Upload
trantuyen
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN LINGKUNGAN DALAM RUANG KELAS
DENGAN KEJADIAN ISPA PADA SISWA KELAS 5 SDN
DI KECAMATAN CIPUTAT BULAN JUNI TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH :
HERISMA YANTI
109101000045
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/ 1435 H
i
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Mei 2014 Herisma Yanti, NIM : 109101000045 Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ( xv+83 Hal+11 tabel+ 2 Bagan+ 12 Lampiran)
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan paling banyak pada anak-anak. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012, kejadian ISPA pada anak usia 5-14 tahun mencapai 64.750 kasus. Tingginya kasus ISPA pada anak usia sekolah dapat disebabkan faktor lingkungan dalam ruang kelas karenasiswa menghabiskan sebagian besar waktu dalam kelas.
Penelitian ini merupakan studi ekologi. Tujuan penelitianuntuk mengetahui hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 sekolah dasar negeri (SDN). Variabel bebas/independen penelitian adalah suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi alami, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas. Sedangkan variabel terikat/dependen adalah kejadian ISPA. Populasi dalam penelitian ini adalah SDN di Kecamatan Ciputat, sedangkan sampel penelitian yaitu ruang kelas lima di tiap SDN. Uji statistik yang digunakan dalam penelitianyaitu uji Korelasi dan uji Mann-Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga variabel independen yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat, yaitu suhu (p=0,001), kelembaban (p=0,016), dan kepadatan siswa (p=0,011). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas.
Kata Kunci: Kejadian ISPA, Faktor Lingkungan Kelas, Siswa Kelas 5 SDN Daftar Bacaan : 84
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergratuated Thesis, May 2014 Herisma Yanti, NIM : 109101000045 Association Between Environment In the Classroom and Acute Respiratory Infections (ARI) Among5thStudents In Ciputat June 2013 (xv+83 Pages+11 Tables+2 Charts+12Attachments)
ABSTRACT
Acute Respiratory Infections (ARI) isthemostcause of illnessin children.Based on Tangsel Health Department datain 2012,ARIincidencein children agedmorethan5years reach64750caseswith thehighestcases atCiputat Health Center.High incidence ofARIin childrenof schoolage maycaused by school environment factors, especially classroom. Students spendmost oftheir times inthe classroom.
This researchis anecologicalstudy. The purposeofthis researchistodetermine the relationship between school environment in the classroom and ARIamong students in public elementary school.Independent variablesin this researcharetemperature, humidity,students density, extensivenatural ventilation, natural ventilation, artificialventilationandfloor.Dependent variablein this research is ARI among students in public elementary school. Populationin this researchis public elementary schoolin Ciputatsub-district, while the samplearefifthclassroomineach school.
The result showed there were three variables had association with ARI. Those variables were temperature(p =0.000), humidity (p= 0.000), andstudents density (p=0.001).In contrast, variables such as extensivenatural ventilation, natural ventilation, artificialventilationandfloorwere negatively associated with Acute Respiratory Infections (ARI).
Keywords:ARI,EnvironmentClassroom Factors,5thElementary SchoolStudents Reading List:84
iv
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Herisma Yanti
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 09 Maret 1991
Alamat : Komplek Perumahan Persada Indah 1 Jalan 4 No.7
Blok A5 Desa Tualang Perawang, Kabupaten Siak Sri
Indrapura, Riau-Pekanbaru
Agama : Islam
Golongan Darah : AB
No.Telp : 087808205540
Email : [email protected] ; [email protected]
Riwayat Pendidikan
1996 - 1997 TK YPPI Riau
1997 - 2003 SDS YPPI Riau
2003 - 2006 SMPS YPPI Riau
2006 - 2009 SMA Islam Nurul Fikri Boarding School Anyer-Serang
2009 - 2014 S-1 Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang serta dorongan yang kuat, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada
SiswaKelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013”. Shalawat serta
salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman
terang benderang akan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sangatlah sulit untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.Dibalik rasa syukur, dalam
penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapakan terima kasih dengan tulus atas
bimbingan serta dukungan kepada:
1. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan.
2. Ir.Febrianti, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
3. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Pembimbing I dan Dr.Ela
Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing II yang selalu memberi motivasi dan
dukungan morilserta menyempatkan waktu di tengah kesibukannya untuk
membimbing penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM, dr.Gatot
Sudiro Husodo, Sp.P, selaku penguji skripsi atas kesempatannya menguji dan
mendukung penelitian ini.
viii
5. Pihak Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan
Ciputat, Kepala sekolah, Guru dan Siswa di SDN yang berada di Kecamatan
Ciputat yang bekerja sama dengan baik serta membantu dalam ketersediaan data
dan membantu menjalankan penelitian.
6. Orang tua (Bapak Heryadi dan Ibu Emi Suhaemi) serta adik-adik (Herisfani
Fauziah, Herisfina Fauziah dan Surandi Imam Syahputra) yang selalu
memberikan motivasi dan doa.
7. Saudara seperjuangan, jama’ah peminatan Kesehatan Lingkungan 2009 atas
dukungan dan masukan penelitian; Ratna, Maya, Nita, Yenni, Nisa, Rudi, Tari,
Ersa, Yudi, Agung, Rahmi, Cita, Aan, Dila, Moris, Udin, Zia, dan Reni.
Rahmayatul Fillacano dan Yenni Faridawati yang telah membantu dalam
pengumpulan data di lapangan.
8. Sahabat dan teman-teman serta rekan-rekan seperjuangan yang telah membantu
memberikan senyuman, doa, dukungan dan semangat demi selesainya skripsi ini,
terima kasih atas segala bantuan apapun.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat bagi
masyarakat dan penelitian selanjutnya. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan
dan kelancaran serta kemampuan berpikir untuk mengejar masa depan yang lebih
cerah bagi kita semua. Amin
Ciputat, Mei 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan…………………………………………………………… i
Abstrak............................................................................................................... ii
Abstract.............................................................................................................. iii
Lembar Persetujuan……………………………………………………………iv
Lembar Pengesahan…………………………………………………………… v
Riwayat Hidup...................................................................................................vi
Kata Pengantar................................................................................................... vii
Daftar Isi............................................................................................................ ix
Daftar Tabel....................................................................................................... xiv
Daftar Bagan….................................................................................................. xvi
Daftar Lampiran…………………………………………………………………xvii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 5
C. Pertanyaan Penelitian.......................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian................................................................................
1. Tujuan Umun..................................................................................
2. Tujuan Khusus................................................................................
7
7
7
E. Manfaat Penelitian..............................................................................
1. Bagi Pemerintah..............................................................................
9
9
x
2. Bagi Masyarakat..............................................................................
3. Bagi Penulis....................................................................................
9
10
F. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 10
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)............................................
1. Definisi...........................................................................................
2. Etiologi...........................................................................................
3. Epidemiologi..................................................................................
4. Patogenesis.....................................................................................
5. Klasifikasi dan Gejala ISPA...........................................................
11
11
13
14
17
19
B. Faktor Lingkungan Dalam Kelas........................................................
1. Suhu dan Kelembaban....................................................................
2. Ventilasi Ruangan...........................................................................
3. Kepadatan Hunian..........................................................................
4. Lantai..............................................................................................
20
21
23
29
31
C. Gangguan ISPA Ditinjau dari Faktor Lingkungan............................. 32
D. Studi Ekologi...................................................................................... 33
E. Kerangka Teori................................................................................... 34
xi
BAB IV: METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Studi........................................................................................... 44
B. Lokasi Penelitian.................................................................................. 44
C. Populasi……………........................................................................... 44
D. Jenis Data............................................................................................ 48
E. Pengumpulan Data............................................................................. 46
F. Pengolahan Data................................................................................. 47
G. Analisa Data ...................................................................................... 48
BAB V: HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................... 50
B. Analisis Univariat…………………………………………………… 51
1. Gambaran Kejadian ISPA………………………...………… 51
2. Gambaran Faktor yang Mempengaruhi ISPA Pada Siswa
SD……………………………...…………………............…
53
BAB III: KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep............................................................................... 37
B. Definisi Operasional........................................................................... 40
C. Hipotesis.............................................................................................. 43
xii
C. Analisis Bivariat…………………………………………………… 55
1. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA…………………...
2. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA…………...
3. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA……..
4. Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA….
5. Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA………..
6. Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA……….
7. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA………...…
55
56
57
58
59
60
61
BAB VI: PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Keterbatasan Penelitian……………………………………...……… 62
B. Kejadian ISPA………………………………………………………. 62
C. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA…………………............... 63
D. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA…………............... 65
E. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA…………….. 68
F. Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA…………. 71
G. Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA………………...…….. 74
H. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA………………...… 77
xiii
BAB VII: SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan.............................................................................................. 79
B. Saran..................................................................................................... 81
1. Pihak Sekolah...........................................................................
2. Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan……………………...
3. Puskesmas……………………………………………………
4. Penelitian Selanjutnya…………………………..……………
81
81
81
82
xiv
DAFTAR TABEL
4.1 Pengkodean untuk Faktor Lingkungan Sekolah...................................... 47
5.1 Insidensi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat Bulan Juni Tahun 2013...............................................................
51
5.2 Distribusi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat Bulan Juni Tahun 2013..............................................................
53
5.3 Distribusi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi SDN di
Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ...........................................
53
5.4 Distribusi ventilasi alami, ventilasi buatan, lantai kelas SDN di
Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ...........................................
54
5.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5
SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014…………………
56
5.6 Analisis Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014…………..
56
5.7 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014……
57
5.8 Analisis Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014…………..
58
xv
5.9 Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014……
59
5.10 Analisis Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014……
60
5.11 Analisis Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014………..…
61
xvi
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori..................................................................................
3.1 Kerangka Konsep..............................................................................
36
39
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Kuesioner
Lampiran 3 Lembar Observasi
Lampiran 4 Hasil Uji Statistik
Lampiran 5 Besar Suhu Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun
2013
Lampiran 6 Besar Kelembaban Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni
Tahun 2013
Lampiran 7 Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan
Juni Tahun 2013
Lampiran 8 Besar Luas VentilasiKelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni
Tahun 2013
Lampiran 9 Ventilasi Alami SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 10 Ventilasi BuatanSDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 11 Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 12 Dokumentasi Lapangan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan
paling banyak pada anak-anak dan penyebab kematian utama di dunia
(Stansfield, 2000). ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian
dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura (Depkes, 2002).
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah
25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai
prevalensi di atas angka nasional. Salah satu provinsi tersebut adalah Banten.
Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada balita (>35%) diikuti dengan usia 5-14
tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).Hasil analisa data kegiatan
surveilans ISPA berat di Indonesia (SIBI) (2013),dari 275 kasus ISPA berat
sebesar 16% merupakan kelompok umur 5-14 tahun.
Dari hasil pengamatan epidemiologi diketahui angka kesakitan ISPA di
kota lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan tingkat kepadatan
tempat tinggal dan pencemaran lingkungan/pencemaran udara di kota lebih tinggi
daripada di desa (Widoyono, 2008).Berdasarkan WHO 23 persen dari seluruh
kematian disebabkan oleh faktor lingkungan.Kemungkinan atas resiko ini tidak
2
terjadi di semua usia. Anak-anak adalah golongan yang paling rentan terhadap
efek pajanan lingkungan, dengan proporsi kematian pada anak terkait dengan
faktor lingkungan adalah sebesar 36 persen(Breysse, 2010).
Penelitian Pramayu (2012) terkait faktor lingkungan sekolah (sanitasi
fisik) terhadap ISPA pada siswa SDN di Depok menyatakan bahwa faktor
lingkungan/sanitasi fisik meliputi suhu, kelembaban serta kepadatan ruang kelas
berpengaruh terhadap ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan suhu dan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan beresiko 3,08 kali untuk terkena
gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan
suhu dan kelembaban memenuhi syarat. Siswa yang berada di dalam ruang kelas
yang luas ruangannya < 2 m2/siswa akan beresiko 2,73 kali lebih besar terkena
gangguan ISPA dibandingkan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas
≥2 m2/siswa.
Hasil laporan U.S. Environmental Protection Agency (EPA, 2004)
mengatakan bahwa hampir semua tipe sekolah di Amerika (sekolah baru atau
lama, besar atau kecil, sekolah dasar sampai sekolah menengah umum)
mengalami masalah dalam hal kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara di
ruang kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Kualitas udara
di ruang kelas juga dapat mempengaruhi produktivitas guru dan karyawan
sekolah lainnya (EPA, 2004).
Ironisnya sedikit perhatian atas kualitas udara di dalam ruangan sehingga
seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat.Padahal seharusnya
3
kualitas udara di dalam ruang menjadi hal yang harus diperhatikan karena pada
saat ini banyak sekali orang yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di
dalam ruangan(Breysse, 2010). Kualitas udara sekolah seharusnya menjadi
perhatian penting karena anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang
signifikan di sekolah dan anak-anak merupakan golongan yang rentan terkena
penyakit(EPA, 2004).
Di Kota Tangerang Selatan, ISPA merupakan 10 besar penyakit di semua
puskesmas. Kejadian ISPA pada usia lebih dari 5 tahun di Kota Tangerang
Selatan pada tahun 2012 mencapai 64.750 kasus dengan kasus tertinggi pada
Puskesmas Ciputat yaitu sebesar 6.526 kasus (Dinkes Tangsel, 2012). Dari LB1
(data kesakitan) Puskesmas Ciputat, diketahui bahwa jumlah kasus ISPA pada
anak usia SD pada tahun 2012 sebesar 1321 kasus. Jumlah ini tidak jauh dengan
kasus ISPA pada balita sebesar 2412 kasus.
Tingginya kasus ISPA pada anak usia SD di Ciputat dapat disebabkan
olehlingkungan sekolah khususnya ruang kelas karena siswa menghabiskan
waktu sebagian besar di dalam ruang kelas. Faktor tersebut meliputi suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, dan luas ventilasi (Handajani, 2004). Hasil
penelitianGardinassi (2012) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara
berkorelasi positif dengan virus penyakit pernafasan terhadap anak-anak di
bagian tenggara Brasil.
Kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya cross infection. Ketika
ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan maka pada saat batuk/bersin
4
melalui udara akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain
(Mairusnita, 2007). Kelembaban berkaitan dengan ventilasi dimana sirkulasi
udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara menjadi rendah sehingga
kelembaban menjadi tinggi. Kondisi tersebut dapat memicu perkembangbiakan
mikroorganisme termasuk virus penyebab ISPA (WHO, 2007).
