26
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA (PARENTING STYLE) DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL QUOTIENT) PADA ANAK USIA DINI (3-6 TAHUN) DI TK YKK II BANGKALAN Oleh: SURYA NOVIA IRIYANTI UTAMY 09154010141 AKADEMI KEBIDANAN NGUDIA HUSADA MADURA

Hubungan Pola Asuh Orang Tua

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA (PARENTING STYLE) DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL

(EMOTIONAL QUOTIENT) PADA ANAKUSIA DINI (3-6 TAHUN) DITK YKK II BANGKALAN

Oleh:

SURYA NOVIA IRIYANTI UTAMY09154010141

AKADEMI KEBIDANAN NGUDIA HUSADA MADURA

BANGKALAN

2012

Page 2: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah aset bangsa dan penerus cita-cita bangsa, yang dasarnya

telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Jika selama masa pertumbuhan

dan perkembangan anak dipelihara dengan baik, maka anak akan tumbuh

dan berkembang dengan baik pula sesuai dengan keinginan dan harapan,

begitupun pula sebaliknya. Perkembangan moral serta dasar-dasar

kepribadian juga dibentuk pada anak, sehingga setiap kelainan atau

penyimpangan sekecil apapun, apabila tidak terdeteksi apalagi tidak

tertangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya manusia

kelak kemudian hari (Soetjiningsih, 2001)

Bagi orang tua, masa awal kanak-kanak merupakan usia yang sulit,

karena anak-anak berada dalam proses pengembangan kepribadian. Proses

ini berlangsung dengan disertai perilaku-perilaku yang kurang menarik

untuk orang tua, misalnya melawan orang tua, marah tanpa alasan, takut

yang tidak rasional dan sering juga merasa cemburu. Selain dikatakan

sebagai usia yang sulit, anak usia dini oleh orang tua juga dianggap

sebagai usia bermain karena pada masa-masa ini anak-anak menghabiskan

banyak waktu untuk bermain dan puncaknya ada pada tahun-tahun

tersebut (Mashar, 2011).

Masa anak usia dini merupakan salah satu periode yang sangat

penting, karena periode ini merupakan tahap perkembangan kritis. Pada

masa inilah kepribadian seseorang mulai dibentuk. Pengalaman-

Page 3: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

pengalaman yang terjadi masa ini cenderung bertahan dan mempengaruhi

sikap anak sepanjang hidupnya. Pada masa ini anak senang melakukan

berbagai aktivitas seperti memperhatikan lingkungan sekitar, meniru,

mencium dan meraba. Lingkungan yang kaya dan banyak memberi

rangsangan dapat meningkatkan kemampuan belajar anak (Susanto, 2011).

Hurlock (1991) dalam Susanto (2011) mengungkapkan bahwa salah

satu karakteristik pada usia dini adalah sebagai masa bermain, dimana

hampir seluruh kegiatan pada usia prasekolah melibatkan unsur bermain.

Melalu kegiatan bermain anak belajar mengembangkan kemampuan emosi

dan sosial, sehingga diharapkan muncul emosi dan perilaku yang tepat

sesuai dengan konteks yang dihadapi dan diterima oleh norma sosial.

Lazarus (1991) dalam Mashar (2011) membedakan kondisi emosi dalam

dua kategori, yaitu emosi negatif yang berasal dari hubungan yang

mengancam atau kondisi yang menyakitkan, serta emosi positif yang

berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan. Reaksi emosi negatif

terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu atau bersalah, kesedihan,

cemburu dan jijik. Adapun reaksi emosi positif terdiri dari kebahagiaan,

rasa senang, bangga, cinta, pengharapan dan perasaan terharu atau belas

kasihan.

Susanto (2011) mengungkapkan bahwa peran orang tua dan guru di

sekolah dalam mengembangkan perilaku emosional anak adalah ditempuh

dengan menanamkan sejak dini pentingnya pembinaan perilaku dan sikap

yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sehingga menjadi

dasar utama pengembangan perilaku emosional dalam mengarahkan

Page 4: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di masyarakat.

Perilaku emosional yang diharapkan ialah perilaku-perilaku yang baik,

seperti kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, percaya diri, adil, setia

kawan dan sifat kasih sayang terhadap sesama serta toleransi yang tinggi.

