Upload
phamtram
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA SELF-REGULATED LEARNING DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAHASISWA PAPUA YANG
BEKULIAH DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
OLEH
ROOSE SPIEGEL NEBORE
80 2011 050
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN ANTARA SELF-REGULATED LEARNING DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAHASISWA PAPUA YANG
BEKULIAH DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
Roose Spiegel Nebore
Prof. Dr. Sutriyono, M.Sc
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui signifikansi hubungan antara self-regulated learning dengan
psychological well-being. Sebanyak 80 orang diambil sebagai sampel yang
dilakukan dengan menggunakan teknik insidental sampling. Metode
penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala,
yaitu skala self-regulated learning dan skala psychological well-being.
Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment.
Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi(r) 0,831dengan nilai
signifikansi 0,000 (p< 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang
signifikan antara antara self-regulated learning dengan psychological well-
being. Hal ini bermakna bahwa self-regulated learning mahasiswa yang
tinggi akan diikuti pula dengan psychological well-being yang tinggi.
Kata Kunci: Self-Regulated Learning, Psychological Well-Being
ABSTRACT
The type of this research is correlational research that aims to know
about the significance of the relationship between self-regulated learning
and psychological well-being. A total 80 students were taken as sampe
with using incidental sampling technic. The method research that used in
data collection is scala method, that is self-regulated learning scale and
psychological well-being scale. The data analysis that used is correlation
product moment technic. From the data analysis result, we found
correlation coeficient (r) 0,831 with significance value 0,000 (p<0,05),
which means there is a positif significance relationship between self-
regulated learning and psychological well-being. It means that high self-
regulated learning in student will be followed by the high of psychological
well-being too.
Keyword: Self-Regulated Learning, Psychological Well-Being
1
PENDAHULUAN
Pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia.
Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan
perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara
(Munandar, 2001). Kemajuan suatu kebudayaan bergantung pada cara
kebudayaan tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya
manusia dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan
kepada anggota masyarakatnya kepada peserta didik. Sejalan dengan arus
perubahan yang tiada henti, maka sumber daya manusia (SDM) yang
diciptakan harus inovatif dan berkualitas. Peningkatan mutu pendidikan,
terutama untuk melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas atau
minimal setingkat dengan kebutuhan (Ali, 2007).
Upaya pemerintah untuk memajukan usaha pendidikan diaplikasikan dalam
berbagai cara antara lain, undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional dan disempurnakan dengan undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), adalah sebagai salah satu
strategi dan pertahanan untuk memperbaiki mutu kualitas pendidikan (Ali, 2007).
Dalam perdebatan soal pendidikan nasional, banyak dipersoalkan kurangnya
pendidikan nilai di sekolah-sekolah, dari SD sampai perguruan tinggi. Disadari,
kebanyakan sekolah mau pun perguruan tinggi terlalu menekankan segi kognitif
saja, tetapi kurang menekankan segi nilai kemanusiaan yang lain. Maka mulai
disadari pentingnya nilai pendidikan, termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-
segi kemanusiaan lain, seperti emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas,
kedewasaan pribadi, dan afektivitas bahkan sampai pada psychological well-being.
2
Masalahnya, pendidikan nilai tidak bisa dipercepat, bahkan instan. Pendidikan nilai
kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama,
sehingga sulit dipercepat. Misalnya, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan
dalam banyak tindakan interaksi antar siswa atau antar mahasiswa dan kerja sama,
penanaman nilai penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan
mungkin hidup bersama orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran
pengetahuannya yang berdampak pada psychological well-being mahasiswa itu
sendiri (Neepal & Renu, 2007).
Psychological well-being akan tercapai apabila secara kognitif individu
memperoleh kepuasan, dan dapat terpenuhi apabila individu mampu memaknai
hidupnya secara positif. Teori Logoterapi memandang bahwa hidup yang sehat
adalah hidup yang penuh makna (Frankl, 2003). Individu yang mampu menghayati
hidup bermakna akan tampak penuh gairah dan optimis dalam menjalani kehidupan
sehari-hari.
Psychological well-being dapat dicirikan sebagai indikator fungsi mental yang
baik. Psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri
siswa/mahasiswa secara keseluruhan agar dapat mencapai kesuksesan.
Psychological well-being dibutuhkan agar individu dapat meningkatkan efektivitas
dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah bidang akademik.
