80
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN SYAIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: M. Andri Iskandar Sholeh NIM: 1113044000009 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2018 M / 1440 H

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

  • Upload
    others

  • View
    34

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN

SYAIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

M. Andri Iskandar Sholeh

NIM: 1113044000009

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2018 M / 1440 H

Page 2: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan
Page 3: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan
Page 4: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan
Page 5: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

ABSTRAK

M. Andri Iskandar Sholeh. NIM: 1113044000009. Hukum Perkawinan Beda

Agama Menurut Pandangan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Program Studi

Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2018 M/1440 H. xiv + 65 halaman.

Perkawinan merupakan sesuatu yang urgen dalam kehidupan manusia, terlebih

lagi dalam fenomena hidup yang semakin banyak keberagaman. Sehingga

permasalahan yang sering muncul dan menjadi problem di tengah masyarakat dalam

praktek perkawinan, seperti praktek perkawinan beda agama menjadi sesuatu yang

penting untuk dikaji dan diteliti demi mendapat suatu preskripsi hukum yang tepat dari

status hukumnya yang masih ambigu. Dalam upaya ini, maka meneliti pemikiran salah

satu tokoh yang mencurahkan pemikirannya dalam hal ini, yakni Syaikh Sayid

Muhammad Rasyid Ridha yang diharapkan mampu untuk memberikan preskripsi atas

keambiguan hukum yang ada.

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti, mengkaji, dan mendeskripsikan

pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha terkait konsep ahl al-kitāb dan

pengaruhnya terhadap hukum perkawinan beda agama menurut pemikirannya serta

kemudian dihubungkan dengan konteks keindonesiaan untuk mengetahui relevansi

hukum perekawinan beda agama menurut pendapat Ridha dengan hukum perkawinan

yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif

yang termasuk dalam jenis penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan yang

bersifat deskriftif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan

data kepustakaan (library research).

Dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa yang termasuk musyrikat

menurut Rasyid Ridha adalah penyembah berhala dari bangsa Arab yang tidak

memiliki kitab suci. Di sisi lain, ahl al-kitāb menurut Rasyid Ridha adalah semua

agama yang memiliki kitab suci yang dijadikan pedoman dalam kehidupannya.

Berdasarkan hal tersebut, perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim

boleh menurutnya. Jika dihubungkan dalam konteks Indonesia maka keempat agama

yang diakui di Indonesia selain Islam menurut Ridha adalah termasuk kelompok ahl

al-kitāb, maka bagi laki-laki muslim diperbolehkan untuk mengawini perempuan-

perempuan mereka. Pendapat yang Rasyid Ridha sampaikan ini jelas tidak sejalan dan

tidak relevan dengan Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia yang melarang

perkawinan beda agama.

Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama, Ahl al-Kitāb, Rasyid Ridha

Pembimbing : Afwan Faizin, MA

Page 6: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرمحن الرحيم

Assalāmu’alaikum Wr. Wb.

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah

melimpahkan berkah, rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahcurahkan

kepada baginda nabi Muhammad saw, juga kepada keluarga, sahabat, dan kepada

seluruh umatnya di seluruh dunia yang mudah-mudahan mendapat syafā’atnya di

akhirat nanti, terkhusus kita semua.

Penulis merasa bahwa skripsi yang berjudul “HUKUM PERKAWINAN

BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN SYAIKH MUHAMMAD RASYID

RIDHA” ini bukanlah merupakan hasil karya penulis semata, tetapi juga merupakan

hasil bimbingan, bantuan, serta kontribusi dari berbagai pihak, terkhusus kepada

Ayahanda tercinta Radim Miharja dan Ibunda tercinta Ai Rukiyah, serta adik-adik

kandung penulis (Siti Falihatul Fitria dan Mutiara Siti Nurlatifah) yang senantiasa

membantu dan mendoakan, serta memberikan masukan-masukan kepada penulis

dalam menghadapi segala kesulitan dan tantangan yang dialami. Semoga senantiasa

selalu diberikan keberkahan oleh Allah swt. Amin!

Penulis juga merasa bahwa karya skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan

masih banyak kekurangannya di sana-sini, terutama disebabkan karena keterbatasan

penulis sendiri sebagai manusia biasa, untuk itu kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan. Selanjutnya, tidak lupa penulis haturkan banyak terimakasih

kepada seluruh pihak atas segala bimbingan dan kontribusinya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Semoga menjadi catatan amal baik dan mendapatkan

balasan yang sebaik-baiknya dari Allah swt. Amin!

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

Page 7: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

vii

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas

Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta;

3. Indra Rahmatullah, SH.I, MA, Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

4. Afwan Faizin, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan

waktunya untuk memberikan masukan-masukan serta motivasi kepada penulis

dari awal hingga akhir terselasaikannya skripsi ini;

5. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff yang telah banyak

membantu dan memberi pencerahan, serta menyediakan fasilitas-fasilitas yang

memudahkan penulis menjalani studi hingga akhirnya dapat menyelesaikan

skripsi ini;

6. Kepala Perpustakaan dan para Pustakawan Perpustakaan Utama dan

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan

referensi bagi penulis;

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun

2013 yang telah menjadi teman berjuang dalam mencari ilmu;

8. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, MA, Ketua Yayasan Islam Sabilussalam, Prof. Dr.

Suwito, MA, Dewan Penasihat Pesantren Luhur Sabilussalam, Prof. Dr. H. D.

Hidayat, MA, Direktur Pesantren Luhur Sabilussalam, Dr. Dede Abdul Fatah,

SH.I, M.Si, Ketua Pengurus Harian Pesantren Luhur Sabilussalam;

9. Segenap Dosen Pesantren Luhur Sabilussalam, serta rekan-rekan Pengurus

Pesantren Luhur Sabilussalam yang menjadi teman sepengabdian;

10. Rekan-rekan alumni Pesantren Luhur Sabilussalam angakatan ke-20 serta

seluruh alumni dan Keluarga Mahasantri Pesantren Luhur Sabilussalam

Page 8: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

viii

(KMPLS) yang terus menemani dan memberi motivasi kepada penulis untuk

terus berjuang menyelesaikan studi;

11. Rekan-rekan Keluarga Alumni Asshiddiqiyah (KAA) Regional Jabodetabek

dan rekan-rekan Keluarga Mahasiswa Islam Karawang (KMIK) Jakarta;

Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pihak yang

banyak memberi kontribusi dalam memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis

dalam menjalani masa studi hingga dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya

tidak dapat penulis tuliskan satu persatu. Semoga Allah swt membalas kebaikan semua.

Tangerang Selatan, Oktober 2018

Penulis,

M. Andri Iskandar Sholeh

Page 9: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7

D. Metode Penelitian .................................................................................. 8

E. Sistematika Penulisan.......................................................................... 10

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TEORI DAN REVIEW

KAJIAN TERDAHULU

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ................................................ 11

B. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Perkawinan Beda

Agama ................................................................................................... 15

C. Dasar Hukum Perkawinan Beda Agama .......................................... 16

D. Review Kajian Terdahulu .................................................................... 22

BAB III HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM

PERSPEKTIF FIKIH

A. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-muslim ........................ 26

B. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik ............................... 28

C. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahl al-Kitāb ................................ 31

BAB IV RASYID RIDHA DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Riwayat Hidup Rasyid Ridha ............................................................. 39

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha ........................... 44

C. Relevansi Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha dengan

Hukum Perkawinan yang Berlaku di Indonesia .............................. 51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................... 60

B. Saran ....................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 62

Page 10: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Penulisan transliterasi Arab-Latin yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah transliterasi dari Buku Pedoman Penulisan Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 sebagai berikut:

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

No Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا 1

b be ب 2

t te ت 3

ts te dan es ث 4

j je ج 5

ẖ ha dengan garis bawah ح 6

kh ka dan ha خ 7

d de د 8

dz de dan zet ذ 9

r er ر 10

z zet ز 11

s es س 12

sy es dan ye ش 13

s es dengan garis bawah ص 14

d de dengan garis bawah ض 15

t te dengan garis bawah ط 16

z zet dengan garis bawah ظ 17

Page 11: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

xi

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع 18

gh ge dan ha غ 19

f ef ف 20

q qo ق 21

k ka ك 22

l el ل 23

m em م 24

n en ن 25

w we و 26

h ha ه 27

apostrop ` ء 28

y ya ي 29

2. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal

atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

No Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1 a fathah

2 i kasrah

3 u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya

sebagai berikut:

No Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي 1 ai a dan i

Page 12: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

xii

و 2 au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

No Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا 1 ā a dengan topi di atas

ي 2 ȋ i dengan topi di atas

و 3 ū u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan

lam (ال), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau

huruf qamariyyah. Misalnya:

al-ijtihād = اإلجتهاد

al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة

5. Tasydȋd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydȋd dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku

jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf­huruf syamsiyyah. Misalnya:

الشفعة = al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah.

6. Ta Marbūtah

Jika ta marbūtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau

diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbūtah tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbūtah tersebut diikuti dengan

Page 13: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

xiii

kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat

contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

syarȋ’ah شريعة 1

al-syarȋ’ah al-islāmiyyah الشريعة اإلسالمية 2

املذاهبمقارنة 3 muqāranat al-madzāhib

7. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam

transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri

didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf

awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري =

al­Bukhāri, tidak ditulis al­Bukhāri Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau

cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama­nama yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama

tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al­Raniri, tidak ditulis Nūr

al­Dȋn al­Rānȋrȋ.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis

secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada

ketentuan­ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

al-darūrah tubȋhu al-mahzūrāt الضرورة تبيح احملظورات 1

al-iqtisād al-islāmȋ اإلقتصاد اإلسالمي 2

ūsūl al-fiqh أصول الفقه 3

Page 14: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

xiv

اإلابحةألصل يف األشياء ا 4 al-asl fȋ al-asyyā al-ibāhah

al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5

Page 15: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan banyak ragam perbedaan,

seperti etnis, suku, budaya, bahasa dan lainnya. Seiring berkembangnya zaman,

semakin berkembang pula pola hidup manusia. Perbedaan-perbedaan tersebut

tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi satu sama lain, sebagaimana

fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup

manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan yang juga semakin

kompleks, begitu juga dalam hal perkawinan. Banyak terjadi praktik

perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan masyarakat, seperti

perkawinan campuran,1 perkawinan sejenis, kawin kontrak dan perkawinan

antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.

Perkawinan beda agama adalah salah satu bentuk permasalahan yang

sering kali muncul di tengah kehidupan masyarakat. Angka-angkanya setiap

tahun meningkat tajam. Karena begitu krusialnya, pada tahun 1980-an dan

diulang pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan

keharaman perkawinan beda agama. Namun, meskipun secara de jure fatwa

tersebut terus dikumandangkan dengan keras oleh lembaga tersebut, secara de

facto fenomena tersebut terus bergulir dan tidak dapat dibendung.2

Apabila dibagi, dalam doktrin Islam perkawinan beda agama terbagi

menjadi empat bentuk:

1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb.

2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik.

1 Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran

adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang

dimaksudkan disini. 2 Mohammad Monib Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan

Nurcholish Madjid, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 152

Page 16: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

2

3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb.

4. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki musyrik.

Perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh

jumhur ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan QS. al-

Baqarah (2) ayat 221:

ولمة ت حتى ي ؤمنى ر مؤمنة ول تنكحوا ٱلمشرك

تنكحوا ول أعجب تكم ولو كة مشر م ن خي ولعبد

ر مؤمن ٱلمشركني حتى ي ؤمنوا

عون إل ٱلنىار يد أولئك بكم أعج ولو مشرك م ن خي ءايتهۦ للنىاس لعلىهم ي كىرون وٱللى يدعوا إل ٱلنىة وٱلمغفرة بذنهۦ وي ب ني ت

(22122)البقرة/Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan

musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak

yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia

menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik

(dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,

walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia

supaya mereka mengambil pelajaran.”

Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam al-

Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan

mayoritas ulama tidak memasukkan ahl al-kitāb dalam kelompok yang dinamai

musyrik, tetapi hal ini bukan berarti ada izin untuk laki-laki ahl al-kitāb

mengawini perempuan muslim. Sementara Perkawinan dalam bentuk pertama,

sebagian ulama membolehkannya dan sebagian lain mengharamkannya. Ulama

yang membolehkan berdasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. al-Maidah

(5) ayat 5:

ين أوتوا ٱلكتب حل م حل وطعامكم كم لى ٱلي وم أحلى لكم ٱلطىي بت وطعام ٱلى لىين و تمونى أوتوا ٱلكتب من ق ٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱلى بلكم إذا ءات ي

ي أخدان فحني ول متىخ ر مس صنني غي ين ف قد حبط ب فر يك ومن أجورنى م ٱلو ف ٱلخرة من ٱلسرين (525)املائدة/عملهۥ و

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu, dan

Page 17: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

3

makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)

perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan

yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di

antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah

membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak

dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-

hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk

orang-orang merugi.”

Dari teks zahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah membolehkan

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb yang

muhsanāt artinya perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari

perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanāt ketika

dirangkaikan dengan ūtū al-kitāb dari ayat di atas dengan arti perempuan-

perempuan yang merdeka atau perempuan-perempuan yang sudah kawin.3

Kelompok yang mengharamkan, mengatakan bahwa QS. al-Ma'idah

(5): 5 tentang pembolehan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahl

al-kitāb telah dinasakh oleh QS. al-Baqarah (2): 221. Di antara yang

berpendapat demikian adalah Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Zaidiyah. Seorang

sahabat nabi, Ibnu 'Umar r.a, ketika ditanya tentang perkawinan antara laki-laki

muslim dengan perempuan ahl al-kitāb menjawab: Allah mengharamkan

perempuan-perempuan musyrik dikawini orang-orang Islam dan aku tidak

melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang berkata: 'Isa

adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.4 Dapat

disimpulkan bahwa Ibnu 'Umar tidak membedakan antara ahl al-kitāb dan

musyrik, yakni karena ahl al-kitāb berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori

musyrik.

Adapun golongan yang membolehkan berpendapat bahwa QS. al-

Maidah (5) ayat 5 secara jelas membolehkan perkawinan antara laki-laki

muslim dengan perempuan ahl al-kitāb dan QS. al-Maidah (5) ayat 5 tidak

3 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an, cet.

III, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 29 4 Muhammad Ali as-Sabuni, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Pen. Mu’ammal

Hamidy, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), h. 232

Page 18: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

4

dapat dinasakh oleh QS. al-Baqarah ayat 221 karena QS. al-Maidah (5) ayat 5

turun setelah QS. al-Baqarah (2) ayat 221.5 Selain itu mereka menguatkan

pendapat mereka dengan berpendapat bahwa terdapat beberapa sahabat dan

tabi'in yang pernah melakukan perkawinan dengan perempuan ahl al-kitāb.

Dari kalangan sahabat antara lain ialah 'Usman, Talhah, Ibnu 'Abbas, Jabir bin

Huzaifah. Sedangkan dari kalangan tabi'in semisal Sa'id ibn Musayyab, Sa'id

ibn Zubair, al-Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah, al-Sya'abiy dan al-Dahhak.6

Mereka tetap berpegang pada teks ayat yang membolehkan perkawinan

semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun akidah ketuhanan ajaran

Yahudi dan Nasrani tidak sepenuhnya sama dengan akidah Islam, tetapi al-

Qur’an tidak menamai mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani

sebagai orang-orang musyrik.7

Mereka yang membolehkan juga berpegang pada kaidah Syar’iyah yang

normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggungjawab kepemimpinan terhadap

istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan

anak-anak. Laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan non-muslim yang

ahl al-kitāb agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme,

sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan

dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu sang

istri dapat lebih mengenal keindahan Islam secara amaliah praktis, sehingga dari

dampak perlakuan baik tersebut ia mendapatkan ketenangan, kebebasan

beragama, serta hak-haknya yang sempurna.8

Pada dasarnya, perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai

hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb

bermula ketika mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk ahl al-kitāb.

