33
HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON RSU DR. SOETOMO SURABAYA Agung Budi Setyawan Bagian Psikiatri Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya kusuma Surabaya Abstrak Dari hasil pengamatan dalam penelitian ini secara keseluruhan didapatkan perbedaan yang bermakna dalam fungsi keluarga antara keluarga sampel yang patuh dibanding dengan yang tidak patuh. Dalam hal ini keluarga sampel yang patuh menunjukkan fungsi keluarga yang lebih baik dibanding keluarga sampel yang tidak patuh.Dari semua skala yang ada, skala 2 (komunikasi keluarga) menunjukkan skala yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan pasien-pasien ketergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya. Urutan berikutnya adalah peran, keterlibatan afektif, respon afektif, kontrol perilaku, dan kemampuan problem solving keluarga tersebut.Dengan demikian hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini dapat diterima yaitu bahwa : ‘Didapatkan hubungan antara disfungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pasien-pasien ketergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya. Kata kunci : fungsi keluarga, kepatuhan berobat, dan komunikasi RELATIONSHIP BETWEEN THE FUNCTIONS OF A FAMILY WITH PATIENT TREATMENT COMPLIANCE METHADONE MAINTENANCE THERAPY PROGRAM RSU DR. SOETOMO SURABAYA Agung Budi Setyawan Psychiatry Section Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract From the observation in this study as a whole found significant differences in family functioning between families who are obedient samples compared with non-compliance. In this case the sample families who dutifully show family functions better than samples of families who do not patuh.Dari all the existing scale, scale 2 (family communication)

Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Embed Size (px)

DESCRIPTION

,kljljoljlkl

Citation preview

Page 1: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT

PASIEN

PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON RSU DR. SOETOMO

SURABAYA

Agung Budi Setyawan

Bagian Psikiatri

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya kusuma Surabaya

AbstrakDari hasil pengamatan dalam penelitian ini secara keseluruhan didapatkan perbedaan yang bermakna

dalam fungsi keluarga antara keluarga sampel yang patuh dibanding dengan yang tidak patuh. Dalam hal ini keluarga sampel yang patuh menunjukkan fungsi keluarga yang lebih baik dibanding keluarga sampel yang tidak patuh.Dari semua skala yang ada, skala 2 (komunikasi keluarga) menunjukkan skala yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan pasien-pasien ketergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya. Urutan berikutnya adalah peran, keterlibatan afektif, respon afektif, kontrol perilaku, dan kemampuan problem solving keluarga tersebut.Dengan demikian hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini dapat diterima yaitu bahwa : ‘Didapatkan hubungan antara disfungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pasien-pasien ketergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Kata kunci : fungsi keluarga, kepatuhan berobat, dan komunikasi

RELATIONSHIP BETWEEN THE FUNCTIONS OF A FAMILY WITH PATIENT

TREATMENT COMPLIANCE

METHADONE MAINTENANCE THERAPY PROGRAM RSU DR. SOETOMO

SURABAYA

Agung Budi Setyawan

Psychiatry Section

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

AbstractFrom the observation in this study as a whole found significant differences in family functioning between families who are obedient samples compared with non-compliance. In this case the sample families who dutifully show family functions better than samples of families who do not patuh.Dari all the existing scale, scale 2 (family communication) indicates the scale of the most influential to adherence opioid dependent patients seeking treatment at public hospitals URJ PTRM dr. Soetomo. The next sequence is the role, affective involvement, affective responses, behavioral control, and problem solving abilities tersebut.Dengan family so the hypothesis made in this study can be accepted namely that: 'It was found the relationship between family dysfunction with treatment compliance of patients seeking treatment of opioid dependence at URJ PTRM Dr. Soetomo.

Key words: family functioning, treatment compliance, and communication

BAB IPENDAHULUANI.1. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan zat merupakan suatu masalah yang memiliki dimensi yang cukup komplek, terkait dengan berbagai segi

kehidupan serta berdampak negatif, baik bagi pengguna, keluarga, masyarakat, bahkan dapat pula membahayakan masa depan bangsa dan negara. Dalam beberapa tahun terakhir ini jumlah pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya) menunjukkan kecenderungan peningkatan

Page 2: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

yang cukup pesat, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. United Nations Drug Control Programme (UNDCP) melaporkan bahwa kurang lebih 200 juta orang di seluruh dunia ini telah menjadi pengguna NAPZA, dan tiga juta diantaranya berada di Indonesia (BNN,2003). Pusat data dan informasi Departemen Kesehatan melaporkan bahwa 98,2 % pengguna NAPZA adalah pengguna opioid, dan 89,9 % diantaranya adalah generasi muda yang berusia antara 15 – 29 tahun (DepKes RI, 2004).

Menurut the Office of National Drug Control Policy (ONDCP), diperkirakan hampir 1 juta pengguna opiat dalam jangka lama berada di USA. Demikian pula, kematian oleh karena overdosis seringkali/paling banyak terjadi akibat zat opioid. Selain hal tersebut diatas, para pengguna opioid banyak yang menggunakan jarum suntik dengan cara yang salah, sehingga dengan demikian akan menambah meningkatnya risiko infeksi HIV, hepatitis, cellulitis, endocarditis serta tuberculosis.

Berfungsi atau tidaknya suatu keluarga telah terbukti mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan mental seseorang. Adanya gangguan dalam fungsi keluarga dapat menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam penyalahgunaan zat. Gerber dkk (1983) telah membuktikan bahwa penyalahgunaan zat secara bermakna berkaitan dengan disfungsi dalam sistim keluarga, yang mencerminkan adanya gangguan psikopatologik dari salah satu atau lebih anggota keluarga tersebut. Namun demikian, mengingat masih terbatasnya penelitian yang mencari hubungan antara fungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pada para pengguna NAPZA, khususnya opioid, maka diperlukan adanya penelitian yang bertujuan untuk menjawab suatu pertanyaan apakah fungsi keluarga juga ada hubungannya dengan kepatuhan para pengguna opioid tersebut dalam proses terapi/pengobatan mereka. Selama ini upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA, khususnya zat opioid telah banyak dilakukan, termasuk diantaranya melalui program terapi rumatan metadon. Jumlah kasus baru ketergantungan opioid yang berobat di Unit Rawat Jalan Program Terapi Rumatan Metadon (URJ PTRM) RSU Dr. Soetomo Surabaya

cenderung mengalami peningkatan. Pada awal Februari 2006 pasien baru sebanyak 18 orang dan setiap bulan bertambah rata rata 16 orang. Pada bulan Februari 2007 pasien berjumlah 218 orang, namun demikian yang tetap aktif mengikuti PTRM hanya sebanyak 109 orang. Dari semua pasien yang ada 35% drop out (DO) dalam 6 bulan pertama dan 53% DO dalam 12 bulan pertama. Sedangkan menurut War, Matik & Hall (1992) angka DO pada pasien-pasien PTRM adalah berkisar antara 7% - 64%. Sementara itu, di RSKO Jakarta dilaporkan 43% dari pasien yang ada DO pada Agustus 2004 dan 75%nya DO sebelum 5 bulan pertama terapi.

