIG ini dapat dilaksanakan dengan

terlebih dahulu melakukan input data spasial beberapa tema yang telah dilakukan

koreksi data dari data survey lapangan.

a. Input Data Spasial (Parameter Penyebab Terjadinya Longsor).

Data spasial parameter penyebab terjadinya longsor diperoleh dari hasil analisis

terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu terjadinya

longsor, diantaranyai:

1) Kondisi Penutupan Lahan

2) Kondisi Penggunaan Lahan

3) Iklim (Cuaca, bulan basah, bulan kering)

4) Kemiringan Lereng

5) Batuan Induk (Geologi) dan

6) Kemampuan dan Kesesuaian Lahan

b. Analisis Spasial

Setelah data spasial parameter penentu faktor utama kejadian longsor

disusun, data tersebut selanjutnya dianalisis untuk memperoleh informasi

mengenai faktor utama penyebab longsor. Analisis spasial dilakukan dengan

menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penduga

penyebab longsor) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan

sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap

data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga

analisis tabular.

Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk

menghasilkan data spasial penyebab utama kejadian longsor. Untuk analisa

spasial, sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan adalah Universal

Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter sehingga

memungkinan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier

seperti jarak dan luas. Sistem proyeksi tersebut lazim digunakan dalam pemetaan

Page 45: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

28

topografi sehingga sesuai juga digunakan dalam pemetaan tematik seperti halnya

pemetaan daerah kejadian longsor.

Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan faktor penyebab

terjadinya longsor dengan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis

(SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing.

Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial

daerah kejadian longsor terdiri dari 4 tahap yaitu :

1. Tumpangsusun (Overlay) Data Spasial

Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis

(SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan overlay dengan mudah. Software tambahan

(extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView 3.2 atau

extension X-Tools yang ditambahkan ke dalam extensions software ArcView

sangat berperan dalam proses ini. Di dalam extension ini terdapat beberapa

fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti: union, dissolve, merge, clip,

intersect, asign data.

Proses overlay ini dilakukan secara bertahap dengan urutan misalnya mulai

overlay theme vegetasi dengan theme wilayah administartif kemudian hasil

overlay tersebut dioverlaykan kembali dengan theme peta lokasi kejadian longsor.

Proses ini dilakukan untuk theme-theme berikutnya dengan cara yang sama.

2. Editing Data Atribut

Editing data atribut pada intinya adalah menambah kolom (field) baru pada

atribut theme hasil overlay, hanya dilakukan apabila diperlukan.

3. Analisis Tabular

Analisis tabular ini pada prinsipnya adalah analisis terhadap atribut dari

theme hasil overlay, yang sebelumnya telah melewati tahap pengolahan dan

editing data atributnya.

4. Penyajian Data Spasial

Data secara umum adalah representasi fakta dari dunia nyata (real world).

Data dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain:

a. Bentuk Uraian (Deskriptif)

b. Bentuk Tabular

c. Bentuk Grafik dan Diagram

Page 46: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

29

d. Bentuk Peta

Penyajian data dalam bentuk uraian (deskriptif), bentuk tabular, bentuk

grafik dan diagram dapat dilihat dalam pembahasan sedangkan penyajian data

dalam bentuk peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah

kartografis yang pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa

mengabaikan unsur estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah

kartografis yang diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam

proses visualisasi data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta.

4.5 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor

Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian

didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004).

Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara

memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor.

Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena

diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor

tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi.

Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG,

diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana

tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi

dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan

kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk

menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu :

Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas

geologi) + (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas

penggunaan lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)

4.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor

Parameter penyebab tanah longsor terbagi ke dalam 5 faktor utama yaitu

faktor tanah, faktor geologi, faktor penggunaan lahan, faktor curah hujan (tipe

iklim), dan faktor lereng. Urutan pemberian skor berdasarkan dari peranan

masing-masing variabel terhadap terjadinya longsor dimana semakin tinggi nilai

Page 47: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

30

skor maka semakin besar pengaruhnya terhadap kejadian longsor. Perincian

penetapan skor dan bobot dapat dilihat pada Tabel 5 .

Tabel 5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor

PARAMETER SKOR BOBOT

FAKTOR TANAH 0,3

JENIS TANAH

V1 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan 1

V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan

dan litosol

2

TEKSTUR TANAH

V3 Lempung-Liat 1

V4 Lempung liat Berpasir 2

KEPEKAAN EROSI

V5 Tidak Erosi 1

V6 Erosi 2

KETEBALAN TANAH

V7 (0-10 m) 1

V8 (>10 – 20 m) 2

V9 (>20 – 30 m) 3

V10 (> 30 m) 4

PENGGUNAAN LAHAN 0,15

TUTUPAN VEGETASI

Tegakan Campuran/perkebunan 1

Semak Belukar 2

Kebun Campuran 3

Tak bervegetasi/gundul 4

KONDISI KEBUN CAMPURAN

Dengan Tanaman Keras 1

Tanpa Tanaman Keras 2

TIPE INFRASTRUKTUR

Pemukiman 1

Jalan 2

BANGUNAN KONSERVASI

Bronjong penahan 1

Saluran air 2

Pembuatan teras 3

Tidak ada 4

Page 48: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

31

FAKTOR LERENG 0,15

KEMIRINGAN LERENG

0-8 % 1

>8 – 15% 2

15-25% 3

25-40% 4

>40% 5

KONDISI PERBUKITAN (BENTANG LAHAN)

Datar (0-3%) 1

Berombak (3-8%) 2

Bergelombang (8-15%) 3

Berbukit (15-30%) 4

Bergunung (>30%) 5

KONDISI GEOLOGI 0,2

JENIS BATUAN

Bahan Volkanik (Qvk, Qvsl, Qvu dll) 1

Bahan Sedimen (Tmn, Tmj, Tmb, Tmbl, Tmtb) 2

KEJADIAN LONGSOR SEBELUMNYA

Tidak Pernah 1

Pernah 2

FAKTOR CURAH HUJAN (TIPE IKLIM) 0,3

Tipe Iklim Kering

(CH 1.000 – 2.000 mm/tahun)

1

Tipe Iklim Sedang

(CH 2.000 – 2.500 mm/tahun)

2

Tipe Iklim Basah

(CH 2.500 – 3.000 mm/tahun)

3

Tipe Iklim Sangat Basah

(CH >3. 000 mm/tahun

4

Sumber : Sitorus (2006); Rejekiningrum (2007); Subhan (200

Page 49: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

32

Tabel 6. Parameter Penduga Longsor yang Diamati

Indikator Parameter Skor Ket.

Jenis Tanah

V1 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan 1 Data Peta

V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol

coklat kemerahan dan litosol

2

Tektur Tanah V3 Lempung-Liat 1 PL

V4 Lempung liat Berpasir 2

Kondisi Erosi V5 Tidak Erosi 1 Data Peta

V6 Erosi 2

Ketebalan tanah V7 (0-10 m) 1 PL

V8 (>10 – 20 m) 2

V9 (>20 – 30 m) 3

V10 (> 30 m) 4

Tutupan Vegetasi V11 Tegakan Campuran 1 PL

V12 Semak Belukar 2

V13 Kebun Campuran 3

V14 Lahan Kosong/Lap. Rumput 4

Kebun campuran V15 Dengan tanaman keras 1 PL

V16 Tanpa tanaman keras 2

Tipe Infrastruktur V17 Pemukiman 1 PL

V18 Jalan 2

Bangunan

Konservasi Tanah

dan Air

V19Bronjong penahan 1 PL

V20 Saluran air 2

V21 Pembuatan teras 3

V22 Tidak ada 4

Kemiringan Lereng V23 0-8% 1 PL

V24 >8-15% 2

V25 >15-25% 3

V26 >25-40% 4

V27 >40% 5

Kondisi Perbukitan V28Datar 1 PL

V29 Berombak 2

V30 Bergelombang 3

V31 Berbukit 4

V32 Bergunung 5

Jenis Batuan V33 Batuan Gunung Api 1 Data Peta

V34 Batuan Sedimen 2

Page 50: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

33

Sejarah Kejadian

Longsor

V35 Tidak Pernah 1 Wa

V36 Pernah 2

Kondisi Cuaca (curah

hujan)

V37 Kering 1 Data Peta

V38 Sedang 2

V39 Basah 3

V 40 Sangat Basah 4

Ket : Data Peta : Hasil Pengolahan Peta Digital (berbagai layer)

PL : Pengamatan atau pengujian lapangan

Wa : Wawancara

Page 51: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Wilayah studi Kecamatan Babakan Madang terletak di bagian Timur

Kabupaten Bogor. Menurut analisis data spasial yang dikeluarkan oleh Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, Kecamatan

Babakan Madang meliputi areal seluas kira-kira 9181 hektar, terbentang antara

6°30’ - 6°39’ LS dan 106°50’-106°58’ BT dengan batas-batas geografis sebagai

berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Citeureup

Sebelah Selatan : Kecamatan Megamendung

Sebelah Timur : Kecamatan Sukamakmur

Sebelah Barat : Kecamatan Sukaraja

Secara admisnistratif Kecamatan Babakan Madang meliputi 9 desa yaitu

Desa Babakan Madang, Bojongkoneng, Cijayanti, Cipembuan, Citaringgul,

Kadumanggu, Karang Tengah, Sentul, dan Sumur Batu. Adapun luasan

administratif dari tiap-tiap desa terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Luasan Administratif Tiap Desa di Kecamatan Babakan Madang

No. Desa Luasan (ha)

1 Babakan Madang 328,178

2 Bojongkoneng 1.884,795

3 Cijayanti 1.684,178

4 Cipembuan 250,159

5 Citaringgul 362,574

6 Kadumanggu 497,102

7 Karangtengah 3.554,845

8 Sentul 359,192

9 Sumurbatu 260,067

Jumlah 9.181,090

Sumber : Peta Wilayah Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor

(Diolah)

Page 52: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

35

4.2 Topografi

Kecamatan Babakan Madang dilewati beberapa sungai-sungai yang

memiliki debit air cukup besar seperti Sungai Cilaya, Sungai Ciherang, Sungai

Ciwangun, Sungai Cijayanti, Sungai Cikeruh, Sungai Cibatu dan Sungai Cileungsi

serta dikeliling beberapa gunung seperti Gunung Pancar (864 mdpl), Gunung

Hambalang, Gunung Astana, dan Gunung Wangun sehingga menyebabkan

Kecamatan Babakan Madang mempunyai ketinggian yang sangat bervariasi yaitu

antara 100 – 1.750 m dpl. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 8. Karakteristik

topografi Kecamatan Babakan Madang scecara umum berada pada daerah dengan

kemiringan lereng beragam. Wilayah dengan kelerengan datar (0-8%) memiliki

luasan terbesar yakni meliputi 40,5 % dari total wilayah, diikuti wilayah dengan

kelerengan landai 21,4 % dari total wilayah, curam 21,2 %, agak curam (15,9 %)

dan sangat curam (1,11 %) seperti yang tertulis dalam Tabel 9, sedangkan sebaran

kemiringan lereng pada tiap-tiap desa dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 8. Ketinggian Wilayah Daerah Kecamatan Babakan Madang

No Ketinggian Luas (ha) Persentase (%)

1 1.500 m – 1.750 m 18,5300 0,16

2 1.250 m – 1.500 m 243,5130 2,17

3 1.000 m – 1.250 m 687,2270 6,11

4 750 m – 1.000 m 826,9520 7,35

5 500 m – 750 m 1.527,7340 13,6

6 250 m – 500 m 3.864,0530 34,4

7 100 m – 250 m 4.079,4960 36,3

Total 11.247,505 100

Sumber : Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Tabel 9. Kelas Lereng dan Luasannya di Kecamatan Babakan Madang

No. Kelas Lereng (%) Jumlah (Ha) Persentase (%)

1 0-8 3.714,6270 40,5

2 8-15 1.961,4300 21,4

3 15-25 1.459,4470 15,9

4 25-45 1.943,7262 21,2

5 > 45 101,7410 1,11

Total 9.181,090 100

Sumber : Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Page 53: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

36

Tabel 10. Kelas Kemiringan Lereng

Desa Kelas Kemiringan Lereng

Datar

(0-8%)

Landai

(8-15%)

Agak Curam

(15-25%)

Curam

(25-45%)

Sangat Curam

(> 45%)

Karang Tengah 679,9330 527,1530 847,7870 1.424,1000 75,7970

Bojong Koneng 447,9620 575,6480 356,9870 479,4640 24,7020

Cijayanti 911,5720 615,8990 140,9370 15,5030 0,2500

Sumur Batu 172,2670 59,2920 23,2090 4,7990 0,5000

Babakan

Madang

211,3860 66,8380 43,6290 6,3200 -

Cipembuan 232,5810 11,5950 3,7130 2,0310 0,2420

Citaringgul 251,5700 66,5960 35,9690 8,1860 0,2500

Kadumanggu 462,3690 29,7680 3,9020 1,0600 -

Sentul 344,9870 8,6410 3,3140 2,2500 -

Sumber : Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Page 54: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

37

PETA KELAS LERENG

KECAMATAN BABAKAN MADANG

N

EW

S

Skala 1 : 31.000

Legenda :

Lokasi Pen elitianSkala 1 : 450.000

Peta Administrasi Kabupaten Bogor

Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor

Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 )

Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan IPB

2008

704 000

704 000

706 000

706 000

708 000

708 000

710 000

710 000

712 000

712 000

714 000

714 000

716 000

716 000

718 000

718 000

720 000

720 000

926

400

0 92640

00

926

600

0 92660

00

926

800

0 92680

00

927

000

0 92700

00

927

200

0 92720

00

927

400

0 92740

00

927

600

0 92760

00

927

800

0 92780

00

928

000

0 92800

00

928

200

0 92820

00

##

##

#

#

##

#

#

# #

#

##

##

##

##

#

##

Kelas Lereng0-8

15-25

25-45

8-15

>45

Lokasi Longsor Bds Tk. Kerawanan# Rendah# Sedang# Tinggi

Gambar 2. Peta Kelas Lereng Kecamatan Babakan Madang

Page 55: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

38

4.3 Klimatologi

Secara umum, keadaan iklim Kecamatan Babakan Madang relatif sama

dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan

Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis tipe A (sangat basah)

di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Suhu udara berkisar antara

20-30 C, wilayah Selatan Kabupaten Bogor memiliki hawa yang sejuk sedangkan

bagian Utara memiliki hawa yang panas. Curah hujan tahunan 2.500 - 5.000

mm, kecuali di wilayah bagian Utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta,

Kabupaten Tangerang dan Bekasi curah hujannya kurang dari 2.500 mm/tahun,

karena itulah Kabupaten Bogor mendapat sebutan sebagai kota hujan. Curah hujan

tinggi terjadi pada wilayah bagian Selatan yang merupakan bentang pegunungan

yaitu di Kecamatan Caringin, Cijeruk, Tamansari, Pamijahan, Leuwiliang,

Nanggung dan Kecamatan Sukajaya sebanyak 4.000-5.000 mm/tahun.

Data curah hujan bulanan pada daerah penelitian berdasarkan data

Pencatatan Data Curah Hujan pada Stasiun Cibinong dan Stasiun Cibongas

masing-masing dapat dilihat pada Tabel 11-12 dan Tabel 13-14.