Imam Syafi'i misalnya, memahami istilah ahl al-kitāb sebagai orang Yahudi

dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain

5 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 7 6 Muhammad Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.

22 7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan: 2007), h. 260 8 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 263

Page 19: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

5

yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa

Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka, orang-orang Israel, bukan

kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga karena adanya redaksi min qablikum

(sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan perkawinan itu.9

Berbeda dengan Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-

pakar hukum kontemporer menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai

salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, maka ia

termasuk ahl al-kitāb. Dengan demikian, ahl al-kitāb tidak terbatas pada

kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang

hanya percaya pada Suhuf Ibrahim atau Zabur yang diberikan kepada Nabi

Dawud a.s saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-kitāb.

Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang

menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai

kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl al-kitāb, seperti

halnya Majusi.10

Sementara dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, dalam

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur

perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran dan tidak secara jelas

dan tegas mengatur bagaimana hukum perkawinan beda agama. Namun, meski

begitu, bagi umat Islam di Indonesia terkait aturan perundangan yang mengatur

tentang perkawinan beda agama lebih jelas disebutkan dalam KHI pasal 40 dan

pasal 44 sangat jelas mengaharamkan perkawinan antara seorang muslim

dengan orang non-muslim. Begitu pula MUI dalam fatwa No. 4/MUNAS

VII/MUI/8/2005 mengaharamkan praktik perkawinan beda agama anatara

seorang muslim dengan non-muslim.

Perkawinan beda agama yang akan diuraikan oleh penulis dalam

penelitian ini adalah perkawinan yang terjadi antara orang muslim yang kawin

dengan orang non-muslim. Dari berbagai segi perbedaan pendapat antara para

ulama tentang perkawinan beda agama yang ada, di sini fokus penulis ingin

9 Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, h. 57-58 10 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483-484

Page 20: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

6

mengkaji salah satu pendapat dan pemikiran dari ulama terkenal yaitu Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha. Penulis akan menelaah dan menganalisis ulang

mengenai pendapat serta pemikiran beliau tentang apa dan bagaimana

perkawinan beda agama tersebut. Rasyid Ridha termasuk ulama yang

membolehkan perkawinan dengan perempuan yang berlainan agama. Keunikan

pendapat Rasyid Ridha dalam menghukumi perkawinan beda agama terletak

pada pemaknaannya terhadap term ahl al-kitāb. Term ahl al-kitāb menurut

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tidak hanya sebatas dua komunitas Yahudi

dan Nasrani sebagaimana pendapat mayoritas ulama mazhab, melainkan semua

penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan mempedomani salah satu

kitab suci merupakan ahl al-kitāb, seperti Majusi, Shabi’un, Hindu, Buda,

Konghucu, Sinto, dan lain-lain.11 Sehingga pembolehan perkawinan beda

agamapun menjadi semakin luas.

Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk mengangkat tema

ini dengan judul: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT

SYAIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah.

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah kumpulan masalah-masalah yang berkaitan

dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul pada narasi latar

belakang diatas akan akan dipaparkan sebagai berikut:

1) Bagaimana Islam memandang perkawinan beda agama?

2) Bagaimana hukum di Indonesia memandang perkawinan beda agama?

3) Bagaimana konsep ahl al-kitāb menurut Syaikh Muhammad Rasyid

Ridha?

4) Bagaimana pandangan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum

perkawinan beda agama?

5) Apa yang menjadi dasar Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam

menentukan arah pemikirannya?

11 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsȋr al-Qur’ān al-Hakȋm Juz 6, cet II, (Dār al-Manār, 1947),

h. 193

Page 21: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

7

6) Bagaimana metode penetapan hukum yang dilakukan oleh Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha?

7) Bagaimana relevansi pendapat Rasyid Ridha dengan hukum perkawinan

yang berlaku di Indonesia mengenai perkawinan beds agama?

2. Batasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini tidak meluas hingga menyebabkan pokok

permasalahan tidak terarah, maka penulis membatasi pada permasalahan utama,

yaitu:

“Pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum

perkawinan beda agama (muslim dengan non-muslim) serta relevansinya

dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia”

3. Perumusan Masalah

Untuk lebih memperjelas penelitian, maka perlu dirumuskan pokok

permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:

“Bagaimana pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang

hukum perkawinan beda agama serta relevansinya dengan hukum perkawinan

yang berlaku di Indonesia?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji, meneliti dan mendeskripsikan pemikiran pemikiran

Syaikh Muhammad rasyid Ridha hukum perkawinan beda agama.

2. Untuk mengetahui relevansi antara pemikiran Muhammad Rasyid Ridha

dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia tentang perkawinan

beda agama.

Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangsih pemikiran kepada semua kalangan masyarakat untuk

menambah wawasan pengetahuan hukum agar ilmu tersebut tetap hidup dan

berkembang khususnya yang berkaitan dengan makna perkawinan beda

agama.

Page 22: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

8

2. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap civitas akademika aga

memperkaya wawasan serta pengetahuan hukum khususnya terkait dengan

makna hukum perkawinan beda agama.

3. Dan untuk pribadi sendiri, penelitian ini merupakan suatu pengajaran

berharga dalam melakukan suatu telaah terhadap suatu pemikiran tentang

hukum perkawinan beda agama.

D. Metode Penelitian

Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan

tertentu, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan

teknik tertentu. Cara utama ini dipergunakan setelah peneliti memperhitungkan

kewajaran, ditinjau dari penelitian dan situasi penelitian.12 Dan metode adalah

proses, prinsip-prinsip dan tatacara memecahkan suatu masalah, sedangkan

penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu

gejala untuk merambah pengetahuan manusia.13 Jadi metode penelitian dapat

diartikan sebagai proses, prinsip-prinsip dan tatacara untuk memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kualitatif,

yaitu penelitian yang jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat

naratif dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran.14 Lalu

pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah

pendekatan deskriptif analisis. Analisis ini akan digunakan dalam usaha

mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan

data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti

terhadap suatu obyek penelitian,15 yakni dengan menekankan pada karya dan

12 Sutrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980), h. 63 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6. 14 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26 15 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 116

Page 23: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

9

argumentasi Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum perkawinan

beda agama. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah, mengkritik, serta

diharapkan dapat memberi solusi terkait dengan perkawinan beda agama.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data

diperoleh.16 Dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi sumber data primer

dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah suatu objek atau

dokumen original, material mentah dari pelaku yang disebut “first hand

information”.17 Sumber data primer yang dimaksud dalam penelitian ini

tentunya adalah karya dari Syaikh Muhammad Rasyid Ridha sendiri yaitu

kitab Tafsȋr al-Manār dan ditambah dengan fatwa-fatwa beliau yang telah

dikumpulkan dalam kitab Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridha.

Sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari

tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum

penelitian dilakukan.18 Sumber data sekunder yang diperoleh terdiri dari buku-

buku, surat kabar, kamus majalah, jurnal, artikel dan sumber lainnya yang

berkaitan dengan tema dan dapat memperjelas data primer.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca,

mempelajari serta menganalisa dengan metode dokumentasi atau studi

dokumentasi. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-

barang tertulis.19

4. Analisis Data

Analisis data20 yang digunakan berdasarkan pada tujuan penelitian

yang ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah

16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Asdi

Mahasatya, 2002), h. 107 17 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 289 18 Silalahi, Metode Penelitian Sosial, h. 291 19 Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, h. 135 20 Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan kedalam bentuk yang lebih mudah

untuk dibaca dan di interpresentasikan. Hadi, Metode Research., h. 37

Page 24: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

10

tersedia dari berbagai sumber, yaitu pengamatan, dokumentasi dan data yang

diperoleh dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang

diperoleh dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang

pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dikendalikan. Maka

dalam hal ini penulis menggunakan analisa kualitatif, dimana data analisa

dengan metode deskriptif, dengan cara mengidentifikasi menyusun dan

mengolah, menguraikan secara sistematis, kemudian dilakukan analisa dengan

menjabarkan, menginterpretasikan dengan penafsiran sistematis, sosiologis,

historis dan menyusun secara logis dan sistematis pemikiran Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum perkawinan beda agama. Untuk

menarik hasil dan kesimpulan dari penelitian ini. Penulis akan menyajikan

dengan menggunakan metode deduktif.21

5. Pedoman Penulisan Data

Dalam penulisan data dalam karya skripsi ini, penulis berpedoman

pada ketentuan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum

2017.22

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, penulis akan menguraikan hal-hal yang

akan dibahas dari BAB I sampai BAB V, yaitu: BAB I membahas latar belakang

penelitian, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II membahas

tentang konsep perkawinan beda agama pada umummnya. Sebagai landasan

teori, pada bab dua ini sangat penting untuk mengetahui secara umum arah peta

tinjauan perkawinan beda agama, mencakup uraian tentang pengertian

perkawinan, pengertian perkawinan beda agama serta dasar hukum dan faktor-

faktor yang mendorong terjadinya perkawinan beda agama. BAB III berisi

konsep hukum perkawinan beda agama dalam fikih terutama dalam perspektif

ulama empat madzhab. BAB IV mendeskripsikan dan membahas biografi

21 Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, h. 140 22 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum 2017, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)

Page 25: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

11

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha sekaligus menganalisis pemikirannya tentang

konsep hukum perkawinan beda agama dan relevansinya dengan hukum

perkawinan di Indonesia. Bab V penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.

Page 26: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

11

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TEORI DAN REVIEW KAJIAN

TERDAHULU

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama

1. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin atau bersetubuh. Perkawinan juga biasa disebut dengan pernikahan,

berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling

memasukkan dan digunakan pula untuk arti bersetubuh (wath`). Kata nikah sendiri

sering digunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.1

Sedangkan menurut al-Azhari akar kata nikah dalam ungakapan bahasa Arab

artinya hubungan badan, dikatakan pula bahwa berpasangan juga merupakan salah

satu makna dari kata nikah. al-Farisi mengatakan: “Jika mereka mengatakan bahwa

si fulan atau anaknya fulan menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan

akad, namun jika dikatakan bahwa ia menikahi istrinya berarti yang dimaksud

adalah berhubungan badan”.2

Dalam literatur Islam, yang sesungguhnya semata-mata merupakan

keturunan dari istilah yang digunakan al-Qur’an dan hadis, perkawinan lazim

diistilahkan dengan sebutan al-nikāh atau al-tazwȋj. Secara literal, nikah (kawin)

artinya berkumpul atau berhimpun (al-damm wa al-jam’), di samping juga berarti

bersetubuh dan akad (al-wath` wa al-‘aqd) yang lazim diistilahkan dengan

ungkapan akad pernikahan/akad perkawinan (‘aqd al-nikāh au ‘aqd al-tazwȋj).3

1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 7 2 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami’ Fi al-Fiqh an-Nisā (Fiqh Perempuan), cet I,

(Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 375 3 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syari’ah dan Qanuniah,

(Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 18

Page 27: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

12

Secara istilah (terminologi), ulama mendefinisikan perkawinan dalam

beberapa redaksi, antara lain:

Wahbah Zuhaili mendefinisikan perkawinan demgan redaksi sebagai

berikut:

حل إستمتاع المرأة و الزواج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك إستمتاع الرجل بلمرأة 4.بلرجل

Artinya: “Perkawinan menurut syariat yaitu akad yang ditetapkan untuk

membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.

Hanafiah mendefinisikan “Perkawinan adalah akad yang memberi faidah

untuk melakukan mut’ah secara sengaja”. Artinya, kehalalan seorang laki-laki

untuk ber-istimtā’ dengan seorang perempuan selama tidak ada faktor yang

menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara syar’ȋ.5 Menurut Hanabilah

“Perkawinan adalah akad yang menggunakan kata inkāh yang bermakna tazwȋj

dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang”.6 Redaksi yang

berbeda dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin dalam Kifāyat al-Akhyār, beliau

mendefinisikan “Nikah sebagai ibarat akad yang masyhur yang terdiri dari rukun

dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wath’ (bersetubuh)”.7

Dari pengertian nikah dalam konteks syar’ȋ yang telah diformulasikan oleh

beberapa ulama fikih di atas jelas terdapat berbagai rumusan yang saling berbeda-

beda satu sama lainnya. Jangankan antara mazhab fikih yang berbeda aliran politik

dan mazhab teologisnya, antara mazhab fikih yang sama aliran teologis dan aliran

politiknyapun tidak jarang diwarnai berbagai perbedaan. Perhatikan misalnya

pengertian nikah yang didefinisikan oleh empat mazhab (Syafi’iyah, Malikiyah,

4 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmȋ Wa Adillatuhu, cet III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 29 5 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39 6 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, (Beirut: Dar al-Kutub

al-Ilmiah, 2003), h. 9 7 Imam Taqiyuddin, Kifāyat al-Akhyār Fi Hāl Ghāyat al-Ikhtiyār Juz 2, (Surabaya: Darul Ihya,

t.t), h. 36

Page 28: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

13

Hanafiah dan Hanabilah) yang aliran politiknya lazim dianggap sebagai sesama

ulama Sunni dan aliran mazhab teologisnya sama-sama berada dalam lingkungan

Ahlussunnah Waljama’ah (Asy’ariyah/Maturidhiyah) toh berlainan juga dalam

memberikan definisi perkawinan.8

Apalagi jika dikaitkan dengan para ulama fikih yang berlainan aliran politik

teologisnya semisal Syi’ah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Karenanya hampir

mustahil kita bisa mempertemukan berbagai definisi nikah atau perkawinan itu

dalam satu rumusan yang benar-benar representatif, apalagi lengkap, sempurna dan

memuaskan semua pihak. Namun, betapapun sulitnya kita tetap penting

mengetahui definisi nikah atau perkawinan ini sebagai landasan utama bagi

pembahasan selanjutnya. Lagi pula perbedaan yang terdapat pada masing-masing

definisi perkawinan itu pada umumnya, bahkan secara keseluruhan tidak dalam

bentuk yang konfrontatif melainkan perbedaan dalam hal-hal yang bersifat

keberagaman.9

Atas dasar ini maka berbagai perbedaan yang ada seputar masalah

perkawinan bukan suatu hal yang mustahil manakala di masa-masa mendatang

justru akan menjadi sumbangsih positif bagi masing-masing negara Islam/negara

yang mayoritas berpenduduk muslim untuk saling mengadopsi hukm perkawinan

yang lebih baik dan lebih adil. Penganutan paham secara ketat dan kaku kepada

mazhab tertentu (taklid buta) yang pernah melanda dunia Islam dalam masa yang

sangat panjang, dewasa ini mulai beralih sedikit demi sedikit menuju ke arah talfȋk

mazhab yang kooperatif. Setidaknya dalam bidang-bidang tertentu.10

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

mendefinisikan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

8 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, h. 8-9 9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press,

2005), h 44 10 Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,h. 45

Page 29: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

14

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pengertian perkawinan menurut undang-undang ini bukan hanya sekedar sebagai

suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan

keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan

digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan

yang dianut oleh rakyat Indonesia.11 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dijelaskan bahwa yang dimaksud perkawinan ialah akad yang sangat kuat

atau mȋtsāqan ghalȋzan, untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

2. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang, laki-laki dan

perempuan yang tunduk pada hukum yang berlainan karena beda agama.12

Perkawinan lintas agama sangat lumrah terjadi, praktik ini bahkan sudah terjadi

jauh sejak masa-masa sebelum kenabian Muhammad SAW, karena kebutuhan akan

adanya interaksi dan komunikasi antar manusia yang bahkan berbeda agama

sekalipun inilah yang memungkinkan hal itu terjadi. Dalam konteks Islam, jika

menelaah beberapa ayat al-Qur’an, maka dapatlah disimpulkan bahwa ada lima

macam perkawinan sepanjang sejarah umat manusia, yaitu:

1) Perkawinan antara laki-laki mukmin dengan perempuan kafir, di antara

contohnya ialah perkawinan Nabi Nuh dengan istrinya dan Nabi Luth

dengan istrinya. Nabi Nuh dan Nabi Luth adalah muslimin-mukminin yang

sangat taat dan saleh; sementara masing-masing istrinya, baik istri Nabi

Nuh maupun Nabi Luth, keduanya tergolong kedalam deretan orang-orang

kafir, fasik dan munafik.

