Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GOLONGAN ORANG-ORANG YANG
DICINTAI ALLAH DALAM ALQURAN (Studi Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Pada Fakultas Ushuluddin dan Adab
Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir
Universitas Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin”Banten
Oleh:
SOFIYATUL MARIYAH
NIM: 153200329
FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
“SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN
2019 M/ 1440 H
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag.) dan diajukan pada Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin dan Adab Universitas Islam Negeri “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten ini sepenuhnya asli merupakan hasil karya tulis
ilmiah saya pribadi.
Adapun tulisan maupun pendapat orang lain yang terdapat
dalam skripsi ini telah saya sebutkan kutipannya secara jelas sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku di bidang penulisan karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa sebagian atau seluruh
isi skripsi ini merupakan hasil perbuatan plagiatisme atau mencontek
karya tulis orang lain, saya bersedia untuk menerima sanksi berupa
pencabutan gelar kesarjanaan yang saya terima atau sanksi akademik
lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Serang, 10 Mei 2019
Sofiyatul Mariyah
NIM : 153200329
ii
ABSTRAK
Nama: Sofiyatul Mariyah, NIM: 153200329, Judul Skripsi:
Golongan Orang-Orang yang Dicintai Allah dalam Alquran (Studi
Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī), Jurusan Ilmu Alquran
dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Adab, Tahun 2019 M/1440 H.
Melihat di zaman sekarang ini kebanyakan manusia lalai dan masih
menganggap sepele apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah, mereka
tidak sadar bahwa di dalam Alquran telah disebutkan tentang mereka yang
mendapat jaminan cinta dari Allah SWT karena perbuatan dan perilaku
mereka yang disenangi Allah SWT. Dan Allah akan mengampuni segala dosa
bagi mereka yang dicintai-Nya. Maka dari itu kita sebagai umat Islam harus
bisa menyadari dan lebih mengetahui siapa sajakah golongan orang-orang
yang dicintai Allah, supaya kita mendapatkan cinta dari Allah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: 1) Siapa sajakah golongan orang-orang yang dicintai
Allah dalam Alquran? 2) Bagaimana penafsiran Wahbah al-Zuḥailī terhadap
ayat-ayat tentang golongan orang-orang yang dicintai Allah dalam Alquran?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) siapa saja golongan
orang-orang yang dicintai Allah dalam Alquran dan 2) bagaimana penafsiran
Wahbah al-Zuḥailī terhadap ayat-ayat tentang golongan orang-orang yang
dicintai Allah dalam Alquran.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan (library
research), penelitian ini menggunakan metode tematik, sumber data primer
dalam penelitian ini adalah al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī,
sedangkan data sekundernya di ambil dari buku-buku yang relevan dengan
tema yang dibahas.
Berdasarkan penilitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwasannya
golongan orang-orang yang dicintai Allah dalam Alquran mereka adalah
orang-orang yang berbuat baik (muḥsinīn), orang-orang yang bertaubat
(tawwābīn), orang-orang yang menyucikan diri (mutaṭahhirīn), orang-orang
yang bertaqwa (muttaqīn), orang-orang yang sabar (ṣābirīn), orang-orang
yang bertawakal (mutawakkilīn), orang-orang yang adil (muqsiṭīn), dan orang-
orang yang berperang di jalan Allah. Wahbah al-Zuḥailī menjelaskan bahwa
mereka adalah yang mendapatkan cinta, kasih sayang, serta keridhaan dari
Allah SWT karena perbuatan dan perilaku mereka yang disenangi oleh Allah,
dan mereka tunduk kepada Allah dengan ketundukan yang totalitas kepada-
Nya dan menyerah kepada Allah dengan penyerahan yang sempurna pula.
Kata kunci: cinta, yang dicintai Allah, Alquran.
iii
ABSTRACT
Name: Sofiyatul Mariyah, NIM: 153200329, the title of thesis: The
Groups Loved by Allah According to Alquran (Study Thematic al-Tafsīr
al-Munīr a Book by Wahbah al-Zuḥailī), Department Quranic Studies and
Tafsir, Fakulty of Ushuluddin and Adab, Years 2019 M/1440 H.
Nowadays, mostly people are negligent and trivial toward the
command and prohibition of Allah. Those people do not realize on what is
mentioned in Alquran, in which about who have love guarantee from Allah
because of actions and behavior his favored. Allah will also forgive the sins of
those he loves. Therefore, in order to get his love, we as muslim should be
aware and knowing more about the group loved by Allah.
In line with background of the study above, thus the research
questions are: 1). Who are the groups loved by Allah according to Alquran?
2). How are the interpretations of Wahbah al-Zuḥailī toward the verse that
explained the group who are loved by Allah in Alquran?
This study aims to determine: 1) Who are the groups loved by Allah
according to Alquran and 2) How are the interpretations of Wahbah al-Zuḥailī
toward the verse that explained the group who are loved by Allah in Alquran.
This study belongs to literature review and use thematic as the
method. The primary data source used for this study is thematic al-Tafsīr al-
Munīr a book by Wahbah al-Zuḥailī, while the secondary data taken from the
book related to the topic.
Then, based on this study, it can be concluded that the groups loved
by Allah are: they are who doing good (muḥsinīn), they are who repent
(tawwābīn), they are who purify themselves (mutaṭahhirīn), they are who
cautious (muttaqīn), they are who patient (ṣābirīn), they are who trust
(mutawakkilīn), they are who fair (muqsiṭīn), and the last they are who fight in
the way of Allah. According to Wahbah al-Zuḥailī, those are the groups who
will get the love, affection and blessing from Allah because of their actions
and behavior that are favored by Allah, and they submit to Allah with
submission to the totality to Allah and surrender to Allah with perfect
submission too.
Keyword: love, people who loved by Allah, Alquran
iv
الملخص
طائفة من الذين ، عنوان البحث :٣٠١٢٥٥١۲٩، رقم القيد : صافية المريةاسم الطالبة ( قسم علوم القرآن المنير لوىبة زحيلي) دراسة موضوعية عن تفسير يحبهم الله في القرآن الكريم
ه. ٣٤٤٥م / ٢٥٣٩بكلية أصول الدين و الآداب. سنة والتفسير
نظرا الى اليوم ان معظم الناس يهملون ما أمر الله بو وما نهى ىم عنو, فهم يدركون انو قد تم ذكره في القرآن الكريم عن ىؤلاء الذين يستحقون محبة الله سبحانو وتعالى. وذلك لأن الله
لذنوب لمن يحب لذلك لابد نحن بوصفنا المسلمين من ان يحب افعالهم وسلوكهم وسيغفر الله كل ا ندرك ونعرف طائفة من ىؤلاء الذين يحبهم الله, لكي نحصل على حبو
من ىم الذين يحبهم (. ٣ أسللة البحث في الآتي : استنادا إلى خلفية البحث أعلاه تأتيفي من الذين يحبهم الله وىبو الزحيلي آيات عن طائفة (. كيف يفسر٢في القرآن الكريم ؟ . الله
القرآن الكريم ؟
كيف ( و ٢. في القرآن الكريم من ىم الذين يحبهم الله( ٣تهدف ىذه الدراسة لمعرفة: .في القرآن الكريم وىبو الزحيلي آيات عن طائفة من الذين يحبهم الله يفسر
بالمصدر نوع ىذا البحث دراسة مكتبية، يستخدم فيو المنهج الموضوعي مستعينا " والمصادر الاضافية الأخرى من الكتب المتعلقة نير لوىبة زحيليالم الأساسي من كتاب "تفسير
بموضوع البحث.
ومن نتائج ىذا البحث أن طائفة من الذين يحبهم الله في القرآن الكريم أوللك ىم اتلون في سبيل الله. المحسنون والتوابون والمتطهرون والمتقون والصابرون والمتوكلون والمقسطون ومق
بأعمالهم وأفعالهموأنهم يخضعون وا على محبة الله رحمتو ورضاه أنهم الذين حصلوشرح وىبة الزحيلي خضوعا ويطيعون طاعة كافة ويستسلمون استسلاما تاما أيضا
يحبهم الله, القرآنالذين الكلمة الرائسية: حب,
v
FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
“SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN
Nomor : Nota Dinas
Lamp : Skripsi
Hal : Usulan Munaqasyah
a.n. Sofiyatul Mariyah
NIM: 153200329
KepadaYth
Bapak Dekan
Fak.Ushuluddin dan
Adab UIN “SMH”
Banten
Di –
Serang
AssalamualaikumWr. Wb.
Dipermaklumkan dengan hormat, bahwa setelah membaca dan
mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa
skripsi Saudari Sofiyatul Mariyah, NIM: 153200329, yang berjudul:
Golongan Orang-Orang yang Dicintai Allah dalam Alquran (Studi
Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī), telah memenuhi
syarat untuk melengkapi ujian munaqasyah pada Fakultas Ushuluddin
dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Maka kami ajukan
skripsi ini dengan harapan dapat segera dimunaqasyahkan.
Demikian, atas perhatian Bapak kami ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Serang, 10 Mei 2019
Pembimbing I
Dr. Muhammad Afif, M.A.
NIP. 196102091994031001
Pembimbing II
Agus Ali Dzawafi, M. Fil. I.
NIP. 197708172009011013
vi
GOLONGAN ORANG-ORANG YANG
DICINTAI ALLAH DALAM ALQURAN
(Studi Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī)
Oleh:
Sofiyatul Mariyah
NIM : 153200329
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. Muhammad Afif, M.A.
NIP. 196102091994031001
Pembimbing II
Agus Ali Dzawafi, M. Fil. I. NIP. 197708172009011013
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab
Prof. Dr. H. Udi Mufrodi Mawardi, Lc, M.A.
NIP. 196102091994031001
Ketua
Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir
Dr. H. Badrudin, M.Ag.
NIP. 197504052009011014
vii
PENGESAHAN
Skripsi a.n. Sofiyatul Mariyah, NIM: 153200329, yang
berjudul: Golongan Orang-Orang yang Dicintai Allah dalam Alquran
(Studi Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī), telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Universitas Islam Negeri “Sultan
Maulana Hasanuddin”Banten pada tanggal 10 Mei 2019. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin dan Adab Jurusan
Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanuddin Banten.
Serang, 14 Mei 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Dr. Syafiin Mansur, M.A.
NIP. 1964010811997031001
Sekretaris Merangkap Anggota
Muhammad Alif, S.Ag. M.Si.
NIP. 196904062005011005
Anggota,
Penguji I
Dr. H. Badrudin, M.Ag.
NIP. 197504052009011014
Penguji II
Drs. Jaipuri Harahap, M.Si.
NIP. 196106071995031002
Pembimbing I
Dr. Muhammad Afif, M.A
NIP. 196102091994031001
Pembimbing II
Agus Ali Dzawafi, M. Fil. I NIP. 197708172009011013
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk Ayahanda Idul Wasif
dan Ibunda HJ. Artaiyah yang tercinta dan tersayang, yang penuh ketekunan dan tak pernah lelah memberikan motivasi baik secara
moril, materil serta penuh ketulusan untuk membesarkan, mendidik,
membimbing dan mengarahkan kepada hal-hal positif. Juga kepada
kakak-kakakku yakni Humaedi dan Rebudin, serta adik-adikku yakni Husnul Mubarok dan M. Sajidullah semoga mereka semua selalu
diberikan panjang umur, kesehatan baik secara lahir maupun batin
serta dimudahkan dalam segala aktifitasnya. Aamiin.
Semoga do’a yang mereka panjatkan senantiasa dibalas oleh
Allah SWT. Ȃmîn Allahumma Ȃmîn...
ix
MOTTO
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”
(QS. Ali „Imrān: 31)
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Sofiyatul Mariyah, lahir di kampung
Cikubang 2, Desa Argawana, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten
Serang, Provinsi Banten, lahir pada tanggal 16 Desember 1996. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan ibu Hj.
Artaiyah dan bapak Idul Wasif.
Pendidikan formal yang penulis tempuh di antaranya yaitu: SD
Negeri Cikubang 2, lulus pada tahun 2008, SMP Negeri 1 Bojonegara
lulus pada tahun 2011, MA Assa’adah lulus pada tahun 2015,
kemudian melanjutkan perguruan tinggi ke UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten, Fakultas Ushuluddin dan Adab, Jurusan Ilmu
Alquran dan Tafsir pada tahun yang sama.
Selama menjadi Mahasiswa penulis mengikuti beberapa
kegiatan seperti HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) IAT pada tahun
2017 sebagai anggota.
xi
KATA PENGANTAR
Bismillahirraḥmānirraḥīm.
Alḥamdulillahirabbilʻālamīn, segala puji bagi Allah Tuhan
seluruh alam. Berkat nikmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, serta seluruh
umatnya hingga akhir zaman.
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Golongan Orang-Orang yang
Dicintai Allah dalam Alquran (Studi Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya
Wahbah al-Zuḥailī).
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan di dalamnya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan
pengetahuan penulis. Terlepas dari hal tersebut, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang secara langsung
maupun tidak telah membantu penulis dalam menyusun skripsi. Ucapan
terimakasih tersebut penulis tujukan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A., selaku Rektor UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang telah memberikan
pembinaan baik terhadap dosen maupun mahasiswa.
2. Bapak Prof. Dr. H. Udi Mufrodi Mawardi, Lc., M.A., selaku
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian.
3. Bapak Dr. H. Badrudin, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Alquran dan Tafsir yang telah memberikan arahan, mendidik,
serta memberikan motivasinya kepada penulis.
4. Bapak Dr. Muhammad Afif, M.A., sebagai Pembimbing I dan
Bapak Agus Ali Dzawafi, M.Fil.I., sebagai Pembimbing II yang
telah banyak meluangkan waktu dan memberi arahan kepada
penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi.
xii
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Adab yang telah
berbagi ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa
perkuliahan dan mengantarkan penulis hingga dapat menyusun
skripsi.
6. Seluruh mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir, khususnya kepada
rekan-rekan IAT/A, terutama kepada Siti Fauzah, Ulfah
Nurchalifah, Maesaroh, Serli Diana, Euis KH, Rani Komalasari,
Destrinati, Assyifaunnadia, Eva Sofia, Gina Dwi Minarti, Puput
Pulasari, Sutihat Adaniah, Nuroh dan Neneng Fauziyah yang
telah dengan sabar dan ikhlas berbagi ilmu, berdiskusi, dan
menemani penulis selama menyusun skripsi.
7. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya,
dan umumnya dapat bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin.
Serang, 10 Mei 2019
Penulis,
Sofiyatul Mariyah
NIM: 153200329
xiii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................... ii
SURAT PENGAJUAN ....................................................................... v
SURAT PERSETUJUAN DEKAN ................................................... vi
PENGESAHAN .................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ............................................................................... viii
MOTO.................................................................................................. ix
RIWAYAT HIDUP............................................................................. x
KATA PENGANTAR ........................................................................ xi
DAFTAR ISI ....................................................................................... xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 9
E. Kajian Pustaka .............................................................. 10
F. Metode Penelitian ......................................................... 12
G. Sistematika Penulisan. .................................................. 14
xiv
BAB II RIWAYAT SINGKAT WAHBAH AL-ZUḤAILĪ
A. Biografi dan Karir Wahbah al-Zuḥailī......................... 16
B. Corak dan Metode al-Tafsīr al-Munīr .......................... 23
C. Karya-Karya Wahbah al-Zuḥailī .................................. 34
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG GOLONGAN
ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH
A. Pengertian Cinta ........................................................... 40
B. Golongan Orang-Orang yang Dicintai Allah................ 44
C. Balasan Bagi Mereka yang Dicintai Allah .................... 67
BAB IV ANALISIS TENTANG GOLONGAN ORANG-
ORANG YANG DICINTAI ALLAH MENURUT
WAHBAH AL-ZUḤAILĪ
A. Klasifikasi Ayat-ayat Tentang Golongan Orang-
Orang yang Dicintai Allah ............................................ 85
B. Makiyyah dan Madaniyyah .......................................... 94
C. Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Golongan Orang-
Orang yang Dicintai Allah Menurut Wahbah al-
Zuḥailī ........................................................................... 94
xv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 130
B. Saran ............................................................................. 131
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan
Arab dilambangkan dengan huruf dalam transliterasi ini
dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan
tanda dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda
sekaligus.
Di bawah ini daftar huruf Arab dan trasliterasinya
dengan huruf latin:
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif اTidak
dilambangkan Tidak dilambangkan
Ba b Be ة
Ta t Te ت
Sa ṡ ثEs (dengan titik di
atas)
Jim j Je ج
Ha ḥ حHa (dengan titik di
bawah)
Kha Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Zal Ż ذZet (dengan titik di
atas)
Ra r Er ر
Zai Z Zet س
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Sad ṣ صEs (dengan titik di
bawah)
Dad ḍ ضDe (dengan titik di
bawah)
xvii
Ta ṭ طTe (dengan titik di
bawah)
Za ẓ ظZet (dengan titik di
bawah)
ʻAin ...ʻ... Koma terbalik di atas ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
Hamzah ...’... Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia
terdiri atas vokal tunggal atau monoftom dan vokal rangkap
atau diftong.
1) Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa
tanda atas harakat, transliterasinya sebagai berikut.
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dammah U U
xviii
Contoh:
Kataba = ت ت ك
Su’ila = ئ ل س
Yażhabu = ذه ت
2) Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya
berupa gabungan antara harakat dan huruf transliterasinya
gabungan huruf, yaitu:
TandadanHuruf Nama GabunganHuruf Nama
ى Fathah
dan ya Ai A dan I
ى وFathah
dan wau Au
A dan
U
Contoh:
Kaifa = ف ك
Walau = ل و و
Syai’un = ء ش
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa
harakat dan huruf transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
xix
HarakatdanHuruf Nama HurufdanTanda Nama
ى بFathah
dan alif
atau ya
Ā
A dan
garis di
atas
ى ىKasrah
dan ya Ī
I dan
garis di
atas
ى وDammah
wau Ū
U dan
garis di
atas
4. Ta Marbuṭah
Transliterasi untuk ta’ marbuṭah ada dua, yaitu:
a. Ta Marbuṭah Hidup
Ta marbuṭah yang hidup atau mendapat harakat
fathah, kasrah, dan ẓammah transliterasinya adalah /t/.
Contoh: Minal jinnati wannās = النبس نة و ه الج م
b. Ta Marbuṭah Mati
Ta marbuṭah yang mati atau mendapat harakat sukun
transliterasinya adalah /h/.
Contoh: Khoir Al-Bariyyah = ز الج ز ة خ
c. Kalau pada suatu kata yang di akhir katanya ta marbuṭah
diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta
bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbuṭah itu
ditransliterasikan ha (h), tetapi bila disatukan (waṣal), maka
ta marbuṭah tetap ditulis /t/.
Contoh: As-Sunnah An-Nabawiyah = نة النج و ة ا لس
Tetapi bila disatukan, maka ditulis as-sunnatun
nabawiyah.
xx
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ). Tanda syaddah atau
tasydid dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf yang
sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh: As-Sunnah An-Nabawiyah = السنة النجوة
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf (ال), namun dalam transliterasinya kata sandang
itu dibedakan antara kata sandang yang diikuti oleh huruf
syamsiah dengan kata sandang yang diikuti oleh huruf
qamariah.
