Upload
buicong
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI
(STUDI KOMPARATIF HUKUM PROGRESIF
DAN MAQASHID AL-SYARIAH)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
INDAR DEWI
NIM : 1115045000008
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1440 H
v
ABSTRAK
Indar Dewi. Nim 11150450000008. Hak Politik Narapidana Korupsi (Studi
Komparatif Hukum Progresif Dan Maqashid Al-Syariah). Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. IX + 72 halaman.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan komparatif. Penulis mengkaji aturan mengenai hak politik narapidana
korupsi serta hukum bolehnya mantan narapidana korupsi mencalonkan diri
dalam pemilu legislatif dalam tinjauan Hukum Progresif dan Maqashid al-
Syariah.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Hukum progresif dan Maqashid
al-Syariah memiliki benang merah bahwa keduanya merupakan cara pandang
atau paradigma yang memprioritaskan tujuan-tujuan hukum untuk terciptanya
kemaslahatan umat. Dalam perspektif hukum progresif, bolehnya mantan
terpidana korupsi ikut serta dalam pemilihan umum merupakan satu kebijakan
yang sedikit berbenturan dengan progresifitas hukum atau kemajuan hukum
dalam segala aspek yakni keadilan, kesejahteraan dan kemanfaatan atau
kebahagiaan. Demikian halnya dalam perspektif Maqashid al-Syariah yang
termanifestasikan dalam maslahah, hukum bolehnya mantan terpidana korupsi
mencalonkan diri dalam pemilu adalah kebijakan hukum yang tidak maslahah.
Kata Kunci: Pencalegan Koruptor, Hukum Progresif, Maqashid al-Syariah
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 2003 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena hanya
dengan berkat, rahmat, dan keridhoan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul “Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi (Studi Komparatif
Hukum Progresif dan Maqashid al-Syariah” dengan baik. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, maka tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghormatan sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie., SH., MA., MH. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Hj. Maskufa, MA., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan serta kemudahan dalam menyetujui
proposal penulis untuk diajukan kepada fakultas.
5. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. Selaku pembimbing skripsi penulis yang
telah memberikan bimbingan, arahan, dan segala kemudahan dari awal
hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan.
Semoga dengan ketulusan dan keikhlasan hati, ilmu yang diberikan
merupakan bekal yang bermanfaat dan berharga bagi penulis.
7. Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu serta keluarga besar penulis yang
senantiasa memberikan doa, dukungan serta ketulusan cinta dan kasih
sayang yang tak terhingga. Pencapaian ini dengan bangga kupersembahkan
untuk kalian.
vii
8. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2015,
terkhusus Ika Yulistiana teman seperjuangan penulis yang telah berjuang
bersama sejak awal, sahabat serantauan yang banyak memberikan pelajaran
dan arahan selama hampir empat tahun di Jakarta. Especially sudah banyak
membantu menyelesaikan pendaftaran wisuda 112, terima kasih tak
terhingga ikacuuu. Trini Diyani, teman kosan detik-detik perjuangan
terakhir. Lesnida Borotan, teman pertama pas masuk UIN. Badriatul
Munawarah, Fatma Agustina, Settia Fany, Agilia Gunawan, Ridwan, Ahmad
Syatibi, dan pastinya sahabat-sahabat penulis lainnya yang tak bisa penulis
sebutkan satu persatu nama dan kebaikan kalian.
9. Kepada Umi Lia, Abi Thohir dan seluruh keluarga besar TPQ al-Muthi
termasuk Rima Amalia, Vanesa dan Amanda, terima kasih untuk semua
pembelajaran yang diberikan.
10. Teman-teman KKN 18 “Gema Perumpak”, Fayyed, Egi, Anida, Dhila,
Shoba, Mudrika, Ana, Adel, Zahra, Rara, Sasa, Dyah, Riza, Hanif, Fey,
Fery, Edy, dan Bang Herman, terima kasih untuk semua kebaikan kalian
selama sebulan dalam pengabdian untuk Desa Cirumpak.
11. Seluruh keluarga UKM, Organisasi, dan Komunitas Primordial penulis,
HMPS HTN UIN Jakarta, LDK, Ikami, Sandeq dan Kelurga besar
Himpunan Mahasiswa Islam.
12. Keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak,
semoga bantuan yang telah diberikan mendapat pahala oleh Allah SWT. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Ciputat, 16 Mei 2019
10 Ramadhan 1440 H
Indar Dewi
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ....................................... 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 7
F. Review Studi Terdahulu .............................................................................. 9
G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 11
BAB II HUKUM PROGRESIF DAN MAQASHID AL-SYARIAH
A. Teori Hukum Progresif .............................................................................. 13
1. Konsep Hukum Progresif ...................................................................... 13
2. Latar Belakang Lahirnya Teori Hukum Progresif ................................ 18
3. Penegakan Hukum Progresif di Indonesia ............................................ 20
B. Teori Maqashid al-Syariah ........................................................................ 25
1. Konsep Dasar Pemikiran Maqashid al-Syariah ................................... 25
2. Pembagian Maqashid al-Syariah ......................................................... 27
BAB III HUKUM PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI
A. Undang-undang tentang Pemilu dan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009
1. Pencalegan Koruptor dalam Undang-undang Pemilu .......................... 32
2. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 ................................................. 34
ix
B. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota
1. Deskripsi Peraturan .............................................................................. 35
2. Putusan Bawaslu .................................................................................. 37
C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018
1. Deskripsi Putusan ................................................................................ 41
2. Pertimbangan Hakim MA .................................................................... 42
D. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 31 Tahun 2018
tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan
Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
1. Deskripsi Peraturan .............................................................................. 45
2. Implementasi Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 ......................... 46
BAB IV TINJAUAN PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI
A. Pencalegan Narapidana Korupsi dalam Tinjauan Hukum Progresif
1. Keadilan Hukum dalam Pencalegan Narapidana Korupsi .................. 48
2. Kesejahteraan Hukum ......................................................................... 53
3. Kemanfaatan dan Kebahagiaan ........................................................... 56
B. Pencalegan Narapidana Korupsi dalam Tinjauan Maqashid al-Syariah
1. Ditinjau dari Tingkat Kehujjahannya .................................................. 58
2. Ditinjau dari Tingkat Kebutuhannya ................................................... 59
3. Ditinjau dari Cakupannya .................................................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 65
B. Saran .......................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup
pelik, seperti krisis multi-dimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan
nilai yang sangat menuntut adanya upaya pemecahan secara mendesak. Problematika
yang menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat salah satunya adalah masalah
korupsi yang tak kunjung selesai. Sebuah fakta yang telah dimengerti hampir
semua kalangan bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap yang sangat
mengkhawatirkan. Tindak pidana korupsi selain dapat membahayakan stabilitas
dan keamanan masyarakat, juga dapat membahayakan pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik. Selain itu, tanpa disadari korupsi dapat merusak nilai-nilai
demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi
sebuah budaya.
Seolah telah mengakar dalam budaya hidup, perilaku, dan cara berpikir
masyarakat, tindak pidana yang satu ini berhasil menjangkiti birokrasi dari atas
hingga yang paling bawah. Hampir seluruh lembaga negara baik lembaga
perwakilan rakyat, lembaga pemerintahan, lembaga peradilan, bahkan lembaga-
lembaga yang dibentuk untuk memberantas dan menyelesaikan permasalahan
yang kian terjadi pun tak tanggung-tanggung ikut terjerat. Dalam hal ini,
sebagian pengamat hukum berbendapat bahwa korupsi menjadi ancaman terhadap
cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.1
Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak
diputus bebasnya terdakwa atau minimnya sanksi pidana yang ditanggungkan
kepada terdakwa, sama sekali tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya.
Banyaknya korupsi yang tercuak ke publik tidak sebanding dengan jumlah
koruptornya. Hal tersebut memunculkan stigma negatif di tengah masyarakat.
1 Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011), h. xi.
2
Banyak sekali komentar bahkan umpatan-umpatan terhadap perilaku dan pelaku
tindak pidana korupsi. Muak, jengkel, miris bahkan marah menyaksikan betapa
menjamurnya koruptor di negeri ini. Tentu hal ini membuat segenap bangsa
Indonesia merasa putus asa, serta mengikis rasa keadilan yang berdampak pada
ketidakpercayaan masyarakat atas hukum, pemerintah, dan peraturan perundang-
undangan itu sendiri.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Transparency International (TI)
pada tahun 2017 yang berbasis di Jerman, Indonesia merupakan negara terkorup
ke-78 dari 180 negara. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejak 2001 hingga
sekarang juga masih tetap berada di angka yang rendah. Tiga sektor yang paling
rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah partai politik termasuk kader partai
yang menjabat di parlemen, kepolisian, dan pengadilan. Sementara itu,
kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak terjadi di sektor
nonkonstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan, dan properti.2
Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat. Tindak pidana korupsi tidak dapat lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah menjadi
kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang tentunya membutuhkan upaya
pemberantasan yang ekstra pula. Kegagalan elit politik Indonesia dalam
melakukan upaya pemberantasan korupsi jelas akan membahayakan negara.3
Sejatinya sejak awal upaya-upaya pemberantasan terhadap korupsi telah
ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas secara serentak. Namun
upaya tersebut, belum cukup menunjukkan signifikansi peminimalisiran tindak
pidana korupsi di Indonesia. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah
berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap
2www.transparency.org/news/feature/corruption/_perceptions diakses pada 05 Oktober 2018,
pukul 14.01.
3Maryanto, “Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum”,Jurnal Ilmiah
CIVIS, (Volume II, No 2, Juli 2012), h. 3.
3
elitis, korupsi masih menjadi patologi social yang khas dilingkungan para
elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas.
Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di
dalam system terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di
bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik.4
Dalam hal upaya pemberantasan korupsi, maka perlu didukung dan
diawali dengan penyelenggaraan pemilihan aktor-aktor hukum dalam
pemerintahan yang bersih dan dengan cara yang bersih pula. Baru-baru ini KPU
selaku lembaga penyelenggara pemilu mengambil satu lagkah progresif yang
justru menimbulkan polemik. Dalam hal penyelenggaraan pemilu 2019, KPU
mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan KPU Nomor
20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
kabupaten/kota. Substansi dari peraturan tersebut adalah larangan mantan
narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi untuk
mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu legislatif. Menurut KPU kejahatan-
kejahatan tersebut memiliki daya rusak yang luar biasa bagi masyarakat. Selain
itu bagi mereka, salah satu upaya nyata untuk memberantas tindak pidana korupsi
adalah dengan pemilu yang bersih.
Namun tak lama peraturan tersebut diundangkan dalam Berita Negara,
timbul beberapa protes nyata dari berbagai pihak, khususnya para mantan
terpidana korupsi yang ingin kembali mencalonkan diri dalam pemilu legislatif
2019. Mereka kemudian melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung. Adapun
pasal yang hendak diuji materilkan antara lain pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (2)
huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas.
Selanjutnya Mahkamah Agung mengabulkan gugatan dengan Nomor
putusan 46P/HUM/2018. Dalam hal ini pemohon yakni Jumanto, merupakan salah
satu mantan koruptor sehingga ia hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian
4Maryanto, “Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum”, Jurnal Ilmiah
CIVIS, (Volume II, No 2), Juli 2012, h. 3.
4
frasa mantan terpidana korupsi. Pokok substansi dari putusan tersebut yakni
menetapkan bahwa pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (2) huruf d, dan Lampiran
Model B.3 Pakta Integritas sebagaimana yang diajukan oleh pemohon,
bertentangan dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum dan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sehingga peraturan ini tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan tidak berlaku untuk umum.5
Jika berbicara mengenai fokus upaya pemberantasan korupsi, maka
peraturan KPU nomor 20 ini merupakan satu bentuk optimisme yang harus
didukung dan semestinya semangat tersebut datang dari pemerintah dan DPR
sebagai pembentuk undang-undang. Semangat KPU untuk menjalankan Pemilu
yang bersih tersebut menjadi salah satu progresifitas hukum yang perlu
diapresiasi.
Ada dua elemen penting yang menjadi tolak ukur dalam tujuan hukum,
yakni hukum itu sendiri dan elemen sosial. Untuk menjadikan hukum
berkemampuan menangani, maka hukum harus melihat dan memadukan
jurisprudensi, social science, hukum progresif, serta siasat ilmu sosial, sehingga
dari sinilah akan tercipta konsep demokrasi model, dan konsep hukum responsif.6
Pada dasarnya Teori Hukum Progresif juga sudah bukan istilah baru
dalam sistem hukum positif di Indonesia. Teori Satjipto Rahardjo ini muncul
akibat kegelisahannya terhadap tujuh puluh dua tahun usia negara hukum,
terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik.7
Bagi Satjipto, hukum bukanlah suatu skema yang final, namun terus bergerak,
berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus
5Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 74.
6Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, (Jakarta: Jala Pernata Aksara, 2016), h.1
7Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), h. 86.
5
dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya
kebenaran dan keadilan.8
Teori hukum progresif hadir sebagai alternatif pemecahan masalah hukum
yang tidak sesuai dengan asas dan tujuan pembentukan hukum itu sendiri yaitu
adanya kebermanfaatan serta terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat .
Hal ini sejalan dengan Prinsip Maslahah sebagaimana yang terkandung dalam
konsep Maqashid al-Syariah dalam hukum Islam, yakni satu konsep yang berfokus
pada kemaslahatan umat.
Sebagai negara mayoritas muslim tentunya perlu melihat dan memahami
bagaimana pandangan-pandangan atau konsep-konsep penyelesaian suatu
permasalahan hukum dari kacamata hukum Islam itu sendiri. Pembahasan secara
eksplisit mengenai peraturan negara ataupun hukum pemerintahan dalam Islam
disebut Fiqh Siyasah. Siyasah berarti perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam
peraturan, serta dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin
kemaslahatan. Oleh karena itu, di dalam Siyasah selalu diupayakan jalan-jalan yang
menuju kepada kemaslahatan (fathu dzari’ah) dan selalu ditutup serta dihindarkan
jalan-jalan yang mengarah kepada kemafsadatan (sadzu dzari’ah).9
Konsep-konsep kemaslahatan yang dimaksud di atas pada hakikatnya adalah
tujuan dari konsep maqashid al-syariah yakni mendatangkan manfaat dan menolak
kemudharatan. Imam Abu Ishaq al-Syatibi,10
tokoh yang dikukuhkan sebagai pendiri
ilmun maqashid al-syariah menyatakan bahwa Allah sebagai syari‟ memiliki tujuan
dalam setiap penentuan hukumnya, yaitu untuk kemaslahatan hidup di dunia dan
8Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2010), h. 7.
9A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2003), h. 266.
10
Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol, wafat pada Selasa 8 Sya‟ban 790 H di
Granada.
6
akhirat.11
Sebagai tujuan syariat, maqashid al-syariah seharusnya menduduki posisi
penting sebagai ukuran atau indikator benar tidaknya suatu ketentuan hukum. Dengan
kata lain, memahami hukum yang benar haruslah melalui pemahaman maqashid al-
syariah yang baik.