11 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,

(Bandung: Alumni, 1978), h. 9 12 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1997), h. 55

Page 30: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

15

2) Perkawinan antara perempuan muslimat-mukminat dengan laki-laki kafir

(non-muslim), di antara contohnya ialah kasus Siti Asiyah yang dikawini

oleh Firaun yang bukan saja kafir musyrik, melainkan juga pernah

menobatkan dirinya sebagai tuhan, bahkan klaim tuhan tertinggi.

Perkawinan Asiyah dengan Firaun ini bukanlah perkawinan yang dilakukan

atas kemauan Asiyah, melainkan atas keterpaksaan dan dipaksanya Asiyah

untuk dijadikan istri Firaun semata-mata demi menyelamatkan orangtuanya

dari siksaan Firaun sekiranya Asiyah menolak jadi istri Firaun.

3) Perkawinan antara laki-laki kafir dengan perempuan kafir seperti halnya

perkawinan antara Abu Lahab/Abu Jahal dengan istrinya (Ummu Jamil)

dan perkawinan umumnya para laki-laki kafir dengan permpuan kafir.

4) Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan muslim, inilah

perkawinan yang paling ideal dan paling banyak terjadi di kalangan sesama

umat Islam, mulai dari kebanyakan para nabi, para wali, orang-orang yang

benar (al-siddȋqȋn) dan para pahlawan (al-syuhadā) dan orang-orang saleh.

5) Perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non-

muslim sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang sahabat besar Nabi

Muhammad SAW, di antara contohnya Perkawinan Hudzaifah bin al-

Yaman yang menikahi perempuan Yahudiah dari suku al-Mada’in, Utsman

bin ‘Affan yang menikahi Nasraniyyah (Na’ilah binti al-Farafishah al-

Kalbiyyah) yang kemudian masuk Islam di tangan Utsman, Yasir Arafat

dengan Suha dan terutama perkawinan antara perempuan muslim dengan

laki-laki non-muslim yang perdebatan hukumnya sampai sekarang masih

tetap bergulir di tengah-tengah masyarakat.13

B. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Perkawinan Beda Agama

Melihat heterogenitas kehidupan masyarakat, tentunya tidak heran apabila

terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.

13 Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syari’ah dan Qanuniah, h. 97-100

Page 31: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

16

Semuanya tidak lepas dari beberapa faktor dan dorongan yang mempengaruhi

terjadinya perkawinan tersebut. Berikut penulis menguraikan beberapa faktor yang

mempengaruhi terjadinya perkawinan beda agama:

1. Pergaulan hidup sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan

bermasyarakat yang heterogen atau terdiri dari beraneka ragam suku, budaya

dan agama. Bergaul dan berinteraksi tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang

ada terlebih agama antara satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan

perasaan cinta yang tidak dapat dihindari.

2. Pendidikan tentang agama yang minim. Banyak orangtua yang jarang atau

bahkan tidak pernah mengajarkan anak-anaknya sedini mungkin tentang

agama. Sehingga dalam pertumbuhannya menjadi dewasa, ia tidak

mempersoalkan agama yang diyakininya termasuk dalam hal perkawinan

terkait agama yang diyakini pasangannya.

3. Latar belakang orang tua. Faktor ini juga sangat penting, karena pasangan yang

menikah beda agama tentu tidak lepas dari adanya latar belakang orangtuanya

yang juga menikah dalam keadaan agama yang berbeda. Mungkin bagi mereka

tidak jadi masalah apabila menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan

karena berdasarkan riwayat orang tua. Tentu jika kehidupan orangtua tersebut

berjalan harmonis maka akan menjadi contoh bagi anak-anaknya kelak dalam

perkawinan beda agama.

4. Kebebasan memilih pasangan. Tentu sekarang adalah zaman yang modern di

mana para laki-laki dan perempuan dengan bebasnya memilih pasangan sesuai

dengan keinginannya. Adanya kebebasan memilih pasangan ini, tidak bisa

dipungkiri jika ada kemungkinan banyaknya orang yang memilih pasangan

yang berbeda agama atas dasar cinta dan kasih.

5. Pola pergaulan anak-anak Indonesia dipengaruuhi pergaulan hidup orang barat

yang mengandung unsur-unsur kebebasan dari ikatan norma-norma susila dan

Page 32: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

17

agama. Sehingga bagi anak-anak muda menikah dengan pasangan yang

berbeda agama adalah hal yang lazim dan tidaklah menjadi masalah. 14

C. Dasar Hukum Perkawinan Beda Agama

Pada dasarnya, dalam menghukumi perkawinan beda agama selalu

berpegang pada beberapa firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang penulis kutip

di bawah ini:

1. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 221:

ولمة ت حت ي ؤمن ر مؤمنة ول تنكحوا ٱلمشرك تنكحوا ول أعجب تكم لو و مشركة م ن خي

ولعبد ر مؤمن ٱلمشركني حت ي ؤمنوا عون إل ٱلنار يد أولئك م أعجبك ولو مشرك م ن خي

ءايتهۦ للناس لعلهم ي تذ يدعوا إل ٱلنة وٱلمغفرة بذنهۦ وي ب ني (22122)البقرة/كرون وٱللArtinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik,

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin

lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan

janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-

perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang

mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.

Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan

dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-

perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

2. Firman Allah dalam QS. al-Mumtahanah (60): 10:

جرت ي ها ٱلذين ءامن وا إذا جاءكم ٱلمؤمنت مه ٱلل ف ي ف ن علمتموهن ٱمتحنوهن

أعلم بننهنم ٱلكفار ل هن حل إل ت رجعوهن فل مؤمنت ول ن يلو هم ول ل

وءاتوهم ما أنفقوا

لنسكوا بعصم ٱلكوافر و ول ت

تموهن أجورهن لوا ما س جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءات ي عليم حكيم س أنفقتم ولي نكم وٱلل كم ب ي لكم حكم ٱلل ي ذ

(11201)املمتحنة/ لوا ما أنفقوا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah

kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji

(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan

mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)

beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami

mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu

14 Jane Marlen Makalew, “Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia”, Lex

Privatum, vol. 1, No. 2, April-Juni 2013, h. 138-139

Page 33: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

18

dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah

kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada

dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka

maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)

dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar

yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah

mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara

kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

3. Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5): 5:

ت وطعام ٱلذين أوتوا ٱلكتب حل م حل وطعامكم لكم ٱلي وم أحل لكم ٱلطي ب ٱلمحصنت و لتموهن أجوره من صنني ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱلذين أوتوا ٱلكتب من ق بلكم إذا ءات ي ن

فحني ول متخذي أخدان ر مس نن ف قد حبط ع ب يكفر ومن غي ٱلخرة مله وهو ٱل (525)املائدة/ من ٱلسرين

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan

makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)

perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan

yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di

antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah

membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan

maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum

Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-

orang merugi.”

Terdapat dua riwayat mengenai sebab turunnya ayat yang pertama.

Pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi, dari

Muqatil berkata: “Ayat ini turun pada Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi, ia meminta

izin kepada Rasulullah SAW untuk mengawini perempuan yang bernama Anaq,

perempuan tersebut adalah orang musyrik, cantik dan kaya. Maka turunlah QS. al-

Baqarah (2) ayat 221”. Kedua, Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari jalur al-Suddi dari

Abu Malik, dari Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun pada Abdullah bin Rawahah,

ia mempunyai budak wanita yang hitam, dan ia sedang marah kepada budaknya

tersebut dan menamparnya, karena takut dengan apa yang telah ia lakukan, maka

Page 34: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

19

ia datang kepada Rasulullah untuk menceritakan apa yang telah ia lakukan dan

kemudian berkata, “Aku akan memerdekakannya dan mengawininya,” dan ia

benar-benar melakukannya. Beberapa orang muslim mengejeknya dengan berkata,

“Ia mengawini seorang budak,” maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut. Dan

riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari al-Suddi dengan derajat

Munqati’.15

Pada ayat kedua, yaitu QS. al-Mumtahanah (60) ayat 10 terdapat beberapa

riwayat mengenai sebab turunnya ayat tersebut. Imam Bukhari dan Muslim

meriwayatkan dari al-Masur Marwan bin Hakam bahwa ketika Rasulullah SAW

membuat kesepakatan damai dengan orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah,

datanglah beberapa wanita mukminah kepada beliau. Allah lalu menurunkan ayat

tersebut. Imam al-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah

bin Abi Ahmad yang berkata, “Pada masa berlangsungnya perjanjian damai (antara

kaum muslimin dengan kaum kafir Mekah), Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi

Mu’ith melakukan hijrah ke Madinah, dua orang saudara laki-laki Ummu Kultsum,

yaitu Umarah dan Walid, lantas datang menemui Rasulullah dan meminta beliau

untuk mengembalikan Ummu Kultsum kepada mereka. Akan tetapi, Allah SWT

membatalkan perjanjian antara Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik tersebut,

khususnya dalam masalah wanita mukminah di mana Allah SWT melarang beliau

mengembalikan mereka kepada orang-orang musyrik. Ketika itu Allah SWT

menurunkan ayat tersebut”.16

Ibnu Hatim meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib bahwa yang ia dengar

adalah ayat ini turun berkenaan dengan Umaimah binti Basyar, Istri Abu Hassan

al-Dahdahah. Diriwayatkan juga bahwa ada seorang wanita bernama Sa’idah yang

merupakan istri dari Shaifi bin Rahib, seorang musyrik Mekah. Wanita itu datang

15 Jalaluddin Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen. Abdil

Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 92 16 Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen. Abdil Hayyie, h. 567-

568

Page 35: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

20

ke Madinah disaat berlangsungnya kesepakatan damai. Orang-orang musyrik lantas

berkata, “Kembalikan ia pada kami!” Sebagai responnya, turunlah ayat ini. Ibnu

Mani’ meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas yang berkata,

“Ketika Umar bin Khaththab masuk Islam, istrinya masih berada di barisan orang-

orang musyrik. Allah SWT lantas menurunkan ayat,’….Dan janganlah kamu tetap

berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;…’”17

Secara literal dari ayat-ayat tersebut, maka perkawinan beda agama dapat

dibagi menjadi empat bentuk:

1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb.

2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik.

3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb.

4. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki musyrik.

Sebagaimana ayat-ayat yang telah dituliskan sebelumnya di atas maka dapat

diambil kesimpulan bahwa dari keempat bentuk perkawinan beda agama antara

seorang muslim dengan non-muslim hukumnya haram, kecuali perkawinan yang

dilakukan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim (ahl al-

kitāb). Terlepas kemudian banyak penafsiran yang berbeda dari para ulama

mengenai ayat-ayat tersebut, sehingga banyak pula perbedaan pendapat dalam

menghukumi perkawinan beda agama.

Pada dasarnya, perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai hukum

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb bermula ketika

mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk ahl al-kitāb. Imam Syafi'i misalnya,

memahami istilah ahl al-kitāb sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-

orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan

Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan 'Isa, hanya diutus kepada

17 Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen. Abdil Hayyie, h. 568

Page 36: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

21

mereka, orang-orang Israel, bukan kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga

karena adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada Q.S. al-Maidah (5): 5.18

Berbeda dengan Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-

pakar hukum menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi,

atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-kitāb. Maka,

yang tergolong ahl al-kitāb tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi

dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang hanya percaya pada Suhūf Ibrahim atau

Zabur yang diberikan kepada Nabi Dawud a.s saja, maka ia pun termasuk dalam

jangkauan pengertian ahl al-kitāb. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil

ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang

dapat diduga sebagai kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl al-

kitāb, seperti halnya Majusi.19

Sementara dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, perihal

perkawinan beda agama Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak secara tegas

mengaturnya.20 Aturan dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan adalah

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu”, menimbulkan ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai hukum perkawinan

beda agama. Artinya, jika hukum agama atau kepercayaan kedua calon suami dan

istri berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau

kepercayaan itu harus dipenuhi semua. Meskipun pada praktiknya di Indonesia,

perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu hukum agama

atau kepercayaan dari calon suami atau istri.21

Selanjutnya, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan

melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan

18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan: 2007), h. 483 19 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483-484 20 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Bandung: CV. Mandar Maju, 2016), h. 71 21 Shoedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 95

Page 37: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

22

pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991

tanggal 22 Juni 1991, yang kemudian disebarluaskan melalui surat edaran Direktur

Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3649/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal

25 Juli 1991.22 Aturan tersebut terdapat pada pasal-pasal berikut:

Pasal 4:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai

dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.

Pasal 40:

“Dilarang melakukan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan karena keadaan tertentu, pada huruf (c); seorang perempuan yang tidak

beragama Islam”.

Pasal 44:

“Seorang perempuan Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan

seorang laki-laki yang tidak beragama Islam”.

Bunyi pasal-pasal tersebut juga sebagaimana pasal 8 UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan yang berbunyi:

Pasal 8:

“Perkawinan dilarang antara dua orang yang: pada huruf (f) mempunyai

hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”.

Maka dapat diambil kesimpulan dari ketiga pasal dalam KHI di atas bahwa

perkawinan beda agama secara tegas dilarang dalam huku perkawinan yang berlaku

di Indonesia sebagaimana yang dijelasakan dalam aturan-aturan dalam UU maupun

dalam KHI.

Selain semua aturan yang telah ditulis di atas, pelarangan tersebut juga

kemudian diperkuat oleh MUI melalui fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)

No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005 yang juga melarang perkawinan beda agama.

Dalam fatwa tersebut MUI memutuskan “Perkawinan beda agama adalah haram

22 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26

Page 38: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

23

dan tidak sah”.23 Sehingga fatwa tersebut juga memperkuat semua aturan yang ada

dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI.

D. Review Kajian Terdahulu

Berikut beberapa karya skripsi terdahulu di Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai review bahwa penulis tidak melakukan

pagiasi:

NO. JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN

1 Perkawinan

Beda Agama di

Indonesia

(Studi

Perbandingan

Pemikiran Prof.

Nurcholis

Madjid dan

Prof. Dr. Ali

Mustafa Yaqub)

Dalam skripsi ini penulis

membahas perbandingan

pemikiran Prof. Nurcholis Madjid

dan Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub

mengenai perkawinan beda agama

yang terjadi di Indonesia, serta

pandangan beliau berdua tentang

praktik yang terjadi di Indonesia.