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah
ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/
diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu.
Contoh: As-Sunnah An-Nabawiyah = السنة النجوة
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di
depan dan sesuai dengan bunyinya.
Contoh: Khair Al-Bariyah = ز الج ز ة خ
Baik diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf
qamariah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang
mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
xxi
7. Hamzah
Dinyatakan di depan transliterasi Arab-Latin bahwa
hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun hanya
terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di
awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab
berupa alif.
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya, setiap kata baik fiil, isim, maupun huruf
ditulis terpisah. Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya
dengan huruf Arab yang sudah lazim dirangkaikan dengan kata
lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka
dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut bisa dilakukan
dengan dua cara. Bisa dipisah perkata dan bisa dirangkaikan.
Contoh: ثسم الله الزحمه الزحم
Maka ditulis bismillāhirraḥmānirraḥīm atau bism allāh
ar-raḥmān ar-raḥīm.
9. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem penulisan Arab, huruf kapital
tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan
juga. Penggunaan huruf kapital seperti yang berlaku pada EYD,
di antaranya huruf kapital digunakan untuk menulis huruf awal,
nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului
oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandang.
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila
dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau
penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau
harakat yang dihilangkan, maka huruf kapital tidak
dipergunakan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kalam
Allah. Allah SWT menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad
untuk dijadikan petunjuk bagi umat manusia dan dijadikan pedoman
hidup di dunia dan akhirat.1
...
“ ... Dan Kami turunkan Kitab (Alquran) kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim)”. (QS. al-
Naḥl: 89).
Alquran tidak diturunkan hanya untuk umat tertentu atau
untuk zaman tertentu, akan tetapi untuk seluruh umat manusia dan
1 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), cet 3, p.113.
2
untuk sepanjang masa, maka ajarannya pun luas sama dengan
luasnya umat manusia.2
Sehingga Alquran dijadikan sebagai sumber pengetahuan
dalam segala disiplin ilmu atau sebagai rujukan keilmuan baik ilmu
diniyah maupun ilmu umum. Serta dijadikan sebagai landasan
hukum-hukum Islam yang mengandung pokok-pokok akidah
keagamaan, keutamaan akhlak, prinsip-prinsip dan tata nilai
perbuatan manusia.3
Selain itu ajaran di dalam Alquran memberikan tuntunan
untuk melakukan perbuatan yang disyaria‟tkan agama Islam yaitu
perbuatan yang memang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa-
apa yang dilarang oleh Allah.
Sebagaimana firman Allah Q.S. al-Naḥl: 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
al-Naḥl: 90)
2 Moh Matsna, Qur’an Hadist (Jakarta: Pt. Karya Toha Putra, 2004), p.72
3 Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), cet 2, p. 44
3
Sangat jelas bahwa di dalam Alquran terdapat banyak ayat-
ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan
akhlak, dan prinsip-prinsip perbuatan. Dilihat dari
kandungan Alquran banyak sekali ayat-ayat Alquran yang
memerintahkan untuk melakukan kebaikan, berbuat adil, menyuruh
berbuat baik dan mencegah berbuat kejahatan dan kemungkaran.
Sehingga mereka yang selalu melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa-apa yang dilarang oleh
Allah, mereka akan mendapat cinta, kasih sayang dan ampunan dari
Allah.
Mereka yang dicintai-Nya itu akan senantiasa menjalankan
perkara-perkara wajib, dan memperbanyak amal-amal sunnah
sehingga dia menjadi orang yang semakin dicintai Allah. Jika dia
telah menjadi orang yang dicintai Allah, maka kecintaan Allah
tersebut menghadirkan kecintaan lain dalam dirinya kepada Rabbnya,
yaitu kecintaan untuk menyibukkan hatinya dari memikirkan
Dzatnya. Cinta tersebut menguasai hatinya sehingga tidak tersisa
sedikit kelapangan pun untuk selain Dzat yang dicintainya. Jadilah
4
mereka selalu dzikir kepada-Nya, mencintai-Nya, dan selalu
menyebut sifat-sifat-Nya yang Maha Agung.4
Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, dari Nabi Saw, beliau
meriwayatkan dari Rabbnya, bahwasannya Allah Swt berfirman:
“…Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku, melainkan
dengan mengerjakan perkara-perkara yang wajib. Hamba-Ku
tersebut pun senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
perkara-perkara sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya, maka Aku bersama pendengarnya, yang ia mendengar
dengannya, penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya
yang ia mengambil dengannya, dan kakinya yang ia berjalan
dengannya. (Dengan-Ku ia mendengar, melihat, mengambil, dan
berjalan). Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku benar-benar
memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku
benar-benar melindunginya….”5
Maka ketika seseorang cinta kepada Rabbnya dengan
kecintaan yang totalitas dan murni, dia pun harus tunduk kepada-Nya
4 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa': Macam-Macam
Penyakit Hati yang Membahayakan dan Resep Pengobatannya (Pustaka Imam As-
Sayfi‟I, 2013), cet 4, p.429 5 Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan Masykul Al-
Bukhāri (Bairut: Dar al-Fikr), p.129
5
dengan ketundukan yang totalitas dan harus menyerah kepada Allah
dengan penyerahan yang sempurna pula. Seberapa besar cinta yang
dimiliki hati, maka sebesar itulah kadar ketundukan dan penyerahan
diri kepada yang dicintainya. Mereka itulah yang akan mendapatkan
jaminan cinta dari Allah Swt.6
Di dalam Alquran telah disebutkan tentang mereka yang
mendapat jaminan cinta dari Allah Swt karena perbuatan dan perilaku
mereka yang disenangi Allah Swt. Nama mereka diabadikan di dalam
Alquran sebagai kelompok yang dijamin akan meraih cinta Allah.7
Mereka itulah di antaranya orang-orang yang berbuat baik
(muḥsinīn) terdapat dalam Alquran sebanyak 5 kali dalam 3 surat,
orang-orang yang bertaubat (tawwābīn) terdapat dalam Alquran surat
al-Baqarah ayat 222, orang-orang yang menyucikan diri
(mutaṭahhirīn) terdapat dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 222 dan
surat al-Taubah ayat 108, orang-orang yang bertaqwa (muttaqīn)
terdapat dalam Alquran surat Ali Imrān ayat 76 dan surat al-Taubah
ayat 4 dan 7, orang-orang yang sabar (ṣābirīn) terdapat dalam
Alquran surat Ali „Imrān ayat 146, orang-orang yang bertawakal
6 Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyah:
Menggapai Cinta Ilahi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet 1, p.2 7 Atabik Lutfi, Tafsir Tazkiyah: Tadabur Ayat-Ayat untuk Pencerahan dan
Penyucian Hati (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet 1, p. 138
6
(mutawakkilīn) terdapat dalam Alquran surat Ali „Imrān ayat 159,
orang-orang yang adil (muqsiṭīn) terdapat dalam Alquran sebanyak 3
kali dalam 3 surat, dan orang-orang yang berperang di jalan Allah
terdapat dalam Alquran surat al-Ṣaff ayat 4.8
Oleh karena itulah, Allah Swt menolak orang yang mengaku
sebagai kekasih-Nya dengan firman Allah, “Katakalah, Maka
mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (QS. al-
Mā‟idah: 18).
Diriwayatkan dari Annas, dari Rasulullah Saw, beliau
bersabda, “Apabila Allah Swt mencintai hamba-Nya, niscaya dosa
tidaklah mendatangkan kemudharatan baginya. Dan orang yang
bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak mempunyai dosa”.
Kemudian Rasulullah Saw membaca, “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertaubat” (QS. al-Baqarah: 222).
Artinya, apabila Allah Swt mencintai hambanya, niscaya
Allah akan menerima taubatnya sebelum mati. Maka dosa yang telah
berlalu itu, tidak mendatangkan melarat kepada hamba, meskipun
dosa itu banyak, sebagaimana tidak mendatangkan melarat oleh
kekufuran yang telah lalu sebelum masuk Islam. Sesungguhnya telah
8 Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufaḥras li al-Fadhil
Quran al-Karim (Lebanon: Dar al-Fikr, 1981), cet 2, p.191-192
7
diisyaratkan oleh Allah Swt bagi kecintaan akan adanya
pengampunan dosa.9
Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam QS. Ali „Imrān: 31
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”
Dalam al-Tafsīr al-Munīr dijelaskan wahai Muhammad,
katakanlah kepada mereka, “Jika kalian memang taat kepada
Allah Swt dan menginginkan pahala dari-Nya, maka
patuhilah apa yang telah diturunkan oleh Allah Swt
kepadaku, maka Allah akan meridhai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian. Dengan demikian kalian akan
mendapatkan lebih dari apa yang kalian inginkan dari sikap
maḥabbah (kecintaan) kalian kepada Allah, yaitu kalian akan
mendapatkan maḥabbah Allah kepada kalian dan ini jauh
lebih berharga dan lebih agung dari yang pertama, yaitu dari
hanya sekedar mendapat pahala dan ampunan dari-Nya.10
Akan tetapi melihat di zaman sekarang ini kebanyakan
manusia lalai dan masih menganggap sepele apa yang diperintahkan
dan dilarang oleh Allah, mereka tidak sadar bahwa Allah itu
mencintai golongan-golongan yang telah disebutkan di atas. Dan
9 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama
Jiliid 9 Zuhud, Cinta, dan Kematian (Jakarta: Repubika Penerbit, 2015), cet 2,
p.258-259 10
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarīʽah wa
al-Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet 1, p.242
8
Allah akan mengampuni segala dosa bagi mereka yang dicintai-Nya.
Maka dari itu kita sebagai umat Islam harus bisa menyadari dan lebih
mengetahui siapa sajakah golongan orang-orang yang dicintai Allah,
supaya kita mendapatkan cinta dari Allah.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis mencoba untuk
menjelaskan mengenai golongan orang-orang yang dicintai Allah
dalam Alquran. Maka penulis akan mengambil judul skripsi
“Golongan Orang-Orang yang Dicintai Allah dalam Alquran (Kajian
Tematik al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī)”
B. Perumusan Masalah
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Siapa sajakah golongan orang-orang yang dicintai Allah dalam
Alquran?
2. Bagaimana penafsiran Wahbah al-Zuḥailī terhadap ayat-ayat
tentang golongan orang-orang yang dicintai Allah dalam
Alquran?
9
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui siapa saja golongan orang-orang yang dicintai
Allah dalam Alquran
2. Untuk mengetahui penafsiran Wahbah al-Zuḥailī terhadap ayat-
ayat tentang golongan orang-orang yang dicintai Allah dalam
Alquran.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui secara lebih komprehensif tentang golongan
orang-orang yang dicintai Allah yang telah dijelaskan dalam
Alquran
2. Memudahkan untuk mempelajari serta mengamalkan
karakteristik tentang mereka yang dicintai Allah yang telah
disebutkan dalam Alquran
3. Memberi wawasan kepada penulis maupun pembaca.
10
E. Kajian Pustaka
Penelitian yang terkait dengan pokok pembahasan yang
penulis kaji masih belum banyak didapat. Namun ada beberapa
literature yang penulis temukan yang memiliki keterkaitan dengan
pokok pembahasan tentang cinta (maḥabbah). Diantara beberapa
buku-buku dan literature yang ada kaitannya dengan pembahasan ini,
penulis jadikan sebagai kajian pustaka adalah sebagai berikut:
Skripsi Iis Ehasari Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri “Sultan
Maulana Hasanuddin” Banten, yang berjudul “Konsep Cinta: Study
Tentang Pemikiran Tasawuf Jalaluddin Rumi”. Skripsi ini lebih
menjelaskan bagaimana konsep cinta menurut Jalaluddin Rumi, cara
untuk mencapai Maqām Maḥabbah, dan pengaruh cinta dalam
kehidupan. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa untuk mencapai
maqam mahabbah, maka harus menempuh jalan ṭariqāt (jalan Allah),
meskipun dalam proses pencapaiannya akan bertemu dengan
rintangan-rintangan yang baik dan yang jahat, yang susah dan yang
sulit.11
11
Iis Ehasari “Konsep Cinta: Study Tentang Pemikiran Tasawuf Jalaluddin
Rumi” (Skripsi IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, 2012)
11
Skripsi Selfi Nurlina Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri
“Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, yang berjudul “Cinta dan
Benci Karena Allah: Studi Analisis Sanad dan Matan Hadis”. Skripsi
ini lebih menjelaskan tentang kandungan matan hadis cinta dan benci
karena Allah. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa matan dan hadis
cinta dan benci karena Allah ini dihukumi ṣāḥīḥ, walaupun didalam
redaksi periwayatan terkadang berbeda-beda. Dihukumi ṣāḥīḥ karena
matan hadis cinta dan benci karena Allah ini tidak bertentangan
dengan nash Alquran.12
Skripsi Abdul Aziz Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri “Gunung Djati” Bandung, yang
berjudul “Ciri-Ciri Orang yang Dicintai Allah: Studi Analisis Tafsir
al-Munir Karya Syekh „Abd Mu‟thi‟ Muhammad Nawawi al-
Bantani”. Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana ciri-ciri orang
yang dicintai Allah menurut Syekh Nawawi al-Bantani.13
12
Selfi Nurlina “Cinta dan Benci Karena Allah: Studi Analisis Sanad dan
Matan Hadis” (Skripsi IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, 2015) 13
Abdul Aziz “Ciri-Ciri Orang yang Dicintai Allah: Studi Analisis Tafsir
al-Munir Karya Syekh „Abd Mu‟thi‟ Muhammad Nawawi al-Bantani” (Skripsi UIN
“Gunung Djati” Bandung, 2018). (diakses pada 29 September 2018).
12
F. Metode Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Salah satu tugas yang perlu dilaksanakan seorang peneliti
ketika melaksanakan penelitian temasuk dalam penelitian ilmu-
ilmu ushuluddin (baik penelitian lapangan, field research,
maupun penelitian perpustakaan, library research) adalah studi
kepustakaan.14
Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Library
Research (kajian pustaka), yaitu serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan pengumpulan data (kepustakaan), membaca,
mencatat serta mengolah bahkan penelitiannya. Ini merupakan
penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk
memperoleh data penelitiannya.
14
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu
Ushuluddin (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet 1, p.89
13
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan.15
Adapun untuk
memperoleh datanya yaitu dengan mengumpulkan buku-buku
yang bersangkutan dengan judul yang dibahas. Pengumpulan data
yang telah diperoleh, dikembangkan berdasarkan jenisnya
(primer/sekunder). Yaitu buku-buku utama terkait langsung
dengan objek penelitian sebagai sumber pokok yang diambil dari
Kitab al-Tafsīr al-Munīr, sedangkan data sekunder sebagai
penunjang dan pelengkap yang diambil dari referensi-referensi.
3. Metode Analisis yang Digunakan
Metode yang digunakan penulis adalah berusaha
mengkaji, menelaah, dan memahami dengan menggunakan
metode mauḍūʻi (tematik) yaitu menafsirkan ayat Alquran tidak
berdasarkan atas urutan ayat dan surat dalam Alquran, akan tetapi
berdasarkan tema yang dikaji.
Langkah-langkah tafsir mauḍūʻi menurut Abdul Hayy al-
Farmawi adalah sebagai berikut:
15
Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), cet 5,
p.174.
14
a. Menetapkan tema permasalahan yang akan dikaji
b. Mengelompokkan ayat-ayat sesuai tema dan jenisnya
(makiyyah atau madaniyyah)
c. Menyusun ayat-ayat berdasarkan urutan waktu turunnya dan
mengetahui asbabun nuzulnya.
d. Mengetahui kolerasi (munasabah) ayat tersebut dengan ayat
lain.
e. Menyusun tema bahasan secara sistematis.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan
menyeluruh.16
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang
apa-apa yang diuraikan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis
berikan gambaran. Berikut ini adalah gambaran rinci sistematika
penyusunan skripsi. Secara garis besar penyusunan skripsi ini
disesuaikan dengan pokok masalah yang akan dibahas dalam lima
bab, yaitu:
16
Rosidin, Metodologi Tafsir Tarbawi (Jakara: Amzah, 2015), cet ke-1,
p.16
15
Bab I, yaitu Pendahuluan yang mencakup tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, yaitu riwayat singkat Wahbah al-Zuḥailī, bab ini
meliputi: biografi dan karir Wahbah al-Zuḥailī, metode dan corak al-
Tafsīr al-Munīr, dan karya-karya Wahbah al-Zuḥailī.
Bab III, tinjauan teoritis tentang pegertian cinta, golongan
orang-orang yang dicintai Allah, dan balasan bagi mereka yang
dicintai Allah.
Bab IV, analisis tentang golongan orang-orang yang dicintai
Allah menurut Wahbah al-Zuḥailī mencakup: klasifikasi ayat-ayat
tentang golongan orang-orang yang dicintai Allah, makiyyah dan
madaniyyah, dan penafsiran ayat-ayat tentang golongan orang-orang
yang dicintai Allah menurut Wahbah al-Zuḥailī.
Bab V, yang mencakup tentang kesimpulan dan saran
16
BAB II
RIWAYAT SINGKAT WAHBAH AL-ZUḤAILĪ
A. Biografi dan Karir Wahbah al-Zuḥailī
Wahbah al-Zuḥailī merupakan salah satu guru besar di Syiriā
dalam bidang keislaman, selain itu ia juga merupakan mufassir yang
masyhur dan seorang ulama fiqh kontemporer tingkat dunia. Hal
tersebut dibuktikan dengan banyaknya karyanya yang mendunia.
