82
HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF HUKUM PROGRESIF DAN MAQASHID AL-SYARIAH) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: INDAR DEWI NIM : 1115045000008 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/ 1440 H

HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

  • Upload
    buicong

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI

(STUDI KOMPARATIF HUKUM PROGRESIF

DAN MAQASHID AL-SYARIAH)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

INDAR DEWI

NIM : 1115045000008

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/ 1440 H

Page 2: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan
Page 3: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan
Page 4: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan
Page 5: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

v

ABSTRAK

Indar Dewi. Nim 11150450000008. Hak Politik Narapidana Korupsi (Studi

Komparatif Hukum Progresif Dan Maqashid Al-Syariah). Program Studi Hukum

Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. IX + 72 halaman.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan

pendekatan komparatif. Penulis mengkaji aturan mengenai hak politik narapidana

korupsi serta hukum bolehnya mantan narapidana korupsi mencalonkan diri

dalam pemilu legislatif dalam tinjauan Hukum Progresif dan Maqashid al-

Syariah.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Hukum progresif dan Maqashid

al-Syariah memiliki benang merah bahwa keduanya merupakan cara pandang

atau paradigma yang memprioritaskan tujuan-tujuan hukum untuk terciptanya

kemaslahatan umat. Dalam perspektif hukum progresif, bolehnya mantan

terpidana korupsi ikut serta dalam pemilihan umum merupakan satu kebijakan

yang sedikit berbenturan dengan progresifitas hukum atau kemajuan hukum

dalam segala aspek yakni keadilan, kesejahteraan dan kemanfaatan atau

kebahagiaan. Demikian halnya dalam perspektif Maqashid al-Syariah yang

termanifestasikan dalam maslahah, hukum bolehnya mantan terpidana korupsi

mencalonkan diri dalam pemilu adalah kebijakan hukum yang tidak maslahah.

Kata Kunci: Pencalegan Koruptor, Hukum Progresif, Maqashid al-Syariah

Pembimbing : Dr. Khamami Zada, MA.

Daftar Pustaka : Tahun 2003 sampai Tahun 2018

Page 6: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena hanya

dengan berkat, rahmat, dan keridhoan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan

Skripsi yang berjudul “Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi (Studi Komparatif

Hukum Progresif dan Maqashid al-Syariah” dengan baik. Skripsi ini disusun

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai

pihak, maka tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini

penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghormatan sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie., SH., MA., MH. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Hj. Maskufa, MA., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara

(Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara

(Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan dan arahan serta kemudahan dalam menyetujui

proposal penulis untuk diajukan kepada fakultas.

5. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. Selaku pembimbing skripsi penulis yang

telah memberikan bimbingan, arahan, dan segala kemudahan dari awal

hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan.

Semoga dengan ketulusan dan keikhlasan hati, ilmu yang diberikan

merupakan bekal yang bermanfaat dan berharga bagi penulis.

7. Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu serta keluarga besar penulis yang

senantiasa memberikan doa, dukungan serta ketulusan cinta dan kasih

sayang yang tak terhingga. Pencapaian ini dengan bangga kupersembahkan

untuk kalian.

Page 7: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

vii

8. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2015,

terkhusus Ika Yulistiana teman seperjuangan penulis yang telah berjuang

bersama sejak awal, sahabat serantauan yang banyak memberikan pelajaran

dan arahan selama hampir empat tahun di Jakarta. Especially sudah banyak

membantu menyelesaikan pendaftaran wisuda 112, terima kasih tak

terhingga ikacuuu. Trini Diyani, teman kosan detik-detik perjuangan

terakhir. Lesnida Borotan, teman pertama pas masuk UIN. Badriatul

Munawarah, Fatma Agustina, Settia Fany, Agilia Gunawan, Ridwan, Ahmad

Syatibi, dan pastinya sahabat-sahabat penulis lainnya yang tak bisa penulis

sebutkan satu persatu nama dan kebaikan kalian.

9. Kepada Umi Lia, Abi Thohir dan seluruh keluarga besar TPQ al-Muthi

termasuk Rima Amalia, Vanesa dan Amanda, terima kasih untuk semua

pembelajaran yang diberikan.

10. Teman-teman KKN 18 “Gema Perumpak”, Fayyed, Egi, Anida, Dhila,

Shoba, Mudrika, Ana, Adel, Zahra, Rara, Sasa, Dyah, Riza, Hanif, Fey,

Fery, Edy, dan Bang Herman, terima kasih untuk semua kebaikan kalian

selama sebulan dalam pengabdian untuk Desa Cirumpak.

11. Seluruh keluarga UKM, Organisasi, dan Komunitas Primordial penulis,

HMPS HTN UIN Jakarta, LDK, Ikami, Sandeq dan Kelurga besar

Himpunan Mahasiswa Islam.

12. Keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak,

semoga bantuan yang telah diberikan mendapat pahala oleh Allah SWT. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Ciputat, 16 Mei 2019

10 Ramadhan 1440 H

Indar Dewi

Page 8: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ....................................... 6

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7

E. Metode Penelitian ........................................................................................ 7

F. Review Studi Terdahulu .............................................................................. 9

G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 11

BAB II HUKUM PROGRESIF DAN MAQASHID AL-SYARIAH

A. Teori Hukum Progresif .............................................................................. 13

1. Konsep Hukum Progresif ...................................................................... 13

2. Latar Belakang Lahirnya Teori Hukum Progresif ................................ 18

3. Penegakan Hukum Progresif di Indonesia ............................................ 20

B. Teori Maqashid al-Syariah ........................................................................ 25

1. Konsep Dasar Pemikiran Maqashid al-Syariah ................................... 25

2. Pembagian Maqashid al-Syariah ......................................................... 27

BAB III HUKUM PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI

A. Undang-undang tentang Pemilu dan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009

1. Pencalegan Koruptor dalam Undang-undang Pemilu .......................... 32

2. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 ................................................. 34

Page 9: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

ix

B. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018

tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/Kota

1. Deskripsi Peraturan .............................................................................. 35

2. Putusan Bawaslu .................................................................................. 37

C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018

1. Deskripsi Putusan ................................................................................ 41

2. Pertimbangan Hakim MA .................................................................... 42

D. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 31 Tahun 2018

tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan

Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota

1. Deskripsi Peraturan .............................................................................. 45

2. Implementasi Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 ......................... 46

BAB IV TINJAUAN PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI

A. Pencalegan Narapidana Korupsi dalam Tinjauan Hukum Progresif

1. Keadilan Hukum dalam Pencalegan Narapidana Korupsi .................. 48

2. Kesejahteraan Hukum ......................................................................... 53

3. Kemanfaatan dan Kebahagiaan ........................................................... 56

B. Pencalegan Narapidana Korupsi dalam Tinjauan Maqashid al-Syariah

1. Ditinjau dari Tingkat Kehujjahannya .................................................. 58

2. Ditinjau dari Tingkat Kebutuhannya ................................................... 59

3. Ditinjau dari Cakupannya .................................................................... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 65

B. Saran .......................................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67

Page 10: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup

pelik, seperti krisis multi-dimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan

nilai yang sangat menuntut adanya upaya pemecahan secara mendesak. Problematika

yang menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat salah satunya adalah masalah

korupsi yang tak kunjung selesai. Sebuah fakta yang telah dimengerti hampir

semua kalangan bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap yang sangat

mengkhawatirkan. Tindak pidana korupsi selain dapat membahayakan stabilitas

dan keamanan masyarakat, juga dapat membahayakan pembangunan sosial,

ekonomi, dan politik. Selain itu, tanpa disadari korupsi dapat merusak nilai-nilai

demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi

sebuah budaya.

Seolah telah mengakar dalam budaya hidup, perilaku, dan cara berpikir

masyarakat, tindak pidana yang satu ini berhasil menjangkiti birokrasi dari atas

hingga yang paling bawah. Hampir seluruh lembaga negara baik lembaga

perwakilan rakyat, lembaga pemerintahan, lembaga peradilan, bahkan lembaga-

lembaga yang dibentuk untuk memberantas dan menyelesaikan permasalahan

yang kian terjadi pun tak tanggung-tanggung ikut terjerat. Dalam hal ini,

sebagian pengamat hukum berbendapat bahwa korupsi menjadi ancaman terhadap

cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.1

Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak

diputus bebasnya terdakwa atau minimnya sanksi pidana yang ditanggungkan

kepada terdakwa, sama sekali tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya.

Banyaknya korupsi yang tercuak ke publik tidak sebanding dengan jumlah

koruptornya. Hal tersebut memunculkan stigma negatif di tengah masyarakat.

1 Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011), h. xi.

Page 11: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

2

Banyak sekali komentar bahkan umpatan-umpatan terhadap perilaku dan pelaku

tindak pidana korupsi. Muak, jengkel, miris bahkan marah menyaksikan betapa

menjamurnya koruptor di negeri ini. Tentu hal ini membuat segenap bangsa

Indonesia merasa putus asa, serta mengikis rasa keadilan yang berdampak pada

ketidakpercayaan masyarakat atas hukum, pemerintah, dan peraturan perundang-

undangan itu sendiri.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Transparency International (TI)

pada tahun 2017 yang berbasis di Jerman, Indonesia merupakan negara terkorup

ke-78 dari 180 negara. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejak 2001 hingga

sekarang juga masih tetap berada di angka yang rendah. Tiga sektor yang paling

rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah partai politik termasuk kader partai

yang menjabat di parlemen, kepolisian, dan pengadilan. Sementara itu,

kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak terjadi di sektor

nonkonstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan, dan properti.2

Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial

dan hak-hak ekonomi masyarakat. Tindak pidana korupsi tidak dapat lagi

digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah menjadi

kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang tentunya membutuhkan upaya

pemberantasan yang ekstra pula. Kegagalan elit politik Indonesia dalam

melakukan upaya pemberantasan korupsi jelas akan membahayakan negara.3

Sejatinya sejak awal upaya-upaya pemberantasan terhadap korupsi telah

ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas secara serentak. Namun

upaya tersebut, belum cukup menunjukkan signifikansi peminimalisiran tindak

pidana korupsi di Indonesia. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah

berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap

2www.transparency.org/news/feature/corruption/_perceptions diakses pada 05 Oktober 2018,

pukul 14.01.

3Maryanto, “Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum”,Jurnal Ilmiah

CIVIS, (Volume II, No 2, Juli 2012), h. 3.

Page 12: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

3

elitis, korupsi masih menjadi patologi social yang khas dilingkungan para

elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas.

Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di

dalam system terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di

bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik.4

Dalam hal upaya pemberantasan korupsi, maka perlu didukung dan

diawali dengan penyelenggaraan pemilihan aktor-aktor hukum dalam

pemerintahan yang bersih dan dengan cara yang bersih pula. Baru-baru ini KPU

selaku lembaga penyelenggara pemilu mengambil satu lagkah progresif yang

justru menimbulkan polemik. Dalam hal penyelenggaraan pemilu 2019, KPU

mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan KPU Nomor

20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD

kabupaten/kota. Substansi dari peraturan tersebut adalah larangan mantan

narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi untuk

mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu legislatif. Menurut KPU kejahatan-

kejahatan tersebut memiliki daya rusak yang luar biasa bagi masyarakat. Selain

itu bagi mereka, salah satu upaya nyata untuk memberantas tindak pidana korupsi

adalah dengan pemilu yang bersih.

Namun tak lama peraturan tersebut diundangkan dalam Berita Negara,

timbul beberapa protes nyata dari berbagai pihak, khususnya para mantan

terpidana korupsi yang ingin kembali mencalonkan diri dalam pemilu legislatif

2019. Mereka kemudian melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung. Adapun

pasal yang hendak diuji materilkan antara lain pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (2)

huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas.

Selanjutnya Mahkamah Agung mengabulkan gugatan dengan Nomor

putusan 46P/HUM/2018. Dalam hal ini pemohon yakni Jumanto, merupakan salah

satu mantan koruptor sehingga ia hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian

4Maryanto, “Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum”, Jurnal Ilmiah

CIVIS, (Volume II, No 2), Juli 2012, h. 3.

Page 13: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

4

frasa mantan terpidana korupsi. Pokok substansi dari putusan tersebut yakni

menetapkan bahwa pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (2) huruf d, dan Lampiran

Model B.3 Pakta Integritas sebagaimana yang diajukan oleh pemohon,

bertentangan dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum dan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, sehingga peraturan ini tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat dan tidak berlaku untuk umum.5

Jika berbicara mengenai fokus upaya pemberantasan korupsi, maka

peraturan KPU nomor 20 ini merupakan satu bentuk optimisme yang harus

didukung dan semestinya semangat tersebut datang dari pemerintah dan DPR

sebagai pembentuk undang-undang. Semangat KPU untuk menjalankan Pemilu

yang bersih tersebut menjadi salah satu progresifitas hukum yang perlu

diapresiasi.

Ada dua elemen penting yang menjadi tolak ukur dalam tujuan hukum,

yakni hukum itu sendiri dan elemen sosial. Untuk menjadikan hukum

berkemampuan menangani, maka hukum harus melihat dan memadukan

jurisprudensi, social science, hukum progresif, serta siasat ilmu sosial, sehingga

dari sinilah akan tercipta konsep demokrasi model, dan konsep hukum responsif.6

Pada dasarnya Teori Hukum Progresif juga sudah bukan istilah baru

dalam sistem hukum positif di Indonesia. Teori Satjipto Rahardjo ini muncul

akibat kegelisahannya terhadap tujuh puluh dua tahun usia negara hukum,

terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik.7

Bagi Satjipto, hukum bukanlah suatu skema yang final, namun terus bergerak,

berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus

5Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 74.

6Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, (Jakarta: Jala Pernata Aksara, 2016), h.1

7Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), h. 86.

Page 14: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

5

dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya

kebenaran dan keadilan.8

Teori hukum progresif hadir sebagai alternatif pemecahan masalah hukum

yang tidak sesuai dengan asas dan tujuan pembentukan hukum itu sendiri yaitu

adanya kebermanfaatan serta terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat .

Hal ini sejalan dengan Prinsip Maslahah sebagaimana yang terkandung dalam

konsep Maqashid al-Syariah dalam hukum Islam, yakni satu konsep yang berfokus

pada kemaslahatan umat.

Sebagai negara mayoritas muslim tentunya perlu melihat dan memahami

bagaimana pandangan-pandangan atau konsep-konsep penyelesaian suatu

permasalahan hukum dari kacamata hukum Islam itu sendiri. Pembahasan secara

eksplisit mengenai peraturan negara ataupun hukum pemerintahan dalam Islam

disebut Fiqh Siyasah. Siyasah berarti perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam

peraturan, serta dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin

kemaslahatan. Oleh karena itu, di dalam Siyasah selalu diupayakan jalan-jalan yang

menuju kepada kemaslahatan (fathu dzari’ah) dan selalu ditutup serta dihindarkan

jalan-jalan yang mengarah kepada kemafsadatan (sadzu dzari’ah).9

Konsep-konsep kemaslahatan yang dimaksud di atas pada hakikatnya adalah

tujuan dari konsep maqashid al-syariah yakni mendatangkan manfaat dan menolak

kemudharatan. Imam Abu Ishaq al-Syatibi,10

tokoh yang dikukuhkan sebagai pendiri

ilmun maqashid al-syariah menyatakan bahwa Allah sebagai syari‟ memiliki tujuan

dalam setiap penentuan hukumnya, yaitu untuk kemaslahatan hidup di dunia dan

8Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2010), h. 7.

