Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA PENINGKATAN JUMLAH LEUKOSIT
DENGAN APENDISITIS AKUT PERFORASI DI RSU KOTA
TANGERANG SELATAN TAHUN 2015 -2016
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Fitria Rahmi Ramadhani
NIM: 11151030000063
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penerlitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar 51 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Semua sumber yang saya gunakan dalam
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang
Hidayatullah Jakarta
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Jakarta.
Ciputat, Oktober 20i8
Fitria Ramadhani
2.
J.
penulisan ini telah saya
berlaku di UIN Syarif
ini bukan karya asli saya
orang lain, maka saya
UIN Syarif Hidayatullah
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
HUBUNGAN PENINGKATAN JUMLAH LEUKOSIT DENGANAPENDISITIS AKUT PERFORASI DI RSU KOTA TANGERANG
SELATAN TAHUN 2015-2016
Laporan PenelitianDiajukan kepada Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran untukMemenuhi Persyaratan l\4emperoleh Gelar S arj anaKedokteran (S.Ked)
OlehFitria Rahmi Ramadhani
NIM: 1l151030000063
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Achmad Luthfi, SpB-KBDNrP. 19660420 199412 1 001
\ --='----'---\)-
-/ ar.eyal Rahayu. Sp.Raci.lVI.KesNIP. 19640909.199603 1 001
PROGRAM STUDI KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1440II/ 2018 M
It
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian bery'udul HUBUNGAN PENINGKATAN JUMLAHLEUKOSIT DENGAN APENDISITIS AI(UT PERFORASI DI RSU KOTATANGERANG SELATAN TAHUN 2015-2016yang diajukan oleh Fitria RahmiRamadhani (NIM 1115103000063), telah diujikan dalam sidang di FakultasKedokteran pada 1 November 2018. Laporan penelitian ini telah diterima sebagaisalah satu syarai memperoleh gelai' Sarjana Kedokteran (S.Ked) pa<ia ProgramStudi Kedokteran.
Ciputat, 1 November 2018
DEWAN PENGUJIKetua Sidang
dr. Achmad Luthfi, SpB-KBDNIP. 19660420 199412 1 001
Pembimbing I
dr. Acirmad Luthfi, SpB-KBDNrP. 19560420 1994t2t 001
dr. Bisatlzo MTrrdjikoen, SpOTNiP. 1966tfi3 i99103 1 003
FK UIN
dr.
Pembimbing II
\-o - -,--i;--t.
,. -a-,"
/ dr. Ayat Rahayu" Sp.Rad,M.KesNIP. 19640909 199603 1 001
Penguji II/t
(ffi&r
dr. Ahmad Azwar Habibi, M.BiomedNrP. 19800s22 2A0912 | 005
PIMPINAN FAKULTAS
Kaprodi Kedokteran
o, Sp.PD-KEMD,Ph.D, FINASIM dr. Achmad Zaki,M.Epid, SpOT196511232003t21003 NIP.19780507200s01 1 00s
IV
NIP.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan nikmatnya yang telah diberikan saya dapat menyelesaikan laporan penelitian
ini sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,
penelitian ini sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. dr. Hari Hendarto, SpPD, PhD, FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan dr.
Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT selaku Kepala Program Studi Kedokteran
dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu
kepada saya selama menjalani pendidikan Program Studi Kedokteran FK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Luthfi, SpB-KBD selaku pembimbing satu dan dr. Ayat
Rahayu, Sp.Rad, M.Kes selaku pembimbing dua , yang selalu memberikan
bimbingan dengan baik dan sabar serta selalu memotivasi dalam proses
penyusunan laporan penelitian dari awal perumusan laporan hingga akhir
laporan penelitian ini..
3. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggung jawab riset angkatan 2015
atas segala bimbingan dan motivasi dalam proses penyusunan laporan
penelitian ini.
4. RSU Kota Tangerang Selatan, yang telah memberikan izin kepada saya
untuk melakukan penelitian dan mengembangkan ilmu saya,
5. Kedua orang tua saya yang tercinta, dr. Toni Agus Setiono, SpB dan N
Imas Em Farida, Amd.Keb yang selalu memberikan cinta dan kasih
sayang yang tak terhingga serta memotivasi dalam penyusunan laporan
penelitian ini.
vi
6. Adik saya Helga Rahma Setiani yang telah mendukung dan menghibur
saya dalam proses penyusunan laporan penelitian ini.
7. Teman seperjuangan dalam penelitian ini Allifka Ramadhanti, Farah Alvi,
Syifa Faisal dan Wahyuning Hapsari yang selalu membantu dalam
penyusunan laporan penelitian dari awal hingga akhir.
8. Sahabat-sahabat terbaik saya Salsabila Windya Anggraeni, Fitmika Dewi,
Nabilah Ulfah dan Auliya Yasmin Uzair yang selalu memberikan
semangat dan mendengar keluh kesah penulis.
9. Teman-teman ARMYGDALA yaitu Febri Nugraheni, Meyasi N, Shafira
Putri Widjaja, Fitria Tahta Alfina, Isna Khumairotin, Sisy Marfani Rizki,
Aqiila Puterikami yang selalu memberikan motivasi dan menghibur
penulis.
10. Teman-teman Amigdala 2015 yang berjuang bersama saya dan mewarnai
kehidupan saya di Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa laporan penelitian masih memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna, karena itu saya sebagai penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan kelanjutan penelitian
ini.Deikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umunya.
Ciputat, Oktober 2018
Penulis
vii
ABSTRAK
Fitria Rahmi. Program Studi Kedokteran. Hubungan Peningkatan
Jumlah Leukosit dengan Kejadian Apendisitis Akut Perforasi di RSU
Tangerang Selatan pada Tahun 2015-2016.2018
Latar Belakang :Apendisitis akut merupakan kasus kegawat daruratan
abdomen yang sering terjadi dan membutuhkan tindakan yang tepat dan
cepat untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa perforasi. Dalam
penegakan diagnosis dan mengetahui prognosis pada pasien apendisitis
akut dibutuhkan pemeriksaan penunjang, salah satunya pemeriksaan yang
mudah dan memiliki harga terjangkau adalah pemeriksaan hitung jumlah
leukosit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
peningkatan jumlah leukosit dengan kejadian akut perforasi. Metode :
Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Pengambilan
sampel secara total sampling dengan jumlah sampel 112 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi. Data kemudian dikelompokan menjadi
diagnosis dan dianalisa menggunakan rumus uji Chi-square. Hasil : Hasil
analisis data didapatkan rata-rata jumlah leukosit kejadian akut tanpa
perforasi 13.030 sel/mm3 dan akut perforasi adalah 21.837 sel/mm
3 dan
berdasarkan analisa uji Chi-Square menunjukan adanya hubungan yang
signifikan antara peningkatan jumlah leukosit dengan kejadian akut
perforasi (p=0,009). Simpulan : Terdapat hubungan antara peningkatan
jumlah leukosit dengan kejadian apendisitis akut perforasi.
Kata Kunci : apendisitis akut perforasi, apendisitis akut, jumlah leukosit
viii
ABSTRACT
Fitria Rahmi. Medical Education Study Program. Corellation
Between the Increased Leukocyte Count with Perforated Acute
Appendicitis in RSU Tangerang Selatan in 2015-2016.2018
Background : Appendicitis acute is the most common emergency case of
abdomen and immediate and proper treatment is needed to prevent
complication such as perforation. To diagnose and determining prognosis
in acute appendicitis, doctors are need to do laboratory examinations, one
of the laboratory examinations which is easy and affordable is leukocyte
count. The aim of this study is to analyze the corellation between the
increase leukocyte count with perforated acute appendicitis. Method :
This is an analytic research with cross sectional design. The sample was
taken with total sampling with total samples, 112 samples fit the inclusion
criteria. The data was subsequently divided according to diagnosis and
analyzed using Chi-square test. Results : The result from data analyze
show average of leukocyte count in appendicitis acute without perforation
is 13.030 cells/mm3and appendicitis acute perforation is 21.837 cells/mm
3
and from Chi-square test’s result showthat there is a significant correlation
between the increased leukocyte count with perforated acute appendicitis
(p=0,009). Conclusion : There is a significant corellation between the
increased leukocyte count with perforated acute appendicitis.