Pemikiran Wahbah al-Zuḥailī dituangkan dalam salah satu kitab
fiqihnya yang berjudul Al-Fiqh Al-Islāmī Wa Adillatuh. Selain itu
karangan beliau yang lain adalah kitab tafsir Alquran yang berjudul
al-Tafsīr al-Munīr.1
Wahbah al-Zuḥailī memiliki nama asli Wahbah bin al-Syaikh
Muṣṭafā al-Zuḥailī, dilahirkan di Dair „Aṭiyah kecamatan Faiha,
propinsi Damaskus Syiriā pada tanggal 6 Maret tahun 1351H/ 1932
1 Eka Hayatunnisa dan Anwar Hafidzi, “Kriteria Poligami serta
Dampaknya melalui Pendekatan Alla Tuqsitu Fi al-Yatama dalam Kitab Fiqih
Islam Wa Adillatuhu”, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran. Vol.17, No.1
(Juni, 2017), p.67
17
M.2 Ayahnya bernama Syaikh Muṣṭafā al-Zuḥailī, seorang ulama
yang hafal Alquran dan ahli ibadah. Dalam kesehariannya, ia selalu
memegang teguh Alquran dan Sunnah Nabi, serta hidup sebagai
seorang petani dan pedagang. Sedangkan ibunya bernama Hajjah
Fāṭimah binti Muṣṭafā Saʻādah. Seorang wanita yang memiliki sifat
warak dan teguh dalam menjalankan syariʻat agama.3
Terlahir dari keluarga yang memiliki spirit keagamaan yang
tinggi, sejak kecil Wahbah al-Zuḥailī mendapatkan bimbingan dari
ayahnya untuk mengenal dasar-dasar keislaman. Menginjak usia 7
tahun sebagaimana juga teman-teman yang lainnya, Wahbah al-
Zuḥailī bersekolah Ibtidāʼiyah di kampungnya hingga sampai pada
tahun 1946. Ketika memasuki pendidikan formalnya, Wahbah al-
Zuḥailī menghabiskan pendidikan menengahnya selama 6 tahun dan
mendapatkan ijazah pada tahun 1952, yang merupakan langkah awal
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi yakni di Fakultas Syarīʻah
2 Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili dan
Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”, Jurnal Analisis. Vol.16,
No.1 (Juni, 2016), p.128 3 Muhammadun, “Wahbah Az-Zuhaili dan Pembaruan Hukum Islam”,
Mahkamah; Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol.1, No.2 (Desember, 2016), p.233
18
Universitas Damaskus, hingga meraih gelar sarjananya pada tahun
1953 M dengan predikat cumlaude.4
Karena semangatnya dalam belajar dan kecintaannya
terhadap ilmu, sehingga ketika Wahbah al-Zuḥailī pindah ke Kairo
beliau mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan, yaitu di Fakultas
Bahasa Arab al-Azhar University dan Fakultas Syarīʻah di
Universitas ʻAin Syam. Ketika itu beliau memperoleh beberapa
ijazah diantaranya: Ijazah Bahasa Arab dari Fakultas Syarīʻah
Universitas al-Azhar pada tahun 1956, Ijazah Takhaṣṣuṣ Pendidikan
dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957 dan
Ijazah Bahasa Arab dari Fakultas Syarīʻah Universitas ʻAin Syam
pada tahun 1957.
Dalam waktu lima tahun Wahbah al-Zuḥailī mendapatkan
tiga ijazah sekaligus yang kemudian diteruskan ke tingkat
pascasarjana di Universitas Kairo yang berhasil ditempuh selama dua
tahun dan memperoleh gelar M.A pada tahun 1959 dengan tesisnya
yang berjudul “Al-Zirāʻi fī al-Siyāsah al-Syarʻiah wa al-Fiqh al-
Islāmī“. Karena merasa belum puas dalam mencari ilmu, akhirnya
4 Putri Ajeng Fatimah, “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah Az-
Zuhaili“ (Skripsi UIN “Syarif Hidayatullah“ Jakarta, 2011), p.15
19
Wahbah al-Zuḥailī pun melanjutkan pendidikannya ke program
doktoral yang diselesaikan pada tahun 1963 dengan yudisium summa
cumlaude. Ketika itu Wahbah al-Zuḥailī menulis disertasi dengan
judul “ʼᾹṣār al-Ḥarb fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah Muqāranah baina
al-Mażāhib al-ṡamāniyah wa al-Qānun al-Daulī al-ʻᾹm (Efek
Perang dalam Fikih Islam: Studi Komparatif antara Madzhab
Delapan dan Hukum Internasional Umum)“.5
Dengan bekal ilmu yang dimilikinya, ia terjun ke dunia
pendidikan sebagai pendidik. Pada tahun 1963M Wahbah al-Zuḥailī
mengabdikan diri sebagai dosen di Fakultas Syarīʻah Universitas
Damaskus, tidak lama kemudian karir akademiknya terus meningkat
Wahbah al-Zuḥailī diangkat sebagai asisten dekan pada fakultas yang
sama pada tahun 1969M, kemudian diangkat jabatannya menjadi
dekan sekaligus menjadi ketua jurusan Fiqih al-Islam dalam waktu
yang cukup singkat dari masa pengangkatannya sebagai asisten
dosen. Kemudian ia dilantik sebagai guru besar dalam disiplin
hukum Islam pada salah satu Universitas di Syiria.6
5 Putri Ajeng Fatimah, “Waris Kalalah....., p.15-16
6 Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir…..., p. 129
20
Wahbah al-Zuḥailī juga pernah menjadi dosen tamu di Libya,
1972-1974, Universitas Khartum dan Universitas Omdurman di
Sudan pada tahun 2000. Wahbah al-Zuḥailī juga menjadi dosen tamu
di Universitas al-ʻAin Uni Emirat Arab dari tahun 1984-1989 selama
lima tahun dan menjadi penceramah di Qatar dan Kuwait semasa
bulan Ramadhan pada tahun 1989-1990. Di samping itu, Wahbah al-
Zuḥailī juga turut memberi khutbah Jumat sejak tahun 1950 terutama
di Masjid ʻUṡmān di Damaskus dan Masjid al-Īmān di Dair „Aṭiyah,
menyampaikan ceramah di masjid, radio dan televisi serta di
seminar-seminar dalam segala bidang keilmuan Islam.7
Selain disibukkan dengan kegiatan mengajar, Wahbah al-
Zuḥailī juga sangat produktif dalam menulis, mulai dari artikel dan
makalah, sampai kitab besar yang terdiri dari enam belas jilid. Badi‟
al-Sayyid al-Lahlam dalam biografi syaikh Wahbah al-Zuḥailī yang
ditulisnya dalam buku berjudul Wahbah al-Zuḥailī al-„Alim, al-
Faqih, al-Mufassir menyebutkan ada 199 karya tulis Wahbah al-
Zuḥailī selain jurnal.
7 Syafaat, “Telaah Terhadap Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Az-Zuhaili
tentang Konsep Poligami dalam Konteks Keadilan Jender”, Jurnal Penelitian
Kependidikan. No.1 (Juni, 2008), p. 24
21
Kitab yang membuat Wahbah al-Zuḥailī menjadi terkenal dan
banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran fiqih kontemporer
adalah Al-Fiqh Al-Islāmī Wa Adillatuh. Kitab ini berisi fiqih
perbandingan, terutama mażhab-mażhab fiqih yang masih hidup dan
diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia.8
Keberhasilan al-Zuḥailī di bidang akademik dan lainnya tidak
lepas dari guru-guru yang telah membimbingnya baik yang ada di
Syiria sendiri ataupun yang berada di luar Syiria. Guru-guru di
Damaskus dalam bidang ḥadīṡ dan ʻulūm al-ḥadīṡ yaitu Syaikh
Maḥmūd Yāsīn, Syaikh ʻAbd al-Razāq al-Humṣi dan Syaikh Hāsyim
al-Khaṭīb adalah guru di bidang fiqih dan fiqh al-syāfiʻi, Syaikh Luṭfī
al-Fayūmī yaitu guru di bidang Uṣūl al-Fiqh, muṣṭalaḥ al-ḥadīṡ dan
ʻllm al-Naḥw, Syaikh Hasan al-Syaṭī adalah guru dalam ilmu farāʼiḍ,
hukum keluarga dan hukum waqaf, Syaikh Ṣāliḥ al-Farfūri adalah
guru ilmu Bahasa Arab seperti balāgah dan sastra, Syaikh Maḥmūd
al-Rankūsī adalah guru di bidang ʻaqīdah dan ilmu kalam. Ilmu
Tafsir dipelajarinya dari Syaikh Ḥasan Ḥabnakah dan Syaikh Ṣadīq
Ḥabnakah al-Mīdānī. Wahbah al-Zuḥailī juga murid dari Doktor
8 Isnan Luqman Fauzi, “Syibhul „Iddah Bagi Laki-Laki Studi Analisis
Pendapat Wahbah Zuhaili” (Skripsi IAIN “Walisongo” Semarang, 2012), p. 38
22
Naẓam Maḥmūd Nasīmī pada bidang syarīʻah serta guru-guru
lainnya di bidang akhlāq, tajwīd, tilāwah, khiṭābah, hukum dan lain
sebagainya.9
Adapun di luar Damaskus, antara lain di Kairo-Mesir al-
Zuḥailī banyak mendapatkan ilmu dari Syaikh Muḥammad Abū
Zahrah, Syaikh Maḥmūd Syaltūt, ʻAbd al-Raḥman Tāj, Syaikh Isā
Mannūn dan Syaikh ʻAli Muhammad al-Khafif pada studi fiqih di
Fakultas Syarīʻah Universitas al-Azhar. Syaikh Jād al-Rab Ramaḍān,
Syaikh Maḥmūd ʻAbd al-Dāyim, Syaikh Muṣṭafā Mujahid dalam
ilmu fiqh al-syāfiʻi. Syaikh Muṣṭafā ʻAbd al-Khāliq, Syaikh ʻAbd al-
Ganī ʻAbd al-Khāliq, Syaikh ʻUṡmān al-Murāziqī, Syaikh Ḥasan
Wahdān, Syaikh al-Ẓawāhirī dalam bidang uṣūl al-fiqh. Sulaimān al-
Ṭamāwi, ʻAlī Yūnus, Syaikh Zakī al-Dīn Syuʻmān serta guru lain di
Universitas al-Azhar, Universitas Kairo serta Universitas ʻAin
Syam.10
Pada malam sabtu tanggal 8 Agustus tahun 2015 Wahbah al-
Zuḥailī menghembuskan nafas terakhirnya. Dunia Islam merasa
9 Muhammadun, “Wahbah Az-Zuhaili…., p. 234-235
10 Muhammadun, “Wahbah Az-Zuhaili…., p. 235
23
berduka cita karena kehilangan seorang ulama kontemporer panutan
dunia. Wahbah al-Zuḥailī meninggal dunia pada usia 83 tahun.11
B. Corak dan Metode al-Tafsīr al-Munīr
Sebelum membahas mengenai corak dan metode yang
digunakan di dalam al-Tafsīr al-Munīr, terlebih dahulu penulis akan
memberikan penjelasan tentang kitab ini. al-Tafsīr al-Munīr pertama
kali diterbitkan pada tahun 1991 M/1411 H oleh Dār al-Fikr Beirut
Libanon dan Dār al-Fikr Damaskus Syiriā yang berjumlah 16 jilid
dengan menggunakan bahasa arab.12
Tafsir ini ditulis selama rentang
waktu bertahun-tahun, kurang lebih selama 16 tahun (1975-1991 M),
setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Uṣūl al-Fiqh al-Islām
(2 jilid) dan Al-Fiqh Al-Islāmī Wa Adillatuh. (8 Jilid). al-Tafsīr al-
Munīr diselesaikan pada hari senin jam delapan pagi tanggal 13
Dzulqa‟dah 1408 H atau 27 Juni 1988 M, yang ketika itu usia
Wahbah al-Zuḥailī baru menginjak 56 tahun.13
Kitab tafsir ini telah
menyebar luas diberbagai negara, bahkan kitab ini pun telah
11
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir…..., p. 130 12
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhaylî Dalam Al-Tafsîr Al-Munîr”,
Mutawatir; Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Vol. 1, No. 2 (Desember, 2011), p.146 13
Ummu Hani, “Penafsiran kalimat Wadhribuhunna dalam QS. An-Nisa
dan Implementasinya; Studi Komparatif Antara Penafsiran Wahbah az-Zuhaili dan
Muhammad Qurasih Shihab” (Skripsi IAIN “Sunan Ampel” Surabaya, 2010), p. 24
24
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, Malaysia, dan Indonesia yang
telah diterbitkan oleh Gema Insani Jakarta 2013 yang terdiri dari 15
jilid.14
Al-Tafsīr al-Munīr ini mengkaji ayat-ayat Alquran secara
komprehensif dan lengkap, serta tidak hanya mengedepankan aspek
akidah dan syariah, tetapi juga mencakup dari berbagai aspek lain
yang menyebabkan tafsir ini terasa sangat luas wawasan
pengarangnya. Kemudian di akhir uraian tafsirnya, Wahbah al-
Zuḥailī selalu mengakhirinya dengan fiqh al-hayāt wa al-Aḥkam atau
living law.15
Jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir terdahulu (yang
sudah muncul sebelumnya) ataupun dengan tafsir yang baru. Tafsir
ini lebih lengkap dan lebih komprehensif serta mencakup semua
aspek yang dibutuhkan pembaca seperti asbāb al-nuzūl, I’rab,
balāgah, sejarah, wejangan, penetapan hukum-hukum, dan juga
pendalaman pengetahuan tentang hukum agamanya dijelaskan
dengan cara yang seimbang tanpa menyimpang dari topik utama.16
14
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Pengantar Cetakan Terbaru
(Jakarta: Gema Insani, 2013), cet 1, p.xiii 15
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
cet 2, p.435 16
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Pengantar Cetakan...., p.xiii
25
Adapun tujuan dari penyusunan kitab ini, Abdul Hayyie al-
Kattani menjelaskan bahwa tujuan utama Wahbah al-Zuḥailī adalah
menciptakan ikatan ilmiah yang erat antara seorang muslim dengan
Alquran al-Karim. Karena Alquran merupakan konstitusi kehidupan
umat manusia dan kaum muslimin secara khusus. Oleh sebab itu
Wahbah al-Zuḥailī tidak hanya menerangkan hukum-hukum fiqih
bagi berbagai permasalahan yang ada makna yang sempit yang
dikenal di kalangan para ahli fiqih. Wahbah al-Zuḥailī bermaksud
menjelaskan hukum-hukum yang disimpulkan dari ayat-ayat Alquran
dengan makna yang lebih luas, yang lebih dalam dari pada sekedar
pemahaman umum.17
1. Corak al-Tafsīr al-Munīr
Sholahuddin Hamid dalam karyanya yang berjudul “Study
Ulumul Quran” menjelaskan bahwa terdapat tujuh corak dalam
penafsiran. Di antaranya adalah Tafsīr bi al-Maʼṡūr, Tafsīr bi al-
Raʼyi, Tafsīr al-Fiqh, Tafsīr al-Ṣūfi, Tafsīr al-Falsafi, Tafsīr al-
‘Ilm, dan Tafsir adab al-Ijtimā’ī.18
17
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Kata Pengantar (Jakarta: Gema
Insani, 2013), cet 1, p.xv 18
Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: Intimedia
Ciptanusantara, 2014), cet 2, p. 332
26
Dalam penelitian skripsi Yayat Hidayatullah dijelaskan
bahwa corak penafsiran Wahbah al-Zuḥailī dalam al-Tafsīr al-
Munīr adalah bercorak kesastraan (adābi) dan sosial
kemasyarakatan (ijtimāʻi).19
Dalam penelitian skripsi Ahmad
Faroqi juga dijelaskan bahwa bentuk penafsiran Wahbah al-
Zuḥailī adalah gabungan dari bi al-riwāyat dan bi al-raʻyi.
Sedangkan metode penafsiran yang dipakai adalah metode
Tahlili. Dan corak penafsirannya adalah al-adabī al-ijtimāʻī
(sastra dan sosial kemasyarakatan) serta al-fiqhī (hukum-hukum
Islam). Hal ini dikarenakan, Wahbah al-Zuḥailī mempunyai besik
keilmuan dalam bidang fiqih. Namun, dalam tafsirnya beliau
menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti,
penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang
dan dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat.20
Jika dilihat dari beberapa macam corak yang telah
disebutkan di atas serta melihat analisa dari penilian penulis
lainnya, bahwa corak penafsiran Wahbah al-Zuḥailī adalah adab
Ijtimā’ī yaitu penafsiran ayat yang menjelakan tentang perubahan
19
Yayat Hidayatullah, “Mahabbatullah Dalam Al-Qur‟an (Kajian Tafsir
Al-Munir karya Wahbah Az-Zuhaili)” (Skripsi UIN “SMH” Banten, 2018), p. 19 20
Ahmad Faroqi, “Analisis Ayat-Ayat Mutasyabihat Tafsir Al Munir
Karya Wahbah Az-Zuhaili” (Skripsi UIN “Walisongo” Semarang, 2016), p.31
27
sosial-budaya yang terjadi di masyarakat dalam perspektif
Alquran, menjelaskan tentang fitrah kemanusiaan dan sebab-
sebab kemajuan kaum muslimin, kemudian disusun dengan
bahasa yang indah yang menekankan kepada tujuan Alquran.21
Serta adanya nuansa kefiqhian (fiqh) yakni karena adanya
penjelasan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Sehingga, bisa dikatakan corak penafsiran al-Tafsīr al-Munīr
adalah corak adabī ijtima’ī, dan corak fiqh.
2. Metode al-Tafsīr al-Munīr
a. Metode Penafsiran Wahbah al-Zuḥailī
Metode tafsir adalah suatu cara untuk memahami
makna isi kandungan Alquran secara mendalam dari berbagai
aspek, sehingga bisa memahami Alquran dengan benar. Dari
beberapa penafsiran Alquran yang berkembang di kalangan
ahli tafsir, para ulama menyimpulkan bahwa ada empat
macam metode yang digunakan oleh para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat suci Alquran yaitu:
(1) Metode Taḥlīlī, yaitu suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari
21
Shalahuddin Hamid, Study Ulumul…, p. 334
28
seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti
runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam
mushaf.22
(2) Metode Ijmālī, yaitu metode penafsiran Alquran
yang karakteristik utamanya menafsirkan Alquran
berdasarkan tertib mushaf, sebagaimana metode taḥlīlī tetapi
dengan uraian yang singkat dan jelas, serta memakai bahasa
yang sederhana.23
(3) Metode Mauḍūʻi (tematik) adalah suatu
cara penafsiran yang karakteristik utamanya menafsirkan
Alquran dengan upaya mencari jawaban Alquran tentang
suatu tema dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengannya, lalu menganalisanya lewat ilmu-ilmu
bantu yang relevan untuk kemudian melahirkan konsep yang
utuh tentang tema tersebut.24
dan (4) Metode Muqaran adalah
suatu metode penafsiran yang karakteristik utamanya
menafsirkan sekelompok ayat-ayat Alquran yang membahas
satu topik dengan membandingkan antara ayat dengan ayat,
ayat dengan hadis, baik isi maupun redaksinya, juga antara
22
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), cet
4, p.285 23
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu…, p.112 24
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu…, p.183
29
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
segi-segi perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan25
.
Di kalangan para ulama, keempat metode di atas
dikenal dengan metode modern, di mana dua metode, yaitu
taḥlīlī dan mauḍūʻi menurut Quraish Shihab adalah yang
paling populer. Dalam penelitian jurnal Ummul Aiman
menjelaskan bahwa penafsiran Wahbah al-Zuḥailī cenderung
mengambil pola modern, yaitu metode taḥlīlī (analitik) dan
menerapkan metode semi tematik. Sebagaimana yang
dimaksudkan oleh metode taḥlīlī (analitik) adalah suatu
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat Alquran
dari seluruh aspeknya.26
Jika dilihat dari penjelasan yang telah disebutkan di
atas serta melihat analisa dari penilian penulis lainnya bahwa
metode yang digunakan oleh Wahbah al-Zuḥailī ketika
menafsirkan Alquran adalah menggunakan Metode Taḥlīlī
yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan
segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai
25
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu…, p.199-200 26
Ummul Aiman, “Metode Penafsiran Wahbah al-Zuḥailī: Kajian al-
Tafsir al-Munir”, Jurnal Miqot. Vol. 36, No. 1 (Januari-Juni, 2012), p.9-10
30
urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf ʻUṡmāni,27
selain
menggunakan Metode Taḥlīlī Wahbah al-Zuḥailī juga dalam
penafsirannya menggunakan Metode Mauḍūʻi yaitu
menyebutkan tafsir ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan
suatu tema yang sama seperti jihad, hudud, waris, hukum-
hukum pernikahan, riba, khamar.28
b. Bentuk Penafsiran Wahbah al-Zuḥailī
Jika melihat dari bentuk penafsirannya ada tiga bentuk
penafsiran yang selama ini sering digunakan dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran yaitu:
1) Metode tafsir bi al-ma’ṡūr yaitu tata cara menafsirkan
ayat-ayat Alquran yang didasarkan atas sumber-sumber
penafsiran Alquran, hadis Rasul, riwayat sahabat dan
tabi‟in.