Skripsi-skripsi

yang yang

sebelumnya

belum ada yang

secara khusus

membahas dan

menganalisis

pemikiran

seorang

Muhammad

Rasyid Ridha

tentang konsep

ahl al-kitāb dan

bagaimana

pengaruhnya

terhadap hukum

perkawinan beda

agama. Di sini

penulis akan

menganalisi dan

2 Analisis Yuridis

Perkawinan

Beda Agama di

Indonesia

Setelah

Berlakunya

Undang-undang

Administrasi

Kependudukan

Nomor 23

Pembahasan dalam skripsi ini

adalah tentang adanya celah baru

tentang pelegalan perkawinan

antar agama di Indonesia dengan

berlakunya UU Admministrasi

Kependudukan No. 23 tahun

2006.

23 Lihat: Fatwa MUI No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005

Page 39: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

24

Tahun 2006

karya Ainur

Rahman tahun

2014

menguraikan

pemikiran

Muhammad

Rasyid Ridha

tentang seberapa

jauh perkawinan

beda agama

diperbolehkan

dan sejauh mana

pula perkawinan

tersebut tidak

diperbolehkan.

Serta membahas

bagaimana bila

pendapat Ridha

tentang

perkawinan beda

agama tersebut

dengan konteks

Indonesia dan

bagaimana

relevansinya

dengan hukum

perkawinan yang

berlaku di

Indonesia.

3 Analisis Kritis

Terhadap

Konsep

Pemikiran

Feminis tentang

Perkawinan

Beda Agama

karya Anih

Robbani tahun

2011

Dalam skripsi ini membahas dan

lebih menekankan tentang

perubahan Kompilasi Hukum

Islam yang diusung kaum

feminisme sudah tidak relevan

dan tentang konsep perkawinan

yang digagas kaum feminisme.

4 Hak Anak

Dalam Memilih

Agama Dari

Pasangan Beda

Agama karya

Azizi tahun

2008

Bahasan yang ditulis dalam karya

skripsi ini tentang hak-hak anak

dan kebebasan seorang anak

dalam menentukan pilihannya

dari pasangan ayah dan ibu yang

berbeda agama.

5 Perkawinan

Beda Agama

dan

Pengaruhnya

Terhadap

Agama Anak

karya M. Fuad

Dalam skripsi ini penulis

mengangkat dan membahas

pandangan hukum Islam dan

hukum positif tentang perkawinan

beda agama, kemudian membahas

mengenai status anak, kedudukan

waris dan perwalian bagi anak

Page 40: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

25

Hadziq tahun

2003

menurut hukum Islam dan hukum

positif, dan terkahir membahas

tentang orang yang menentukan

agama anak ditinjau dari hukum

Islam dan hukum positif.

6 Hukum

Perkawinan

Beda Agama

Tinjauan

Agama-agama

yang diakui di

Indonesia karya

Jamaludin

2000.

Permasalahan yang diangkat dan

dibahas dalam skripsi tentang

maksud dan bagaimana kebebasan

perkawinan beda agama di

Indonesia menurut UUP No. 1

tahun 1974, kemudian membahas

tentang hukum perkawinan beda

agama menurut agama-agama

yang diakui di Indonesia, yang

terakhir dalam skripsi ini

membahas tentang problematika

yang dihadapi dalam keluarga dan

dampak hukum pada anak

terhadap waris, nasab dan

perkawinan.

Jika melihat dari kajian-kajian terdahulu yang dipaparkan di atas baik

berupa skripsi maupun tesis, maka jelaslah bahwa penelitian yang akan diteliti dan

dikaji ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya, karena belum ada yang

secara khusus membahas hukum perkawinan beda agama menurut pemikiran

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Oleh karena itu, hal ini kemudian layak dan

patut untuk diteliti sebagai sumbangsih pemikiran dan karya untuk khalayak umum.

Page 41: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

26

BAB III

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF FIKIH

Pada dasarnya, secara umum mazhab fikih sepakat terhadap pengharaman

perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan seorang non-muslim. Di

antara masing-masing mazhab hanya ada beberapa pengecualian dan perbedaan, hal

itu terutama akibat adanya ketentuan khusus yang terdapat dalam QS. al-Maidah

(5) ayat 5 yang menjadikan adanya keberanjakan hukum yang berbeda di antara

masing-masing madzhab, dari yang tadinya haram ada yang menjadi makruh,

mubah dan lainnya dalam kasus perkawinan beda agama yang dilakukan seorang

laki-laki muslim dengan perempuan dari kelompok ahl al-kitāb. Berikut adalah

penjelesannya secara rinci:

A. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa hukum perkawinan

antara seorang perempuan muslim dengan seorang laki-laki non-muslim, baik

ahl al-kitāb ataupun musyrik tidak ada perbedaan pendapat di antara jumhur

ulama, mereka sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram secara

mutlak. Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221

juga didasarkan pada QS. al-Mumtahanah ayat 10.1

Ayat tersebut, walaupun tidak menyebut ahl al-kitāb, istilah yang

digunakannya adalah “orang-orang kafir”, dan ahl al-kitāb adalah salah satu

dari kelompok orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak

menyebut ahl al-kitāb, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-

orang kafir”.2 Ibnu Hazm bahkan menyatakan bahwa keharaman perkawinan

antara perempuan muslim dengan laki-laki adalah haram secara mutlak.3

Sayid Sābiq menyebutkan beberapa argumen tentang sebab

diharamkannya perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-

muslim sebagai berikut:

1 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2006),

h. 36 2 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,(Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977), h. 77 3 Ibnu Hazm, al-Mahallā bi al-Asrā Jiz 9, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), h. 125

Page 42: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

27

1. Orang kafir tidak boleh berkuasa di atas orang Islam berdasarkan QS. an-

Nisa (4): 141:

فرين على ٱلمؤمني للك عل ٱلله (11141)النساء/ سبيلا ولن ي “Dan Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang

mukmin.”

2. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami-istri tidak mungkin tinggal

dan hidup bersama, karena perbedaan yang jauh.

3. Laki-laki kafir dan ahl al-kitāb tidak akan mau mengerti agama istrinya

yang beragama Islam, malah sebaliknya mendustakan kitab dan

mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan, apabila laki-laki muslim

melakukan perkawinan dengan perempuan ahl al-kitāb maka dia akan mau

mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari istrinya yang ahl al-kitāb

sebagai bagian dari keimanannya, karena tidak akan sempurna keimanan

seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.4

Ulama kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa perempuan muslim

tidak boleh dikawinkan dengan laki-laki ahl al-kitāb karena pada umumnya

seorang istri tidak berani menentang suaminya. Akibatnya, dia terancam pindah

agama dan tidak mustahil anak-anaknya akan mengikuti bapak mereka,

sementara dia tidak mampu mencegah mereka. Meskipun toleran terhadap hal-

hal yang memperbaharui ikatan-ikatan sosial, Islam tidak mungkin dapat

menolerir hal-hal yang mengakibatkan seorang muslim keluar dari agamanya,

atau menjadikan keturunannya memeluk agama selain Islam.5

Dalam hal ini, Quraish Shihab menyatakan bahwa larangan perkawinan

antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb diisyaratkan oleh al-

Qur’an. Isyarat ini dipahami dari redaksi dalam QS. al-Maidah (5) ayat 5 yang

hanya berbicara tentang kebolehan perkawinan laki-laki muslim dengan

perempuan ahl al-kitāb, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya.6

4 Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabȋ, 1983), h. 94-95 5 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiah, 2003), h. 73 6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan, 2007), h. 261

Page 43: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

28

Sehingga seandainya perkawinan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat

tersebut akan menegaskannya.

Dalil lainnya yang menyatakan keharaman perkawinan antara

perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb yaitu sabda Nabi Muhammad

SAW, hadis nabi dari Jabir ibn Abdullah bahwa nabi bersabda:

عت ابر ابن عبد لل ج أخب رن عبد الرهزهاق قال أخب رن ابن جريج عن أب الزب ي قال 4س 7اق(ونسائ نا عليهم حرام )رواه عبد الرز ي قول4 نساء أهل الكتاب لنا حل

“Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abd al-Razaq ia berkata,

telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Abi Jubair ia berkata:

Aku mendengar Jabir ibn Abdullah berkata perempuan ahl al-kitāb bagi

kami (laki-laki muslim) itu halal dan perempuan muslim bagi mereka

(laki-laki ahl al-kitāb) haram.” (H.R Abd al-Razaq).”

Pendapat lain yang mengharamkan perkawinan antara perempuan

muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam

Baihaqi berikut:

ث نا أبو العبهاس قال4 أخب رن عبد المجيد عن أب جر يج عن أخب رن أبو سعيد قال 4 حدهع جابر ابن عبدلل يسأل عن نكاح المسلم الي هوديهة ة ف قال4 النهصرانيه و أب الزب ي أنهه س

د لمسلمات ات زوهجنا هنها زمن الفتح بلكوفة مع سعد ابن أب وقاص ونن ال نكد نراا ف لمها رجعنا طلهقنا هن وقال ال يرثن مسلماا واليرث وهن ونسائ هم لنا حل ونسائ نا كثي

رام )رواه 4 البيهقي(عليهم ح “Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah

mengatakan kepada kami Abu ‘Abbas, telah mengabarkan kepada kami

Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Jubair bahwasanya beliau

mendengar Jabir ibn Abdullah ditanya mengenai pernikahan perempuan

Yahudi dan Nasrani. Dia berkata: “Kami menikahi mereka pada saat

pembebasan negeri Irak bersama dengan Sa’ad ibn Abi Waqas dan

ketika itu hampir tidak ada perempuan muslim yang kami temukan,

maka setelah kami kembali kami talak mereka: dan dia berkata seorang

muslim tidak mewariskan dan merekapun tidak mewariskan dan

perempuan dari kalangan mereka bagi kita halal sedangakan perempuan

kita (muslim) haram bagi (laki-laki) mereka”. (H.R Baihaqi)”

B. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

7 Abu Bakar Abd al-Razaq ibn Hamman al-San’ani, Musannaf Abd al-Razaq, cet. II,

(Beirut: al-Maktabah al-Islam, 1976), h. 176

Page 44: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

29

Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara laki-laki

muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah haram secara mutlak.

Mazhab Hambali juga berpendapat demikian, bahwa haram hukumnya

mengawini perempuan-perempuan musyrik. Masjfuk Zuhdi juga menegaskan

bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan

wanita musyrik.8 Secara tegas jumhur ulama sepakat bahwa perkawinan antara

laki-laki muslim dengan perempuan musyrik adalah haram.9 Kesepakatan

jumhur ulama mengenai pengharaman perkawinan antara laki-laki muslim

dengan perempuan musyrik tersebut berdasarkan pada surat al-Baqarah(2) ayat

221.

Ayat di atas secara jelas menjelaskan tentang sebuah larangan bagi laki-

laki muslim mengawini perempuan musyrik. Larangan tersebut muncul sebab

perbedaan keyakinan antara keduanya dapat menimbulkan sulitnya

mempertemukan visi hidup antara keduanya, orang yang beriman akan

mengajak ke surga sedangkan musyrik mengajak ke neraka, orang yang

beriman percaya kepada Allah SWT, kepada para nabi, dan hari akhir,

sedangkan orang musyrik itu menyekutukan Allah SWT, mengingkari para nabi

dan mengingkari hari akhir.10 Hal ini, sebagaimana lanjutan ayat pelarangan

tersebut dikatakan, bahwa mereka (orang-orang musyrik) itu akan membawa

kamu ke neraka, sedangkan Allah SWT akan membawa kamu ke surga dan

ampunan-Nya.11

Terkait dengan istilah perempuan musyrik yang terdapat pada ayat

tersebut di atas, di kalangan ulama muncul perbedaan pendapat. Menurut Ibnu

Jarir al-Thabari, bahwa perempuan musyrik yang dimaksud adalah perempuan

musyrik dari bangsa Arab saja, sebab ketika turunnya ayat-ayat al-Qur'an,

mereka adalah penyembah berhala dalam keadaan tidak memiliki kitab suci.

Konsekuensi dari pendapat ini, maka laki-laki muslim boleh mengawini

8 Nasrul Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?, (Jakarta:

Qultum Media, 2005), h. 67. 9 Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahȋd Wa Nihāyah al-Muqtashid, (Bayt al-Afkār al-Dauliyah,

2007), h. 570 10 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 4 11 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, (Bandung: Angkasa, 2005), h 155-156

Page 45: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

30

perempuan musyrik yang bukan bangsa Arab, seperti wanita musyrik China,

India, Jepang yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab

sucinya seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu yang percaya kepada

Tuhan Yang Maha Esa, dan percaya adanya hidup setelah mati. Pendapat di

atas terbantahkan oleh pendapat jumhur ulama yang menetapkan bahwa

perempuan musyrik itu bukan hanya terbatas pada perempuaan bangsa Arab

saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrik di mana pun mereka

berada.12

Sayid Sabiq dalam Fikih Sunnahnya berpendapat bahwa perempuan

musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah),

ateis (zindȋqiyyah), perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut

ajaran libertin (al-Ibāhah), seperti paham wujūdiyyah.13 Muhammad Ali al-

Shabuni dalam kitab Rawaȋ’ al-Bayān Tafsȋr Ayāt al-Ahkām Min al-Qur’ān

mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan musyrikāt di sini adalah

perempuan-perempuan penyembah berhala dan mereka tidak memeluk agama

samawi.14 Sementara, Wahbah Zuhailiy menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan musyrikāt di sini adalah orang yang tidak beragama dan tidak

mempunyai kitab samawi.15 Dari beberapa definisi tersebut dapat penulis ambil

kesimpulan bahwa musyrikat dalam hal ini adalah orang-orang yang bertuhan

selain Allah SWT. atau bahkan orang-yang tak bertuhan dan tidak memiliki

kitab suci (samawi).