Keywords : perforated acute appendicitis, acute appendicitis, leukocyte
count
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3 Hipotesis ............................................................................................................. 3
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 3
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4
1.5.1 Bagi Peneliti : .................................................................................................... 4
1.5.2 Bagi Institusi : ................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5
2.1 Landasan Teori ................................................................................................. 5
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks ...................................................................... 5
2.1.2 Apendisitis ........................................................................................................ 8
2.1.2.1 Definisi .................................................................................................... 8
2.1.2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 8
2.1.2.3 Klasifikasi ............................................................................................... 9
2.1.2.4 Etiologi .................................................................................................. 10
2.1.2.5 Patofisiologi .......................................................................................... 11
2.1.2.6 Gambaran Klinis ................................................................................... 12
x
2.1.2.7 Diagnosis ............................................................................................... 13
2.1.2.8 Komplikasi ............................................................................................ 18
2.1.2.9 Diagnosis Banding ................................................................................ 19
2.1.2.10 Tata Laksana ..................................................................................... 19
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................... 21
2.3 Kerangka Konsep ............................................. Error! Bookmark not defined.
2.4 Definisi Operasional ......................................... Error! Bookmark not defined.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 23
3.1 Desain Penelitian ............................................................................................. 23
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 23
3.2.1 Tempat Penelitian ........................................................................................... 23
3.2.2 Waktu Penelitian ............................................................................................. 23
3.3 Populasi dan Sampel ....................................................................................... 23
3.3.1 Populasi ........................................................................................................... 23
3.3.2 Sample ............................................................................................................ 23
3.3.3 Kriteria Sampel ............................................................................................... 25
3.3.3.1 Kriteria Inklusi ...................................................................................... 25
3.3.3.2 Kriteria Eksklusi ................................................................................... 25
3.4 Cara Kerja Penelitian ..................................................................................... 25
3.5 Pengolahan Data ............................................................................................. 26
3.5.1 Pengelolaan Data ............................................................................................ 26
3.5.2 Analisa Data .................................................................................................... 26
3.6 Etika Penelitian ............................................................................................... 27
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 28
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................................ 28
4.1.1 Prevalensi Apendisitis Akut di RSU Tangerang Selatan Tahun 2015-2016 ... 28
4.1.2 Prevalensi Sampel Berdasarkan Karakteristik ............................................... 29
4.1.3 Hubungan Nilai Leukosit Dengan Kejadian Apendisitis Akut Perforasi di RSU
Tangerang Selatan Tahun 2015-2016 ....................................................................... 31
4.2 Pembahasan ..................................................................................................... 32
4.3 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 36
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 37
5.1 Simpulan .......................................................................................................... 37
5.2 Saran ................................................................................................................ 37
xi
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 38
LAMPIRAN..................................................................................................................... 42
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Frekuensi Gejala yang Sering Muncul ................................................. 13
Tabel 2. 2 Frekuensi Tanda yang Sering Muncul ................................................. 13
Tabel 2. 3 Tanda Klasik Apendisitis pada Pasien dengan Nyeri Abdomen.......... 15
Tabel 2. 4 Skor Alvarado ...................................................................................... 18
Tabel 4. 1 Prevalensi Apendisitis Akut di RSU Kota Tangerang Selatan Tahun
2015-2016 ............................................................................................................. 28
Tabel 4. 2 .Prevalensi Karakteristik Pasien Apendisitis Akut .............................. 29
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Anatomi Apendiks Vermiformis ........................................................ 5
Gambar 2. 2 Lokasi dari apendiks dan caecum...................................................... 6
Gambar 2. 3 Variasi regio anatomis pada apendiks ................................................ 7
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian......................................................................42
Lampiran 2 Uji Statistik...................................................................................43
Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup...................................................................44
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis akut adalah kasus yang sering terjadi pada kegawatan
abdomen akut akibat peradangan di apendiks veriformis yang progresif
dan menetap. Apendisitis dapat terjadi pada semua usia, namun kejadian
apendisitis ini meningkat pada usia remaja dan dewasa yaitu sekitar usia
15-25tahun.1Kejadian apendisitis di Indonesia berdasarkan data
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan
persentase 3.36% dan pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan
persentase 3.53% yang berarti ada peningkatan yang menyatakan
apendisitis merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua di Indonesia
pada rawat inap di rumah sakit.pada tahun 2009 dan 20102Insiden
apendisitis akut berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada
kasus pembedahan, 35% nya adalah kasus apendisitis akut. Penegakan
diagnosis dan tindakan pembedahan yang cepat dan tepat sangatlah
penting karena dapat mengurangi angka komplikasi apendisitis perforasi,
morbiditas dan mortalitas.Diagnosis terhadap pasien dengan suspek
appendisitis dapat dilihat dari riwayat penyakit dan juga pemeriksaan fisik
sedangkan untuk uji laboratorium masih kontroversial.
Pada pemeriksaan fisik biasanya menujukan adanya takikardi
sedang atau peningkatan suhu dan keluhan utama yang sering muncul
adalah nyeri kolik di central abdomen diikuti muntah dengan
berpindahnya nyeri di are fossa iliaka kanan.3 Pemeriksaan fisik yang
biasa dilakukan pada apendisitis adalah nyeri tekanMcBurney yaitu
penekanan pada anterior apendiks lebih lanjut lainnya adalah Rovsig’s sign,
psoas sign, obturator sign dan juga dapat dinilai dengan Alvarado
Score.Pemeriksaan laboratrium untuk appendisitis belum ada yang spesifik
namun ada beberapa uji laboratorium yang dapat membantu penegakan
diagnosis diantaranya leukosit dan hitung jenis sel neutrofil (WBCs), C-
reactive protein (CRP), interleukin-6 (IL-6) dan prokalsitonin (PCT).
2
Beberapa studi menunjukan hubungan antara kenaikan perhitungan sel
darah putih pada diagnosis appendisitis, kenaikan neutrofil (>75%) dan
predominant leukosit muncul 80 – 90%.4Usaha meningkatkan akurasi
diagnosis apendisits akut dan mencegah tindakan pembedahan yang tidak
diperlukan (unnecessary appendectomy) merupakan masalah aktual dan
masih sering diperdebatkan. Perhitungan leukosit adalah salah satu
investigasi yang membantu dalam penegakan diagnosis apendisitis akut.
Pemeriksaan ini mudah ditemukan dan ekonomis yang dapat dilakukan
hampir pada seluruh laboratorium. Jumlah leukosit pada apendisitis akut
umumnya meningkat yaitu sekitar 10000-18000µl. Pada umumnya, jumlah
leukosit lebih dari 18000µl menunjukan telah terjadi perforasi dan
peritonitis.3 Pemeriksaan ini penting karena dapat membantu menegakan
diagnosis apendisitis akut dan memprediksi prognosisnya sehingga
memudahkan dokter untuk menangani pasien dengan baik, karena
penangan dari apendisitis akut dan perforasi berbeda dan memiliki
prognosis berbeda.
Pemeriksaan ini telah banyak diteliti manfaatnya. Penelitian
Nasution di Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak (2011),
menunjukan adanya kenaikan leukosit pada 63,33% pasien apendisitis
akut, penelitian Dwintasari di RSU Provinsi NTB (2012-2013), menujukan
adanya kenaikan leukosit 56,5% pasien apendisitis akut dan 59,5% pada
pasien apendisitis akut perforasi, sehingga dari beberapa penelitian ini
dapat diambil kesimpulan bahwa pemeriksaan hitung jumlah leukosit
dapat membantu menegakan diagnosis apendisitis akut. Namun masih ada
pula studi yang mempertanyakan apakah pemeriksaan leukosit ini dapat
secara adekuat menegakan diagnosis appendisitis.
Perbedaan dari beberapa hasil penelitian ini, membuat penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara peningkatan
jumlah leukosit dengan apendisitis akut perforasi di Rumah Sakit Umum
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2015-2016. Selain itu, penulis juga
tertarik untuk melakukan penelitian ini dikarenakan ingin mengetahui
keefektifan hitung jumlah leukosit dalam menegakan diagnosis apendisitis
3
akut sehingga dapat mendapatkan penanganan yang sesuai dan mencegah
terjadinya perforasi maupun komplikasi lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara peningkatan jumlah leukosit dengan
apendisitis akut perforasi di RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun 2015-
2016?
1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara peningkatan jumlah leukosit dengan apendisitis
akut perforasi di RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun 2015-2016
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubungan antara peningkatan jumlah leukosit pada
kejadian apendisitis akut perforasi di RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun
2015-2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara peningkatan jumlah leukosit pada kejadian
apendisitis akut perforasi.
b. Mengetahui kejadian apendisitis akut perforasi berdasarkan usia pada
pasien apendisitis akut di RSU Tangerang Selatan tahun 2015-2016
c. Mengetahui kejadian apendisitis akut perforasi berdasarkan jenis kelamin
pada pasien apendisitis akut di RSU Tangerang Selatan tahun 2015-2016.
4
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti :
a. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan peneliti dalam bidang
penelitian.
b. Meningkatkan pemahaman peneliti akan penegakan diagnosis pada
apendisitis akuttanpa perforasi dan apendisitis akut perforasi dengan
menggunakan perhitungan leukosit
c. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama menjalani
pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1.5.2 Bagi Institusi :
a. Mewujudkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai universitas yang dapat ikut berkontribusi dalam membantu
menegakan diagnosis kejadian apendisitis akut tanpa perforasi dan
mencegah terjadinya akut perforasi.
b. Sebagai bahan informasi, pustaka, dan masukan bagi mahasiswa untuk
melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian
yang telah dilakukan penulis.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Gambar 2. 1Anatomi Apendiks Vermiformis
Sumber : Martini,2012
Apendiks vermiformis pertama di temukan oleh rakyat mesir
ketika melakukan proses “memumikan”, bagian abdomen dikeluarkan dan
ditaruh pada sebuah toples dengan di depskrisikan sebagai “cacing saluran
pencernaan” yang ditemukan.4 Apendiks vermiformis dianggap sebagai
organ paling vestigial yaitu organ sudah kehilangan atau kebanyakan
fungsinya atau disebut juga organ sisa. Apendiks vermiformis memiliki
struktur tabung yang sempit, berongga, berujung buntu disalah satu sisinya
dan berhubungan dengan caecum di sisi lain. Secara embriologi appendiks
adalah terusan dari caecum dan pertama kali tergambarkan pada bulan ke-
5 selama gestasi.5 Letak dari apendiks sendiri yaitu menempel pada aspek
posteromedial pada caecum. Organ ini adalah satu-satunya organ pada
tubuh yang tidak memiliki posisi anatomi yang konstan. Apendiks
6
memiliki panjang normalnya sekitar 9 cm, tetapi ukuran dan bentuknya
cukup bervariasi.6
Gambar 2. 2Lokasi dari apendiks dan caecum
Sumber : Harrison, 2015
Titik pelekatan apendiks vermiformis dengan caecum konsisten
dengan alur taenia coli libera yang tampak jelas mengarah ke basis
apendiks vermiformis, sementara ujung lain dari apendiks vermiformis
memiliki posisi sangat bervariasi.7Apendiks memiliki beberapa posisi
yaitu :
a) preileal : anterior dari ileum terminal, kemungkinan
berhubungan dengan dinding tubuh.
b) postileal : posterior dari ileum terminal.
c) Paracolic.
d) retrocaecal : posterior dari caecum atau bagian bawah colon
ascendens.
