Author
truongtram
View
227
Download
0
Embed Size (px)
HUBUNGAN KONSENTRASI PM10 DAN FAKTOR LINGKUNGAN
DALAM RUMAH DENGAN KELUHAN INFEKSI SALURAN
PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS
RAWA TERATE KECAMATAN CAKUNG TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
RIZKI ZAHROTUL HAYATI
1113101000059
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
HUBUNGAN KONSENTRASI PM10 DAN FAKTOR LINGKUNGAN
DALAM RUMAH DENGAN KELUHAN INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS
RAWA TERATE KECAMATAN CAKUNG TAHUN 2017
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Sidang
Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
Rizki Zahrotul Hayati
NIM. 1113101000059
Tangerang Selatan, Januari 2017
Mengetahui,
Pembimbing
Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D
NIP. 19750316 200710 2 001
iii
PANITIA SIDANG SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tangerang Selatan, 28 Desember 2017
Mengetahui,
Penguji I
Dr. Ela Laelasari, S.KM, M.Kes
NIP. 19721002 200604 2 001
Penguji II
dr. Yuli Prapanca Satar, MARS
NIP. 19530730 198011 1 001
Penguji III
Dr. dr. Satria Pratama, Sp.P
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan sebagai salah
satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S-1) Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan tiruan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang Selatan, Desember 2017
Rizki Zahrotul Hayati
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Desember 2017
RIZKI ZAHROTUL HAYATI, NIM: 1113101000059
Hubungan Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan Dalam Rumah Dengan
Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017
(xix +120 halaman, 2 bagan, 27 Tabel, 8 Gambar, 3 Lampiran)
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan
bagi negara berkembang, terutama di Indonesia. Balita merupakan kelompok
dengan kejadian ISPA tertinggi di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta merupakan
salah satu provinsi yang angka period prevalence nya lebih tinggi dari angka
period prevalence Nasional. Kelurahan Rawa Terate merupakan daerah dimana
terdapat area perindustrian tertua di Jakarta yang bernama Kawasan Industri
Pulogadung. Keluhan ISPA dapat terjadi akibat pencemaran udara baik di dalam
ataupun di luar rumah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi
PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional
dengan pendekatan kuantitatif dan dilakukan pada bulan Juli sampai September
2017. Besar sampel dalam penelitian ini yaitu 115 balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami
keluhan ISPA sebesar 79,1%. Konsentrasi PM10 berhubungan makna dengan
keluhan ISPA pada balita (p-value 0,05). Beberapa variabel dalam penelitian ini tidak memenuhi
syarat seperti PM10, ventilasi, suhu, pencahayaan, kepadatan hunian, dan anggota
keluarga yang merokok.
Disarankan kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas udara dalam
rumah dengan cara sistem cross ventilation atau membuka jendela saat pagi hari
(jam 08.00 WIB) dan menutup jendela pada siang dan sore hari, memelihara
tanaman di teras dan area dapur sebagai barrier terhadap polutan, dan masyarakat
disarankan untuk tidak merokok. Untuk mengurangi paparan terhadap PM10,
masyarakat disarankan untuk menggunakan masker seperti masker biasa (face
mask/surgical mask) atau masker respirator N95 jika melakukan kegiatan di luar
rumah.
Kata Kunci: PM10, faktor lingkungan dalam rumah, keluhan ISPA, balita
Daftar Bacaan: 100 (1994-2017)
vi
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Under Graduated Thesis, December 2017
RIZKI ZAHROTUL HAYATI, NIM: 1113101000059
Relationship between Particulate Matter (PM10) Concentration and House
Environmental Factor with Acute Respiratory Infection (ARI) complaints on
Children Under Five in Rawa Terate Health Centre, Cakung Sub-district in
2017
(xix +120 pages, 2 charts, 27 tables, 8 pictures, 3 attachments )
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) still become health problem for
developing countries, especially in Indonesia. Children under five are the group
with the highest incidence of ARI in Indonesia. DKI Jakarta Province is one of the
provinces that have higher period prevalence of ARI than the national period
prevalence. Rawa Terate village is an area where the oldest industrial area in
Jakarta called Pulogadung Industrial Estate is located. ARI complaints can occur
due to air pollution both inside and outside the home.
This study aims to determine the relationship between PM10 concentration
and house environmental factors with ARI complaints on children under five in
Rawa Terate Health Center. The design is cross sectional with quantitative
approach and conducted from July to September 2017. The number of sample in
this research is 115 children under five.
The results showed that the proportion of ARI symptoms in children under
five was 79,1%. PM10 concentration has significant relationship with ARI
complaints on children under five relatively (p 0.05). Some of variables in this research did not meet the legal requirements
such as PM10, ventilation, temperature, lighting, occupancy density and smoking
family members.
It is suggested to the community to improve indoor air quality by cross
ventilation system or opening windows in the morning (at 08.00 WIB) and closing
the windows during the day and evening, keep the plants on terrace and kitchen
area as a barrier to against pollutants, and people are advised not to smoke. To
reduce exposure of PM10, people are encouraged to use masks such as face
mask/surgical mask or N95 respiratory mask, when doing outdoor activities.
Keywords: PM10, house environmental factor, ARI complaints, children under
five
References: 100 (1994-2017)
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama Lengkap : Rizki Zahrotul Hayati
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 7 Mei 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Komplek Departemen Agama Jl Walisongo III
Blok D No. 105 Rt 07/15 Kel. Pabuaran Kec.
Bojonggede, Kab. Bogor 16921
Email : [email protected]
No. Hp : 082297292187
Riwayat Pendidikan
1. TK Nurul Fajar, lulus pada tahun 2001
2. SD Negeri 04 Citayam, lulus pada tahun 2007
3. SMP Negeri 1 Depok, lulus pada tahun 2010
4. SMA Negeri 5 Depok, lulus pada tahun 2013
5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, tahun 2013-sekarang
Pengalaman Organisasi
2009-2010 Wakil Ketua Divisi Komunikasi dan Media ROHIS
SMA Negeri 5 Depok
2015-2016 Staff Pengabdian Masyarakat Ikatan Senat
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia
Daerah Jakarta Raya
2015-2016 Wakil Sekretaris ENVIHSA (Environmental Health
Student Association) UIN Jakarta
2015-2016 Volunteer Greenpeace Indonesia
2016-2017 Sekretaris ENVIHSA (Environmental Health
Student Association) UIN Jakarta
mailto:[email protected]
viii
Pengalaman Praktek Kerja
1. Pengalaman Belajar Lapangan di Puskesmas Kecamatan Rajeg,
Kabupaten Tangerang tahun 2016
2. Kerja Praktek di bagian Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan
BBTKLPP Jakarta tahun 2017
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Hubungan Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan
Dalam Rumah dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskesmas Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017 dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Bapak Zainuddin S.PdI dan Ibu Dra.
Sumiyati, adik Rizaldi Aziz Zain yang selalu ada dan siap membantu
serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril dan
materil, motivasi serta doa yang tiada henti.
2. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya dalam
penyusunan skripsi ini sehingga terselesaikan dengan baik.
3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan persetujuan
dalam permohonan izin penelitian di tempat penelitian.
4. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat sekaligus Pembimbing Akademik yang telah
memberikan saran, arahan selama penyusunan skripsi.
5. Pihak Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, Puskesmas Kecamatan
Cakung, Puskesmas Kelurahan Rawa Terate serta ibu-ibu kader yang
telah memberikan izin dan membantu dalam proses pengambilan data
penelitian.
6. Innes Alpionika, S.Si, Arin Erma Sari, Nadiah Mahmudah, Dzul
Faridah AH, S.KM, Mega Saraswati, Zidti Imaroh S.Kep yang selalu
x
memberikan doa, dukungan, serta semangat selama penyusunan
skripsi ini.
7. Annisa Ayu SL, S.KM, Rai Syifa Fauziah, Finni Rizki Putri,
Sofiyullah, S.KM, Darmawan Abiyanto, Muhammad Farhan, Aftah
Naufal RL, dan Sani Rizky F yang telah memberikan doa, dukungan,
serta semangat kepada penulis.
