21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin yang berarti bahwa Islam adalah agama yang sangat toleransi terhadap seluruh umat manusia terutama dalam aspek hukum. Berbicara mengenai hukum Islam maka tidak lepas untuk membicarakan siapa pembuat hukum Islam itu sendiri. Landasan dasar makalah ini dibuat adalah sangat pentingnya sebuah kajian Islam terutama hukum-hukum Islam yang bebankan oleh Assyari' (Pembuat Hukum) kepada kita yakni orang- orang mukallaf. Wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah adalah termasuk Al Ahkam Al Khamsah yang dibebankan kepada seorang mukallaf dengan ketentuan- ketentuan serta klasifikasi dalam hal melaksanakanya. Dengan penjelasan tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang hakim dan hukum dalam makalah ini. 1

Hukum dan Hakim dalam Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penjelasan mengenai hukum dan hakim di dalam Islam

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin yang berarti bahwa Islam adalah agama yang sangat toleransi terhadap seluruh umat manusia terutama dalam aspek hukum. Berbicara mengenai hukum Islam maka tidak lepas untuk membicarakan siapa pembuat hukum Islam itu sendiri. Landasan dasar makalah ini dibuat adalah sangat pentingnya sebuah kajian Islam terutama hukum-hukum Islam yang bebankan oleh Assyari' (Pembuat Hukum) kepada kita yakni orang-orang mukallaf. Wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah adalah termasuk Al Ahkam Al Khamsah yang dibebankan kepada seorang mukallaf dengan ketentuan-ketentuan serta klasifikasi dalam hal melaksanakanya. Dengan penjelasan tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang hakim dan hukum dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hukum Islam?2. Bagaimana ketentuan-ketentuan hukum Islam dan klasifikasinya?3. Siapakah hakim dalam hukum Islam?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian hukum Islam2. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum Islam dan klasifikasinya3. Untuk mengetahui hakim dalam hukum IslamBAB IIPEMBAHASAN

A. Hukum1. Pengertian Hukum Syar'iHukum syar'i adalah ilmu fiqh dan ilmu ushul. hukum syar'i adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukllaf, mukallaf adalah kita orang muslim yang dibebani hukum. sedangkan fiqh adalah produk hukum dengan jalan perbuatan yang orang mukallaf kerjakan. Khitobus syari' adalah segala sesuatu perbuatan yang di hubungkan dengan perbuatan mukallaf atas dasar perintah dengan ibarat ini adalah haram, halal, mubah, shahih, batal, atau adanya sebuah syarat, sabab, dan mani'.[footnoteRef:2] [2: Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Dar Al Arabi, 1958),h. 26]

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum taklifi adalah hukum yang dibebankan kepada manusia yang bersifat Thalab (Perintah dan Larangan), Takhyir (Mubah), dan Wad'i (Shahih dan Fasad dan sesamanya).[footnoteRef:3] Hukum yang bersifat perintah seperti waktu melaksanakan sholat, puasa Ramadlon, berhaji dan menunaikan zakat. sedangkan hukum yang taklifi yang sifatnya dapat melilih adalah seperti Rasulullah SAW dalam suatu waktu pernah melarang ziaroh qubur, kemudian dalam suatu waktu yang lain Rasul memperbolehkanya. Hukum secara syar'i terbagi menjadi dua, yakni hukum taklifi dan hukum wad'i [3: Muhammad bin Shalih al Ustmaini, Al Ushul Min Ilmi Al ushul,(Saudi Arabia, Dar Ibn Juzi) h. 10]