Menurut Newcomb dkk (1986), Vaillant & Milofsky (1982), Zucher & Gomberg (1986) menyatakan sejumlah risiko yang terlibat dalam penyalahgunaan zat antara lain keluarga penyalahguna alkohol dan zat, tekanan kelompok sebaya, fungsi keluarga, harga diri yang rendah, kepribadian antisosial, depresi & kecemasan, keagamaan yang rendah, serta pengaruh kultural & etnis.

Sejauh ini belum ada data yang menggambarkan hubungan antara fungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pada pasien ketergantungan opioid yang berobat di Unit Rawat Jalan Program Terapi Rumatan Metadon RSU Dr. Soetomo Surabaya, hal inilah yang mendorong untuk dilakukannya penelitian ini.

I.2. Rumusan Masalah- Apakah fungsi keluarga berhubungan

dengan kepatuhan pasien-pasien kergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya ?

I.3. Tujuan Penelitian- Dari penelitian ini akan dapat

diketahui adanya hubungan antara jenis disfungsi keluarga tertentu pada pasien-pasien kergantungan opioid dengan ketidakpatuhan mereka dalam mengikuti proses pengobatan di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya, sehingga dapat menjadi data dasar untuk optimalisasi penatalaksanaan pasien-pasien tersebut baik saat ini maupun di masa-masa yang akan datang.

Page 3: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

I.4. Manfaat Penelitian- Dalam pelayanan kesehatan:

Peningkatan strategi pelayanan dengan optimalisasi perawatan psikiatrik sebagai bagian dari pelayanan holistik bio-psiko-sosial.

- Dalam bidang akademik : Menambah data dan wacana adanya jenis disfungsi keluarga tertentu yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien-pasien kergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya.

- Dalam bidang penelitian : Dapat dijadikan data awal dan pembanding untuk penelitian sejenis diwaktu yang akan datang.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Penyalahgunaan NAPZA terjadi oleh adanya interaksi berbagai faktor, yakni faktor predisposisi, kontribusi, dan pencetus. Faktor predisposisi adalah faktor yang membuat individu cenderung menyalahgunakan NAPZA, yang tergolong faktor ini antara lain gangguan kepribadian antisosial, kecemasan, dan depresi. Sedangkan yang tergolong cukup dominan sebagai faktor kontribusi dalam terjadinya penyalahgunaan NAPZA adalah faktor keluarga, baik kondisi keluarga, keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, maupun hubungan interpersonal dalam keluarga tersebut. Kondisi keluarga yang mengalami gangguan/disfungsi merupakan faktor potensial dalam mendorong terjadinya penyalahgunaan NAPZA. Anak-anak yang bertumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami disfungsi memiliki peluang 7,9 kali untuk terjerumus dalam penyalahgunaan NAPZA. Sementara itu faktor pencetus adalah faktor yang mendorong sehingga penyalahgunaan NAPZA terjadi, dan yang tergolong dominan dalam hal ini adalah pengaruh teman kelompok sebaya (Hawari,2001).

Opioid adalah istilah yang digunakan untuk segolongan zat, baik yang alamiah, semisintetik, maupun yang sintetik dari opium. Opioid alamiah berasal dari getah seperti susu yang keluar dari kotak biji yang belum masak atau getah kepala bunga tanaman Papaversomniferum (poppy). Senyawa ini memiliki sifat mematikan rasa, analgesik, sedatif dan depresan umum.

Opioid memiliki lebih dari 20 jenis alkaloid, yang salah satu dari alkaloid memiliki efek yang dapat memberikan rasa nyaman dan mengurangi penderitaan sehingga diberi nama morfin, nama dari dewa mimpi Yunani Morpheus. Di dalam opioid mentah mengandung 4 – 21 % morfin dan 0,7 – 2,5 % kodein (Fisher,1997;Bigelow,1995).

Opioid adalah jenis NAPZA yang mempunyai potensi ketergantungan paling kuat. Golongan ini terdiri dari berbagai turunan dan zat sintesisnya. Turunan tersebut antara lain : opium, morfin, diasetilmorfin/ diamorfin (heroin, smack, horse, dope), metadon, kodein, oksikodon (percodan, percocet), hidromorfon (dilaudid), levorfanol (levo-dromoran), pentazosin (talwin), meperidin (demerol), propeksipen (dorvon) (Kosten,2002). Golongan opioid mampu melewati sawar darah otak. Dalam hal ini heroin memiliki kemampuan 100 kali dibandingkan dengan kemampuan morfin, oleh karena itu heroin dinamakan ”hero drug”, dan oleh karena alasan ini pula, heroin menduduki peringkat tertinggi untuk disalahgunakan, terutama dengan menggunakan jarum suntik yaitu sebesar 75,63 % (PPIKB/CME,2002).

Pada saat opioid melewati aliran darah otak kemudian berikatan dengan reseptor µ opiat yang terdapat pada permukaan neuron sel otak, hubungan khemikal tersebut akan mencetuskan biokhemikal otak yang sama untuk memproses reward pada seseorang dengan perangsangan kesenangan alami seperti makan, minum dan seksual. Ketika zat menstimuli reseptor µ opiat di otak maka sel pada ventral tegmental area (VTA) akan memproduksi dopamin (DA) dan dilepaskan ke dalam Nucleus Acumben (NAc) untuk memberikan perasaan senang. Perubahan sistem reward dopamin (DA) pada VTA tidak sepenuhnya dimengerti (Clark,200). Prinsip kesenangan dari sistem reward alami tersebut akan meningkatkan aktivitas opiat untuk pemakaian awal yang akan berlanjut pada adiksi. Pemakaian opioid dalam waktu lama akan merubah fungsi otak dan akan memperpanjang waktu kesenangan, hal ini yang mendasari perilaku kompulsif mencari zat. Apabila pemakaian opioid berlanjut akan menginduksi mekanisme ketergantungan di otak, sehingga memerlukan pemakaian tiap hari untuk

Page 4: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

mencegah craving dan gejala withdrawal. Penelitian lebih baru secara umum menjelaskan beberapa model tentang pembiasaan pemakaian opioid mengakibatkan perubahan pada otak dan proses adiksi yang kemungkinan melibatkan komponen dari masing-masing model dengan ciri-ciri yang berbeda (Kosten,2002).

Toleransi, kecanduan, dan ketergantungan opioid merupakan manifestasi perubahan otak yang diakibatkan dari penyalahgunaan opioid yang kronis. Abnormalitas otak akan menghasilkan ketergantungan dan hal ini akan melibatkan efek dari interaksi dengan lingkungan seperti stres, keadaan sosial yang mengawali penggunaan opiat, kondisi psikologi, faktor predisposisi genetik serta jalur otak yang abnormal sebelum pemakaian opioid pada dosis awal. Abnormalitas tersebut akan menimbulkan kekambuhan berikutnya setelah beberapa bulan atau tahun (Cami,2003). Ketergantungan opioid menurut definisi WHO adalah sekumpulan gejala kognitif, perilaku dan fisiologis yang dapat terjadi bersama-sama, dimana memerlukan pemakaian opioid yang berulang ulang dengan dosis yang lebih besar (Jaffe in Kaplan, 9ed). Kriteria diagnosa ketergantungan opioid menurut DSM IV apabila memenuhi ≥ 3 dari yang tersebut di bawah ini selama periode 12 bulan : 1. Toleransi2. Withdrawal3. Penggunaan opioid dalam jumlah besar

atau waktu yang lebih lama daripada se-harusnya.