2) Metode tafsir bi al-ra’yi yaitu cara menafsirkan ayat-ayat
Alquran yang didasarkan atas sumber ijtihad dan
pemikiran mufassir terhadap tuntunan kaidah bahasa Arab
27
Shalahuddin Hamid, Study Ulumul…, p. 324-325 28
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Kata Pengantar (Jakarta: Gema
Insani, 2013), cet 1, p.xviii
31
dan kesusteraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia
menguasai sumber-sumber tadi.
3) Metode tafsir bi al-iqtirān (perpaduan antara bi al-
manqūl/bi al-ma’ṡūr dan bi al-ma’qūl/bi al-ra’yi) adalah
cara menafsirkan Alquran yang didasarkan atas
perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat dan
ṣaḥīḥ dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.29
Melihat penjelasan dari ketiga bentuk penafsiran
diatas, Abdul Hayyie al-Kattani menjelaskan bahwa Wahbah
al-Zuḥailī dalam penulisan tafsirannya menggunakan bentuk
penafsiran bi al-iqtirān, yaitu perpaduan antara bi al-
manqūl/bi al-ma’ṡūr dan bi al-ma’qūl/bi al-ra’yi.
Sebagaimana penjelasan Abdul Hayyie al-Kattani
bahwasannya penafsiran Wahbah al-Zuḥailī dalam al-Tafsīr
al-Munīr adalah ia mengkompromikan antara ma’ṡūr dan
ma’qul, yang ma’ṡūr adalah riwayat dari hadis Nabi dan
perkataan para salaf al-ṣālih, sedang yang ma’qul adalah
29
Dessy Nurul Nikmah, “Saksi-Saksi Di Hari Kiamat Dalam Al-Qur‟an;
Kajian Tematik dalam Kitab al-Tafsīr al-Munīr Karya Wahbah al-Zuḥailī” (Tesis
UIN “Sunan Ampel” Surabaya, 2017), p. 30
32
yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah diakui, yang
terpenting diantaranya ada tiga:
1) Penjelasan nabawi yang ṣaḥīḥ, dan perenungan secara
mendalam tentang makna kosa kata Alquran, kalimat,
konteks ayat, sebab-sebab turunnya ayat, dan pendapat
para mujtahid, ahli tafsir dan ahli hadis kawakan, serta
para ulama yang ṡiqah.
2) Memperhatikan wadah Alquran yang menampung ayat-
ayat Kitabullah yang mukjizat hingga kiamat, yakni
bahasa Arab, dalam gaya bahasa tertinggi dan susunan
yang paling indah, yang menjadikan Alquran istimewa
dengan kemukjizatan gaya bahasa, kemukjizatan ilmiah,
hukum, bahasa, dan lain-lain, dimana tidak ada kalam lain
yang dapat menandingi gaya bahasa dan metodenya.
3) Memilih berbagai pendapat dalam buku-buku tafsir
dengan berpedoman kepada maqāṣid syariat yang mulia,
yakni rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan yang ingin
direalisasikan dan dibangun oleh syariat.30
30
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Pengantar Cetakan...., p.xiii-xiv
33
c. Metode Penulisan al-Tafsīr al-Munīr
Metode atau kerangka pembahasan kitab tafsir ini,
Wahbah al-Zuḥailī meringkas sebagai berikut:
1) Membagi ayat-ayat Alquran ke dalam satuan-satuan topik
dengan judul-judul penjelas.
2) Menjelaskan kandungan setiap surah secara global.
3) Menjelaskan aspek kebahasaan.
4) Memaparkan sebab-sebab turunnya ayat (asbāb al-nuzūl)
dalam riwayat yang ṣaḥīḥ dan mengesampingkan riwayat
yang lemah, serta menerangkan kisah-kisah para Nabi dan
persitiwa-peristiwa besar Islam, seperti perang Badar dan
Uhud, dari buku-buku sirah yang paling dapat dipercaya.
5) Tafsir dan penjelasan
6) Hukum-hukum yang dipetik dari ayat-ayat
7) Menjelaskan balāgah dan I’rabnya, agar hal itu dapat
membantu untuk menjelaskan makna bagi siapa pun yang
menginginkannya, tetapi dalam hal ini Wahbah al-Zuḥailī
menghindari istilah-istilah yang menghambat pemahaman
34
tafsir bagi orang yang tidak ingin memberi perhatian
kepada aspek tersebut.31
C. Karya-karya Wahbah al-Zuḥailī
Wahbah al-Zuḥailī sangat produktif dalam menulis. Mulai
dari diktat perkuliahan, artikel untuk majalah dan koran, makalah
ilmiah, sampai kitab-kitab besar yang terdiri atas enam belas jilid,
seperti kitab al-Tafsīr al-Munīr. Ini menyebabkan Wahbah al-Zuḥailī
juga layak disebut sebagai ahli tafsir. Bahkan, ia juga menulis dalam
masalah aqidah, sejarah, pembaharuan pemikiran Islam, ekonomi,
lingkungan hidup, dan bidang lainnya.
Wahbah al-Zuḥailī banyak menulis buku, dan artikel dalam
berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 200 buah buku dan jika
digabungkan dengan tulisan-tulisan kecil lebih dari 500 judul. Satu
usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama saat ini. Wahbah al-
Zuḥailī diibaratkan sebagai al-Suyuti kedua (al-Suyuṭī al-Ṡānī) pada
zaman ini jika dipadankan dengan Imam al-Suyuti. Diantara buku-
bukunya adalah sebagai berikut:
31
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Kata Pengantar…, p.xviii
35
1. Dalam Bidang al-Qurʼān dan ʻUlūm al-Qurʼān
Karya Wahbah al-Zuḥailī dalam bidang al-Qurʼān dan
ʻUlūm al-Qurʼān yaitu: (1) Al-Tafsīr al-Munīr fi al-ʻAqīdah wa
al-Syarīʻah wa al-Manhaj. (2) Al-Tafsīr al-Wajīz ʻala hāmsy al-
Qurʼān al-ʻAẓīm wa Maʻahu Asbāb al-Nuzūl Waqawāʻid al-
Tartil. (3) Al-Tafsīr al-Wajīz wa Muʻjam Maʻānī al-Qurʼān al-
ʻAzīz. (4) Al-Qurʼān al-Karīm Bunyatuhu al-Tasyrīʻiyyah wa
Khaṣāʼiṣuh al-Ḥaḍāriyah. (5) Al-ʼIjāz al-ʻIlmi fi al-Qurʼān al-
Karīm. (6) Al-Qirāʼāt al-Mutawātirah wa Ᾱṡaruha fī al-Rasm al-
Qurʼānī wa al-Aḥkām al-Syarʻiyah. (7) Al-Qiṣṣah al-
Qurʼāniyyah Hidāyah wa Bayān. (8) Al-Qiam al-Insāniyyah fī al-
Qurʼān al-Karīm. (9) Al-Qurʼān al-Wajīz Sūrah Yāsin wa Jūz
ʻAmma
2. Dalam Bidang Fiqh dan Uṣūl Fiqh
Karya Wahbah al-Zuḥailī dalam bidang Fiqh dan Uṣūl
Fiqh yaitu: (1) Āṡār al-ḥarb fī al-Fiqh al-Islāmī. (2) Uṣūl al-Fiqh
al-Islāmī 1-2. (3) Al-ʻUqūd al-Musamāh fī Qānūn al-Muʻāmalāt
al-Madaniyyah al-Imārātī wa al-Qānūn al-Madanī al-Ardanī. (4)
Al-Fiqh al-Islāmī Wa Adillatuh al-Jūz at-Tāsiʻ al-Mustadrak. (5)
Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh (8 jilid). (6) Naẓriyah al-Ḍamān
36
au Aḥkām al-Masʼūliyyah al-Madaniyyah wa al-Jināʼiyyah fī al-
Fiqh al-Islāmī. (7) Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh. (8) Al-Waṣāyā wa
al-Waqaf fī al-Fiqh al-Islāmī (9) Al-Istinsākh Jadl al-ʻIlm wa al-
Dīn wa al-Akhlāq. (10) Naẓriyah al-Ḍarūrah al-Syarʻiyyah
Muqāranah maʻa al-Qānūn al-Waḍʻī. (11) Al-Tamwīl wa Sūq al-
Awrāq al-Māliyah al-Būrṣah. (12) Khiṭābāt al-Ḍamān. (13) Baiʻ
al-Asham. (14) Baiʻ al-Taqsīṭ. (15) Baiʻ al-Dain fī al-Syarīʻah al-
Islāmiyyah. (16) Al-Buyūʻ wa Ᾱṡāruha al-Ijtimāʻiyyah al-
Muʻāṣirah. (17) Al-Amwāl allati Yasiḥḥu Waqfuha wa Kaifiyat
Ṣarfiha. (18) Asbāb al-Ikhtilāf wa Jihāt al-Naẓr al-Fiqhiyyah.
(19) Idārah al-Waqf al-Khairī. (20) Aḥkām al-Mawād al-Najsah
wa al-Muḥramah fi al-Gażā wa al-Dawāʼ. (21) Aḥkām al-
Taʻāmul maʻa al-Maṣārif al-Islāmiyyah. (22) Al-Ijtihād al-Fiqhī
al-ḥadīṡ Munṭalaqātuhu wa Ittijāhātuhu. (23) Al-Ibrāʼ min al-
Dain. (24) Al-Dain wa al-Tufāʼil maʻa al-ḥayāh. (25) Al--Żarāʼiʻ
fī al-Siyāsah al-Syarʻiyyah wa al-Fiqh al-Islāmī. (26) Ṣūr min
ʻUrūḍ al-Tijārah al-Muʻāṣirah wa Aḥkām al-Zakāh. (27) Al-ʻUrf
wa al-ʻᾹdah. (28) Al-ʻUlūm al-Syarʻiyyah baina al-Waḥdah wa
al-Istiqlāl. (29) Al-Mażhab al-Syāfiʻī wa Mażahabuhu al-Wasīṭ
baina al-Mażāhib al-Islāmiyyah. (30) Nuqāṭ al-Iltiqāʼ baina al-
37
Mażāhib al-Islāmiyyah. (31) Al-Masʼūliyyah al-Jināʼiyyah li
Maraḍī al-Jinsi al-Īdāż. (32) Manāhij al-Ijtihād fi al-Mażāhib al-
Mukhtalifah. (33) Al-ʻAlāqāt al-Dauliyyah fī al-Islām
Muqāranah bi al-Qānūn al-Daulī al-Ḥadīṡ. (34) Al-Rukhaṣ al-
Syarʻiyyah Aḥkāmuhā Ḍawābiṭuhā. (35) Tajdīd al-Fiqhi al-
Islāmī. (36) Al-Fiqh al-Mālikī al-Muyassr jūz 1, jūz 2. (37) Ḥukm
Ijrāʼ al-ʻUqūd bi Ᾱlāt al-Ittiṣāl al-Ḥadīṡah. (38) Zakāt al-Māl al-
ʻĀm. (39) Al-ʻAlāqāt al-Dauliyyah fī al-Islām. (40) ʻĀʼid al-
Istiṡmār fī al-Fiqh al-Islāmī. (41) Tagayyur al-Ijtihād. (42)
Taṭbīq al-Syarīʻah al-Islāmiyyah. (43) Uṣūl al-Fiqh wa Madāris
al-Baḥṡ fīhi. (44) Baiʻ al-ʻUrbūn. (45) Al-Taqlīd fi al-Mażāhib
al-Islāmi ʻinda al-Sunnah wa al-Syīʻah. (46) Uṣūl at-Taqrīb
baina al-Mażāhib al-Islāmiyyah. (47) Aḥkām al-Ḥarb fī al-Islām
wa Khaṣāʼiṣuha al-Insāniyah. (48) Ijtihād al-Tābiʻīn. (49) Al-
Bāʻiṡ ʻala al-ʻUqūd fī al-Fiqh al-Islāmī wa Uṣūlihi. (50) Al-Islām
Dīn al-Jihād lā al-ʻUdwān. (51) Al-Islām Dīn al-Syūrā wa al-
Dīmuqrāṭiyyah.
38
3. Karya-Karya di Bidang Ḥadīṡ dan ʻUlūm al-Ḥadīṡ
Karya Wahbah al-Zuḥailī dalam bidang ḥadīṡ dan ʻUlūm
al-ḥadīṡ yaitu: Al-Muslimīn al-Sunnah al-Nabawiyyah al-
Syarīfah, ḥaqīqatuhā wa Makānatuha ʻinda Fiqh al-Sunnah al-
Nabawiyyah.
4. Karya-Karya di Bidang Aqidah Islam
Karya Wahbah al-Zuḥailī dalam bidang Aqidah Islam
yaitu: (1) Al-Īmān bi al-Qaḍāʼ wa al-Qadr. (2) al-Badʻi al-
Munkarah.
5. Karya-Karya di Bidang Dirāsah Islāmiyyah
Karya Wahbah al-Zuḥailī dalam bidang Dirāsah
Islāmiyyah yaitu: (1) Al-Khaṣāiṣ al-Kubrā li Huqūq al-Insān fi
al-Islām wa Daʻāʼim al-Dīmuqrāṭiyyah al-Islāmiyyah. (2) Al-
Daʻwah al-Islāmiyyah wa Gairu al-Muslimīn, al-Manhaj wa al-
Wasīlah wa al-Hadfu. (3) Tabṣīr al-Muslimīn li Goirihim bi al-
Islāmi, Aḥkāmuhu wa Ḍawābiṭuhu wa Ᾱdābuhu. (4) Al-Amn al-
Gażāʼī fī al-Islām. (5) Al-Imām al-Suyūṭī Mujadid al-Daʻwah ila
al-Ijtihād. (6) Al-Islām wa al-Īmān wa al-Iḥsān. (7) Al-Islām wa
Taḥdiyāt al-ʻAṣri, al-Taḍakhum al-Naqdī min al-Wajhah al-
Syarʻiyyah. (8) Al-Islām wa Gairu al-Muslimīn 9. Al-Mujaddid
39
Jamāluddīn al-Afgānī wa Iṣlāḥātuhu fī al-ʻᾹlām al-Islāmī. (10)
Al-Muharramāt wa Ᾱṡārūha al-Saiʼah ʻala al-Mujtamaʻ. (11) Al-
Daʻwah ʻala Manhāj al-Nubuwwah. (12) Ṭarīq al-Hijratain wa
Bāb al-Saʻādatain. (13) Al-Usrah al-Muslimah fī al-ʻᾹlam al-
Muʻāṣir. (14) Haq al-Ḥurriyyah fi al-ʻĀlam. (15) Al-Ṡaqāfah wa
al-Fikr. (16) Al-Qaīm al-Islāmiyyah wa al-Qaīm al-Iqtiṣādiyyah.
(17) Taʻaddud al-Zaujāt al-Mabdaʼ wa al-Naẓriyyah wa al-
Taṭbīq. (18) Manhaj al-Daʻwah fī al-Sīrah al-Nabawiyyah. (19)
Al-ʻllm wa al-Īmān wa Qaḍāyā al-Sabāb. (20) Żikr Allah Taʻāla.
(21) Rūh al-Zamān juz 1 Al-ʻAṣāb.
Karya intelektual Wahbah al-Zuḥailī yang lain adalah
berupa jurnal ilmiah dan majalah-majalah yang diterbitkan di
berbagai negara. Dari kesekian banyak karya al-Zuḥailī ini,
nampak karya al-Zuḥailī dalam bidang fiqih lebih dominan
dibanding dengan karya-karyanya yang lain.32
32
Muhammadun, “Wahbah Al-Zuhaili..., p.235-237
40
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG GOLONGAN
ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH
A. Pengertian Cinta
Dalam bahasa Arab kata ḥubb (حب) merupakan bentuk
maṣdar dari ḥabba-yuhibbu ( يحب-حب ) yang berarti kecenderungan
hati kepada sesuatu. Kecenderungan itu dapat berupa keinginan yang
timbul karena adanya manfaat yang bisa diperoleh daripadanya dan
bisa pula karena adanya persamaan persepsi satu sama lain. Kata
kerja yuḥibbu yang tidak dirangkaikan dengan lā al-nāfiyah ( لا
yaitu lafad yang digunakan untuk menyatakan tidak, dan ,(النافية
menempatkan lafẓu al-jalālah (لفظالجلالة). Ungkapan bahwa “Allah
mencintai hamba-Nya” berarti Dia memberikan nikmat, keridhaan,
dan pahala kepada mereka.1
1 M. Quraish Shihab, Ensklopedia Alquran: Kajian Kosa Kata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet 1, p.314
41
Menurut Imam al-Ghazali maḥabbah adalah kecenderungan
hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Ghazali
adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi
maḥabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya maḥabbah kepada
Tuhan.2
Sedangkan menurut seorang pemimpin sufi berkata: “Cinta
itu ada dua: pertama, cinta yang hanya dalam pengakuan saja, cinta
yang demikian berada pada setiap manusia. Kedua, cinta yang
dihayati dan diserapi di dalam hati karena keluar dari lubuk hati.
Cinta yang demikian akan membawa pengorbanan dengan tidak
melihat kepentingan atau keuntungan yang akan didapat, baik oleh
diri orang itu sendiri maupun untuk selainnya. Cinta yang demikian,
adalah cinta yang sebenar-benarnya dan semata-mata hanya dari,
karena dan untuk Allah.3
Ibnu Athaillah as-Sakandari juga mengatakan bahwa
اض وعهبوبحمهاموجرىيذلابحالمسيل ناافض رغهنمبلطيوا
هللذبتهمبحمالسيلكللذبيهمبحمال
“Bukanlah pecinta sejati yang meminta sesuatu kepada orang yang
dicintainya. Tetapi pecinta sejatimu adalah yang berkorban untuk
2 Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), cet 2, p.133
3 M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali (Jakarta:
Hikmah, 2009), cet 1, p.271
42
kemanfaatan dirimu, dan bukan yang engkau berkorban untuk
dirinya”.
Maksudnya adalah bukanlah pecinta sejati yang
mengharapkan sesuatu dari orang yang dicintainya, sebagaimana
dengan amal ibadahmu engkau mengharapkan surga, selamat dari api
neraka, atau mendapatkan kemanfaatan dunia dan akhirat.
Sesungguhnya pecinta sejatimu adalah orang yang mengorbankan
dirinya untuk kemanfaatan dan kebaikan dirimu, bukan yang
mengharapkan sesuatu darimu. Oleh karena itu, barang siapa yang
beribadah kepada Allah karena mengharapkan surga-Nya, maka
sebenarnya ia tidak mencintai Allah.4
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan
bahwasannya makna cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu
yang dicintainya sehingga dapat menimbulkan rasa cinta dan rasa
ingin selalu dekat bersama mahbubnya (sesuatu yang dicintainya)
dalam situasi apapun serta rela berkorban demi mahbubnya tanpa
mengharapkan imbalan atau keuntungan yang akan didapat darinya,
karena ia melakukan segalanya semata-mata karena Allah Ta‟ala.
4 Ibnu Athaillah as-Sakandari, Terjemah Kitab Al-Hikam, terj.
Muhammad Farid Wajdi (Yogyakarta: Mutiara Media, 2015), cet 1, p.231
43
Apabila hati seseorang jatuh cinta, maka ia akan condong
kepada yang dicintainya dan berusaha mendekatinya serta berjuang
untuk meraihnya dengan berbagai cara. Dan ketika itu, yang paling ia
benci adalah setiap yang menghalangi atau yang merusak cintanya
terhadap kekasih yang dicintainya itu. Maka orang yang mencintai
hidayah, pasti ia membenci kesesatan. Orang yang menyenangi
istiqomah, tentu ia akan memusuhi penyimpangan, begitu seterusnya.
Dan ketika seseorang membenci sesuatu, maka di hatinya muncul
rasa ingin menjauhi atau lari dari yang dibencinnya atau muncul
keinginan untuk mencoba melenyapkannya.5 Dan orang yang
memiliki cinta sejati kepada Allah, maka harus mencintai setiap jalan
dan sarana yang mengantarkannya kepada mahabatullah dengan cara
menaati-Nya. Menaati-Nya berarti melaksanakan yang wajib dan
yang sunnah serta meninggalkan yang haram dan yang makruh.6
Adapun pertanda kecintaan orang-orang mu‟min kepada
Allah ialah mereka menaati perintah-Nya dan lebih memprioritaskan
ketaatan demi meraih ridha-Nya. Dan pertanda kecintaan Allah
kepada orang-orang mu‟min ialah pujian Allah kepada mereka,
5 Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyah:
Menggapai Cinta Ilahi, terj. Nabani Idris (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet
1, p.1 6 Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyah…., p.2
44
memberikan pahala, ampunan-Nya dan nikmat-Nya kepada mereka
berkat rahmat, pemeliharaan, dan taufik dari-Nya.7
Kecintaan Allah kepada hamba-Nya terlihat dari pujian-Nya
kepadanya dengan kata-kata yang indah, sehingga makna cinta-Nya
kepada hamba-Nya yang diungkapkan dalam pujian-Nya akan
kembali pada firman-Nya, sedangkan firman Allah adalah qādim
(Maha Dahulu). Para ulama sufi berkata: “Kecintaan Allah kepada
hamba-Nya termasuk sifat perbuatan-Nya, yaitu suatu kebaikan
khusus yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, dan suatu tingkat
teristimewa yang Allah angkat, sebagaimana yang dikatakan oleh
sebagian mereka, „Sesungguhnya rahmat Allah kepada hamba-Nya
adalah nikmat yang diberikan kepadanya”.8
B. Golongan Orang-Orang yang Dicintai Allah
1. Orang-Orang yang Berbuat Baik (muḥsinīn)
....
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”
(QS. al-Māidah: 148)
7 Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad al-Ghazali, Menguak Rahasia
Qalbu, terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), cet 1, p.72 8 Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi, Risalah
Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, terj. Umar Faruq (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007)
45
Yaitu mereka yang banyak melakukan kebaikan dengan
cara yang ihsan.9 Kata ihsan berasal dari “ḥusn” maknanya
adalah indah atau bagus. Atas dasar makna ini, maka ihsan dalam
agama mempunyai makna membaguskan atau memperindah lahir
dengan cara kepatuhan totalitas kepada syari‟at Allah dan
membaguskan atau memperindah batin dengan cara
menyempurnakan ikhlas, mahabbah dan ketundukan kepada
Allah SWT.10
Orang-orang muḥsin adalah mereka yang melakukan
perbuatan ihsan dengan taat. Mereka beramal dengan ikhlas
kepada Allah. Patuh terhadap perintah-Nya, mengikuti syariat-
Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Mereka mengikuti syariat yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah yang membawa
petunjuk dan agama yang benar. Adil jika berhukum dan
mengeluarkan kata-kata baik jika berkata.11
Mereka adalah orang-orang yang mengeluarkan harta di
jalan Allah untuk mendekatkan diri dan taat kepada Allah.
9 Atabik Lutfi, Tafsir Tazkiyah: Tadabur Ayat-Ayat untuk Pencerahan
dan Penyucian Hati (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet 1, p. 138 10
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyah…., p.76 11
Adnan Tharsyah, Manusia yang Dicintai dan Dibenci Allah; Kunci-
Kunci Menjadi Kekasih Allah (Bandung: Mizan Pustaka, 2018), cet 1, p.81
46
Terutama, mereka mengeluarkan harta untuk membunuh musuh.
Mereka mencurahkan segala hal, agar umat Islam menjadi kuat
dari musuhnya. Mereka pun berbaik sangka kepada Allah,
mengeluarkan sedekah dalam keadaan senang dan susah, sempit
dan lapang, senang dan benci, sehat dan sakit, serta kondisi-
kondisi lainnya. Mereka tidak bisa dilapangkan dari ketaatan
kepada Allah. Memberikan sedekah kepada orang sakit dan
berbuat baik kepada sesama dengan bermacam-macam kebaikan,
baik kepada keluarga maupun orang lain.12
Mereka adalah orang-orang yang menahan amarah. Jika
amarah datang, mereka menutupinya dan tidak melaksanakannya.
Mereka tidak marah kepada orang lain. Namun, mereka menahan
amarah tersebut dan mengembalikan segalanya kepada Allah.
Mereka selalu memaafkan orang lain. Di samping tidak
melakukan kejelekan, mereka pun selalu memaafkan orang yang
menzalimi diri mereka. Dengan demikian, di dalam diri mereka
tidak ada dendam sedikit pun.13
....
12
Adnan Tharsyah, Manusia yang Dicintai…, p.81 13
Adnan Tharsyah, Manusia yang Dicintai…, p.82
47
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang berbuat baik” (QS. al-Taubah: 120).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasannya Allah tidak akan
menyia-nyiakan pahala bagi orang-orang yang melakukan
kebaikan. Dengan ujung ayat kalimat muḥsinīn, yang berarti
orang-orang yang berbuat baik. Maksudnya ialah bahwa segala
amalan itu dikerjakan dengan kesungguhan, bersungguh-sungguh
dan hati-hati, dan selalu ditingkatkan mutunya.14
Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Saw tentang al-
ihsan (perbuatan baik), maka Rasulullah Saw menjawab: “Kamu
beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika
kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”.15
Imam
al-Nawawi berkata, “Maksud perkataan tersebut adalah anjuran
agar ikhlas dalam beribadah, dan seorang hamba merasa dilihat
oleh Rabbnya didalam menyempurnakan kehusyu‟an,
ketundukan, dan lain-lain.16
14
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet ke 1,
p.84-85 15
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan Masykul Al-
Bukhāri (Bairut: Dar al-Fikr), p.173 16
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik Mereka yang Dicintai Allah
Berdasarkan Alquran dan As-Sunnah (Jakarta: Darul Haq, 2017), cet 7, p.47-48
48
Dan Allah memerintahkan kita untuk melakukan
perbuatan ihsan. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Naḥl:
90
.....
“Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan ihsan”. (QS. al-
Naḥl: 90).
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa iḥsān adalah
“Menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila
engkau tidak melihatnya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
Dengan demikian, perintah iḥsān bermakna perintah melakukan
segala aktivitas positif seakan-akan kamu melihat Allah, paling
tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya.17
2. Orang-Orang yang Bertaubat (tawwābīn)
....
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan
orang-orang yang membersihkan diri”. (QS. al-Baqarah: 222).
Taubat (dari asal kata tāba-yatūbu-taubatan) secara
bahasa berarti kembali. Yakni, kembalinya seorang hamba
kepada Allah dari segala perbuatan dosa yang pernah
17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet ke
4, p.699
49
dilakukannya. Dari makna tersebut bisa dipahami bahwa taubat
mempunyai fungsi untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.18
Taubat juga ialah kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat-
sifat terpuji.19
Dan orang yang selalu bertaubat adalah orang yang
senantiasa kembali kepada Allah, kembali kepada Allah setelah
bermaksiat kepada-Nya. Kembali untuk melaksanakan perintah-
Nya setelah ia menyelisihi perintah-Nya. Setiap dosa itu akan
menjauhkan seseorang dari Allah, dan akan memutuskan
hubungannya dengan Rabbnya.20
“Sesungguhnya Aku telah
menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus,
namun setan datang kepada mereka, lalu membelokkan mereka
dari agama mereka”.21
Perlu kita ketahui bahwa kewajiban taubat itu sudah jelas
dan nyata baik dari hadis-hadis Nabi maupun ayat-ayat Alquran.
Bagi orang yang terbuka mata hatinya dan dilapangkan dadanya
18
Abdul Halim Fathani, Ensiklopedia Hikmah: Memetik Buah Kehidupan
di Kebun Hikmah (Jogjakarta: Darul Hikmah, 2008), cet ke 1, p.410 19
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, Jalan ke Surga, terj.M. Yaniyullah
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), cet ke 1, p.37 20
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.19 21
Imam Nawawi dan Imam Qasthalani, Hadis Qudsi (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2018) p.19
50
oleh Allah dengan cahaya iman, hal itu menjadi sangat jelas
baginya.22
Di dalam Alquran Allah berfirman dalam surat al-Nūr
ayat 31
....
“...Bertaubatlah kalian seluruhnya kepada Allah wahai orang-
orang yang beriman agar kalian beruntung”
Lakukanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu
berupa sifat-sifat yang indah dan akhlak-akhlak yang mulia.
Tinggalkanlah kebiasaan kaum Jahiliyyah yang memiliki akhlak
dan sifat tercela, karena kemenangan hanya dapat diraih dengan
mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya
serta meninggalkan apa yang telah dilarang oleh Allah dan
Rasulnya.23
Allah juga berfirman dalam surat al- Taḥrīm ayat 8
....
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada
Allah dengan taubat nasuha”
22
Imam Al-Ghazali, Taubat: Media Pengampunan dan Pembersih Dosa,
terj. Moh. Syamsi Hasan (Surabaya: Amelia Surabaya, 2006), cet ke 1, p.7 23
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh,
Tafsir Ibnu Katsir (Bogor: Pustaka Imam As-Syafi‟I, 2004), cet 5, p.95
51
Yaitu taubat yang sebenar-benarnya dengan tekad yang
penuh, yang dapat menghapuskan berbagai keburukan yang
pernah dilakukan sebelumnya, yang akan menyatukan dan
mengumpulkan orang yang bertaubat, juga menahan dirinya dari
berbagai perbuatan hina.
Oleh karena itu, para ulama mengatakan: “Taubat nasuha
adalah bertekad untuk meninggalkan dosa yang akan datang dan
menyesali dosa-dosa yang telah lalu, dan kemudian berkeinginan
keras untuk tidak mengerjakannya kembali di hari-hari
berikutnya”.24
Hujjatul Islam Al-Ghazali mengatakan, “Barang siapa
yang tidak bersegera untuk melakukan taubat dan selalu
menunda-nundanya, ia akan berada dalam dua kemungkinan
bahaya besar: (1) kegelapan dosa bertumpuk-tumpuk menutupi
hati sehingga menghalanginya dan sulit terhapus; dan (2)
kepadanya akan disegerakan datang penyakit atau kematian
sehingga ia tidak menemukan waktu senggang lagi untuk
menyibukkan diri guna menghapusnya”25
24
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh,
Tafsir Ibnu…, p.230 25
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, Jalan ke…., p.45
52
Orang yang melakukan taubat adalah manusia terbaik
seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Saw: “Setiap manusia itu
pasti bersalah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah ialah
yang bertaubat”.26
Taubat kepada Allah merupakan amal yang
terbaik dalam mendekatkan diri kepada Allah, karena taubat
mengantarkan kita kepada kedudukan tertinggi dan kedudukan
tertinggi adalah mahabatullah Allah.27
Dan orang yang melakukan taubat juga akan
menghasilkan penolakan terhadap bahaya yang amat besar, yakni
siksa akibat menentang perintah-perintah Allah dan mengerjakan
larangan-Nya. Tidak ada penyelamatan dari siksa akibat dosa itu
kecuali dengan memohon ampun secara sungguh dengan
menyesal dan bersedih atas tindakan dosa yang telah berlalu.28
Sayid Syekh Abdul Qadir al-Jailani ra mengatakan bahwa
syarat-syarat taubat itu ada tiga yaitu:
a. Menyesali atas segala perbuatan yang telah dilakukan.
b. Meninggalkan dosa dalam semua waktu dan keadaan.
26
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Jami’ Al-Tirmidzi
(Riyad: Bait al-Afkar al-Dauliyah), p.406 27
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.145 28
Syaikh Yahya ibn Hamzah al-Yamani, Pelatihan Lengkap Tazkiyatun
Nafs, terj. Maman Abdurrahman Assegaf (Jakarta: Zaman, 2012), cet ke 1, p.375
53
c. Tidak akan kembali kepada perbuatan maksiat dan
kesalahan.29
3. Orang-Orang yang Menyucikan Diri (mutaṭahhirīn)
....
“...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat
dan menyucikan diri” (QS. al-Baqarah: 222).
Dari Anas bin Malik, bahwasannya ketika ayat ini
diturunkan, rasulullah Saw bersabda: “Wahai kaum Anshar,
sesungguhnya Allah telah memuji kalian dalam hal kebersihan
kalian, apakah (sebenarnya) kebersihan kalian itu?” Mereka
berkata: “Kami berwudhu untuk menegakkan shalat, mandi
karena junub dan membersihkan kotoran dengan air.”
Rasulullah Saw bersabda, “Ya memang itulah, maka kalian
peliharalah”.
Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang menyucikan
diri itu senantiasa membersihkan hadats kecil dan hadats besar
dengan menggunakan air, demikian pula dalam membersihkan
najis dengan air.30
29
Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, Pribadi Muslim
(Kendal: PT. Karya Toha Putra, 1992), p.161 30
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.31-32
54
Secara etimologi, ṭaharah berarti suci dan bersih dari
segala kotoran baik lahir maupun batin. Adapun makna ṭaharah
secara terminologi berarti lenyapnya perkara penghalang sahnya
shalat, yaitu hadats atau najis.31
Sebelum menunaikan shalat setiap muslim diwajibkan
untuk bersuci ketika hendak melaksanakan ibadah baik wajib
ataupun Sunnah. Ṭaharah sendiri hukumnya wajib berdasarkan
Alquran dan Sunnah. Allah Swt berfirman:
31
Nor Hadi, Panduan Shalat dalam Keadaan Darurat (Bandung: Ruang
Kata Imprint Kawan Pustaka, 2012), cet ke 1, p.48
55
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
(QS. al-Mā‟idah: 6).
Ulama membagi ṭaharah menjadi dua bagian, yakni
ṭaharah lahir dan ṭaharah batin.32
a. Ṭaharah lahir adalah bersuci dari najis dan hadats. Ṭaharah
dari najis dilakukan dengan cara menghilangkan najis
(dengan air suci dan menyucikan) dari pakaian, tempat shalat,
atau badan orang yang hendak shalat. Adapun ṭaharah dari
hadats dilakukan dengan cara berwudhu, mandi, atau
tayamum.
b. Ṭaharah batin ialah membersihkan jiwa dari pengaruh dosa
dan maksiat dengan cara bertobat dengan sungguh-sungguh
dari semua dosa dan maksiat. Salah satu cara ṭaharah batin
adalah dengan cara memperbanyak istighfar dan melakukan
32
Nor Hadi, Panduan Shalat dalam…, p.48-49
56
amal shaleh lainnya dengan ikhlas dan mengharap ridha
Allah semata.
4. Orang-Orang yang Bertaqwa (muttaqīn)
....
“...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”
(QS. al-Taubah: 7).
Takwa adalah kamu membuat jarak yang jauh antara diri
dengan siksa Allah Swt dengan cara melaksanakan semua
perintah-Nya dan meninggalkan setiap larangan-Nya dan mampu
mempertahankan diri dalam perintah Allah.33
Menurut Abdullah
bin Mas‟ud ra berkata: “Takwa adalah menaati Allah tanpa
maksiat kepada-Nya, diingat tidak dilupakan, disyukuri dan tidak
dikufuri”.34
Jadi orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu
menaati perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh
Allah, mereka yang bertakwa akan selalu mengingat Allah dan
tidak melupakan-Nya, karena mereka yang melupakan-Nya ialah
mereka yang selalu melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya,
33
Mahran Mahir Utsman, Serba 3 dari Nabi Muhammad: 3 Amalan yang
Paling Dicintai Allah, 3 Dosa yang Paling Besar Disisi Allah, 3 Doa Penting
Setelah Shalat, terj. Abdullah Abbas (Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet 1, p.70 34
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.89
57
jika kita selalu mengingat Allah kita tidak akan bermaksiat
kepada-Nya. Dan kita selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh
Allah dan tidak mengkufuri apa yang telah diberikan oleh Allah.
Orang-orang yang bertakwa adalah kekasih-kekasih Allah,
mereka itu adalah makhluk yang paling mulia disisi Allah. Allah
Swt berfirman:
.....
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS. al-Ḥujurāt: 13).
Yang membedakan derajat kalian di sisi Allah bukanlah
keturunan ataupun harta kalian, akan tetapi Allah membedakan
derajat kalian di sisi Allah hanyalah ketakwaan dengan melihat
hati dan amal perbuatan kalian.35
Seperti yang disabdakan oleh
Rasulullah Saw bahwasannya “Sesungguhnya Allah tidak melihat
kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia hanya
memandang kepada amal dan hati kalian”.36
35
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh,
Tafsir Ibnu…, p.496 36
Abu Abdullah Muhamma bin Yazid Al-Qazini Ibnu Majah,
Ensiklopedia al-Kutub al-Sittah Sunan Ibnu Majah, terj. Saifuddin Zuhri (Jakarta:
Almahira, 2013), cet ke 1, p.755
58
Dan Allah juga telah memerintahkan kepada manusia
agar bertakwa
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya
kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat
besar (dahsyat).” (QS. al-Ḥajj: 1).
Perintah bertakwa kepada Allah berarti perintah untuk
menghindarkan diri dari ancaman atau siksa-Nya. Bagi kaum
musyrikin, penghindaran itu dimulai dengan beriman kepada-Nya
serta mengakui keesaan-Nya untuk kemudian bergabung dengan
kaum muslimin dengan melaksanakan perintah-Nya sepanjang
kemampuan dan menjauhi semua larangan-Nya.37
5. Orang-Orang yang Sabar (ṣābirīn)
....
“...Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar” (QS. Āli
„Imrān: 146).
Sabar menurut bahasa adalah tahan menghadapi cobaan,
tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati,
tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu.38
37
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet ke
4, p.149 38
Abdul Halim Fathani, Ensiklopedia Hikmah…, p.410
59
Adapun sabar menurut syariat adalah menahan diri dari hal-hal
yang Allah haramkan lalu menguatkannya dengan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya.39
Sabar adalah pilar kebahagian seorang hamba. Dengan
kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan,
konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengatakan
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh
tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi
kehidupan di dalam tubuh”.40
Syekh Abdul Qadir Jailani menyatakan, “Sabar adalah
meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah,
menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta
menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi
takdir Allah”41
Sabar dalam Islam maknanya adalah teguhnya seseorang
dijalur haq dengan tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi.
Akalnya tidak larut kepada ajakan hawa nafsunya, jiwanya
39
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.77 40
Ukasyah Habibu Ahmad, 3 Mantra Kehidupan (Yogyakarta: Diva
Press, 2015), cet 1, p.161-162 41
Ukasyah Habibu Ahmad, 3 Mantra….., p.162
60
menolak untuk putus asa, lidahnya tidak mengeluh kecuali hanya
kepada Allah. Sedangkan anggota badannya ditahan dari
melakukan setiap pekerjaan yang dibenci oleh Allah. Dan hatinya
tidak gelisah melainkan tetap berada dalam keimanan. Lawan
dari sabar adalah gelisah, tergesa-gesa, sempit dada, takut, putus
asa, lemah dan mudah menyerah.42
Allah Swt berfirman:
....
“...Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka dijalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah
(kepada musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar”
(QS. Āli „Imrān: 146).
6. Orang-Orang yang Bertawakal (mutawakkilīn)
...
“...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”
(QS. Āli „Imrān: 159).
Arti tawakal adalah pasrah. Tawakal kepada Allah berarti
pasrah dan berserah diri kepada-Nya. Seorang hamba yang
menyerahkan seluruh usaha dan aktivitasnya kepada Allah,
disebut sebagai orang yang telah bertawakal kepada-Nya. Tentu
42
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.117
61
saja dalam berserah diri kepada Allah, seorang hamba dituntut
untuk memiliki keyakinan dan ideologi yang kuat dan mantap,
yang menjadikannya yakin bahwa tak satupun yang memberi
pengaruh selain Allah Swt. Orang yang punya keyakinan
semacam ini, pasti akan pasrah kepada Allah dan hatinya hanya
tertuju kepada-Nya.43
Menurut Ibnu Athaillah, “Orang yang memiliki
pemahaman akan mengambil dari Allah dan bertawakal kepada-
Nya sehingga mereka mendapatkan bantuan dari-Nya. Jika
hamba bertawakal kepada Allah, Allah akan melenyapkan
kerisauan dan kegelisahannya. Ia akan menyibukkan diri
melakukan segala yang diperintahkan oleh Allah tanpa
memikirkan apa yang telah dijamin untuknya”. Orang yang
bertawakal kepada Allah akan selalu menyibukkan dirinya
melakukan segala yang diperintahkannya oleh Allah. Ia tidak lagi
merisaukan urusan rezeki, karena semua urusan dan
kebutuhannya telah dijamin oleh Allah. Inilah makna ucapan
Ibnu Athaillah, “Ia akan menyibukkan diri melakukan segala
43
Majid Rasyid Pur, Tazkiyah al-Nafs Penyucian Jiwa (Bogor: Cahaya,
2003), cet 2, p.135
62
yang diperintahkan oleh Allah tanpa memikirkan apa yang telah
dijamin untuknya”.44
Cara bertawakal kepada Allah itu hanya dengan dua hal:
Berusaha dan beristi’anah (minta) bantuan kepada Allah. Kita
berikhtiar sekuat tenaga dengan keyakinan penuh bahwa usaha
tersebut tidak memberi manfaat dan tidak memberi mudharat
kecuali hanya dengan izin Allah. Kita berikhtiar sebagai bentuk
ketaatan kepada Allah. Karena Dia menyuruh kita melakukannya
dan dalam waktu yang bersamaan kita meminta tolong kepada
Allah dengan percaya sepenuhnya kepada-Nya. Lantaran hanya
Allah saja yang berkuasa atas segala sesuatu, maka kita shalat
dan beribadah kepada-Nya. Kita berdoa kepada-Nya, mudah-
mudahan Allah memberi kita petunjuk karena hanya Dia saja
yang memperkenankan.45
7. Orang-Orang yang Berlaku Adil (muqsiṭīn)
....
“...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil”. (QS. al-Mumtaḥanah: 8).
44
Ibnu Athaillah, Mengaji Tajul Arus: Rujukan Utama Mendidik Jiwa,
terj. Fauzi Faisal Bahreisy (Jakarta: Zaman, 2015), cet ke 1, p.471-472 45
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.106
63
Al-Ḥakam, al-Adl, al-Haq, dan al-Muqsiṭ merupakan
nama-nama Allah Swt. Makna al-Muqsiṭ adalah adil terhadap
semua makhluk-Nya dan dalam semua keadaan. Allah Swt
berfirman:
“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada ilah melainkan Dia
yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada
ilah melainkan Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS. Āli „Imrān: 18).
Makna “qāiman bi al-qisṭ” (yang menegakkan keadilan)
adalah bersikap adil terhadap semua makhluk-Nya dalam seluruh
keadaan.46
Al-Muqsiṭūn adalah orang-orang yang adil yang
mengikuti syariat Allah dan hukum-hukum-Nya, sedangkan al-
Qasiṭūn itu adalah orang-orang yang berbuat jahat dan orang-
orang yang berbuat dzalim. Dan orang yang berlaku adil itu
adalah para kekasih Allah. Sedangkan orang-orang yang jahat itu
adalah musuh-musuh-Nya. Allah Swt berfiman.47
46
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.166-
167 47
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.138
64
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-
amal yang shalih, maka Allah akan memberikan pahala amalan-
amalan mereka dengan sempurna, dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang dzalim”. (QS. Āli „Imrān: 57).
Dan Allah telah memerintahkan kita supaya berlaku adil
dan mencegah kedzaliman, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
(QS. al-Naḥl: 90).
Jadi, orang-orang yang adil adalah mereka yang kembali
kepada hukum Allah dan Rasulullah dalam segala hal. Sedangkan
orang yang dzalim adalah mereka yang tidak mau mengambil
keadilan Allah dengan menggunakan hukum-Nya dalam segala
urusan dan mereka mengikuti hawa nafsu, mereka menolak
hukum Allah dan Rasul-Nya, bahkan kedzaliman mereka ini
65
merupakan kedzaliman paling besar tidak ada tandingannya.48
Allah Swt berfirman:
....
“...Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang
diturunkan Allah, maka sesungguhnya mereka adalah orang-
orang yang dzalim”. (QS. al-Māidah: 45).
8. Orang-Orang yang Berperang di Jalan Allah
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di
jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. al-Ṣaff: 4)
Jihad di jalan Allah adalah mencurahkan segala upaya
guna memerangi orang-orang kafir, untuk menggapai ridha Allah
dan demi meninggikan kalimatnya.49
Dan dalam kaitannya
dengan jihad, seorang muslim tidak hanya semata-mata jihad
tetapi harus memiliki cinta terhadapnya. Ia harus
memprioritaskan jihad fi sabilillah atas selainnya dari kehidupan
yang fana ini. Jihad fi sabilillah jalan bagi keberlangsungan
48
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.168-
169 49
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam Al-Kamil (Jakarta: Darus Sunnah, 2016), cet ke 24, p.1193
66
agama ini, karena hanya dengannya agama ini tersebar dan
kokoh, yaitu dengan cara memerangi musuh-musuhnya,
mengibarkan panji-panjinya dan menyerukan kalimatnya50
.
Jihad atau perjuangan di jalan Allah termasuk amal yang
akan meningkatkan tingkatan kita di surga. Seorang muslim yang
memiliki kemampuan untuk bersiaga di gerbang jihad,
sesungguhnya sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-
sama berbahaya, atau persimpangan dua jalan yang sedang
bertolak belakang. Jalan yang pertama adalah mencintai jihad di
Jalan Allah, berkorban untuk meninggikan agama Allah, dan
pantang menyerah kepada para musuh Allah. Meskipun berat
untuk ditempuh, jalan ini akan mengantarkan pelakunya ke
tingkatan ke seratus surga yang jarak antara satu tingkatan ke
tingkatan berikutnya harus ditempuh selama seratus perjalanan
atau sama dengan antara jarak langit dengan bumi.
Adapun jalan yang kedua adalah jalan meninggalkan dan
menghindari jihad. Orang yang memilih jalan ini akan menemui
akhir hidupnya dengan kematian dalam keadaan munafik.51
50
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.56-
57
67
Tujuan perang dalam Islam adalah untuk melenyapkan
kekufuran dan kesyirikan, mengeluarkan manusia dari gelapnya
kekufuran dan kesyirikan serta kebodohan menuju cahaya iman
dan ilmu, menundukkan para aggressor, menghilangkan fitnah,
meninggikan kalimat Allah, menyebarkan agama Allah dan
menyingkirkan orang yang menghalangi dakwah serta
penyebaran agama Islam.52
C. Balasan Bagi Mereka yang Dicintai Allah
1. Balasan Bagi Orang-Orang yang Berbuat Baik (muḥsinīn)
Sesungguhnya perbuatan baik itu memiliki keutamaan
yang besar dan manfaat yang agung, semuanya itu kembali
kepada orang-orang yang berbuat kebaikan, diantaranya adalah:53
a. Allah akan memberikan kepada orang-orang yang berbuat
baik itu hikmah dan ilmu, Allah Swt berfirman:
51
Muhammad Ibrahim An-Nuaim, Amalan-Amalan untuk Meraih Tingkat
Tertinggi Surga (Jakarta: Qisthi Press, 2005), cet ke 3, p.83 52
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam…, p. 1194 53
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.60-64
68
“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya
hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Yūsuf: 22)
b. Allah akan menambahkan kebaikan-Nya di dunia kepada
mereka dan menambahkan pahala dan ganjarannya di akhirat,
sebagaimana Firman-Nya.
“Dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani
Israil): “Diamlah di negeri ini saja (Baitul Maqdis) dan
makanlah dari (hasil bumi)nya di mana saja kamu
kehendaki.” Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa
kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk,
niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu.” Kelak akan
Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat
baik” (QS. al-A‟rāf: 161)
c. Allah akan memasukkan mereka ke dalam Rahmat-Nya
sebagaimana Firman-Nya.
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang
terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak
69
ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah
penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya” (QS. Yūnus:
26).
d. Allah akan bersama mereka. Allah Swt berfirman:
...
“...Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik”. (QS. al-Ankabūt: 69).
e. Allah akan menebus segala kesalahan mereka dan
memberikan pahala atas amalan-amalan mereka yang sangat
baik serta memasukkan mereka ke dalam surga yang di
dalamnya mereka bersenang-senang sesuai kehendak mereka
sebagaimana firman Allah.
“(Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah kamu
dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan.” (43)
Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Mursalāt: 43-44).
2. Balasan Bagi Orang-Orang yang Bertaubat (tawwābīn)
Kita telah menjumpai Allah Swt mencintai orang-orang
yang bertaubat dengan kecintaan yang amat besar dan Allah
sangat bangga dengan mereka yang melakukan taubat karena
70
taubat merupakan amal yang paling istimewa. Diantara kecintaan
Allah kepada orang-orang yang bertaubat adalah bahwa:54
a. Allah mengampuni seluruh dosanya. Allah Swt berfirman:
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Zumar: 53).
b. Bukan hanya diampuni dosanya saja, akan tetapi dosa-dosa
tersebut diganti oleh Allah dengan ḥasanah (kebaikan).
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti
Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Furqān: 70).
54
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.146-
147
71
3. Balasan Bagi Orang-Orang yang Menyucikan Diri (mutaṭahhirīn)
Adapun balasan bagi orang-orang yang menyucikan diri
(mutaṭahhirīn) adalah bahwasannya:55
a. Termasuk ke dalam orang-orang yang beruntung.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri
(dengan beriman)”. (QS. al-Aʽlā: 14)
b. Mendapat ganjaran surga
“(Yaitu) syurga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah
balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan
kemaksiatan)”. (QS. Ṭāhā: 76)
4. Balasan Bagi Orang-Orang yang Bertaqwa (muttaqīn)
Adapun balasan bagi orang-orang yang bertaqwa yaitu:
a. Allah akan memberikan kepadanya furqan, menghapuskan
segala kesalahan-kesalahannya dan mengampuni (dosa-dosa)
nya, sebagaimana firman Allah.
55
Nor Hadi, Panduan Shalat dalam…., p.49
72
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada
Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan
kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia
yang besar”. (QS. al-Anfāl: 29).
b. Allah akan menghapus darinya kesalahan-kesalahan dan
akan melipatkan gandakan pahalanya.56
“….Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan
melipat gandakan pahala baginya.” (QS. al-Ṭalāq: 5).
c. Allah akan memberikan jalan keluar dan Allah akan
memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Sebagaimana firman Allah:
...
...
“….Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. (2) Dan memberinya
56
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.96
73
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya....” (3) (QS.
Al-Ṭalāq: 2-3).
d. Allah akan memudahkan segala urusannya
...
“….Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”
(QS. Al-Ṭalāq: 4).
e. Allah akan memberi rahmat kepada mereka dua bagian, dan
menjadikan untuk mereka cahaya yang dengan cahaya itu
mereka dapat berjalan dan Allah akan mengampuni mereka.
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul),
bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-
Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua
bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan
cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Ḥadīd: 28).
Yakni Allah memberikan dua kali lipat dari rahmat-
Nya dan menjadikan untuk mereka cahaya, maksudnya
berupa petunjuk yang dengannya kalian dapat melihat dan
74
melepaskan diri dari kebutaan dan kebodohan, serta
memberikan ampunan kepada kalian. Dengan demikian,
Allah telah memberikan cahaya dan ampunan kepada
umatnya.57
f. Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
“Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan
mereka adalah orang-orang yang bertakwa” (QS. Fuṣṣilat:
18).
Yaitu, dari lingkungan mereka dengan tidak tersentuh
bencana, bahkan Allah Ta‟ala menyelamatkan mereka
bersama Nabi mereka disebabkan keimanan dan ketakwaan
mereka kepada Allah.58
g. Dan Allah juga akan memberikan kesudahan yang baik.
Kesudahan yang baik adalah di surganya Allah yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
bertakwa, sebagaimana firman Allah:
57
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh,
Tafsir Ibnu…, p.69 58
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh,
Tafsir Ibnu…, p.203
75
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Āli
Imrān: 133).
Itulah Surga yang akan Allah wariskan kepada
hamba-hamba Allah yang bertakwa (QS. Maryam: 63), ini
adalah kehormatan bagi mereka, dan sesungguhnya bagi
orang-orang yang bertakwa benar-benar disediakan tempat
kembali yag baik. Yaitu surga „Adn yang pintu-pintunya
terbuka bagi mereka. Di dalamnya mereka bertelekan (di atas
dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan
minuman di surga itu. Dan pada sisi mereka ada bidadari-
bidadari yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya.
Inilah apa yang dijanjikan kepada mereka pada hari berhisab.
(QS. Ṣād: 49-53).59
Dalam surat al-Ṭūr ayat 17-20 juga
disebutkan bahwa
59
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.104-105
76
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam
surga dan kenikmatan. Mereka bersuka ria dengan apa yang
diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka, dan Tuhan
mereka memelihara mereka dari azab neraka. Makan dan
minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah
kamu kerjakan. Mereka bertelekan di atas dipan-dipan
berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-
bidadari yang cantik bermata jeli”.
Dan dalam surat al-Mursalāt ayat 41-43 dikatakan
bahwa
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam
naungan (yang teduh) dan (disekitar) mata air-mata air. Dan
mendapat buah-buahan dari macam-macam yang mereka
ingini. Dikatakan kepada mereka, Makan dan minumlah
dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan”.60
60
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.105-106
77
Takwa juga merupakan jalan menuju surga Na‟im.61
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat
kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan
gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh
(berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar
perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta.
Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang
cukup banyak.” (QS. al-Nabaʼ: 31-36)
5. Balasan Bagi Orang-Orang yang Sabar (ṣābirīn)
Adapun balasan bagi orang-orang yang sabar (ṣābirīn)
adalah bahwasannya:
a. Allah akan mencukupkan pahala mereka tanpa batas
sebagaimana firman Allah
...
“….Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah
yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. al-
Zumar: 10)
b. Allah akan memberikan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. Sebagaimana firman Allah.
61
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.100
78
...
“….Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang-
orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Naḥl: 96)
c. Allah akan memberikan kenikmatan di akhirat nanti.
Sebagaimana firman Allah.
“Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu,
dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan
kegembiraan hati (11) Dan Dia memberi balasan kepada
mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan
(pakaian) sutera (12)”. (QS. al-Insān: 11-12)
d. Mereka disambut dengan ucapan selamat di dalamnya
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang
tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka
disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya”. (QS. al-Furqān: 75)
e. Di akhirat nanti Allah akan memberikan tempat kesudahan
yang baik yaitu Surga ʽAdn bersama dengan orang-orang
79
yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya
dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu. Sebagaimana firman
Allah.62
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan
Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi
atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan
kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik), (22) (yaitu) syurga 'Adn yang mereka
masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang
saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat
mereka dari semua pintu; (23) (sambil mengucapkan):
"Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu. (24)” (QS. al-Raʽd: 22-24)
62
Ummu Asma, Dahsyatnya Kekuatan Sabar (Jakarta: Belanoor, 2010),
cet ke 1, p.219-220
80
6. Balasan Bagi Orang-Orang yang Bertawakal (mutawakkilīn)
Adapun balasan bagi orang-orang yang sabar (ṣābirīn)
adalah bahwasannya:
a. Maka barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, pasti Allah
mencukupkannya, sedangkan bagi mereka yang bertawakal
kepada selain-Nya, pasti akan dihinakan oleh-Nya.63
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang
dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu
(tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang
dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?
Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang
mukmin bertawakkal”. (QS. Āli „Imrān: 160).
b. Allah akan memberinya kecukupan kepada mereka.
Sebagaimana firman Allah.
... ...
“….Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan) nya….” (QS. al-Ṭalāq:
3).
63
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.128
81
Allah yang akan menangguh setiap kebutuhan yang
kita inginkan, tidak hanya memberikan pemecahan dari
masalah yang kita hadapi, lebih dari itu Allah juga yang akan
memberikan semua yang kita butuhkan, karena Allah adalah
dzat yang penuh dengan tanggung jawab.64
Keutamaan yang lain adalah bahwa tawakal itu akan
mencukupi pelakunya jika ingin mendapatkan rezeki,
sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Kalaulah kalian
bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sungguh
kalian akan dilimpahkan rezeki, sebagaimana burung yang
diberi rezeki. Ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang
dalam keadaan kenyang”.65
7. Balasan Bagi Orang-Orang yang Berlaku Adil (muqsiṭīn)
Adapun balasan bagi orang yang berlaku adil, mereka
akan ditempatkan disurga, sedangkan orang-orang yang
64
Amru Khaled, Hati yang Menyejukkan: Kiat Sukses Bribadah, Berkarir
dan Menggapai Hidup Bahagia dengan Bening Hati dan Suci Jiwa, terj. Tim
Baitul Kilmah (Jakarta: Himmah Media, 2010), cet ke 1, p.157 65
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Jami’ At-Tirmidzi…,
p.386
82
menyimpang (dari kebenaran) adalah di neraka.66
Allah Swt
berfirman:
“Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka
mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam” (QS. al-Jinn:
15)
Dari Abdullah bin „Amr, ia berkata bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang berlaku adil di sisi Allah
akan ditempatkan di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah
kanan ar-Rahman (Allah Swt). Mereka itu ialah orang-orang
yang adil dalam menetapkan hukum, juga terhadap para kerabat
dan perihal apa pun yang mereka diberi kekuasaan untuk
mengaturnya”. (HR. Muslim dari „Abdullah bin „Amru bin „Ash
ra).67
8. Balasan Bagi Orang-Orang yang Berperang di Jalan Allah
Adapun balasan bagi orang-orang yang berperang di jalan
Allah yaitu:68
66
Abdul Azhim bin Badawi, 40 Karakteristik…., p.140 67
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits al-
Kutub al-Sittah Shahih Muslim 2, terj. Masyhari (Jakarta: Almahira, 2012), cet ke
1, p.198 68
Muhammad Ibrahim An-Nuaim, Amalan-Amalan untuk…., p.88
83
a. Diampuni dosanya. Sebagaimana firman Allah
“ (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (11) Niscaya Allah
akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di
dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar”. (12).
(QS. al-Ṣaff: 11-12)
b. Dijanjikan surga oleh Allah. Sebagaimana firman Allah.
84
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut
berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang
yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu
derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan
pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang
yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang
besar”. (QS. al-Nisa‟: 95)
85
BAB IV
ANALISIS TENTANG GOLONGAN ORANG-
ORANG YANG DICINTAI ALLAH MENURUT
WAHBAH AL-ZUḤAILĪ
A. Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Golongan Orang-Orang yang
Dicintai Allah
Dalam Muʻjam al-Mufahras telah disebutkan ayat-ayat
tentang golongan orang-orang yang dicintai Allah diantaranya
orang-orang yang berbuat baik (muḥsinīn) terdapat dalam Alquran
sebanyak 5 kali dalam 3 surat, orang-orang yang bertaubat
(tawwābīn) terdapat dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 222,
orang-orang yang menyucikan diri (mutaṭahhirīn) terdapat dalam
Alquran surat al-Baqarah ayat 222 dan surat al-Taubah ayat 108,
orang-orang yang bertaqwa (muttaqīn) terdapat dalam Alquran surat
Ali Imrān ayat 76 dan surat al-Taubah ayat 4 dan 7, orang-orang
yang sabar (ṣābirīn) terdapat dalam Alquran surat Ali Imrān ayat
146, orang-orang yang bertawakal (mutawakkilīn) terdapat dalam
Alquran surat Ali Imrān ayat 159, orang-orang yang adil (muqsiṭīn)
86
terdapat dalam Alquran sebanyak 3 kali dalam 3 surat, dan orang-
orang yang berperang di jalan Allah terdapat dalam Alquran surat al-
Ṣaff ayat 4.1
1. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Berbuat Baik
(Muḥsinīn)
a. Surat al-Baqarah ayat 195
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
b. Surat Ali Imrān ayat 134
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
1 Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahros li al-Fadhil
Quranil Karim (Lebanon: Dar al-Fikr, 1981), cet 2, p.191-192
87
c. Surat Ali Imrān ayat 148
“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di
dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan”.
d. Surat al-Māidah ayat 13
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki
mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.
Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-
tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari
apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari
mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik”.
88
e. Surat al-Māidah ayat 93
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan
yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa
serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh,
kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
2. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Bertaubat
(Tawwābīn)
a. Surat al-Baqarah ayat 222
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
“Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
89
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”.
3. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Menyucikan Diri
(Mutaṭahhirīn)
a. Surat al-Baqarah ayat 222
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
“Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”.
b. Surat al-Taubah ayat 108
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-
lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar
taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut
90
kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah
menyukai orang-orang yang bersih.”
4. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Bertaqwa (Muttaqīn)
a. Surat Ali Imrān ayat 76
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji
(yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa”
b. Surat al-Taubah ayat 4
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak
mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak
(pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu,
maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa”.
c. Surat al-Taubah ayat 7
91
“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan
Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-
orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka
berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus
(pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa”.
5. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Sabar
(Ṣābirīn)
a. Surat Ali Imrān ayat 146
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama
mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang
yang sabar”.
6. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Bertawakal
(Mutawakkilīn)
a. Ali Imrān ayat 159
92
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”.
7. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Adil (Muqsiṭīn)
a. Surat al-Māidah ayat 42
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka
(orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan),
maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau
berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka,
maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan
adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.
93
b. Surat al-Ḥujurāt ayat 9
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi
sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil”.
c. Surat al-Mumtaḥanah ayat 8
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil”.
94
8. Ayat-Ayat Tentang Orang-Orang yang Berperang di Jalan
Allah
a. Surat al-Ṣaff ayat 4
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
B. Makiyyah dan Madaniyyah
Adapun ayat-ayat tentang golongan orang-orang yang
dicintai Allah adalah termasuk ke dalam ayat-ayat madaniyyah
yaitu surat al-Baqarah ayat 195 dan 222, surat Ali „Imrān ayat 76,
134, 146, 148, dan 159, surat al-Mumtaḥanah ayat 8, al-Ḥujurāt
ayat 9, surat al-Ṣaff ayat 4, surat al-Māidah ayat 13, 42, dan 93,
surat al-Taubah ayat 4, 7, dan 108.
C. Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Golongan Orang-Orang yang
Dicintai Allah Menurut Wahbah al-Zuḥailī
1. Golongan Orang-Orang yang Berbuat Baik (Muḥsinīn)
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
95
menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. al-Baqarah:
195)
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah kata asy-Sya‟bi
ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar, mereka tidak mau
berinfak di jalan Allah Ta‟ala, maka turunlah ayat ini. Ath-
Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abi
Jubairah bin Dhahak, berkata: Kaum Anshar dulu gemar
bersedekah dan memberi makan yang tak terkira banyaknya,
kemudian mereka mengalami masalah paceklik sehingga mereka
berhenti melakukannya. Maka Allah menurunkan ayat ini.2
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang yang
berbuat baik adalah orang yang mau menginfakkan harta
bendanya untuk berperang di jalan Allah. Oleh karena itu Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk menginfakkan hartanya
demi kepentingan jihad. Di akhir penutup ayat ini, yaitu ihsānul-
„amal (berbuat baik). Maka baguskanlah amal-amal kalian,
dengan melaksanakan ketaatan secara sempurna, sebab Allah
2 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Terjemah Asbabun Nuzul, terj.
Rohadi Abu Bakar, (Semarang: Wicaksana, 1986), p.41
96
menyukai orang-orang yang berbuat baik dan memberi balasan
yang paling baik.3
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali Imrān: 134)
Selain orang yang mau menginfakkan harta bendanya
untuk berperang di jalan Allah, orang-orang yang berbuat baik
juga adalah:
a. Orang yang bersedekah baik dalam keadaan lapang dan
senang maupun dalam keadaan sempit dan susah, baik dalam
keadaan sehat maupun dalam keadaan sedang sakit.4
b. Orang-orang yang menahan amarahnya.
Maksudnya, apabila emosi terbakar, maka ia
menahannya dan tidak melampiaskannya meskipun ia
mampu untuk melampiaskannya bukan karena memang ia
lemah dan tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk
3 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-„Aqīdah wa al-Syarīʽah wa
al-Manhaj (Bairūt: Dār al-Fikr al-Muʽāṣir, 1991), p.190 4 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 89
97
melampiaskannya, melainkan untuk menahan amarahnya
ketika terbakar emosi5. Rasulullah Saw bersabda,
“Orang yang kuat bukanlah karena kekuatan
fisiknya, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang
mampu menguasai dan mengontrol dirinya tatkala marah”.6
Adapun cara mengatasi kemarahan, maka Rasulullah
Saw telah menjelaskannya kepada kita melalui sabda beliau
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. “Sesungguhnya marah
adalah (pengaruh godaan) dari setan dan sesungguhnya
setan diciptakan dari api, sedangkan api dipadamkan
dengan air. Maka oleh karena itu, jika salah satu dari kalian
marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”.7
c. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain.
Yaitu orang-orang yang memaafkan orang lain yang
telah berbuat tidak baik kepada mereka padahal mereka
mampu untuk membalasnya. Ini adalah salah satu bentuk
5 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 90
6 Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits
al-Kutub al-Sittah Shahih Muslim 2, terj. Saifuddin Zuhri, (Jakarta: Almahira,
2013), cet 1, p.571 7 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia
Hadits al-Kutub al-Sittah Sunan Abu Dawud, terj. Muhammad Ghazali, (Jakarta:
Almahira, 2012), cet 1, p.1002
98
kemampuan menahan diri yang membuktikan akan luasnya
akal, cerdasnya pikiran, kuatnya tekad dan kepribadian.
Bentuk kemampuan menahan diri ini lebih tinggi
kedudukannya di banding kemampuan menahan amarah.
Karena seseorang yang mampu menahan amarah dan emosi
kemungkinan di dalam hatinya masih menyimpan rasa benci
dan marah.8
“….maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik”. (QS. al-Māidah: 13)
Maafkanlah tindakan-tindakan tidak baik di antara
mereka, dan perlakukanlah mereka dengan baik, karena
sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang
berbuat baik yang mengampuni dan memaafkan orang yang
berbuat tidak baik, serta memberi pahala atas kebaikan
mereka.9
Orang-orang muḥsinūn adalah orang-orang yang
membalas kejahatan dengan kebaikan, seperti dengan cara tetap
memberikan kemanfaatan dan kebaikan kepada orang yang telah
berbuat jahat terhadap mereka, atau dengan cara tidak membalas
8 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 91
9 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 126
99
kejahatan dengan kejahatan yang serupa ketika di dunia dan
ketika di akhirat memaafkan dan tidak menuntut hak-hak mereka
yang ada pada orang lain. Ini merupakan bentuk menahan diri
atau pemberian maaf tertinggi di antara bentuk-bentuk lainnya
yang telah disebutkan sebelumnya.10
Kemudian Allah juga menegaskan dalam surat al-Māidah
ayat 93 bahwa
“…apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa
dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan”.
Apabila mereka menjauhi apa yang diharamkan kepada
mereka, mengimani apa yang diturunkan dan terus bertakwa,
berbuat baik, dan mengerjakan amal shaleh. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan, keihklasan, dan
kesungguhan mereka dalam beramal. Dengan demikian, tampak
bahwa yang dimaksud dengan takwa dan iman pada bagian yang
pertama adalah menumbuhkan dasar ketakwaan dan keimanan,
sedangkan yang di maksud dengan ketakwaan dan keimanan
yang kedua adalah konsisten dan kontinu. Sementara itu, yang
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 127
100
dimaksud dengan takwa yang ketiga adalah menjaga diri dari
sikap mendzalimi hamba, beramal dengan benar, dan berbuat
baik kepada orang lain dengan cara membantu mereka melalui
rezeki yang diberikan oleh Allah.11
“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia
dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Ali Imrān: 148)
Mereka mendapat dua pahala, pahala di dunia dan pahala
di akhirat, hal ini dikarenakan mereka adalah orang-orang
beriman yang mengerjakan amal soleh dan ingin meraih
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.12
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran ayat-ayat
tentang golongan orang-orang yang berbuat baik menurut
Wahbah al-Zuḥailī yaitu bahwa orang-orang yang berbuat baik
adalah (a) Orang yang mau menginfakkan harta bendanya untuk
berperang di jalan Allah. (b) Orang yang mau bersedekah baik
dalam keadaan lapang maupun senang, dalam keadaan sempit
ataupun susah, dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan
sedang sakit. (c) Orang-orang yang mampu menahan amarahya.
(d) Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang
11
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 40 12
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 121
101
telah berbuat tidak baik kepada kita meskipun kita mampu untuk
membalasnya. (e) Orang yang menjauhi apa yang di haramkan
kepada mereka, mengimani apa yang di turunkan dan terus
bertakwa, berbuat baik, dan mengerjakan amal saleh.
2. Golongan Orang-Orang yang Bertaubat (Tawwābīn)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
“Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. al-Baqarah: 222)
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah Muslim dan
Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa di kalangan
kaum Yahudi dulu ada kebiasaan kalau seorang wanita mereka
haid, mereka tidak mau menemaninya makan ataupun
menggaulinya di dalam rumah. Para sahabat lantas menanyai
Rasulullah Saw tentang kebiasaan itu, maka Allah Azza wa Jalla
menurunkan firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang
haid…” maka Rasulullah Saw pun bersabda “Lakukan apapun
selain jimak.”13
13
Jalaluddi Abdurrahman As-Suyuthi, Terjemah Asbabun…, p.52
102
Nabi Saw ditanya tentang hukum haid karena kaum
Yahudi pada saat itu berkata bahwa setiap orang yang
menyentuh wanita yang sedang haid menjadi najis. Mereka
memperlakukan wanita yang haid dengan sangat ketat, mereka
memisahkan pada saat makan, minum, dan tidur. Sementara
kaum Nasrani meremehkan urusan haid, mereka tidak
membedakan antara haid dan bukan haid. Adapun bangsa Arab
pada masa Jahiliyah, sama dengan kaum Yahudi dan Majusi,
tidak mau tinggal serumah dengan perempuan yang haid, dan
tidak mau makan bersamanya. Tradisi-tradisi ini mengundang
pertanyaan tentang mencampuri wanita pada saat haid. Maka
Allah Ta‟ala menjawab pertanyaan mereka:14
Haid itu sebenarnya mengandung mudarat, berdampak
buruk terhadap lelaki maupun wanita, maka janganlah kamu
menyetubuhi wanita ketika ia sedang haid, tapi tidak apa-apa
berhubungan selain jimak. Maka dari itu janganlah kamu dekati
wanita sampai ia suci dari haid. Kalau ia telah bersuci maka
setubuhilah ia pada bagian yang diperbolehkan oleh Allah, yaitu
pada kemaluannya, sebab bagian inilah yang menjadi tempat
14
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 314
103
untuk memperoleh keturunan. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertaubat dari perbuatan-perbuatan maksiat,
seperti menyetubuhi wanita yang sedang haid atau menyetubuhi
wanita pada bagian anusnya, atau perbuatan lainnya yang
bertentangan dengan fitrah dan tabiat manusia normal.15
Kerjakanlah amal-amal saleh supaya menjadi bekalmu
pada hari kiamat. Bertakwalah kepada Allah. Jauhilah maksiat,
jangan mendekatinya. Jagalah batasan-batasan hukum-Nya,
jangan mengabaikannya. Dan Allah juga telah memerintahkan
kita untuk bertaubat sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Taḥrīm ayat 8.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada
Allah dengan taubat nasuha”
Orang yang melakukan taubat adalah manusia terbaik
seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Saw: “Setiap manusia
itu pasti bersalah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah
ialah yang bertaubat”.16
Taubat kepada Allah merupakan amal
yang terbaik dalam mendekatkan diri kepada Allah, karena
15
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 314 16
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Jami‟ Al-Tirmidzi
(Riyad: Bait al-Afkar al-Dauliyah), p.406
104
taubat mengantarkan kita kepada kedudukan tertinggi dan
kedudukan tertinggi adalah mahabatullah Allah.17
Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang
beriman yang teguh menjalankan perintah-perintah Allah bahwa
mereka akan mendapatkan kemulian dan kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Adapun orang-orang yang melampaui batas-batas
hukum Allah dan memperturutkan hawa nafsu serta
menyimpang dari hukum-hukum syariat, maka tidak selamat dari
musibah di dunia dan adzab di akhirat. Musibah dunia
adakalanya dalam bentuk kegelisahan, kesedihan, ketakutan, dan
penyakit-penyakit mental lainnya.18
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran Wahbah al-
Zuḥailī tentang surat al-Baqarah ayat 222 adalah ayat ini
menjelaskan bahwa orang-orang yang bertaubat itu adalah
orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah dari
perbuatan maksiat seperti menyetubuhi wanita yang sedang haid
atau menyetubuhi wanita pada bagian anusnya, atau perbuatan
lainnya yang bertentangan dengan fitrah dan tabiat manusia
17
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyah:
Menggapai Cinta Ilahi, terj. Nabani Idris (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet
1, p.145 18
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir…, p. 520
105
normal. Taubat kepada Allah merupakan amal yang terbaik
dalam mendekatkan diri kepada Allah, karena taubat
mengantarkan kita kepada kedudukan tertinggi dan kedudukan
tertinggi adalah mahabatullah Allah.
3. Golongan Orang-Orang yang Menyucikan Diri
(Mutaṭahhirīn)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
“Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. al-Baqarah: 222)
Haid itu sebenarnya mengandung mudarat, berdampak
buruk terhadap lelaki maupun wanita, maka janganlah kamu
menyetubuhi wanita ketika ia sedang haid, tapi tidak apa-apa
berhubungan selain jimak, misalnya berciuman dan berpelukan,
menurut madzhab Hambali, dengan dalil hadits terdahulu yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan para penyusun kitab
sunan “Lakukanlah apa saja kecuali jimak”19
Ilmu kedokteran menguatkan pandangan syariat. Para
pakar medis membuktikan bahwa persetubuhan di waktu haid
19
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 314
106
menimbulkan radang akut pada organ reproduksi wanita, di
samping masuknya darah haid ke lubang penis terkadang
menimbulkan radang yang mirip sifilis (raja singa). Terkadang si
lelaki juga terkena penyakit sifilis jika si wanita menderita
penyakit ini. Adakalanya jimak seperti ini juga mengakibatkan
pelakunya (si lelaki maupun si wanita) menjadi mandul.20
Maka dari itu janganlah kamu dekati wanita sampai ia
suci dari haid. Kalau ia telah bersuci maka setubuhilah ia pada
bagian yang diperbolehkan oleh Allah, yaitu pada kemaluannya,
sebab bagian inilah yang menjadi tempat untuk memperoleh
keturunan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bersuci dari noda maksiat dan bersuci dari setiap kotoran fisik.21
Dalam surat al-Taubah ayat 108 juga dijelaskan tentang
mereka yang dicintai Allah.
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-
lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa
(masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu
sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang
yang bersih.” (QS. al-Taubah: 108)
20
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 315 21
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 315
107
Allah Swt memerintahkan beliau untuk shalat di Masjid
Quba karena dua perkara. Pertama, karena masjid itu didirikan
atas dasar takwa dengan ketaatan kepada Rasul-Nya sejak hari
pertama didirikan untuk menyatukan kesatuan orang-orang
Mukmin dan tempat berlindung bagi Islam dan pemeluknya.