Pada dasarnya secara yuridis pembatalan peraturan KPU oleh Mahkamah
Agung adalah satu hal yang tepat jika ditinjau dari undang-undang yang berlaku.
Namun jika ditinjau dari progresifnya suatu aturan dalam hukum atau bagaimana
suatu aturan kemudian dapat bermanfaat sesuai dengan asasnya, maka semangat KPU
dalam melaksanakan pemilu yang bersih menjadi satu bentuk upaya yang progresif
dalam efektifitas hukum yang tentunya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat
atau dalam Hukum Islam dikenal dengan istilah kemaslahatan umat. Hal ini menarik
untuk dikaji tentang relevansi antara hukum progresif (hukum positif) dan Maqashid
al-Syariah (hukum Islam) terhadap pencabutan hak politik koruptor.
B. Identifikasi, Rumusan dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Upaya progresif KPU dalam menyelenggarakan pemilu yang bersih
menuai pro dan kontra dari beberapa pihak, terkhusus bagi mereka yang merasa
dicabut hak politiknya melalui PKPU nomor 20 ini sehingga menimbulkan satu
polemik dalam pemerintahan. Peraturan KPU yang merupakan salah satu bentuk
upaya untuk memberantas korupsi akhirnya harus dicabut oleh Mahkamah
Agung selaku lembaga kehakiman. Adapun identifikasi masalah yang penulis
dapatkan dalam kajian ini antara lain:
a. Secara yuridis Peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilu dan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang
hierarki perturan perundang-undangan.
11
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-„ilmiyah,
2004), h. 221.
7
b. Tidak adanya dukungan dari Pemerintah dan DPR untuk membentuk undang-
undang yang memuat semangat antisipatif dan progresif KPU untuk
memberantas tindak pidana korupsi.
c. Kurang tegasnya pelaksanaan hukum serta tidak adanya efek jera terhadap
pelaku tindak pidana korupsi.
d. Minimnya kesadaran masyarakat terhadap problematika pemerintahan yang
sedang terjadi.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Hukum Progresif terhadap pencalegan mantan
terpidana korupsi?
2. Bagaimana pandangan Maqashid al-Syariah terhadap pencalegan mantan
terpidana korupsi?
3. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan ini
hanya terbatas pada Substansi Peraturan KPU, Putusan Mahkamah Agung Nomor
46P/HUM/2018, dan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yang ditinjau dari
perspektif Hukum Progresif dan Maqashid al-Syariah. Adapun hak politik yang
dimaksud dalam penelitian ini hanya dibatasi pada hak untuk dipilih dalam pemilihan
legislatif.
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:
a. Menjelaskan Konsep Hukum Progresif dalam korelasinya dengan pencalegan
koruptor.
b. Menggambarkan secara eksplisit pandangan Maqashid al-Syariah terhadap
pencalegan koruptor.
D. Manfaat Penelitian
8
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperkaya literatur di bidang politik khususnya pada pembentukan
maupun pembatalan suatu peraturan.
b. Untuk memberikan solusi terhadap permasalahan hukum terkait
Pencalegan Koruptor.
c. Kegunaan praktis dari penelitian ini untuk memberikan informasi,
persoalan politik Indonesia dalam kaitannya dengan hukum Islam.
E. Metode Penelitian
a. Jenis dan pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menganalisis
secara yuridis normatif tentang hak politik narapidana korupsi. penelitian ini juga
menghubungkan dengan maqashid al-Syariah.
Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum terdapat
sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conseptual approach).12
Dari sudut pandang tersebut, penelitian ini merupakan
penelitian hukum dengan pendekatan kasus (case approach), pendekatan undang-
undang (statue approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach).
b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yang terbagi atas dua bahan hukum yakni bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
misalnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian.
Pada penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa Undang-undang
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada,2008), hlm. 93.
9
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; Putusan MK Putusan MK Nomor 4/PUU-
VII/2009; Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018; Putusan MA Nomor
46P/HUM/2018; dan PKPU Nomor 31 tahun 2018. Adapun bahan hukum
sekundernya, yaitu semua dokumen yang memberikan penjelasan terkait
pencalegan koruptor berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku, jurnal,
artikel, maupun melalui informasi media internet.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
studi dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
c. Teknik Analisis data
Teknik analisis data dalam penelitian ini yakni teknik analisa data
kualitatif dengan cara mengolah data kemudian diuraikan untuk memberi
gambaran (deskriptif). Uraian-uraian yang berisi penafsiran, penalaran, serta
argumentasi rasional (analitik) tersebut bertujuan untuk menjelaskan dan
mempertahankan gambaran yang diperoleh.
d. Teknik Penulisan
Pada skripsi ini, penulis menggunakan metode skripsi yang mengacu
pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Review Studi Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang skripsi ini telah dilakukan, baik yang mengkaji
secara umum maupun yang menyinggung secara spesifik. Berikut paparan tinjauan
umum atas sebagian karya penelitian tersebut.
10
1. Skripsi yang ditulis oleh Mia Arlitawati berjudul “Kewenangan KPU dalam
Membatasi Hak Politik Mantan Narapidana Korupsi Dalam Pemilu Legislatif
(Analisis Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 terhadap Peraturan KPU Nomor
20 Tahun 2018” yang menjelaskan secara rinci tentang kewenangan KPU dalam
penyelenggaraan pemilu. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa tugas dan
kewenangan KPU hanya untuk melaksanakan tahapan-tahapan pemilu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini undang-
undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. PKPU Nomor 20 Tahun 2018
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, sehingga KPU
tidaklah memiliki dasar yuridis yang kuat untuk membatasi dan membuat norma
baru terhadap hak politik narapidana korupsi dalam pemilu legislatif 2019.13
2. Karya Ilmiah (skripsi) oleh Dian Rudy Hartono yang berjudul “Pencabutan Hak
Politik Terhadap Koruptor Perspektif Nomokrasi Islam” yang menjelaskan
tentang pandangan Konsep Nomokrasi Islam terhadap pencabutan hak politik
para koruptor.14
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pencabutan
hak politik sudah mengedepankan keadilan dan merupakan satu bentuk
perlindungan bagi kemaslahatan umat.
3. Skripsi yang ditulis oleh Sahuri berjudul “Perspektif Hukum Islam Dan Ham
Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor (Kajian Hukum Islam dan HAM
terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)”15
menegaskan sanksi pidana
tambahan berupa pencabutan hak politik sudah sesuai menurut hukum Islam.
13
Mia Arlitawati, “Kewenangan KPU dalam Membatasi Hak Politik Mantan Narapidana
Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 terhadap Peraturan
KPU Nomor 20 Tahun 2018”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.
14
Dian Rudy Hartono, “Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif Nomokrasi
Islam”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
15
Sahuri, “Perspektif Hukum Islam Dan Ham Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor
(Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)”, Skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
11
Pencabutan hak politik dikategorikan kepada jarimah ta’zir, yaitu suatu
bentuk hukuman atau sanksi yang tidak diatur dalam Al-Qur‟an maupun
Hadist. Sedangkan dalam pandangan HAM pencabutan hak politik dalam
putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014 berpotensi melanggar HAM jika dalam
penjatuhannya hakim tidak mengikuti aturan dalam undang-undang yang
berlaku. Dalam putusan MA tersebut tidak dicantumkan batasan pencabutan hak
untuk dipilih dalam jabatan publik, sehingga dianggap tidak ada kepastian
hukum di dalamnya.
4. Skripsi yang ditulis oleh Siti Nurkholisah dengan judul bahasan“Tinjauan Yuridis
Terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Sebagai
Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014)”16
menjelaskan tentang tinjauan
yuridis MA terhadap pencabutan hak memilih dan dipilih koruptor dalam jabatan
publik. Parameter Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik lebih kepada
pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. Selain itu, sanksi berupa pencabutan
hak politik sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi di
Indonesia.
5. Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial juga terdapat penelitian
yang dilakukan oleh Warih Anjari berjudul “Pencabutan Hak Politik Terpidana
Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Kajian Putusan Nomor
537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014”.17
Penerapan pidana
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi menjadi hal yang urgen karena: (a)
Penjatuhan pidana tambahan ini merupakan sarana penal untuk menanggulangi
16
Siti Nirkholisah, “Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam
Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014)” Skripsi fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
2016. 17
Warih Anjari,“Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014”, Jurnal
Yudisial, (Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 23 – 44.
12
tindak pidana korupsi yang memiliki efek penjeraan bagi terpidana dan
pencegahan bagi masyarakat. (b) Karakteristik korupsi di Indonesia sebagai
kebiasaan masyarakat. (c) Untuk menghindarkan dari pemimpin yang korup, dan
(d) Korupsi merupakan extra ordinary crime dan serious crime.
Dari paparan di atas, terlihat penelitian yang menyinggung pencabutan hak
politik mantan narapidana korupsi sebagaimana yang menjadi inisiatif KPU dalam
Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang kemudian dibatalkan melalui putusan
MA NOMOR: 46P/HUM/2018. Namun yang menjadi pembeda penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah penulis akan menguraikan bagaimana perspektif
Hukum Progresif dan Maqashid al-Syariah terhadap pembatalan aturan pencabutan
hak politik. Secara rinci penelitian ini akan menguraikan tentang pandangan kedua
teori tersebut terhadap hukum pencalegan koruptor.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas Latar Belakang, Identifikasi,
Rumusan, dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Review Studi Terdahulu, serta Sistematika Pembahasan.
BAB II Landasan Teori. Pada bab ini diuraikan teori hukum progresif dan
konsep Maqashid al-Syariah. Dalam pembahasan teori Hukum Progresif dibagi atas
beberapa sub poin antara lain pengertian, sejarah, dan penegakan Hukum Progresif di
Indonesia. Adapun konsep Maqashid al-Syariah dibagi atas Konsep dasar pemikiran
maqashid al-Syariah dan Pembagian Maqashid al-Syariah.
BAB III Hukum Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi. Pada bab ini
dijelaskan mengenai Undang-undang tentang Pemilu dan Putusan yang memuat
13
pencalegan mantan terpidana korupsi; Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten; Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018; Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten.
BAB IV Pencalegan Narapidana Korupsi. Pada bab ini diuraikan hukum
pencalegan mantan terpidana korupsi dalam tinjauan Hukum Progresif yang ditinjau
dariaspek keadilan hukum, kesejahteraan hukum, dan kemanfaatan/ Kebahagiaan.
Kedua hukum pencalegan mantan terpidana korupsi dalam tinjauan Maqashid al-
Syariah ditinjau dari tingkat kehujjahannya, tingkat kebutuhannya, dan ditinjau dari
cakupannya.
BAB V Penutup. Pada bab ini dirumuskan kesimpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah pada bab I dan diakhiri dengan saran sebagai masukan penelitian
ini.
13
BAB II
HUKUM PROGRESIF DAN MAQASHID AL-SYARIAH
A. Hukum Progresif
1. Konsep Hukum Progresif
Hukum Progresif merupakan salah satu konsep yang paling menarik dalam
literatur hukum Indonesia pada saat ini. Dikatakan menarik, karena hukum progresif
telah menggugat keberadaan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam
berhukum Indonesia selama ini. Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah
berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh filsafat positivistik, legalistik,
dan linear tersebut untuk menjawab berbagai persoalan hukum.
Istilah Hukum progresif diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, dilandasi asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi
ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk
krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, yaitu
mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan
praksis hukum, serta melakukan terobosan.1 Hal ini berarti hukum progresif adalah
serangkaian gagasan yang memprioritaskan kesejahteraan manusia sebagai objek
hukum itu sendiri. Sangat perlu adanya perubahan sistem hukum (termasuk
mengubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna dan
sesuai dengan asas tujuan pembentukannya, terutama dalam menjamin kebahagiaan
dan kesejahteraan manusia.
Hukum juga progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum
modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi
suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban hanya
bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk
melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak
ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu
1Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas, 2006), h. 6.
14
intitusi yang bermoral. Dalam hal ini, “Hukum adalah suatu intitusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.”2
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi
kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam
menegakkan hukum.
Selain itu, secara spesifik hukum progresif juga bisa disebut sebagai “Hukum
yang pro rakyat” dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif
berbeda dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum
bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi
memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari
progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk
dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making atau secara
terus menerus masih harus dibangun dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah
intitusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka kriteria hukum progresif adalah:3
a. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
b. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
c. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang
tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
d. Bersifat kritis dan fungsional, oleh karena hukum progresif tidak henti-hentinya
melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya.
2Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 2.
3Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas, 2006), h. 6.
15
Berbeda dengan ilmu hukum yang berbasis pada teori positivis, yang sangat
mengandalkan paradigm peraturan (rule), Ilmu Hukum Progresif lebih
mengutamakan paradigma manusia (people). Konsekuensi penerimaan paradigma
manusia itu membawa IHP sangat memedulikan faktor perilaku (behavior,
experience).
Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk
manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Kehadiran hukum bukan untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Jika terjadi
permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus diperbaiki, bukan
manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum juga bukan
institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk
terus-menerus dibangun (law as process, law in the making).4
Secara umum karakter hukum progresif berkaitan erat dengan teori ilmu hukum
lainnya yakni antara lain: (i) Hukum progresif secara sadar menempatkan
kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam
istilah Nonet dan Selznick bertipe hukum responsif; (ii) hukum progresif berbagi
paham dengan Legal Realism karena hukum tidak dipandang dari tujuan sosial yang
ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum; (iii) hukum progresif
memiliki kedekatan dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound yang
mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi keluar dan
melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum; (iv) Hukum progresif memiliki
kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang metayuridis
(keadilan); (v) hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies
(CLS) namun cakupannya lebih luas.5
Gagasan hukum progresif yang pro rakyat dan berorientasi pada keadilan dan
kesejahteraan masyarakat, tidak serta merta diterima dalam sistem hukum di
4M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana, 2015),
h. 108.
5Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 8-9.
16
Indonesia. Hukum progresif masih menyimpan tanda tanya besar bagi kalangan yang
apriori atau tidak setuju dengan Satjipto Rahardjo. Batasan, definisi dan
operasionalisasi dianggap belum jelas dan menyulitkan.6 Pertanyaan mendasar
apakah hukum progresif boleh mengabaikan norma hukum positif yang sudah
diterapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran adanya kesewenang-wenangan dalam berhukum.
Pada dasarnya hukum progresif bukan menolak adanya undang-undang sebagai
tonggak dalam berhukum, namun dalam perspektif hukum progresif, hukum berada
pada status law in the making atau secara terus menerus masih harus dibangun dan
tidak bersifat final. Seperti yang telah dijelaskan di atas, orientasi hukum progresif
adalah keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat bukan pada peraturan dan logika.
Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh
peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya
berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang
sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari
realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar
ilmu (genuine science).7
Banyak hal yang tidak terwadahi dalam teks hukum, seperti suasana dan
kebutuhan-kebutuhan yang ada di masa mendatang. Selain itu moral yang dipeluk
masyarakat pada kurun waktu tertentu tidak mungkin terekam dalam teks hukum
tersebut. Peran manusia dalam bekerjanya hukum terlalu besar untuk diabaikan dan
hanya befokus kepada teks undang-undang semata. Hukum sebagai teks itu diam dan
hanya melalui perantara manusialah ia menjadi hidup.8
6Abu Rokhmad, Gagasan Hukum Progresif Perspektif Teori Maslahah, Jurnal Kajian Hukum
Islam al-manahij, (vol. VII No. 1, Januari, 2013), h. 5.
7Diana E. Rondonuwu, Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi
Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum1, Jurnal Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014, h. 85.
8Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 15.
17
Dalam hukum modern, hukum sungguh otonom dan sama sekali tidak
terpengaruh oleh keadaan di luar hukum. Apapun yang terjadi di luar, yang
menentukan apa yang akan dilakukan oleh hukum adalah para lawyers. Maka
sekalipun terjadi perubahan besar di dunia, sebelum para lawyers mengatakan bahwa
hukum harus diubah, perubahan pun tidak akan terjadi dan hukum akan berjalan
seperti biasa.
Sementara dalam perjalanan hukum di Indonesia, dijumpai munculnya bentuk-
bentuk kejahatan maupun ketentuan-ketentuan baru yang tidak siap dihadapi oleh
perundang-undangan yang ada. Dalam situasi seperti ini, mau tidak mau kita akan
memasuki ranah cara berhukum yang luar biasa dengan melakukan terobosan hukum
yang lebih progresif.9
Para penegak hukum harus berani memberi solusi dengan keluar dari pemikiran
konvensional. Apakah penegakan hukum sekedar menerapkan teks? Tidak! Secara
progresif kita harus menguji sampai sejauh mana kemampuan teks itu. Hukum bukan
hanya teks, di baliknya menyimpan kekuatan. Misalnya undang-undang korupsi
menyimpan kekuatan untuk memberantas korupsi. Meski demikian, kekuatan itu
tidak serta merta terbaca, tetapi kita perlu secara progresif menggali dan
memunculkannya. Pengalaman di Indonesia, para koruptor lolos karena terlalu
bermain-main dengan teks.10
Mobilisasi hukum lebih mengandalkan pada keberanian untuk melakukan
interpretasi hukum secara progresif daripada tunduk dan membiarkan dibelenggu oleh
peraturan-peraturan hukum. Advokasi tersebut pertama-tama ditujukan kepada agensi
sistem peradilan seperti hakim dan jaksa, serta kepada pemerintah atau birokrasi
maupun elite-elite politik lainnya.11
Kendati demikian, tidak dikehendaki
perkembangan menjadi liar atau sewenang-wenang dalam menginterpretasikan
9Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 23
10
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif,...h. 173.
11
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 24.
18
hukum. Harus tetap berpacu prinsip utama hukum progresif yakni keadilan pikiran-
pikiran pro rakyat.
Jadi dari uraian di atas, kita bisa melihat bahwa implementasi hukum progresif
dapat dilaksanakan beriringan dengan hukum positif atau hukum berupa teks undang-
undang. Namun dalam kacamata hukum progresif, undang-undang ini tidak bersifat
final dan mutlak. Dalam waktu dan situasi tertentu hukum juga harus memperhatikan
keadaan masyarakat tanpa harus berpacu pada undang-undang. Dalam hal ini, baik
melalui pengadilan, aparat penegak hukum seperti kepolisian, maupun pemerintah
dan DPR sebagai pembuat peraturan hukum itu sendiri.
2. Latar Belakang Lahirnya Hukum Progresif
Lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, bukanlah sesuatu
yang lahir tanpa sebab. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian
kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif dapat dipandang sebagai
konsep yang mencari jati diri bertolak dari realitas empiris tentang bekerjanya hukum
di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas
penegakan hukum dan setting Indonesia akhir abad ke-20.
Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap keadaan hukum
di Indonesia. Kepercayaan terhadap hukum makin menurun yang disebabkan oleh
kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak tahun 70-an istilah “mafia pengadilan” sudah
memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Bahkan pada masa orde baru, hukum sudah
semakin bergeser menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Selanjutnya, pada era reformasi hingga tahun-tahun setelahnya bangsa Indonesia
belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal tapi
malah makin menimbulkan kekecewaan.12
Konsep hukum progresif ini dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, berawal dari
kegelisahannya terhada 60 tahun usia negara hukum yang terbukti tidak kunjung
12
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 4.
19
mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik. Melihat dan merenungkan
penderitaan bangsa tersebut sampailah pada pertanyaan, “apa yang salah dengan
hukum kita?” dan “apa serta bagaimana jalan untuk mengatasinya?”. Berbagai
rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi juga
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Orang tidak berbicara tentang kehidupan
hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang suram”.13
Lahirnya hukum progresif atau ilmu Hukum Progresif (IHP) didorong oleh
adanya keprihatinan atas kontribusi rendah ilmu hukum di Indonesia turut
mencerahkan bangsa keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Namun itu
bukan satu-satunya alasan, menurut Rahardjo, IHP tidak hanya dikaitkan pada
keadaan sesaat tersebut. IHP melampaui pikiran sesaat dan memiliki nilai ilmiah
tersendiri. IHP dapat di proyeksikan dan dibicarakan dalam konteks keilmuan secara
universal. Oleh karena itu, IHP dihadapkan pada dua medan sekaligus, yaitu
Indonesia dan dunia. Ini didasarkan pada argumen bahwa ilmu hukum tidak dapat
bersifat steril dan mengisolasi diri dari perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu pada
dasarnya harus selalu mampu memberi pencerahan terhadap komunitas yang dilayani.
Untuk memenuhi peran itu, maka ilmu hukum dituntut menjadi progresif. Ilmu
hukum normatif yang berbasis negara dan pikiran abad ke-20 dengan sekalian
perubahan dan perkembangannya.14
Demi mengejar garis depan ilmu yang selalu berubah itu, hukum progresif
memilih membiarkan dirinya terbuka dan cair, sehingga selalu dapat menangkap dan
mencerna perubahan yang terjadi. Para pengemban hukum progresif adalah orang-
orang yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan sesuai dengan
hakikat ilmu itu sendiri. Ia selalu merasa haus akan kebenaran dan karena itu tidak
henti-hentinya melakukan pencarian. Ilmu hukum progresif ditakdirkan untuk hadir
13
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), h. 86.
14
M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 106.
20
sepanjang masa dan berbeda dengan ilmu hukum sosiologis, struktural, behavioral,
dan relatif baru, yaitu ilmu hukum yang nonsistematis.
Berdasarkan uraian di atas, Hukum Progresif hadir di tengah-tengah ambruknya
dunia hukum di negeri ini dan memberitahukan kepada kita tentang kesalahan-
kesalahan mendasar pada cara berhukum kita selama ini. Menjalankan hukum tidak
sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Hukum tidak hanya di jalankan degan kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasaran spiritual. Menjalankan hukum harus
dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk
berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat karena pada dasarnya tujuan
berhukum tak lain adalah kesejahteraan dan keadilan.
3. Penegakan Hukum Progresif di Indonesia
Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum,
memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan alternatif untuk keluar
dari situasi buruk yang kian terjadi.15
Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau
konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak termasuk ide
tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum yang masih
abstrak tersebut perlu diwujudkan atau dijabarkan, pada tatanan inilah yang disebut
dengan penegakan hukum (Law Enforcement). Penegakan hukum adalah rangkaian
proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang menjadi tujuan daripada hukum dalam
masyarakat. Ketika hukum itu dibuat dan wajib dilaksanakan maka penegakan hukum
menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan.
Pada hukum modern, walaupun aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk
bekerja siang dan malam, namun situasi dunia hukum Indonesia tidak mengalami
suatu perubahan dan justru jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum tetap gagal
15
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 36
21
memberikan suatu ketegasan terhadap segala bentuk tindak pidana yang marak
terjadi. Supremasi hukum yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda atau
simbol tanpa makna. Teks-teks hukum hanyalah permainan bahasa yang cenderung
menipu dan mengecewakan. Ringannya sanksi para pelaku tindak pidana seperti
koruptor yang merugikan negara dalam skala besar serta sanksi yang berat bagi
rakyat menengah yang hanya melakukan pencurian-pencurian kecil merupakan
pembenaran terhadap anggapan bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Lebih memalukan lagi korupsi saat ini merajalela pada tingkatan lembaga
penegak hukum itu sendiri, mulai dari jaksa, polisi, hakim, panitera, advokat, bahkan
lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi pun ikut terjerat yakni KPK.
Keterlibatan lembaga penegak hukum dalam berbagai tindak pidana seperti korupsi
memberikan peluang yang lebih besar kepada lembaga-lembaga atau bidang lain
dalam pemerintahan negara, termasuk juga lembaga legislatif dan eksekutif. Selain
itu hal tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan
tumbangnya keadilan.
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang ikut dalam masyarakatnya.
Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan
warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan
yang Indonesia hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi
juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru yang dapat menjamin
keadilan dan kesejahteraan masyarakat.16
Satjipto Rahardjo menawarkan perlunya kehadiran hukum progresif di bawah
semboyan hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro rakyat. Para pelaku hukum
dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan hukum. Mereka
harus mempunyai empati dan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Kepentingan
16
M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 114
22
rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaan) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum.17
Ide penegakan hukum progresif menghendaki penegakan hukum menangkap
kehendak hukum masyarakat. Oleh karena itu, ketika suatu peraturan dianggap
membelenggu penegakan hukum, maka dituntut kreativitas dari penegak hukum itu
sendiri agar mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodasi kehendak
masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu
ide penegakan hukum progresif merupakan letupan dari situasi penegakan hukum
yang stagnan atau mengalami kemandekan.
Hukum Progresif tidak berusaha untuk mereduksi hukum hanya sekedar
peraturan-peraturan, tetapi suatu yang lebih besar dari itu yakni hukum diletakkan
dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan
oleh hukum progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah
satu bentuk kepastian hukum, namun harus ada upaya saling melengkapi dari masing-
masing kelemahan dan kelebihan baik dari pandangan dogmatik maupun non
dogmatik, tanpa melihat ada kecurigaan akan adanya intervensi satu dengan
lainnya.18
Pada level penegakan hukum, gagasan gerakan progresif terlihat pada
bagaimana seorang aktor penegak hukum progresif sensitif dalam menggunakan
diskresi dan/atau terobosan hukum (role breaking), baik jaksa, hakim, polisi, dan
pemerintah, patut menggunakan kewenangannya untuk melindungi kepentingan
masyarakat miskin dan marjinal.19
17
M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 114.
18
Diana E. Rondonuwu, Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi
Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum, Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014, h. 89.
19
Suteki, Masa Depan Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafa Media, 2015), h. vii.
23
Menurut Alkostar,20
potret penegakan hukum progresif yang pernah
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, antara lain merujuk kepada adanya figur
penegakan hukumnya. Lebih dari itu, penegak hukum progresif juga menuntut
adanya ideologi penegak hukum yang berorientasi nilai keadilan dan nilai kebenaran.
Sebagai contoh adalah putusan Hakim Davide di Filipina dalam kasus Oposa di
tingkat Mahkamah Agung pada 1993 yang memutuskan bahwa ada hak gugat bagi
generasi yang belum lahir untuk mengajukan gugatan atas dasar prinsip keadilan
antar generasi.
Dalam hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan,
akan tetapi pada kreativitas pelaku. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan
perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk tidak harus
menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan
bagi rakyat dan pencari keadilan, karena dapat melakukan interpretasi secara baru
setiap kali terhadap suatu peraturan.21
Pembaruan yang ditawarkan hukum progresif membutuhkan sebuah model atau
kerangka kerja yang dapat memandu mereka dalam menjalankan hukum progresif
tersebut. Tanpa panduan atau model yang jelas yang berfungsi sebagai platform,
kekuatan hukum progresif disatukan dalam satu komitmen. Tanpa kesatuan
komitmen, langkah pembaruan yang terarah sulit diwujudkan, bahkan tidak mustahil,
inisiatif individual seorang pelaku hukum dapat menjadi liar dan sewenang-wenang.
Untuk ini, ia mengajukan tiga pertimbangan pemikiran, yaitu: (i) hukum progresif
berusaha menolak keadaan status quo, manakala keadaan tersebut menimbulkan
dekadensi, suasana korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat; (ii) dalam
20
Alkostar adalah Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung. Ia merupakan Hakim Agung
yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya dalam banyak
kasus besar
21
M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 114.
24
hukum progresif melekat semangat perlawanan dan pemberontakan untuk mengakhiri
kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku (aktor) hukum; dan
(iii) kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/modell, akan dapat menyatukan
kekuatan hukum progresif pada suatu platform aksi, karena eksemplar selalu
menyediakan tiga perangkat lunak yang dibutuhkan sebuah gerakan.22
Berbagai hal dan kejadian yang bisa digolongkan ke dalam aksi-aksi yang
berkualitas hukum progresif antara lain putusan hakim yang melawan atmosfer
otoriter untuk menegakkan keadilan yang hakiki. Misalnya Putusan Hakim Bismar
Siregar, yang selalu dalam putusannya memikirkan keadilan di atas undang-undang.23
Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 yang diketuai oleh Mahfud MD
terkait pembolehan KTP dipakai untuk mencontreng dalam pemilihan umum yang
hendak ditunda pelaksanaanya. Para hakim dalam memutuskan putusan tersebut,
tidak mengikuti prosedur hukum formal. Mereka tergugah nasionalismenya dan
mempraktikkan cara berhukum yang progresif.24
Penelitian Bank Dunia (Menciptakan Peluang Keadilan Terobosan dalam
Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi di Tingkat Lokal, 2005) melaporkan
tentang jalannya hukum di tingkat lokal dan pelosok Indonesia yang penuh
kreatifitas. Jaksa, polisi, dan hakim kecil di pelosok atas prakarsa sendiri, melakukan
hal-hal di luar job description yang formal dan konvensional. Mereka berusaha
menjadi kan tugas mereka lebih efektif daripada hanya berhenti mengikuti petunjuk
formal. Penyelesaian perkara menjadi lebih cepat dan pendek meski tetap didasarkan
pada hukum yang sudah ada.
22
M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 114-115.
23
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 49.
24
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 82.
25
B. Maqashid al-Syariah
1. Konsep Dasar Maqashid al-Syariah
Secara etimologi, maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan
syariah. Maqashid, berarti kesengajaan atau tujuan yang merupakan jamak dari kata
maqshud yang berasal dari suku kata qashada yang berarti menghendaki atau
memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.