4. Keinginan yang kuat untuk berhenti, na-mun berulang kali gagal.

5. Hampir seluruh waktu dalam hidup di-gunakan untuk mendapatkan opioid, menggunakan opioid, atau menyem-buhkan dampaknya.

6. Berkurangnya aktivitas penting lainnya dalam hal sosial, pekerjaan, atau rekreasi karena ditukar dengan penggunaan opi-oid.

7. Menggunakan opioid meskipun tahu merugikan fisik atau menimbulkan masalah psikologis (Atkison,2003).

Metadon merupakan salah satu farmakoterapi untuk manajemen ketergantungan opioid. Dengan Program Terapi Rumatan Metadon telah terbukti dapat

menurunkan angka kematian pada pasien-pasien penyalahgunaan opioid. Penelitian di Amerika Serikat menjelaskan bahwa pecandu heroin yang tidak diobati mempunyai angka kematian sebesar 8,3%, sedangkan yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon angka kematian turun menjadi sebesar 0,8% (Vocci,2005).

Penelitian di Swedia, menyebutkan sebesar 6 kali lipat penurunan angka kematian pecandu opioid pada Program Terapi Rumatan Metadon, sedangkan pada penelitian orang Australia terdapat 4 kali penurunan risiko kematian untuk pasien Program Terapi Rumatan Metadon (Batki,2005). Program Terapi Rumatan Metadon juga dapat menurunkan angka kesakitan serta risiko penyakit infeksi. Pada penelitian sebelumnya, mengatakan lamanya Program Terapi Rumatan Metadon berbanding terbalik dengan prevalensi HIV dan pada penelitian prospective terdapat 7 kali penurunan insiden HIV pada kelompok Program Terapi Rumatan Metadon dibanding pasien yang tidak mengikuti program (Luty,2004).

Keberhasilan suatu terapi dipengaruhi oleh seberapa jauh gangguan itu diketahui penyebabnya, ada atau tidaknya metode yang efektif, serta faktor-faktor yang berpengaruh lainnya. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut, akan dapat dikembangkan suatu intervensi yang lebih efektif. Seperti yang sudah dijelaskan diawal BAB II dalam tulisan ini, faktor keluarga telah menjadi bagian yang cukup dominan dalam memberikan kontribusi penyalahgunaan NAPZA, setidaknya sejak tahun 1954, Fort telah mengulas tentang masalah ini, dan setelah itu, literatur tentang variabel-variabel yang berpengaruh dalam proses perawatan masalah ketergantungan zat ini menunjukkan akumulasi yang semakin meningkat dan tetap.

Hubungan yang kurang dekat antara orang tua dengan anak menyebabkan anak akan mencari pengganti dan kompensasi ke dalam teman kelompok sebaya (Moesono, 2003). Selain itu Naratman (1981) dalam penelitiannya terhadap penyalahgunaan zat di Malaysia, juga telah menyatakan bahwa disfungsi keluarga yang ditandai dengan buruknya hubungan antara orang tua dan anak merupakan faktor yang berperan serta

Page 5: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

yang secara potensial dapat mendorong anak kepada penyalahgunaan zat.

Pandangan awal tentang individu-individu ketergantungan obat cenderung untuk mencirikan mereka sebagai para penyendiri – yaitu orang-orang yang terisolasi dari hubungan primer dan menjalani kehidupan “alley cat”. Sampai para peneliti mulai menyelidiki tentang tata kehidupan dan kontak keluarga para pecandu, pandangan itu mulai bergeser. Sebagai contoh, Vaillant (1996), dalam sebuah follow up dari para pecandu NAPZA New York yang kembali dari rumah sakit rehabilitasi NAPZA Federal di Kentucky, menemukan bahwa 90% dari orang-orang berusia 22 tahun yang ibunya masih hidup, kemudian tinggal dengan ibu mereka, sementara 59% dari orang-orang berusia 30 tahun yang ibunya masih hidup, tinggal dengan ibu mereka atau dengan kerabat darah perempuan lainnya seperti nenek atau saudara perempuan.

Apakah para pecandu obat-obatan benar-benar hidup dengan orang tua mereka atau tidak, bukti yang telah terakumulasi menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka berhubungan erat dengan para keluarga mereka. Sebagai contoh, dalam melacak para pecandu untuk follow up jangka panjang, Bale dan rekan-rekan (1977) mencatat bahwa para klien ini biasanya memiliki contact person akrab seperti orang tua atau kerabat dekat lainnya, namun menurut Goldstein dan rekan-rekan (1977) para pecandu tersebut “cenderung untuk memanfaatkan rumah tangga yang ada (biasanya orang tua mereka) sebagai titik referensi konstan dalam kehidupan mereka”.

Lebih jauh lagi, Coleman (personal communication, March 1979), dalam sebuah ulasan dari grafik 30 pecandu pria, mencatat bahwa orang yang mereka minta untuk dihubungi dalam kasus darurat hampir selalu ibu mereka, dan hampir tidak pernah orang dengan siapa mereka tinggal (yaitu istri atau pacar) bagi para klien yang tidak tinggal dengan para ibu mereka.

Para pecandu seringkali terikat pada sistem keluarga pada banyak titik, sehingga komunikasi diantara mereka dan para anggota lainnya seringkali berjalan melalui saudara kandung, kerabat, dan suami/istri. Dari 26 laporan yang menguatkan, semuanya menunjukkan bahwa mayoritas dari para

pasien seperti itu sedikitnya memiliki kontak mingguan, sementara (bergantung pada lokasi geografis dan variabel-variabel lainnya) dari 35% hingga 80% tinggal dengan atau bertemu dengan satu atau lebih orang tua tiap harinya. Tentu saja, tinggal dengan atau secara reguler menghubungi orang tua tidak dengan sendirinya bersifat pathognomonic. Bahkan, praktik-praktik seperti itu bisa jadi adalah peraturan/budaya dalam beberapa kelompok etnis tertentu.

Dalam sebuah studi terhadap orang Australia, Schweitzer dan Lawton (1989) meminta para pasien pria dan wanita poli ketergantungan obat-obatan dan opium untuk melengkapi Parental Bonding Instrument. Para subjek menilai orang tua mereka, terutama ayah mereka, memiliki sifat yang lebih dingin, acuh tak acuh, intrusif, dan menghalangi kemandirian dibandingkan penilaian dari kelompok kontrol.

Telah diketahui secara umum bahwa prosentase para pasien dengan masalah ketergantungan atau penyalahgunaan obat-obatan adalah sangat kecil dalam kepatuhan berobatnya. Nathan (1990) memperkirakan bahwa angka ini adalah 5%, sementara Frances dan rekan-rekan (1989) menetapkannya pada 10%. Sebuah studi epidemiologi oleh Kessler dan rekan-rekan (1994) menunjukkan bahwa hanya 8% diantara para pecandu tersebut yang berusaha dengan sungguh-sungguh mencari pertolongan/ pengobatan. Dengan besarnya populasi yang tidak terawat dan meningkatnya kontribusi dari penyalahgunaan obat-obatan (melalui penggunaan intravena dan prostitusi) pada penyebaran acquired immunodeficiency syndrom (AIDS), cara-cara untuk mengikutsertakan keluarga dalam perawatan mulai diasumsikan sebagai hal yang penting. Memang, Frances dan Miller (1991) telah menyatakan bahwa “tantangan utama bidang kecanduan adalah membantu para pecandu zat tersebut untuk menerima dan meneruskan perawatan”.

