Upload
abdul-rokib
View
66
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GURU SEBAGAI AGEN PERUBAHAN GENERASI MUDAYANG MENGHARGAI TOLERANSI
Oleh : Abdul Rokib
Kondisi Indonesia lampau dan kini
Indonesia merupakan negeri beruntai mahligai mutiara kaya akan budaya,
bahasa, adat istiadat, dan kekayaan alam baik di darat maupun dilautan, sejauh mata
memandang terlihat kilauan cahayanya diufuk tinggi menjulang sehingga terlihat rona
menawan, cantik nan indah, siapapun yang melihat akan terpikat dan tertawan tuk
menyulam benih-benih kecintaan bahkan berniat untuk merebut kekuasaan dari sang
pemiliknya. Zamrud khatulistiwa itulah sebutan yang diberikan untuk negeri ini.
Keramahan berbalut kesopanan merupakan ciri budaya masyarakat untuk saling
menghargai dan menghormati satu sama lain antar suku, agama dan ras. Tak ada rasa
paling unggul, paling hebat, tak ada rasa perbedaan walau bahasa, kulit dan budaya
mereka berbeda tetapi semua merasa sama anak negeri yang terlahir dari satu nenek
moyang yang sama.
Rajutan gelombang-gelombang cinta dan cita-cita penduduknya tertanam dari
hati sanubari terdalam untuk membangunkan negerinya yang masih tertinggal jauh
dengan negeri yang lainnya, dengan memandang serta memahami segala persoalan
melalui musyawarah mufakat, berazaskan semangat gotong royong dan kekeluargaan.
Tak ada perbedaan walau mereka berbeda, tak ada jurang pemisah walau mereka
terpisah dari pulau ke pulau. Mereka satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Inilah
sebuah kekuatan inspirasi anak negeri dalam menggapai mimpi membangunkan
tidurnya dari keterjajahan untuk “merdeka”.
Torehan sejarah tersebut akan tercatat dalam “tinta emas Indonesia”. Harus
disadari tidaklah mudah dalam menggoreskan sejarah tersebut, diperlukan pengorban
harta, jiwa, raga dan air mata, bahkan sampai titik darah terakhir, dengan satu tujuan
dan cita-cita mulia para pejuang mempersatukan Indonesia dalam wadah NKRI yang
“merdeka”, penuh kedamaian, kecintaan, persaudaraan dan kasih sayang diantara
penduduknya, sehingga tercipta kerukunan dan toleransi dalam hidup bernegara.
Namun untaian cinta dan kerukunan yang terbungkus toleransi dalam sebuah
kado nan indah untuk anak negeri yang diberikan para pejuang kemerdekaan, kini
setelah setengah abad lebih dari kemerdekaan, mulai redup akibat perubahan sosial
teramat dahsyat. Perubahan tersebut selain dapat memperkaya khasanah budaya
bangsa juga telah mencabik-cabik sebagian kehidupan bermasyarakat warganya, dari
kesantunan moral menjadi individualistik, arogan, dan ingin menang sendiri,
sehingga nilai-nilai toleransi yang sudah terbangun di negeri ini mulai hilang.
Getaran perubahan yang dahsyat tersebut semakin terasa bak gelombang tsunami
yang menerjang relung-relung kehidupan sosial, keagamaan, politik, budaya dan
ekonomi, masuk menghempaskan dan merusak tatanan budaya masayarakat
Indonesia yang beradab, ramah, dan santun, menusukkan virus-virus perpecahan dan
keberingasan. Menghantam dan menghacur-luluhlantahkan pandangan idiologi dan
falsafah bangsa yang merupakan pijakan dalam menata kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Membicarakan intoleransi agama, khususnya Indonesia, dari tahun-ketahun tiada
habisnya sejak kasus Situbondo, Ambon dan Poso, hingga terakhir kasus HKBP di Ciketing,
intoleransi agama lebih sering disebabkan oleh faktor eksternal yang bersifat politis.
Belakangan diketahui adanya kepentingan elit yang menginginkan dicabutnya (SKB) surat
keputusan bersama tiga menteri, dan ingin menjatuhkan citra kepemimpinan presiden SBY
di mata dunia. Bahwa Indonesia bukanlah negara demokrasi yang dapat melindungi kaum
minoritas, yang tidak memiliki rasa keadilan bagi setiap warganya.