Syariah, secara bahasa berarti jalan menuju sumber air atau jalan menuju sumber
kehidupan. Adapun secara terminologi, maqashid al-syariah adalah tujuan-tujuan
syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya.25
Maqashid al-syariah
berkaitan erat dengan hikmah, ‘Illat, tujuan, niat, serta kemaslahatan.26
Semua hukum-hukum syara‟ mempunyai tujuan yang mendasar, yang bisa
disebut sebagai tujuan utama dan tujuan ikutannya. Seperti disyariatkannya nikah
yang tujuan utamanya adalah memperolah keturunan. Sedangkan tujuan ikutannya
adalah mencari ketenangan, tolong menolong dalam kebaikan dunia akhirat,
menikmati kenikmatan yang halal, melihat keindahan ciptaan Allah pada wanita,
menjaga diri dari hal yang dilarang dan lain-lain. Semua ini merupakan tujuan syara‟
dari diyariatkannya nikah. Tujuan-tujuan ini ada yang dijelaskan oleh teks atau
diisyaratkan, ada juga yang diketahui dengan dalil lain dan dengan cara penelitian
dari teks tersebut.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum
itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari
keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan
Hukum Islam. Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, seperti ungkapannya
25
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-„ilmiyah,
2004), h. 22
26
M. Arfan Mu‟ammar, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2012), h. 393.
26
dalam kitab al-Muwafaqat “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk
tegaknya (mewujudkan) kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.”27
Sebelum menjelaskan tentang maqashid al-syari’ah, Syathibi terlebih dahulu
menjelaskan tentang ta’lil al-syari’ah (illat disyariatkannya hukum). Ta’lil (adanya
illat hukum) ini, berlaku pada semua hukum secara terperinci.28
Menurutnya bahwa ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemashlahatan hamba
baik di dunia dan akhirat.
Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, maqasid al-syariah berarti nilai-nilai
dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-
hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia
syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.29
Maqashid al-
syariah sebagai konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai) dan sasaran syara’
yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur‟an dan Hadis. Tujuan akhirnya adalah
maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat.30
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, maqashid al-syariah adalah hal yang sangat
penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur‟an dan
Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi
adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh al-
Qur‟an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.31
27
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut, Ibrahim ibn Musa al-Maliki, t.t) Jilid
I, h. 3.
28
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan
Hukum, (Volume 6 Nomor 1, Juni 2014), h. 35.
29
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh
Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 225
30
Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif
Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 63.
31
M. Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 237.
27
Apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan maqashid al-
syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan
hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Metode istinbath, seperti
qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istihsab, merupakan metode-metode
pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al-syariah.32
Ulama
ushul fiqh sepakat akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan syariah.
Betapapun mereka berbeda dalam menguraikan maqashid al-syariah, semuanya
menuju satu muara, yakni terciptanya kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan.
2. Pembagian Maqashid al-Syariah
Sebagaimana yang telah dipaparkan di awal bahwa substansi pokok dari
maqashid al-syariah adalah maslahah. Maslahah secara bahasa berarti kemanfaatan,
kebaikan, kepentingan. Adapun secara terminologi yaitu memelihara dan
mewujudkan tujuan syara’ yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi
kelima hal tersebut, dikualifikasi sebagai maslahah.33
Ditinjau dari sisi cakupannya, para ulama ushul fiqh membagi maslahah
menjadi dua yakni:34
a) al-Maslahah al-‘Ammah (kemaslahatan umum) yaitu
kemaslahatan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Penjatuhan
hukuman mati terhadap teroris merupakan salah satu contoh al-maslahah al-‘ammah,
ia menjadi satu hukum baru yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Sebab
akibat dari perbuatan teroris dapat menimbulkan kemudharatan bagi banyak orang,
sehingga upaya pencegahan dengan penjatuhan hukuman mati akan berdampak pada
32
Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif
Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 67
33
Asmawi, Maslahah, Hukum Islam dan Hukum Negara, Jurnal Ahkam XI, No. 2, Juli 2011,
h. 142.
34
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syariah, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2015), h. 36.
28
kepentingan orang banyak pula. b) al-Maslahah al-Khossoh (kemaslahatan khusus),
yaitu maslahah yang berkenaan dengan orang-orang tertentu. Contoh, penetapan
keputusan fasakh oleh hakim terhadap seorang istri, karena suaminya dinyatakan
hilang. Hal yang berkaitan dengan al-maslahah al-khossoh, ini pada dasarnya jarang
terjadi. Pembagian ini menjadi bermakna ketika terjadi kontradiksi antara satu dengan
yang lain. Dalam hal ini Jumhur berpendapat bahwa kemaslahatan yang lebih umum
didahulukan atas kemaslahatan di bawahnya.
Kehujjahan suatu maslahah untuk dijadikan sebagai landasan hukum
bergantung pada‘illat hukum yang bermuara pada kepentingan kemaslahatan
manusia. Pada umumnya jumhur ulama lebih dahulu meninjaunya dari segi ada atau
tidaknya kesaksian syara‟ terhadapnya. Maslahah seperti ini dibagi menjadi tiga
yaitu: a) Mashlahah Muktabarah, yaitu kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh
syara'. Artinya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Kemashlahatan ini bersifat nyata serta dapat diukur dan
dinalar. Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan
landasan hukum. b) Mashlahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara'
karena bertentangan dengan ketentuan nash. Bentuk maslahah yang kedua ini tidak
dapat dijadikan hujjah atau landasan hukum. c) Mashlahah mursalah, yaitu
kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan ataupun
melarangnya.35
Abdul Wahab Khalaf menambahkan tiga syarat agar maslahah jenis ketiga di
atas dapat dijadikan hujjah yaitu: pertama, maslahahnya harus hakikat dan bukan
kemaslahatan yang berdasarkan dugaan (maslahah wahmiyyah). Artinya,
maslahahnya harus benar-benar bisa mewujudkan manfaat atau menolak mafsadat.
Kedua, maslahahnya harus bersifat ‘ammah (umum), artinya ia berupa kemaslahatan
umum bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Ketiga, hukum
yang akan dikeluarkan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-pinsip dasar hukum
35
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press. 2007), h. 131-132.
29
yang sudah ada. Misalnya, tidak sah (batal) menyamakan bagian warisan anatara laki-
laki dan perempuan dengan dasar maslahah karena hal ini jelas-jelas bertentangan
dengan nash.36
Sementara al-Syatibi membagi maslahah ini pada tiga bagian penting yaitu
dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (pelengkap).37
Pertama,
kebutuhan dharuriyat, yaitu tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga
kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan
umat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut al-Syatibi
ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa,
kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat
Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan
pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas.
Kedua, kebutuhan al-hajiyat, disebut juga kebutuhan sekunder. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia
akan mengalami kesulitan. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir,
hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja,
penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak
untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Ketiga, kebutuhan al-tahsiniyat, yaitu kebutuhan yang tidak mengancam
eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan
apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap seperti
kepatutan menurut adat-istiadat dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah
muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan
dengan kebutuhan tahsiniyat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid,
anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam
peperangan.
36
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press. 2007), h. 133.
37
Asmuni Mth, Studi Pemikiran al-Maqashid, (al-Mawarid edisi XIV, 2005), h. 167.
30
Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para
ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi,
semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya
kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah/Maqashid al-Khamsah)
dimaksud adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. (a)
Perlindungan terhadap agama (Hifdz ad-Din), memelihara agama merupakan tujuan
pertama hukum Islam. Ini karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan
agama menjadi komponen yang menjadi sikap hidup seorang muslim. Karena itulah,
hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.38
Islam menjaga hak dan kebebasan, kebebasan yang pertama adalah kebebasan
berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk agama berhak atas agama dan
madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau
madzhab tertentu.39
Syariat Islam (al-Qur‟an) menolak segala bentuk pemaksaan,
karena seseorang memeluk Islam, diberi petunjuk oleh Allah. Allah yang akan
membukakan dan menerangi mata hatinya, kemudian seseorang, kemudian seseorang
tersebut akan masuk Islam dengan bukti dan hujjah, Barangsiapa yang hatinya
dibutakan, pendengaran dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada
gunanya mereka masuk Islam dalam keadaan dipaksa.
(b) Perlindungan terhadap jiwa (Hifdz an-Nafs), memelihara atau melindungi
jiwa adalah tujuan yang kedua hukum Islam. Untuk tujuan ini, Islam melarang
penghilangan jiwa (pembunuhan) dan terhadap pelaku penghilangan jiwa tersebut,
diancam dengan hukuman qishas (pembalasan seimbang).40
Pada tanggal 9
Dzulhijjah tahun 10 H, Nabi Muhammad saw. menuju ke Padang Arafah, di sana
38
Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif
Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 72.
39
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 1.
40
Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif
Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 72.
31
beliau berkhutbah, yang intinya bahwa Islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak
empat belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia
secara komprehensif dan mendalam. Islam mengaturnya dengan segala macam
jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut. Islam membentuk
masyarakatnya di atas fondasi dan dasar yang menguatkan dan memperkukuh hak-
hak asasi manusia.41
Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan yang
diperhatikan Islam adalah hak hidup, maka tidak mengherankan bila jiwa manusia
sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak
menghadapkannya pada sumber-sumber kerusakan atau kehancuran.
(c) Perlindungan terhadap akal (Hifdz al-‘Aql), akal merupakan sumber hikmah
(pengetahuan), sinar, hidayah, cahaya mata hati, dan media kebahagiaan manusia di
dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah Allah disampaikan, dengannya pula
manusia berhak menjadi khalifah di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi
lebih sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.42
(d) Perlindungan
terhadap keturunan (Hifdz al-Nasb), perlindungan Islam terhadap keturunan yaitu
dengan mensyariatkan pernikahan dan mengharamkan zina. Hukum kekeluargaan dan
kewarisan adalah hukum-hukum yang secara khusus mengatur dan memelihara
kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. (e) Perlindungan terhadap harta benda
(Hifdz al-Mal), Manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan harta. Demikian
eratnya hubungan tersebut, sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu
dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Harta termasuk salah satu
hal penting dalam kehidupan manusia, sebab harta termasuk lima asas yang wajib
dilindungi (al-dharuriyat al-kulliyat al-khams) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.
41
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 21.
42
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah,…h.91.
32
BAB III
HUKUM PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI
A. Undang-Undang tentang Pemilu dan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009
1. Pencalegan Koruptor dalam Undang-undang Pemilu
Kedudukan konstitusional pemilu dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (2) UUD
1945 yang menegaskan "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah". Sebelum pengaturan mengenai pemilihan
umum ini diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana yang
berlaku saat ini, pengaturan mengenai pemilihan umum tersebar dalam beberapa
Undang-Undang. Undang-undang tersebut antara lain Undang-undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Seiring dengan adanya Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, uji materi
terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa pemisahan
penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden tidak konstitusional, sehingga pada Pemilu selanjutnya,
penyelenggaraan 2 (dua) Pemilu tersebut harus diserentakkan.1 Putusan tersebut
tentunya membawa konsekuensi terhadap berbagai aspek penyelenggaraan pemilu,
salah satunya adalah aspek yuridis. Penyempurnaan dan penyatuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 ke dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi salah satu
1Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Uji Materi Terhadap Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
33
upaya yang dipersiapkan sehingga pelaksanaan pemilu secara serentak mempunyai
pijakan hukum yang kuat dan merujuk pada konstitusi.2
Maksud dan tujuan menyatukan undang-undang tentang Pemilu dalam rangka
menyederhanakan dan menyelaraskan pengaturan pemilu dalam satu Undang-Undang
Pemilu, untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas. Hal ini juga bertujuan
untuk menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, mencegah duplikasi
pengaturan dan ketidakpastian hukum pengaturan pemilu serta menemukan masalah
pengaturan penyelenggaraan, sistem pemilihan, manajemen pemilu, dan penegakan
hukum dalam satu Undang-undang Pemilu.
Dalam pemilihan umum 2019, larangan pencalegan mantan narapidana
korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi isu yang
hangat diperbincangkan. Ada yang pro dengan kebijakan KPU terseebut, ada pula
yang kontra dan tak segan melakukan protes nyata terhadap kebijakan tersebut. Pada
dasarnya aturan mengenai batasan hak politik mantan narapidana sudah pernah diatur
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) huruf g dengan
bunyi rumusan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Namun undang-undang tersebut
dicabut melalui putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Undang-undang ini kemudian
diganti menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang kini diinterpretasi ke dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
2Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
h. 9.
34
2. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, MK berpendapat bahwa rumusan
“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan
Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 adalah inkonstitusional. Undang-undang
tersebut memuat norma yang menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan.3
Adanya aturan ini memungkinkan pemohon seumur hidup tidak akan pernah bisa
menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, sehingga secara expressis verbis telah
melanggar prinsip “persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” [Pasal 27
ayat (1) UUD 1945]; hak seseorang untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945]; hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum [Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]; dan hak setiap warga negara untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3) UUD
1945].
Norma hukum dalam undang-undang tersebut menjadi konstitusional apabila
memenuhi syarat antara lain, 1) Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang
dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan
hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2)
Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai
menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; 3) Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati
3Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materi terhadap UU Nomor 10
Tahun 2008 dan UU Nomor 12 Tahun 2008, h. 77-80.
35
dirinya sebagai mantan terpidana; 4) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-
ulang.4
B. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
1. Deskripsi Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu yang
memiliki kewenangan merumuskan aturan penyelenggaraan (electoral law) dan
sebagai pelaksana pemilu (electoral proces) mengeluarkan sebuah peraturan yang
selanjutnya akan menjadi acuan dalam pelaksanaan pemilu 2019. KPU sebagai
lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur formulasi peraturan
penyelenggaraan pemilu memiliki dasar yang secara filosofis berakar kuat kepada
semangat dan tujuan penyelenggaraan negara berdasarkan amanat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5 Peraturan KPU
yang selanjutnya disebut PKPU adalah sebuah peraturan yang jelas kedudukannya
dalam hierarki peraturan perundang-undangan. PKPU diakui dan memiliki kekuatan
hukum mengikat, sehingga memiliki konsekuensi atau akibat bagi setiap masyarakat
atau institusi yang terkait dengan PKPU.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 atau disebut PKPU
Nomor 20 tahun 2018 merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa “untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU
4Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materi terhadap UU Nomor 10
Tahun 2008 dan UU Nomor 12 Tahun 2008, h. 77-80.
5Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 (tercantum dalam jawaban Termohon (KPU), h. 39-51.
36
merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.”6 Peraturan ini mengatur
tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. PKPU
Nomor 20 Tahun 2018 terdiri dari tujuh bab dan empat puluh enam pasal yang di
dalamnya memuat ketentuan umum dalam penyelenggaraan pemilu, proses dan
persyaratan pengajuan bakal calon, dan segala ketentuan untuk dijadikan payung
hukum dalam penyelenggaraan pemilu 2019.7
Hadirnya PKPU di tengah pesta demokrasi yang kian dinanti, memberikan
nuansa baru dalam pemilu 2019. Aturan mengenai larangan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan terpidana korupsi untuk mencalonkan
diri dalam kontestasi pemilu legislatif menjadi isu yang hangat diperbincangkan di
tengah masyarakat. Ada pihak yang mendukung, ada pula yang menyayangkan
langkah KPU dalam menetapkan peraturan tersebut. Aturan larangan pencalegan
mantan narapidana yang tersebut di atas diatur dalam pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat
(1) huruf d, dan lampiran model B.3 Pakta Integritas PKPU No 20 Tahun 2018.