Tabel 11. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong (1994-2007)

Bulan Curah Hujan

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Januari 751 500 - 207 - 506 282

Februari 221 497 416 86 - - 161

Maret 427 152 165 95 102 - 117

April 366 - 112 233 376 - 156

Mei 52 113 71 127 - 180 358

Juni 76 268 37 7 481 249 159

Juli 7 88 - - 371 137 85

Agustus 33 5 - 15 264 197 241

September 45 - - - 289 72 242

Oktober 31 328 426 - - 294 84

November 493 306 254 277 - 149 460

Desember - 284 - * - 242 349

Jumlah 2502 2541 1481 1047 1883 2026 2694

Rata-rata 209 212 123 87 157 169 225

Page 56: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

39

Tabel 12. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 (lanjutan)

Bulan Curah Hujan

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Rata2

Januari 219 742 212 286 491 763 489 5448 389

Februari 345 316,5 322 464 491 535 610 3014 215

Maret 403 384 127 207 441 448 81 2405 172

April 181 401 194 336 192 344 298 2711 194

Mei 83 140 87 153 202 278 174 1782 127

Juni 109 68 73 24 401 55 203 1829 131

Juli 95 76 4 68 97 56 178 1167 83.4

Agustus 48 82 - 15 124 15 116 1117 79.8

September 62 94 - 93 35 21 - 908 64.9

Oktober 417 83 291 265 303 90 222 2049 146

November 347 158 213 352 258 169 174 2557 183

Desember 498 171 249 637 178 550 ** 2874 205

Jumlah 2807 2399 1772 2900 3213 3324 2545 27861 1990

Rata-rata 234 200 148 242 268 277 212 2322 166

Tabel 13. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas (1994-2007)

Bulan Curah Hujan

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Januari - 473 - 207 - - **

Februari 220 360 416 86 - 386 **

Maret 525 - 165 95 102 227 **

April 631 306 112 233 376 234 **

Mei 328 290 71 127 - 585 **

Juni - 464 37 7 481 350 **

Juli 3 132,5 - - 371 229 **

Agustus 54 - - 15 264 168 **

September 171,9 250 - - 289 73 **

Oktober 469 586 426 - - - **

November 480 490 254 277 - 357 **

Desember - 205 - * - 235 **

Jumlah 2710 3424 1481 1047 1883 2844

Rata-rata 226 285 123 87 157 237 0

Page 57: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

40

Tabel 14. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 (lanjutan)

Bulan Curah Hujan

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Rata2

Januari 219 742 212 286 491 763 489 5448 389

Februari 345 316,5 322 464 491 535 610 3014 215

Maret 403 384 127 207 441 448 81 2405 172

April 181 401 194 336 192 344 298 2711 194

Mei 83 140 87 153 202 278 174 1782 127

Juni 109 68 73 24 401 55 203 1829 131

Juli 95 76 4 68 97 56 178 1167 83.4

Agustus 48 82 - 15 124 15 116 1117 79.8

September 62 94 - 93 35 21 - 908 64.9

Oktober 417 83 291 265 303 90 222 2049 146

November 347 158 213 352 258 169 174 2557 183

Desember 498 171 249 637 178 550 ** 2874 205

Jumlah 2807 2399 1772 2900 3213 3324 2545 27861 1990

Rata-rata 234 200 148 242 268 277 212 2322 166

Sumber : Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor

Keterangan : * : Rusak

- : Tidak Ada Hujan

** : Data Belum Masuk

4.4 Karakteristik Tanah

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengolahan Peta Tanah Tinjau

Kabupaten Bogor tahun 2005, terdapat beberapa jenis tanah di Kecamatan

Babakan Madang, dengan jenis tanah yang memiliki luasan terbesar yaitu asosiasi

latosol coklat dan latosol kemerahan (50,01%) dan kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol (38,4 %), lihat Tabel 15.

Sedangkan kedalaman tanah efektif di wilayah studi juga memiliki variasi antara

kurang dari 30 cm sampai lebih dari 90 cm seperti terlihat pada Tabel 16.

Page 58: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

41

Tabel 15. Luasan Jenis Tanah di Kecamatan Babakan Madang.

No. Jenis Tanah Luas (ha) Persentase

(%)

1 Asosiasi Latosol Merah Latosol Coklat Kemerahan 994,1660 10,83

2 Asosiasi Latosol Coklat Latosol Kemerahan 4.591,8600 50,01

3 Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat

Kemerahan dan Litosol 3.525,3170 38,4

4 SNG 69,7470 0,76

Jumlah 9.181,090 100

Sumber : Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Tabel 16. Sebaran Kedalaman Tanah Efektif di Daerah Penelitian

No. Kedalaman Efektif (cm) Kriteria Luas (ha) Persentase (%)

1 < 30 Sangat dangkal 69,7450 0,76

2 30-60 Dangkal 767,3050 8,36

3 60-90 Sedang 5.040,1150 54,9

4 > 90 Dalam 3.303,9250 36

Total 9.181,090 100

Sumber : Laboratorium Inventarisasi Hutan, Fahutan IPB

Adapun sebaran karakteristik tanah di daerah penelitian berdasarkan kelas

tekstur tanah dan kepekaannya terhadap erosi terlihat pada Tabel 17 dan Tabel 18.

Tabel 17. Kelas Tekstur Tanah di Daerah Penelitian

No. Tektur Tanah Keterangan Luas (ha) Persentase (%)

1 Halus Liat berpasir-liat-liat berdebu 5.310,4670 57,84

2 Sedang Lempung berpasir sangat

halus-lempung-lempung

berdebu-debu

3.800,8820

41,4

3 Unclass Badan-badan air 69,7410 0,76

Jumlah 9.181,090 100

Sumber : Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Page 59: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

42

Tabel 18. Keadaan Erosi di Daerah Penelitian

No. Keadaan Erosi Luas (ha) Persentase (%)

1 Erosi 1.084,8320 11,82

2 Tidak erosi 8.026,5170 87,42

3 Unclass 69,7410 0,76

Total 9.181,090 100

Sumber : Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

4.5 Penutupan Lahan

Data penutupan lahan tahun 2005 di Kecamatan Babakan Madang

menunjukkan bahwa kawasan kebun campuran dan semak belukar merupakan

bentuk penutupan lahan yang terluas yaitu meliputi luasan lebih kurang 5.860,

7540 ha atau sekitar 63,8 % dari luas total wilayah. Penggunaan lahan lain yang

relatif luas adalah hutan/vegetasi lebat (12,2%) dan pemukiman (5,7%). Luasan

tiap tipe penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Luasan Penutupan Lahan di Kecamatan Babakan Madang

No. Tipe Penutupan Lahan Luas (ha) Persentase

1 Kebun Campuran/Semak Belukar 5.860,7540 63,8

2 Hutan /Vegetasi Lebat 1.118,9460 12,2

3 Perkebunan 281,3015 3,06

4 Pemukiman/Perkampungan 522,9800 5,7

5 Lahan-Lahan Kosong 16,1930 0,18

6 Sawah Irigasi 152,9560 1,67

7 Kawasan Industri 47,8420 0,52

8 Badan-Badan Air 7,8000 0,08

9 Unclass (Awan dan Bayangannya) 1.172,3220 12,8

Jumlah 9.181,090 100

Sumber : Peta Penutupan Lahan (Landuse) Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor

(Diolah)

Page 60: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

43

PETA TUTUPAN LAHAN

KECAMATAN BABAKAN MADANG

Skala 1 : 31.000

Legenda :

Lok asi Peneli tianSkala 1 : 450.000

Peta Administrasi Kabupaten Bogor

Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor

Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 )

Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan IPB

2008

704 000

704 000

706 000

706 000

708 000

708 000

710 000

710 000

712 000

712 000

714 000

714 000

716 000

716 000

718 000

718 000

720 000

720 000

92

64

00

0

92

64

00

0

92

66

00

0

92

66

00

0

92

68

00

0

92

68

00

0

92

70

00

0

92

70

00

0

92

72

00

0

92

72

00

0

92

74

00

0

92

74

00

0

92

76

00

0

92

76

00

0

92

78

00

0

92

78

00

0

92

80

00

0

92

80

00

0

92

82

00

0

92

82

00

0

##

##

#

#

##

#

#

# #

#

####

##

# #

#

##

N

EW

S

Tutupan Lahan

Awan (no data)

Badan-badan air

Bayangan awan (no data)

Hutan/vegetasi lebat

Kawasan Industri

Kebun campuran/semak belukar

Lahan-lahan kosong

Perkebunan

Permukiman/perkampungan

Sawah irigas i

Lokasi Longsor Bds. Tk. Kerawanan

# Rendah

# Sedang

# Tinggi

Gambar 3. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Babakan Madang

Page 61: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

44

Sedangkan penggunaan lahan yang paling dominan seperti terlihat pada

Tabel 20 adalah hutan dengan luasan 3.026,65 ha atau sekitar 32,89 % dari luas

total wilayah. Penggunaan lahan lainnya yang relatif luas yaitu kebun campuran

(18,1 %), tegalan (17,47 %), pemukiman (12,48 %), dan tanah kosong (9,64 %).

Ditinjau dari penyebaran penutupan lahan, kebun campuran dan semak belukar

mendominasi di semua bentang lahan mulai dari lahan dengan kemiringan datar

sampai dengan sangat curam. Penutupan lahan lainnya yang memiliki luasan

relatif besar di semua karakteristik lereng adalah hutan/vegetasi lebat.

Tabel 20. Luasan Landuse (Penggunaan Lahan) di Kecamatan Babakan Madang

No. Jenis Landuse Luasan (ha) Persentase

1 Emplasemen Tetap 3,7510 0,041

2 Hutan Belukar 0,4850 0,005

3 Hutan Lebat 2,423,8290 26,4

4 Hutan Sejenis Buatan 595,5260 6,486

5 Industri 14,5770 0,159

6 Kebun Campuran 1.661,5580 18,1

7 Keburan 4,8210 0,053

8 Lapangan Golf 114,8550 1,251

9 Lapangan Olah Raga 12,6790 0,138

10 Perkampungan 726,9180 7,918

11 Perumahan 418,3030 4,556

12 Rumput 18,3810 0,2

13 Sawah 1x Padi/tahun 0,1180 0,001

14 Sawah 2x Padi/tahun 624,8530 6,806

15 Semak 0,8590 0,009

16 Sungai/danau/setu/waduk 69,7450 0,76

17 Tanah kosong diperuntukkan 885,3260 9,643

18 Tanah rusak 0,2270 0,002

19 Tegalan 1.604,2790 17,47

Total 9.181,090 100

Sumber : Peta Penggunaan Lahan (Landuse) Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor

(Diolah)

Page 62: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

45

4.6 Batuan dan Geologi

Secara geologis sebagian besar lahan Kecamatan Babakan Madang tersusun

dari batuan gunung api berupa produk gunung api muda dan gunung api tua

(endapan breksi, lahar, lava, tufa) yang meliputi 36 % wilayah, batuan sedimen

(47 % wilayah), serta sedikit gamping, endapan permukaan, dan batuan intrusi.

(Tabel 21).

Tabel 21. Karakteristik Geologi di Kecamatan Babakan Madang

No. Klasifikasi

Geologis

Jenis Batuan Deskripsi Luas (ha) Persentase

(%)

1 QVK Batuan

Gunung Api

Bongkahan andesit dan breksi

andesit dengan banyak sekali

fenokris piroksen dan lava

basal

3.290,7980 35,84

2 Qa Endapan

Permukaan

Aluvium, lempung, lanau,

kerikil, dan kerakal, terutama

endapan sungai termasuk pasir

dan kerikil endapan

682,2130 7,43

3 Qav Endapan

Permukaan

Kipas alluvium, terutama

lanau, batu pasir, kerikil, dan

kerakal dari batuan gunung api

kuarter, diendapkan kembali

sebagai kipas alluvium

847,5290 9,23

4 Tmj Batuan

Sedimen

Napal dan serpih lempungan,

dan sisipan batu pasir kuarsa

4.280,033 46,62

5 a Batuan

Terobosan

Andesit dengan oligoklos-

andesin, augit, hipesiten, dan

horenblenda, membentuk

sumbat dan retas

80,5170 0,88

Total 9.181,090 100

Sumber : Peta Geologi Bersistem, Indonesia. Lembar Bogor, 9/XIII-D atau 1209-1. Skala 1:

100.000

Page 63: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

47

PETA GEOLOGI

KECAMATAN BABAKAN MADANG

N

EW

S

Skala 1 : 31.000

Legenda :

Lok asi Peneli tianSkala 1 : 450.000

Peta Administrasi Kabupaten Bogor

Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor

Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 )

Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan IPB

2008

704 000

704 000

706 000

706 000

708 000

708 000

710 000

710 000

712 000

712 000

714 000

714 000

716 000

716 000

718 000

718 000

720 000

720 000

92

64

00

0

92

64

00

0

92

66

00

0

92

66

00

0

92

68

00

0

92

68

00

0

92

70

00

0

92

70

00

0

92

72

00

0

92

72

00

0

92

74

00

0

92

74

00

0

92

76

00

0

92

76

00

0

92

78

00

0

92

78

00

0

92

80

00

0

92

80

00

0

92

82

00

0

92

82

00

0

##

##

#

#

##

#

#

# #

#

####

##

##

#

##

Jenis Batuan

QVK

Qa

Qav

Sungai Cileungsi

TMJ

Tmj

a

Lokasi Longsor Bds. Tk Kerawanan

# Rendah

# Sedang

# Tinggi

Gambar 4. Peta Geologi Kecamatan Babakan Madang

Page 64: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

48

Sedangkan berdasarkan Peta Digital Sebaran Geologi Kabupaten Bogor,

jenis batuan induk di daerah penelitian terlampir seperti pada Tabel 22.

Tabel 22. Jenis Batuan Induk di Daerah Penelitian

No. Jenis Batuan Luasan (ha) Persentase (%)

1 Gunung api muda 4.030,5 43,9

2 Gunung api tua 3.583,146 39

3 Endapan permukaan 1.425,3720 15,5

4 Batu gamping 1.42,072 1,55

Total 9.181,090 100

Sumber : Peta Sebaran Geologi Kab. Bogor, Badan Perencanaan Daerah Kab. Bogor.

4.7 Keadaan Sosial Ekonomi

Sosial dan Budaya

Kecamatan Babakan Madang berpenduduk campuran suku Sunda, Suku

Jawa, dan keturunan Cina dengan dominasi suku Sunda.

Struktur dan Jumlah Penduduk

Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kecamatan Babakan Madang sebanyak

72.828 jiwa yang terdiri dari 36.967 laki-laki dan 35.861 perempuan, dengan

tingkat kepadatan penduduk sebesar 738 jiwa/km2. Di Kecamatan Babakan

Madang tercatat jumlah rumah tangga yang ada mencapai 25.208 rumah tangga,

dengan 198 Rukun Tetangga (RT) dan 49 Rukun Warga (RW).

Mata Pencaharian

Pada tahun 2003 tercatat sebagian besar penduduk memiliki mata

pencaharian yang bergerak di sektor perdagangan sebanyak 5.385 jiwa, sektor

pertanian sebanyak 5.406 jiwa, industri sebanyak 1.545 jiwa, angkutan sebanyak

1.343 jiwa, konstruksi sebanyak 124 jiwa, jasa-jasa sebanyak 3.774 jiwa,

pertambangan dan galian sebanyak 321 jiwa, dan pada sector lainnya sekitar 7.310

jiwa.

