Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN KONFORMITAS DENGAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA PADA SISWA SMP “ X “
DI KOTA BOGOR
OLEH
ANDREW WILLIAM IMBANG
80 2013 045
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
HUBUNGAN KONFORMITAS DENGAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA PADA SISWA SMP “ X “
DI KOTA BOGOR
Andrew William Imbang
Heru Astikasari Setya Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
PENDAHULUAN
Pada masa remaja terjadi proses pencarian jati diri yang membuat remaja banyak
melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya salah satunya adalah sekolah. Sekolah
dapat membuat remaja melakukan hubungan baru yang lebih matang baik pria maupun
wanita dan mampu mengajari remaja tentang peran social pria dan wanita. Hal ini
menyebabkan remaja banyak menghabiskan waktu di sekolah ( Kumara, 2012 ). Namun
di dalam lingkungan sekolah juga dapat menimbulkan suatu masalah emosi pada diri
remaja salah satunya adalah terjadinya tindak kekerasan atau school bullying, baik yang
dilakukan oleh guru terhadap siswanya maupun siswa terhadap siswa lainnya ( Wiyani,
2012 ).
Fenomena bullying ini merupakan suatu potret dari kehidupan manusia yang
penuh dengan ejekan, penghinaan, pengucilan, ketidakadilan maupun kekerasan serta
kekuasaan bagi kesenangan pribadi (Bess, 2016). Menurut Hidayanti (dalam Bess,
2016), fenomena bullying ibarat fenomena gunung es yang nampak kecil di permukaan,
namun menyimpan berjuta permasalahan yang kasat mata oleh orang tua bahkan orang
tua seringkali meremehkan fenomena bullying sehingga mengesampingkan dampak
buruk yang terjadi. Hal ini juga tidak lepas dari stereotip yang sudah menjadi budaya
dalam kehidupan masyarakat yaitu menindas yang lebih lemah dari diri sendiri.
Permasalahan bullying ini pun sudah menjadi suatu permasalahan yang cukup lama
terjadi dan bahkan bukan hanya di Indonesia saja hal ini terjadi namun di seluruh dunia
pun merasakan dampak dari perilaku ini.
1
2
Hal ini dibuktikan dari hasil survei sebuah lembaga survei Ditch The Label yang
diprakarsai oleh sebuah organisasi anti bullying di Inggris terhadap 3.600 orang dengan
usia 13-18 tahun dan melaporkan bahwa 45% dari orang-orang muda mengalami
intimidasi sebelum usia 18 tahun. Lalu 26% dari mereka terintimidasi telah
mengalaminya setiap hari, 30% telah menyakiti diri akibat bullying, 10% telah
berusaha untuk bunuh diri akibat bullying, 83% mengatakan intimidasi mempengaruhi
studi mereka. Jadi secara keseluruhan disampaikan bahwa 45% partisipan telah
mengalami bullying (dalam the annual bullying survey, 2014).
Di Indonesia sendiri perilaku bullying ini sudah sangat sering terjadi bahkan
penelitian yang dilakukan oleh yayasan SEJIWA ( 2008 ), menyatakan tidak ada satu
sekolah pun yang terbebas dari bullying bahkan di beberapa sekolah swasta terkemuka
juga terdapat praktek bullying yang kemudian berlanjut hingga di luar sekolah.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kompas (2014) menunjukan berbagai bentuk
bullying yang ada di lingkungan sekolah yaitu sebagian besar berupa verbal, seperti:
ucapan atau kata-kata yang mencela, mengejek, atau memanggil teman dengan sebutan
yang melecehkan, yaitu sebanyak 38 - 41,7%, sedang bentuk bullying urutan dua di
sekolah adalah fisik, berupa: menendang, memukul, dan menampar sebanyak 19,2 -
26,9%. Survei lainnya pada sejumlah pelajar di kota-kota besar Indonesia menunjukkan
bahwa sebanyak 18,9 - 49% mengaku pernah menjadi korban bullying di sekolah
berupa verbal, sedangkan bentuk fisik dijumpai sebanyak 15,2 - 35,6%. Kemudian pada
tahun 2016 dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan penganiayaan terhadap
seorang pelajar yang dilakukan oleh teman sekolahnya akibat di duga merebut kekasih
temannya (Metro Bogor, 2016). Hal ini cukup memprihatinkan karena sekolah yang
3
diharapkan mampu menghasilkan generasi penerus bangsa yang bertaqwa kepada
Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan keterampilan
jasmani dan rohani, memiliki keterampilan yang mantap dan mandiri serta memiliki
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan sesuai dengan apa yang
diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 (Wibowo, 2013 ).