Tujuan pengaturan pemilu salah satunya mewujudkan penyelenggaraan
pemilu yang demokratis dan berintegritas termasuk membatasi dan memperketat
seleksi calon-calon yang akan duduk di parlemen. Menurut KPU kejahatan-kejahatan
yang disebutkan dalam PKPU tersebut, memiliki daya rusak yang luar biasa bagi
masyarakat sehingga berpeluang besar merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara.
Dengan demikian, pelaku-pelaku tindak pidana tersebut tidak sepatutnya diberikan
kesempatan yang luas untuk mewakili rakyat di parlemen. Hal inilah yang menjadi
dasar KPU menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
6Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, lembaran negara republik
indonesia tahun 2017 nomor 182, h. 55.
7Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.
37
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Sejalan dengan tujuan dan cita hukum bangsa dan Negara Indonesia dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KPU
memiliki semangat, kewajiban, dan tanggung jawab mewujudkan
penyelenggaraan negara yang kuat dan warga negara yang berdaulat. Syarat
utama mewujudkan hal tersebut tidak lain adalah dengan mewujudkan negara
bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme berpeluang besar dan telah merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara
sejak dulu sampai sekarang.
Peraturan KPU yang melarang mantan terpidana korupsi untuk menjadi
bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota didasarkan
secara yuridis pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)
dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf c
undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pengaturan penyelenggaraan
pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas. Langkah
konkret untuk mencapai tujuan yang terkandung dalam undang-undang tersebut
tentunya dengan mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih dan
bebas dari korupsi.8
2. Putusan Bawaslu
Dalam sistem demokrasi, pemilu adalah titik awal membangun
pemerintahan yang baik dan bersih, sehingga perlu dibuat aturan yang mengarah
ke sana. Dalam perjalanannya di awal, niat baik KPU mendapatkan respon yang
8Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 (tercantum dalam jawaban Termohon (KPU), h. 46.
38
positif dari setiap instrument penyelenggara dan peserta pemilu dengan
ditandatanganinya pakta integritas oleh Ketua Umum dan Sekjen setiap parpol.
Pakta Integritas yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (e) merupakan
komitmen dan perjanjian bersama yang dibuat oleh Bawaslu ketika melakukan
sosialisasi pengawasan kepada setiap partai politik. Hal ini dilakukan dalam
rangka mendorong calon serta proses pemilihan yang bersih dan berintegritas.9
Setiap partai politik sepakat tidak akan mencalonkan calon legislatif mantan
terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Artinya,
partai politik sebagai peserta pemilu legislatif, sejak awal sudah menyepakati niat
baik KPU dengan pakta integritas.
Faktanya, masih banyak partai yang kemudian mengusung mantan
terpidana korupsi sebagai calon perwakilannya, baik di tingkat daerah maupun
pusat. Namun dengan diundangkannya PKPU dalam lembaran Negara, secara
otomatis menjadi batu sandungan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat.
Bahkan yang lebih parah, partai secara kelembagaan dengan kuasa hukumnya
mengadvokasi caleg mantan terpidana korupsi untuk bersengketa dengan KPU.
Dengan kata lain, partai politik tersebut melanggar pakta integritas yang sudah
disepakati sejak awal.
Pada penyelenggaraan pemilu 2019 terdapat beberapa tugas dan
wewenang baru yang diamanatkan kepada Bawaslu, sebelumnya Bawaslu
berfungsi dan bertugas hanya sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu,
sedangkan pada pemilu 2019 tugas dan wewenang Bawaslu bertambah. Tugas
dan wewenang baru itu diatur di dalam Pasal 468 UU Pemilu, yang menyatakan
bahwa Bawaslu berwenang untuk menyelesaikan sengketa administrasi pemilu
dan sengketa proses pemilu. Dalam penyelesaian sengketa proses pemilu terdapat
dua tahapan, yaitu mediasi dan ajudikasi. Pada tahapan pertama yaitu mediasi,
9“Dorong Caleg Bersih, Bawaslu Sodorkan Pakta Integritas ke Partai-partai”,
https://bawaslu.go.id/en/berita/dorong-caleg-bersih-bawaslu-sodorkan-pakta-integritas-ke-partai-partai,
diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul 14.16.
39
Bawaslu akan mempertemukan pihak yang bersengketa. Apabila dalam mediasi
tidak temui kesepakatan antara para pihak atas apa yang diperkarakan maka
penyelesaian memasuki tahap siding ajudikasi.10
Sidang ajudikasi adalah produk hukum baru dalam alternatif penyelesaian
sengketa pemilu. Dalam prakteknya, melalui sidang ajudikasi Bawaslu telah
banyak mengeluarkan putusan-putusan yang bertentangan dan mengugurkan
putusan yang dikeluarkan oleh KPU. Salah satunya adalah Partai Bulan Bintang
(PBB) yang diloloskan oleh Bawaslu untuk bisa menjadi peserta pemilu 2019,
setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU.11
Dalam UU Pemilu, diatur
bahwa KPU harus menindaklanjuti putusan Bawaslu paling lama 3 (tiga) hari
setelah putusan dibacakan. Namun dalam beberapa kasus terdapat putusan
ajudikasi yang dikeluarkan Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU, seperti
yang terjadi pada caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta dari partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra), Mohammad Taufik dengan KPUD DKI Jakarta.
Taufik adalah mantan terpidana korupsi yang divonis 18 bulan penjara pada 27
april 2004 karena terjerat kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua KPUD DKI
Jakarta.12
Bedasarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, mantan koruptor tidak
diperkenankan untuk ikut serta dalam kontestasi pemilu legislatif. Dengan dasar
inilah, KPUD DKI Jakarta memutuskan untuk tidak meloloskan Mohammad
10
Ramlan Surbakti, Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada, (Jakarta: Kelompok Gramedia,
2016), h.6.
11
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 58/PL.01.1-
Kpt/03/KPU/II/2018 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota.
12
“Mantan Ketua KPU DKI Divonis 18 Bulan”,
https://www.liputan6.com/news/read/121884/mantan-ketua-kpu-dki-divonis-18-bulan, diakses pada
Kamis 11 April 2019, Pukul 00.28.
40
Taufik ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta.13
Taufik kemudian mengajukan permohonan sengketa ke Bawaslu. Setelah melalui
proses mediasi yang tidak menemui titik tengah, maka dilakukanlah sidang
ajudikasi. Melalui ajudikasi, Bawaslu menerima permohonan Pemohon dan
menggugurkan keputusan KPU yang menyatakan Taufik tidak memenuhi syarat
administrasi dan memerintahkan KPU untuk memasukkannya ke dalam DCT
Caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta.14
Tidak hanya itu, ketika dikonfirmasi salah satu media KPU menyebutkan
ada sekitar 38 mantan narapidana korupsi yang diloloskan oleh Bawaslu sebagai
bakal calon legislatif (bacaleg). Berdasarkan data KPU, sebanyak 12 bacaleg
mantan napi korupsi diloloskan Bawaslu di tingkat provinsi. Sisanya, 26 bacaleg
mantan napi korupsi diloloskan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota.15
Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, hanya ada 3 partai yang tidak
mengajukan satu pun bacaleg mantan napi korupsi. Berikut daftar bacaleg mantan
napi korupsi yang diloloskan Bawaslu berdasarkan partai: Partai Gerindra 6
orang; Partai Hanura 5 orang; Partai Berkarya 4 orang; Partai Amanat Nasional 4
orang; Partai Demokrat 4 orang; Partai Golkar: 4 orang; Partai Nasdem 2 orang;
Partai Garuda 2 orang; Partai Perindo 2 orang; Partai Nasdem 2 orang; Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia 2 orang; Partai Keadilan Sejahtera 1 orang;
Partai Bulan Bintang 1 orang; PDI Perjuangan 1 orang; dan hanya Partai
13
Pengumuman Nomor: 728/PL.01.4-Pu/Prov/VIII/2018, Daftar Calon Sementara (DCS)
DPRD Provinsi DKI Jakarta.
14
Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Nomor Register:
004/Reg.LG/DPRD/12.00/VIII/2018.
15
"38 Caleg Mantan Napi Korupsi Diloloskan Bawaslu, Berikut Daftarnya",
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/10093791/38-caleg-mantan-napi-korupsi-diloloskan-
bawaslu-berikut-daftarnya
41
Solidaritas Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan
yang tidak mencalonkan mantan koruptor.16
Pada masa pendaftaran bacaleg, ke-38 mantan napi korupsi itu dinyatakan
tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Sebab, KPU berpedoman pada Pasal 4
ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan
mantan koruptor menjadi calon wakil rakyat. Namun, para mantan koruptor
tersebut lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu
setempat. Hasil sengketa menyatakan seluruhnya memenuhi syarat (MS).
Bawaslu mengacu pada Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak
melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai caleg. Meski demikian, KPU
memilih untuk menunda pelaksanaan putusan Bawaslu. Penundaan dilakukan
hingga Mahkamah Agung (MA) memutuskan uji materi PKPU nomor 20 tahun
2018. Hal ini menyebabkan polemik berkepanjangan antara dua lembaga yang
memiliki objek kewenangan yang sama. Sejak awal penyusunan Daftar Calon
Sementara (DCS) pun, KPU tidak memasukkan nama-nama bacaleg mantan napi
korupsi lantaran tak memenuhi syarat. Sementara Bawaslu yang sejak awal
mensosialisasikan Pakta integritas seolah ikut menolak pemberlakuan PKPU
Nomor 20 dan membiarkan partai politik melanggar janjinya atas pakta integritas.
C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018
1. Deskripsi Putusan
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang telah mengabulkan permohonan uji
materil terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 834) dengan nomor putusan nomor 46 P/Hum/2018. Substansi
pokok dari putusan tersebut yakni pembatalan terhadap pasal-pasal yang diuji
16
"38 Caleg Mantan Napi Korupsi Diloloskan Bawaslu, Berikut Daftarnya",
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/10093791/38-caleg-mantan-napi-korupsi-diloloskan-
bawaslu-berikut-daftarnya
42
materilkan antara lain pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model
B.3 Pakta Integritas. Pasal-pasal tersebut, memuat ketentuan larangan mantan
terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif. Namun pemohon dalam perkara ini
merupakan mantan anggota DPRD yang pernah terjerat kasus korupsi dan tidak
terkait dengan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Oleh karena itu, ia hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa “mantan
terpidana korupsi”, sehingga putusan 46P/Hum/2018 merupakan putusan yang
memuat pembatalan peraturan larangan mantan terpidana korupsi untuk ikut serta
dalam kontestasi pemilu legislatif.
Putusan MA yang memuat pembatalan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018
menjadi titik tengah terhadap polemik antara KPU dan Bawaslu. Meski demikian,
putusan ini juga banyak menuai pro dan kontra berbagai pihak. Banyak yang
menyayangkan bahwa Mahkamah Agung memberikan ruang dan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para mantan koruptor untuk duduk kembali dalam parlemen.
2. Pertimbangan Hakim MA
a. Landasan Filosofis
Negara Indonesia adalah negara hukum yang tentunya menuntut adanya
kepastian hukum dalam penyelenggaraannya. Hal ini menjadi pertimbangan
filosofis Mahkamah Agung dalam memutus putusan terkait PKPU nomor 20
tahun 2018. Bahwa dalam penyelenggaraan negara hukum, terjadinya
inkonsistensi hukum dalam suatu peraturan sangatlah bertentangan dengan asas
kepastian. Adanya peraturan yang saling bertabrakan satu sama lain akan
menimbulkan kegaduhan dalam hukum itu sendiri.17
Hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan hak dasar di
bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar
17
Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 72.
43
Negara RI Tahun 1945. Pengakuan hak politik ini juga diakui dalam Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember
1966 sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
b. Landasan Yuridis
Menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan
Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, yang menyatakan: “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi
persyaratan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana”.18
Dari ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut tidak ada norma atau
aturan larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi sebagaimana
yang tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun
2018. Selain itu, Peraturan ini bertentangan pula dengan Pasal 12 huruf d Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menentukan, “peraturan di bawah undang-
undang berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
Komisi Pemilihan Umum telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan di atasnya. Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)
huruf d dan Lampiran Model B.3 PKPU ini tidak sejalan, berbenturan, dan tidak
18
Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 72.
44
memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.19
Penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas sebagaimana yang
menjadi semangat KPU merupakan sebuah keniscayaan bahwa pencalonan
anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki
rekam jejak cacat integritas. Namun pengaturan terhadap pembatasan hak politik
seorang warga negara harus dimuat dalam undang-undang, bukan diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang in casu Peraturan
Komisi Pemilihan Umum.
Pengaturan mengenai hak politik diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang
menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Pasal 73 Undang-Undang tersebut juga menentukan “hak
dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh
dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Dalam UU HAM di atas
sangat jelas diatur bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum dan kalaupun ada pembatasan
terhadap hak tersebut maka harus ditetapkan dengan undang-undang, atau
berdasarkan Putusan Hakim.
19
Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 73.
45
D. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 31 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
1. Deskripsi Peraturan
Peraturan KPU Nomor 31 merupakan peraturan yang dibentuk oleh KPU
untuk melaksanakan Putusan MA Nomor 46P/Hum/2018. Setelah melalui proses
uji materi di Mahkamah Agung, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang memuat
larangan pencalonan diri dalam pemilu legislatif sepanjang frasa mantan terpidana
korupsi dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Undang-undang tersebut yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian perlu dibuat
peraturan tentang perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Dengan hadirnya PKPU Nomor 31, bukan berarti substansi dari PKPU
Nomor 20 diubah seluruhnya. Hanya beberapa ketentuan yang diubah, antara lain
pada Pasal 4 ayat (3) yang semula rumusannya “Dalam seleksi bakal calon secara
demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan
mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
diubah menjadi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.” Dalam hal ini frasa mantan
terpidana korupsi dihapuskan.
Selanjutnya di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab yakni
Bab VIA Ketentuan Peralihan. Kemudian di antara Pasal 45 dan Pasal 46
disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B. Pada pasal ini, Bakal
calon yang merupakan mantan narapidana korupsi yang dinyatakan tidak
memenuhi syarat berdasarkan ketentuan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dinyatakan
memenuhi syarat. KPU memasukkan bakal calon tersebut ke dalam DCT dengan
46
beberapa ketentuan antara lain wajib menyampaikan surat pernyataan
sebagaimana tercantum dalam formulir Model BB.1 dengan melampirkan: a)
surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan bahwa
bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b) salinan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; c)surat dari pemimpin
redaksi media massa lokal atau nasional yang menerangkan bahwa bakal calon
telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan
terpidana; dan d) bukti pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media
massa lokal atau nasional.