Seharusnya dalam menempuh pendidikan siswa/mahasiswa diharapkan mempunyai
psychological well-being yang baik, hal tersebut supaya individu dapat mencapai
titik aktualisasi diri sehingga dapat mencapai kesuksesan dibidang akademik (Syek,
1992).
3
Fenomena yang didapati penulis pada mahasiswa Papua yang berkuliah di
UKSW Salatiga berdasarkan wawancara dengan beberapa mahasiswa Papua
(wawancara dilakukan pada tanggal 10 Januari, 2015), mereka mengatakan
bahwadalam proses perkuliahan mengalami tekanan psikologis mulai dari cara
mereka yang harus menyesuaikan diri dengan metode pembelajaran yang berbeda
dengan yang mereka ketahui sebelumnya, pergaulan dengan teman dari etnis lain
yang berbeda budaya dengan mereka, sehingga menuntut mereka harus untuk bisa
menyesuaikan diri. Kemudian hasil belajar mereka yang sering mendapatkan indeks
prestasi semester yang rendah, yang semuanya ini membuat mereka mengalami
frustrasi yang di mana psikologi mereka menjadi terganggu dan akan berdampak
pada ketidaksejahteraan psikologisnya.
Sukmadinata (2003) berpendapat bahwa, seseorang yang mempunyai waktu
istirahat yang cukup, mampu mengelola kegiatannya, dan keadaan panca indera dan
gizi yang baik akan membantunya untuk lebih bisa berkonsentrasi dalam mendengar
materi yang disampaikan oleh guru, mencatat materi, membaca materi, melakukan
diskusi dan memecahkan masalah, serta melakukan setiap praktikum mata pelajaran
dengan baik daripada siswa yang mengalami kondisi tubuh yang kelelahan, dimana
semuanya ini akan berdampak pada psychological well-being. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi psychological well-
being ialah self-regulated learning, yang merupakan wujud kemandirian dari
seorang mahasiswa dalam mengatur dirinya sendiri dalam belahjar guna untuk
mencapai keberhasilan dalam perguruan tinggi (Suci, 2008).
Dengan adanya self-regulated learning ini diharapkan mahasiswa dapat
menyadari sejak dini bahwa penyelesaian tugas-tugas di kampus dapat membantu
4
mahasiswa untuk memahami dan mampu mendapatkan hasil yang baik dari proses
perkuliahan yang mereka tekuni. Dalam proses perkuliahan mahasiswa, self-
regulated learning pada mahasiswa juga ada peranannya terhadap psychological
well-being, karena dengan adanya self-regulated learning dapat membuat
mahasiswa bisa mengatur dirinya untuk bisa memperhatikan dirinya dalam belajar
dalam belajar dan bisa ambil peranan dalam proses perkuliahan, sehingga suasana
kelas bisa lebih kondusif (Sardiman, 2012).
Bintoro (2013) dalam penelitiannya, mengatakan bahwa untuk mengurangi
dampak buruk dari proses belajar baik secara moral, psikologis, dan sosial
dibutuhkan pengaturan diri mahasiswa dalam belajar sehingga akan berdampak pada
hasil belajar yang baik pula. Begitu juga dengan Mulyani (2013), yang dalam
penelitiannya menemukan bahwa self-regulated learning memberikan dampak
positif terhadap kesejahteraan akademik baik secara moral bahkan psychological
well-beingnya, hal ini karena para partisipannya mampu memanajemen waktu
belajarnya dengan baik karena mereka mampu meningkatkan self-regulated
learning-nya.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Yulianti (2014) pada mahasiswa
pacsasarjana di Jakarta menemukan bahwa tidak ada hubungan antara regulasi diri
dengan psychological well-being pada mahasiswa pascasarjana di Jakarta. Hal ini
karena bukan saja self-regulation saja yang mempengaruhi psychological well-being
seseorang, namun ada faktor lain yang sangat kuat mempengaruhi psychological
well-being seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap hubungan positif yang signifikan antara self-regulated learning dengan
5
psychological well-weing pada mahasiswa Papua yang berkuliah di Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara self-
regulated learning dengan psychological well-being pada mahasiswa Papua yang
berkuliah di UKSW Salatiga.
TINJAUAN PUSTAKA
Psychological Well-Being
Definisi Psychological Well-Being
Ryff (1995) mendefinisikan kesejahteraan psikologis atau psychological well-
being (PWB) ini sebagai evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri
dari pengalaman hidupnya. Psychological well-being (PWB) sendiri merupakan
konsep yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu
berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif yang di kemukakan oleh
(Ryff, 1989).