Dalam sektor pertanian, komoditas yang dibudidayakan adalah umbi-

umbian seperti singkong (ubi kayu) dan ubi jalar; sayuran seperti jagung, kacang

Page 65: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

49

tanah, kacang panjang timun; dan buah-buahan (mangga,pepaya, sawo, pisang,

dan rambutan). Adapun komoditas utama yang paling banyak dihasilkan

masyarakat setempat adalah umbi-umbian dan pisang. Hasil pertanian pisang

menyumbang 90,23 % (192.580 kg) komoditas buah-buahan pada tahun 2003.

Sedangkan umbi-umbian menyumbang hasil sebanyak 13.795 kg dan sayuran

15.172,2 kg. (BPS, 2003)

Agama

Di Kecamatan Babakan Madang hingga tahun 2006 fasilitas peribadatan

berupa masjid berjumlah 66 buah dan musholla 176 buah. Sedangkan jumlah

penduduk berdasarkan agama yang dianut pada tahun 2003 terdiri dari pemeluk

agama Islam sebanyak 72.219 jiwa, Katolik sebanyak 66 jiwa, Protestan sebanyak

463 jiwa, Hindu sebanyak 21 jiwa dan pemeluk agama Budha sebanyak 59 jiwa

(Kabupaten Bogor dalam Angka 2007). Kerukunan hidup antar umat beragama

tumbuh dan berkembang dengan baik, terlihat dari tidak adanya kasus kerusuhan

sosial yang bernuansa agama ataupun potensi konflik yang muncul akibat dari isu

SARA.

Pendidikan

Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Babakan Madang terdiri dari

1 Sekolah Taman Kanak-Kanak Negeri, 44 SD Negeri, 1 SLTP Negeri, 2 SD

Swasta, 3 SLTP Swasta, 1 SLTA Negeri, 1 SLTA Swasta 30 Madrasah Ibtidaiyah,

dan 4 Madrasah Tsanawiyah. Adapun tingkat pendidikan yang ditempuh

penduduk Kecamatan Babakan Madang beragam. Penduduk yang tidak tamat SD

atau sederajat sebanyak 12.238 orang, tamat SD sebanyak 24.131 orang, tamat

SLTP 6.989 orang, tamat SLTA sebanyak 980 orang, tamat akademi sebanyak 80

orang, tamat universitas sebanyak 39 orang, dan penduduk yang belum sekolah

sebanyak 28.371 orang.

Page 66: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor

Kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang terjadi di 3 desa yaitu

Desa Karang Tengah, Desa Bojong Koneng, dan Desa Cijayanti. Di Desa Karang

Tengah ditemukan 8 kasus kejadian longsor yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan

Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (2 kasus), Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp.

Wangun 3, dan Kp. Cimandala. Di Desa Bojong Koneng ditemukan 13 lokasi

kejadian longsor yang tersebar di Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu

babakan, Kp. Gunung Batu Kidul (3 kasus), Kp. Curug (4 kasus), Kp. Gombong

(2 kasus), dan Kp. Cikeas (2 kasus). Sedangkan di Desa Cijayanti kasus kejadian

longsor ditemukan di Kp. Cijayanti dan Kp. Legok Banteng (2 kasus).

Gambar 5. Longsor tipe nendatan/slump (kiri) di Kp. Gombong (3) dan tipe amblesan/penurunan

tanah (kanan) di Kp. Cikeas (1)

Page 67: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

51

Page 68: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

52

5.2 Karakteristik Longsor pada Wilayah Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan pada 24 titik longsor, terdapat 2 karakteristik

longsor yang ditemukan, yaitu 1) nendatan (slump) dan 2) penurunan tanah/

amblesan (subsidence). Rekapitulasi hasil pengamatan ke 24 titik longsor tersebut

disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Karakteristik Longsor dan Tutupan Lahannya

Tipe Longsor Penutupan Lahan Lokasi Frekuensi

Ditemukan

(kasus)

Persentase (%)

Nendatan

(Slump)

Kebun campuran Kp. Cilaya, Kp. Wangun

Landeuh (1), Kp. Wangun 1,

Kp. Cimandala, Kp. Cikeas

(2), Kp. Legok Banteng (2)

6 37,5

Lahan gundul Kp. Babakan Ngantai, Kp.

Gunung Batu Kidul (3), Kp.

Curug (2) , Kp. Cijayanti

4 25

Alang-alang dan

semak

Kp. Wangun Landeuh (2),

Kp. Wangun 2, Kp. Wangun

3, Kp. Gombong (2 titik), Kp.

Curug (1)

6 37,5

Total 16 16 100

Amblesan/Penur

unan tanah

(subsidence)

Kebun campuran Kp. Garungsang Pasir, Kp.

Curug (3)

2 25

Tegakan

campuran

Kp. Gunung Batu Kidul (1),

Kp. Gunung Batu Kidul (2),

Kp. Legok Banteng (1)

Kp. Gunung Batu Babakan,

Kp. Curug (4), Kp. Cikeas (1)

6 75

Total 8 8 100

Sumber : Data Primer (Diolah)

Tipe longsor nendatan (slump) merupakan tipe gerakan tanah luncuran ke

bawah berupa perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang

tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang umumnya

berbentuk lengkung (rotasional). Longsoran tipe ini berkomposisi material yang

Page 69: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

53

kaya akan liat dan mengambang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya

gaya kohesi antar butir tanah. Di samping itu, kondisi lokal penelitian yang

berbukit-bukit dan memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini

banyak ditemukan. Di samping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan

pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air

menyebabkan resiko terjadinya tanah longsor setiap tahun terus meningkat.

Gambar 7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong (4) (kiri) dan

Longsor dengan penutupan kebun campuran pada tepi jalan di Kp. Cikeas (1)

Nendatan (slump) ini disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang

terdapat pada lereng perbukitan yang terjal berupa pembukaan lahan untuk

bercocok tanam tanpa menerapkan upaya konservasi tanah, pembangunan

infrastruktur berupa jalan dan rumah (pemukiman) yang memotong/memapas

lereng, serta kondisi penutupan lahan yang tidak mendukung stabilnya agregat

tanah terutama terjadi saat hujan lebat yang relatif lama. Saat musim penghujan

tanah-tanah yang diolah ini tidak mampu lagi menahan beban yang terdapat di

atasnya, di samping itu mekanisme dari dalam tanah ikut mendorong terjadinya

longsor, yaitu adanya lapisan tanah yang kedap air sehingga membuat badan

lereng bergerak ke bawah (akibat bertambahnya beban).

Tata guna lahan pada daerah kejadian longsor dengan karakteristik nendatan

ini umumnya berupa kebun campuran, semak belukar, atau lahan kosong pada

lereng bagian atas sedangkan di bagian bawah tebing berupa bangunan

infrastruktur baik berupa pemukiman ataupun jalan. Sedangkan daerah kejadian

Page 70: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

54

longsor dengan karakteristik amblesan (subsidence) tataguna lahan umumnya

berupa pemukiman penduduk, kebun campuran dan tegakan campuran pada

bagian atas lereng sedangkan di kaki lerengnya berupa lembah bukit dan lembah

sungai.

5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor

5.3.1 Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan area kejadian longsor di daerah

penelitian seperti yang tertera dalam Tabel 24, ada empat tipe tata guna lahan

berupa penutupan vegetasi yang ditemukan yaitu kebun campuran, semak

belukar, lahan gundul, dan tegakan campuran.

Tabel 24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor

Penutupan Lahan Lokasi Frekuensi

Ditemukan (kasus)

Persentase

(%)

Kebun campuran Kp. Cilaya, Kp. Wangun

Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp.

Cimandala, Kp. Garungsang

Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas,

Kp. Legok Banteng

8 33,3

Semak belukar Kp. Wangun Landeuh, Kp.

Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp.

Curug, Kp. Gombong (2 titik),

6 25

Lahan Gundul Kp. Babakan Ngantai, Kp.

Gunung Batu Kidul, Kp.

Curug, Kp. Cijayanti

4 16,7

Tegakan campuran Kp. Gunung Batu Kidul, Kp.

Legok Banteng

Kp. Gunung Batu Babakan, Kp.

Gunung Batu Kidul, Kp.

Curug, Kp. Cikeas

6

25

Total 24 100

Sumber : Diolah dari data primer

Page 71: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

55

Tipe penutupan lahan kebun campuran paling sering ditemukan pada daerah

kejadian longsor. Dari 24 kasus longsor, terdapat 8 titik kejadian longsor atau

sekitar 33,3% yang penutupan lahannya berupa kebun campuran yaitu di Kp.

Cilaya, Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp. Cimandala, Kp. Garungsang

Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas, dan Kp. Legok Banteng. Jenis tanaman yang

mengisi kebun campuran ini biasanya terdiri dari tanaman singkong, pisang,

nanas, dan pandan. Jenis tanaman kebun campuran yang bertajuk kecil dan sangat

jarang (kurang rapat) menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan

lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya

tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah.

Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya

longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki

perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah

yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat

tanah. Apalagi perakarannya berupa perakaran serabut yang relatif kurang kuat

menghujam dan mengikat tanah sehingga mudah tergoyahkan jika terjadi hujan

deras yang berangin kencang.

Sebagian kebun campuran yang terdapat di lokasi kejadian longsor

merupakan hasil perambahan masyarakat setempat terhadap tegakan pinus yang

ada. Perubahan tata lahan dengan mengganti tanaman keras seperti pinus ini

menjadi tanaman semusim menyebabkan resiko longsor menjadi lebih besar.

Tanaman semusim membutuhkan tanah yang gembur, padahal tanah yang gembur

menyerap air permukaan dengan baik, sehingga saat hujan datang air permukaan

ini akan terus terserap dan menjenuhi tanah sehingga beban tanah bertambah yang

beresiko menyebabkan terjadinya longsor.

Page 72: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

56

Gambar 8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian longsor

di Kp. Wangun 1

Berdasarkan data dari KPH Bogor Kabupaten Bogor ada beberapa titik

longsor yang terjadi di kawasan hutan dan penyebab utama kejadian longsor

tersebut adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Adapun luasan total dari perambahan hutan pinus oleh masyarakat adalah seluas

180,9 ha. Areal perambahan tersebut digunakan masyarakat setempat untuk lahan

kebun campuran (berupa tanaman singkong dan pisang) dan lahan pemukiman.

Hal ini makin diperparah karena mereka membangun pemukiman dan kebun

campuran tersebut di lokasi dengan kelerengan curam hingga sangat curam dan

tanpa pengelolaan yang sesuai. Kejadian longsor di kawasan hutan ditemukan di

kawasan hutan pinus yang dikelola Perhutani, tepatnya di Kelompok Hutan

Hambalang Barat, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Kejadian

longsor tersebut terjadi pada petak 17 di Kp. Cibingbin dan petak 20 di Kp. Muara

Desa Bojong Koneng dengan luasan longsor masing-masing sebesar 10 ha dan 3

ha. Sedangkan di Desa Karang Tengah terjadi pada petak 15 dan petak 16 di Kp.

Cimandala dan pada petak 4 di Kp. Wangun 2 dengan luasan longsor masing-

masing sebesar 7 ha dan 15 ha.

Page 73: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

57

Penutupan lahan kedua yang banyak ditemukan pada lokasi kejadian

longsor adalah alang-alang dan semak belukar yang ditemukan di 6 titik kejadian

longsor yaitu di Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp.

Curug, dan 2 titik di Kp. Gombong. Semak belukar yang paling banyak

ditemukan adalah paku-pakuan, alang-alang, jenis rumput-rumputan, dan sedikit

tanaman keras seperti cengkeh atau pinus. Sebagian semak belukar tersebut

sebelumnya adalah berupa tegakan hutan pinus, namun karena perawatan yang

tidak intensif dan adanya perambahan hutan oleh masyarakat setempat, tegakan

pinus tersebut terlantar dan berubah menjadi semak belukar. Menurut petugas

KPH Bogor, hal itu dimungkinkan karena areal tersebut merupakan lahan

sengketa yang sampai kejadian longsor tersebut berlangsung sengketanya belum

terselesaikan, akibatnya berpengaruh pada terhambatnya perawatan dan

penanaman pada areal tersebut.

Berdasarkan analisis Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005,

hampir 64% penutupan lahan di wilayah Kecamatan Babakan Madang berupa

kebun campuran dan semak belukar. Jumlah ini mengalami peningkatan

signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 luasan kebun

campuran dan semak belukar hanya meliputi 46,36 % wilayah Kecamatan

Babakan Madang dan pada tahun 2003 sebesar 46,44 %. Peningkatan luas kebun

campuran dan semak belukar ini diikuti penurunan luasan hutan dan perkebunan.

Selama periode 2000 – 2005 luasan hutan menurun dari 1.452,5570 ha atau 15,82

% dari luasan wilayah Kecamatan Babakan Madang menjadi hanya sekitar

1118,9460 ha atau 12,2 % dari luasan wilayah. Sedangkan luasan perkebunan

menurun dari 815,4170 ha (8,88 %) menjadi 281,3020 ha (3,06 %). Banyaknya

perubahan penutupan vegetasi ini (sebagai tutupan lahan) dari areal tegakan hutan

atau vegetasi lebat menjadi kebun campuran, semak belukar, pemukiman, atau

menjadi lahan kosong akan sangat berpengaruh besar terhadap kestabilan lereng

terutama terutama pada areal hutan yang diubah menjadi lahan pertanian

(agricultural), sehingga menyebabkan Kecamatan Babakan Madang selalu

mengalami kejadian longsor tiap tahunnya. Dan dalam kenyataanya, deforestasi

yang terjadi pada lahan-lahan berlereng selalu diikuti kejadian longsor. Selain itu,

kegiatan manusia lainnya seperti penambangan, pembangunan jalan dan

Page 74: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

58

pemukiman dengan memotong/memapas lereng/bukit atau mengubah tata lahan

pertanian juga mendorong terjadinya bencana longsor.

Penutupan lahan lainnya yaitu lahan kosong, lahan yang arealnya tidak

ditumbuhi oleh vegetasi apapun di atasnya atau belum dimanfaatkan oleh

masyarakat. Kejadian longsor dengan tipe penutupan berupa lahan kosong

ditemukan di 4 titik yaitu di Kp. Babakan Ngantai, Kp. Gunung Batu Kidul (3),

Kp. Curug (2), dan Kp. Cijayanti. Lahan kosong ini memiliki kerentanan sangat

tinggi terhadap kejadian longsor. Selain tanpa penutupan yang menyebabkan titik

hujan mudah memicu erosi, apabila hujan turun dengan intensitas yang cukup

tinggi akan langsung terserap oleh tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh

terhadap air yang mengakibatkan bobot tanah menjadi bertambah dan lebih labil.

Hal ini semakin diperparah karena lahan kosong tersebut menempati badan lereng

yang cukup curam (31-63%). Hal ini sangat beresiko besar terhadap peluang

terjadinya kejadian longsor terutama saat berlangsungnya hujan lebat dalam waktu

relatif lama yang menyebabkan kawasan ini lebih rawan terhadap terjadinya

tingkat erosi yang tinggi akibat pekanya tanah tergerus energi kinetik hujan.