Fenomena Bullying di sekolah menengah pertama kota Bogor merupakan
fenomena yang biasa. Hal ini bisa dilihat dari hasil survei Junior Chambir International
( JCI ) yang menyatakan bahwa 40% siswa di kota Bogor mengalami tindakan bullying.
Hal ini menyebabkan bullying di lingkungan pendidikan kota Bogor khususnya di salah
satu sekolah menengah pertama swasta di kota Bogor adalah suatu hal yang sulit untuk
di bicarakan. Oleh karena itu maka tindakan bullying ini pun akan menjadi sebuah
rahasia dari setiap sekolah. Namun peneliti tetap melakukan observasi pada sebuah
sekolah swasta di kota Bogor dan menemukan bahwa perilaku bullying pun terjadi
sekalipun berada di sekolah yang memiliki kedisiplinan cukup baik. Namun bullying ini
hanya di dominasi oleh bullying dalam bentuk verbal. (Observasi Pribadi, Oktober
2016).
Bullying didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan atau status oleh seseorang
untuk melukai, mengancam, atau mempermalukan orang lain. Bullying dapat berupa
fisik, verbal, atau social. Tidak dikatakan bullying apabila dua siswa atau siswi berbeda
atau bertengkar dengan kekuatan yang sama ( Olweus and Solberg 2003) . Menurut
Olweus and Solberg (2003) tiga elemen utama dari defenisi bullying adalah niat untuk
menyakiti korban, sifatnya berulang dan ketidakseimbangan kekuasaan antara korban
dan pelaku. Kemudian menurut Sullivan (2000) bullying termasuk ke dalam bentuk
4
perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau
sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang lain dengan tujuan menyakiti.
Bullying kerap kali membuat korbannya menjadi tertekan, tidak berdaya, bahkan
sampai membuat korbannya mengalami gangguan jiwa. Namun hal ini masih saja tetap
dilakukan didasarkan atas nama senioritas. Menurut Haryana (2008), Pendiri Yayasan
Semai Jiwa Amini ( SEJIWA), lama – lama bullying dan tindakan semacam ini
dianggap wajar. Hampir semua orang tidak menyadari dampak jangka panjang yang
ditimbulkan pada korban dan pelaku.
Dampak dari perilaku bullying ini sangat mempengaruhi perkembangan seorang
remaja. Dampak yang ditimbulkan oleh perilaku bullying ini mempunyai pengaruh
jangka pendek dan ada yang berjangka panjang. Menurut Widyastuti (2015) pengaruh
jangka pendek yang ditimbulkan oleh perilaku bullying adalah depresi karena
mengalami penindasan, minat untuk mengerjakan tugas – tugas sekolah yang diberikan
oleh guru dan menurunnya minat untuk mengikuti kegiatan sekolah. Lalu pengaruh
jangka panjang yang ditimbulkan oleh perilaku bullying adalah remaja akan mengalami
kesulitan dalam menjalin hubungan baik terhadap lawan jenis, dikarenakan selalu
memiliki kecemasan akan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman
– teman sebayanya. Kemudian perilaku bullying ini juga berdampak pada bidang
akademik remaja yaitu remaja akan mengalami penurunan prestasi akademiknya atau
sering sengaja untuk tidak masuk sekolah.
Aspek - aspek perilaku bullying menurut Solberg & Olweus (2003) menyatakan
bahwa perilaku bullying terbagi atas:
5
a. Verbal Bullying, perilaku ini ditunjukkan dengan mengatakan sesuatu untuk
menyakiti dan menertawakan seseorang (menjadikan bahan lelucon) dengan
menyebutkan atau menyapa dengan nama yang menyakiti hati seseorang,
menceritakan kebohongan atau menyebarkan rumor yang keliru tentang
seseorang.
b. Indirect, perilaku ini ditunjukkan dengan adanya penolakan terhadap seseorang
atau dengan mengeluarkan seseorang dari kelompok pertemanan atau
meninggalkannya dari berbagai hal secara sengaja atau mengirim catatan dan
mencoba membuat siswa yang lain tidak menyukai orang tersebut.
c. Physical, perilaku ini ditunjukkan dengan menendang, memukul, mendorong,
mempermainkan, atau meneror dan melakukan hal–hal yang bertujuan
menyakiti.