8. Seluruh teman-teman Kesehatan Masyarakat UIN angkatan 2013 dan
peminatan Kesehatan Lingkungan 2013 yang telah banyak
memberikan bantuan, semangat dan doa dalam penyusunan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
dapat dijadikan sebagai bahan masukan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Aamiin.
Tangerang Selatan, Desember 2017
Rizki Zahrotul Hayati
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................................... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvii
DAFTAR BAGAN xviii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xix
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xx
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 6
1.4 Tujuan .............................................................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 7
1.5 Manfaat ............................................................................................................ 8
1.5.1 Bagi Peneliti ............................................................................................. 8
1.5.2 Bagi Masyarakat ....................................................................................... 8
1.5.3 Bagi Instansi Pemerintah .......................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 11
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ....................................................... 11
2.1.1 Pengertian ISPA ..................................................................................... 11
2.1.2 Penyebab ISPA ....................................................................................... 12
2.1.3 Klasifikasi ISPA pada Balita .................................................................. 13
2.1.4 Mekanisme Terjadinya ISPA ................................................................. 14
2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA .......................................................................... 15
xii
2.2 Faktor Risiko ISPA ........................................................................................ 16
2.2.1 Faktor Agen ............................................................................................ 16
2.2.1.1 Agen Biologi ................................................................................. 16
2.2.1.2 Agen Fisik ..................................................................................... 16
2.2.1.2.1 Particulate Matter (PM10) ...................................................... 16
2.2.1.2.1.1 Definisi, Karakteristik, dan Sumber .................................. 16
2.2.1.2.1.2 Mekanisme Pajanan PM10 ke Tubuh Manusia .................. 17
2.2.1.2.1.3 Nilai Ambang Batas PM10 ................................................. 18
2.2.1.3 Agen Kimia ................................................................................... 18
2.2.2 Faktor Pejamu ......................................................................................... 19
2.2.2.1 Usia ............................................................................................... 19
2.2.2.2 Jenis Kelamin................................................................................ 20
2.2.2.3 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ................................................ 20
2.2.2.4 Status Gizi ..................................................................................... 21
2.2.2.5 Status Imunisasi ............................................................................ 22
2.2.3 Faktor Lingkungan ................................................................................. 23
2.2.3.1 Lingkungan Dalam Rumah ........................................................... 23
2.2.3.1.1 Kondisi Fisik Rumah ............................................................ 24
2.2.3.1.2 Kepadatan Hunian ................................................................. 30
2.2.3.1.3 Kegiatan Rumah .................................................................... 31
2.3 Kerangka Teori .............................................................................................. 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS .............................................................................................. 37
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 37
3.2 Definisi Operasional ...................................................................................... 39
3.3 Hipotesis ........................................................................................................ 43
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 44
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 44
4.2.1 Tempat Penelitian ................................................................................... 44
4.2.2 Waktu Penelitian .................................................................................... 44
4.3 Populasi dan Sampel ...................................................................................... 44
4.3.1 Populasi .................................................................................................. 44
4.3.2 Sampel .................................................................................................... 45
4.3.3 Besar Sampel .......................................................................................... 45
xiii
4.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................ 47
4.4 Pengumpulan Data ......................................................................................... 48
4.5 Instrumen Penelitian ...................................................................................... 49
4.6 Pengolahan Data ............................................................................................ 62
4.7 Validitas Data ................................................................................................. 63
4.8 Analisis Data .................................................................................................. 63
4.8.1 Analisis Univariat ................................................................................... 63
4.8.2 Analisis Bivariat ..................................................................................... 63
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 65
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ........................................................... 65
5.1.1 Letak Geografis ...................................................................................... 65
5.1.2 Kependudukan ........................................................................................ 66
5.2 Analisis Univariat .......................................................................................... 66
5.2.1 Gambaran Keluhan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............................... 66
5.2.2 Gambaran Karakteristik Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017 ........................................................................................................ 67
5.2.2.1 Usia Balita .................................................................................... 67
5.2.2.2 Jenis Kelamin................................................................................ 67
5.2.2.3 Status Gizi ..................................................................................... 68
5.2.2.4 Status Imunisasi ............................................................................ 68
5.2.2.5 Status BBLR ................................................................................. 68
5.2.3 Gambaran Konsentrasi PM10 dalam Rumah di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .................................................................................. 69
5.2.4 Gambaran Faktor Lingkungan Dalam Rumah di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .................................................................................. 70
5.2.4.1 Ventilasi ........................................................................................ 70
5.2.4.2 Suhu .............................................................................................. 70
5.2.4.2 Kelembaban .................................................................................. 71
5.2.4.3 Pencahayaan ................................................................................. 71
5.2.4.4 Letak Dapur .................................................................................. 72
5.2.4.5 Lubang Asap Dapur ...................................................................... 72
5.2.4.6 Kepadatan Hunian ........................................................................ 73
5.3.4.8 Anggota Keluarga yang Merokok ................................................. 73
5.3 Analisis Bivariat ............................................................................................. 74
5.3.1 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............................. 74
xiv
5.3.2 Hubungan Faktor Lingkungan Dalam Rumah dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............................. 75
5.3.2.1 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita .............. 75
5.3.2.2 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA ........................................ 76
5.3.2.3 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA ............................ 77
5.3.2.4 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA ........................... 78
5.3.2.5 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA ............................ 79
5.3.2.6 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA ............... 80
5.3.2.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA .................. 81
5.3.2.8 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA ............................................................................................. 82
BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................................... 84
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 84
6.2 Keluhan ISPA pada Balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate .................... 84
6.3 Analisis Hubungan Konsentrasi PM10 Dalam Rumah dengan Keluhan ISPA pada Balita ............................................................................................ 86
6.4 Analisis Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita ................. 91
6.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita ........................ 94
6.6 Analisis Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita ............ 96
6.7 Analisis Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita ........... 98
6.8 Analisis Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita .......... 100
6.9 Analisis Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita101
6.10 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita 103
6.11 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan
ISPA pada Balita .......................................................................................... 105
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 108
7.1 Simpulan ...................................................................................................... 108
7.2 Saran ............................................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 112