7
e) subcaecal : inferior caecum.
f) pelvic : menggantung diatas apertura pelvis, didalam pelvis
atau dalam posisi descenden.
g) Subhepatic : paling jarang
Gambar 2. 3Variasi regio anatomis pada apendiks
Sumber : Harrison, 2015
Variasi pada posisi apendiks, usia pasien dan tingkat inflamasi
inilah yang membuat manifestasi klinik pada apendicitis secara terkenal
tidak konsisten. Berdasarkan kejadian menurut posisi apendiks yang
dilaporkan 65,28% pada retrocaecal; 31,01% pelvic; 2,26% subcaecal; 1%
preileal dan 0.4% untuk right paracolic/postileal.4Arteri apendikular
mewakilkan keseluruhan suplai arteri akhir organ yang berasal dari arteri
ileocolic. Jika terjadi thrombosis pada arteri ini akan terbentuk gangrene
dan kemudian perforasi. Vena dari apendiks mengalir menuju vena
ileocolic yang kosong ke vena mesenteric superior.Beberapa kanal
limfatik yang tipis akan melewati mesoapendiks untuk menuju ke nodus
ileocaecal. GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat pada
organ apendiks dapat mensekresi Imunoglobulin (IgA) yang berfungsi
sebagai alat pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pengangkatan organ
apendiks ini tidak akan mempengaruhi sistem imun dalam tubuh karena
8
jumlah jaringan limfe yang perbandingannya sangat kecil bila
dibandingkan dengan jumlahnya di seluruh tubuh.8
2.1.2 Apendisitis
2.1.2.1 Definisi
Apendisitis adalah proses peradangan pada apendix vermiformis.
Apendisitis akut dengan mula gejala akut yang memerlukan pembedahan cepat
dan biasanya ditandai dengan nyeri pada kuadran abdomen kanan bawah, nyeri
lepas alih, spasme otot yang ada diatasnya, dan hiperestesia kulit, sedangkan pada
apendisitis kronik ditandai dengan penebalan fibretik dinding organ tersebut yang
disebabkan oleh peradangan akut sebelumnya.9Apendisitis merupakan penyebab
tersering nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah kompikasi yang umumnya berbahaya.8
2.1.2.2 Epidemiologi
Apendisitis terjadi lebih sering pada lingkup sosial Barat.Kejadian ini
menurun tanpa sebab yang jelas, namun apendisitis akut tetap menjadi kasus
emergensi tersering dalam bedah umum pada abdomen, dengan ratio mencapai
100 per 100,000 orang/ tahun di Eropa dan Amerika sekitar 11 kasus per 10,000
orang. Sekitar 9% dari pria dan 7% dari wanita akan mengalami episode ini dalam
hidupnya. Keseluruhan, 70% pasien adalah kurang dari usia 30 tahun dan
kebanyakan prian; rasio antara pria dan wanita yaitu 1.4 : 1.10
Apendisitis berisiko
terjadi pada usia 12 – 20 tahun dimana puncaknya jumlah folikel pada apendiks.3
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004 diketahui bahwa
apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya
adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta
jiwa di kawasan Asia Tenggara. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di Indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut
abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawat daruratan
abdomen. Insiden apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara
9
kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes 2008). Pada tahun 2009, menurut
Departemen Kesehatan RI, apendisitis masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak
pada pasien rawat inap di rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia.2
Menurut suatu studi, kejadian apendisitis pada negara maju lebih tinggi
daripada di negara berkembang. Menurut penelitian yang dilakukan di RS
ImmanuelBandung pada bulan Januari 2013-Juni 2013, dari 152 sampel pasien
apendisitis tercatat 55 orang (36,8%) berprofesi sebagai karyawan swasta dengan
perkiraan kategori ekonomi menengah keatas, sementara 1 orang (0,65%)
berprofesi sebagai pedagang dengan perkiraan kategori menengah kebawah.11
Hal
ini diduga karena pola makan dan juga hidup masyarakat negara maju atau
ekonomi menengah atas yang cenderung mengkonsumsi makanan rendah serat
seperti fast food, dsb.
2.1.2.3 Klasifikasi
Apendisitis diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu apendisitis akut dan
kronik.8 Apendisitis akut dibagi menjadi beberapa derajat:
a) Apendisitis akut sederhana
Terjadi peradangan di area mukosa dan submukosa yang disebabkan
obstruksi
b) Apendisitis akut purulenta atau disebut juga supuratif
Peningkatan tekanan lumen karena sekresi mukosa disertai edema
yang menekan aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan
trombosis.
c) Apendisitis akut gangrenosa
Mulai terjadi infark karena tekanan lumen yang meningkat dan
terjadinya trombosis.
d) Apendisitis infiltrat
Proses radang apendiks yang penyebaran;nya dapat dibatasi oleh
omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehinnga
membentuk gumpalan massa yang melekat erat satu dengan lainnya.
e) Apendisitis abses
Massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus)
10
f) Apendisitis perforasi
Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk
ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
Apendisitis kronik jarang terjadi daripada apendisitis akut dan lebih sulit
untuk didiagnosis, insidensnya hanya 1% di Amerika Serikat. Apendisitis kronik
yang dapat menjadi akut lagi disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut.
Penegakan diagnosis pada apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal
yaitu12
:
a) Memiliki riwayat nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling
sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain;
b) Setelah dilakukan apendektomi gejala yang dialami pasien tersebut hilang;
c) Secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi
kronis yang aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks.
2.1.2.4 Etiologi
Etiologi dari apendisitis ini masih belum bisa dipahami. Obstruksi dari
lumen adalah faktor yang mendominasi pada apendisitis akut. Fekalit, residu
makanan yang belum tercerna sempurna, hiperplasia limfoid, luka intraluminal,
tumor, bakteri, virus dan inflammatory bowel disease itu semua dapat
berhubungan dengan inflamasi apendiks pada apendisitis.10
Penyebab tersering
pada obstruksi apendik adalah fekalit hampir 50% kejadian apendisitis akut
disebabkan hal ini, sedangkan untuk hipertrofi jaringan, sayuran, biji buah, cacing
(Enterobius vermicularis, Balantidum coli, Schistosoma haematobium) lebih
sedikit.13
Pada 60% aspirasi cairan apendiks yang meradang ditemukan adanya
bakteri anaerob,pada jaringan apendiks normal hanya ditemukan 25% bakteri
anaerob. Menurut studi yang dilakukan di Ukraina pada tahun 2016, dari 153
sampel pasien apendisitis ditemukan terdapat 82 sampel (80,39%) yang positif
terdapat bakteri E.coli, 52 sampel (50,98%) terdapat bakteri Staphylococcus dan
bakteri fecal Streptococcus pada 9 sampel (18,63%).14
11
2.1.2.5 Patofisiologi
Apendisitis diawali oleh obstruksi lumen appendiceal, obstruksi ini
diyakini sebagai tahap penting dari terbentuknya apendisitis. Obstruksi ini dapat
disebabkan karena fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, struktur karena
fikosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Dalam beberapa kasus,
obstruksi ini akan mengarah pada pertumbuhan bakteri secara cepat yang
berlebihan dan juga distensi lumen karena sekresi mukus terus menerus.10
Akibat
dari distensi lumen adalah muncul stimulasi pada saraf nyeri visceral afferent
yang menyebabkan nyeri difus pada abdomen bawah dan tengah. Distensi secara
tiba-tiba dapat menyebabkan rasa kram.Akibat tertekannya pembuluh darah vena
dan arteri menyebabkan terjadinya kongesti di pembuluh darah apendiks dan
menimbulkan reflex mual.Kemudian, thrombosis pada pembuluh darah dan
nekrosis iskemik dengan perforasi pada appendix distal dapat terjadi. Sebagai
kompensasi terhadap invasi bakteri maka tubuh mengaktivasi mediator inflamasi
pada jaringan apendiks dan menyebabkan timbulnya gejala demam, takikardi dan
leukositosis dan secara progresif dapat terjadi perforasi.3
Apendiksekal fekalit dapat ditemukan pada 50% pasien dengan
apendisitis gangren yang perforasi tetapi jarang ditemukan pada pasien yang
memiliki penyakit sederhana. Berdasarkan observasi ini, proses patofisiologi
berbeda dan apendisitis tidak selalu berproses menuju perforasi. Selain itu, pada
beberapa kasus apendisitis akut yang sederhana dan teratasi secara spontan atau
dengan terapi antibiotik, dan kejadian berulang dapat terjadi.10
Ketika perforasi terjadi, apendiks yang mengalami inflamasi akan
mengeluarkan cairan yang mengandung bakteri dan akan mengenai omentum atau
jaringan yang ada disekitarnya untuk membentuk abses. Perforasi bebas
normalnya dapat menyebabkan severe peritonitis. Pasien ini dapat mengalami
thrombosis supuratif yang infektif pada vena portal dan juga diikuti abses
intrahepatik.10
12
2.1.2.6 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada pasien apendisitis akut biasanya adalah nyeri pada
abdomen. Nyeri dimulai dari area periumbilical/epigastrium berpindah ke fossa
iliaka kanan dalam beberapa jam. Kemungkinan setelah itu muncul gejala lain
seperti tidak nafsu makan, mual dan muntah selama 12-24 jam.Nyeri awal pada
periumbilikal disebabkan oleh obstruksi dan inflamasi dari apendiks dan di
medias melalui saraf nyeri visceral sebagai nyeri. Ketika parietal peritoneum
terlibat dapat menyebabkan nyeri somatik yang melokalisasi, intense dan konstan
yang menjalar.15
Dalam apendisitis awal, pasien mulanya afebrile atau memiliki
demam rendah. Pada apendisitis perforasi, disertai dengan demam tinggi juga
nyeri abdomen secara menyeluruh.Pasien juga dapat mengalami diare ataupun
tenesmus.