Jika anak dapat memiliki perilaku emosiaonal yang baik, dapat dikatakan

memiliki kecerdasan emosional yang baik pula. Kecerdasan emosi adalah

kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar anak

mampu merespons secara positif sesuai kondisi yang merangsang

munculnya emosi-emosi ini (Susanto, 2011). Namun, pada kenyataannya

masih banyak orang tua yang menganggap bahwa kecerdasan intelektual

(IQ) lebih membawa keberhasilan dalam masa depan anak dibandingkan

kecerdasan emosional (EQ), serta tidak mengajarkan atau mendidik

anaknya untuk memiliki emosi yang baik, sehingga banyak anak usia dini

yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Kecerdasan emosional

yang diasah sejak dini dapat menjadi suatu poros keberhasilan dalam

berbagai aspek kehidupan. Kemampuan anak mengembangkan kecerdasan

emosinya akan berkorelasi positif dengan keberhasilan akademis, sosial

dan kesehatan mentalnya (Susanto, 2011)

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan penulis di TK

YKK II Bangkalan, dari 5 anak yang diteliti, 2 anak (40 %) memiliki

kecerdasan emosional yang rendah, 1 anak (20 %) memiliki kecerdasan

emosional yang cukup dan 2 anak (40 %) memiliki kecerdasan emosional

yang baik. Kebanyakan dari mereka masih sering bersikap tempertantrum

atau marah sambil menangis kuat, bahkan sampai berguling di lantai

Page 5: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

ketika orang tuanya tidak menuruti kemauan anak. Sedangkan dari 5 orang

tua yang diwawancara, 4 dari 5 orang tua (80 %) menunjukkan sikap tidak

pernah mengembangkan kecerdasan emosional anak mereka. Bahkan

mereka lebih sering memarahi anak mereka dengan keras ketika anak

mereka tidak bisa mengendalikan emosinya atau menakuti anaknya

dengan hal fiksi.

Rendahnya kecerdasan emosional anak usia dini tidak hanya

disebabkan rendahnya peran orang tua dalam mendidik anaknya namun

juga keadaan fisik anak, norma yang berlaku dalam lingkungan dimana

mereka tinggal, lingkungan pendidikan, dan keadaan sosial-ekonomi orang

tua. Apabila EQ anak yang rendah dibiarkan begitu saja, dapat

menyebabkan kegagalan dalam kecerdasan intelektual (IQ) dan spiritual

intelektual (SQ) yang menimbulkan imbas ke dalam proses perkembangan

anak, baik perkembangan bahasa, motorik kasar , motorik halus maupun

personal sosial.

Melihat pentingnya meningkatkan kecerdasan emosional anak usia

dini dalam perkembangannya, maka peran orang tua bahkan pendidik

sangat berpengaruh terutama dalam pemberian stimulasi, dukungan dan

pendidikan yang tidak mengarah pada perkembangan IQ namun juga

perkembangan EQ anak. Kecerdasan emosional anak dapat ditingkatkan

dengan mengenali kebutuhan anak, meluangkan waktu bersama untuk

bermain, sekaligus memberikan pemahaman kepada anak.

Page 6: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

tentang Hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan

kecerdasan emosional anak usia dini di TK YKK II Bangkalan.

Page 7: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

1.2 Identifikasi Penyebab Masalah

1.2.1 Faktor Internal

a. Keadaan Fisik Anak

Anak yang sehat cenderung lebih emosional dibandingkan anak

yang kurang sehat (Susanto, 2011). Anak yang sehat cenderung

menampakkan emosi positif seperti bahagia, gembira dan rasa ingin

tahu. Biasanya ditampakkan dengan perilaku tertawa, melompat-

lompat dan bertepuk tangan, sedangkan anak yang kurang sehat

cenderung menampakkan emosi positif seperti murung, dukacita, sedih

dan manja. Biasanya ditampakkan dengan perilaku menangis,

melamun, bahkan marah.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga menentukan emosi anak, misal: anak laki-laki

cenderung lebih penakut dibandingkan anak perempuan (Susanto,

2011), sedangkan anak perempuan cenderung lebih penyayang

dibandingkan anak laki-laki.

FAKTOR EKSTERNAL

a. Pola Asuh Orang Tua (Parenting Style)b. Hubungan Anak – Anggota Keluargac. Lingkungan (stimulasi).d. Teman Sebayae. Media Massa

Banyak anak usia dini yang memiliki

Kecerdasan Emosional rendah.

FAKTOR INTERNAL

a. Keadaan Fisik Anakb. Jenis Kelaminc. Umur

Page 8: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

c. Umur

Tentunya ada perbedaan emosi pada anak yang berbeda umur.

Misal, ketakutan yang dialami anak usia 1 tahun berbeda dengan anak

usia 2 tahun.