Menurut Lawton (dalam Rini, 2008) menjabarkan psychological well-being
sebagai suatu skema yang terbentuk mengenai hidup yang berkualitas sebagai hasil
dari evaluasi terhadap aspek-aspek yang ada pada hidupnya yang dianggap baik
atau memuaskan.
Jadi pengertian psychological well-being yang dipakai dalam penelitian ini
adalah menurut Ryff (1995) mendefinisikan psychological well-being (PWB)
sebagai evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri dari pengalaman
hidupnya.
6
Dimensi Psychological Well-Being
Ryff (1995) mendefinisikan konsep psychological well-being dalam enam
dimensi yakni dimensi penerimaan diri (self-acceptance), hubungan yang positif
dengan orang lain (positive relationship with others), otonomi (Autonomy),
penguasaan lingkungan (environmental mastery) tujuan hidup, Tujuan hidup
(purose in life) dan pertumbuhan pribadi.
a. Penerimaan diri (self-acceptance). Dimensi ini merupakan suatu
bagian yang sentral dari kesehatan mental. Ryff menyimpulkan bahwa
penerimaan diri mengandung arti sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri.
Sikap positif ini adalah mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya,
baik yang positif maupun yang negatif, serta memliki perasaan positif terhadap
kehidupan masa lalunya.
b. Otonomi (Autonomy). Ryff menyimpulkan pribadi yang otonom adalah
pribadi yang mandiri, yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Individu ini memiliki internal locus of evaluation, yakni tidak mencari
persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan standar personal.
Oleh karena itu, ia tidak memikirkan harapan-harapan dan penilaian orang lain
terhadap dirinya. Individu yang otonom juga tidak menggantungkan diri pada
orang lain untuk membuat keputusan penting. Individu ini tidak menyesuaikan
diri terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk talenta.
c. Penguasaan lingkungan(environmental mastery). Dimensi ini menggambarkan
adanya suatu perasaan yang kompeten dan penguasaan dalam mengatur
lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal diluar diri, dan
berpatisipasi dalam berbagai aktivitas, serta mampu mengendalikannya. Menurut
7
Ryff orang yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki
kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu seperti ini
mampu mengendalikan kegiatan-kegiatan yang kompleks sekalipun. Ia juga dapat
menggunaan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif dan mampu
memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi
jiwanya.
d. Tujuan hidup (purpose in life). Ryff menyimpulkan orang yang memiliki tujuan
hidup adalah orang yang memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dalam hidupnya. Ia memiliki keyakinan dan pandangan tertentu yang
dapat memberikan arah dalam hidupnya itu bermakna dan berarti, baik dimasa
lalu, kini, maupun yang akan datang. Individu memiliki perasaan menyatu
seimbang, dan terintegrasinya bagian-bagian diri.
e. Pertumbuhan pribadi. Suatu pertumbuhan yang optimal tidak hanya berarti
bahwa seseorang dapat mencapai kualitas-kualitas yang telah disebutkan
sebelumnya, tetapi juga membutuhkan suatu perkembangan dan potensi-potensi
seseorang secara berkesinambungan. Kemampuan untuk beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan dalam hidup membutuhkan adanya perubahan yang keras
yang berlangsung dalam diri.
Faktor Yang Memengaruhi Psychological Well-Being
Argyle (2001) mengatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi
psychological well-being, diantaranya:
a. Kepribadian. Individu yang terbuka (ekstovert) terhadap perubahan tidak akan
mudah mengalami kegoncangan jiwa karena memiliki kemampuan menyesuaikan
diri, kemampuan meregulasikan diri untuk belajar dari hal-hal yang ada di
8
sekitar, ketahanan psikologis, dan bisa menggantungkan pemecahan-pemecahan
masalah kepada orang lain. Sedangkan individu yang tertutup (introvert)
pendiam, dingin dan pemalu kemungkinan akan mengalami krisis penyesuaian
yang sangat besar dan akan mengalami kegagalan dalam meregulasikan dirinya.
