110
Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas Pembatalan Putusan Perkara No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding dan Kasasi) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Tiyas Puji Istanti NIM : 11150440000015 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019

Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas

Pembatalan Putusan Perkara No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.

Oleh Putusan Banding dan Kasasi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Tiyas Puji Istanti

NIM : 11150440000015

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019

Page 2: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 3: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 4: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 5: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

iv

ABSTRAK

Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

Mumayyiz (Studi Analisis Atas Pembatalan Putusan Perkara No.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding dan Kasasi). Program Studi

Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2019 M/1440 H.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan hakim PA Cibinong

terhadap hak asuh anak dalam perkara putusan No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn . dan

alasan hakim PTA Bandung membatalkan putusan PA Cibinong

No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn . serta untuk mengetahui alasan Hakim Mahkamah

Agung yang menguatkan putusan PTA Bandung No. 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg.

yang mana menetapkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibunya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan

model pendekatan kasus. Sumber data untuk mendeskripsikan masalah utama

adalah dengan menggunakan bahan hukum primer (Putusan PA Cibinong, PTA

Bandung dan Mahkamah Agung), bahan hukum sekunder (studi kepustakaan).

Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, studi kepustakaan dan studi

dokumentasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan

atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya alasan hakim PA Cibinong

menetapkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada kakek bersama istrinya

(nenek) karena kepentingan anak lebih diutamakan dalam kasus hak asuh anak ini

yaitu menjaga agama dan aqidahnya. Majelis hakim juga mengatakan bahwa

hakim memutuskan dengan murni berijtihad karena untuk kemaslahatan yaitu

menolak kerusakan diutamakan daripada mengambil kemaslahatan. Sedangkan

hakim PTA Bandung membatalkan perkara putusan No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn

dengan beralasan bahwa bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan oleh kakek di

persidangan ternyata tidak satupun keterangan saksi yang menyatakan bahwa

tergugat telah keluar dari Agama Islam dan telah di baptis lagi secara agama

Kristen. Kemudian hakim di Tingkat Kasasi menguatkan putusan hakim Tingkat

Banding, yang menyatakan bahwa putusan hakim Tingkat Banding sudah benar

dan tepat, hakim juga menyatakan bahwa perkara ini tidak bertentangan dengan

Undang-undang.

Kata Kunci : Hadhanah anak yang belum mumayyiz, Putusan

Pembimbing : Dr. Muchtar Ali, M.H.,M.A

Daftar Pustaka : Tahun 1980 sampai Tahun 2018

Page 6: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

Segala puja-puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. Tuhan semesta

alam, yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis.

Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan judul: Hak Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis

Pembatalan Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan

Banding Dan Kasasi, sebagai salah satu syarat untuk menyelasaikan studi pada

Program Studi Hukum Keluarga Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda

Sarno dan Ibunda Yanti beserta Kakek Sanarto, Nenek Suni, Bibi wiwi

Indriyani, Bibi Ining, Bibi sumitri, Kakak Indra Kusuma dan Kakak Miftahul

Ridwan, yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih

sayangnya serta do’a, begitu juga waktu dan senyumannya. Semoga Allah Swt

senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi

dari berbagai sehingga segala kesuliatan dan hambatan dapat di atasi dan

tentunya dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada

kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-

dalamnya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,MA., M.H Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Mesraini,M.Ag dan Ahmad Chairul Hadi,M.A Ketua dan Sekretaris

Program studi Hukum Keluarga.

3. Dr. Muchtar Ali, M.H.,M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi

selama membimbing penulis.

Page 7: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

vi

4. Dr. H. A. Juaini Syukri, L.c., M.A selaku Dosen Penguji I dan ibu Dr. H.

Mesraini,M.Ag selaku Penguji II skripsi yang telah banyak memberikan

masukan-masukan dan perbaikan disana-sini hingga lebih sempurnanya

skripsi ini.

5. Seluruh Dosen di fakultas syariah dan Hukum yang telah mendidik dan

memberikan ilmu yang berharga kepada penulis beserta seluruh staf dan

karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama kuliah di UIN

syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Dr.H. Nasech Salam Suharto, Lc.LLM serta Drs. H. Arief Saepuddin, S.H.

M.H., selaku hakim yang penulis teliti di Pengadilan Agama Cibinong dan

PTA Bandung, yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa di

wawancarai dan bimbingannya serta nasehat dan saran selama penulis

melakukan wawancara.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan, Desi Purnama, Nurdiana Ramadhan, Ilham

Ramdhani Rahmat, Lutfi Zakaria Mubarok dan M. Iqbal Farizi yang terus

memberikan ilmu dan motivasinya serta semangat kepada penulis. Tanpa

mengurangi rasa hormat, kepada seluruh pihak yang telah banyak

memberikan inspirasi juga dukungan kepada penulis untuk mencapai cita-

cita yang telah diimpikan dan telah membantu secara langsung maupun

tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Semoga segala kebaikan akan

diganjar dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi

ini.

Jakarta, 6 Agustus 2019

Tiyas Puji Istanti

Page 8: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara

Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts te dan es ث

j Je ج

h} ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d De د

dz de dan zet ذ

r Er ر

z س

Zet

Page 9: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

viii

s es س

sy es dan ye ش

s} es dengan garis bawah ص

d} de dengan garis bawah ض

t} te dengan garis bawah ط

z} zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik diatas hadap ‘ ع

kanan

gh ge dan ha غ

f ef ف

q Qo ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrop ‘ ء

y Ya ي

Page 10: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

ix

b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

_____ ______ = a ىا = a>

_____ ______ = i ىي = i>

_____ ______ = u ىو = u>

c. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

al = )ال( ai = __ أ ي

al-sh = )الش( aw = __ أ و

-wa al = )وال(

d. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.

Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu

terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.

Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah

e. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat

contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta

marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta

marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

Kata Arab Alih Aksara

syarî „ah شزيعة

al- syarî „ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلا مية

Page 11: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

x

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut

berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn

al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman

kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

No Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur‟a>n Alquran

2 Al-H}adi>th Hadis

3 Sunnah Sunah

4 Nas{ Nas

5 Tafsi>r Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 12: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembahsan dan Perumusan Masalah ........................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 5

D. Review Studi Terdahulu .................................................................................. 6

E. Metode Penelitian ............................................................................................ 6

F. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 8

BAB II HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM

POSISTIF

A. Pengertian Hadhanah ..................................................................................... 11

B. Dasar Hukum Hadhanah ................................................................................ 14

C. Rukun dan Syarat Hadhanah ......................................................................... 27

D. Pihak-pihak Yang Berhak Dalam Hadhanah ................................................. 30

E. Masa Berlakunya Hadhanah .......................................................................... 39

F. Gugurnya Hak Hadhanah .............................................................................. 42

Page 13: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

xii

G. Maqhasid Syari’ah

1. Pengertian Maqhasid syari’ah ............................................................... 45

2. Dasar hukum Maqhasid Syari’ah ........................................................... 48

3. Macam-Macam Maqhasid Syari’ah ....................................................... 49

4. Kedudukan Maqhasid syari’ah .............................................................. 52

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG NOMOR

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. TENTANG HADHANAH DAN

PEMBATALANNYA

A. Pertimbangan Hakim PA Cibinong dalam Memutus Perkara No.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Hakim PTA Bandung Perkara

No.0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg. Hakim MA Perkara No.127 K/Ag/2016

1. Duduk Perkara ......................................................................................... 58

2. Putusan Hakim Dan Pertimbangan Hukum

a. PA Cibinong Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn .......................... 62

b. Tingkat Banding Perkara No.0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg ................ 63

c. Tingkat Kasasi Perkara No.127 K/Ag/2016 ...................................... 65

BAB IV HAK HADHANAH ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ PADA

PUTUSAN NOMOR 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. DAN

PEMBATALANNYA DALAM PERSPEKTIF MAQHASID

SYARI’AH .................................................................................................. 66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 84

B. Saran-saran ............................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 85

Page 14: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah merupakan sunnatullah yang dengan sengaja

diciptakan oleh Allah yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan

keturunan dan tujuan-tujuan lainnya. Allah menciptakan makhluknya bukan

tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya

hidup hamba-hambaNya di dunia ini menjadi tentram.1

Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang

berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman,

damai, dan sejahtera dalam suasana cinta kasih sayang di antara anggotanya.2

Bilamana terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh

dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya karena anak di masa kecil

membutuhkan kasih sayang lebih, pemeliharaan yang optimal agar tumbuh

kembang terpelihara anak tersebut. Yang dimungkinkan bapak sibuk untuk

mencari nafkah, maka ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya.3

Peran ibu dalam mendidik anak sangatlah penting. Meskipun secara fisik

seorang laki-laki jauh lebih kuat bila dibandingkan perempuan, namun pada

beberapa hal ibu jauh lebih memiliki kemampuan yang dimiliki oleh seorang

suami. Jadi, peran ibu mendidik anak tidak bisa digantikan oleh orang lain

dan bahkan oleh suaminya sendiri.

1 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003),

Cet.1, h. 1-2 2 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender Edisi Revisi, (Malang :

UIN-Maliki Press, 2013), h.13 3 Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,

2002), h.318

Page 15: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

2

Peran seorang ibu dalam mendidik anak tidak bisa disejajarkan dengan

bapak. Oleh karena itu, ibu memiliki naluri yang lebih kuat terhadap anaknya

dibandingakan bapaknya. Untuk itu, ibu memiliki keutamaan-keutamaan

dibandingkan bapak.

Orang yang akan menjadi pengasuh anak disyaratkan kafaah atau martabat

yang sepadan dengan kedudukan si anak, maupun melaksanakan tugas sebagai

pengasuh anak. Karena, dengan adanya kemampuan dan kafa’ah, maka

mencakup beberapa syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut tidak

terpenuhi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak.4

Kemudian masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah

syarat-syarat yang menjadi hadhin, karena sifat seorang pengasuh akan

berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhnya, keberhasilan seorang

anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikannya. Sebab ciri dasar

manusia adalah bersifat dinamis, merdeka, dan sosial. Maka pada saat inilah

seorang anak diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti

diajarinya seorang anak mengenal Tuhan sebagai bakal tauhid dan jiwanya.

Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang kronologi permasalahan hak

asuh anak/ hadhanah dalam cerai mati suami ketika istri yang berpindah

keyakinan (murtad). Semula sepasang suami istri menikah dalam beragama

Islam. Istri semula beragama Kristen Protestan, kemudian masuk Islam dan

menikah secara resmi dan sah dalam agama Islam. Setelah berlangsungnya

perkawinan sepasang suami istri telah di karuniai 3 (tiga) orang anak :

1. Anak Asuh 1, lahir di Jakarta, tanggal 26 pebruari 2008.

2. Anak Asuh 2, lahir di Jakarta, tanggal 28 Mei 2009.

4 H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h.321

Page 16: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

3

3. Anak Asuh 3, lahir di Rumah Sakit Bogor, tanggal 12 Januari 2014.

Kurang lebih tiga bulan setelah Alm. Anak penggugat (Ayah) meninggal

dunia.

Di tahun 2013 suami meninggal dunia, semenjak itu terjadilah perselisihan

antara tergugat (istri dari anak penggugat) dan penggugat (ayah mertua)

diketahui bahwa tergugat telah berpindah agama (murtad), yang semula

beragama Islam kemudian telah keluar dari agama Islam atau melenceng dari

ajaran-ajaran agama Islam (murtad). Sedangkan si anak (cucu) dalam keluarga

tersebut belum mumayyiz, sehingga penggugat yang mengetahui hal tersebut

mengajukan permohonan hadhanah ke pengadilan agama dengan alasan

merasa khawatir dan cemas terhadap pertumbuhan dan perkembangan

khususnya dalam hal aqidah atas ketiga anak (cucunya) yang di lahirkan

dalam keadaan Islam dari pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan hukum

Islam. Karena tergugat (menantu) secara diam-diam dan kemudian menjadi

terang-terangan menunjukan perubahan aqidahnya yang semula Islam menjadi

non-muslim, termasuk berupaya untuk merubah aqidah anak-anak (cucu)

tersebut.

Pengadilan Agama Cibinong adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam

memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai

aspek kehidupan dan hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya,

sehingga berbagai kepentingan dari berbagai para pihak yang berperkara dapat

terpenuhi. Termasuk perkara pelimpahan hak hadhanah. Terhadap anak yang

belum mumayyiz hak hadhanah semestinya ikut kepada ibunya. Karena dalam

hal ini perempuan lebih layak untuk menempatinya karena kaum hawa bisa

lebih lembut, penuh kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Adapaun yang

berhak mengurus hadhanah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hadhanah

Page 17: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

4

adalah haknya hadhin (orang yang memelihara) pendapat ini juga didukung

oleh madzhab Malikiyah. Ulama lain berpendapat bahwa hadhanah adalah

hak orang yang dipelihara.5 Dalam hal perkara ini Pengadilan Agama

Cibinong telah melimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada

kakeknya (mertua). Namun pada tingkat banding dan kasasi membatalkan

putusan dari Pengadilan Agama Cibinong tingkat pertama dengan alasan

bahwa dakwaan Judex facti tingkat pertama dalam perkara ini tidak

bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang.

Berdasarkan uraian tentang permasalahan di atas, ada hal yang menarik

untuk dikaji lebih lanjut tentang hak asuh anak / hadhanah anak yang belum

mumayyiz studi atas pembatalan putusan perkara hadhanah Nomor:

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding Nomor:

0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg. dan Kasasi Nomor: 127 K/Ag/2016. Dalam hal ini

akan dijelaskan atas dasar apa majelis hakim menentukan dan menetapkan siapa

yang berhak atas hadhanah / pengasuhan anak tersebut.

Penyusun memilih mengadakan penilitian ini di Pengadilan Agama

Cibinong karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara

bagi anak yang belum mumayyiz dan melimpahkan hak asuhnya kepada kakek

(mertua) dari pihak bapaknya. Terlepas dari beberapa kaidah normatif yang

mengatakan bahwa anak yang belum mumayyiz hak asuhnya jatuh pada ibunya.

Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk

mengangkat sebuah judul “Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi

Analisis Atas Pembatalan Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.

Oleh Putusan Banding dan Kasasi).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Maslah

5 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet.1, h.60

Page 18: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

5

1. Identifikasi Masalah

a. Apa alasan hakim mengabulkan putusan perkara No.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.?

b. Mengapa hak asuh anak dalam Putusan Perkara Pengadilan Agama

Cibinong Nomor: 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. dilimpahkan kepada kakek?

c. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama

Cibinong Nomor: 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. sudah sesuai dengan

Undang-Undang yang berlaku?

d. Bagaimana analisis hukum putusan No.282/Pdt.G/2014.PA.Cbn

terhadap hadhanah cerai mati ketika istri berpindah keyakinan

perspektif fiqh dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak?

e. Bagaimana ijtihad hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan

Agama Cibinong dalam putusan No.282/Pdt.G/2014.PA.Cbn?

f. Apa alasan hakim PTA Bandung membatalkan putusan perkara No.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.?

g. Bagaimana analisis hukum putusan No 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg

terhadap hadhanah cerai mati ketika istri berpindah keyakinan

perspektif fiqh dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak?

h. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam Putusan Tingkat Banding

No. 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg sudah sesuai Undang-Undang yang

berlaku?

i. Mengapa hak asuh anak dalam Putusan Tingkat Banding No.

0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg jatuh kepada ibu?

j. Mengapa hak asuh anak dalam putusan kasasi No. 127/K/Ag/2016)

jatuh kepada ibu?

k. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap hadhanah cerai mati ketika

istri berpindah keyakinan?

Page 19: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

6

l. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam Putusan Tingkat Kasasi

No.127/K/Ag/2016 sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku?

m. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh anak pada

Putusan Tingkat Kasasi No.127/K/Ag/2016?

2. Batasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada

Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas Pembatalan

Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding dan

Kasasi).

3. Perumusan Masalah

Apa alasan hakim PA Cibinong mengabulkan putusan perkara No.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. tentang perkara hak hadhanah anak yang belum

mumayyiz ketika istri berpindah keyakinan dan apa alasan hakim PTA

Bandung membatalkan putusan perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Mengetahui alasan hak asuh anak dalam Putusan Perkara Tingkat

Kasasi No. 127/K/Ag/2016 dilimpahkan kepadanya. Dan mengetahui dasar

hukum yang digunakan dalam perkara Putusan Perkara Tingkat Kasasi No.

127/K/Ag/2016.

2. Manfaat Penelitian

a. Memahami dan mengkaji tentang penentuan hak hadhanah setelah

terjadi perceraian antara suami istri.

b. Memberikan informasi tentang tinjauan Yurisprudensi hak asuh anak

yang dilmpahkan kepada kakek.

c. Sebagai dokumentasi ilmiah di dalam maupun diluar kampus.

Page 20: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

7

D. Review Study Terdahulu

1. Firman Assalamsyah (2010) dalam skripsi “Problematika Hadhanah

Dalam Pernikahan Beda Agama (Studi Putusan No.

655/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel)” Membahas mengenai sudut pandang hukum

Islam dan hukum positif tentang keabsahan pernikahan beda agama dan

landasan hukum yang digunakan hakim dalam menyelesaikan perkara

pengasuhan anak dalam pernikahan beda agama.

2. Masrur Rahmansyah (2016) dalam skripsi “Hak Asuh Anak Terhadap

Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015)”. Skripsi

tersebut mengkajai mengenai permasalahan mendidik anak dalam

perspektif fatwa MUI.

3. Lilis Sumiyati (2015) dalam skripsi “Murtad Sebagai Penghalang

Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur

Perkara Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT)”. Membahas mengenai

pengasuhan anak terhadap anak yang belum mumayyiz yang diberikan

kepada bapak akibat ibu yang murtad, sehingga seorang yang murtad akan

menjadi penghalang mendapatkan hak asuh anaknya.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penilitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu

mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam

praktik hukum terutama mengenai kasus yang telah diputus lalu dipelajari

untuk memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan dalam suatu

aturan hukum dalam praktik hukum.6

6 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur : Baymedia

Publising, 2006), h.321

Page 21: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

8

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian library research dan

field research. Library research yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.7 Kepustakaan

dilakukan dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqh, perundang-

undangan, dan yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.