2. Implementasi Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018
Keluarnya Putusan MA memberikan konsekuensi besar terhadap proses
penyelenggaraan pemilu 2019. KPU yang sempat menunda pelaksanaan putusan
Bawaslu atas berbagai sengketa para calon yang bermasalah, akhirnya harus turut
berdasarkan amanat Putusan MA. Bacaleg-bacaleg yang sebelumnya dinyatakan
tidak memenuhi syarat oleh KPU akhirnya diloloskan.20
Salah satu caleg yang paling disoroti adalah M. Taufik Caleg DPRD
Provinsi DKI Jakarta dari partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Taufik
adalah mantan terpidana korupsi yang divonis 18 bulan penjara pada 27 april
2004 karena terjerat kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua KPUD DKI
Jakarta. Sebelumnya ia dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU
berdasarkan Pengumuman Nomor: 728/PL.01.4-Pu/Prov/VIII/2018. Setelah
melalui proses pengajuan sengketa ke Bawaslu ia dinyatakan memenuhi
syarat melalui Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum
dengan Nomor Register: 004/Reg.LG/DPRD/12.00/VIII/2018. Hal tersebut
20
Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 Tentang tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20
Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 45 ayat
(1).
47
diperkuat dengan keluarnya Putusan MA yang mengabulkan permohonan
pembatalan PKPU Nomor 20 Tahun 2018. KPU kemudian melakukan
perubahan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018, hasil dari perubahan
tersebut yakni PKPU Nomor 31 Tahun 2018. Peraturan ini memuat
pernyataan bahwa caleg-caleg mantan terpidana korupsi yang sebelumnya
dinyatakan tidak memenuhi syarat, dinyatakan memenuhi syarat dengan
berbagai ketentuan dan kelengkapan berkas yang harus diajukan.21
Hal ini
terbukti dengan masuknya beberapa nama mantan koruptor ke dalam DCT
yang sebelumnya tidak ada dalam DCS.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa KPU melalui PKPU
Nomor 31 Tahun 2018 taat kepada Putusan Mahkamah Agung. Keengganan
KPU dalam menjalankan Putusan Bawaslu terpatahkan setelah adanya
Putusan MA Nomor 46P/Hum/2018. Dengan ini aturan mengenai larangan
bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif
tidak berlaku lagi. Mantan koruptor bisa menjadi caleg dan berhak
sepenuhnya untuk ikut serta pada pemilihan umum 2019.
21
Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 Tentang tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20
Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 45 ayat
(2).
48
BAB IV
PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI
A. Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi dalam Tinjauan Hukum Progresif
Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.1 Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar, hukum adalah untuk manusia
dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri
manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Dengan demikian
untuk mengetahui progresif tidaknya suatu hukum, maka hukum tersebut perlu
ditinjau dari aspek keadilan, kesejahteraan dan kemanfaatannya.
1. Keadilan Hukum dalam Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi
Hukum dibuat dalam rangka menjalankan pemerintahan negara, sedangkan
tujuan membentuk pemerintahan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Uraian ini bisa
diartikan sebagai tujuan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Roh hukum adalah moral dan keadilan.2 Tanpa hukum yang mampu menanggapi
keadilan masyarakat (hukum responsif) maka hukum itu sendiri telah kehilangan
rohnya. Untuk itulah diperlukan suatu kesadaran bagi para penegak hukum.
Sistem politik dan suasana politik sangat berpengaruh dalam proses
penegakan hukum. Sistem politik yang baik dengan dibarengi suasana politik yang
kondusif akan memudahkan dalam penegakan hukum, begitupun sebaliknya jika
sistem dan suasana politik carut marut akan sangat menghambat terhadap penegakan
1Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal
Pembaharuan Hukum, (Volume I No. 3 September – Desember 2014), h. 279.
2M. Husni, Moral dan Keadilan sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Progresif, Jurnal
Hukum Equality, (Vol. 11, Nomor 1, Februari 2006), h. 3.
49
hukum. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang baik perlu tatanan dan praktek
politik yang baik juga. Terutama hukum harus mampu merespon dinamika
perkembangan berpikir masyarakat sehingga hukum tidak berjalan di tempat. Hukum
yang responsif tidak hanya berdasarkan secara hukum formal, dimana hukum
diberlakukan hanya berdasarkan aturan-aturan dan hanya diberlakukan sebagai
penjaga dari setiap pelanggaran atau diformat untuk mencegah setiap pelanggaran.
Dalam hal ini hukum harus lebih progresif yaitu hukum harus dilihat dari sisi
keadilan masyarakat, Sehingga ketika hukum ditegakkan maka rasa keadilan akan
benar-benar dirasakan oleh masyarakat.3
Penyelenggaraan pemilu yang adil dan berintegritas merupakan satu langkah
awal atau sebuah keniscayaan terciptanya sistem politik yang baik. Termasuk di
dalamnya menyeleksi dengan ketat bakal calon yang hendak dipilih oleh masyarakat
untuk mengemban amanah pemerintahan. Pencalonan anggota eksekutif maupun
legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki rekam jejak
cacat integritas. Hal ini penting untuk dapat menyeleksi calon wakil rakyat yang
memang layak dipilih untuk amanah rakyat dalam pemerintahan. Tidak semestinya
hukum memberikan ruang dan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada para
mantan narapidana, ketika masih banyak sosok yang bersih dan bebas dari rekam
jejak pidana seperti korupsi.
Catatan-catatan buruk kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pada
tahun 2017, setidaknya terdapat dua puluh dari seratus dua perkara korupsi yang
melibatkan pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah yang pelakunya adalah
para anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, telah nyata bahwa praktik-praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme telah berakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat
3Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal
Pembaharuan Hukum (Volume I No. 3 September – Desember 2014), h.270.
50
Indonesia khususnya di kalangan pejabat tidak terkecuali anggota legislatif yang tak
lain merupakan lembaga representatif dari rakyat.4
Menurut Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Korupsi
(KPK) periode 2011 s.d. 2015, korupsi memiliki kecenderungan pola yang berulang
dan bahkan bermetamorfosa. Dari data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch
(ICW), fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam
perkara korupsi lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman
beberapa kali terjadi dan tercatat.5 Contoh, Aidil Fitri/Ketua KONI Samarinda, di
Jawa Timur oleh Mochammad Basuki/Ketua DPRD Jawa Timur, dan di Hulu Sungai
Tengah oleh Abdul Latif/Bupati. Oleh karenanya melakukan langkah antisipasi
secara tegas dengan melakukan upaya pencegahan melalui Peraturan KPU menjadi
sangat beralasan secara sosial dan bahkan amat penting bagi penyelenggaraan negara
ke depan.
Bagaimanapun, pelaku-pelaku korupsi tidak dapat lagi ditolerir untuk masuk
kembali duduk dan memegang kewenangan dalam lembaga negara dan pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah. Negara dengan demikian menanggung risiko terlalu
tinggi jika tidak ada upaya pencegahan sedari awal dan masih memberi kesempatan
kepada perbuatan korupsi melalui para pelakunya yang berperan dalam lembaga
negara dan pemerintahan. Selain berupaya untuk mencegah koruptor kembali lagi
dalam penyelenggaraan negara, diharapkan ada efek jera sebagai upaya mencegah
para anggota legislatif yang terpilih untuk melakukan praktik KKN pada masa
mendatang, perbuatannya tersebut ke depan akan sangat berpengaruh kepada karier
politiknya.
Menurut Satjipto Rahardjo, Dalam mengatasi Korupsi diperlukan terobosan
dengan mengacu kepada teori hukum klasik. Kesulitan dan kerumitan pemberantasan
4Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 (tercantum dalam jawaban Termohon (KPU), h. 39-51.
5KPU Harus Jalan Terus Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg,
https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jalan-terus-larang-mantan-napi-korupsi-nyaleg,
diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul 23.54.
51
korupsi adalah akibat dari semangat tinggi untuk memberantas namun kaki dan
tangan terikat oleh peraturan dan prosedur hukum, oleh sistem dan doktrin serta
kultur tertentu. Dalam hal ini pekerjaan hukum tidak hanya melakukan rule making
(membuat dan menjalankan), tetapi sesekali dalam keadaan tertentu, juga melakukan
rule breaking (terobosan). Contoh tentang “pintu-pintu darurat” ini adalah di mana
hukum melakukan terobosan terhadap peraturan, doktrin, dan lain-lain yang
dibuatnya sendiri.6
Berkualitas atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi
oleh sumber daya manusianya (casu quo) dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan pemerintah. Seperti hal sudah sangat umum diketahui masyarakat luas,
kualitas anggota DPR masih sangat rendah, juga masih mental korup. Pemberitaan
mengenai korupsi dan suap yang dilakukan DPR dan DPRD seakan tidak pernah
surut. DPR adalah pejabat publik di Indonesia yang seyogyanya mengabdikan dirinya
untuk kepentingan umum, masyarakat agar sejahtera, adil dan makmur sebagaimana
diamanatkan oleh pembukaan dan batang tubuh uud 1945. Jika orang memperoleh
kepercayaan dari masyarakat maka ia harus menganggap dirinya milik masyarakat.7
Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai
distorsi terhadap kehidupan sehingga tercipta kultur birokrasi penegakan hukum yang
korup, lemahnya legal substance, legal structure dan legal culture. Upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dikatakan tidak signifikan jika melihat fakta
yang terus terkuak. Bahkan wacana pemberlakuan hukuman mati yang telah
dituangkan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tidak menjadi solusi nyata
karena sampai saat ini belum ada majelis hakim yang berani untuk menerapkan
hukuman tersebut. Hukuman penjara ataupun denda yang dikenakan kepada mereka
juga tidak memberikan efek jera, justru hukuman bagi para koruptor lebih ringan
6Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2010), h. 140.
7Yohanes Suhardin, Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal
Hukum Pro Justitia, (Volume 25 No. 3, Juli 2007), h. 278.
52
dibandingkan dengan pencuri sandal jebit yang berasal dari rakyat kecil. Oleh
karenanya, perlu adanya upaya mengembangkan prinsip reward and punishment. Hal
ini dipandang penting karena perlakuan yang sama terhadap mereka yang berprestasi
dan inovatif dengan yang tidak adalah sangat menyakitkan dan menyurutkan
semangat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih.
Adanya pembatasan hak politik terhadap mantan narapidana korupsi akan
sangat berdampak pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga akan
menjadikan hukum semakin progresif dalam mewujudkan keadilan dan kepentingan
masyarakat. Secara sadar pencabutan hak politik ini akan memberikan efek jera bagi
pelaku dan shock therapy bagi masyarakat luas untuk tidak ikut terjerat dalam kasus
yang sama. Selain itu, tindak pidana korupsi merupakan jenis tindak pidana yang
bersifat extra ordinary crime sehingga penegakannya juga bersifat luar biasa (extra
ordinary enforcement). Apabila hukuman mati enggan untuk diterapkan, maka
pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan implementasi penerapan pidana yang
bersifat extra ordinary enforcement.8 Sudah sepatutnya mereka yang banyak
menimbulkan kekacauan diberikan batasan hak untuk duduk kembali dalam amanah
yang pernah dihianatinya.
Menurut penulis bolehnya mantan terpidana korupsi untuk mengisi lembaga
parlemen yang notabene merupakan tonggak utama pembentukan undang-undang
merupakan satu langkah yang tidak progresif. Jika berbicara mengenai keadilan
dalam perspektif hak asasi manusia, bahwa setiap orang berhak untuk ikut serta
dalam pemerintahan serta hak berpolitik dijamin oleh hukum, namun yang harus
menjadi pertimbangan utama adalah keadilan masyarakat banyak. Keadilan hak
berpolitik yang hendak dibangun justru menyisakan ketidakadilan terhadap
masyarakat luas yang direnggut hak sosial dan hak ekonominya. Penyesuaian
kepentingan terhadap kepentingan masyarakat harus lebih diutamakan daripada hak
8Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia (Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014), Jurnal
Yudisial (Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 37.
53
individu. Pembolehan mantan koruptor untuk menjadi calon legislatif, berarti
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para koruptor untuk kembali
duduk dalam pemerintahan. Hal ini akan menimbulkan ketidakjeraan para pelaku dan
merasa lebih leluasa untuk melakukan korupsi secara terus menerus. Seperti yang
telah disampaikan di atas tindak pidana korupsi banyak mengalami residivis atau
perbuatan yang berulang pada pelaku yang sama. Di samping itu, pandangan
masyarakat luas kepada penanganan korupsi juga menjadi biasa saja sehingga tidak
ada shock therapy yang ditimbulkan.
Menurut Satjipto Rahardjo kekuasaan yang diharapkan dapat menjadi
perlengkapan dan unsur utama dalam negara adalah “kekuasaan yang baik”
(benevolent). Kurang lebih lebih ciri-ciri dari kekuasaan yang demikian itu adalah, (1)
kekuasaan yang berwatak mengabdi kepada kepentingan umum, (2) kekuasaan yang
melihat kepada lapisan masyarakat yang susah, (3) kekuasaan yang selalu
memikirkan kepentingan publik, (4) kekuasaan yang kosong dari kepentingan
subjektif, (5) kekuasaan yang mengasihi.9
Dalam segala aspek, pemerintah atau para aktor politik yang menjalankan
kekuasaan baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus memenuhi
kriteria sebagaimana disebutkan di atas. Mereka harus bisa melihat dan merasakan
lapisan masyarakatnya, mengabdi pada kepentingan umum dan berorientasi pada
keadilan serta kesejahteraan masyarakat.
2. Kesejahteraan Hukum
Selain mengupayakan keadilan bagi masyarakat, pada dasarnya cita-cita yang
paling mendasar setiap negara adalah kesejahteraan. Kesejahteraan diartikan sebagai
tercapainya keadilan dalam tiga dimensi, yakni keadilan sosial, keadilan ekonomi,
dan demokrasi serta governance (pemerintahan). Dimensi keadilan sosial mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan keadilan dan pemerataan proses distribusi pemenuhan
9Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 158.
54
hak-hak dasar manusia, seperti akses untuk berobat, akses kepada listrik, pendidikan,
penghidupan yang layak, dan sebagainya. Dimensi keadilan ekonomi mencakup
standar keadilan rakyat dalam mendapatkan akses dan asset terhadap sumber daya
ekonomi seperti kepemilikan rumah sendiri, rasio penduduk yang yang bekerja, rasio
biaya pendidikan, dan biaya penghidupan yang lain. Dimensi demokrasi dan
pemerintahan mencakup keterjaminan rakyat berpartisipasi dalam keseluruhan proses
demokrasi.10
Keterjaminan ini tergambarkan dalam hak akses informasi, rasa aman,
termasuk hak rakyat untuk dapat memilih pemimpin yang layak melalui pemilu yang
bersih.