Seperti ketidakmampuan dirinya untuk meregulasikan diri dalam belajar (self-
regulated learning).
b. Makna dan tujuan hidup. Makna dan tujuan hidup adalah hal-hal yang oleh
seseorang dipandang penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai sesuatu
yang dapat dijadikan tujuan hidup. Hasrat untuk hidup bermakna ini pada
akhirnya akan menciptakan perasaan bahagia bagi individu yang bersangkutan.
c. Agama/kepercayaan. Agama berpotensi meningkatkan kebahagian individu
melalui ajarannya tentang kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati, surga,
takdir dan pandangan bahwa semua yang ditentukan terhadap seseorang
mempunyai arti positif. Nilai dalam berbagi kitab suci juga berpotensi
meningkatkan kebahagian karena mengandung nilai dan petunjuk untuk hidup
dengan cara positif.
Self-Regulated Learning
Definisi Self-Regulated Learning
Santrock (2001) mengatakan bahwa self-regulated learning menyangkut self-
generation dan self-monitoring pada pemikiran, perasaan, dan perilaku untuk
menjangkau tujuan. Pengaturan diri dalam belajar membuat para mahasiswa
memiliki kontrol dan mendorongnya untuk memperhatikan metode belajarnya.
Zimmerman (dalam Chen, 2002) menyatakan bahwa self-regulated learner adalah
9
mahasiswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral merupakan
peserta aktif dalam proses belajar mereka sendiri.
Schunkdan Zimmerman (dalam Susanto, 2006), menyatakan bahwa self-
regulated learnerdapat dipahami sebagai penggunaan suatu proses yang
mengaktivasi pemikiran, perilaku dan affect (perasaan) yang terus-menerus dalam
upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan definisi self-regulated learning menurut
Zimmerman (dalam Chen, 2002) yang menyatakan bahwa self-regulated learner
adalah mahasiswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral
merupakan peserta aktif dalam proses belajar mereka sendiri.
Aspek-Aspek Self-Regulated Learning
Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa ada 3 aspek dari
self-regulated learner, yaitu: metakognitif, motivasi, dan perilaku.
a. Metakognitif adalah kemampuan individu dalam merencanakan,
mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan
melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.
b. Motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang
mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki
dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar
untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki
setiap individu.
10
c. Perilaku (behavioral) merupakan upaya individu untuk mengatur diri,
menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan
yang mendukung aktivitas belajar.
Selain itu, Wine dan Perry (dalam Santrock, 2001) mengutarakan karakteristik
dari self-regulated learner diantaranya: mengatur tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan motivasinya, memiliki strategi untuk mengatur emosinya, secara
periodik memantau kemajuan yang mengarah pada tujuan, memperbaiki strategi
yang didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai, mengevaluasi hambatan yang
timbul dan membuat penyesuaian yang diperlukan.
Dari penjelasan di atas, maka aspek yang digunakan dalam penelitian ini
adalah aspek dari Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) yaitu aspek metakognitif,
aspek motivasi, dan aspek perilaku.
Manfaat Self-regulated Learning
Zimmerman (2000) mengatakan bahwa dengan adanya self-regulated learner
individu mempunyai perasaan yakin pada dirinya untuk mencapai tujuan yang sudah
ditentukan, usaha yang telah dilakukan, dan perencanaan kegiatan belajar untuk
mencapai prestasi yang maksimal. Dengan kata lain, self-regulated learner dapat
membantu mahasiswa untuk secara aktif mampu mengatur tindakan, cara berpikir,
dan motivasi dalam proses belajar untuk mencapai keberhasilan di dalam belajar
(Zimmerman, 2000).
Selain itu, Camahalan (2006) juga mengutarakan bahwa dengan self-regulated
learner, individu dapat mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah, menemukan solusi atau pemecahan masalah, mengevaluasi proses belajar,
11
mempertahankan diri dengan mempunyai komitmen untuk belajar dan mengatasi
rintangan untuk menuju keberhasilan.
Hubungan Antara Self-Regulated Learning Dengan Psychological Well-Being
Ditengah dunia yang sedang memasuki sistem global dan modernisasi dengan
berbagai macam persoalan hidup ini banyak fenomena dimana orang semakin jauh
meninggalkan nilai-nilai tradisioanal yang berbentuk adat istiadat, kepercayaan,
serta nilai-nilai religius yang baik dan beralih pada nilai-nilai materialism, dan
modernism yang pada akhirnya seringkali membawa dampak negatif (dalam
Bastman 1996). Dampak ini dapat dilihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari
seperti perasaan tidak aman, bingung, dan jiwa yang tidak sejahtera. Akibat terlalu
jauh dalam pergaulan adalah tidak terpenuhinya psychological well-being
mahasiswa dan semakin banyaknya berbagai macam simptom gangguan psikologis
yang tampak dari banyaknya tugas-tugas sehingga tidak mampu meyelesaikannya
dengan baik.