Sedangkan jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yaitu dengan

melakukan field research.

3. Sumber Data

a. Data Primer dan Wawancara, yang didapat untuk penulisan ini berasal

dari studi dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan di

perpustakaan, arsip, dan lain-lain.8 Penulis menjadikan putusan

Pengadilan Agama Cibinong Nomor :282/Pdt.G/2014/PA.Cbn,

Putusan PTA Bandung Nomor. 0079/Pdt. G/2015/PTA. Bdg, Putusan

Kasasi Nomor. 127 K/Ag/2016, sebagai data primer, untuk kemudian

penulis melakukan analisis hukum terhadap pertimbangan hakim

tentang putusan hak pemeliharaan anak kepada kakek.

b. Data Sekunder, untuk melengkapi data primer diperoleh dari studi

kepustakaan dengan mengkaji dan menelusuri literatur yang relevan

baik berasal dari buku-buku, kitab fiqh, majalah, jurnal-jurnal, dan

lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan yang di kaji.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara mendalam yaitu teknik pengumpulan data untuk mendapat

informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta

penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8, (Jakarta :

RajaGrafindo Persada 2004), h. 13 8 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.50

Page 22: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

9

ini untuk mendapatkan data tentang pelimpahan hak asuh anak kepada

kakek.

b. Studi kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang

berkenaan dengan metode keputusan hakim melalui berbagai buku dan

literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan obyek

penelitian.

c. Studi dokumenter yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari

dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan

hadhanah serta putusan hakim yang menyangkut hadhanah.

5. Teknik Analisis Data

Bahan yang diperoleh, lalu dianalisis secara kualitatif yang dilakukan

terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk

memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga

dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang

berguna dalam pengambilan putusan pelimpahan hak asuh anak kepada

kakek.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas

lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Bab I Berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang yang menjadi

dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah, rumusan

masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Hadhanah Dalam Perspektif Fiqih dan Hukum Positif, meliputi

hadhanah dalam perspektif hukum fiqih, terdiri dari pengertian hadhanah,

dasar hukum hadhanah, rukun dan syarat hadhanah, pihak-pihak yang berhak

dalam hadhanah, masa berlakunya hadhanah, dan gugurnya hak hadhanah.

Page 23: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

10

Kemudian dilanjutkan dengan hadhanah menurut hukum positif , yang terdiri

dari hadhanah dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974,

kemudian hadhanah dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan konveksi Hak Anak, kemudian hadhanah dalam

Kompilasi Hukum Islam. Kemudian dilanjutkan dengan hubungan maqashid

syari’ah dengan hadhanah, terdiri dari pengertian maqashid sayri’ah, dasar

hukum maqashid syari’ah, macam-macam maqashid syari’ah dan kedudukan

maqashid syari’ah.

Bab III Memaparkan pertimbangan hukum hakim Tingkat Pertama

sampai dengan Tingkat Kasasi.

Bab IV Merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini. Yaitu

analisis pertimbangan hakim Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi, dalam hal

hak hadhanah anak dan relevansinya dengan teori maqhasid syari’ah.

Bab V Merupakan bab penutup pembahasan yang berupa kesimpulan

hasil penelitian ini secara keseluruhan beserta saran-saran.

Page 24: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

11

BAB II

HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH

DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Hadhanah

Hadhanah حضبت) ) secara etimologi (bahasa) ialah jamak dari kata احضبى

(ahdhan) atau حضي (hudhun) terambil dari kata حضي (hidhn) yang berarti

anggota badan yang terletak atau di bawah ketiak.1 Atau juga bisa disebutnya

dengan “meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau pangkuan”. Maksudnya

adalah pendidikan dan pemeliharaannya anak sejak dari lahir sampai sanggup

mandiri atau berdiri sendiri.2

Hadhanah didefinisikan sebagai keadaan anak yang masih kecil,3

berdasarkan dari penjelasan secara bahasa (etimologis) di atas, bahwa makna

dari hadhanah ialah sebagai mengasuh anak dan mendidiknya sejak pertama

kali keberadaanya di dunia ini. Baik hal tersebut dilakukan oleh ibu atau

ayahnya maupun oleh orang lain yang menggantikanya, sehinga hadhanah

merupakan langkah pertama dalam perwalian atau bimbingan terhadap anak.4

Sedangkan menurut Istilah fiqh hadhanah atau yang disebut pemeliharaan

atau pengasuhan ialah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya

putus perkawinan.5 Dalam Kompilasi Hukum Islam makna hadhanah dapat

dilihat dalam pasal 1 hurup g yang berbunyi : “Pemeliharaan anak atau

1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir-Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:

Ponpes al-Munawwir), h.296 2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 175

3 Mohammed Al-Deousuki, Al-Ahwalu Syahksiyah Fi Madzhab Syafi‟i, (Kairo: Dar

Al-Salam, 2011), h. 257 4 Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004),

Cet.1, h.101 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2007), h. 327

Page 25: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

12

hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga

dewasa atau mampu berdiri sendiri”.6 Pemeliharaan anak dilakukan dengan cara

memenuhi berbagai aspek kebutuhan anak, baik berupa kebutuhan primer

maupun kebutuhan sekunder.7

Para ulama fikih mendefiniskan: حضبت (hadhanah) yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,

atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang

menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggungjawab.8

Adapun mengenai kekuasaan orang tua terhadap pemeliharaan anak

(hadhanah) tercantum di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Pasal 45-49. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa orang tua

wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya.

Kewajiban itu berlaku sampai anak tersebut sudah dewasa atau sudah mampu

berdiri sendiri meskipun makna yang terkandung di dalam pasal 41 tersebut

adalah tidak membedakan antara tanggungjawab pemeliharan yang

mengandung nilai materil dengan tanggungjawab pengasuhan anak yang

mengandung nilai non materil seperti kasih sayang.9 Serta dijelaskan apabila

terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan akan memberi

keputusan. Sehingga tidak terdapat suatu pasal yang mengatur secara khusus

hak asuh anak pasca cerai akan jatuh pada ayah atau ibu, dan parameter apa

yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan putusan hak asuh anak tersebut.

6 Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Panghegar Bandung, Fokusmedia.

7 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),

Cet.2, h. 64 8Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Perdana Media, 2003), h.176

9 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),

cet.2, h.67

Page 26: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

13

Akan tetapi kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara

anak-anaknya.10

Perhatian orang tua terhadap anaknya merupakan parameter dari rasa

tanggungjawab yang ada dalam dirinya terhadap seorang anak. Dalam

masyarakat kita, pada umunya calon suami (calon ayah) baru menampakan

perhatiannya kepada anak setelah anak itu lahir dari kandungan istrinya.

Hubungan antara anak dan orang tuanya sangat terbatas terutama dalam arti

pedagosis (tarbawiyah). Gambaran yang mencerminkan kurangnya perhatian

karena kurangnya rasa tanggungajawab dari orang tua dan masyarakat terhadap

kehidupan, perkembangan dan kemaslahatan si anak itu, memerlukan digalinya

potensi ajaran Islam sebagai salah satu potensi ruhaniah bangsa Indonesia, di

samping usaha-usaha lain dalam upaya penanganan masalah anak yang di

arahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak.

Permasalahan mengasuh anak dalam ajaran Islam meliputi dua hal pokok,

yaitu perawatan anak dan pendidikanya. Namun, kedua hal tersebut harus

dibina di atas landasan-landasan yang kokoh. Bagaimana pandangan ajaran

Islam terhadap anak itu, merupakan titik awal dari keseluruhan permasalahan

mengasuh anak.

Ajaran Islam meletakkan dua landasan utama bagi permasalahan anak itu.

Pertama, tentang kedudukan dan hak-hak si anak. Kedua, tentang penjagaan

dan pemeliharaan atas kelangsungan hidup dan pertumbuhan si anak. Dan di

atas kedua landasan utama tersebut, perawatan dan pendidikan anak dibina dan

10

Indra Inggi A dkk, Kajian Perolehan Hak Asuh Anak Sebagai Akibat Putusnya

Perkawinan Karena Perceraian,Jurnal Diponogeoro Law Riview, volume 05 No.02 tahun

2016

Page 27: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

14

dikembangkan untuk mewujudkan konsepsi anak yang ideal yang disebut

waladun shalih, yang merupakan dambaan setiap orang tua.11

B. Dasar Hukum Hadhanah

Hadhanah membutuhkan sikap yang arif, perhatian yang penuh, dan

kesabaran sehingga seseorang makruh memanggil anaknya ketika dalam

hadhanah, sebagaimana makruhnya mengutuk dirinya sendiri, pembantu, dan

hartanya.

Abu Musa meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam bukunya Wahbah Az-Zuhaili

yang berjudul Fiqih Islam Wa Adillatuhu, bahwa suatu hari Aus bin Ubadah al-

Anshari menghadap Rasulullah saw, lantas bertanya “Ya Rasulullah, saya

mempunyai banyak anak perempuan dan saya berdoa agar mereka mati.” Rasul

bersabda, “Wahai Ibnu Saidah! Janganlah engkau mendoakan jelek kepada

mereka karena keberkahan itu menyertai mereka. Mereka itu penghias kita

ketika mendapat nikmat, menjadi penolong ketika dalam musibah, dan menjadi

perawat ketika sakit, badan mereka di atas bumi, dan rezeki mereka ditanggung

oleh Allah.12

Dengan begitu dasar hukum melakukan hadhanah (حضبت) adalah wajib,

karena pada prinsipnya dalam Islam bahwa anak-anak mempunyai hak untuk

dilindungi, baik atau keselamatan akidah maupun dirinya dari hal-hal yang

menjerumuskan mereka ke dalam neraka.13

Jika hadhanah itu dilalaikan akan

merusak anak sehingga wajib menjaganya dari kehancuran, begitu juga wajib

menafkahi dan menghindari anak dari hal-hal yang dapat mencelakakannya.14

11

Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: MIZAN-Anggota IKAPI, 1995),

cet.3, h. 270-272 12

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, Cet.1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.60 13

Bagir Manan, dkk, Mimbar Hukum, (Jakarta: PPHIMM, 2010), Ed. 70, h.201 14

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka fiqh al-qadha,

(Jakarta: Rajawali Press, 2012), Cet.1, h.205

Page 28: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

15

1. Al-Qur‟an dan Hadis

Adapun dasar hukum pemeliharaan anak dalam firman Allah SWT pada

surat Al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan :

: 233).... )البقسة

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan

kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada ibu dengan cara

yang ma'ruf...”(QS. Al-Baqarah : 233).

Pada dasarnya ayat ini merupakan kelanjutan dari episode yang

dibicarakan pada ayat sebelumya, yaitu perihal hukum nikah dan talak

yang berakhir pada perpisahan suami-istri. Dan boleh jadi mereka

memiliki anak yang masih dalam masa penyusuan. Maka melalui ayat ini

Allah swt memerintahkan para istri yang telah ditalak untuk tetap

menyusui anak-anaknya.15

Jika di pahami dari kata (para ibu menyusukan)

maksudnya hendaklah menyusukan, atau dalam arti lain dari kata tersebut

memiliki maksud bahwa seorang ibu lebih berhak atau memiliki

kewajiban untuk mengasuh anaknya.16

Lebih lanjut, pendapat Wahbah Al-Zuhaili dalam jurnalnya

Hidayatullah Ismail menerangkan bahwa ayat ini ditunjukan bagi wanita-

wanita yang ditalak maupun tidak, keduanya diperintahkan untuk

15

Hidayatullah Ismail, Syariat Menyusui Dalam Al-Qur‟an (Kajian Surat Al-

Baqarah Ayat 233), Jurnal At-Tibyan Volume 3 No. 1, Juni 2018, h. 59 16

Imam Jalaludin Al-Muhalli dan Imam Jalaludin As-Suyuti, Tafsir Jalalain Berikut

Asbabun Nuzul Jilid 1, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2017) Cet, 16, h.126

Page 29: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

16

menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh dan tidak lebih dari

itu. Namun demikian tidak ada larangan untuk menyusui anak-anak

dalam masa yang kurang dari dua tahun jika memang dipandang akan ada

maslahat di dalamnya. Hidayatullah Ismail mengutip dari Imam Ibnu

Katsir memandang ayat ini sebagai bimbingan Allah swt bagi para ibu,

hendaknya mereka menyusui anak-anaknya secara sempurna, yaitu

selama dua tahun.17

Sebagaimana maksud dari ayat al-Qur‟an di atas yaitu menjelaskan

mengenai hukum penyusuan anak ketika terjadinya talak dapat di artikan

bahwa keluarga mengandung arti hubungan yang tidak dapat lepas dari

kedua suami istri yang bersangkutan. Apabila dalam kehidupan rumah

tangga kedua orang tua itu bubar, maka si kecil ini harus diberi jaminan

secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya dalam

setiap keadaannya. Kemudian seorang ibu yang telah diceraikan itu

mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu, hal

tersebut merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan tidak

dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak terkurangi

akibat dari perceraian kedua orang tuanya, sehingga Allah mewajibkan

bagi seorang ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh.

Karena ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahun

merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun

jiwa anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital

bagi pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.18

17

Hidayatullah Ismail, Syariat Menyusui dalam Al-Qur‟an (Kajian Surat Al-Baqarah

Ayat 233), Jurnal At-Tibyan Volume 3 No. 1, Juni 2018, h. 59 18

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur‟an: Di bawah Naungan Al-Qur‟an,

(Darusy-Syuruq: Bairut, 1412 H/1992 M), Penerjemah As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim

Basyarahil, Muchotob Hamzah, Penyunting Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),

Jilid 1, Cet.1, h. 301-302

Page 30: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

17

Adapun dalam firman Allah SWT pada surat at-Tahrim ayat 6:

: 6.)الخحسن(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan

batu...”(QS. at-Tahrim: 6).

Ayat al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa dakwah dan pendidikan

harus bermula dari rumah, dimana dari ayat tersebut walapun secara

redaksional tertuju pada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan berarti hanya

tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki

(ibu dan ayah), maka dengan demikian hal ini berarti kedua orang tua

bertanggungjawab terhadap anak-anaknya dan pasangan masing-masing

sebagaimana suami dan istri bertanggungjawab atas kelakuannya. Ayah

dan ibu serta anak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga atau

keluarga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh

hubungan yang harmonis. Maksud dari manusia menjadi bahan bakar

neraka, dipahami Thaba‟thaba‟i dalam arti manusia terbakar dengan

sendirinya.19

Oleh sebab itu manusia diperintahkan untuk selalu menjauhi

segala perintah yang dilarang oleh Allah, yang mana siksaan api neraka

lebih panas sampai bisa membakar manusia.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas mengenai ayat tersebut

juga dapat disimpulkan bahwa yang diperintahkan oleh Allah yaitu

pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orang tua yang tujuannya

untuk memelihara keluarganya dari api neraka dengan berusaha agar

keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui

19

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an,

(Jakarta: Lentera hati, 2002), jilid. 15, Cet.1, h.326

Page 31: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

18

larangan-larangan Allah, maksud dari keluarga dalam ayat ini adalah

anak.20

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu,

memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti

makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan

bangun dan tidur. oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu

mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar

anak itu baik (shaleh) di kemudian hari.21

Ketetapan wajibnya mendidik

anak atas perempuan pertama karena sang anak dalam hal tersebut

membutuhkan penjagaannya, kedua karena ada hadits shahih yang

menyatakan bahwa perempuan (istri) lebih berhak atas hak asuh anak.22

, حد ثىي عمربه شعيب, -محم د به خالد الشلمي, سىا الليد, عه أبي عمر يعىي الازاعي

ابىي دا كان بطىي ل عه أبي, عه جدي عبد الله به عمر: ان امرأة قالت: يا رس ل الله ان

ي أراد أن يىتر ع مىي, فقال لا عا ء, ثديي ل سقاء, حجري ل حاء, ان اباي طلقى

رسل الله )أوت أحق ب ما لم تىكحي(.

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As

Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari Abu „Amr Al

Auza‟i, telah menceritakan kepadaku „Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari

kakeknya yaitu Abdullah bin „Amr bahwa seorang wanita berkata : wahai

Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi

tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan

pangakuankulah yang menjadi tempat bernaung; sedangkan ayahnya

bermaksud melepaskannya dariku. Kemudian Nabi saw. bersabda,

”Engkau lebih berhak (memelihara)-Nya selagi engkau belum kawin

(lagi)”. (HR. Abu Dawud :1938 ).23

20

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media,2003), h.77 21

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Lengkap), (Jakarta:

Rajawali Pres, 2009), h.217-218 22

Muhammed Abu Zahra, Hukum Keluarga, (Kairo : Rumah Pemikiran Arab, 2000),

h. 404 23

Muhammad „Abdul-„Aziz al-Halidi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-

„Ilmiyyah, 2011), jilid 2, Cet.3, h.150

Page 32: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

19

Hadist tersebut menegaskan bahwa hak mengasuh itu diutamakan

kepada wanita.24

Kesimpulannya hadhanah yang disepakati oleh ulama fiqh

menyatakan bahwa prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah

kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila anak yang masih

kecil, belum mumayyiz yang tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka

akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak bahkan bisa

mengencam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut

wajib dipelihara, dirawat dan dididik dengan sebaik-baiknya.

2. Hukum Positif

a. Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggungjawab kedua

orang tuanya, yang meliputi berbagai hal masalah ekonomi,

pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.

Oleh karena itu yang terpenting dalam memelihara anak ialah kerja

sama dan saling tolong menolong antara suami dan istri sampai anak

tersebut dewasa. Bahwa faktanya di dalam Undang-Undang

Perkawinan tidak secara rinci mengatur masalah tersebut, karena tugas

dan kewajiban memelihara anak inheren dengan tugas dan

tanggungjawab suami sekaligus sebagai bapak bagi anak-anaknya.25

Kemudian di dalam ketentuan pasal 45 Undang-Undang No.1 Tahun

1974 menyatakan:

Pasal 45

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya.