Sementara faktor internal yang memicu intoleransi agaknya sudah mulai menyusut
berbarengan dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kedewasaan umat Islam
Indonesia. Oleh karena itu, tantangan yang paling potensial adalah menghadapi pihak-pihak
eksternal yang akan mencoba untuk menghidupkan kembali luka-luka lama umat Islam, di
samping juga hendak mengkonfrontasikan antara umat Islam dengan pemeluk agama lain.
Inilah yang perlu diantisipasi bersama, apalagi agama dalam perpolitikan kita disejajarkan
dengan persoalan kesukuan dan rasisme (rasialisme). Dua hal yang mengandung kerawanan
dan kepekaan—yang merupakan benih-benih timbulnya konflik dan kekerasan dalam
masyarakat.
Guru Sebagai Agen Perubahan Generasi Muda yang Bertoleransi
Berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi baik pada masa lampau kini dan
mendatang perlu ditarik benang merah agar kondisi masyarakat pesakitan yang
mudah terbakar amarah tidak berlarut-larut, perlu pemikiran brilian yang mampu
mengankat citra masyarakat Indonesia sebagai masyarakat beradab, mempunyai
harkat martabat dan berjiwa besar.
Re-orientasi pendidikan adalah sebuah keharusan, untuk mengobati rasa
toleransi, simpati, dan empati yang kian meredup cahayanya di bumi pertiwi.
Diharapkan melalui perbaikan tujuan pendidikan akan terurai benang kusut pola-
pola hidup masyarakat, menjadi masyarakat dewasa, paham terhadap hukum,
tidak mudah terpancing isu-isu provokatif.
Membicarakan perbaikan tujuan pendidikan, berarti akan lebih jauh lagi
membicarakan siapa pelaksana pendidikan?, siapa tenaga pendidikan ? dan siapa
yang di didik?. Juga siapa yang berperan besar terhadap pendidikan, karena
konsep dan sistem sebagus apapun yang diterapkan tidak dapat menjamin ada
suatu perubahan pola tingkah laku masyarakat, termasuk generasi muda saat ini.
Terbukti konsep pendidikan berkarakter, yang diusung sejak tahun 2009 hingga
saat ini belum membawa perubahan signifikan, yakni masih adanya tawuran
pelajar dan tawuran antar mahasiswa, tingkat kejujuran semakin berkurang di hati
pelajar.
Hal demikian terjadi, karena guru yang merupakan ujung tombak pendidikan
belum tersentuh oleh pemerintah, terutama dalam peningkatan sumber daya insan-
nya. Sehingga kemampuan guru dalam mendidik dan mengembangkan konsep
pemerintah sangat lemah, belum lagi banyaknya guru yang terpaksa menjadi guru
karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi, parahnya lagi ketika program sertifikasi
guru dilaksanakan, ternyata tidak menghasilkan sesuatu perubahan signifikan
dalam dunia pendidikan kita, yang ada hanya perubahan ekonomi dan kesejahteran
guru, banyak guru yang telah lulus sertifikasi kemudian beramai-ramai untuk me-
leasing mobil, berganti merk HP dan bergaya hidup mewah.
Padahal sosok guru yang dibutuhkan saat ini adalah, guru yang memiliki visi,
misi, tujuan dalam membentuk karakter siswa yang berbudi pekerti, yakni guru
sebagai agen perubahan bagi anak didiknya. Agar lebih memiliki rasa peduli,
simpati, empati dan kedewasaan dalam menghadapi segala persoalan. Siap
Disiplin (SD), Siap Menjadi Panutan (SMP), Santun Mandiri dan Kreatif (SMK),
Siap Meneruskan Amanah (SMA).