Pendekatan-pendekatan melalui keikutsertaan seluruh anggota keluarga maupun orang lain (significant figure) menjadi hal yang penting dalam mempertahankan kepatuhan berobat para pasien ketergantungan zat. Berikutnya menurut Collins dan Allison (1983), salah satu dari metode yang paling efektif/manjur

Page 6: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

dalam mengatasi ketidakpatuhan mereka adalah melalui orang lain yang berarti/signifikan, seperti suami/istri, orang tua, saudara kandung, anak-anak, teman, pendeta, atasan, dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Resnick dan Resnick (1984), “… keluarga dapat seringkali menjadi kunci untuk memaksa pasien agar berhenti menyangkal/menghindar, dan mulai dengan serius menangani masalah ketergantungannya”.

Pada mulanya dikembangkan pada tahun 1960an oleh Johnson (1973, 1986) di the Johnson Institute di Minneapolis, sebuah metode/intervensi untuk memobilisasi dan melatih para anggota keluarga, teman, dan rekan-rekan untuk menghadapi para pecandu dengan kepedulian-kepedulian mereka, agar dengan keras mendorong para pecandu tersebut untuk memasuki perawatan, dan menjabarkan konsekuensi-konsekuensi (seperti perceraian, hilangnya pekerjaan, dll) jika mereka tidak patuh dalam proses perawatan.

Community Reinforcement Training (CRT) adalah program yang melibatkan anggota keluarga agar mereka segera menelpon untuk mendapatkan bantuan apabila ada anggota keluarga mereka yang mengalami masalah dalam hal ketergantungan zat. Program ini meliputi sejumlah sesi dengan keluarga para pasien dimana mereka diajari bagaimana cara untuk menghindari kekerasan fisik, mendorong ketenangan hati, mendorong pencarian perawatan, dan bantuan dalam proses perawatan. Pendekatan ini pada umumnya adalah non konfrontasional dan berusaha untuk mengambil kesempatan dari sebuah saat ketika para pecandu tersebut mulai termotivasi untuk mendapatkan perawatan dengan cara mendorong agar segera meminta pertemuan di klinik dengan konselor, bahkan jika hal ini terjadi di tengah malam (Sisson dan Azrin, 1993).

Sebuah metode untuk mengikutsertakan para pecandu remaja (dan keluarga mereka) telah dikembangkan oleh Szapocznik dan rekan-rekan (1988). Dengan menggunakan metode ini, Szapocznik dan rekan-rekan mampu untuk mendapatkan 93% remaja yang ditargetkan untuk datang ke klinik dengan para keluarga mereka untuk sebuah pertemuan intake, dibandingkan

dengan 42% untuk keikutsertaan dalam situasi dan kondisi yang tidak melibatkan keluarga mereka.

The Albany-Rochester Interventional Sequence for Engagement (ARISE) dirancang oleh Garrett dari program Al-Care (sebuah fasilitas rawat jalan yang cukup besar untuk para pecandu zat di Albany, NY), ARISE membawa beberapa tahap dalam mobilisasi keluarga dan orang-orang lainnya yang signifikan menuju masuknya pasien dalam proses perawatan (Garrett et al.,). Metode ini mengkombinasikan intervensi formal (Johnson, 1973, 1986), terapi jaringan social (Speckand Attneave, 1973), dan pendekatan terhadap keluarga (Rochester danLandau-Stanton, 1990; Landau-Stanton dan Clements, 1993; Seaburn et al. 1995; Stanton, 1984; Stanton dan Landau-Stanton, 1990).

Masalah keluarga (yang secara tidak sengaja, biasanya dihubungkan dengan kejadian siklus hidup keluarga) juga dapat mendorong para pecandu obat-obatan untuk kambuh atau meninggalkan perawatan. Sebagai contoh, ada bukti bahwa permulaan dari penyalahgunaan obat-obatan dan over dosis dapat ditimbulkan oleh gangguan keluarga, stres, dan kehilangan (Duncan, 1978; Krueger, 1981; Noone, 1980). Lebih jauh lagi, gangguan-gangguan ini mungkin tidak secara nyata melibatkan klien secara langsung, tetapi mugkin bersifat lebih tidak langsung (seperti ketika ibunya kehilangan pacarnya, atau ketika ayahnya kehilangan pekerjaannya).

Persepsi fungsi keluarga adalah persepsi dari anggota keluarga/pasien mengenai kemampuan keluarga dalam hal pemecahan masalah, komunikasi, peran, respon afektif, keterlibatan afektif, dan pengendalian tingkah laku. Fungsi keluarga ini dapat dinilai dengan menggunakan The McMaster Family Assessment Divice (FAD), yang menilai persepsi dari pasien mengenai kemampuan keluarga dalam hal-hal sebagai berikut :

Pemecahan masalah Komunikasi Peran Respon afektif Keterlibatan afektif Pengendalian tingkah

laku Fungsi umum

Page 7: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Hasil penelitian reliabilitas pada uji ulang FAD menunjukkan nilai reliabilitas yang cukup tinggi ( alpha = 0,70). Sedang studi validitas FAD pada kelomppok klinik dan non klinik menunjukkan perbedaan yang

bermakna ( p < 0,02 ). Sementara itu penggunaan FAD bersama-sama dengan Locke Wallace Marital Satisfaction Scale memberikan hasil analisis yang sejajar.

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III.1. Kerangka konseptual

Keterangan : : Jalur yang diteliti: Jalur yang tidak diteliti

III.2. Hipotesis PenelitianDidapatkan hubungan antara disfungsi

keluarga dengan kepatuhan pasien-pasien ketergantunagan opioid yang berobat ke URJ PTRM RSU Dr. Soetomo.

BAB IV METODE PENELITIAN

IV .1. Jenis PenelitianPenelitian ini adalah studi analitik

observasional dengan bentuk cross-sectional untuk mengetahui adanya hubungan antara fungsi keluarga tertentu dengan kepatuhan berobat pasien ketergantungan opioid di URJ Program Terapi Rumatan Metadon RSU Dr. Soetomo Surabaya..

IV. 2. Tempat dan WaktuTempat dilakukannya penelitian ini

adalah di Unit Rawat Jalan Program Terapi Rumatan Metadon RSU Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan kalender, mulai bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Desember 2007.

IV. 3. Sampel PenelitianSampel penelitian adalah pasien Unit

Rawat JalanProgram Terapi Rumatan Metadon RSU Dr. Soetomo Surabaya. Cara pengambilan sampel adalah dengan cara systematic random sampling.