24

Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak- Anak Dalam Islam, Cet.1, ttp,tth, h.51 25

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,

2013), h.199

Page 33: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

20

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,

kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang

tua putus.26

Oleh sebab itu mengenai hadhanah (حضبت), seorang bapak dan ibu

tetap berkewajiban untuk memeliharanya meskipun ikatan perkawinan

dari kedua orang tuanya telah putus, sebagaimana telah diatur dalam

pasal 41 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

dinyatakan:27

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan

anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak

pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan

dan pendidikan yang diberlakukan anak itu, bilamana bapak

dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,

pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu

kewajiban bagi bekas istri.28

Pasal di atas menegaskan bahwa bagi orang tua yang diberi hak

untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-

baiknya. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah

26

Anggota Abri,dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2000), h.14 27

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2015), Cet.9, h.238 28

Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar

Grafika Offset, 2000), h.13

Page 34: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

21

lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti pendidikan formal

dan pendidikan informal.29

b. Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 jo. No.35

Tahun 2014 dan Convention On The Right Of The Child (CRC)

Tahun 1989

Anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja

dalam ilmu pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang

sentralistis kehidupan, seperti agama, hukum dan sosiologis yang

menjadikan anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.

Dalam mukaddimah Konveksi Hak Anak 20 November 1989 yang

telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36

Tahun 1990, dijelaskan bahwa anak harus sepenuhnya dipersiapkan

untuk menjalani kehidupan.30

Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian hukum

international tentang hak-hak anak. Konvensi ini secara sederhana

dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) hal. Pertama, mengatur tentang

pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara.

Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang

bentuk-bentuk hak yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.31

Sehingga pengasuhan anak menjadi dasar hukum yang wajib

dilakukan bagi orang tuanya untuk mengasuh, merawat dan mendidik

29

Nunung Rodliyah, Akibat Hukum Perceraian Berasarkan Undang-undang nomor

1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan Progresif Volume 5 Nomor 1 Maret 2015 30

Rini Fitriani, Peranan Penyelnggaraan Perlindungan Anak Dalam Melindungi

Dan Memenuhi Hak-Hak Anak, Jurnal Hukum Volume 11, Nomor 2, Juli-Desember 2016, h.

252 31

Dian Lestari, Analisis International Convention On The Right Of The Child (CRC)

melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan

Anak Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia, Team Journal-Faculity of

Lawa – Tanjungpura University, Home, Vol 4. No.3 (2016) – A01112216.

Page 35: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

22

anak-anaknya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Undang-

Undang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi “Orang

tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk”:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.32

Dari pasal di atas menegaskan bahwa anak lahir dalam

pemeliharaan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Di pandang

dari sudut sosiologi, keluarga merupakan bentuk masyarakat kecil

yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh keturunan.

Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat

hubungan interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam

keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama

lain; antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antara

anak dan anak.33

Kemudian, apabila kedua orang tua telah bercerai maka

pengasuhan anak dan pemeliharaan anak tetap merupakan kewajiban

dan tanggungjawab bagi orang tua, walaupun dari salah satu kedua

orang tuanya memiliki hak asuh anak. Akan tetapi dalam pengasuhan

dan pemeliharaan anak merupakan hak anak-anaknyalah yang lebih

diutamakan demi untuk kemaslahatan anak kedepannya. Hal ini

tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo.

No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan:

32

Undang-undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 th. 2002), (Jakarta: Sinar

Grafika , 2009), Cet, 4, h. 10 33

Abd. Hadi, Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Dalam No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, Jurnal An-Nisa‟, Volume IX Nomor 2 Desember 2016, h. 110

Page 36: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

23

1. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,

kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah

menujukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan

terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.34

2. Dalam terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

anak tetap berhak:

a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap

dengan kedua orang tuanya.

b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan

perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua

orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya.

c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya;

dan

d. Memperloeh hak anak lainnya.

Pasal di atas menjelaskan yang pada prinsipnya memuat norma

hukum yang melarang pemisahan anak dari orang tuanya. Sebagai

seorang anak dia mempunyai hak dalam hidupnya.35

Hal tersebut

sejalan dengan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagaimana

penjelasannya pada pasal 9 yang menyatakan bahwa pada dasarnya

seorang anak berhak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau

hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Hak anak

untuk mempertahankan hubungan dengan orang tuanya jika terpisah

dari salah satu keduanya, maka kewajiban negara dalam kasus di mana

34

Undang-undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 th. 2002), (Jakarta: Sinar

Grafika , 2009), Cet, 4, h.8 35

Meilan Lestari, Hak Anak Untuk Mendapatkan Perlindungan Berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal UIR Law Review, Volume 01.Nomor 02, Oktober

2017, h.188

Page 37: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

24

pemisahan seperti itu terjadi akibat tindakan Negara. Namun dalam hal

ini Negara juga berwenang atas pemisahan anak dari orang tuanya

sesuai dengan keputusan pengadilan. Oleh karena itu dari ketentuan

hukum mengenai perlindungan anak bahwa prinsipnya yaitu pada asas

kepentingan terbaik bagi anak yang harus dijadikan pertimbangan

utama, sebagaimana termaktub dalam KHA (Konvensi Hak Anak)

pasal 3 ayat 1 yang berbunyi:

“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintahan

atau badan-badan legeslative, kepentingan terbaik dari anak-anak harus

menjadi pertimbangan utama.”

Dari penjelasan yang sudah diterangkan sebelumnya, kaitanya

dengan perlindungan anak dapat disimpulkan bahwa perkembangan

anak ada empat yang harus dan perlu diperhatikan yaitu perkembangan

fisik, mental, sosial dan spiritual. Oleh karena itu hak asasi inilah hak

yang menjadi dasar bagi anak yang harus dilindungi, baik oleh

pemerintah (Negara), masyarakat, keluarga dan orang tua. Sehingga

untuk mengimplementasikan dan mewujudkan perkembangan anak

bukan hanya merupakan kewajiban kemanusiaan sebagai realisasi hak

asasi manusia, namun lebih dari itu adalah merupakan kewajiban

agama.36

Konvensi Hak Anak (KHA) adalah hukum internasional atau

instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis dan

politis yang menguraikan secara rinci Hak Dasar Manusia bagi setiap

anak, di dalammnya mencakup:

36

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi,

2008), h.312-313

Page 38: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

25

a. Hak atas kelangsungan hidup

b. Hak untuk tumbuh kembang

c. Hak untuk memperoleh perlindungan

d. Hak berpartisipasi

KHA merupakan acuan dalam semua upaya kesejahteraan anak

yang didasari beberapa pertimbangan justifikasi, yaitu:

1) Hak adalah bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang harus

di jadikan media bagi bangsa Indonesia di forum internasional

dalam pembahasan mengenai hak asasi manusia.

2) Pemenuhan Hak Anak merupakan ekspresi moralitas bangsa

dalam memandang anak sebagai sesama manusia yang perlu

dikembangkan emansipasinya agar berpartisipasi aktif

menentukan masa depannya sebagai manusia yang bermartabat.

3) Dalam memasuki era globalisasi perlu disiapkan generasi bangsa

yang tangguh berkompetisi dengan bangsa lain dengan

pemenuhan hak untuk hidup, hak atas kesehatan, pendidikan,

sosial dan ekonomi, serta hak atas perlindungan.

4) Dengan merujuk pada KHA maka dapat dilakukan pembaharuan,

penyempurnaan, maupun harmonisasi peraturan perundang-

undangan yang mendukung pemenuhan hak anak.37

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2003 jo.

UU No.35 Tahun 2014 ternyata pada prinsipnya sama dengan yang

diajarkan dari keteladanan Nabi Muhammad Saw, dan ajaran Islam

memiliki kesamaan dan persamaan dengan prinsip-prinsip dasar yang

ada dalam CRC atau bisa disebut dengan Konvensi Hak Anak.

Undang-Undang Perlindungan Anak juga terinspirasi adanya CRC

37

Endang Ekowarni, Konvensi Anak, Vol 9,No 2 (2001), h.49-50

Page 39: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

26

(Convention on the Right of the Child) yang disetujui oleh Majelis

Umum Perserikatan bangsa-bangsa pada dasar tanggal 20 November

1989.38

c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat pasal yang

menjelaskan mengenai usia anak yang bisa dilakukan hadhanah yaitu

tercantum pada pasal 98 yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21

tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental

atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

hukum di dalam dan di luar pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat

yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang

tuanya tidak mampu.39

Dari penjelasan pasal 98 di atas dijelaskan bahwa kewajiban

kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya dengan cara

mendidik, serta membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi

bekal mereka di hari dewasanya.40

Jika kedua orang tuanya tidak dapat

menunaikan kewajibannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk

kerabat keluarga terdekat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.41

38

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-kahfi,

2008), Cet.1, h.306 39

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Penghegar Bandung, Fokusmedia, h.34 40

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),

h.65 41

Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),

h. 119-120

Page 40: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

27

Demikianlah ketentuan mengenai pemeliharaan anak dan batas-

batasnya yang menjadi tanggungjawab orang tua terutama bapak

sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan pelindung keluarga bagi

istri dan anak-anaknya.42

Karena orang tua tidak lain sebagai cerminan

anak di masa yang akan datang dan apabila tidak berhati-hati dalam

merawatnya, ditakutkan anak bisa lebih mudah terpengaruh terhadap

perbuatan yang bisa mencelakakan baik itu jasmani dan rohaninya.

Dari dasar hukum yang disebutkan diatas, baik itu secara hukum

Islam maupun hukum positif mengenai pemeliharaan anak, dapat

disimpulkan bahwa dari kedua hukum tersebut telah jelas menyatakan

pemeliharaan anak hukumnya bersifat wajib. Adanya sifat wajib disini

ialah baik orang tuanya dalam ikatan perkawinan maupun bercerai,

mereka tetap harus merawat, melindungi, menjaga anak-anaknya

sebaik mungkin tanpa menghilangkan hak anak tersebut.

C. Rukun dan Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang

menjadi rukun dan hukumnya yaitu orang tua yang mengasuh yang di sebut

hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat

yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan anak.43

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa syarat

bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:

1. Yang melakukan hadanah sudah baligh, anak kecil atau yang belum baligh

tidak boleh menjadi hadhin untuk orang lain, karena dia sendiri belum

mampu mengurus keperluannya.

42

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, tth, Cet.1, h.197 43

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2007), h.328

Page 41: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

28

2. Berakal, karena orang gila dan idiot tidak boleh menjadi hadhin karena

keduanya juga membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan

mereka. Untuk mengurus diri sendiri saja mereka tidak mampu, apalagi

untuk mengurus keperluan orang lain.

3. Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, jadi orang

yang lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun sibuk tidak

berhak untuk mengurus anak.44

4. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang

amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.

Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik

kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas

ini.

5. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan

di asuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Satria Effendi

mengutip hadist Abu Daud pada dasarnya adalah penjelasan Rasulullah

bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama

ia belum menikah dengan lelaki lain. Adanya persyaratan tersebut

disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukan

mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti

disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia

menikah dengan kerabat dekat si anak, yang memperhatikan kasih sayang

dan tanggungjawabnya.

6. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama islam seorang

nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas

44

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam wa‟Adilatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), Jilid 7, Cet. 2, h.726

Page 42: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

29

mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim

yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua.45

Dari uraian di atas mengenai syarat menjadi hadhanah sesuai dengan

pendapat ulama yaitu menurut Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam

jurnalnya Mohammad Hifni, bilamana terjadi perceraian, maka orang yang

paling berhak mengasuh dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya yang

secara emosional lebih sabar dibandingkan ayahnya. Namun dalam

hadhanah, agama Islam memberikan syarat-syarat kepada pengasuhnya

yaitu : berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk

mendidik anak yang diasuh, dapat dipercaya dan juga harus beragama

Islam / seaqidah dengan sang anak.

Begitupun mazhab Syiah Imamiyyah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa

seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam, kemudian

ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa kemurtadan wanita atau laki-

laki yang mengasuh, secara otomatis menggugurkan hak asuhan.

sedangkan mazhab yang lainnya tidak mensyaratkannya.46

Para ahli fiqh mendasarkan kesimpulan tersebut pada ayat 6 surat At-

Tahrim:

: 6.)الخحسن(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan

batu...”(QS. at-Tahrim: 6).

45

Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer

(Analisis Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2010), h.172 46

Mohammad Hifni, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri Dalam

Perpspektif Hukum Isam, Jurnal Hukum Keluarga Islam, Volume 1 No. 2 (Juli-Desember)

2016, h. 52

Page 43: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

30

Yang mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari siksaan

neraka. Untuk tujuan itu perlu pendidikan dan pengarahan dari waktu kecil.

Tujuan tersebut akan sulit terwujud bilamana yang mendampingi atau yang

mengasuhnya bukan seorang muslim.47

D. Pihak-Pihak Yang Berhak Dalam Hadhanah (Pemeliharaan Anak)

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu, memerlukan

orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian,

membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. oleh

karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang,

kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian

hari. Di samping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk

melakukan tugas itu. dan, orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah

wanita. Oleh karena itu, agama menetapkan bahwa wanita adalah orang yang

sesuai dengan syarat-syarat tersebut,48

1. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hadhanah

Ada beberapa pendapat dari Imam Madzhab mengenai orang yang

berhak melakukan Hadhanah apabila seorang ibu tidak mampu mengasuh

anaknya :

a) Hanafiyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan,

bibi dari jalur ibu, putri-putri saudara lelaki, bibi jalur ayah, kemudian

ashabah sesuai urutan warisan.

b) Malikiyyah : ibu, nenek dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, nenek dari

jalur ayah ke atas, kemudian saudara perempuan, bibi dari ayah, dan

47

Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer

(Analisis Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2010), h.172 48

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Lengkap), (Jakarta:

Rajawali Pres, 2009), h.217-218

Page 44: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

31

putri dari saudara, orang yang mendapat wasiat dan bagian ashabah

yang nanti akan jadi dijelaskan.49

c) Syafi’iyyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, kakek dari ibu, saudara

perempuan, bibi dari ibu, kemudian putri-putri saudara lelaki, putri-

putri saudara perempuan, kemudian bibi dari ayah, kemudian setiap

orang yang termasuk mahram dan berhak mendapat warisan sebagai

ashabah sesuai urutan warisan. Pendapat ini sama seperti pendapat

ulama Hanafiyyah.

d) Hanabilah : ibu, nenek dari dari jalur ibu, nenek dari jalur ayah,

kakek dan ibunya kakek, kemudian saudara perempuan dari kedua

orang tua, bibi dari jalur ibu, saudara perempuan dari ayah, bibi dari

jalur kedua orang tua, bibi dari jalur ibu, bibi dari jalur ayah, bibinya

ibu, bibinya ayah, kemudian putrinya saudara lelaki, putrinya paman

ayah, kemudian sisa kerabat yang paling dekat.50

Adapun urutan-urutan yang berhak atas hadhanah dari kalangan laki-

laki yaitu: bapak, kakek terus ketas, saudara dan putra-putranya terus ke

bawah, paman-paman dan putra-putranya. Karena apabila satupun dari

kalangan perempuan diatas, maka hak hadhanah pindah ke kalangan laki-

laki.51

Dari sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah bukan kepada

ayahnya, karena ibu-ibunya merupakan cabang sedangkan ayah bukan

merupakan cabang daripada haknya. Dianggap lebih kuat mengatakan

49

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,

t.tp, tth, h.216 50

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al- Islam wa-Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), jilid 7, h. 722 51

Aris Bintania, iHukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,

t.tp, tth, h.216

Page 45: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

32

bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada

ibunya ibu karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.52

Oleh karena itu mengenai urutan-urutan yang berhak atas hadhanah

anak yang belum mumayyiz menurut pasal 156 huruf (a), (b), (c)

Kompilasi Hukum Islam adalah:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari

ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka

kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu

2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari

ibu

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari

ayah..

b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah

dan hadhanah telah dicukupi, maka permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak

52

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, t.tp, tth, h. 332-333

Page 46: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

33

hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah

pula.53

Dari penjelasan pasal diatas mengenai urutan-urutan yang berhak

melakukan hadhanah tidak jauh berbeda dengan pendapat ulama

fiqih, maka hak hadhanah tersebut menunjukan bahwa kewenangan

seorang ibu lebih berhak memelihara anak yang belum mumayyiz,

kecuali jika ada hal yang benar-benar seorang ibu tidak berhak atas

pengasuhan anak. Sehingga hak asuh anak itu bisa diberikan pada

garis ibu ke atas dan apabila anak tersebut telah dewasa maka dia

boleh untuk memilih sendiri kepada siapa dia akan diasuhnya dan

Pengadilan juga berwenang atas pemindahan hak asuh anak karena

melihat pada kepentingan anaknya.54

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di dalam

pasalnya menerangkan mengenai seorang yang berhak atas hadhanah

anak di bawah umur adalah orang tuanya. (1) Anak yang belum

dewasa mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, berdasarkan Pasal 47 UU Perkawinan, ada di bawah

kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaanya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai

perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan. Selanjutnya Pasal

48 menyatakan orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang

belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan

kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

53

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h.50-

51 54

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,

t.tp, tth, h.209

Page 47: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

34

Pasal 49 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatur pencabutan

kekuasaan (1) salah seorang atau kedua orang tua terhadap seorang

anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua

yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara

kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan

keputusan Pengadilan dalam keadaan dua hal, pertama ia sangat

melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya; kedua ia

berkelakuan buruk sekali.(2) meskipun orang tua dicabut

kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi

biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.55

Pasal-pasal tersebut secara umum telah berpihak kepada

kemaslahatan atau kepentingan anak sekalipun berpihakannya itu

masih terbatas pada kepentingan material belum menyentuh

kepentingan non material baru setelah lahirnya Kompilasi Hukum

Islam dua kepentingan tersebut terakomodasi.56

Oleh karena itu apabila pemenang hadhanah ternyata tidak dapat

menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya

hadhanah telah dicukupi, pengadilan agama dapat memindahkan hak

asuh anak atas permintaan kerabat anak yang juga mempunyai hak

hadhanah. Apabila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan

nafkah anak, maka Pengadilan Agama memberikan keputusan

berdasarkan aturan-aturan di atas.57

55

Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet, 4 (Jakarta: Sinar

Grafika, 200), h.14-15 56

Rohidin, Pemeliharaan Anak Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, Jurnal

Hukum. No.29 Vol.12 Mei 2005: 88-98, h. 95-96 57

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,

t.tp, tth, h.209

Page 48: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

35

2. Hak-hak Anak dan Perlindungannya

Konsep Hak secara bahasa, “hak” berarti sesuatu yang nyata, tetap,

benar, atau sesuatu yang berwujud. Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak

sekali kata “hak” yang bersanding dengan kata “batil”. di dalam al-Qur‟an

kata “hak” memiliki beberapa makna yang berdekatan, misalnya “hak”

bermakna realitas atau pernyataan yang sesuai dengan kenyataan, berita

yang benar, jalan yang benar, pengetahuan yang sesuai dengan asalnya,

kepercayaan, keyakinan, keadilan, dan hukum, kepastian atau peraturan.58

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak

merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak

Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur,

tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang

selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai

sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Hak-hak anak yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang

Perlindungan Anak, adalah:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi (pasal 4).