Sangat penting untuk mengidentifikasi pasien yang kemungkinan memiliki
apendisitis sedini mungkin untuk meminimalisir resiko terjadinya komplikasi.
Pasien yang memiliki gejala lebih dari 48 jam kemungkinan sudah perforasi.
Apendisitis harus dimasukan pada diagnosis banding untuk nyeri pada abdomen
pada setiap pasien pada semua umur kecuali kalau yakin organ tersebut sudah
dihilangkan.
Tanda umum dari apendisitis akut adanya demam sedang dan takikardi
yang mungkin karena inflamasi yang terjadi pada apendiks.Sedangkan tanda local
yang khas adalah tenderness terlokalisir dan persisten di daerah McBurney,
walaupun bergantung dari lokasi apendiks itu sendiri.Munculnya kekakuan otot
dari fossa illiaka kanan juga dapat timbul karena inflamasi yang terjadi pada
parietal peritoneum.
Pasien dengan apendisitis pelvis biasanya menunjukan adanya dysuria,
frekuensi BAK, diare atau tenesmus. Pasien dengan apendisitis ini kemungkinan
hanya mengalami nyeri di regio suprapubic pada palpasi atau pada pemeriksaan
rectal atau pelvis. Pemeriksaan pelvis pada wanita adalah suatu keharusan untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti inflammatory disease, kehamilan
ektopik dan ovarian torsion. Frekuensi gejala dan tanda yang ditunjukan dapat
dilihat pada tabel berikut ini.10
13
Tabel 2. 1Frekuensi Gejala yang Sering Muncul
Gejala Frekuensi
Nyeri Abdomen >95%
Anoreksia >70%
Konstipasi 4-16%
Diare 4-16%
Demam 10-20%
Perpindahan nyeri ke kuadran kanan
bawah
50-60%
Mual >65%
Muntah 50-75%
Sumber : Harrison, 2015
Tabel 2. 2 Frekuensi Tanda yang Sering Muncul
Signs Frequency
Abdominal tenderness >95%
Right lower quadrant tenderness >90%
Rebound tenderness 30-70%
Rectal tenderness 30-40%
Cervical motion tenderness 30%
Rigidity ~10%
Psoas sign 3-5%
Rovsing’s sign 5%
Palpable mass <5%
Sumber : Harrison, 2015
2.1.2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada apendisitis akut dapat ditegakan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
tersebut meliputi :
14
a. Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua
pasien dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan manifestasi klinis
diatas yakni mual, muntah pada keadaan awal yang diawali dengan nyeri
perut kuadran kanan bawah yang makin progresif.10
Keluhan utama pada
pasien apendisitis akut adalah nyeri pada abdomen. Pasien akan
menjelaskan nyeri kolik pada peri-umbilikal yang semakin nyeri pada 24
jam pertama, yang menjadi konstan dan tajam, dan berpindah ke fossa
iliaka kanan. Nyeri awal mewakilkan nyeri peralihan hasil dari inevarsi
visceral midgut dan nyeri yang terlokalisir disebabkan oleh terlibatnya
parietal peritoneum setelah proses inflamasi. Kehilangan selera makan
sering sebagai fitur yang predominan, dan konstipasi juga mual sering
muncul.10
b. Pemeriksaan Fisik
Pada tanda vital kadang ditemukannya berupa takikardi ringan
ataupun peningkatan suhu. Pada pemeriksaan fisik pasien dilakukan
pemeriksaan di titik McBurney (sepertiga distal garis antara umbilikus dan
spina iliaka anterior superior atau SIAS kanan)untuk mengetahui adanya
tenderness, guarding dan juga rebound, lalu dilakukan pemeriksaan
Rovsing’s sign (nyeri pada kuadran kanan bawah ketika dilakukan palpasi
di kuadran kiri bawah) untuk mengetahui terjadinya iritasi pada baian
peritoneal. Setelah itu dilakukan pemeriksan Psoas sign (perlahan
mengekstensi paha kanan pasien dengan posisi pasien berbaring kearah
kiri) untuk membuktikan adanya inflamasi local ketika otot illiopsoas, lalu
dilakukan juga pemeriksaan Obturator sign ( internal rotasi pada paha
kanan pasien yang difleksikan dengan posisi pasien supinasi)untuk
menunjukan adanya indikasi terjadi iritasi dekat obturator internus.3
Penjelasan lebih detail untuk pemeriksaan fisik dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
15
Tabel 2. 3 Tanda Klasik Apendisitis pada Pasien dengan Nyeri Abdomen
Sumber : Harrison, 2015
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pada apendisitis dapat ditegakan melalui beberapa tes
yaitu pemeriksaan darah lengkap terutama sel darah putih, analisa urin,
dan juga patologi untuk mendapatkan bukti yang menunjang. Investigasi
untuk apendisitis akut yang harus dilakukan yaitu16
:
1. Analisa urin : hampir 40% dapat muncul keabnormalan
2. Test kehamilan : menyingkirkan adanya kehamilan pada wanita
3. Pemeriksaan darah lengkap : neutrophil (75%), predominan
leukositosis (80-90%)
4. C reactive protein : dapat terjadi peningkatan konsentrasi
Sistem scoring dan algoritma telah diusulkan untuk membantu
diagnosis pada apendisitis akut namun belum digunakan secara luas. Tes
laboratorium ini diperlukan untuk membantu menyingkirkan diagnosis
banding.
Maneuver Findings
Rovsing’s sign Palpating in the left lower quadrant
causes pain in the right lower quadrant
Obturator sign Internal rotation of the hip causes pain,
suggesting the possibility of an
inflamed appendix located in the pelvis
Illiopsoas sign Extending the right hip causes pain
along posterolateral back and hip,
suggesting retrocecal appendicitis.
16
A. Hitung Jumlah Leukosit
Leukosit adalah grup heterogen dari sel bernukleus yang
dapat ditemukan di sirkulasi darah selama kita hidup.Leukosit
diklasifikasikan menjadi granulosit, limfosit dan monosit,
granulosit memiliki 3 variasi yaitu neutrofil (PMN), eosinofil dan
basofil.Konsentrasi normal di dalam darah bervariasi antara
4000sel/mm3dan 10.000 sel/mm
3.Leukosit memiliki peran penting
dalam fagositosis dan imunitas dalam menghadapi infeksi.
Leukosit dapat dievaluasi dengan beberapa teknik yang dapat
dilakukan di laboratorium, salah satunya yang paling mudah adalah
hitung jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit.17
Hitung jumlah leukosit dapat dilakukan secara manual
dengan perhitungan Neubauer ,namun pada laboratorium
berteknelogi modern menggunakan automated hematology
analyzers untuk perhitungan jumlah leukosit. Alat ini memberikan
hasil yang akurat, tepat, biaya yang murah dengan waktu yang
singkat.18
Pada kejadian apendisitis akut perhitungan sel darah putih
bisa ditemukan peningkatan pada leukosit (leukositosis) dengan
rentang 11.000 – 17.000/uL dengan neutrofilia serta ditemukannya
“left shift” pada hitung jenis terjadi hampirpada >95% pasien
dengan apendisits.10,15
Pada kasus yang sudah terjadi perforasi dan
gangren dapat mengalami leukositosis tinggi
(>20,000/uL).Pemeriksaan ini lebih akurat jika diikuti dengan
pemeriksaan C-reactive protein.
B. Pemeriksaan Urin
Urinalisis berguna pada kasus yang diragukan mengarah
pada infeksi saluran kemih yang menyerupai apendisitis.15
Namun,
apendiks terinflamasi yang berbatasan dengan ureter atau kantung
kemih dapat menyebabkan sterile pyuria atau hematuria. Setiap
17
wanita dalam usia kehamilan harus melakukan tes kehamilan bila
dicurigai kehamilan ektopik.16
C. Radiografi
Pemeriksaan radiografi jarang membantu dalam menegakan
diagnosis apendisitis.Pada pemeriksaan abdomen polos dapat
menunjukan pola gas di saluran cerna yang tidak spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan jika dikhawatirkan adanya kondisi lain
seperti fekalit di kuadran kanan bawah, obstruksi saluran cerna
atau ureterolithiasis, hampir <5% akan menunjukan adanya fekalit
dengan gambaran opaque di bagian kuadran kanan bawah
abdomen.Kemunculan dari fekalit bukanlah diagnosis dari
apendisitis, walaupun kemunculannya pada letak dimana pasien
mengeluhkannya. Sensitivitas keseluruhan pada alat
ultrasonography adalah 86% dan spesifisitas 85%.
