Hati-hati Malpraktek di Dunia Pendidikan !

Embed Size (px)

Citation preview

Malpraktek di Dunia Pendidikan Lebih Berbahaya Daripada di Dunia Kedokteran NurAzizah (Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Pendidikan merupakan hak asasi setiap generasi. Dengan pendidikan, manusia mampu membangun peradaban di bumi melalui sebuah proses pembangunan kerangka berpikir, mulai dari tingkat peradaban yang sederhana, sampai pada tingkat peradaban yang maju dan modern seperti saat ini. Undangundang Dasar negara ini telah mengamanatkan agar pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus diterima oleh setiap warga negara, tanpa memandang kasta.

Namun, apa jadinya jika terjadi Malpraktek di dunia pendidikan? Apakah itu berbahaya?.. ya !, Jawabanya tentu berbahaya, bahkan lebih berbahaya daripada malpraktek di dunia kedokteran. Di dunia kedokteran, malpraktek didefinisikan sebagai kelalaian dari seorang dokter atau perawat dalam menggunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuannya untuk mengobati atau merawat pasien yang mengakibatkan dampak negatif bagi pasien tersebut, bahkan menyebabkan kematian. Dari definisi tersebut, malpraktek tentunya sangat berbahaya dan merupakan tindak pelanggaran hukum sekaligus kode etik kedokteran. Seorang dokter atau perawat yang melakukan malpraktek akan dikenai sanksi hukum, baik dari pihak rumah sakit tempat dokter/perawat tersebut bekerja, maupun dari aparat penegak hukum di wilayah tersebut. Bagaimana dengan malpraktek di dunia pendidikan?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa meninjau dari berbagai sudut pandang atau kasus yang terjadi saat ini, diantaranya: PENDIDIKAN: Penciptaan Sebuah Robot Saat ini, kondisi dunia pendidikan di negeri ini sangatlah mengiris hati. Proses-proses

pendidikan yang terbangun adalah sebuah ruang terbatas bagi penciptaan mesin-mesin (robot) pekerja yang hanya memiliki kemampuan berpikir statis, bukan pada sebuah proses penciptaan manusia pemikir yang sangat diperlukan untuk kelangsungan kehidupan di permukaan bumi ini. Dunia pendidikan semakin ditekan dengan kepentingan pemodal yang menciptakan kebutuhan pekerja, bukan manusia pemikir, sehingga pendidikan hanya diarahkan pada memenuhi kebutuhan lapangan kerja, tidak untuk menghadirkan ruang aktivitas baru dalam penjalanan kehidupan. Sejak tahun 1960-an, modal asing mulai mencengkramkan dirinya di negeri ini, sangat terlihat jelas sebagian besar wilayah kreatifitas dan ruang ekspresi warga dipenjarakan. Sistem pendidikan sebagai sebuah ruang awal kemerdekaan negeri ini dikuasai oleh kurikulum titipan pemodal. Menciptakan robot pekerja. sehingga ketika lahir berbagai penemu di negeri ini, harus rela meninggalkan negeri untuk lebih dapat mengembangkan kapasitas dan mengekspresikan dirinya bagi kemajuan peradaban dunia. Semakin elitis dan tak terjangkaunya pendidikan oleh rakyat miskin, pengelolaan pendidikan yang birokratis, tingginya tingkat korupsi, dan menjamurnya bisnis pendidikan, hingga saling lempar tanggung jawab, telah berkontribusi bagi kehancuran generasi muda dan menjadikan dunia pendidikan negeri ini tak pernah beranjak dari keterpurukannya. Bila melihat pada sebuah undang-undang yang pernah dihadirkan di negeri ini pada tahun 1950, jelas tersampaikan bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Sementara dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan hanyalah sebuah normatif bahkan kurang mudah dilaksanakan. Lebih jauh ketika kita memandang pengelolaan pendidikan saat ini, maka sangat terlihat bahwa kualitas guru yang hadir saat ini merupakan buah dari sebuah produk yang tidak sempurna. Hilangnya nilai-nilai kemanusian pada sebagian guru, lebih disebabkan karena tekanan kehidupan yang dimiliki oleh para guru ditambah dengan minimnya pengetahuan dan kreatifitas yang dimiliki serta rendahnya gaji. Ditambah dengan sebuah kurikulum pendidikan guru yang bersifat kinetis mekanis, telah membangun dinding pada kemampuan berpikir kritis dan kreatif dari seorang guru. Proses Penilaian Pendidikan Dalam operasionalnya, malpraktek di dunia pendidikan kerap kali dilakukan oleh para guru, salah satunya dalam proses penilaian pembelajaran siswa. Dalam sebuah kelas terlihat seorang guru yang begitu sibuknya menjejali siswa dengan berbagai hafalan yang merupakan