9A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah,

(Jakarta: Kencana, 2003), h. 266.

10

Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol, wafat pada Selasa 8 Sya‟ban 790 H di

Granada.

Page 15: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

6

akhirat.11

Sebagai tujuan syariat, maqashid al-syariah seharusnya menduduki posisi

penting sebagai ukuran atau indikator benar tidaknya suatu ketentuan hukum. Dengan

kata lain, memahami hukum yang benar haruslah melalui pemahaman maqashid al-

syariah yang baik.

Pada dasarnya secara yuridis pembatalan peraturan KPU oleh Mahkamah

Agung adalah satu hal yang tepat jika ditinjau dari undang-undang yang berlaku.

Namun jika ditinjau dari progresifnya suatu aturan dalam hukum atau bagaimana

suatu aturan kemudian dapat bermanfaat sesuai dengan asasnya, maka semangat KPU

dalam melaksanakan pemilu yang bersih menjadi satu bentuk upaya yang progresif

dalam efektifitas hukum yang tentunya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat

atau dalam Hukum Islam dikenal dengan istilah kemaslahatan umat. Hal ini menarik

untuk dikaji tentang relevansi antara hukum progresif (hukum positif) dan Maqashid

al-Syariah (hukum Islam) terhadap pencabutan hak politik koruptor.

B. Identifikasi, Rumusan dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Upaya progresif KPU dalam menyelenggarakan pemilu yang bersih

menuai pro dan kontra dari beberapa pihak, terkhusus bagi mereka yang merasa

dicabut hak politiknya melalui PKPU nomor 20 ini sehingga menimbulkan satu

polemik dalam pemerintahan. Peraturan KPU yang merupakan salah satu bentuk

upaya untuk memberantas korupsi akhirnya harus dicabut oleh Mahkamah

Agung selaku lembaga kehakiman. Adapun identifikasi masalah yang penulis

dapatkan dalam kajian ini antara lain:

a. Secara yuridis Peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang nomor 7

tahun 2017 tentang Pemilu dan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang

hierarki perturan perundang-undangan.

11

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-„ilmiyah,

2004), h. 221.

Page 16: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

7

b. Tidak adanya dukungan dari Pemerintah dan DPR untuk membentuk undang-

undang yang memuat semangat antisipatif dan progresif KPU untuk

memberantas tindak pidana korupsi.

c. Kurang tegasnya pelaksanaan hukum serta tidak adanya efek jera terhadap

pelaku tindak pidana korupsi.

d. Minimnya kesadaran masyarakat terhadap problematika pemerintahan yang

sedang terjadi.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Hukum Progresif terhadap pencalegan mantan

terpidana korupsi?

2. Bagaimana pandangan Maqashid al-Syariah terhadap pencalegan mantan

terpidana korupsi?

3. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan ini

hanya terbatas pada Substansi Peraturan KPU, Putusan Mahkamah Agung Nomor

46P/HUM/2018, dan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yang ditinjau dari

perspektif Hukum Progresif dan Maqashid al-Syariah. Adapun hak politik yang

dimaksud dalam penelitian ini hanya dibatasi pada hak untuk dipilih dalam pemilihan

legislatif.

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:

a. Menjelaskan Konsep Hukum Progresif dalam korelasinya dengan pencalegan

koruptor.

b. Menggambarkan secara eksplisit pandangan Maqashid al-Syariah terhadap

pencalegan koruptor.

D. Manfaat Penelitian

Page 17: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

8

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

a. Untuk memperkaya literatur di bidang politik khususnya pada pembentukan

maupun pembatalan suatu peraturan.

b. Untuk memberikan solusi terhadap permasalahan hukum terkait

Pencalegan Koruptor.

c. Kegunaan praktis dari penelitian ini untuk memberikan informasi,

persoalan politik Indonesia dalam kaitannya dengan hukum Islam.

E. Metode Penelitian

a. Jenis dan pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menganalisis

secara yuridis normatif tentang hak politik narapidana korupsi. penelitian ini juga

menghubungkan dengan maqashid al-Syariah.

Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum terdapat

sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conseptual approach).12

Dari sudut pandang tersebut, penelitian ini merupakan

penelitian hukum dengan pendekatan kasus (case approach), pendekatan undang-

undang (statue approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach).

b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

yang terbagi atas dua bahan hukum yakni bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

misalnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian.

Pada penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa Undang-undang

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada,2008), hlm. 93.

Page 18: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

9

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; Putusan MK Putusan MK Nomor 4/PUU-

VII/2009; Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018; Putusan MA Nomor

46P/HUM/2018; dan PKPU Nomor 31 tahun 2018. Adapun bahan hukum

sekundernya, yaitu semua dokumen yang memberikan penjelasan terkait

pencalegan koruptor berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku, jurnal,

artikel, maupun melalui informasi media internet.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

studi dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

c. Teknik Analisis data

Teknik analisis data dalam penelitian ini yakni teknik analisa data

kualitatif dengan cara mengolah data kemudian diuraikan untuk memberi

gambaran (deskriptif). Uraian-uraian yang berisi penafsiran, penalaran, serta

argumentasi rasional (analitik) tersebut bertujuan untuk menjelaskan dan

mempertahankan gambaran yang diperoleh.

d. Teknik Penulisan

Pada skripsi ini, penulis menggunakan metode skripsi yang mengacu

pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.

F. Review Studi Terdahulu

Sejumlah penelitian tentang skripsi ini telah dilakukan, baik yang mengkaji

secara umum maupun yang menyinggung secara spesifik. Berikut paparan tinjauan

umum atas sebagian karya penelitian tersebut.

Page 19: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

10

1. Skripsi yang ditulis oleh Mia Arlitawati berjudul “Kewenangan KPU dalam

Membatasi Hak Politik Mantan Narapidana Korupsi Dalam Pemilu Legislatif

(Analisis Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 terhadap Peraturan KPU Nomor

20 Tahun 2018” yang menjelaskan secara rinci tentang kewenangan KPU dalam

penyelenggaraan pemilu. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa tugas dan

kewenangan KPU hanya untuk melaksanakan tahapan-tahapan pemilu sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini undang-

undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. PKPU Nomor 20 Tahun 2018

bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, sehingga KPU

tidaklah memiliki dasar yuridis yang kuat untuk membatasi dan membuat norma

baru terhadap hak politik narapidana korupsi dalam pemilu legislatif 2019.13

2. Karya Ilmiah (skripsi) oleh Dian Rudy Hartono yang berjudul “Pencabutan Hak

Politik Terhadap Koruptor Perspektif Nomokrasi Islam” yang menjelaskan

tentang pandangan Konsep Nomokrasi Islam terhadap pencabutan hak politik

para koruptor.14

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pencabutan

hak politik sudah mengedepankan keadilan dan merupakan satu bentuk

perlindungan bagi kemaslahatan umat.

3. Skripsi yang ditulis oleh Sahuri berjudul “Perspektif Hukum Islam Dan Ham

Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor (Kajian Hukum Islam dan HAM

terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)”15

menegaskan sanksi pidana

tambahan berupa pencabutan hak politik sudah sesuai menurut hukum Islam.

13

Mia Arlitawati, “Kewenangan KPU dalam Membatasi Hak Politik Mantan Narapidana

Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 terhadap Peraturan

KPU Nomor 20 Tahun 2018”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2018.

14

Dian Rudy Hartono, “Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif Nomokrasi

Islam”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.

15

Sahuri, “Perspektif Hukum Islam Dan Ham Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor

(Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)”, Skripsi Fakultas

Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Page 20: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

11

Pencabutan hak politik dikategorikan kepada jarimah ta’zir, yaitu suatu

bentuk hukuman atau sanksi yang tidak diatur dalam Al-Qur‟an maupun

Hadist. Sedangkan dalam pandangan HAM pencabutan hak politik dalam

putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014 berpotensi melanggar HAM jika dalam

penjatuhannya hakim tidak mengikuti aturan dalam undang-undang yang

berlaku. Dalam putusan MA tersebut tidak dicantumkan batasan pencabutan hak

untuk dipilih dalam jabatan publik, sehingga dianggap tidak ada kepastian

hukum di dalamnya.

4. Skripsi yang ditulis oleh Siti Nurkholisah dengan judul bahasan“Tinjauan Yuridis

Terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Sebagai

Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan

Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014)”16

menjelaskan tentang tinjauan

yuridis MA terhadap pencabutan hak memilih dan dipilih koruptor dalam jabatan

publik. Parameter Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa

pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik lebih kepada

pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. Selain itu, sanksi berupa pencabutan

hak politik sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi di

Indonesia.

5. Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial juga terdapat penelitian

yang dilakukan oleh Warih Anjari berjudul “Pencabutan Hak Politik Terpidana

Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Kajian Putusan Nomor

537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014”.17

Penerapan pidana

pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi menjadi hal yang urgen karena: (a)

Penjatuhan pidana tambahan ini merupakan sarana penal untuk menanggulangi

16

Siti Nirkholisah, “Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam

Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan

Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014)” Skripsi fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

2016. 17

Warih Anjari,“Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014”, Jurnal

Yudisial, (Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 23 – 44.

Page 21: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

12

tindak pidana korupsi yang memiliki efek penjeraan bagi terpidana dan

pencegahan bagi masyarakat. (b) Karakteristik korupsi di Indonesia sebagai

kebiasaan masyarakat. (c) Untuk menghindarkan dari pemimpin yang korup, dan

(d) Korupsi merupakan extra ordinary crime dan serious crime.

Dari paparan di atas, terlihat penelitian yang menyinggung pencabutan hak

politik mantan narapidana korupsi sebagaimana yang menjadi inisiatif KPU dalam

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang kemudian dibatalkan melalui putusan

MA NOMOR: 46P/HUM/2018. Namun yang menjadi pembeda penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya adalah penulis akan menguraikan bagaimana perspektif

Hukum Progresif dan Maqashid al-Syariah terhadap pembatalan aturan pencabutan

hak politik. Secara rinci penelitian ini akan menguraikan tentang pandangan kedua

teori tersebut terhadap hukum pencalegan koruptor.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok

penulisan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata

urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai

berikut:

BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas Latar Belakang, Identifikasi,

Rumusan, dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode

Penelitian, Review Studi Terdahulu, serta Sistematika Pembahasan.

BAB II Landasan Teori. Pada bab ini diuraikan teori hukum progresif dan

konsep Maqashid al-Syariah. Dalam pembahasan teori Hukum Progresif dibagi atas

beberapa sub poin antara lain pengertian, sejarah, dan penegakan Hukum Progresif di

Indonesia. Adapun konsep Maqashid al-Syariah dibagi atas Konsep dasar pemikiran

maqashid al-Syariah dan Pembagian Maqashid al-Syariah.

BAB III Hukum Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi. Pada bab ini

dijelaskan mengenai Undang-undang tentang Pemilu dan Putusan yang memuat

Page 22: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

13

pencalegan mantan terpidana korupsi; Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)

Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan

DPRD Kabupaten; Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018; Peraturan

Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi,

dan DPRD Kabupaten.

BAB IV Pencalegan Narapidana Korupsi. Pada bab ini diuraikan hukum

pencalegan mantan terpidana korupsi dalam tinjauan Hukum Progresif yang ditinjau

dariaspek keadilan hukum, kesejahteraan hukum, dan kemanfaatan/ Kebahagiaan.

Kedua hukum pencalegan mantan terpidana korupsi dalam tinjauan Maqashid al-

Syariah ditinjau dari tingkat kehujjahannya, tingkat kebutuhannya, dan ditinjau dari

cakupannya.

BAB V Penutup. Pada bab ini dirumuskan kesimpulan sebagai jawaban dari

rumusan masalah pada bab I dan diakhiri dengan saran sebagai masukan penelitian

ini.

Page 23: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

13

BAB II

HUKUM PROGRESIF DAN MAQASHID AL-SYARIAH

A. Hukum Progresif

1. Konsep Hukum Progresif

Hukum Progresif merupakan salah satu konsep yang paling menarik dalam

literatur hukum Indonesia pada saat ini. Dikatakan menarik, karena hukum progresif

telah menggugat keberadaan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam

berhukum Indonesia selama ini. Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah

berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh filsafat positivistik, legalistik,

dan linear tersebut untuk menjawab berbagai persoalan hukum.

Istilah Hukum progresif diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, dilandasi asumsi

dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi

ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk

krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, yaitu

mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan

praksis hukum, serta melakukan terobosan.1 Hal ini berarti hukum progresif adalah

serangkaian gagasan yang memprioritaskan kesejahteraan manusia sebagai objek

hukum itu sendiri. Sangat perlu adanya perubahan sistem hukum (termasuk

mengubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna dan

sesuai dengan asas tujuan pembentukannya, terutama dalam menjamin kebahagiaan

dan kesejahteraan manusia.

Hukum juga progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum

modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi

suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban hanya

bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk

melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak

ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu

1Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas, 2006), h. 6.

Page 24: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

14

intitusi yang bermoral. Dalam hal ini, “Hukum adalah suatu intitusi yang bertujuan

mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia

bahagia.”2

Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan

pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga

mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi

kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam

menegakkan hukum.

Selain itu, secara spesifik hukum progresif juga bisa disebut sebagai “Hukum

yang pro rakyat” dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif

berbeda dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum

bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi

memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari

progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk

dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making atau secara

terus menerus masih harus dibangun dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah

intitusi yang bermoral kemanusiaan.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka kriteria hukum progresif adalah:3

a. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

b. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.

c. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang

tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.

d. Bersifat kritis dan fungsional, oleh karena hukum progresif tidak henti-hentinya

melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya.

2Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 2.

3Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas, 2006), h. 6.

Page 25: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

15

Berbeda dengan ilmu hukum yang berbasis pada teori positivis, yang sangat

mengandalkan paradigm peraturan (rule), Ilmu Hukum Progresif lebih

mengutamakan paradigma manusia (people). Konsekuensi penerimaan paradigma

manusia itu membawa IHP sangat memedulikan faktor perilaku (behavior,

experience).

Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk

manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Kehadiran hukum bukan untuk

dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Jika terjadi

permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus diperbaiki, bukan

manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum juga bukan

institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk

terus-menerus dibangun (law as process, law in the making).4

Secara umum karakter hukum progresif berkaitan erat dengan teori ilmu hukum

lainnya yakni antara lain: (i) Hukum progresif secara sadar menempatkan

kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam

istilah Nonet dan Selznick bertipe hukum responsif; (ii) hukum progresif berbagi

paham dengan Legal Realism karena hukum tidak dipandang dari tujuan sosial yang

ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum; (iii) hukum progresif

memiliki kedekatan dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound yang

mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi keluar dan

melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum; (iv) Hukum progresif memiliki

kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang metayuridis

(keadilan); (v) hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies

(CLS) namun cakupannya lebih luas.5

Gagasan hukum progresif yang pro rakyat dan berorientasi pada keadilan dan

kesejahteraan masyarakat, tidak serta merta diterima dalam sistem hukum di

4M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana, 2015),

h. 108.

5Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 8-9.

Page 26: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

16

Indonesia. Hukum progresif masih menyimpan tanda tanya besar bagi kalangan yang

apriori atau tidak setuju dengan Satjipto Rahardjo. Batasan, definisi dan

operasionalisasi dianggap belum jelas dan menyulitkan.6 Pertanyaan mendasar

apakah hukum progresif boleh mengabaikan norma hukum positif yang sudah

diterapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini menimbulkan

kekhawatiran adanya kesewenang-wenangan dalam berhukum.