Ultrasonography, terutama dengan teknik intravaginal terbukti
sebagai identifikasi paling berguna untuk patologi pelvis pada
wanita. Penemuan USG pada apendisitis yaitu adanya penebalan
dinding, dan meningkatnya diameter apendiks dan juga adanya
cairan bebas.3,10
Pemeriksaan menggunakan Computed Termography (CT)
memiliki sensitivitas 76-100% dan spesifitas 83-100% ,
pemeriksaan ini berguna terutama jika dicurigai sudah
terbentuknya abses. Penemuan pada CT adalah termasuk dilatasi
>6 mm dengan penebalan dinding, lumen yang tidak terisi dengan
kontras enterik, dan jaringan berlemak yang terurai atau udara
disekitas apendiks, yang mengarah pada inflamasi.10,14
Selain pemeriksaan lab seperti diatas bisa dilakukan juga penilaian
berdasarkan Skor Alvarado, Skor Alvarado ini memiliki
sensitivitas 96% dan spesifitas 81% dalam penegakan diagnosis
apendisitis.14
Berdasarkan Skor Alvarado, pasien dikategorikan
18
menjadi resiko rendah (Skor<4), resiko sedang (4-7) dan resiko
tinggi (≥8). Pada tabel dibawah ini dijabarkan skor alvarado.
Tabel 2. 4 Skor Alvarado
Sumber : Tamanna Z, 2012
Pemeriksaan lainya yang merupakan gold standard dari
penegakan diagnosis apendisitis adalah histopatologi karena
membedakan secara makroskopik antara apendiks normal dan
apendisitis ketika operasi terkadang sulit.14
2.1.2.8 Komplikasi
Komplikasi pada apendisitis akut adalah terjadinya rupture atau perforasi
karena obstruksi terus menerus pada lumen sehingga menimbulkan gangrene
distal.Ruptur muncul pada 15-25 persen pasien dengan kejadian tinggi pada anak-
anak dan geriatric.Gejala terjadinya rupture kadang terjadinya penurunan nyeri
(hanya 4 persen) karena hilangnya secara tiba-tiba distensi abdomen pada
beberapa pasien. Peningkatan suhu dan juga peningkatan leukosit daripada kasus
apendisitis akut biasa juga bisa terjadi.3
Tabel Skor Alvarado Skor
Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Nafsu makan menurun 1
Mual dan muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas McBurney 1
Nyeri tekan pada titik McBurney 2
Demam 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis 2
Shift to the left neutrophil 1
Total 10
19
2.1.2.9 Diagnosis Banding
a) Acute Mesenteric Adenitis
Sekitar 5% pasien yang melakukan apendektomi untuk apendisitis akut
ditemukan memiliki mesenteric adenitis. Penyakit ini sering terjadi pada
anak-anak
b) Gastroenteritis Akut
Umumnya disebabkan oleh virus disertaidengan muntah, diare, kram dan
relaksasi diantara gelombang hiperperistaltik.Penyakit ini juga dapat
disebakan oleh bakteri seperti Salmonella.
c) Infeksi Saluran Kemih
Timbul gejala pada system berkemih dan tidak adanya kekakuan pada
abdomen, sering ditemukan nyeri pada costovertebral angle bukan di fossa
iliaka kanan juga pada pemeriksaan lab ditemukan bakteriuria.
d) Peritonitis Primer
e) Pelvic Inflammatory Disease
2.1.2.10 Tata Laksana
Jika pada pasien apendisitis akut tidak terdapat kontraindikasi, memiliki
riwayat medis yang kuat dan juga pemeriksaan fisik dengan didukung oleh
pemeriksaan laboratorium harus segera dilakukan apendektomi. Sedangkan pada
pasien dengan perforasi terutama dengan abses disarankan untuk diberikan
antibiotic terlebih dahulu lalu dikakukan apendektomi.19
Seluruh pasien harus dipersiapkan secara keseluruhan untuk pembedahan
dan mengkoreksi keabnormalan pada cairan dan elektrolit. Pasien yang hendak
melakukan operasi sebaiknya diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi
terjadinya infeksi pada area yang dioperasi dan abses intra-abdominal, pemilihan
antibiotic berdasarkan mikrobiologi local dan resistensi obat pada pasien.14
Apendiktomi dapat berupa terbuka atau laparascopic. Apendiktomi secara terbuka
atau tradisional dilakukan oleh metode standar dengan beberapa bantuan dari
insisi.4 Laparoscopic apendiktomi digunakan sekitar 60% pada semua
apendektomi termasuk perforasi.Laparoskopik disertai dengan nyeri post-operatif
yang sedikit dan kemungkinan jangka waktu yang pendek untuk pulih pada
20
aktivitas normal. Pasien yang melakukan laparoskopik juga memiliki luka infeksi
yang sedikit.20
Jika tidak ada komplikasi, maka pasien dapat pulang setelah 24 – 40 jam
setelah operasi. Komplikasi post-operasi tersering adalah demam dan juga
leukositosis. Jika ditemukan keadaan ini lebih dari 5 hari maka harus dicurigai
adanya abses intraabdominal10
.
21
2.2 KERANGKA TEORI
Pola makan
rendah serat
Fekalit Hiperplasia
Folikel Limfa
Benda Asing
(biji-bijian, dll)
Obstruksi
Lumen
↗ Bakteri ↗ Distensi Lumen
Respon Imun
Tubuh (Inflamasi)
Menekan
saraf visceral
Menekan
pembuluh darah
arteri & vena
↓ Suplai darah
Iskemia
Nyeri (+) ↑ Leukosit
Apendisitis Akut
Apendisitis Akut
Perforasi
Bakteri menyebar
ke peritoneum ↑↑ Leukosit
Penanganan lama
atau terlambat
Usia Jenis
Kelamin
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
22
2.3 Kerangka Konsep
2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skala Pengukuran
1 Usia Usia pasien yang
tercatat di rekam
medik
Sesuai tertulis
dalam rekam
medik
1. 5-14 tahun
2. 15-24 tahun
3. 25-44 tahun
4. 45-65 tahun
5. >65 tahun
2 Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin
pasien yang tercatat
di rekam medik
Sesuai tertulis
dalam rekam
medik
Perempuan
Laki-Laki
3 Jumlah
Leukosit
Agen pertahanan
tubuh yang
dikeluarkan jika
terjadi infeksi
Sesuai tertulis
dalam rekam
medik
1. Normal
(<10.000
sel/mm3)
2. Leukositosis
(>10.000
sel/mm3)
Apendisitis Akut
Apendisitis Akut
Perforasi
Bakteri menyebar
ke peritoneum ↑↑ Leukosit
Penanganan lama
atau terlambat
Anamnesis :
1. Jenis Kelamin
2. Usia
Pemeriksaan Fisik
23
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik komparatif
kategorikal tidak berpasangan dengan menggunakan desain penelitian potong
lintang(cross sectional)dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis
pasien yang ditetapkan sebagai apendisitis akut di RSU Kota Tangerang Selatan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Tempat pengambilan data dilaksanakan di RSU Kota Tangerang Selatan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juni 2018 – Agustus 2018.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh pasien dengan diagnosis
apendisitis akut tanpa perforasi dan akut perforasi yang mendapatkan tindakan
apendektomi di RSU Kota Tangerang Selatan periode 2015 hingga 2016.
3.3.2 Sample
Sample dalam penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi
yaitu pasien apendisitis akut tanpa perforasi dan akut perforasi di RSU Kota
Tangerang Selatan 2015-2016. Subjek dipilih dengan cara total sampling.
Perhitungan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumus
analitik komparatif kategorik tidak berpasangan :
24
( √ √
)
( √ √
)
= (9,1)2
= 82,81 (dibulatkan menjadi 83 sampel)
Sehingga besar sampel minimal yang dibutuhkan dengan rumus penghitungan
besar sampel analitik kategorik tidak berpasangan adalah 83 sampel.
Keterangan :
Z𝛼 : Standar deviasi pada kesalahan tipe I (1,96)
Z𝛽 : Standar deviasi pada kesalahan tipe II (0,84)
P2 : 0,5921
P1 - P2 : Perbedaan klinis yang diinginkan (0,2)
Q2 : 1-P2 (0,41)
P1 : P2 + 0,2
0,59 + 0,2 = 0,79
Q1 : 1-P1 (0,21)
P : (P1 + P2)/2
(0,79 + 0,59)/2 = 0,69
Q : 1-P (0,31)
25
3.3.3 Kriteria Sampel
3.3.3.1 Kriteria Inklusi
a. Pasienyang terdiagnosis apendisitis akut tanpa perforasi dan akut
perforasiyang telah melakukan pemeriksaan leukosit di RSU Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2015-2016.
3.3.3.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang didiagnosis sebagaiapendisitis kronik dan apendisitis infiltrat.
b. Pasien Tidak ada hasil pemeriksaan leukosit dalam rekam medis
c. Pasien yang belum melakukan tindakan operasi
3.4 Cara Kerja Penelitian
a. Survei pendahuluan dilakukan dengan mengamati secara umum
gambaran pasien yang berkunjung ke UGD dan poli bedah RSU Kota
Tangerang Selatan.
b. Melakukan perizinan ke RSU Kota Tangerang Selatan.
c. Pengambilan data rekam medik. Pendataan sample yang diambil dari data
rekam medik pasien dengan pemeriksaan klinis dan penunjang
apendisitis di RSU Kota Tangerang Selatan Tahun 2015-2016.
d. Melakukan penggolongan dan pengkategorisasian pasien. Dari data hasil
rekam medik dilakukan penggolongan berdasarkan diagnosis, jumlah
leukosit, jenis kelamin dan usia.
e. Semua penderita dengan diagnosis apendisitis akut diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu apendisitis akut tanpa perforasi dan apendisitis
akut perforasi.
f. Semua penderita dengan diagnosis apendisitis akut yang telah dilakukan
pemeriksaan hitung jumlah leukosit diklasifikasian menjadi 2 kelompok
yaitu leukosit normal dan leukositosis.
g. Selanjutnya data dianalisa secara univariat dan bivariat dengan rumus uji
Chi-Square menggunakan SPSS versi 22.