tuntutan kurikulum. Setelah itu, terlihat betapa sang guru begitu disibukkan dengan penilaian yang panjang dan melelahkan ( apalagi siswanya). Guru disibukkan dengan penilaian dari semua hal yang dikerjakan siswa dalam proses belajar dengan dalil penilaian proses. Belum lagi pemberian PR dan latihan-latihan soal dengan alasan untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap sebuah kompetensi yang harus dikuasainya. Ditambah tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa untuk menilai kinerja ataupun performa siswa. Selanjutnya siswa mengikuti test formatif setiap akhir dari satu bab pembelajaran yang berisi beberapa indikator. Alih-alih sebagai alat ukur seberapa jauh tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap kompetensi dan indikator tersebut. Dan akhirnya proses ini disempurnakan dengan test sumatif pada setiap akhir term dengan tujuan melihat penguasaan standar kompetensi yang seharusnya dikuasai siswa, semuanya masuk ke dalam proses penilaian rapot. Outputnya adalah sebuah deretan panjang proses penilaian terhadap siswa yang terdiri dari Test Harian / LK + test formatif + performa + tugas / PR + Test Sumatif = Siswa cerdas atau siswa bodoh. Jika nilainya baik maka baiklah masa depan anak itu, jika nilainya jelek maka suramlah masa depan anak itu. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem penilaian dan evaluasi pembelajaran semacam ini. Hal ini bukan berarti penilaian tidak penting dalam sebuah proses belajar di sekolah. Penilaian dan evaluasi belajar merupakan bagian penting dari proses pembelajaran. Namun orientasi penilaian bukan sekedar siswa mencapai poin nilai standar tetapi sebagai perangkat untuk membantu siswa melalui tahap belajarnya. Juga menjadi bahan evaluasi guru menilai efektifas dari metode, gaya, dan cara pengajaran yang ia terapkan. Dengan penilaian tersebut, guru dapat mencoba cara lain atau pendekatan lain yang dimengerti siswa dalam memahami sebuah kompetensi. Seharusnya, semua hal yang dikerjakan siswa dalam proses belajar, PR, ulangan harian atau LK harian, test formatif, tidak dijadikan sebagai komponen dari sistem grading atau penilaian di akhir term. Jika siswa salah dalam mengerjakan ulangan harian, LK, PR harian ataupun formatif maka tidak dimasukkan sebagai bahan penyusunan nilai rapot. Melainkan sebagai feed back bagi anak dan guru untuk mengubah atau meningkatkan cara belajar dan pengajarannya. Inilah hakikat belajar. Belajar adalah sebuah proses memahami. Hak siswa untuk diantarkan mencapai pemahaman tersebut. Bukan sekedar dinilai kalau mampu memahami berarti cerdas dan alhamdulilllah, dan jika jelek tidak diberikan lagi haknya untuk mencapai tingkat pemahaman yang utuh dan tuntas. Padahal tanggung jawab seorang guru, dan tentu sekolah, mengantarkan siswa terhadap sebuah pemahaman yang utuh dan tuntas. Kesalahan mungkin terjadi, tapi terus diikuti umpan balik. Seorang guru juga harus mampu menekankan