1.2.2 Faktor Eksternal

a. Pola Asuh Orang Tua

Menurut Hurlock (2010), mendidik anak secara otoriter, yang

menggunakan metode hukuman untuk memperkuat kepatuhan secara

ketat, akan mendorong emosi negatif menjadi dominan, misal

ketakutan berlebih. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan

permisif akan menimbulkan suasana rumah yang lebih santai dan akan

menunjang bagi ekspresi emosi positif, misal berani dan penuh kasih

sayang.

b. Hubungan Anak – Anggota Keluarga

Hubungan yang tidak rukun dengan orang tua atau saudara akan

lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga

emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan anak di rumah

(Hurlock, 2010)

c. Lingkungan

Lingkungan adalah faktor yang sangat mempengaruhi

perkembangan emosi anak. Lingkungan tidak hanya lingkungan

tempat tinggal dan lingkungan sekolah, lingkungan juga bisa

mencakup stimulasi dan dorongan dari luar dan keluarga.

Page 9: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

d. Teman Sebaya

Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya maka

emosi yang positif akan menjadi dominan, sedangkan jika anak ditolak

atau diabaikan oleh kelompok teman sebaya, maka emosi negatif akan

dominan pada anak (Hurlock, 2011).

e. Media Massa

Media massa seperti televisi adalah salah satu media yang cukup

berperan dalam emosi anak. Tayangan televisi yang tidak baik seperti

film kartun yang menayangkan kekerasan juga akan mendorong anak

untuk meniru.

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang ada di lapangan, maka untuk

memfokuskan kajian dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah

yaitu Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan Emosional

Anak Usia Dini (3-6 tahun) di TK YKK II Bangkalan

1.4 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan

kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di TK YKK II Bangkalan?

Page 10: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Menganalisis hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan

kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di TK YK II Bangkalan

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pola asuh orang tua (parenting style) pada anak usia

dini di TK YKK II Bangkalan

2. Mengidentifikasi kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di

TK YKK II Bangkalan

3. Menganalisis hubungan pola asuh orang tua (parenting style) dengan

kecerdasan emosional (EQ) pada anak usia dini di TK YK II

Bangkalan

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah sumber referensi bagi mahasiswi

Akademi Kebidanan Ngudia Husada Madura, khususnya materi

kecerdasan emosional (EQ) dan sebagai khasanah wacana kesehatan.

1.6.2 Bagi Profesi Kesehatan

Merupakan masukan untuk meningkatkan pengetahuan dan perkembangan

ilmu kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.

Page 11: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

1.6.3 Bagi Masyarakat

Menambah pengetahuan ibu tentang kecerdasan emosional (EQ) dan

bagaimana pola asuh yang tepat untuk anak serta meningkatkan

perkembangan emosional anak.

1.6.4 Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut, bagi peneliti

berikutnya yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional (EQ).

Page 12: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Asuh Orang Tua (Parenting Style).

2.1.1 Konsep Keluarga

a. Pengertian Keluarga

M.I Soelaeman (1978) dalam Dahlan (2010) mengemukakan pendapat

para ahli mengenai pengertian keluarga, yaitu:

1) F.J Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang

sosiologis, keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu:

a) Dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada

hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan

dengan marga.

b) Dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dan anak.

2) Maciver menyebutkan lima ciri khas keluarga yang umum terdapat

dimana-mana, yaitu:

a) Hubungan berpasangan kedua jenis.

b) Perkawinan atau bentuk ikatan lain yang megokohkan

hubungan tersebut.

c) Pengakuan akan keturunan

d) Kehidupan ekonomis yang diselenggarakan dan dinikmati

bersama, dan

e) Kehidupan berumah tangga.

Page 13: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

Dalam nada yang sama, Sudjardja Adiwikarta (1988) dan Sigelman

& Shaffer (1995) berpendapat bahwa “keluarga merupakan unit sosial

terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap

masyarakat di dunia (universe) atau suatu sistem sosial yang

terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial yang lebih besar.

Bentuk atau pola keluarga, yaitu:

1) Keluarga Batin/Inti (Nuclear Family), yang terdiri atas

suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan

antara keduanya dan yang belum berkeluarga (termasuk anak

tiri jika ada).

2) Keluarga Luas (Extended Family), yang keanggotaanya tidak

hanya meliputi suami, istri dan anak-anak yang belum

berkeluarga, tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya

tinggal dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti mertua

(orangtua suami/istri), adik, kakak ipar atau lainnya, bahkan

mungkin pembantu rumah tangga atau orang lain yang tinggal

menumpang.

b. Peranan dan fungsi keluarga

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang enuh kasih

sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama

maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang

kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribasi dan anggotan

masyarakat yang sehat.