Dari sedikit penjelasan tersebut, dapat dimengerti bahwa kesejahteraan
merupakan suatu kondisi di mana kebutuhan ekonomi terpenuhi, keadilan sosial
tercapai, dan keamanan jiwa terjamin. Pada hakikatnya para koruptor adalah salah
satu faktor yang menyebabkan negara Indonesia semakin jauh dari kemajuan dan
kesejahteraan. Mereka banyak merenggut hak rakyat, sehingga menimbulkan daya
rusak bagi sendi-sendi penyelenggaraan negara. Apabila ditinjau dari kacamata
hukum progresif sebagaimana orientasinya adalah kesejahteraan rakyat, pembolehan
mantan narapidana korupsi akan semakin menjauhkan hukum dari keprogresifan atau
kemajuan hukum itu sendiri.
Masih tingginya angka kejahatan korupsi yang dilakukan oleh hampir semua
instansi di Indonesia merupakan faktor penghambat tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Pemerintah sejauh ini dinilai belum berhasil menyelamatkan ratusan
bahkan milyaran rupiah uang negara yang dikorupsi pejabat negara. Penanganan
korupsi masih bersifat tebang pilih, terutama terhadap perkara-perkara korupsi yang
mencapai ratusan bahkan milyaran rupiah. Koruptor yang berhasil digiring ke
pengadilan dan kemudian dipenjara kebanyakan koruptor kelas teri. Dengan demikian
eksistensi peraturan perundang-undangan yang mewadahi upaya pemberantasan
korupsi harus terus diperjuangkan. Sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo,
10
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Ikrar, Indeks
Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Kemenkokesra), h. 25.
55
“bangsa ini telah menobatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, karena itu adalah
logis ia harus dihadapi dengan cara-cara luar biasa pula.11
Hal itu juga berarti undang-
undang korupsi belum mampu menciptakan peluang dan kesempatan terwujudnya
kesejahteraan masyarakat.
Jika uang yang dikorup itu untuk biaya pendidikan masyarakat, maka
pendidikan di Indonesia sudah gratis. Jika uang yang dikorup digunakan untuk
pelayanan kesehatan dan pelayanan masyarakat lainnya maka masyarakat akan lebih
sejahtera. Para koruptor itu sudah dipercaya atau diberi amanah politik dan harus
menjaga kekayaan negara namun justru dihambur-hamburkan atas dasar
kerakusannya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi sangatlah bertentangan dengan
hak asasi manusia dan keadilan masyarakat, yang berimbas pada tidak terwujudnya
cita-cita negara yakni kesejahteraan.
Dalam rangka terwujudnya kesejahteraan masyarakat, maka posisi pemerintah
sebagai pengayom dan pengemban kesejahteraan sangat diharapkan. Seorang
penguasa mempunyai kewajiban mensejahterakan masyarakatnya, bukan
menyengsarakan mereka. Begitu pun dengan anggota legislatif sebagai tonggak
pembuat undang-undang, sudah sepatutnya mereka berasal dari orang-orang yang
bersih bukan yang cacat integritas. Maka penting untuk menyeleksi dengan ketat
bakal calon yang akan ikut dalam kontestasi pemilihan legislatif mengingat sistem
demokrasi di Indonesia tidak mutlak melahirkan orang-orang bersih, masih banyak
masyarakat yang memilih karena uang (Money Politic). Dengan demikian, KPU
beserta lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu harus lebih aktif
untuk menyuarakan pelaksanaan pemilu yang bersih dengan diikuti oleh orang-orang
yang berintegritas pula.
11
Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia (Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014), (Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 37.
56
3. Kemanfaatan dan Kebahagiaan
Inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang
membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum karena pada akhirnya hukum
itu bukan teks hukum melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.12
Hukum harus memberikan manfaat kepada seluruh manusia. Yang dimaksud dengan
manfaat dalam hal ini adalah menghindarkan keburukan dan mendapatkan kebaikan.
Tujuan hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya pada
jumlah yang sebanyak-banyaknya. Sama halnya dengan tujuan mendirikan negara
yakni kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari seluruh rakyat bukan kebahagiaan
sebagian golongan. Menurut Plato untuk menciptakan ketentraman dan kesejahteraan
di sebuah negara, hendaklah keadilan yang memerintah di negara tersebut.13
Hal ini
berarti bahwa dalam menetapkan suatu kebijakan hukum, yang menjadi orientasi
utama dan prioritas adalah kepentingan masyarakat banyak.
Norma hukum pada dasarnya bersumber pada kenyataan dan nilai-nilai dalam
masyarakat, bukan kehendak penguasa atau apa yang tertuang dalam undang-undang
semata. Dalam filsafat hukum, aliran ini disebut aliran Sosiological Jurisprudence.
Dibandingkan dengan konsep hukum yang lain, hukum progresif memiliki
keunggulan, namun demikian pada saat yang bersamaan hukum progresif bukanlah
konsep yang berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dari eksplanasi terhadap persoalan
hukum yang tidak bisa melepaskan diri dari kebersinggungannya dengan konsep
hukum yang lain, seperti:14
Pertama, teori hukum responsif ide atau responsive law dari Nonet & Selznick
yang menghendaki agar hukum senantiasa diposisikan sebagai fasilitator yang
merespons kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat, dengan karakternya yang
12
Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal
Pembaharuan Hukum (Volume I No. 3 September – Desember 2014), h.278.
13
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2001), h.
131. 14
Dey Ravena, Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 September 2010), h. 158.
57
menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada
keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih daripada itu mengedepankan
pada substancial justice.
Kedua, teori hukum realis atau legal realism (Oliver Wendell Holmes)
terkenal dengan kredonya bahwa, “Bahwa kehidupan pada dasarnya bukan logika,
melainkan pengalaman (“The life of the law has not been logic: it has been
experience”). Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapi
experience, maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan
dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang
timbul dari bekerjanya hukum. Dalam legal realism, pemahaman terhadap hukum
tidak hanya terbatas pada teks atau dokumen-dokumen hukum,tetapi melampaui teks
dan dokumen hukum tersebut. Bentham memaknai kegunaan atau kemanfaatan (ulity)
sebagai sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat mendatangkan manfaat, keuntungan,
kesenangan, dan kebahagiaan, atau sesuatu yang dapat mencegah terjadinya
kerusakan, kedaksenangan, kejahatan, atau kedakbahagiaan. Nilai kemanfaatan ini
ada pada ngkat individu yang menghasilkan kebahagiaan individual (happiness of
individual) maupun masyarakat (happiness of community).15
Bagi Bentham, moralitas
suatu perbuatan ditentukan dengan mempermbangkan kegunaannya untuk mencapai
kebahagiaan segenap manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana
dianut oleh hedonisme klasik. Inilah yang kemudian melahirkan dalil klasik Bentham
mengenai kebahagiaan: the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan
terbesar untuk mayoritas).
Dengan demikian menurut penulis yang ditekankan bukanlah adil atau
tidaknya suatu hukum, melainkan sampai sejauh mana hukum dapat memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Jika ditinjau dari aspek kemanfaatan atau
kebahagiaan yang ditimbulkan maka hukum bolehnya mantan terpidana korupsi turut
serta dalam pemilihan umum tidak bersifat progresif.
15
A Latipulhayat, Khazanah: Jeremy Bentham, Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran, (Volume 2
Nomor 2 Tahun 2015), h. 416.
58
B. Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi dalam Tinjauan Maqashid al-Syariah
Dalam pembahasan teori maqashid al-syariah pada bab sebelumnya, telah
disebutkan bahwa tujuan utama syariah adalah kebermanfaatan/kemaslahatan dan
mencegah serta menghilangkan sesuatu yang membawa mudarat/kerusakan. Ijtihad,
ijma’, qiyas, qath’i dan zanni, konsep ketaatan, perintah, larangan, dan sebagainya,
harus berpihak pada konteks sosial dan bertujuan untuk kemashlahatan umat. Salah
satu prinsip pokok yang hendak diwujudkan dengan pensyariatan hukum Islam
tersebut adalah pemeliharaan harta dari pemindahan harta hak milik yang tidak
sejalan dengan hukum dan dari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak
Allah. Korupsi merupakan salah satu pemindahan sekaligus pemanfaatan harta milik
yang tidak sejalan dengan prinsip pokok dimaksud. Dalam perspektif maqashid al-
syariah, korupsi merupakan pelanggaran terhadap perlindungan harta, sehingga
pembolehan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu
legislatif kurang relevan dengan visi perlindungan terhadap harta dalam maqashid al-
syariah. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana hukum pencalegan koruptor
perspektif maqashid al-syariah maka perlu dibahas dalam beberapa poin penting dari
maqashid al-syariah sebagai dasar tujuan Hukum Islam sebagai berikut:
1. Ditinjau dari Tingkat Kehujjahannya
Kehujjahan suatu maslahah untuk dijadikan sebagai landasan hukum
bergantung pada„illat hukum yang bermuara pada kepentingan kemaslahatan
manusia. Pada umumnya jumhur ulama lebih dahulu meninjaunya dari segi ada atau
tidaknya kesaksian syara‟ terhadapnya. Maslahah seperti ini dibagi menjadi tiga
yaitu:16
a) Mashlahah Muktabarah, yaitu kemaslahatan yang mendapat dukungan
oleh syara'. Artinya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Kemashlahatan ini bersifat nyata serta dapat diukur dan
dinalar. Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan
landasan hukum. b) Mashlahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara'
16
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2007) h. 131-132.
59
karena bertentangan dengan ketentuan nash. Bentuk maslahah yang kedua ini tidak
dapat dijadikan hujjah atau landasan hukum. c) Mashlahah mursalah, yaitu
kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan ataupun
melarangnya.
Hukum pembolehan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri
dalam pemilihan legislatif merupakan satu kebijakan yang tidak diatur secara
eksplisit dalam hukum Islam. Tidak ada dalil yang secara tekstual mengatur terkait
peraturan tersebut. Jika ditinjau dari pertimbangan-pertimbangan hukum MA dalam
memutus kebijakan pembolehan tersebut maka akan terlihat substansi persamaan hak
di dalamnya. Pada dasarnya, dalam hukum Islam juga diatur mengenai persamaan
hak di hadapan hukum dan ini menjadi salah satu landasan dasar bahwa setiap orang
berhak untuk turut serta dalam pemerintahan. Prinsip persamaan ini diakui sebagai
salah satu asas penting disamping keadilan, kemanfaatan, kebebasan dan asas-asas
lainnya.
2. Ditinjau dari Tingkat Kebutuhannya
Al-Syatibi membagi maslahah pada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat
(primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (pelengkap).17
Pertama, kebutuhan
dharuriyat, yaitu tingkat kebutuhan yang harus ada, apabila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi maka keselamatan umat manusia akan terancam, baik di dunia
maupun di akhirat. Kedua, Kebutuhan al-hajiyat, disebut juga kebutuhan sekunder.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam
namun ia akan mengalami kesulitan. Ketiga, Kebutuhan al-tahsiniyat, yaitu
kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan
tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Dalam hal hukum
pembolehan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif, ia berada
pada tingkat kebutuhan al-hajiyat yakni apabila kebijakan tersebut tidak ada maka
keselamatan manusia tidak sampai terancam namun ia akan mengalami kesulitan.
17
Asmuni Mth, Studi Pemikiran al-Maqashid, (al-Mawarid edisi XIV, 2005), h. 167.
60
Menurut al-Syatibi maslahah hajiyat yaitu kebutuhan manusia dalam
memperoleh kelapangan hidup dan menghindarkan diri dari kesulitan (musyaqqat).18
Ketiadaan aspek hajiyat tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia
menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesusahan saja.
Jika kebijakan yang membolehkan mantan narapidana korupsi untuk turut dalam
kontestasi pemilu legisatif diabaikan, maka hal tersebut dinilai membatasi hak politik
seseorang sehingga dinilai menciderai keadilan dan persamaan hak di hadapan
hukum.
3. Ditinjau dari Cakupannya
Ditinjau dari sisi cakupannya, para ulama ushul fiqh membagi maslahah
menjadi dua yakni: a) al-Maslahah al-‘Ammah (kemaslahatan umum) yaitu
kemaslahatan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. b) al-Maslahah
al-Khossoh (kemaslahatan khusus), yaitu maslahah yang berkenaan dengan
orang-orang tertentu. Pembolehan mantan narapidana korupsi yang berdasar pada
asas persamaan jika ditinjau dari cakupan kemaslahatannya, ia merupakan al-
maslahah al-khossoh atau kemaslahatan khusus yang berlaku bagi para koruptor.
Dalam hal ini Jumhur berpendapat bahwa kemaslahatan yang lebih umum
didahulukan atas kemaslahatan di bawahnya.
Sekiranya terdapat dua hal sekaligus manfaat dan mudharat, maka menolak
kemungkaran harus didahulukan. Sebagaimana kaedah fiqh menyebutkan:
“Menolak kemungkaran harus diprioritaskan ketimbang dibanding menarik manfaat”.
Penggolongan hukum bolehnya mantan koruptor menjadi caleg jika ditinjau
dari tingkat kebutuhannya adalah al-hajiyat akan tetapi berdasarkan cakupannya
hanya bersifat kepentingan khusus (al-maslahah al-khossoh) yakni berorientasi pada
18
Muhammad Mawardi Djalaluddin, Pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi dalam Kitab al-
Muwafaqat, Jurnal al-Daulah, (Vol. 4, Nomor 2, Desember 2015), h. 297.
61
kemaslahatan para koruptor yang direnggut hak politiknya. Sementara yang perlu
digarisbawahi adalah hak masyarakat luas yang direnggut hak sosial dan hak
ekonominya sehingga semakin menjauhkan mereka dari keadilan dan kesejahteraan
sebagaimana yang menjadi inti pokok dari tujuan hukum itu sendiri. Dengan
demikian pembolehan narapidana korupsi dalam mencalonkan diri menjadi anggota
legislatif merupakan satu bentuk kebijakan yang tidak maslahah.
Dalam menyelesaikan masalah kontemporer seperti yang telah diuraikan di
atas, kembali pada makna yang harfiah teks adalah sesuatu yang tidak mungkin
menyelesaikan masalah bahkan menjadi masalah tersendiri, yakni terelienasinya
ajaran Islam dalam dinamika kehidupan yang terus berkembang. Hal ini berimplikasi
pada runtuhnya kemuliaan Islam sebagai agama yang sesuai dengan segala tempat
dan masa. Satu-satunya solusi yang tepat adalah menangkap prinsip-prinsip dasar,
makna-makna universal, dan tujuan-tujuan yang terkandung di dadalmnya untuk
kemudian diterapkan dalam wajah baru yang sesuai dengan semangat merealisasikan
kemaslahatan umum. Inilah yang dinamakan dengan maqashid-based ijtihad.19
Keadilan selalu dijadikan sebuah nilai ideal dalam pembuatan maupun
pelaksanaan hukum. Nilai keadilan hukum menjadi salah satu hal yang mendasari
pemikiran maqashid al-syariah. Keadilan sangatlah penting, ia menjadi prinsip
utama tujuan negara dan merupakan pilar utama untuk mencapai kejahteraan
masyarakat. Dalam hal ini, tugas penyelenggara negara lah yang mengemban tugas
untuk mewujudkan keadilan itu.
