Upload
beebob-wibisono
View
1.311
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA (PARENTING STYLE) DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL
(EMOTIONAL QUOTIENT) PADA ANAKUSIA DINI (3-6 TAHUN) DITK YKK II BANGKALAN
Oleh:
SURYA NOVIA IRIYANTI UTAMY09154010141
AKADEMI KEBIDANAN NGUDIA HUSADA MADURA
BANGKALAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak adalah aset bangsa dan penerus cita-cita bangsa, yang dasarnya
telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Jika selama masa pertumbuhan
dan perkembangan anak dipelihara dengan baik, maka anak akan tumbuh
dan berkembang dengan baik pula sesuai dengan keinginan dan harapan,
begitupun pula sebaliknya. Perkembangan moral serta dasar-dasar
kepribadian juga dibentuk pada anak, sehingga setiap kelainan atau
penyimpangan sekecil apapun, apabila tidak terdeteksi apalagi tidak
tertangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya manusia
kelak kemudian hari (Soetjiningsih, 2001)
Bagi orang tua, masa awal kanak-kanak merupakan usia yang sulit,
karena anak-anak berada dalam proses pengembangan kepribadian. Proses
ini berlangsung dengan disertai perilaku-perilaku yang kurang menarik
untuk orang tua, misalnya melawan orang tua, marah tanpa alasan, takut
yang tidak rasional dan sering juga merasa cemburu. Selain dikatakan
sebagai usia yang sulit, anak usia dini oleh orang tua juga dianggap
sebagai usia bermain karena pada masa-masa ini anak-anak menghabiskan
banyak waktu untuk bermain dan puncaknya ada pada tahun-tahun
tersebut (Mashar, 2011).
Masa anak usia dini merupakan salah satu periode yang sangat
penting, karena periode ini merupakan tahap perkembangan kritis. Pada
masa inilah kepribadian seseorang mulai dibentuk. Pengalaman-
pengalaman yang terjadi masa ini cenderung bertahan dan mempengaruhi
sikap anak sepanjang hidupnya. Pada masa ini anak senang melakukan
berbagai aktivitas seperti memperhatikan lingkungan sekitar, meniru,
mencium dan meraba. Lingkungan yang kaya dan banyak memberi
rangsangan dapat meningkatkan kemampuan belajar anak (Susanto, 2011).
Hurlock (1991) dalam Susanto (2011) mengungkapkan bahwa salah
satu karakteristik pada usia dini adalah sebagai masa bermain, dimana
hampir seluruh kegiatan pada usia prasekolah melibatkan unsur bermain.
Melalu kegiatan bermain anak belajar mengembangkan kemampuan emosi
dan sosial, sehingga diharapkan muncul emosi dan perilaku yang tepat
sesuai dengan konteks yang dihadapi dan diterima oleh norma sosial.
Lazarus (1991) dalam Mashar (2011) membedakan kondisi emosi dalam
dua kategori, yaitu emosi negatif yang berasal dari hubungan yang
mengancam atau kondisi yang menyakitkan, serta emosi positif yang
berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan. Reaksi emosi negatif
terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu atau bersalah, kesedihan,
cemburu dan jijik. Adapun reaksi emosi positif terdiri dari kebahagiaan,
rasa senang, bangga, cinta, pengharapan dan perasaan terharu atau belas
kasihan.
Susanto (2011) mengungkapkan bahwa peran orang tua dan guru di
sekolah dalam mengembangkan perilaku emosional anak adalah ditempuh
dengan menanamkan sejak dini pentingnya pembinaan perilaku dan sikap
yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sehingga menjadi
dasar utama pengembangan perilaku emosional dalam mengarahkan
pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di masyarakat.
Perilaku emosional yang diharapkan ialah perilaku-perilaku yang baik,
seperti kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, percaya diri, adil, setia
kawan dan sifat kasih sayang terhadap sesama serta toleransi yang tinggi.