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan setatus

kewarganegaraan (pasal 5).

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam

bimbingan orang tua (pasal 6).

58

Chamim Tohari, Konsep Hak Dalam Pemikiran Fiqh hanafiyah Serta

Transformasinya Dalam Undang-Undang Hukum Perdata Turki Modern, Volume, 6 Nomor

1, Juli 2018: 54-83, h. 60

Page 49: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

36

d. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual, dan sosial.

(pasal 8).

e. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali

jika ada alasan dan / atau hukum yang sah menunjukkan bahwa

pemisahaan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan

merupakan pertimbangan terakhir (pasal 14).59

Dari penjelasan pasal di atas merupakan pengakuan terhadap hak negara

untuk mengatur dalam kerangka kebijakan sosial, baik dalam bentuk

kebijakan kesejahteraan sosial maupun kebijakan keamanan sosial.60

Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-

anak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 telah

ditegaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

Negara”. Hal ini menunjukan adanya perhatian serius dari pemerintah

terhadap hak-hak anak dan perlindungannya ini terpisah dalam berbagai

ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain:

a) Dalam bidang hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Perlindungan Anak.

b) Dalam bidang kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan, diatur dalam pasal 128 s/d 135.

c) Dalam bidang Pendidikan dengan pasal 31 Undang-Undang Dasar

1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

d) Dalam bidang Tenaga Kerja dengan Undang-Undang Nomor 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 68 s/d 75 dan

59

Undang-undang Perlindungan Anak, (UU RI No. 23 Th. 2002), (Jakarta: Sinar

Grafika , 2009), Cet. 4, h.6-8 60

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung:

PT Refika Aditama, 2014), Cet.3, h.100-101

Page 50: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

37

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan

Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan

Bekerja.

e) Dalam bidang Kesejahteraan Sosial dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

f) Perlindungan Anak secara lebih komprehensif diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

Dengan uraian di atas tampaklah bahwa sesungguhnya usaha

perlindungan anak sudah sejak lama ada, baik pengaturan dalam bentuk

peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya, baik oleh

pemerintah maupun organisasi sosial.

Dimulai dari asas dua deklarasi hak-hak anak yang berbunyi:”Anak-

anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, dan harus

memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana

lain sehingga secara jasmani, mental akhlak, rohani dan sosial, mereka

dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan

bermartabat.”61

Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan

masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul

pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah

matang pertumbuhan pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba

saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2(dua) bagian yaitu; (1)

perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi; perlindungan

61

Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika

Aditama, 2013), Cet-4, h. 49

Page 51: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

38

dalam bidang hukum public dan dalam bidang hukum keperdataan. (2)

perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam

bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.

Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartispasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya

yang ditunjukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak

yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), ekspolitasi, dan

penelentaran, agar dapat menjamin kelangsungan sosialnya. Arif Gosita

dalam bukunya Perlindungan Hukum Terhadap Anak karangan DR.

Maidin Gultom, SH.,M.Hum berpendapat bahwa perlindungan anak adalah

suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.62

3. Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)

1) Hak pemiliharaan anak yang belum mumayyiz jika terjadi perceraian

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105.a.

“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya”.

2) Tangungjawab biaya pemeliharaan dan penyusuan anak

Kompilasi Hukum Islam

Pasal 105.c.

“Biaya pemeliharaaan (anak) ditanggung oleh ayahnya”

Pasal 104.

62

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak : Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h.33-34

Page 52: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

39

a) Semua biaya penyusuan anak pertanggungjawaban kepada

ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya

penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban

memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

b) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat

dilakukan penyampihan dalam masa kurang dua tahun dengan

persetujuan ayah dan ibunya.63

Pasal 156.d.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua

biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa

dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.64

E. Masa Berlakunya Hadhanah

Hadhanah itu berlaku ketika anak tersebut masih kecil dan berakhirnya masa

hadhanah ketika anak sudah mampu berfikir atau sudah mampu untuk

menikah.65

Namun para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai kapan masa usia

tamyiz tersebut.66

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang hadhinah, baik itu ibu

kandung maupun wanita lain lebih berhak atas anak hingga ia tidak lagi

membutuhkan bantuan wanita. Artinya, ia mampu mengurus sendiri keperluan

makan, minum, pakaian, dan bersuci, yaitu kira-kira usia anak mencapai 7

63

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h. 35-

36 64

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h. 51 65

Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h.181 66

Achmad Muhajir, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor

Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol 2, No. 2, Desember 2017, h. 170

Page 53: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

40

(tujuh) tahun.67

Hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi

memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari.

Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh atau telah

datang masa hadhin pertamanya.68

Ulama Malikiyah juga berpendapat bahwa

masa hadhanah bagi anak laki-laki sampai ia baligh, meskipun anak itu gila

ataupun sakit.

Ulama Syafi‟iyah berpendapat jika suami istri bercerai dan punya anak yang

sudah mumayyiz, baik lelaki maupun perempuan, yaitu menginjak usia 7 (tujuh)

tahun atau 8 (delapan) tahun dan kedua orang tuanya sama-sama layak untuk

mengurus hadhanah-nya, baik dalam masalah agama, harta, maupun kasih

sayang. Kemudian keduanya saling berebut untuk mengasuh anak tersebut

maka si anak diperlsilahkan untuk memilih salah satu di antara keduannya.69

Sedangkan menurut pendapat Hanabilah, ia pun sependapat dengan Syafi‟iah

yaitu apabila anak laki-laki yang sudah berumur 7 (tujuh) tahun dan telah

mencapai usia tersebut, maka anak dipersilahkan untuk memeilih diantara

kedua orang tuanya.

Setelah di kemukakan perbedaan pendapat para ulama fiqih diatas mengenai

batasan masa hadhanah, maka dari hal tersebut tidak ada yang menerangkan

secara jelas mengenai masa pengasuhan anak, hanya saja para ulama sepakat

bahwa masa hadhanah itu dimulai sejak kelahiran anak sampai usia mumayyiz,

sebab pada hadhanah anak sudah terdapat upaya memelihara kemaslahatan

anak dalam naungan bimbingan dan pemeliharaan orang tuanya.70

Oleh karena

itu adanya perbedaan pendapat tersebut, maka dari ketentuan undang-undang

menyerahkan kepada kebijaksanaan dan keputusan hakim dengan memberikan

67

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Al-Fikr, t.th),

jilid.7, h. 742 68

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, t.tp, tth, h.214 69

Wahbah Az-zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,(Damaskus: Al-Fikr, t.th),

jilid 7, h. 743 70

Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004),

Cet.1. h. 114-115

Page 54: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

41

ketentuan mengenai batasan akhir umur anak ketika hak asuh itu diberikan,

namun hal ini harus sejalan dengan pedoman bahwa kemaslahatan anak lebih

diutamakan.71

Masa pemeliharaan anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus

dirinya sendiri. Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai 21 (dua puluh

satu) tahun sebagaimana bunyi dari pasal 156 poin d. Semua biaya hadhanah

dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-

kurangnya, sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21

tahun).

Lebih dari itu pasal 47 ayat (1) menegaskan bahwa anak yang belum

berumur 18 tahun atau belum menikah, tetap berada di bawah kekuasaan orang

tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. Dan ayat (2)

menyatakan, bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.72

Mengenai hal ini sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya, yaitu

pasal 98 ayat (1) yang berbunyi:

“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melakukan perkawinan”.73

Pada prinsipnya pengaturan tentang hak pemeliharaan anak baik yang

terdapat dalam literatur fiqh klasik maupun dalam Undang-Undang Perkawinan

serta Kompilasi Hukum Islam cenderung sama bahwa hak asuh anak adalah

milik anak atau demi menjaga kepentingan anak. Adapun perbedaannya hanya

terletak pada pengaturan penentuan batas usia mumayyiz. Dalam literatur fiqh

71

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Ilmu Fiqh, Jilid 2, Cet.2, h.215 72

Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The

Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-

7480, h. 94 73

Achamd Muhajir, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor

Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol 2 No. 2 Desember 2017, h.170-171

Page 55: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

42

klasik seorang anak dikatakan mumayyiz apabila sudah menginjak usia 7 (tujuh)

tahun untuk laki-laki 9 (sembilan) tahun untuk anak perempuan. Sedangkan

Kompilasi Hukum Islam anak yang mumayyiz apabila sudah menginjak usia

21(dua puluh satu) tahun.

F. Gugurnya Hak Hadhanah

Berdasarkan syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah yang telah

dipaparkan sebelumnya, maka seorang pemegang hak hadhanah akan hilang

hak jika melakukan hal-hal tertentu.74

Faktor yang dapat menghalangi hadhanah terdapat berbagai macam yang

dapat mengugurkan hak asuh pada anak. Meskipun pengasuhan anak

merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak

pengasuhannya disebabkan ada beberapa faktor yang dapat mengugurkan

haknya. Menurut ulama Malikiyyah, hak hadhanah gugur dengan empat sebab.

1. Perginya hadhin ke tempat yang jauh

Perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak lebih dari

133 km. Menurut pendapat ulama Malikiyah, jika jarak yang di tempuh lebih

dari itu maka seorang berhak mengambil anak tersbut dari hadhinah dan

gugurlah hak asuh anaknya, kecuali ia membawa anak itu dalam perjalanan.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pengasuh dapat dianggap gugur

jika hadhinah yang berstatus janda pergi ke tempat jauh, dan ayahnya tidak

dapat mengasuhnya. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyyah, hak seorang

pengasuh menjadi gugur jika ia pergi ketempat yang membahayakan atau

pergi dengan niat untuk pindah baik jarak dekat maupun jauh. Ulama

Hanabilah mengatakan bahwa hak asuh anak gugur jika orang yang

74

Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The

Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-

7480, h. 90

Page 56: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

43

mengurus berpergian jauh dengan menempuh jarak yang dibolehkan

qashar.75

2. Seorang hadhin mengidap penyakit yang membahayakan

Hak seorang hadhin gugur jika ia memiliki penyakit yang

membahayakan, seperti gila, lepra, dan kusta. Pendapat ini disepakati oleh

Hanabilah.

3. Seorang hadhin fasiq

Seorang yang fasiq atau berpengetahuan kurang memperhatikan masalah

agama anak asuh dan kurang memberikan perlindungan kepadanya sehingga

kemaslahatan anak terabaikan. Hal ini disepakati fuqaha lainnya.76

4. Seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi.

Hak seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi, kecuali jika

neneknya anak asuh adalah istri kakeknya, atau hadhinah menikah dengan

paman anak tersebut.

Menurut Syafi‟iyyah dan Hanabilah, hak seseorang untuk memelihara

anak dianggap gugur jika orang tersebut kafir. Bahwa seorang kafir tidak

boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Karena kondisi

orang tua kafir lebih buruk dari fasiq dan bahaya yang muncul akan lebih

besar, ditakutkan anak mengikuti perbuatannya dan mengeluarkan dari Islam

melalui penanaman agamanya. Oleh karena itu orang tua wajib

mendahulukan pertimbangan agama sebagai pengasuh daripada

pertimbangan ekonomi dan lain-lain.77

Selanjutnya, jika sebab-sebab yang mengugurkan hak hadhinah tersebut

telah hilang dari diri pengasuh, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah

75

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), jilid 7, h. 738 76

Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The

Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-

7480, h. 91 77

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), jilid 7, h. 738

Page 57: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

44

hak tersebut bisa kembali dimiliki oleh pengasuh. Dalam hal ini ada 2 (dua)

pendapat di kalangan fuqaha, yaitu:

Pertama, pendapat yang masyhur dalam mazhab maliki menyatakan,

bahwa jika gugurnya hak hadhanah disebabkan alasan yang bisa diterima

(uzur), seperti sakit, tempat yang kurang aman, berpergian untuk

melaksanakan ibadah haji, lalu uzur tersebut hilang karena ia telah sembuh,

tempat tinggal aman, dan ia sudah datang dari bepergian haji, maka hak itu

kembali kepadanya. Sebab yang menggugurkan hak tersebut adalah uzur

yang bisa diterima syara‟ (idtirary), bukan uzur ikhtiyary, yang merupakan

kemauannya sendiri.

Kedua, jumhur fuqaha menegaskan bahwa jika hak hadhanah gugur

disebabkan halangan tertentu, lalu halangan itu hilang, maka hak tersebut

kembali kepada pemiliknya baik halangannya itu bersifat idtirary maupun

ikhtiyary seperti menikah, berpergian dan berakhlak tercela, kerna halangan

tersebut telah hilang.78

Mengenai gugurnya hak hadhanah dijelaskan juga dalam Undang-undang

Pokok Perkawinan Pasal 49 :

1) salah seorang atau dua orang tua dapat dicabut kekuasaannya

terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas

permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke

atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang

berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya;

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

78

Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The

Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-

7480, h. 91

Page 58: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

45

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak

tersebut.79

Dan di tegaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang

pencabut hak kekuasaan anak terdapat pada pasal 156 huruf (c) yang

menyatakan “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan

Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain

yang mempunyai hak hadhanah pula”.80

G. Maqhasid Syari’ah

1. Pengertian Maqhasid Syari’ah

Maqashid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasulnya dalam

merumuskan hukum-hukum Islam.81

Maqashid Syari‟ah merupakan kata

majemuk (idlafi) yang terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan al-

Syari‟ah. Secara etimologi, Maqashid merupakan bentuk jamak (plural)

dari kata maqshid. Yang terbentuk dari huruf qaf, shad dan dal, yang

berarti kesengajaan atau tujuan. Sedangkan kata al-syari‟ah secara

etimologi berasal dari kata syara‟a yasyra‟u syar‟an yang berarti

membuat shari‟at atau undang-undang, menerangkan serta menyatakan.

Dikatakan syara‟a lahum syar‟an berarti ia telah menunjukkan jalan

mereka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau

peraturan.82

79

Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet, keenam, h.

15 80

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h.51 81

Nurhadi, Maqashid Syari‟ah Hukum Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI), Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16, No 2, Juli- Desember, 2017 (203-232), h. 206. 82

Ali Mutakin, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Teori Maqashid al-Syari‟ah dan

Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, Vol.19, No.3, (Agustus,2017), h. 550

Page 59: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

46

Sebelum memberikan pengertian istilah maqashid syari‟ah terlebih

dahulu akan diberikan pengertian istilah syari‟ah secara terpisah. Dalam

literatur hukum Islam dapat ditemukan pendapat-pendapat ulama tentang

syari‟ah, antara lain yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut dalam

jurnalnya Abdi Wijaya yang berjudul “Cara Memahami Maqashid Al-

Syari‟ah” bahwa syari‟ah adalah aturan-aturan yang diciptakan oleh

Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan

Tuhan, dengan manusia baik muslim maupun non muslim, terhadap alam

dan seluruh kehidupan. Hal ini terlihat cukup jelas dalam batasan yang

dikemukakan oleh Syaltut yang pada intinya bahwa syari‟ah adalah

seperangkat hukum-hukum Tuhan yang diberikan kepada umat manusia

untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun diakhirat. Kandungan

pengertian syari‟ah yang demikian itu, secara tidak langsung telah

memuat kandungan maqashid syari‟ah.83

Menurut Jasser Auda, dalam jurnalnya Syahrul Sidiq yang berjudul

“Maqashid Syari’ah & Tantangan Modernitas Sebuah Telaah Pemikiran Jasser

Auda,” Al-Maqashid adalah cabang ilmu keislaman yang menjawab

segenap pertanyaan-pertanyaan yang sulit diwakili oleh sebuah kata yang

tampak sederhana yaitu “mengapa?”, maka maqashid menjelaskan

hikmah dibalik aturan syariat Islam.84

Dengan mengetahui pengertian maqashid dan al-syari‟ah secara

etimologi, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian maqashid

syari‟ah secara terminologi, yaitu maksud atau tujuan-tujuan

83

Abdi Wijaya, Cara Memahami Maqashid Al-syari‟ah, Vol. 4/No. 2/ Desember

2015, h. 346-347 84

Syahrul Sidiq, Maqashid Syari‟ah & Tantangan Modernitas Sebuah Telaah

Pemikiran Jasser Auda, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol 7, No.1, November

2017, h.144

Page 60: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

47

disyari‟atkannya hukum dalam Islam, hal ini mengindikasikan bahwa

maqashid syari‟ah erat kaitanya dengan hikmah dan „ilat.85

Tujuan Allah swt mensyari‟atkan hukum-Nya adalah untuk

memelihara kemaslahatan umat manusia, sekaligus menghindari mufsadat

di dunia maupun akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif

yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum utama

yaitu Al-Qur‟an dan Al-Hadis. Hal tersebut diperoleh melalui Firman

Allah Swt dalam Q.S Al-Anbiya ayat 107 berbunyi “ Dan kami tidak

mengutus Engkau (Muhammad)melainkan untuk rahmat (menjadi)

rahmat bagi seluruh alam”.

Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 201-202 “Dan diantara mereka ada

yang berdo‟a Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan

kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka. Mereka

itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan dan

Allah Maha Cepat Perhitungan-Nya.86

Berbicara lebih dalam, pemikiran hukum Islam telah diikat oleh

perhatian para ulama, hukum Islam hanya dikaitkan dengan kajian ushul

al-fiqh dan qawa‟id al-fiqh yang hanya berorientasi pada teks dan bukan

pada makna dibalik teks. Seharunya kajian ushul al-fiqh, qawa‟id al-fiqh

dan Maqashid al-Syari‟ah merupakan tiga hal yang menjadi unsur-unsur

sebuah sistem yang tidak terpisahkan dan berkembang dalam garis linier

yang sama. Ushul al-fiqh, merupakan metodologi yang harus

diaplikasikan untuk menuju sebuah hukum Islam, qawa‟id al-fiqh

merupakan pondasi dasar bangunan hukum Islam yang ada, sedangkan

85

Ali Mutakin, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Teori Maqashid al-Syari‟ah dan

Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, Vol.19, No.3, (Agustus,2017), h. 550-551 86

Syahrul Sidiq, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manuisa, Maqashid Syari‟ah &

Tantangan Modernitas Sebuah Telaah Pemikiran Jasser Auda, Vol. 7, No.1, November

2017, h. 144

Page 61: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

48

maqashid syari‟ah merupakan nilai-nilai dan spirit atau ruh yang berada

pada hukum Islam itu sendiri.87

2. Dasar Hukum Maqashid Syariah

Maqashid Syari‟ah tersebut telah dibuktikan oleh penelitian dan

pengamatan terhadap maksud hukum-hukum syariat, sebagaimana

tercermin dalam nash-nash al-qur‟an dan sunnah Nabi saw. Secara

keseluruhan. Dalam mengutus para rasul sebagai pembawa syari‟at dan

landasan terpenting kewajiban manusia untuk mengamalkannya,

misalnya, Allah swt. Berfirman:

:(561)السبء

Artinya:“(mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira

dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia

membantah Allah sesuadh diutusnya Rasul-rasul itu, dan Allah maha

perkasa lagi maha bijaksana”.(Qs. An-Nisa: 4: 165).

Kandungan ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT dalam

menentukan hukum-hukumNya senantiasa menghendaki kemaslahatan

bagi manusia dan agar manusia terhindar dari hal-hal yang merugi.

88Kemudian sebagai tindak lanjut pelaksanaan syari‟at secara umum,

Allah Swt. Berfirman:

87

Ali Mutakin, Teori Maqashid Al-Syari‟ah dan Hubungannya dengan Metode

Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol, 19, No.31, (Agustus, 2017), pp.547-570, h.

522 88

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van

Hoeven, 1997, cet.1, h.1109

Page 62: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

49

(16زج : )الر

Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. Al-Dzariyat :56)

Secara keseluruhan membuktikan, bahwa syari‟at Islam diciptakan

Allah demi kepentingan dan kemaslahatan manusia. Berdasarkan itu,

dapat disimpulkan bahwa hal tersebut juga berlaku untuk seluruh

perincian syari‟at Islam lainnya. Oleh karena itu, mengetahui maqasid

sayri‟ah merupakan hal yang sangat penting dalam rangka memahami

nash-nash syara‟. Mengistinbatkan hukumnya dan menerapkannya pada

kasus-kasus yang terjadi. Dan beristidlal untuk mengetahui hukum segala

sesuatu yang terjadi ditemukan nashnya.89

3. Macam-macam Maqashid Syari’ah

Adapun berkenaan dengan klasifikasi Maqhasid Syari‟ah, As-Syatibi

dalam jurnalnya Sandi Rizki Febriadi yang berjudul “Aplikasi Maqashid

Syari‟ah Dalam Bidang Perbankan Syari‟ah” membaginya kepada dua

bagian :

1) Maqashid Syari’ah yaitu tujuan yang diletakan oleh Allah dalam

mensyariatkan hukum. Menurut as-Syatibi, Maqashid Syari‟ah terbagi

menjadi empat bagian :

a) Tujuan Syari‟ (Allah) menciptakan Syariat

b) Tujuan Syari‟ (Allah) menciptakan Syariat untuk difahami

c) Tujuan Syari‟ (Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan

d) Tujuan Syari‟ (Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum

Syara‟.

89

Ahmad Qorib, Ushul Fiqh II, (Jakarta: PT.Nimas Multima, 1997), h.171-173

Page 63: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

50

2) Maqashid Al-Mukallaf

Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam

melakukan sesuatu perbuatan Maqashid al-mukallaf berperan

menentukan sah atau batal sesuatu amalan. Kaidah berperan dalam

maqashid al-mukallaf adalah: Maqashid al-Mukallaf hendaklah

selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada yang

ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyari‟atannya,

sesuatu itu dianggap telah menyalahi syariat.90

Selanjutnya, maslahat dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian

yang secara berurutan, yaitu:

a) Maslahat Daruriyyat

Maslahat Daruriyyat adalah sesuatu yang harus

ada/dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan yang terkait

dengan dimensi duniawi dan ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada,

maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan

kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa, dan ibadah

lainnya.91

Kemaslahatan dharuriyyah ini meliputi pemeliharaan lima hal

sebagai berikut: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima

hal tersebut merupakan landasan bagi tegaknya kehidupan

keagamaan dan keduniawian. Dengan memelihara kelima hal

tersebut, maka kehidupan manusia sebagai individu dan anggota

masyarakat dapat berjalan baik dan harmonis. Kelima hal tersebut

disyariatkan oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:

90

Sandi Rizki Febriadi, Aplikasi Maqashid Syariah Dalam Bidang Perbankan

Syariah, Amwaluna, Vol.1 No.2 (Juli;2017), Hal 231-245, h.239 91

Sulaeman, Signifikasi Maqashid Al-Syari‟ah dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal

Syari‟ah dan Hukum Diktum, Volume 16, Nomor 1 Juli 2018:98-117, h.108

Page 64: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

51

إذا جبءك الوؤهبث ببعل عل ئب ولب سسقي ولب ب أهب الب أى لب شسمي ببلله ش

دهي وأزجلهي و ي أ لب عصل ف زي ولب قخلي أولبدهي ولب ؤحي ببهخبى فخسه ب

(51الووخحت: .)إى الله غفىز زحن فببعهي واسخغفس لهي الله هعسوف

Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-

perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa

mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak

akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan

berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki

mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,

Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan

kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Mumtahanah :60:12).

Syariat Islam memelihara kelima kemaslahatan dharuriyyah ini

dari dua sisi, yaitu dari sisi upaya untuk mewujudkan melalui

penegakan rukun-rukun dan sendi-sendinya, dan dari segi

kesinambungannya melalui tindakan preventif dalam bentuk

pensyari‟atan sesuatu yang dapat mencegah terjadinya sesuatu

yang dapat merusak kelima hal diatas. Kedua sisi ini diperhatikan

oleh syariat Islam dengan penuh kesungguhan.92

b) Maslahat Hajiat

Maslahat Hajiat adalah sesuatu yang sebaiknya ada sehingga

dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan.

Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan

kerusakan atau kematian, namun akan berimplikasi adanya

masyaqqah dan kesempitan.

c) Maslahat Tahsiniyyat

Maslahat Tahsiniyyat adalah sesuatu yang tidak mencapai taraf

dua kategori diatas. Hal-hal yang masuk dalam kategori

tahsiniyyat jika dilakukan akan mendatangkan kesempurnaan

92

Ahmad Qorib, Ushul Fiqih II, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), h. 175-176

Page 65: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

52

dalam suatu aktivitas yang dilakukan, dan bila ditinggalkan maka

tidak akan menimbulkan kesulitan.93

4. Kedudukan Maqashid Syariah

Al Imam Al-Juwaini Haramain dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih

pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid syari‟ah

dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seorang

tidak dapat dikatan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelumnya

ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan

larangan-Nya.

Oleh karena itu mengetahui tujuan umum syariat merupakan hal yang

pokok dalam kerangka melakukan ijtihad apalagi dalam upaya melakukan

perubahan penerapan dan pemahaman hukum Islam. Segala macam kasus

hukum yang muncul baik yang secara eksplisit diataur dalam al-qur‟an dan

hadits maupun yang dihasilkan ijtihad harus bertitik tolak dari tujuan

tersebut. Dalam kasus hukum yang secara nyata dijelaskan dalam kedua

sumber hukum fiqih yang utama, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui

teks yang ada. Jika kemaslahatan itu ternyata tidak dijelaskan secara

eksplisit oleh kedua sumber utama fikih tersebut maka peranan mujtahid

fukaha untuk menggali dan menemukan kemaslahatan tersebut sangat

dibutuhkan. Penemuan maslahat yang digalli oleh mujtahid tadi akan

diterima selama tidak bertentangan dengan maslahat yang dijelaskan dalam

nash.94

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa inti maqashid syari‟ah

pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari

dari segala macam keruskan, baik di dunia maupun di akhirat. Semua kasus

93

Sulaeman, Signifikasi Maqashid Al-Syari‟ah dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal

Syari‟ah dan Hukum Diktum, Volume 16, Nomor 1 Juli 2018:98-117, h.108 94

Moh Khasan, Kedudukan Maqashid Al-Syariah Dalam Pembaharuan Hukum

Islam, Jurnal Dimas Vol.8 No.2 tahun 2008, h. 303-304

Page 66: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

53

hukum, yang disebutkan secara eksplisit dalam al-qur‟an dan sunnah

maupun hukum Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad harus

berdasarkan pada tujuan perwujudan mashlahah tersebut.

Dalam kasus yang secara eksplisit dijelaskan oleh teks al-qur‟an

maupun sunnah, maka kemaslahatan tersebut dapat dilacak dalam kedua

sumber tersebut. Jika suatu mashlahat disebutkan secara tegas dan eksplisit

dalam teks, maka kemaslahatan itu yang dijadikan tolak ukur penetapan

hukum, dan para ulama lazim menyebutnya dengan istilah al-mashlahah

al-mu‟tabarat. Lain halnya jika maslahat tersebut tidak di jelaskan secara

eksplisit oleh kedua sumber tersebut, maka mujtahid harus bersikeras

dalam menggali dan menentukan mashlahat tersebut.95

Dalam perkara hadhanah hal ini menjadi acuan prinsip maqashid asy-

syari‟ah yang meliputi lima hal, yaitu melindungi agama (hifzh ad-din),

melindungi jiwa dan kemaslahatan fisik (hifzh an-nafs), melindungi

kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl), melindungi akal fikiran (hifzh al-

aql), dan melindungi harta benda (hifzh al-maal).

Kelima maqashid di anggap sebagian dari asas agama (ushul ad-din)

setelah akidah Islam. Seluruh rangkaian hukum syari‟at yang terdiri dari

akidah, ibadah, muamalat, dan akhlak, juga mengandung unsur-unsur lima

kaidah umum diatas. Rukun Islam dan rukun Iman disyari‟atkan untuk

tujuan menjaga kaidah pertama, yakni menjaga agama. Diharamkannya

segala bentuk judi dan hal-hal yang memabukan adalah untuk menjaga

akal. Sedangkan hukum kekeluargaan untuk menjaga keturunan, dan

hukum muamalat, pencuri, dan ghasab, untuk menjaga asas kelima, yakni

harta.

95

Ali Mutakin, Teori Maqashid Al-Syari‟ah dan Hubungannya dengan Metode

Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol.19, No.3, (Agustus, 2017), pp.547-570, h.

554

Page 67: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

54

Peranan maqashid syari‟ah dalam hal ini sangat signifikan dalam

menentukan hukum berdasarkan hikmah atau tujuan hukum-hukum

berkenaan dengan hadhanah tersebut. Lebih jauh untuk mencapai

ketegasan hukum hadhanah melalui konsep penerapan maqashid syari‟ah.

Di samping itu, teori hukum harus diaplikasikan terhadap permasalahan

hukum kontemporer, agar tidak hanya merupakan hal-hal yang ideal,

sebagai khazanah hasil pemikiran.

Hukum Islam mempunyai tujuan tercapainya kemaslahatan yang hakiki,

kemaslahatan menurut ajaran Islam merupakan prinsip dasar yang

menjiwai seluruh ajarannya yang diterapkan dalam bagian-bagiannya

secara terperinci. Karena pada dasarnya kemaslahatan itu merupakan

pelaksanaan dari sendi dasar rahmat yang melandasi syari‟at Islam yang

berkisar pada dua hal pokok, yaitu mewujudkan manfaat dan menghindari

mafsadat. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, menurut peneliti ahli

Ushul ada lima dasar pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu

menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.96

Apabila penerapan

konsep ini berlaku dalam sistem pemerintahan maka akan terjalin

mashlahat bukan hanya bagi muslim tetapi juga masyarakat yang

majemuk.

Pentingnya memelihara agama (Hifdz Ad-Din), di dalam Islam agama

merupakan pedoman hidup bagi seluruh muslim, maka daripada itu agama

Islam terpelihara dan bisa melaksanakan perintah dan menjahui larangan-

Nya sehingga tidak merusak aqidah. Ketika kita menerapkan konsep

tersebut, maka kita harus memperhatikan aspek agama, jangan sampai

96

Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif

Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 56-57

Page 68: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

55

dengan keputusan yang diambil dapat merusak agama dan aqidah umat

Islam. 97

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam keadaan lemah.

Karena itu, mereka harus membentuk kerjasama dalam hal kebaikan dan

usaha-usaha taqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan surat Al-

Maidah ayat 2:98

ولب القلبئد ج الحسام ب أهب الري آهىا لب ححلىا شعبئس الله ولب الشهس الحسام ولب الهد ولب آهي الب

ولب جسهنن شآى قىم أى صدومن عي وإذا حللخن فبصطبدوا زبهن وزضىاب بخغىى فضلب هي

احقىا الله و ولب حعبوىا عل الئثن والعدواى والخقىي وحعبوىا عل البس الوسجد الحسام أى حعخدوا

(1. )الوبئدة: إى الله شدد العقبة

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar

syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,

jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang

qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi

Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan

apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan

janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka

menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat

aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam

berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,

sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah : 2)

Dijelaskan juga di dalam Qs.Asy- Syura ayat 13 :

(51.)الشىزي:أى أقوىا الدي ولب حخفسقىا فه

Artinya: “Tegakkanlah Agama dan janganlah kamu berpecah belah

tentangnya”. (QS. Asy- Syura: 13).

97

Novi Rizka Amalia, Penerapan Konsep Maqasid Syariah Untuk Realisasi Identitas

Politik Islam Di Indonesia, Jurnal Dauliyah, Vil.2, No. 1, Januari 2017, h. 42 98

Syahrial Dedi, Perluasan Teori Maqashid Al-Syari‟ah :Kaji Ulang Wacana Hifdz

Al-„Ummah A. Djuzuli, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, 2016,h. 51

Page 69: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

56

Kemudian pentingnya dalam memelihara jiwa (Hifdz An-Nafs), muslim

adalah aset bagi umat Islam, dan pentingnya saling menjaga satu sama lain

dijadikan aspek utama diantara kelima maqhasid tersebut. Jika ditarik dari

segi pemerintahan maka hifdz An-Nafs ini juga bisa mengajak muslim

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok demi mempertahankan

kelangsungan hidup sesama muslim.

Begitu juga perlunya memelihara akal (Hifdz Al-Aql), manusia adalah

makhluk yang sempurna karena akalnya, akal ini yang membedakan antara

manusia dengan hewan, makhluk lain termasuk malaikat dan bisa

membedakan salah dan benar. Sebagaimana telah di jelaskan dalam QS.

At-Tin ayat 4:99

سبى ف أحسي ( 4خي: ل.) ا حقىن لقد خلقب الئ

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sabik-

baiknya”(QS. At-Tin: 4)

Realisasi maqhasid al-syari‟ah merupakan dasar utama dan fundamental

dalam sistem hukum islam. Menggali maqhasid al-syari‟ah harus

dikembalikan kepada teks utama (al-Qur‟an dan Hadits), bukan hanya

pendapat dan pikiran para fiqih. Oleh karena itu, perwujudan maqhasid al-

syari‟ah menjadi tolak ukur dari validitas setiap ijtihad, tanpa

menghubungkannya dengan kecenderungan madzhab tertentu. Tujuan

penetapan hukum Islam harus dikembalikan kepada kemaslahatan

masyarakat yang terdapat disekitarnya.100

99

Novi Rizka Amalia, Penerapan Konsep Maqasid Syariah Untuk Realisasi Identitas

Politik Islam Di Indonesia, Jurnal Dauliyah, Vil.2, No. 1, Januari 2017, h. 42-43 100

Syukur Prihantoro, Maqasid Al-Syari‟ah dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah

Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vo. X No.1

Juni 2017, h. 129

Page 70: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

57

Adapun inti dari konsep maqshid syri‟ah hubungannya dengan

hadhanah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan

keburukan untuk menarik manfaat dan menolak mudharat. Istilah yang

sepadan dengan inti maqhasid syari‟ah tersebut adalah mashlahat.

Dengan adanya peran maqashid syari‟ah dan ketika tidak terpenuhinya

suatu syarat-syarat dalam menjadi hadhanah maka hal ini sangat siginfikan

untuk menentukan hukum berdasarkan hikmah atau tujuan hukum-hukum

yang berkenaan dengan hadhanah. Sehingga jelas bahwa bapak pun

mempunyai hak yang sama dengan ibu, ketika seorang ibu terdapat seuatu

kekurangan atau tidak terpenuhinya suatu syarat-syarat hadhanah

tersebut.101

101

Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif

Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 59-6

Page 71: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

58

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG NOMOR

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. PTA BANDUNG NOMOR 0079/Pdt.