Usman (2013) menyatakan fenomena bullying dapat terjadi karena ada faktor
penyebab terjadinya perilaku tersebut antara lain faktor kepribadian, faktor interpersonal
siswa dengan orang tua, faktor pengaruh teman sebaya, dan faktor iklim sekolah. Faktor
pengaruh teman sebaya yang beresiko menimbulkan kecenderungan munculnya
perilaku bullying pada remaja karena pada masa remaja, individu akan melepaskan diri
dari keluarga dan banyak menghabiskan waktu dengan bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungan sosial. Hal ini serupa dengan pendapat Papalia & Feldman (2009)
seorang remaja akan banyak menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman sebaya
dari pada berinteraksi dengan keluarga.
Brehm dan Kassin (1993) mendefinisikan konformitas sebagai kecenderungan
seseorang untuk mengubah persepsi, opini atau perilaku agar sama dengan norma–
6
norma kelompok. Adanya konformitas dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku
atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh–sungguh ada
maupun yang dibayangkan saja ( Kiesler & Kiesler dalam Sarwono, 1999). Hal ini
membuat remaja akan melakukan sebuah perubahan perilaku untuk menyesuaikan
dnegan kelompok yang dimasukinya.
Myers (1990) mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan dalam
perilaku atau belief sebagai hasil dari tekanan kelompok yang nyata atau hanya
berdasarkan imajinasi. Dalam kesempatan yang berbeda, Wade & Tavris (2007)
berpendapat bahwa konformitas merupakan suatu tindakan mengadopsi suatu sikap
sebagai hasil dari adanya tekanan kelompok yang nyata maupun yang dipersepsikan.
Berdasarkan penelitian surya (1999) bahwa pada masa remaja konformitas terjadi
dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1994) yang
berpendapat bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari
remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri–ciri utamanya
adalah timbul persahabatan. Dari persahabatan akan memunculkan tindakan
Konformitas.
Menurut Mehrabian dan Stefl (1995) konformitas memiliki aspek – aspek , yaitu
sebagai berikut:
1. Keinginan meniru kelompok
Individu meniru orang lain yang dominan dalam kelompok, sehingga membuat
peniruan menjadi suatu trend kelompok. Individu merasa harus mengikuti trend, karena
7
hal ini dapat membuat meningkatkan rasa percaya diri dan merasa di terima oleh
kelompok sosial dimana ia berada.
2. Bergabung untuk menghindari konflik
Individu di dalam kelompok berusaha untuk menghindari konflik dengan anggota
kelompok tersebut, sehingga ia memutuskan untuk bergabung. Individu tersebut juga
bergantung pada kritik dan saran orang lain, karena ia merasa jika ia tidak menjalankan
atau bahkan melawan kritik dan saran dari anggota kelompok, hal tersebut akan memicu
terjadinya konflik.
3. Menjadi pengikut kelompok
Individu memutuskan untuk menjadi pengikut kelompok karena individu tidak
tahu atau bingung harus berbuat apa, maka ia akan menjadikan perilaku kelompok
sebagai pedoman perilaku dan meyakini hal tersebut adalah benar. Hal ini membuat
individu tersebut menjadi mudah di pengaruhi. Kondisi yang tidak dikenal mungkin
menyebabkan terjadinya perasaan untuk menuruti orang lain. Selain itu, keinginan
individu menjadi dikendalikan oleh orang lain.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa individu yang berada pada masa
remaja ini merupakan individu yang masih rentan untuk melakukan konformitas. Pada
masa ini individu mempunyai keinginan untuk mencari proses kemantapan dalam
mencapai jati dirinya yang baik. Hal ini bisa terwujud ketika individu menjalin
hubungan relasi dengan orang lain. Dalam hal ini individu memilih untuk masuk dalam
suatu kelompok yang memiliki kesamaan sifat atau pun tujuan dari diri individu
tersebut. Dampak dari masuk ke dalam kelompok ini remaja di tuntut untuk memiliki
8
sifat konformitas yang tinggi agar mampu mengikuti aturan dan norma yang berlaku
dalam kelompok tersebut. (Wibowo, 2013)
Pada masa ini remaja merasa bahwa teman sebaya merupakan kebutuhan mereka
yang sangat penting. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1994)
kebutuhan untuk diterima dalam kelompok tersebut menyebabkan remaja melakukan
perubahan dalam sikap dan perilaku sesuai dengan perilaku dari para anggota kelompok
yang dimasukinya. Perilaku negatif pun seperti bullying ini berpeluang besar untuk
ditiru karena perilaku ini kemungkinan besar banyak dilakukan oleh siswa terlebih
remaja. (Oktaviana, 2014)
Kemudian apabila remaja sudah terikat dalam hubungan pertemanan maka
remaja tersebut akan cenderung untuk mengikuti apapun yang diminta oleh temannya.