Lahan kosong di wilayah penelitian umumnya tidak hanya tersebar pada

lokasi kejadian longsor, tapi juga nampak pada bukit-bukit dan lereng-lereng yang

curam tanpa pengelolaan. Menurut pihak KPH Bogor sebagian lahan kosong

tersebut merupakan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pemerintah

Kabupaten Bogor kepada beberapa perusahaan real estate dan perkebunan, namun

karena belum dikelola akhirnya lahan-lahan tersebut terlantar dan menjadi lahan

kosong tanpa penutupan.

Penutupan lahan di daerah penelitian yang sebagian besar berupa kebun

campuran, semak belukar, dan tanah kosong tersebut turut memicu terjadinya

longsor. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya penanaman pepohonan berupa

tanaman keras pada lahan-lahan kosong/lahan gundul dan semak belukar, juga

perlu diintensifkannya penanaman tanaman keras yang dipadukan di dalam kebun

campuran dalam mekanisme agroforestri yang sesuai. Penanaman tanaman keras

ini perlu digalakkan karena terbukti efektif. Sebagai pembanding, di beberapa titik

dekat lokasi bencana longsor terdapat sebidang lahan yang ditanami tanaman

keras tahunan seperti tanaman kayu afrika (Maesopsis eminii), ketapang

Page 75: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

59

(Terminalia catappa), dan sengon/jeunjing (Paraseriantehs falcataria), ternyata

tempat ini tidak mengalami longsoran.

Gambar 9. Lahan dengan tegakan Kayu Afrika (Maesopsisi eminii)

yang tidak mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai

Menurut Wahyu Wilopo dan Priyono Suryanto ( 2005) sistem pertanaman

dengan model agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan

penggunaannya yang efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri

mendudukan agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang

peran air dalam terjadinya tanah longsor.

Namun, pemilihan jenis pohon atau tegakan pun harus disesuaikan dengan

kondisi tiap daerah serta harus memperhatikan aspek litologis, geologis,

ekonomis, dan kelerengannya. Ini dikarenakan kejadian longsor juga ternyata

terjadi pada daerah dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang

memiliki kerapatan tinggi seperti pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1)

Desa Cijayanti. Kp. Legok Banteng (1) yang bentang lahannya berbukit

bergelombang dengan kemiringan lereng agak curam (22%) memiliki penutupan

vegetasi berupa pohon yang cukup rapat dengan tegakan batang yang tinggi dan

berdiameter relatif besar (15-25 cm). Pepohonan yang terdapat pada lokasi

longsor tersebut diantaranya adalah pohon manggis, menteng, pisitan, bembem,

gandaria, kelapa, dan rumpun bambu. Keadaan penutupan vegetasi berupa

Page 76: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

60

tegakan campuran yang memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata

malah menambah beban lereng terutama ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat.

Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak menancap pada batuan

dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut ditimpa hujan

yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin

kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal

inilah yang menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya

menyebabkan longsor.

Sutikno (2000) dalam Alhasanah (2006) menyatakan bahwa peranan

vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang

hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah

beban lereng yang mendorong terjadinya longsor. Namun, pemotongan pohon-

pohonan secara tidak tepat untuk mencegah longsornya tanah tidak dibenarkan

karena rongga-rongga di dalam tanah yang terbentuk akibat lapuknya akar tumbuh

tumbuhan dapat menambah tampungan air di dalam rongga pori tanah sehingga

menambah potensi kelongsoran lereng.

Oleh karenanya, perlu dilakukan rekayasa vegetatif untuk menanggulangi

hal ini yaitu dengan menanami lereng dengan tanaman pohon yang memiliki

kemampuan akar yang kuat menembus batuan dasar (bahan induk) sebagai

pengikat atau pasak yang mampu menahan gerakan tanah namun memiliki bobot

dan tajuk yang ringan sehingga tidak menambah beban terlalu besar terhadap

lereng. Apabila pada kondisi lereng di mana lapisan batuan dasar relatif jauh dari

permukaan lereng, maka dapat digunakan tipe tanaman yang dapat mengurangi

infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Atau tanaman yang mempunyai daya

evapotranspirasi yang tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman. Menurut

Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan air dengan

baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya adalah : nangka

(Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa,

Indigofera galegoides, sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia spp.),

jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucaena glauca).

Adapun jenis vegetasi yang direkomendasikan Bank Dunia dalam

pengembangan dan pengelolaan lahan pada kawasan budidaya yang rawan

Page 77: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

61

longsor yaitu pohon yang dapat menghasilkan seperti pohon buah-buahan dan

kemiri. Sedangkan pada kawasan lindung ditanami vegetasi atau pohon yang

sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati, kemiri,

dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami bambu.

(Sitorus, 2006).

5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi

Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor

adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap

longsor, dimana makin curam lereng, makin besar dan makin cepat longsor

terjadi. Kemiringan dan panjang lereng juga merupakan 2 unsur topografi yang

paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1989).

Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila

lereng semakin curam atau semakin panjang, apabila lereng semakin curam maka

kecepatan aliran permukaan meningkat, sehingga kekuatan mengangkut

meningkat pula, dan lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang

mengalir menjadi semakin besar. Selanjutnya, Wahyunto (2003) menambahkan

bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng, makin tinggi

kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya.

Berdasarkan Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, daerah

penelitian diklasifikasikan menjadi 5 kelas kemiringan lereng seperti pada Tabel

25.

Tabel 25. Kelas Kemiringan Lereng

Desa Kelas Kemiringan Lereng

Datar

(0-8%)

Landai

(8-15%)

Agak Curam

(15-25%)

Curam

(25-45%)

Sangat

Curam

(> 45%)

Karang Tengah 679.9330 527.1530 847.7870 1424.1000 75.7970

Bojong Koneng 447.9620 575.6480 356.9870 479.4640 24.7020

Cijayanti 911.5720 615.8990 140.9370 15.5030 0.2500

Sumur Batu 172.2670 59.2920 23.2090 4.7990 0.5000

Babakan Madang 211.3860 66.8380 43.6290 6.3200 -

Cipembuan 232.5810 11.5950 3.7130 2.0310 0.2420

Citaringgul 251.5700 66.5960 35.9690 8.1860 0.2500

Page 78: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

62

Kadumanggu 462.3690 29.7680 3.9020 1.0600 -

Sentul 344.9870 8.6410 3.3140 2,2500 -

Berdasarkan pengamatan, 29,17% kejadian tanah longsor (7 kasus) terjadi

pada kondisi lereng sangat curam, 25% terjadi pada kondisi lereng curam (6

kasus), 20,83% (5 kasus) terjadi pada kondisi lereng agak curam, sedangkan 25%

lainnya terjadi pada kondisi lereng yang landai. Frekuensi kejadian longsor pada

tingkat kelerengan >30% (pada kondisi lereng sangat curam dan curam)

ditemukan sebanyak 10 kasus, tersebar pada beberapa lokasi yaitu di Kp. Cilaya,

Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (2 kasus), Kp. Wangun 1, Kp.

Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala, Kp. Gunung Batu Kidul, dan Kp.

Cijayanti dengan karakteristik tanah longsor keseluruhannya berupa nendatan

(slump). Sedangkan 6 kasus kejadian longsor dengan tipe nendatan lainnya terjadi

pada tingkat kelerengan agak curam (13-28%) yaitu di Kp.Curug (2 kasus), Kp.

Legok Banteng (2), Kp. Cikeas (2) dan Kp. Gombong (2 kasus). Sedangkan

longsor dengan karakteristik amblesan atau penurunan tanah umumnya terjadi

pada tingkat kelerengan landai (6-24%), ditemukan sebanyak 8 kasus yaitu di Kp.

Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Gunung Batu Kidul (1) dan

(2), Kp. Curug (3) dan (4), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Cikeas.

Gambar 10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai

Page 79: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

63

Kejadian longsor yang terjadi di Desa Karang Tengah keseluruhannya

merupakan longsor dengan tipe nendatan (slump), hal ini dikarenakan sebagian

besar wilayahnya (40,06%) berada pada wilayah dengan kemiringan curam

sehingga memicu terjadinya nendatan. Sedangkan di Desa Bojong Koneng tipe

longsor yang terjadi merata antara tipe nendatan dan tipe amblesan, hal ini juga

dipengaruhi pula oleh kondisi lapangan yang sebaran kemiringan lerengnya

hampir merata mulai dari datar hingga curam. Namun, karena kemiringan lereng

di Desa Cijayanti dominan datar (54,13 %), maka kejadian longsor yang terjadi di

sana lebih banyak berupa tipe penurunan tanah/amblesan yang dipicu terjadinya

gerakan tanah.

Gambar 11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran tanpa

tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala

Pada beberapa titik longsor terlihat adanya pemotongan lereng dalam upaya

pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman. Ini terlihat terutama pada kasus

longsor di Desa Karang Tengah yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp.

Wangun Landeuh (1), Kp. Wangun Landeuh 2, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2,

dan Kp. Wangun 3. Pembangunan jalan membentuk gawir yang cukup terjal. Pada

beberapa gawir memang sudah dilakukan penanaman vegetasi penguat lereng

Page 80: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

64

berupa tegakan campuran atau rumpun bambu, tapi karena penanaman tersebut

umumnya tidak diikuti pembuatan terasering maka usaha tersebut tidak mampu

menahan laju gerakan tanah dan hujan lebat yang melanda wilayah tersebut pada

awal Februari 2007 lalu. Apalagi bila terjadi hujan lebat yang disertai angin

kencang, maka akar pepohonan tersebut akan ikut bergerak dan menggoyahkan

lereng yang terjal. Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan

lereng juga beresiko meningkatkan tegangan geser lereng (shear strength) yang

menyebabkan kemantapan lereng berkurang. Hal ini menyebabkan lereng menjadi

rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya

hujan lebat dalam waktu lama. Pembangunan pemukiman dan jalan yang

memotong/memapas lereng juga membuat kestabilan tanah menjadi terganggu

sehingga tanah menjadi rentan longsor saat ada sedikit saja pergerakan tanah.

Gambar 12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi

pelindung tebing jalan di Kp. Wangun 1

Hal lain yang membuat kemantapan lereng berkurang dan

menyebabkannya rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor adalah

adanya penambangan batuan (batu gunung) pada lereng yang curam. Ini terlihat

pada kasus longsor di Kp. Wangun 1 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu

Kidul Desa Bojong Koneng, dan pada badan jalan menuju Kp. Wangun 3, lihat

Page 81: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

65

gambar 12. Penambangan batu tersebut dilakukan pada badan lereng yang

memiliki kecuraman masing-masing 57% dan 63%. Penambangan batu ini

menjadikan badan lereng bagian bawah menjadi tidak stabil dan rentan gerakan

tanah akibat hilangnya tahanan bagian bawah lereng.

Gambar 13. Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul(3) dan Kp. Wangun 3

Pada kasus longsor di Kp. Wangun 2 dan Kp. Wangun 3, Desa Karang

Tengah, terlihat banyak rembesan air pada tebing dan kaki tebing terutama pada

batas antara tanah dan batuan di bawahnya yang kedap air. Ini sangat beresiko

terhadap kejadian longsor selanjutnya. Karena ketika tanah sudah jenuh air akibat

hujan lebat, dengan medan gelincir yang mendukung dapat menyebabkan

terjadinya longsor.

Lereng yang rentan terhadap longsor pada umumnya memiliki tutupan

vegetasi berupa pepohonan atau tanaman yang berakar serabut seperti singkong,

pisang, pandan, dan rimpang-rimpangan pada kebun campuran. Tapi ternyata

pada lereng yang ditanami pohon yang massanya besar dengan jarak tanam yang

rapat pun tak luput dari potensi terjadinya bencana longsor seperti yang ditemukan

pada kasus kejadian longsor di Kp. Legok Banteng (1) Desa Cijayanti. Ini

menyebabkan lereng dengan penutupan hanya berupa kebun campuran, semak

belukar, atau rumput-rumputan menjadi rawan terhadap kejadian longsor. Hal ini

dikarenakan meski tajuk daun tanaman dan penutupan rumput tersebut mampu

menghalangi dan mengurangi kekuatan energi kinetik hujan, namun keadaan

tersebut menjadi kurang efektif saat terjadinya hujan yang lebat dalam waktu

relatif lama. Air hujan tetap dapat meresap ke dalam tanah membuat tanah jenuh

Page 82: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

66

air sehingga mengurangi ikatan kohesi tanah dan membuat tanah rentan terhadap

gerakan tanah, apalagi jika tanah tersebut berada pada lapisan batuan yang kedap

air dan berada pada tingkat kemiringan lereng yang mendukung terjadinya

longsor.

Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk

longsor, hal ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu

terutama respon lereng terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk

persawahan, kebun campuran, tegalan, maupun semak belukar terutama pada

daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat mengakibatkan

tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan

tanah atau kelongsoran. Kondisi litologi/bahan induk yang berupa batuan dan

tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan

tanah. Dan kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat

memicu terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran (kecepatannya tergantung dari

tekstur dan struktur tanah).

5.3.3 Karakteristik Tanah

Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan

peta tanah tinjau, terdapat 2 jenis tanah yang ditemukan pada lokasi kejadian

longsor yaitu jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan, dan jenis

tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol.

Adapun sebaran ditemukan jenis tanah tersebut terlihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Jenis Tanah di Daerah Penelitian

Jenis Tanah Deskripsi Lokasi Kejadian Longsor Persentase

Ditemukan

Gabungan

latosol coklat

dan latosol

kemerahan

Latosol merupakan jenis tanah Kp. Cimandala

Kp. Garungsang Pasir

Kp. Gn. Batu Babakan

Kp. Gn. Batu Kidul (3 kasus)

Kp. Curug (4 kasus)

Kp. Gombong (2 kasus)

Kp. Cikeas (2 kasus)

Kp. Legok Banteng (2 kasus)

66,67%

Page 83: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

67

Kompleks

latosol merah

kekuningan

latosol coklat

kemerahan

dan litosol

Litosol merupakan jenis tanah yang

umumnya berpasir, pada umumnya

dengan semakin besarnya ukuran

partikel tanah (tekstur kasar), maka

akan memiliki tingkat kepekaan

bahaya longsoran yang besar

Kp. Cilaya

Kp. Babakan Ngantai

Kp. Wangun Landeuh (2

kasus)

Kp. Wangun 1

Kp. Wangun 2

Kp. Wangun 3

Kp. Cijayanti

33,33%

Jumlah 24 kasus 100%

Sumber : Data primer (diolah)

Jenis tanah yang paling luas ditemukan di Kecamatan Babakan Madang

adalah jenis gabungan antara latosol coklat dan latosol kemerahan. Tanah latosol

merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan

tetap dari atas sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Tanah

ini mempunyai tingkat permeabilitas yang tinggi, sifat tersebut menyebabkannya

mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi yang kecil. Adapun keadaan erosi di

daerah penelitian berdasarkan Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor, hampir

88 % wilayah daerah penelitian tidak peka terhadap erosi. Sedangkan yang peka

terhadap erosi hanya lebih kurang 12%. Sedangkan berdasarkan hasil

tumpangsusun peta lokasi kejadian longsor dengan peta kesesuaian lahan, hanya 4

kejadian longsor atau sekitar 16,67 % saja yang terjadi pada wilayah yang peka

terhadap erosi yaitu di Kp. Cimandala, Kp. Cijayanti, dan Kp. Legok Banteng (2

kasus), sedangkan 83,33 % sisanya terjadi pada wilayah tidak peka erosi.