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks ... 22
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ........................................................... 39
Tabel 4.1 Besar Sampel dalam Penelitian Sebelumnya berdasarkan Faktor Risiko
Terjadinya Keluhan ISPA ..................................................................... 46
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ...................................... 66
Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............ 67
Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ....... 67
Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............ 68
Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 .... 68
Tabel 5.6 Distribusi Status BBLR di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ......... 69
Tabel 5.7 Distribusi Konsentrasi PM10 dalam Rumah Balita di Puskemas Rawa
Terate Tahun 2017 ................................................................................ 69
Tabel 5.8 Distribusi Ventilasi di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............. 70
Tabel 5.9 Distribusi Suhu di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .................... 70
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 71
Tabel 5.11 Distribusi Pencahayaan di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 71
Tabel 5.12 Distribusi Letak Dapur di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 72
Tabel 5.13 Distribusi Keberadaan Lubang Asap Dapur di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 ............................................................................. 72
Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017 ................................................................................................... 73
Tabel 5.15 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 ............................................................................. 73
Tabel 5.16 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ......................... 74
Tabel 5.17 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017................................................................... 75
Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017................................................................... 76
%5bSidang%20Skripsi%5d%20Hari%20Kamis%20Bismillah!.doc#_Toc500802649
xvi
Tabel 5.19 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 77
Tabel 5.20 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 78
Tabel 5.21 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 79
Tabel 5.22 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 80
Tabel 5.23 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 81
Tabel 5.24 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ......................... 82
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas kurang dari
10m2 ........................................................................................................ 58
Gambar 4.2 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas antara 10 m2
sampai 100 m2 ........................................................................................ 59
Gambar 4.3 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas lebih dari
100 m2 ..................................................................................................... 59
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kelurahan Rawa Terate Kecamatan Cakung ................... 65
Gambar 6.1 Masker biasa (face mask atau surgical mask) ........................................ 91
Gambar 6.2 Masker respirator N95 ............................................................................ 91
Gambar 6.3 Cross ventilation saat kondisi tidak memungkinkan untuk menempatkan
jendela pada dinding berhadapan ........................................................... 93
Gambar 6.4 Cross ventilation saat kondisi hanya memungkinkan penempatan jendela
pada satu dinding saja ............................................................................. 94
file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641028file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641028file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641029file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641029file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641030file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641030file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641031file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641032file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641033file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641034file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641034file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641035file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641035
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ........................................................................ 36
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ..................................................................... 38
file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641076file:///D:/KULIAH/SKRIPSI/Data%20Hasil%20Skripsi/Sidang%20Skripsi/%5bRevisi%20Skripsi%5d%20Rizki%20Zahrotul%20Hayati.doc%23_Toc502641077
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Studi Pendahuluan dan Pengambilan Data
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Output Hasil Penelitian
xx
DAFTAR ISTILAH
AC : Air Conditioner
BB/TB : Berat Badan menurut Tinggi Badan
BB/U : Berat Badan menurut Umur
BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah
BCG : Bacillus Calmette Guerin
CFR : Case Fatality Rate
DPT : Difteri, Pertusis, dan Tetanus
EPAM : Environmental Particulate Air Monitor
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
KMS : Kartu Menuju Sehat
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
OR : Odds Ratio
PM : Particulate Matter
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SIRS : Sistem Informasi Rumah Sakit
Susenas : Survei Kesehatan Nasional
TB/U : Tinggi Badan menurut Umur
TBC : Tuberculosis
TSP : Total Suspended Particulate
US EPA : United State Environmental Protection Agency
WHO : World Health Organization
1
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi penyebab
utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Berdasarkan data WHO
tahun 2011, ISPA menyumbang 15% penyebab kematian anak usia dibawah lima
tahun di seluruh dunia. Diperkirakan 40% dari total kematian tersebut berada di
negara berkembang yaitu Bangladesh, India, Indonesia, dan Nepal (Mathew dkk.,
2011). Di Asia Tenggara tahun 2013, ISPA menyumbang 17% penyebab kematian
anak usia dibawah lima (WHO, 2015). Sedangkan di Indonesia tahun 2013, ISPA
menyumbang 16% penyebab kematian balita akibat ISPA. Pada Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, period prevalence ISPA di Indonesia sebesar 25%
tidak jauh berbeda dengan data Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 25,5%. Selain itu,
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 kelompok umur 1-4 tahun merupakan
kelompok dengan kejadian ISPA tertinggi sebesar 25,8% (Kementerian Kesehatan
RI, 2013a).
Seseorang dikatakan mengalami ISPA bukan pneumonia apabila terdapat satu
atau lebih gejala yaitu pilek, batuk, demam, nyeri tenggorok, suara serak
(Kementerian Kesehatan RI, 2002; WHO, 2007). Keluhan ISPA yang sering muncul
yaitu batuk dan pilek. Episode batuk dan pilek pada balita di Indonesia diperkirakan
2 sampai 3 kali per tahun (Rudan dkk., 2008). Berdasarkan data Survei Kesehatan
Nasional (Susenas) tahun 2014, keluhan kesehatan yang sering dialami balita di
2
Indonesia adalah pilek (58,32%), batuk (57,62%), dan panas (53,90%) (KPPPA,
2015).
Kejadian ISPA bisa terjadi karena pencemaran kualitas udara baik di luar
ruangan maupun di dalam ruangan. Pencemaran kualitas udara memberikan dampak
yang kurang baik bagi kesehatan manusia. Pencemaran udara yang terjadi di luar
ruangan dapat pula terjadi di dalam ruangan, dikarenakan partikel polutan luar
ruangan dapat masuk ke lingkungan dalam rumah. Partikel polutan tersebut dapat
menjadi salah satu faktor risiko terhadap perkembangan penyakit pernapasan seperti
asma, bronkitis, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronik (Jang dkk., 2016).
Studi United State Environmental Protection Agency (US EPA) tentang peluang
manusia terpapar polusi mengindikasikan bahwa derajat polusi udara dalam ruang
bisa dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan polusi luar ruangan
(Kementerian Sosial, 2005).
Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah
kesehatan terutama ISPA. Sebagian besar (80%-90%) waktu balita setiap harinya
berada di dalam rumah, dimana terdapat pajanan polusi udara dalam rumah
diantaranya adalah PM10. Maka risiko balita tersebut terkena ISPA juga cukup tinggi.
Hal ini sejalan dengan data dari World Health Statistic (2016) bahwa polusi udara
dalam rumah dapat meningkatkan risiko terkena ISPA pada balita. Hasil penelitian
Farieda (2009), disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PM10
dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-value 0,000. Selain itu dari
hasil analisis diperoleh nilai OR 56,536, yang artinya PM10 diatas nilai ambang batas
(>70 g/m3) mempunyai risiko 56,536 kali untuk terjadi ISPA pada balita
dibandingkan PM10 dibawah nilai ambang batas (70 g/m3).
3
Faktor risiko lain yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu
faktor lingkungan dalam rumah seperti kondisi fisik rumah (ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, konstruksi dinding, jenis lantai, dan lubang
asap dapur), kepadatan hunian, dan kegiatan dalam rumah (jenis bahan bakar
memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga yang terkena ISPA, dan
keberadaan hewan peliharaan dalam rumah). Berdasarkan penelitian kejadian ISPA
pada balita di Kabupaten Wonosobo, faktor lingkungan fisik rumah seperti ventilasi,
kelembaban, dinding rumah, cerobong asap, kepadatan hunian, jenis bahan bakar
masak, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga yang terkena ISPA, serta
adanya hewan peliharaan dirumah menunjukkan adanya hubungan bermakna dengan
kejadian ISPA pada balita (Afandi, 2012).
Angka prevalensi ISPA dalam sebulan terakhir atau period prevalence di
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 adalah 25,2% dan melewati prevalensi
nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2013b). Berdasarkan data period prevalence
ISPA menurut kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Timur pada
tahun 2013 angka period prevalence ISPA di Kota Jakarta Timur meningkat dari
26,6% menjadi 26,9% (Kementerian Kesehatan RI, 2013b). Data hasil rekapan
tahunan di Puskesmas Kelurahan Rawa Terate menunjukkan bahwa gejala penyakit
yang paling banyak terjadi adalah ISPA dan Asma (Putri, 2012). Berdasarkan data
penyakit bulan Januari hingga Mei tahun 2017 di Puskesmas Rawa Terate, jumlah
kasus ISPA pada balita mencapai 686 kasus, dengan angka prevalens sebesar 382 per
1000 penduduk balita. Kelurahan Rawa Terate merupakan daerah dimana terdapat
area perindustrian tertua di Jakarta yaitu Kawasan Industri Pulogadung. Selain itu,
jalan raya disekitar Kelurahan Rawa Terate merupakan jalan raya yang sering
4
dilewati oleh transportasi dikarenakan jalur utama menuju kawasan industri
Pulogadung.