IV. 4. Kriteria inklusi dan eksklusiIV. 4. 1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi : Harus memenuhi

kriteria DSM-IV untuk ketergantungan opioid

Bersedia dengan sukarela menandatangani informed consent dan berpartisipasi dalam penelitian

Pasien-pasien yang tercatat berobat di URJ PTRM RSDS sampai dengan bulan Agustus 2007

Usia lebih dari 17 tahun sampai dengan 40 tahun

Telah mengikuti PTRM minimal sudah 1 bulan.di

Faktor lain : KepribadianPendidikanUmurPekerjaanBudayaKeterlibatan dalam masalah hukumPengaruh lingkungan

Pasien yg berobat ke URJ PTRM RSDS

Fungsi Keluarga

Kepatuhan Dalam Berobat ke URJ PTRM RSDS

Page 8: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

IV. 4. 2. Kriteria eksklusiKriteria eksklusi :

Pasien dengan psikosis yang jelas

Retardasi mental yang jelas Kelebihan dosis atau intoksikasi

opioid

Pasien dengan penyakit fisik berat

Mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon < 1 bulan

IV. 5. Jumlah SampelSampel diambil dari pasien-

pasien yang berobat ke URJ PTRM RSDS sampai bulan Agustus 2007 secara systematic random sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dengan besar sampel didapat melalui rumus :

n1 = n2 =

Z1/2 0,05 = 1,96Z 0,20 = 0,842p1 = Proporsi kepatuhan berobat pasien

ketergantungan opioid dengan fungsi keluarga yang baik.

p2 = Proporsi ketidak-patuhan berobat pasien ketergantungan opioid dengan disfungsi keluarga.

Oleh karena belum ditemukan penelitian sejenis maka besar sampel ditetapkan berdasarkan teori limit pusat dengan masing-masing kelompok sebesar 30 pasien patuh dan 31 pasien tidak patuh.

IV. 6. Variabel Penelitiana. Variabel bebas adalah fungsi keluargab. Variabel tergantung adalah kepatuhanc. Variabel luar adalah faktor kepribadian,

pendidikan, jenis kelamin,umur, norma agama, budaya, ketergantuangan ekonomi pada orang tua, dan lingkungan.

IV. 7. Definisi OperasionalA. Ketergantungan NAPZA : adalah

pasien yang oleh psikiater telah didiagnosis sebagai ketergantungan NAPZA. Sesuai dengan pedoman PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya keadaan ketergantungan merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh paling sedikit tiga atau lebih kondisi di bawah ini yang dialami dalam masa setahun sebelumnya : Adanya keinginan yang kuat

atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan zat

Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal, usaha untuk penghentian atau tingkat penggunaannya

Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan atau pengurangan zat, terbukti orang tersebut menggunakan zat atau golongan zat sejenis dengan tujuan menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat

Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis yang lebih rendah

Secara progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan atau minat lain karena penggunaan zat, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pullih dari akibatnya

Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati, keadaan depresi, atau hendaya fungsi kognitif akibat penyalahgunaan zat tersebut

B. Persepsi Fungsi Keluarga : adalah persepsi dari pasien mengenai kemampuan keluarga

(Z1/22.p.q + Zp1.q1+p2.q2)2

(p1 - p2)2

Page 9: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

dalam hal-hal sebagai berikut : Pemecahan masalah Komunikasi Peran Respon afektif Keterlibatan afektif Pengendalian tingkah

laku Fungsi umum

Fungsi keluarga ini dapat dinilai dengan menggunakan The McMaster Family Assessment Divice (FAD).

C. Ketergantungan opioid : Sesuai dengan DSM IV disebut

ketergantungan opioid apabila memenuhi ≥ 3 dari yang tersebut di bawah ini selama periode 12 bulan : 1. Toleransi, seperti yang

dipastikan dengan adanya salah satu tersebut di bawah ini : kebutuhan akan penambahan dosis yang mencolok agar diperoleh efek yang diinginkan atau berkurangnya efek secara mencolok akibat penggunaan berulang dengan dosis yang sama.

2. Withdrawal, yang dipastikan dengan adanya salah satu yang tersebut di bawah ini : sindroma putus zat yang khas untuk zat tersebut atau zat yang sama harus digunakan untuk

menyembuhkan/menghindari gejala putus zat.

3. Penggunaan opioid dalam jumlah besar atau waktu yang lebih lama dari-pada seharusnya.

4. Keinginan yang kuat untuk berhenti, namun berulang kali gagal.

5. Hampir seluruh waktu dalam hidup digunakan untuk mendapatkan opioid, menggunakan opioid, atau menyembuhkan dampaknya.

6. Berkurangnya aktivitas penting lainnya dalam hal sosial, pekerjaan, atau rekreasi karena ditukar dengan penggunaan opioid.

7. Menggunakan opioid meskipun tahu merugikan fisik atau menimbulkan masalah psikologis.

D. Disebut patuh apabila minimal enam bulan berturut-turut pasien rajin kontrol setiap hari sesuai dengan buku panduan berobat URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya.

E. Disebut tidak patuh apabila pasien berobat secara tidak teratur (tidak kontrol selama lebih dari 3 hari berturut-turut), atau berobat teratur tetapi sebelum enam bulan pasien sudah menghentikan proses perawatan selanjutnya.

Page 10: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

IV. 8. Cara KerjaIV. 8. 1. Prosedur

IV. 8. 2. Alat ukurPersepsi fungsi keluarga

adalah persepsi dari pasien mengenai kemampuan keluarga dalam hal pemecahan masalah, komunikasi, peran, respon afektif, keterlibatan afektif, dan pengendalian tingkah laku. Persepsi fungsi keluarga ini dapat dinilai dengan menggunakan The McMaster Family Assessment Divice (FAD), yang merupakan kwesioner terdiri dari enam puluh item dan terbagi dalam 7 skala sebagai berikut :

Skala 1 : Pemecahan masalah (Problem Solving/PS), yang menilai kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mengancam integritas dan kapasitas fungsional keluarga.

Skala 2 : Komunikasi

(Communication/Co), yang menilai bagaimana pertukaran informasi antar anggota keluarga terutama ditekankan pada kejelasan dari isi pesan-pesan verbal dan ditujukan kepada siapa.

Skala 3 : Peran (Roles/Ro), yang menilai kemampuan keluarga menetapkan pola tingkah laku dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga sehari-hari yang meliputi fungsi keluarga sebagai sumber penyediaan perbekalan, pendukung perkembangan individu, dan sebagainya.

Skala 4 : Respon afektif (Affective Responsiveness/AR), yang menilai tentang kemampuan keluarga dalam memberikan reaksi afektif yang sesuai terhadap berbagai macam rangsang.

Berobat ke URJ PTRM

RSDS

Pasien Ketergantungan

opioid

Kriteriaeksklusi

Kriteriainklusi

Sampel Penelitian

Patuh Tidak Patuh

Pengukuran dengan FAD Pengukuran dengan FAD

Pengolahan data

Laporan

Page 11: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Skala 5 : Keterlibatan afektif (Affective Involvement/AI), yang menilai sejauh mana anggota keluarga memberikan perhatian dan melibatkan diri pada kegiatan anggota keluarga yang lain. Suatu keluarga akan dinilai sehat apabila tingkat keterlibatannya cukup sedang saja, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak melibatkan diri.

