79
1 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR – FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI PETANI PADA BUDIDAYA TANAMAN JERUK BESAR DI KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Oleh : SARI YUSNITA H0404057 Pembimbing : Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD Agung Wibowo SP, Msi FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR – FAKTOR SOSIAL EKONOMI …eprints.uns.ac.id/9785/1/127010308201009081.pdf · tingkat adopsi inovasi petani pada budidaya tanaman jeruk besar di kecamatan

Embed Size (px)

Citation preview

1

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR – FAKTOR SOSIAL EKONOMI

DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI PETANI PADA BUDIDAYA

TANAMAN JERUK BESAR DI KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN

SRAGEN

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Oleh :

SARI YUSNITA

H0404057

Pembimbing :

Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD

Agung Wibowo SP, Msi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

2

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI PETANI PADA BUDIDAYA TANAMAN JERUK

BESAR DI KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

Sari Yusnita1 Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD 2, Agung Wibowo, SP, MSi 3

ABSTRAK

Sari Yusnita, H0404057, “HUBUNGAN ANTARA FAKTOR – FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI PETANI PADA BUDIDAYA TANAMAN JERUK BESAR DI KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN”. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Ir.Marcelinus Molo, MS, PhD dam Agung Wibowo, SP, MSi.

Pembangunan pertanian di Indonesia saat ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyrakat terutama untuk usaha pertanian. Program pengembangan agribisnis jeruk besar di Kecamatan Plupuh merupakan salah satu wujud nyata dari pembangunan pertanian yang berorientasi pada sistem usaha agribisnis yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Untuk mengetahui produktivitas dan kesejahteraan petani maka perlu diketahui tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor sosial ekonomi dan mengkaji tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar serta mengkaji hubungan antar status sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen.

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive). Metode pengambilan sample secara sistematis (systematic sampling) dengan sample sebanyak 60 responden. Metode analisis data yang digunakan Uji compare means. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan status social ekonomi petani dengan tingakt adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar digunakan uji korelasi Rank Spearman (rs) dengan menggunakan program computer SPSS 12,0 for windows.

Hasil penelitian menunjukan sebagian besar luas lahan petani dalam kategori rendah (55%), pendidikan formal petani dalam kategori rendah (68,3%), pendidikan non formal petani dalam kategori sedang (63,3%), pendapatan petani dalam kategori rendah (45%), kekayaan petani dalam kategori sedang (55%), dan tingkat rasionalitas petani dalam kategori sedang (55%). Sementara pada tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar menunjukan perencanaan kebun dalam kategori sedang (2,15), persiapan lahan dalam kategori sedang (2,15), penyiapan bibit dalam kategori sedang (7,22), penanaman dalam kategori tinggi (3,77), pembentukan arsitektur pohon dalam kategori tinggi (3,00), pemupukan dalam kategori sedang (13,20), penyiraman dalam kategori rendah (6,30), dan pendangiran dan pembumbunan dalam kategori tinggi (2,98).

Dari uji korelasi Rank Spearman pada taraf kepercayaan 95% menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara luas lahan dan pendapatan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar. Disamping itu terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pendidikan non formal, kekayaan dan tingkat rasionalitas petani dengan adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar.

Kata kunci : Faktor-faktor Sosial Ekonomi, Adopsi Inovasi, Jeruk Besar 1). Mahasiswa Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret Surakarta 2). Pembimbing Utama 3). Pembimbing Pendamping

3

RELATIONSHIP BETWEEN ECONOMIC SOCIAL FACTOR WITH THE LEVEL OF FARMER’S INOVATION ADOPTION ON THE BIG ORANGE CULTIVATION

IN PLUPUH, SRAGEN

Sari Yusnita1 Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD 2, Agung Wibowo, SP, MSi 3

ABSTRAK

Sari Yusnita, H0404057, “RELATIONSHIP BETWEEN ECONOMIC SOCIAL FACTOR WITH THE LEVEL OF FARMER’S INOVATION ADOPTION ON THE BIG ORANGE CULTIVATION IN PLUPUH, SRAGEN”. Faculty of Farming Sebelas Maret University Surakarta. Under the guidance of Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD and Agung Wibowo, SP, MSi.

Agricultural development in Indonesia at this time has a very important role for society’s life especially for agriculture. The program of agribusiness development in Plupuh is one of the real efforts of agricultural development which is oriented on the agribusiness system to increase farmer’s productivity and wealthy. To know farmer’s productivity and wealthy, we need to know the level of farmer’s innovation adoption on the big orange cultivation. This research is aimed at investigating the economic social factors, the level of innovation adoption on the big orange cultivation, and the relationship between farmer’s economic social with the level of innovation adoption on the big orange cultivation in Plupuh, Sragen. Basic methodology used in this research is quantitative description. The research location is determined purposively. The method in taking samples is systematic sampling with 60 respondents as the sample. Data analysis method used is Compare means test. To know whether there is a relationship between farmer’s social economic status with the level of innovation adaption on the big orange cultivation or not, Rank Spearman (RS) correlation test by using SPSS 12,0 computer program for windows. The result shows that most of farmer’s land is in low category (55%), farmer’s formal education in low category (68,3%), non formal education in medium category (63,3%), farmer’s income in low category (45%), farmer’s wealthy in medium category (55%), and farmer’s rational level in medium category. Meanwhile, the level of innovation adoption on the big orange cultivation shows that plantation plan in the middle category (2, 15), land preparation in medium category (7, 22), panting is in high category (3,77), the formation of tree architecture in high category (3,00), fertilizing is in medium category, watering is in the low category (6,30), and hoeing and adding flavor are in the high category (2,98). From Rank Spearman correlation test in 95% trust level shows there is a significant relationship between the area and the income with the level of innovation adoption on the big orange cultivation. Besides, there is an insignificant relationship between non formal education, wealthy, and wealthy and level of farmer’s rationality with the innovation adoption on the big orange cultivation. Key words : Economic Social Factor, Inovation Adoption, Big Orange 1). Mahasiswa Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret Surakarta 2). Pembimbing Utama 3). Pembimbing Pendamping

4

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan pertanian di Indonesia saat ini mempunyai peranan yang

sangat penting bagi kehidupan masyarakat terutama untuk usaha pertanian yang

meliputi pangan dan holtikultura, perkebunan, peternakan serta perikanan.

Pembangunan pertanian bertujuan untuk selalu memperbaiki mutu hidup dan

kesejahteraan manusia terutama petani, baik perorangan maupun masyarakat pada

umumnya (Mardikanto, 1993).

Sementara pembangunan pertanian yang berkembang selama ini masih

terpaku pada usaha peningkatan hasil produksi, padahal seharusnya sudah

berkembang pada pembangunan pertanian yang menyeluruh dalam system usaha

agribisnis. Dalam system usaha agribisnis, usaha pertanian didukung oleh

masyarakat subsistem yang terkait yang meliputi pengadaan dan penyaluran

sarana produksi pertanian, teknologi, dan pengembangan sumberdaya pertanian,

subsistem produksi pertanian/usaha tani, subsistem pengelolaan hasil-hasil

pertanian (agroindustri) dan subsistem pemasaran hasil pertanian. Untuk

melaksanakan system tersebut membutuhkan pelaku bisnis yang berperan

mempengaruhi fungsi dan system agribisnis. Pelaku bisnis mencakup masyarakat

petani, pelaku usaha dalam bidang usaha permodalan, pengolahan maupun

pemasaran, kelembagaan usaha ekonomi serta instansi pemerintah yang tugas dan

fungsinya secara langsung maupun tidak langsung memfasilitasi, mendorong

maupun mempengaruhi pembangunan agribisnis.

Program pengembangan agribisnis jeruk besar di kecamatan Plupuh

merupakan salah satu wujud nyata dari pembangunan pertanian yang berorientaasi

pada system usaha agribisnis. Program ini bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan petani melalui kegiatan agribisnis selain tanaman padi yaitu melalui

budidaya tanaman jeruk besar.

Program pengembangan agribisnis jeruk besar pada tahun 2007,

dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan produktifitas dan produksi jeruk besar

yang berorientasi agribisnis melalui pemberdayaan petani dan mendorong

5

kemampuan petani dalam mengembangkan usaha kelompok dibidang holtikultura

jeruk besar di Plupuh, khususnya didaerah-daerah yang dijadikan sasaran program

pengembangan agribisnis jeruk besar tersebut dapat meningkatkan luas lahan

produksi jeruk besar yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan

meningkatkan kesejahteraan petani.

Adapun konsep program pengembangan agribisnis jeruk besar

dilaksanakan dengan menggunakan pola kemitraan yang melibatkan beberapa

elemen yaitu: petani yang terhimpun dalam kelompok tani sebagai pelaku usaha

budidaya tanaman jeruk besar, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bertindak

memberi penguatan modal usaha kelompok (PMUK) atas nama Kuasa Pengguna

Anggaran Pengembangan Agribisnis, dan bank pelaksana selaku penyalur kredit.

Pelaksanaan kegiatan penanaman jeruk besar dititik beratkan pada petani

yang lahannya sudah tidak bisa ditanami padi dan pekarangan yang kosong

dikarenakan tanahnya yang tidak subur. Dalam pelaksanaan kegiatan penanaman

jeruk besar memerlukan tingkat adopsi yang tinggi dari petani untuk

mengembangkan usaha taninya. Oleh sebab itu factor social ekonomi petani

sangat mempengaruhi petani dalam menerapkan inovasi dan informasi tentang

penanaman jeruk besar.

B. Rumusan Masalah

Program pengembangan agribisnis holtikultura jeruk besar merupakan

salah satu usaha Dinas Pertanian Sragen dalam meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani dengan system pemanfaatan dana dengan Penguatan Modal

Usaha Kelompok (PMUK), dimana dengan pola kemitraan ini diharapkan dapat

menghasilkan produksi jeruk besar sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani

di kecamatan plupuh. Dalam pelaksanaannya program ini membutuhkan peran

petani dalam mengadopsi inovasi berbagai kegiatan yang diadakan, karena pada

dasarnya petanilah yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ada dalam

program. Kegiatan tersebut meliputi perencanaan kebun, persiapan lahan,

penyiapan bibit, penanaman, pembentukan arsitektur pohon, pemupukan,

penyiraman/pengairan, pendaringan dan pembubumbunan.sehingga keaktifan

6

petani dalam mengikuti kegiatan program sangat menentukan keberhasilan

program tersebut.

Keberlangsungan petani dalam mengikuti program pengembangan

agribisnis jeruk besar sedikit banyak dipengaruhi berbagai faktor sosial ekonomi

serta budaya setempat. Factor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi tingkat

adopsi petani antara lain Luas lahan, Pendidikan formal, Pendidikan nonformal,

Tingkat pendapatan, Kekayaan dan Tingkat rasionalitas petani

Berdasarkan uraian tersebut, mka permasalahan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa saja faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat adopsi

petani dalam program pengembangan agribisnis jeruk besar di Kecamatan

Plupuh?

2. Bagaimana tingkat adopsi petani dalam program pengembangan agribisnis

jeruk besar di Kecamatan Plupuh?

3. Bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap tingkat adopsi petani

dalam program pengembangan agribisnis jeruk besar di Kecamatan Plupuh?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat adopsi

petani dalam program pengembangan agribisnis jeruk besar di Kecamatan

Plupuh.

2. Mengkaji tingkat adopsi petani dalam program pengembangan agribisnis jeruk

besar di Kecamatan Plupuh.

3. Mengkaji pengaruh faktor sosial ekonomi dengan tingkat adopsi petani dalam

program pengembangan agribisnis jeruk besar di Kecamatan Plupuh.

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan bagian dari proses belajar yang saya

pilih sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bagi pemerintah atau instansi, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan

7

khususnya dalam kegiatan penyuluhan pertanian dan pembangunan secara

keseluruhan.

3. Bagi pihak lain yang memerlukan hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan pembanding pada permasalahan yang sama.

4. Bagi petani, penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan dalam penerapan

budidaya jeruk besar yang tepat sehingga mampu meningkatkan pendapatan

dan kesejahteraan petani.

8

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Inovasi

Inovasi adalah gagasan, tindakan atau teknologi, termasuk barang

yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh

dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide-ide itu betul-betul

baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau

ditmukannya pertama kali. Jadi jika suatu ide dianggap baru oleh

seseorang maka ide itu adalah inovasi bagi orang tersebut (Levis, 1996).

Inovsi adalah suatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-

praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan

digunakan/diterapkan dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat

dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong

terjadinya perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat

yang bersangkutan (Mardikanto, 1996).

Sedangkan pengertian inovasi menurut Hanafi (1987) adalah ide-

ide baru, praktik-praktik baru, obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai

sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat. Menurutnya ada lima

macam sifat inovasi, yaitu:

a. Keuntungan relatif, adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap

suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat

keuntungan relatif sering dinyatakan dalam bentuk keuntungan

ekonomi.

b. Kompatibilitas, adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten

dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa laulu dan kebutuhan

penerima. Kompatibilitas memberi jaminan lebih besar dan resiko

lebih kecil bagi penerima dan membuat ide baru itu lebih berarti

baginya.

9

c. Kompleksitas, adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif

sulit untuk dimengerti dan digunakan. Semakin rumit suatu inovasi

bagi seseorang maka akan semakin lambat pengadopsiannya.

d. Triabilitas, adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba

dengan skala kecil. Ide baru yang ada dapat dicoba biasanya lebih

cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu.

e. Observabilitas, adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat

dilihat oleh orang lain.

Menurut Sukartawi (1988), inovasi adalah suatu ide yang

dipandang baru oleh seseorang, karena latar belakang seseorang berbeda-

beda mak dalam menilai secara obyektif tentang suatu ide baru yang

dimaksud sifatnya relatif sekali. Ide baru tersebut kadang-kadang

menentukan reaksi seseorang dan reaksi antar individu itu berbeda-beda.

Dengan demikian suatu pandangan inovasi mungkin berupa teknologi

baru, cara organisasi yang baru, cara pemasaran hasil pertanian yang baru

dan lain sebagainya.

Penemu merupakan orang yang pertama memperkenalkan gagasan

atau ide-ide baru yang kemudian dipraktekkan didalam pertanian, hal ini

seperti diungkapkan oleh Lionberger (1960;53), penemu merupakan orang

yang pertama memperkenalkan gagasan atau praktek, dan umumnya

mempunyai suatu reputasi didalam masyarakat tersebut. Di dalam praktek

difusi pertanian, mereka biasanya menegaskan syarat-syarat dari kecepatan

dimana mereka mempraktekkan satu atau lebih praktek pertanian baru,

walaupun praktek adopsi telah dicoba dan diteskan melalui penelitian dan

mungkin pada pertanian progresif lainnya.

Seseorang akan mengadopsi inovasi jika mempunyai kepercayaan

bahwa inovasi tersebut dapat menghasilkan manfaat terhadap ide yang

telah digantikan, hal ini selaras dengan pendapat Rogers, Everett M

(1995;208): keputusan inovasi dibuat melalui suatu analisis perkiraan

biaya dimana masalah terbesar adalah ketidakpastian. Orang-orang akan

mengadopsi suatu inovasi tersebut jika mereka percaya, bahwa semua

10

pertimbangan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Sehingga mereka

dapat percaya bahwa inovasi bila menghasilkan manfaat terhadap ide yang

digantikan.

Inovasi sering tidak dipandang sebagai suatu paket atau komplek

ide-ide baru yang saling berkaitan. Pengadopsian satu ide bisa merupakan

pemetik picu bagi pengadopsian beberapa ide baru lainnya (Hanafi, 1987).

2. Adopsi

Adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan

sebagi proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan

(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada

diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh

kepada masyarakat sasarannya (Mardikanto, 1996).

Adopsi suatu teknologi oleh petani berkaitan erat dengan perilaku

petani sebagi pengelola usahanya. Perilaku petani sebagai pengelola

usahataninya akan dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal yaitu

meliputi faktor sosial antara lain tingkat pendidikan, pengalaman bertani

dan jumlah anggota keluarga (Syafa’at, 1990). Sedang menurut Levis

(1996) pengertian adopsi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat,

menilai sampai menerapkan.

Tingkat adopsi pada umumnya diukur dengan memerlukan selang

waktu tertentu individu mempunyai tingkat penerapan yang lebih cepat

dalam pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi suatu

inovasi, hal ini selaras dengan pendapat Rogers, Everett M (1983;23)

mengatakan bahwa tingkat adopsi pada umumnya diukur dengan

memerlukan selang waktu tertentu untuk mengadopsi suatu inovasi. Oleh

karena itu, kita dapat mengetahui tingkat adopsi dari tiap inovasi atau

sistem, lebih daripada seseorang individu sebagai unit analisis. Inovasi

yang dirasakan individu sebagai pemilik terbesar, kesesuaian dan lain-lain,

lebih memiliki tingkat penerapan yang lebih cepat.

11

Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerimaan inovasi

oleh anggota sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah

penerima yang mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu

tertentu (Hanafi,1987).

Menurut Mardikanto (1996), kecepatan adopsi dipengaruhi oleh

faktor-faktor, yaitu:

a. Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada

inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (menurut atau

dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.

b. Sifat sasarannya

Tentang hal ini, Rogers (1971) dalam Mardikanto (1994)

mengemukakan hipotesisnya bahwa setiap kelompok masyarakat

terbagi menjadi 5 kelompok individu berdasarkan tingkat kecepatan

mengadopsi inovasi, yaitu:

1) 2,5% kelompok perintis (inovator)

2) 13,5% kelompok pelopor (early adopter)

3) 34,0% kelompok penganut dini (early majority) dan

4) 2,5% kelompok orang-orang kolot atau naluri (laggard).