Dalam proses pembelajaran tetntunya mahasiswa sebaiknya menggunakan
strategi yang tepat dalam belajar agar proses belajar dapat berlangsung dengan
maskimal dan akan berdampak pada psychological well-beingnya. Penggunaan
strategi yang tepat dalam belajar dapat tercapai apabila siswa memiliki SRL yang
optimal dan mampu menerapkannya dalam proses belajar (Markus & Wurf dalam
Deasyanti & Anna, 2007). Mahasiswa yang memiliki SRL yang tinggi cenderung
mampu untuk mengatur dirinya sendiri, terkait dengan pengaturan jam belajar,
pemilihan strategi belajar, perencanaan dan penetapan tujuan belajar (Zimmerman
dalam Chen 2002). Pentingnya SRL dalam proses belajar ditunjukan oleh Entwistle
(dalam Saputra, 2005) yang menyampaikan bahwa kemajuan akademik yang
12
dicapai bergantung pada pola perilaku dan kemandirian belajar (self regulation
learning). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Pujiati (2010) dan
Widiyastuti (2012) yang menghasilkan temuan bahwa sebagian siswa/mahasiswa
belum memiliki SRL yang optimal dengan menunjukan perilaku terlambat datang
ke sekolah, tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah, menyontek pada saat ulangan,
kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan, tidak tuntasnya nialai KKM,
rendahnya keinginan untuk meminta perbaikan nilai, tidak memiliki jadwal belajar
rutin, dan belajar saat akan ujian saja.
Setiap siswa/mahasiswa memiliki tingkat SRL yang berbeda satu sama lain
(Zimmerman 1989). Dengan demikian, siswa/mahasiswa yang terlibat dalam proses
pembelajaran di kelas untuk mendapatkan hasil belajar yang baik, mereka akan
memiliki self-regulatated learning yang tinggi, artinya bahwa ketika siswa
/mahasiswa mampu mengatur diri mereka untuk bisa berhasil, maka hal tersebut
akan terwujud yang semua itu akan berdampak pada psychological well-beingnya
(Susanto, 2006). Sebaliknya, jika mereka akan memiliki self-regulatated learning
yang rendah, artinya bahwa ketika siswa /mahasiswa tidak mampu mengatur diri
mereka dalam belajar untuk bisa berhasil, maka hal tersebut tidak akan terwujud
yang semua itu akan berdampak pada juga pada psychological well-beingnya.
Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa seorang mahasiswa yang mampu
meregulasikan dirinya dalam belajar maka psychological well-beingnya pula akan
meningkat. Sebaliknya jika soarang mahasiswa yang tidak mampu meregulasikan
dirinya dalam belajar, maka akan berdampak buruk pada psychological well-
beingnya yang akan buruk.
Hipotesis
13
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan
antara self-regulated learning dengan psychological well-being pada mahasiswa
Papua yang berkuliah di UKSW Salatiga
METODE PENELITIAN
Identifikasi Penelitian
Terdapat dua Variabel dalam penelitian ini yaitu self-regulated learning
sebagai variabel bebas, dan psychological well-being sebagai variabel terikat.
Metode Pengumpulan Data
Self-Regulated Learning
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel bebas adalah aspek-aspek
dari self-regulatated learning yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku
(Zimmermandan Martinez-Pons, 1990).Untuk lebih jelasnya, instrument yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini. Instrumen yang pertama
Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang digunakan untuk
mengukur self-regulated learning. MSLQ merupakan instrument yang
dikembangkan oleh Wolters, Karabenick, dan Pintrich (2003) melalui tiga dimensi
self-regulated learning yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku (Zimmerman dan
Martinez-Pons, 1990). Instrumen ini memiliki 42 item dan dalam penelitian ini
MLSQ akan dimodifikasi dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Berdasarkan
pengujian alat ukur yang telah dilakukan oleh Pintrich. Et, al. (2003) diketahui
bahwa instrument MSLQ memiliki tingkat koefisien reabilitas sebesar 0,63 untuk
skala self-regulated learning.
14
Maka, berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala
self-regulated learning yang terdiri dari 42 item yang dilakukan pengujian sebanyak
2 kali putaran, diperoleh item yang gugur sebanyak 6 item dengan koefisien korelasi
item totalnya bergerak antara 0,320-0,752, dan koefisien Alpha pada skala self-
regulated learning sebesar 0,923. Hal ini berarti skala self-regulated learning sangat
reliabel.