Page 14: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

Yusuf (2010) mengatakan bahwa keluarga yang bahagia

merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi

para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini diperolah apabila

keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar

keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang

dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.

Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan

tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian,

pemahaman, respek dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak

yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak

harmonis, penuh konflik atau gap communication dapat

mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness)

bagi anak.

Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga ini dapat dikemukakan

bahwa secara psikososologis keluarga berfungsi sebagai

1) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya.

2) Sumber pemenuhan kebutuhan.

3) Sumber kasih sayang dan penerimaan.

4) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi

anggota masyarakat yang baik.

5) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara

sosial dianggap tepat.

6) Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya

dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan.

Page 15: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

7) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal

dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri.

8) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai

prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat.

9) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi.

10) Sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai usia cukup

usia untuk mendapatkn teman di luar rumah, atau apabila

persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.

Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga ini dapat

diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut:

1) Fungsi Biologis.

Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan

legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk

memenuhi kebutuhan dasar biologisnya. Kebutuhan ini meliputi:

a) Pangan, sandang dan papan.

b) Hubungan seksual suami-istri.

c) Reproduksi atau pengembangan keturunan.

2) Fungsi Ekonomis.

Keluarga (ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi anggota

keluarganya (istri dan anak).

3) Fungsi Pendidikan (Edukatif).

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama

bagi anak. keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya atau

mediator sosial budaya bagi anak (Hurlock, 1956). Pendidikan

Page 16: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang

diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan

agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Fungsi keluarga

dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan

atau pembiasaan nilai-nilai agama, buday dan keterampilan-

keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak.

4) Fungsi Sosialisasi.

Keluarga merupakan buaian atau penyemaian bagi masyarakat

masa depan dan lingkungan keluarga merupakan faktor penentu

yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang,

keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang

mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam

masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya.

Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi kemampuan

anak untuk menaati eraturan disiplin, mau bekerja sama dengan

orang lain, bersikap toleran,menghargai pendapat gagasan orang

lain, mau bertanggung jawab dan bersikap matang dalam

kehidupan yang heterogen (etnis, ras, budaya dan agama).

5) Fungsi Perlindungan (Protektif)

Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota

keluarganya dari gangguan, ancama, atau kondisi yang

menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-psikologis) para anggotanya.

6) Fungsi Rekreatif

Page 17: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

Untuk melaksanakan fungsi ini, keluarga harus diciptakan sebagai

lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan

dan penuh semangat bagi anggotanya. Sehubungan dengan hal itu,

maka keluarga harus ditata sedemikian rupa, seperti menyagkut

aspek dekorasi interior rumah, hubungan komunikasi yang tidak

kaku, makan bersama, bercengkram dengan penuh suasan humor

dan sebagainya.

7) Fungsi Agama (Religius)

Keluarga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agam kepada anak

agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Keluarga

berkewajiban mengajar, membimbing atau membiasakan

anggotanya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama

yang dianutnya. Para anggota keluarga yang memiliki keyakina

yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki mental yang sehat, yakni

mereka akan terhindar dari beban-beban psikologis dan mampu

menyesuaikan dirinya secara harmonis dengan orang lain, serta

berpastisipasi aktif dalam memberikan kontribusi secara

konstruktif terhadap kemajuan atau kesejahteraan masyarakat.

c. Faktor keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak.

d.

2.1.2 Pengertian Pola Asuh Orang Tua

2.1.3 Macam Pola Asuh Orang Tua

2.1.4 Dimensi Pola Asuh Orang Tua

Page 18: Hubungan Pola Asuh Orang Tua

2.1.5 Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecerdasan

Emosional

2.2 Konsep Kecerdasan Emosional.

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

2.2.2 Dimensi Kecerdasan Emosional

2.2.3 Unsur-unsur Kecerdasan Emosional

2.2.4 Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

2.3 Konsep Dasar Anak Usia Dini.

2.3.1 Pengertian Anak Usia Dini

2.3.2 Karakteristik Perkembangan Fisik Anak Usia Dini

2.3.3 Karakteristik Perkembangan Intelektual Anak Usia Dini

2.3.4 Karakteristik Perkembangan Emosional Anak Usia Dini

2.3.5 Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini

2.3.6 Karakteristik Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

2.3.7 Karakteristik Perkembangan Bermain Anak Usia Dini

2.3.8 Karakteristik Perkembangan Belajar Anak Usia Dini

2.3.9 Karakteristik Perkembangan Kepribadian Anak Usia Dini

2.3.10 Karakteristik Perkembangan Moral Anak Usia Dini