G/2015/PTA.Bdg. DAN KASASI NOMOR 127 K/Ag/2016

TENTANG HADHANAH ANAK YANG

BELUM MUMAYYIZ

1. Duduk Perkara

a. Kronologi Pengajuan Perkara di Tingkat Pertama, Banding dan

Kasasi

Pada tahun 2007, anak penggugat telah menikah dengan tergugat di

jakarta dengan akta nikah nomor 630/25/XI/2007 tanggal 5 November

2007. Sebelumnya tergugat ini adalah pemeluk agama Kristen Protestan,

yang mana beberapa bulan sebelum menikah dengan anak penggugat

dengan tergugat di langsungkan. Tergugat telah menyatakan secara

penuh kesadaran untuk memeluk agama Islam pada tanggal 1 September

2007 di Jakarta. Dari pernikahan anak penggugat dan tergugat telah

dikaruniai 3 (tiga) orang anak, anak pertama anak asuh 1, lahir di

Jakarta, tanggal 26 Pebruari 2008, anak kedua anak asuh 2, lahir di

jakarta, tanggal 28 Mei 2009 dan anak ke tiga anak asuh 3, lahir tanggal

12 Januari 2014.

Pada mulanya penggugat tidak menyetujui hubungan anak

penggugat dengan tergugat namun karena dilandasi rasa kasih sayang

orang tua dan melihat kesungguhan tergugat yang rela untuk memeluk

agama Islam, maka penggugat menyetujui hubungan tersebut.

Anak penggugat dan tergugat tinggal bersama di rumah penggugat

di Kec. Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di rumah penggugat tergugat juga

di berikan bimbingan agama Islam dan diajarkan mengaji, pada awalnya

penggugat ikut merasakan kebahagian atas pernikahan anak penggugat

dan tergugat. Namun setelah kelahiran anak pertama dan lebih

Page 72: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

59

khususnya ke dua, penggugat mulai merasakan keraguan terhadap

aqidah tergugat.

Kemudian pada tahun 2011 anak penggugat dan tergugat beserta

anak-anaknya pindah dan menempati rumah di Sentul City, Kecamatan

Citeurep, Kabupaten Bogor. Namun pada tanggal 5 Oktober 2013 anak

penggugat meninggal dunia di Bogor. Tetapi pada waktu itu penggugat

dan keluarga merasakan kekecewaan yang amat besar dan mendalam

terhadap sikap tergugat sehubungan hal ikhwal kematian anak

penggugat. Yang mana bahwa pada saat anak penggugat sakit dan

keadaan gawat tergugat tidak berusaha meminta tolong kepada tetangga

di lingkungan, dan sejak awal yang mengurus kematian anak penggugat

dilakukan oleh adik-adik dari Alm. Anak penggugat. Dengan adanya

perubahan sikap dan tingkah laku tergugat semakin terbukti dengan

perubahan tergugat pasca kematian anak penggugat.

Pada tanggal 23 Desember 2013 sampai tanggal 25 Desember 2013

Penggugat, istri beserta anak-anak menantu dan cucu-cucu penggugat

berkunjung ke kediaman rumah tergugat untuk silahturahmi dan

menginap di sana. Kemudian pada hari esoknya yaitu pada tanggal 24

Desember 2013 istri penggugat, anak menantu dan cucu penggugat

mengajak anak-anak dari Almr. Anak penggugat dengan tergugat untuk

berjalan-jalan, dan yang mana selama dalam perjalanan anak-anak

berbicara mengenai mereka sudah mengikuti sekolah minggu. Dan pada

hari yang sama penggugat dan anak penggugat menanyakan

kebenarannya tentang aqidah tergugat dan anak-anaknya kepada supir

tergugat dan dijawab oleh supir tergugat yang pada dasarnya

membenarkan bahwa anak-anak telah mengikuti sekolah minggu dan

Gereja di GPIB Jemaat “Zebaoth” di Bogor Bajem Sentul, tetapi yang

mengantar bukan supir tergugat melainkan orang lain yang

mengantarkan anak-anak.

Page 73: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

60

Keraguan penggugat terhadap tergugat yang telah menunjukan

perubahan sikap dan tingkah laku khususnya terkait dengan akidah

Islam, kembali terbukti sehubungan dengan hal-hal yang telah

menyimpang dari ajaran agama Islam dengan bukti-bukti yang telah di

ketahui oleh para saksi dan bukti yang lainnya baik itu bukti dari sosial

media dan di temukannya pula brosur terkait dengan Al-Kitab dari tas

tergugat. Begitu juga dengan perkataan anak asuh 1 cucu pertama dari

anak penggugat ketika salah satu dari anak penggugat menanyakan

perihal melaksanakan shalat, kemudian anak asuh 1 menjawab “tidak

boleh shalat sama Bunda (tergugat) kalau shalat nanti Bunda nangis

terus,“ Tuhan aku sekarang Yesus, begitupun sikap tergugat diamana

supir tergugat bercerita bahwa semua lukisan kaligrafi yang ada di

dalam rumah di suruh dibuang oleh tergugat. Dengan begitu sikap dan

perkataan tergugat dan anak-anak menguatkan keraguan penggugat dan

keluarga besar terhadap aqidah Islam.

b. Tuntutan (Petitum) Para Pihak Dalam Gugatan

Tuntutan penggugat mengenai hal hak asuh anak yang di sebabkan

tergugat maka si penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk

mengabulkan gugatan seluruhnya, menyatakan sah menurut hukum

perkawinan antara anak penggugat dan tergugat putus karena cerai mati,

menetapkan hak asuh anak (hadhanah) terhadap ketiga anaknya kepada

penggugat (kakek pihak ayah), kemudian menyatakan Tergugat telah

berpindah agama (murtad), dan memiliki sifat yang tidak amanah,

sehingga dengan perilaku dan sifat Tergugat yang seperti itu maka

Penggugat memohon untuk menghukum tergugat menyerahkan ketiga

anak tersebut kepada penggugat, dengan ketentuan anak ke-1 dan ke-2

setelah putusnya ini berkekuatan hukum tetap kemudian anak ke-3

tersebut sampai berusia 2 tahun, hal yang diajukan penggugat di

Pengadilan Agama Cibinong.

Page 74: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

61

Sedangkan Tergugat menuntut untuk menolak sebagian gugatan

Penggugat terhadap Tergugat, menyatakan menolak semua dalil-dalil

Penggugat dan menyatakan sangat keberatan dan menolak pernyataan

Penggugat yang menyamakan Tergugat seolah-olah kafir, gila, fasik dan

menikah dengan pria lain, faktanya Tergugat saat ini sehat baik jiwa

maupun fisik, waras, beragama Islam dan nikah secara Islam. Kemudian

Tergugat juga membantah dengan tegas menolak dalil Penggugat yang

menyatakan Tergugat melalaikan kewajiban terhadap anak-anak dan

berkelakuan buruk, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan maka

Tergugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara ini untuk menyatakan gugatan penggugat kabur dan

tidak jelas objek sengketa yang mendasari gugatannya dan menyatakan

gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

Dalam hal perkara ini hakim PA Cibinong mengabulkan permohonan

atas hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada kakek (dari pihak

ayah) karena disamping itu nenek juga masih ada ( ibu dari ayah). Di

PA Cibinong kakek memenangkan perkara hasuh anak akan tetapi untuk

anak yang ke 3 itu masih berada pada ibu nya sampai umur 2 Tahun

(masa penyusuan) dikarena masih berumur 3 bulan.

Kemudian perkara ini tidak hanya berakhir di PA Cibinong saja,

karena si tergugat (menantu) merasa tidak puas akan putusan hakim PA

Cibinong maka si tergugat mengajukan perkara ini ke PTA Bandung

(tingkat banding), di tingkat banding ini hakim justru membatalkan

putusan perkara no. 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn dengan beralasan bahwa

saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat di persidangan tidak satupun

yang menerangkan dengan tegas bahwa Tergugat telah keluar dari

agama Islam dan telah dibaptis lagi secara agama Kristen, tetapi hanya

menerangkan adanya kekhawatiran dan indikasi bahwa Tergugat

kembali kepada agama asalnya yaitu Kristen Protestan, sehingga akan

Page 75: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

62

membawa anak-anak ikut agama Tergugat, sedangkan yang dibutuhkan

dari keterangan saksi adalah fakta, bukan indikasi. Dan di tingkat

banding ini hakim memberikan hak asuh anak kepada Tergugat

(menantu).

Kemudian begitu juga dengan Penggugat yang merasa tidak puas dia

mengajukan kembali perkara hak asuh anak ini ke MA (tingkat kasasi).

Dan di tingkat kasasi ini justru hakim menguatkan putusan hakim yang

di tingkat banding, dengan beralasan bahwa hakim tingkat banding telah

benar dalam memutuskan putusan perkara hak hadhanah ini.

2. Putusan Hakim Dan Pertimbangan Hukum

a. Perkara No. 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn

Dalam menetapkan penetapan perkara hadhanah ini, majelis hakim

mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, dengan pertimbangan hukum

diantaranya yaitu:

1) berdasarkan pada Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 1974

Tentang Perkawinan yang berbunyi “Salah seorang atau kedua orang

tua dapat di cabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih

untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,

keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang

telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan

Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya

terhadap anaknya, b. Ia berkelakukan buruk sekali”.

2) Pada Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi

“apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.

Page 76: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

63

3) Majelis Hakim berpendapat tentang eksepsi Tergugat yang

menyatakan kabur (obscuur libel), tidak cukup alasan karena dengan

nyata-nyata obyek sengketa adalah masalah hadhanah, oleh karena itu

eksepsi tergugat harus ditolak.

4) untuk menguatkan dalil gugatan Penggugat, selain bukti tertulis

Penggugat juga telah menghadirkan saksi masing-masing bernama Hj.

Kartini, Dr. Helen Novitasari, Reagen Prabowo, Drs. Handoy R.

Antho dan Indri Fitriani, telah memberikan keterangan bahwa

sumpahnya yang pada pokoknya telah menguatkan dalil gugatan

Penggugat, yang mana keterangan saksi satu dan lainnya saling

bersesuaian (HIR Pasal 170).

5) Bantahan-bantahan Tergugat terhadap dalil gugatan Penggugat tidak di

dukung oleh bukti-bukti yang mendukung dalil jawaban tergugat.

Tergugat telah diberikan kesempatan untuk menyampaikan alat bukti,

akan tetapi tidak dimanfaatkan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Majelis

Hakim berkesimpulan terhadap gugatan Penggugat dapat dikabulkan

sebagian dan menolak selain dan selebihnya dengan ketentuan

sebagaimana tercantum dalam amar putusan.

b. Perkara Nomor 0079/Pdt. G/2015/PTA.Bdg

Dalam putusan nomor 0079/Pdt. G/2015/PTA.Bdg hakim Tingkat

Banding membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor

0282/Pdt.G/2014/PA.Cbn dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat di persidangan tidak

satupun yang menerangkan dengan tegas bahwa Tergugat telah keluar

dari agama Islam dan telah dibaptis lagi secara agama Kristen, tetapi

hanya menerangkan adanya kekhawatiran dan indikasi bahwa

Tergugat kembali kepada agama asalnya yaitu Kristen Protestan,

sehingga akan membawa anak-anak ikut agama Tergugat, sedangkan

Page 77: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

64

yang dibutuhkan dari keterangan saksi adalah fakta, bukan indikasi.

Sedangkan fakta yang ada Tergugat masih beragama Islam sesuai

dengan bukti P.2.

2) Sesuai dengan Pasal 2 huruf (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun

2003 prinsip dalam pemeliharaan anak (hadhanah) harus berdasarkan

kepentingan terbaik bagi si anak dan putusan Mahakamah Agung

Nomor 110 K/AG/2007 Tanggal 13 November 2007, yang dalam

pertimbangannya, bahwa mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-

mata dilihat dari siapa yang paling berhak mengasuhnya, akan tetapi

harus melihat fakta ikut siap yang lebih tidak mendatangkan kerusakan

bagi si anak, dengan kata lain yang harus lebih tidak mendatangkan

kerusakan bagi si anak, dengan kata lain yang harus dikedepankan

adalah kepentingan si anak bukan siapa yang berhak mengasuhnya,

maka berdasarkan hal demikian ketiga orang anak tersebut sekarang

tinggal bersama ibunya akan mendatangkan madharat secara

psikologis apabila dipaksa dialihkan pengasuhannya kepada kakeknya

yang selama ini ketiga orang anak tersebut tidak pernah tinggal

bersama kakeknya, apalagi anak yang paling kecil baru berumur 1

(satu) tahun, maka sebaiknya ketiga orang anak dimaksud dipelihara

oleh ibu kandungnya (Tergugat).

3) Berdasarkan sesuai dengan pengakuan Tergugat / Pembanding yang

mengaku masih beragama Islam karena dilahirkan dalam perkawinan

Islam, maka sesuai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka Tergugat /

Pembanding wajib memelihara akidah Islamiah bagi ketiga orang anak

tersebut serta wajib (harus) mendidiknya secara akidah Islam pula.

Page 78: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

65

c. Perkara Nomor 127 K/Ag/2016

Kemudian dalam Tingkat Kasasi hakim menolak permohonan kasasi

(Penggugat) atau dalam hal lain hakim Tingkat Kasasi menguatkan putusan

Tingkat Banding dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Pertimbangan dan putusan Judex facti Tingkat Banding sudah tepat

dan benar, Tergugat membantah dengan tegas bahwa ia telah keluar

dari agama Islam dan kembali ke agama Kristen Protestan. Oleh

karena dalil Penggugat ditolak oleh Tergugat maka seharusnya

Penggugat mengajukan bukti yang kuat menurut yang diajukan

Penggugat belum ada yang menunjuk langsung bahwa Tergugat

berpindah agama.

2) Atas pertimbangan hakim PA Cibinong ternyata tidak bertentangan

dengan hukum dan / atau undang-undang, maka permohonan kasasi

yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, tersebut harus di tolak.

Page 79: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

66

BAB IV

HAK HADHANAH ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ PADA PUTUSAN

NOMOR 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. DAN PEMBATALANNYA DALAM

PERSPEKTIF MAQHASID SYARI’AH

A. Analisis Putusan Nomor 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn, dan Putusan Nomor

0079/Pdt. G/2015/PTA.Bdg, dan Putusan Nomor 127 K/ Ag/2016

Dalam Perspektif Maqashid Syari’ah.

Setelah mempelajari lebih lanjut mengenai putusan perkara hak asuh

anak yang penulis angkat sebagai penelitian ini, penulis akan menjelaskan

apa alasan pertimbangan hakim dari putusan Tingkat Pertama, Tingkat

Banding dan Tingkat Kasasi.

Dalam perkara putusan hak hadhanah yang terjadi antara Penggugat

(kakek) dan tergugat (menantu) di atas, di mana Majelis Hakim Pengadilan

Agama Cibinong yang memutus perkara tersebut telah menjatuhkan hak

asuh anak kepada Penggugat (kakek) dikarenakan pihak Tergugat

(menantu) telah tidak konsisten atas keyakinan tergugat atau berpindahnya

agama menjadi agama semula yaitu Kristen Protestan (murtad). Oleh

karena itu terjadilah perebutan hak asuh anak dan yang seharusnya kedua

orang tuanya bisa saling melindungi dan merawatnya secara bersama-

sama. Akan tetapi dalam kepengurusan anak menjadikan perdebatan

pemikiran dan penguasaan antara masing-masing orang tua dalam

menuntut haknya, maka disinilah peran dan kewenangan seorang hakim

untuk meluruskan suatu perkara yang timbul ditengah masyarakatnya.

Dalam putusan perkara Nomor 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn penulis setuju

atas pertimbangan hakim dan amar putusan yang telah mengabulkan

gugatan penggugat. Menurut penulis hakim telah benar dalam

memutuskan putusan ini karena hakim lebih fokus kepada kepentingan dan

kemaslahatan si anak yang belum mumayyiz, bukan kepada hak yang

dimiliki oleh orang tuanya, walaupun di dalam Undang-undang dan nash

al-qur’an menyatakan bahwa hak asuh anak merupakan hak ibunya, karena

hakikatnya seorang ibu cenderung lebih memiliki sifat kasih sayang dan

Page 80: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

67

lemah lembut, serta mampu untuk merawat, menjaga, membimbing, dan

mendidik anak daripada seorang ayah.1

Namun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di jelaskan tentang

pencabut hak kekuasaan anak terdapat pada pasal 156 huruf (c) yang

menyatakan “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan

Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain

yang mempunyai hak hadhanah pula”.2

Dalam perkara ini meskipun majelis hakim tidak menemukan bukti

yang kuat atas pindahnya keyakinan agama si tergugat karena dalam hal

ini tergugat menyangkal bahwa dia telah berpindah agama, tetapi di dalam

persidangan terungkap dengan saksi-saksi yang ada bahwa memang

indikasi kekhawatiran penggugat itu beralasan karena menurut para saksi

itu terungkap bahwa anak-anak ini sudah mulai mengikuti sekolah minggu,

kemudian simbol-simbol keislaman di rumahnya sudah mulai di

hilangkan. Oleh karena itu yang menjadi alasan hakim walaupun tidak

terbukti tergugat sudah pindah agama atau tidak tetap di kabulkan karena

senyatanya fakta-fatka yang terungkap itu ada kecenderungan

mengkhawatirkan bagi si anak terkait dengan pertumbuhan keislamannya.