pemahaman pada siswa bahwa proses pembelajaran di sekolah bukanlah untuk mencari nilai, tapi ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain mencapai prestasi, bukan prestise. Dengan berorientasi pada ilmu pengetahuan, nilai akan mengikuti dengan sendirinya (prestasi maupun prestise akan diraih), dan hasil/nilai yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, dapat dijadikan sebagai feed back untuk pembelajaran lebih baik lagi kedepannya. Akan tetapi jika pembelajaran berorientasi pada nilai, siswa akan cenderung menghalalkan segala cara (contohnya mencontek) untuk mendapatkan nilai setinggitingginya, dan akan menimbulkan kekecewaan manakala nilai yang diperoleh tidak sesuai yang diharapkan. Jadi, penilian dilakukan dalam rangka mengetahui di posisi mana siswa berada. Untuk menetapkan posisi siswa dapat diterapkan sistem penilaian Introduced ( I ), Progressing (P), dan Mastery (M). I menandakan siswa baru berada pada posisi belajar atau tahapan proses memahami, P menandakan siswa telah memahami dan dalam proses melatih dan menyempurnakan pemahamannya, dan M menandakan siswa telah mampu mengobservasi dan siap berpindah pada tahapan selanjutnya. Barulah pada akhir term (semester) dilakukan evaluasi akhir atas siklus pembelajaran yang telah berlangsung. Sekali lagi, evaluasi sumatif ini tidak bertujuan untuk menggolong-golongkan siswa, tetapi sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana proses belajar itu berlangsung. Juga sebagai alat evaluasi guru mengukur efektifitas pengajarannya. Dari kedua kasus di atas, terlihat bahwa ternyata malpraktek di dunia pendidikan lebih berbahaya daripada malpraktek di dunia kedokteran (ditinjau dari berbagai sudut pandang). Jika di dunia kedokteran, malpraktek menimbulkan dampak negatif jangka pendek, terbatas pada pasien tertentu, dan kemungkinan terjadinya sangat kecil. Justru di dunia pendidikan, malpraktek menimbulkan dampak negatif jangka panjang, bahkan jika tidak ditindaklanjuti akan berakibat fatal. Guru yang kurang kompeten, akan menghasilkan siswa yang kurang kompeten pula. Lebih parah lagi, jika guru keliru/salah kaprah dalam menyampaikan suatu materi tertentu, maka siswa akan selamanya salah, tidak hanya untuk satu atau dua orang siswa, melainkan seluruh siswa di dalam kelas. Sehingga menyimpang dari proses pembelajaran yang seharusnya. Untuk itu, dunia pendidikan di negeri ini harus direkonstruksi. Pendidikan yang berkualitas bagi rakyat harus menjadi agenda dan prioritas utama bagi pemerintah. Walaupun sejauh ini perhatian pemerintah cukup baik dalam meningkatkan kualitas/mutu pendidikan. Akan tetapi, malpraktek yang terjadi di lapangan belum bisa diminimalisir.

Untuk itu, perlu adanya pembenahan sistem pendidikan di sekolah. Sudah saatnya dunia pendidikan negeri ini meletakkan kembali cita-cita pendidikan yang pernah digaungkan sebelum negeri ini merdeka. Pendidikan di negeri ini sudah saatnya bukan untuk mengekor pada kepentingan negara utara. Begitu banyak kekayaan alam negeri ini tentunya akan menghasilkan lebih banyak pemikir-pemikir baru yang akan lebih baik dibandingkan pemikir di negara utara. Memperbaiki sistem pengelolaan pendidikan, mulai di wilayah pendidik, hingga pada fasilitas pendidikan, harus menjadi agenda utama. Mendekatkan kembali pendidikan negeri ini pada budaya dan alam negeri ini tentunya akan menghasilkan suasana negeri yang lebih baik. Perombakan mendasar pada kurikulum pendidikan dasar hingga menengah, serta perubahan kurikulum dan memperbanyak ragam bahan bacaan pada tingkat pendidikan tinggi sudah saatnya dilakukan, agar tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai sebuah pabrik penghasil robot. Peningkatan kualitas dan profesionalisme guru dan kepala sekolah harus menjadi prioritas utama untuk mencetak generasi-generasi berkualitas yang mampu berpikir kritis dan kreatif.