Saatnya peran guru sebagai agen perubahan dalam berbagai dimensi
diterapkan, baik pada saat di sekolah (proses belajar mengajar), dan diluar jam
pembelajaran (di lingkungan tempat tinggal) guna mencetak generasi muda yang
menghargai toleransi, pada akhirnya di sekolah guru harus mampu :
1. “mengubah” situasi belajar-mengajar dari “doktrinasi” menjadi pemahaman
dan analisis, sehingga siswa dapat memahami dan menganalisa dirinya, seperti
dapat mengetahui keunggulan dan kelemahan diri. Hal demikian akan tercipta
jika siswa merasa aman dan bebas untuk mengungkapkan dan mewujudkan
dirinya. Saat itulah guru harus bisa menempatkan diri dalam situasi siswa
dengan mencoba melihat dari sudut pandang siswa. Diharapkan dari perlakuan
tersebut akan melahirkan ketrampilan siswa dalam membuat pertimbangan dan
mengambil keputusan, caranya dengan banyak memberikan permasalahan atau
persoalan yang sulit yang harus dilewati oleh siswa, agar dapat memberi
pertimbangan dan menemukan penyelesaian yang paling tepat. Dari sinilah
akan terlahir peserta didik yang mampu memahami dirinya dan memahami
orang lain, dengan jiwa dan karakter yang berjiwa besar, tidak mudah
terprovokasi, tidak mudah terbawa arus, tidak mudah termakan isu-isu, selalu
berpijak pada nilai-nilai hati nurani dan jiwanya, senantiasa perpegang pada
prinsip dan konsep yang ia yakini.
2. “mengubah” (transformasi) nilai, perilaku, dan budaya. Pendidikan sebagai
proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial yang mempunyai
otonomi moral dan sensivitas / kedaulatan budaya, yaitu manusia yang bisa
mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya.
Toleransi budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di sekolah
dan muatan bidang studi, transformasi nilai, perilaku, dan budaya harus dipandu
secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan. Caranya : Pertama,
Kenali : kepribadiannya, pergaulannya, keluarganya, lingkungannya, motivasinya.
Kedua, Rangkul : ayomi dan beri rasa nyaman, jangan menjatuhkan mental siswa,
sejajarkan kedudukan antara guru dengan siswa sehingga akan ada keterbukaan, pada
saat itulah siswa akan merasa status guru bukan hal yang harus ditakuti tetapi
pembimbing yang dapat mengarahkan dan memberi pencerahan kepada anak
didiknya. Ketiga¸ Ajak : setelah guru dapat merangkul peserta didiknya, disinilah
peran guru sebagai agen perubahan baru dapat ditentukan, dimana seorang guru
secara aktif akan dapat mengajak “merubah” pola pikir, yang menonjolkan segi-segi
persamaan dalam agama dan sebaliknya tidak memperdebatkan segi-segi
perbedaan dalam agama. “ Merubah” budi pekerti (Akhlaq), dengan membuang
jauh sikap egoisme dan meremehkan pihak agama lain yang berbeda. Dan
“merubah” wawasan, motivasi, dan aktifitas peserta didiknya, tanpa mengabaikan
pentinya mengasah kecerdasan IQ, EQ dan ESQ. Langkah pertama mulailah dengan
ajakan shalat berjama’ah, karena siswa akan merasa sangat senang, sangat dihargai,
dan merasa diperhatikan jika diajak, diperintah oleh gurunya. Melalui cara-cara
demikian di atas diharapkan akan ada suatu perubahan nilai, perilaku, dan budaya
kearah yang lebih baik dalam pemahaman bertoleransi dikalangan generasi muda.
3. “ mengubah” orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral
fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan
aspek universal-rabbaniyah.
4. “mengubah” peran guru, Dalam sebuah distem pendidikan, guru berperan
sebagai agen perubahan yang utama. Meski demikian, hal ini tidak bisa
diartikan guru adalah subyek sementara murid/peserta didik adalah obyek.
Konsep pendidikan modern menempatkan guru dan murid sama-sama sebagai
subyek pembelajaran. Bukan hanya guru yang harus aktif di kelas dan
membiarkan murid pasif mendengarkan. Saat ini guru dituntut untuk lebih
kreatif dalam melaksanakan proses pembelajran sehingga murid tergugah
untuk mengkonstruksi pemikirannya karena esensi dari sebuah proses
pendidikan adalah memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan
kualitasnya.