Dalam kasus ini yang menjadi pertimbangan hakim adalah kepentingan

anak dan yang paling utama ketika ada sengketa hak asuh anak yang di

pertimbangkan utama itu bukan hak ibu atau hak bapak melainkan

kepentingan bagi anak, dalam hal ini hakim juga mengatakan jika kita

kembalikan kepada Undang-Undang Perlindungan anak ternyata diantara

kepentingan anak yang paling asasi atau kebutuhan anak yang paling

mendasar diantaranya adalah tentang keyakinan. Yang menjadi dasar

penetapan hak asuh anak dalam kasus ini hakim menjelaskan bahwa yang

1 Huzaimah Tahindo Yanggo, Fiqih Anak, h. 102

2 Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h.51

Page 81: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

68

pertama adalah tentang kepentingan anak bukan kepentingan ibu dan

bapak tapi kepentingan objek sengketa itu adalah anak.3

Oleh karena itu kepentingan anak leibh di utamakan dalam kasus hak

asuh anak ini. Majelis hakim juga mengatakan bahwa hakim memutuskan

dengan murni berijtihad karena untuk kemaslahatan yaitu “menolak

kerusakan diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”.4

Dalam firman Allah Swt pada surat at-Tahrim ayat 6:

فسكن وأهليكن ارا وقىدها الاس والحجارة عليها هلائكة اد لا يا أيها الذيي آهىا قىا أ لا

)6.)التحزين : ويفعلىى ها يؤهزوى أهزهنها يعصىى الله

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan

batu..”(QS. at-Tahrim: 6).

Ayat Al-qur’an diatas menjelaskan bahwa dakwah dan pendidikan

harus bermula dari rumah, dimana dari ayat tersebut walapun secara

redaksional tertuju pada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan berarti hanya

tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki

(ibu dan ayah), maka dengan demikian hal ini berarti kedua orang tua

bertanggungjawab terhadap anak-anaknya dan pasangan masing-masing

sebagaimana suami dan istri bertanggungjawab atas kelakuannya. Ayah

dan ibu serta anak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga atau

keluarga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh

hubungan yang harmonis.5 Kemudian di dalam ketentuan pasal 45

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan:

Pasal 45

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya.

3 Wawancara Pribadi dengan DR. H. Nasech Suharto, Lc.LLM (Hakim Pengadilan

Agama Cibinong, 28 Maret 2019). 4 Putusan Nomor 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn, h.49

5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,

(Jakarta: Lentera hati, 2002), jilid. 15, Cet.1, h.326

Page 82: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

69

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendir,

kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara

orang tua putus.6

Oleh sebab itu dalam mengenai hadhanah, seorang bapak dan ibu

tetap berkewajiban untuk memeliharanya meskipun ikatan perkawinan

dari kedua orang tuanya telah putus, sebagaimana telah diatur dalam

pasal 41 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dinyatakan:7

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak

pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diberlakukan anak itu, bilamana bapak dalam

kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan

dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan pennghidupan dan / atau menentukan sesuatu

kewajiban bagi bekas istri.8

Dari pasal di atas ditegaskan bahwa kedua orang tua tetap berkewajiban

memelihara anak yang didasarkan untuk kepentingan di masa yang akan

datang yaitu ketika anak tersebut sudah dikatakan dewasa atau cakap

hukum dan bukan untuk kepentingan masing-masing pihak orang tua

6 Anggota Abri,dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika

Offset, 2000), h.14 7 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2015), Cet.9, h.238

8 Anggota Abri,dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika

Offset, 2000), h.13

Page 83: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

70

dalam mengambil haknya. Oleh karena itu adanya kedua orang tua bagi

anak ialah untuk saling memikul bersama-sama dalam hal

bertanggungjawab memelihara anaknya.

Kemudian untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan

beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, diantaranya sebagai

berikut:

1. Yang melakukan hadhanah sudah baligh, anak kecil atau yang

belum baligh tidak boleh menjadi hadhin untuk orang lain, karena

dia sendiri belum mampu mengurus keperluannya.

2. Berakal, karena orang gila dan idiot tidak boleh menjadi hadhin

karena keduanya juga membutuhkan orang lain untuk mengurus

keperluan mereka. Untuk mengurus diri sendiri saja mereka tidak

mampu, apalagi untuk mengurus keperluan orang lain.

3. Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, jadi

orang yang lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun

sibuk tidak berhak untuk mengurus anak.9

4. seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya

memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin

pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat

memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena

itu ia tidak layak melakukan tugas ini.

5. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang

akan di asuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya

adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai

hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki

lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan

kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukan

mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti

9 Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam wa’Adilatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), Jilid 7, Cet. 2, h.726.

Page 84: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

71

disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanah-Nya tidak menjadi gugur

jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak, yang memperhatikan

kasih sayang dan tanggungjawabnya.

6. seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam seorang

nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh.

Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak

menjadi muslim yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban mutlak

atas kedua orang tua.10

Berkenaan dengan pertimbangan hakim pada Putusan Nomor.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. penulis ingin menganalisis putusan tersebut

melalui konsep dan metode penetapan maqashid syari’ah.

Sebagaimana telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa inti

maqashid syari’ah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan dan menghindari dari segala macam keruskan, baik di

dunia maupun di akhirat. Semua kasus hukum, yang disebutkan secara

eksplisit dalam Al-qur’an dan Sunnah maupun hukum Islam yang

dihasilkan melalui proses ijtihad harus berdasarkan pada tujuan

perwujudan mashlahah tersebut. Dalam kasus yang secara eksplisit

dijelaskan oleh teks al-qur’an maupun sunnah, maka kemaslahatan

tersebut dapat dilacak dalam kedua sumber tersebut. Jika suatu

mashlahat disebutkan secara tegas dan eksplisit dalam teks, maka

kemaslahatan itu yang dijadikan tolak ukur penetapan hukum, dan para

ulama lazim menyebutnya dengan istilah al-mashlahah al-mu’tabarat.

Lain halnya jika maslahat tersebut tidak di jelaskan secara eksplisit oleh

kedua sumber tersebut, maka mujtahid harus bersikeras dalam menggali

dan menentukan mashlahat tersebut.11

10

Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis

Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2010), h.172 11

Ali Mutakin, Teori Maqashid Al-Syari’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath

Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol.19, No.3, (Agustus, 2017), pp.547-570, h. 554

Page 85: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

72

Dalam perkara hadhanah hal ini menjadi acuan prinsip maqashid al-

syari’ah yang meliputi lima hal, yaitu melindungi agama (hifzh ad-din),

melindungi jiwa dan kemaslhatan fisik (hifzh an-nafs), melindungi

kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl), melindungi akal fikiran (hifzh

al-aql), dan melindungi harta benda (hifzh al-maal).

Kelima maqashid di anggap sebagian dari asas agama (ushul ad-din)

setelah akidah Islam. Seluruh rangkaian hukum syari’at yang terdiri dari

akidah, ibadah, muamalat, dan akhlak, juga mengandung unsur-unsur

lima kaidah umum diatas. Rukun Islam dan rukun Iman disyari’atkan

untuk tujuan menjaga kaidah pertama, yakni menjaga agama.

Diharamkannya segala bentuk judi dan hal-hal yang memabukan adalah

untuk menjaga akal. Sedangkan hukum kekeluargaan untuk menjaga

keturunan, dan hukum muamalat, pencuri, dan ghasab, untuk menjaga

asas kelima, yakni harta.

Peranan maqashid al-syari’ah dalam hal ini sangat signifikan dalam

menentukan hukum berdasarkan hikmah atau tujuan hukum-hukum

berkenaan dengan hadhanah tersebut. Lebih jauh untuk mencapai

ketegasan hukum hadhanah melalui konsep penerapan maqashid al-

syari’ah. Di samping itu, teori hukum harus diaplikasikan terhadap

permasalahan hukum kontemporer, agar tidak hanya merupakan hal-hal

yang ideal, sebagai khazanah hasil pemikiran.

Hukum Islam mempunyai tujuan tercapainya kemaslahatan yang

hakiki, kemaslahatan menurut ajaran Islam merupakan prinsip dasar

yang menjiwai seluruh ajarannya yang diterapkan dalam bagian-

bagiannya secara terperinci. Karena pada dasarnya kemaslahatan itu

merupakan pengejawantahan dari sendi dasar rahmat yang melandasi

syari’at Islam yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu mewujudkan

manfaat dan menghindari mafsadat. Untuk mewujudkan kemaslahatan

tersebut, menurut peneliti ahli Ushul ada lima dasar pokok yang harus

Page 86: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

73

dipelihara dan diwujudkan, yaitu menjaga gama, jiwa, akal, keturunan,

dan harta.12

Realisasi maqhasid syari’ah merupakan dasar utama dan

fundamental dalam sistem hukum islam. Menggali maqhasid syari’ah

harus dikembalikan kepada teks utama (al-Qur’an dan Hadits), bukan

hanya pendapat dan pikiran para fiqih. Oleh karena itu, perwujudan

maqhasid syari’ah menjadi tolak ukur dari validitas setiap ijtihad, tanpa

menghubungkannya dengan kecenderungan madzhab tertentu. Tujuan

penetapan hukum Islam harus dikembalikan kepada kemaslahatan

masyarakat yang terdapat disekitarnya.13

Adapun inti dari konsep maqshid syari’ah hubungannya dengan

hadhanah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan

keburukan untuk menarik manfaat dan menolak mudharat. Istilah yang

sepadan dengan inti maqhasid syari’ah tersebut adalah maslahat.

Dengan adanya peran maqashid syari’ah dan ketika tidak

terpenuhinya suatu syarat-syarat dalam menjadi hadhanah maka hal ini

sangat siginfikan untuk menentukan hukum berdasarkan hikmah atau

tujuan hukum-hukum yang berkenaan dengan hadhanah. Sehingga jelas

bahwa bapak pun mempunyai hak yang sama dengan ibu, ketika seorang

ibu terdapat seuatu kekurangan atau tidak terpenuhinya suatu syarat-

syarat hadhanah tersebut.14

Dengan demikian adanya peran seorang hakim yang memiliki hak

prerogratif dalam mengenai putusan, maka dari putusan perkara No.

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. mengenai kasus hak asuh anak akibat ibu

12

Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif

Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 56-57 13

Syukur Prihantoro, Maqasid Al-Syari’ah dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah

Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vo. X No.1 Juni

2017, h. 129 14

Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif

Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 59-61

Page 87: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

74

murtad di dalam pertimbangannya majelis hakim sudah benar-benar

mengutamakan kepentingan serta perlindungan bagi anak-anak, karena

demi terwujudnya kemaslahatan pada anak serta untuk terhindarnya

perilaku-perilaku yang dilarang agama Islam. Oleh sebab itu di dalam

putusan tersebut hak asuh anak berada dengan Penggugat (kakek dari

ayah).

Sementara dalam putusan perkara Nomor

0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg penulis kurang setuju atas pertimbangan dan

amar putusan yang di putuskan oleh hakim yang mana telah

membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Dimana dalam pertimbangan hakim ini

menjelaskan bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh penggugat di

persidangan ternyata tidak satupun keterangan saksi yang menyatakan

bahwa tergugat orang yang tidak mampu dan tidak satupun yang

menerangkan dengan tegas bahwa tergugat telah keluar dari agama

Islam dan telah di baptis lagi secara agama Kristen. Dan hakim

mengatakan bahwa keterangan para saksi tersebut merupakan asumsi

atau pendapat dan pikiran khusus yang bukan kesaksian karena

keterangan semua saksi tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti.15

Padahal senyatanya dengan fakta-fakta yang ada yaitu anak-anak mulai

mengikuti sekolah minggu, simbol-simbol ke islaman telah di hilangkan,

kemudian adanya larangan untuk melakukan shalat dan terdapatnya

bukti dari sosial media serta perkataan Tergugat saat membentak istri

Penggugat yang mengatakan “saya setia terhadap tuhan saya. Biar saya

murtad jangan ikut campur urusan saya”.

Pada hakikatnya sang ibu selaku tergugat mempunyai hak asuh

terhadap anak-anaknya yang belum mumayyiz. Akan tetapi karena

adanya perselisiahan mengenai hak asuh anak yang terjadi antara

15

Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Arief Saepuddin, S.H.M.H, (Hakim Pengadilan

Tinggi Agama Bandung, 5 April 2019).

Page 88: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

75

Penggugat dan Tergugat yang di sebabkan adanya kekhawatiran si

tergugat telah berpindah keyakinan (murtad), sehingga menimbulkan

perebutan hak asuh anak anatara penggugat (kakek kandung) dari pihak

ayah dan Tergugat (ibu kandung), menurut penulis dalam pertimbangan

Majelis Hakim Banding kurang tepat, yang mana telah membatalkan dan

menjatuhkan hak asuh anak kepada Tergugat bukan Penggugat. Dengan

hal ini penulis merujuk pada hukum fiqih (Maqasid Syariah) yang

menjelaskan “akibat perceraian orang tua harus menjaga aqidah anak”.

Bahwa menurut penulis seorang hakim tidak hanya berpacu pada

hukum positif saja, melainkan dengan sumber hukum hukum lainnya

termasuk salah satunya yaitu mengacu pada literatur fiqih, di mana telah

termuat syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah diantaranya

berakal sehat, dewasa, mampu mendidik, amanah, beragama Islam,

merdeka, dan belum menikah lagi. Oleh karena itu apabila syarat-syarat

seorang pengasuh tidak terpenuhi salah satunya, termasuk agama yang

dianut oleh orang tua, maka gugurlah kebolehan untuk mengasuh anak.

Penulis berpendapat bahwa hukum yang harus Majelis Hakim

gunakan dalam memutus perkara hak asuh anak lebih menekankan

prinsip kemaslahatan baik untuk anak maupun kedua orang tua, karena

dalam pengasuhan anak itu yang lebih diutamakan ialah kepentinganya,

bukan kepada hak yang dimiliki oleh orang tuanya. Dikaitkan dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 49

ayat 1 huruf b; “salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut

kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu

atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus

keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang

berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal; a), ia sangat

Page 89: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

76

melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, b), ia berkelakuan buruk

sekali”.16

Adapaun yang penulis teliti juga mengenai hal tersebut, bahwa dari

hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Cibinong

menyatakan bahwa hak hadhanah merupakan hak ibu karena di dalam

ketentuan yuridis formilnya menyebutkan hak asuh anak dibawah 12

tahun itu adalah hak ibunya, namun maksud pernyataan di atas tidak

berlaku secara keseluruhan, artinya jika terdapat hal-hal buruk yang

dapat dikategorikan bisa mempengaruhi hak pengasuhan anak maka itu

bisa dikesampingkan dari ketentuan pengasuhan itu sendiri.17

Dalam hal ini penulis sangat setuju dengan pendapat hakim seperti

itu, karena apabila hakim hanya berpaku pada satu pasal tersebut maka

hukum tidak akan seimbang atau tidak terpenuhinya tujuan hukum, yang

mana tujuan hukum itu sendiri terdiri dari keadilan (Validitas filosofis),

kemanfaatan (validitas sosiologi), dan kepastian hukum (validitas

yuridis). Oleh karena itu dalam kasus hak hadhanah yang ternyata

Penggugat (kakek kandung) tidak sama sekali mendapatkan hak

mengasuh dari ketiga anak dari anak Penggugat tersebut. Maka menurut

penulis di dalam putusan ini dikatakan kurang tepat jika hak asuh anak

diberikan kepada tergugat (ibu), karena jika di lihat kembali dari

pertimbangan hukum majelis hakim yang memutus perkara

nomor282/Pdt.G/2014/PA.Cbn dapat terlihat dalam putusannya sudah

memenuhi tujuan dari penegakan hukum yaitu keadilan. Keadilan dalam

hal ini dimaknai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi

haknya. Sehingga tuntutan atas hak yang para pihak tuntut dapat

terpenuhi dengan keadilan, terutama Penggugat (kakek kandung) yang

16

Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet, 4 (Jakarta: Sinar Grafika,

200), h.14-15 17

Wawancara dengan Dr. H. Nasech Salam Suharto, Lc.LLM (Hakim Pengadilan Agama

Cibinong).

Page 90: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

77

ingin melindungi kehidupan keagamaan anak-anaknya sekaligus

memiliki kemampuan untuk merawat dan menjaganya.

Kemudian dalam putusan Nomor 127 K/Ag/2016 ini sama dengan

alasan yang di Tingkat Banding karena hakim di Tingak Kasasi

menguatkan atas pertimbangan hakim tingkat banding. Seperti yang

telah penulis jelaskan dalam analisis putusan nomor 0079/Pdt.

G/2015/PTA.Bdg. bahwa hukum yang harus Majelis Hakim gunakan

dalam memutus perkara hak asuh anak lebih menekankan prinsip

kemaslahatan baik untuk anak maupun kedua orang tua, karena dalam

pengasuhan anak itu yang lebih diutamakan ialah kepentinganya, bukan

kepada hak yang dimiliki oleh orang tuanya, walaupun di dalam

Undang-undang dan nash al-qur’an menyatakan bahwa hak anak

merupakan hak ibunya, karena hakikatnya seorang ibu cenderung lebih

memiliki sifat kasih sayang dan lemah lembut, serta mampu untuk

merawat, menjaga, membimbing, dan mendidik anak daripada seorang

ayah.18

Namun bisa kita lihat dalam Yurisprudensi MARI No 349

K/AG/2006 tertanggal 3 Januari 2007 “Hadhanah terhadap anak bisa

jatuh ke tangan bapaknya, bilamana memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak untuk beribadat

menurut agamanya.”19

Kemudian bisa kita lihat juga dengan faktor-faktor yang dapat

menggugurkan hak hadhanah dalam literatur fiqih yang diantaranya:

1. Perginya hadhin ke tempat yang jauh

Perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak

lebih dari 133 km. Menurut pendapat ulama Malikiyah, jika jarak

yang di tempuh lebih dari itu maka seorang berhak mengambil anak

tersbut dari hadhinah dan gugurlah hak asuh anaknya, kecuali ia

membawa anak itu dalam perjalanan.