26
3.5 Pengolahan Data
3.5.1 Pengelolaan Data
Data yang telah dikumpulkan akan melalui proses pengelolaan
yang meliputi:
1. Cleaning
Proses pengecekan data untuk mencegah adanya data yang
berulang.
2. Editing
Proses pengeditan yang dilakukan untuk memeriksa kelengkapan,
kesinambungan, dan keseragaman data.
3. Coding
Memudahkan dalam pengelompokan data sesuai kategori yang ada.
4. Entry Data
Memasukan data ke komputer untuk dianalisis menggunakan
program SPSS for Windows versi 22.
3.5.2 Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah uji chi-square dimana untuk
mengetahui hubungan antara variabel. Variabel yang diteliti terdiri atas
jumlah leukosit (variabel bebas)dan apendisitis akut perforasi (variabel
terikat).
27
3.6 Etika Penelitian
1. Pengajuan surat permohonan izin penelitian yang ditjukan kepada Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Pengajuan surat permohonan izin penelitian yang ditunjukan kepada
Direktur RSU Kota Tangerang Selatan.
3. Mendapatkan izin penelitian di RSU Kota Tangerang Selatan.
28
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Prevalensi Apendisitis Akut di RSU Tangerang Selatan Tahun 2015-2016
Tabel 4. 1Prevalensi Apendisitis Akut di RSU Tangerang Selatan Tahun
2015-2016
Variabel Jumlah (N) Persentase (%)
Apendisitis akut 201 40
Bukan apendisitis
akut
299 60
Total 500 100
Pada periode 2015 hingga 2016 menurut data rekam medis ditemukan
500 kasus dengan dugaan apendisitis dan dari tabel 4.1 didapatkan
prevalensi dari apendisitis akut terdapat 201kasus (40%) di RSU Kota
Tangerang Selatan. Dari 201 kasus, terdapat 89 kasus yang tereksklusi
karena tidak memiliki data rekam medik lengkap berupa data usia, jenis
kelamin, penegakan diagnosis oleh dokter dan jumlah leukosit. Sehingga
jumlah pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 112
pasien.
29
4.1.2 Prevalensi Sampel Berdasarkan Karakteristik
Variabel Apendisitis
Akut tanpa
Perforasi
Apendisitis
Akut
Perforasi
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jenis
Kelamin
Perempuan 51 14 65 58%
Laki-Laki 31 16 47 42%
Usia 5-14 tahun 13 4 17 15%
15-24 tahun 40 11 51 46%
25-44 tahun 21 10 31 28%
45-65 tahun 11 2 13 12%
>65 tahun 0 0 0 0%
Jumlah
Leukosit
Normal
(<10.000
sel/mm3)
19 0 19 17%
Leukositosis
(>10.000
sel/mm3)
63 30 93 83%
Total 112
Tabel 4. 2 Prevalensi Karakteristik Pasien Apendisitis Akut
Hasil pengolahan data sekunder pada tabel 4.2 menggambarkan distribusi
jenis kelamin terhadap 112 pasien apendisitis akut, diperoleh kelompok jenis
kelamin yang paling banyak menderita apendisitis akut adalah kelompok
perempuan yaitu 65 orang (58%) dan kelompok laki-laki sebanyak 47 orang
(42%).
Hasil pengolahan data sekunder pada tabel 4.2 juga menggambarkan
distribusi jenis kelamin terhadap 82 pasien apendisitis akut tanpa perforasi,
diperoleh kelompok jenis kelamin paling banyak adalah kelompok perempuan
30
yaitu 51 orang (62%) dan kelompok laki-laki sebanyak 31 orang
(38%).Sedangkan pada distribusi jenis kelamin pada apendisitis akut perforasi
terhadap 30pasien, diperoleh kelompok jenis kelamin terbanyak adalah kelompok
laki-laki yaitu 16 orang (53%) dan kelompok perempuan 14 orang (47%).
Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder pada Tabel 4.2
menggambarkan distribusi usia pada 112 pasien dengan diagnosis apendisitis akut,
diperoleh kelompok usia tertinggi adalah kelompok usia 15-24 tahun yaitu 51
orang (46%) sedangkan kelompok lainnya yaitu usia 5-14 tahun sebanyak 17
orang (15%), usia 25-44 tahun sebanyak 31 orang (28%), 45-65 tahun sebanyak
13 orang (12%) dan >65 tahun jumlah terendah yaitu tidak ada.
Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder pada Tabel 4.2 juga
menggambarkan distribusi usia pada 82 pasien apendisitis akut tanpa perforasi,
diperoleh kelompok usia tertinggi adalah kelompok usia 15-24 tahun sebanyak 40
orang (49%) sedangkan kelompok lainnya yaitu kelompok usia 5-14 tahun
sebanyak 13 orang (16%), kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 21 orang (26%),
kelompok usia 45-65 tahun sebanyak 11 orang (13%) dan kelompok usia terendah
yaitu >65 tahun tidak ada dan pada pasien apendisitis akut perforasi, diperoleh
kelompok usia tertinggi adalah kelompok usia 15-24 tahun sebanyak 11 orang
(37%) sedangkan kelompok lainnya yaitu kelompok usia 5-14 tahun sebanyak 4
orang (13%), kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 10 orang (33%), kelompok
usia 45-65 tahun sebanyak 2 orang (7%) dan kelompok usia terendah yaitu >65
tahun tidak ada.
Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder pada Tabel 4.8, dapat dilihat
distribusi penderita apendisitis akut dari 112 pasien, 19 pasien (17%) jumlah
leukositnya normal dan 93 pasien (83%) leukositosis. Pada pasien apendisitis akut
tanpa perforasi dari 82 pasien, 19 pasien (23%) jumlah leukositnya normal dan 63
pasien (77%) leukositosis. Sedangkan pada pasien apendisitis akut perforasi dari
30 pasien, semua pasien mengalami leukositosis tidak ada pasien yang memiliki
jumlah leukosit normal.
31
4.1.3 Hubungan Nilai Leukosit Dengan Kejadian Apendisitis Akut Perforasi di
RSU Tangerang Selatan Tahun 2015-2016
Pada penelitian yang dilakukan di RSU Tangerang Selatan tahun 2015-
2016 diperoleh rata-rata jumlah leukosit dari pasien apendisitis akut tanpa
perforasi 13.030 sel/mm3 dan apendisitis akut perforasi adalah 21.837 sel/mm
3.
Untuk jumlah minimal dari leukosit pada pasien apendisitis akut tanpa perforasi
3.700 sel/mm3 dan apendisitis akut perforasi adalah 11.600 sel/mm
3, sedangkan
jumlah maksimal dari leukosit pasien apendisitis akut tanpa perforasi 22.300
sel/mm3 dan apendisitis akut perforasi adalah 39.400 sel/mm
3.
Untuk melihat hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen digunakan uji Chi-Square. Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian
apendisitis akut perforasi disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4. 3 Hubungan Jumlah Leukosit dengan Kejadian Apendisitis Akut
Perforasi
Apendisitis Akut Nilai
P
CI(95%)
Tanpa
Perforasi
Perforasi
Min Max
Jumlah
Leukosit
Meningkat 63 30 0,009 0,589 0,779
Normal 19 0
Total 82 30
Uji Chi-Square
Berdasarkan Tabel 4.9, diperoleh 93 pasien dengan leukosit meningkat
dan mengalami akut perforasi 30 pasien (32,3%). Hasil uji Chi-Square diperoleh
nilai p = 0,009 atau p<0,05 dari hasil tersebut disimpulkan secara statistik ada
hubungan yang bermaknaantara peningkatan jumlah leukosit dengan kejadian
apendisitis akut perforasidi RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun 2015-
2016.Diperoleh Confidence Interval(CI) 95% sebesar 0,589 – 0,779, dengan
selisih 0,19 yang berarti menyempit menujukan presisi dari hubungan peningkatan
jumlah leukosit dengan kejadian akut perforasi baik.
32
4.2 Pembahasan
Hasil penelitian mengenai distribusi dari pasien apendisitis akut tanpa
perforasi dan perforasi diperoleh 112 pasien menderita apendisitis akut dengan 82
pasien apendisitis akut tanpa perforasi dan 30 pasien apendisitis akut perforasi di
RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun 2015-2016. Pada penelitian ini juga
peneliti melihat distribusi dari jenis kelamin dan usia pada kejadian apendisitis
akut tanpa perforasi dan perforasi.