Psychological Well-Being
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variable terikat adalah dimensi
dari psychological well-being menurut Ryff (1995), yaitu dimensi penerimaan diri
(self-acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship
with others), otonomi Autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery)
tujuan hidup, tujuan hidup (puprose in life) dan pertumbuhan pribadi.
Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala psychological well-being
yang terdiri dari 42 item yang dilakukan pengujian sebanyak 2 kali putaran,
diperoleh 36 item yang valid dengan koefisien korelasi item total bergerak antara
0,320-0,715, dan koefisien Alpha pada skala psychological well-being sebesar 0,933
yang artinya skala tersebut sangat reliabel.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan mahasiswa Papua yang
berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga yang berjumlah 520
mahasiswa.
Teknik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
insidental sampling, yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan ditemuin itu cocok sebagai sumber
15
data (Sugiyono, 2012). Maka sampel dalam penelitian ini ialah sebanyak 80
mahasiswa
HASIL PENELITIAN
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan
standar deviasi sebagai hasil pengukuran Skala self-regulated learning dan skala
psychological well-being dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Self-Regulated Learning
dengan Psychological Well-Being
Variabel Interval Kategori f % Mean SD Max Min
SRL 117 ≤ x ≤ 144 Sangat Tinggi 21 26,25
14,298
140
60
90≤ x<117 Tinggi 50 62,5 107,85
63 ≤ x <90 Rendah 8 10
36≤ x <63 Sangat Rendah 1 1,25
Jumlah 80 100
PWB 117 ≤ x ≤ 144 Sangat Tinggi 23 28,75
14,419
137
51
90 ≤ x<117 Tinggi 50 62,5 108,42
63 ≤ x <90 Rendah 6 7,5
36≤ x <63 Sangat Rendah 1 1,25
Jumlah 80 100
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar mahasiswa Papua yang
berkuliah di UKSW Salatiga memiliki tingkat self-regulated learning yang tinggi
yaitu 50 mahasiswa atau 62,5% dimana skor paling rendah adalah 60 dan skor
paling tinggi adalah 140 dengan rata-ratanya sebesar 107,85 dan standar deviasi
14,298. Begitu juga dengan mahasiswa Papua yang berkuliah di UKSW Salatiga
memiliki tingkat psychological well-being yang juga berada pada kategori tinggi
yaitu 50mahasiswa atau 62,5% dimana skor paling rendah adalah 51 dan skor paling
tinggi adalah 137 dengan rata-ratanya sebesar 108,42dan standar deviasi 14,419.
16
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
SRL PWB
N 80 80
Normal Parametersa Mean 107.85 108.42
Std. Deviation 14.298 14.419
Most Extreme Differences Absolute .081 .128
Positive .067 .077
Negative -.081 -.128
Kolmogorov-Smirnov Z .728 1.148
Asymp. Sig. (2-tailed) .665 .144
Pada skala self-regulated learning diperoleh hasil skor sebesar 0,728 dengan
probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,665 (p>0,05). Sedangkan pada skor
psychological well-being memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,1148 dengan probabilitas
(p) atau signifikansi sebesar 0,144.Dengan demikian kedua variabel memiliki
distribusi yang normal.
Sementara dari hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
PWB * SRL
Between Groups
(Combined) 15468.583 37 418.070 18.349 .000
Linearity 11341.771 1 11341.771 497.775 .000
Deviation from Linearity
4126.813 36 114.634 5.031 .000
Within Groups 956.967 42 22.785
Total 16425.550 79
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,5031 dengan signifikansi =
0,000 (p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara self-regulated learning dengan
psychological well-being adalah tidak linear.
17
Uji Korelasi
Uji korelasi antara variabel bebas dan terikat, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Hasil Uji Korelasi antara Self-Regulated Learning dengan
Psychological Well-Being
Correlations
SRL PWB
SRL Pearson Correlation 1 .831**
Sig. (1-tailed) .000
N 80 80
PWB Pearson Correlation .831** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 80 80
Hasil koefisien korelasi antara self-regulated learning dengan psychological
well-being, sebesar 0,831 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara self-regulated learning
dengan psychological well-being pada mahasiswa Papua yang berkuliah di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara self-regulated learning
dengan psychological well-being pada mahasiswa Papua yang berkuliah di UKSW
Salatiga, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara self-
regulated learning dengan psychological well-being pada mahasiswa Papua yang
berkuliah di UKSW Salatiga. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi, keduanya
memiliki r sebesar 0,831 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang berarti
kedua variabel yaitu self-regulated learning dengan psychological well-being
memiliki hubungan yang positif.