Jika anak dapat memiliki perilaku emosiaonal yang baik, dapat dikatakan
memiliki kecerdasan emosional yang baik pula. Kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar anak
mampu merespons secara positif sesuai kondisi yang merangsang
munculnya emosi-emosi ini (Susanto, 2011). Namun, pada kenyataannya
masih banyak orang tua yang menganggap bahwa kecerdasan intelektual
(IQ) lebih membawa keberhasilan dalam masa depan anak dibandingkan
kecerdasan emosional (EQ), serta tidak mengajarkan atau mendidik
anaknya untuk memiliki emosi yang baik, sehingga banyak anak usia dini
yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Kecerdasan emosional
yang diasah sejak dini dapat menjadi suatu poros keberhasilan dalam
berbagai aspek kehidupan. Kemampuan anak mengembangkan kecerdasan
emosinya akan berkorelasi positif dengan keberhasilan akademis, sosial
dan kesehatan mentalnya (Susanto, 2011)
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan penulis di TK
YKK II Bangkalan, dari 5 anak yang diteliti, 2 anak (40 %) memiliki
kecerdasan emosional yang rendah, 1 anak (20 %) memiliki kecerdasan
emosional yang cukup dan 2 anak (40 %) memiliki kecerdasan emosional
yang baik. Kebanyakan dari mereka masih sering bersikap tempertantrum
atau marah sambil menangis kuat, bahkan sampai berguling di lantai
ketika orang tuanya tidak menuruti kemauan anak. Sedangkan dari 5 orang
tua yang diwawancara, 4 dari 5 orang tua (80 %) menunjukkan sikap tidak
pernah mengembangkan kecerdasan emosional anak mereka. Bahkan
mereka lebih sering memarahi anak mereka dengan keras ketika anak
mereka tidak bisa mengendalikan emosinya atau menakuti anaknya
dengan hal fiksi.
Rendahnya kecerdasan emosional anak usia dini tidak hanya
disebabkan rendahnya peran orang tua dalam mendidik anaknya namun
juga keadaan fisik anak, norma yang berlaku dalam lingkungan dimana
mereka tinggal, lingkungan pendidikan, dan keadaan sosial-ekonomi orang
tua. Apabila EQ anak yang rendah dibiarkan begitu saja, dapat
menyebabkan kegagalan dalam kecerdasan intelektual (IQ) dan spiritual
intelektual (SQ) yang menimbulkan imbas ke dalam proses perkembangan
anak, baik perkembangan bahasa, motorik kasar , motorik halus maupun
personal sosial.
Melihat pentingnya meningkatkan kecerdasan emosional anak usia
dini dalam perkembangannya, maka peran orang tua bahkan pendidik
sangat berpengaruh terutama dalam pemberian stimulasi, dukungan dan
pendidikan yang tidak mengarah pada perkembangan IQ namun juga
perkembangan EQ anak. Kecerdasan emosional anak dapat ditingkatkan
dengan mengenali kebutuhan anak, meluangkan waktu bersama untuk
bermain, sekaligus memberikan pemahaman kepada anak.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
tentang Hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan
kecerdasan emosional anak usia dini di TK YKK II Bangkalan.
1.2 Identifikasi Penyebab Masalah
1.2.1 Faktor Internal
a. Keadaan Fisik Anak
Anak yang sehat cenderung lebih emosional dibandingkan anak
yang kurang sehat (Susanto, 2011). Anak yang sehat cenderung
menampakkan emosi positif seperti bahagia, gembira dan rasa ingin
tahu. Biasanya ditampakkan dengan perilaku tertawa, melompat-
lompat dan bertepuk tangan, sedangkan anak yang kurang sehat
cenderung menampakkan emosi positif seperti murung, dukacita, sedih
dan manja. Biasanya ditampakkan dengan perilaku menangis,
melamun, bahkan marah.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga menentukan emosi anak, misal: anak laki-laki
cenderung lebih penakut dibandingkan anak perempuan (Susanto,
2011), sedangkan anak perempuan cenderung lebih penyayang
dibandingkan anak laki-laki.
FAKTOR EKSTERNAL
a. Pola Asuh Orang Tua (Parenting Style)b. Hubungan Anak – Anggota Keluargac. Lingkungan (stimulasi).d. Teman Sebayae. Media Massa
Banyak anak usia dini yang memiliki
Kecerdasan Emosional rendah.
FAKTOR INTERNAL
a. Keadaan Fisik Anakb. Jenis Kelaminc. Umur
c. Umur
Tentunya ada perbedaan emosi pada anak yang berbeda umur.
Misal, ketakutan yang dialami anak usia 1 tahun berbeda dengan anak
usia 2 tahun.