Pada dasarnya hukum progresif bukan menolak adanya undang-undang sebagai

tonggak dalam berhukum, namun dalam perspektif hukum progresif, hukum berada

pada status law in the making atau secara terus menerus masih harus dibangun dan

tidak bersifat final. Seperti yang telah dijelaskan di atas, orientasi hukum progresif

adalah keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat bukan pada peraturan dan logika.

Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh

peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya

berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang

sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari

realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar

ilmu (genuine science).7

Banyak hal yang tidak terwadahi dalam teks hukum, seperti suasana dan

kebutuhan-kebutuhan yang ada di masa mendatang. Selain itu moral yang dipeluk

masyarakat pada kurun waktu tertentu tidak mungkin terekam dalam teks hukum

tersebut. Peran manusia dalam bekerjanya hukum terlalu besar untuk diabaikan dan

hanya befokus kepada teks undang-undang semata. Hukum sebagai teks itu diam dan

hanya melalui perantara manusialah ia menjadi hidup.8

6Abu Rokhmad, Gagasan Hukum Progresif Perspektif Teori Maslahah, Jurnal Kajian Hukum

Islam al-manahij, (vol. VII No. 1, Januari, 2013), h. 5.

7Diana E. Rondonuwu, Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi

Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum1, Jurnal Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014, h. 85.

8Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 15.

Page 27: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

17

Dalam hukum modern, hukum sungguh otonom dan sama sekali tidak

terpengaruh oleh keadaan di luar hukum. Apapun yang terjadi di luar, yang

menentukan apa yang akan dilakukan oleh hukum adalah para lawyers. Maka

sekalipun terjadi perubahan besar di dunia, sebelum para lawyers mengatakan bahwa

hukum harus diubah, perubahan pun tidak akan terjadi dan hukum akan berjalan

seperti biasa.

Sementara dalam perjalanan hukum di Indonesia, dijumpai munculnya bentuk-

bentuk kejahatan maupun ketentuan-ketentuan baru yang tidak siap dihadapi oleh

perundang-undangan yang ada. Dalam situasi seperti ini, mau tidak mau kita akan

memasuki ranah cara berhukum yang luar biasa dengan melakukan terobosan hukum

yang lebih progresif.9

Para penegak hukum harus berani memberi solusi dengan keluar dari pemikiran

konvensional. Apakah penegakan hukum sekedar menerapkan teks? Tidak! Secara

progresif kita harus menguji sampai sejauh mana kemampuan teks itu. Hukum bukan

hanya teks, di baliknya menyimpan kekuatan. Misalnya undang-undang korupsi

menyimpan kekuatan untuk memberantas korupsi. Meski demikian, kekuatan itu

tidak serta merta terbaca, tetapi kita perlu secara progresif menggali dan

memunculkannya. Pengalaman di Indonesia, para koruptor lolos karena terlalu

bermain-main dengan teks.10

Mobilisasi hukum lebih mengandalkan pada keberanian untuk melakukan

interpretasi hukum secara progresif daripada tunduk dan membiarkan dibelenggu oleh

peraturan-peraturan hukum. Advokasi tersebut pertama-tama ditujukan kepada agensi

sistem peradilan seperti hakim dan jaksa, serta kepada pemerintah atau birokrasi

maupun elite-elite politik lainnya.11

Kendati demikian, tidak dikehendaki

perkembangan menjadi liar atau sewenang-wenang dalam menginterpretasikan

9Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 23

10

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif,...h. 173.

11

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 24.

Page 28: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

18

hukum. Harus tetap berpacu prinsip utama hukum progresif yakni keadilan pikiran-

pikiran pro rakyat.

Jadi dari uraian di atas, kita bisa melihat bahwa implementasi hukum progresif

dapat dilaksanakan beriringan dengan hukum positif atau hukum berupa teks undang-

undang. Namun dalam kacamata hukum progresif, undang-undang ini tidak bersifat

final dan mutlak. Dalam waktu dan situasi tertentu hukum juga harus memperhatikan

keadaan masyarakat tanpa harus berpacu pada undang-undang. Dalam hal ini, baik

melalui pengadilan, aparat penegak hukum seperti kepolisian, maupun pemerintah

dan DPR sebagai pembuat peraturan hukum itu sendiri.

2. Latar Belakang Lahirnya Hukum Progresif

Lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, bukanlah sesuatu

yang lahir tanpa sebab. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian

kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif dapat dipandang sebagai

konsep yang mencari jati diri bertolak dari realitas empiris tentang bekerjanya hukum

di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas

penegakan hukum dan setting Indonesia akhir abad ke-20.

Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap keadaan hukum

di Indonesia. Kepercayaan terhadap hukum makin menurun yang disebabkan oleh

kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak tahun 70-an istilah “mafia pengadilan” sudah

memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Bahkan pada masa orde baru, hukum sudah

semakin bergeser menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Selanjutnya, pada era reformasi hingga tahun-tahun setelahnya bangsa Indonesia

belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal tapi

malah makin menimbulkan kekecewaan.12

Konsep hukum progresif ini dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, berawal dari

kegelisahannya terhada 60 tahun usia negara hukum yang terbukti tidak kunjung

12

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 4.

Page 29: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

19

mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik. Melihat dan merenungkan

penderitaan bangsa tersebut sampailah pada pertanyaan, “apa yang salah dengan

hukum kita?” dan “apa serta bagaimana jalan untuk mengatasinya?”. Berbagai

rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi juga

tidak memberikan hasil yang memuaskan. Orang tidak berbicara tentang kehidupan

hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang suram”.13

Lahirnya hukum progresif atau ilmu Hukum Progresif (IHP) didorong oleh

adanya keprihatinan atas kontribusi rendah ilmu hukum di Indonesia turut

mencerahkan bangsa keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Namun itu

bukan satu-satunya alasan, menurut Rahardjo, IHP tidak hanya dikaitkan pada

keadaan sesaat tersebut. IHP melampaui pikiran sesaat dan memiliki nilai ilmiah

tersendiri. IHP dapat di proyeksikan dan dibicarakan dalam konteks keilmuan secara

universal. Oleh karena itu, IHP dihadapkan pada dua medan sekaligus, yaitu

Indonesia dan dunia. Ini didasarkan pada argumen bahwa ilmu hukum tidak dapat

bersifat steril dan mengisolasi diri dari perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu pada

dasarnya harus selalu mampu memberi pencerahan terhadap komunitas yang dilayani.

Untuk memenuhi peran itu, maka ilmu hukum dituntut menjadi progresif. Ilmu

hukum normatif yang berbasis negara dan pikiran abad ke-20 dengan sekalian

perubahan dan perkembangannya.14

Demi mengejar garis depan ilmu yang selalu berubah itu, hukum progresif

memilih membiarkan dirinya terbuka dan cair, sehingga selalu dapat menangkap dan

mencerna perubahan yang terjadi. Para pengemban hukum progresif adalah orang-

orang yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan sesuai dengan

hakikat ilmu itu sendiri. Ia selalu merasa haus akan kebenaran dan karena itu tidak

henti-hentinya melakukan pencarian. Ilmu hukum progresif ditakdirkan untuk hadir

13

Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), h. 86.

14

M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,

2015), h. 106.

Page 30: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

20

sepanjang masa dan berbeda dengan ilmu hukum sosiologis, struktural, behavioral,

dan relatif baru, yaitu ilmu hukum yang nonsistematis.

Berdasarkan uraian di atas, Hukum Progresif hadir di tengah-tengah ambruknya

dunia hukum di negeri ini dan memberitahukan kepada kita tentang kesalahan-

kesalahan mendasar pada cara berhukum kita selama ini. Menjalankan hukum tidak

sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter),

melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari

undang-undang atau hukum. Hukum tidak hanya di jalankan degan kecerdasan

intelektual, melainkan dengan kecerdasaran spiritual. Menjalankan hukum harus

dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk

berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat karena pada dasarnya tujuan

berhukum tak lain adalah kesejahteraan dan keadilan.

3. Penegakan Hukum Progresif di Indonesia

Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum,

memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan alternatif untuk keluar

dari situasi buruk yang kian terjadi.15

Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau

konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak termasuk ide

tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum yang masih

abstrak tersebut perlu diwujudkan atau dijabarkan, pada tatanan inilah yang disebut

dengan penegakan hukum (Law Enforcement). Penegakan hukum adalah rangkaian

proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang menjadi tujuan daripada hukum dalam

masyarakat. Ketika hukum itu dibuat dan wajib dilaksanakan maka penegakan hukum

menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan.

Pada hukum modern, walaupun aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk

bekerja siang dan malam, namun situasi dunia hukum Indonesia tidak mengalami

suatu perubahan dan justru jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum tetap gagal

15

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 36

Page 31: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

21

memberikan suatu ketegasan terhadap segala bentuk tindak pidana yang marak

terjadi. Supremasi hukum yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda atau

simbol tanpa makna. Teks-teks hukum hanyalah permainan bahasa yang cenderung

menipu dan mengecewakan. Ringannya sanksi para pelaku tindak pidana seperti

koruptor yang merugikan negara dalam skala besar serta sanksi yang berat bagi

rakyat menengah yang hanya melakukan pencurian-pencurian kecil merupakan

pembenaran terhadap anggapan bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Lebih memalukan lagi korupsi saat ini merajalela pada tingkatan lembaga

penegak hukum itu sendiri, mulai dari jaksa, polisi, hakim, panitera, advokat, bahkan

lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi pun ikut terjerat yakni KPK.

Keterlibatan lembaga penegak hukum dalam berbagai tindak pidana seperti korupsi

memberikan peluang yang lebih besar kepada lembaga-lembaga atau bidang lain

dalam pemerintahan negara, termasuk juga lembaga legislatif dan eksekutif. Selain

itu hal tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan

tumbangnya keadilan.

Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri belum

mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang ikut dalam masyarakatnya.

Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan

warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan

yang Indonesia hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi

juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru yang dapat menjamin

keadilan dan kesejahteraan masyarakat.16

Satjipto Rahardjo menawarkan perlunya kehadiran hukum progresif di bawah

semboyan hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro rakyat. Para pelaku hukum

dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan hukum. Mereka

harus mempunyai empati dan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Kepentingan

16

M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,

2015), h. 114

Page 32: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

22

rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaan) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir

penyelenggaraan hukum.17

Ide penegakan hukum progresif menghendaki penegakan hukum menangkap

kehendak hukum masyarakat. Oleh karena itu, ketika suatu peraturan dianggap

membelenggu penegakan hukum, maka dituntut kreativitas dari penegak hukum itu

sendiri agar mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodasi kehendak

masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu

ide penegakan hukum progresif merupakan letupan dari situasi penegakan hukum

yang stagnan atau mengalami kemandekan.

Hukum Progresif tidak berusaha untuk mereduksi hukum hanya sekedar

peraturan-peraturan, tetapi suatu yang lebih besar dari itu yakni hukum diletakkan

dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan

oleh hukum progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah

satu bentuk kepastian hukum, namun harus ada upaya saling melengkapi dari masing-

masing kelemahan dan kelebihan baik dari pandangan dogmatik maupun non

dogmatik, tanpa melihat ada kecurigaan akan adanya intervensi satu dengan

lainnya.18

Pada level penegakan hukum, gagasan gerakan progresif terlihat pada

bagaimana seorang aktor penegak hukum progresif sensitif dalam menggunakan

diskresi dan/atau terobosan hukum (role breaking), baik jaksa, hakim, polisi, dan

pemerintah, patut menggunakan kewenangannya untuk melindungi kepentingan

masyarakat miskin dan marjinal.19

17

M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,

2015), h. 114.

18

Diana E. Rondonuwu, Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi

Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum, Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014, h. 89.

19

Suteki, Masa Depan Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafa Media, 2015), h. vii.

Page 33: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

23

Menurut Alkostar,20

potret penegakan hukum progresif yang pernah

dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, antara lain merujuk kepada adanya figur

penegakan hukumnya. Lebih dari itu, penegak hukum progresif juga menuntut

adanya ideologi penegak hukum yang berorientasi nilai keadilan dan nilai kebenaran.

Sebagai contoh adalah putusan Hakim Davide di Filipina dalam kasus Oposa di

tingkat Mahkamah Agung pada 1993 yang memutuskan bahwa ada hak gugat bagi

generasi yang belum lahir untuk mengajukan gugatan atas dasar prinsip keadilan

antar generasi.

Dalam hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan,

akan tetapi pada kreativitas pelaku. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan

perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,

tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk tidak harus

menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan

bagi rakyat dan pencari keadilan, karena dapat melakukan interpretasi secara baru

setiap kali terhadap suatu peraturan.21

Pembaruan yang ditawarkan hukum progresif membutuhkan sebuah model atau

kerangka kerja yang dapat memandu mereka dalam menjalankan hukum progresif

tersebut. Tanpa panduan atau model yang jelas yang berfungsi sebagai platform,

kekuatan hukum progresif disatukan dalam satu komitmen. Tanpa kesatuan

komitmen, langkah pembaruan yang terarah sulit diwujudkan, bahkan tidak mustahil,

inisiatif individual seorang pelaku hukum dapat menjadi liar dan sewenang-wenang.

Untuk ini, ia mengajukan tiga pertimbangan pemikiran, yaitu: (i) hukum progresif

berusaha menolak keadaan status quo, manakala keadaan tersebut menimbulkan

dekadensi, suasana korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat; (ii) dalam

20

Alkostar adalah Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung. Ia merupakan Hakim Agung

yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya dalam banyak

kasus besar

21

M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,

2015), h. 114.

Page 34: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

24

hukum progresif melekat semangat perlawanan dan pemberontakan untuk mengakhiri

kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku (aktor) hukum; dan

(iii) kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/modell, akan dapat menyatukan

kekuatan hukum progresif pada suatu platform aksi, karena eksemplar selalu

menyediakan tiga perangkat lunak yang dibutuhkan sebuah gerakan.22

Berbagai hal dan kejadian yang bisa digolongkan ke dalam aksi-aksi yang

berkualitas hukum progresif antara lain putusan hakim yang melawan atmosfer

otoriter untuk menegakkan keadilan yang hakiki. Misalnya Putusan Hakim Bismar

Siregar, yang selalu dalam putusannya memikirkan keadilan di atas undang-undang.23

Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 yang diketuai oleh Mahfud MD

terkait pembolehan KTP dipakai untuk mencontreng dalam pemilihan umum yang

hendak ditunda pelaksanaanya. Para hakim dalam memutuskan putusan tersebut,

tidak mengikuti prosedur hukum formal. Mereka tergugah nasionalismenya dan

mempraktikkan cara berhukum yang progresif.24

Penelitian Bank Dunia (Menciptakan Peluang Keadilan Terobosan dalam

Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi di Tingkat Lokal, 2005) melaporkan

tentang jalannya hukum di tingkat lokal dan pelosok Indonesia yang penuh

kreatifitas. Jaksa, polisi, dan hakim kecil di pelosok atas prakarsa sendiri, melakukan

hal-hal di luar job description yang formal dan konvensional. Mereka berusaha

menjadi kan tugas mereka lebih efektif daripada hanya berhenti mengikuti petunjuk

formal. Penyelesaian perkara menjadi lebih cepat dan pendek meski tetap didasarkan

pada hukum yang sudah ada.

22

M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana,

2015), h. 114-115.

23

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 49.

24

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 82.

Page 35: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

25

B. Maqashid al-Syariah

1. Konsep Dasar Maqashid al-Syariah

Secara etimologi, maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan

syariah. Maqashid, berarti kesengajaan atau tujuan yang merupakan jamak dari kata

maqshud yang berasal dari suku kata qashada yang berarti menghendaki atau

memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.