Alasan lain yang memperkuat keharaman mengawini perempuan yang

tidak beriman terutama penyembah berhala dan kaum ateis seperti tersebut di

atas menurut al-Maududi sebagaimana dikutip oleh Abdul Mutaal karena kedua

macam kelompok tersebut teramat jauh jurang pemisahnya dari agama Islam,

baik dilihat dari aspek peradaban dan kepercayaannya, maka haram juga

mengawini perempuan dari salah satu kelompok tersebut.16

12 Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 4 13 Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, h. 89 14 Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawaȋ’ al-Bayān Tafsȋr Ayāt al-Ahkām Min al-Qur’ān Juz

1, (Damaskus: Maktabah Al-Ghazali,tt), h. 282 15 Wahbah Zuhailiy, Tafsȋr al-Wasȋth, (Beirut: Dār al-Fikr al-Ma’ashȋr, tt), h. 118 16 Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 5

Page 46: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

31

C. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahl al-Kitāb

Secara umum, perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan

ahl al-kitāb yang masih berpegang kepada kitab selain al-Qur’an hukumnya

boleh berdasarkan QS. al-Maidah (5) ayat 5. Menurut Yusuf Qardhawi,

pembolehan tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa ahl

al-kitāb diistimewakan dalam hal muamalah dan ahl al-kitāb termasuk

serumpun dengan Islam, yaitu sama-sama agama samawi meskipun secara

kenyataan bahwa ahl al-kitāb pada zaman Nabi Muhammad SAW sudah dalam

keadaan musyrik. Namun al-Qur’an tetap membolehkan laki-laki muslim

mengawini perempuan ahl al-kitāb. Jika dikorelasikan dengan QS. al-Baqarah

(2) ayat 221 sebagaimana telah dituliskan di atas maka kebolehan mengawini

perempuan ahl al-kitāb dapat dikatakan sebagai sebuah pengecualian terhadap

keumuman ayat tersebut. Dilihat dari turunnya, bahwa QS. al-Maidah (5) ayat

5 yang mengisyaratkan bolehnya laki-laki muslim mengawini perempuan ahl

al-kitāb turun lebih akhir dibandingkan dengan QS. al-Baqarah (2) ayat 221

sehingga hukum kebolehannya tetap berlaku.17

Namun berkenaan dengan perkawinan beda agama antara laki-laki

muslim dengan perempuan ahl al-kitāb ini ulama berbeda pendapat sebagai

berikut:

1. Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawninan beda agama antara

laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb hukumnya boleh sebagaimana

ayat tersebut di atas.18 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ahl al-kitāb di

sini adalah siapa pun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab

yang pernah diturunkan Allah SWT, maka ia termasuk ahl al-kitāb, tidak hanya

terbatas pada kelompok agama Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, bila ada

suatu kelompok yang hanya percaya kepada kitab Zabur (kitab suci yang

17 Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 6 18 Huzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 156

Page 47: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

32

diturunkan kepada nabi Daud) atau Suhūf Nabi Ibrahim dan Syits saja, maka ia

pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-kitāb.19

Ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwasanya perkawinan antara

seorang laki-laki muslim dengan seorang perempuan ahl al-kitāb tidak

diperbolehkan jika perempuan ahl al-kitāb tersebut tinggal di negeri perang

(dār al-harb) yang tidak tunduk kepada hukum-hukum Islam, karena itu berarti

membuka pintu bagi timbulnya fitnah. Sebab, perempuan ahl al-kitāb tersebut

dikhawatirkan dapat mempengaruhi suaminya yang muslim hingga berperilaku

sebagaimana perilakunya yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam dan

dapat membuat anaknya berpaling memeluk agama selain Islam, serta membuat

dirinya tertekan hingga berakibat pada prahara yang tiada taranya, yaitu

kehilangan pengaruhnya untuk menjaga kehormatan istrinya dan kerusakan

kerusakan lainnya. Maka meskipun akadnya dinyatakan sah, hanya saja

perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb macam

ini merupakan tindakan yang makrūh tahrȋm (harus dihindari) karena berakibat

pada berbagai kerusakan di kemudian hari. Adapun perkawinan seorang laki-

laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb yang tinggal di negeri Islam

(dzimmiyyah) dan tunduk terhadap perundang-undangan Islam diperbolehkan.

Namun, perkawinan tersebut sebaiknya dihindari (makrūh tanzȋh).20

2. Mazhab Maliki

Di antara para ulama mazhab Maliki mencuat dua pendapat dalam hal

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Pendapat

pertama menyatakan bahwa megawini perempuan ahl al-kitāb hukumnya

makruh secara mutlak, baik perempuan tersebut berada di negeri Islam

(dzimmiyah) maupun berada di negeri perang (dār al-harb). Hanya saja

kemakruhan perempuan ahl al-kitāb yang berada di negeri perang (dār al-

harb). Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya tidak makruh secara

mutlak sebab zahir QS. al-Maidah (5) ayat 5 memperkenankan perempuan ahl

al-kitāb untuk dikawini secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena

19 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483-484 20 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 73

Page 48: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

33

digantungkan kemakruhannya terkait dengan dār al-islām (pemerintahan

Islam), sebab perempuan ahl al-kitāb tetap saja boleh minum khamr, memakan

babi dan pergi ke gereja. Padahal suaminya tidak melakukan itu semua.21

Barangkali ada yang mengatakan bahwa larangan-larangan yang

dikemukakan ini adalah berarti diharamkan. Bagi mazhab Maliki mendasarkan

hal itu pada alasan syad al-dzarȋ’ah (langkah preventif untuk menutup pintu

bahaya yang lebih besar). Jika perkawinan antara laki-laki muslim dengan

perempuan ahl al-kitāb ini menimbulkan kerusakan atau dikhawatirkan akan

menimbulkan kerusakan-kerusakan, maka melaksanakan perkawinan tersebut

haram hukumnya.22

Pendapat tersebut dapat dibantah, bahwa hal tersebut dapat dibenarkan

jika tidak ada ketentuan berdasarkan teks syariat (yang membolehkan). Adapun

jika nyatanya Allah SWT memperkenankan perkawinan antara laki-laki muslim

dengan perempuan ahl al-kitāb, maka tentunya di balik semua itu ada maslahat

terkait pembolehan tersebut. Sebab bisa saja lantaran adanya perkawinan

tersebut membawa kemaslahatan bagi agama dan memuliakannya, atau

menghindarkan berbagai permasalahan serta menghilangkan berbagai

kebencian dan kedengkian. Lebih-lebih perkawinan itu dapat memberikan

kesan positif tentang toleransi dalam Islam dan kelonggarannya terhadap orang-

orang yang berbeda keyakinan dari kalangan ahl al-kitāb, karena agama

membolehkan laki-laki hidup berdampingan dengan perempuan ahl al-kitāb

yang tetap memeluk agamanya tanpa menyimpan permusuhan terhadap orang-

orang yang berbeda agama tersebut, tidak pula menyembunyikan kedengkian

terhadap mereka.23

Kemudian, menurut mereka yang membolehkan tidak ada keharusan

bagi perempuan ahl al-kitāb yang melakukan perkawinan dengan laki-laki

muslim agar kedua orangtuanya harus dari golongan ahl al-kitāb juga.

21 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, h. 41 22 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 73 23 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 73

Page 49: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

34

Perkawinan itu akan tetap sah sekalipun ayahnya seorang ahl al-kitāb

sementara ibunya adalah seorang penyembah berhala.24

3. Mazhab Syafi’i

Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa perkawinan antara laki-laki

muslim dengan perempuan merdeka dari ahl al-kitāb adalah halal.

Sebagaimana yang ia tuliskan dalam karya besarnya kitab al-Umm “dihalalkan

menikahi perempuan merdeka dari ahl al-kitāb bagi setiap laki-laki muslim

tanpa kecuali karena Allah SWT telah menghalalkannya, dan saya lebih

menyukai apabila laki-laki muslim tidak menikahinya”.25

Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa ahl al-kitāb yang

dihalalkan adalah pemeluk Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga

tidak termasuk orang-orang Arab yang masuk ke dalam Yahudi dan Nasrani

karena asal agama mereka sesat dengan menyembah berhala kemudian mereka

pindah kepada agama ahl al-kitāb bukan karena mereka beriman dengan Taurat

dan Injil dan sembelihan mereka juga tidak halal. Demikian juga tidak termasuk

ahl al-kitāb orang-orang ‘azam yaitu yang bukan orang-orang Arab yang masuk

ke dalam agama ahl al-kitāb karena asal agama nenek moyangnya adalah

penyembah berhala.26

Para ulama fuqaha dari kalangan mazhab Syafi’i memandang makruh

hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb

yang berada di negeri Islam, dan hukum makruh ini semakin ditekankan jika

perempuan ahl al-kitāb tersebut berada di negeri perang (dār al-harb),

sebagaimana pendapat dari sebagian ulama fuqaha kalangan mazhab Maliki.

Akan tetapi ulama fuqaha Syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila

terjadi dalam beberapa keadaan berikut:

1) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki yang muslim untuk

mengajak perempuan ahl al-kitāb calon istrinya tersebut untuk masuk

Islam.

24 Sudarto, Masail Fiqhiyah Al-haditsah, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018), h. 32 25 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm Juz 6, (Dār al-Wafā’, 2001), h. 16 26 Al-Syafi’i, al-Umm Juz 6, h. 17

Page 50: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

35

2) Tidak ada perempuan Muslimah Sālihah yang dapat ia kawini

3) Apabila tidak mengawini perempuan ahl al-kitāb tersebut ia bisa

terperosok ke dalam perbuatan zina.27

Jadi, jika laki-laki tersebut mengharapkan keislaman perempuan ahl al-

kitāb yang ia kawini, dan ia tidak mendapatkan perempuan muslim yang baik

baginya, maka hukum baginya adalah sunah (dianjurkan) untuk mengawininya.

Demikian pula disunahkan (dianjurkan) kepadanya untuk mengawini

perempuan ahl al-kitāb yang baik baginya sebagai pendamping hidupnya dalam

rumah tangga yang diridhai, jika dia tidak mengawini perempuan ahl al-kitāb

tersebut dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zina, sebagai antisipasi

dari terjadinya perbuatan terlarang. Dari ulasan ini jelaslah bahwa masalahnya

berkisar di balik maslahat dan mafsadat (kerusakan). Jika perkawinan dengan

perempuan ahl al-kitāb tersebut mendatangkan maslahat, maka perkawinannya

merupakan perkawinan yang terpuji. Dan jika menimbulkan mafsadat maka

perkawinannya makruh.28

Yahudi dan Nasrani yang termasuk dalam kelompok ahl al-kitāb

menurut kalangan ulama Syafi’iyah hanyalah Yahudi dan Nasrani dari etnis

Israil. Etnis Israil adalah keturunan Yakub as. Sedang bangsa-bangsa lain yang

menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk di dalamnya. Agaknya

Imam Syafi’i tidak memahami ahl al-kitāb sebagai komunitas penganut agama

yang dibawa Nabi Musa dan Nabi Isa, tetapi mereka memahaminya sebagai

komunitas etnis yaitu Bani Israil. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Nabi

Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani Israil dan bukan kepada bangsa-

bangsa lain. Dengan demikian, mereka yang menganut agama Yahudi dan

Nasrani selain dari keturunan Bani Israil tidak dapat dikategorikan sebagai ahl

al-kitāb. Etnis di luar Israil ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:29

1) Golongan yang masuk agama Yahudi atau Nasrani sebelum agama

tersebut mengalami perubahan, seperti orang-orang Romawi.

27 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, h. 41-42 28 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 29 Muhammad Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998),

h. 57-59

Page 51: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

36

2) Golongan yang masuk agama Yahudi dan Nasrani setelah agama

tersebut mengalami perubahan.

3) Golongan yang tidak diketahui kapan mereka masuk agama Yahudi atau

Nasrani, apakah sebelum atau sesudah agama tersebut mengalami

perubahan.

Mazhab Syafi’i juga memberikan syarat terkait diperkenankannya

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Yaitu,

kedua orangtua perempuan ahl al-kitāb tersebut juga harus ahl al-kitāb.

Seandainya bapaknya ahl al-kitāb sementara ibunya penyembah berhala, maka

dia tidak boleh dikawini walaupun dia sudah baligh dan memiliki agama

bapaknya dan dia sendiri merupakan seorang ahl al-kitāb.30

4. Mazhab Hambali

Para ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa laki-laki muslim

diperbolehkan mengawini perempuan ahl al-kitāb berdasarkan keumuman QS.

al-Maidah (5) ayat 5 yang telah dituturkan di atas. Disyaratkan bagi perempuan

ahl al-kitāb tersebut adalah perempuan merdeka (bukan budak), karena al-

muhshanāt yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perempuan merdeka.31

Mayoritas ulama Hanabilah berpendapat sama dengan ulama

Syafi’iyah, mereka menyatakan bahwa ahl al-kitāb khusus menunjuk kepada

komunitas Yahudi dan Nasrani. Sementara sebagian lain ulama Hanabilah

berpendapat sama seperti mazhab Hanafiyah, bahwa siapa pun yang

mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah pernah diturunkan

Allah SWT, maka ia termasuk ahl al-kitāb, tidak hanya sebatas penganut agama

Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, apabila ada seseorang yang hanya

mengimani kitab Zabur atau Suhūf Ibrahim dan Syits saja, maka ia pun

termasuk dalam kelompok ahl al-kitāb.32

Seperti halnya ulama Syafi’iyah, ulama Hanabilah pun dalam

pembolehan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-

30 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 31 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 32 Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, h. 57-58

Page 52: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

37

kitāb memberikan syarat untuk kedua orangtua perempuan ahl al-kitāb tersebut

harus seorang ahl al-kitāb juga. Ulama Hanabilah tidak membolehkan jika

salah satu atau keduanya bukan seorang ahl al-kitāb.33

5. Mazhab Ja’fari

Terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab

Ja’fari mengenai hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan

ahl al-kitāb. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa perkawinan macam

tersebut tidak baik dalam bentuk kawin dāim ataupun kawin sementara

(mut’ah). Mereka mendasarkan pendapatnya pada QS. al-Mumtahanah (60)

ayat 10, QS al-Baqarah ayat 221. Di sini mereka menafsirkan syirk dengan

kufur dan non-Islam. Ahl al-kitāb menurut yang diberikan al-Qur’an bukanlah

orang-orang musyrik.34 al-Qur’an mengatakan:

(1:41ينة/... )البل يكن ٱلهذين كفروا من أهل ٱلكتب وٱلمشركي منفك ي

“Orang-orang kafir yakni ahl al-kitāb dan orang-orang musyrik

(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”

Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa perkawinan antara laki-

laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb hukumnya boleh, baik dalam

bentuk kawin dāim atau kawin sementara (mut’ah). Mereka mendasarkan

pendapatnya pada QS. al-Maidah (5) ayat 5 yang secara zahir membolehkan

mengawini perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya di antara

perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan ahl al-kitāb.

Sedangkan sebagian kelompok lainnya lagi berpendapat bahwa

mengawini perempuan ahl al-kitāb diperbolehkan jika dalam bentuk kawin

sementara (mut’ah), akan tetapi tidak diperbolehkan dalam bentuk kawin dāim.

Mereka yang berpendapat demikian mengombinasikan antara dalil yang

melarang dan membolehkan. Dalil yang menunjukkan larangan menurut

33 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 34 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, Pen. Masykur AB dkk, Cet. 27,

(Jakarta: Lentera, 2011), h. 269

Page 53: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

38

mereka adalah larangan untuk kawin dāim, sedangkan dalil yang membolehkan

untuk pembolehan kawin sementara.35

35 Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, h. 269-270

Page 54: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

39

BAB IV

RASYID RIDHA DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Riwayat Hidup Rasyid Ridha

Sebelum penulis mengemukakan konsep hukum perkawinan beda agama

menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, ada baiknya jika dikemukakan terlebih

dahulu riwayat hidup tokoh tersebut secara singkat. Dari riwayat hidupnya tersebut

akan dapat kita ketahui latar belakang pemikirannya, terutama yang berkaitan

dengan perkawinan beda agama. Riwayat hidupnya yang akan coba penulis

kemukakan di sini meliputi beberapa hal, diantaranya keadaan umat Islam pada

masa Rasyid Ridha, kelahiran, pendidikan, karya dan wafatnya beliau.