Salah satu contoh adalah seorang remaja yang merokok karena melihat temannya juga
merokok sehingga mendorongnya juga untuk melakukan hal yang sama karena ingin
mengetahui rasanya.( Oktaviana, 2014 )
Penelitian – penelitian sebelumnya sudah di lakukan oleh Oktaviana (2014) dan
hasilnya adalah terjadi korelasi positif yang sangat signifikan antara konformitas dengan
kecenderungan perilaku bullying . Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Usman ( 2013 ) dimana hasilnya peran kelompok teman sebaya
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku bullying pada siswa SMA di kota
Gorontalo.
Berdasarkan paparan tersebut maka peneliti ingin meneliti mengenai hubungan
konformitas terhadap teman satu sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying.
9
Hipotesis
Ada hubungan yang positif dan signifikan antara konformitas dengan
kecenderungan perilaku bullying di SMP “ X “ kota Bogor.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan variabel
dependent/terikat adalah kecenderungan perilaku Bullying sedangkan variabel
Independent/bebas adalah konformitas.
1. Bullying merupakan tindakan negatif dalam waktu yang cukup panjang dan
berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, dimana
terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan kroban tidak memiliki kemampuan
untuk melindungi dirinya (Olweus, 2003) dan di ukur dengan menggunakan
Skala Kecenderungan Bullying.
2. Konformitas merupakan suatu tindakan mengadopsi suatu sikap sebagai hasil
dari adanya tekanan kelompok yang nyata maupun yang dipersepsikan (Wade &
Tavris, 2007) dan di ukur dengan menggunakan Skala Konformitas.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa SMP “ X “ yang terdiri
dari kelas VII, kelas VIII dan kelas IX yang berjumlah 750 Orang. Pengambilan sampel
10
dilakukan dengan cara purposive sampling dengan taraf signifikansi menurut Isaac dan
Michael 5% ( Sugiyono, 2012 ). Berdasarkan ketentuan tersebut maka jumlah yang
menjadi subjek penelitian sebanyak 260 orang. Namun yang datanya bisa di analisis
hanya sebanyak 212 orang di karenakan 12 orang yang lain tidak mengembalikan
angketnya dan 36 orang lainnya tidak mengisi dengan baik angketnya.
Berdasarkan Teknik sampling yaitu Purposive sampling maka pemilihan sampel
dilandaskan pada beberapa hal :
1. Siswa SMP “ X “ Kota Bogor kelas VII, VIII, IX
2. Berdomisili di Bogor
3. Mempunyai kelompok teman sebaya
Metode Pengambilan data
Tipe kuesioner yang digunakan adalah Self-Administrated Questionnaire, yaitu
kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Item dalam skala – skala tersebut
dikelompokan dalam pernyatan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 5
alternatif jawaban dari skala likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Netral ( N ), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).
Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek.
Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data subjek penelitian adalah :
1. Perilaku Bullying diukur dengan menggunakan Olweus Bullying Questionnaire
yang telah di revisi ( Livesey,dkk dalam Panie, 2015 ). Skala ini terdiri atas
bentuk – bentuk perilaku bullying yaitu verbal bullying, Indirect dan physical
yang terdiri atas 15 item dengan nilai reliabilitasnya α=0,819. Pengujian Skala
11
Kecenderungan Perilaku Bullying memperoleh nilai alpha adalah 𝛼 = 0,819,
tanpa item gugur ( 𝛼>0,25). Nilai Korelasi bergerak dari 0,290 – 0,472.
2. Konformitas diukur dengan The Conformity Scale yang disusun oleh Mehrabian
& Stefl (1995) adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat
konformitas seseorang yang terdiri dari 3 aspek yaitu, keinginan meniru
kelompok, bergabung untuk menghindari konflik, menjadi pengikut kelompok
yang terdiri dari 30 Item dengan nilai reliabilitasnya 𝛼 = 0, 738. Pengujian
Skala Konformitas memperoleh nilai alpha adalah 𝛼 = 0,816, dengan item
tersisa 17 Item. Nilai korelasi bergerak dari 0,256 - 0,572 .