Syariah, secara bahasa berarti jalan menuju sumber air atau jalan menuju sumber

kehidupan. Adapun secara terminologi, maqashid al-syariah adalah tujuan-tujuan

syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya.25

Maqashid al-syariah

berkaitan erat dengan hikmah, ‘Illat, tujuan, niat, serta kemaslahatan.26

Semua hukum-hukum syara‟ mempunyai tujuan yang mendasar, yang bisa

disebut sebagai tujuan utama dan tujuan ikutannya. Seperti disyariatkannya nikah

yang tujuan utamanya adalah memperolah keturunan. Sedangkan tujuan ikutannya

adalah mencari ketenangan, tolong menolong dalam kebaikan dunia akhirat,

menikmati kenikmatan yang halal, melihat keindahan ciptaan Allah pada wanita,

menjaga diri dari hal yang dilarang dan lain-lain. Semua ini merupakan tujuan syara‟

dari diyariatkannya nikah. Tujuan-tujuan ini ada yang dijelaskan oleh teks atau

diisyaratkan, ada juga yang diketahui dengan dalil lain dan dengan cara penelitian

dari teks tersebut.

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk

mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum

itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari

keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan

Hukum Islam. Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, seperti ungkapannya

25

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-„ilmiyah,

2004), h. 22

26

M. Arfan Mu‟ammar, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Jogjakarta: IRCiSoD,

2012), h. 393.

Page 36: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

26

dalam kitab al-Muwafaqat “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk

tegaknya (mewujudkan) kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.”27

Sebelum menjelaskan tentang maqashid al-syari’ah, Syathibi terlebih dahulu

menjelaskan tentang ta’lil al-syari’ah (illat disyariatkannya hukum). Ta’lil (adanya

illat hukum) ini, berlaku pada semua hukum secara terperinci.28

Menurutnya bahwa ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemashlahatan hamba

baik di dunia dan akhirat.

Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, maqasid al-syariah berarti nilai-nilai

dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-

hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia

syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.29

Maqashid al-

syariah sebagai konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai) dan sasaran syara’

yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur‟an dan Hadis. Tujuan akhirnya adalah

maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di

akhirat.30

Bagi Abdul Wahhab Khallaf, maqashid al-syariah adalah hal yang sangat

penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur‟an dan

Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi

adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh al-

Qur‟an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.31

27

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut, Ibrahim ibn Musa al-Maliki, t.t) Jilid

I, h. 3.

28

Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan

Hukum, (Volume 6 Nomor 1, Juni 2014), h. 35.

29

Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh

Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 225

30

Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif

Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 63.

31

M. Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 237.

Page 37: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

27

Apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan maqashid al-

syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan

hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Metode istinbath, seperti

qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istihsab, merupakan metode-metode

pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al-syariah.32

Ulama

ushul fiqh sepakat akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan syariah.

Betapapun mereka berbeda dalam menguraikan maqashid al-syariah, semuanya

menuju satu muara, yakni terciptanya kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan.

2. Pembagian Maqashid al-Syariah

Sebagaimana yang telah dipaparkan di awal bahwa substansi pokok dari

maqashid al-syariah adalah maslahah. Maslahah secara bahasa berarti kemanfaatan,

kebaikan, kepentingan. Adapun secara terminologi yaitu memelihara dan

mewujudkan tujuan syara’ yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan,

dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi

kelima hal tersebut, dikualifikasi sebagai maslahah.33

Ditinjau dari sisi cakupannya, para ulama ushul fiqh membagi maslahah

menjadi dua yakni:34

a) al-Maslahah al-‘Ammah (kemaslahatan umum) yaitu

kemaslahatan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Penjatuhan

hukuman mati terhadap teroris merupakan salah satu contoh al-maslahah al-‘ammah,

ia menjadi satu hukum baru yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Sebab

akibat dari perbuatan teroris dapat menimbulkan kemudharatan bagi banyak orang,

sehingga upaya pencegahan dengan penjatuhan hukuman mati akan berdampak pada

32

Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif

Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 67

33

Asmawi, Maslahah, Hukum Islam dan Hukum Negara, Jurnal Ahkam XI, No. 2, Juli 2011,

h. 142.

34

Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syariah, (Bandung: PT

Mizan Pustaka, 2015), h. 36.

Page 38: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

28

kepentingan orang banyak pula. b) al-Maslahah al-Khossoh (kemaslahatan khusus),

yaitu maslahah yang berkenaan dengan orang-orang tertentu. Contoh, penetapan

keputusan fasakh oleh hakim terhadap seorang istri, karena suaminya dinyatakan

hilang. Hal yang berkaitan dengan al-maslahah al-khossoh, ini pada dasarnya jarang

terjadi. Pembagian ini menjadi bermakna ketika terjadi kontradiksi antara satu dengan

yang lain. Dalam hal ini Jumhur berpendapat bahwa kemaslahatan yang lebih umum

didahulukan atas kemaslahatan di bawahnya.

Kehujjahan suatu maslahah untuk dijadikan sebagai landasan hukum

bergantung pada‘illat hukum yang bermuara pada kepentingan kemaslahatan

manusia. Pada umumnya jumhur ulama lebih dahulu meninjaunya dari segi ada atau

tidaknya kesaksian syara‟ terhadapnya. Maslahah seperti ini dibagi menjadi tiga

yaitu: a) Mashlahah Muktabarah, yaitu kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh

syara'. Artinya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis

kemaslahatan tersebut. Kemashlahatan ini bersifat nyata serta dapat diukur dan

dinalar. Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan

landasan hukum. b) Mashlahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara'

karena bertentangan dengan ketentuan nash. Bentuk maslahah yang kedua ini tidak

dapat dijadikan hujjah atau landasan hukum. c) Mashlahah mursalah, yaitu

kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan ataupun

melarangnya.35

Abdul Wahab Khalaf menambahkan tiga syarat agar maslahah jenis ketiga di

atas dapat dijadikan hujjah yaitu: pertama, maslahahnya harus hakikat dan bukan

kemaslahatan yang berdasarkan dugaan (maslahah wahmiyyah). Artinya,

maslahahnya harus benar-benar bisa mewujudkan manfaat atau menolak mafsadat.

Kedua, maslahahnya harus bersifat ‘ammah (umum), artinya ia berupa kemaslahatan

umum bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Ketiga, hukum

yang akan dikeluarkan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-pinsip dasar hukum

35

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press. 2007), h. 131-132.

Page 39: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

29

yang sudah ada. Misalnya, tidak sah (batal) menyamakan bagian warisan anatara laki-

laki dan perempuan dengan dasar maslahah karena hal ini jelas-jelas bertentangan

dengan nash.36

Sementara al-Syatibi membagi maslahah ini pada tiga bagian penting yaitu

dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (pelengkap).37

Pertama,

kebutuhan dharuriyat, yaitu tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga

kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan

umat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut al-Syatibi

ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa,

kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat

Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan

pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas.

Kedua, kebutuhan al-hajiyat, disebut juga kebutuhan sekunder. Jika

kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia

akan mengalami kesulitan. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir,

hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja,

penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak

untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

Ketiga, kebutuhan al-tahsiniyat, yaitu kebutuhan yang tidak mengancam

eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan

apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap seperti

kepatutan menurut adat-istiadat dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah

muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan

dengan kebutuhan tahsiniyat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid,

anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam

peperangan.

36

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press. 2007), h. 133.

37

Asmuni Mth, Studi Pemikiran al-Maqashid, (al-Mawarid edisi XIV, 2005), h. 167.

Page 40: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

30

Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para

ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi,

semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya

kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah/Maqashid al-Khamsah)

dimaksud adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. (a)

Perlindungan terhadap agama (Hifdz ad-Din), memelihara agama merupakan tujuan

pertama hukum Islam. Ini karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan

agama menjadi komponen yang menjadi sikap hidup seorang muslim. Karena itulah,

hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin

kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.38

Islam menjaga hak dan kebebasan, kebebasan yang pertama adalah kebebasan

berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk agama berhak atas agama dan

madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau

madzhab tertentu.39

Syariat Islam (al-Qur‟an) menolak segala bentuk pemaksaan,

karena seseorang memeluk Islam, diberi petunjuk oleh Allah. Allah yang akan

membukakan dan menerangi mata hatinya, kemudian seseorang, kemudian seseorang

tersebut akan masuk Islam dengan bukti dan hujjah, Barangsiapa yang hatinya

dibutakan, pendengaran dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada

gunanya mereka masuk Islam dalam keadaan dipaksa.

(b) Perlindungan terhadap jiwa (Hifdz an-Nafs), memelihara atau melindungi

jiwa adalah tujuan yang kedua hukum Islam. Untuk tujuan ini, Islam melarang

penghilangan jiwa (pembunuhan) dan terhadap pelaku penghilangan jiwa tersebut,

diancam dengan hukuman qishas (pembalasan seimbang).40

Pada tanggal 9

Dzulhijjah tahun 10 H, Nabi Muhammad saw. menuju ke Padang Arafah, di sana

38

Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif

Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 72.

39

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 1.

40

Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif

Maqashid al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 72.

Page 41: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

31

beliau berkhutbah, yang intinya bahwa Islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak

empat belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia

secara komprehensif dan mendalam. Islam mengaturnya dengan segala macam

jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut. Islam membentuk

masyarakatnya di atas fondasi dan dasar yang menguatkan dan memperkukuh hak-

hak asasi manusia.41

Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan yang

diperhatikan Islam adalah hak hidup, maka tidak mengherankan bila jiwa manusia

sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak

menghadapkannya pada sumber-sumber kerusakan atau kehancuran.

(c) Perlindungan terhadap akal (Hifdz al-‘Aql), akal merupakan sumber hikmah

(pengetahuan), sinar, hidayah, cahaya mata hati, dan media kebahagiaan manusia di

dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah Allah disampaikan, dengannya pula

manusia berhak menjadi khalifah di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi

lebih sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.42

(d) Perlindungan

terhadap keturunan (Hifdz al-Nasb), perlindungan Islam terhadap keturunan yaitu

dengan mensyariatkan pernikahan dan mengharamkan zina. Hukum kekeluargaan dan

kewarisan adalah hukum-hukum yang secara khusus mengatur dan memelihara

kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. (e) Perlindungan terhadap harta benda

(Hifdz al-Mal), Manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan harta. Demikian

eratnya hubungan tersebut, sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu

dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Harta termasuk salah satu

hal penting dalam kehidupan manusia, sebab harta termasuk lima asas yang wajib

dilindungi (al-dharuriyat al-kulliyat al-khams) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan,

dan harta.

41

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 21.

42

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah,…h.91.

Page 42: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

32

BAB III

HUKUM PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI

A. Undang-Undang tentang Pemilu dan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009

1. Pencalegan Koruptor dalam Undang-undang Pemilu

Kedudukan konstitusional pemilu dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (2) UUD

1945 yang menegaskan "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah". Sebelum pengaturan mengenai pemilihan

umum ini diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana yang

berlaku saat ini, pengaturan mengenai pemilihan umum tersebar dalam beberapa

Undang-Undang. Undang-undang tersebut antara lain Undang-undang Nomor 42

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan

UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Seiring dengan adanya Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, uji materi

terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden

dan Wakil Presiden. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa pemisahan

penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden tidak konstitusional, sehingga pada Pemilu selanjutnya,

penyelenggaraan 2 (dua) Pemilu tersebut harus diserentakkan.1 Putusan tersebut

tentunya membawa konsekuensi terhadap berbagai aspek penyelenggaraan pemilu,

salah satunya adalah aspek yuridis. Penyempurnaan dan penyatuan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 ke dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi salah satu

1Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Uji Materi Terhadap Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.

Page 43: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

33

upaya yang dipersiapkan sehingga pelaksanaan pemilu secara serentak mempunyai

pijakan hukum yang kuat dan merujuk pada konstitusi.2

Maksud dan tujuan menyatukan undang-undang tentang Pemilu dalam rangka

menyederhanakan dan menyelaraskan pengaturan pemilu dalam satu Undang-Undang

Pemilu, untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas. Hal ini juga bertujuan

untuk menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, mencegah duplikasi

pengaturan dan ketidakpastian hukum pengaturan pemilu serta menemukan masalah

pengaturan penyelenggaraan, sistem pemilihan, manajemen pemilu, dan penegakan

hukum dalam satu Undang-undang Pemilu.

Dalam pemilihan umum 2019, larangan pencalegan mantan narapidana

korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi isu yang

hangat diperbincangkan. Ada yang pro dengan kebijakan KPU terseebut, ada pula

yang kontra dan tak segan melakukan protes nyata terhadap kebijakan tersebut. Pada

dasarnya aturan mengenai batasan hak politik mantan narapidana sudah pernah diatur

dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) huruf g dengan

bunyi rumusan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Namun undang-undang tersebut

dicabut melalui putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Undang-undang ini kemudian

diganti menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang kini diinterpretasi ke dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

2Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,

h. 9.

Page 44: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

34

2. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009

Dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, MK berpendapat bahwa rumusan

“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan

Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 adalah inkonstitusional. Undang-undang

tersebut memuat norma yang menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan.3

Adanya aturan ini memungkinkan pemohon seumur hidup tidak akan pernah bisa

menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, sehingga secara expressis verbis telah

melanggar prinsip “persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” [Pasal 27

ayat (1) UUD 1945]; hak seseorang untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan

negaranya [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945]; hak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum [Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]; dan hak setiap warga negara untuk

memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3) UUD

1945].

Norma hukum dalam undang-undang tersebut menjadi konstitusional apabila

memenuhi syarat antara lain, 1) Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang

dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan

hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2)

Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai

menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap; 3) Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati

3Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materi terhadap UU Nomor 10

Tahun 2008 dan UU Nomor 12 Tahun 2008, h. 77-80.

Page 45: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

35

dirinya sebagai mantan terpidana; 4) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-

ulang.4

B. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota

1. Deskripsi Peraturan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu yang

memiliki kewenangan merumuskan aturan penyelenggaraan (electoral law) dan

sebagai pelaksana pemilu (electoral proces) mengeluarkan sebuah peraturan yang

selanjutnya akan menjadi acuan dalam pelaksanaan pemilu 2019. KPU sebagai

lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur formulasi peraturan

penyelenggaraan pemilu memiliki dasar yang secara filosofis berakar kuat kepada

semangat dan tujuan penyelenggaraan negara berdasarkan amanat Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5 Peraturan KPU

yang selanjutnya disebut PKPU adalah sebuah peraturan yang jelas kedudukannya

dalam hierarki peraturan perundang-undangan. PKPU diakui dan memiliki kekuatan

hukum mengikat, sehingga memiliki konsekuensi atau akibat bagi setiap masyarakat

atau institusi yang terkait dengan PKPU.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 atau disebut PKPU

Nomor 20 tahun 2018 merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan

sebagaimana dimaksud pada pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan

bahwa “untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU

4Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materi terhadap UU Nomor 10

Tahun 2008 dan UU Nomor 12 Tahun 2008, h. 77-80.

5Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 (tercantum dalam jawaban Termohon (KPU), h. 39-51.