1. Kondisi Umat Islam pada Masa Rasyid Ridha

Syaikh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha hidup pada kurun waktu antara

sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20. Kurun waktu tersebut

merupakan kurun waktu kelabu dalam sejarah Arab modern jika dibandingkan

dengan kurun-kurun waktu sebelumnya. Sebab, saat itu kaum imperialis Barat telah

bersekutu dengan kaum zionis internasional untuk memecah-belah umat Islam,

membagi-bagi negeri-negeri mereka dan merampas harta kekayaan mereka. Pada

kurun tersebut kerajaan Turki Usmani yang pernah menjadi kerajaan adikuasa telah

pula mengalami kemunduran yang drastis. Sejak abad ke-18 Turki Usmani selalu

kalah dalam peperangannya dengan Eropa. Turki Usmani tidak mampu lagi

menghentikan gerak maju negara-negara Eropa ke dunia Islam dan tidak dapat lagi

mempertahankan integritas kedaulatannya. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 1924

Kerajaan Turki Usmani sendiri telah diubah menjadi Negara Republik Turki yang

beraliran sekuler.1

1 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta,

Erlangga, 2006), h. 21-23

Page 55: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

40

Sejak kehancuran Kerajaan Turki Usmani tersebut, keadaan umat Islam

dunia, kecuali di Turki sendiri, Iran, Arab Saudi dan Afganistan sudah menjadi

umat yang dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Di samping pemerintahan-

pemerintahan mereka sudah runtuh dan bangsa-bangsa mereka sudah hancur

keadaan umat Islam semakin menyedihkan ketika mereka sendiri selaku umat

Islam tidak dapat mengetahui hakikat-hakikat ajaran-ajaran agama mereka dan

tidak pula mampu mengetahi ajaran-ajaran agama Islam yang dapat membawa

mereka kepada kemajuan dan kehidupan yang baik di dunia, tarekat-tarekat sufi

yang menyesatkan berkembang pesat dan bersamaan dengan itu pula budaya barat

telah masuk ke negeri-negeri Islam dengan membawa paham-pahamnya, seperti

nasionalisme, sekularisme, sosialisme, kapitalisme dan komunisme yang sudah

merasuki pemikiran umat Islam. Selain itu umat Islam juga jauh tertinggal dari

umat Kristen dalam bidang ilmu pengetahuan.2

Menurut Rasyid Ridha, umat Islam pada masanya dapat dibagi menjadi tiga

golongan. Pertama, golongan yang berpikiran jumud. Mereka beranggapan bahwa

ilmu agama adalah ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh

para pemuka madzhab-madzhab dan aliran-aliran, seperti Ahlussunnah, Syi’ah

Zaidiyah dan Syi’ah Itsna Asy’ariyah. Kedua, golongan yang berkilat pada

kebudayaan modern. Mereka beranggapan bahwa syariat Islam tidak relevan lagi

untuk diterapkan di masa kini. Ketiga, golongan yang menginginkan pembaruan

Islam. Mereka ini yang menyerukan agara umat Islam kembali kepada al-Qur’an

dan al-Sunnah, namun dengan penafsiran yang sesuai dengan kemajuan zaman,

karena tidak ada pertentangan antara Islam dan kebudayaan modern. Rasyid Ridha

sendiri adalah salah seorang tokoh ulama, penulis dan pemikir dari golongan ketiga

yang terdorong untuk mengubah dan memperbaiki kondisi umat Islam menjadi

2 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 23-25

Page 56: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

41

umat yang mampu melepaskan diri dari cengkeraman kaum imperialis dan menjadi

umat yang mampu bersaing dengan umat-umat lain. 3

2. Kelahiran Rasyid Ridha

Rasyid Ridha atau lengkapnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali

Ridha ibn Muhammad Syamsuddin ibn Manla4 dilahirkan pada hari Rabu, tanggal

27 Jumādȋ al-Ȗlā 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang

terletak di pantai Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota

Tripoli, Libanon. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki

Usmani.5 Ayahnya adalah seorang pengikut tarekat Syadziliyah, seorang

bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina

Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri dari Rasulullah Muhammad

saw.6

Gelar “Sayyid” yang disematkan pada permulaan namanya adalah gelar

yang biasa disematkan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.

Keluarga Rasyid Ridha dikenal oleh lingkungan sekitarnya sebagai keluarga yang

sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga selain disebut

sebagai “Sayyid” mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh”. 7

Salah seorang kakek Rasyid Ridha yang bernama Sayyid Syaikh Ahmad

adalah orang yang wara’ dimana seluruh waktunya hanya ia gunakan untuk

membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat

terdekat dan ulama, itu pun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar

dan Maghrib. Ketika Rasyid Ridha beranjak remaja, sang ayah pun telah mewarisi

kedudukan, wibawa serta ilmu sang nenek, sehingga Rasyid Ridha banyak

3 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 25-26 4 A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari

hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, (Semarang: Walisongo Press, 2008), h. 61 5 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 26 6 Ma’shum Nur Alim, Hermeneutika Penafsiran Ayat-ayat Kalam dalam Tafsir al-Manar,

(Tangerang Selatan, YPM Press, tt), h. 54 7 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta,

Lentera Hati, 2006), h. 71

Page 57: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

42

terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.8 Hal tersebut sebagaimana Rasyid

Ridha tulis dalam buku hariannya sendiri yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad Al-

Adawi:

“Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat di rumah kami pemuka-

pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Lebanon, bahkan aku lihat pula

pendeta-pendeta, khususnya pada hari-hari raya, aku melihat ayahku

raẖȋmahullāh berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-

basi dengan penguasa dan pemuka-pemuka masyarakat Islam. Ayahku

menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka

secara objektif, tetapi tidak di hadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab

mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan

kerja sama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebijakan

yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan Negara”9

3. Pendidikan Rasyid Ridha

Selain belajar dari orang tuanya, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian

banyak guru. Di masa kecil dia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya

yang ketika itu dinamai al-kuttāb, di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis

dan matematika dasar.10

Setelah menyelesaikan pendidikannya di al-kuttāb, Rasyid Ridha tidak

langsung melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, tetapi

Rasyid Ridha hanya melanjutkannya dengan belajar pada orangtuanya dan para

ulama setempat. Baru beberapa tahun kemudian, Rasyid Ridha meneruskan

pendidikannya di Madrasah Ibtidāiyyah al-Rusydiyyah di Tripoli (Lebanon) yang

mengajarkan nahwu, sharaf, akidah, fikih, berhitung dan ilmu bumi dengan bahasa

pengantar bahasa Turki mengingat Lebanon ketika itu berada di bawah kekuasaan

kerajaan Turki Usmani. Madrasah tersebut bertujuan untuk mempersiapkan sumber

daya manusia yang akan menjadi pegawai-pegawai pemerintah.11

8 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 71-72 9 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al-Imām al-Mujāhid, (Kairo, Mathba’ah Mishr,

1964), h. 21 10 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 72 11 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 27

Page 58: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

43

Oleh karena enggan menjadi pegawai pemerintah, setahun kemudian, yaitu

pada tahun 1299 H/1822, Rasyid Ridha keluar dari Madrasah al-Rusydiyyah dan

melanjutkan pendidikannya di Madrasah Watāniyyah Islāmiyyah yang didirikan

dan dipimpin oleh Syaikh Husayn al-Jisr (w. 1327 H/1909 M), seorang ulama besar

Lebanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide pembaruan yang digulirkan oleh al-

Sayyid Jamāl al-Dȋn al-Afghānȋ dan Syaikh Muẖammad ‘Abduh.12 Syaikh inilah

yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pikiran Rasyid

Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian

sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husayn al-Jisr juga yang

memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar

Tripoli. Kesempatan itu kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manār.13

Selain belajar pada Syaikh al-Jisr, Rasyid Ridha juga pernah belajar pada

ulama-ulama besar yang lain, seperti Syaikh ‘Abdulghanȋ al-Rāfi’ȋ, Syaikh

Muẖammad al-Qawāqijȋ, dan Syaikh Maẖmūd Nasyābah. Pada Syaikh

‘Abdulghanȋ al-Rāfi’ȋ dan Syaikh Muẖammad al-Qawāqijȋ, Rasyid Ridha belajar

ilmu-ilmu bahasa Arab beserta sastranya dan tasawuf, sedangkan pada Syaikh

Maẖmūd Nasyābah, ia belajar fikih Imam Syafi’i dan hadis. Berkat didikan dari

Syaikh Maẖmūd Nasyābah itulah pula, Ridha kelak menjadi seorang pakar fikih

dan pakar hadis.14

4. Wafatnya Rasyid Ridha

Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar

Pangeran Sa’ud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang

dikendarai Ridha mengalami kecelakaan dan dia mengalami gegar otak. Selama

dalam perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, meski ia telah sekian

kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang

12 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 27 13 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 73 14 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 28

Page 59: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

44

menyertainya, beliau wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman

pada tanggal 23 Jumadil Awal 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.15

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha

1. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

Dalam hal perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dengan

perempuan musyrik Rasyid Ridha berpendapat bahwa hukumnya haram secara

mutlak sebagaimana teks zahir QS. al-Baqarah ayat 221 yang secara jelas

mengharamkannya.16 Terkait makna musyrik dalam ayat tersebut, Rasyid Ridha

menyatakan bahwa perempuan musyrik yang haram untuk dikawini dalam ayat

tersebut adalah perempuan-perempuan dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab

suci sebagai pedoman hidupnya.17 Penafsiran Rasyid Ridha tersebut adalah

pendapat yang telah disepakati dan didukung oleh Ibnu Jārir al-Thabarȋ

sebagaimana ia tuangkan dalam kitab tafsirnya.18

Terkait makna dan cakupan term musyrȋk di sini al-Thabari kitab Jamȋ al-

Bayān fi Ta’wȋl al-Qur’an mengungkapkan beberapa pendapat para ulama

mengenai hal tersebut. Menurutnya, ada tiga pendapat yang terlihat berbeda di

antara para ulama, antara lain adalah:

1) QS. al-Baqarah (2) ayat 221 merupakan dalil pengharaman kepada setiap

Muslim untuk menikahi wanita musyrik secara general, baik penyembah

berhala, Yahudi, Nasrani, maupun Majusi, terkecuali ahl al-kitāb. Hal itu

disebabkan adanya ayat yang menasakh keharaman menikahi wanita

musyrik.

2) Terminologi musyrik dalam ayat tersebut dikhususkan bagi wanita musyrik

Arab, meskipun secara zahir nas terlihat mencakup seluruh wanita musyrik.

15 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 80-81 16 Sholāhuddȋn al-Munjad, Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridhā, (T.tp, T.t) h. 749 17 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, (Dār al-Manār, 1947), h.

348-349 18 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193

Page 60: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

45

3) Ayat tersebut mencakup seluruh wanita musyrik tanpa terkecuali, baik

penyembah berhala, Majusi, maupun ahl al-kitāb, tanpa ada ayat yang

menaskhnya.19

Menurut Ridha, dari semua pendapat yang dikemukakan, al-Thabari

memposisikan diri berada dan sejalan dengan pendapat Qatadah, yaitu pada

kelompok kedua yang menyatakan terminologi musyrik dalam ayat tersebut secara

khusus hanya menunjuk kepada musyrikāt Arab. Ridha juga mengaskan bahwa QS.

al-Baqarah ayat 221 tidak pernah menasakh (menganulir) ayat manapun, seperti

QS. al-Maidah ayat 5 yang membolehkan perkawinan laki-laki Muslim dengan

perempuan ahl al-kitāb karena menurutnya sangat tidak logis jika ayat yang datang lebih

dulu menganulir ayat yang datangnya belakangan.20 Selain itu, menurutnya dari teks

ayat tersebut secara zahir bersifat umum. Akan tetapi, secara aplikatif ayat tersebut

bersifat khusus, ayat tersebut juga tidak pernah dinasakh (dianulir) oleh ayat

manapun.21

Pernyataan dari Rasyid Ridha yang telah dituliskan di atas sangat jelas

sekali bahwa Rasyid Ridha mengharamkan perkawinan antara laki-laki Muslim

dengan perempuan musyrik (bangsa Arab). Alasan dari pengharaman perkawinan

tersebut menurut Rasyid Ridha adalah karena orang musyrik merupakan salah satu

faktor yang dapat menjerumuskan atau mengajak seorang Muslim ke dalam api

neraka, baik dengan perkataan atau perbuatan mereka. Maka, menjalin sebuah

ikatan kasih dengan mereka dalam bentuk perkawinan merupakan faktor terbesar

yang bisa mewujudkan kehinaan seorang Muslim, yaitu masuk neraka.22

Rasyid Ridha kembali menegaskan mengenai pendapatnya tentang

pengharaman tersebut dengan bersumpah bahwa mengawini perempuan hamba

sahaya yang beriman kepada Allah swt dan Nabi Muhammad SAW jauh lebih baik

19 Ibn Jarȋr al-Thabārȋ, Jamȋ al-Bayān fi Ta’wȋl al-Qur’an Juz 1, (Beirut: Muassasah Al-

Risālah, tt), h. 594-595 20 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 349 21 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 191 22 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 353

Page 61: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

46

dibandingkan dengan mengawini perempuan musyrik yang cantik.23 Karena,

perempuan musyrik dikawini tersebut tidak memiliki pedoman yang bisa dijadikan

olehnya sebagai prinsip dalam kehidupan agar ia terbiasa dengan kebaikan dan

menjauhi kemungkaran dan juga ketika melakukan pengkhiantan kepada suaminya

perempuan musyrik tidak akan merasa bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan

yang berdosa.24

2. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahl al-Kitāb

Menurut Rasyid Ridha dengan berpegang pada QS. al-Maidah (5) ayat 5

mereka perempuan-perempuan ahl al-kitāb halal secara mutlak hukumnya bagi

laki-laki muslim untuk dikawini.25 Berbeda dengan mayoritas ulama fikih yang

menafsirkan ahl al-kitāb hanya pemeluk Yahudi dan Nasrani, dalam penafsirannya

terhadap makna ahl al-kitāb pada ayat tersebut Rasyid Ridha berpendapat bahwa

ahl al-kitāb tidak hanya sebatas dua kelompok agama Yahudi dan Nasrani

sebagaimana pendapat sebagian besar ulama fuqahā. Menurut Rasyid Ridha ahl al-

kitāb adalah semua penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan

berpedoman kepada suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci, seperti Majusi,

Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, Sinto dan lain-lain.26

Hal tersebut di atas menurut Ridha juga berdasarkan pada fakta sejarah yang

ada serta penjelasan dan pernyataan dari al-Qur’an sendiri, bahwa pada setiap

masing-masing umat telah diutus oleh Allah swt kepada mereka seorang rasul.

Mereka juga memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup mereka yang dibawa oleh

nabi yang diutus kepada mereka, hanya saja terjadi penyelewengan (taẖrȋf)

terhadap kitab suci tersebut sebagaimana terjadi pada kitab suci Yahudi dan

Nasrani. Apalagi menurut Rasyid Ridha hukum asal dari perkawinan itu adalah

23 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 350 24 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 352 25 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 180 26 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193

Page 62: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

47

boleh. Oleh sebab itulah nas untuk mengatur dan menjelaskan mengenai hal-hal

dan perkara apa saja perkawinan tersebut dilarang atau diharamkan.27

Pendapat senada mengenai cakupan makna ahl al-kitāb dikemukan oleh

beberapa ulama kontemporer, diantaranya, Maulana Muhammad Ali yang

menyatakan bahwa kaum Kristen, Yahudi, Majusi, Budhis dan Hindu (termasuk

Shikh), semuaya tergolong ahl al-kitāb. Walaupun menurut ajaran Kristen, Yesus

Kristus disebut sebagai Allah atau anak Allah sehingga dapat disebut sebagai syirik,

tetapi kaum Kristen diperlakukan sebagai ahl al-kitāb, bukan sebagai musyrik.

Karena itu, semua bangsa yang memeluk agama yang pernah diturunkan Allah swt

harus diperlakukan sebagai ahl al-kitāb, walaupun agama mereka sekarang berbau

syirik karena kesalahan mereka. Kemudian, Maulana Muhammad Ali justru

mengkritik para fuqahā dengan mengatakan bahwa sungguh aneh kaum Majusi

tidak diakui sebagai kaum ahl al-kitāb. Padahal dalam kitab Hidāyah (al-Qur’an)

dikatakan secara terang-terangan bahwa kaum Shabi’un diakui sebagai ahl al-kitāb.