Skala 6 : Pengendalian tingkah laku (Behavior Control/BC), yang menilai tentang bagaimana keluarga mengekspresikan serta mempertahankan tingkah laku-tingkah laku standard.

Skala 7 : Fungsi umum (General Functioning/GF), yang menilai keseluruhan dari fungsi keluarga baik yang sifatnya patologis maupun yang sehat, dan hal ini merupakan gabungan dari skala 1 sampai dengan skala 6.

Skor FAD berkisar antara 1,00 – 4,00; nilai rendah berarti sehat, sedangkan nilai tinggi berarti tidak sehat. Hasil penelitian reliabilitas pada uji ulang FAD menunjukkan nilai reliabilitas yang cukup tinggi ( alpha = 0,70). Sedang studi validitas FAD pada kelompok klinik dan non klinik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,02).

Sementara itu penggunaan FAD bersama-sama dengan Locke Wallace Marital Satisfaction Scale memberikan hasil analisis yang sejajar. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini dicoba untuk mencari hubungan antara persepsi mengenai fungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pasien-pasien URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya.

IV. 8. 3. Analisis dataData dikumpulkan dan

diolah secara deskriptif. Untuk membandingkan fungsi keluarga antara pasien patuh dan tidak patuh digunakan analisis statistik Mann-Whitney.

BAB VHASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Unit Rawat Jalan Program Terapi Rumatan Metadon RSU Dr. Soetomo Surabaya, mulai bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Desember 2007. Dari data yang diperoleh pada periode waktu diatas, didapatkan 61 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan rincian 31 pasien tidak patuh, dan 30 pasien patuh.

Page 12: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Gambar 5.1 : Distribusi sampel berdasarkan umur

Gambar 5.2 : Distribusi sampel berdasarkan pendidikan

Gambar 5.3 : Distribusi sampel berdasarkan pekerjaan

Gambar 5.4 : Distribusi sampel berdasarkan keterlibatan dalam masalah hukum

Page 13: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Gambar 5.5 : Distribusi sampel berdasarkan kepribadian disosial

Gambar 5.6 : Distribusi sampel berdasarkan mudah/tidaknya dipengaruhi

Gambar 5.7 : Distribusi sampel berdasarkan Problem Solving keluarga

Page 14: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Gambar 5.8 : Distribusi sampel berdasarkan Communication keluarga

Gambar 5.9 : Disribusi sampel berdasarkan Roles keluarga

Gambar 5.10 : Distribusi sampel berdasarkan AR keluarga

Page 15: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Gambar 5.11 : Distribusi sampel berdasarkan AI keluarga

Gambar 5.12 : Distribusi sampel berdasarkan BC keluarga

Gambar 5.13 : Distribusi sampel bardasarkan GF keluarga

Page 16: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Gambar 5.14 : Distribusi sampel berdasarkan FAD5.2 Analisis Hasil Penelitian Tabel 5.1 Uji homogenitas variabel penelitian

Kepatuhan

Variabel Tidak patuh

n=31

Patuh n=30

Harga p

Umur [rerata±SD] 27,8±5,6 27,1±3,2 0,549

Tingkat pendidikan 0,339

SD 1 (3,2) 0 (0,0)

SLTP 4 (12,9) 2 (6,7)

SLTA 15 (48,4) 15 (60,0)

PT 11 (35,5) 13 (43,3)

Bekerja 23 (74,2) 27 (90,0) 0,203

Menikah 11 (35,5) 8 (26,7) 0,641

Terlibat masalah hukum 19 (61,3) 13 (43,3) 0,251

Kepribadian disosial 19 (61,3) 13 (43,3) 0,251

Mudah dipengaruhi teman 18 (58,1) 19 (63,3) 0,874

Variabel umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, keterlibatan dalam masalah hukum dan kepribadian disosial merupakan variabel yang berpotensi sebagai variabel perancu terhadap kepatuhan pasien. Hasil uji homogenitas menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan bermakna semua variabel yang berpotensi sebagai variabel perancu terhadap kepatuhan (harga p>0,05). Oleh karena sudah homogen maka variabel tersebut di atas tidak dilibatkan dalam analisis selanjutnya (Tabel 5.1).

Page 17: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Tabel 5.2 : Fungsi keluarga terhadap kepatuhan pasien berobat di URJ PTRM Kepatuhan

Fungsi keluarga Tidak patuh

n=31(%)

Patuh n=30 (%)

Harga p OR CI95%

Problem solving 0,252 2,08 0,74 – 5,81

Jelek 20 (64,5) 14 (46,7)

Baik 11 (35,5) 16 (53,3)

Communication <0,0001 45,00 5,39 – 375,67

Jelek 30 (96,8) 12 (40,0)

Baik 1 (3,2) 18 (60,0)

Roles <0,0001 20,80 5,61 – 77,10

Jelek 26 (83,9) 6 (20,0)

Baik 5 (16,1) 24 (80,0)

Affective Responsiveness 0,007 5,14 1,69 – 15,68

Jelek 24 (77,4) 12 (40,0)

Baik 7 (22,6) 18 (60,0)

Affective Involvement 0,001 8,03 2,55 – 25,31

Jelek 22 (71,0) 7 (23,3)

Baik 9 (29,0) 23 (76,7)

Behavior Control 0,035 4,50 1,25 – 16,17

Jelek 27 (97,1) 18(60,0)

Baik 4 (12,9) 12 (40,0)

General Functioning <0,0001 22,28 5,79 – 85,79

Jelek 24 (77,4) 4 (13,3)

Baik 7 (22,6) 26 (86,7)

Total Fungsi Keluarga <0,0001 4,44 2,50 – 7,87

Jelek 31 (100,0) 9 (30,0)

Baik 21 (70,0)

Hasil analisis statistik menunjukkan secara keseluruhan fungsi keluarga berhubungan dengan kepatuhan. Fungsi keluarga yang jelek berisiko terhadap ketidak patuhan sebesar 4,44 kali dibanding fungsi keluarga yang baik. Dari ketujuh sub-variabel peran keluarga, hanya problem solving yang tidak berhubungan dengan kepatuhan. Komunikasi, fungsi umum dan peran

merupakan faktor risiko yang dominan sedangkan keterlibatan afektif, respon afektif dan pengendalian tingkah laku bukan faktor risiko yang dominan.

BAB VIPEMBAHASAN

Penelitian ini adalah studi analitik observasional dengan bentuk cross-sectional

Page 18: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

yang dirancang untuk menjelaskan hubungan antara persepsi fungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pasien-pasien ketergantungan opioid di Unit Rawat Jalan Program Terapi Rumatan Metadon RSU Dr. Soetomo Surabaya (URJ PTRM RSDS). Sampel penelitian adalah pasien-pasien ketergantungan opioid di URJ PTRM RSDS yang memenuhi kriteria inklusi-eksklusi dan telah dengan sukarela menandatangani informed consent untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Cara pengambilan sampel adalah dengan cara systematic random sampling.