Page 46: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

36

merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.”6 Peraturan ini mengatur

tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. PKPU

Nomor 20 Tahun 2018 terdiri dari tujuh bab dan empat puluh enam pasal yang di

dalamnya memuat ketentuan umum dalam penyelenggaraan pemilu, proses dan

persyaratan pengajuan bakal calon, dan segala ketentuan untuk dijadikan payung

hukum dalam penyelenggaraan pemilu 2019.7

Hadirnya PKPU di tengah pesta demokrasi yang kian dinanti, memberikan

nuansa baru dalam pemilu 2019. Aturan mengenai larangan mantan terpidana bandar

narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan terpidana korupsi untuk mencalonkan

diri dalam kontestasi pemilu legislatif menjadi isu yang hangat diperbincangkan di

tengah masyarakat. Ada pihak yang mendukung, ada pula yang menyayangkan

langkah KPU dalam menetapkan peraturan tersebut. Aturan larangan pencalegan

mantan narapidana yang tersebut di atas diatur dalam pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat

(1) huruf d, dan lampiran model B.3 Pakta Integritas PKPU No 20 Tahun 2018.

Tujuan pengaturan pemilu salah satunya mewujudkan penyelenggaraan

pemilu yang demokratis dan berintegritas termasuk membatasi dan memperketat

seleksi calon-calon yang akan duduk di parlemen. Menurut KPU kejahatan-kejahatan

yang disebutkan dalam PKPU tersebut, memiliki daya rusak yang luar biasa bagi

masyarakat sehingga berpeluang besar merusak sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara.

Dengan demikian, pelaku-pelaku tindak pidana tersebut tidak sepatutnya diberikan

kesempatan yang luas untuk mewakili rakyat di parlemen. Hal inilah yang menjadi

dasar KPU menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota

6Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, lembaran negara republik

indonesia tahun 2017 nomor 182, h. 55.

7Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota.

Page 47: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

37

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Sejalan dengan tujuan dan cita hukum bangsa dan Negara Indonesia dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KPU

memiliki semangat, kewajiban, dan tanggung jawab mewujudkan

penyelenggaraan negara yang kuat dan warga negara yang berdaulat. Syarat

utama mewujudkan hal tersebut tidak lain adalah dengan mewujudkan negara

bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme berpeluang besar dan telah merusak sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara

sejak dulu sampai sekarang.

Peraturan KPU yang melarang mantan terpidana korupsi untuk menjadi

bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota didasarkan

secara yuridis pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)

dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan

Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf c

undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pengaturan penyelenggaraan

pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas. Langkah

konkret untuk mencapai tujuan yang terkandung dalam undang-undang tersebut

tentunya dengan mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih dan

bebas dari korupsi.8

2. Putusan Bawaslu

Dalam sistem demokrasi, pemilu adalah titik awal membangun

pemerintahan yang baik dan bersih, sehingga perlu dibuat aturan yang mengarah

ke sana. Dalam perjalanannya di awal, niat baik KPU mendapatkan respon yang

8Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 (tercantum dalam jawaban Termohon (KPU), h. 46.

Page 48: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

38

positif dari setiap instrument penyelenggara dan peserta pemilu dengan

ditandatanganinya pakta integritas oleh Ketua Umum dan Sekjen setiap parpol.

Pakta Integritas yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (e) merupakan

komitmen dan perjanjian bersama yang dibuat oleh Bawaslu ketika melakukan

sosialisasi pengawasan kepada setiap partai politik. Hal ini dilakukan dalam

rangka mendorong calon serta proses pemilihan yang bersih dan berintegritas.9

Setiap partai politik sepakat tidak akan mencalonkan calon legislatif mantan

terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Artinya,

partai politik sebagai peserta pemilu legislatif, sejak awal sudah menyepakati niat

baik KPU dengan pakta integritas.

Faktanya, masih banyak partai yang kemudian mengusung mantan

terpidana korupsi sebagai calon perwakilannya, baik di tingkat daerah maupun

pusat. Namun dengan diundangkannya PKPU dalam lembaran Negara, secara

otomatis menjadi batu sandungan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat.

Bahkan yang lebih parah, partai secara kelembagaan dengan kuasa hukumnya

mengadvokasi caleg mantan terpidana korupsi untuk bersengketa dengan KPU.

Dengan kata lain, partai politik tersebut melanggar pakta integritas yang sudah

disepakati sejak awal.

Pada penyelenggaraan pemilu 2019 terdapat beberapa tugas dan

wewenang baru yang diamanatkan kepada Bawaslu, sebelumnya Bawaslu

berfungsi dan bertugas hanya sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu,

sedangkan pada pemilu 2019 tugas dan wewenang Bawaslu bertambah. Tugas

dan wewenang baru itu diatur di dalam Pasal 468 UU Pemilu, yang menyatakan

bahwa Bawaslu berwenang untuk menyelesaikan sengketa administrasi pemilu

dan sengketa proses pemilu. Dalam penyelesaian sengketa proses pemilu terdapat

dua tahapan, yaitu mediasi dan ajudikasi. Pada tahapan pertama yaitu mediasi,

9“Dorong Caleg Bersih, Bawaslu Sodorkan Pakta Integritas ke Partai-partai”,

https://bawaslu.go.id/en/berita/dorong-caleg-bersih-bawaslu-sodorkan-pakta-integritas-ke-partai-partai,

diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul 14.16.

Page 49: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

39

Bawaslu akan mempertemukan pihak yang bersengketa. Apabila dalam mediasi

tidak temui kesepakatan antara para pihak atas apa yang diperkarakan maka

penyelesaian memasuki tahap siding ajudikasi.10

Sidang ajudikasi adalah produk hukum baru dalam alternatif penyelesaian

sengketa pemilu. Dalam prakteknya, melalui sidang ajudikasi Bawaslu telah

banyak mengeluarkan putusan-putusan yang bertentangan dan mengugurkan

putusan yang dikeluarkan oleh KPU. Salah satunya adalah Partai Bulan Bintang

(PBB) yang diloloskan oleh Bawaslu untuk bisa menjadi peserta pemilu 2019,

setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU.11

Dalam UU Pemilu, diatur

bahwa KPU harus menindaklanjuti putusan Bawaslu paling lama 3 (tiga) hari

setelah putusan dibacakan. Namun dalam beberapa kasus terdapat putusan

ajudikasi yang dikeluarkan Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU, seperti

yang terjadi pada caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta dari partai Gerakan

Indonesia Raya (Gerindra), Mohammad Taufik dengan KPUD DKI Jakarta.

Taufik adalah mantan terpidana korupsi yang divonis 18 bulan penjara pada 27

april 2004 karena terjerat kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua KPUD DKI

Jakarta.12

Bedasarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, mantan koruptor tidak

diperkenankan untuk ikut serta dalam kontestasi pemilu legislatif. Dengan dasar

inilah, KPUD DKI Jakarta memutuskan untuk tidak meloloskan Mohammad

10

Ramlan Surbakti, Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada, (Jakarta: Kelompok Gramedia,

2016), h.6.

11

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 58/PL.01.1-

Kpt/03/KPU/II/2018 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota.

12

“Mantan Ketua KPU DKI Divonis 18 Bulan”,

https://www.liputan6.com/news/read/121884/mantan-ketua-kpu-dki-divonis-18-bulan, diakses pada

Kamis 11 April 2019, Pukul 00.28.

Page 50: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

40

Taufik ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta.13

Taufik kemudian mengajukan permohonan sengketa ke Bawaslu. Setelah melalui

proses mediasi yang tidak menemui titik tengah, maka dilakukanlah sidang

ajudikasi. Melalui ajudikasi, Bawaslu menerima permohonan Pemohon dan

menggugurkan keputusan KPU yang menyatakan Taufik tidak memenuhi syarat

administrasi dan memerintahkan KPU untuk memasukkannya ke dalam DCT

Caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta.14

Tidak hanya itu, ketika dikonfirmasi salah satu media KPU menyebutkan

ada sekitar 38 mantan narapidana korupsi yang diloloskan oleh Bawaslu sebagai

bakal calon legislatif (bacaleg). Berdasarkan data KPU, sebanyak 12 bacaleg

mantan napi korupsi diloloskan Bawaslu di tingkat provinsi. Sisanya, 26 bacaleg

mantan napi korupsi diloloskan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota.15

Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, hanya ada 3 partai yang tidak

mengajukan satu pun bacaleg mantan napi korupsi. Berikut daftar bacaleg mantan

napi korupsi yang diloloskan Bawaslu berdasarkan partai: Partai Gerindra 6

orang; Partai Hanura 5 orang; Partai Berkarya 4 orang; Partai Amanat Nasional 4

orang; Partai Demokrat 4 orang; Partai Golkar: 4 orang; Partai Nasdem 2 orang;

Partai Garuda 2 orang; Partai Perindo 2 orang; Partai Nasdem 2 orang; Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia 2 orang; Partai Keadilan Sejahtera 1 orang;

Partai Bulan Bintang 1 orang; PDI Perjuangan 1 orang; dan hanya Partai

13

Pengumuman Nomor: 728/PL.01.4-Pu/Prov/VIII/2018, Daftar Calon Sementara (DCS)

DPRD Provinsi DKI Jakarta.

14

Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Nomor Register:

004/Reg.LG/DPRD/12.00/VIII/2018.

15

"38 Caleg Mantan Napi Korupsi Diloloskan Bawaslu, Berikut Daftarnya",

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/10093791/38-caleg-mantan-napi-korupsi-diloloskan-

bawaslu-berikut-daftarnya

Page 51: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

41

Solidaritas Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan

yang tidak mencalonkan mantan koruptor.16

Pada masa pendaftaran bacaleg, ke-38 mantan napi korupsi itu dinyatakan

tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Sebab, KPU berpedoman pada Pasal 4

ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan

mantan koruptor menjadi calon wakil rakyat. Namun, para mantan koruptor

tersebut lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu

setempat. Hasil sengketa menyatakan seluruhnya memenuhi syarat (MS).

Bawaslu mengacu pada Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak

melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai caleg. Meski demikian, KPU

memilih untuk menunda pelaksanaan putusan Bawaslu. Penundaan dilakukan

hingga Mahkamah Agung (MA) memutuskan uji materi PKPU nomor 20 tahun

2018. Hal ini menyebabkan polemik berkepanjangan antara dua lembaga yang

memiliki objek kewenangan yang sama. Sejak awal penyusunan Daftar Calon

Sementara (DCS) pun, KPU tidak memasukkan nama-nama bacaleg mantan napi

korupsi lantaran tak memenuhi syarat. Sementara Bawaslu yang sejak awal

mensosialisasikan Pakta integritas seolah ikut menolak pemberlakuan PKPU

Nomor 20 dan membiarkan partai politik melanggar janjinya atas pakta integritas.

C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/Hum/2018

1. Deskripsi Putusan

Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang telah mengabulkan permohonan uji

materil terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018 (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2018 Nomor 834) dengan nomor putusan nomor 46 P/Hum/2018. Substansi

pokok dari putusan tersebut yakni pembatalan terhadap pasal-pasal yang diuji

16

"38 Caleg Mantan Napi Korupsi Diloloskan Bawaslu, Berikut Daftarnya",

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/10093791/38-caleg-mantan-napi-korupsi-diloloskan-

bawaslu-berikut-daftarnya

Page 52: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

42

materilkan antara lain pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model

B.3 Pakta Integritas. Pasal-pasal tersebut, memuat ketentuan larangan mantan

terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak untuk

mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif. Namun pemohon dalam perkara ini

merupakan mantan anggota DPRD yang pernah terjerat kasus korupsi dan tidak

terkait dengan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

Oleh karena itu, ia hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa “mantan

terpidana korupsi”, sehingga putusan 46P/Hum/2018 merupakan putusan yang

memuat pembatalan peraturan larangan mantan terpidana korupsi untuk ikut serta

dalam kontestasi pemilu legislatif.

Putusan MA yang memuat pembatalan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018

menjadi titik tengah terhadap polemik antara KPU dan Bawaslu. Meski demikian,

putusan ini juga banyak menuai pro dan kontra berbagai pihak. Banyak yang

menyayangkan bahwa Mahkamah Agung memberikan ruang dan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada para mantan koruptor untuk duduk kembali dalam parlemen.

2. Pertimbangan Hakim MA

a. Landasan Filosofis

Negara Indonesia adalah negara hukum yang tentunya menuntut adanya

kepastian hukum dalam penyelenggaraannya. Hal ini menjadi pertimbangan

filosofis Mahkamah Agung dalam memutus putusan terkait PKPU nomor 20

tahun 2018. Bahwa dalam penyelenggaraan negara hukum, terjadinya

inkonsistensi hukum dalam suatu peraturan sangatlah bertentangan dengan asas

kepastian. Adanya peraturan yang saling bertabrakan satu sama lain akan

menimbulkan kegaduhan dalam hukum itu sendiri.17

Hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan hak dasar di

bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar

17

Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 72.

Page 53: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

43

Negara RI Tahun 1945. Pengakuan hak politik ini juga diakui dalam Kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and

Political Rights disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember

1966 sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights

(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

b. Landasan Yuridis

Menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3)

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan

Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum, yang menyatakan: “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi

persyaratan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka

dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan

terpidana”.18

Dari ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut tidak ada norma atau

aturan larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi sebagaimana

yang tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun

2018. Selain itu, Peraturan ini bertentangan pula dengan Pasal 12 huruf d Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menentukan, “peraturan di bawah undang-

undang berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Komisi Pemilihan Umum telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan di atasnya. Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)

huruf d dan Lampiran Model B.3 PKPU ini tidak sejalan, berbenturan, dan tidak

18

Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 72.

Page 54: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

44

memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,

sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.19

Penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas sebagaimana yang

menjadi semangat KPU merupakan sebuah keniscayaan bahwa pencalonan

anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki

rekam jejak cacat integritas. Namun pengaturan terhadap pembatasan hak politik

seorang warga negara harus dimuat dalam undang-undang, bukan diatur dalam

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang in casu Peraturan

Komisi Pemilihan Umum.

Pengaturan mengenai hak politik diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang

menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam

pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan”. Pasal 73 Undang-Undang tersebut juga menentukan “hak

dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh

dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,

kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Dalam UU HAM di atas

sangat jelas diatur bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

dipilih dan memilih dalam pemilihan umum dan kalaupun ada pembatasan

terhadap hak tersebut maka harus ditetapkan dengan undang-undang, atau

berdasarkan Putusan Hakim.

19

Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 73.

Page 55: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

45

D. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 31 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,

DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota

1. Deskripsi Peraturan

Peraturan KPU Nomor 31 merupakan peraturan yang dibentuk oleh KPU

untuk melaksanakan Putusan MA Nomor 46P/Hum/2018. Setelah melalui proses

uji materi di Mahkamah Agung, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang memuat

larangan pencalonan diri dalam pemilu legislatif sepanjang frasa mantan terpidana

korupsi dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Undang-undang tersebut yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian perlu dibuat

peraturan tentang perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

Dengan hadirnya PKPU Nomor 31, bukan berarti substansi dari PKPU

Nomor 20 diubah seluruhnya. Hanya beberapa ketentuan yang diubah, antara lain

pada Pasal 4 ayat (3) yang semula rumusannya “Dalam seleksi bakal calon secara

demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan

mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”

diubah menjadi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar

narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.” Dalam hal ini frasa mantan

terpidana korupsi dihapuskan.