Pemerintah maupun lembaga legislatif merupakan orang atau institusi yang
diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilih nan yang jujur dan
adil, untuk melaksanakan dan menegakkan hukum. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat, demikian juga kepada Allah SWT.
Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat
19
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syariah, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2015), hlm 387.
62
dipercaya, jujur dan adil.20
Pemerintah harus mendukung setiap upaya untuk
kemajuan dan kepentingan masyarakatnya.
Setiap orang harus bekerja secara adil dan tidak boleh memakan harta orang
lain secara batil. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin terciptanya keadilan di
masyarakat luas, sehingga sistem ekonomi yang adil dapat tercipta dan kemiskinan
dapat diminimalisir. Selain perannya sebagai pengawas, pemerintah juga
berkewajiban mengurus kaum fakir miskin yang ada di negaranya. Umar bin Khattab
pernah berkata bahwa semua warga berhak atas harta negara. Tidak ada perbedaan
antara pemimpin maupun rakyat biasa.21
Korupsi merupakan satu perbuatan yang merugikan negara serta menjadi
boomerang gagalnya cita hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
bagi masyarakat, sehingga diperlukan upaya nyata untuk dapat memberantas
tindak pidana yang satu ini. Secara prinsip dan praktik, hukuman bagi para pelaku
tindak pidana korupsi di Indonesia masih kurang signifikan, mengingat semakin
maraknya kasus korupsi di Indonesia. Seolah telah mengakar dalam budaya hidup,
perilaku, dan cara berpikir masyarakat, tindak pidana yang satu ini berhasil
menjangkiti birokrasi dari atas hingga yang paling bawah. Hampir seluruh
lembaga negara baik itu lembaga perwakilan rakyat, lembaga militer, lembaga
eksekutif dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah, lembaga yudikatif,
bidang pendidikan, bidang keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha,
perbankan, bahkan lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memberantas dan
menyelesaikan permasalahan yang kian terjadi pun tak tanggung-tanggung ikut
terjerat.
Mengacu kepada teori maslahah sebagai manifestasi dari penerapan maqashid
al-syariah, maka langkah progresif untuk memberikan batasan berpolitik di parlemen
20
Zainal Arifin dan Muannif Ridwan, HAM dalam Piagam Madinah, (Jakarta: LP2-AB,
2018), h. 140.
21
Satria Hibatal Azizy, Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam,
(Ponorogo: CIOS, 2015), h. 45.
63
bagi para mantan koruptor merupakan upaya nyata pemberantasan korupsi. Maslahah
berimplikasi pada tercapainya kesejahteraan manusia yang terwujud dalam kemajuan
masyarakat. Kesejahteraan termanifestasikan dari kemanfaatan yang didapatkan serta
kerusakan yang dihilangkan.22
Pencabutan hak politik koruptor akan memberikan
dampak yang besar kepada rakyat secara luas. Selain itu, diharapkan dengan
peraturan tersebut mampu menjadi jembatan terselenggaranya pemilihan umum yang
bersih, sehingga dengan pemilihan yang bersih akan melahirkan pemimpin serta
wakil-wakil rakyat yang bersih dan pada akhirnya akan tercipta pemerintahan yang
bersih pula. Pencabutan hak politik koruptor sebagai upaya pengembalian hak
masyarakat untuk dapat menikmati fasilitas negara secara adil, sehingga tujuan utama
pembentukan hukum atau bahkan tujuan terbentuknya negara yakni kesejahteraan
dapat tercapai.
Hukum harus berorientasi pada prioritas pencapaian tujuan hukum (maqasid
syariah). Di antara tujuan hukum yang paling fundamental adalah tercapainya
keadilan subtantif, bukan semata sesuai dengan aspek legalitas formal.23
Menurut
Bilal Philips, beberapa prinsip dalam legislasi hukum Islam perlu diprioritasikan,
antara lain: removal of difficulty (menghilangkan kesulitan), reduction of religious
obligations (mengurangi beban keagamaan), realization of public welfare
(merealisasikan kesejateraan umum) dan realization of universal justice
(merealisasikan keadilan universal).24
Prinsip-prinsip di atas adalah bagian integral
dari filsafat hukum islam. Dengan demikian, perlu cara pandang baru dalam
membaca hukum (pasal, ayat dan kasus) tidak cukup dengan pembacaan parsial,
tetapi harus dengan pembacaan komprehensif. Pembacaan komprehensif ini tidak
22
Satria Hibatal Azizy, Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam,
(Ponorogo: CIOS, 2015), h. 18.
23
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan Agung, Vol
Xliv No. 118, Juni – Agustus 2009, h. 119.
24
Maulidi, Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah: Manhaj Baru Menemukan Hukum
Responsif , Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum (Vol. 49, No. 2, Desember 2015), h. 256.
64
hanya dilakukan pada teks-teks hukum saja, tetapi mencakup seluruh faktor dan
melibatkan disiplin keilmuan terkait. Artinya memahami hukum perlu melihatnya
dari berbagai perspektif, misalnya perspektif sosiologis Roscou Pound, perspektif
legal realism Oliver Holmes, perspektif Critical Legal Studies Roberto dan perspektif
hukum responsif Philippe Nonet dan Philip Selznick.25
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa terkait pembolehan mantan
terpidana korupsi menjadi caleg merupakan satu kebijakan yang sedikit berbenturan
dengan tujuan kemaslahatan sebagaimana terkandung di dalam tujuan hukum itu
sendiri, meskipun putusan tersebut dilandasi dasar yuridis yang kuat. Hukum
dibentuk untuk memberikan manfaat dan sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan
bagi masyarakatnya.
25
Abdul Khoiruddin, Relevansi Hukum Progresif Terhadap Hukum Islam (Semarang: IAIN,
2011), h. 10.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk
manusia dan bukan sebaliknya. Kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk keadilan, kemanfaatan
(kebahagiaan), dan kesejahteraan. Dari ketiga aspek tersebut terlihat bahwa
hukum bolehnya mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam
pemilihan anggota legislatif merupakan satu kebijakan yang semakin menjauhkan
hukum dari kemajuan hukum atau hukum progresif. Kebijakan tersebut terlalu
mengutamakan aspek formalitas hukum yang berlaku tanpa mempertimbangkan
aspek keadilan, kemanfaatan, dan kesejahteraan.
2. Maqashid al-Syariah merupakan tujuan dasar pembentukan hukum Islam.
Maqashid al-syariah ini termanifestasikan dalam bentuk maslahah (kemaslahatan
umat). Pembolehan mantan narapidana korupsi menjadi caleg merupakan satu
kebijakan yang berbenturan dengan tujuan kemaslahatan. Apabila terdapat dua
akibat yang ditimbulkan antara kemaslahatan dan kemudharatan atau antara
kemaslahatan dalam jumlah yang sedikit dan kemaslahtan dalam jumlah yang
banyak, maka yang diambil adalah yang paling banyak menciptakan
kemaslahatan bagi umat. Hukum dibentuk untuk memberikan manfaat dan
sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakatnya.
66
B. Saran
Ditinjau dari perspektif filosofis, putusan MA ini telah membenturkan asas
kepastian hukum dengan asas keadilan dan kemanfaatan. Antara keadilan dan
kemanfaatan yang terdapat pertentangan, maka perlu dicari sintesis terhadap
keduanya. Mata rantai yang menghubungkan antara keadilan dan kemanfaatan
adalah “perasaan keadilan”. Penyesuaian kepentingan terhadap kepentingan
masyarakat harus lebih diutamakan daripada hak individu. Dalam memutuskan suatu
perkara sebaiknya hakim memerhatikan keadilan dan kepentingan masyarakat. Akan
tetapi dalam hal putusan MA nomor 46P/HUM/2018 ini, Mahkamah Agung tidak
bisa sepenuhnya disalahkan. Secara prosedural putusan tersebut sudah tepat.
Alangkah lebih solutif apabila peraturan pencabutan atau pembatasan hak politik bagi
terpidana koruptor dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lebih kuat
sehingga tidak akan menimbulkan polemik di kemudian hari.
67
DAFTARPUSTAKA
Buku dan Jurnal
Al-Rasyid, Harun. Fikih Korupsi:Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif
Maqashid al-Syariah. Jakarta: Kencana, 2016.
Al-Syatibi. Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah. Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-
„ilmiyah, 2004.
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Anjari, Warih. Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1
195K/Pid.Sus/2014. Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 1 April 2015.
Asmawi. Maslahah, Hukum Islam dan Hukum Negara. Jurnal Ahkam XI, No. 2, Juli
2011.
Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan perundang-undangan Khusus di
Indonesia. Jakarta: Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta, 2012.
Auda, Jasser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syariah.
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015.
Azizy, Satria Hibatal. Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam.
Ponorogo: CIOS, 2015.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam.
Djalaluddin, Muhammad Mawardi. Pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi dalam Kitab al-
Muwafaqat. Jurnal al-Daulah. Vol. 4, Nomor 2, Desember 2015.
Djazuli, A. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syariah. Jakarta: Kencana, 2003.
Effendi, M. Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Gramedia, 2004.
68
Hairi, Prianter Jaya. Peraturan Kpu No. 20 Tahun 2018 dalam Perspektif Hierarki
Norma Hukum. Jurnal Info Singkat: Kajian Terhadap Isu Aktual dan Strategis,
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol. X, No. 13/I/Puslit/Juli/2018.
Husain Jauhar, Ahmad al-Mursi. Maqashid Syariah. Jakarta: Amzah, 2013.
Husni, M. Moral dan Keadilan sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Progresif.
Jurnal Hukum Equality. Volume 11, Nomor 1, Februari 2006.
Irfan, Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2011.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013.
Khoiruddin, Abdul. Relevansi Hukum Progresif Terhadap Hukum Islam. Semarang:
IAIN, 2011.
Latipulhayat, A. Khazanah: Jeremy Bentham. Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran,
Volume 2 Nomor 2, 2015.
Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas,
2001.
M. Arfan Mu‟ammar, dkk. Studi Islam Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012.
Maryanto. Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum. Jurnal Ilmiah
CIVIS, Volume II, No 2, Juli 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada, 2008.
Mas'ud, Muhammad Khalid. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
terjemahan oleh Yudian W. Asmin. Surabaya: Al Ikhlas, 1995.
Matompo, Osgar S. Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif
Keadaan Darurat. Jurnal Media Hukum, Vol. 21 No.1, Juni 2014.
Maulidi. Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah: Manhaj Baru Menemukan
Hukum Responsif. Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 49, No. 2, Desember
2015.
Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat.
Jurnal Pembaharuan Hukum. Volume I, Nomor 3, 2014.
69
Musa, M. Yusuf. Politik dan Negara dalam Islam, (Cet. II). Yogyakarta:Pustaka LSI,
1991.
Mth, Asmuni. Studi Pemikiran al-Maqashid. Al-Mawarid edisi XIV, 2005.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010.
. Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas, 2006.
Ramma Hadi Saputra dan Trinas Dewi Hariyana. Pencabutan Hak Politik Terhadap
Koruptor Ditinjau dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Study Kasus
Putusan Mahkamah Agung No.285 K/Pid.Sus/2015). Jurnal Diversi, Volume
3, Nomor 1, April 2017.
Ravena, Dey. Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 September 2010.
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Rokhmad, Abu. Gagasan Hukum Progresif Perspektif Teori Maslahah. Jurnal Kajian
Hukum Islam al-manahij, vol. VII No. 1, Januari, 2013.
Rondonuwu, Diana E. Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum
Menjadi Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum. Jurnal Lex Administratum, Vol.
II/No.2/Apr-Jun/2014.
Santoso, Agus. Hukum, Moral, dan Keadilan. Jakarta: Kencana, 2012.
Shidiq, Ghofar. Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan
Agung, Vol Xliv No. 118, Juni – Agustus 2009.
Sinamo, Nomensen. Ilmu Perundang-undangan. Jakarta: Jala Pernata Aksara, 2016.
Suhardin, Yohanes. Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat.
Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 25, No. 3, Juli 2007.
Surbakti, Ramlan. Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada. Jakarta: Kelompok
70
Gramedia, 2016.
Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Syamsudin, M. Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. Jakarta: Kencana,
2015.
Tamrin, Dahlan. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN-Malang Press. 2007.
Toriquddin, Moh. Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi. Jurnal Syariah dan
Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014.
Zainal Arifin dan Muannif Ridwan, HAM dalam Piagam Madinah. Jakarta: LP2-AB,
2018.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, lembaran negara
republik indonesia tahun 2017 nomor 182.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materi terhadap UU
Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 12 Tahun 2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Uji Materi Terhadap Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan
Wakil Presiden.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 atas uji materi Pasal 4 ayat (3),
Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Peraturan
KPU Nomor 20 Tahun 2018.
Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 Tentang tentang Perubahan atas PKPU Nomor
20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, Pasal 45 ayat (1).
Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 58/PL.01.1
71
Kpt/03/KPU/II/2018 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Nomor Register:
004/Reg.LG/DPRD/12.00/VIII/2018.
Pengumuman Nomor: 728/PL.01.4-Pu/Prov/VIII/2018, Daftar Calon Sementara (DCS)
DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Ikrar,
Indeks Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Kemenkokesra).
Skripsi
Hartono, Dian Rudy. Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif
Nomokrasi Islam. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016.
Mia Arlitawati, “Kewenangan KPU dalam Membatasi Hak Politik Mantan
Narapidana Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan MA Nomor
46P/HUM/2018 terhadap Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018”. Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Nurkholisah, Siti. Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih
dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana
Korupsi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 537
K/Pid.Sus/2014). Skripsi fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2016.
Sahuri. Perspektif Hukum Islam Dan Ham Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor
(Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No.
1195K/Pid.Sus/2014). Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016.
Septian, Jimmy. Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Pencabutan Hak-hak Politik
terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Lampung, 2018.
72
Internet
www.transparency.org/news/feature/corruption/_perceptions diakses pada 05 Oktober
2018, pukul 14.01.
“Dorong Caleg Bersih, Bawaslu Sodorkan Pakta Integritas ke Partai-partai”.
https://bawaslu.go.id/en/berita/dorong-caleg-bersih-bawaslu-sodorkan-pakta-
integritas-ke-partai-partai. Diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul 14.16.
“Mantan Ketua KPU DKI Divonis 18 Bulan”, https://www.liputan6.com/news/read/
121884/mantan-ketua-kpu-dki-divonis-18-bulan, diakses pada Kamis 11 April
2019, Pukul 00.28.
"38 Caleg Mantan Napi Korupsi Diloloskan Bawaslu, Berikut Daftarnya",
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/10093791/38-caleg-mantan-
napi-korupsi-diloloskan-bawaslu-berikut-daftarnya. Diakses pada 6 April
2019, Pukul 23.54.
“KPU Harus Jalan Terus Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg”,
https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jalan-terus-larang-
mantan-napi-korupsi-nyaleg. Diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul
23.54.