1.2.2 Faktor Eksternal
a. Pola Asuh Orang Tua
Menurut Hurlock (2010), mendidik anak secara otoriter, yang
menggunakan metode hukuman untuk memperkuat kepatuhan secara
ketat, akan mendorong emosi negatif menjadi dominan, misal
ketakutan berlebih. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan
permisif akan menimbulkan suasana rumah yang lebih santai dan akan
menunjang bagi ekspresi emosi positif, misal berani dan penuh kasih
sayang.
b. Hubungan Anak – Anggota Keluarga
Hubungan yang tidak rukun dengan orang tua atau saudara akan
lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga
emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan anak di rumah
(Hurlock, 2010)
c. Lingkungan
Lingkungan adalah faktor yang sangat mempengaruhi
perkembangan emosi anak. Lingkungan tidak hanya lingkungan
tempat tinggal dan lingkungan sekolah, lingkungan juga bisa
mencakup stimulasi dan dorongan dari luar dan keluarga.
d. Teman Sebaya
Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya maka
emosi yang positif akan menjadi dominan, sedangkan jika anak ditolak
atau diabaikan oleh kelompok teman sebaya, maka emosi negatif akan
dominan pada anak (Hurlock, 2011).
e. Media Massa
Media massa seperti televisi adalah salah satu media yang cukup
berperan dalam emosi anak. Tayangan televisi yang tidak baik seperti
film kartun yang menayangkan kekerasan juga akan mendorong anak
untuk meniru.
1.3 Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang ada di lapangan, maka untuk
memfokuskan kajian dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah
yaitu Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan Emosional
Anak Usia Dini (3-6 tahun) di TK YKK II Bangkalan
1.4 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan
kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di TK YKK II Bangkalan?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan
kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di TK YK II Bangkalan
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pola asuh orang tua (parenting style) pada anak usia
dini di TK YKK II Bangkalan
2. Mengidentifikasi kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di
TK YKK II Bangkalan
3. Menganalisis hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan
kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di TK YK II
Bangkalan
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menambah sumber referensi bagi mahasiswi
Akademi Kebidanan Ngudia Husada Madura, khususnya materi
kecerdasan emosional (EQ) dan sebagai khasanah wacana kesehatan.
1.6.2 Bagi Profesi Kesehatan
Merupakan masukan untuk meningkatkan pengetahuan dan perkembangan
ilmu kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.
1.6.3 Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan ibu tentang kecerdasan emosional (EQ) dan
bagaimana pola asuh yang tepat untuk anak serta meningkatkan
perkembangan emosional anak.
1.6.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut, bagi peneliti
berikutnya yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional (EQ).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pola Asuh Orang Tua (Parenting Style).
2.1.1 Konsep Keluarga
a. Pengertian Keluarga
M.I Soelaeman (1978) dalam Dahlan (2010) mengemukakan pendapat
para ahli mengenai pengertian keluarga, yaitu:
1) F.J Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang
sosiologis, keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu:
a) Dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada
hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan
dengan marga.
b) Dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dan anak.
2) Maciver menyebutkan lima ciri khas keluarga yang umum terdapat
dimana-mana, yaitu:
a) Hubungan berpasangan kedua jenis.
b) Perkawinan atau bentuk ikatan lain yang megokohkan
hubungan tersebut.
c) Pengakuan akan keturunan
d) Kehidupan ekonomis yang diselenggarakan dan dinikmati
bersama, dan
e) Kehidupan berumah tangga.
Dalam nada yang sama, Sudjardja Adiwikarta (1988) dan Sigelman
& Shaffer (1995) berpendapat bahwa “keluarga merupakan unit sosial
terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap
masyarakat di dunia (universe) atau suatu sistem sosial yang
terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial yang lebih besar.
Bentuk atau pola keluarga, yaitu:
1) Keluarga Batin/Inti (Nuclear Family), yang terdiri atas
suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan
antara keduanya dan yang belum berkeluarga (termasuk anak
tiri jika ada).
2) Keluarga Luas (Extended Family), yang keanggotaanya tidak
hanya meliputi suami, istri dan anak-anak yang belum
berkeluarga, tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya
tinggal dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti mertua
(orangtua suami/istri), adik, kakak ipar atau lainnya, bahkan
mungkin pembantu rumah tangga atau orang lain yang tinggal
menumpang.
b. Peranan dan fungsi keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang enuh kasih
sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribasi dan anggotan
masyarakat yang sehat.