Letak sekolah yang dekat dengan akses kendaraan motor juga merupakan
salah satu faktor resiko kejadian ISPA pada siswa. Sebuah studi cohort selama 3
bulan pada murid SD mengenai gangguan pernapasan dengan tingkat pajanan
pencemaran udara di DKI Jakarta oleh Djafri (2007) menyimpulkan dari 4 gejala
pernapasan yang dianalisis, angka kesakitan masing-masing gejala yang
didapatkan lebih tinggi pada sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara
tinggi dibandingkan sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara rendah.
Hasil studi pendahuluan pada siswa SD di dua sekolah menunjukkan
bahwa 60% siswa SD mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari. Tiga puluh
persen siswa SD mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan. Selain
itu, hasil observasi di beberapa SDN di Cipayung, beberapa sekolah berada di
pinggir jalan raya. Jendela di ruang kelas hanya sedikit yang dibuka dan lantai
ruang kelas berdebu. Beberapa jendela dan ventilasi kelas bahkan tertutup oleh
poster. Hal ini tentu akan mengganggu sirkulasi udara dalam kelas. Padahal
ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar merupakan
salah satu risiko untuk terjadi penyakit ISPA (Ranuh, 1997).
5
Banyaknya kejadian ISPA pada siswa SD di Tangerang Selatan
khususnya di Kecamatan Ciputat serta berdasarkan studi pendahuluan yang
menunjukkan banyaknya siswa mengalami batuk pilek dan sakit tenggorokan
(60% siswa mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa
mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan) serta letak sekolah dasar
yang sebagian besar berada di pinggir jalan membuat peneliti tertarik untuk
mengangkat judul hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian
keluhan gejala ISPA pada siswa kelas 5 SDNbulan Juni tahun 2013.
Studi ekologi adalah investigasi dari distribusi kesehatan dan faktor
determinannya antara grup. Studi ekologi digunakan jika data pada tingkat
individu tidak tersedia, data tingkat pengukuran pajanan individu tidak tersedia,
tetapi data pada tingkat grup/populasi tersedia (Goldberg, 2000). Penelitian ini
menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam peneitian ini adalah
populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu maupun faktor fisik
(suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian, ventilasi alami, ventilasi
buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan data yang tersedia
adalah pada populasi.
B. Rumusan Masalah
ISPA tidak hanya rentan pada balita, tetapi juga pada anak-anak usia
sekolah. Sebagian besarSDN berada di pinggir jalan raya dengan pencemaran
udara dari transportasi yang cukup tinggi. Banyaknya siswa SD yang tercatat
6
menderita ISPA dimungkinkan karena kondisi lingkungan sekolah khususnya
ruang kelas yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan sekolah (ruang kelas) yang
tidak memenuhi syarat meliputi faktor suhu, kelembaban, ventilasi, kepadatan
huniandan lantai kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa SD.
Hasil studi pendahuluan menunjukkan 60% siswa SDN mengalami batuk
dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa SDN mengalami batuk dan pilek
disertai sakit tenggorokan. Beberapa penelitian telah melakukan penelitan
tentang hubungan lingkungan sekolah terhadap ISPA. Penelitian ini tidak hanya
melihat ada tidaknya hubungan, tetapi juga melihat derajat asosiasi (keeratan
hubungan) antara lingkungan dalam kelas dengan ISPA. Oleh karena itu
dilakukan penelitian mengenai hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN bulan Junitahun 2013.
C. Pertanyaan penelitian
1. Bagaimanakah gambaran kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
2. Bagaimanakah gambaran besar suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas
ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantaikelas SDN di Kecamatan
Ciputat bulan Juni tahun 2013?
3. Apakah ada hubungan antara suhu dalam ruang kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
7
4. Apakah ada hubungan antara kelembaban dalam ruang kelas dengankejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
5. Apakah ada hubungan antara kepadatan hunian dengankejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
6. Apakah ada hubungan antara luas ventilasi dalam kelas dengankejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
7. Apakah ada hubungan antara ventilasi alami kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
8. Apakah ada hubungan antara ventilasi buatan kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
9. Apakah ada hubungan antara lantai kelas dengankejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang
Selatan bulan Junitahun 2013.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran kejadian ISPA pada siswa kelas 5
SDNdiKecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
8
2. Mengetahuigambaran besar suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas
ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantaikelas SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
3. Mengetahuihubungan antara suhu dalam ruang kelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013
4. Mengetahuihubungan antara kelembaban dalam ruang kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni
tahun 2013
5. Mengetahuihubungan antara kepadatan huniankelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013
6. Mengetahuihubungan antara luas ventilasi alami dalam kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni
tahun 2013
7. Mengetahuihubungan antara ventilasi alami kelas dengan kejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
8. Mengetahuihubungan antara ventilasi buatan kelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun
2013
9. Mengetahuihubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
9
E. Manfaat
1. Bagi Pemerintah
a. Terbinanya kerjasama dengan institusi dalam upaya meningkatkan
kesadaran terhadap kesehatan lingkungan baik di pemukiman, sekolah
maupun di tempat-tempat beraktivitas lainnya.
b. Menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan dan puskesmas dalam perencanaan program
penanganan ISPA pada siswa SD serta memberikan perhatian pada
kondisi lingkungan fisik kelas demi kelancaran proses belajar mengajar.
2. Bagi Masyarakat
a. Membantu masyarakat mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan
ISPA akibat adanya pajanan di sekitar wilayah tinggal maupun wilayah
beraktivitas
b. Membantu masyarakat mengenali gangguan kesehatan yang diderita
tidak hanya akibat faktor tunggal
3. Bagi Penulis
10
a. Menambah ilmu dan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama
di bangku perkuliahan
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam
ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Junitahun 2013. Lingkungan sekolah dalam ruang kelas meliputi suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami dan buatan, serta
lantai kelas. Penelitian ini menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam
penelitian adalah populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu
maupun faktor fisik (suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian,
ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan
data yang tersedia adalah pada populasi.
Dalam pengumpulan data primer, peneliti menggunakan alat pengukur
suhu dan kelembaban yaitu thermohygrometer dari laboratorium HES FKIK UIN
Jakarta. Luas ventilasi diukur menggunakan rollmeter. Sedangkan data ventilasi
alami, ventilasi buatan dan lantai kelas diperoleh dari hasil observasi. Data-data
keluhan gejala ISPA diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner. Data
sekunder didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas
Ciputat, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat dan sekolah yang dijadikan
tempat penelitian.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
banyak diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun negara
maju. Banyak dari anak-anak harus mendapat penanggulangan dari rumah sakit
karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernafasan pada
masa bayi dan anak-anak dapat memberi kecacatan sampai pada masa dewasa
(Suprajitno, 2004).
1. Definisi
Istilah ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut.
Istilah ini merupakan padanan istilah Bahasa Inggris Acute Respiratory
Infection (ARI). ISPA mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas
dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Dalam lokakarya tersebut
terdapat dua perbedaan pendapat dalam pemilihan istilah. Pendapat pertama
memilih istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua
memilih istilah ISNA (Infeksi Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya
diputuskan memilih istilah ISPA (Depkes, 2002).
12
ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dan atau
lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura (Depkes, 2002). Pengertian lain ISPA adalah infeksi
saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru
yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di
atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan
bawah secara simultan atau berurutan (Muttaqin, 2008).
ISPA adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya
menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah
dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan,
dan faktor pejamu (WHO, 2007). Timbulnya gejala ISPA biasanya
berlangsung cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza
(pilek), sesak nafas, mengi atau kesulitan bernafas (WHO, 2007).
ISPA merupakan penyakit yang sering dijumpai dengan manifestasi
ringan sampai berat. ISPA yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA
berat dapat menjadi pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian utama, terutama pada balita (Riskesdas, 2007).
Prevalensi ISPA di Indonesia menurut Riskesdas (2007) adalah 25,5%
(rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai
13
prevalensi di atas angka nasional. Sebanyak 16 provinsi mempunyai
prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Bangkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo,
Maluku, Papua Barat, dan Papua.Prevalensi ISPA tertinggi pada balita yaitu
lebih dari 35% diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29%. Artinya kejadian
ISPA pada anak usia sekolah juga cenderung tinggi (Riskesdas, 2007).
2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus, Bordetelladan Korinebakterium. Virus
penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus.
Bibit penyakit utama ISPA adalah virus, tetapi pada bakteri baik
karena infeksi sekunder atau primer dapat memberikan manifestasi klinis
yang lebih berbahaya. Kontak terhadap virus dapat mencapai 75-80% tetapi
seperempatnya saja yang menjadi sakit atau menimbulkan gejala setelah
beberapa hari atau bulan (Lubis, 2000). Kebanyakan infeksi menyerang
bagian atas dan bawah saluran nafas secara bersamaan atau
berurutan.Beberapa diantaranya akan mengkhususkan pada bagian tertentu
14
dari saluran nafas. Insiden infeksi saluran pernafasan meningkat karena
adanya polusi udara.
3. Epidemiologi
Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor.
Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan (WHO, 2007):
- kondisi lingkungan (misalnya: polutan udara, kepadatan anggota
keluarga, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur)
- ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah
pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya: vaksin,
akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi)
- faktor pejamu(seperti: usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu
menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya
atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi
kesehatan umum)
- karakteristik pathogen (seperti: cara penularan, daya tular, faktor
virulensi dan jumlah atau dosis mikroba)
Beberapa hal yang diduga sebagai faktor resiko kejadian ISPA pada
anak-anak dan balita adalah:
a. Usia
ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah 5
tahun dan 30 persen pada anak berusia 5 sampai 12 tahun. Umur terkait
15
dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan
kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih
rentan terhadap berbagai penyakit infeksi (Rahajoe, 2008).
b. Jenis kelamin
Insiden lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun
(Rahajoe, 2008). Salah satu faktor resiko yang dapat meningkatkan
insidens terjadinya infeksi saluran pernafasan pada anak balita adalah
jenis kelamin laki-laki. Selama masa anak-anak, laki-laki dan
perempuan mempunyai kebutuhan energi dan gizi yang hampir sama.
Kebutuhan gizi untuk usia 10 tahun pertama adalah sama, sehingga
diasumsikan kerentanan terhadap masalah gizi dan konsekuensi
kesehatannya akan sama pula.
Anak perempuan mempunyai keuntungan biologis. Pada
lingkungan optimal mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar
0,15-1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian
(Departemen Kesehatan RI, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2002-2003 mencatat bahwa anak balita yang mempunyai
gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survey pendahuluan, sebesar
7,7% dari jumlah balita yang ada (14.510) adalah anak balita laki-laki.
Sedangkan jumlah balita perempuan yang mempunyai gejala-gejala
pneumonia sebesar 7,4%.
16
c. Status gizi
Status gizi buruk merupakan fakor predisposisi terjadinya kasus
ISPA pada anak karena adanya gangguan respon imun. Risk ratio (RR)
anak malnutrisi dengan ISPA/pneumonia adalah 2,3. Keadaan gizi yang
buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang (Rahajoe, 2008).
Supriasa (2002) menyatakan bahwa antara sebuah penyakit infeksi
dengan kondisi status gizi individu dapat digambarkan sebagai sebuah
hubungan timbal balik. Jika individu terkena penyakit infeksi maka
keadaan tersebut mampu memperburuk kondisi gizi.Apabila individu
mengalami kondisi gizi yang buruk maka tubuhnya akan menjadi rentan
terhadap penyakit.
Gizi buruk juga akan menghambat reaksi imunologis serta
berhubungan dengan prevalensi penyakit dan derajat berat ringannya
penyakit. Penyakit infeksi akan meningkatan penghancuran jaringan
tubuh karena dipakai untuk pembentukan protein atau enzim-enzim
yang diperlukan dalam imunitas. Kekurangan gizi akan berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh dan respon imunologis terhadap suatu
penyakit ataupun kejadian keracunan (Soemirat, 2000).
17
d. Lingkungan
Salah satu faktor resiko ISPA dari lingkungan yaitu polusi udara.
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi
udara, baik di dalam maupun di luar rumah berhubungan dengan
beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi
polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori
(Rahajoe, 2008).
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah
tercemar bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh
karena itu maka penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease.
Penularan melalui udara yang dimaksud adalah cara penularan yang
terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien (Alsagaff dan Mukty, 2010).
4. Patogenesis
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
18
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Haddad, 2002).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal.
Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk.
Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk
(Haddad, 2002).
Adanya infeksi virus menurut Haddad (2002) merupakan predisposisi
terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibatnya terjadi kerusakan mekanisme
mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran
pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri
patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi
mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga
timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi
bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti suhu, kelembaban
dan malnutrisi
Menurut Tyrell (1980) virus yang menyerang saluran nafas atas dapat
menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat
19
menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas
bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas
bawah. Bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus dapat menginfeksi paru-
paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
5. Klasifikasi dan Gejala ISPA
Seorang anak yang menderita ISPA bisa menunjukkan bermacam-
macam tanda dan gejala, seperti batuk, bersin, serak, sakit tenggorokan, sakit
telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, pernafasan yang cepat, nafas
yang berbunyi, penarikan dada ke dalam, mual, muntah, tak mau makan,
badan lemah dan sebagainya. Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA
dalam 3 kategori, yaitu:
1. ISPA ringan
Keluhan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak ada
nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada dalam.
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala-
gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara),
pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu badan
lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke puskesmas
atau diberi obat penurun panas di rumah(Suyudi, 2002).
20
2. ISPA sedang
Keluhan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari
39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. Seseorang
dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan
disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah,
timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga
sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti
mendengkur (Suyudi, 2002).
3. ISPA berat
Keluhan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi
cepat/tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari membiru
(sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan
gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih keluhan gejala
yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada
waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan
berbunyi mengorok atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga
tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per
menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah (Suyudi, 2002).
B. Faktor Lingkungan Dalam Kelas
Salah satu faktor resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit
adalah lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. ISPA merupakan
21
salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan
(Kemenkes, 2002).
1. Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap ISPA. Suhu dan kelembaban mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur yang
menyebakan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu dan kelembaban
yang optimal) (Padmonobo, 2012).
Pada suhu dan kelembaban tertentu, faktor penyebab ISPA
pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau
mati, tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal ini yang membahayakan karena
semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan
dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut.
Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo,
2012).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Mengenai Persyaratan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri (2002), suatu ruangan memenuhi
syarat jika suhu udara dalam ruangan berkisar antara 180C-280C. Suhu udara
yang tinggi akan menyebabkan tubuh semakin banyak kehilangan garam dan
22
air.Akibatnya akan terjadi kejang atau kram serta mengalami gangguan
metabolisme dan sirkulasi aliran darah.
Suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban, sehingga
dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi
membran mukosa. Hal ini menjadi faktor penting yang harus diperhatikan
karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan (WHO, 1997).
Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap
dan tidak menyebar. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia
perubahan polutan udara (Yusnabeti, 2010).
Selain itu kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan
berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat
alergen. Sedangkan kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan
kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus
(Kemenkes, 2007). Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat
mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan dapat
meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi.
Kelembaban dianggap memenui syarat apabila berada pada kisaran 40-
70 persen dan dikatakan tidak memenuhi syarat bila <40 persen dan >70
persen (Kepmenkes, 2011). Kelembaban berkaitan dengan ventilasi karena
sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam
rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udara menjadi tinggi.
Jamurmenjadi salah satu indikator tingginya kelembaban dalam suatu
23
ruangan. Hal tersebut berperan besar dalam pathogenesis penyakit
pernafasan.
Kelembaban yang cukup tinggi dalam ruang kelas dapat disebabkan
karena ventilasi alami yang terdapat dalam ruang kelas tidak dipergunakan
secara maksimal. Jendela yang tersedia dalam ruang kelas banyak, namun
banyak juga dari jendela tersebut yang tidak dapat dibuka. Sehingga tidak
dapat membantu sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya
mengandalkan lubang angin dalam ruang kelas (Pramayu, 2012).
2. Ventilasi Ruangan
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam rumah dan
pengeluaran udara kotor dari suatu rungan tertutup baik secara alamiah
maupun mekanis (Ranuh, 1997). Ventilasi adalah proses pergantian udara
segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
secara alamiah maupun buatan (Millatin, 2011).Ventilasi ruangan adalah
proses memasukkan dan menyebarkan udara luar, dan/atau udara daur ulang
yang telah diolah dengan benar ke dalam gedung atau ruangan (WHO,
2007).
Tujuan ventilasi adalah mempertahankan kualitas udara dalam ruang
yang baik, yaitu menjamin agar udara dalam ruang aman untuk keperluan
pernapasan (WHO, 2007).Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai
berikut (Suhandayani, 2009) :
24
a. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen
yang optimum bagi pernapasan.
b. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan
zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
c. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
f. Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu (Notoatmodjo, 2003):
a) Ventilasi alami
Ventilasi alami berfungsi untuk mengalirkan udara di dalam
ruang yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, serta lubang
angin. Kegunaan lain dari ventilasi alamiah adalah untuk
menggerakkan udara sebagai hasil dari sifat porous dinding ruangan,
atap dan lantai. Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:
daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara
karena perubahan temperatur.
b) Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik, seperti kipas angin, exhauster dan pendingin
25
ruangan atau Air Conditioner (AC). Ventilasi buatan berpengaruh
terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian Moerdjoko
(2004) menunjukkan jumlah koloni mikroorganisme pada ruangan
yang menggunakan AC lebih sedikit dibandingkan mikroorganisme
dari ruangan yang tidak menggunakan AC. Mikroorganisme udara
pada ruang yang menggunakan AC lebih sedikit dibanding yang tidak
ber AC, yaitu antara 3 -15 koloni (< 20 koloni) per cawan petri.
Sedangkan pada ruang yang tidak menggunakan AC jumlah koloni per
cawan petri adalah 24-43 koloni (> 20 koloni).
Mikroorganisme memerlukan lingkungan yang memadai untuk
pertumbuhan yang optimal. Pada ruangan yang tidak menggunakan
pengontrol udara maka pengaruh udara luar sangat berperan, seperti
temperatur dan kelembaban. Pada ruang yang menggunakan AC
temperatur dan kelembaban diatur dengan alat tersebut.Kondisi udara
menjadi media yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Sehingga jumlah dan jenis mikroorganisme yang
teridentifikasi pada cawan petri tidak banyak. Oleh karena itu ruangan
memerlukan adanya fan maupun AC agar di dalam ruangan selalu ada
pergerakan atau sirkulasi udara (Moerdjoko, 2004).
Berdasarkan Kepmenkes Nomor 1077 Tahun 2011, ventilasi dikatakan
baik dan memenuhi syarat bila memenuhi kriteria berikut:
26
a. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas
lantai ruangan.
b. Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak dicemari asap
kendaraan bemotor, asap pembakaran sampah serta debu.
c. Aliran udara diusahakan cross ventilation. Cross ventilation adalah
dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding.
Aliran udara tersebut tidak boleh terhalang oleh barang-barang besar
seperti dinding, lemari, sekat rumah.
Pengukuran atau penilaian ventilasi udara dapat dilakukan dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai dengan menggunakan
rollmeter. Jika berdasarkan indikator penghawaan rumah, maka luas
ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10 persen dari luas lantai
rumah.Sedangkan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah <10
persen dari luas lantai rumah (Notoatmodjo, 2003).
Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI No 829 Tahun
1999 adalah minimal 10% dari luas lantai. Ruangan yang ventilasinya
kurang baik akan membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan.
Terdapatnya bakteri di udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah
bakteri udara akan bertambah jika penghuninya ada yang menderita penyakit
saluran pernafasan, seperti TBC, Influenza dan ISPA (Millatin, 2011).
27
Mikroorganisme dapat berada di udara dengan berbagai cara antara
lain dari debu yang bertebaran. Debu ini dapat berasaldari tanah, kotoran
hewan atau manusia yang mengering serta bahan lainya. Debu yang
mengandung mikroorganisme ini akan berterbangan di dalam ruangan.
Sehingga jika tidak terdapat ventilasi, debu yang berada di udara dan
mengandung mikroorganisme ini tidak dapat keluar ruangan. Hal ini
menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti ISPA (Millatin, 2011).
Ventilasi memungkinkan tersedianya udara segar dalam rumah atau
ruangan yang sangat dibutuhkan manusia.Sehingga apabila suatu ruangan
tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded maka akan
menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan (Millatin,
2011).Menurut Lindawaty (2010) kurangnya ventilasi akan menyebabkan
proses sirkulasi udara dalam ruangan berjalan tidak normal, serta membuat
ruangan menjadi terasa panas. Kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk
apabila ruangan tersebut padat penghuninya yang mengakibatkan kurangnya
oksigen serta meningkatnya karbondioksida.
Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara
tidak dapat berlangsung dengan baik serta meningkatkan pajanan asap.
Ventilasi yang kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan
basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada
dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah.Terhalangnya
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam
28
rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar
dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah
anak-anak untuk terserang ISPA (Millatin, 2011).
Ruangan dengan ventilasi yang tidak baik, jika dihuni dapat
menyebabkan kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan
tubuh dari kulit. Jika udara kurang mengandung uap air, maka udara terasa
kering dan tidak menyenangkan. Apabila udara yang banyak mengandung
uap air akan menjadi udara basah dan apabila dihirup dapat menyebabkan
gangguan pada fungsi paru (Padmonobo, 2012).
Fungsi lain dari ventilasi adalah untuk menjaga agar ruangan rumah
selalu tetap pada kelembaban yang seharusnya. Tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan meningkat karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.Sedangkan
kelembaban merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
(Tugaswati, 1996). Ventilasi yang kurang baik dapat membahayakan
kesehatan kususnya saluran pernafasan. Ventilasi yang buruk dapat
meningkatkan pajanan asap.
Luas ventilasi yang kurang menyebabkan suplai udara segar masuk ke
dalam ruangan tidak mencukupi, sementara pengeluaran udara kotor dalam
ruangan juga tidak maksimal. Dengan demikian akan menyebabkan kualitas
udara dalam rumah menjadi buruk. Kurangnya luas ventilasi juga dapat
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
29
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri penyebab penyakit
(Widianingtias, 2004).
Ventilasi yang baik akan menyebabkan sirkulasi yang baik. Sirkulasi
udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila
ventilasi tidak memenuhi syarat maka akan meningkatkan kadar partikulat di
dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri terutama patogen karena dengan adanya
ventilasi maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus
(Notoatmodjo, 2003).
Sirkulasi yang baik yaitu udara dapat bergerak atau bertukar akan
mengurangi jumlah mikroorganisme. Sebaliknya jika sirkulasi buruk, udara
relatif tidak bergerak atau ada pergerakan tetapi sedikit dan tidak mampu
mengganti udara berkualitas buruk dengan udara bersih/segar.Sehingga
kemungkinan akan mengandung mikroorganisme lebih besar. Hal ini berarti
pada ruangan yang menggunakan AC ataupun ventilasi alami, jika sirkulasi
udara buruk maka mikroorganisme akan tetap dapat tumbuh, asalkan
temperatur dan kelembaban memenuhi syarat (Moerdjoko, 2004).
3. Kepadatan Hunian
Infeksi saluran pernafasan ditularkan melalui kontak langsung atau
droplet dari saluran pernafasan dan lebih sering terjadi pada kontak yang
30
dekat. Keadaan tersebut terjadi di semua bentuk kepadatan seperti kepadatan
hunian rumah (jumlah saudara dan besarnya rumah) maupun kepadatan
penghuni ruangan serta kepadatan populasi. Menurut Depdiknas RI (2007),
persyaratan luas ruang kelas sekolah dasar yaitu 56 m2 dengan kapasitas
maksimum 28 orang atau 2m2/orang.
Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana dan
prasarana sekolah, ditetapkan sebesar ≥2m2/siswa. Jika dirasakan dalam
suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi
ini karena luas ruangan tidak mencukupi untuk menampung murid-murid.
Terlalu padatnya kondisi ruang kelas dapat menghalangi proses pertukaran
udara bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu,
2012).
Kepadatan yang terlalu tinggi dalam sebuah ruangan juga
memudahkan terjadinya penularan suatu penyakit. Penularan dapat melalui
inhalasi individu ataupun kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang
sakit kepada siswa lainnya (Pramayu, 2012). Berdasarkan penelitian Janssen
(1999) di Amsterdam menunjukkan konsentrasi PM10 yang tinggi di dalam
kelas berhubungan dengan resuspensi debu akibat aktivitas murid di dalan
kelas ketika ruang kelas dihuni oleh sekitar 30 anak.
Kondisi kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu
penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus
31
disebarkan melalui individu lainnya dan dihantarkan melalui udara.
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa kondisi rumah yang dihuni lebih
dari batas hunian yang dipersyaratkan dapat mengakibatkan kurangnya
konsumsi oksigen, kemudian memudahkan terjadinya penularan apabila ada
salah satu penghuni rumah yang sedang menderita penyakit infeksi.
4. Lantai
Jenis lantai atau kondisi lantai sangat penting. Lantai yang tidak
memenuhi syarat dapat menjadi perantara atau media penularan penyakit
seperti penyakit saluran pernafasan. Lantai yang tidak memenuhi standar
adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus
penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering
dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah dibersihkan
dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan akan lebih
baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM
dan PL, 2002).
Syarat yang penting disini adalah tdak berdebu pada musim kemarau
dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang
padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian
dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali.
Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit gangguan
pernapasan (Notoatmodjo, 2007).
32
C. Gangguan ISPA ditinjau dari Faktor Lingkungan
Beberapa penelitian meneliti perihal hubungan ISPA dengan kondisi
lingkungan. Sehingga penelitian-penelitian tersebut memiliki relevansi dengan
penelitian yang sedang dilakukan.
Pramayu (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara suhu dan kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa
yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak
memenuhi syarat, maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena
gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas
dengan suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat.
Gertudis (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
anatara kelembaban dengan gangguan ISPA. Hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat
akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban yang
berada dalam rentang yang memenuhi syarat.Lindawaty (2010) menyatakan
bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan ISPA. Balita yang
berada dalam rumah tinggal dengan suhu tidak memenuhi syarat maka akan
mengalami resiko 18 kali lebih tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan
dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi syarat.
Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan siswa
dalam kelas dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan
33
luas <2m2/siswa akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas
≥2m2/siswa (Pramayu, 2012). Penelitian Wattimena (2004) mendapatkan hasil
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan
terjadinya gangguan pernafasan pada balita, dimana balita yang berada di dalam
rumah yang tidak memenuhi batas hunian beresiko 4,3 kali lebih tinggi
dibanding rumah yang memenuhi batas hunian.
Ventilasi akan mempengaruhi terjadinya gangguan saluran pernafasan.
Namun tidak hanya pada pengukuran luas ventilasi tetapi juga diukur dari laju
udara yang mampu dilewati melalui ventilasi. Dengan meningkatkan rata-rata
laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik
mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada
anak sekolah (Hellsing, 2009).
D. Studi Ekologi
Studi ekologi merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua
variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk
melihat hubungan antara gejala satu dengan gejala yang lain atau variabel satu
dengan variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Studi ekologi adalah salah satu
penelitian yang unit analisisnya adalah kelompok. Ciri analisis primer studi
ekologi adalah tidak diketahuinya joint distribution faktor studi dan penyakit di
setiap kelompok (unit analisis) (Goldberg, 2000).
34
Pada dasarnya, desain studi ekologi menggambarkan hubugan korelatif
antara penyakit dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Disain studi ini
memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan studi ini adalah dapat
menggunakan data insidensi, prevalensi maupun mortalitas. Studi ini tepat
digunakan untuk penyelidikan awal hubungan penyakit karena mudah dilakukan
dan murah dengan memanfaatkan informasi yang tersedia. Kelemahan dari
desain studi ini adalah tidak dapat dipakain untuk menganalisis hubungan sebab
akibat karena tidak mampu menjembatani kesenjangan status pajanan dan status
penyakit pada tingkat populasi dan individu, seta tidak mampu engontrol faktor
perancu potensial (Supriyadi, 2009).
E. Kerangka Teori
Lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu
resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit. ISPA merupakan salah satu
penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan. Kondisi
higiene bangunan tersebut yang merupakan lingkungan fisik ruangan meliputi
suhu, kelembaban, kepadatan hunian, ventilasi dan lantai ruangan.
Suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban.
Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembang biaknya
organisme patogen maupun organisme yang bersifat alergen. Virus, bakteri dan
jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum
35
(suhu dan kelembaban yang optimal). Sehingga host akan terpapar
mikroorganisme dan berpeluang terhadap kejadian ISPA.
Selain suhu dan kelembaban, faktor lain yang dapat menyebabkan
perkembangbiakan kuman adalah kepadatan hunian, ventilasi dan lantai.
Kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada
penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin
maka kuman penyakit dapat menyebar melalui udara dan akan mempercepat
proses penularan terhadap orang lain. Ventilasi berfungsi membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen. Ventilasi juga berperan
dalam mengontrol suhu dan kelembaban dalam ruang. Lantai yang tidak
memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau
virus penyebab ISPA.