Ketidakpekaan tanah di lokasi penelitian terhadap kejadian longsor didukung

dengan nilai erodibilitas atau nilai kepekaan erosi tanah latosol yang sangat kecil

hanya sebesar 0,067 sedangkan pada jenis tanah kompleks latosol merah

kekuningan, latosol coklat kemerahan & litosol hanya 0,064, seperti terlihat pada

Tabel 27 dan Tabel 28 Namun, menurut Arsyad (1989), indeks erodibilitas yang

ditetapkan di laboratorium tidak dapat dimanfaatkan untuk menduga besarnya

erosi yang akan terjadinya sebenarnya di lapangan. Suatu tanah yang mempunyai

kepekaan rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terletak

pada lereng yang curam dan panjang serta curah hujan dengan intensitas yang

selalu tinggi. Sebaliknya suatu tanah yang mempunyai kepekaan erosi yang tinggi,

Page 84: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

68

mungkin memperlihatkan gejala erosi yang ringan atau tidak memperlihatkan

adanya erosi jika terdapat pada lereng yang landai, dengan tanaman penutup tanah

yang baik dan hujan yang tidak berintensitas tinggi.

Tabel 27. Nilai Erodibilitas Tanah pada Lokasi Kejadian Longsor

No. Jenis Tanah Nilai Erodibilitas

(K)

1 Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 0,067

2 Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan &

litosol

0,064

Sumber: Nilai Erodibilitas Tanah untuk 50 Jenis Tanah di Jawa. Puslitbang Pengairan. Bandung

(Wulandary, 2004)

Tabel 28. Kepekaan Erosi Tanah di Indonesia (Hasil Penelitian Lapangan)

Kelas Nilai K Harkat

1 0,00 – 0,10 Sangat rendah

2 0,11 – 0,20 Rendah

3 0,21 – 0,32 Sedang

4 0,33 – 0,43 Agak tinggi

5 0,44 – 0,55 Tinggi

6 0,56 – 0,64 Sangat tinggi

Sumber : Sitorus (2006)

Menurut Arsyad (1971), beberapa sifat-sifat tanah lainnya yang

mempengaruhi bencana longsor adalah tekstur, struktur, kandungan bahan

organik, sifat lapisan bawah, kedalaman tanah, dan tingkat kesuburan tanah.

Tekstur, struktur tanah, dan kedalaman tanah menentukan besar kecilnya air

limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air.

Hampir 85% tanah di wilayah penelitian (sekitar 8344,04 ha) memiliki

kedalaman efektif sedang hingga dalam (60 - >90 cm) sehingga kurang peka

terhadap erosi. Menurut Arsyad (1989), tanah-tanah yang dalam dan permeable

kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeable tapi dangkal hal ini

dikarenakan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Namun,

berdasarkan hasil pemerian tanah secara langsung dengan metode uji rasa rabaan

diketahui tekstur tanah di lokasi kejadian longsor didominasi tekstur lempung liat

Page 85: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

69

pasiran dan tekstur lempung sampai liat. Tekstur tanah lempung liat pasiran

ditemukan di 15 lokasi kejadian longsor atau meliputi 62,5 % dari seluruh

kejadian longsor dan 9 kasus lainnya (37,5 % kasus) memiliki tekstur tanah

lempung sampai liat.

Tanah lempung sangat mudah menyerap/meresapkan air hujan terutama

dalam kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan

batuan terutama batuan gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini

memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat

subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir merupakan jenis tanah yang

mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya

jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap

air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal

berpotensi mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada

musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut

tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan

bencana tanah longsor.

Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung

liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh

menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.

Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat atau

sering disebut sebagai longsor.

Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu

berlebihannya kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai

penahan, seperti pepohonan. Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi (tidak

sarang) akan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pula. Tanah di lokasi

kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai dengan butiran

kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau

granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat

daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal

ini menyebabkan struktur tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat

terjadi hujan lebat dalam waktu lama yang akhirnya berdampak pada terjadinya

longsor.

Page 86: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

70

5.3.4 Pergerakan Tanah

Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi

bersamaan dengan terjadinya gempa yang memicu gerakan tanah. Menurut

masyarakat setempat kejadian longsor didahului dengan terjadinya gerakan tanah.

Gerakan tanah ini memicu terjadinya lungsuran material longsor berupa tanah dan

batuan yang berasal dari badan lereng perbukitan Gunung Wangun dan Gunung

Pancar. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain kondisi

lapisan tanah berupa lempung, lempung liat berpasir, hingga liat yang mempunyai

sifat mengembang (swelling clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi

kering sangat rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan prinsip

fisika-kimia lempung, interaksi antara lapisan tipis lempung dan air (clay-water

interaction) merupakan fenomena fisika-kimia tanah lempung yang sangat

menarik. Masuknya air di antara fraksi lempung atau partikel ikatan silikat

lempung tertentu terutama montmorillonite, vermiculite, dan illite, akan

menyebabkan membesarnya jarak antar fraksi lempung dan mengakibatkan

kenaikan volume tanah atau mengembang (Hermawan & Tri Endah Utami,

2003).

Akibat dari peristiwa gerakan tanah terjadi banyak sekali kerusakan pada

bangunan pemukiman penduduk karena terjadinya pergeseran pondasi bangunan

berupa retakan-retakan atau patahan yang terlihat jelas pada beberapa kejadian

longsor seperti di Kp. Wangun 3 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu Kidul,

Kp. Curug dan Kp. Cikeas Desa Bojong Koneng, dan Kp. Legok Banteng Desa

Cijayanti. Pada kasus longsor di Kp. Gunung Batu Kidul, patahan akibat gerakan

tanah ini memanjang hingga menyebabkan 60 rumah rusak ringan hingga rusak

berat (hancur). Sedangkan pada kasus longsor di Kp. Curug patahan menyebabkan

8 rumah hancur dan 50 rumah rusak ringan (miring dan sebagainya). Sementara di

Kp. Cikeas, patahan menyebabkan sekurang-kurangnya 1 rumah rusak ringan dan

1 rumah rusak berat. Begitu pun longsor yang terjadi di Kp. Wangun 3 Desa

Karang Tengah juga dipicu gerakan tanah yang sedikitnya menyebabkan 2 rumah

rusak berat akibat retakan dan timbunan material longsor sedangkan di Kp. Legok

Banteng Desa Cijayanti patahan yang terjadi memanjang sekitar 2 km ke arah

Barat Daya. Patahan atau retakan yang terjadi berkisar antara 10-20 cm.

Page 87: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

71

Retakan/patahan yang terjadi kini telah tertutup kembali akibat proses sedimentasi

dan infiltrasi air saat hujan.

Gambar 14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3

Umumnya kasus longsor dengan patahan akibat gerakan tanah ini

berkarakteristik longsor berupa amblesan (subsidence). Adapun terjadinya

amblesan pada kejadian longsor tersebut telah membentuk suatu gawir dengan

tanah turun sedalam 0,5-4 m. Amblesan atau nendatan ini dapat terjadi akibat

adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses

pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Penurunan lapisan tanah

ini biasa terjadi secara alami dalam waktu yang lama (lambat). Akan tetapi, proses

ini dapat berjalan lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya

dukung tanahnya. Akibat beban di atasnya, lapisan tanah ini akan termampatkan

dan permukaan tanah di atasnya akan menurun. Pada kasus kejadian longsor di

Kecamatan Babakan Madang, terjadinya dengan karakteristik amblesan atau

penurunan tanah ini selain dipicu adanya gerakan tanah juga dikarenakan

padatnya pemukiman di sekitar lokasi kejadian longsor yang membebani lereng

misalnya yang terjadi di Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Curug, dan Kp. Cikeas.

Selain itu, pembebanan lereng dapat pula disebabkan adanya tegakan pohon yang

berbatang besar dan tinggi dengan kerapatan tinggi yang membebani lereng. Hal

ini seperti yang terjadi pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti.

Rekahan besar

akibat gerakan

tanah

Page 88: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

72

Gambar 15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor

di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug.

Menurut Sutikno (2000), struktur geologi yang berpotensi mendorong

terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan,

adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau

miring. Berdasarkan interpretasi Peta Geologi Lembar Bogor, daerah penelitian

terletak pada wilayah patahan dan sesar (fault) terutama pada kawasan Gunung

Pancar dan Gunung Hambalang serta memiliki struktur geologi berupa antiklin

dan sinklin yang terdapat pada Formasi Jatiluhur. Selain itu, adanya lapisan

batupasir tufaan dan batu lempung dari Formasi Jatiluhur yang kedap air menjadi

pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian, karena lapisan batuan

tersebut berperan sebagai bidang lincir gerakan tanah.

Amblesan pada

kejadian longsor di

Kp. Gn. Batu Babakan

Page 89: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

73

5.3.5 Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air

hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng,

sehingga memacu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas dan

lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng.

Faktor curah hujan yang berpengaruh terhadap bahaya longsoran adalah

besarnya curah hujan, intensitas curah hujan, dan distribusi curah hujan. Air hujan

yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi,

selanjutnya sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas

permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah

tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi). Oleh

karena itu, untuk mencegah agar tanah tidak terdispersi, maka perlu adanya

vegetasi yang menutupi permukaan tanah, sehingga air yang turun diserap dan

disimpan oleh vegetasi tersebut.

Pada hari sebelum dan selama kejadian longsor berlangsung, di Kecamatan

Babakan Madang Kabupaten Bogor hujan turun dalam jangka waktu yang cukup

lama yaitu mulai pukul 21.00 WIB sampai dengan pagi hari berikutnya. Karena

kondisi lahan pada kawasan hutan sudah gundul, maka tenaga potensial yang

dihasilkan oleh air hujan semakin besar.

Sebelum terjadinya longsor, di Kecamatan Babakan Madang hujan

berlangsung lama dan lebat, mencapai 245 mm/hari dan berlangsung lebih dari 6

jam. Keadaan tersebut di luar batas normal dan terbilang tinggi. Curah hujan dapat

mempengaruhi kadar air di dalam tanah. Semakin tinggi curah hujan maka kadar

air dalam tanah pun tinggi, hal ini menyebabkan kuat geser lereng menurun

karena meningkatnya massa tanah akibat tanah jenuh air. Kondisi ini

menyebabkan menurunnya nilai kohesi, agregat tanah mudah lepas dan memicu

terjadinya gerakan tanah dan longsor.

Berdasarkan hasil tumpangsusun peta curah hujan dan peta lokasi kejadian

longsor, 19 kasus longsor (79,17 %) berada pada wilayah dengan iklim sedang

dengan curah hujan tahunan 2.000 – 2.500 mm/tahun dan 5 kasus lainnya (20,83

%) berada pada wilayah iklim basah dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000

mm/tahun. Bulan basah pada iklim sedang di daerah penelitian terjadi sekitar 5-6

Page 90: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

74

bulan dan bulan keringnya berkisar 3-6 bulan. Sedangkan bulan basah pada iklim

basah terjadi 7-9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3 bulan. Dominannya

bulan basah yang terjadi menjadikan daerah penelitian sering mengalami hujan

terutama pada bulan-bulan November-April. Hal inilah yang memicu sering

terjadinya peristiwa longsor di daerah penelitian.

5.3.6 Geologi/Batuan Induk

Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik tanah/batuan,

susunan dan kedudukan batuan, serta struktur geologi. Struktur geologi atau

batuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya longsor.

Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan peta

Geologi Kabupaten Bogor diketahui bahwa struktur geologi yang terdapat di 10

lokasi kejadian longsor atau 41,67 % dari keseluruhan kejadian longsor adalah

jenis batuan gunung api (Qvk) berupa bongkahan andesit dan breksi andesit

dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal, sedangkan 14 kasus

kejadian longsor lainnya (58,33 %) berstruktur geologi jenis batuan sedimen

(Tmj) berupa napal dan serpih lempungan, dan sisipan batu pasir kuarsa (Tabel

29).

Tabel 29. Jenis Batuan di Daerah Penelitian

Klasifikasi

Geologis

Jenis Batuan Deskripsi Lokasi Kejadian Longsor Persentase

Ditemukan

QVK Batuan

Gunung Api

Bongkahan andesit dan

breksi andesit dengan

banyak sekali fenokris

piroksen dan lava basal

Kp.Wangun 2

Kp. Curug (4 kasus)

Kp. Gombong (2 kasus)

Kp. Cikeas (2 kasus)

Kp. Cijayanti

41,67 %

Tmj Batuan

Sedimen

Napal dan serpih

lempungan, dan sisipan

batu pasir kuarsa

Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp.

Wangun Landeuh (2 kasus), Kp.

Wangun 1

Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala

Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gn. Batu

Babakan, Kp. Gn. Batu Kidul (3 kasus),

Kp. Legok Banteng (2 kasus)

58,33 %

Jumlah 24 kasus 100%

Sumber : Data primer (diolah)

Page 91: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

75

Menurut Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi

merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air.

Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai

bidang gelincir untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim

hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran maka pada daerah yang

memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor.

Gambar 16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor di Kp. Wangun 2

Lereng-lereng di lokasi kejadian longsor pada permukaannya juga tertutup

tanah lempung pasiran hasil pelapukan lapisan batu andesit dan breksi andesit.

Adapun sifat tanah lempung pasiran ini bersifat plastis dalam kondisi basah atau

dapat mengembang. Namun, dalam kondisi kering lapisan tanah ini menjadi

pecah-pecah. Oleh karena itu, ketika musim hujan tiba, air hujan cenderung

mengalir melalui lereng-lereng curam yang ada di Kecamatan Babakan Madang

ini. Namun, selama melalui lereng ini air hujan ini tak dapat meresap lebih dalam

karena terhalang oleh batuan andesit. Akibatnya, air hujan akan terakumulasi di

sekitar lereng dan akan terus mendorong lapisan tanah lempung yang ada di

atasnya hingga terjadilah peristiwa longsor.

Faktor tekstur tanah turut berperan sebagai pemicu longsor dalam kaitannya

dengan kondisi geologis yang ada. Tanah bertekstur lempung berpasir dan

Page 92: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

76

dikombinasikan dengan batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta

dengan kemiringan yang curam, maka akan menjadikan daerah tersebut rawan

longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam meningkatkan infiltrasi tanah. Jika

tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi lebih berat.

Berdasarkan tumpangsusun peta sebaran geologi dan peta wilayah

administratif Kabupaten Bogor tahun 2005 menunjukkan bahwa daerah penelitian

juga terletak pada satuan endapan tanah permukaan yang mempunyai daya

dukung rendah dan sangat tidak stabil. Jika di atas endapan tanah permukaan

tersebut terdapat bangunan atau penggunaan lahan lainnya yang tidak sesuai

dengan daya dukung tanahnya maka akan dapat memicu terjadinya gerakan tanah.

Gerakan tanah ini dapat berupa longsoran, retakan, dan pergeseran tanah yang

terindikasi pada dinding bangunan yang retak maupun amblesan pada lahan atau

badan jalan. Kejadian retakan maupun pergerakan yang signifikan ini

mempengaruhi terjadinya longsoran. Apalagi jika retakan-retakan hasil

pergerakan tanah tersebut tidak segera ditutupi dengan tanah kembali akan

beresiko menyebabkan air masuk ke dalam tanah dan membuat tanah cepat jenuh

air sehingga massa tanah menjadi lebih berat dan memicu terjadinya longsor.

Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter

yang menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah

penelitian tersusun dari breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan

batupasir serta lempung hitam yang bagian permukaannya telah mengalami

pelapukan berupa lempung pasiran-lempung lanauan yang cukup tebal. Jenis

tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang mudah

meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika

tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada

kemiringan tertentu maka air yang masuk akan tertahan dan tanah pada

kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir menjadi longsor

Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab terjadinya ongsor di

daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini.

Page 93: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

77

Tabel 30. Frekuensi Ditemukannya Variabel-Variabel Penyebab Terjadinya Tanah Longsor

Indikator Parameter Jumlah

Ditemukan

Persentase

(%)

Jenis Tanah Kompleks latosol merah kekuningan, latosol

coklat kemerahan, dan litosol

16 66,67

Gabungan latosol coklat dan latosol

kemerahan

8 33,33

Tekstur Tanah Lempung liat berpasir 10 41,67

Lempung s/d liat 14 58,33

Kondisi Erosi Erosi 20 83,33

Tidak Erosi 4 16,67

Ketebalan Tanah 0-5 7 29,17

5-10 2 8,33

10-15 9 37,5

15-20 - -

20-25 - -

25-30 1 4,17

>30 5 20,83

Tutupan Vegetasi Tegakan Campuran 6 25

Semak Belukar 6 25

Kebun Campuran 8 33,33

Lahan Kosong/Lap. Rumput 4 16,67

Kebun Campuran Dengan tan. keras 2 8,33

Tanpa tan. keras 22 91,67

Kemiringan

Lereng

0-8 2 8,34

8-15 5 20,83

15-25 5 20,83

25-40 4 16,67

>40 8 33,33

Kondisi

Perbukitan

Datar - -

Berombak 1 4,17

Bergelombang 5 20,83

Berbukit 8 33,33

Bergunung 10 41,67

Kejadian Longsor Pernah 14 58,33

Belum pernah 10 41,67

Tipe Infrastruktur Jalan 12 50

Page 94: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

78

Pemukiman 12 50

Bangunan

Konservasi

Bronjong penahan 3 12,5

Saluran air 1 4,17

Pembuatan teras 1 4,17

Tidak ada 19 79,16

Cuaca Kering - -

Sedang 19 79,17

Basah 5 20,83

Sangat Basah - -

Jenis Batuan Batuan sediment 14 58,33

Batuan gunung api 10 41,67

Tipe Longsor Nnedatan (Slump) 16 66,67

Penurunan Tanah/Amblesan (Subsidence) 8 33,33

Sumber : Data Primer (diolah)

5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor

Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian

didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004).

Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara

memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor.

Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena

diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor

tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi.

Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG,

diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana

tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi

dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan

kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk

menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu :

Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas geologi)

+ (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas penggunaan

lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)

Page 95: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

79

Untuk kejadian longsor di daerah penelitian, setelah dilakukan penghitungan

total skor dari seluruh parameter penyebab terjadinya longsor sesuai dengan nilai

bobotnya masing-masing, dihasilkan 3 tingkat kerawanan daerah kejadian longsor

yaitu daerah dengan tingkat kerawanan longsor rendah, menengah, dan tinggi.

Pengkelasan tingkat kerawanan longsor ini berdasarkan pembagian rentangan

nilai skor kumulatif ke dalam 3 kelas dengan selang skor (interval) yang sama.

Berdasarkan hasil penghitungan total skor untuk seluruh kejadian longsor

diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 6,3 untuk kasus longsor di Kp. Gn. Batu

Kidul (3) dan skor terendah yaitu 3,75 pada kasus longsor di Kp. Cikeas (1).

Sehingga pengkelasan tingkat kerawanan kejadian longsor ditetapkan seperti pada

Tabel 31 berikut ini.

Tabel 31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor

No. Total Skor Tingkat Kerawanan Longsor

1 3,75 – 4,5 Rendah

2 4,55 – 5,4 Menengah

3 5,45 – 6,3 Tinggi

Berdasarkan nilai skor kumulatif tiap kasus kejadian longsor diketahui

bahwa terdapat 8 kasus yang termasuk ke dalam kejadian longsor dengan tingkat

kerawanan tinggi, 9 kasus dengan tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus

dengan tingkat kerawanan rendah. Adapun rincian sebaran daerah kejadian

longsor berdasarkan tingkat kerawanannya dapat di lihat pada Tabel 32 sedangkan

sebaran ditemukannya tiap parameter pada tiap tingkat kerawanan kejadian

longsor di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor

Tingkat Kerawanan Longsor

Tinggi Menengah Rendah

1. Kp. Gn. Batu Kidul (3)

2. Kp. Wangun 3

3. Kp. Cimandala

4. Kp. Babakan Ngantai

5. Kp. Wangun 1

6. Kp. Cijayanti

1. Kp. Legok Banteng (2)

2. Kp. Curug (2)

3. Kp. Cilaya

4. Kp. Curug (1)

5. Kp. Wangun Landeuh (2)

6. Kp. Cikeas (2)

1. Kp. Garungsang Pasir

2. Kp. Curug (3)

3. Kp. Curug (4)

4. Kp. Gn. Batu Kidul (2)

5. Kp. Gn. Batu Babakan

6. Kp. Gn Batu Kidul (1)

Page 96: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

80

7. Kp. Wangun 2

8. Kp. Wangun Landeuh (1)

7. Kp. Gombong (1)

8. Kp. Legok Banteng (1)

9. Kp. Gombong (2)

7. Kp. Cikeas (1)

Tabel 33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian & Variabel Penyebabnya (DVMBG, 2004)

Indikator Parameter Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor Longsor

Tinggi Menengah Rendah

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Jenis Tanah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

2 25 7 77.8 7 100

Kompleks latosol merah

kekuningan, latosol coklat

kemerahan, dan litosol

6 75 2 22.2 0 0

Tekstur

Tanah

Lempung s/d liat 4 50 3 33.3 3 42.9

Lempung liat berpasir 4 50 6 66.7 4 57.1

Kondisi

Erosi

Tidak Erosi 6 75 8 88.9 6 85.7

Erosi 2 25 1 11.1 1 14.3

Ketebalan

Tanah

0-10 1 12.5 4 44.4 7 100

11-20 1 12.5 5 55.6 0 0

21-30 3 37.5 0 0 0 0

31-40 3 37.5 0 0 0 0

Tutupan

Vegetasi

Tegakan Campuran 0 0 0 0 6 85.7

Semak Belukar 2 25 4 44.4 0 0

Kebun Campuran 3 37.5 4 44.4 1 14.3

Lahan Kosong/Lap. Rumput 3 37.5 1 11.1 0 0

Kebun

Campuran

Dengan tan. keras 3 37.5 3 33.3 6 85.7

Tanpa tan. keras 5 62.5 6 66.7 1 14.3

Kemiringan

Lereng

0-8 0 0 0 0 0 0

8-15 0 0 2 22.2 2 28.6

15-25 0 0 3 33.3 3 42.9

25-40 1 12.5 3 33.3 0 0

>40 7 87.5 1 11.1 0 0

Kondisi

Perbukitan

Datar 0 0 0 0 0 0

Berombak 0 0 0 0 1 14.3

Bergelombang 0 0 2 22.2 3 42.9

Berbukit 0 0 5 55.6 3 42.9

Bergunung 8 100 2 22.2 0 0

Page 97: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

81

Kejadian

Longsor

Belum Pernah 1 12.5 2 22.2 7 100

Pernah 7 87.5 7 77.8 0 0

Tipe

Infrastruktur

Pemukiman 2 25 3 33.3 7 100

Jalan 6 75 6 66.7 0 0

Bangunan

Konservasi

Bronjong penahan 0 0 1 11.1 0 0

Saluran air 1 12.5 0 0 0 0

Pembuatan teras 1 12.5 0 0 0 0

Tidak ada 6 75 8 88.9 7 100

Cuaca Kering 0 0 0 0 0 0

Sedang 7 87.5 8 88.9 3 42.9

Basah 1 12.5 1 11.1 4 57.1

Sangat Basah 0 0 0 0 0 0

Jenis Batuan Batuan sediment 6 75 5 55.6 2 28.6

Batuan gunung api 2 25 4 44.4 5 71.4

5.4.1 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Tinggi

Berdasarkan hasil pengklasifikasian tingkat kerawanan longsor diketahui

bahwa terdapat 8 lokasi yang tergolong ke dalam kejadian longsor dengan tingkat

kerawanan tinggi yaitu : Kp. Gn. Batu Kidul (3), Kp. Babakan Ngantai, Kp.

Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Wangun Landeuh (1), Kp.

Cimandala, dan Kp. Cijayanti atau meliputi 33,3 % dari seluruh kejadian longsor.

Seluruh kejadian longsor memiliki tipe longsor berupa nendatan dengan bentuk

penampang longsor rotasional (melengkung) menyerupai tapal kuda. Faktor utama

penyebab tingkat kerawanan longsor tinggi yang terdapat pada setiap kasus

longsor di lokasi tersebut adalah karakter kemiringan lereng curam hingga sangat

curam dimana 7 kasus (87,5 %) terjadi pada lokasi dengan tingkat kemiringan

lereng sangat curam (43-74%) dan 1 kasus (12,5 %) pada kemiringan lereng

curam (31 %) dengan kondisi perbukitan bergunung. Tingginya tingkat

kemiringan lereng pada daerah kejadian longsor dipicu pula oleh adanya

pembangunan infrastruktur jalan dan pemukiman (rumah) yang dibangun dengan

cara memapas (memotong) lereng. Terdapat 6 kasus longsor yang terjadi pada

daerah dekat jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng,

sedangkan 2 kasus lainnya terjadinya pada daerah dengan infrastruktur berupa

pemukiman. Selain itu, tingginya tingkat kemiringan lereng juga dikarenakan

Page 98: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

82

adanya penambangan batu gunung seperti yang ditemukan pada kasus longsor di

Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp. Wangun 2.

Selain itu hampir di setiap lokasi kejadian longsor tidak terdapat bangunan

konservasi yang dapat melindungi lereng dari terjadinya peristiwa longsor.

Bangunan konservasi hanya ditemukan pada 2 kasus longsor yaitu di Kp. Wangun

2 berupa saluran air dan di Kp. Wangun Landeuh (1) berupa pembuatan teras pada

tebing jalan. Dari segi penggunaan lahannya, kasus longsor yang terjadi pada

daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa lahan kosong dan kebun

campuran ditemukan masing-masing 3 kasus. Sedangkan 2 kasus lainnya terjadi

pada daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa semak belukar.

Jenis tanah di lokasi kejadian adalah jenis tanah kompleks latosol merah

kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol (ditemukan pada 6 kasus) serta

jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan (ditemukan pada 2

kasus) yang tidak terlalu peka terhadap erosi, namun jenis batuan berupa batuan

sedimen (6 kasus) dan batuan gunung api (2 kasus) yang mudah lapuk membentuk

tekstur tanah lempung berpasir sampai dengan liat, menyebabkannya rawan

terhadap kejadian longsor. Selain itu, 7 lokasi kejadian longsor tersebut (87,5 %)

sebelumnya juga pernah mengalami peristiwa longsor, hal ini menyebabkan

daerah-daerah tersebut menjadi lebih rentan terhadap terjadinya longsor.

Kerawanan terjadinya kejadian longsor juga disebabkan ketebalan tanah pada

daerah tersebut yang relatif tebal berkisar antara 7-40 m. Ini akan memberikan

dampak sangat berbahaya yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta lebih

besar akibat luasnya daerah kejadian longsor. Hal ini dikarenakan makin tebalnya

tanah pada tingkat kelerengan curam sampai sangat curam tanpa penutupan

vegetasi yang memadai yang dapat menghujam batuan induk sebagai bidang

gelincir ditambah dengan jenis batuan yang relatif peka terhadap terjadinya

longsor akan menyebabkan longsor mudah terjadi dengan material longsoran

berupa tanah dan batuan yang lebih luas.

5.4.2 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Menengah

Terdapat 9 kasus (37,5 %) kejadian longsor yang termasuk ke dalam tingkat

kerawanan menengah yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (2), Kp. Curug

Page 99: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

83

(2), Kp. Cilaya, Kp. Curug (1), Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Cikeas (2), Kp.

Gombong (1), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Gombong (2). Hampir semua

kejadian longsor tingkat kerawanan menengah ini memiliki karakteristik longsor

tipe nendatan, hanya 1 kasus berupa longsor tipe penurunan tanah (amblesan)

yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1). Kejadian longsor tersebut

umumnya terjadi pada tingkat kemiringan lereng agak curam hingga curam (13-46

%) pada bentang lahan berbukit hingga bergunung dengan kondisi tipe iklim

sedang. Jenis tanah yang paling banyak ditemukan adalah jenis tanah gabungan

latosol coklat dan latosol kemerahan (7 kasus) dan 2 kasus lainnya dengan jenis

tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol,

kedua jenis tanah tersebut kurang peka terhadap erosi. Namun dengan kondisi

batuan yang mudah lapuk (batuan sedimen dan gunung api) membentuk tekstur

tanah yang umumnya lempung liat berpasir daerah tersebut tetap berpotensi

menimbulkan longsor dengan tingkat kerawanan menengah. Adapun kondisi

penggunaan lahan yang ditemukan meliputi tegakan campuran, semak belukar,

dan kebun campuran yang mayoritas tanpa penanaman tanaman keras. Sebanyak 5

kasus (56 %) terjadi pada daerah dengan tipe infrastruktur jalan dan 4 kasus (46

%) berupa pemukiman dan sebelumnya juga pernah mengalami kejadian longsor.

5.4.3 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Rendah

Terdapat 7 kasus kejadian longsor yang termasuk ke dalam tingkat

kerawanan rendah yaitu pada Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug (3), Kp. Curug

(4), Kp. Gn. Batu Kidul (2), Kp. Gn. Batu Babakan, Kp. Gn Batu Kidul (1), dan

Kp. Cikeas (1). Kejadian longsor yang memiliki tingkat kerawanan rendah

tersebut umumnya terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam (6 –

24 %) pada daerah pemukiman penduduk dengan bentang lahan berombak hingga

berbukit. Seluruh kejadian longsor yang terjadi memiliki karakteristik nendatan

(amblesan). Tutupan lahan pada tingkat kerawanan rendah ini relatif lebih baik

dimana 70 % (5 kasus) kejadiannya terjadi pada lahan dengan penutupan vegetasi

berupa tegakan campuran. Selain itu, hampir 86% lokasi kasus longsor tersebut

sebelumnya belum pernah mengalami longsor.

Page 100: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

84

5.5 Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor

Pada grafik dalam gambar 17, faktor kelas tanah yang paling berpengaruh

terhadap tingkat kerawanan longsor tinggi di Kecamatan Babakan Madang adalah

jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan

litosol (V2) dengan tekstur tanah lempung liat berpasir (V4) serta ketebalan tanah

di atas 20 m (V9 dan V10). Meski kondisi tanah di daerah penelitian hampir 84

% (20 kasus) tidak peka terhadap erosi (V5), namun karena ketiga indikator kelas

tanah lainnya berperan dalam memicu longsor, maka potensi terjadinya longsor

tetaplah tinggi.

Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan Babakan Madang

-10

123

456

78

Frek

uens

i Dit

emuk

an (k

asus

)

Tinggi

Menegah

Rendah

Tinggi 2 6 4 4 6 2 1 1 3 3

Menegah 7 2 3 6 7 2 4 5 0 0

Rendah 7 0 3 4 7 0 7 0 0 0

V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10

Jenis Tanah

Tekstur Tanah

Kondisi Erosi

Ketebalan Tanah

Gambar 17. Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor

di Kecamatan Babakan Madang

Sedangkan untuk faktor kelas penggunaan lahan (Gambar 18) yang memicu

tingkat kerawanan longsor tinggi pada kejadian longsor di Kecamatan Babakan

Madang adalah tutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran

(V13), dan lahan kosong (V14). Kondisi kebun campuran yang terutama memiliki

kerawanan tinggi terhadap terjadinya longsor adalah kebun campuran yang

dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16) dan biasanya hanya

Page 101: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

85

berupa tanaman pangan berupa singkong dan pisang. Kondisi tutupan vegetasi

seperti itu kurang mampu mendukung kemantapan agregat tanah sehingga struktur

tanah akan mudah rapuh terutama saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama. Tipe

infrastruktur yang paling rawan terhadap kejadian longsor adalah tipe infrastruktur

jalan (V18), terutama yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng

sehingga meningkatkan tingkat kemiringan lereng yang memang sudah relatif

curam. Meski pada beberapa lokasi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi

terdapat bangunan konservasi berupa saluran air (V19) ataupun adanya

pembangunan teras pada tebing (V21), namun karena kondisi bangunan

konservasi tersebut tidak memadai ditambah kondisi kelerengan yang curam

sampai sangat curam dan curah hujan lebat, membuat beberapa lokasi tersebut

tetap rawan terhadap terjadinya longsor. Lokasi dengan kondisi tanpa adanya

bangunan konservasi (V22) terutama pada daerah-daerah yang relatif curam

tentunya akan lebih mudah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan longsor

tinggi.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

Frek

uens

i Dite

muk

an (k

asus

)

Histogram Pengaruh Faktor Kelas Penggunaan Lahan Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan babakan Madang

Tinggi 0 2 3 3 3 5 2 6 0 1 1 6

Menegah 1 4 3 1 3 6 4 5 1 0 0 8

Rendah 5 0 2 0 6 1 6 1 0 0 0 7

V11 V12 V13 V14 V15 V16 V17 V18 V19 V20 V21 V22

Tutupan Vegetasi Kebun Campuran

Tipe Infrastruktur

Bangunan Konservasi

Gambar 18. Grafik Pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat kerawanan

kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang

Dalam Grafik pada Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa kejadian

longsor yang terdapat pada daerah dengan kondisi kemiringan lereng curam (V26)

Page 102: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

86

sampai dengan sangat curam (V27) dengan bentang lahan yang berbukit (V31)

hingga bergunung (V32) dengan jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga

pernah memiliki sejarah kejadian longsor (V36), sebagian besar tergolong ke

dalam tingkat kerawanan longsor tinggi.

Grafik Pengaruh Faktor Kelas Lereng Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan babakan Madang

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Frek

uens

i Dit

emuk

an (

kasu

s)

Tinggi 0 0 0 1 7 0 0 0 0 8

Menegah 0 1 4 3 1 0 0 1 6 2

Rendah 2 3 2 0 0 0 1 4 2 0

V23 V24 V25 V26 V27 V28 V29 V30 V31 V32

Kemiringan Lereng Kondisi Perbukitan

Gambar 19. Grafik Pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor

0

2

4

6

8

Frek

uens

i D

item

ukan

(k

asus

)

Histogram Pengaruh Faktor Kelas Geologi Terhadap Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan babakan

Madang

Tinggi 2 6 1 7

Menegah 3 6 3 6

Rendah 6 1 6 1

V33 V34 V35 V36

Jenis Batuan Kejadian Longsor

Gambar 20. Grafik Pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di

Kecamatan Babakan Madang

Page 103: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

87

Sedangkan berdasarkan Grafik pada gambar 21, kejadian longsor di daerah

penelitian baik dengan tingkat kerawanan tinggi, menengah, ataupun tingkat

kerawanan rendah umumnya terjadi pada kondisi tipe iklim sedang dengan curah

hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38). Namun karena curah hujan harian

aktual saat terjadinya longsor relatif sangat besar 245,5 mm/hari yang merata di

seluruh lokasi kejadian longsor, maka longsor sangat potensial terjadi.

Grafik Pengaruh Faktor Kelas Curah Hujan Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan

Babakan Madang

0

7

1

00

7

2

00

4

3

00

1

2

3

4

5

6

7

8

Kering Sedang Basah SangatBasah

Kondisi Cuaca (Curah Hujan)

Frek

uens

i Dite

muk

an (k

asus

)

Tinggi

Menegah

Rendah

Gambar 21. Grafik Pengaruh faktor kelas tipe iklim (curah hujan) terhadap tingkat kerawanan

kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang

Dari uraian di atas diketahui bahwa secara umum parameter yang memicu

terjadinya longsor pada daerah penelitian adalah :

(1) jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan

litosol (V2),

(2) tekstur tanah lempung liat berpasir (V4),

(3) ketebalan tanah di atas 20 m (V9 dan V10),

(4) penutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran (V13), dan

lahan kosong (V14) dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan

tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16),

Page 104: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

88

(5) tipe infrastruktur jalan (V18) dibangun dengan cara memapas (memotong)

lereng,

(6) kondisi daerah rawan longsor terutama tebing jalan tanpa adanya bangunan

konservasi (V22),

(7) kondisi kemiringan lereng curam (V26) sampai dengan sangat curam (V27)

dengan bentang lahan yang berbukit (V31) hingga bergunung (V32) dengan

jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga pernah memiliki sejarah

kejadian longsor (V36), serta

(8) kondisi tipe iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38).

Seluruh parameter terpilih tadi dihimpun dalam 5 faktor utama penyebab

terjadinya longsor berikut ini :

1. Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung

liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m.

2. Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar,

kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang

dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan

lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas

(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi.

3. Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam

dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung.

4. Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah

gerakan tanah longsor di daerah tersebut.

5. Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan

2.000 – 2.500 mm/tahun

Berdasarkan hasil identifikasi kasus-kasus kejadian longsor di daerah

penelitian diketahui bahwa jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol

coklat kemerahan dan litosol meski memiliki kepekaan erosi yang kecil, namun

apabila berada pada kondisi lereng curam sampai sangat curam pada bentang

lahan berbukit hingga bergunung, areal tersebut tetap akan memiliki potensi besar

untuk menjadi longsor. Apalagi dengan kondisi tanah pelapukan yang tebal

dengan tekstur lempung liat berpasir yang bersifat mengembang dan sarang air

Page 105: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

89

saat terjadinya hujan lebat, serta berada pada satuan batuan induk yang mudah

melapuk dan mudah bergerak apabila terjadi pembebanan yang melebihi

kemampuan (batuan sedimen/Tmj) maka akan sangat berpotensi untuk mengalami

longsor.

Kerawanan terhadap terjadinya longsor tersebut akan semakin tinggi apabila

banyak aktivitas manusia yang mengganggu keseimbangan alam seperti

perambahan hutan menjadi lahan-lahan budidaya tanpa usaha-usaha konservasi,

penambangan batu pada tebing curam, dan atau pemotongan lereng dalam

pembuatan jalan dan pemukiman.

Penutupan vegetasi berpenutupan tajuk jarang dengan perakaran serabut

yang tidak dapat menghujam lapisan batuan induk kedap air pun harus

diminimalisir, terutama pada lahan-lahan dengan tingkat kecuraman tinggi. Ini

dikarenakan, vegetasi berpenutupan tajuk jarang seperti lahan kosong/padang

rumput, semak belukar, ataupun kebun campuran tidak mampu menahan laju

energi kinetik butir-butir air hujan dengan cukup baik sehingga membuat tingkat

infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menjadi lebih

besar. Akibatnya, tanah yang jenuh air pada satuan lereng curam dengan batuan

induk kedap air serta penutupan vegetasi dengan perakaran serabut sangat

potensial untuk mengalami longsor.

Oleh karenanya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap

terjadinya longsor ini. Salah satunya melalui usaha rekayasa bio-engginering

seperti penanaman tanaman keras yang dipadukan dengan tanaman budidaya

(kebun campuran) dalam mekanisme agroforestri serta penanaman tanaman keras

(pohon) pada lahan-lahan kosong dan semak belukar yang disesuaikan dengan

kondisi litologis, kelerengan, geologis, serta ekonomis. Untuk lahan-lahan dengan

kondisi lereng curam dan lapisan batuan kedap air dapat ditanami pohon-pohon

berakar dalam yang mampu menghujam lapisan kedap air tersebut. Namun perlu

diperhatikan pemilihan jenis pohonnya yaitu jenis pohon yang bermassa dan

bertajuk ringan sehingga tidak akan menambah beban yang terlalu besar terhadap

tanah/lereng yang ditumpanginya.

Untuk lereng atau lahan yang lapisan kedap airnya dalam dengan ketebalan

tanah yang tinggi dimana akar-akar pepohonan tidak mampu menghujam ke

Page 106: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

90

lapisan tersebut, dapat ditanami tegakan atau pohon yang dapat mengurangi

intensitas infiltrasi atau masuknya air hujan, yaitu pohon-pohon yang memiliki

daya evapotranspirasi tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman tersebut.

Menurut Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan

air dengan baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya

adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia

vilosa, tarum (Indigofera galegoides), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni

(Swietenia spp.), jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanes saman) dan lamtoro

(Leucaena glauca). Satu hal yang perlu diperhatikan juga dalam penanaman

pepohonan pada kondisi lereng seperti disebutkan di atas adalah kerapatan antar

pohon yang ditanam harus tidak terlalu rapat agar massa pohon yang membebani

tanah/lereng tidak terlalu besar.

Untuk menarik minat masyarakat dalam memelihara tegakan-tegakan yang

diusahakan dalam rekayasa bio-engginering ini, maka sebisa mungkin lahan-lahan

rawan longsor juga ditanami pepohonan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat

memberikan manfaat bagi masyarakat setempat seperti pohon buah-buahan dan

pohon kemiri yang juga direkomndasikan oleh Bank Dunia. Sedangkan pada

kawasan lindung, Bank Dunia menyarankan agar ditanami vegetasi atau pohon

yang sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati,

kemiri, dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami

bambu. (Sitorus, 2006).

Rekayasa bio-engginering juga dapat dipadukan dengan rekayasa teknik

konservasi tanah dan air seperti dengan membangun saluran air yang baik dan

tidak mudah bocor, sehingga air hujan yang menjenuhi tanah dapat dialirkan

dengan baik. Ataupun dengan membuat teras-teras seperti teras bangku pada

badan-badan lereng yang curam dan pembuatan bronjong pada tebing-tebing jalan

dan tebing sungai. Dan satu hal yang juga tidak dapat diabaikan adalah harus

dikuranginya atau bahkan dihentikan aktivitas-aktivitas manusia yang benar-benar

dapat memicu terjadinya longsor seperti penambangan pada kaki lereng yang

curam, pembangunan pemukiman di bawah tebing curam atau pada tebing sungai,

dan aktivitas pertanian intensif pada areal curam tanpa melakukan upaya-upaya

konservasi.

Page 107: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

91

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan

Madang ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus

(66,7%) dan penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi

pada 8 kasus longsor (33,3%). Desa Bojongkoneng adalah wilayah yang

paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa

Karang Tengah (8 kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus).

2. Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan vegetasi

kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan

tegakan campuran sebanyak 6 kasus (25%), dan lahan kosong sebanyak 4

kasus (16,7%).

3. Berdasarkan metode pemodelan tingkat kerawanan kejadian longsor

DVMBG (2004) diketahui bahwa 8 kasus (33,3 %) kejadian longsor

termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus (37,5 %) pada

tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus (29,2 %) termasuk ke dalam

tingkat kerawanan longsor rendah.

4. Faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di Kecamatan Babakan

Madang yaitu :Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol

merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah

lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m. Faktor kelas

penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun

campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang

dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan

lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas

(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi. Faktor

kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan

bentuk bentang lahan berbukit-bergunung. Faktor kelas geologi yaitu jenis

batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di

daerah tersebut. Faktor kelas yurah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan

Page 108: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

92

curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun

6.2 Saran

1. Aktivitas penambangan batu gunung pada lokasi-lokasi rawan longsor

seperti di Kp. Gunung Batu Kidul (3), Kp. Wangun 1, dan Kp. Wangun 3

harus dikurangi atau bahkan dihentikan karena akan mengganggu

kemantapan lereng dan mengurangi daya tahan lereng terhadap terjadinya

gerakan tanah.

2. Perlu dilakukan penanaman tegakan keras pada kawasan lahan kosong,

padang rumput, dan semak belukar dengan tanaman keras (pohon) yang

disesuaikan dengan kondisi fisik kawasannya juga dipadukannya

penanaman tanaman keras pada lahan kebun campuran milik masyarakat

setempat dalam mekanisme agroforestri.

3. Perlu dilakukan usaha konservasi tanah dan air pada lokasi kejadian

longsor tingkat kerawanan tinggi seperti di Kp. Babakan Ngantai, Kp.

Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1 yang berada areal tepi jalan yang

memiliki tebing yang curam dengan membuat saluran air yang tahan

bocor, bronjong penahan yang kuat, atau dengan pembuatan teras.

4. Retakan dan rekahan yang terjadi akibat gerakan tanah seperti yang terjadi

di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug perlu segera ditutupi lagi oleh

tanah agar air hujan tidak terlalu cepat menyerap dan menjenuhi tanah

kembali sehingga resiko terjadinya longsor dapat dikurangi.

5. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi

pencegahan longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan.

6. Rencana pemerintah untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal

pada kawasan rawan longsor perlu segera direalisasikan untuk mencegah

timbulnya korban jiwa pada bencana yang akan datang.

7. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai jenis tanaman atau

tutupan vegetasi yang cocok pada daerah kawasan rawan longsor serta

efektifitasnya dalam mencegah terjadinya longsor.

Page 109: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

DAFTAR PUSTAKA

Agus Setyawan, Wahyu Wilopo, Supriyanto Suparno. 2006. Mengenal Bencana

Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya. http://www.io.ppi-

jepang.org/article.php?1d=196 [10 Jul 2007]

Alhasanah, Fauziah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor

Serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis.

Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2007. Pencegahan Gerakan Tanah Dengan Identifikasi Zona Rentan.

http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=11029 [26 Juli 2007]

Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo, Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M.

2001. Aplikasi Citra Satelit Dalam Penentuan Dareah Rawan Bencana

Longsor. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung.

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Asdak, S. 1995. Hidrologi & Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

_______.2003. Faktor Hutan Geomorfologi, dan Anomali Iklim pada Bencana

Longsor di Hulu DAS Cimanuk. Hal 39-52 dalam Prosiding Semiloka

Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. H. Ramdan (Ed.)

Alqaprint Jatinangor. Sumedang. Pemerintah Kabupaten Garut.

Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik

Peubah Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus Daerah Ciawi-Puncak-

Pacet Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 7-16 Jurusan Ilmu

Tanah, In Press (April 1999).

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2007. Bogor.

Humas Kabupaten Bogor.

____________________. 2003. Kecamatan Babakan Madang Dalam Angka

2003. Kerjasama Kabupaten Bogor dan BPS Kabupaten Bogor.

Dahlan, Endes N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan

Kota. Bogor.