Yusuf (2010) mengatakan bahwa keluarga yang bahagia
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi
para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini diperolah apabila
keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar
keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang
dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.
Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan
tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian,
pemahaman, respek dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak
yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak
harmonis, penuh konflik atau gap communication dapat
mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness)
bagi anak.
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga ini dapat dikemukakan
bahwa secara psikososologis keluarga berfungsi sebagai
1) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya.
2) Sumber pemenuhan kebutuhan.
3) Sumber kasih sayang dan penerimaan.
4) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi
anggota masyarakat yang baik.
5) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara
sosial dianggap tepat.
6) Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya
dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan.
7) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal
dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri.
8) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai
prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat.
9) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi.
10) Sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai usia cukup
usia untuk mendapatkn teman di luar rumah, atau apabila
persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga ini dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut:
1) Fungsi Biologis.
Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan
legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar biologisnya. Kebutuhan ini meliputi:
a) Pangan, sandang dan papan.
b) Hubungan seksual suami-istri.
c) Reproduksi atau pengembangan keturunan.
2) Fungsi Ekonomis.
Keluarga (ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi anggota
keluarganya (istri dan anak).
3) Fungsi Pendidikan (Edukatif).
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama
bagi anak. keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya atau
mediator sosial budaya bagi anak (Hurlock, 1956). Pendidikan
keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang
diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan
agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Fungsi keluarga
dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan
atau pembiasaan nilai-nilai agama, buday dan keterampilan-
keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak.
4) Fungsi Sosialisasi.
Keluarga merupakan buaian atau penyemaian bagi masyarakat
masa depan dan lingkungan keluarga merupakan faktor penentu
yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang,
keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang
mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam
masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya.
Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi kemampuan
anak untuk menaati eraturan disiplin, mau bekerja sama dengan
orang lain, bersikap toleran,menghargai pendapat gagasan orang
lain, mau bertanggung jawab dan bersikap matang dalam
kehidupan yang heterogen (etnis, ras, budaya dan agama).
5) Fungsi Perlindungan (Protektif)
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota
keluarganya dari gangguan, ancama, atau kondisi yang
menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-psikologis) para anggotanya.
6) Fungsi Rekreatif
Untuk melaksanakan fungsi ini, keluarga harus diciptakan sebagai
lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan
dan penuh semangat bagi anggotanya. Sehubungan dengan hal itu,
maka keluarga harus ditata sedemikian rupa, seperti menyagkut
aspek dekorasi interior rumah, hubungan komunikasi yang tidak
kaku, makan bersama, bercengkram dengan penuh suasan humor
dan sebagainya.
7) Fungsi Agama (Religius)
Keluarga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agam kepada anak
agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Keluarga
berkewajiban mengajar, membimbing atau membiasakan
anggotanya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama
yang dianutnya. Para anggota keluarga yang memiliki keyakina
yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki mental yang sehat, yakni
mereka akan terhindar dari beban-beban psikologis dan mampu
menyesuaikan dirinya secara harmonis dengan orang lain, serta
berpastisipasi aktif dalam memberikan kontribusi secara
konstruktif terhadap kemajuan atau kesejahteraan masyarakat.
c. Faktor keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak.
d.
2.1.2 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
2.1.3 Macam Pola Asuh Orang Tua
2.1.4 Dimensi Pola Asuh Orang Tua
2.1.5 Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecerdasan
Emosional
2.2 Konsep Kecerdasan Emosional.
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
2.2.2 Dimensi Kecerdasan Emosional
2.2.3 Unsur-unsur Kecerdasan Emosional
2.2.4 Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini
2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
2.3 Konsep Dasar Anak Usia Dini.
2.3.1 Pengertian Anak Usia Dini
2.3.2 Karakteristik Perkembangan Fisik Anak Usia Dini
2.3.3 Karakteristik Perkembangan Intelektual Anak Usia Dini
2.3.4 Karakteristik Perkembangan Emosional Anak Usia Dini
2.3.5 Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini
2.3.6 Karakteristik Perkembangan Sosial Anak Usia Dini
2.3.7 Karakteristik Perkembangan Bermain Anak Usia Dini
2.3.8 Karakteristik Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
2.3.9 Karakteristik Perkembangan Kepribadian Anak Usia Dini
2.3.10 Karakteristik Perkembangan Moral Anak Usia Dini