2. Hukum TaklifiHukum taklifi dilihat dari segi perbuatanya ada dua macam, yakni wajib dan tidak wajib (wajib dan sunnah). dilihat dari sifat kecukupanya yakni haram dan makruh. dilihat dari sifat memilihnya yakni mubah. hal ini adalah pembagian jumhur. sedangkan menurut hanafiyah terbagi menjadi tujuh, yakni fardlu, wajib, sunnah, haram, makruh yang mendekati haram, makruh tanzih, mubah.Makna dari fardlu dan wajib jumhur dan golongan hanafiyah bersepakat bahwa kedua lafadz tersebut adalah bimakna lazim (wajib).[footnoteRef:4] perbedaan mengenai fardlu dan wajib terletak pada kekuatan hukumnya, menurut hanafiyah bahwa fardlu itu bentuk dari sebuah penetapan hukum yang bersifat pasti (qot''i), sedangkan lafadz wajib merupakan sebuah penetapan hukum yang bersifat dzhonni. ijma' fuqoha' sepakan ketika seseorang meninggalkan wukuf di arofah maka hajinya batal, dan ketika seseorang meninggalkan sa'i di antara shofa dan marwah hajinya tidak batal, karena sa'i bukanlah termasuk dalil qot'i. [4: Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Dar Al Arabi, 1958),h. 29]

Perbedaan pendapat masalah seseorang yang sholatnya tidak membaca surat alfatihah menurut syafi'iyah adalah batal karena hal tersebut termasuk fardlu, sedangkan munurut hanafiyah adalah tidak batal karena termasuk wajib. imam syafi'i belandaskan hadist nabi yakni , sedangkan hanafiyah berlandaskan bahwa diperbolehkan menggunakan surat-surat umum dan tidak harus surat alfatihah yang dibaca.[footnoteRef:5] [5: Zahra, Ushul. h. 30]

1) WajibWajib dibagi menjadi : Muthlak terbagi menjadi waktu yang tak terbatas dan waktu yang terbatas. Waktu yang tak terbatas seperti seorang yang berbuka puasa pada bulan ramadlon sebelum waktunya karena sebab udzhur. hal ini menjelaskan bahwa puasanya batal dan harus mengqada' puasa yang ditinggal dalam waktu yang tidak tentukan menurut hanafiyah dan ditentukan menurut syafi'iyah.[footnoteRef:6] Waktu yang terbatas seperti waktu shalat, shalat hanya bisa dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan akan mendapatkan dosa ketika meninggalkanya[footnoteRef:7] dan ketika datang bulan Ramadlon, maka wajib berpuasa. [6: Zahra, Ushul. h. 30] [7: Hujjah Al- Islam abi hamid bin muhammad bin muhammad al Ghazali, Al Musthafa min ulum Al ushul, Cet. I (Mesir, Amriyyah Babulaq, 1322), h. 69]

Muaqqat terbagi menjadi muwassa' dan mudhoyyaq. Untuk contoh contoh dalam konteks ini adalah sama dengan contoh sebelumnya yakni dalam penjelasan Muthlak.

2) SunnahSunnah adalah melaksanakan perintah syari' yang mana jika melakuknya mendapatkan pahala dan jika meninggalkanya tidak mendapat siksaan. Sunnah terbagi menjadi muakkad dan ghoiru muakkad. muakkad seperti sholat witir, fajar, ba'diah maghrib, isya' dan dhuhur. ghoiru muakkad seperti sholat qobilyah empat rokaat sebelum dhuhur, asyar dan isya'.[footnoteRef:8] [8: Zahra, Ushul. h. 39]

Dalam melaksanakan perbuatan yang hukumnya sunnah maka secara tidak langsung di dalamnya terdapat melakukan hukum wajib bersifat menyeluruh seperti hukum melaksanakan adzan adalah sunnah, sedangkan hukum wajib yang mengiringi adzan adalah melaksanakan sholat. contooh lain seperti hukum menikah adalah sunnah, sedangkan hukum wajib yang mengiringinya adalah kewajiban-kewajiban yang harus ditempuh dan dilaksanakan sesuai dengan aturan syara'.[footnoteRef:9] [9: Abi Ishaq As Syathibi , Al-Muwaqat fi Ushul Al Syari'ah (Saudi Arabia, Juz 1) h.94]