HASIL PENELITIAN
A. ANALISIS DESKRIPTIF
1. Variabel Konformitas
Kategorisasi pada variabel konformitas dibuat berdasarkan dengan nilai tertinggi
yang diperoleh, yaitu 17 X 5 = 85 dan nilai paling rendah yaitu 17 X 1 = 17. Pada skala
ini dibagi menjadi tiga kategori (tinggi, sedang,rendah) dengan nilai intervalnya
sebesarnya 23.
12
Tabel 1
Kategorisasi Pengukuran Skala Konformitas
Interval Kategori Mean N Persentase
63 ≤ x ≤86 Tinggi
57, 36
45 21,22 %
40 ≤ x < 63 Sedang 162 76,41 %
17≤ x < 40 Rendah 5 2,35 %
Jumlah 212 100 %
SD = 7,953 Min = 17 Max = 86
Keterangan x = Konformitas
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa 45 subjek memiliki skor konformitas
yang berada pada kategori Tinggi dengan persentase 21, 2 % , Lalu sedang sebanyak
162 Subjek dengan persentase 76,4 %. Dan 5 orang lainnya tergolong dalam kategori
rendah dengan persentase 2, 35 %. Berdasarkan rata – rata sebesar 57,36 dapat di
katakan bahwa rata – rata konformitas berada pada kategori sedang. Skor yang
diperoleh bergerak dari skor minimum 17 dengan skor maksimum 86 dengan standart
deviasi 7,953. Berdasarkan uraian data diatas, dapat dikatakan siswa – siswi SMP “ X “
di kota Bogor, memiliki tingkat konformitas yang tergolong sedang.
2. Variabel Kecenderungan Bullying
Kategorisasi pada variabel kecenderungan bullying dibuat berdasarkan dengan
nilai tertinggi yang diperoleh, yaitu 15 X 5 = 75 dan nilai paling rendah yaitu 15 X 1 =
15. Pada skala ini dibagi menjadi tiga kategori (tinggi, sedang, rendah) dengan nilai
intervalnya sebesar 20.
13
Tabel 2
Kategorisasi Pengukuran Skala Kecenderungan Bullying
Interval Kategori Mean N Persentase
55 ≤ x ≤ 75 Tinggi
26,74
0 0%
35 ≤ x < 55 Sedang 23 10,84
15≤ x < 35 Rendah 189 89,15
Jumlah 212 100 %
SD = 7,092 Min = 15 Max = 75
Keterangan x = kecenderungan perilaku bullying
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa 23 subjek memiliki skor
Kecenderungan Bullying yang berada pada kategori sedang dengan persentase 10, 84 %
, lalu 189 Subjek memiliki skor kecenderungan bullying yang berada pada kategori
rendah dengan persentase 89, 15 % dan tidak ada subjek yang memiliki skor
konformitas pada kategori tinggi dengan persentase 0%. Berdasarkan rata – rata
sebesar 26,74, dapat di katakan bahwa rata – rata kecenderungan perilaku bullying
berada pada kategori rendah . Skor yang diperoleh bergerak dari skor minimum 15
dengan skor maksimum 75 dengan standart deviasi 7,092. Berdasarkan uraian data
diatas, dapat dikatakan siswa – siswi SMP “ X “ di kota Bogor, memiliki tingkat
kecenderungan perilaku bullying yang tergolong rendah.
B. Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas, yaitu :
14
1. Uji Normalitas
Hasil uji nromalitas dapat ditentukan dengan melihat nilai Asymp. Sig.
(2-tailed) yaitu p>0,05 berdasarkan ketentuan tersebut hasil uji normalitas
menunjukan bahwa variabel kecenderungan bullying memiliki nilai Asymp. Sig.
(2-tailed) sebesar 0,002 (p<0,05). Variabel konformitas memiliki nilai Asymp.
Sig. (2-tailed) sebesar 0, 221 ( P>0,05). Hal ini menggambarkan bahwa
distribusi atau sebaran data variabel Kecenderungan bullying Tidak normal
sedangkan variabel konformitas normal.