18
Dalam dunia pendidikan formal, self-regulatied merupakan salah satu faktor
penting yang dapat memberikan dorongan atau semangat dan gairah pada siswa
maupun mahasiswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Zimmerman
(dalam Duckwort, dkk., 2009) menegaskan bahwa siswa/mahasiswa yang secara
aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan mampu mengontrol tekanan
psikologisnya adalah mereka yang secara aktif mampu mengatur tindakan, cara
berpikir, dan memiliki dorongan untuk belajar. Hal tersebut terlaksanakan dengan
baik, karena mereka mampu memperhatikan cara belajar mereka.
Feist & Feist (2010) menyatakan bahwa siswa/mahasiswa yang dapat
mengarahkan tindakan mereka melalui self-regulation-nya dengan membuat tujuan
yang bernilai dalam mencapai hasil yang baik melalui proses pembelajaran di kelas,
sehingga dapat menciptakan suatu keadaan, dan kemudian menggerakkan
kemampuanserta usaha mereka untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga tujuan
yang dikehendaki oleh individu dalam belajar itu dapat tercapai.
Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi self-
regulated learningyang ada pada diri mahasiswa, maka tinggi pula psychological
well-being, sehingga hasil belajar yang mereka peroleh juga akan maksimal. Hal
tersebut dikarenakan para mahasiswa Papua yang berkuliah di UKSW Salatiga
mampu meregulasi diri mereka dengan baik dalam mengikuti proses pembelajaran di
kelas. Selain itu, mereka mampu mengatur jam tidur, dan jam belajar di rumah/kos,
sehingga berdampak pada psikologisnya yang sejahtera.
Hal ini terlihat dari hasil kajian penelitian di atas, bahwa antara self-regulated
dengan psychological well-being memiliki hubungan yang positif signifikan.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa self-
19
regulated sebesar 62,5% yang berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar mahasiswa Papua yang berkuliah di UKSW Salatiga mampu
mengatur dirinya untuk belajar yang tinggi. Pada psychological well-being pada
mahasiswa Papua sebesar 62,5% yang berada pada kategori tinggi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa Papua yang berkuliah di UKSW
Salatigamampu sejahtera secara psikologis yang tinggi.
Hasil penelitian ini mendukung yang diutarakan oleh Mulyani (2013), yang
dalam penelitiannya menemukan bahwa self-regulated learning memberikan
dampak positif terhadap kesejahteraan akademik baik secara moral bahkan
psychological well-being-nya, hal ini karena para partisipannya mampu
memanajemen waktu belajarnya dengan baik karena mereka mampu meningkatkan
self-regulated learnging-nya yang memberikan dampak baik pada psychological
well-being-nya mahasiswa Papua yang berkuliah di UKSW Salatiga.
Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya psychological well-being
seseorang, self-regulated learning merupakan salah satu faktor pendukung dari
semua faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya psychological well-being
(Kitsantas, dkk., 2009). Jika dilihat sumbangan efektif yang diberikan self-regulated
terhadap psychological well-being, self-regulated learning memberikan kontribusi
sebesar 69,06% dan sebanyak 30,94% dipengaruhi oleh faktor lain di luar self-
regulated learning yang dapat berpengaruh terhadap psychological well-being,
seperti faktor dari lingkungan misalnya pendampingan dari pihak guru kepada siswa
dan pengaruh dari siswa yang lain (Winkel, 2009).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa self-regulated
learningmemberikan kontribusi terhadap psychological well-being, sehingga
20
nampak jelas bahwa self-regulated learning mempunyai hubungan positif dengan
psychological well-being.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara
self-regulated learning dengan psychological well-being pada mahasiswa Papua
yang berkuliah di UKSW Salatiga.
Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan
serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis
ajukan:
1. Bagi subjek penelitian. Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan bagi
subjek penelitian (mahasiswa) agar lebih bisa untuk menggali potensi diri dan
meningkatkan afektivitasnya secara keseluruhan agar dapat mencapai kesuksesan
terkhususnya di bidang akademiknya.