Semakin banyaknya industri, transportasi dan jalan raya maka akan
meningkatkan konsentrasi polutan seperti partikulat dan Total Suspended Particulate
(TSP). TSP merupakan indikator pertama yang digunakan untuk mewakili partikel
tersuspensi yang ada di udara ambien. TSP merupakan partikel yang berukuran
sampai sekitar 50 m. Namun, di dalam TSP juga terkandung PM10 dan PM2,5 yang
dapat masuk ke paru-paru (Arajo dkk., 2014) dan diperkirakan di dalam konsentrasi
TSP terdapat 60% kandungan PM10 (Dockery dan Pope III, 1994). Berdasarkan data
pengukuran yang dilakukan oleh BPLHD Jakarta, konsentrasi TSP tertinggi pada
tahun 2015 mencapai 315 g/m3. Sedangkan baku mutu untuk konsentrasi TSP yang
telah ditentukan oleh PP No. 41 Tahun 1999, yaitu sebesar 230 g/m3 dan baku mutu
PM10 adalah sebesar 150 g/m3. Jika dilihat dari konsentrasi TSP di Kelurahan Rawa
Terate pada tahun 2015 mencapai angka 315 g/m3, dan 60% nya adalah konsentrasi
PM10 sebesar 189 g/m3. Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi TSP dan
PM10 di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung telah melebihi baku mutu yang
telah ditetapkan dan menjadi masalah serius.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 30 responden
yang ada di Kelurahan Rawa Terate, menunjukkan bahwa sebanyak 23 responden
(76,7%) mengalami keluhan ISPA pada balita, dengan keluhan terbanyak adalah
pilek (46,7%), batuk (40%), dan demam (33,3%). Sebagian besar responden
mengalami keluhan tersebut selama 3 hari. Sedangkan, hasil studi pendahuluan untuk
lingkungan dalam rumah seperti suhu dan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat
yang telah ditetapkan. Selain itu, sebanyak 63,3% atau 19 responden memiliki
5
hunian yang padat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anthony (2008),
variabel suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan gangguan ISPA pada
balita dengan nilai OR 4,49 artinya, balita yang tinggal di dalam rumah dengan suhu
tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 4,49 kali untuk terkena gangguan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi
syarat. Selain itu, hasil penelitian Anthony (2008) juga menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara variabel kepadatan hunian dengan gangguan ISPA.
Hasil analisis tersebut didapatkan nilai OR sebesar 4,57 artinya risiko menderita
gangguan ISPA pada balita yang tinggal dalam rumah yang padat huni sebesar 4,57
kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian
yang memenuhi syarat yaitu lebih dari 10 m2 per jiwa.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan
antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Puskesmas Kelurahan Rawa
Terate tahun 2017.
1.2 Rumusan Masalah
Penyakit ISPA masih menjadi masalah kesehatan bagi negara berkembang,
terutama di Indonesia. Balita merupakan kelompok umur yang banyak mengalami
gejala penyakit tersebut. Keluhan ISPA yang sering muncul adalah batuk, pilek, dan
demam. Salah satu provinsi yang masih cukup tinggi kejadian ISPA nya adalah
Provinsi DKI Jakarta, dilihat dari angka period prevalence ISPA nya yang masih
melewati period prevalence Nasional yaitu 25,2%. Kota Jakarta Timur merupakan
salah satu kota administratif di Provinsi DKI Jakarta yang mengalami peningkatan
angka period prevalence. Pada tahun 2007, period prevalence kota Jakarta Timur
6
sebesar 26,6% mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 26,9%. Kelurahan
Rawa Terate merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur. Jumlah kasus ISPA pada balita di bulan Januari hingga Mei
tahun 2017 di Puskesmas Rawa Terate mencapai 686 kasus, dengan angka prevalens
sebesar 382 per 1000 penduduk balita. Kejadian ISPA di daerah Kelurahan Rawa
Terate dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu agen, host atau pejamu, dan
lingkungan. Faktor agen fisik berupa konsentrasi PM10 dapat menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita, dikarenakan lokasi Kelurahan Rawa Terate berada dekat
dengan area perindustrian Pulogadung dan jalan raya yang dapat meningkatkan
risiko warga disekitar kawasan tersebut untuk mengalami masalah kesehatan
pernapasan. Selain itu faktor lingkungan dalam rumah seperti ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan
anggota keluarga yang merokok juga dapat mempengaruhi peningkatan kejadian
ISPA pada balita.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate
tahun 2017?
2. Bagaimana gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status gizi,
status imunisasi, dan BBLR) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
3. Bagaimana gambaran konsentrasi PM10 dalam rumah balita di Puskesmas
Rawa Terate tahun 2017?
4. Bagaimana gambaran faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
7
5. Bagaimana hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan keluhan
ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
6. Bagaimana hubungan faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dan faktor
lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate
tahun 2017.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status gizi,
riwayat imunisasi, dan BBLR) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
3. Diketahuinya konsentrasi PM10 dalam rumah balita di Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017.
4. Diketahuinya gambaran faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
5. Diketahuinya hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan
keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
8
6. Diketahuinya hubungan faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Peneliti
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menambah
wawasan dan pengalaman bagi penulis mengenai PM10, faktor lingkungan dalam
rumah, dan penyakit ISPA pada balita.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan
keluarga balita melalui penyuluhan kesehatan tentang efek kesehatan akibat paparan
PM10, faktor lingkungan dalam rumah dan pengaruhnya terhadap kejadian ISPA pada
balita.
1.5.3 Bagi Instansi Pemerintah
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang paparan PM10 dalam rumah dan kondisi lingkungan dalam rumah sebagai
faktor risiko kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, serta informasi
tentang proporsi ISPA di wilayah Puskesmas Rawa Terate sehingga informasi
tersebut dapat menjadi bahan masukan kepada pengelola program di Puskesmas
Kelurahan Rawa Terate dalam merencanakan dan mengembangkan program
pencegahan dan penanggulangan ISPA terutama pada balita.
9
1.6 Ruang Lingkup
Berdasarkan judul penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian hanya sebatas
pada hubungan antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan
keluhan ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung. Kejadian
ISPA pada anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam penelitian ini faktor
risiko kejadian ISPA pada balita yang diteliti adalah konsentrasi PM10 dalam rumah
dan variabel lain yang berhubungan dengan keluhan ISPA pada balita seperti
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan
hunian, dan anggota keluarga yang merokok. Variabel lain seperti konstruksi
dinding, jenis lantai, jenis bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk bakar,
dan keberadaan hewan peliharaan tidak diteliti, karena berdasarkan hasil studi
pendahuluan data tersebut homogen.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September tahun 2017 dengan
daerah penelitian dibatasi hanya di wilayah kerja Puskesmas Rawa Terate,
Kecamatan Cakung. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional untuk mengetahui hubungan konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam
rumah (suhu, kelembaban, pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur,
kepadatan hunian, dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada
balita. Pengukuran parameter PM10, suhu, kelembaban dan pencahayaan dalam
rumah hanya dilakukan satu kali yaitu pada saat kunjungan dan dilakukan di ruangan
tempat balita sering tidur. Pengukuran PM10 dilakukan selama satu jam dengan
menggunakan alat Haz-Dust EPAM 5000, pengukuran suhu dan kelembaban
dilakukan selama 10 menit menggunakan thermohygrometer, dan untuk pengukuran
pencahayaan menggunakan lux meter. Faktor lingkungan dalam rumah lainnya
10
dilakukan dengan wawancara dan diobservasi melalui daftar pertanyaan, meliputi
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan
keberadaan anggota keluarga yang merokok. Pengukuran ventilasi serta luas lantai
rumah ataupun kamar balita saat tidur menggunakan Roll meter. Variabel faktor
pejamu dilakukan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan meliputi
umur, jenis kelamin, berat bayi saat lahir untuk mengetahui apakah bayi tersebut
BBLR, status imunisasi balita yang bersangkutan dengan melihat Kartu Menuju
Sehat (KMS), serta penentuan status gizi balita dilakukan berdasarkan antropometri
yaitu indeks BB/U dengan melihat riwayat penimbangan yang ada dalam KMS balita
tersebut.
11
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan
atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit
yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor
lingkungan, dan faktor pejamu. Namun di dalam pedoman interim WHO tahun 2007,
ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia (WHO, 2007).
Berdasarkan Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut tahun
2011, ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran
napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga
tengah, pleura) (Kementerian Kesehatan RI, 2011a). Pada umumnya penyakit ISPA
banyak terjadi pada anak-anak, terutama balita. Balita di Indonesia rata-rata
mengalami sakit batuk dan pilek 3 sampai 6 kali pertahun (Endah dan Daroham,
2009).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut, dan menyerang salah
satu bagian atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung (bagian atas) dan
alveoli (bagian bawah) termasuk jaringan adneksanya, biasanya menular dan dapat
12
mematikan tergantung dari patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor
pejamu.