Hasil penelitian menunjukan kejadian apendisitis akut tanpa perforasi dan
perforasi lebih banyak pada perempuan yaitu 65 orang (58%). Hasil ini sesuai
dengan penelitian di RSU Provinsi NTB pada tahun 2012-2013 yaitu ditemukan
penderita apendisitis dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 54% dan laki-laki
sebanyak 46 %.21
Penelitian lain yang sesuai adalah penelitian di RSPAD Gatot
Soebroto Jakarta pada tahun 2010 yaitu ditemukan penderita apendisitis dengan
jenis kelamin perempuan sebanyak 51,11% dan laki-laki sebanyak 48,89%.22
Hasil
yang sama didapatkan juga pada penelitian yang dilakukan oleh Afiati pada tahun
2013 dengan jumlah perempuan yaitu 63 orang (56,8%) lebih banyak dari laki-
laki yaitu 48 orang (43,2%).23
Hasil lainnya untuk apendisitis akut perforasi dan
apendisitis akut tanpa perforasi hampir sama dengan penelitian oleh Maureen
pada tahun 2016, penderita laki-laki 38 orang (17 orang apendisitis akut dan 21
orang apendisitis perforasi) yaitu 52,1%, sedangkan perempuan 35 orang (26
orang apendisitis akut dan 9 orang apendisitis perforasi) yaitu 47,9%.24
Hasil ini
berbeda dengan penelitian oleh Indri U, dkk pada tahun 2014 mengatakan risiko
jenis kelamin pada kejadian apendisitis terbanyak berjenis kelamin laki – laki
dengan presentase 72,2% sedangkan berjenis kelamin perempuan hanya 27,8%.25
Hal ini dikarenakan pasien yang datang ke RSU Kota Tangerang Selatan adalah
rata-rata perempuan sehingga didapatkan perbedaan teori.
Hasil penelitian untuk distribusi usia pada kejadian apendisitis akut tanpa
perforasi dan perforasi lebih banyak pada kelompok usia 15-24 tahun (46%).
Hasil ini sesuai dengan penelitian di RSU Anutapura Palu pada tahun 2015 yaitu
33
ditemukan dari 54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 31 responden
(57,4%) yang berusia 15-25 tahun sedangkan untuk kelompok usia <15 tahun dan
>25 tahun berjumlah 23 responden (42,6%) dalam penelitian juga disebutkan
bahwa pasien dengan umur 15-25 tahun memiliki risiko 4,717 kali lebih besar
dibandingkan dengan usia <15 tahun dan >25 tahun.1Hasil penelitian lain juga
yang sesuai adalah penelitian RSUP Dr.Kariadi Semarang pada tahun 2010-2013
yaitu didapatkan kelompok usia 11-20 tahun sebanyak 54 pasien (38,85%) dengan
41 pasien (42,7%) terdiagnosis apendisitis akut dan 13 pasien (30,2%)
terdiagnosis apendisitis perforasi.26
Hasil lain yang serupa dengan penelitian
Maureen pada tahun 2016 yaitu kelompok usia 16-25 tahun memiliki jumlah
tertinggi dengan 31 pasien apendisitis akut dan perforasi (42,5%).24
Hal ini
kemungkinan terjadi karena usia 15-25 tahun adalah usia produktif (pelajar,
mahasiswa, bekerja, dll) dan peralihan dari remaja menuju dewasa sehingga
sering tidak memerhatikan asupan gizi yang baik seperti lebih menyukai makanan
cepat saji karena lebih mudah didapat dan cepat, pada makanan cepat saji ini
sedikit ditemukannya memiliki serat yang cukup sehinggajika asupan serat buruk
dapat menyebabkan feces mengeras dan membentuk fekalit yang dapat
menyebabkan obstruksi dan menimbulkan apendisitis.
Pada hasil penilitian ini didapatkan rata-rata jumlah leukosit pasien dengan
kejadian apendisitis akut tanpa perforasi 13.030 sel/mm3 dan perforasi adalah
21,837 sel/mm3
dengan nilai minimun masing-masing pada apendisitis akut tanpa
perforasi 3.700 sel/mm3dan apendisitis akut perforasi 11.600 sel/mm
3dan nilai
maksimal masing-masing pada apendisitis akut tanpa perforasi 22.300 sel/mm3
dan apendisitis akut perforasi 39.400 sel/mm3. Hasil penelitian pada RSU Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2015-2016 menunjukan dari 112 pasien yang
terdiagnosis apendisitis akut terdapat peningkatan leukosit pada 93 pasien (80%)
diantaranya 30 pasien apendisitis akut perforasi (100%) dan 63 pasien apendisitis
akut tanpa perforasi (77%). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian oleh
Marisa pada tahun 2012didapatkan rata-rata jumlah leukosit pada apendisitisakut
11.139 sel/mm3dan pada apendisitis perforasi 18.209 sel/mm
3.27
Hasil penelitian
yang mendukung juga oleh Maureen pada tahun 2016 didapatkan dari 73 pasien
apendisitis dengan jumlah leukosit normal 14 orang (19,2%) dan frekuensi
34
penderita dengan leukositosis 59 orang (80,8%), dari 43 pasien apendisitis akut, 9
orang (20.9%) jumlah leukositnya normal dan 34 orang (79.1%) leukositosis
sedangkan dari 30 pasien apendisitis perforasi, 5 orang (16.7%) jumlah
leukositnya normal dan 25 orang (83.3%) mengalami leukositosis, disimpulkan
pada penelitian inididapatkan bahwa dari 73 pasien yang diteliti, 80,8%
mengalami leukositosis dengan distribusi penderita apendisitis akut 34 orang
(79,1%) dan apendisitis perforasi 25 orang (83%).24
Hasil lain yang miripadalah
penelitian di RSU Provinsi NTB pada tahun 2012-2013 yaitu pasien dengan
apendisitis akut perforasi mengalami leukositosis berat (>18.000
sel/mm3)sebanyak 15 pasien (40,5%), leukositosis ringan-sedang (>10.000-18.000
sel/mm3) sebanyak 22 orang (59,5%) dan tidak terdapat (0%) untuk jumlah
leukosit normal (<10.000 sel/mm3) dan pada apendisitis akut tanpa perforasi yang
mengalami leukositosis berat (>18.000 sel/mm3)sebanyak 13 orang (21%),
leukositosis ringan-sedang (>10.000-18.000 sel/mm3) sebanyak 35 orang (56,5%)
dan jumlah leukosit normal sebanyak 14 orang (22,6%).21
Menurut Grönroos et al, peningkatan pada leukosit ini adalah tanda paling
awal dari inflamasi apendisitis, reaksi inflamasi ini disebabkan oleh invasi bakteri
di apendisitis yang sudah mengalami obstruksi, tubuh mengkompensasi adanya
bakteri dengan mengeluarkan leukosit sebagai pertahanan tubuh.28
Selain itu
jumlah leukosit pada apendisitis perforasi lebih tinggi daripada apendisitis akut
dikarenakan tingkat peradangan yang berbeda.29
Menurut penelitian Muhammad
Saaiq, sensitivitas dari peningkatan jumlah leukosit sangat sensitive (81,77%)
terhadap diagnosis dari apendisitis akut, namun untuk spesifitas dari jumlah
leukosit ini rendah (43,55%) terkadang karena kurangnya spesifitas ini dapat
mengarah pada kesalahan diagnosis, sehingga direkomendasikan selain
memeriksa jumlah leukosit dilakukan juga pemeriksaan CRP.30
Pada penelitian
yang dilakukan di RSUP Dokter Wahiddin Sudirohusodo Makassar pada tahun
2012-2014 dilaporkan nilai leukosit dapat dijadikan pemeriksaan penunjang untuk
mendiagnosis terjadinya apendisitis perforasi, dimana cut off point 21.355
memberikan nilai prediksi positif 100% dan spesifitas 100%.31
35
Hasil penelitian untuk menguji hubungan antara peningkatan jumlah
leukosit dengan kejadian apendisitis akut perforasi digunakan uji Chi-Square
dengan hasil p = 0,009 yang berarti p<0,05, maka secara statistik, peningkatan
jumlah leukosit memiliki hubugan dengan kejadian akut perforasi, dan
perhitungan Confidence Interval (95%) 0,589 – 0,779 yang jika dihitung memiliki
selisih 0,19 yang berarti menyempit sehingga menunjukan presisi pada hubungan
peningkatan jumlah leukosit dengan kejadian apendisitis di RSU Kota Tangerang
Selatan.. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan pada RS Al-
Ihsan Bandung pada tahun 2013-2014 dilaporkan faktor prediksisi yang paling
dominan untuk perforasi apendiks adalah jumlah sel leukosit>11.500
sel/mm3dengan p = 0,000 yang berarti jika jumlah leukosit >11.500 maka
bermakna ada hubungan dengan apendisitis perforasi dan namun dalam penelitian
ini didapatkanConfidence Interval (95%) 4,03 – 36,48 yang menunjukan
melebarnya Confidence Interval yang berarti kurangnya presisi apabila ditemukan
leukosit >11.500 akan terjadi apendisitis akut perforasi.32
Menurut penelitian
Marisa pada tahun 2012 di RSUD Sleman pada tahun 2010-2012 dilaporkan nilai
leukosit memiliki hubungan dengan kejadian apendisitis perforasi dengan p =
0,000 yang berarti bermakna secara signifikan.Penelitian dengan hasil yang sama
dilaporkan juga oleh Merlinda (2013), terdapat hubungan yang bermakna secara
statistik anatara peningkatan jumlah leukosit dengan apendisitis akut perforasi
dengan p = 0,003.
Pemeriksaan jumlah leukosit ini dapat membantu untuk menentukan
secara cepat tindakan yang akan dilakukan serta memprediksi perjalanan penyakit
pada pasien apendisitis akut selain itu pemeriksaan penunjang ini dapat
membedakan antara apendistis akut tanpa perforasi dan akut perforasi dengan
melihat jumlah dari leukositnya namununtuk mengetahui secara pastinya apakah
pasien mengalami komplikasi seperti perforasi tetap harus dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi sebagai gold standard.
36
4.3 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian yang dilakukan pada RSU Kota Tangerang Selatan
terdapat beberapa keterbatasan yang mempengaruhi hasil penelitian, salah satunya
adalah penelitian ini menggunakan data sekunder rekam medik namun ada
beberapa data rekam medik yang tidak ditemukan karena sudah hilang sehingga
ada perbedaan jumlah sampel. Selain itu diagnosis ditentukan berdasarkan temuan
saat operasi ataupun diagnosis yang ditentukan oleh dokternya berdasarkan gejala
karena tidak semua pasien melakukan pemeriksaan patologi anatomi.