2. Bagi Peneliti selanjutnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada
faktor lain di luar self-regulated learning yang memengaruhi psychological well-
being sebesar 30,94%. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut
penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat
digunakan, sehingga terungkap faktor-faktor yang memengaruhi psychological
well-being, seperti makna hidup, dan kepercayaan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2007). Ilmu dan aplikasi pendidikan. Cetakan kedua. Bandung: PT
IMTIMA.
Argyle, M. (2001). Psikologi of happiness. New York: Routledge
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bastman, H. D. (1995). Integrasi psikologi dengan islam. Yogyakrta : Asin Sedar.
Bintoro, W. (2013). Hubungan self-regulated learning dengan kecurangan akademik
mahasiswa. Educational Psychology Journal, 2 (1), 2013.
Camahalan, F. M. (2006). Effects of self-regulated learning on mathematics
achievement of selected south east asian children. Journal of Instructional
Psychology, 33 (3), 194-205.
Chen, C. S. (2002). Self-regulated learning strategies and achievement in
anintroduction to information systems course. Information Technology,
Learning And Performance Journal, 20 (1), 11-25.
Deasyanti dan Anna, A. R. (2007). Self regulation learning pada mahasiswa fakultas
ilmu pendidikan universitas negeri Jakarta. Perspektif Ilmu Pendidikan.16 :
13-21
Duckworth, K., Akerman, R., McGregor, A., Salter, E., & Vorhaus, J. (2009). Self-
regulated learning: a literature review. Diakses pada tanggal 14 April 2015
dari www.learningbenefit.net/publications/ResReps/ResRep33.pdf
Feist & Feist. (2010). Teori kepribadian. Edisi ketujuh. Jakarta: Salemba Humanika.
Frankl, V. E. (2003). Logoterapi: Terapi psikologi melalui pemaknaan eksistensi.
Penerjemah : Murtadlo. Yogyakarta.
Kitsantas, A., Steen, S., & Huie, F. (2009). The role of self-regulated strategies and
goal orientation in predicting achievement of elementary school children.
International Electronic Journal of Elementary Education.October Vol. 2,
Issue 1.
Mulyani, M. D. (2013). Hubungan antara manajemen waktu dengan self-regulated
learning pada mahasiswa. Educational Psychology Journal, 2 (1), 2013
Munandar, A. S. (2001). Ensiklopedi pendidikan. Malang: UM Press
22
Neepal, R ., & Renu, R. (2007). Meaning in life and psychological well being in
pre-adolescents and adolescens. Journal of The Indian Academy of Applied
Psychology.33. 1, 33-38
Ryff, C. D. (1989) Eksploration on the meaning of psychological well-being.
Journal of Personality And Social Psychology, 57, 1069-1081.
Santrock, J. W. (2002). Life–span development: perkembangan masa hidup.
Penerjemah: Juda Damanik. Edisi 5. Jakarta: Erlangga
Sardiman, A. M. (2012). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Cetakan ke 21.
Jakarta: Rajawali Pers
Suci, R. R. (2008). Perbedaan self-regulation pada mahasiswa yang bekerja dan
mahasiswa yang tidak bekerja. Jakarta: INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, 1
(1), 34-48.
Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif,
kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sukmadinata, N. S. (2003). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rasdakarya
Susanto, H. (2006). Mengembangkan kemampuan self-regulation untuk
meningkatkan keberhasilan akademik siswa. Jurnal Pendidikan Penabur.
No.07/th V/Desember 2008, 64-71.
Syek, D. (1992) Meaning in life and psychological well being: an empirical study
using the Chinese version of the purpose in life questionnaire. Journal of
genetic psychology,158, 147-479.
Winkel, W. S. (2009). Psikologi pengajaran. Edisi Terbaru. Yogyakarta: Media
Abadi
Yulianti. (2014). Hubungan antara self-regulated learning dengan psychological
well being pada mahasiswa pascasarjana di Jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan).
Jakarta, Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana.
Zimmerman, B. J. (2000). Attaining self-regulation: a social cognitive perspective.
Dalam Boekarts, M., Pintrich, R. P., & Zeidner, M. Handbook of self-
regulation. Pp. 13-39 San Diego, CA: Academik Press
Zimmerman, B. J., & Matinez-Pons, M, (1990). Construct validation of a strategy
model of student self-regulated learning. Journal of Education Psychology,
Vol. 80, 284-290.
23
Zimmerman, B. J. (1989). A Social Cognitive view of self-regulated academic
learning. Journal of Educational Psychology, 3, 329-339.