Berdasarkan distribusi umur didapatkan bahwa pengguna opioid paling banyak berusia 25-29 tahun (49,2%) (Gambar 5.1). Dari proporsi ini tampak bahwa usia terbanyak para pasien ketergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSDS adalah usia-usia produktif. Untuk itu diperlukan penanganan yang eklektik holistik dan sedini mungkin untuk mencegah dampak negatif sosio-ekonominya baik bagi pasien, keluarga dan masyarakat. Kalau tidak, keadaan sosio-ekonomi yang buruk tersebut akan menurunkan kapasitas fungsi keluarga dan pada gilirannya akan meningkatkan risiko anggota keluarga untuk menggunakan NAPZA. Hal ini sesuai dengan penelitian Reinherz yang menyatakan bahwa keadaan sosio ekonomi yang rendah akan meningkatkan risiko penyalahgunaan NAPZA pada anak-anaknya.

Variabel umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, keterlibatan sampel dalam masalah hukum dan kepribadian disosial merupakan variabel yang berpotensi sebagai variabel perancu terhadap kepatuhan pasien. Hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna semua variabel yang berpotensi sebagai variabel perancu terhadap kepatuhan (harga p>0,05) (Tabel 5.1). Oleh karena sudah homogen maka variabel tersebut di atas tidak dilibatkan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.

Skor FAD pada semua skala dalam penelitian ini didapatkan angka yang lebih tinggi pada kelompok sampel yang tidak patuh dibandingkan dengan kelompok sampel yang patuh.

Pada skala Pemecahan Masalah (Problem Solving), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa kemampuan

keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mengancam integritas dan kapasitas fungsional keluarganya kurang memadai.

Pada skala Komunikasi (Communication), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa pertukaran informasi antar anggota keluarga terutama ditekankan pada kejelasan dari isi pesan-pesan verbal dan ditujukan langsung kepada siapa kurang memadai.

Pada skala Peran (Roles), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa kemampuan keluarga menetapkan pola tingkah laku dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga sehari-hari yang meliputi fungsi keluarga sebagai sumber penyediaan perbekalan, pendukung perkembangan individu, dan sebagainya kurang memadai.

Pada skala Respon Afektif (Affective Responsiveness), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa kemampuan keluarga dalam memberikan reaksi afektif yang sesuai terhadap berbagai macam rangsang kurang memadai atau kurang lemah lembut, kurang menunjukkan kasih sayang.

Pada skala Keterlibatan Afektif (Affective Involvement), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa kemampuan keluarga dalam memberikan perhatian dan melibatkan diri pada kegiatan anggota keluarga yang lain kurang atau berlebihan. Suatu keluarga akan dinilai sehat apabila tingkat keterlibatannya cukup sedang saja, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak melibatkan diri.

Pada skala Pengendalian Tingkah Laku (Behavior Control), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa kemampuan keluarga dalam mengekspresikan serta mempertahankan standard/batasan tingkah laku masing-masing anggota keluarga kurang memadai.

Pada skala Fungsi Umum (General Functioning), skor yang lebih tinggi memberikan kesan bahwa keseluruhan dari fungsi keluarga tersebut adalah kurang baik.

Skor FAD berkisar antara 1,00 – 4,00; nilai rendah berarti sehat, sedangkan nilai tinggi berarti tidak sehat. Hasil penelitian reliabilitas pada uji ulang FAD menunjukkan nilai reliabilitas yang cukup tinggi ( alpha = 0,70). Sedang studi validitas FAD pada kelompok klinik dan non klinik menunjukkan perbedaan yang bermakna ( p

Page 19: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

< 0,02 ). Sementara itu penggunaan FAD bersama-sama dengan Locke Wallace Marital Satisfaction Scale memberikan hasil analisis yang sejajar.

Dari hasil analisis statistik penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan fungsi keluarga berhubungan secara bermakna dengan kepatuhan berobat pasien-pasien URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya. Fungsi keluarga yang jelek berisiko terhadap ketidak patuhan sebesar 4,44 kali dibanding fungsi keluarga yang baik (Tabel 5.2). Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawari D, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara penyalahgunaan NAPZA dengan fungsi keluarga, artinya makin buruk fungsi keluarga kemungkinan terjadi penyalahgunaan NAPZA semakin besar.

Dari ketujuh sub-variabel peran keluarga, hanya problem solving yang tidak berhubungan secara bermakna dengan kepatuhan sampel dalam berobat di URJ PTRM RSDS (Tabel 5.2). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan referensi yang ada. Ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan karena kurang optimalnya peneliti memberikan penjelasan mengenai maksud pertanyaan-pertanyaan dalam FAD yang terkait dengan skala 1 (problem solving) tersebut. Hal ini merupakan kekurangan dari penelitian ini. Situasi dan kondisi yang tenang serta waktu yang tidak terburu-buru akan berpengaruh terhadap hasil pengisian formulir FAD.

Komunikasi, fungsi umum dan peran merupakan faktor risiko yang dominan, sedangkan affective involvement, affective responsiveness dan behavior control bukan faktor risiko yang dominan. Diantara yang dominan komunikasi merupakan skala yang paling dominan/berpengaruh kepatuhan berobat pasien-pasien URJ PTRM RSDS. Hal ini sesuai dengan literatur dan berbagai penelitian terkait seperti yang dilakukan Stanton dan rekan-rekan yang menyatakan bahwa komunikasi yang baik dalam keluarga menurunkan tingkat ketidakpatuhan dari 44% menjadi 24%.

Penemuan dari studi ini diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar penelitian serupa selanjutnya dan juga untuk peningkatan usaha program terapi rumatan metadon secara eklektik holistik khususnya di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

baik saat ini maupun dimasa yang akan datang. Dengan diketahuinya bahwa faktor komunikasi keluarga adalah skala paling berpengaruh terhadap kepatuhan berobat pasien-pasien ketergantungan opioid (Tabel 5.2), maka hal ini dapat dipakai acuan dalam usaha meningkatkan efektifitas psikoterapi keluarga sehingga meningkatkan pula kepatuhan dan keberhasilan proses PTRM khususnya di URJ PTRM RSDS.

Psikoterapi keluarga yang efektif adalah setiap intervensi yang dapat merubah interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga sedemikan rupa sehingga memperbaiki fungsi keluarga sebagai unit dan fungsi anggotanya sebagai individu. Konsep dasar psikoterapi keluarga dimulai dengan melihat perilaku dan gangguan psikiatrik setiap anggota keluarga khususnya dalam konteks relasi dan komunikasi interpersonal dalam keluarga tersebut, untuk selanjutnya dilakukan intervensi sesuai dengan tujuan terapi tersebut.

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai suatu organisasi sosial, seperti yang dikatakan Nathan Ackerman:

”None of us lives this life alone. Those who try are foredoomed; they disintegrate as human beings. Some aspects of life experience are, to be sure, more individual than social, others more social than individual; but life nonetheless is a shared and sharing experience. In the early years this sharing occurs almost exclusively with members of our family. The family is the basic unit of growth and experience, fulfillment or failure. It is also the basic unit of illness and health”.Ciri-ciri keluarga sehat yang

berfungsi dengan baik antara lain adalah adanya relasi antar anggota yang hangat dan afektif, menerima dan menghargai aturan bersama yang secara explisit mengatur tingkah/perilaku (conduct) anggota keluarga, mampu menghadapi tantangan dan perubahan, komunikasi yang jelas, terbuka dan langsung antar anggota keluarga, toleransi terhadap konflik, dan adanya kebersamaan dalam menghadapi konflik yang timbul.