Selanjutnya di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab yakni

Bab VIA Ketentuan Peralihan. Kemudian di antara Pasal 45 dan Pasal 46

disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B. Pada pasal ini, Bakal

calon yang merupakan mantan narapidana korupsi yang dinyatakan tidak

memenuhi syarat berdasarkan ketentuan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dinyatakan

memenuhi syarat. KPU memasukkan bakal calon tersebut ke dalam DCT dengan

Page 56: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

46

beberapa ketentuan antara lain wajib menyampaikan surat pernyataan

sebagaimana tercantum dalam formulir Model BB.1 dengan melampirkan: a)

surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan bahwa

bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b) salinan

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; c)surat dari pemimpin

redaksi media massa lokal atau nasional yang menerangkan bahwa bakal calon

telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan

terpidana; dan d) bukti pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media

massa lokal atau nasional.

2. Implementasi Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018

Keluarnya Putusan MA memberikan konsekuensi besar terhadap proses

penyelenggaraan pemilu 2019. KPU yang sempat menunda pelaksanaan putusan

Bawaslu atas berbagai sengketa para calon yang bermasalah, akhirnya harus turut

berdasarkan amanat Putusan MA. Bacaleg-bacaleg yang sebelumnya dinyatakan

tidak memenuhi syarat oleh KPU akhirnya diloloskan.20

Salah satu caleg yang paling disoroti adalah M. Taufik Caleg DPRD

Provinsi DKI Jakarta dari partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Taufik

adalah mantan terpidana korupsi yang divonis 18 bulan penjara pada 27 april

2004 karena terjerat kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua KPUD DKI

Jakarta. Sebelumnya ia dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU

berdasarkan Pengumuman Nomor: 728/PL.01.4-Pu/Prov/VIII/2018. Setelah

melalui proses pengajuan sengketa ke Bawaslu ia dinyatakan memenuhi

syarat melalui Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum

dengan Nomor Register: 004/Reg.LG/DPRD/12.00/VIII/2018. Hal tersebut

20

Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 Tentang tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20

Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 45 ayat

(1).

Page 57: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

47

diperkuat dengan keluarnya Putusan MA yang mengabulkan permohonan

pembatalan PKPU Nomor 20 Tahun 2018. KPU kemudian melakukan

perubahan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018, hasil dari perubahan

tersebut yakni PKPU Nomor 31 Tahun 2018. Peraturan ini memuat

pernyataan bahwa caleg-caleg mantan terpidana korupsi yang sebelumnya

dinyatakan tidak memenuhi syarat, dinyatakan memenuhi syarat dengan

berbagai ketentuan dan kelengkapan berkas yang harus diajukan.21

Hal ini

terbukti dengan masuknya beberapa nama mantan koruptor ke dalam DCT

yang sebelumnya tidak ada dalam DCS.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa KPU melalui PKPU

Nomor 31 Tahun 2018 taat kepada Putusan Mahkamah Agung. Keengganan

KPU dalam menjalankan Putusan Bawaslu terpatahkan setelah adanya

Putusan MA Nomor 46P/Hum/2018. Dengan ini aturan mengenai larangan

bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif

tidak berlaku lagi. Mantan koruptor bisa menjadi caleg dan berhak

sepenuhnya untuk ikut serta pada pemilihan umum 2019.

21

Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 Tentang tentang Perubahan atas PKPU Nomor 20

Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 45 ayat

(2).

Page 58: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

48

BAB IV

PENCALEGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI

A. Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi dalam Tinjauan Hukum Progresif

Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan

mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia

bahagia.1 Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar, hukum adalah untuk manusia

dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk

dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri

manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Dengan demikian

untuk mengetahui progresif tidaknya suatu hukum, maka hukum tersebut perlu

ditinjau dari aspek keadilan, kesejahteraan dan kemanfaatannya.

1. Keadilan Hukum dalam Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi

Hukum dibuat dalam rangka menjalankan pemerintahan negara, sedangkan

tujuan membentuk pemerintahan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Uraian ini bisa

diartikan sebagai tujuan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Roh hukum adalah moral dan keadilan.2 Tanpa hukum yang mampu menanggapi

keadilan masyarakat (hukum responsif) maka hukum itu sendiri telah kehilangan

rohnya. Untuk itulah diperlukan suatu kesadaran bagi para penegak hukum.

Sistem politik dan suasana politik sangat berpengaruh dalam proses

penegakan hukum. Sistem politik yang baik dengan dibarengi suasana politik yang

kondusif akan memudahkan dalam penegakan hukum, begitupun sebaliknya jika

sistem dan suasana politik carut marut akan sangat menghambat terhadap penegakan

1Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal

Pembaharuan Hukum, (Volume I No. 3 September – Desember 2014), h. 279.

2M. Husni, Moral dan Keadilan sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Progresif, Jurnal

Hukum Equality, (Vol. 11, Nomor 1, Februari 2006), h. 3.

Page 59: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

49

hukum. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang baik perlu tatanan dan praktek

politik yang baik juga. Terutama hukum harus mampu merespon dinamika

perkembangan berpikir masyarakat sehingga hukum tidak berjalan di tempat. Hukum

yang responsif tidak hanya berdasarkan secara hukum formal, dimana hukum

diberlakukan hanya berdasarkan aturan-aturan dan hanya diberlakukan sebagai

penjaga dari setiap pelanggaran atau diformat untuk mencegah setiap pelanggaran.

Dalam hal ini hukum harus lebih progresif yaitu hukum harus dilihat dari sisi

keadilan masyarakat, Sehingga ketika hukum ditegakkan maka rasa keadilan akan

benar-benar dirasakan oleh masyarakat.3

Penyelenggaraan pemilu yang adil dan berintegritas merupakan satu langkah

awal atau sebuah keniscayaan terciptanya sistem politik yang baik. Termasuk di

dalamnya menyeleksi dengan ketat bakal calon yang hendak dipilih oleh masyarakat

untuk mengemban amanah pemerintahan. Pencalonan anggota eksekutif maupun

legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki rekam jejak

cacat integritas. Hal ini penting untuk dapat menyeleksi calon wakil rakyat yang

memang layak dipilih untuk amanah rakyat dalam pemerintahan. Tidak semestinya

hukum memberikan ruang dan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada para

mantan narapidana, ketika masih banyak sosok yang bersih dan bebas dari rekam

jejak pidana seperti korupsi.

Catatan-catatan buruk kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pada

tahun 2017, setidaknya terdapat dua puluh dari seratus dua perkara korupsi yang

melibatkan pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah yang pelakunya adalah

para anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, telah nyata bahwa praktik-praktik

korupsi, kolusi dan nepotisme telah berakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat

3Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal

Pembaharuan Hukum (Volume I No. 3 September – Desember 2014), h.270.

Page 60: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

50

Indonesia khususnya di kalangan pejabat tidak terkecuali anggota legislatif yang tak

lain merupakan lembaga representatif dari rakyat.4

Menurut Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Korupsi

(KPK) periode 2011 s.d. 2015, korupsi memiliki kecenderungan pola yang berulang

dan bahkan bermetamorfosa. Dari data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch

(ICW), fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam

perkara korupsi lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman

beberapa kali terjadi dan tercatat.5 Contoh, Aidil Fitri/Ketua KONI Samarinda, di

Jawa Timur oleh Mochammad Basuki/Ketua DPRD Jawa Timur, dan di Hulu Sungai

Tengah oleh Abdul Latif/Bupati. Oleh karenanya melakukan langkah antisipasi

secara tegas dengan melakukan upaya pencegahan melalui Peraturan KPU menjadi

sangat beralasan secara sosial dan bahkan amat penting bagi penyelenggaraan negara

ke depan.

Bagaimanapun, pelaku-pelaku korupsi tidak dapat lagi ditolerir untuk masuk

kembali duduk dan memegang kewenangan dalam lembaga negara dan pemerintahan

baik di pusat maupun di daerah. Negara dengan demikian menanggung risiko terlalu

tinggi jika tidak ada upaya pencegahan sedari awal dan masih memberi kesempatan

kepada perbuatan korupsi melalui para pelakunya yang berperan dalam lembaga

negara dan pemerintahan. Selain berupaya untuk mencegah koruptor kembali lagi

dalam penyelenggaraan negara, diharapkan ada efek jera sebagai upaya mencegah

para anggota legislatif yang terpilih untuk melakukan praktik KKN pada masa

mendatang, perbuatannya tersebut ke depan akan sangat berpengaruh kepada karier

politiknya.

Menurut Satjipto Rahardjo, Dalam mengatasi Korupsi diperlukan terobosan

dengan mengacu kepada teori hukum klasik. Kesulitan dan kerumitan pemberantasan

4Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 (tercantum dalam jawaban Termohon (KPU), h. 39-51.

5KPU Harus Jalan Terus Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg,

https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jalan-terus-larang-mantan-napi-korupsi-nyaleg,

diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul 23.54.

Page 61: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

51

korupsi adalah akibat dari semangat tinggi untuk memberantas namun kaki dan

tangan terikat oleh peraturan dan prosedur hukum, oleh sistem dan doktrin serta

kultur tertentu. Dalam hal ini pekerjaan hukum tidak hanya melakukan rule making

(membuat dan menjalankan), tetapi sesekali dalam keadaan tertentu, juga melakukan

rule breaking (terobosan). Contoh tentang “pintu-pintu darurat” ini adalah di mana

hukum melakukan terobosan terhadap peraturan, doktrin, dan lain-lain yang

dibuatnya sendiri.6

Berkualitas atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi

oleh sumber daya manusianya (casu quo) dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan pemerintah. Seperti hal sudah sangat umum diketahui masyarakat luas,

kualitas anggota DPR masih sangat rendah, juga masih mental korup. Pemberitaan

mengenai korupsi dan suap yang dilakukan DPR dan DPRD seakan tidak pernah

surut. DPR adalah pejabat publik di Indonesia yang seyogyanya mengabdikan dirinya

untuk kepentingan umum, masyarakat agar sejahtera, adil dan makmur sebagaimana

diamanatkan oleh pembukaan dan batang tubuh uud 1945. Jika orang memperoleh

kepercayaan dari masyarakat maka ia harus menganggap dirinya milik masyarakat.7

Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai

distorsi terhadap kehidupan sehingga tercipta kultur birokrasi penegakan hukum yang

korup, lemahnya legal substance, legal structure dan legal culture. Upaya

pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dikatakan tidak signifikan jika melihat fakta

yang terus terkuak. Bahkan wacana pemberlakuan hukuman mati yang telah

dituangkan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tidak menjadi solusi nyata

karena sampai saat ini belum ada majelis hakim yang berani untuk menerapkan

hukuman tersebut. Hukuman penjara ataupun denda yang dikenakan kepada mereka

juga tidak memberikan efek jera, justru hukuman bagi para koruptor lebih ringan

6Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2010), h. 140.

7Yohanes Suhardin, Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal

Hukum Pro Justitia, (Volume 25 No. 3, Juli 2007), h. 278.

Page 62: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

52

dibandingkan dengan pencuri sandal jebit yang berasal dari rakyat kecil. Oleh

karenanya, perlu adanya upaya mengembangkan prinsip reward and punishment. Hal

ini dipandang penting karena perlakuan yang sama terhadap mereka yang berprestasi

dan inovatif dengan yang tidak adalah sangat menyakitkan dan menyurutkan

semangat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih.

Adanya pembatasan hak politik terhadap mantan narapidana korupsi akan

sangat berdampak pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga akan

menjadikan hukum semakin progresif dalam mewujudkan keadilan dan kepentingan

masyarakat. Secara sadar pencabutan hak politik ini akan memberikan efek jera bagi

pelaku dan shock therapy bagi masyarakat luas untuk tidak ikut terjerat dalam kasus

yang sama. Selain itu, tindak pidana korupsi merupakan jenis tindak pidana yang

bersifat extra ordinary crime sehingga penegakannya juga bersifat luar biasa (extra

ordinary enforcement). Apabila hukuman mati enggan untuk diterapkan, maka

pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan implementasi penerapan pidana yang

bersifat extra ordinary enforcement.8 Sudah sepatutnya mereka yang banyak

menimbulkan kekacauan diberikan batasan hak untuk duduk kembali dalam amanah

yang pernah dihianatinya.

Menurut penulis bolehnya mantan terpidana korupsi untuk mengisi lembaga

parlemen yang notabene merupakan tonggak utama pembentukan undang-undang

merupakan satu langkah yang tidak progresif. Jika berbicara mengenai keadilan

dalam perspektif hak asasi manusia, bahwa setiap orang berhak untuk ikut serta

dalam pemerintahan serta hak berpolitik dijamin oleh hukum, namun yang harus

menjadi pertimbangan utama adalah keadilan masyarakat banyak. Keadilan hak

berpolitik yang hendak dibangun justru menyisakan ketidakadilan terhadap

masyarakat luas yang direnggut hak sosial dan hak ekonominya. Penyesuaian

kepentingan terhadap kepentingan masyarakat harus lebih diutamakan daripada hak

8Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia (Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014), Jurnal

Yudisial (Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 37.

Page 63: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

53

individu. Pembolehan mantan koruptor untuk menjadi calon legislatif, berarti

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para koruptor untuk kembali

duduk dalam pemerintahan. Hal ini akan menimbulkan ketidakjeraan para pelaku dan

merasa lebih leluasa untuk melakukan korupsi secara terus menerus. Seperti yang

telah disampaikan di atas tindak pidana korupsi banyak mengalami residivis atau

perbuatan yang berulang pada pelaku yang sama. Di samping itu, pandangan

masyarakat luas kepada penanganan korupsi juga menjadi biasa saja sehingga tidak

ada shock therapy yang ditimbulkan.

Menurut Satjipto Rahardjo kekuasaan yang diharapkan dapat menjadi

perlengkapan dan unsur utama dalam negara adalah “kekuasaan yang baik”

(benevolent). Kurang lebih lebih ciri-ciri dari kekuasaan yang demikian itu adalah, (1)

kekuasaan yang berwatak mengabdi kepada kepentingan umum, (2) kekuasaan yang

melihat kepada lapisan masyarakat yang susah, (3) kekuasaan yang selalu

memikirkan kepentingan publik, (4) kekuasaan yang kosong dari kepentingan

subjektif, (5) kekuasaan yang mengasihi.9

Dalam segala aspek, pemerintah atau para aktor politik yang menjalankan

kekuasaan baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus memenuhi

kriteria sebagaimana disebutkan di atas. Mereka harus bisa melihat dan merasakan

lapisan masyarakatnya, mengabdi pada kepentingan umum dan berorientasi pada

keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

2. Kesejahteraan Hukum

Selain mengupayakan keadilan bagi masyarakat, pada dasarnya cita-cita yang

paling mendasar setiap negara adalah kesejahteraan. Kesejahteraan diartikan sebagai

tercapainya keadilan dalam tiga dimensi, yakni keadilan sosial, keadilan ekonomi,

dan demokrasi serta governance (pemerintahan). Dimensi keadilan sosial mencakup

hal-hal yang berkaitan dengan keadilan dan pemerataan proses distribusi pemenuhan

9Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 158.

Page 64: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

54

hak-hak dasar manusia, seperti akses untuk berobat, akses kepada listrik, pendidikan,

penghidupan yang layak, dan sebagainya. Dimensi keadilan ekonomi mencakup

standar keadilan rakyat dalam mendapatkan akses dan asset terhadap sumber daya

ekonomi seperti kepemilikan rumah sendiri, rasio penduduk yang yang bekerja, rasio

biaya pendidikan, dan biaya penghidupan yang lain. Dimensi demokrasi dan

pemerintahan mencakup keterjaminan rakyat berpartisipasi dalam keseluruhan proses

demokrasi.10

Keterjaminan ini tergambarkan dalam hak akses informasi, rasa aman,

termasuk hak rakyat untuk dapat memilih pemimpin yang layak melalui pemilu yang

bersih.