3) Haram adalah dasar diharamkanya sesuatu atas perintah syari' yang mana konsekuensinya memang sangat berbahaya. Haram terbagi menjadi dua, haram lidzatihi dan haram lighairihi. Haram Lidzatihi adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara' dengan unsur sengaja melakukanya seperti memakan bangkai, meminum minuman keras, mencuri dan berzina. Dalam hal ini ada lima aspek dalam pembahasan, yakni menjaga badan (jism), pekerjaan, harta , akal dan agama.[footnoteRef:10] Haram lighairihi adalah suatu perbuatan yang bisa menarik terhadap haram lidzatihi, seperti melihat aurat bukan mahram adalah haram, karena melihat aurat bisa menarik ke zina. Zina inilah yang dimaksud dengan haram lidzatihi. berjualan secara berlebihan adalah haram, karena hal itu menarik kepada riba, dan riba adalah haram lidzatihi. [10: Zahra, Ushul. h. 43]

4) Makruh adalah bentuk pelaksanaan yang sifatnya melarang dibawah tingkat haram, menurut jumhur jika hukum ini dilakukan tidak mendapatkan dosa akan tetapi dianjurkan untuk meninggalkanya (tidak melakukanya). hal ini berbeda dengan hanafiyah, hukum makruh jika dilakukan mendapat dosa selama makruh tersebut termasuk makruh tahrim. Makruh menurut hanafiyah terbagi menjadi dua yakni makruh tahrim dan makruh tanzih. makruh tahrim seperti seorang laki yang memakai sutra, cincin dari emmas atau perak.[footnoteRef:11] makruh tanzih seperti memakai siwak pada bulan Ramadlon setelah lingsirnya matahari. [11: Zahra, Ushul. h. 46]

5) Mubah adalah proses memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu.[footnoteRef:12] Mubah juga bisa dipahami dengan hukum yang boleh dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf dan tidak ada hubunganya dengan dosa dan pahala. seperti makan, minum, tidur. main game. Perbedaan pendapat dalam masalah mubah[footnoteRef:13]: [12: Zahra, Ushul. h. 46] [13: Abi Ishaq As Syathibi , Al-Muwaqat fi Ushul Al Syari'ah (Saudi Arabia, Juz 1) h.76]

a. Mubah adalah proses memilih diantara melakukan dan meninggalkan sebuah perbuatanb. Mubah adalah sama dengan wajib dan sunnah dalam hal proses melakukan sebuah perbuatanc. Orang yang ragu meninggalkan suatu perbuatan tidak diharuskan untuk melakukanya

Penjelasan mengenai mubah dan pembagianya dalam kitab Al-Muwaqat fi Ushul Al Syari'ah adalah dijelaskan secara rinci, akan tetapi jika diambil sebuah kesimpulan dapat dijelaskan bahwa mubah adalah proses memilih dalam melaksanakan atau meninggalkan perbuatan, dan hukum melaksanakan dan meninggalkan perbuatan tersebut adalah diperbolehkan.Kelima hukum tersebut adalah berlaku berdasarkan perbuatan-perbuatan mukallaf, akan tetapi Ahkam Al Khamsah tersebut tidak dapat diterapkan kepada orang gila, tidur, anak kecil dan orang yang mempunyai penyakit ayan.[footnoteRef:14] Hal ini dijelaksan oleh al-Qur'an surat Al Ahzab ayat 5, al Baqarah ayat 286, dan dalam sebuah hadist Nabi. [14: Abi Ishaq As Syathibi , Al-Muwaqat fi Ushul Al Syari'ah (Saudi Arabia, Juz 1) h.106]

a) Orang GilaOrang gila adalah orang kehilangan akal sehatnya yang tidak bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang dilarang, Allah berfirman: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[footnoteRef:15] [15: Al-Qur'an Al Karim, Surat al Ahzab ayat 5]

Titik pembahasan dalam ayat tersebut adalah lafadz Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu

Menurut penulis, ketika dipahami dengan mafhum mukhalafah maka lafadz tersebut menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu mendapatkan pahala selama perbuatan tersebut disengaja dengan hati (niat) dan tidak mendapatkan dosa selama perbuatan yang dilakukan itu adalah khilaf. permasalahan ini apabila dimasukkan kaidah fiqh Segala sesuatu amal itu sah selama ada niat