37
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian Hubungan antara Peningkatan Jumlah Leukosit
dengan Apendisitis Akut Perforasi di RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2015-
2016 disimpulkan :
a. Terdapat hubungan antara peningkatan jumlah leukosit dengan kejadian
akut perforasi dengan nilai p = 0,009yang berarti bermakna secara statistik.
b. Berdasarkan usia didapatkan kejadian akut perforasi tertinggi pada
kelompok usia 15-24 tahun.
c. Berdasarkan jenis kelamin pada kejadian apendisitis akut perforasi
didapatkan laki-laki lebih banyak dari perempuan.
5.2 Saran
1. Saran peneliti untuk RSU Kota Tangerang Selatan untuk melakukan
pendataan pada pasien lebih lengkap pada data rekam medik dan juga
disusunnya rekam medik lebih teratur dan tertib.
2. Saran dari peneliti untuk masyarakat terutama pada usia 15-25 tahun untuk
menjaga pola makan dan mencukupi asupan serat, serta jika mengalami
nyeri perut pada bagian kanan bawah untuk segera berobat ke rumah sakit
untuk menghindari kejadian apendisitis akut menjadi perforasi.
3. Saran peneliti untuk dokter yaitu agar memahami klinis pasien dengan
baik dan tidak melakukan satu pemeriksaan penunjang saja yaitu
pemeriksaan jumlah leukosit karena pemeriksaan leukosit ini belum bisa
membedakan antara apendisitis akut yang belum perforasi maupun yang
sudah perforasi.
4. Saran dari peneliti untuk peneliti sendiri yaitu dibutuhkan penelitian lebih
lanjut dengan sampel yang lebih besar serta waktu yang lebih lama agar
hasil dari penelitian lebih valid.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifuddin A, Salmawati L, Prasetyo A. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis
di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Jurnal
Preventif. 2017;8:1–58.
2. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Penyakit Tidak Menular. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan. 2012;
3. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC. Appendix. In: Schwartz’s Principles
of Surgery. 7th ed. New York: McGraw Hills; 2015. p. 659–66.
4. Bhasin SK, Khan AB, Kumar V, Sharma S, Saraf R. Vermiform appendix
and acute appendicitis. JK Science. 2007;9:167–70.
5. TW S. Sistem Pencernaan. In: Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 7.
Jakarta: EGC; 2013. p. 243–71.
6. Martini FH, Nath JL. The Digestive System. In: Martini’s Fundamentals of
Anatomy and Physiology. 9th ed. San Francisco: Pearson Benjamin
Cummings; 2012. p. 899–903.
7. Drake RL, Moses K, Vogl AW, Mitchell AW. Gray’s Anatomy :Anatomy
of The Human Body. Elsevier. Elsevier; 2014. 160-163 p.
8. Sjamsuhidajat de jong. Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. In:
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. p. 646–7.
9. W. A. Newman D. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 29th ed. EGC
Medical Publisher. Singapore: Elsevier; 2015. 57-58 p.
10. Kasper et. al. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Harrisons Principles
of Internal Medicine. 19th ed. United States: McGraw Hills; 2015. p. 1985–
8.
11. Dani, Calista P. Karakteristik Penderita Apendisitis Akut di Rumah Sakit
39
Immanuel Bandung Periode 1 Januari 2013-30 Juni 2013. Bagian Ilmu
Kesehat Masyarakat, Fak Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. 2013;
12. Eylin. Karakteristik Pasien dan Diagnosis Histologi pada Kasus
Apendisitis Berdasarkan Data Registrasi di Departemen Patologi Anatomi
FKUI RSUP Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Universitas
Indonesia; 2009.
13. Duzgun AP, Moran M, Uzun S, Ozmen MM, Ozer VM, Seckin S. Unusual
findings in appendectomy specimens: Evaluation of 2458 cases and review
of the literature. Indian Journal Surgery. 2004;
14. Gorter RR, Eker HH, Gorter-Stam MAW, Abis GSA, Acharya A,
Ankersmit M, et al. Diagnosis and management of acute appendicitis.
EAES consensus development conference 2015. Surgical Endoscopy.
2016;30:4668–90.
15. Tjandra JJ, Clunie GJ., Kaye AH, Smith JA. The appendix and Meckel’s
diverticulum. In: Textbook of Surgery. 3rd ed. Melbourne: Blackwell; 2006.
p. 179–82.
16. Humes DJ, Simpson J. Acute appendicitis. BMJ. 2006;333:530–5.
17. Blumenreich MS. The White Blood Cell and Differential Count. Clinical
Methods : The History, Physical and Laboratory Examination.
1990;3rd(153):724–7.
18. Richards-Chabot DS. White Blood Cell Counts : Reference Methodology.
Clinics in Laboratory Medicine. 2015;35(1):11–24.
19. Guida E, Pederiva F, Di Grazia M, Codrich D, Lembo MA, Scarpa MG, et
al. Perforated appendix with abscess: Immediate or interval appendectomy?
Some examples to explain our choice. International Journal Surgery Case
Report. 2015;12:15–8.
20. Lin H-F, Lai H-S, Lai I-R. Laparoscopic treatment of perforated
appendicitis. World Journal Gastroenterology. 2014;20(39):14338–47.
40
21. Dwitasari M. Hubungan Antara Peningkatan Jumlah Leukosit dengan
Apendisitis Akut Perforasi di RSU Provinsi NTB pada Tahun 2013-2013.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; 2014.
22. Putrikasari L. Perbedaan Jumlah Leukosit pada Pasien Apendisitis Akut
dan Apendisitis Kronik di RSPAd Gatot Soebroto Jakarta periode 2010.
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta; 2011.
23. Afiati. Hubungan Skor Alvarado dengan Hasil Pemeriksaan Patologi
Anatomi pada Pasien Apendisitis Akut di RSUD Serang tahun 2013.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2014.
24. Rotua MG. Hubungan Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi dengan
Jumlah Leukosit di Sub Bagian Bedah Digestif Departemen Bedah RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Juli 2014-Juni 2015. Universitas
Sriwijaya; 2016.
25. Indri U. Hubungan Antara Nyeri, Kecemasan dan Lingkungan dengan
Kualitas Tidur pada Pasien Post Operasi Apendisitis. Universitas Riau;
2014.
26. Sibuea SH. Perbedaan Antara Jumlah Leukosit Darah pada Pasien
Apendisitis Akut dengan Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Media Medika Muda. 2014;
27. Marisa, Ibnu Junaedi H, Riza Setiawan M. Batas Angka Leukosit ANtara
Appendisitis Akut dan Appendisitis Perforasi di Rumah Sakit Umum
Daerah Tugurejo Semarang selama Januari 2009-Juli 2011. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah. 2012;1(1):1–8.
28. Grönroos JM. Do normal leucocyte count and C-reactive protein value
exclude acute appendicitis in children? Acta Paediatr. 2001;90:649–51.
29. Agrwal C, Adhikari S, Kumar M. Role of Serum S-Reactive Protein and
Leukocyte Count in The Diagnosis of Acute Appendicitis in Nepalese
Population. Nepal Medical College Journal. 2008;10(1):11–5.
41
30. Saaiq M, Niaz-Ud-Din, Jalil A, Zubair M, Shah SA. Diagnostic accuracy of
leukocytosis in prediction of acute appendicitis. Journalof the Collegeof
Physicians and Surgeon Pakistan. 2014;24:67–9.
31. Endra AB, Sulaihi, Sampetonding S, Patellongi I. Analisis Jumlah Leukosit
pada Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi yang Menjalani Operasi di
RSUP Dokter Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Januari 2012
hingga Desember 2014. Universitas Hasanuddin; 2014.
32. Yulianto FA, Sakinah RK, Kamil MI, Wahono TYM. Faktor Prediksi
Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut Dewasa di RS Al-
Ihsan Kabupaten Bandung Periode 2013-2014. Global Medical Heal
Community. 2016;4:114–20.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data
43
Lampiran 2 Uji Statistik
Jumlah Leukosit pasien * Apendisitis Akut Crosstabulation
Apendisitis Akut
Total Tanpa Perforasi Perforasi
Jumlah Leukosit pasien Meningkat Count 63 30 93
% within Jumlah Leukosit
pasien 67,7% 32,3% 100,0%
Normal Count 19 0 19
% within Jumlah Leukosit
pasien 100,0% 0,0% 100,0%
Total Count 82 30 112
% within Jumlah Leukosit
pasien 73,2% 26,8% 100,0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8,371a 1 ,004
Continuity Correctionb 6,807 1 ,009
Likelihood Ratio 13,213 1 ,000
Fisher's Exact Test ,003 ,001
N of Valid Cases 112
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,09.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort Apendisitis Akut
= Tanpa Perforasi ,677 ,589 ,779
N of Valid Cases 112
44
Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Fitria Rahmi Ramadhani
Tempat, tanggal lahir : Bandung, 27 Januari 1998
Agama : Islam
Alamat : Jalan Permata Permai 3 Blok E5/11,
Permata Pamulang, Kec. Setu, Kel, Bakti
Jaya, Tangerang Selatan
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2003-2004 : TK Aisyiah Majalaya
2004-2009 : SD Al-Mabrur Baleendah
2009-2012 : SMP Darul Hikam Bandung
2012-2015 : SMA Taruna Mandiri Pamulang
45
46