2.1.2 Penyebab ISPA
Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Korinebakterium. Virus penyebab
ISPA antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan RI, 2002).
Menurut Corwin, sebagian besar ISPA disebabkan virus, meskipun bakteri
juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus.
Semua jenis infeksi mengaktifkan respons imun dan inflamasi sehingga terjadi
pembengkakan dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi menyebabkan
peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau
hidung tersumbat, sputum berlebihan, dan pilek. Sakit kepala, demam ringan, dan
malaise juga dapat terjadi akibat reaksi inflamasi (Corwin, 2009).
Untuk menegakan etiologi ISPA pada balita sulit dilakukan karena untuk
memperoleh sediaan dahak sebagai bahan pemeriksaan sukar diperoleh. Hanya
biakan aspirat untuk membantu penetapan etiologi ISPA. Pemeriksaan spesimen
aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan
bakteri penyebab ISPA pada balita. Oleh karena itu penetapan etiologi ISPA balita di
Indonesia mengacu pada hasil penelitian di luar negeri (Depkes RI, 2002 dalam
Afandi, 2012). Menurut Lederberg dkk., bakteri adalah penyebab utama infeksi
saluran pernapasan bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak negara
merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit
13
yang disebabkan oleh bakteri. Namun demikian, patogen yang paling sering
menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri (WHO, 2007).
2.1.3 Klasifikasi ISPA pada Balita
Dalam penentuan klasifikasi penyakit, Kementerian Kesehatan RI
membaginya berdasarkan atas dua kelompok usia, yaitu: (Kementerian Kesehatan
RI, 2002)
1. Untuk kelompok usia 2 bulan sampai
14
b. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Dengan demikian, klasifikasi bukan pneumonia pada klasifikasi diatas
mencakup penyakit-penyakit ISPA diluar pneumonia seperti batuk, pilek bukan
pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsillitis, otitis). Selain itu, dalam
pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi pada kelompok
spesimen
15
pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan kontak antara
pejamu rentan dengan benda perantara yang terkontaminasi (misalnya, tangan yang
terkontaminasi), yang membawa dan memindahkan organisme tersebut (WHO,
2007).
Transmisi droplet ditimbulkan dari orang (sumber) yang terinfeksi terutama
selama terjadinya batuk, bersin, dan berbicara. Penularan terjadi bila droplet yang
mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak dekat (biasanya < 1m)
melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau
faring orang lain (WHO, 2007).
Setelah agen penyakit terdeposit maka sudah masuk ke dalam tubuh. Agen
tersebut akan menimbulkan infeksi yang mengaktifkan respons imun dan inflamasi.
Reaksi inflamasi tersebut menyebabkan peningkatan produksi mukus dan
menimbulkan batuk, pilek, dan hidung tersumbat. Apabila agen telah memasuki
saluran pernapasan bawah, maka agen dapat menimbulkan infeksi pada saluran
tersebut dan menyerang paru-paru (WHO, 2007).
2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada penderita ISPA bukan
pneumonia diawali dengan batuk, dan sering juga nyeri tenggorokan, pilek, demam
tidak lebih dari 7 hari, tanpa disertai gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Kementerian
Kesehatan RI, 2002, 2015; WHO, 2007). Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu
dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari (WHO, 2007).
16
2.2 Faktor Risiko ISPA
Terjadinya ISPA dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari faktor agen,
pejamu, dan lingkungan (Tosepu, 2016).
2.2.1 Faktor Agen
2.2.1.1 Agen Biologi
ISPA disebabkan oleh berbagai agen infeksius yang terdiri dari 300 lebih
jenis virus, bakteri dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA meliputi genus
Streptococcus, Pneumococcus, Haemophilus, Bordetella, dan Corynebacterium.
Virus penyebab ISPA meliputi golongan Paramixovirus (virus influenza,
parainfluenza, virus campak, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, dan virus
herpes). Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang,
penyebab tersering pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza. Sementara itu, di negara maju, pneumonia pada anak umumnya
disebabkan oleh virus (Kementerian Kesehatan RI, 2002; Tosepu, 2016).
2.2.1.2 Agen Fisik
Selain agen biologis diatas, agen fisik seperti pencemar udara juga dapat
memicu terjadinya gangguan pernapasan. PM10 merupakan salah satu pencemar
udara yang memberikan dampak yang besar terhadap kesehatan manusia karena
bersifat respirable sehingga memicu terjadinya infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) (Pujiastuti dkk., 2013).
2.2.1.2.1 Particulate Matter (PM10)
2.2.1.2.1.1 Definisi, Karakteristik, dan Sumber
Particulate Matter (PM10) adalah polutan partikel padat yang ada di udara.
Fokus penting untuk kesehatan masyarakat adalah partikel cukup kecil yang dapat
17
terhirup sampai bagian terdalam paru-paru. Partikel ini berukuran kurang dari 10
mikron dengan tebal sekitar se per tujuh ketebalan rambut manusia dan dikenal
sebagai PM10. PM10 adalah komponen utama pencemaran udara yang mengancam
kesehatan dan lingkungan (Californian Environmental Protection Agency, 2009).
Partikulat ukuran kurang dari 10 mikron mempunyai nama lain yaitu,
PM10 sebagai inhalable particles, respirable particulates, respirable dust, dan
inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang mudah terhirup, karena
ukurannya maka PM10 lebih spesifik dijadikan partikulat yang respirable dan
prediktor kesehatan yang baik (Koren, 2003).
Sumber utama PM10 baik di kota maupun di desa antara lain kendaraan
bermotor, debu dari konstruksi, industri, dan debu dari tanah terbuka. PM10 adalah
campuran dari unsur-unsur yang mencakup asap, jelaga, debu, dan logam
(Californian Environmental Protection Agency, 2009). Sumber dari dalam rumah
antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan
bakar biomassa, dan penggunaan obat nyamuk bakar (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
2.2.1.2.1.2 Mekanisme Pajanan PM10 ke Tubuh Manusia
PM10 merupakan salah satu polutan yang berbahaya. Ketika dihirup
partikel ini menembus pertahanan dari sistem pernapasan dan masuk ke dalam tubuh
dan mengendap di paru-paru. Sistem pernapasan manusia mempunyai beberapa
sistem pertahanan yang dapat mencegah masuknya partikulat ke dalam paru-paru.
Bulu-bulu hidung akan mencegah masuknya partikulat berukuran besar, sedangkan
partikulat yang berukuran lebih kecil akan dicegah masuk oleh membran mukosa
18
yang terdapat di sepanjang sistem pernapasan dan merupakan permukaan tempat
partikulat menempel (Gestrudis, 2010).
Masalah kesehatan dimulai saat tubuh mulai bereaksi dengan partikel
asing. Partikel-partikel udara yang menyebabkan iritasi mengawali terjadinya
penyakit saluran pernapasan. Tidak ada debu yang benar-benar inert (tidak merusak
paru-paru), dan pada konsentrasi tinggi semua debu bersifat merangsang dan
menimbulkan reaksi produksi lendir yang berlebihan (Gestrudis, 2010). PM10 dapat
meningkatkan jumlah dan tingkat keparahan serangan asma, menyebabkan atau
memperburuk bronkitis dan penyakit paru-paru lainnya, dan mengurangi kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi. Meskipun PM10 dapat menyebabkan masalah
kesehatan untuk semua orang, orang-orang tertentu sangat rentan terhadap efek
merugikan dari PM10 ini. Pejamu rentan tersebut termasuk balita, anak-anak, orang
tua, dan orang yang menderita asma atau bronkitis. Studi terbaru menyebutkan
bahwa hubungan paparan PM10 dengan kematian dini pada orang yang telah
memiliki penyakit hati dan penyakit paru-paru, terutama orang tua (Californian
Environmental Protection Agency, 2009)
2.2.1.2.1.3 Nilai Ambang Batas PM10
Nilai ambang batas (NAB) PM10 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan
Udara Dalam Ruang Rumah adalah sebesar 70 g/m3 (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
2.2.1.3 Agen Kimia
Agen kimia merupakan unsur dalam bentuk senyawa kimia yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan atau penyakit tertentu. Unsur-unsur ini pada
19
umumnya berasal dari luar tubuh. Bentuk agen kimia dapat berupa padat, cair, dan
gas (Noor, 2008). Beberapa contoh agen kimia yang dapat masuk ke dalam tubuh
dengan cara inhalasi antara lain zat kimia dalam bentuk gas (COX, SOX), uap (uap
bensin), debu mineral (asbestos), dan partikel di udara (zat-zat alergen) (Nuning
dkk., 2006).