18

Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, h. 102 19

Putusan Nomor 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn, h.12

Page 91: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

78

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pengasuh dapat dianggap

gugur jika hadhinah yang berstatus janda pergi ke tempat jauh, dan

ayahnya tidak dapat mengasuhnya. Sedangkan menurut ulama

Syafi’iyyah, hak seorang pengasuh menjadi gugur jika ia pergi

ketempat yang membahayakan atau pergi dengan niat untuk pindah

baik jarak dekat maupun jauh. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa

hak asuh anak gugur jika orang yang mengurus berpergian jauh

dengan menempuh jarak yang dibolehkan qashar.20

2. Seorang hadhin mengidap penyakit yang membahayakan

Hak seorang hadhin gugur jika ia memiliki penyakit yang

membahayakan, seperti gila, lepra, dan kusta. Pendapat ini

disepakati oleh Hanabilah

3. Seorang hadhin fasiq atau pengetahuan agamanya kurang

Seorang yang fasiq atau berpengetahuan kurang memperhatikan

masalah agama anak asuh dan kurang memberikan perlindungan

kepadanya sehingga kemaslahatan anak terabaikan. Hal ini

disepakati fuqaha lainnya.21

4. Seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi.

Hak seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi, kecuali

jika neneknya anak asuh adalah istri kakeknya, atau hadhinah

menikah dengan paman anak tersebut.

Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, hak seseorang untuk

memelihara anak dianggap gugur jika orang tersebut kafir. Bahwa

seorang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang

beragama Islam. Karena kondisi orang tua kafir lebih buruk dari

fasiq dan bahaya yang muncul akan lebih besar, ditakutkan anak

mengikuti perbuatannya dan mengeluarkan dari Islam melalui

20

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), jilid 7, h. 738 21

Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma,

The Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN:

2089-7480, h. 91

Page 92: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

79

penanaman agamanya. Oleh karena itu orang tua wajib

mendahulukan pertimbangan agama sebagai pengasuh daripada

pertimbangan ekonomi dan lain-lain.22

Kemaslahatan anak sebagaimana di dalam buku maqasid syariah

karangan Ahmad Al-Musri Husain Jauhar, bahwasanya dalam

kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua, baik yang

pencapaiannya dengan cara menarik kemanfaatan atau dengan cara

menolak kemudharatan. Kemaslahatan dhururiyyah ialah

kemaslahatan maqasid syariah yang berada dalam urutan paling atas,

sedangkan kemaslahatan ghairu dhururiyyah ialah kemaslahatan

yang tergolong penting dan tidak bisa dipindahkan.23

Sehingga

dalam perkara hak pengasuhan anak antara Penggugat dan tergugat

di dalam putusan nomor 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn, lebih

mengutamakan kemaslahatan dharuriyyah, karena dalam memenuhi

kemaslahatan bagi anak. Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali

dalam buku karangannya bahwa kemaslahatan tersebut harus

mencakup lima hal yang telah disepakati dalam syariat Islam,

diantaranya adalah:24

1. Menjaga agama, alasannya bahwa agamalah yang diprioritaskan

paling utama dalam membentuk kemaslahatan anak, karena

merupakan pondasi utama dalam kehidupan.

2. Menjaga jiwa, diantaranya untuk menjaga kemuliaan, dan

kebebasan dalam menentukan pilihan anak, dengan siapa ia

diasuh. Apabila hal tersebut bertentangan dengan hak yang

dimiliki anak, ditakutkan anak akan diterlantarkan.

22

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,

1985), jilid 7, h. 738 23

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Penerjemah Khikmawati, Maqasid Syariah, (Jakarta:

Amzah, 2009), Cet.2, h.xv 24

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam

di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), Ed.6, h.63-64

Page 93: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

80

3. Menjaga akal, alasannya untuk menjaga anak dari perilaku yang

dapat merusak dan mencelakakanya, baik secara fisik, akal

pikiran, dan psikologi anak.

4. Menjaga harta, bahwa orang tua harus selalu menjaga dan

mengembangkan harta yang dimiliki anak.

5. Menjaga keturunan, alasannya agar orang tua selalu

berkewajiban menjaga dan merawat anaknya sampai ia dewasa

dan agar menjadi anak atau manusia yang baik dan sejahtera

dikemudian harinya.

Berdasarkan keterangan di atas mengenai lima dasar tujuan

syariat yang harus dilindungi dan di jaga bagi anak, tergugat (ibu)

tidak bisa melindungi agama anaknya.

Anak-anak muslim tidak boleh diasuh oleh seorang pengasuh

yang tidak beragama Islam sebab pengasuhan terkait erat dengan

masalah perwalian sementara Allah Swt, tidak membenarkan orang

mukmin berada dibawah orang kafir.25

Dengan begitu peranan maqhasid syari’ah kaitannya dengan

hadhanah sangatlah penting untuk kemaslahatan si anak. Dan

sebagai hakim dalam hal perkara ini tidak hanya melulu mengacu

kepada hukum positif saja melainkan harus didasari dengan hukum

fiqih juga.

Dan dari hasil analisis penulis mengenai putusan perkara

hadhanah ini penulis melihat hakim PA Cibinong sudah benar

dalam menentapkan pengasuhan anak kepada kakek dan istrinya

(nenek) dimana hakim PA Cibinong ini lebih mengedepankan

kepentingan si anak dalam hal menjaga agama dan aqidahnya.

Kemudian dengan adanya bukti-bukti yang diajukan penggugat

sudahlah cukup untuk dijadikan alat bukti diantaranya:

25

Putusan nomor 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn, h.13

Page 94: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

81

1. Foto copy kutipan akta nikah nomor 630/25/XI/2007

tanggal 5 November 2005, telah dinazegelen, aslinya tidak

dapat diperlihatan karena ada pada Tergugat,

2. Foto copy pernyataan memeluk agam Islam, mask

14.893/210/MAS/IX/2007 tanggal 1 September 2007, yang

diterbitkan oleh pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa,

jakrta, telah dinazegelen dan telah dicocokkan dengan asli,

3. Print out/hasil cetak isi (status) timeline/laman accoun

facebook jein Gracesela (Tergugat), telah dinazegelen dan

telah dicocokan dengan yang asli,

4. Foto Gereja di GPIB Jemaat “Zebaoyh” di Bogor Bajem

Sentul, telah dinazegelen.

5. Print out/hasil cetak Al-Kitab 10;13, yang terdapat pada

halaman web http:/www.sabda.org/alkitab/index.php

dengan alamat situs

http://alkitab.asbda.org/verse.php?book=1% 20korintus &

ch apter=10 & verse=13, telah dinazegelen. Dan masih ada

bukti-bukti yang lainnya juga.

Kemudian dari mulai si anak mengikuti sekolah minggu, anak

yang dilarang untuk melakukan ibadah shalat, simbol-simbol

keislaman sudah tidak di gunakan lagi, si anak yang mengatakan

bahwa Tuhan saya Yesus. Dengan ketidak teguh pendiriannya dan

tidak konsisten dengan ajaran agama Islam dan tidak membimbing

serta mengajarkan kepada anak-anaknya tentang agama Islam,

akan tetapi sebaliknya mengabaikan ajaran-ajaran Islam yang

paling dasar tentang ketuhanan dan memperkenalkan serta

membiarkan anak-anak tumbuh dan berkembang dengan

pemahaman ketuhanan berdasarkan agama diluar Islam. Maka

dalam ajara agama Islam dan kaitanya dengan maqhasid syariah

Page 95: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

82

dalam hadhanah sangatlah penting terutama dalam hal agama dan

aqidah untuk si anak.

Kemudian meskipun Hakim PA Cibinong mengabulkan

permohonan perkara hak asuh anak ini kepada si kakek karena

hakim juga melihat si nenek selaku istri dari si kakek masih ada.

Tetapi Hakim PA Cibinong juga membiarkan untuk anak ketiga

yang baru berusia 3 (tiga) bulan ini untuk mendapatkan kesehatan

dan kasih sayang seorang ibu maka perlu mendapat penyusuan

sampai bayi tersebut berumur 2 Tahun.

Bila ditinjau secara komprehensif melalui konsep dan metode

penetapan maqashid syari’ah menurut penulis putusan nomor

282/Pdt.G/2014/PA.Cbn sudah memenuhi kemaslahatan sesuai

dengan tujuan maqashid syari’ah itu sendiri, karena tujuan

maqashid syari’ah itu sendiri adalah mendatangkan kemaslahatan

dan menjauhkan kemudharatan sebagaimana kaidah fiqih:

د رءالوقاس هقم عل جلب الوصالح

“Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu

sebelum upaya mendapatkan manfaat (mashlahat)”.

Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada

pilihan yaitu menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan,

maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan.

Karena menolak kemafsadatan sam dengan meraih kemaslahatan.

Sedangkan tujuan utama maqashid syari’ah menurut ulama fiqih

ialah meraih kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.26

Sedangkan untuk di Tingkat Banding menurut penulis adanya

kekosongan hukum, dimana hakim tidak melulu berpacu pada

26

Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 164

Page 96: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

83

hukum positif saja, melainkan di lihat juga dari literatur fiqih.

Kemudian di lihat juga dari bukti-bukti dan saksi-saksi yang telah

di ajukan di PA Cibinong, yang mana sedangkan si tergugat hanya

sekedar membantah atas bukti-bukti dan saksi yang penggugat

ajukan tanpa mendatangkan bukti dan saksi di pengadilan.

Kemudian di Tingkat Kasasi dimana hakim justru menguatkan

atas putusan di Tingkat Banding yang mengatakan bahwa hakim

Tingkat Banding sudah benar dan tepat. Menurut penulis untuk

mengetahui keyakinan seseorang itu sudah berpindah agama atau

tidak sangatlah tidak mudah akan tetapi dengan adanya bukti-bukti

dan saksi-saksi yang ada itu sudahlah cukup untuk dijadikan alat

bukti. Karena dalam hal perkara ini harusnya bukan kepada siapa

yang berhak untuk mengasuh melainkan kepada kepentingan si

anak-anaknyalah yang diutamakan. Karena anak adalah generasi

selanjutnya dan sangatlah penting untuk dijaga baik itu rohani dan

jasmaninya.

Dengan begitu alasan penulis mengaitkan analisis ini dengan

teori maqhasid syari’ah karena di dalamnya terdapat pembahasan

yang terdiri dari lima dasar tujuan syariat yaitu menjaga agama,

menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta dan menjaga keturunan

dimana sebelumnya penulis telah paparkan mengenai maqhasid

syari’ah.

Page 97: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan permasalahan yang penulis teliti, maka

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa majelis hakim Pengadilan Agama Cibinong yang memutus Perkara

Nomor 282/ Pdt. G/2014/PA. Cbn menetapkan hak asuh anak kepada

Penggugat (kakek dari pihak ayah) karena lebih mengutamakan kepentingan

si anak dalam hal aqidah dan agamanya.

2. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang membatalkan

perkara banding Nomor 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg atas perkara Nomor 282/

Pdt. G/2014/PA. Cbn. Dengan alasan bukti-bukti dan saksi-saksi yang

diajukan penggugat tidak satupun yang menyatakan bahwa tergugat telah

berpindah keyakinan.

3. Majelis hakim Mahkamah Agung yang menguatkan keputusan Pengadilan

Tinggi Agama Bandung karena bukti-bukti yang diajukan Penggugat belum

ada yang menunjuk langsung bahwa Tergugat berpindah agama.

B. Saran-Saran

1. Hendaknya kepada para hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi

Agama, dan Mahkamah Agung lebih teliti dan berhati-hati dalam

menentukan hak asuh anak ini karena hak pengasuhan anak ini bukan saja

menjadi tanggung jawab kedua orang tua, namun juga menjadi hak seorang

anak untuk dapat hidup dan tumbuh berkembang.

2. Kepada remaja yang belum menikah hendaknya berhati-hati dalam memilih

pasangan hidup, untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawadah dan

warahmah.

Page 98: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

85

DAFTAR PUSTAKA

Abu , Muhammed, Zahra, Hukum Keluarga, (Kairo : Rumah Pemikiran Arab,

2000)

‘Abdul-‘Aziz Muhammad al-Halidi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2011)

Al-Deousuki, Mohammed, Al-Ahwalu Syahksiyah Fi Madzhab Syafi’i, (Kairo:

Dar Al-Salam, 2011)

Al-Fikra, Nurhadi : Jurnal Ilmiah Kesilaman, Maqashid Syari’ah Perkawinan

Dalam Kompilasi Hukum Islam, Vol. 16.2, Juli-Desember, 2017

Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,

2002)

Ali Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: MIZAN-Anggota IKAPI,

1995)

Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2000)

Al-Qur’an dan Terjemah, Departemaen Agama RI, (Jakarta: Syigma Examedia

Arkanleema, 2009).

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Panghegar Bandung, Fokusmedia.

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985)

Ahmad Zakariya, Al Barry, Hukum Anak- Anak Dalam Islam, Cet.1, ttp,tth

Basith ,Abdul Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-

Hukma, The Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07,

Nomor 01, Juni 2017

Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka fiqh al-qadha,

(Jakarta: Rajawali Press, 2012) Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan

Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid 2,

Effendi, Satria, M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer

(Analisis Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana,

2010),

Ekowarni, Endang, Konvensi Anak, Vol 9,No 2 (2001),

Fitriani, Rini, Peranan Penyelnggaraan Perlindungan Anak Dalam Melindungi

Dan Memenuhi Hak-Hak Anak, Jurnal Hukum Volume 11, Nomor 2, Juli-

Desember 2016,

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan,

(Bandung: PT Refika Aditama, 2014),

Hadi, Abd, Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Dalam No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, Jurnal An-Nisa’, Volume IX Nomor 2 Desember 2016.

Page 99: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

86

Hasan, M Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja,

2003)

Hifai, Mohammad, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam

Perspektif Hukum

Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016,

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur :

Baymedia Publising, 2006)

Inggi A, Indra, dkk, Kajian Perolehan Hak Asuh Anak Sebagai Akibat Putusnya

Perkawinan Karena Perceraian,Jurnal Diponogeoro Law Riview, volume

05 No.02 tahun 2016

Ismail, Hidayatullah, Syariat Menyusui Dalam Al-Qur’an (Kajian Surat Al-

Baqarah Ayat 233), Jurnal At-Tibyan Volume 3 No. 1, Juni 2018,

Jalaludin, Imam, Al-Muhalli dan Imam Jalaludin As-Suyuti, Tafsir Jalalain

Berikut Asbabun Nuzul Jilid 1, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2017)

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2015)

Khasan, Moh, Kedudukan Maqashid Al-Syariah dalam Pembaharuan Hukum

Islam, Jurnal Dimas Vol.8 No.2 tahun 2008,

Lestari, Dian, Analisis International Convention On The Right Of The Child

(CRC) melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Anak di

Indonesia, Team Journal-Faculity of Lawa – Tanjungpura University,

Home, Vol 4. No.3 (2016)

Lestari, Meilan, Hak Anak Untuk Mendapatkan Perlindungan Berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal UIR Law Review, Volume

01.Nomor 02, Oktober 2017.

Manan, Bagir dkk, Mimbar Hukum, (Jakarta: PPHIMM, 2010)

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender Edisi Revisi,

(Malang : UIN-Maliki Press, 2013)

Muhajir, Ahmad, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor

Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol 2, No. 2, Desember 2017,

Mutakin, Ali, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Teori Maqashid al-Syari’ah dan

Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, Vol.19, No.3,

(Agustus,2017),

Page 100: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

87

Nurhadi, Maqashid Syari’ah Hukum Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI),

Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16, No 2, Juli- Desember, 2017 (203-232),

Prihantoro, Syukur,Maqasid Al-Syari’ah dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah

Upaya

Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vo. X

No.1 Juni 2017,

Prints, Darwan, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),

Qorib, Ahmad, Ushul Fiqh II, (Jakarta: PT.Nimas Multima, 1997),

Quraish , M, Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,

(Jakarta: Lentera hati, 2002),

Rahman, Abd, Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003)

Rizki, Sandy, Febriadi, Aplikasi Maqashid Syari’ah Dalam Bidang Perbankan

Syari’ah, Amwaluna, Vol.1 No.2 (Juli, 2017),

Rodliyah, Nunung, Akibat Hukum Perceraian Berasarkan Undang-undang nomor

1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan Progresif Volume 5 Nomor 1

Maret 2015.

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,

2013)

Rohidin, Pemeliharaan Anak Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, Jurnal

Hukum. No.29 Vol.12 Mei 2005

Sayyid, Syahid, Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an: Di bawah Naungan Al-

Qur’an, (Darusy-Syuruq: Bairut, 1412 H/1992 M), Penerjemah As’ad

Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Penyunting Tim

GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)

Sidiq, Syahrul, Maqashid Syari’ah & Tantangan Modernitas Sebuah Telaah

Pemikiran

Jasser Auda, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol 7, No.1, November

2017,

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8,

(Jakarta : RajaGrafindo Persada 2004)

Soetedjo, Wagiati dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika

Aditama, 2013),

Page 101: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

88

Subhan, Zaiutnah, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-

Kahfi, 2008),

Sulaeman, Signifikasi Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal

Syari’ah dan Hukum Diktum, Volume 16, Nomor 1 Juli 2018:98-117

Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqh, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,

2016),

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2007)

Tahido, Huzaemah, Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004)

Tihami dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Lengkap), (Jakarta:

Rajawali Pres, 2009)

Sheikh Faisal bin Abdul Aziz Al-Mubarak Hakim Jawf, Nailul Authar (Himpunan

Hadis- Hadis Hukum), Penerejemah; Mu’ammal Hamidy, dkk, Jilid 5,

(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001),

Tohari, Chahim, Konsep Hak Dalam Pemikiran Fiqh hanafiyah Serta

Transformasinya Dalam Undang-Undang Hukum Perdata Turki Modern,

Volume, 6 Nomor 1, Juli 2018

Undang-Undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 th. 2002), (Jakarta: Sinar

Grafika , 2009)

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

2002)

Warson, Ahmad , Munawwir, Al-Munawwir-Kamus Arab-Indonesia,

(Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir)

Wijaya, Abdi, Cara Memahami Maqashid Al-syari’ah, Vol. 4/No. 2/ Desember

2015,

Page 102: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 103: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 104: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 105: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 106: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 107: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 108: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 109: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Page 110: Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...iv ABSTRAK Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum

DOKUMENTASI

Foto diambil ketika wawancara di Pengadilan Agama Cibinong

Foto diambil ketika wawancara di Pengadilan Tinggi Agama Bandung