5. “mampu” memahami bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang
berbeda baik sosial budaya, ekonomi keluarga, suku, agama dan lainnya. Oleh
karena itu peran guru harus bisa meramu keberagaman peserta didik dan
menjadikan sekolah sebagai sebuah tempat yg menyenangkan bagi peserta
didik dalam proses belajar mengajar sehingga mereka dapat mengembangkan
kreativitas dan bakat yang dimilikinya.
6. Memiliki kompetensi komunikasi personal, sebagai agen perubahan maka
kemamapuan komunikasi dari seorang guru adalah hal mutlak yang harus
dimilikinya. Bagaimana seorang guru bisa mentrasformasikan ilmu
pengetahuannya bila dia tidak dibekali dengan kemampuan berinteraksi dan
berkomunikasi. Artinya seorang guru harus memotivasi dan memuji anaknya
jangan sampai terlontar kata-kata yang dapat menjatuhkan metal dan harga diri
siswanya.
7. “mampu” menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi, sebagai agen
perubahan guru senantiasa dapat meng-update informasi dan perkembangan
pengetahuan sehingga dapat meng-counter isu-isu negative yang mengarah
pada intoleran.
8. “mampu” memegang komitmen atas profesinya, panggilan guru adalah
panggilan hati nurani dalam mencerdaskan anak bangsa, memperbaiki etika
dan akhlaknya, profesi yang dipegang bukan lipstick belaka.
Dari paparan tersebut di atas guru sebagai agen perubahan tidak hanya terhenti
disekolah saja, akan tetapi ia juga harus berperan dilingkungan tempat ia tinggal
guna membentuk generasi muda yang bertoleransi. Adapun guru sebagai agen
perubahan dilingkungannya adalah :
1. Aktif dalam organisasi kepemudaan/kemasyarakatan, sehingga guru dapat
mewarnai organisasi tersebut. Jika terdapat sesuatu hal yang dianggap salah
atau menyimpang guru akan lebih mudah untuk memberikan masukan berupa
nasehat atau pendapat. Apalagi jika memiliki pengaruh pada masyarakat
dilingkungannya.
2. Aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial dengan cara yang positif. Dia harus
bisa tersenyum dalam menghadapi kritik pahit pada pendapatnya, dan tidak
harus merasa malu atau terhina untuk menerima kesalahannya sepenuh hati.
3. Aktif dalam kegiatan pengajian/majlis ta’lim tingkat pemuda, bahkan jika
memungkinkan menjadi imam dan tutor dalam pengajian tersebut.
4. Aktif dalam kegiatan seni, yang biasanya pemuda lebih menyukai bidang ini,
apabila guru masuk dan diterima maka guru akan sangat mudah sekali untuk
mewarnai hidup generasi muda kepada hal-hal positif. Memberikan
pemahaman tentang toleransi.
5. Aktif dalam kegiatan olahraga, dengan membentuk club-club, baik futsal,
badminton, voly ball dan lainnya, pada kegiatan inilah guru akan berperan
untuk merubah, emosional/amarah (temparamental) generasi muda yang
sedang tinggi-tingginya untuk menjadi lebih arif, bijak, sabar, berpikir
kedepan, untuk mengendalikan amarahnya, sehingga pada saat dilakukan
pertandingan persahabatan antar club tidak terjadi keributan atau tawuran,
baik antar pemain maupun supporter.
Jika kedua hal tersebut di atas, yakni peran guru sebagai agen perubahan di
sekolah dan dilingkungannya dapat dipahami oleh semua guru, maka akan terbentuk
generasi muda yang cerdas, tidak mudah terprovokasi, visioner, dan memahami
toleransi. Akhirnya dari semua usaha yang telah dilaksanakan oleh seorang guru,
hendaklah ia menyerahkan segala usahanya dengan “mendo’akan” anak didiknya.
Dengan do’alah semua hijab akan terbuka, semua keinginan akan terkabul, semoga
generasi muda kita akan terlahir sebagai generasi yang : (SD) siap disiplin, (SMP)
siap menjadi panutan, (SMK) Santun mandiri kreatif, (SMA) siap melanjutkan
amanah. Yakin usaha bisa. Wallahu a’lamu bishawwab.