Adanya kaidah fiqh tersebut adalah sebagai pendukung bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh orang gila dan orang yang melakukan sesuatu tanpa unsur sengaja maka tidak ada dosa dalam hal tersebut. Allah berfirman: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[footnoteRef:16] [16: Al-Qur'an Al Karim, Surat Al Bayyinah ayat 5]

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang mukallaf dalam melaksanakan perintah Allah harus dijalani dengan ikhlas, yang mana Allah tidak akan memerintah dengan adanya nash Al-Qur'an kecuali untuk melaksanakanya dengan ikhlas. Ikhlas adalah sesuatu yang dikerjakan dengan hati yakni niat.[footnoteRef:17] [17: Ibn Hazm Al Andalusi, An Nabdzah Al Kafiyah Fi Ahkam Al Ushuliddin (Lebanon, Dar al Kutub Al Alamiyah, 1985), h. 48-49.]

b) LupaAyat yang menjelaskan seseorang yang lupa dalam melaksanakan sesuatu dan juga tidak mendapatkan dosa. Allah berfirman:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir[footnoteRef:18]. [18: Al-Qur'an Al Karim, Surat Al Baqarah Ayat 286]

Pembahasan pada ayat tersebut adalah lafadz Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah

Lafadz tersebut dapat dipahami secara dhahiriyah lafadz bahwa lafadz yang menunjukkan makna do'a kepada Allah tersebut adalah ditujukan bagi seseorang yang lupa (benar-benar lupa) dan tidak ada unsur kesengajaan, maka dengan demikian orang dengan kategori tersebut tidaklah mendapatkan dosa.c) Anak kecil dan Sakit AyanAnak kecil disini adalah anak yang masih belum mimpi basah, dan sakit ayan yang dimaksud adalah ketika proses berlangsungya penyakit tersebut. Hadist Nabi Hadist tersebut menjelaskan ada tiga orang yang ketika melakukanya tidak mendapatkan dosa, yakni orang tidur sampai dia bangun, orang yang sakit sampai dia sembuh, dan anak kecil sampai dia besar. Menurut penulis, penjelasan mengenai orang yang sakit disini adalah orang yang benar-benar sakit. Setiap orang sakit oleh Allah diberi keringanan dalam melaksanakan perintah Allah dengan melihat dan ketentuan sebatas mana dan separah mana penyakit tersebut. Penyakit ayan sendiri adalah penyakit yang bersifat kejang dan menghilangkan akal sesaat, ketika seseorang mendapati penyakit ini, maka dia tidak mendapatkan dosa selama proses penyakit tersebut berlangsung. Seorang anak sampai dia besar tidaklah mendapatkan dosa, pemahaman ini ketika dipahami lebih dalam dapat diartikan bahwa anak yang termasuk dalam kategori tersebut adalah anak yang yang masih belum bisa membedakan mana yang diperbolehkan oleh syara' dan yang dilarang syara' serta belum mimpi basah.

Menurut Penulis, pada dasarnya setiap perkara yang dibebankan kepada mukallaf di dalamnya terdapat maslahah dan mafsadah tergantung dari mana kita menilainya. Al Qarafi menjelaskan bahwa setiap perkara diikutkan di dalamnya sebuah maslahah, begitu juga dengan sebuah larangan. As Syathiby menambahkan bahwa maslahah yang hakiki dalam Thalab adalah melakukan perkara yang wajib dan sunnah, sedangkan dalam hal larangan adalah perkara haram dan makruh.[footnoteRef:19] [19: Abdullah Yahya Al Kamali, Maqasid As Syari'ah Fi Dhaui Fiqhi Al Mawazanat, (Lebanon, Dar Ibn Hazm, 2000), h. 77]

3. Hukum Wad'iHukum Wad'i adalah adanya dua perkara hukum yang memiliki kesinambungan diantra keduanya yang saling terikat satu sama lain yang mana salah satunya terdapat sabab ,syarat, dan mani'. fase sabab seperti melihat hilal pada bulan Ramadlon, Rasul bersabda dan Allah berfirman " ., fase syarat seperti syarat sholat adalah wudlu, serta syarat waris mewarisi adalah adanya seseorang yang meninggal. fase mani' seperti .[footnoteRef:20] [20: Zahra, Ushul. h. 27]