2. Uji linieritas
Hasil uji linieritas dapat ditentukan dengan melihat nilai Asymp. Sig. (2-
tailed) yaitu p>0,05. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai signifikansi 0,249
(P>0,05). Maka dapat dinyatakan bahwa data yang diperoleh memiliki
hubungan yang linier
C. Hasil Analisis data
Perhitungan data analisis dilakukan dengan memperhatikan hasil dari uji
asumsi. Hasil yang ditunjukan pada uji asumsi adalah data tidak berdistribusi
normal tetapi memiliki hubungan linier. Oleh sebab itu digunakan Rank
Spearman rho untuk uji korelasi . perhitungan dalam analisis ini dilakukan
dengan SPSS seri 16 for windows. Hasil korelasi antara kecenderungan perilaku
bullying dengan Konformitas adalah sebagai berikut :
15
Tabel 3
Perhitungan Korelasi
Hasil uji korelasi dapat ditentukan dengan melihat nilai Asymp. Sig. (1-tailed)
yaitu p<0,05. Tabel di atas menunjukan bahwa koefisien korelasi antara perilaku
kecenderungan bullying dengan konformitas pada siswa adalah 0,48 dengan nilai
signifikansi 0,242 (p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kecenderungan
bullying dengan konformitas.
PEMBAHASAN
Hasil pengujian korelasi Rank Spearman Rho antara variabel perilaku bullying
dengan konformitas menunjukan nilai koefisien korelasi sebesar 0, 48 dengan taraf
signifikan 0,24 ( > 0,05) yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara konformitas
dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP “ X “ di kota Bogor.
Tidak ada hubungan antara konformitas dengan kecenderungan perilaku
bullying di SMP X kota Bogor dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti pertama
karena adanya predictor yang lebih kuat seperti faktor keluarga. Menurut Susan (dalam
Rahmawan, 2012 ) orang tua, saudara dan pengasuhan dalam keluarga memberikan
Correlations
Konformitas Bullying
Spearman's rho Konformitas Correlation Coefficient 1.000 .048
Sig. (1-tailed) . .242
N 212 212
Bullying Correlation Coefficient .048 1.000
Sig. (1-tailed) .242 .
N 212 212
16
contoh pada anak bagaimana mengontrol emosi, berhadapan dengan konflik, mengatasi
masalah dan mengembangkan keterampilan hidup lainnya. Begitu pula yang terjadi di
daerah ini keluarga merupakan suatu wadah yang sangat berpengaruh dalam mengatur
tingkah laku anak. Orang tua dalam hal ini juga memperlakukan anak sebagaimana
mestinya seperti orang tua percaya bahwa anak – anak kalau tidak di pukul, maka anak
pun tidak akan melakukan hal yang sama kepada temannya. Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Braithwaite (2004) bahwa keluarga merupakan factor yang paling
berpengaruh dalam menentukan keterlibatan seseorang pada perilaku bullying.
Penelitian Olweus (2003) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh
orang tua dengan perilaku agresif pada remaja.
Maka dari itu anak akan melakukan perilaku bullying jika anak merasa di tolak
di dalam keluarga ataupun anak mendapatkan pemodelan dari orang tua ataupun
saudara mereka di dalam keluarga. Namun hal ini tidak terlihat dari siswa SMP “ X “ di
kota Bogor. Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap hubungan siswa dengan orang
tua terlihat begitu berjalan dengan baik dan sopan. Hal ini terlihat ketika anak di
antarkan ke sekolah dan turun dari mobil atau motor langsung melakukan jabatan
tangan dengan orang tua sambil mencium tangan mereka. Hal ini bisa menunjukan
bahwa ada relasi yang baik antara anak dan orang tua di dalam keluarga, sehingga
mampu meminimalisir anak untuk melakukan bullying. Karena tidak mendapatkan
model di dalam keluarga. Maka perilaku anak untuk mengikuti teman sebaya akan
terminimalisir karena pengaruh keluarga.
17
Kesimpulan ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Usman
(2013) bahwa tekanan – tekanan yang dilakukan oleh teman sebaya tidak berpengaruh
besar dalam membuat remaja melakukan perilaku bullying. Dengan demikian maka
Konformitas antar teman sebaya tidak terjadi. Karena faktor paling penting ketika
melakukan konformitas adalah tekanan – tekanan yang ada di dalam kelompok. Sesuai
dengan yang dikatakan oleh Myers (1990) bahwa konformitas merupakan perubahan
dalam perilaku atau belief sebagai hasil dari tekanan kelompok yang nyata atau hanya
berdasarkan imajinasi. Di kesempatan yang berbeda Wade dan Tavris (2007)
berpendapat bahwa konformitas merupakan suatu tindakan mengadopsi suatu sikap
sebagai hasil dari adanya tekanan kelompok yang nyata maupun yang dipersepsikan.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa ketika anak tidak menaruh perhatian lebih terhadap
tekanan kelompok maka konformitas pun tidak akan terjadi.