Agen kimia seperti gas COX jika terhirup akan dapat terikat dengan
hemoglobin darah, lebih kuat dibandingkan dari oksigen membentuk
karboksihemoglobin (COHb), sehingga menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen
ke jaringan tubuh. Pajanan CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung (sistem
kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ tubuh yang peka
terhadap kekurangan oksigen. Pengaruh CO terhadap sistem kardiovaskuler cukup
nyata teramati walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung dan
penyakit paru merupakan kelompok yang paling peka terhadap pajanan CO
(Tugaswati, 2008).
2.2.2 Faktor Pejamu
2.2.2.1 Usia
Balita mempunyai risiko lebih besar untuk terkena ISPA. Faktor risiko
balita terkena ISPA terutama pneumonia, jika dilihat berdasarkan usia yaitu usia
balita
20
akibat pneumonia dibanding balita dengan usia muda (Djaja, 1999 dalam Afandi,
2012).
Dalam 6 bulan pertama kehidupan, antibodi ibu yang ditularkan ke bayi
berfungsi sebagai sumber perlindungan terhadap beberapa virus, salah satunya virus
ISPA. Penyapihan akan mempengaruhi terjadinya defisiensi nutrisi dan kerentanan
terhadap infeksi, termasuk ISPA. Angka insidens ISPA tertinggi juga ditemukan
pada anak usia 2-3 tahun, dan kemungkinan karena paparan dari faktor lingkungan
(Ramani dkk., 2016).
2.2.2.2 Jenis Kelamin
Dalam pedoman pemberantasan penyakit ISPA tahun 2002, laki-laki
mempunyai faktor risiko lebih tinggi terkena ISPA dibandingkan perempuan
(Kementerian Kesehatan RI, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian Ramani dkk
(2016), laki-laki (OR=2,41) lebih rentan terkena ISPA dibandingkan dengan
perempuan (OR=0,41). Kemungkinan alasannya adalah karena anak laki-laki lebih
banyak menghabiskan waktu di luar rumah dibandingkan anak perempuan, sehingga
memungkinkan mereka lebih rentan terhadap tertularnya partikel yang ada di udara
(Ramani dkk., 2016). Selain itu, diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih
kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dari daya tahan
tubuh anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto dkk., 2004)
2.2.2.3 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
BBLR menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada
masa balita. Bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama
pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
21
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama sakit saluran
pernapasan lainnya (Farieda, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husin dan Suratini (2014) di
Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat hubungan berat
badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,024.
2.2.2.4 Status Gizi
Status gizi anak usia bawah lima tahun merupakan indikator kesehatan publik
yang secara internasional dikenal untuk memonitor kesehatan dan status gizi
penduduk. Ada tiga indikator status gizi anak balita antara lain berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB dan baku antropometri
WHO tahun 2006, ditetapkan sebagai status gizi anak (LPEM FEUI, 2009).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kategori dan ambang batas
yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi anak berdasarkan indeks,
sebagai berikut: (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
22
Status gizi berpengaruh pada kesehatan balita. Apabila balita mengalami
gizi buruk, maka dia akan lebih rentan terkena penyakit. Hal ini dikarenakan
menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal,
sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas generasi muda mendatang
(Krisnansari, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Ramani dkk., menyebutkan
bahwa Case Fatality Rate (CFR) ISPA pada anak dengan gizi buruk 27 kali lebih
tinggi (14,5%) dibandingkan dengan anak normal (0,6%) (Ramani dkk., 2016).
2.2.2.5 Status Imunisasi
Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah
terhadap penyakit tertentu (Hidayat, 2008). Imunisasi juga penting untuk
menurunkan angka kematian anak usia bawah lima tahun. Imunisasi dasar lengkap
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2010
23
meliputi BCG, tiga kali polio, tiga kali DPT, tiga kali hepatitis B, dan campak
(LPEM FEUI, 2009).
Bayi telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan dapat terhindar dari
penyakit campak dan pneumonia. Pneumonia merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi pada anak yang mengalami penyakit campak. Selain imunisasi campak,
imunisasi DPT mencegah terjadi penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Menurut
UNICEF-WHO, pemberian imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat
menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi penyakit pertusis. Pertusis dapat
diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi
(Hartati dkk., 2012).
2.2.3 Faktor Lingkungan
2.2.3.1 Lingkungan Dalam Rumah
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Pada
umumnya, rumah merupakan tempat tersering seseorang menghabiskan waktu untuk
melakukan kegiatan di dalam rumah sehingga rumah menjadi sangat penting sebagai
lingkungan mikro yang berkaitan dengan risiko dari pencemaran udara. Pencemaran
udara akan mengakibatkan kualitas udara menjadi buruk dalam ruang rumah dan
dapat menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain ISPA (Kementerian Kesehatan
RI, 2011b). Lingkungan dalam rumah dapat menjadi faktor risiko terjadinya suatu
penyakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Menular
dalam Cermin Dunia Kedokteran Nomor 70 Tahun 1991 tentang pengaruh
lingkungan terhadap penyakit ISPA menyatakan bahwa faktor polusi yang
24
berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah rokok yang dihisap,
masuknya asap dapur ke dalam ruangan keluarga, ventilasi rumah yang tidak baik,
jarak antara rumah dengan bengkel las/tempat sampah. Keadaan lingkungan dapat
mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak (Endah dan Daroham, 2009).
2.2.3.1.1 Kondisi Fisik Rumah
a. Ventilasi
Ventilasi adalah tempat pertukaran udara dari dalam ke luar ataupun
sebaliknya. Ventilasi rumah berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam
tetap segar berarti keseimbangan O2 yang diperlukan penghuni akan terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2 rendah, dan CO2 tinggi di dalam
rumah (ventilasi berbanding lurus dengan kelembaban). Fungsi ventilasi
yang lain adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen,
dan agar ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum
(Notoatmodjo, 2007).
Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan
terhadap kesehatan manusia, seperti gangguan pernapasan. Untuk mengatur
pertukaran udara agar udara dalam rumah tetap segar, maka ventilasi harus
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Ruang Rumah antara lain: (Kementerian Kesehatan RI, 2011b)
1. Ventilasi minimal 10% luas lantai dengan sistem ventilasi silang.
25
2. Jika rumah ber-AC (Air Conditioner), pemeliharaan AC dilakukan
secara berkala, serta harus melakukan pergantian udara dengan
membuka jendela minimal pada pagi hari secara rutin.