Secara ringkas, hukum wad'i dapat dipahami dengan mudah dengan penjelasan sebagai berikut: a. Adanya waktu adalah sebabnya sholat, wudlu adalah syarat sahnya sholat, habisnya waktu sholat adalah mani'.b. Adanya orang meninggal, kerabat suami dan istri adalah sebab mawarist, adanya ahli waris yang masih hidup setelah meninggalnya maurust adalah syarat mawarist, dan membunuh maurust adalah mani' dari mawarist.

B. HakimHakim dalam Islam adalah Assyari' Allah SWT,[footnoteRef:21] hanya Allah lah yang membuat hukum yang dibebankan kepada mukallafin. Adanya Rasul sebagai penyampai wahyu terhadap umat manusia itulah yang menjadikan adanya istilah mukallafin. Perbedaan pendapat mengenai adanya taklif sebelum datangnya Rasul atau sesudahnya menjadi topik pembahasan yang berbeda-beda dari tiga kelompok, yakni ahlussunnah yang menjelaskan tidak adanya taklif sebelum rosul datang, karena manusia tidak tau mana yang dan buruk. kelompok mu'tazilah setuju dengan adanya taklif sebelum Rasul datang, karena akal dapat menilai mana yang baik dan buruk, sedangkan kelompok terakhir yakni maturidin sependapat dengan mu'tazilah. Allah sebagai pembuat hukum dikuatkan dengan firman-Nya: [21: Zahra, Ushul. h. 69.]

Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".[footnoteRef:22] [22: Al-Qur'an Al Karim, Surat Yusuf ayat 67]

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.[footnoteRef:23] [23: Al-Qur'an Al Karim, Surat al Maidah ayat 44]

Hukum itu ada yang diberikan dengan jelas secara langsung melalui wahyu disampaikan kepada Rasul-Nya dan aada pula hukum itu melalui petunjuk-Nya yang berbentuk hidayah yang diberikan-Nya kepada Ulama dan mujtahid dalam bentuk ilmu pengetahuuan dan hikmahnya[footnoteRef:24] [24: Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 151]

BAB III

PENUTUP

A. KesimpulanKesimpulan dalam penulisan makalah ini adalah bahwa hakim dalam Islam adalah Allah SWT. Adapun hukum wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah biasa disebut dengan al ahkam al khamsah adalah hukum-hukum Allah yang dibebankan kepada kita sebagai seorang mukallaf yang harus melaknsakanya sesuai koridor dan batasan yang telah ditentukan oleh Assyari' (pembuat hukum). Setiap perkara pasti di dalamnya terdapat unsur maslahah, begitu juga dengan pembebanan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap kita melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya di dalamnya pasti terdapat unsur maslahah, baik itu maslahah yang bersifat dunia maupun akhirat.B.

DAFTAR PUSTAKAAl-Qur'an Al KarimAbu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqh, Dar Al Arabi, 1958.Al Ustmaini, Muhammad bin Shalih, Al Ushul Min Ilmi Al ushul, Saudi Arabia, Dar Ibn Juzi.As Syathibi, Abi Ishaq, Al-Muwaqat fi Ushul Al Syari'ah ,Saudi Arabia, Juz 1.Al Andalusi, Ibn Hazm, An Nabdzah Al Kafiyah Fi Ahkam Al Ushuliddin , Lebanon, Dar al Kutub Al Alamiyah, 1985.Al Kamali, Abdullah Yahya, Maqasid As Syari'ah Fi Dhaui Fiqhi Al Mawazanat, Lebanon, Dar Ibn Hazm, 2000.Bin Muhammad al Ghazali, Hujjah Al- Islam Abi Hamid Bin Muhammad, Al Musthafa min ulum Al ushul, Cet. I , Mesir, Amriyyah Babulaq, 1322.Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.14