Jika mereka diakui sebagai ahl al-kitāb karena mereka menganut agama Shabi’un

dan mempunyai kitab suci, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui kaum

Majusi, kaum Hindu dan penganut agama lain yang sama-sama mempunyai kitab

suci, sebagai kaum ahl al-kitāb. 28

Ada pula pendapat dari Muhammad Arkoun, Arkoun menyebut ahl al-kitāb

dengan istilah masyarakat kitab. Penafsirannya mengenai makna dan cakupan

istilah ini sangat luas, yaitu seluruh komunitas masyarakat yang memiliki kitab,

terlepas bagaimana kemudian kitab suci mereka dipahami sebagai sesuatu yang

sudah menyimpang. Konsep ini dirujuk Arkoun berdasarkan kajiannya terhadap

ilmu-ilmu sosial kontemporer di Barat.29

27 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193 28 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Jakarta, Ikhtiyar Baru, 1977), h. 412 29 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammad

Arkoun dan Nurcholish Madjid (Sebuah Telaah Perbandingan)”, Al-Dzikra, vol. X, No. 1, Januari-Juni

2016, h. 61

Page 63: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

48

Di Indonesia sendiri ada Nurcholish Madjid yang kurang lebih berpendapat

sama dengan Ridha dan tokoh-tokoh pembaharu Islam lainnya. Menurut Cak Nur

(panggilan Nurcholish Madjid), ahl al-kitāb yang mendapat sapaan positif dan

simpatik dalam al-Qur’an tidak harus dipahami secara sempit. Ia tidak hanya

mencakup mereka yang telah menerima seruan nabi Muhammad ketika turunnya

al-Qur’an, tetapi juga menurut Cak Nur, mencakup semua ahl al-kitāb yang

memiliki sikap dan perilaku sebagimana disebutkan dalam al-Qur’an. Memang,

sebagaimana dikatakan Cak Nur, sebagian ayat al-Qur’an yang bernada positif dan

simpatik kepada ahl al-kitāb menunjuk kepada mereka yang beriman dan

berpegang teguh kepada ajaran kitab suci mereka sebelum datangnya al-Qur’an.

Akan tetapi ayat-ayat al-Qur’an juga memberitahukan bahwa telah terjadi

perubahan besar-besaran terhadap ajaran agama ahl al-kitāb. Meski demikian,

alQur’an tidak menyatakan bahwa para ahl al-kitāb itu sesat. Al-Qur’an tetap

mengakui bahwa di antara mereka ada kelompok yang tetap berpegang teguh pada

ajaran agamanya, walaupun kelompok minoritas.30

Menurut al-Maududi, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, berawal

dari pendapat sebagian kecil ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap

umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka

mereka juga termasuk kelompok ahl al-kitāb, seperti halnya orang-orang Majusi.

Pendapat inilah yang menurut al-Maududi melatarbelakangi pendapat para

mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer yang memperluas cakupan dari ahl al-

kitāb menjadi lebih luas, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan

Hindu, dan dengan demikian perempuan-perempuan mereka pun boleh dikawini

oleh laki-laki muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi).31

30 Andi, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammad Arkoun

dan Nurcholish Madjid (Sebuah Telaah Perbandingan)”, Al-Dzikra, h. 52 31 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan, 2007), h. 484

Page 64: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

49

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur

Ibrahim ibn Khalid al-Kalbi (w. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut

Imam Syafi’i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum muslim

dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula

mengawini perempuan-perempuan mereka.32

Antara perempuan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb tidaklah jauh

berbeda. Karena, menurut Ridha perempuan ahl al-kitāb juga beriman kepada

Allah swt dan menyembah-Nya, beriman kepada para nabi dan hari akhir serta

meyakini adanya pembalasan atas setiap perbuatan, meyakini kewajiban untuk

selalu berperilaku baik dan pelarangan berbuat perbuatan buruk dan mungkar.

Perbedaan antara perempuan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb hanya terletak

pada keengganan mereka (perempuan ahl al-kitāb) untuk beriman kepada Nabi

Muhammad SAW dan karakteristik tauhid serta ibadah yang dibawa olehnya.

Maka, orang yang beriman terhadap kenabian secara umum mestinya mereka mau

beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Faktor yang menyebabkan mereka

terhalang untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW adalah ketidaktahuan

mereka dengan hakikat risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad, atau

penentangan dan pengingkaran mereka terhadap kerasulan Muhammad hanya

secara zahir, padahal dalam hati mereka meyakini kebenarannya.33

Perempuan ahl al-kitāb yang dikawini oleh seorang laki-laki muslim, maka

dia akan hidup di bawah naungan suaminya yang merupakan seorang muslim dan

dia pun akan tunduk terhadap aturan perundang-undangan Islam. Sehingga lambat

laun perempuan tersebut akan terpengaruh dengan ajaran-ajaran agama Islam. Dan

sangat diharapkan agar perempuan tersebut dapat terbawa oleh suaminya menjadi

seorang muslim setelah sekian lama hidup bersama dalam lingkungan masyarakat

muslim. Oleh sebab itu, menurut Ridha, perempuan ahl al-kitāb yang

32 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 484 33 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 352

Page 65: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

50

diperbolehkan untuk dikawini adalah perempuan ahl al-kitāb yang baik (muẖsanāt)

sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut. Menurutnya, kata muẖsanāt

dalam ayat tersebut maksudnya adalah perempuan-perempuan terhormat (menjaga

dirinya dari perbuatan zina) juga bukan seorang budak.34

Laki-laki muslim yang boleh melakukan perkawinan dengan perempuan ahl

al-kitāb menurut Rasyid Ridha hanyalah laki-laki muslim yang kuat imannya dan

teguh keyakinannya. Dia memperingatkan bagi laki-laki yang tidak mantap

keimanannya tidak boleh untuk melakukan perkawinan dengan perempuan ahl al-

kitāb. Karena, bisa jadi bukan dia yang membawa istrinya yang ahl al-kitāb menuju

kebenaran ajaran Islam malah dia sendiri yang terjerumus dan terpengaruh oleh

istrinya yang ahl al-kitāb sehingga pada akhirnya dia pindah keyakinan dengan

masuk agama istrinya. Jadi, di sini Rasyid Ridha sangat menekanakan tindakan

preventif agar hal tersebut tidak terjadi.35

Adapun dihalalkannya mengawini perempuan ahl al-kitāb ini menurut

Rasyid Ridha memiliki tujuan untuk memperlihatkan sifat kasih sayang kepada

mereka, supaya mereka bisa melihat indahnya kegiatan muamalah umat Islam dan

kemudahan syariat-Nya. Hal tersebut bisa terwujud dengan melakukan perkawinan

dengan mereka (perempuan ahl al-kitāb). Karena, laki-laki adalah pemimpin dan

pemegang otoritas dan kekuasaan terhadap perempuan dalam kehidupan berumah

tangga. Jika muamalah sang suami (laki-laki muslim) bagus terhadap sang istri

(perempuan ahl al-kitāb), maka hal tersebut adalah pertanda bahwa agama yang

dianut sang suami adalah agama yang penuh kasih sayang, mengajarkan dan

mengajak kepada kebaikan dan ke jalan yang lurus, agama yang mengajarkan para

pemluknya untuk bersikap adil kepada sesama muslim dan non-muslim, agama

yang mengajarkan lapang dada dalam bermuamalah dengan orang-orang yang

berbeda.36

34 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 180 35 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193 36 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 351

Page 66: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

51

3. Perkawinan Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim

Dalam hal perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-

muslim menurut Rasyid Ridha hukum perkawinan antara perempuan muslim

dengan laki-laki musyrik hukumnya haram37, seperti hukum perkawinan antara

laki-laki muslim dengan perempuan musyrik sebagaimana penggalan ayat

berikutnya dalam ayat yang sama, yaitu QS. al-Baqarah (2) ayat 221. Sementara

dalam perkawinan beda agama antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-

kitāb berbeda dengan perkawinan laki-laki ahl al-kitāb yang diperbolehkan, Rasyid

Ridha berpaling dari pembolehan tersebut. Menurutnya, perkawinan antara

perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb haram karena tidak ada penjelasan

(maskūt ánhu).38 Dengan demikian, berarti ayat yang membolehkan perkawinan

antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb tidak berlaku mafhūm

mukhalafah-nya Adapun alasan yang dijadikan larangan adalah bukan karena

hukum asalnya memang dilarang atau isyarat ayat al-Qur’an. Karena hukum asal

dalam bidang muamalah, termasuk perkawinan adalah mubāh (boleh) selama tidak

ada nas yang melarangnya.39

C. Relevansi Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha dengan

Hukum Perkawinan yang Berlaku di Indonesia

Kemudian pada bagian ini penulis akan menguraikan bagaimana analisis

penulis terhadap pendapat-pendapat Rasyid Ridha mengenai hukum perkawinan

beda agama sebagaimana telah diuraikan di atas, serta mengaitkan pendapat-

pendapatnya tersebut dengan hukum perkawinan beda agama yang berlaku di

Indonesia. Bagaimanakah relevansinya dengan hukum perkawinan di Indonesia

berdasarkan pendapat Rasyid Ridha yang telah dipaparkan di atas.

Menurut analisis penulis, dari uraian yang telah dipaparkan dalam subbab

sebelumnya di atas maka secara jelas sebenarnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

37 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 350 38 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 351 39 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193

Page 67: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

52

mengharamkan perkawinan beda agama antara seorang muslim dengan seorang

musyrik baik laki-lakinya yang muslim atau perempuannya dan menghalalkan

perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Namun, dalam

penafsirannya terhadap makna dari term musyrik yang sempit dan menafsirkan

makna ahl al-kitāb dengan begitu luas sehingga pengharaman perkawinan seorang

muslim dengan seorang musyrik sangat terbatas sedangkan pembolehan

perkawinan dengan perempuan ahl al-kitāb menjadi sangat luas.

Dari penafsiran Rasyid Ridha mengenai makna musyrik yang hanya

terbatas pada mereka-mereka dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab atau

semacam kitab yang mereka anggap sebagai kitab suci yang mereka pedomani

maka timbul pertanyaan, apakah musyrik Arab itu masih ada hingga kini? Jika

memang masih ada maka hukum tersebut masih tetap berlaku, namun jika tidak ada

maka tidak lagi berlaku. Maka dapat dipahami jika musyrik Arab tersbut sudah

tidak ada maka siapapun dapat melakuakan perkawinan tanpa ada satu agama dan

kepercayaan manapun yang dapat menghalangi terjadinya hubungan perkawinan

tersebut.

Sementara dari penafsiran Ridha terhadap makna ahl al-kitāb yang

menganggap bahwa ahl al-kitāb di sini tidak hanya terbatas pada kelompok Yahudi

dan Nasrani saja, semua penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan

berpedoman kepada suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci, seperti Majusi,

Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, Sinto dan lainnya juga termasuk dalam

kelompok ahl al-kitāb menurut Ridha. Sehingga dapat dipahami bahwa tidak ada

lagi perbedaan antara agama samawi dan agama ardhi40.

Dari penafsiran Ridha mengenai makna dan cakupan ahl al-kitāb di atas,

maka dapat penulis pahami bahwa pembolehan mengawini perempuan ahl al-kitāb

40 Agama Samawi adalah agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyunya, seperti

Yahudi, Nasrani dan Islam. Sedangkan agama ardhi adalah agama yang didasarkan hasil renungan

mendalam dari tokoh yang membawanya sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab suci yang

disusunnya, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya. Lihat: Abudi Nata, Metodologi Studi Islam,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 119-120

Page 68: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

53

menurut Ridha pun tidak hanya terbatas boleh mengawini pemeluk Yahudi dan

Nasrani saja, tetapi juga dapat dipahami bahwa mengawini perempuan dari agama

dan kepercayaan manapun yang mereka memiliki kitab atau semacam kitab yang

mereka anggap sebagai kitab suci yang mereka pedomani karena menurut Ridha

berdasarkan fakta sejarah yang ada serta penjelasan dan pernyataan dari al-Qur’an

sendiri, bahwa pada setiap masing-masing umat telah diutus oleh Allah swt kepada

mereka seorang rasul. Mereka juga memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup

mereka yang dibawa oleh nabi yang diutus kepada mereka, hanya saja terjadi

penyelewengan (taẖrȋf) terhadap kitab suci tersebut. Namun, berbeda halnya

dengan sebaliknya, yaitu perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki

ahl al-kitāb Ridha sendiri berpaling dari perkawinan antara laki-laki muslim

dengan perempuan ahl al-kitāb yang menurutnya boleh.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami secara umum Rasyid Ridha

berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan seorang muslim dengan pasangan

yang berlainan agama adalah boleh, kecuali perkawinan yang dilakukan dengan

musyrik dari bangsa Arab. Tidak ada satupun agama dan kepercayaan yang

menghalangi seorang laki-laki muslim untuk melakukan hubungan perkawinan

dengan perempuan dari pemeluk agama manpun, begitu juga sebaliknya.

Jika dalam konteks Indonesia, maka keempat agama lain yang diakui di

Indonesia, yaitu agama Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu, menurut persfektif

Rasyid Ridha juga termasuk dalam kelompok ahl al-kitāb, karena keempat agama

ini memiliki kitab yang dapat dianggap sebagai kitab suci yang dibawa oleh

seorang nabi dan dijadikan pedoman oleh mereka. Nabi di sini diartikan sebagai

pembawa pesan moral. Hal tersebut sebagaimana pendapat Rasyid Ridha yang

berpendapat bahwa itu dikaitkan dengan ajaran al-Qur’an bahwa “Allah mengutus

seorang rasul kepada setiap umat”, jadi setiap umat memiliki nabi yang

mengajarkan kebenaran dan pesan moral kepada mereka, seperti dalam agama

Budha ada Sidharta Gautama dengan kitab Tripitaka yang menjadi kitab suci agama

Budha.

Page 69: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

54

Atas dasar tersebut, tidak ada larangan mengawini perempuan-perempuan

pemeluk agama lain, dalam konteks Indonesia agama Kristen, Hindu, Budha dan

Konghucu dengan alasan karena mereka juga memiliki kitab suci yang menjadi

pedoman hidup mereka. Adapun tentang penyimpangan yang mereka lakukan

terhadap kitab-kitab tersebut kemudian tidak menghapus status mereka sebagai

seorang ahl al-kitāb.

Sementara, di Indonesia terkait hukum perkawinan beda agama terdapat

kesulitan tersendiri dalam merumuskan secara pasti peraturan mengenai hukum

perkawinan beda agama di Indonesia. Namun dalam perjalanannya para ahli hukum

di Indonesia sering berpegang pada aturan yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU

No. 1 tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari peraturan tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan akan sah apabila

akad perkawinan dilakukan dengan berdasarkan pada satu hukum agama dari

masing-masing mempelai. Maka akad yang diakukan pun hanya sekali saja

menurut agama yang dianut oleh kedua calon mempelai41. Aturan tersebut

menimbulkan ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai hukum perkawinan

beda agama. Artinya, jika hukum agama atau kepercayaan kedua calon suami dan

istri berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau

kepercayaan itu harus dipenuhi semua. Meskipun pada praktiknya di Indonesia,

perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu hukum agama

atau kepercayaan dari calon suami atau istri.42

Untuk umat Islam di Indonesia sendiri aturan dalam Pasal 2 ayat (1) UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut diperjelas kembali dalam Kompilasi

Hukum Islam yang disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal

10 Juni 1991 dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama No.

41 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,

(Tangerang Selatan, Lentera Hati, 2005), h. 140 42 Shoedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 95

Page 70: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

55

154 tahun 1991 tanggal 22 Juni 1991, yang kemudian disebarluaskan melalui surat

edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3649/EV/HK.