3. Mengatur tata letak ruang dan ventilasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryani dkk (2015), menunjukkan
adanya hubungan lemah antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada
balita dengan nilai p
26
(2009) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara suhu dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita. Dengan nilai OR < 1, sehingga dapat
dikatakan suhu dalam ruang merupakan faktor pengurang risiko dalam
hubungannya dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Kelembaban
Kelembaban adalah persentase jumlah air di udara atau uap air dalam
udara. Kelembaban yang dipersyaratkan berdasarkan Permenkes No. 1077
tahun 2011 dalam Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang adalah 40% -
60% Rh. Kelembaban yang tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme (Kementerian Kesehatan RI,
2011b). Dalam buku Current Air Quality Issue, peningkatan kelembaban
akan meningkatkan pertumbuhan jamur dan paparannya dapat
menyebabkan asma dan kondisi pernapasan lainnya. Selain itu, peningkatan
kelembaban relatif diatas 70% juga cenderung meningkatkan kelangsungan
hidup virus yang menginfeksi saluran pernapasan (Ana dan Morakinyo,
2015).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggraeni (2006) dan Afandi
(2012) menunjukkan adanya hubungan antara kelembaban dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita. Sedangkan, pada penelitian yang
dilakukan oleh Anthony (2008) di Kabupaten Karimun menunjukkan tidak
adanya hubungan antara kelembaban udara dalam ruang dengan kejadian
ISPA pada balita. Namun, hasil nilai OR > 1 (2,45) menunjukkan bahwa
kelembaban udara merupakan faktor risiko terjadinya ISPA pada balita.
d. Pencahayaan
27
Pencahayaan dalam ruang rumah diusahakan agar sesuai dengan
kebutuhan untuk melihat benda sekitar dan membaca berdasarkan
persyaratan minimal 60 Lux. Cahaya yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
Pencahayaan alami adalah penerangan rumah secara alami oleh sinar
matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu dari arah timur di pagi hari
dan barat di sore hari. Pencahayaan alami sangat penting dalam menerangi
rumah untuk mengurangi kelembaban. Rumah yang sehat harus mempunyai
jalan masuk cahaya matahari dari arah barat dan timur sekurang-kurangnya
15%-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam rumah (Wattimena, 2004
dalam Suryani dkk., 2015).
Cahaya matahari mempunyai sinar ultraviolet pada panjang gelombang
253,7 nm bisa membunuh kuman, bakteri, virus, serta jamur yang dapat
menyebabkan infeksi, alergi, asma maupun penyakit lainnya. Sinar
ultraviolet akan merusak DNA mikroba (kuman, bakteri, virus maupun
jamur) sehingga DNA mikroba menjadi steril. Jika mikroba terkena sinar
ultraviolet, maka mikroba tidak mampu bereproduksi dan akhirnya mati
(Sari dkk., 2014)
e. Letak Dapur
Dapur berfungsi sebagai tempat untuk memasak. Kegiatan pada proses
memasak berhubungan dengan panas, asap, dan debu, sehingga dapur
mempunyai peran penting dalam memengaruhi kualitas udara dalam ruang
(Afandi, 2012; Pramayu, 2012).
28
Dalam area penelitian yang dilakukan oleh Ramani dkk., (2006),
58,25% rumah tangga memiliki status rumah yang tidak memadai. Tidak
adanya pemisah dapur atau sekat di rumah, dan kurang memadainya dapur
dan kamar mandi sehingga asap menumpuk di dalam ruangan. Hal ini
mempengaruhi daerah pertahanan dari sistem pernapasan anak-anak, karena
mereka tinggal lebih lama di dalam ruangan dan meningkatkan kerentanan
terhadap ISPA.
Dalam penataan ruangan di dalam rumah yang paling utama adalah
jumlah ruangan sesuai dengan kebutuhan dan bagaimana meletakkan posisi
dapur sehingga tidak menyebabkan asap dari dapur masuk ke ruangan lain
dalam rumah. Asap dapur sapat menyebabkan terjadinya gangguan saluran
pernapasan dan gangguan penglihatan (Farieda, 2009).
f. Konstruksi Dinding
Dinding rumah masyarakat di Indonesia terdiri dari berbagai jenis, ada
yang terbuat dari anyaman bambu, papan kayu, dan bersifat permanen
(plester). Untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu atau
papan kayu masih dapat ditembus oleh udara, secara penghawaan akan
bagus namun dapat meningkatkan kelembaban ruang dan tidak menjamin
dari segi kebersihan. Debu yang terbawa menjadi media yang baik untuk
mikroorganisme menempel dan berkembang, sehingga berpotensi
menimbulkan gangguan pada kesehatan terutama pernapasan (Anthony,
2008; Sinaga, 2012). Konstruksi dinding yang baik adalah dinding rumah
yang kedap air serta mudah dibersihkan, konstruksi kuat, serta tidak
berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
29
g. Jenis Lantai
Beberapa ketentuan jenis lantai diantaranya bahan bangunan tidak boleh
terbuat dari bahan-bahan yang mudah terlepas, zat-zat yang membahayakan
kesehatan serta tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh
kembangnya mikroorganisme patogen serta lantai harus kedap air dan
mudah dibersihkan serta bersifat permanen (plester) (Afandi, 2012). Rumah
yang memiliki jenis lantai keramik atau ubin cenderung lebih baik karena
mudah dibersihkan dan tidak lembab. Sebaliknya lantai yang hanya di cor,
cenderung lembab, tidak kedap air, dan bisa menjadi tempat berkembang
biaknya bakteri atau virus penyebab ISPA (Pangemanan dkk., 2016).
Lantai yang berdebu dan basah dapat menjadi sarang penyakit serta
menyebabkan gangguan kesehatan. Debu yang dihasilkan dari lantai bisa
terhirup dan menempel pada saluran pernapasan yang apabila terakumulasi
dapat menyebabkan elastisitas paru menurun dan kesulitan dalam bernapas.
Selain itu, lantai tanah diketahui dapat menyebabkan kelembaban udara
dalam rumah menjadi meningkat dan dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme patogen (Halim, 2012).
h. Lubang asap dapur
Survei lingkungan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 di 6
desa, ditemukan proporsi responden yang menggunakan kayu bakar masih
banyak (>50%). Sedangkan data Riskesdas 2010 menunjukan 64,2%
masyarakat di pedesaan masih menggunakan kayu bakar, arang, dan
lainnya sebagai bahan bakar untuk memasak. Dengan kondisi tersebut
30
sudah semestinya ventilasi atau cerobong pembuangan asap mutlak harus
ada untuk menjaga kebersihan udara dalam ruang (Afandi, 2012).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, dapur
yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Di perkotaan, dapur sudah
dilengkapi dengan penghisap asap. Lubang asap dapur menjadi sangat
penting artinya karena asap dapat mempunyai dampak terhadap kesehatan
manusia terutama penghuni di dalam rumah. Lubang asap rumah yang tidak
memenuhi persyaratan menyebabkan gangguan terhadap pernapasan dan
mungkin dapat merusak alat-alat pernapasan, lingkungan rumah menjadi
kotor dan gangguan terhadap penglihatan/mata menjadi pedih.
2.2.3.1.2 Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Notoatmodjo, (2003) dalam
Farieda, 2009). Persyaratan kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Rumah, yaitu satu orang minimal menempati luas rumah 8 m2.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan hunian rumah dengan kematian oleh karena bronkopneumonia
pada bayi tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan
memberikan korelasi yang tinggi pada faktor ini (Gestrudis, 2010). Banyak rumah
yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya
tidak sesuai dengan peruntukannya maka akan terjadi gangguan. Penularan
31
penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat jika kepadatan semakin
tinggi (Achmadi, 2008 dalam Sinaga, 2012).
2.2.3.1.3 Kegiatan Rumah
a. Jenis Bahan Bakar Memasak
Penggunaan bahan bakar padat sebagai energi untuk memasak dengan
tungku sederhana/kompor tradisional, khususnya di daerah pedesaan pada
negara-negara berkembang akan menimbulkan pencemaran udara dalam
ruang. Bahan bakar tersebut menghasilkan polutan dalam konsentrasi tinggi
dikarenakan terjadi proses pembakaran yang tidak sempurna. Keadaan
tersebut akan memperburuk kualitas udara dalam ruang rumah apabila
kondisi rumah tidak memenuhi syarat fisik, seperti ventilasi yang kurang
memadai, serta tidak adanya cerobong asap di dapur. Gangguan kesehatan
akibat pencemaran udara dalam ruang rumah sebagian besar terjadi di
perumahan yang cenderung menggunakan energi untuk memasak dengan
energi biomasa (Kementerian Kesehatan RI, 2011b).
b. Penggunaan Obat Nyamuk
Obat nyamuk terdiri dari berbagai macam jenis, yaitu bakar, semprot,
elektrik, dan oles. Adapun obat nyamuk yang dapat menimbulkan risiko
terbesar terhadap saluran pernapasan adalah obat nyamuk bakar. Untuk obat
nyamuk semprot, cairan insektisida tersebut berubah menjadi gas setelah
dilepaskan sehingga tidak menimbulkan asap yang berlebihan yang dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan (Halim, 2012).