Dari sedikit penjelasan tersebut, dapat dimengerti bahwa kesejahteraan

merupakan suatu kondisi di mana kebutuhan ekonomi terpenuhi, keadilan sosial

tercapai, dan keamanan jiwa terjamin. Pada hakikatnya para koruptor adalah salah

satu faktor yang menyebabkan negara Indonesia semakin jauh dari kemajuan dan

kesejahteraan. Mereka banyak merenggut hak rakyat, sehingga menimbulkan daya

rusak bagi sendi-sendi penyelenggaraan negara. Apabila ditinjau dari kacamata

hukum progresif sebagaimana orientasinya adalah kesejahteraan rakyat, pembolehan

mantan narapidana korupsi akan semakin menjauhkan hukum dari keprogresifan atau

kemajuan hukum itu sendiri.

Masih tingginya angka kejahatan korupsi yang dilakukan oleh hampir semua

instansi di Indonesia merupakan faktor penghambat tercapainya kesejahteraan

masyarakat. Pemerintah sejauh ini dinilai belum berhasil menyelamatkan ratusan

bahkan milyaran rupiah uang negara yang dikorupsi pejabat negara. Penanganan

korupsi masih bersifat tebang pilih, terutama terhadap perkara-perkara korupsi yang

mencapai ratusan bahkan milyaran rupiah. Koruptor yang berhasil digiring ke

pengadilan dan kemudian dipenjara kebanyakan koruptor kelas teri. Dengan demikian

eksistensi peraturan perundang-undangan yang mewadahi upaya pemberantasan

korupsi harus terus diperjuangkan. Sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo,

10

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Ikrar, Indeks

Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Kemenkokesra), h. 25.

Page 65: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

55

“bangsa ini telah menobatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, karena itu adalah

logis ia harus dihadapi dengan cara-cara luar biasa pula.11

Hal itu juga berarti undang-

undang korupsi belum mampu menciptakan peluang dan kesempatan terwujudnya

kesejahteraan masyarakat.

Jika uang yang dikorup itu untuk biaya pendidikan masyarakat, maka

pendidikan di Indonesia sudah gratis. Jika uang yang dikorup digunakan untuk

pelayanan kesehatan dan pelayanan masyarakat lainnya maka masyarakat akan lebih

sejahtera. Para koruptor itu sudah dipercaya atau diberi amanah politik dan harus

menjaga kekayaan negara namun justru dihambur-hamburkan atas dasar

kerakusannya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi sangatlah bertentangan dengan

hak asasi manusia dan keadilan masyarakat, yang berimbas pada tidak terwujudnya

cita-cita negara yakni kesejahteraan.

Dalam rangka terwujudnya kesejahteraan masyarakat, maka posisi pemerintah

sebagai pengayom dan pengemban kesejahteraan sangat diharapkan. Seorang

penguasa mempunyai kewajiban mensejahterakan masyarakatnya, bukan

menyengsarakan mereka. Begitu pun dengan anggota legislatif sebagai tonggak

pembuat undang-undang, sudah sepatutnya mereka berasal dari orang-orang yang

bersih bukan yang cacat integritas. Maka penting untuk menyeleksi dengan ketat

bakal calon yang akan ikut dalam kontestasi pemilihan legislatif mengingat sistem

demokrasi di Indonesia tidak mutlak melahirkan orang-orang bersih, masih banyak

masyarakat yang memilih karena uang (Money Politic). Dengan demikian, KPU

beserta lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu harus lebih aktif

untuk menyuarakan pelaksanaan pemilu yang bersih dengan diikuti oleh orang-orang

yang berintegritas pula.

11

Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia (Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1195K/Pid.Sus/2014), (Jurnal

Yudisial Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 37.

Page 66: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

56

3. Kemanfaatan dan Kebahagiaan

Inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang

membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum karena pada akhirnya hukum

itu bukan teks hukum melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.12

Hukum harus memberikan manfaat kepada seluruh manusia. Yang dimaksud dengan

manfaat dalam hal ini adalah menghindarkan keburukan dan mendapatkan kebaikan.

Tujuan hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya pada

jumlah yang sebanyak-banyaknya. Sama halnya dengan tujuan mendirikan negara

yakni kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari seluruh rakyat bukan kebahagiaan

sebagian golongan. Menurut Plato untuk menciptakan ketentraman dan kesejahteraan

di sebuah negara, hendaklah keadilan yang memerintah di negara tersebut.13

Hal ini

berarti bahwa dalam menetapkan suatu kebijakan hukum, yang menjadi orientasi

utama dan prioritas adalah kepentingan masyarakat banyak.

Norma hukum pada dasarnya bersumber pada kenyataan dan nilai-nilai dalam

masyarakat, bukan kehendak penguasa atau apa yang tertuang dalam undang-undang

semata. Dalam filsafat hukum, aliran ini disebut aliran Sosiological Jurisprudence.

Dibandingkan dengan konsep hukum yang lain, hukum progresif memiliki

keunggulan, namun demikian pada saat yang bersamaan hukum progresif bukanlah

konsep yang berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dari eksplanasi terhadap persoalan

hukum yang tidak bisa melepaskan diri dari kebersinggungannya dengan konsep

hukum yang lain, seperti:14

Pertama, teori hukum responsif ide atau responsive law dari Nonet & Selznick

yang menghendaki agar hukum senantiasa diposisikan sebagai fasilitator yang

merespons kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat, dengan karakternya yang

12

Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal

Pembaharuan Hukum (Volume I No. 3 September – Desember 2014), h.278.

13

Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2001), h.

131. 14

Dey Ravena, Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,

(Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 September 2010), h. 158.

Page 67: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

57

menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada

keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih daripada itu mengedepankan

pada substancial justice.

Kedua, teori hukum realis atau legal realism (Oliver Wendell Holmes)

terkenal dengan kredonya bahwa, “Bahwa kehidupan pada dasarnya bukan logika,

melainkan pengalaman (“The life of the law has not been logic: it has been

experience”). Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapi

experience, maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan

dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang

timbul dari bekerjanya hukum. Dalam legal realism, pemahaman terhadap hukum

tidak hanya terbatas pada teks atau dokumen-dokumen hukum,tetapi melampaui teks

dan dokumen hukum tersebut. Bentham memaknai kegunaan atau kemanfaatan (ulity)

sebagai sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat mendatangkan manfaat, keuntungan,

kesenangan, dan kebahagiaan, atau sesuatu yang dapat mencegah terjadinya

kerusakan, kedaksenangan, kejahatan, atau kedakbahagiaan. Nilai kemanfaatan ini

ada pada ngkat individu yang menghasilkan kebahagiaan individual (happiness of

individual) maupun masyarakat (happiness of community).15

Bagi Bentham, moralitas

suatu perbuatan ditentukan dengan mempermbangkan kegunaannya untuk mencapai

kebahagiaan segenap manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana

dianut oleh hedonisme klasik. Inilah yang kemudian melahirkan dalil klasik Bentham

mengenai kebahagiaan: the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan

terbesar untuk mayoritas).

Dengan demikian menurut penulis yang ditekankan bukanlah adil atau

tidaknya suatu hukum, melainkan sampai sejauh mana hukum dapat memberikan

kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Jika ditinjau dari aspek kemanfaatan atau

kebahagiaan yang ditimbulkan maka hukum bolehnya mantan terpidana korupsi turut

serta dalam pemilihan umum tidak bersifat progresif.

15

A Latipulhayat, Khazanah: Jeremy Bentham, Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran, (Volume 2

Nomor 2 Tahun 2015), h. 416.

Page 68: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

58

B. Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi dalam Tinjauan Maqashid al-Syariah

Dalam pembahasan teori maqashid al-syariah pada bab sebelumnya, telah

disebutkan bahwa tujuan utama syariah adalah kebermanfaatan/kemaslahatan dan

mencegah serta menghilangkan sesuatu yang membawa mudarat/kerusakan. Ijtihad,

ijma’, qiyas, qath’i dan zanni, konsep ketaatan, perintah, larangan, dan sebagainya,

harus berpihak pada konteks sosial dan bertujuan untuk kemashlahatan umat. Salah

satu prinsip pokok yang hendak diwujudkan dengan pensyariatan hukum Islam

tersebut adalah pemeliharaan harta dari pemindahan harta hak milik yang tidak

sejalan dengan hukum dan dari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak

Allah. Korupsi merupakan salah satu pemindahan sekaligus pemanfaatan harta milik

yang tidak sejalan dengan prinsip pokok dimaksud. Dalam perspektif maqashid al-

syariah, korupsi merupakan pelanggaran terhadap perlindungan harta, sehingga

pembolehan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu

legislatif kurang relevan dengan visi perlindungan terhadap harta dalam maqashid al-

syariah. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana hukum pencalegan koruptor

perspektif maqashid al-syariah maka perlu dibahas dalam beberapa poin penting dari

maqashid al-syariah sebagai dasar tujuan Hukum Islam sebagai berikut:

1. Ditinjau dari Tingkat Kehujjahannya

Kehujjahan suatu maslahah untuk dijadikan sebagai landasan hukum

bergantung pada„illat hukum yang bermuara pada kepentingan kemaslahatan

manusia. Pada umumnya jumhur ulama lebih dahulu meninjaunya dari segi ada atau

tidaknya kesaksian syara‟ terhadapnya. Maslahah seperti ini dibagi menjadi tiga

yaitu:16

a) Mashlahah Muktabarah, yaitu kemaslahatan yang mendapat dukungan

oleh syara'. Artinya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis

kemaslahatan tersebut. Kemashlahatan ini bersifat nyata serta dapat diukur dan

dinalar. Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan

landasan hukum. b) Mashlahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara'

16

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2007) h. 131-132.

Page 69: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

59

karena bertentangan dengan ketentuan nash. Bentuk maslahah yang kedua ini tidak

dapat dijadikan hujjah atau landasan hukum. c) Mashlahah mursalah, yaitu

kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan ataupun

melarangnya.

Hukum pembolehan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri

dalam pemilihan legislatif merupakan satu kebijakan yang tidak diatur secara

eksplisit dalam hukum Islam. Tidak ada dalil yang secara tekstual mengatur terkait

peraturan tersebut. Jika ditinjau dari pertimbangan-pertimbangan hukum MA dalam

memutus kebijakan pembolehan tersebut maka akan terlihat substansi persamaan hak

di dalamnya. Pada dasarnya, dalam hukum Islam juga diatur mengenai persamaan

hak di hadapan hukum dan ini menjadi salah satu landasan dasar bahwa setiap orang

berhak untuk turut serta dalam pemerintahan. Prinsip persamaan ini diakui sebagai

salah satu asas penting disamping keadilan, kemanfaatan, kebebasan dan asas-asas

lainnya.

2. Ditinjau dari Tingkat Kebutuhannya

Al-Syatibi membagi maslahah pada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat

(primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (pelengkap).17

Pertama, kebutuhan

dharuriyat, yaitu tingkat kebutuhan yang harus ada, apabila tingkat kebutuhan ini

tidak terpenuhi maka keselamatan umat manusia akan terancam, baik di dunia

maupun di akhirat. Kedua, Kebutuhan al-hajiyat, disebut juga kebutuhan sekunder.

Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam

namun ia akan mengalami kesulitan. Ketiga, Kebutuhan al-tahsiniyat, yaitu

kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan

tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Dalam hal hukum

pembolehan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif, ia berada

pada tingkat kebutuhan al-hajiyat yakni apabila kebijakan tersebut tidak ada maka

keselamatan manusia tidak sampai terancam namun ia akan mengalami kesulitan.

17

Asmuni Mth, Studi Pemikiran al-Maqashid, (al-Mawarid edisi XIV, 2005), h. 167.

Page 70: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

60

Menurut al-Syatibi maslahah hajiyat yaitu kebutuhan manusia dalam

memperoleh kelapangan hidup dan menghindarkan diri dari kesulitan (musyaqqat).18

Ketiadaan aspek hajiyat tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia

menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesusahan saja.

Jika kebijakan yang membolehkan mantan narapidana korupsi untuk turut dalam

kontestasi pemilu legisatif diabaikan, maka hal tersebut dinilai membatasi hak politik

seseorang sehingga dinilai menciderai keadilan dan persamaan hak di hadapan

hukum.

3. Ditinjau dari Cakupannya

Ditinjau dari sisi cakupannya, para ulama ushul fiqh membagi maslahah

menjadi dua yakni: a) al-Maslahah al-‘Ammah (kemaslahatan umum) yaitu

kemaslahatan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. b) al-Maslahah

al-Khossoh (kemaslahatan khusus), yaitu maslahah yang berkenaan dengan

orang-orang tertentu. Pembolehan mantan narapidana korupsi yang berdasar pada

asas persamaan jika ditinjau dari cakupan kemaslahatannya, ia merupakan al-

maslahah al-khossoh atau kemaslahatan khusus yang berlaku bagi para koruptor.

Dalam hal ini Jumhur berpendapat bahwa kemaslahatan yang lebih umum

didahulukan atas kemaslahatan di bawahnya.

Sekiranya terdapat dua hal sekaligus manfaat dan mudharat, maka menolak

kemungkaran harus didahulukan. Sebagaimana kaedah fiqh menyebutkan:

“Menolak kemungkaran harus diprioritaskan ketimbang dibanding menarik manfaat”.

Penggolongan hukum bolehnya mantan koruptor menjadi caleg jika ditinjau

dari tingkat kebutuhannya adalah al-hajiyat akan tetapi berdasarkan cakupannya

hanya bersifat kepentingan khusus (al-maslahah al-khossoh) yakni berorientasi pada

18

Muhammad Mawardi Djalaluddin, Pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi dalam Kitab al-

Muwafaqat, Jurnal al-Daulah, (Vol. 4, Nomor 2, Desember 2015), h. 297.

Page 71: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

61

kemaslahatan para koruptor yang direnggut hak politiknya. Sementara yang perlu

digarisbawahi adalah hak masyarakat luas yang direnggut hak sosial dan hak

ekonominya sehingga semakin menjauhkan mereka dari keadilan dan kesejahteraan

sebagaimana yang menjadi inti pokok dari tujuan hukum itu sendiri. Dengan

demikian pembolehan narapidana korupsi dalam mencalonkan diri menjadi anggota

legislatif merupakan satu bentuk kebijakan yang tidak maslahah.

Dalam menyelesaikan masalah kontemporer seperti yang telah diuraikan di

atas, kembali pada makna yang harfiah teks adalah sesuatu yang tidak mungkin

menyelesaikan masalah bahkan menjadi masalah tersendiri, yakni terelienasinya

ajaran Islam dalam dinamika kehidupan yang terus berkembang. Hal ini berimplikasi

pada runtuhnya kemuliaan Islam sebagai agama yang sesuai dengan segala tempat

dan masa. Satu-satunya solusi yang tepat adalah menangkap prinsip-prinsip dasar,

makna-makna universal, dan tujuan-tujuan yang terkandung di dadalmnya untuk

kemudian diterapkan dalam wajah baru yang sesuai dengan semangat merealisasikan

kemaslahatan umum. Inilah yang dinamakan dengan maqashid-based ijtihad.19

Keadilan selalu dijadikan sebuah nilai ideal dalam pembuatan maupun

pelaksanaan hukum. Nilai keadilan hukum menjadi salah satu hal yang mendasari

pemikiran maqashid al-syariah. Keadilan sangatlah penting, ia menjadi prinsip

utama tujuan negara dan merupakan pilar utama untuk mencapai kejahteraan

masyarakat. Dalam hal ini, tugas penyelenggara negara lah yang mengemban tugas

untuk mewujudkan keadilan itu.