003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991.43 Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 4 KHI

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam”, pasal 40 huruf

(c) “Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita

karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang wanita yang tidak beragama Islam dan

kemudian dalam pasal 44 “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Sebagaimana pasal

8 huruf (f) UU No. 1 tahun 1974 “Perkawinan dilarang antara dua orang yang

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku

dilarang kawin, maka dapat diambil kesimpulan dari ketiga aturan tersebut diatas

bahwa perkawinan beda agama secara tegas dilarang di Indonesia.

Semua aturan mengenai perkawinan beda agama tersebut di atas kemudian

diperkuat lagi melalui fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.

04/MUNASVII/MUI/8/2005 yang juga melarang perkawinan beda agama. Dalam

fatwa tersebut MUI memutuskan “Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak

sah”.44 Sehingga terlihat UU No. 1 tahun 1974, KHI, dan fatwa dari MUI saling

mendukung dan saling memperkuat satu sama lainnya.

Dari semua uraian aturan tentang perkawinan beda agama dalam konteks

keindonesiaan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa di Indonesia perkawinan

beda agama, baik antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim

atau sebaliknya secara teori dilarang di Indonesia. Meskipun pada praktiknya dalam

beberapa kasus terjadi perkawinan beda agama di Indonesia yang disetujui dan

disahkan oleh Pengadilan Agama.

Meskipun pada dasarnya dalam beberapa hal aturan-aturan yang mengatur

perkawinan berpegang pada empat madzhab fikih ternama, namun dalam perihal

43 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26 44 Lihat: Fatwa MUI No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005

Page 71: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

56

perkawinan beda agama ini agak sedikit berbeda dengan mayoritas madzhab yang

masih membolehkan satu praktik perkawinan beda agama, yaitu perkawinan beda

agama antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb meskipun dengan

beberapa kriteria tertentu yang telah diatur oleh pendapat masing-masing madzhab.

Dalam konteks keindonesiaan secara jelas melarang seluruh praktik perkawinan

beda agama tanpa terkecuali.

Jika kita lihat relevansi antara pendapat Rasyid Ridha tentang perkawinan

beda agama dengan hukum perkawinan beda agama dalam hukum perkawinan

yang berlaku di Indonesia, penulis berpendapat bahwa antara keduanya jelas tidak

sejalan dan tidak relevan satu sama lainnya. Namun meskipun pendapat Rasyid

Ridha tersebut tidak relevan dengan hukum perkawinan beda agama dalam konteks

keindonesiaan mungkin kedepannya seiring berjalannya waktu dan semakin

heterogennya masyarakat di Indonesia pendapat Rasyid Ridha dapat dijadikan

pegangan untuk membangun konsep hukum baru mengenai hukum perkawinan

beda agama dan juga bisa menjadi sebagian acuan untuk memutuskan suatu

masalah hukum dalam perkawinan agama sebagaimana dalam beberapa kasus telah

terjadi praktik perkawinan beda agama yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama

di Indonesia. Karena pada dasarnya teks zahir QS. al-Maidah 5: (5) membolehkan

perkawinan beda agama, meskipun terbatas pada perkawinan laki-laki muslim

dengan perempuan ahl al-kitāb. Terlepas banyaknya perbedaan pendapat mengenai

makna dan cakupan ahl al-kitāb di kalangan para ulama.

Selain itu, persoalan perkawinan beda agama juga merupakan wilayah

ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, maka amat dimungkinkan bila

dicetuskan pendapat baru mengenai hukum perkawinan beda agama dengan

beberapa alasan diantaranya:45

45 Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,

(Jakarta, Paramadina, 2004), h. 164

Page 72: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

57

1. Pluralitas agama merupakan sunnatullāh yang tidak bisa dihindarkan. Karena

perkawinan dapat dijadikan salah satu ruang berkenalan lebih dekat antar umat

yang berlainan agama.

2. Tujuan dari diberlangsungkannya perkawinan adalah tali kasih (al-mawaddah)

dan tali sayang (al-raẖmah). Perkawinan beda agama dapat dijadikan toleransi

dan kesepahaman antar pemeluk agama yang berlainan dengan ikatan tali kasih

dan sayang yang dirajut dalam kerukunan dan kedamaian.

3. Semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dari

pengharaman perkawinan dengan orang musyrik yang kemudian turun ayat

yang membolehkan perkawinan dengan seorang ahl al-kitāb merupakan sebuah

tahapan pembebasan secara evolutif.

Sementara itu penulis sendiri berpendapat lebih condong kepada hukum

perkawinan beda agama dalam konteks keindonesiaan yang mengharamkan praktik

perkawinan beda agama. Pengharaman tersebut bukan berarti hukum perkawinan

di Indonesia menentang hukum al-Qur’an yang memang secara zahir membolehkan

praktik perkawinan beda agama (laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb).

Namun, pendapat penulis ini didasarkan pada beberapa hal berikut:

1. Pada zaman ini sangat sulit dan bahkan tidak mungkin menemukan ahl al-kitāb

yang masih berpegang pada ajaran asli kitab suci yang diturunkan oleh Allah.

Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Yusuf Qardhawi yang memandang

pembolehan mengawini perempuan ahl al-kitāb hanya jika perempuan ahl al-

kitāb tersebut benar-benar berpegang pada ajaran agama samawi, tidak ateis,

tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi46.

2. Ahl al-kitāb yang dimaksud dalam ayat yang membolehkan perkawinan beda

agama (laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb) hanya menunjuk

kepada kaum Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil sebelum datangnya Islam,

maka selain itu bukan termasuk ahl al-kitāb yang boleh untuk dikawini. Dalam

46 M. Yusuf al-Qardhawi, Fatāwā Mu’āshirah, (Kairo: Dār Afāq, 1978), h. 407

Page 73: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

58

hal ini penulis mengacu pada pendapat ulama-ulama madzhab Syafi’i yang

memandang ahl al-kitāb hanyalah Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil, terlebih

adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan

perkawinan itu47.

3. Pengharaman dalam perkawinan beda agama ini menurut penulis sebagai

langkah preventif untuk mengindari berbagai macam kemafsadatan dan

kemadharatan yang akan terjadi di kemudian hari jika perkawinan beda agama

tersebut tetap dilaksanakan, seperti kemungkinan kurang harmonisnya rumah

tangga pasangan yang melakukan perkawinan, kemungkinan terjerumusnya

seorang Muslim yang melakukan perkawinan dengan non-muslim ke agama si

istri atau suami yang bukan seorang muslim, atau anaknya yang terbawa dan

memeluk agama yang dibawa oleh si istri atau suami yang berlainan agama.

Dalam kenyataannya, lebih banyak pasangan suami istri yang melakukan

perkawinan beda agama ini berantakan dan bercerai-berai, meskipun semula

pasangan suami istri tersebut terlihat harmonis dan bahagia. Dalam konteks

Indonesia, seperti perkawinan beda agama antara Ira Wibowo (muslim) dengan

Katon Bagaskara (non- muslim) dengan usia perkawinan yang sudah berlangsung

hampir 17 (tujuh belas) tahun lamanya, pasangan suami istri beda agama antara

Lydia Kandau (non-muslim) dengan Jamal Mirdad (muslim) yang usia

perkawinannya sudah mencapai selama 27 (dua puluh tujuh) tahun dan sudah

dikaruniai empat orang anak dimana dua orang mengikuti agama sang ayah dan

dua lagi mengikuti agama sang ibu, pasangan suami istri beda agama antara Yuni

Shara dengan Henry Siahaan dan masih banyak lainnya. Meskipun tidak sedikit

juga pasangan perkawinan beda agama yang rumah tangganya masih tetap

berlangsung rukun dan harmonis, seperti perkawinan antara Ahmad Nurcholis

dengan Ang Mei Yong (seorang perempuan Konghucu).

47 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483

Page 74: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

59

Ada pula dalam beberapa kasus yang karena perkawinan beda agama

seseorang yang beragama muslim akhirnya tergoda dan terbawa ke agama

pasangannya yang non-muslim. Dalam konteks Indonesia, seperti terjadi pada

Lukman Sardi (Islam) yang mengawini Pricillia Lunggono (Kristen), ia akhirnya

memutuskan untuk berpindah keyakinan ke agama sang istri, Pricillia Lunggono.

Kemudian, Asmirandah yang seorang muslim yang dikawini oleh Jonas Rivanno

seorang Kristen, ia pun akhirnya pindah ke agama sang suami, Jonas Rivanno.

Demi menghindari berbagai kemafsadatan yang akan muncul tersebutlah

maka sebaiknya perkawinan beda agama ini dihindari sebagaimana kaidah yang

sering kita dengar dalam usūl al-fiqh, yaitu:

درأ املفاسد مقدم على جلب املصاحل“Menghindari kemafsadatan lebih diutamakan daripada mendekatkan pada

kebaikan”.

Maka dari itu, sebaiknya bagi seorang muslim sebaiknya berikhtiyar lebih

keras lagi dalam upaya mencari pendamping hidup yang sama agama dan

kepercayaannya demi menghindari kemafsadatan yang mungkin dapat terjadi di

kemudian.

Page 75: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

60

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana uraian yang telah ditulis oleh penulis pada setiap bab, maka dapat

penulis ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkawinan beda agama menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha

diperbolehkan bagi laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim yang

termasuk kategori ahl al-kitāb sebagaimana di atas, namun haram bagi

sebaliknya, jika perempuan muslim dikawini oleh laki-laki ahl al-kitāb. Bentuk

perkawinan beda agama lainnya yang diharamkan oleh Ridha adalah

perkawinan dengan non-muslim bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci

sebagai pedoman hidup.

2. Apabila pendapat Rasyid Ridha dihubungkan dengan konteks keindonesiaan,

maka keempat agama selain Islam yang diakui di Indonesia adalah termasuk

kelompok ahl al-kitāb. Dengan begitu jika berpegang pada pendapat Ridha

maka laki-laki muslim di Indonesia dapat mengawini perempuan-perempuan

pemeluk Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu. Maka jelas pendapat Rasyid

Ridha tidaklah relevan dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia

yang penulis ketahui selalu menggaungkan pengharaman perkawinan beda

agama, baik melaui UU No. tahun 1974, KHI dan melalui Fatwa MUI.

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis sampaikan dari apa yang sudah penulis uraikan

pada setiap bab di atas untuk perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan peneliti

khususnya adalah:

1. Untuk para pemeluk agama Islam disarankan untuk berikhtiyar terlebih dahulu

dalam upaya mencari pendamping hidup yang memiliki agama dan

Page 76: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

61

kepercayaan yang sama (sesama muslim), hal ini sebagai langkah preventif

untuk menghindari kemafsadatan yang mungkin dapat terjadi setelah

perkawinan.

2. Untuk para peneliti dan akademisi agar mengkaji lebih dalam lagi terkait

hukum perkawinan beda agama dalam baik terhadap pemikiran-pemikiran

ulama pembaharu dalam Islam seperti Rasyid Ridha maupun pemikiran-

pemikiran ulama salaf.

3. Himbauan kepada Pemerintah dan Badan Legislatif yang membuat regulasi dan

peraturan perundangan agar membuat regulasi atau undang-undang yang tegas

tentang ketentuan perkawinan beda agama, dengan mempertimbangkan kondisi

sosio-kultural Indonesia yang plural serta religius, sehingga tidak ada lagi

ketidakpastian hukum dalam hal perkawinan beda agama karena tidak adanya

aturan yang benar-benar mengatur perkawinan beda agama, karena hanya

undang-undang sebagai norma pembenar yang dapat memberikan titik temu

dan menjadi pegangan khalayak umum.

Page 77: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

62

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di

Indonesia, Bandung: Alumni, 1978

Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, Jakarta, Ikhtiyar Baru, 1977

Alim, Ma’shum Nur, Hermeneutika Penafsiran Ayat-ayat Kalam dalam Tafsir al-Manar,

Tangerang Selatan, YPM Press, tt

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Asdi

Mahasatya, 2002

Al-Munjad, Sholāhuddȋn, Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridhā, (T.tp, T.t

Al-Adawi, Ibrahim Ahmad, Rasyid Ridha al-Imām al-Mujāhid, (Kairo, Mathba’ah

Mishr, 1964

Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003

Al-Sabuni, Muhammad Ali, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Penerjemah

Mu’ammal Hamidy dkk, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985

Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawaȋ’ al-Bayān Tafsȋr Ayāt al-Ahkām Min al-

Qur’ān Juz 1, Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, tt

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen.

Abdil Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008

Al-Thabārȋ, Ibn Jarȋr, Jamȋ al-Bayān fi Ta’wȋl al-Qur’an, Beirut: Muassasah Al-

Risālah, tt

Athaillah, A, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar,

Jakarta, Erlangga, 2006

Bahrawi, Mohammad Monib Islah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam

Pandangan Nurcholish Madjid, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011

Djaja, Tamar, Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam 2, Bandung: al-

Ma’arif, 1982

Dahwal, Sirman, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di

Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, 2016

Page 78: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

63

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum 2017, Jakarta: Pusat

Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017

Fatwa MUI No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005

Galib, Muhammad, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina,

1998

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, cet III, Jakarta: Kencana, 2008

Hadi, Sutrisno, Metode Research, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980

Hazm, Ibnu, al-Mahallā bi al-Asrā Jiz 9, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1988

Kompilasi Hukum Islam

Madjid, Nurcholis dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-

Pluralis, Jakarta, Paramadina, 2004

Makalew, Jane Marlen, “Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama di

Indonesia”, Lex Privatum, vol. 1, No. 2, April-Juni 2013, h. 131-144

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Madzhab, Pen. Masykur AB dkk, Cet.

27, Jakarta: Lentera, 2011

Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet III, Jakarta:

Bulan Bintang, 1993

Munjad, Sholahuddin, Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridhā, T.tp, T.t

Nata, Abudi, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai

KHI, Jakarta: Kencana, 2006

Putra, Andi Eka “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran

Muhammad Arkoun dan Nurcholish Madjid (Sebuah Telaah

Perbandingan)”, Al-Dzikra, vol. X, No. 1, Januari-Juni 2016

Qardhawi, Yusuf, Fatāwā Mu’āshirah, Kairo: Dār Afāq, 1978

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsȋr al-Qur’ān al-H akȋm Juz 6, cet II, Dār al-Manār,

1947

Page 79: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

64

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1998

Rusyd, Ibnu, Bidāyah al-Mujtahȋd Wa Nihāyah al-Muqtashid, Bayt al-Afkār al-

Dauliyah, 2007

Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabȋ, 1983

Shidiq, Sapiudin, Fikih Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2017

Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-

Qur’an, cet. III, Jakarta: Lentera Hati, 2001

Shihab, Muhammad Quraish, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-

Manar, Jakarta, Lentera Hati, 2006

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007

Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: Buku Ajar Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, 2010

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1996

Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS,

2006

Suma, Muhammad Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syari’ah dan

Qanuniah, Jakarta: Lentera Hati, 2015

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Rajawali

Press, 2005

Syafi’i, Nasrul Umam dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?,

Jakarta: Qultum Media, 2005

Taqiyuddin, Imam, Kifāyat al-Akhyār Fi H āl Ghāyat al-Ikhtiyār Juz 2, Surabaya:

Darul Ihya, t.t

Ulama’i, A. Hasan Asy’ari, Membedah Kitab Tafsir-Hadis Dari Imam Ibn Jarir al-

Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo

Press, 2008

Page 80: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN …€¦ · fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan

65

Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, al-Jami’ Fi al-Fiqh an-Nisā (Fiqh

Perempuan), cet I, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah, Bandung: Angkasa, 2005

Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmȋ Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989

Zuhailiy, Wahbah, Tafsȋr al-Wasȋth, Beirut: Dār al-Fikr al-Ma’ashȋr, tt

Zuhdi, Masjfuk Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977