Sedangkan, obat nyamuk elektrik lebih kecil lagi menimbulkan asap, karena
bekerja dengan cara mengeluarkan asap tapi dengan daya elektrik. Sehingga
32
makin kecil dosis bahan zat aktif, makin kecil pula bau yang ditimbulkan
dan makin minim pula kemungkinan mengganggu kenyamanan manusia
(Sinaga, 2012).
Komponen yang ada dalam kumparan obat nyamuk bakar adalah
organic filler, bahan pengikat, zat pewarna dan material tambahan yang
dapat terbakar. Pembakaran dari material tersebut akan menghasilkan
partikel submikrometer dalam jumlah besar dan polutan gas. Partikel
submikrometer bisa mencapai saluran pernapasan bagian bawah dan dapat
terlapis oleh berbagai senyawa organik, beberapa diantara senyawa itu pun
bersifat karsinogen dan diduga karsinogen, seperti Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs) dihasilkan melalui pembakaran tidak sempurna dari
biomassa (material dari kumparan obat nyamuk bakar) (Liu dkk., 2003).
c. Anggota Keluarga yang Merokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang 70 hingga 120 mm
(bervariasi) dengan diameter sekitar 10 mm, di dalamnya berisi tembakau
yang telah dicacah (Andriyani, 2011). Rokok mengandung zat berbahaya
bernama nikotin, yaitu zat yang berasal dari daun tembakau. Nikotin
merupakan zat yang dapat membuat seseorang perokok kecanduan. Di
dalam tubuh nikotin dengan dosis rendah berdampak pada gangguan saluran
pernapasan (Sukmana, 2009). Tidak hanya nikotin, di dalam rokok juga
terkandung berbagai jenis racun lain yang berdampak pada kesehatan
seperti tar dan karbon monoksida. Tar dapat mengiritasi saluran pernapasan.
Karbon monoksida dapat menempel pada sel darah merah sehingga
mengurangi kemampuan darah dalam membawa oksigen (Ayudhitya dan
33
Tjuatja, 2014). Akibat merokok yang parah adalah flek hitam di paru-paru
(Sukmana, 2009). Selain itu, merokok memiliki efek samping besar pada
sistem kekebalan tubuh, baik lokal (seperti di saluran pernapasan dan
jaringan lunak di paru-paru) dan di seluruh tubuh (Bellew dkk., 2015).
Perokok aktif adalah orang yang merokok, sedangkan perokok pasif
adalah sebutan bagi orang yang menghirup asap rokok atau tembakau dari
orang lain. Perokok aktif maupun pasif yang terpapar asap rokok akan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi (Arcavi dan Benowitz, 2017). Asap
rokok yang dihirup oleh perokok pasif, sama bahayanya dengan rokok dan
asap yang dihirup oleh perokok aktif. Karenanya, penyakit perokok pasif
hampir sama dengan penyakit yang diderita oleh perokok aktif. Di rumah,
risiko perokok pasif seperti anak-anak dan wanita hamil juga besar.
Penyakit perokok pasif yang mungkin dapat terjadi pada mereka adalah
infeksi telinga dan gangguan pernapasan (asma, bronkitis, dan pneumonia
pada anak), gangguan kehamilan dan janin (lahir prematur, cacat fisik, serta
gangguan fungsi jantung dan sistem pernapasan bayi), serta ancaman
penyakit jantung koroner (Thayyarah dan Semesta, 2013).
d. Anggota Keluarga yang mengalami ISPA
ISPA dapat ditularkan melalui kontak langsung ataupun tidak langsung
dan droplet. Kontak langsung melibatkan kontak antar permukaan badan
dan perpindahan fisik mikroorganisme antara orang yang terinfeksi dan
pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan kontak
antara pejamu rentan dengan benda perantara yang terkontaminasi
(misalnya, tangan yang terkontaminasi), yang membawa dan memindahkan
34
organisme tersebut (WHO, 2007). Penularan melalui droplet terjadi bila
droplet yang mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak dekat
(biasanya
35
kejadian ISPA tinggi pada rumah yang memiliki hewan peliharaan.
Hubungan ini terkait dengan reaksi alergi dari sistem pernapasan terhadap
bulu dari hewan peliharaan.
2.3 Kerangka Teori
Kerangka teori dibuat berdasarkan hasil kajian teori, studi kepustakaan dan
hasil penelitian terdahulu, Californian Environmental Protection Agency (2009),
Tosepu (2016), Pujiastuti, Soemirat dan Dirgawati (2013), Kementerian
Kesehatan RI (2011), dan Nuning dkk., (2006) menjelaskan bahwa faktor risiko
ISPA dari faktor agen terdiri dari agen biologis, fisik, dan kimia serta sumber
dari agen tersebut dapat menimbulkan risiko keluhan ISPA. Untuk faktor pejamu
antara lain usia (Afandi, 2012; Ramani dkk., 2016), jenis kelamin (Ramani dkk.,
2016), status gizi (Krisnansari, 2010), status imunisasi (Hidayat, 2008; LPEM
FEUI, 2009), dan BBLR (Farieda, 2009) dapat memengaruhi terjadinya keluhan
ISPA pada balita.
Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap terjadinya keluhan ISPA pada
balita adalah lingkungan dalam rumah yang terdiri dari kondisi fisik rumah
(ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, konstruksi dinding, jenis
lantai, dan lubang asap dapur), kepadatan hunian, dan kegiatan dalam rumah
(jenis bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga
yang merokok, anggota keluarga yang mengalami ISPA, dan keberadaan hewan
peliharaan). Maka dapat dirumuskan suatu kerangka teori dari penelitian ini.
Kerangka teori tersebut adalah sebagai berikut:
36
Sumber: (Californian Environmental Protection Agency, 2009), (Tosepu, 2016), (Pujiastuti dkk., 2013), (Kementerian Kesehatan RI,
2011b), (Nuning dkk., 2006), (Afandi, 2012), (Ramani dkk., 2016), (Krisnansari, 2010), (LPEM FEUI, 2009), dan (Farieda,
2009)
Agen Kimia Gas COX dan SOX,
uap bensin,
asbestos, dan zat
alergen
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Agen Biologi Bakteri, virus
Agen Fisik Partikulat debu
(PM10)
Keluhan
Infeksi
Saluran
Pernapasan
Akut (ISPA)
pada Balita
Kegiatan Dalam
Rumah
Keberadaan hewan peliharaan
Anggota keluarga yang mengalami
ISPA
Faktor Pejamu
Usia
Jenis kelamin
Status gizi
Status Imunisasi
BBLR
Faktor Lingkungan
Dalam Rumah
Kondisi Fisik Rumah
Ventilasi
Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Letak dapur
Konstruksi dinding
Jenis lantai
Lubang asap dapur
Kepadatan Hunian
Kegiatan Dalam
Rumah
Jenis bahan bakar memasak
Penggunaan obat nyamuk bakar
Anggota Keluarga yang Merokok
Sumber luar rumah
Kendaraan bermotor
Debu konstruksi
Industri
Debu dari tanah terbuka
37
3 BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan
sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan keluhan ISPA
pada balita, yaitu faktor agen, pejamu, dan lingkungan dalam rumah. Faktor agen
berupa agen biologi, agen fisik, dan agen kimia. Faktor pejamu terdiri dari usia, jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, dan BBLR; kemudian faktor lingkungan dalam
rumah yang terdiri dari jenis lantai, kontruksi dinding, kepadatan hunian rumah,
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, lubang asap dapur, jenis bahan bakar
masak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga yang merokok, anggota
keluarga yang mengalami ISPA, dan keberadaan hewan ternak/peliharaan.
Namun, peneliti tidak mengambil seluruh faktor untuk diteliti. Peneliti hanya
ingin menge