Kedua, faktor iklim sekolah. Iklim sekolah yang dibangun dengan baik akan
menghasilkan suatu sistem yang baik terhadap etika maupun moralitas siswa – siswinya.
Hal ini juga senada dengan yang dikatakan oleh Bauman dan Del Rio (2005) yaitu iklim
sekolah yang dibangun dengan baik dimana terdapat komunikasi yang efektif antara
pimpinan sekolah, guru, staf, dan para siswa serta terciptanya sekolah yang aman dan
nyaman akan mereduksi dan meminimalisir terjadinya perilaku bullying diantara para
siswa.
Kemudian pendapat ini juga dibenarkan oleh Berger dkk (2008) bahwa iklim
sekolah yang dibangun dengan baik dapat menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi
antara guru, pimpinan sekolah, staf dan para siswa maka akan meminimalisir tumbuh
18
dan berkembangnya perilaku bullying pada siswa. Begitu juga dengan sekolah SMP “
X “ di kota bogor ini sekolah memiliki suatu sistem yang baik dimana terbangun suatu
komunikasi yang efektif baik antar guru, antar siswa, ataupun antar guru dan siswa. Hal
ini bisa terlihat dari sikap penerimaan guru terhadap siswanya dengan menerapkan
kedisiplinan yang ketat dan menerapkan nilai – nilai spiritualitas.
Nilai – nilai inilah yang kemudian menciptakan lingkungan sekolah yang
produktif dan nyaman bagi siswa. Sehingga siswa tidak merasakan suatu perbedaan
ataupun diskriminasi baik dari siswa ke guru ataupun guru ke siswa. Iklim inilah yang
kemudian mendorong siswa menjadi lebih produktif dalam membentuk keterampilan
ataupun dalam mencari pengetahuan. Dengan demikian sekolah mampu meminimalisir
siswa nya untuk tidak melakukan bullying. Siswa pun tidak melakukan hal itu
dikarenakan adanya penerimaan yang baik yang diperlihatkan oleh pihak guru maupun
pihak sekolah dalam hal ini yaitu yayasan.
Berdasarkan uraian di atas maka bisa dijelaskan bahwa perilaku bullying bisa
diminimalisir ketika adanya lingkungan keluarga yang efektif dan juga adanya
lingkungan sekolah yang baik dengan terjadinya komunikasi yang baik antara orang tua
dan anak maupun antara guru dan siswa. Sehingga akan menumbuhkan sikap toleransi
yang tinggi bagi siswa. Kemudian juga akan membuat siswa menjadi merasa adanya
penerimaan dalam diri mereka yang mampu menunjukan bahwa tidak perlu mereka
mengikuti orang lain ataupun masuk dalam kelompok tertentu dan mengikuti norma –
norma yang ada dalam kelompok itu. Karena mereka sudah bisa diterima secara positif
oleh sekolah maupun keluarga dengan diri mereka yang sebenarnya.
19
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan antara konformitas dengan kecenderungan perilaku
bullying.
2. Tingkat konformitas termasuk ke dalam kategori sedang.
3. Tingkat kecenderungan perilaku bullying termasuk ke dalam kategori rendah.
Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan melihat langsung apa yang terjadi di
lapangan serta melihat hasil penelitian yang ada, maka peneliti memberikan saran untuk
beberapa hal :
1. Bagi Pihak Sekolah
Sekolah diharapkan bisa mempertahankan rendahnya tingkat kecenderungan
perilaku bullying sekaligus mampu membentuk konformitas yang positif antar
para siswa. Oleh karena itu para guru dan kepala sekolah khususnya diharapkan
untuk bisa mendukung dan mengadakan kegiatan esktrakurikuler baik akademis
maupun non-akademis yang dilakukan secara berkelompok atau individu yang
kemudian digunakan oleh para guru untuk menanamkan nilai – nilai moral dan
meningkatkan prestasi di sekolah. Kemudian sekolah juga membuat peraturan
20
yang tegas untuk para siswa yang melakukan bullying, agar bisa memberikan efek jera
kepada siswa.
2. Bagi Orang Tua
Diharapkan bisa menanamkan nilai – nilai moral, etika dan agama dalam
kehidupan sehari – hari dengan cara memberikan contoh yang baik kepada
mereka. agar mereka bisa belajar untuk menghargai orang lain di dalam
lingkungan sosial mereka.