BAB VIIKESIMPULAN DAN SARAN

Page 20: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

VII.1. KesimpulanDari hasil pengamatan dalam penelitian

ini dapat disimpulkan bahwa : Secara keseluruhan didapatkan per-

bedaan yang bermakna dalam fungsi keluarga antara keluarga sampel yang patuh dibanding den-gan yang tidak patuh. Dalam hal ini keluarga sampel yang patuh menunjukkan fungsi keluarga yang lebih baik dibanding keluarga sam-pel yang tidak patuh.

Dari semua skala yang ada, skala 2 (komunikasi keluarga) menunjuk-kan skala yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan pasien-pasien ketergantungan opioid yang bero-bat di URJ PTRM RSU Dr. Soeto-mo Surabaya. Urutan berikutnya adalah peran, keterlibatan afektif, respon afektif, kontrol perilaku, dan kemampuan problem solving keluarga tersebut.

Dengan demikian hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini dapat diterima yaitu bahwa : ‘Didapatkan hubungan antara disfungsi keluarga dengan kepatuhan berobat pasien-pasien ketergantungan opioid yang berobat di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya.

VII.2. SaranDalam usaha meningkatkan

kepatuhan berobat pasien-pasien ketergantungan opioid di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas fungsi keluarga mereka terutama pada skala/kemampuan komunikasi interpersonal masing-masing anggota keluarga tersebut, baik dengan cara edukasi dan informasi melalui media masa yang ada maupun dengan melakukan psikoterapi keluarga yang eklektik, holistik, efektif dan berkesinambungan langsung kepada keluarga para pasien tersebut. Untuk hal tersebut diperlukan adanya tambahan tenaga/sumber daya manusia baik tenaga profesional medis maupun non medis di URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya agar dapat melaksanakan program psikoterapi keluarga ataupun pelayanan lain dengan lebih optimal dan terpadu.

Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan alat ukur

atau aspek-aspek berpengaruh lain yang berbeda untuk melengkapi hasil penelitian yang sudah ada, sehingga menambah wawasan dalam menangani secara terpadu terhadap permasalahan ketidakpatuhan pasien-pasien ketergantungan opioid terutama yang berobat ke Unit Rawat Jalan Program Terapi Rumatan Metadon RSSU Dr. Soetomo Surabaya.

KEPUSTAKAAN

1. Atkison RM, Substance Abuse in Cummings JL, Textbook of Geriatric Neuropsychiatry, 2ed , American Psy-chiatric Press, Washington DC, 2000, 369, 388-390.

2. Badan NAPZA Nasional (BNN), 2004. Perkembangan Kasus Narkoba di Indonesia. Jakarta: 8-10.

3. Batki SL et al, Medication-Assisted Treatment For Opioid Addiction in opioid Treatment Programs, A Treat-ment Improvement Protocol 43, US Departement of Health and Human Services, 2005, 1-240.

4. Bigelow GE and Preston KL. 1995. Opioid. Dalam Bloom, Floyd E and Kupfer, David J. Psychopharmacol-ogy. New York : Raven Press. 1731-1743.

5. Buku Panduan URJ PTRM RSU Dr. Soetomo Surabaya, 2007.

6. Cami J and Farre M, Drug Addiction in The New England Journal of Medicine, Volume 349 : 975-986, September 2003.

7. Clark W et al, Substance-Related Disorders: Alcohol & Drugs in Re-view in General Psychiatry, Goldman H, 5 ed, Lange Medical Books, New York, 2000, 215, 220.

8. Departemen Kesehatan RI, 2004. Pe-doman Terapi Pasien Ketergantun-gan NAPZA dan Zat Adiktif Lainnya. Jakarta : 23-29.

9. Fisher GL, Harrison TC, 1007. Sub-stance Abuse : Information for School Counselors, Social Workers, Theraphists and Counselors. USA : Allyn & Bacon, 13-34.

10. Hapsari HI, Muljoharjono H, Hani-man F, 2000. Persepsi Mengenai Fungsi Keluarga dari Penderita

Page 21: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Ketergantungan NAPZA. Laporan Penelitian. Lab/SMF Ilmu Kedok-teran Jiwa FK Unair/RSUD Dr. Soe-tomo. Surabaya.

11. Hawari D, 2001. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA. Jakarta : FK UI. 103-123.

12. Jaffe JH and Strain EC, Opioid-Re-lated Disorders in Kaplan and Sad-docks, Comprehensive Textbook Psychiatry, 9 ed, Volume 1, 1265-1288.

13. Josephson, Allan M, MD, Family Therapy, Comprehensive Textbook of Psychiatry, Section Child Psychia-try: Psychiatric Treatment, Vol.II.

14. Josephson, Allan M., M.D., Family Therapy, Comprehensive Textbook of Psychiatry, Section Child Psychia-try: Psychiatric Treatment, Vol.II,

15. Kosten TR and George TP, Research Review - the Neurobiology of Opioid Dependence: Implication for Treat-ment, Yale University School of Medicine New Haven, July 2002.

16. Luty J, Treatment Preferences of Opiate-Dependent Patients, Psychi-atric Bulletin (2004) 28 : 47-50 © 2004 The Royal College of Psychia-trists

17. Moesono A, 2003. Peran Keluarga dan Masyarakat sebagai Penangkal Penyalagunaan Narkoba. Dalam Penanggulangan Narkoba. Jakarta : FK UI. 49-58

18. NIDA, 2003. Stanton Duncan. Re-seacch, Beyond the Therapeutic Al-lianci : Keeping the Drug-Dependent Individual in Treatment. University of Rocherster School of Medicine and Dentistry, New York.

19. PPIKB/CME, 2002. Konsensus FKUI tentang Opiat, Masalah Medis dan Penatalaksanaannya. Jakarta : FK UI. 10—33.

20. Reinherz,HZ: General and Specific Child Risk Factors for Depression and Drug Disorders by Early Adult-hood. Journal of American Academic of Child and Adolescent Psychiatry, Feb.2000,39(2):223-231.

21. Shovelar, G. Pirooz, M.D., Family Therapy, Textbook of Child and Ado-lescent Psychiatry, 3rd Edition, Edited

by Jerry M.Wiener, M.D., Mina K.-Dulcan, M.D. the American Psychi-atric Publishing, 2004.

22. Shovelar, G. Pirooz, M.D., Family Therapy, Textbook of Child and Ado-lescent Psychiatry, 3rd Edition, Edited by Jerry M.Wiener, M.D., Mina K.-Dulcan, M.D. the American Psychi-atric Publishing, 2004.

23. Sidney Bloch, Julian Hafner, Edwin Harari, and George I. Szmukler, The Fakily in Clinical Psychiatry, Oxford Medical Publications, Oxford Uni-versity Press, 1994.

24. Stanton D, The Role of Family and Significant Others in the Engagement and Retention of Drug-Dependent In-dividuals, at Spalding University in Louisville, Published 12/27/2005

25. Vocci FJ et al, Medication Develop-ment for Addictive Disorders : The State of the Science, American Jour-nal Psychiatry 162 : 1432-1440, Au-gust 2005.

Page 22: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien
Page 23: Hubungan Antara Fungsi Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien