4
TEMU ILMIAH IPLBI 2012 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012 | 65 GUNA DAN FUNGSI PADA ARSITEKTUR BALE BANJAR ADAT DI DENPASAR, BALI Christina Gantini (1) , Josef Prijotomo (2) , Yuswadi Saliya (3) (1) Mahasiswa Program Doktor Arsitektur, Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. (2) Promotor Program Doktor Arsitektur, Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. (3) Ko-promotor Program Doktor Arsitektur, Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Abstrak Pada awalnya bale banjar adat bagi masyarakat Bali memiliki arti sebagai tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah. Sejalan dengan perkembangan kehidupan perkotaan, bale banjar adat mengalami berbagai perubahan fungsi, bentuk maupun tampilan pada perwujudan bangunannya. Penelitian ini menyoroti permasalahan bale banjar dari segi perubahan fungsi bale banjar adat di kota Denpasar, Bali. Saat ini banyak bale banjar adat yang memiliki fungsi ganda yaitu bukan lagi sekedar tempat bermusyawarah tetapi merupakan tempat berbagai macam kegiatan tambahan seperti kegiatan ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesenian, dll. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifkasi perkembangan fungsi bale banjar adat dan melihat apakah perubahan fungsi tersebut lebih mengarah ke GUNA ataukah FUNGSI bangunan? Metode penelitian ini berdasarkan jenis pengambilan datanya termasuk penelitian deskriptif – kualitatif. Temuan penelitian yaitu bahwa: 1) arsitektur bale banjar adat merupakan arsitektur yang dapat menyandang sejumlah fungsi (multifungsionalitas) dalam arsitektur, 2) arsitektur bale banjar adat lebih berperan sebagai GUNA (USE) dalam arsitektur, daripada sebagai FUNGSI (FUNCTION). Kata-kunci : bale banjar adat, fungsi, guna Pendahuluan Desa pakraman merupakan organisasi desa adat yang tersebar ribuan jumlahnya di seluruh pelosok Bali. Setiap desa pakraman memiliki beberapa organisasi kemasyarakatan yang lebih kecil disebut banjar adat. Banjar adat-banjar adat ini mengatur tata kehidupan dan perilaku sosial warga banjarnya berdasarkan awig-awig yang berlaku di desa pakramannya (Surpha, 2004:24-25). Setiap banjar adat memiliki sebuah bale banjar adat yang berfungsi untuk mewadahi kegiatan warga banjar terutama untuk kegiatan bermusyawarah. Sebuah bale banjar adat biasanya terdiri dari beberapa bangunan suci, bale adat, bale pertemuan, bale kulkul dan dapur. Menurut Putra (1988:8) dan Murdha dkk (1981: 34-36) bale banjar adat bagi masyarakat Bali bermakna sebagai pusat aktifitas sekaligus sebagai simbol politis spiritual pemersatu, sebagai simbol identitas pengenal dan semangat warga. Bale banjar adat semula hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah masyarakat banjar. Sejalan dengan berkembangnya lahan pada kawasan perkotaan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, serta terbukanya peluang-peluang kegiatan ekonomi baru (Sueca, 1997:84), maka terjadilah perubahan fungsi awal bale banjar yang ada, yaitu semula sebagai tempat bermusyawarah (fungsi sosial-politik) berubah dan bertambah menjadi fungsi budaya dan fungsi ekonomi (Adhika 1994:3) (Suardana (2005: 145) Salain (2008: 79-80). Adanya perkembangan fungsi

Guna Dan Fungsi Pada Arsitektur Bale Banjar Adat Di Denpasar Bali

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pada awalnya bale banjar adat bagi masyarakat Bali memiliki arti sebagai tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah. Sejalan dengan perkembangan kehidupan perkotaan, bale banjar adat mengalami berbagai perubahan fungsi, bentuk maupun tampilan pada perwujudan bangunannya. Penelitian ini menyoroti permasalahan bale banjar dari segi perubahan fungsi bale banjar adat di kota Denpasar, Bali. Saat ini banyak bale banjar adat yang memiliki fungsi ganda yaitu bukan lagi sekedar tempat bermusyawarah tetapi merupakan tempat berbagai macam kegiatan tambahan seperti kegiatan ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesenian, dll. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifkasi perkembangan fungsi bale banjar adat dan melihat apakah perubahan fungsi tersebut lebih mengarah ke guna ataukah fungsi bangunan?

Citation preview

Page 1: Guna Dan Fungsi Pada Arsitektur Bale Banjar Adat Di Denpasar Bali

TEMU ILMIAH IPLBI 2012

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012 | 65

GUNA DAN FUNGSI PADA ARSITEKTUR BALE BANJAR ADAT DI DENPASAR, BALI

Christina Gantini (1), Josef Prijotomo(2), Yuswadi Saliya(3)

(1)Mahasiswa Program Doktor Arsitektur, Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. (2)Promotor Program Doktor Arsitektur, Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. (3)Ko-promotor Program Doktor Arsitektur, Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Abstrak Pada awalnya bale banjar adat bagi masyarakat Bali memiliki arti sebagai tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah. Sejalan dengan perkembangan kehidupan perkotaan, bale banjar adat mengalami berbagai perubahan fungsi, bentuk maupun tampilan pada perwujudan bangunannya. Penelitian ini menyoroti permasalahan bale banjar dari segi perubahan fungsi bale banjar adat di kota Denpasar, Bali. Saat ini banyak bale banjar adat yang memiliki fungsi ganda yaitu bukan lagi sekedar tempat bermusyawarah tetapi merupakan tempat berbagai macam kegiatan tambahan seperti kegiatan ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesenian, dll. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifkasi perkembangan fungsi bale banjar adat dan melihat apakah perubahan fungsi tersebut lebih mengarah ke GUNA ataukah FUNGSI bangunan? Metode penelitian ini berdasarkan jenis pengambilan datanya termasuk penelitian deskriptif – kualitatif. Temuan penelitian yaitu bahwa: 1) arsitektur bale banjar adat merupakan arsitektur yang dapat menyandang sejumlah fungsi (multifungsionalitas) dalam arsitektur, 2) arsitektur bale banjar adat lebih berperan sebagai GUNA (USE) dalam arsitektur, daripada sebagai FUNGSI (FUNCTION). Kata-kunci : bale banjar adat, fungsi, guna Pendahuluan

Desa pakraman merupakan organisasi desa adat yang tersebar ribuan jumlahnya di seluruh pelosok Bali. Setiap desa pakraman memiliki beberapa organisasi kemasyarakatan yang lebih kecil disebut banjar adat. Banjar adat-banjar adat ini mengatur tata kehidupan dan perilaku sosial warga banjarnya berdasarkan awig-awig yang berlaku di desa pakramannya (Surpha, 2004:24-25). Setiap banjar adat memiliki sebuah bale banjar adat yang berfungsi untuk mewadahi kegiatan warga banjar terutama untuk kegiatan bermusyawarah. Sebuah bale banjar adat biasanya terdiri dari beberapa bangunan suci, bale adat, bale pertemuan, bale kulkul dan dapur. Menurut Putra (1988:8) dan Murdha dkk (1981: 34-36) bale banjar adat bagi

masyarakat Bali bermakna sebagai pusat aktifitas sekaligus sebagai simbol politis spiritual pemersatu, sebagai simbol identitas pengenal dan semangat warga.

Bale banjar adat semula hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah masyarakat banjar. Sejalan dengan berkembangnya lahan pada kawasan perkotaan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, serta terbukanya peluang-peluang kegiatan ekonomi baru (Sueca, 1997:84), maka terjadilah perubahan fungsi awal bale banjar yang ada, yaitu semula sebagai tempat bermusyawarah (fungsi sosial-politik) berubah dan bertambah menjadi fungsi budaya dan fungsi ekonomi (Adhika 1994:3) (Suardana (2005: 145) Salain (2008: 79-80). Adanya perkembangan fungsi

Page 2: Guna Dan Fungsi Pada Arsitektur Bale Banjar Adat Di Denpasar Bali

Guna dan Fungsi pada Arsitektur Bale Banjar Adat di Denpasar, Bali

66 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012

bale banjar yang memunculkan beberapa fungsi tambahan pada bale banjar, membawa konsekuensi yang tidak bisa dihindari antara lain yaitu perlunya ubahsuai terhadap aspek kearsitekturan bale banjar adat termasuk dalam hal perwujudannya.

Penelitian ini menekankan dan melihat perubahan fungsi pada arsitektur bale banjar adat di tingkat perkotaan Denpasar, Bali. Mempelajari perubahan fungsi pada arsitektur bale banjar adat tersebut, dipakai pendekatan penelitian yang dilakukan oleh Murni Rachmawati (2006). Menurut Rachmawati melihat fungsi bangunan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang pertama dalam melihat fungsi menurut Broadbent, Papanek dan Larry L. Ligo, paling tepat dipakai untuk melihat arsitektur kontemporer Bali. Sedangkan sudut pandang ke dua yaitu meninjau fungsi bangunan menurut CN. Schulz dan Donald Preziosi, yang diadaptasi dari J.Mukarovsky, lebih sesuai untuk meneliti arsitektur tradisional Bali.

Mengikuti Rachmawati maka penelitian ini memakai sudut pandang dari CN. Schulz dan Donald Preziosi, yang diadaptasi dari J.Mukarovsky. Sedangkan untuk mendudukkan peran banjar apakah lebih sebagai USE ataukah FUNCTION, dipakai pendekatan dari Romo Mangunwijaya.

Metode

Penelitian ini berdasarkan jenis pengambilan datanya termasuk penelitian kualitatif, dengan tipe penelitian termasuk penelitian deskripsi.

Populasi dan Sampel Penelitian

Jumlah populasi bale banjar adat di kota Denpasar yaitu 347 bale banjar adat. Adapun jumlah sampel penelitian yang diambil dari populasi sekitar 5 (lima) persen. Berikut merupakan tabel tentang lokasi dan keberagaman wilayah sampel yang diambil di kodya Denpasar.

Tabel 1. Sampel Penelitian

No Wilayah Kec. Sampel (Bale Banjar) 1 Pusat

Kota DENUT

1 Tampakgangsul 2 Taensiat

DENTIM

3 Bun

DENBAR

4 Titih Kelod Titih Tengah Titih Kaler

2 Pusat Kecamatan

DENUT

5 Tanguntiti

DENSEL

6 Kaja 7 Peken

DENTIM

8 Kedaton 9 Abiankapas Kaja

DENBAR

10 Munang Maning 11 Buagan

3 Desa DENUT

12 Pemangkalan 13 Pengukuh

DENSEL

14 Blanjong 15 Dangin Peken

DENTIM

16 Tambawu Kaja

DENBAR

17 Buana Desa

Analisis dan Interpretasi

Dua hal yang akan dibahas dalam melihat fungsi pada bale banjar di Denpasar, yaitu: (a) ragam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat banjar dan (b) tempat dimana kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan.

Analisis Kegiatan di Banjar

Banjar sebagai pusat kegiatan anggotanya, memiliki beberapa kelompok kegiatan (sekehe) yang memiliki kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil survai dan hasil analisis yang telah dilaksanakan pada 17 (tujuh belas) banjar di Denpasar, setiap banjar memiliki sekehe yang bervariasi sesuai dengan kesepakatan para anggotanya. Pada gambar 1 terlihat bahwa banjar yang disurvai rata-rata memiliki 4 jenis lingkup kegiatan. Banjar Tampak Gangsul paling banyak memiliki jenis sekehe yaitu 6 (enam) jenis kegiatan, kemudian banjar Tainsiat dan banjar Kaja hanya memiliki 2 (dua) jenis kegiatan. Dengan demikian dapat dirangkum bahwa lingkup kegiatan sekehe yang harus ada disetiap banjar adalah bertutur-turut sebagai berikut: 1) yang terkait dengan kegiatan adat dan keagamaan, 2) dilanjutkan sekehe dengan

Page 3: Guna Dan Fungsi Pada Arsitektur Bale Banjar Adat Di Denpasar Bali

Christina Gantini, Josef Prijotomo, Yuswadi Saliya

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012 | 67

lingkup kegiatan sosial, kesenian dan ekonomi, dan 3) terakhir penyaluran hobi dan pendidikan.

Gambar 1. Jumlah Jenis Kegiatan Sekehe

Tempat Kegiatan

Terdapat beberapa kegiatan sekehe banjar yang mengambil tempat yang sama dalam bangunan namun berbeda dalam waktu pelaksanaan kegiatannya. Ruang-ruang kegiatan yang dimiliki banjar untuk kegiatan sekehe nya berkisar antara 5 sampai 7 ruangan. Ada 3 banjar yang memilik 5 ruangan, ada 9 banjar yang memilik 6 ruangan dan ada 5 banjar yang memiliki 7 ruangan. Pada gambar 2 terlihat bahwa ruang-ruang yang harus ada pada setiap banjar adalah ruang serbaguna (bale pertemuan), sanggah, dan bale kulkul. Selanjutnya ruang tambahan, panggung, dan bale dauh. Ruang tambahan atau lain-lain adalah ruang-ruang yang ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan anggota banjar atau tempat usaha yang dapat memberikan tambahan pemasukan dana untuk banjar. Termasuk dalam ruang tambahan adalah ruang-ruang kelas sekolah (TK dan SMK), toko, koperasi, kamar kos, dan kantor. Tidak setiap banjar memiliki ruang gamelan khusus, karena ada beberapa banjar menyimpan gamelan di atas panggung (terbuka) atau meminjam banjar lain jika diperlukan.

Rangkuman hasil analisis, yaitu bahwa pada arsitektur bale banjar adat terdapat beberapa kelompok kegiatan yang seringkali harus diakomodir, yaitu: 1) kegiatan paruman banjar

sebagai kegiatan yang utama, 2) kegiatan oleh warga banjar (baik kegiatan fisik maupun rohani), 3) kegiatan-kegiatan oleh pemerintah daerah yang mengambil tempat di bale banjar (PKK, Posyandu, dll), 4) kegiatan komersialisasi pada banjar.

Gambar 2. Tipologi Ruang Kegiatan

Fungsi dan Guna pada arsitektur bale banjar adat

Melihat tumpang tindih dan ragam fungsi yang harus disandang oleh sebuah bale banjar adat, maka perlu dilakukan apa yang disebut related literature comparison. Seperti telah disebutkan pada bagian pendahuluan bahwa pendekatan yang dilakukan untuk melihat arsitektur bale banjar adat adalah menggunakan pendekatan dari C. Norberg Schulz (1965) dan Donald Preziosi which adapted from Jan Mukarovsky (1979). Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, jika terkait dengan peran bale banjar adat Bali terhadap manusia penggunanya, maka dapat dikatakan bahwa bale banjar adat dengan fungsi utamanya sebagai tempat bermusyawarah bagi warga banjarnya dapat saja memerankan sejumlah tugas dan tanggungjawab. Memerankan sejumlah tugas dan tanggungjawab inilah yang disebut sebagai fungsionalitas dalam arsitektur bale banjar adat di Bali. Tetapi penegasan atas fungsi dan fungsionalitas dalam arsitektur bale banjar adat tersebut belum menjawab berbagai macam atas tumpang tindihnya kegiatan yang terdapat di bale banjar adat tersebut.

Page 4: Guna Dan Fungsi Pada Arsitektur Bale Banjar Adat Di Denpasar Bali

Guna dan Fungsi pada Arsitektur Bale Banjar Adat di Denpasar, Bali

68 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012

Sehingga untuk menjawab permasalahan di atas digunakan pendekatan dari almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra, tentang sebutan GUNA (USE). Lewat pemahaman Mangunwijaya dapat dipertegas perbedaan penggunaan Fungsi (Function) dan Guna (Use) dalam arsitektur.

Gambar 3. Guna dan Fungsi dalam Arsitektur Bale Banjar Adat Bali

Pada gambar 3, dapat dilihat bahwa FUNGSI utama bale banjar adat adalah untuk musyawarah (paruman banjar). Sedangkan kegiatan lainnya yang juga mengambil tempat di bale banjar seperti kegiatan sekehe, kegiatan adat lainnya, serta bahkan kegiatan kedinasan, bahkan kegiatan ekonomi. Semua jenis kegiatan terakhir inilah yang disebut GUNA dalam arsitektur. Jadi GUNA dalam arsitektur bale banjar adat adalah “apa yang krama (warga) banjar bisa lakukan di dalam bale banjar”. Satu hal yang menjadi konsekuensi dari begitu banyaknya GUNA pada suatu bale banjar adat adalah ‘tertutupinya’ FUNGSI, akibat banyaknya kegiatan tambahan pada bale banjar tersebut.

Keadaan ini berbeda jauh sekali pada masa bale banjar adat Bali belum tersentuh dengan begitu banyak sekehe. Di mana bale banjar masih bersifat asli tradisional pedesaan, yaitu hanya memiliki fungsi utama sebagai tempat musyawarah warga banjar. Kondisi inilah yang dapat disebut bahwa bale banjar memiliki FUNGSI sebagai tempat musyawarah.

Kondisi perkembangan perubahan dari arsitektur bale banjar pada masa dahulu sampai dengan perubahannya pada saat ini dapat dipakai sebagai contoh yang baik untuk membedakan

FUNGSI dan GUNA dalam arsitektur, terutama arsitektur bale banjar adat Bali.

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan yaitu bahwa 1) sejalan dengan kajian yang telah dilakukan oleh Rachmawati terkait dengan pendekatan teori CN. Schulz dan Donald Preziosi, yang diadaptasi dari J.Mukarovsky, maka pendekatan ke dua teori tersebut dapat dipakai untuk melihat berbagai macam fungsi yang disandang oleh arsitektur bale banjar adat Bali, 2) bahwa dalam melihat perkembangan perubahan arsitektur bale banjar adat yang ada saat ini lebih menekankan pada GUNA daripada FUNGSI.

Daftar Pustaka

Adhika, I Made, (1994) Peran Banjar dalam Penataan Komunitas di Kota Denpasar, Tesis S2, Perencanaan Wilayah dan Kota – ITB

Murdha W. dkk, (1981) Pengembangan Bale Banjar dalam Permukiman Tradisional Bali di Perdesaan ditinjau dari Sistem Struktur, makalah seminar arsitektur Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Udayana

Preziosi, Donald (1981); Architecture, Language, and Meaning. The Origins of Built World and its Semiotic Organization, New York: Mouton Pub.

Putra, I Gusti Made, (1988) Arsitektur Bale Banjar Modern Tradisional Bali, Laporan Penelitian dalam Pameran Arsitektur Pesta Kesenian Bali, Denpasar: Fakultas Teknik Universitas Udayana

Rachmawati, Murni. (2006) Functionality as a Tool for Design Work Examination in Architecture : Cases Bali Architecture, Architecture & Environment Vol. 5, No. 1, Apr 2006: 26-48

Salain, PR. (2008) Arsitektur Bangunan Umum di Bali, dalam Sueca, NP., editor, Pustaka Bali, Denpasar: Ikatan Arsitek Indonesai Daerah Bali

Schulz, Christian Norberg (1968) Intention in Architecture, The MIT Press, USA

Suardana, ING., (2005) Arsitektur Bertutur, Denpasar: Yayasan Pustaka Bali

Sueca, ING. (1997) Perubahan Pola Spasial dan Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional di Desa Adat Kesiman Denpasar, Tesis S2, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Surpha, IW. (2004) Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Denpasar: Pustaka Bali Post