Hanafi (1987) mengatakan bahwa antara adopter yang inovatif

dengan yang kurang inovatif memiliki ciri-ciri sosial ekonomi yang

berbeda. Dibandingkan dengan adopter yang lebih lambat, anggota sistem

yang lebih inovatif memiliki ciri-ciri sebagi berikut:

a. Lebih berpendidikan, termasuk lebih menguasai kemampuan baca

tulis.

b. Mempunyai status sosial lebih tinggi. Status sosial ditandai dengan

pendapatan, tingkat kehidupan, kesehatan, prestise/jabatan,

pengenalan diri terhadap kelas sosial tersebut.

c. Mempunyai tingkat mobilitas keatas lebih besar, yakni

kecenderungan untuk lebih meningkatkan lagi status sosialnya.

d. Mempunyai ladang yang lebih luas

12

e. Lebih berorientasi pada ekonomi komersial, dimana produk-produk

yang dihasilkan ditujukan untuk dijual bukan semata-mata untuk

konsumsi sendiri, karena barang kali mereka mengadopsi inovasi

untuk lebih meningkatkan produksi.

f. Memiliki sifat lebih berkenan terhadap kredit.

g. Mempunyai pekerjaan yang spesifik.

Menurut Rogers and Shoemaker (1971) dalam Mardikanto (1996)

proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau

menerima atau menerapkan dengan keyakinannya sendiri, tahapan adopsi

itu antara lain :

a. Awareness atau kesadaran yaitu sasaran mulai sadar tentang

adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.

b. Interest, atau tumbuhnya minatyang sering kali ditandai oleh

keinginannya untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak,

lebih jauh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan motivasi

yang ditawarkan.

c. Evaluasi, atau penilaian terhadap baik atau buruk atau manfaat

yang telah diketahui informasinya secara lebih lengkap.

d. Triad, atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan

penilaiannya sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi.

e. Adopter atau menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan

penilaian dan uji coba yang telah dilakukan sendiri atau diamatinya

sendiri.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa adopsi merupakan

perilaku pada diri seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal,

menaruh minat, menilai sampai menerapkan inovasi yang ditawarkan dan

diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).

3. Adopsi inovasi

Adopsi adalah proses tang terjadi sejak pertama kali seseorang

mendengarkan hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi

13

(menerima, menerapkan, menggunakan) hal baru tersebut. Dalam proses

adopsi ini petani sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa

tahapan. Pada awalnya, petani sasaran mengetahui suatu inovasi yang

dapat berupa sesuatu yang benar-benar baru atau yang sudah lama

ditentukan tetapi masih dianggap baru oleh petani sasaran. jika petani

sasaran tersebut menerapkan sesuatu inovasi, makapetani sasaran tersebut

meninggalkan cara lama. Keputusan untuk menerima inovasi ini

merupakan proses mental, yang terjadi sejak petani sasaran tersebut

mengetahui adanya suatu inovasi sampai untuk menerima atau

menolaknya san kemudian mengukuhkannya (Ibrahim, et all, 2003).

Adopsi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai

sampai menerapkan (Levis, 1996).

Dalam menelaah kecepatan penerimaan oleh masyarakat, perlu

disebutkan sifat-sifat inovasi yang dapat mempengaruhi kecepatan

penerimaan tersebut sebab didalam masyarakat ternyata ada inovasi yang

membutuhkan waktu lama untuk dapat menerima inovasi itu secara luas,

akan tetapi ada pula inovasi itu secara luas, akan tetapi ada pula inovasi

tertentu yang lebih mudah diterima. Ciri-ciri dari inovasi yang lebih

mudah diterima menurut Rogers and Shoemaker dalam Dixion (1982)

antara lain:

a. Relative advantage, inovasi itu harus memiliki suatu keuntungan

relative

b. Compability, suatu istilah untuk menyatakan sejauh mana gagasan-

gagasan baru itu sesuai dengan nilai-nilai dan pola-pola tingkah

laku yang sekarang ini dianut oleh masyarakat

c. Complexity (kekomplekan), bila inovasi itu terlalurumit dan orang

perlu melengkapi prosedur-prosedur yang terlalu banyak, besar

kemungkinan bahwa inovasi tersebut akan ditolak,

14

d. Triability, maksudnya keutuhan dari suatu inovasi. Ada benda-

benda yang tidak dapat dibagi-bagi dalam unit yang lebih kecil,

akan tetapi ada pula yang dapat dibagi-bagi.

e. Observability, maksudnya benda-benda atau hal-hal tersebut

dengan mudah dapat dilihat disampaikan.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa pengertian adopsi inovasi yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah suatu perubahan perilaku berupa ketrampilan dalam bentuk

penerapan suatu teknologi yang dianggap baru (inovasi) yang disampaikan

oleh penyuluh dan diterima oleh seseorang berdasarkan penilaian maupun

uji coba yang telah dilakukan sendiri.

4. Faktor-faktor sosial ekonomi petani

Dalam mengadopsi suatu inovasi tentunya akan dipengaruhi oleh

factor-faktor tertentu antara lain oleh factor-faktor intern atau factor dari

dalam diri seseorang mencakup segi social dan ekonominya. Soekartawi

(1988) mengemukakan bahwa proses pengambilan keputusan apakah

seseorang menolak atau menerima suatu inovasi banyak tergantung pada

sikap mental dan perbuatan yang dilandasi oleh situasi intern orang

tersebut misalnya pendidikan, pengalaman, umur dan sebagainya.

Factor intern yaitu yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri.

Factor ini berupa daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah

pengaruh-pengaruh yang dating dari luar (Ahmadi, 1999).

Sehubungan dengan golongan masyarakat yang ditinjau dari

kecepatan mengadopsi inovasi, beberapa factor yang mempengaruhi

kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi antara lain:

a. Tingkat pendidikan formal

Menurut Mardikanto (1994), bahwa didalam proses adopsi

teknologi baru akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani

dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Hal ini disebabkan karena

adopsi teknologi akan dapat berkembang dengan cepat bila petani

15

mempunyai dasar pendidikan dan ketrampilan yang memadai.

Pendidikan formal petani dapat diperoleh melalui sekolah-sekolah

formal yang pernah dialami petani.

Pendidikan formal menurut Soekartawi (1988) merupakan

sarana belajar dimana selanjutnya diperkirakan akan menanamkan

pengertian sikap yang menguntungkan menuju penggunaan praktek

pertanian yang lebih modern. Mereka yang berpendidikan tinggi relatif

lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Dengan demikian

semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka semakin

tinggi penerapan inovasi budidaya jeruk.

b. Tingkat pendidikan non formal

Pendidikan nonformal adalah pengajaran sistematis yang

diorganisir dari luar system pendidikan formal bagi sekelompok orang

yang memenuhi keperluan khusus. Salah satunya adalah penyuluhan

pertanian (Suhardiyono, 1992).

Menurut Kartosapoetra (1991), penyuluhan merupakansistem

yang bersifat nonformal atau system pendidikan yang bersifat

nonformal atau system pendidikan diluar system persekolahan. Petani

harus aktif dalam mengikuti penyuluhan-penyuluhan sehingga adopsi

(penerapan) teknologi atau hal-hal batu akan meluas dan berkembang.

Sedangkan menurut Lionberger dalam Mardikanto (1996), golongan

yang inovatif adalah yang biasanya banyak memanfatkan beragam

informasi salah satunya dari dinas-dinas terkait dalam kegiatan

penyuluhan. Jadi semakin tinggi intensitas mengikuti pendidikan

nonformal, maka semakin besar tingkat adopsinya terhadap suatu

inovasi yang ditawarkan. Dalam hal ini, semakin tinggi tingkat

pendidikan nonformal petani maka semakin tinggi pula penerapan

petani dalam mengadopsi inovasi kegiatan pengembangan jeruk besar.

c. Tingkat pendapatan

Pendapatan merupakan factor yang sangat penting dalam

menunjang perekonomian keluarga. Petani dengan tingkat pendapatan

16

yang semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi

teknologi (Mardikanto, 1993).

Pendapatan usahatani yang tinggi ada hubungannya dengan

tinggkat difusi inovasi pertanian. Kemauan untuk melakukan

percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian yang cepat

sesuai dengan kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka hal ini

yang menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi. Dengan

demikian petani akan kembali investasi capital untuk adopsi inovasi

selanjutnya. Selanjutnya banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa

para petani yang berpenghasilan rendah adalah lambat dengan

melakukan difusi inovasi (Soekartawi, 1988).

Menurut Lionberger dalam Mardikanto (1996), factor yang

mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi salah satunya

adalah tingkat pendapatan. Petani dengan tingkat pendapatan semakin

tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.

Van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa

mereka yang cepat mengadopsi inovasi dapat dicirikan memiliki

pendapatan dan taraf hidup yang reltif tinggi. Dengan demikian

semakin tinggi tingkat pendapatan petani, maka semakin tinggi pula

adopsi petani terhadap kegiatan pengembangan jeruk besar.

d. Luas lahan

Menurut Mardikanto (1994) menyatakan bahwa petani dengan luas

pemilikan tanah garapan yang sempit, lemah dalam permodalan, lemah

dalam pengetahuan dan ketrampilan, dan juga kerap kali lemah dalam

semangat dan keinginannya untuk maju. Dalam hal ini, petani yang

mempunyai luas lahan sempit akan sulit menerapkan setiap teknologi

baru yang dianjurkan oleh penyuluh dalam memperbaiki usahanya.

Menurut Kartosapoetra (1991) petani yang memiliki luas lahan

pertanian sempit, rata-rata dibawah 0,5 hektar mereka selalu berbuat

dengan waspada lebih hati-hati karena takut mengalami kegagalan.

17

Jadi penerapan inovasi teknologi pada golongan ini sangat rendah

karena mereka cenderung menutup diri terhadap inovasi.

e. Kekayaan

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, mungkin

berupa uang, mungkin berupa tanah, mungkin benda-benda yang

bernilai ekonomis, mungkin pula berupa kekuasaan, ilmu pengetahuan,

kesalehan beragama, atau keturunan dari keluarga tertentu, pekerjaan

dan kecakapan. Semakin banyak seseorang memiliki sesuatu (barang

berharga) yang berharga, masyarakat akan menganggapnya

mempunyai status dan lapisan yang tinggi. Jika seseorang hanya

sedikit atau sama sekali tidak memiliki sesuatu (barang-barang) yang

berharga, dalam pandangan masyarakat dianggap mempunyai

kedudukan yang rendah (Nasution, 1983).

P.A. Sorokin (dalam Soekanto, 1990) mengatakan bahwa

penggolongan status social ekonomi dilihat dari harta kekayaan atau

pemilikan barang-barang yang dimiliki oleh setiap masyarakat.

Sehingga dalam masyarakat tersebut terbentuk masyarakat kaya,

cukup, dan miskin. Dalam setiap masyarakat yang hidup teratur

terdapat system lapisan dengan ciri tetap dan umum. Barang siapa

memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak

dianggap oleh masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka

yang memiliki sesuatu yang berhargadalam jumlah yang sedikit atau

tidak memiliki sesuatu yang tidak berharga, dalam pandangan

masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.

P.A. Sorokin (dalam Nasution, 1983) berpendapat bahwa bentuk

konkrit lapisan masyarakat adalah banyak yang berbeda-beda. Tetapai

ada tiga yang terpenting, yaitu: (1) Lapisan yang didasarkan atas

ekonomi, (2) Lapisan yang didasarkan atas politik dan (3) Lapisan

pekerjaan. Ketiga lapisan tersebut saling berhubungan, namun terdapat

pengecuazlian, seperti tidak selamanya masyarakat yang kaya akan

berada pada puncak kekuasaan politik atau jabatan. Begitu pula tidak

18

selamanya masyarakat yang miskin adalah yang terendah kedudukan

politik dan pekerjaannya.

f. Tingkat Rasionalitas Petani

Petani sebagai orang yang menjalankan usahataninya

mempunyai peran jamak (multiple roles) yaitu sebagai juru tani dan

juga sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut

untuk dapat memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada

semua anggota rumah tangganya. Sebagai manajer dan juru tani yang

berkaitan dengan kemampuan mengelola usahatanianya akan sangat

dipengaruhi oleh factor didalam dan diluar pribadi petani itu sendiri

yang sering disebut sebagai karakteristik social ekonomi petani

(Mosher, 1981).

Dalam kegiatan penyuluhan petani merupakan sasaran

penyuluh itu sendiri terutama petani yang secara langsung terlibat

dalam kegiatan bertani dan pengolahan usaha tani. Termasuk dalam

kelompok ini adalah petani dan keluarganya. Sebagai sasaran utama,

petani harus menjadi pusat perhatian penyuluh pertanian. Sebab

mereka inilah yang secara bersama-sama selalu terlibat dalam

pengambilan keputusan terakhir tentang segala sesuatu (baik:teknik

bertanam, komoditi, sarana produksi, pola usaha) yang akan diterapkan

dalam usahataninya. Petani dibedakan menjadi dua yaitu: petani

subsisten dan petani rasional (Mardikanto, 1993).

Petani subsisten pada dasarnya hanya mengutamakan

keselamatan dan tidak mau melakukan perubahan-perubahan. Setiap

adanya perubahan selalu dipandanginya sebagai sesuatu yang

mengandung resiko sehingga membuat keadaan mereka lebih buruk.

Petani subsisten sering menghadapi kegagalan-kegagalan kerena factor

alam. Selain itu mereka sering menghadapi kegagalan dari setiap

kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupannya. Etika atau

sifat subsisten akibat dari suatu kegagalan adalah begitu rupa, segingga

19

mereka lebih mengutamakan keamanan daripada keuntungan yang

diperolehnya dalam jangka panjang (Scott, 1981).

Berbeda dengan petani rasional. Petani rasional selalu ingin

memperbaiki nasipnya dengan mencari dan memilih peluang-peluang

yang mungkin dapat dilakukannya, meskipun mereka agak lamban

dalam menerima inovasi, itu bukanlah disebabkan karena fatalitas

tetapi mereka masih dalam taraf penilaian (Popkin, 1961).

5. Jeruk Besar

Jeruk besar merupakan tanaman asli Indonesia. Jenis jeruk ini

berasal dari kepulauan Polynesia sampai Semenanjung Malaka. Selain di

Indonesia jeruk besar juga biasa dijumpai di seluruh Asia Tenggara.

Secara sistematis klasifikasi jeruk besar dapat dilihat sebagai berikut:

Famili : Rutaceae

Sub-famili : Aurantioidae

Sub-trible : Citrinae

Genus : Citrus

Species : Citrus maxima Meer atau

Citrus grandis (L) Osbeck

Jenis jeruk ini dapat tumbuh dengan baik didataran rendah hingga

ketinggian 1000 meter di atas permukaan air laut. Jenis jeruk ini lebih

menyukai daerah topografi datar (tidak bervariasi), permukaan air

tanahnya dalam dan tidak tergenang air.

Bentuk dan sifat pohon jeruk besar relative tinggi, yakni sekitar 6-

12 meter, batangnya yang masih muda berduri, tetapi setelah tua duri-duri

tersebut lapuk. Tajuk pohon tidak beraturan, cenderung lurus keatas,

bercabang sedikit, daunnya lebar, bertangkai panjang, dan berwarna hijau

keputih-putihan. Bunga majemuk yang terletak pada ujung cabang, berbau

harum, daun pelindung agak besar, kelopak daun berbentuk cawan dan

bulat. Tajuk bunga 5-6 lembar, bentuknya bulat telur memanjang kearah

pangkal, berbintik-bintik seperti kelenjar. Benangsari berjumlah sekitar 20,

20

sedikit lebih pendek daripada tajuk bunga, setelah kering akan lepas

sendiri. Buahnya besar, bertangkai panjang menggantung, berwarna hijau

muda, berbintik-bintik, berpori-pori agak nyata. Daging buah sedikit

mengandung air. Berwarna merah muda, rasanya manis tetapi ada juga

yang agak masam. Tiap-tiap ruaas berisi banyak biji yang besarnya sekitar

0,5-0,7 cm, kulit biji keras. Setiap pohon yang besar dapat menghasilkan

buah sebanyak 200 buah dalam satu musim. Waktu berbunga sama seperti

jeruk lain. Waktu pembentukan bunga sampai buah masak membutuhkan

waktu sekitar 7-8bulan (AAK, 1994).

Seperti pada umumnya jenis jeruk-jerukan yang sering

diidentikkan dengan vitamin C, jeruk besar pun memiliki kandungan

vitamin C yang cukup tinggi. Dalam 100 g bagian jeruk besar yang bias

dimakan terkandung vitamin C sebanyak 43 mg dan vitamin A sebanyak

20 SI (Satuan Internasional). Karena kandungan vitamin A dan C-nya

cukup tinggi, maka jeruk ini mampu mencegah rabun senja dan sariawan.

Selengkapnya kandungan zat gizi jeruk besar disajikan pada Tabel.

Tabel 1. Kandungan zat gizi jeruk besar per 100 gram bagian yang dapat dimakan

No. Zat Gizi Kandungan Zat Gizi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11.

Kalori Protein Lemak Karbohidat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air

48 0,6 0,2 12,4 23 27 0,5 20 0,04 43 86,3

kal g g g mg mg mg SI Mg Mg g

Sumber : Data Sekunder

Jeruk besar juga mengandung pectin yang dapat mengikis timbunan

kolesterol pada dinding pembuluh darah. Fungsi ini sangat penting untuk

menghindarkan ancaman atherosclerosis yang menjadi penyebab utama

serangangan jantung dan stoke. Zat pectin lebih banyak terdapat pada serat

dan kulit ari jeruk (Setiawan, 1993).

21

6. Budidaya Jeruk Besar

a. Perencanaan kebun

Mendesain kebun untuk memudahkan pemeliharaan tanaman

hingga pemetikan buah. Dengan memperhatikan letak, arah

kemiringan lahan dan letak jalan usaha tani terdekat. Buat desain letak

distribusi air, bak penampungan air, dan tempat pengumpulan buah

sementara.

b. Persiapan lahan

Dalam mempersiapkan lahan perlu diperhatikan letak kemiringan

lahan, karena apabila tanah memiliki kemiringan lebih dari 40%

sebaiknya dibuat terasering. Jika lokasi untuk menanam sudah

ditetapkan selanjutnya menentukan satuan luas dan pola jarak tanam.

Jika tanah tersebut subur, jarak tanam yang dipakai sedikit berjauhan

agar kelak pertumbuhan cabang dan mahkota daun tidak

bersinggungan. Sebaiknya jika tanah kurang subur, jarak tanam

hendaknya berdekatan. Pembuatan lubang tanam sebaiknya

dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum dilakukan penanaman yaitu

dengan membuat ajir dari bambu sepanjang 1,5 m, kemudian

tancapkan ajir pada titik yang telah ditentukan sebagai calon lubang

tanaman dengan jarak 7m x 7m, 7m x 8m atau 8m x8m. Pembuatan

lubang tanam pada bulan Oktober sangat tepat, karena menghadapi

musim penghujan. Ukuran lubang tanam sesuai pedoman adalah 75cm

x 75cm x 75cm. Permukaan dinding dan dasar lubang harus dibuat

rata, dimaksudkan agar perkembangan volume akar tunggang (batang

akar) dan akar-akar ranting dapat seimbang. Batu-batu didalam lubang

hendaknya dibuang, sebab akan menggangu perakaran dan

pertumbuhan tanaman jeruk.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan lubang

tanam adalah tanah lapisan atas harus dipisahkan dengan tanah lapisan

bawah kemudian biarkan terbuka selama antara 4-5 minggu. Pada saat

menutup lubang tanah lapisan bawah yang berada diatas sebelum

22

dikembalikan ketempat asal (kebawah) harus dicampur dengan pupuk

organic 15kg-20kg, urea 100garam, SP36 100gram, KCl 50gram dan

furandan/regent 20gram. Penutupan lubang dilakukan pada akhir bulan

November hingga paling lambat pertengahan bulan Desember. Setelah

didiamkan selama 4-5 minggu tanah akan padat dan merata. Pada

bulan januari bibit dapat ditanam pada lubang tanam tersebut.

c. Penyiapan bibit

Hitung kebutuhan bibit sesuai dengan luas lahan yang akan

ditanami dengan populasi ±150 pohon sampai dengan 210 pohon per

ha. Dalam membeli bibit pilih bibit jeruk okulasi yang bersertifikasi

(berlabel BPSS) pada Palai Benih Utama (BBU), atau penangkaran

bibit yang terdaftar atau terjamin.

d. Penanaman

Teknik penanaman jeruk besar adalah sebagai berikut:

· Angkat bibit kelokasi penanaman, letakkan dekat dengan lubang

tanam.

· Ajir yang dipakai sebagai tanda lubang dicabit. Kemudian dibekas

ajir itu digali lubang sebesar bibit polibag.

· Buka polibag dengan hati-hati, jangan sampai melukai akar.

· Periksa kondisi perakaran bibit, yang baik yaitu perqakaran tidak

melingkar dan berakar serabut lebat.

· Memasukkan bibit kedalam lubang tanaman

· Timbun dengan tanah dan padatkan, jarak ± 50 cm dari pangkal

batang taburi pupuk Urea 50 gram, SP36 50gram, KCl 25gram dan

pupuk organik 5 kg.

· Tutup / timbun tanah sekali lagi diatas tebarkan pupuk sampai 3-4

cm diatas leher akar.

· Siram dengan air secukupnya dipangkal batang dan sekelilingnya.

e. Pembentukan arsitektur pohon

Untuk pembentukan arsitektur puhon diperlukan alat sederhana

yaitu gunting pangkas, alcohol 70%, paraffin/lilin. Pembentukan

23

arsitektur pohon dilakukan dengan memotong batang bibit jeruk

setinggi ± 40cm – 50cm dari permukaan mata temple, ketinggian ini

bisa meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman. Setelah tunas-

tunas diketiak daun tumbuh dengan maksimal minimal panjangnya

5cm, pindahkan tunas disetiap batang. Disisakan dan dipertahankan

sebanyak 3 tunas yang posisinya seimbang, tidak terletak dalam satu

buku atau ruas. Tiga tunas ini selanjutnya akan menjadi cabang utama

pohon. Setelah cabang utama tumbuh minimal sepanjang 30cm,

kemudian dipangkas bagian pucuknya dan disisakan sepanjang ±20cm.

dari cabang utama tersebut akan tumbuh tunas-tunas baru, masing-

masing cabang sebanyak 3 tunas yang posisinya seimbang, dari cabang

utama ini tunas-tunas tersebut tumbuh menjadi ranting. Dari ranting

tersebut akan tumbuh lagi tunas yang banyak, tunas ini dipelihara

dengan posisi yang seimbang, apabila terlalu banyak dipotong /

dikurangi dan memperhatikan keseimbangan tajuk pohon secara

menyeluruh. Pada setiap pemangkasan batang, cabang maupun ranting

dibuat posisi miring, agar apabila hujan air tidak menggenang di

permukaan bekas potongan, dan setiap bekas potongan diberi cat / lilin

yang tidak panas.

f. Pemupukan

Tanaman jeruk besar memerlukan pupuk alami (kandang) dan

pupuk buatan. Walaupun kadar hara pupuk kandang tidak sebear

pupuk buatan, tetapi pupuk ini mampu memperbaiki struktur tanah.

Pemupukan dilakukan dengan menggali lubang tanah sedalam ±10cm

– 15cm, lebar ±20cm – 30cm. pembuatan lubang galian tanah dengan

jarak selebar tajuk tanaman dengan pola salah satu dari beberapa cara

yaitu L, tugal keliling dan melingkar. Masukkan / taburkan pupuk

organic dan anorganik kedalam lubang, aduk dengan tanah dan tutup

dengan tanah. Kusus pupuk organic dapat ditabur di permukaan tanah ,

setenagh tajuk tanaman keluar, lalu aduk tanaman sedalam ± 10cm.

24

Tabel 2. Dosis anjuran jeruk besar yang berproduksi tiap pohon

Umur pohon (tahun)

Urea (gram)

SP 36 (gram)

KCl (gram)

Pupuk kandang (Kg)

0 – 2 → a 100 100 50 20-40 2 – 4 → b 400 250 187,5 40-60 4 – 5 → c 650 500 250 60-80

Sumber: Data Sekunder

Keterangan :

a) Diberikan setiap 2-3 bulan sekali (apabila cukup air) b) Diberikan setiap 3-4 bulan sekali (apabila cukup air) c) Diberikan setiap awal musim hujan

g. Penyiraman

Sebagaiman jenis jeruk lainnya kebutuhan jeruk besar akan air juga

cukup besar. Setiap bulan tanaman jeruk memerlukan air sekitar

50liter/m2. di kebun kebutuhan air sebvagian besar dipenuhi oleh air

hujan atau irigasi. Pengairan dilakukan sesuai kebutuhan air yang

sesuai fase pertumbuhan tanaman. Diperlukah air dalam jumlah besar

pada fase: setelah panen, kuncup bunga, dan pembesaran buah.

Dipelikan air dalam jumlah sedang pada fase: buah gugur secara alami

dan setelah pemupukan. Diperlukan air dalam jumlah sedikit pada fase

menjelang panen.

h. Pendangiran dan pembumbunan

Pendangiran dan pembumbunan sebenarnya dapat dilakukan

bersamaan. Tanah yang digunakan untuk membumbun diambil dari

tanah disekutar tanaman. Saat pembubumbunan tanah dibalik, yang

tadinya dibagfian atas menjadi dibawah. Cara ini secara tidak langsung

akan mematikan gulma disekitar tanaman (Dinas Pertanian dan

Ketahanan Pangan, 2007).

B. Kerangka Berpikir

Program pengembangan agribisnis holtikultura jeruk besar adalah suatu

usaha untuk mewujudkan pusat atau sentra produksi jeruk besar yang adapat

berproduksi dan bermutu serta berkesinambungan. Pada pelaksanaannya

diharapkan dapat mendorong kemampuan petani dalam mengembangkan uasaha

kelompok dibidang holtikultura erta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

25

masyarakat petani. Keberhasilan kegiatan program pengembangan agribisnis itu

sendiri tidak lepas dari peran serta petani selaku sasaran dalam mengadopsi

inovasi di setiap kegiatan.

Kegiatan penanaman jeruk besar merupakan suatu inovasi. Maka dari itu

untuk mengetahui tingkat adopsi terhadap kegiatan pengembangan agribisnis

tersebut mencakup Perencanaan kebun, persiapan lahan, penyiapan bibit,

penanaman, pembentukan arsitektur pohon, pemupukan, penyiraman, pendaringan

dan pembumbunan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja aspek-aspek yang

mempengaruhi tingkat adosi inovasi petani pada Program pengembangan

agribisnis holtikultura jeruk besar. Faktor-faktor sosial ekonomi diduga dapat

mempengaruhi adopsi petani antara lain luas lahan, pendidikan formal,

pendidikan nonformal, tingkat pendapatan, , kekayaan, dam tingkat rasionalitas

petani. Hal ini perlu dilakukan untuk menetahui bagaimana masing-masing faktor

berpengaruh terhadap tingkat adopsi jeruk besar, apakah termasuk kategori tinggi,

sedang ataupun tendah.

Dari uraian diatas, maka secara sekema dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar1. Faktor-faktor sosial ekonomi terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar

Factor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi:

1. luas lahan 2. tingkat pendidikan

formal 3. tingkat pendidikan

nonformal 4. tingkat

pendapatan 5. kekayaan 6. tingkat

rasionalitas petani

Tingkat adopsi inovasi pada kegiatan pengembangan jeruk besar:

1. Perencanaan kebun 2. persiapan lahan 3. penyiapan bibit 4. penanaman 5. pembentukan

arsitektur pohon 6. pemupukan 7. penyiraman 8. pendangiran dan

pembumbunan

tinggi

sedang

rendah

26

C. Hipotesis

1. Hipotesis mayor

Diduga ada hubungan yang signifikan antara factor-faktor social

ekonomi dengan tingkat adopsi inovasi petani pada pengembangan

tanaman jeruk besar di Kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen.

2. Hipotesis Minor

a. Diduga ada hubungan nyata antara tingkat pendidikan nonformal

dengan tingkat adopsi inovasi petani pada pengembangan tanaman

jeruk besar di Kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

b. Diduga ada hubungan nyata antara tingkat pendapatan dengan tingkat

adopsi inovasi petani pada pengembangan tanaman jeruk besar di

Kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

c. Diduga ada hubungan nyata antara luas lahan dengan tingkat adopsi

inovasi petani pada pengembangan tanaman jeruk besar di Kecamatan

Plupuh, kabupaten Sragen

d. Diduga ada hubungan nyata antara kekayaan dengan tingkat adopsi

inovasi petani pada pengembangan tanaman jeruk besar di Kecamatan

Plupuh, kabupaten Sragen

e. Diduga ada hubungan nyata antara tingkat rasionalitas petani dengan

tingkat adopsi inovasi petani pada pengembangan tanaman jeruk besar

di Kecamatan Plupuh, kabupaten Sragen

D. Pembatasan Masalah

1. Petani yang menjadi responden adalah anggota kelompok tani yang

mengikuti program pengembangan agribisnis jeruk besar.

2. Faktor-faktor sosial ekonomi petani yang diteliti adalah pendidikan

nonformal,tingkat pendapatan, luas lahan,kekayaan, dan tingkat

rasionalitas petani .

3. Tingkat adopsi yang akan diteliti adalah kegiatan penanaman jeruk besar

dibatasi pada usia tanaman 0-2tahun.

27

4. Tingkat adopsi terhadap kegiatan pengembangan agribisnis tersebut hanya

mencakup Perencanaan kebun, persiapan lahan, penyiapan bibit,

penanaman, pembentukan arsitektur pohon, pemupukan, penyiraman,

pendaringan dan pembumbunan.

E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Faktor sosial ekonomi

a. Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan responden yang telah

dicapai pada saat penelitian dilakukan dan diperhitungkan berdasarkan

tahun pendidikan formal yang berhasil ditamatkan dan diukur dengan

skala ordinal.

b. Pendidikan nonformal adalah pendidikan yang diperoleh petani di luar

bangku sekolah seperti pelatihan, penyuluhan yang diadakan oleh

instansi terkait. Variable ini dinyatakan dengan frekuensi (berapa kali)

petani mengikuti pelatihan, penyuluhan yang diberikan oleh instansi

terkait dalam kurun waktu 1 tahun terakhir dan dengan skala ordinal.

c. Tingkat pendapatan adalah seluruh pendapatan petani yang diperoleh

dari pertanian maupun diluar pertanian yang dinyatakan dalam rupiah

dan diukur dengan skala ordinal.

d. Luas lahan adalah luas lahan yang dikuasai oleh petani untuk

mengusahakan budidaya tanaman jeruk besar yang dinyatakan dalam

hektar (Ha) dan diukur dengan skala ordinal.

e. Kekayaan adalah harta kekayaan atau pemilikan barang-barang yang

dimiliki oleh petani, diukur dengan skala ordinal.

f. Tingkat rasionalitas petani adalah cirri-ciri petani yang ditunjukan dari

sikap dan tindakan yang dilakukannya dan diukur dengan skala

ordinal.

2. Tingkat adopsi inovasi pada kegiatan pengembangan tanaman jeruk

besar

a. Perencanaan kebun adalah membuat rencana tata letak, bak

penampungan air, arah barisan tanaman, tempat penampungan hasil

28

sementara dan lainnya. Untuk mendapatkan rencana/desain kebun

untuk memudahkan pemeliharaan tanaman hingga pemetikan buah,

diukur dengan skala ordinal.

b. Persiapan lahan adalah mempersiapkan lahan agar pertumbuhan awal

(mulai tanam) jeruk baik sampai menghasilkan buah jeruk bermutu

dan menguntungkan. Untuk menyiapkan dan menciptakan lingkungan

yang sesuai (optimal) agar tanaman jeruk dapat tumbuh baik dan

berproduksi baik, diukur dengan skala ordinal.

c. Penyiapan bibit adalah mempersiapkan bibit jeruk yang bermutu untuk

menghasilkan buah yang bermutu, diukur dengan skala orsinal.

d. Penanaman adalah menanam bibit jeruk dengan benar sehingga dapat

tumbuh dengan baik, diukur dengan skala ordinal.

e. Pembentukan arsitektur pohon adalah memotong batang dan cabang

utama jeruk yang telah ditanam dan membiarkan tiga cabang/ranting

yang tumbuh membentuk tajuk yang diinginkan agar tebentuk

arsitektur pohon atau bentuk tajuk yang ideal sehingga tercapai

produktivitas dan mutu buah yang optimal, diukur dengan skala

ordinal.

f. Pemupukan adalah memberu pupuk organik dan anorganik kedalam

tanah atau disemprotkan ke daun, diukur dengan skala ordinal.

g. Penyiraman adalah memberikan air sesuai kebutuhan tanaman pada

daerah perakaran yang memenuhi standar, waktu, cara dan jumlah

yang tepat, diukur dengan skala ordinal.

h. Pendangiran dan pembumbunan adalah membersihkan gulma disekitar

pohon (lebih lebar dari tajuk tanaman) dan penambahan tanah disekitar

pohon selebar tajuk tanaman, diukur dengan skala ordinal.

29

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

diskriptif kuantitatif yaitu suatu metode yang memusatkan perhatian pada

pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang dan bertitik tolak dari data

yang dikumpulkan, dijelaskan, dianalisis, dan kemudian disimpulkan dalam

konteks teori-teori hasil penelitian trdahulu (Surakhmad, 1998).

Penelitian ini menggunakan teknik survei yaitu suatu penelitian dengan

cara pengambilan sampel dari suatu populasi tertentu dan menggunakan

kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Sofian

Effendi, 1995).

B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)

dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang diambil berdasarkan pada

ciri-ciri atau sifat-sifat yang diketahui sebelumnya sesuai dengan tujuan

penelitian (Singarimbun dan Sofian Effendi, 1995) Daerah yang dipilih dalam

penelitian ini adalah Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen dengan

pertimbangan bahwa kecamatan plupuh merupakan salah satu daerah yang

melaksanakan kegiatan pengembangan agribisnis jeruk besar.

C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel

1. Metode Penentuan Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang tergabung

dalam kelompok tani yang mengembangkan tanaman jeruk besar di Desa

Pungsari dan Jembangan Kecamatan Plupuh

2. Teknik penarikan sampel desa

Teknik penarikan sampel desa dilakukan secara sengaja

(purposive) yaitu desa yang termasuk dalamkegiatan pengembangan jeruk

besar dan dibatasi pada usia tanaman 0-2tahun yaitu tanaman belum

30

berbunga. Dari 4 desa yang mengembangkan tanaman jeruk besar di

Kecamatan Plupuh, dipilih dua desa sebagai lokasi pengambilan sample.

Tabel 3. Nama Desa dan Kelompok Tani beserta Jumlah Anggotanya

No Desa Kelompok tani Jumlah anggota

1. Sumorodukuh Mugi rahayu Ngudi rejeki

85 135

2. Gedongan Ngudi mulyo 42 3. Pungsari Margo mulyo

Rejeki mulyo 108 203

4. Jembangan Ngudi rejeki I Ngudi rejeki III

55 42

Sumber : BPP Plupuh Kabupaten Sragen 2007

3. Penentuan Sampel petani

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara

sistematis (Systematic Sampling), dimana hanya unsur pertama saja dari

sampel dipilih secara acak, selanjutnya dipilih secara sistematis menurut

suatu pola tertentu (Singarimbun dan Sofian Effendi, 1995). Jumlah

responden yang ditentukan dalam penelitian ini sebanyak 60 petani

anggota kelompok tani yang mengembangkan tanaman jeruk besar di

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen. Penentuan jumlah petani sampel

berdasarkan rumus sebagai berikut:

k = interval sampel

N = Jumlah anggota kelompok tani yang mengembangkan tanaman jeruk

besar

n = Jumlah sample yang ditentukan (60 orang)

berdasarkan rumus tersebut, maka diperoleh jumlah sample petani

masing-masing desa yang dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4. penentuan jumlah sample tiap kelompok tani

No Nama kelompok tani Jumlah anggota kelompok tani

responden

1. Margo mulyo 108 16 2. Rejeki mulyo 203 29 3. Ngudi rejeki I 55 9 4. Ngudi rejeki III 42 6 jumlah 408 60

Sumber : BPP Plupuh Kabupaten Sragen 2007

k = N n

31

D. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara

langsung dengan responden yang terkait dengan penelitian ini.

b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari instansi pemerintah atau

lembaga terkait dengan mencatat secara langsung, yaitu data yang diambil

atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-

sumber yang telah ada seperti Dinas Pertanian, BPP, Kecamatan dan data

sekunder lainnya. .

E. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Yaitu Tanya jawab lisan melalui bertatap muka secara langsung antara

responden dan peneliti, dilakukan dengan menggunakan bantuan daftar

pertanyaan dan catatan sebagai alat Bantu wawancara.

b. Observasi

Yaitu teknik ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung

terhadap obyek yang diamati.

c. Pencatatan

Yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan pencatatan

langsung mengenai data-data baik dari responden maupun instansi terkait

yang ada hubungannya dengan penelitian.

F. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat adopsi petani dalam

program pengembangan agribisnis jeruk besar diukur dengan menggunakan

rumus interval (I) sebagai berikut :

I = kelasJumlah

dahskor terenjumlah - nggiskor tertiJumlah

Sedangkan untuk mengetahui untuk mengetahui hubuangan antara

factor-faktor social ekonomi dengan tingkat adopsi petani dalam program

32

pengembangan agribisnis jeruk besar di kecamatan plupuh diuji dengan

Korelasi Rank Sperman (rs). Menurut Siegel (1994) rumus Korelasi Rank

Sperman sebagai berikut :

NN

dirs

n

n

--=å-3

1

261

Dimana :

rs : Koefisien korelasi rank Spearman

N : Jumlah responden

di : Selisih atau rangking dari variabel pengamatan

Untuk menguji tingkat signifikansi rank sperman (rs) digunakan uji t

student karena sampel yang diambil lebih dari 10 (N>10) dengan rumus

sebagai berikut :

t = rs 21

2

rs

N

--

Kriteria uji :

1. Apabila t hitung > t tabel, (α = 0,05) maka Ho ditolak, berarti ada hubungan

yang nyata antara faktor sosial ekonomi dengan tingkat adopsi petani

dalam program pengembangan agribisnis jeruk besar di kecamatan plupuh.

2. Apabila t hitung < t tabel, (α = 0,05) maka Ho diterima, berarti tidak ada

hubungan nyata antara faktor sosial ekonomi dengan tingkat adopsi petani

dalam program pengembangan agribisnis jeruk besar di kecamatan plupuh.

33

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kondisi umum daerah penelitian yang diuraikan meliputi kondisi alam,

kondisi penduduk, dan kondisi pertanian. Berikut ini sekilas tentang kondisi

umum di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen.

A. Keadaan Alam

1. Lokasi daerah penelitian

Kecamatan plupuh terdiri dari 16 (enam belas) desa / kelurahan

dengan pusat pemerintahan berada di desa Plupuh dengan luas kecamatan

kurang lebih 4.835,76 hektar. Jarak pusat pemerintahan dengan ibukota

kabupaten Sragen yaitu 40 km dan jarak pusat pemerintahan dengan kota

solo yaitu 15 km. secara administasi dan alamiah batas-batas wilayah

Kecamatan Plupuh adalah:

Sebelah utara : Kecamatan Tanon

SebelahTimur : Kecamatan Masaran

Sebelah selatan : Kabupaten Karanganyar

Sebelah barat : Kecamatan Gemolong

2. Keadaaan Iklim dan Topografi

Berdasarkan data, Kecamatan Plupuh terletak pada ketinggian 141

meter diatas permukaan laut dengan bentuk wilayah bergelombang.

3. Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan

Luas wilayah merupakan potensi yang dimiliki suatu wilayah yang

dapat memberikan manfaat bagi penduduk yang mendiami wilayah

tersebut apabila didayagunakan secara optimal. Luas wilayah dengan jenis

tanah yang berbeda-beda akan membuat pemanfaatan lahan yang berbeda

pula tergantung kebutuhan dan kesesuaian dari kemampuan lahan tersebut.

Luas wilayah kecamatan Plupuh 4.835,76 hektar yang terdiri dari tanah

sawah 2.607,98 hektar (53,93%) dan tanah kering 2.227,78 hektar

(46,07%). Data mengenai luas wilayah dan tipe pemanfaatan lahan di

Kecamatan Plupuh pada tahun2006 terlihat pada tabel 5.

34

Tabel 5. Luas lahan di Kecamatan Plupuh menurut tipe pemanfaatannya

No Jenis Tanah Luas (Ha) (%) 1. Tanah Sawah

a. Irigasi Teknis b. Irigasi ½ Teknis c. Irigasi Sederhana d. Tadah Hujan e. Lain-lain

2.607,98 370,00 278,59 432,48

1.526,91 0,00

53,93 7,65 5,76 8,94

31,58 0,00

2 Tanah Kering a. Pekarangan/bangunan b. Tegal/Kebun

2.227,78 1.126,88

894,27

46,07 23,30 18,49

JUMLAH 4.835,76 100,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen 2006

Penggunaan tanah sawah tadah hujan di Kecamatan Plupuh

menduduki presentase terbesar yaitu 31,58% atau dengan luas 1.526,91

hektar, hal ini disebabkan kurangnya saluran irigasi untuk menyuplai

pengairan lahan pertanian.

Dengan memperhatikan alokasi tata guna lahan yanga ada, maka

Kecamatan Plupuh lebih berpotensi untuk pengembangan komoditas

tanaman yang tidak membutuhkan penggenangan air serta tercukupi

dengan air hujan saja. Jenis ini dapat ditemukan pada berbagai jenis

tanaman umbi-umbian, dan buah-buahan. Tanaman jeruk besar paling

banyak dikembangkan pada tanah sawah tadah hujan dan tegal.

B. Keadaan Penduduk

1. Keadaan penduduk menurut umur dan jenis kelamin

Faktor penduduk merupakan salah satu sumber dari daerah

tersebut, terutama berhubungan dengan factor tenaga kerja. Tersedianya

tenaga kerja yang besar merupakan peluang bagi pengembangan berbagai

usaha. Kecamatan Plupuh berjumlah 46.041 jiwa. Jumlah penduduk

berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Plupuh dapat dilihat pada

tabel6.

35

Tabel 6. Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin di Kecamatan Plupuh

Kelmpk umur (tahun)

Laki-laki (L)

Perempuan (P) L+P Prosentase

(%) Sex Ratio

1000 orang 0-4 1.817 1.788 3.605 7,83 1.016 5-9 2.122 2.100 4.222 9,17 1.010

10-14 2.559 2.349 4.908 10,66 1.089 15-19 2.558 2.379 4.937 10,72 1.075 20-24 1.614 1.744 3.358 7,29 925 25-29 1.459 1.657 3.116 6,77 881 30-34 1.471 1.805 3.276 7,12 815 35-39 1.746 1.840 3.586 7,79 949 40-44 1.607 1.625 3.232 7,02 989 45-49 1.485 1.254 2.739 5,95 1.184 50-54 1.021 964 1.985 4,31 1.059 55-59 835 936 1.771 3,85 892 60-64 787 969 1.756 3,81 812 65-69 679 907 1.586 3,44 749 70-74 557 603 1.160 2,52 924 >74 364 440 804 1,75 827

Jumlah 22.681 23.360 46.041 100 971

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen 2006

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar

penduduk berada pada kelompok umur 15 tahun sampai 19 tahun, yaitu

sebanyak 4.937 jiwa (10,72%). Sedangkan yang terkecil berada pada

kelompok umur lebih dari 74 tahun, sebanyak 804 jiwa (1,75%).

Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dapat digunakan

untuk menghitung Angka Beban Tanggungan (ABT). Besarnya jumlah

penduduk di Kecamatan Plupuh tergolong dalam usia produktif (15-64

taun) adalah sebesar 29.756jiwa dari keseluruan jumlah penduduk.

Penduduk yang tergolong dalam usia non produktif (0-14 tahun dan ≥65

tahun) adalah sebesar 12.735 jiwa dan 3.550 jiwa. Sedangkan menurut

Mantra (2003), penduduk umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok

penduduk belum produktif, kelompok penduduk umur 15-64 tahun sebagai

kelompok produktif dan kelompok penduduk umur 65 tahun keatas

sebagai kelompok yang tidak lagi produktif. Dari data jumlah penduduk

usia produktif dan non produktif dapat dihitung ABTnya yaitu

perbandingan antar jumlah penduduk usia non produktif dengan jumlah

penduduk usia produktif, dengan rumus sebagai berikut:

36

ABT = 64tahun)-P(15

65tahun) P( 14tahun)-P(0 >+x 100

= 29.756

3.550 12.735 + x 100

= 54,73

Dari perhitungan diatas diperoleh nilai ABT sebesar 54,73 artinya

setiap 100 orang penduduk berusia produktif menanggung 55 penduduk

yang tidak produktif. ABT di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

termasuk tinggi. Menurut Mantra (2003) tingginya ABT merupakan faktor

penghambat pembangunan ekonomi, karena sebagian dari pendapatan

yang diperoleh oleh golongan produktif terpaksa harus dikeluarkan untuk

memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif atau sudah tidak

produktif.

Keadaan penduduk berdasarkan jenis kelamin digunakan untuk

mengetahui ratio jenis kelamin (sex ratio) yaitu perbandingan antara

jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan yang

dinyatakan dalam rumus :

SR = perempuanpenduduk Jumlah

laki-lakipenduduk Jumlah x 100

= 23.36022.681

x 100

= 97,09

Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa jumlah penduduk

perempuan relatif seimbang (23.360 jiwa) dari pada penduduk laki-laki

(22.681 jiwa). Sex ratio penduduk sebesar 97,09 artinya tiap 100 orang

penduduk perempuan terdapat kurang lebih 97 orang penduduk laki-laki.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Kecamatan Plupuh

Kabupaten Sragen jumlah penduduk perempuan relatif seimbang dengan

jumlah penduduk laki-laki.

Apabila angka SR (sex ratio) jauh di bawah 100 dapat

menimbulkan berbagai masalah, karena ini berarti di wilayah tersebut

37

kekurangan penduduk laki-laki akibatnya antara lain kekurangan tenaga

kerja laki-laki untuk melaksanakan pembangunan, atau masalah lain yang

berhubungan dengan perkawinan. Hal ini dapat terjadi apabila suatu

daerah abanyak penduduk laki-laki meninggalkan daerah atau kematian

banyak terjadi pada penduduk laki-laki.

2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah menunjukan struktur

perekonomian yang ada pada suatu wilayah tersebut. Mata pencaharian

penduduk di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen bersifat heterogen.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Penduduk di Kecamatan Plupuh Berdasarkan Mata Pencaharian

Distribusi No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Prosentase (%)

1. Pertanian & peternakan 19.384 64,64 2. Industri pengolahan 2.143 7,15 3. Perdagangan & akomodasi 2.738 9,13 4. Angkutan & komunikasi 309 1,03 5. Jasa & sosial 5.414 18,05 Jumlah 29.988 100,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen 2006

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa penduduk di

Kecamatan Plupuh paling banyak bermata pencaharian di sektor pertanian

dan peternakan dengan jumlah 19.384 jiwa (64,64%). Mata pencaharian

yang paling sedikit di jumpai di pada sektor angkutan dan komunikasi 309

jiwa (1,03%). Tingginya jumlah penduduk yang bermata pencahaarian

disektor pertanian dan peternakan menunjukan bahwa Kecamatan Plupuh

merupakan daerah agraris. Hal ini, juga didukung dengan kondisi alam di

Kecamatan Plupuh yang cocok untuk kegiatan pertanian dan peternakan,

misalnya hamparan tanah yang masih luas dapat digunakan sebagai area

pertanian ( padi, palawija, jati, jeruk, dll) dan peternakan (sapi, kambing,

itik dan ikan).

3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting dalam menunjang kelancaran

pembangunan. Masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi

38

akan mudah untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga akan

memperlancar proses pembangunan. Sebaliknya masyarakat yang

memiliki tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk mengadopsi suatu

inovasi baru sehingga dalam hal ini akan mempersulit pembangunan. Jadi

tingkat pendidikan digunakan sebagai parameter kemampuan sumber daya

manusia dan kemajuan suatu wilayah. Orang yang berpendidikan

cenderung berpikir lebih rasional dan umumnya cenderung menerima

adanya pembaruan. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya

disajikan pada tabel 8.

Tabel 8. Jumlah Penduduk di Kecamatan Plupuh Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Prosentase (%) 1. Tidak/ belum sekolah 559 1,32 2. Belum tamat SD 16.269 38,49 3. Tidak tamat SD 4.641 10,98 4. Tamat SD 12.327 29,16 5. Tamat SLTP 5.425 12,83 6. Tamat SLTA 2.611 6,18 7. Tamat Akademi/ PT 439 1,04

Jumlah 42.271 100

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen 2006

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa penduduk di

Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen sebagian besar tingkat

pendidikannya belum tamat sekolah dasar yaitu 16.269 jiwa (38,49%).

Tingkat pendidikan penduduk yang paling sedikit adalah tamat akademi

atau perguruan tinggi yaitu sebanyak 439 jiwa (1,04%).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan

penduduk Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen sebagian besar tergolong

rendah. Hal ini disebabkan oleh keadaan ekonomi yang tidak

memungkinkan untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Sehingga

berdampak pada pembangunan daerah kurang bias berkembang dan

penduduk akan sulit menerima inovasi baru. Selain itu kesadaran akan

pentingnya pendidikan masih kurang khususnya pada penduduk yang

tinggal jauh dari kota Kecamatan dikarenakan informasi dan pengetahuan

tentang pendidikan terbatas.

39

C. Keadaan Pertanian

Sektor pertanian merupakan tumpuan perekonomian di Kecamatan

Plupuh Kabupaten Sragen. Sektor pertanian mampu meyerap tenaga kerja

dalam jumlah yang relative banyak dan merupakan penyumbang pendapatan

utama bagi penduduk di Kecamatan Plupuh. Selain itu kegiatan pertanian

mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat

pada umumnya.

Tanaman pangan merupakan tanaman utama yang paling banyak

dibudidayakan oleh petani di suatu wilayah dan berfungsi sebagai sumber

bahan makanan pokok bagi penduduk di wilayah tersebut. Luas areal dan

produksi tanaman pangan dapat menggambarkan potensi yang dimiliki oleh

suatu wilayah serta kemampuannya dalam menghasilkan bahan makanan

pokok tersebut.

Komoditas pertanian tanaman pangan yang banyak diusahakan petani

di Kecamatan Plupuh meliputi padi, kacang tanah, jagung, ubi kayu, sayuran

dan buah-buahan. Komoditas jeruk besar hanya diusahakan pada beberapa

wilayah saja. Data mengenai berbagai jenis tanaman pangan yang terdapat di

Kecamatan Plupuh disajikan dalam tabel 9.

Tabel 9. Luas dan produksi tanaman di Kecamatan Plupuh

No Komoditas Luas panen(Ha) Produksi(Kw) Rata-rata (Kw/ Ha)

1. 2. 3. 4. 5.

Padi Kacang Jagung Ubi kayu Cabe Merah

5.198 1.682 87 36 6,5

279.114 19.748 3.446 5610 1170

53,70 11,74 39,61 155,8 180

Luas panen (pohon) Produksi (Kw) 6. 7. 8. 9. 10.

Mangga Sawo Blimbing Pepaya Jeruk Besar

13.012 156 405 896 10.000

4.796 47 81 326 -

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen 2007

Berdasarkan tabel 9. dapat diketahui bahwa tanaman pangan yang

diusahakan oleh masyarakat di Kecamatan Plupuh meliputi Padi, kacang,

jagung dan ubi kayu. Luas panen tanaman pangan yang paling banyak

40

diusahakan adalah tanaman padi yaitu sebesar 5.198 hektar dengan produksi

279.114 kwintal. Produksi rata-rata tanaman adalah 53,70 Kwintal/hektar.

Luas panen tanaman buah-buahan yang paling banyak dibudidayakan adalah

mangga yaitu 13.012 pohon dengan produksi 4.796 kwintal. Luas komoditas

jeruk besar yaitu 10.000 pohon dengan produksi jeruk ± 40buah / batang dan

diperkirakan mulai produksi 2 - 3 Tahun kedepan.

D. SARANAPEREKONOMIAN

Di Kecamatan Plupuh terdapat sarana pendukung perekonomian yang

terdiri dari : 5 pasar umum, 74 Toko, 120 Kios, 86 Warung, 2 BUUD/KUD,

20 Kosipa, 3 Badan Kredit, 258 Lumbung Desa. Sarana pendukung lainnya di

bidang Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga. Untuk Industri Kecil

terdapat 14 Usaha kecil yang mempunyai 25 tenaga kerja laki-laki dan 62

tenaga kerja perempuan. Untuk Industri Rumah Tangga terdapat 3.546 Usaha

yang mempunyai 52 tenaga kerja laki-laki dan 3.490 tenaga kerja perempuan.

41

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Identitas responden

Identitas petani penting untuk mengetahui sebagian dari latar belakang

kehidupan petani. Identitas petani ini meliputi umur dan Jumlah anggota

keluarga yang dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 10. Distribusi Petani Berdasarkan Umur, jumlah anggota keluarga dan Luas lahan

No Identitas petani Kategori Jumlah (jiwa)

Prosentase (%)

1. Umur 15 - 64 56 93.3

0-14 dan > 65 4 6.7

Jumlah 60 100,0 2. Jmlh anggota keluarga Sedikit (3-4) 18 30.0

Sedang (5-6) 29 48.3

Banyak (7-8) 13 21.7

Jumlah 60 100

Sumber : Tabulasi Data Primer 2010

1. Umur

Umur dibedakan menjadi dua, yaitu umur yang tergolong produktif

(< 65 tahun) dan umur yang tergolong non produktif (≥ 65 tahun). Umur

menunjukan usia seseorang apakah tergolong tua produktif atau non

produktif, dimana umur mempengaruhi pola pikir dan semangat kerja

seseorang

Berdasarkan tabel diatas petani yang membudidayakan tanaman

jeruk besar di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen sebagian besar

produktif, yaitu 56 jiwa atau 93,3%. Hal ini ditunjukan dengan adanya

respon yang baik dari sebagian besar petani dalam mengikuti kegiatan

budidaya jeruk besar yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas

jeruk sehingga mampu meningkatkan pendapatan. Pada umumnya umur

seseorang yang tergolong produktif (muda) masih mempunyai semangat

untuk bekerja dan mampu menerima serta menerapkan inovasi dengan

cepat.

42

2. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah keluarga menunjukan jumlah orang anggota yang tinggal

dalam suatu rumah tangga. Berdasarkan tabel jumlah anggota keluarga

responden sebagian besar tergolong sedang, yaitu 29 jiwa atau48,3%,

dimana jumlah responden rata-rata 5-6 orang. Hal ini menunjukan bahwa

jumlah keluarga mempengaruhi ekonomi keluarga responden. Semakin

besar jumlah anggota keluarga responden maka kebutuhan keluarga juga

akan semakin meningkat sehingga biaya hidup yang dikeluarkan juga akan

semakin besar.

B. Faktor- faktor Sosial Ekonomi dan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya

Tanaman Jeruk Besar

Tabel 11. Faktor- faktor Sosial Ekonomi dan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Budidaya Tanaman Jeruk Besar Rata – Rata

no Faktor- faktor Sosial

Ekonomi Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Ytotal N

(jiwa) %

1. Luas Lahan < 0,25 Ha 1,82 7,48 2,82 3,00 13,03 6,58 3,39 7,09 45,21 33 55 0,25-0,49 Ha 2,47 6,88 4,47 3,00 13,29 5,94 2,24 9,41 47,70 17 28,3 ≥ 0,50 Ha 2,70 6,90 5,70 3,00 13,60 6,00 2,90 9,50 50,30 10 16,7 2. Pendidikan

formal

SD 2,10 7,39 3,63 3,00 13,24 6,12 2,98 7,93 46,39 41 68,3 SLTP-SLTA 2,22 6,83 4,06 3,00 13,17 6,67 3,00 8,61 47,56 18 30 PT 3,00 7,00 4,00 3,00 12,00 7,00 3,00 9,00 48,00 1 1,7 3. Pendidikan

Non Formal

< 4 kali 1,83 7,25 3,42 3,00 12,50 6,58 2,83 7,33 44,74 12 20 4-7 kali 2,13 7,34 3,74 3,00 13,47 6,29 3,11 8,08 47,16 38 63,3 > 7 kali 2,60 6,70 4,30 3,00 13,00 6,00 2,70 9,40 47,70 10 16,7 4. Pendapatan < 2.500.000 1,85 7,07 3,58 3,00 12,96 6,59 2,63 7,67 45,35 27 45 2.500.000 s/d

4.999.999 2,33 7,33 3,48 3,00 13,43 5,90 3,62 8,83 47,92 21 35

≥ 5.000.000 2,50 7,33 4,75 3,00 13,33 6,33 2,67 8,83 48,74 12 20 5. Kekayaan Rendah(10-15) 1,82 7,29 3,53 3,00 12,88 6,59 2,76 7,24 45,11 17 28,3 Sedang(16-20) 2,21 7,09 3,70 3,00 13,30 6,33 2,85 8,52 47,00 33 55 Tinggi (21-25) 2,50 7,50 4,40 3,00 13,40 5,70 3,80 8,50 48,80 10 16,7 6. Tingkat

Rasionalitas

Rendah (18-23) 1,95 7,23 3,32 3,00 13,09 6,45 3,14 7,41 45,59 22 36,7 Sedang (24-29) 2,24 7,21 4,06 3,00 13,27 6,24 2,94 8,45 47,41 33 55 Tinggi (30-34) 2,40 7,20 3,80 3,00 13,20 6,00 2,60 9,40 47,60 5 0,83 Rata-Rata Total 2,15 7,22 3,77 3,00 13,20 6,30 2,98 8,15 46,77 60 100 Kategoti Y Rendah 1 < 6 < 3 1 < 12 < 5 <3 < 6 36-43 Sedang 2 6-8 3-4 2 12-13 5-7 3 6-8 44-50 Tinggi 3 > 8 > 4 3 > 13 > 7 >3 > 8 51-58

Sumber : Analisis Data Primer 2010

43

Keterangan : Y1 = Perencanaan kebun Ytotal = Total budidaya tanaman jeruk besar Y2 = Persiapan lahan N = Jumlah responden (jiwa) Y3 = Penyiapan bibit % = Prosentase Y4 = Penanaman Y5 = Pembentukan arsitektur pohon Y6 = Pemupukan Y7 = Penyiraman Y8 = Pendangiran dan pembumbunan

1. Faktor-faktor Sosal Ekonomi

Luas lahan merupakan luasan lahan yang digarap atau diusahakan

oleh petani untuk melakukan budidaya tanaman jeruk besar. Tabel 11

menunjukkan luas lahan sebagian besar responden tergolong rendah, yaitu

33 jiwa atau 55% dengan rata-rata luas lahan kurang dari 0,25 Ha.

Berdasarkan penelitian terhadap faktor luasan lahan, sebagian besar petani

di Kecamatan Plupuh tidak dapat memanfaatkan lahannya dengan baik.

dengan adanya keterbatasan lahan tersebut maka akan mempengaruhi

tingkat adopsi inovasi budidaya jeruk besar.

Pendidikan formal merupakan jenjang sekolah yang diperoleh dari

bangku sekolah dengan kurikulum yang sudah terorganisir. Tingkat

pendidikan formal sebagian besar responden tergolong rendah, yaitu 41

jiwa atau 68,3% dengan rata-rata menamatkan pendidikannya sampai

tingkat SD. Hal tersebut dikarenakan tidak memiliki biaya yang cukup

sehingga kebanyakan dari petani tidak melanjutkan sekolah ke tingkat

yang lebih tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat pendidikan

petani adalah keterbatasan sarana pendidikan, jarak antara fasilitas

pendidikan dengan pemukiman yang relatif jauh. Selain itu, kurangnya

kesadaran masyarakat akan manfaat dan pentingnya pendidikan. Adanya

budaya untuk melibatkan anggota keluarga dalam kegiatan berusahatani

daripada memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Pendidikan non formal merupakan pendidikan dari kegiatan

penyuluhan, pelatihan, magang dan sekolah lapang. semakin sering petani

mengikuti kegiatan penyuluhan atau pelatihan di bidang pertanian, maka

informasi yang diperoleh akan semakin banyak. hal ini akan berpengaruh

terhadap kegiatan budidaya tanaman jeruk besar. Tingkat pendidikan non

44

formal dari tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden

tergolong sedang, yaitu 38 jiwa atau 63,3 % dengan rata- rata mengikuti

kegiatan penyuluhan 4 -7 kali / tahun. Faktor lain dikarenakan

penyelenggaraan kursus dan pelatihan hanya memiliki kapasitas peserta

yang terbatas sehingga kesempatan petani dalam mengikuti pendidikan

non formal sangat terbatas. Minimnya dana disinyalir sebagai alasan

penyelenggara proyek sehingga hanya beberapa perwakilan saja dapat

diajukan mengikuti pendidikan non formal. dalam kegiatan kursus dan

pelatihan yang membutuhkan biaya relatif besar, hanya beberapa orang

saja yang berkesempatan mengikuti misalnya sekolah lapang dan magang.

Pendapatan yang dihitung adalah pendapatan responden baik dari

usahatani dan usaha non pertanian. Pendapatan sebagian besar petani di

Kecamatan Plupuh tergolong rendah, yaitu 27 jiwa atau 45 % dengan

rata- rata pendapatan petani kurang dari Rp. 2.500.000,- . Rendahnya

tingkat pendapatan dikarenakan sebagian besar petani bekerja dalam

bidang pertanian saja.

Kekayaan sebagian besar petani responden di Kecamatan Plupuh

tergolong sedang, yaitu 33jiwa atau 55 %. Kekayaan petani meliputi :

harta bergerak, yaitu jenis ternak dan harta tidak bergerak, yaitu bahan

bangunan yang digunakan untuk membangun rumah, alat transportasi

yang dimiliki, barang-barang yang dimiliki (Hp, televisi, radio) dan

tabungan.

Tingkat rasionalitas sebagian besar petani tergolong sedang, yaitu

33 jiwa atau 55%. Tingkat rasionalitas petani menunjukan ciri-ciri petani

apakah petani tergolong petani yang sudah rasional atau masih subsisten.

Petani yang tergolong rasional ditunjukan dari sikapnya yang mudah

percaya kepada orang lain, tidak membenci kekuasaan pemerintah,

inovatif, mampu mengantisipasi masa depan, sifat kekeluargaannya

cenderung berkurang dan bersifat kritis. Petani rasional mempunyai ciri-

ciri seperti selalu ingin memperbaiki nasibnya dengan mencari dan

memilih peluang-peluang dalam menerima inovasi.

45

2. Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Tabel 11 menunjukkan perencanaan kebun yang dilakukan petani

tergolong sedang dengan rata-rata 2,15. Hal ini ditunjukan dari sebagian

besar petani dalam membuat denah atau sketsa kebun kurang

memperhatikan rekomendasi yang benar, dimana membuat sketsanya

sebagian atau tidak sepenuhnya. Perencanaan kebun yang sesuai dengan

rekomendasi yaitu membuat denah/sketsa rancangan letk distribusi air,

membuat sketsa bak penampungan air, membuat sketsa pengumpulan

buah sementara.

Persiapan lahan yang dilakukan sebagian besar petani tergolong

sedang dengan rata-rata 7,22. Persiapan lahan yang dilakukan meliputi

memperhatikan letak dankemiringan lahan, jarak tanam, dan ukuran

lubang tanam. Persiapan lahan tergolong sedang ditunjukan dari sebagian

besar petani menggunakan ukuran lubang tanam tidak sesuai dengan

standar prosedur operasional yaitu 75cm x 75cm x 75cm.

Penyiapan bibit yang dilakukan petani tergolong sedang dengan

rata-rata 3,77. Penyiapan bibit yang dilakukan petani meliputi menghitung

jumlah bibit sesuai dengan luas tanam yang akan ditanami dan varietas

jeruk yang dibudidayakan. Penyiapan bibit tergolong sedang ditunjukan

dari sebagian besar petani menggunakan jenis bibit hanya 2-3varietas,

dimana ditunjukan luas lahan yang dimiliki petani pun tergolong sempit.

Penanaman yang dilakukan petani tergolong tinggi dengan rata-

rata 3,00. Hal ini menunjukan bahwa seluruh petani di Kecamatan Plupuh

mampu melaksanakan penanaman yang benar dan sesuai dengan

rekomendasi standar prosedur operasional.

Pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan petani tergolong

tinggi dengan rata-rata 13,20. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar

petani melakukan pembentukan arsitektur pohon sesuai dengan

rekomendasi standar prosedur operasional, yaitu pemangkasan tanaman

menggunakan gunting yang sudah disterilkan dengan alkohol70% supaya

46

tidak terdapat bakteri atau virus yang dapat mengganggu pertumbuhan,

tinggi batang jeruk yang dipotong ±40-50cm dari permukaan mata tempel,

jumlah tunas yang tumbuh maksimal yang nantinya untuk dipilih menjadi

cabang, tunas yang dipertahankan untuk menjadi cabang hanya 3tunas

supaya posisinya seimbang dan tidak terletak dalam satu buku atau ruas.

Pemupukan yang dilakukan petani tergolong sedang dengan rata-

rata 6,30. Hal ini ditunjukan dari sebagian besar petani dalam melakukan

pemupukan kurang memperhatikan rekomendasi yang benar, walaupun

frekuensi pemupukan sudah benar yaitu 2-3 bulan, tetapi dosis

penggunaan pupuk tidak tepat. Sebagian besar petani sebanyak sekitar 34

orang atau 56,7% menggunakan pupuk ponska kurang dari dosis yang

dianjurkan, yaitu <500gr/batang dan sebanyak 30 orang atau 50%

menggunakan pupuk kandang kurang dari dosis yang dianjurkan

<15kg/batang.

Penyiraman yang dilakukan petani tergolong rendah dengan rata-

rata 2,98. Hal ini ditunjukan dari sebagian besar petani sebanyak 42 orang

atau 70% tidak melakukan penyiraman. Melihat daerah Kecamatan Plupuh

yang sangat kering sehingga susah untuk mendapatkan air, sehingga

penyiraman hanya mengandalkan air hujan.

Pendangiran dan pembumbunan yang dilakukan petani tergolong

tinggi dengan rata-rata 8,15. Hal ini ditunjukan dari sebagian besar petani

melaksanakan teknik pendangiran dan pembumbunan dengan tepat yaitu

untuk pengendalian gulma disekitar pohon (tajuk tanaman) dilakukan

dengan cara alami yaitu dengan memakai sabit atau cangkul. sedangkan

untuk pembumbunan dilakukan pada aktu musim kemarau.

3. Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat adopsi budidaya

tanaman jeruk besar adalah 46,77. Hal ini berarti bahwa tingkat adopsi

inovasi tanaman jeruk besar di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

terletak pada kategori 44-50 yang tergolong sedang. Pada luas lahan

responden yang tergolong rendah mempunyai rata-rata 45,21, pada luas

47

lahan responden yang tergolong sedang mempunyai rata-rata 47,70, dan

pada luas lahan responden yang tergolong tinggi mempunyai rata-rata

50,30. Hal ini menunjukkan semakin tinggi luas lahan yang dimiliki

petani maka tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar juga

akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena lahan yang sempit

maka produktifitas yang akan dihasilkan juga rendah yang mana akan

mempengaruhi pendapatan yang akan diperoleh petani.

Pada pendidikan formal responden yang tergolong rendah

mempunyai rata-rata 46,39, pada pendidikan formal responden yang

tergolong sedang mempunyai rata-rata 47,56 dan pada pendidikan formal

yang tergolong tinggi mempunyai rata-rata 48,00. Hal ini menunjukkan

semakin tinggi pendidikan formal petani maka tingkat adopsi inovasi

budidaya tanaman jeruk besar tinggi. Disamping itu dengan semakin

baiknya budidaya tanaman jeruk besar yang dilakukan petani diharapkan

mampu menyadarkan petani akan manfaat dan pentingnya pendidikan

formal.

Pada pendidikan non formal responden yang tergolong rendah

mempunyai rata-rata 44,74, pada pendidikan non formal responden yang

tergolong sedang mempunyai rata-rata 47,16, dan pada pendidikan non

formal responden yang tergolong tinggi mempunyai rata-rata 47,70. Hal

ini menunjukkan pendidikan non formal responden semakin tinggi maka

adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar semakin tinggi pula.

Disamping itu dengan semakin baiknya budidaya tanaman jeruk besar

yang dilakukan petani diharapkan mampu mendorong petani supaya lebih

aktif lagi dalam mengikuti pendidikan non formal supaya pengetahuan

mengenai budidaya tanaman jeruk besar semakin meningkat.

Pada pendapatan responden yang tergolong rendah mempunyai

rata-rata 45,35, pada pendapatan responden yang tergolong sedang

mempunyai rata-rata 47,92, dan pada pendapatan responden yang

tergolong tinggi mempunyai rata-rata 48,74. Hal ini menunjukkan

pendapatan petani semakin tinggi maka rata-rata tingkat adopasi inovasi

48

budidaya tanaman jeruk besar semakin tinggi pula. Ini berarti semakin

tinggi pendapatan petani maka tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman

jeruk besar tinggi. Disamping itu dengan semakin baiknya budidaya

tanaman jeruk besar yang dilakukan petani maka mampu meningkatkan

pendapatan sebagian besar petani di Kecamatan Plupuh.

Pada kekayaan petani yang tergolong rendah mempunyai rata-rata

tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar yaitu 45,11, pada

kekayaan yang tergolong sedang mempunyai rata-rata 47,00, dan pada

kekayaan yang tergolong tinggi mempunyai rata-rata 48,80. Hal ini

menunjukkan semakin tinggi kekayaan petani maka tingkat adopsi inovasi

budidaya tanaman jeruk besar semakin tinggi pula. Dengan semakin

baiknya budidaya tanaman jeruk besar yang dilakukan petani maka

mampu menambah kekayaan petani karena pendapatannya meningkat.

Pada tingkat rasionalitas petani yang tergolong rendah tingkat

adopsi inovasinya sebesar 45,59, pada tingkat rasionalitas petani yang

tergolong sedang tingkat adopsi inovasinya sebesar 47,41, dan pada

tingkat rasionalitas petani yang tergolong tinggi tingkat adopsi inovasinya

sebesar 47,60. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat rasionalitas

petani maka mampu menerapkan budidaya tanaman jeruk dengan tepat.

C. Hubungan Antara Faktor- faktor Sosial Ekonomi dengan Tingkat Adopsi

Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Penelitian ini mengkaji hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi

petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar di

Kcamatan Plupuh Kabupaten Sragen. Penelitian hubungan dengan

menggunakan Rank Spearman, sedangkan untuk menguji tingkat signifikasi

terhadap nilai yang diperoleh dengan menggunakan besarnya thitung dan ttabel

dengan taraf kepercayaan 95%. Hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi

petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar tersaji

dalam tabel 12.

49

Tabel 12. Hubungan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

No. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Rs T hitung

Ket

1. Luas Lahan (X1) 0,410 3,423 SS 2. Pendidikan Formal (X2) 0,065 0,496 NS 3. Pendidikan Non Formal (X3) 0,235 1,775 NS 4. Pendapatan (X4) 0,270 2,136 S 5. Kekayaan (X5) 0,204 1,587 NS 6. Tingkat Rasionalitas Petani (X6) 0,232 1,816 NS

Sumber : analisis data primer 2010

Keterangan : SS : sangat signifikan S : signifikan NS : non signifikan T tabel : 2,000 (taraf kepercayaan 95%) Rs : korelasi rank spearman

1. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Tabel 12 menunjukKan bahwa nilai koefisien korelasi antara luas

lahan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar adalah

0,410 dengan thitung sebesar 3,423 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar

2,000 pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan

mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan tingkat adopsi

inovasi budidaya tanaman jeruk besar . Berarti semakin luas lahan petani

maka semakin tinggi tingkat adopsi inovasi tanaman jeruk besar. Petani

yang memiliki lahan yang luas memiliki harapan untuk mendapatkan

keuntungan yang besar sekalipun resiko mengalami kegagalan besar pula.

Petani yang memiliki lahan yang luas akan lebih aktif dan serius dalam

mengerjakan usahatani. Pada umumnya petani memiliki lahan yang cukup

terbatas yang ditanami berbagai macam tanaman, jadi dengan menanam

tanaman jeruk besar yang relatif luas berarti akan mengurangi luas lahan

usahatani lainnya misalnya padi atau palawija yang biasanya menjadi

tumpuan pendapatannya dari sektor pertanian. Padi dan palawija

merupakan tanaman yang paling banyak diusahakan petani karena sudah

turun temurun dan merupakan bahan pangan yang sehari-hari dikonsumsi.

50

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara luas lahan dengan tingkat adopsi inovasi tanaman jeruk besar.

Semakin tinggi luas lahan petani semakin tinggi pula tingkat adopsi

inovasi budidaya tanaman jeruk besar.

2. Hubungan Pendidikan Formal dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Di Kecamatan Plupuh sebagian besar pendidikan petani tergolong

rendah. Nilai koefisien korelasi antara pendidikan formal dengan tingkat

adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar adalah 0,065 dengan thitung

sebesar 0,496 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada taraf

kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal

mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan tingkat adopsi petani

budidaya tanaman jeruk besar. Hubungan yang tidak signifikan ini

disebabkan karena rata-rata tingkat pendidikan responden hanya sampai

SD. Minat responden dalam mengetahui hal-hal baru juga relatif rendah.

Media massa yang ada yaitu buletin minat responden untuk membaca juga

kurang.

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara pendidikan formal dengan tingkat adopsi inovasi tanaman jeruk

besar. Semakin tinggi pendidikan formal petani semakin tinggi pula

tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar.

3. Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Nilai koefisien korelasi antara pendidikan non formal dengan

tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar adalah 0,235

(tabel12) dengan thitung sebesar 1,775 yang lebih kecil dari ttabel yaitu

sebesar 2,000 pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa

pendidikan non formal mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan

tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar. Hubungan yang

tidak signifikan ini disebabkan karena sebagian besar tingkat pengetahuan

dan ketrampilan petani tergolong sedang. Petani kurang memiliki

51

keinginan untuk belajar, dimana petani merasa teknik budidaya tanaman

jeruk besar tidak terlalu sulit. Ketidaksignifikanan ini juga disebabkan oleh

karena kurangya informasi mengenai pelaksanaan kegiatan pertemuan

kelompok tani, yang dikarenakan kurangnya koordinasi pengurus

kelompok tani dalam penyebaran undangan. Selain itu dalam kegiatan

pelatihan seperti sekolah lapang hanya memiliki kapasitas peserta yang

terbatas sehingga hanya beberapa orang saja yang berkesempatan dalam

mengikuti kegiatan. Transfer pengetahuan kepada petani lainnya dilakukan

secara gethok tular yaitu penyampaian informasi dari mulut ke mulut dari

petani satu kepada petani lain. Metode ini mempunyai kelemahan yaitu

informasi yang diterima kurang akurat.

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara pendidikan non formal dengan tingkat adopsi inovasi tanaman jeruk

besar. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan ketrampilan petani semakin

tinggi pula tingkat adopsi petani dalam budidaya tanaman jeruk besar.

4. Hubungan Pendapatan dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Nilai koefisien korelasi antara pendapatan dengan tingkat adopsi

inovasi budidaya tanaman jeruk besar adalah 0,270 dengan thitung sebesar

2,136 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada taraf kepercayaan

95%. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang

signifikan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar,

yang berarti semakin tinggi pendapatan petani maka tingkat adopsi petani

dalam budidaya tanaman jeruk besar juga akan semakin tinggi. Hal ini

terjadi karena responden yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi

akan dapat melakukan tindakan apapun untuk keberhasilan usaha budidaya

tanaman jeruk besar, walaupun dalam penyiapan bibit dan pupuk

mendapatkan bantuan dari pemerintah. Beberapa tindakan petani berkaitan

dengan cukupnya biaya dalam usahatani tanaman jeruk besar yaitu

membeli tambahan pupuk dan memberikan perawatan penyemproyan jika

terserang penyakit.

52

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara pendapatan dengan tingkat adopsi inovasi tanaman jeruk besar,

Semakin tinggi pendapatan petani semakin tinggi pula tingkat adopsi

petani dalam budidaya tanaman jeruk besar.

5. Hubungan Kekayaan dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Di Kecamatan Plupuh sebagian besar kekayaan petani tergolong

sedang. Nilai koefisien korelasi antara kekayaan dengan tingkat adopsi

inovasi budidaya tanaman jeruk besar adalah 0,204 dengan thitung sebesar

1,587 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada taraf kepercayaan

95%. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan mempunyai hubungan yang

tidak signifikan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk

besar. Dimana kekayaan tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap tingkat

adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar. Hal ini berarti bahwa petani

yang mempunyai kekayaan tergolong tinggi belum tentu tingkat adopsi

inovasi petani terhadap budidaya tanaman jeruk besar juga akan tinggi dan

sebaliknya petani yang mempunyai kekayaan tergolong rendah belum

tentu tingkat adopsi inovasi petani terhadap budidaya tanaman jeruk besar

juga akan rendah. dari uraian diatas menunjukkan bahwa tingkat adopsi

inovasi tananam jeruk besar tidak hanya dipengaruhi oleh kekayaan saja

melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pengalaman petani

dalam berusahatani.

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara kekayaan dengan tingkat adopsi inovasi tanaman jeruk besar.

Semakin tinggi kekayaan petani semakin tinggi pula tingkat adopsi petani

dalam budidaya tanaman jeruk besar.

6. Hubungan Tingkat Rasionalitas Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

Nilai koefisien korelasi antara tingkat rasionalitas petani dengan

tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar adalah 0,232 dengan

thitung sebesar 1,816 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada taraf

53

kepercayaan 95%.Hal ini menunjukkan bahwa tingkat rasionalitas petani

mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan tingkat adopsi inovasi

budidaya tanaman jeruk besar. Rasionalitas petani tidak sepenuhnya

berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk

besar. Hal ini berarti bahwa semakin rasional petani belum tentu tingkat

adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar yang dilakukan semakin

tinggi. Jadi petani yang tergolong subsisten pun dapat juga melakukan

budidaya tanaman jeruk besar dengan benar dan sesuai rekomendasi yang

benar. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi

tanaman jeruk besar tidak hanya dipengaruhi rasionalitas petani saja

melainkan juga dipengaruhi faktor lain, seperti pengetahuan dan

ketrampilan petani.

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara tingkat rasionalitas petani dengan tingkat adopsi inovasi tanaman

jeruk besar. Semakin tinggi tingkat rasionalitas petani semakin tinggi pula

tingkat adopsi petani dalam budidaya tanaman jeruk besar.

Hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat

adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar yang tersaji pada tabel 13.

Tabel 13. Hubungan Antara Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

X

X1 X2 X3 X4 X5 X6 Xtotal No Y

Rs T hit Rs T hit Rs T hit Rs T hit Rs T hit Rs T hit Rs T hit

1. Y1 0,601** 5,727 0,139 1,067 0,416** 3,484 0,431** 3,638 0,388** 3,206 0,289* 2,299 0,490** 4,281

2. Y2 -0,291* -2,316 -0, 249 -1,958 -0,156 -1,203 0,100 0,765 0,004 0,030 -0,149 -1,148 -0,147 -1,132

3. Y3 0,806** 10,37 0,138 1,061 0,262* 2,067 0,247 1,941 0,181 1,402 0,328* 2,644 0,396** 7,616

4. Y4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

5. Y5 0,159 1,227 -0,089 -0,680 0,198 1,538 0,156 1,203 0,156 1,203 0,088 0,673 0.143 1,100

6. Y6 -0,170 -1,314 0,143 1,100 -0,115 -0,882 -0,129 -0,991 -0,146 -1,124 -0,066 -0,504 -0,152 -1,171

7. Y7 -0,249 -1,958 0,001 0,008 0,019 0,145 0,142 1,093 0,218 1,701 -0,068 -0,519 0,029 0,221

8. Y8 0,621** 6,033 0,144 1,108 0,276* 2,187 0,218 1,701 0,163 1,258 0,431** 3,638 0,426** 3,586

9. Ytot 0,410** 3,423 0,065 0,496 0,235 1,775 0,270* 2,136 0,204 1,587 0,232 1,816 0,279* 2,213

Sumber : analisis data primer 2010

54

Keterangan :

** : sangat signifikan * : signifikan Rs : korelasi ranj spearman T tabel : 2,000 (taraf kepercayaan 95%) XI : Luas Lahan X2 : Pendidikan Formal X3 : Pendidikan Non Formal X4 : Pendapatan X5 : Kekayaan X6 : Tingkat Rasionalitas Petani

Y1 : Perencanaan kebun Y2 : Persiapan lahan Y3 : Penyiapan bibit Y4 : Penanaman Y5 : Pembentukan arsitektur pohon Y6 : Pemupukan Y7 : Penyiraman Y8 : Pendangiran dan pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,279 dengan thitung

(2,213) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan

terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani

dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar, dimana t hitung

lebih besar dari pada t tabel.

1. Hubungan Antara Luas Lahan dengan Tingkat Adopsi Budidaya Tanaman Jeruk Besar

a. Hubungan antara luas lahan dengan perencanaan kebun

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,601 dengan

thitung (5,727) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara luas

lahan dengan perencanaan kebun, dimana t hitung lebih besar dari

pada t tabel. Luas lahan mempengaruhi perencanaaan kebun yang

dilakukan, meliputi membuat denah/sketsa rancangan letak distribusi

air, membuat sketsa bak penampungan air, membuat sketsa

pengumpulan buah sementara. Semakin luas lahan yang dimiliki petani

maka perencanaan kebun yang dilakukan juga akan semakin tinggi.

Nilai Rs positif menunjukkanterdapat hubungan yang searah antara

luas lahan dengan perencanan kebun.

b. Hubungan antara luas lahan dengan persiapan lahan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,291 dengan

thitung (-2,316) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas lahan

dengan persiapan lahan, dimana t hitung lebih besar dari pada t tabel.

Luas lahan mempengaruhi persiapan lahan yang dilakukan, meliputi

55

memperhatikan letak kemiringan lahan, jarak tanam, dan ukuran

lubang tanam. Semakin luas lahan yang dimiliki petani maka persiapan

lahan yang dilakukan juga akan semakin tinggi. Nilai Rs negatif yang

mana menunjukkan tidak adanya hubungan yang searah antara luas

lahan dengan persiapan lahan.

c. Hubungan antara luas lahan dengan penyiapan bibit

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,806 dengan

thitung (10,37) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara luas

lahan dengan perencanaan kebun, dimana t hitung lebih besar dari

pada t tabel. Luas lahan mempengaruhi penyiapan bibit, penyiapan

bibit yang dilakukan petani meliputi menghitung jumlah bibit sesuai

dengan luas tanam yang akan ditanami dan varietas jeruk yang

dibudidayakan. Semakin luas tanah yang dimiliki petani maka

penyiapan bibit yang dilakukan semakin banyak. Nilai Rs positif

menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara luas lahan dengan

penyiapan bibit.

d. Hubungan antara luas lahan dengan penanaman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0. ini berarti

bahwa komputer tidak dapat membaca hubungan antara luas lahan

dengan penanaman. Hal ini ditunjukkan dari seluruh responden

memberikan jawaban untuk penanaman dengan nilai yang tinggi, yaitu

3. Seluruh responden melakukan penanaman dengan cara memeriksa

kesiapan lubang tanamam kemudian memindahkan bibit kelokasi

penanaman diletakkan didekat lubang tanam, membuka polibag

dengan hati-hati supaya tidak melukai akar tanaman yang akan

ditanaman kemudian setelah selesai menyiram dengan air secukupnya.

e. Hubungan antara luas lahan dengan pembentukan arsitektur pohon

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,159 dengan

thitung (1,227) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara luas

56

lahan dengan pembentukan arsitektur pohon, dimana t hitung lebih

kecil daripada t tabel. Krtidaksignifikanan ini disebabkan karena

sebagian besar luas lahan rendah dan pembentukan arsitektur pohon

yang dilakukan tinggi, dimana sebagian besar petani melakukan

pembentukan arsitektur pohon sesuai dengan standar prosedur

operasional. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan Plupuh

berusaha melakukan pembentukan arsitektur pohon dengan benar agar

tercapai produktivitas dan mutu hasil/buah yang optimal, walaupun

luas lahan yang mereka miliki tergolong rendah. Nilai Rs positif

menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara luas lahan dengan

pembentukan arsitektur pohon.

f. Hubungan antara luas lahan dengan pemupukan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,170 dengan

thitung (-1,314) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara luas

lahan dengan pemupukan, dimana t hitung lebih kecil daripada t tabel.

Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani dalam melakukan

pemupukan tergolong sedang, dimana pupuk yang digunakan pupuk

yang digunakan tidak sesuai dengan rekomendasi, bak dari jenis pupuk

yang digunakan, dosis penggunaan dan waktu pemupukan. Disamping

itu, pupuk yang dipakai petani kurang sesuai dengan luas lahan yang

ada. Petani cenderung menggunakan pupuk yang kurang dari dosis.

Nilai Rs negatif menunjukkan terdapat hubungan yang tidak searah

antara luas lahan dengan pemupukan.

g. Hubungan antara luas lahan dengan penyiraman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,249 dengan

thitung sebesar -1,958 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara luas lahan dengan penyiraman, dimana t hitung

lebih kecil daripada t tabel. Ketidak signifikanan ini disebabkan karena

sebagian besar luas rendah dan penyiraman yang dilakukan juga

57

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan Plupuh susah

mendapatkan air untuk penyiraman walaupun luas lahan yang mereka

miliki hanya tergolong rendah. Nilai Rs negatif menunjukkan terdapat

hubungan yang tidak searah antara luas lahan dengan penyiraman.

h. Hubungan antara luas lahan dengan pendangiran dan pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,621 dengan

thitung sebesar 6,033 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

sangat signifikan antara luas lahan dengan pendangiran dan

pembumbunan, dimana t hitung lebih besar daripada t tabel. Hal ini

disebabkan karena sebagian besar luas lahan rendah dan pengendalian

hama yang dilakukan tergolong tinggi, dimana petani lebih memilih

pengendalian gulma secara alami yaitu dengan sabit/ cangkul dan

melakukan pembumbunan diwaktu kemarau supaya tanah tetap

gembur. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara luas lahan dengan pengendalian hama.

2. Hubungan Antara Pendidikan Formal dengan Tingkat Adopsi Budidaya

Tanaman Jeruk Besar

a. Hubungan antara pendidikan formal dengan perencanaan kebun

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,139 dengan

thitung (1,067) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan perencanaan kebun, dimana t hitung lebih

kecil daripada t tabel. Ketidaksignifikan ini disebabkan sebagian besar

pendidikan formal petani rendah sedangkan perencanaan kebun yang

dilakukan petani tergolong sedang. Dengan tingkat pendidikan formal

petani regolong rendah, petani cenderung tetap melakukan

perencanaan kebun walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan

rekomendasi. Perencanaan kebun yang dilakukan petani tidak hanya

dipengaruhi oleh pendidikan formal saja tetapi juga faktor lainnya

seperti pendidikan non formal, sehingga tingkat pendidikan formal

58

yang rendah belum tentu menyebanbkan teknik perencanaan kebun

juga menjadi rendah. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan

yang searah antara pendidikan formal dengan perencanaan kebun.

b. Hubungan antara pendidikan formal dengan persiapan lahan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,249 dengan

thitung (-1,958) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan persiapan lahan, dimana t hitung lebih kecil

daripada t tabel. Ketidaksignifikan ini disebabkan sebagian besar

pendidikan formal petani rendah sedangkan sedangkan persiapan lahan

yang dilakukan petani tergolong sedang. Dengan tingkat pendidikan

formal petani regolong rendah, petani cenderung tetap melakukan

persiapan lahan walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan

rekomendasi. Persiapan lahan yang dilakukan petani tidak hanya

dipengaruhi oleh pendidikan formal saja tetapi juga faktor lainnya

seperti penyuluhan, pelatihan, dan pengalaman dalam berusahatani.

Sehingga tingkat pendidikan formal yang rendah belum tentu

menyebanbkan persiapan lahan juga menjadi rendah. Nilai Rs negatif

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak searah antara pendidikan

formal dengan persiapan lahan.

c. Hubungan antara pendidikan formal dengan penyiapan bibit

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,138 dengan

thitung (1,061) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan penyiapan bibit, dimana t hitung lebih kecil

daripada t tabel. Ketidaksignifikan ini disebabkan sebagian besar

pendidikan formal petani rendah sedangkan sedangkan penyiapan bibit

yang dilakukan petani tergolong sedang. Dengan pendidikan formal

yang rendah petani tetap berusaha dalam penyiapan bibit sesuai

rekomendasi walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi.

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pendidikan formal petani

59

rendah petani mampu melakukan penyiapan bibit yang tergolong

sedang walaupun belum sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi.

Penyiapan bibit yang dilakukan petani tidak hanya dipengaruhi oleh

pendapatan saja tetapi juga faktor lainnya seperti penyuluhan dan

sekolah lapang. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang

searah antara pendidikan formal dengan penyiapan bibit.

d. Hubungan antara pendidikan formal dengan penanaman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0. ini berarti

bahwa komputer tidak dapat membaca hubungan antara pendidikan

formal dengan penanaman. Hal ini ditunjukkan dari seluruh responden

memberikan jawaban untuk penanaman dengan nilai yang tinggi, yaitu

3. Seluruh responden melakukan penanaman dengan cara memeriksa

kesiapan lubang tanamam kemudian memindahkan bibit kelokasi

penanaman diletakkan didekat lubang tanam, membuka polibag

dengan hati-hati supaya tidak melukai akar tanaman yang akan

ditanaman kemudian setelah selesai menyiram dengan air secukupnya.

e. Hubungan antara pendidikan formal dengan pembentukan arsitektur

pohon

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,089 dengan

thitung (-0,680) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan pembentukan arsitektur pohon, dimana t

hitung lebih kecil daripada t tabel. Ketidaksignifikan ini disebabkan

sebagian besar pendidikan formal petani rendah sedangkan teknik

pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan petani tergolong tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat pendidikan formal

petani rendah, petani tetap berusaha melakukan pembentukan

arsitektur pohon dengan tepat dan sesuai rekomendasi. Pembentukan

arsitektur pohon yang sesuai dengan rekomendasi tidak hanya

dipengaruhi pendidikan formal saja tetapi ada faktor lain yang

mempengaruhinya seperti penyuluhan dan sekolah lapang. Jadi

60

pendidikan formal yang rendah belum tentu menyebabkan

pembentukan arsitektur pohon juga rendah. Nilai Rs negatif

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak searah antara pendapatan

dengan pembentukan arsitektur pohon.

f. Hubungan antara pendidikan formal dengan pemupukan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,143 dengan

thitung (1,100) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan pemupukan, dimana t hitung lebih kecil

daripada t tabel. Ketidaksignifikan ini disebabkan sebagian besar

pendidikan formal petani rendah dan pemupukan yang dilakukan

petani tergolong sedang karena kurang memperhatikan rekomendasi

pemupukan yang benar, dimana dosis penggunaan pupuk tidak begitu

tepat dan waktu pemupukan yang digunakan petani tidak hanya

dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi juga dari faktor-faktor lain

seperti contoh penyuluhan, tingkat pendapatan petani itu sendiri, dan

juga pengalaman dalam berusahatani. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara pendidikan formal dengan

pemupukan.

g. Hubungan antara pendidikan formal dengan penyiraman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,001 dengan

thitung (0,008) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan penyiraman, dimana t hitung lebih kecil

daripada t tabel. Walaupun pendidikan formal sebagian besar petani

tergolong rendah dan penyiraman juga tergolong rendah. Namun

penyiraman yang dilakukan petani tidak hanya dipengaruhi oleh

pendidikan formal saja tetapi juga dari faktor lain, sepeti contoh:

pendapatan, penyuluhan dan petani hanya mengandalkan air hujan

karena susahnya petani dalam mendapatkan air. Nilai Rs positif

61

menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara pendapatan

dengan penyiraman.

h. Hubungan antara pendidikan formal dengan pendangiran dan

pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,144 dengan

thitung (1,108) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan formal dengan pendangiran dan pembumbunan, dimana t

hitung lebih kecil daripada t tabel. Ketidaksignifikan ini disebabkan

sebagian besar pendidikan formal petani rendah sedangkan

pendangiran dan pembumbunan yang dilakukan petani tergolong

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Petani di Kecamatan Plupuh

berusaha melakukan pendangiran dan pembumbunan yang benar

sesuai dengan rekomendasi walaupun tingkat pendidikan formal

mereka tergolong rendah. Petani di Kecamatan Plupuh lebih memilih

mengendalikan gulma disekitar pohon (tajuk tanaman) dilakukan

dengan cara alami yaitu dengan memakai sabit atau cangkul,

sedangkan untuk pembumbunan dilakukan pada waktu musim

kemarau. Hal ini berarti rendahnya pendidikan formal belum tentu

mempengaruhi pendangiran dan pembumbunan yang dilakukan tetapi

juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara pendidikan formal dengan

pendangiran dan pembumbunan.

3. Hubungan Antara Pendidikan Non Formal dengan Tingkat Adopsi

Budidaya Tanaman Jeruk Besar

a. Hubungan antara pendidikan non formal dengan perencanaan kebun

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,416 dengan

thitung (3,484) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara

pendidikan non formal dengan perencanaan kebun, dimana t hitung

lebih besar daripada t tabel. Hal ini disebabkan karena sebagian besar

62

pendidikan non formal petani tergolong sedang dan perencanaan kebun

yang dilakukan tergolong sedang. Pendidikan non formal

mempengaruhi petani dalam merencanakan kebun, meliputi membuat

denah/sketsa rancangan letak distribusi air, membuat sketsa bak

penampungan air, membuat sketsa pengumpulan buah sementara. Hal

ini menunjukkan bahwa petani sudah berusaha melakukan pendangiran

dan pembumbunan yang benar dan sesuai dengan rekomendasi. Nilai

Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah antar

pendidikan non formal dengan perencanaan kebun.

b. Hubungan antara pendidikan non formal dengan persiapan lahan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,156 dengan

thitung sebesar -1,203 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara pendidikan non formal dengan persiapan lahan,

dimana t hitung lebih kecil daripada t tabel. Ketidaksignifikanan ini

disebabkan karena sebagian besar pendidikan non formal petani

sedang. Dimana petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan melalui

kelompok tani tidak ada penerapan atau praktek secara langsung

mengenai budidaya tanaman jeruk besar. Nilai Rs negatif

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak searah antar pendidikan

non formal dengan persiapan lahan.

c. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penyiapan bibit

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,262 dengan

thitung sebesar 2,067 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara pendidikan non formal dengan persiapan lahan,

dimana t hitung lebih besar daripada t tabel. Hal ini disebabkan karena

sebagian besar pendidikan non formal petani tergolong sedang dan

penyiapan bibit tergolong sedang. Pendidikan non formal

mempengaruhi petani dalam penyiapan bibit, penyiapan bibit yang

dilakukan petani meliputi menghitung jumlah bibit sesuai dengan luas

63

tanam yang akan ditanami dan varietas jeruk yang dibudidayakan. Hal

ini menunjukan bahwa petani sudah berusaha melakukan penyiapan

bibit dengan benar dan sesuai dengan rekomendasi. Nilai Rs positif

menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara pendidikan non

formal dengan penyiapan bibit.

d. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penanaman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0. ini berarti

bahwa komputer tidak dapat membaca hubungan antara pendidikan

non formal dengan penanaman. Hal ini ditunjukan dari seluruh

responden memberikan jawaban untuk penanaman dengan nilai yang

tinggi, yaitu 3. Seluruh responden melakukan penanaman dengan cara

memeriksa kesiapan lubang tanamam kemudian memindahkan bibit

kelokasi penanaman diletakkan didekat lubang tanam, membuka

polibag dengan hati-hati supaya tidak melukai akar tanaman yang akan

ditanaman kemudian setelah selesai menyiram dengan air secukupnya.

e. Hubungan antara pendidikan non formal dengan pembentukan

arsitektur pohon

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,198 dengan

thitung sebesar 1,538 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara pendidikan non formal dengan pemupukan,

dimana t hitung lebih kecil daripada t tabel. Ketidak signifikanan ini

disebabkan oleh karena sebagian besar pendidikan non formal petani

sedang dan pembentukan arsitektur pohon tergolong tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa petani di kecamatan plupuh berusaha melakukan

pembentukan arsitektur pohon dengan benar dan sesuai dengan

rekomendasi. Walaupun pendidikan non formal petani tergolong

sedang tidak menunjukkan pembentukan arsitektur pohon juga sedang,

namun pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan tergolong tinggi.

Dimana pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan petani tidak

hanya dipengaruhi oleh pendidikan non formal melainkan faktor lain

64

seperti pengalaman dalam berusahatani. Hal ini berarti bahwa

pendidikan formal yang sdang belum tentu mempengaruhi

pembentukan arsitektur pohon juga sedang. Nilai Rs positif

menunjukan terdapat hubungan yang searah antara luas lahan dengan

penyiapan bibit. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang

searah antara pendidikan non formal dengan pembentukan arsitektur

pohon.

f. Hubungan antara pendidikan non formal dengan pemupukan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,115 dengan

thitung sebesar -0,882 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara pendidikan non formal dengan pemupukan,

dimana t hitung lebih kecil daripada t tabel. Ketidak signifikanan ini

disebabkan oleh karena sebagian besar pendidikan non formal petani

sedang. Dalam penerapan pemupukan petani kurang memperhatikan

rekomendasi penggunaan pupuk, dan waktu pemupukan. Disamping

itu dalam kegiatan pelatihan sekolah lapang tidak semua petani bisa

mengikuti praktek atau penerapan secara langsung mengenai budidaya

tanaman jeruk besar. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pemupukan

yang dilakukan petani tidak hanya diperoleh dari seringnya mengikuti

pendidikan non formal tetapi juga diperoleh dari praktek langsung

yang dilakukan oleh petani. Jadi dengan mengikuti pendidikan non

formal blum tentu mempengatuhi teknik pemupukan menjadi lebih

baik. Nilai Rs negatif menunjukkan terdapat hubungan yang tidak

searah antar pendidikan non formal dengan pemupukan.

g. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penyiraman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,019 dengan

thitung (0,145) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

pendidikan non formal dengan penyiraman, dimana t hitung lebih kecil

daripada t tabel. Ketidak signifikanan ini disebabkan oleh karena

65

sebagian besar pendidikan non formal petani sedang dan penyiraman

tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan

Plupuh tidak melakukan penyiraman dengan benar dan sesuai

rekomendasi. Walaupun pendidikan non formal tergolong sedang tidak

menunjukan penyiraman yang dilakukan juga sedang, namun

penyiraman yang dilakukan tergolong rendah. Diman penyiraman yang

dilakukan petani tidak hanya dipengatuhi oleh pendidikan non formal

saja tetapi dari faktor lain, sepeti contoh: petani hanya mengandalkan

air hujan karena susahnya petani dalam mendapatkan air. Nilai Rs

positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara pendidikan

non formal dengan penyiraman.

h. Hubungan antara pendidikan non formal dengan pendangiran dan

pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,276 dengan

thitung(2,187) dan ttabel (2,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan

non formal dengan pendangiran dan pembumbunan, dimana t hitung

lebih besar daripada t tabel. Hal ini disebabkan karena sebagian besar

pendidikan non formal petani tergolong sedang dan pendangiran dan

pembumbunan yang dilakukan tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan

bahwa petani sudah berusaha melakukan pendangiran dan

pembumbunan yang benar dan sesuai dengan rekomendasi. Nilai Rs

positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara pendidikan

non formal dengan pendangiran dan pembumbunan.

4. Hubungan Antara Pendapatan dengan Tingkat Adopsi Budidaya Tanaman

Jeruk Besar

a. Hubungan antara pendapatan dengan perencanaan kebun

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,431 dengan

thitung sebesar 3,638 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan hubungan yang

signifikan antara pendapatan dengan perencanaan kebun. Pendapatan

66

mempengaruhi perencanaan kebun yang dilakukan meliputi membuat

denah/sketsa rancangan letk distribusi air, membuat sketsa bak

penampungan air, membuat sketsa pengumpulan buah sementara. Hal

ini terjadi karena petani akan melakukan tindakan apapun untuk

keberhasilan usahataninya. Perencanaan kebun merupakan hal yang

terpenting dalam budidaya tanaman jeruk besar karena untuk

mendapatkan desain kebun yang baik dan memudahkan pemeliharahan

hingga pemetikan buah. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat

hubungan yang searah antara pendapatan dengan perencanaan kebun.

b. Hubungan antara pendapatan dengan persiapan lahan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,100 dengan

thitung sebesar 0,765 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak

signifikan antara pendapatan dengan persiapan lahan.

Ketidaksignifikanan ini disebabkan oleh karena sebagian besar

pendapatan petani rendah sedangkan persiapan lahan yang dilakukan

tergolong sedang. Dengan pendapatan yang rendah petani cenderung

tetap melakukan persiapan lahan sesuai dengan rekomendasi walaupun

tidak sepenuhnya. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan petani

tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan saja tetapi juga faktor-faktor

lainnya, sehingga pendapatan yang rendah belum tentu menyebabkan

persiapan lahan juga menjadi rendah. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara pendapatan dengan persiapan

lahan.

c. Hubungan antara pendapatan dengan penyiapan bibit

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,247 dengan

thitung sebesar 1,941 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak

signifikan antara pendapatan dengan penyiapan bibit.

Ketidaksignifikanan ini disebabkan oleh karena sebagian besar

pendapatan petani rendah sedangkan penyiapan bibit yang digunakan

67

tergolong sedang. Dengan pendapatan yang rendah petani tetap

berusaha dalam penyiapan bibit sesuai rekomendasi walaupun tidak

sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi. Hal ini menunjukkan bahwa

walaupun pendapatan petani rendah petani mampu melakukan

penyiapan bibit yang tergolong sedang walaupun belum sepenuhnya

sesuai dengan rekomendasi. Penyiapan bibit yang dilakukan petani

tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan saja tetapi juga faktor

lainnya. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara pendapatan dengan penyiapan bibit.

d. Hubungan antara pendapatan dengan penanaman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0. ini berarti

bahwa komputer tidak dapat membaca hubungan antara pendapatan

dengan penanaman. Hal ini ditunjukkan dari seluruh responden

memberikan jawaban untuk penanaman dengan nilai yang tinggi, yaitu

3. Seluruh responden melakukan penanaman dengan cara memeriksa

kesiapan lubang tanamam kemudian memindahkan bibit kelokasi

penanaman diletakkan didekat lubang tanam, membuka polibag

dengan hati-hati supaya tidak melukai akar tanaman yang akan

ditanaman kemudian setelah selesai menyiram dengan air secukupnya.

e. Hubungan antara pendapatan dengan pembentukan arsitektur pohon

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,156 dengan

thitung sebesar 1,203 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak

signifikan antara pendapatan dengan pembentukan arsitektur pohon.

Pendapatan sebagian besar petani tergolong rendah sedangkan teknik

pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan tergolong tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa walaupun pendapatan petani rendah, petani tetap

berusaha melakukan pembentukan arsitektur pohon dengan tepat dan

sesuai rekomendasi. Pembentukan arsitektur pohon yang sesuai dengan

rekomendasi tidak hanya dipengaruhi pendapatan ynag tetapi ada

faktor lain yang mempengaruhinya. Jadi pendapatan yang rendah

68

belum tentu menyebabkan pembentukan arsitektur pohon juga rendah.

Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara

pendapatan dengan pembentukan arsitektur pohon.

f. Hubungan antara pendapatan dengan pemupukan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,129 dengan

thitung sebesar -0,991 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak

signifikan antara pendapatan dengan pemupukan. Pendapatan sebagian

besar petani tergolong rendah sedangkan teknik pemupukan yang

dilakukan tergolong sedang. Jadi penggunaan pupuk tidak sesuai

dengan rekomendasi yang ada. Teknik penggunaan pupuk tidak hanya

dipengaruhi oleh besarnya pendapatan tetapi juga faktor lain. Hal ini

berarti teknik pemupukan tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya pendapatan. Nilai Rs negatif menunjukkan terdapat

hubungan yang tidak searah antara pendapatan dengan kekayaan.

g. Hubungan antara pendapatan dengan penyiraman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,142 dengan

thitung sebesar 1,093 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak

signifikan antara pendapatan dengan penyiraman. Walaupun

pendapatan sebagian besar petani tergolong rendah dan penyiraman

juga tergolong rendah. Namun penyiraman yang dilakukan petani tidak

hanya dipengaruhi oleh pendapatan saja tetapi juga dari faktor lain,

sepeti contoh: petani hanya mengandalkan air hujan karena susahnya

petani dalam mendapatkan air. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat

hubungan yang searah antar pendapatan dengan penyiraman.

h. Hubungan antara pendapatan dengan pendangiran dan pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,218 dengan

thitung (1,701) yang lebih kecil dari ttabel yaitu (2,000) pada taraf

kepercayaan 95%. Hal ini memunjukkan terdapat hubunganan tidak

signifikan antara pendapatan dengan pendangiran dan pembumbunan.

69

Petani di Kecamatan Plupuh berusaha melakukan pendangiran dan

pembumbunan yang benar sesuai dengan rekomendasi walaupun

pendapatan yang mereka miliki tergolong rendah. Petani di Kecamatan

Plupuh lebih memilih mengendalikan gulma disekitar pohon (tajuk

tanaman) dilakukan dengan cara alami yaitu dengan memakai sabit

atau cangkul, sedangkan untuk pembumbunan dilakukan pada waktu

musim kemarau. Hal ini berarti rendahnya pendapatan belum tentu

mempengaruhi pendangiran dan pembumbunan yang dilakukan tetapi

juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara pendapatan dengan pendangiran

dan pembumbunan.

5. Hubungan Antara Kekayaan dengan Tingkat Adopsi Budidaya Tanaman

Jeruk Besar

a. Hubungan antara kekayaan dengan perencanaan kebun

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,388 dengan

thitung sebesar 3,206 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara kekayaan dengan perencanaan kebun. Kekayaan

mempengaruhi perencanaan kebun yang dilakukan, perencanaan kebun

meliputi membuat denah/sketsa rancangan letak distribusi air,

membuat sketsa bak penampungan air, membuat sketsa pengumpulan

buah sementara. Hal ini terjadi karena petani akan melakukan tindakan

apapun untuk keberhasilan usahataninya. Perencanaan kebun

merupakan hal yang terpenting dalam budidaya tanaman jeruk besar

karena untuk mendapatkan desain kebun yang baik dan memudahkan

pemeliharahan hingga pemetikan buah. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara kekayaan dengan perencanaan

kebun.

b. Hubungan antara kekayaan dengan persiapan lahan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,004 dengan

thitung sebesar 0,030 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

70

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara kekayaan dengan persiapan lahan. Kekayaan

menunjukkan status atau kedudukan seseorang didalam masyarakat

dimana kekayaan yang dimiliki petani relatif sedang dan persiapan

lahan yang dilakukan petani tergolong sedang. Kegiatan persiapan

lahan yang dilakukan petani tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan

saja tetapi juga faktor-faktor lainnya. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antar apendapatan dengan persiapan

lahan.

c. Hubungan antara kekayaan dengan penyiapan bibit

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,181 dengan

thitung sebesar 1,402 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara kekayaan dengan penyiapan bibit. Kekayaan

menunjukkan status atau kedudukan seseorang didalam masyarakat,

dimana kekayaan yang dimiliki petani relatif sedang dan penyiapan

bibit yang dilakukan petani tergolong sedang, dimana petani dalam

penyiapan bibit tidak hanya dipengaruhi oleh kekayaan yang dimiliki

daja tetapi juga dari faktor lainnya. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara kekayaan dengan penyiapan

bibit.

d. Hubungan antara kekayaan dengan penanaman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0. ini berarti

bahwa komputer tidak dapat membaca hubungan antara kekayaan

dengan penanaman. Hal ini ditunjukkan dari seluruh responden

memberikan jawaban untuk penanaman dengan nilai yang tinggi, yaitu

3. Seluruh responden melakukan penanaman dengan cara memeriksa

kesiapan lubang tanamam kemudian memindahkan bibit kelokasi

penanaman diletakkan didekat lubang tanam, membuka polibag

dengan hati-hati supaya tidak melukai akar tanaman yang akan

ditanaman kemudian setelah selesai menyiram dengan air secukupnya.

71

e. Hubungan antara kekayaan dengan pembentukan arsitektur pohon

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,156 dengan

thitung sebesar 1,203 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara kekayaan dengan pembentukan arsitektur

pohon. Kekayaan menunjukkan status atau kedudukan seseorang

didalam masyarakat, dimana kekayaan yang dimiliki petani relatif

sedang dan pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan petani

tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pembentukan

arsitektur pohon yang dilakukan petani bukan karena kekayaan yang

dimiliki saja melainkan juga dari penyuluhan maupun dari pengalaman

dalam berusahatani. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan

yang searah antara kekayaan dengan pembentukan arsitektur pohon.

f. Hubungan antara kekayaan dengan pemupukan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,146 dengan

thitung sebesar -1,124 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara kekayaan dengan pemupukan.

Ketidaksignifikanan ini disebabkan oleh karena sebagian besar

kekayaan petani sedang. Kekayaan menunjukan status atau kedudukan

seseorang didalam masyarakat, dimana kekayaan yang dimilikipetani

relatif sedang dan pemupukan yang dilakukan petani juga tergolong

sedang, karena petani kurang memperhatikan rekomendasi pupuk yang

benar, dimana dosis penggunaan pupuk tidak begitu tepat dan waktu

pemupukan yang digunakan juga tidak tepat. Hal ini menunjukkan

bahwa teknik pemupukan yang dilakukan petani tidakhanya

dipenagruhi oleh kekayaan yang dimiliki tetapi juga dari faktor lain

seperti contoh penyuluhan, tingkat pendapatan petani itu sendiri, dan

juga pengalaman dalam berusahatani. Nilai Rs negatif menunjukkan

72

terdapat hubungan yang tidak searah antara kekayaan dengan

pemupukan.

g. Hubungan antara kekayaan dengan penyiraman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,218 dengan

thitung sebesar 1,701 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara kekayaan dengan penyiraman.

Ketidaksignifikanan ini disebabkan oleh karena sebagian besar

kekayaan petani sedang dan penyiraman yang dilakukan tergolong

rendah. Hal ini menunjkukan bahwa penyiraman yang dilakukan

petani tidak hanya dipengaruhi karena kekayaan yang tinggi tetapi juga

dari faktor-faktor lain seperti contoh faktor alam. Jadi semakin

kekayaan petani tinngi belum tentu penyiraman yang dilakukan petani

juga tinggi. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang

searah antara kekayaan dengan penyiraman.

h. Hubungan antara kekayaan dengan pendangiran dan pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,163 dengan

thitung sebesar 1,258 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara kekayaan dengan pendangiran dan

pembumbunan. Hal ini menunjukan bahwa petani di Kecamatan

Plupuh berusaha melakukan pendangiran dan pembumbunan dengan

benar dan sesuaidengan rekomendasi walaupun kekayan yang dimiliki

petani terglong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa teknik

pendangiran dan pembumbunan yang dilakukan petani tidak hanya

dipengaruhi oleh kekayaan yang dimiliki namun juga karena informasi

atau penyuluhan dan pengalaman petani dalam berusahatani. Nilai

positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara kekayaan

dengan pendangiran dan pembumbunan.

6. Hubungan Antara Tingkat Rasionalitas Petani dengan Tingkat Adopsi

Budidaya Tanaman Jeruk Besar

73

a. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan perencanaan kebun

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,289 dengan

thitung sebesar 2,299 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan persiapan lahan.

Dimana tingkat rasionalitas petani relatif sedang dan perencanaan

kebun yang dilakukan petani juga tergolong sedang. Tingkat

rasionalitas petani mempengaruhi perencanaan kebun yang dilakukan,

perencanaan kebun meliputi membuat denah/sketsa rancangan letak

distribusi air, membuat sketsa bak penampungan air, membuat sketsa

pengumpulan buah sementara. Hal ini terjadi karena petani akan

melakukan tindakan apapun untuk keberhasilan usahataninya.

Perencanaan kebun merupakan hal yang terpenting dalam budidaya

tanaman jeruk besar karena untuk mendapatkan desain kebun yang

baik dan memudahkan pemeliharahan hingga pemetikan buah.

Semakin tinggi tingkat rasionalitas petani maka perencanaan kebun

yang dilakukan juga akan semakin tinggi. Nilai Rs positif

menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara tingkat

rasionalitas petani dengan perencanaan kebun.

b. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan persiapan lahan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,149 dengan

thitung sebesar -1,148 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan persiapan

lahan. Dimana tingkat rasionalitas petani relatif sedang dan persiapan

lahan yang dilakukan petani tergolong sedang, dimana semakin

rasional petani belum tentu mampu melakukan kegiatan persiapan

kebun dengan benar yang sesuai dengan rekomendasi. Kegiatan

persiapan lahan yang dilakukan petani tidak hanya dipengaruhi oleh

pendapatan saja tetapi juga faktor-faktor lainnya. Nilai Rs positif

74

menunjukkan terdapat hubungan yang searah antara tingkat

rasionalitas petani dengan persiapan lahan.

c. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan penyiapan bibit

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs 0,328 dengan thitung

sebesar 2,644yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada taraf

kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan penyiapan bibit.

Dimana tingkat rasionalitas petani relatif sedang dan penyiapan bibit

yang dilakukan petani juga tergolong sedang. Tingkat rasionalitas

petani mempengaruhi penyiapan bibit yang dilakukan, penyiapan bibit

meliputi menentukan varietas jeruk yang akan dibudidayakan dan

menghitung jumlah bibit yang digunakan sesuai dengan luas lahan.

Semakin tinggi tingkat rasionalitas petani maka penyiapan bibit yang

dilakukan juga akan semakin tinggi. Nilai Rs positif menunjukkan

terdapat hubungan yang searah antara tingkat rasionalitas petani

dengan penyiapan bibit.

d. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan penanaman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0. ini berarti

bahwa komputer tidak dapat membaca hubungan antara tingkat

rasionalitas petani dengan penanaman. Hal ini ditunjukkan dari seluruh

responden memberikan jawaban untuk penanaman dengan nilai yang

tinggi, yaitu 3. Seluruh responden melakukan penanaman dengan cara

memeriksa kesiapan lubang tanamam kemudian memindahkan bibit

kelokasi penanaman diletakkan didekat lubang tanam, membuka

polibag dengan hati-hati supaya tidak melukai akar tanaman yang akan

ditanaman kemudian setelah selesai menyiram dengan air secukupnya.

e. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan pembentukan

arsitektur pohon

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,088 dengan

thitung sebesar 0,673 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

75

tidak signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan pembentukan

arsitektur pohon. Teknik pembentukan arsitektur pohon yang tinggi ini

kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak hanya

karena sifat petani yang rasional. Jadi petani yang rasional belum tentu

dapat melakuakan pembentukan arsitektur pohon dengan tepat dan

sesuai rekomendasi. Nilai positif menunjukkan terdapat hubungan

yang searah antara tingkat rasionalitas petani dengan penyiraman.

f. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan pemupukan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,066 dengan

thitung sebesar -0,504 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan pemupukan.

Teknik panen yang sedang ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh

faktor lainnya seperti contoh penyuluhan, pendapatan petani itu

sendiri, dan juga pengalaman dalam berusaha tani. Jadi petani yang

rasional belum tentu dapat melakuakn pemupukan dengan tepat dan

sesuai rekomendasi. Nilai Rs negatif menunjukkan terdapat hubungan

yang tidak searah antara tingkat rasionalitas petani dengan pemupukan.

g. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan penyiraman

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah -0,068 dengan

thitung sebesar -0,519 yang lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

tidak signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan penyiraman.

Ketidaksignifikanan ini disebabkan oleh karena tingkat rasionalitas

petani sedang namun penyiraman yang dilakukan tergolong rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa penyiraman yang dilakukan petani tidak

hanya dipengaruhi karena tingkat rasionalitas yang tinggi teapi juga

dari faktor-faktor lain seperti contoh faktor alam. Jadi semakin rasional

petani belum tentu penyiraman yang dilakukan petani juga tinggi. Nilai

Rs Nilai negatif menunjukkan terdapat hubungan yang tidak searah

antara tingkat rasionalitas petani dengan penyiraman.

76

h. Hubungan antara tingkat rasionalitas petani dengan pendangiran dan

pembumbunan

Dari tabel 13 diketahui bahwa nilai Rs adalah 0,431 dengan

thitung sebesar 3,638 yang lebih besar dari ttabel yaitu sebesar 2,000 pada

taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang

sangat signifikan antara tingkat rasionalitas petani dengan pendangiran

dan pembumbunan. Hal ini disebabkan petani yang rasional lebih

memilih pengendalian gulma secara alami daripada dengan bahan

kimia yaitu dengan sabit/ cangkul karena lebih hemat biaya dan

melakukan pembumbunan diwaktu kemarau supaya tanah tetap

gembur. Nilai Rs positif menunjukkan terdapat hubungan yang searah

antara luas lahan dengan pengendalian hama.

77

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Faktor- faktor Sosial Ekonomi petani meliputi :

a. Luas lahan petani tergolong rendah.

b. Pendidikan formal petani tergolong rendah.

c. Pendidikan non formal petani tergolong sedang.

d. Pendapatan petani tergolong rendah.

e. Kekayaan petani tergolong sedang.

f. Tingkat rasionalitas petani tergolong sedang

2. Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Tanaman Jeruk Besar meliputi:

a. Perencanaan kebun yang dilakukan petani tergolong sedang.

b. Persiapan lahan yang dilakukan sebagian besar petani tergolong

sedang.

c. Penyiapan bibit yang dilakukan petani tergolong sedang.

d. Penanaman yang dilakukan petani tergolong tinggi.

e. Pembentukan arsitektur pohon yang dilakukan petani tergolong

tinggi.

f. Pemupukan yang dilakukan petani tergolong sedang.

g. Penyiraman yang dilakukan petani tergolong rendah.

h. Pendangiran dan pembumbunan yang dilakukan petani tergolong

tinggi.

3. Hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi petani dengan tingkat

adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar di Kcamatan Plupuh

Kabupaten Sragen, sebagai berikut :

a. Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara luas lahan

dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar

dengan arah hubungan yang positif.

78

b. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pendidikan formal

dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar

dengan arah hubungan yang positif.

c. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pendidikan non

formal dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar

dengan arah hubungan yang positif.

d. Terdapat hubungan yang signifikan antara antara pendapatan

dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar

dengan arah hubungan yang positif.

e. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kekayaan dengan

tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar dengan arah

hubungan yang positif.

f. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara tingkat rasionalitas

petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya tanaman jeruk besar

dengan arah hubungan yang positif.

B. Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan adanya peningkatan peran PPL untuk mendorong petani di

Kecamatan Plupuh dalam menerapkan budidaya tanaman jeruk besar

yang benar.

2. Meningkatkan intraksi dan komunikasi antara pengurus kelompok tani

dengan petani, supaya informasi mengenai pelaksanaan pertemuan

kelompok tani dapat sampai kepada petani.

3. Sebagian besar petani di Kecamatan Plupuh mengalami kesulitan dalam

pengairan. Dengan adanya hal ini diharapkan ada perhatian dari

Pemerintah untuk membantu kesulitan petani.

79

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2006. Petunjuk Teknis Kegiatan

Pengembangan Agribisnis Jeruk Besar. Sragen.

. 2007. Standar Prosedur Operasional Jeruk Pamelo. Sragen.

Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide – Ide Baru. Usaha Nasional.

Surabaya.

Hernanto, F. 1984. Petani Kecil, Potensi dan Tantangan Pembangunan. Granesia. Bandung.

Kartasapoetra, A. G. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara.

Jakarta.

Popkin, C. James. 1983. Petani Rasional. Yayasan Padamu Negeri. Jakarta

Samsudin. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bina Cipta. Jakarta.

Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Grafindo Persada. Jakarta.

Suhardiyono, L. 1992. Penyuluhan : Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Erlangga. Jakarta.

Sukartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.