Darsoatmojo, A. Dan Soedradjat, G. M. 2002. Bencana Tanah Longsor Tahun

2001. Year Book Mitigasi Bencana Tahun 2001.

Das, B. M. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis).

Diterjemahkan : Endah, N. M. Dan I. B. M. Surya. Jakarta : Erlangga.

Page 110: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia.

Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan

Energi. Jakarta.

[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005.

Manajemen Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiran-

rakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm [14 Juli 2007]

[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007.

Pengenalan Gerakan Tanah.

http://www.merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.htm

[18 Mei 2007]

Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Pusdi

Kebumian LEMLIT UNDIP, Semarang.

Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.

Hermawan dan Tri Endah Utami. 2003. Proses Soil Softening pada Bidang

Diskontinuitas: Faktor Utama Longsoran Besar. Buletin Geologi Tata

Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 44-51.

Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000

(Evaluasi dan Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Karnawati, Dwikorita. 2006. Wilayah yang Tak Pernah Luput Bencana oleh

Madina Nusrat. Artikel Internet. http://www.kompas.com/kompas-

cetak/0601/14/Fokus/2360408.htm [13 Jul 2007]

Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim

Longsoran Teknik Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.

Lillesand, T. M. & R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Litbang Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian di

Lahan Pegunungan.

http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-II.pdf [13 Juli

2007]

Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Penerbit Universitas

Indonesia. Jakarta.

Mustafril, 2003. Analisis Stabilitas Lereng Untuk Konservasi Tanah dan Air di

Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut. Tesis. Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor.

Page 111: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

95

Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau

Jawa Tahun 2001. BPPT. Jakarta.

Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Paripurno, ET. 2006. Pengenalan Longsor Untuk Penanggulangan Bencana. Di

dalam: [UNDP] United Nation Development Program. Pustaka Pelajar dan

Oxfam B.G., penerjemah;

Purwowidodo. 2003. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan : Mengenal Tanah.

Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas

Kehutanan IPB.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Sumberdaya

Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Rejekiningrum, Popi. 2007. Teknologi Inderaja dan SIG untuk Identifikasi Potensi

Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor. Paper Mata Kuliah Teknik

Analisis Citra Dijital Untuk Kehutanan. Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Rusli, Salim ST. 2007. Waspada Hujan dan Longsor. Jakarta

Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran

Aktivitas Penduduk di Jabodetabek. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas

Pertanian IPB.

Saptohartono, Endri. 2007. Analisis Pengaruh Curah Hujan Terhadap Tingkat

Kerawanan Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bandung [Skripsi].

Bandung. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral. Institut

Teknologi Bandung.

Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai

Kontrol Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat

Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Sudrajat, Adjat. 2007. Menunggu Longsor. http://www.pikiran-

rakyat.com/cetak/2007/112007/16/0901.htm [15 Jan 2008].

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.

Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka

Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten

Garut.

Suryolelono, K. B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu

Geoteknik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Teknik UGM.

UGM Press.

Page 112: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

96

Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana

Alam Gerakan Tanah. Jakarta.

_______. 2001. Tanah Longsor Goyang Pulau Jawa. Direktorat Vulkanologi dan

Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

[UNDP] United Nation Development Program. 1992. Introduction of Hazard..

Pustaka Pelajar dan Oxfam B.G., penerjemah; Paripurno ET, editor.

Wahyono.2003. Evaluasi Geologi Teknik Atas kejadian Gerakan Tanah di

Kompleks Perumahan Lereng Bukit Gombel-Semarang. Kasus Longsoran

Gombel, 8 Februari 2002. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1

Mei 2003. Hal 32-43

Wahyu Wilopo, Priyono Suryanto. 2005. Agroforestri Alternatif Model Rekayasa

Vegetasi Pada Kawasan Rawan Longsor. J Hutan Rakyat 7 (1) : 1-15

Wulandary, Anna. 2004. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah Terhadap Kondisi

Sub DAS Cisadane Hulu Meliputi Aliran Permukaan, Erosi, dan

Sedimentasi Mempergunakan Model AGNPS (Agricultural Non Point

Source Pollution Model). Skripsi

Page 113: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

97

Page 114: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

98

No. Lokasi Longsor V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V11 V12 V13 Total

Skor

Kelas Kerawanan

Longsor

1 Kp. Gn. Batu Kidul (3) 1 2 1 4 4 2 5 5 2 2 4 2 2

6.3 Tinggi

2 Kp. Wangun 3 2 1 1 4 2 2 5 5 2 2 4 2 2

6 Tinggi

3 Kp. Cimandala 1 2 2 3 3 2 5 5 2 1 4 2 2

6 Tinggi

4 Kp. Babakan Ngantai 2 1 1 3 4 1 5 5 2 2 4 2 2

5.95 Tinggi

5 Kp. Wangun 1 2 1 1 3 3 2 5 5 2 2 4 2 2

5.95 Tinggi

6 Kp. Cijayanti 2 2 2 1 4 1 4 5 1 2 4 3 1

5.7 Tinggi

7 Kp. Wangun 2 2 2 1 4 2 2 5 5 2 1 2 2 1

5.55 Tinggi

8 Kp. Wangun Landeuh (1) 2 1 1 2 3 1 5 5 2 2 3 2 2 5.45 Tinggi

9 Kp. Legok Banteng (2) 1 2 2 2 3 2 3 4 2 1 4 2 2

5.35 Sedang

10 Kp. Curug (2) 1 2 1 2 4 2 2 3 2 2 4 2 2

5.15 Sedang

11 Kp. Cilaya 2 1 1 1 3 1 4 5 2 1 4 2 2

5.1 Sedang

12 Kp. Curug (1) 1 2 1 1 2 2 3 4 2 2 4 3 1

5.05 Sedang

13 Kp. Wangun Landeuh (2) 2 1 1 2 2 1 5 5 2 2 1 2 2

5 Sedang

14 Kp. Cikeas (2) 1 2 1 1 3 2 3 4 2 1 4 2 2

4.95 Sedang

15 Kp. Gombong (1) 1 2 1 2 2 2 4 4 1 2 4 2 1

4.9 Sedang

16 Kp. Legok Banteng (1) 1 2 2 1 1 1 3 4 1 1 4 3 2

4.8 Sedang

17 Kp. Gombong (2) 1 1 1 2 2 2 4 4 1 2 4 2 1

4.7 Sedang

18 Kp. Garungsang Pasir 1 2 1 1 3 1 2 3 2 2 4 2 1

4.45 Rendah

19 Kp. Curug (3) 1 2 1 1 3 1 2 3 1 1 4 3 1

4.4 Rendah

20 Kp. Curug (4) 1 2 1 1 1 1 1 3 1 1 4 3 2

4.15 Rendah

Lampiran 1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus longsor di daerah penelitian

Page 115: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

99

21 Kp. Gn. Batu Kidul (2) 1 1 1 1 1 1 3 4 1 1 4 2 1

3.9 Rendah

22 Kp. Gn. Batu Babakan 1 1 1 1 1 1 3 4 1 1 4 2 1

3.9 Rendah

23 Kp. Gn. Batu Kidul (1) 1 2 1 1 1 1 2 3 1 1 4 2 1

3.8 Rendah

24 Kp. Cikeas (1) 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 4 3 1

3.75 Rendah

Keterangan :

V1 : Jenis Tanah V8 : Kondisi Perbukitan

V2 : Tekstur Tanah V9 : Kejadian Longsor

V3 : Kepekaan Tanah Terhadap Erosi V10 : Tipe Infrastruktur

V4 : Ketebalan Tanah V11 : Bangunan Konservasi

V5 : Tutupan Vegetasi V12 : Tipe Iklim-Cuaca (Curah Hujan)

V6 : Kebun Campuran V13 : Jenis Batuan

V7 : Kemiringan Lereng

Lampiran 2. Data Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian

No. Lokasi Longsor Tingkat

Kerawanan

V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8

1

Kp. Gn. Batu Kidul (3) Tinggi Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

40 Lahan Kosong Tanpa Tan. Keras 63 Bergunung

2

Kp. Wangun 3 Tinggi Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung-

Liat

Tidak

Erosi

40 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 63 Bergunung

Page 116: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

100

3

Kp. Cimandala Tinggi Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Erosi 25 Kebun

Campuran

Tanpa Tan. Keras 43 Bergunung

4

Kp. Babakan Ngantai Tinggi Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung Tidak

Erosi

30 Lahan Kosong Dengan Tan. Keras 46 Bergunung

5

Kp. Wangun 1 Tinggi Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung Tidak

Erosi

30 Kebun

Campuran

Tanpa Tan. Keras 57 Bergunung

6

Kp. Cijayanti Tinggi Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung

liat Berpasir

Erosi 7 Lahan Kosong Dengan Tan. Keras 31 Bergunung

7

Kp. Wangun 2 Tinggi Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

40 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 74 Bergunung

8

Kp. Wangun Landeuh

(1)

Tinggi Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung Tidak

Erosi

15 Kebun

Campuran

Dengan Tan. Keras 48 Bergunung

9

Kp. Legok Banteng (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Erosi 15 Kebun

Campuran

Tanpa Tan. Keras 24 Berbukit

10

Kp. Curug (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

12 Lahan Kosong Tanpa Tan. Keras 13 Bergelomba

ng

Page 117: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

101

11

Kp. Cilaya Menengah Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung Tidak

Erosi

10 Kebun

Campuran

Dengan Tan. Keras 33 Bergunung

12

Kp. Curug (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

8 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 18 Berbukit

13

Kp. Wangun Landeuh

(2)

Menengah Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol

Lempung-

Liat

Tidak

Erosi

13 Semak Belukar Dengan Tan. Keras 46 Bergunung

14

Kp. Cikeas (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

10 Kebun

Campuran

Tanpa Tan. Keras 24 Berbukit

15

Kp. Gombong (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

15 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 26 Berbukit

16

Kp. Legok Banteng (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Erosi 10 Tegakan

Campuran

Dengan Tan. Keras 22 Berbukit

17

Kp. Gombong (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung Tidak

Erosi

15 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 28 Berbukit

18

Kp. Garungsang Pasir Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

4 Kebun

Campuran

Dengan Tan. Keras 14 Bergelomba

ng

19

Kp. Curug (3) Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

3 Kebun

Campuran

Dengan Tan. Keras 9 Bergelomba

ng

Page 118: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

102

20

Kp. Curug (4) Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

3 Tegakan

Campuran

Dengan Tan. Keras 8 Bergelomba

ng

21

Kp. Gn. Batu Kidul (2) Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung-

Liat

Tidak

Erosi

3 Tegakan

Campuran

Dengan Tan. Keras 24 Berbukit

22

Kp. Gn. Batu Babakan Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung-

Liat

Tidak

Erosi

3 Tegakan

Campuran

Dengan Tan. Keras 16 Berbukit

23

Kp. Gn. Batu Kidul

(1)

Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung

liat Berpasir

Tidak

Erosi

2 Tegakan

Campuran

Dengan Tan.

24Keras

11 Bergelomba

ng

24

Kp. Cikeas (1) Rendah Gabungan latosol coklat dan

latosol kemerahan

Lempung Tidak

Erosi

1 Tegakan

Campuran

Tanpa Tan. Keras 6 Berombak

Lampiran 3. Data Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian (lanjutan)

No. Lokasi Longsor Tingkat

Kerawanan

V9 V10 V11 V12 V13 Tipe Longsor

1 Kp. Gn. Batu Kidul (3) Rawan Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

2 Kp. Wangun 3 Rawan Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

3 Kp. Cimandala Rawan Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

4 Kp. Babakan Ngantai Rawan Pernah Jalan Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

5 Kp. Wangun 1 Rawan Pernah Jalan Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

6 Kp. Cijayanti Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Basah Batuan Gunung Api Nendatan/Slump

7 Kp. Wangun 2 Rawan Pernah Pemukiman Saluran air Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump

8 Kp. Wangun Landeuh (1) Rawan Pernah Jalan Pembuatan teras Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

Page 119: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

103

9 Kp. Legok Banteng (2) Rawan Pernah Pemukiman Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

10 Kp. Curug (2) Potensial Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

11 Kp. Cilaya Potensial Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

12 Kp. Curug (1) Potensial Pernah Jalan Tidak ada Basah Batuan Gunung Api Nendatan/Slump

13 Kp. Wangun Landeuh (2) Rawan Pernah Jalan Bronjong penahan Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump

14 Kp. Cikeas (2) Potensial Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen PenurunanTanah/Amblesan

15 Kp. Gombong (1) Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

16 Kp. Legok Banteng (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Sedimen Nendatan/Slump

17 Kp. Gombong (2) Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump

18 Kp. Garungsang Pasir Ptensial Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump

19 Kp. Curug (3) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

20 Kp. Curug (4) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Sedimen PenurunanTanah/Amblesan

21 Kp. Gn. Batu Kidul (2) Potensial Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

22 Kp. Gn. Batu Babakan Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

23 Kp. Gn. Batu Kidul (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

24 Kp. Cikeas (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

Page 120: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

104

Lampiran 4. Rekapitulasi Ditemukannya Tiap Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian

Indikator Parameter Skor Frekuensi

Ditemukan

Ket.

Jenis Tanah

V1 Gabungan latosol coklat dan latosol

kemerahan

1 16 Data Peta

V2 Kompleks latosol merah kekuningan

latosol coklat kemerahan dan litosol

2 8

Tektur Tanah V3 Lempung-Liat 1 10 PL

V4 Lempung liat Berpasir 2 14

Kondisi Erosi V5 Tidak Erosi 1 20 Data Peta

V6 Erosi 2 4

Ketebalan tanah V7 (0-10 m) 1 12 PL

V8 (>10 – 20 m) 2 6

V9 (>20 – 30 m) 3 3

V10 (> 30 m) 4 3

Tutupan Vegetasi V11 Tegakan Campuran 1 6 PL

V12 Semak Belukar 2 6

V13 Kebun Campuran 3 8

V14 Lahan Kosong/Lap. Rumput 4 4

Kebun campuran V15 Dengan tanaman keras 1 12 PL

V16 Tanpa tanaman keras 2 12

Tipe Infrastruktur V17 Pemukiman 1 12 PL

V18 Jalan 2 12

Bangunan

Konservasi Tanah

dan Air

V19Bronjong penahan 1 1 PL

V20 Saluran air 2 1

V21 Pembuatan teras 3 1

V22 Tidak ada 4 21

Kemiringan

Lereng

V23 0-8% 1 2 PL

V24 >8-15% 2 5

V25 >15-25% 3 5

V26 >25-40% 4 4

V27 >40% 5 8

Kondisi

Perbukitan

V28Datar 1 0 PL

V29 Berombak 2 1

V30 Bergelombang 3 5

V31 Berbukit 4 8

V32 Bergunung 5 10

Page 121: identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor penyebab

105

Jenis Batuan V33 Batuan Gunung Api 1 11 Data Peta

V34 Batuan Sedimen 2 13

Sejarah Kejadian

Longsor

V35 Tidak Pernah 1 10 Wa

V36 Pernah 2 14

Kondisi Cuaca

(curah hujan)

V37 Kering 1 0 Data Peta

V38 Sedang 2 19

V39 Basah 3 5

V 40 Sangat Basah 4 0

Ket : Data Peta : Hasil Pengolahan Peta Digital (berbagai layer)

PL : Pengamatan atau pengujian lapangan

Wa : Wawancara