Selain kondisi lingkungan, karakteristik individu juga mempengaruhi
kejadian ISPA. Karakteristik individu tersebut meliputi umur, jenis kelamin, dan
status gizi. Berdasarkan umur, balita lebih rentan terkena ISPA karena daya tahan
tubuh yang masih rentan terhadap penyakit. Berdasarkan jenis kelamin, anak
laki-laki lebih rentan karena lebih banyak beraktivitas di luar sehingga pajanan
faktor resiko ISPA lebih besar. Status gizi berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh. Status gizi kurang maupun buruk akan meyebabkan daya tahan tubuh
lemah sehingga rentan terhadap infeksi kuman penyakit.
36
Bagan 2.1
Kerangka Teori
Kejadian ISPA Pertumbuhan Kuman
Kondisi Lingkungan Fisik Ruangan
- Suhu - Kelembaban - Kepadatan hunian - Ventilasi Alami - Ventilasi Buatan - Lantai
Karakteristik Individu
- Umur - Jenis kelamin - Status gizi
Jumlah Kuman
37
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini ingin mengetahui hubungan faktor
lingkungan dalam ruang kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa kelas 5
SDN. Kondisi lingkungan dalam ruang kelas meliputi suhu, kelembaban,
ventilasi, kepadatan huniandan lantai kelas.
Suhu udara yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir
terperangkap dan tidak menyebar. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi
kimia perubahan polutan udara. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat
alergen. Sedangkan kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan
kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus.
Kelembaban udara dalam ruang dapat meningkat jika ventilasi ruang
tidak cukup. Ventilasi yang kurang dalam ruang dapat menyebabkan debu yang
mengandung mikroorganisme akan berterbangan di dalam ruangan. Akibatnya
debu tidak dapat keluar ruangan sehingga menyebabkan timbulnya berbagai
penyakit antara lain ISPA. Ruangan juga memerlukan ventilasi buatan (fan
maupun air conditioning)agar di dalam ruangan selalu ada pergerakan atau
sirkulasi udara.
38
Kejadian ISPA juga tidak lepas dari kepadatan hunian. Kepadatan
hunian merupakan faktor penularan suatu penyakit antar individu. Gangguan
pernafasan yang disebabkan oleh virus disebarkan melalui individu lainnya dan
dihantarkan melalui udara. Selain itu lantai yang tidak memenuhi standar
adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab
ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dilapisi ubin atau keramik dan tidak
berdebu.
Adapun variabel yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik individu.
Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, status merokok.
Penelitian ini merupakan studi ekologi dimana objek penelitian adalah populasi
bukan individu, sehingga faktor karakteristik individu tidak diteliti dalam
penelitian ini.
39
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Kejadian
ISPA
Suhu
Kelembaban
Kepadatan Hunian
Luas Ventilasi Alami
Ventilasi Alami
Ventilasi Buatan
Lantai
40
B. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
1. Angka
Kejadian
ISPA
Jumlah siswa ISPA yang mengalami
gejala ISPA berdasarkan keluhan yang
dirasakan dibagi total siswa yang
menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat
Wawancara Kuesioner Rasio Incidence Rate/IR (%)
2. Suhu Hasil pengukuran derajat panas atau
dingin udara dalam ruang kelas
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan kerja
perkantoran dan industri)
Pengukuran
di titik
episentrum
ruang kelas
Thermo
hygro
meter
Rasio 0C
3. Kelem-
baban
Hasil pengukuran persentase kandungan
uap air udara dalam ruang kelas
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan kerja
kantoran)
Pengukuran
di titik
episentrum
ruang kelas
Thermo
hygro
meter
Rasio %
41
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
4. Kepadatan
Hunian
Kepadatan siswa dalam kelas yang
diperoleh dari hasil perhitungan luas
lantai ruang kelas dibagi jumlah siswa
dalam ruang kelas (Permendiknas,
2007)
Pengukuran Meteran Rasio m2/siswa
5. Luas
Ventilasi
Alami
Luas jendela dan lubang angin ruangan
kelas yang berfungsi untuk aliran udara
dari luar kelas ke dalam kelas atau
sebaliknya
Pengukuran Meteran Rasio luas ventilasi (m2) : luas lantai
(m2)
6. Ventilasi
Alami
Keadaan ventilasi alami (jendela dan
lubang angin) dalam ruang kelas
Observasi Lembar
Observasi
Ordinal 1. Tidak baik jika aliran udara
terhalang barang besar atau
kurang dari 4 jendela terbuka
saat belajar
2. Baik jika aliran udara tidak
terhalang barang besar atau
minimal 4 jendela terbuka saat
belajar (Kepmenkes, 2011)
42
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
7. Ventilasi
Buatan
Pemakaian alat mekanis maupun
elektrik, seperti kipas angin, exhauster
dan pendingin ruangan (Air
Conditioner)
Observasi Lembar
Observasi
Ordinal 1. Tidak baik jika tidak ada kipas
angin atau ada kipas angin
tetapi kipas angin tidak
digunakan saat kegiatan
belajar berlangsung
2. Baik jika ada kipas angin dan
kipas angin digunakan saat
kegiatan belajar berlangsung
(Moerdjoko, 2004)
8. Lantai
Kelas
Jenis dan kondisi lantai ruang kelas saat
siswa belajar
Observasi Lembar
Observasi
Ordinal 1. Tidak baik jika dalam keadaan
lembab, tidak dilapisi
ubin/keramik, berdebu
2. Baik jika dalam keadaan
kering/tidak lembab, dilapisi
ubin/keramik, tidak berdebu
(Notoatmodjo, 2007)
43
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN
di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
2. Ada hubungan antara kelembaban dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5
SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
3. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengankejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
4. Ada hubungan antara luas ventilasi alamidengankejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
5. Ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
6. Ada hubungan antara ventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
7. Ada hubungan antara lantai dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN
di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
44
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Studi
Desain studi dalam penelitian ini adalah desain penelitian studi ekologi
dimana unit analisis dalam peneitian ini adalah populasi. Data tingkat
pengukuran pajanan pada individu tidak tersedia, tetapi data pada tingkat
grup/populasi tersedia. Data pengukuran yang dimaksud yaitu kondisi
lingkungandalam ruang kelas meliputi suhu, kelembaban, luas ventilasi,
kepadatan hunian, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas..
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN yang berada di wilayah Kecamatan
Ciputat Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Ciputat dipilih karena kejadian
ISPA tertinggi dari data sekunder Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
Kejadian ISPA di Puskesmas Ciputat yaitu sebesar 6.526 kasus.
C. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 5 yang ada di
SDN di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Terdapat 40 SDN di
Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Sepuluh SD sedang dalam tahap
renovasi sehingga tidak dapat dilakukan penelitian. SDN yang dapat
45
ditelitiadalah SDN yang memilik satu ruang kelas 5. Sehingga dari 30 SDN
yang tersedia, hanya 24 SDN yang memiliki satu ruang kelas 5.
Sebagian besar dari SDN tersebut terletak di pinggir jalan raya yang
merupakan pusat kemacetan. Pada saat proses belajar, walau terdapat banyak
jendela, namun hanya sedikit yang dibuka. Beberapa jendela maupun lubang
angin terhalang papan tulis, lemari maupun poster. Selain itu walaupun terdapat
kipas angin dalam kelas, namun tidak dihidupkan selama proses belajar.
Sehingga sirkulasi udara dalam kelas terganggu.
D. Jenis Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran
langsung. Data primer dalam penelitian ini terdiri dari data pengukuran suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan
dan lantai kelas. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari data
ISPA pada anak usia sekolah tahun 2012 dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan sebanyak 64.750 kasus dan data SDN di Kecamatan Ciputat serta
jumlah siswa dari UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat.
46
E. Pengumpulan Data
Data kejadian ISPA di setiap SDN diperoleh dengan pengumpulan data
pada siswa kelas 5 SDN yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan
yang dirasakan. Setiap siswa kelas 5 diwawancara untuk menjawab kuesioner
yang berisi pertanyaan terkait keluhan gejala ISPA. Hal ini dilakukan karena
tidak terdapat data kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SD di Puskesmas maupun
UKS sekolah.
Siswa kelas 5 SD dipilih karena siswa kelas 5 SD memiliki tingkat
pemahaman yang cukup untuk memahami pertanyaan yang akan ditanyakan
pada mereka seputar keluhan gejala ISPA. Selain itu siswa kelas 5 lebih dapat
memusatkan pehatian dan memiliki memori jangka panjang lebih baik sehingga
dapat menjawab pertanyaan kuesioner dengan baik.
Data jumlah siswa kelas 5 SD diperoleh dari absen siswa dengan
mengkonfirmasi ulang kepada guru walikelas. Konfirmasi ulang bertujuan
untuk memastikan ada tidaknya murid yang tidak masuk kelas saat penelitian
maupun ada tidaknya murid yang pindah selama periode bulan Juni tahun 2013.
Data suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan luas ventilasi diperoleh
dari hasil pengukuran langsung saat penelitian. Pengukuran suhu dan
kelembaban dilakukan dengan menggunakan alat thermohygrometer. Waktu
pemeriksaan lebih kurang 5 menit sampai jarum menunjukkan angka stabil.
Data luas ventilasi diperoleh dari hasil pengukuran lubang angin dan jendela
47
dengan rollmeter. Data ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas
diperoleh dari lembar observasi.
F. Pengolahan Data
Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan
meliputi:
1. Data Editing
Pada tahapan ini, data yang telah terkumpul melalui daftar
pertanyaan (kuesioner) ataupun pada wawancara perlu dibaca kembali
untuk melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban
responden sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada
responden/informan yang bersangkutan.
2. Data Coding
Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk
masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data.
Tabel 4.1 Pengkodean untuk Faktor Lingkungan Sekolah
Variabel Kategori Kode
Ventilasi Alami a. Tidak baik b. Baik
0 1
Ventilasi Buatan a. Tidak baik b. Baik
0 1
Lantai Kelas a. Tidak baik b. Baik
0 1
48
3. Data Structure
Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan
dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat
mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu
ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit.
4. Data Entry
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau
fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah SPSS.
5. Data Cleaning
Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan
yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai
kelogisannya. Untuk data kontinue (data dengan skala variabelnya interval
atau rasio) dapat dilihat sebarannya untuk melihat ada tidaknya outliers.
G. Analisis
Analisis dilakukandengan analisis univariat dan bivariat. Analisis
univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi tiap variabel yang
diteliti dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan melihat
parameter frekuensi dan persentase. Hasil yang disajikan adalah mean, median,
nilai minimum, nilai maksimum dan standar deviasi.
49
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang berupa signifikansi perbedaan dua
nilai pada variabel independen. Sebelum melakukan uji analisis bivariat, uji
normalitas tiap-tiap variabel dilakukan untuk menentukan kenormalan distribusi
data yang nantinya akan menentukan jenis uji korelasi yang akan digunakan. Uji
korelasi data yang berdistribusi normal menggunakan uji korelasi Pearson,
sedangkan data yang berdistribusi tidak normal menggunakan uji korelasi
Spearman. Pada penelitian ini data kejadian ISPA tidak berdistribusi normal.
Sehingga uji yang digunakan untuk suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan
luas ventilasi adalah uji korelasi Spearman. Sedangkan untuk variabel ventilasi
alami, ventilasi buatan dan lantai kelas menggunakan uji Mann-Whitney.
Selain melihat hubungan antara variabel dependen dan independen, uji
korelasi juga melihat keeratan hubungan. Keeratan hubungan diperoleh dari
nilai korelasi (r). Kisaran nilai r adalah antara +1 dan -1, dengan r +1
menyatakan hubungan positif yang kuat dan r -1 menyatakan hubungan negatif
yang kuat (Morton, 2009). Menurut Colton dalam Sabri (2006), nilai r dan
derajat asosiasinya mempunyai rentang:
r derajat asosiasi
0,00 >0,0-0,25 0,26-0,50 0,51-0,75 0,76-1,00
tidak ada hubungan hubungan lemah hubungan sedang
hubungan kuat/baik hubungan sangat baik/sempurna
50
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Ciputat terletak di bagian tengah kota Tangerang selatan.
Luas Kecamatan Ciputat adalah 3.626 Ha dengan letak ketinggian dari
permukaan laut 44 m dan memiliki curah hujan rata-rata 2000-3000 mm/tahun.
Berdasarkan data sensus tahun 2006, jumlah penduduk yang ada di wilayah
Kecamatan Ciputat berjumlah 260.477 jiwa. Kecamatan Ciputat terdiri dari 7
kelurahan yaitu:Ciputat, Cipayung, Serua, Sawah Lama, Sawah Baru, Serua
Indah dan Jombang.
Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Ciputat yaitu 97.979 jiwa.
Sedangkan jumlah perempuan yaitu 94.226 jiwa. Jumlah penduduk Kecamatan
Ciputat yaitu 192.200 orang dengan luas wilayah 15,43 km2. Sehingga kepadatan
Kecamatan Ciputat yaitu 10,457 orang/km2.
Kecamatan Ciputat beriklim tropis dengan temperatur rata-rata berkisar
antara 23,5-32,60C dan temperatur minimum terendah yaitu 22,80C. Rata-rata
kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 78,3% dan 59,3 %. Keadaan
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 486 mm, sedangkan rata-
rata curah hujan dalam setahun adalah 177,3 mm. Rata-rata kecepatan angin
dalam setahun adalah 3,8 m/detik dan kecepatan maksimum 12,6 m/detik.
51
B. Analisis Univariat
Analisis univariat mendeskripsikan suhu, kelembaban, ventilasi,
kepadatan hunian) dan kejadian ISPA.
1. Gambaran Kejadian ISPA
Ukuran kejadian ISPA dalam penelitian ini yaitu insidensi kejadian
ISPA dengan Incidence Rate (IR). IR kejadian ISPA diperoleh dengan
membandingkan jumlah siswa yang mengalami gejala ISPA berdasarkan
keluhan yang dirasakandibagi total siswa yang menghuni kelas 5 SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013. Insidensi kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 di setiap SDN di Kecamatan Ciputat ditunjukkan sebagai
berikut :
Tabel 5.1 Insidensi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN
di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Jumlah ISPA (siswa)
Penghuni Kelas (Siswa)
IR
1. SDN 2 Ciputat 40 47 85.11
2. SDN 3 Ciputat 22 40 55.00
3. SDN 4 Ciputat 26 44 59.09
4. SDN 5 Ciputat 6 24 25.00
5. SDN 7 Ciputat 12 40 30.00
6. SDN 8 Ciputat 18 38 47.37
7. SDN 9 Ciputat 35 47 74.47
8. SDN 3 Cipayung 36 51 70.58
9. SDN 4 Cipayung 10 36 27.78
52
Tabel 5.1 (Lanjutan)
No Nama Sekolah Jumlah ISPA (siswa)
Penghuni Kelas (siswa)
IR
10. SDN 1 Serua 26 38 68.42
11. SDN 3 Serua 36 46 78.26
12. SDN 5 Serua 33 48 68.75
13. SDN 2 Serua Indah 29 38 76.31
14. SDN 3 Serua Indah 22 40 55.00
15. SDN 1 Sawah 25 33 75.75
16. SDN 3 Sawah 31 51 60.78
17. SDN 4 Sawah 32 49 65.31
18. SDN 1 Sawah Baru 18 33 54.54
19. SDN 2 Sawah Baru 20 37 54.05
20. SDN 3 Jombang 31 43 72.09
21. SDN 4 Jombang 27 41 65.85
22. SDN 5 Jombang 33 51 64.70
23. SDN 6 Jombang 10 33 30.30
24. SDN 11 Jombang 30 38 78.95
Pada tabel 5.1 menunjukkan jumlah siswa kelas 5 yang mengalami
gejala ISPA berdasarkan keluhan pada bulan Juni tahun 2013 dan IR
kejadian ISPAbulan Juni tahun 2013.IR ISPA tertinggi terdapat di SDN
2Ciputat yaitu sebesar 85,11% pada bulan Juni tahun 2013 dan terendah
terdapat di SDN 5 Ciputat yaitu sebesar 25% pada bulan Juni tahun 2013.
53
Tabel 5.2 Distribusi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN
di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Rata-rata Standar Deviasi Min-Max
Kejadian ISPA 60,14 17,267 25-85,11 Rata-ratakejadian ISPA di 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni
tahun 2013 adalah 60,14% dengan standar deviasi 17,267.
2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA Pada Siswa SD
Faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA pada siswa SDN meliputi
suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi
buatan, serta lantai kelas.
Tabel 5.3 Distribusi Suhu, Kelembaban, Kepadatan Hunian, Luas Ventilasi
SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Rata-rata Standar Deviasi Min-Max
Suhu 30,58 2,24 26-34 Kelembaban 61,50 2,187 57-65
Kepadatan Hunian 1,181 0,220 0,95-2,01 Luas Ventilasi 9,963 2,680 4,34-13,74
Rata-rata suhu kelas di 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013 adalah 30,580C dengan standar deviasi 2,24. Suhu tertinggi sebesar
340C di 4 SD yaitu SDN 2 Ciputat, SDN 3 Cipayung, SDN 5 Serua dan SDN
3 Sawah. Sedangkan suhu terendah sebesar 260C di SDN 5 Ciputat.
Rata-rata kelembaban kelas di 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan
Juni tahun 2013 adalah 61,50% dengan standar deviasi 2,187. Kelembaban
54
tertinggi sebesar 65% di 2 SD yaitu SDN 2 Ciputat dan SDN 3 Jombang.
Sedangkan kelembaban terendah sebesar 57% di SDN 5 Ciputat.
Rata-rata kepadatan hunian kelasdi 24 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Juni tahun 2013 adalah 1,181 m2/siswa dengan standar deviasi 0,220.
Nilai kepadatan hunian kelas paling tinggi yaitu 2,01m2/siswa yaitu di SDN
5 Ciputat.Sedangkan nilai kepadatan hunian terendah yaitu 0,95 m2/siswa di
SDN 1 Serua.
Rata-rata luas ventilasialami kelasdi 24 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Juni tahun 2013 adalah 9,963 m2 dengan standar deviasi 2,680. Nilai
luas ventilasi tertinggi sebesar 13,74 m2 di SDN 5 Ciputat dan SDN 3 Serua
Indah. Sedangkan nilai luas ventilasi terendah sebesar 4,34 m2 di SDN 1
Sawah Baru.
Tabel 5.4 Distribusi Ventilasi Alami, Ventilasi Buatan, Lantai Kelas
SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Persentase
Ventilasi Alami Tidak baik Baik
13 11
54,2 45,8
Ventilasi Buatan Tidak baik Baik
16 8
66,7 33,3
Lantai Tidak baik Baik
17 7
70,8 29,2
Table 5.4 menunjukkan 13 SDN (54,2%) memiliki ventilasi alami
tidak baik. Ventilasi alami kelas dikatakan baik jika aliran udara tidak
terhalang dan minimal terdapat 4 jendela yang dikuba saat siswa sedang
55
belajar. Selain itu 16 SDN (66,7%) memiliki ventilasi buatan tidak baik.
Ventilasi buatan kelas dikatakan baik jika terdapat kipas angin dalam
kelas dan kipas angin digunakan saat kegiatan belajar berlangsung.
Terdapat 17 SDN (70,8%) yang memiliki lantai kelas tidak baik. Lantai
yang baik dan memenuhi syarat adalah lantai yang dalam keadaan
kering dan tidak lembab, dilapisi ubin atau keramik yang mudah
dibersihkan, tidak berdebu di musim kemarau dan tidak basah pada
musim penghujan.
C. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat yang
bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara suhu,
kelembaban, luas ventilasi dan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA adalah
uji Korelasi Spearman. Sedangkan hubungan ventilasi alami, ventilasi buatan dan
lantai kelas dengan kejadian ISPA adalah uji Mann-Whitney yang hasilnya akan
dijelaskan dibawah ini :
1. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubungan antara suhu dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
dapat dilihat pada tabel berikut :
56
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Independen Variabel Dependen (ISPA) p value r Suhu 0,653 0,001
Dari Tabel 5.5 terlihat hubungan suhu dengan kejadian ISPA
menunjukkan hubungan yang kuat (r=0,653) dan berpola positif yang artinya
semakin tinggi suhu maka insidensi kejadian ISPA semakin tinggi.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,001, pada
tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sejalan
dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara suhu dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
2. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubungan antara kelembaban kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni
tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.6 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Independen Variabel Dependen
(ISPA) p value r
Kelembaban 0,487 0,016
57
Dari tabel 5.6 terlihat hubungan kelembaban dengan kejadian ISPA
menunjukkan hubungan yang sedang (r=0,487) dan berpola positif yang
artinya semakin tinggi kelembaban maka insidensi kejadian ISPA semakin
tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,016,
pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian
sejalan dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara kelembaban
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan
Juni tahun 2013.
3. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni
tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Independen Variabel Dependen (ISPA) p value r Kepadatan Hunian -0,510 0,011
Dari tabel 5.7 terlihat hubungan kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA menunjukkan hubungan yang kuat (r=0,510) dan berpola negatif yang
artinya semakin tinggi nilai kepadatan hunian maka insidensi kejadian ISPA
semakin rendah. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value
58
sebesar0,011,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil
penelitian sejalan dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
4. HubunganLuas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubungan antara luas ventilasi alami dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni
tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.8 Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Independen Variabel Dependen (ISPA) p value r Luas Ventilasi Alami 0,131 0,540
Dari grafik 5.8 terlihat hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA
menunjukkan hubungan yang lemah (r=0,131) dan berpola positif yang
artinya semakin tinggi nilai luas ventilasi maka insidensi kejadian ISPA
semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value
sebesar0,541,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil
penelitian tidak sejalan dengan hipotesis penelitian sehingga tidak ada
hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5
SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
59
5. Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubungan antara ventilasi alami kelas
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan
Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.9 Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Ventilasi Alami N Rata-rata ISPA
Standar deviasi
p value
Tidak Baik
Baik
13
11
65,31
52
15,745
20,645
0,124
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa rata-rata kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi alami tidak
baik adalah 65,31 dengan standar deviasi sebesar 15,745, sedangkan rata-
rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas
dengan ventilasi alami baik adalah 52 dengan standar deviasi 20,645.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,124,pada
tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak
sejalan dengan hipotesis penelitian sehingga tidak ada hubungan antara
ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat bulan Juni tahun 2013.
60
6. Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubunganventilasi buatan dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.10 Analisis Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Kejadian ISPA N Rata-rata ISPA
Standar Deviasi
p value
Tidak Baik
Baik
16
8
61,31
55
16,304
24,178
0,602
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa rata-rata kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi buatan tidak
baik adalah 61,31 dengan standar deviasi sebesar 16,304, sedangkan rata-
rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas
dengan ventilasi buatan baik adalah 55 dengan standar deviasi 24,178.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,602,pada
tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak
sejalan dengan hipotesis penelitian sehinggatidak ada hubungan antara
ventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
61
7. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai hubungan antara lantai kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni
tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.11 Analisis Hubungan Lantai Kelasdengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Kejadian ISPA N Rata-rata ISPA
Standar deviasi
p value
Tidak Baik
Baik
17
7
60,06
57,14
18,552
21,381
0.924
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa rata-rata kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan keadaan lantai tidak
baik adalah 60,06 dengan standar deviasi sebesar 18,552, sedangkan rata-
rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas
dengan keadaan lantai baik adalah 57,14 dengan standar deviasi 21,381.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,924,pada
tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak
sejalan dengan hipotesis penelitian sehingga tidak ada hubungan antara
lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat bulan Juni tahun 2013.
62
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu tidak diukurnya besar PM10 dalam
ruang kelas selama siswa belajar di kelas karena keterbatasan alat pengukur.
Sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajanan debu yang merupakan penyebab
terjadinya ISPA. Data kejadian ISPA diperoleh dari siswa kelas 5 SD yang
masuk sekolah saat penelitian dilakukan. Sehingga tidak meliputi siswa yang
tidak masuk sekolah.
B. Kejadian ISPA
Ukuran angka kejadian ISPA dalam penelitian ini adalah insidensi kejadian
ISPA yaitu IR. IR kejadian ISPA diperoleh dari jumlah siswa yang mengalami
gejala ISPA berdasarkan keluhan yang dirasakan dibagi total siswa yang
menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat. Nilai IR tertinggi yaitu sebesar
85,11% di SDN 2Ciputat dan terendah sebesar 25% di SDN 5 Ciputat.
Penelitian Pramayu (2012) tentang gangguan ISPA pada siswa SD di
Kecamatan Cipayung Kota Depok tahun 2012 juga menunjukkan bahwa jumlah
siswa yang mengalami gangguan ISPA lebih banyak dibanding dengan jumlah
siswa yang tidak mengalami gangguan ISPA yaitu 75 siswa (62,5%) mengalami
gangguan ISPA dan 45 siswa (37,5%) tidak mengalami gangguan ISPA.
63
Hal ini dapat terjadi karena kondisi ruang kelas SDN yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Padahal sebagian besar waktu siswa adalah di
sekolah khususnya di dalam kelas. Kondisi ruang kelas tersebut meliputi suhu,
kelembaban, kepadatan hunian dan ventilasi ruang kelas (Pramayu, 2012).
Menurut Hasil laporan EPA (2002), kondisi ruang kelas dan kualitas
udara kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Breysse
(2010) menyatakan bahwa kondisi ruangan khususnya kualitas udara ruang
seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat. Kualitas udara ruang
seharusnya menjadi perhatian mengingat bahwa anak usia sekolah
menghabiskan jumlah waktu yang signifikan di sekolah dan anak-anak
merupakan golongan yang rentan terkena penyakit.
C. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Suhu adalah derajat panas atau dingin udara dalam ruang kelas
(Kepmenkes, 2002). Suhu udara yang tinggi menyebabkan tubuh banyak
kehilangan garam dan air. Selain itu, peningkatan suhu dapat mempercepat
reaksi kimia perubahan polutan udara (WHO, 1997). Suhu menjadi faktor
penting yang harus diperhatikan karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran
pernafasan. Selain itu, suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi
kelembaban, sehingga dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan
mengakibatkan iritasi membran mukosa (WHO, 2007).
64
Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan terperangkap dan tidak
menyebar. Selain itu peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia
perubahan polutan udara. Tingginya suhu udara akan menyebabkan partikel
debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap ke dalam
pernafasan. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya ISPA
(Yusnabeti, 2010).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013, dengan p value sebesar 0,001. Selain itu adanya hubungan yang kuat
antara suhu dengan kejadian ISPA (r=0,653).
Penelitian Pramayu (2012) menyatakan bahwa siswa yang berada di
ruang kelas dengan kondisi suhu yang tidak memenuhi syarat maka akan
beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan
dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu yang memenuhi
syarat. Kemudian pada penelitian lain yang dilakukan Lindawaty (2010)
menyatakan bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan
ISPA. Balita yang berada dalam rumah dengan suhu tidak dalam rentang yang
dtentukan oleh kementrian kesehatan maka akan mengalami resiko 18 kali lebih
tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di
rumah dengan suhu yang memenuhi syarat.
Suhu ruang dikatakan memenuhi syarat yaitu sebesar 18-280C. Hasil
pengukuran suhu di 30 ruang kelas SD negeri di Kecamatan Ciputat
65
menunjukkan 8 sekolah dengan suhu ruang kelas memenuhi syarat. Selain itu,
22 kelas menunjukkan hasil pengukuran suhu ruang kelas diatas 280C.
Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri
dan jamur yang menyebabkan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh
dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu yang optimal).
Pada suhu tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat
bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (dalam rentang suhu 18-280C), tapi
pada suhu tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat
yaitu pada suhu lebih dari 290C. Hal ini yang membahayakan karena semakin
sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka
waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin
besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo, 2012).
D. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
Kelembaban adalah persentase kandungan uap air udara dalam ruang
kelas (Kepmenkes, 2002). Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
berkembang biaknya organisme patogen dan alergen. Sedangkan kelembaban
terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membran mukosa
serta gangguan sinus. Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat
mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan dapat meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi pernafasan(Kemenkes,
2007).
66
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan
Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,016. Selain itu adanya hubungan
yang sedang antara kelembaban dengan kejadian ISPA (r=0,487).
Penelitia Pramayu (2012) di Kota Depok menyatakan bahwa ada
hubungan antara kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di
ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat
maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi terkena gangguan ISPA dibandingkan
dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban
yang memenuhi syarat. Penelitian Gertudis (2010) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kelembaban dengan gangguan ISPA. Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak
memenuhi syarat akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan
kelembaban yang berada dalam rentang yang memenuhi syarat.
Kelembaban dikatakan memenuhi syarat apabila berada pada kisaran 40-
70% (Kepmenkes, 2011). Hasil pengukuran kelembaban di 30 ruang kelas SD
negeri menunjukkan hasil kelembaban terendah sebesar 57% dan kelembaban
ruang kelas tertinggi adalah 65%.
Kelembaban dalam ruang kelas yang tinggi dalam penelitian ini dapat
disebabkan ventilasi alami yang tidak dipergunakan secara maksimal. Jendela
yang tersedia dalam ruang kelas termasuk cukup banyak, namun banyak dari
67
jendela tersebut yang tidak dapat dibuka, sehingga tidak dapat membantu
sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya dengan mengandalkan lubang
angin dalam ruang kelas. Akibatnya kelembaban dalam ruang
meningkat.Padahal menurut WHO (2007), kelembaban berkaitan dengan
ventilasi dimana sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi
kelembaban menjadi tinggi. Kondisi tersebut dapat memicu perkembangbiakan
mikroorganisme, termasuk virus penyebab ISPA.
Kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus,
bakteri dan jamur penyebab ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (kelembaban yang
optimal). Pada kelembaban tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya
dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (kelembaban 40-
60%), tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan sangat cepat (kelembaban di atas 65%). Hal ini yang
membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan
kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor
risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA
(Padmonobo, 2012).Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan
berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat
allergen (Kemenkes, 2007).
Mairusnita (2007) menyatakan bahwa kelembaban udara menyebabkan
bakteri akan bertahan lebih lama. Dalam kondisi rumah yang tidak dilengkapi
68
ventilasi yang baik, maka akan mempercepat proses penularan penyakit.Naria
(2008) juga menyatakan bahwa keadaan kelembaban rumah memenuhi syarat
atau tidak memenuhi syarat dapat terjadi karena keadaan ventilasi rumah.
Kurangnya ventilasi rumah akan meningkatkan kelembaban rumah.
Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya
terutama timbulnya penyakit ISPA. Kelembaban yang tinggi merupakan media
yang baik untuk perkembangan mikroorganisme patogen. Kelembaban rumah
yang tinggi akanmendukung terjadinya penyakit dan penularan
penyakit.Penelitian Gardinassi (2012) menunjukkan ketika kelembaban udara
meningkat, virus infeksi saluran pernafasan cenderung meningkat. Pada
kelembaban relatif sebesar 75%, virus pernafasan terdapat dalam beberapa
sampel laboratorium.
E. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana
dan prasarana sekolah adalah sebesar ≥2m2/siswa. Jika dirasakan dalam suatu
ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi ini karena
luas ruangan tidak mencukupi untuk menampung murid-murid. Terlalu
padatnya kondisi ruang kelas dapat menghalangi proses pertukaran udara
bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu, 2012).
69
Menurut Yusup (2005) dalam jurnal kesehatan lingkungan menyatakan
bahwa semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara
ruangan mengalami pencemaran gas. Dengan banyaknya penghuni maka kadar
oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan
dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam
rumah.Kepadatan yang terlalu tinggi dalam sebuah ruangan juga memudahkan
terjadinya penularan suatu penyakit melalui inhalasi individu, ataupun
kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang sakit kepada siswa lainnya
(Pramayu, 2012).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,011. Selain itu adanya
hubungan yang kuat antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA, dengan
(r=0,510).
Penelitian Pramayu (2012) di Kota Depok menunjukkan kepadatan
hunian siswa dalam ruang kelas terbukti berpengaruh dalam menimbulkan
gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan luas <2m2/siswa
akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi dibandingkan siswa yang
berada di ruangan kelas dengan luas ≥2m2/siswa. Penelitian Ringgih (2012)
menunjukkan hasil adanya hubungan kepadatan penghuni rumah dengan
kejadian ISPA pada balita dengan nilai p sebesar 0,001. Penelitian Wattimena
(2004) juga mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
70
kepadatan hunian dengan terjadinya gangguan saluran pernafasan pada bailta.
Balita yang tinggal di dalam rumah yang tidak memenuhi syarat batas hunian
beresiko 4,3 kali lebih tinggi dibandingkan yang memenuhi syarat.
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa untuk ketetapan luas rumah,
jumlah, dan ukuran ruangan harus disesuaikan dengan jumlah orang yang akan
menempati rumah tersebut agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah.
Luas lantai bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas
bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan over
crowded. Hal ini akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan serta
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen sehingga berpotensi terhadap
penularan penyakit infeksi. Jika penghuni terlalu padat, bila ada penghuni yang
sakit maka dapat mempercepat penularan penyakit tersebut, seperti penyakit
yang berhubungan dengan saluran pernapasan.
Mairusnita (2007) menyatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh
terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada penderita ISPA yang berada
dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin melalui udara akan
mempercepat proses penularan terhadap orang lain.Padmonobo (2012) juga
menyatakan bahwa kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu
penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus
biasanya disebarkan dari satu individu ke individu lainnya dan dihantarkan
melalui udara. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit
71
melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian
dalam tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian ISPA.
F. Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Ventilasi adalah suatu lubang penghawaan yang fungsinya sebagai proses
pemasukan udara bersih dan pengeluaran udara yang berkualitas kurang baik
dari dalam ruangan. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam
dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah ataupun
mekanis.Ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar
merupakan salah satu risiko untuk terjadi penyakit ISPA (Ranuh, 1997).
Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana
untuk menjamin kualitas dan sirkulasi masuk keluarnya udara dalam ruangan.
Luas ventilasi juga berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam ruangan tetap
segar, bersih dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen (Notoatmodjo, 2003).
Ventilasi memungkinkan tersedianya udara segar dalam rumah atau
ruangan.Sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang
baik dan over crowded akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan
kesehatan. Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara
tidak dapat berlangsung dengan baik. Tidak tersedianya ventilasi atau ventilasi
yang kurang sempurna menyebabkan kualitas udara rendah sehingga udara di
dalam ruangan tidak dapat dikeluarkan dan tidak dapat digantikan dengan udara
72
yang berkualitas baik. Kondisi ini akan meningkatkan risiko terjadinya ISPA
dan penyakit infeksi lain pada anak (Millatin, 2011).
Millatin (2011) juga menyatakan bahwa ventilasi yang kurang baik
mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah.Rumah yang lembab dan
basahmenyebabkan matahari pagi sukar masuk dalam rumah.Hal ini juga
mempermudah anak-anak untuk terserang ISPA.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara luas
ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,541. Selain itu adanya
hubungan yang lemah antara luas ventilasi alami dengan kejadian ISPA
(r=0,131).
Penelitian Handajani (2004) di Palembang menyimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara variabel luas ventilasi dengan kejadian
gangguan pernafasan pada anak SD negeri. Penelitian Bahri (2008) di Jakarta
Timur dan penelitian Pramayu (2012) di Kota Depok juga menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara ventilasi kelas dengan gangguan ISPA dan
fungsi paru pada anak sekolah dasar. Penelitian Millatin (2011) menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengankejadian
ISPA pada balita di wilayah kerjaPuskesmas Pabelan Kabupaten Semarang.
Tidak adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA dalam
penelitian ini disebabkan karena seluruh kelas memiliki luas ventilasi yang
cukup memadai dan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan yaitu 10% dari
73
luas lantai. Handajani (2004) dan Millatin (2011) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gangguan ISPA karena
semua responden berada di ruangan dengan ventilasi yang memadai dan sesuai
dengan standar. Sehingga sebagian besar sampel homogen pada jenis ruang
yang sama.
Selain itu, luas ventilasi yang diukur dalam penelitian ini hanya meliputi
jendela dan lubang angin. Sedangkan pintu kelas tidak diperhitungkan.
Beberapa kelas menggunakan pintu sebagai aliran udara, seperti pada SDN 4
Ciputat. Oleh karena itu tidak diukurnya pintu menjadi salah satu penyebab
tidak adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa
SD negeri.
Penyebab lain tidak adanya hubungan antara ventilasi dengan kejadian
ISPA dalam penelitian ini adalah laju udara dari ventilasi tidak diperhitungkan.
Sehingga tidak diketahui apakah laju udara tersebut memenuhi syarat atau
tidak. Hellsing (2009) menyatakan bahwa terjadinya gangguan saluran
pernafasan tidak hanya dipengaruhi oleh luas ventilasi tetapi juga dari laju
udara yang mampu dilewati melalui ventilasi. Dengan meningkatkan rata-rata
laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik
mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada
anak sekolah.
74
G. Hubungan antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA
Ventilasi dalam penelitian ini terdiri dari ventilasi alami dan ventilasi
buatan. Ventilasi alami meliputi jendela, lubang angin dan pintu. Ventilasi
alami berfungsi untuk mengalirkan udara di dalam ruang yang terjadi secara
alamiah dan untuk menggerakkan udara sebagai hasil dari sifat porous dinding
ruangan, atap dan lantai.Ventilasi buatan dilakukan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik, seperti kipas angin, exhauster dan pendingin ruangan
(AC). Ventilasi buatan berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikroorganisme(Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan Kepmenkes Nomor 1077 Tahun 2011, ventilasi dikatakan
baik dan memenuhi syarat jika aliran udara cross ventilation. Disamping itu,
aliran udara tersebut tidak terhalang oleh barang-barang besar seperti dinding,
lemari, sekat rumah. Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak
dicemari asap kendaraan bemotor, asap pembakaran sampah serta debu. Selain
itu adanya kipas angin yang digunakan dalam ruangan penting untuk
mengontrol udara dalam ruangan.
Ventilasi yang kurang baik mengakibatkan rumah menjadi lembab dan
basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada
dinding tembok menyebabkan matahari pagi sukar masuk dalam rumah.
Terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke
dalam rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat
75
keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah
anak-anak untuk terserang ISPA (Millatin, 2011).
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi alami
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,124. Hasil uji
statistik juga menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi buatan dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,602.
Hasil peneitian ini berbeda dengan penelitian Millatin (2011) yang
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara ventilasi dengan
kejadian ISPA pada balita. Balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang
tidak memenuhi standar beresiko 1,853 kali terkena ISPA dibandingkan dengan
balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi standar. Hasil
penelitiannya juga menunjukkan bahwa balita yang terkena ISPA lebih banyak
tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi standar. Sedangkan
balita yang tidak ISPA lebih banyak tinggal di rumah dengan ventilasi yang
memenuhi standar.
Ventilasi berfungsi sebagai sirkulasi udara.Jika ventilasi tidak memenuhi
standar, maka akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti
kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat. Ventilasi yang tidak memenuhi
standar juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Hal ini
merupakan media yang baik bagi bakteri-bakteri penyebab penyakit infeksi
untuk berkembang. Kualitas udara dalam ruangan yang buruk dan banyak
76
mengandung mikroorganisme penyebab penyakit jika masuk dalam tubuh akan
menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit (Ranuh, 1997).
Tidak adanya hubungan pada penelitian ini karena hasil penelitian
menunjukan tidak adanya perbedaan persentase kejadian ISPA pada siswa yang
belajar di kelas dengan ventilasi yang baik dan siswa yangbelajar di kelas
dengan ventilasi yang tidakbaik.Selain itu dapat disebabkan kualitas udara yang
sama baik di ruangan dengan ventilasi baik maupun ventilasi tidak baik. Jika
dilihat berdasarkan luas ventilasi, semua ruang kelas memiliki luas ventilasi
yang cukup. Sehingga dapat diasumsikan aliran udara dalam kelas baik dengan
ventilasi yang cukup. Walaupun jendela yang dibuka saat kegiatan belajar
berlangsung sedikit.
Ventilasi yang baik akan menyebabkan sirkulasi yang baik. Sirkulasi
udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila
ventilasi tidak memenuhi syarat maka akan meningkatkan kadar partikulat di
dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri terutama patogen karena dengan adanya ventilasi
maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus
(Notoatmodjo, 2007).
Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian ISPA
pada siswa yang berada di ruang yang memiliki kipas angin maupun yang tidak
memiliki kipas angin. Selain itu juga tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada
siswa yang berada di kelas yang memiliki kipas dan digunakan dengan siswa
77
yang berada di kelas yang memiliki kipas tetapi tidak digunakan. Sehingga
pada uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara ventilasi (alami
maupun buatan) dengan kejadian ISPA. Luas ventilasi yang cukup sehingga
sirkulasi udara baik juga menyebabkan tidak adanya hubungan.
H. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi perantara atau media
penularan penyakit seperti penyakit saluran pernafasan. Lantai yang tidak
memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri
atau virus penyebab ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan
kering dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah
dibersihkan dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan
akan lebih baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen
PPM dan PL, 2002).
Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara lantai kelas
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,924. Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian Pangestika (2010) yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara lantai dengan kejadian ISPA pada balita. Frekuensi
yang menderita ISPA lebih banyak pada balita dengan kondisi lantai yang tidak
memenuhi syarat.
Tidak ada hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA dalam
penelitian ini karena tidak ada perbedaan jumlah siswa yang mengalami
78
kejadian ISPA pada lantai yang memenuhi syarat maupun pada lantai yang
tidak memenuhi syarat. Selain itu, semua lantai ruang kelas terbuat dari
keramik yang mudah dibersihkan. Sehingga walaupun lantai berdebu dapat
dengan mudah disingkirkan karena lantai terbuat dari keramik. Semua lantai
kelas juga kedap air sehingga kelas tidak lembab dan lantai dalam keadaan
kering.
Penelitian Handajani (2004) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara lantai kelas dengan gangguan pernafasan. Dalam penelitiannya,
Handajani mengelompokkan lantai menjadi lantai yang kedap air dan lantai
yang tidak kedap air. Semua lantai kelas adalah lantai yang kedap air, sehingga
semua lantai memenuhi syarat. Oleh karena itu hasil uji statistik menunjukkan
hubungan yang tida bermakna antara jenis lantai dengan gangguan pernafasan.
Lantai yang tidak kedap air dapat mempengaruhi kelembaban di dalam
rumah dan kelembaban dapat mempengaruhi berkembangbiaknya
mikroorganisme penyebab penyakit.Lantai yang basah dan berdebu merupakan
sarang penyakit gangguan pernapasan (Notoatmodjo, 2007). Hubungan yang
bersifat langsung dapat terjadi karena lantai yang terbuat dari tanah. Rumah
dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi berdebu.
Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi udara dalam
ruang (indoor air pollution). Debu dalam udara apabila terhirup akan menempel
pada saluran napas (Padmonobo, 2012).
79
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa simpulan sebagai berikut :
1. IR kejadian ISPA tertinggi di SDN 2Ciputat yaitu sebesar 85,11% dan
terendah terdapat di SDN 5 Ciputat yaitu sebesar 25%.
2. Gambaran lingkungan fisik sekolah dalam ruang kelas, yaitu:
a. suhu (rata-rata:30,580C, minimum-maksimum: 260C-340C)
b. kelembaban (rata-rata:61,50%, minimum-maksimum: 57%-64%)
c. kepadatan hunian (rata-rata:1,181 m2/siswa, maksimum: 2,01 m2/siswa)
d. luas ventilasi (rata-rata:9,963 m2, minimum: 4,34m2)
3. Tiga variabel memiliki hubungan dengan kejadian ISPA.
a. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5
SDN (p value=0,001) dan derajat asosiasi yang kuat dan berpola
positif, artinya peningkatan suhu disertai dengan peningkatan insidensi
kejadian ISPA (r=0,653)
b. Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN (p value=0,016) dan derajat asosiasi yang sedang dan
80
berpola positif, artinya peningkatan kelembaban disertai dengan
peningkatan insidensi kejadian ISPA (r=0,487)
c. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN (pvalue=0,011) dan derajat asosiasi yang kuatdan
berpola negatif, artinya peningkatan nilai kepadatan huniandisertai
dengan penurunan insidensi kejadian ISPA (r=0,510)
4. Empat variabel tidak memiliki hubungan dengan angka kejadian ISPA.
e. Tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN (p value=0,541).
f. Tidak ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN (p value=0,124).
g. Tidak hubungan antaraventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN (p value=0,602).
h. Tidak hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN (p value=0,924).
B. Saran
1. Pihak Sekolah
81
a. Setiap sekolah rutin melakukan kegiatan bersih-bersih misalnya
dengan diadakan piket setelah pulang sekolah. Selain itu melakukan
pemeliharaan fasilitas kelas secara periodik sebulan sekali.
b. Jika memungkinkan, disarankan untuk bisa mengurangi kapasitas
siswa dalam kelas sehingga kepadatannya berkurang. Pengurangan
kapasitas bisa dilakukan dengan pemberlakuan kelas pagi dan sore.
2. Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan
a. Menyelenggarakan pertandingan kebersihan antar sekolah sebagai
motivasi tiap sekolah dalam membersihkan lingkungan sekolahnya.
Kegiatan dapat dilakukan secara periodik beberapa bulan sekali.
b. Koordinasi antara dinas pendidikan dan dinas kesehatan untuk
memperhatikan kesehatan siswa khususnya yang berhubungan dengan
kebersihan dan fasilitas sekolah.
3. Puskesmas
a. Adanya koordinasi antara puskesmas dan sekolah untuk menghidupkan
kembali UKS sekolah sehingga dapat terlihat riwayatpenyakit infeksi
pada siswa. Selain itu UKS befungsi untuk memperhatikan dan
menjaga kesehatan siswa.
4. Penelitian Selanjutnya
82
a. Penelitian yang juga melihat PM10 ambien di semua kelas sehingga
dapat terlihat besarnya pencemaran udara dalam kelas di tiap sekolah
dan adanya studi lanjutan dengan fokus studi individu yang mengukur
pajanan pencemaran debu PM10personal/indivdu.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali
Press.
AIRNOW. 2010. Particle Pollution (PM10) and
(PM2.5)http://airnow.gov/index.cfm?action=aqibasics.particle.Unduhpada 28
Desember 2012.
Alsagaff, H. and Mukty, H.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan
keempat. Surabaya: Erlangga University Press.
Amalia, M. 2010. Perkiraan Dampak Konsentrasi PM10 pada Kesehatan Masyarakat
di Jabodetabek. Majalah Perencanaan Pembangunan.
Balitbangkes Depkes RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Balitbangkes Depkes RI.
Bernard, S.M., et.al. 2001.The Potential Impacts Of Climate Variability And Change
On Air Pollution-Related Health Effects In The United States, Environmental
Health Perspectives, vol.109, no.2, pp.199-209.
Buletin Surveilans ISPA Berat di Indonesia (SIBI). 2013. Jakarta: RS sentinel SIBI.
Breysse, P.N.,et.al. 2010. Indoor Air Pollution and Asthma in Children. Proceedings
of American Thoracic Society, vol.7, pp 102-106.
Chandra, B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Cissy, B.K. 2010. Pneumonia Pembunuh pada Balita. Buletin Jendela Epidemiologi,
Vol.3.
Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Dirjen PPM & PLP
. 2002.Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Ditjen PPM &
PPLhttp://[email protected]
. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Depkes RI.
. 2009.Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Penafasan Akut. Ditjen P2P.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kejadian ISPA di Kota Tangerang Selatan
tahun 2012.
Djafri, D. 2007. Survival Analysis Gangguan Pernafasan dengan Tingkat Pajanan
Pencemaan Udara di DKI Jakarta (Studi Cohort Pada Murid Sekolah Dasar).
Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol.2.
EPA. 2004. Air Quality Criteria for Particulate Matter. Center for Environmental
Research Information Office of Research and Development.
http://ofmpub.epa.gov. Unduh pada 13 Februari 2013.
Ferdiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Fierro, M. 2000. Particulate Matter. Particulate Matter Singspace Handouts.
http://www.airinfonow.org/pdf. Unduh pada 28 Desember 2012.
Gamble, J.F. and Lewis, R.J. 1996. Health And Respirable Particulate (PM10) Air
Pollution: A Causal Or Statistical Association?, Environmental Health
Perspectives, vol.104, no.8, pp.838-850.
Gardinassi, L.G, et.al. 2012. Seasonality of viral respiratory infections in Southeast of
Brazil: the influence of temperature and air humidity. Brazilian Journal of
Microbiology, vol.43, no.1, pp. 98-108.
Hall, J.V., et.al. 1992.Valuing The Health Benefits Of Clean Air, Science, New
Series, vol.255, no.5046, pp.812-17.
Hamidi, P. 2002. Pajanan Debu dengan Kejadian Gangguan Pernafasan Studi Terhadap
Bayi dan Balita Pada Pemukiman di Jalan Transportasi Batubara, Kecamatan
Mataram, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Handajani, R. 2004. Analisis Konsentrasi PM2,5 dan Gangguan Pernafasan Pada
Anak Sekolah Dasar Negeri di Kota Palembang Tahun 2004. [Tesis]. Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.
Holopainen, R. et. al. 2010. Mitigating The Adverse Impact of Particulates on Indoor
Air . Helsinki.
Kementerian Kesehatan RI. 2001. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Sluran
Pernafasan Akut. Jakarta.
, Direktorat Jendral P2M dan PL. 2007. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.
Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan RI, No.829 Tahun 1999 TentangPersyaratan
Kesehatan Perumahan.
, No.1405 Tahun 2002 Mengenai Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri.
, No.1077 Tahun 2011 Mengenai Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah.
, No.1995 Tahun 2010 Mengenai Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Kleinman, M.T. 2000. The Health Effects of Air Pollution on Children. University of
California.http://www.aqmd.gov/forstudents/health_effects_on_children. Unduh
pada tanggal 12 Januari 2013.
Kunzli, N., et.al.2000. Public-health impact of outdoor and traffic-related air
pollution: a European assessment, The Lancet, vol.356, no.9232, pp.795-801.
Lameshow. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Hari kusnanto (Ed),
Dibyo Pramono (penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Lee, SC & Chang M. 1999. Indoor Air Quality Investigations at Five Classroom.
Indoor Air Journal,vol. 9, pp.134-138.
Lindawaty. 2010. Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal yang Mempengaruhi
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. [Tesis]. Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.
Lubis, A., dkk. 2000. Hubungan Kondisi Perumahan Dengan Penularan Penyakit
ISPA dan TB Paru. Artikel Media Litbang Kesehatan, vol.10, no. 2, pp: 27-31.
Mairusnita. 2007. Karakteristik Penderita ISPA yang Berobat ke Badan Pelayanan
Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD). Universitas Sumatera
Utara.
Martono,H., et.al. 2003. Kandungan TSP dan PM10 di Udara Jakarta dan Sekitarnya.
Jurnal Ekologi Kesehatan, vol.2,no.3, pp. 255-262.
Millatin, K, dkk. 2011. Hubungan Antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada
Balita di WilayahKerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang. Jurnal Gizi
dan Kesehatan, vol.3, no.1, pp. 16-28.
Moerdjoko. 2004. Kaitan Sistem Ventilasi Bangunan Dengan Keberadaan
Mikroorganisme Udara. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 32, no. 1, pp.89-94.
http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
Morton, Richard F. 2009. Panduan Studi Epidemiologi & StatistikaI. Jakarta: EGC.
Mukono, H. 2003. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan
Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press.
Munziah. 2002. Hubungan Konsentrasi Partikulat Melayang (PM10) Rumah dengan
Gangguan Saluran Pernafasan Studi Pada Bayi dan Balita di Kecamatan
Indramayu Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan Tahun 2002.
[Tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Naria, E., dkk. 2008. Hubungan Kondisi Rumah Dengan Keluhan Ispa PadaBalita Di
Wilayah Kerja Puskesmas TuntunganKecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008.
Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara.
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Padmonobo, H., dkk. Hubungan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan
Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang
Kabupaten Brebes. Jurnl Kesehatan Lingkungan Indonesia, vol.11, no.2, pp.
194-198.
Pangestika, Y.R & Pawenang, E.T. 2010. Hubungan Kondisi Lingkungan Terhadap
Kejadian Ispa Pada Balita Keluarga Pembuat Gula Aren. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, vol.5, no.2, pp.80-88.
Pope III, C., et.al.1996.Particulate air pollution as a predictor of mortality in the
perspective study of us adults, American Journal of Respiratory and Critical
Care Medicine, vol.151, pp.669-74.
Pramayu, A.P. 2012.Hubungan Konsentrasi PM10 Dalam Ruang Kelas dengan
Gangguan ISPA Siswa SD Kecamatan Cipayung Kota Depok Tahun 2012.
[Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.
Pudjiastuti, L, dkk. 1998. Kualitas Udara Dalam Ruang. Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta.
Purwana, R. 1999. Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernafasan
Anak Balita (Penelitian di Kelurahan Pekojan, Jakarta). [Disertasi]. Program
Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.
Rahajoe, N.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI.
Ranuh, I.G.N. 1997. Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak.Surabaya,
Continunig Education. Ilmu Kesehatan Anak
Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) DAN Penanggulangannya.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara.
Sabri, L & Hastono, S.P. 2006. Satistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sastrawijaya, A. Tresna. 2009. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemirat, J. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Press.
Stansfield S., Shepard, D. 2000. Acute respiratory infection. In: Jameson D, Mosley
W, Measham A, Bobadilla J, eds. Disease control priorities in developing
countries. Oxford: Oxford University Press, 1993: 67–90.
Suhandayani, I. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita di puskesmas pati I kabupaten pati tahun 2009. [Skripsi].Fakultas Ilmu
Keolahragaan jurusanIlmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga.
Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dan Praktik. Jakarta: EGC
Supriasa, et.al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sutrisna, B. 1999. Polusi Udara Indoor (IAP) Sebagai Faktor Resiko ISPA, Majalah
Kesehatan Masyarakat Indonesia, no.6.
Tangsel Raya. 2011. Polusi Debu Udara Tangsel Dapat Rapor Merah.
http://www.tangselraya.com/hot-news/47-home.html. Unduh pada 28 Desember
2012.
Tugaswati, T.A., dkk. 1996. Pemantauan Kualitas Udara di Daerah Rawasari dan
Pulo Gadung. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. vol. 24,no.1,
pp.2-5.
US. Environmental Protection Agency. 2002. Continous Measerement of PM10
Suspenden Particulate Matter in Ambient Air: An Overview. Center for
Environmental Research Information Office of Research and Development.
http://ofmpub.epa.gov. Unduh pada 13 Februari 2013.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada Press.
Wattimena, C.S. 2004. Faktor Lingkungan Rumah yang Mempengaruhi Hubungan
Kadar PM10 dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Puskesmas Curug
Kabupaten Tangerang Tahun 2004. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Widianingtias, R., dkk. 2004. Survei Cepat Gambaran Kondisi Fisik Rumah Kaitanya
denganKejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kebumen 2 Kabupaten Kebumen. 3 (2): 33-37.
WHO. 1997. Health Impacts of Low Indoor Temperatur. Copenhagen, Netherland.
. 1999. Guidelines for Air Quality. Geneva, Switzrland.
. 2002. Health Impact Assessment of Air Pollution in The Eight Major Italian Cities.
WHO EUROPEAN Centre for Environment and Health, Rome Operational
Division, WHO Regional Office for Europe.
. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer of Cildren.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2006. Unduh pada 13 Februari 2013.
. 2007. Infection prevention and control of epidemic-and pandemic-prone acute
respiratory diseases in health care. WHO Interim Guidelines, June 2007.
Jenewa.
Yusnabeti, dkk. 2010. PM10 dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Pekerja
Industri Mebel. Makara Kesehatan, nol. 14, no.1, pp.25-30.
Yusup, N.A & Sulistyorini, L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan
Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol.1, no.2, pp:110-
119.
Zaini, J. 2008. Dampak Polusi Udara Terhadap Kesehatan. Majalah Inovasi,vol.10.
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian
Lampiran 2
Kuesioner
Nomor Responden :
Tanggal Wawancara :
Pewawancara :
A. Data Umum
Nama :
Nama Sekolah :
Jenis Kelamin :
B. Gejala ISPA
Beri tanda checklist (ü) pada kolom Ya/Tidak
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah kamu mengalami batuk pada 2 minggu terakhir?
2. Apakah kamu mengalami pilek dalam 2 minggu terakhir?
3. Apakah kamu mengalami sesak nafas pada 2 minggu terakhir?
4. Apakah kamu mengalami panas/demam pada 2 minggu terakhir?
Lampiran 3
Lembar Observasi
1. Apakah jendela/lubang angin terhalang?
a. lemari
b. poster
c. papan tulis
2. Apakah terdapat kipas angin dalam ruang kelas?
a. tidak ada
b. ada
3. Apakah kipas angin digunakan saat belajar?
a. digunakan
b. tidak digunakan
4. Jenis lantai kelas
a. tanah
b. semen
c. keramik
5. Bagaimana kondisi lantai kelas?
a. kotor
b. bersih
Lampiran 4
Hasil Uji Statistik
1. Analisis Univariat
a. Gambaran Kejadian ISPA
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
ispa 24 25.00 85.11 60.1442 17.26703
Valid N (listwise) 24
b. Gambaran Suhu Kelas
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Suhu 24 26 34 30.58 2.244
Valid N (listwise) 24
c. Gambaran Kelembaban Kelas
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
kelembaban 24 57 65 61.50 2.187
Valid N (listwise) 24
d. Gambaran Kepadatan Hunian Dalam Kelas
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
kep_sis 24 .95 2.00 1.1813 .22011
Valid N (listwise) 24
e. Gambaran Luas Ventilasi Alami Kelas
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
luas_ventilasi 24 4.34 13.74 9.9638 2.68061
Valid N (listwise) 24
f. Ventilasi Alami Statistics
ventilasi_alami
N Valid 24
Missing 0 Mean .46 Median .00 Std. Deviation .509 Minimum 0 Maximum 1
Ventilasi_alami Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak baik 13 54.2 54.2 54.2
baik 11 45.8 45.8 100.0
Total 24 100.0 100.0
g. Ventilasi Buatan
Statistics
ventilasi_buatan
N Valid 24
Missing 0 Mean .33 Median .00 Std. Deviation .482 Minimum 0 Maximum 1
ventilasi_buatan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak baik 16 66.7 66.7 66.7
baik 8 33.3 33.3 100.0
Total 24 100.0 100.0
h. Lantai Kelas
Statistics keadaan_lantai
N Valid 24
Missing 0 Mean .29 Median .00 Std. Deviation .464 Minimum 0 Maximum 1
keadaan_lantai
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak baik 17 70.8 70.8 70.8
baik 7 29.2 29.2 100.0
Total 24 100.0 100.0
2. Analisis Bivariat
a. Uji Normalitas
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ispa .146 24 .199 .911 24 .038 suhu .147 24 .191 .946 24 .217 kelembaban .132 24 .200* .961 24 .451 kepadatan_hunian .134 24 .200* .065 24 .000 luas_ventilasi .118 24 .200* .954 24 .324 a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
b. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Correlations ispa suhu
Spearman's rho ispa Correlation Coefficient 1.000 .653**
Sig. (2-tailed) . .001
N 24 24
suhu Correlation Coefficient .653** 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .
N 24 24 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
c. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
Correlations ispa Kelembaban
Spearman's rho Ispa Correlation Coefficient
1.000 .487*
Sig. (2-tailed) . .016
N 24 24
Kelembaban Correlation Coefficient
.487* 1.000
Sig. (2-tailed) .016 .
N 24 24 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
d. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Correlations
ispa kepadatan_
hunian
Spearman's rho ispa Correlation Coefficient
1.000 -.510*
Sig. (2-tailed) . .011
N 24 24
kepadatan_hunian Correlation Coefficient
-.510* 1.000
Sig. (2-tailed) .011 .
N 24 24 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
e. Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Correlations ispa luas_ventilasi
Spearman's rho ispa Correlation Coefficient
1.000 .131
Sig. (2-tailed) . .541
N 24 24
luas_ventilasi Correlation Coefficient
.131 1.000
Sig. (2-tailed) .541 .
N 24 24
f. Hubungan Ventilasi Alami Kelas dengan Kejadian ISPA
Ranks
ventilasi_alami N Mean Rank Sum of Ranks
ispa tidak baik 13 14.54 189.00
Baik 11 10.09 111.00
Total 24
Test Statisticsa ispa
Mann-Whitney U 45.000 Wilcoxon W 111.000 Z -1.538 Asymp. Sig. (2-tailed) .124 a. Grouping Variable: ventilasi_alami
g. Hubungan Ventilasi Buatan Kelas dengan Kejadian ISPA
Ranks ventilasi_buatan N Mean Rank Sum of Ranks
ispa tidak baik 16 13.03 208.50
Baik 8 11.44 91.50
Total 24
Test Statisticsa ispa
Mann-Whitney U 55.500 Wilcoxon W 91.500 Z -.522 Asymp. Sig. (2-tailed) .602 a. Grouping Variable: ventilasi_buatan
h. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA
Ranks keadaan_lantai N Mean Rank Sum of Ranks
ispa tidak baik 17 12.59 214.00
Baik 7 12.29 86.00
Total 24
Test Statisticsa
ispa
Mann-Whitney U 58.000 Wilcoxon W 86.000 Z -.095 Asymp. Sig. (2-tailed) .924 a. Grouping Variable: keadaan_lantai
Descriptives
ventilasi_alami Statistic Std. Error
IR_ispa tidak baik Mean 65.31 4.367
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 55.79
Upper Bound 74.82
5% Trimmed Mean 66.23
Median 66.00
Variance 247.897
Std. Deviation 15.745
Minimum 29
Maximum 85
Range 56
Interquartile Range 24
Skewness -.955 .616
Kurtosis .763 1.191
baik Mean 52.00 6.225
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 38.13
Upper Bound 65.87
5% Trimmed Mean 51.61
Median 55.00
Variance 426.200
Std. Deviation 20.645
Minimum 26
Maximum 85
Range 59
Interquartile Range 41
Skewness .057 .661
Kurtosis -1.470 1.279
Descriptives
ventilasi_buatan Statistic Std. Error
IR_ispa tidak baik Mean 61.31 4.076
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 52.62
Upper Bound 70.00
5% Trimmed Mean 62.12
Median 63.50
Variance 265.829
Std. Deviation 16.304
Minimum 29
Maximum 79
Range 50
Interquartile Range 25
Skewness -.810 .564
Kurtosis -.208 1.091
baik Mean 55.00 8.548
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 34.79
Upper Bound 75.21
5% Trimmed Mean 54.94
Median 59.50
Variance 584.571
Std. Deviation 24.178
Minimum 26
Maximum 85
Range 59
Interquartile Range 50
Skewness .005 .752
Kurtosis -1.761 1.481
Descriptives
keadaan_lantai Statistic Std. Error
IR_ispa tidak baik Mean 60.06 4.500
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 50.52
Upper Bound 69.60
5% Trimmed Mean 60.57
Median 61.00
Variance 344.184
Std. Deviation 18.552
Minimum 26
Maximum 85
Range 59
Interquartile Range 24
Skewness -.569 .550
Kurtosis -.478 1.063
baik Mean 57.14 8.081
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 37.37
Upper Bound 76.92
5% Trimmed Mean 57.44
Median 65.00
Variance 457.143
Std. Deviation 21.381
Minimum 30
Maximum 79
Range 49
Interquartile Range 48
Skewness -.439 .794
Kurtosis -1.929 1.587
Lampiran 5
Besar Suhu Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Sekolah Suhu (0C)
No Sekolah Suhu (0C)
1. SDN 2 Ciputat 34 13. SDN 2 Serua Indah 30
2. SDN 3 Ciputat 30 14. SDN 3 Serua Indah 31
3. SDN 4 Ciputat 31 15. SDN 1 Sawah 30
4. SDN 5 Ciputat 26 16. SDN 3 Sawah 34
5. SDN 7 Ciputat 28 17. SDN 4 Sawah 31
6. SDN 8 Ciputat 30 18. SDN 1 Sawah Baru 28
7. SDN 9 Ciputat 32 19. SDN 2 Sawah Baru 30
8. SDN 3 Cipayung 34 20. SDN 3 Jombang 31
9. SDN 4 Cipayung 28 21. SDN 4 Jombang 31
10 SDN 1 Serua 29 22. SDN 5 Jombang 32
11. SDN 3 Serua 33 23. SDN 6 Jombang 27
12. SDN 5 Serua 34 24. SDN 11 Jombang 30
Lampiran 6
Besar Kelembaban Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Sekolah Kelembaban (%) No Sekolah Kelembaban
(%) 1. SDN 2 Ciputat 65 13. SDN 2 Serua Indah 60
2. SDN 3 Ciputat 63 14. SDN 3 Serua Indah 61
3. SDN 4 Ciputat 63 15. SDN 1 Sawah 61
4. SDN 5 Ciputat 57 16. SDN 3 Sawah 63
5. SDN 7 Ciputat 58 17. SDN 4 Sawah 62
6. SDN 8 Ciputat 60 18. SDN 1 Sawah Baru 61
7. SDN 9 Ciputat 62 19. SDN 2 Sawah Baru 64
8. SDN 3 Cipayung 63 20. SDN 3 Jombang 65
9. SDN 4 Cipayung 58 21. SDN 4 Jombang 60
10. SDN 1 Serua 59 22. SDN 5 Jombang 63
11. SDN 3 Serua 62 23. SDN 6 Jombang 62
12. SDN 5 Serua 60 24. SDN 11 Jombang 64
Lampiran 7
Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Kepadatan
Hunian (m2/siswa)
No Nama Sekolah Kepadatan
Hunian (m2/siswa)
1. SDN 2 Ciputat 1,15 13. SDN 2 Serua Indah 1,11
2. SDN 3 Ciputat 1,04 14. SDN 3 Serua Indah 1,41
3. SDN 4 Ciputat 0,98 15. SDN 1 Sawah 1,32
4. SDN 5 Ciputat 2,01 16. SDN 3 Sawah 1,13
5. SDN 7 Ciputat 1,36 17. SDN 4 Sawah 0,97
6. SDN 8 Ciputat 1,36 18. SDN 1 Sawah Baru 1,14
7. SDN 9 Ciputat 0,97 19. SDN 2 Sawah Baru 1,21
8. SDN 3 Cipayung 1,10 20. SDN 3 Jombang 1,14
9. SDN 4 Cipayung 1,25 21. SDN 4 Jombang 1,01
10. SDN 1 Serua 0,95 22. SDN 5 Jombang 1,20
11. SDN 3 Serua 1,08 23. SDN 6 Jombang 1,31
12. SDN 5 Serua 1,04 24. SDN 11 Jombang 1,14
Lampiran 8
Besar Luas Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Luas
Ventilasi Alami (m2)
No Nama Sekolah Luas
Ventilasi Alami (m2)
1. SDN 2 Ciputat 11,06 13. SDN 2 Serua Indah 9,73
2. SDN 3 Ciputat 9,53 14. SDN 3 Serua Indah 13,74
3. SDN 4 Ciputat 8,67 15. SDN 1 Sawah 6,65
4. SDN 5 Ciputat 13,74 16. SDN 3 Sawah 12,43
5. SDN 7 Ciputat 7,97 17. SDN 4 Sawah 5,72
6. SDN 8 Ciputat 9,37 18. SDN 1 Sawah Baru 4,34
7. SDN 9 Ciputat 13,50 19. SDN 2 Sawah Baru 10,08
8. SDN 3 Cipayung 10,05 20. SDN 3 Jombang 12,88
9. SDN 4 Cipayung 7,20 21. SDN 4 Jombang 5,98
10. SDN 1 Serua 10,05 22. SDN 5 Jombang 12,53
11. SDN 3 Serua 9,35 23. SDN 6 Jombang 11,04
12. SDN 5 Serua 10,44 24. SDN 11 Jombang 13,08
Lampiran 9
Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Aliran Udara Jendela yang dibuka Kesimpulan
1. SDN 2 Ciputat Terhalang lemari dan beberapa poster di lubang angin
3 dari 7 Tidak baik
2. SDN 3 Ciputat Tidak terhalang 4 dari 8 Baik
3. SDN 4 Ciputat Tidak terhalang 0 dari 6 Tidak baik
4. SDN 5 Ciputat Tidak terhalang 4 dari 8 Baik
5. SDN 7 Ciputat Tidak terhalang 6 dari 6 Baik
6. SDN 8 Ciputat Tidak terhalang 8 dari 8 Baik
7. SDN 9 Ciputat Terhalang lemari kelas dan papan tulis kecil
0 dari 7 Tidak baik
8. SDN 3 Cipayung Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
9. SDN 4 Cipayung Tidak terhalang 3 dari 8 Tidak baik
10. SDN 1 Serua Tidak terhalang 6 dari 8 Baik
11. SDN 3 Serua Terhalang lemari 3 dari 8 Tidak baik
12. SDN 5 Serua Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
13. SDN 2 Serua Indah Terhalang papan dan poster 2 dari 7 Tidak baik
14. SDN 3 Serua Indah Terhalang lemari dan poster 3 dari 7 Tidak baik
15. SDN 1 Sawah Tidak terhalang 3 dari 8 Tidak baik
16. SDN 3 Sawah Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
17. SDN 4 Sawah Tidak terhalang 4 dari 8 Baik
18. SDN 1 Sawah Baru Tidak terhalang 2 dari 3 Tidak baik
19. SDN 2 Sawah Baru Tidak terhalang 2 dari 6 Tidak baik
20. SDN 3 Jombang Terhalang lemari dan poster di lubang angin
4 dari 8 Tidak baik
21. SDN 4 Jombang Tidak terhalang 0 dari 8 Tidak baik
22. SDN 5 Jombang Terhalang poster dan papan tulis kecil
3 dari 7 Tidak baik
23. SDN 6 Jombang Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
24. SDN 11 Jombang Terhalang lemari kelas 4 dari 8 Tidak baik
Lampiran 10
Ventilasi Buatan Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Keberadaan Kipas Angin
Pemakaian Kipas Angin Kesimpulan
1. SDN 2 Ciputat Ada Digunakan Baik
2. SDN 3 Ciputat Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
3. SDN 4 Ciputat Ada Tidak digunakan Tidak baik
4. SDN 5 Ciputat Ada Digunakan Baik
5. SDN 7 Ciputat Ada Digunakan Baik
6. SDN 8 Ciputat Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
7. SDN 9 Ciputat Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
8. SDN 3 Cipayung Ada Tidak digunakan Tidak baik
9. SDN 4 Cipayung Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
10. SDN 1 Serua Ada Tidak digunakan Tidak baik
11. SDN 3 Serua Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
12. SDN 5 Serua Ada Digunakan Baik
13. SDN 2 Serua Indah Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
14. SDN 3 Serua Indah Ada Tidak digunakan Tidak baik
15. SDN 1 Sawah Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
16. SDN 3 Sawah Ada Tidak digunakan Tidak baik
17. SDN 4 Sawah Ada Digunakan Baik
18. SDN 1 Sawah Baru Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
19. SDN 2 Sawah Baru Ada Digunakan Baik
20. SDN 3 Jombang Ada Tidak digunakan Tidak baik
21. SDN 4 Jombang Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
22. SDN 5 Jombang Ada Digunakan Baik
23. SDN 6 Jombang Ada Digunakan Baik
24. SDN 11 Jombang Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
Lampiran 11
Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Jenis Lantai
Kondisi Lantai Kelas Kesimpulan
1. SDN 2 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
2. SDN 3 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
3. SDN 4 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
4. SDN 5 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
5. SDN 7 Ciputat Keramik Bersih Baik
6. SDN 8 Ciputat Keramik Bersih Baik
7. SDN 9 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
8. SDN 3 Cipayung Keramik Bersih Baik
9. SDN 4 Cipayung Keramik Kotor Tidak baik
10. SDN 1 Serua Keramik Kotor Tidak baik
11. SDN 3 Serua Keramik Bersih Baik
12. SDN 5 Serua Keramik Kotor Tidak baik
13. SDN 2 Serua Indah Keramik Kotor Tidak baik
14. SDN 3 Serua Indah Keramik Kotor Tidak baik
15. SDN 1 Sawah Keramik Kotor Tidak baik
16. SDN 3 Sawah Keramik Kotor Tidak baik
17. SDN 4 Sawah Keramik Bersih Baik
18. SDN 1 Sawah Baru Keramik Kotor Tidak baik
19. SDN 2 Sawah Baru Keramik Kotor Tidak baik
20. SDN 3 Jombang Keramik Kotor Tidak baik
21. SDN 4 Jombang Keramik Kotor Tidak baik
22. SDN 5 Jombang Keramik Kotor Tidak baik
23. SDN 6 Jombang Keramik Bersih Baik
24. SDN 11 Jombang Keramik Bersih Baik
Lampiran 12
Dokumentasi Lapangan