3. Bagi Siswa
Diharapkan dapat mempertahankan sikap dan perilaku yang sudah baik ini.
siswa juga diharapkan untuk mengikuti kegiatan – kegiatan yang positif seperti
masuk ke dalam organisasi seperti OSIS, Karang Taruna. Siswa juga bisa
selektif untuk memilih teman pergaulan, agar bisa terhindar dari perilaku
bullying. Hal ini bisa menbuat siswa mendapatkan penerimaan diri yang baik.
Dengan demikian siswa bisa mengetahui secara baik kapan harus bersikap
konformis dan kapan harus tetap berada pada pendirian diri unutk tidak
mengikuti aturan suatu kelompok tertentu.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk bisa meneliti dengan
menggunakan Variabel yang lain selain Konformitas. Karena masih banyak
faktor yang bisa menyebabkan perilaku bullying terjadi seperti misalnya rasa
empati individu ataupun kelekatan individu dengan temannya. Hal – hal tersebut
bisa berpengaruh pada perilaku bullying anak. kemudian dalam melakukan
21
pengambilan data bisa juga ditambahkan, Role play (Pra-Eksperimen ), dan
Wawancara selain dengan menggunakan skala.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M ., & Asrori, M. (2006). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta :
PT. Bumi Aksara.
Azwar, S. ( 2010 ). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Baron, A. R. D. B. (2005). Psikologi social Ed. 10. Jakarta: PT. Erlangga.
Bauman, S., & Del, R. A. (2005). Knowledge and Beliefs about Bullying in Schools :
Comparing Pre – Service teachers in the United states and United Kingdom. Journal
of School Psychology International, 26 (4): 428 – 442.
Berger, C. K. R., & Rodkin, P. C. (2008). Bullies and Victims at School : Perspectives
and Strategies for Primary Prevention. In T. Miller (ed). School Violence and
Primary Prevention (Opp: 287-314). Springer- Verleg : New York
Bess, E. (2016). Hubungan Kelekatan Ibu dan Anak Dengan Perilaku Bullying Anak
Remaja di SMA Negeri 3 Kota Kupang. Jurnal Psikologi Perseptual , 01 (01), 01 –
02.
Hurlock, E. B. (1991). Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.Psikologi
perkembangan Ed. 5. Jakarta: PT. Erlangga
Kainama, G. C. (2016). Hubungan Antara Konformitas Terhadap Remaja GPM Silo
Dengan Perilaku Pembelian Impulsive. Tugas akhir tidak di terbitkan, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Mehrabian, A ., & Stefl C. A. (1995). Bask temperament Components of loneliness,
shyness, and conformity. Journal of Social Behaviour and Personality, 23(3) 253-
264.
Myers , G. D. (2010).Social psychology Ed.10. Jakarta : Salemba humanika
Nur, I. M. Tindakan bullying di sekolah sebagai bentuk kekerasan dalam sistem
pendidikan. Diakses pada tanggal 20 September 2016 dari
http://www.kompasiana.com/isanoor/tindakan-bullying-di-sekolah-sebagai-bentuk-
kekerasan-dalam-sistem-pendidikan_54f6d7a5a333118b548b4ab8
Oktaviana, L. (2014). Hubungan antara konformitas dengan kecenderungan perilaku
bullying. Skripsi. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Olweus , D. (2005 ). Bullying at school. Australia : Blackweel Publishing.
23
Panie, A. M. (2015). Hubungan Antara Empati Dengan Kecenderungan Perilaku
Bullying Pada Siswa Di SMA Negeri 1 Kupang Timur. Tugas akhir tidak di
terbitkan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Papalia, D.E., Old, S.W & Feldman.(2009). Human development. perkembangan
manusia. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Rahmawan, A. I. (2012). Hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying
pada siswa – siswi kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Skripsi.
Sejiwa. (2008). Bullying : mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak.
Jakarta : Grasindo
Sarwono,W.S. & Eko M. (2009). Psikologi Sosial.Jakarta. Salemba Humanika.
Solberg M. & Olweus D. (2003) Prevalence Estimation of School Bullying Woth The
Olweus Bullyng Victim Questionnaire, 29; 239-268
Usman, I. (2013). Kepribadian, komunikasi, kelompok teman sebaya, iklim sekolah dan
perilaku bullying. Jurnal Humanistik. X (1) 49- 60.
Wibowo, N. T. (2013). Hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku
bullying remaja di SMP Negeri 08 Salatiga.Skripsi. Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga.
Widyastuti, S, R. (2015), Pengaruh Bullying Verbal Terhadap Self-Confidance. Skripsi.
Universitas Bina Nusantara, Jakarta
Wiyani, N.A. (2012). Save Our Children From School Bullying. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.