Pemerintah maupun lembaga legislatif merupakan orang atau institusi yang

diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilih nan yang jujur dan

adil, untuk melaksanakan dan menegakkan hukum. Oleh sebab itu pemerintah

memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat, demikian juga kepada Allah SWT.

Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat

19

Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syariah, (Bandung: PT

Mizan Pustaka, 2015), hlm 387.

Page 72: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

62

dipercaya, jujur dan adil.20

Pemerintah harus mendukung setiap upaya untuk

kemajuan dan kepentingan masyarakatnya.

Setiap orang harus bekerja secara adil dan tidak boleh memakan harta orang

lain secara batil. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin terciptanya keadilan di

masyarakat luas, sehingga sistem ekonomi yang adil dapat tercipta dan kemiskinan

dapat diminimalisir. Selain perannya sebagai pengawas, pemerintah juga

berkewajiban mengurus kaum fakir miskin yang ada di negaranya. Umar bin Khattab

pernah berkata bahwa semua warga berhak atas harta negara. Tidak ada perbedaan

antara pemimpin maupun rakyat biasa.21

Korupsi merupakan satu perbuatan yang merugikan negara serta menjadi

boomerang gagalnya cita hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan

bagi masyarakat, sehingga diperlukan upaya nyata untuk dapat memberantas

tindak pidana yang satu ini. Secara prinsip dan praktik, hukuman bagi para pelaku

tindak pidana korupsi di Indonesia masih kurang signifikan, mengingat semakin

maraknya kasus korupsi di Indonesia. Seolah telah mengakar dalam budaya hidup,

perilaku, dan cara berpikir masyarakat, tindak pidana yang satu ini berhasil

menjangkiti birokrasi dari atas hingga yang paling bawah. Hampir seluruh

lembaga negara baik itu lembaga perwakilan rakyat, lembaga militer, lembaga

eksekutif dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah, lembaga yudikatif,

bidang pendidikan, bidang keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha,

perbankan, bahkan lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memberantas dan

menyelesaikan permasalahan yang kian terjadi pun tak tanggung-tanggung ikut

terjerat.

Mengacu kepada teori maslahah sebagai manifestasi dari penerapan maqashid

al-syariah, maka langkah progresif untuk memberikan batasan berpolitik di parlemen

20

Zainal Arifin dan Muannif Ridwan, HAM dalam Piagam Madinah, (Jakarta: LP2-AB,

2018), h. 140.

21

Satria Hibatal Azizy, Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam,

(Ponorogo: CIOS, 2015), h. 45.

Page 73: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

63

bagi para mantan koruptor merupakan upaya nyata pemberantasan korupsi. Maslahah

berimplikasi pada tercapainya kesejahteraan manusia yang terwujud dalam kemajuan

masyarakat. Kesejahteraan termanifestasikan dari kemanfaatan yang didapatkan serta

kerusakan yang dihilangkan.22

Pencabutan hak politik koruptor akan memberikan

dampak yang besar kepada rakyat secara luas. Selain itu, diharapkan dengan

peraturan tersebut mampu menjadi jembatan terselenggaranya pemilihan umum yang

bersih, sehingga dengan pemilihan yang bersih akan melahirkan pemimpin serta

wakil-wakil rakyat yang bersih dan pada akhirnya akan tercipta pemerintahan yang

bersih pula. Pencabutan hak politik koruptor sebagai upaya pengembalian hak

masyarakat untuk dapat menikmati fasilitas negara secara adil, sehingga tujuan utama

pembentukan hukum atau bahkan tujuan terbentuknya negara yakni kesejahteraan

dapat tercapai.

Hukum harus berorientasi pada prioritas pencapaian tujuan hukum (maqasid

syariah). Di antara tujuan hukum yang paling fundamental adalah tercapainya

keadilan subtantif, bukan semata sesuai dengan aspek legalitas formal.23

Menurut

Bilal Philips, beberapa prinsip dalam legislasi hukum Islam perlu diprioritasikan,

antara lain: removal of difficulty (menghilangkan kesulitan), reduction of religious

obligations (mengurangi beban keagamaan), realization of public welfare

(merealisasikan kesejateraan umum) dan realization of universal justice

(merealisasikan keadilan universal).24

Prinsip-prinsip di atas adalah bagian integral

dari filsafat hukum islam. Dengan demikian, perlu cara pandang baru dalam

membaca hukum (pasal, ayat dan kasus) tidak cukup dengan pembacaan parsial,

tetapi harus dengan pembacaan komprehensif. Pembacaan komprehensif ini tidak

22

Satria Hibatal Azizy, Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam,

(Ponorogo: CIOS, 2015), h. 18.

23

Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan Agung, Vol

Xliv No. 118, Juni – Agustus 2009, h. 119.

24

Maulidi, Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah: Manhaj Baru Menemukan Hukum

Responsif , Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum (Vol. 49, No. 2, Desember 2015), h. 256.

Page 74: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

64

hanya dilakukan pada teks-teks hukum saja, tetapi mencakup seluruh faktor dan

melibatkan disiplin keilmuan terkait. Artinya memahami hukum perlu melihatnya

dari berbagai perspektif, misalnya perspektif sosiologis Roscou Pound, perspektif

legal realism Oliver Holmes, perspektif Critical Legal Studies Roberto dan perspektif

hukum responsif Philippe Nonet dan Philip Selznick.25

Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa terkait pembolehan mantan

terpidana korupsi menjadi caleg merupakan satu kebijakan yang sedikit berbenturan

dengan tujuan kemaslahatan sebagaimana terkandung di dalam tujuan hukum itu

sendiri, meskipun putusan tersebut dilandasi dasar yuridis yang kuat. Hukum

dibentuk untuk memberikan manfaat dan sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan

bagi masyarakatnya.

25

Abdul Khoiruddin, Relevansi Hukum Progresif Terhadap Hukum Islam (Semarang: IAIN,

2011), h. 10.

Page 75: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk

manusia dan bukan sebaliknya. Kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri,

melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk keadilan, kemanfaatan

(kebahagiaan), dan kesejahteraan. Dari ketiga aspek tersebut terlihat bahwa

hukum bolehnya mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam

pemilihan anggota legislatif merupakan satu kebijakan yang semakin menjauhkan

hukum dari kemajuan hukum atau hukum progresif. Kebijakan tersebut terlalu

mengutamakan aspek formalitas hukum yang berlaku tanpa mempertimbangkan

aspek keadilan, kemanfaatan, dan kesejahteraan.

2. Maqashid al-Syariah merupakan tujuan dasar pembentukan hukum Islam.

Maqashid al-syariah ini termanifestasikan dalam bentuk maslahah (kemaslahatan

umat). Pembolehan mantan narapidana korupsi menjadi caleg merupakan satu

kebijakan yang berbenturan dengan tujuan kemaslahatan. Apabila terdapat dua

akibat yang ditimbulkan antara kemaslahatan dan kemudharatan atau antara

kemaslahatan dalam jumlah yang sedikit dan kemaslahtan dalam jumlah yang

banyak, maka yang diambil adalah yang paling banyak menciptakan

kemaslahatan bagi umat. Hukum dibentuk untuk memberikan manfaat dan

sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakatnya.

Page 76: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

66

B. Saran

Ditinjau dari perspektif filosofis, putusan MA ini telah membenturkan asas

kepastian hukum dengan asas keadilan dan kemanfaatan. Antara keadilan dan

kemanfaatan yang terdapat pertentangan, maka perlu dicari sintesis terhadap

keduanya. Mata rantai yang menghubungkan antara keadilan dan kemanfaatan

adalah “perasaan keadilan”. Penyesuaian kepentingan terhadap kepentingan

masyarakat harus lebih diutamakan daripada hak individu. Dalam memutuskan suatu

perkara sebaiknya hakim memerhatikan keadilan dan kepentingan masyarakat. Akan

tetapi dalam hal putusan MA nomor 46P/HUM/2018 ini, Mahkamah Agung tidak

bisa sepenuhnya disalahkan. Secara prosedural putusan tersebut sudah tepat.

Alangkah lebih solutif apabila peraturan pencabutan atau pembatasan hak politik bagi

terpidana koruptor dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lebih kuat

sehingga tidak akan menimbulkan polemik di kemudian hari.

Page 77: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

67

DAFTARPUSTAKA

Buku dan Jurnal

Al-Rasyid, Harun. Fikih Korupsi:Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif

Maqashid al-Syariah. Jakarta: Kencana, 2016.

Al-Syatibi. Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah. Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-

„ilmiyah, 2004.

Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Anjari, Warih. Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak

Asasi Manusia Kajian Putusan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Nomor 1

195K/Pid.Sus/2014. Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 1 April 2015.

Asmawi. Maslahah, Hukum Islam dan Hukum Negara. Jurnal Ahkam XI, No. 2, Juli

2011.

Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan perundang-undangan Khusus di

Indonesia. Jakarta: Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.

Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta, 2012.

Auda, Jasser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syariah.

Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015.

Azizy, Satria Hibatal. Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam.

Ponorogo: CIOS, 2015.

Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam.

Djalaluddin, Muhammad Mawardi. Pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi dalam Kitab al-

Muwafaqat. Jurnal al-Daulah. Vol. 4, Nomor 2, Desember 2015.

Djazuli, A. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu

Syariah. Jakarta: Kencana, 2003.

Effendi, M. Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Gramedia, 2004.

Page 78: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

68

Hairi, Prianter Jaya. Peraturan Kpu No. 20 Tahun 2018 dalam Perspektif Hierarki

Norma Hukum. Jurnal Info Singkat: Kajian Terhadap Isu Aktual dan Strategis,

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol. X, No. 13/I/Puslit/Juli/2018.

Husain Jauhar, Ahmad al-Mursi. Maqashid Syariah. Jakarta: Amzah, 2013.

Husni, M. Moral dan Keadilan sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Progresif.

Jurnal Hukum Equality. Volume 11, Nomor 1, Februari 2006.

Irfan, Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2011.

Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2013.

Khoiruddin, Abdul. Relevansi Hukum Progresif Terhadap Hukum Islam. Semarang:

IAIN, 2011.

Latipulhayat, A. Khazanah: Jeremy Bentham. Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran,

Volume 2 Nomor 2, 2015.

Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas,

2001.

M. Arfan Mu‟ammar, dkk. Studi Islam Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012.

Maryanto. Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum. Jurnal Ilmiah

CIVIS, Volume II, No 2, Juli 2012.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada, 2008.

Mas'ud, Muhammad Khalid. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,

terjemahan oleh Yudian W. Asmin. Surabaya: Al Ikhlas, 1995.

Matompo, Osgar S. Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif

Keadaan Darurat. Jurnal Media Hukum, Vol. 21 No.1, Juni 2014.

Maulidi. Paradigma Progresif dan Maqashid Syariah: Manhaj Baru Menemukan

Hukum Responsif. Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 49, No. 2, Desember

2015.

Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat.

Jurnal Pembaharuan Hukum. Volume I, Nomor 3, 2014.

Page 79: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

69

Musa, M. Yusuf. Politik dan Negara dalam Islam, (Cet. II). Yogyakarta:Pustaka LSI,

1991.

Mth, Asmuni. Studi Pemikiran al-Maqashid. Al-Mawarid edisi XIV, 2005.

Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2010.

. Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas, 2006.

Ramma Hadi Saputra dan Trinas Dewi Hariyana. Pencabutan Hak Politik Terhadap

Koruptor Ditinjau dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Study Kasus

Putusan Mahkamah Agung No.285 K/Pid.Sus/2015). Jurnal Diversi, Volume

3, Nomor 1, April 2017.

Ravena, Dey. Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum di

Indonesia. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 September 2010.

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.

Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Rokhmad, Abu. Gagasan Hukum Progresif Perspektif Teori Maslahah. Jurnal Kajian

Hukum Islam al-manahij, vol. VII No. 1, Januari, 2013.

Rondonuwu, Diana E. Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum

Menjadi Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum. Jurnal Lex Administratum, Vol.

II/No.2/Apr-Jun/2014.

Santoso, Agus. Hukum, Moral, dan Keadilan. Jakarta: Kencana, 2012.

Shidiq, Ghofar. Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Jurnal Sultan

Agung, Vol Xliv No. 118, Juni – Agustus 2009.

Sinamo, Nomensen. Ilmu Perundang-undangan. Jakarta: Jala Pernata Aksara, 2016.

Suhardin, Yohanes. Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat.

Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 25, No. 3, Juli 2007.

Surbakti, Ramlan. Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada. Jakarta: Kelompok

Page 80: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

70

Gramedia, 2016.

Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media, 2015.

Syamsudin, M. Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. Jakarta: Kencana,

2015.

Tamrin, Dahlan. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN-Malang Press. 2007.

Toriquddin, Moh. Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi. Jurnal Syariah dan

Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014.

Zainal Arifin dan Muannif Ridwan, HAM dalam Piagam Madinah. Jakarta: LP2-AB,

2018.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, lembaran negara

republik indonesia tahun 2017 nomor 182.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materi terhadap UU

Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 12 Tahun 2008.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Uji Materi Terhadap Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan

Wakil Presiden.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 atas uji materi Pasal 4 ayat (3),

Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Peraturan

KPU Nomor 20 Tahun 2018.

Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018 Tentang tentang Perubahan atas PKPU Nomor

20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/Kota, Pasal 45 ayat (1).

Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 58/PL.01.1

Page 81: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

71

Kpt/03/KPU/II/2018 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Nomor Register:

004/Reg.LG/DPRD/12.00/VIII/2018.

Pengumuman Nomor: 728/PL.01.4-Pu/Prov/VIII/2018, Daftar Calon Sementara (DCS)

DPRD Provinsi DKI Jakarta.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Ikrar,

Indeks Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Kemenkokesra).

Skripsi

Hartono, Dian Rudy. Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif

Nomokrasi Islam. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2016.

Mia Arlitawati, “Kewenangan KPU dalam Membatasi Hak Politik Mantan

Narapidana Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan MA Nomor

46P/HUM/2018 terhadap Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018”. Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Nurkholisah, Siti. Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih

dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana

Korupsi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 537

K/Pid.Sus/2014). Skripsi fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2016.

Sahuri. Perspektif Hukum Islam Dan Ham Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor

(Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No.

1195K/Pid.Sus/2014). Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2016.

Septian, Jimmy. Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Pencabutan Hak-hak Politik

terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Skripsi Fakultas Hukum Universitas

Lampung, 2018.

Page 82: HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARATIF ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45876/1/INDAR DEWI-FSH.pdf · X + 72 halaman. Penelitian ini menggunakan

72

Internet

www.transparency.org/news/feature/corruption/_perceptions diakses pada 05 Oktober

2018, pukul 14.01.

“Dorong Caleg Bersih, Bawaslu Sodorkan Pakta Integritas ke Partai-partai”.

https://bawaslu.go.id/en/berita/dorong-caleg-bersih-bawaslu-sodorkan-pakta-

integritas-ke-partai-partai. Diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul 14.16.

“Mantan Ketua KPU DKI Divonis 18 Bulan”, https://www.liputan6.com/news/read/

121884/mantan-ketua-kpu-dki-divonis-18-bulan, diakses pada Kamis 11 April

2019, Pukul 00.28.

"38 Caleg Mantan Napi Korupsi Diloloskan Bawaslu, Berikut Daftarnya",

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/10093791/38-caleg-mantan-

napi-korupsi-diloloskan-bawaslu-berikut-daftarnya. Diakses pada 6 April

2019, Pukul 23.54.

“KPU Harus Jalan Terus Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg”,

https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jalan-terus-larang-

mantan-napi-korupsi-nyaleg. Diakses pada Kamis, 11 April 2019, Pukul

23.54.