Allah berfirman (لمسجد اسس عل التقىي) maksudnya adalah
takwa kepada Allah dengan ikhlas beribadah kepada-Nya, dapat
menyatukan orang-orang Mukmin dalam cinta kepada
Rasulullah Saw dan menyatukan persatuan umat Islam, lebih
layak dan lebih utama bagimu wahai Rasul untuk shalat di
dalamnya.22
Kedua, sesungguhnya di dalam masjid ini terdapat orang-
orang yang cinta membersihkan diri, baik kebersihan maknawi
berupa bersih dari dosa dan kesalahan juga kebersihan nyata
berupa kebersihan baju dan tubuh dengan berwudhu dan mandi
dan dengan menggunakan air. Allah mencintai orang-orang yang
bersih yaitu mereka yang benar-benar bersih baik jiwa maupun
22
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 44
108
raga mereka, dan mereka adalah orang yang sempurna di antara
manusia.23
Al-Baidhawi berkata, “Di dalamnya ada orang-orang
yang cinta membersihkan diri mereka dari segala kesalahan dan
perbuatan yang tercela demi mencari keridhan Allah Swt” dan
ada yang mengatakan, “Bersih dari hadats besar dan mereka
tidak tidur dalam keadaan junub.” Allah mencintai dan ridha
kepada orang-orang yang bersih. Mereka akan didekatkan di sisi
Allah Swt seperti dekatnya seorang kekasih kepada orang yang
dicintainya. Kecintaan Allah kepada para hamba-Nya artinya
keridhan, qabul, dan kedekatan karena Allah SWT Maha suci
dari penyerupaan sifat-sifat-Nya.24
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran Wahbah al-
Zuḥailī tentang surat al-Baqarah ayat 222 dan surat al-Taubah
ayat 108 yaitu ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang
menyucikan diri adalah orang-orang yang senantiasa
membersihkan diri (jasmani) dengan berwudhu dan mandi serta
membersihkan najis dari pakaian, badan, dan tempat. Dan orang-
23
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 45 24
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 45
109
orang yang senantiasa membersihkan jiwa (ruhani) dari
pengaruh dosa dan maksiat.
4. Golongan Orang-Orang yang Bertaqwa (Muttaqīn)
Orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu menaati
perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh Allah,
mereka yang bertakwa akan selalu mengingat Allah dan tidak
melupakan-Nya, karena mereka yang melupakan-Nya ialah
mereka yang selalu melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya,
jika kita selalu mengingat Allah kita tidak akan bermaksiat
kepada-Nya.
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang
dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imrān: 76)
Adapun kolerasi ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah
bahwa ayat-ayat ini secara berkesinambungan menjelaskan
tentang sifat dan karakter kaum Yahudi. Diantara mereka ada
yang memiliki sifat amanah (dapat dipercaya) dan ada pula yang
memiliki sifat khianat. Diantara mereka ada yang menghalalkan
harta non-Yahudi dengan cara yang batil dengan didasarkan pada
asumsi dan penafsiran yang lemah dan keliru.
110
Barangsiapa yang menepati janjinya dan bertakwa
kepada Allah Swt di dalam menjauhi sikap khianat dan menipu,
maka Allah Swt mencintai dan meridhainya. Karena Allah Swt
telah memerintahkan kepada manusia di dalam kitab-kitab suci
yang diturunkan-Nya agar mereka selalu bersikap jujur dan
memenuhi janji. Memenuhi janji dan kesepakatan akad tidak
hanya terbatas pada janji dan kesepakatan akad di antara sesama
saja. Akan tetapi, mencakup janji dan kesepakatan yang terjalin
antara manusia dengan Allah Swt yaitu memenuhi apa yang
menjadi kewajiban setiap mukmin terhadap Allah Swt berupa
perintah dan kewajiban-kewajiban agama.25
Sikap ini yang bisa mendekatkan seorang hamba kepada
Tuhannya dan menjadikannya termasuk golongan orang yang
berhak mendapatkan cinta kasih dan keridhaan Allah Swt.
Sesungguhnya orang yang mengkhianati janji terlepas dari
kategori ketakwaan, bahkan sebaliknya, ia termasuk golongan
orang munafik. Sesungguhnya orang yang memakan harta orang
25
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 284
111
lain dengan cara yang bathil maka ia berhak mendapatkan murka
dan siksa Allah Swt.26
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi
sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka
membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap
mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
(QS. al-Taubah: 4)
Ayat ini menjelasan bahwa pemberitahuan tentang
pembatalan segala perjanjian berlaku untuk seluruh kaum
Musyrikin kecuali orang-orang yang telah mengadakan
perjanjian denganmu dan mereka tidak melanggar satu pun dari
poin-poin perjanjian tersebut dan mereka juga tidak membantu
musuh-musuhmu, seperti Bani Dhamrah dan Bani Kinanah.
Meskipun masa itu di atas empat bulan dengan syarat mereka
tidak membatalkan atau melanggar perjanjian yang telah dibuat
dan tidak pula membantu siapa pun melawan kaum Muslimin.
Mereka inilah yang berhak untuk dijaga perjanjiannya.
Kemudian Allah Swt menegaskan wajibnya menepati janji
26
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 284
112
dengan firman Allah (ان الله يحب المتقيه) maksudnya adalah
orang-orang yang menepati janji mereka.27
“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan
Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang
yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di
dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus
terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap
mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa”. (QS. al-Taubah: 7)
Kolerasi ayat ini dengan ayat sebelumnya bahwa setelah
Allah menyebutkan pemutusan perjanjian Allah dan Rasul-Nya
dengan orang-orang Musyrik, menyatakan perang terhadap
mereka setelah empat bulan kecuali orang-orang yang mencari
perlindungan atau keamanan untuk mendengar firman Allah,
risalah atau perdagangan, Allah menjelaskan alasan pemutusan
perjanjian dengan orang-orang musyrik, pemberian masa
tenggang terhadap mereka selama empat bulan untuk segera
menindak mereka dengan berbagai macam peperangan, yaitu
pelanggaran mereka terhadap perjanjian dan memperlakukan
mereka dengan setimpal.
Bagaimana mereka mempunyai perjanjian sementara
realitasnya mereka adalah musuh-musuh yang keras, dengki,
27
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 104
113
menyembunyikan pengkhianatan, menyekutukan Allah,
mengufuri Allah dan Rasulnya. Maksudnya, mustahil adanya
perjanjian dengan mereka. Maka janganlah kalian
mengharapkannya. Ini adalah penjelasan mengenai hikmah dan
sebab pemutusan janji dengan orang-orang musyrik.28
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya dan
mengecualikan orang-orang yang kalian buat perjanjian dengan
mereka di Masjidil Haram. Mereka adalah Bani Bakar dan Bani
Dhamurah yang tidak melanggar perjanjian yang dibuat bersama
mereka pada hari Hudaibiyyah. Maksudnya, perjanjian
perdamaian tidak ada kecuali kepada mereka orang-orang yang
tidak melanggar dan tidak mengingkari. Mereka adalah orang-
orang yang dikecualikan dari yang disebutkan sebelumnya dalam
firmannya.29
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi
sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu….” (QS. al-Taubah: 4)
Adapun terhadap selain mereka, perjanjian mereka bisa
dicampakkan. Kemudian Allah Swt menegaskan keharusan
memenuhi janji mereka dengan firman-Nya (ان الله يحب المتقيه)
28
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 118 29
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 118
114
artinya Allah ridha terhadap orang-orang yang memenuhi janji,
menjauhi penghianatan dan pelanggaran janji. Ini adalah alasan
keharusan menjalankan perintah dan penjelasan bahwa menjaga
janji termasuk ketakwaan meskipun orang yang melakukan
perjanjian adalah orang Musyrik.30
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran ayat-ayat
tentang golongan orang-orang yang bertakwa menurut Wahbah
al-Zuḥailī bahwa telah dijelaskan secara tegas bagaimana orang-
orang yang bertakwa adalah hamba yang selalu bersikap jujur
dan menepati janjinya, baik janji kepada manusia maupun janji
kepada Allah Swt berupa perintah dan kewajiban-kewajiban
agama. Pemakaian janji bukan hanya terbatas pada penganut
agama yang sama saja, tetapi juga kepada mereka yang berbeda
agama. Allah ridha terhadap orang-orang yang memenuhi janji,
menjauhi penghianatan dan pelanggaran janji. Sesungguhnya
orang yang mengkhianati janji terlepas dari kategori ketakwaan.
Ini adalah alasan keharusan menjalankan perintah dan penjelasan
bahwa menjaga janji termasuk ketakwaan meskipun orang yang
melakukan perjanjian adalah orang Musyrik
30
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 119
115
5. Golongan Orang-Orang yang Sabar (Ṣābirīn)
Sabar dalam Islam maknanya adalah teguhnya seseorang
dijalur haq dengan tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi.
Akalnya tidak larut kepada ajakan hawa nafsunya, jiwanya
menolak untuk putus asa, lidahnya tidak mengeluh kecuali hanya
kepada Allah. Sedangkan anggota badannya ditahan dari
melakukan setiap pekerjaan yang dibenci oleh Allah. Dan
hatinya tidak gelisah melainkan tetap berada dalam keimanan.
Lawan dari sabar adalah gelisah, tergesa-gesa, sempit dada,
takut, putus asa, lemah dan mudah menyerah.31
Allah Swt
berfirman:
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama
mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah
(kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (QS.
Ali Imrān: 146)
Allah Swt menghibur kaum Mukminin atas apa yang
dirasakan oleh hati mereka pada perang Uhud, bahwa banyak
para Nabi yang berperang di jalan Allah Swt beserta para sahabat
dan pengikut mereka yang beriman untuk meninggikan kalimat
(agama) Allah Swt mereka adalah para penyampai petunjuk dan
31
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.117
116
para da‟i, namun mereka tidak bersikap lemah setelah Nabi dan
banyak di antara mereka yang terbunuh. Semangat jihad mereka
juga sama sekali tidak mengalami kelemahan, mereka tidak mau
menyerah kepada musuh, tidak tergoda dengan dunia dan segala
gemerlapnya dan tidak lari ke belakang.32
Akan tetapi sebaliknya, mereka tetap tabah, sabar dan
tegar meski Nabi mereka telah terbunuh seperti ketika ia masih
hidup. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang
sabar, yang menguatkan kesabaran mereka, yang tetap bersiap
siaga dan bertakwa kepada Allah. Maka oleh karena itu, Allah
Swt memberi mereka petunjuk dan memberi mereka pahala yang
sangat besar.33
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran surat Ali
Imrān ayat 146 tentang golongan orang-orang yang sabar
menurut Wahbah al-Zuḥailī bahwa orang yang bersabar adalah
mereka yang selalu kuat, tidak lekas putus asa, tabah, tenang,
tegar dalam mengahadapi kesulitan ataupun cobaan, mereka
tidak menampakkan kepedihan atau kelemehan mereka kepada
orang lain meskipun cobaan menimpanya.
32
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 120 33
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 120
117
6. Golongan Orang-Orang yang Bertawakal (Mutawakkilīn)
Arti tawakal adalah pasrah. Tawakal kepada Allah berarti
pasrah dan berserah diri kepada-Nya. Seorang hamba yang
menyerahkan seluruh usaha dan aktivitasnya kepada Allah,
disebut sebagai orang yang telah bertawakal kepada-Nya. Tentu
saja dalam berserah diri kepada Allah, seorang hamba dituntut
untuk memiliki keyakinan dan ideologi yang kuat dan mantap,
yang menjadikannya yakin bahwa tak satupun yang memberi
pengaruh selain Allah Swt. Orang yang punya keyakinan
semacam ini, pasti akan pasrah kepada Allah dan hatinya hanya
tertuju kepada-Nya.34
Allah Swt telah memerintahkan umatnya
untuk selalu bertawakal, sebagaimana firman Allah.
“…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imrān:
159)
Musyawarah memiliki banyak nilai positif, di antaranya
adalah musyawarah mengandung nilai penghormatan kepada
orang-orang yang diajak bermusyawarah dan diminta
pandangan, menerima permasalahan yang diajukan dengan
34
Majid Rasyid Pur, Tazkiyah al-Nafs Penyucian Jiwa (Bogor: Cahaya,
2003), cet 2, p.135
118
menampung berbagai pandangan dan ide-ide yang ada,
menyatukan langkah dan memilih pandangan yang paling
tepat.35
“Apabila seseorang diminta pandangan, maka posisinya
adalah orang yang dipercaya”36
maksudnya, ia tidak boleh
mengkhianati orang yang meminta pandangan kepadanya dengan
menyembunyikan apa yang baik untuknya.
Lalu apabila kamu telah berketetapan hati, maka
bertawakallah kamu kepada Allah Swt. Maksudnya, apabila
kamu telah meminta pendapat kepada mereka dalam suatu
masalah, lalu kamu berketetapan hati untuk melakukannya, maka
bertawakallah kamu kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya yang
percaya dan yakin kepada-Nya. Sehingga Allah Swt pun akan
menolong mereka dan menunjukkan mereka kepada apa yang
terbaik bagi mereka. Tawakal bukan berarti al-tawākul yang
berarti tidak mau berusaha dan berikhtiar. Akan tetapi tawakal
adalah sikap bergantung kepada Allah, percaya kepada-Nya,
35
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 150 36
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Ensiklopedia Hadits Al-
Kutub Al-Sittah Jami‟ At-Tirmidzi, terj. Misbahul Khaer, (Jakarta: Almahira,
2013), p.926
119
setelah di dahului dengan melakukan usaha dan ikhtiar
maksimal.37
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran Wahbah al-
Zuḥailī tentang surat Ali Imrān ayat 159 yaitu ayat ini
menjelaskan bahwa orang yang bertawakal adalah orang yang
memasrahkan segala urusannya kepada Allah, percaya dan yakin
kepada-Nya, setelah di dahului dengan melakukan usaha dan
ikhtiar yang maksimal.
7. Golongan Orang-Orang yang Adil (Muqsiṭīn)
“.....Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk
meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara
mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling
dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat
kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara
mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil”. (QS. al-Māidah: 42)
Mereka (kaum Yahudi) adalah orang-orang yang suka
mendengarkan kebohongan dan gemar memakan harta haram,
seperti harta dari hasil suap, pelegalan upah pelacur, penyewaan
sesuatu untuk kemaksiatan, dan lain sebagainya. Kemudian
Allah Swt memberikan kebebasan memilih kepada Rasul-Nya,
37
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 151
120
antara bersedia menjadi juru adil di antara kaum Yahudi atau
menolaknya.38
Jika mereka datang kepadamu Muhammad untuk
meminta putusan hukum, kamu bebas memilih antara bersedia
menjadi juru adil untuk memberikan putusan hukum di antara
mereka, atau berpaling dan menolak serta membiarkan mereka
meminta putusan hukum kepada para pemuka dan tokoh agama
mereka. Jika kamu Muhammad berpaling dan tidak bersedia
menjadi juru adil untuk memberikan putusan hukum di antara
mereka, maka sekali-kali kamu tidak akan tertimpa sesuatu dari
kemudharatan dan gangguan mereka sedikit pun. Karena Allah
Swt senantiasa melindungimu dan menjaga dirimu dari kejelekan
manusia.39
Jika kamu Muhammad bersedia menjadi juru adil untuk
memberikan putusan hukum di antara mereka, berikanlah
putusan hukum dengan adil, jujur, dan objektif sebagaimana
yang diperintahkan kepadamu. Karena sesungguhnya Allah Swt
menyukai orang-orang yang berlaku adil dan adil merupakan
38
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 196 39
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 197-198
121
anggaran dasar Alquran dan Islam, baik di antara sesama kaum
Muslimin, maupun terhadap musuh.40
Dalam surat al-Ḥujurāt ayat 9 Allah juga menyebutkan
bahwa Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil”. (QS. al-Ḥujurāt: 9)
Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Ibnu Jarir, dan yang
lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, “Ada yang
mengatakan kepada Rasulullah Saw, „Wahai Nabi Allah,
seandainya anda berkenan menjenguk Abdullah bin Ubai.‟
Beliau pun berangkat sambil menaiki seekor keledai dan kaum
Muslimin berjalan kaki. Tanah yang mereka tempati sangatlah
gersang, saat keledai Rasulullah Saw kencing, Abdullah bin Ubai
berkata, „Menjauhlah dariku, bau tidak sedap keledaimu sangat
menggangguku.‟ Saat Abdullah bin Rawahah membalas
ucapannya „Sungguh, air kencing keledai beliau jauh lebih
harum dari pada kamu, ‟ada seseorang dari kaum Abdullah bin
40
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 198
122
Ubai marah mendengar ejekannya. Kedua kelompok itu pun
saling marah, hingga terjadi saling pukul dengan pelapah kurma,
tangan, dan sandal. Lalu Allah Swt menurunkan ayat 9 terkait
dengan kasus mereka.”41
apabila ada (وان طائفتان مه المؤمنيه اقتتلىا فاصلحىا بينهما)
dua kelompok dari kaum Muslimin saling berseteru, menjadi
keharusan bagi waliyu al-amri (pemerintah, pemimpin) untuk
mendamaikan dengan memberi nasihat, mengajak kembali
kepada hukum Allah Swt, memberikan bimbingan, serta
menghilangkan kesalahpahaman dan akar-akar penyebab
perselisihan. Di sini digunakan kata in untuk mengisyaratkan,
tidak selayaknya terjadi konflik itu sangatlah langka. Pesan ayat
ini ditujukan kepada waliyu al-amri dan perintah di dalamnya
adalah bersifat wajib.42
فان بغت احداهما عل الاخري فقاتلىا التي تبغي حت تفيء ال )
jika salah satu golongan ada yang melanggar dan (الامر الله
melampaui batas terhadap golongan yang lain, serta tidak mau
tunduk kepada hukum Allah Swt dan nasihat, kaum Muslimin
41
Jalaluddi Abdurrahman As-Suyuthi, Terjemah Asbabun…, p.383 42 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 237
123
harus memerangi golongan tersebut hingga kembali kepada
hukum dan perintah Allah Swt berupa tidak melakukan
penganiayaan. Pihak penengah atau mediator mengambil
langkah yang bisa mewujudkan kemashlahatan, kembali kepada
hukum Allah Swt. Jika yang diinginkan sudah tercapai tanpa
menggunakan senjata, jika pihak penengah tetap menggunakan
pendekatan dengan cara kekerasan, ia di anggap telah berlebihan.
Namun jika senjata atau pendekatan dengan kekerasan adalah
jalan satu-satunya, itulah yang harus dilakukan sampai golongan
yang zalim mau kembali ke hukum Allah Swt.43
( يحب فان فاءت فاصلحىا بينهما بالعدل واقسطىا ان الله
jika setelah diperangi, golongan itu berhenti dari (المقسطيه
kezalimannya, rela menerima perintah dan hukum Allah Swt,
kaum Muslimin harus bersikap adil di antara kedua pihak dalam
memberikan keputusan, melakukan langkah optimal untuk bisa
sampai kepada kebenaran yang sesuai dengan hukum Allah Swt,
serta “menahan tangan” golongan yang zalim itu hingga ia
keluar dari kezaliman dan menunaikan kewajibannya terhadap
43
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir…, p. 467
124
golongan yang lain, hingga di kemudian hari tidak terjadi lagi
konflik di antara keduanya.44
Wahai para pihak penengah, berlaku adillah kalian dalam
memberikan putusan di antara kedua belah pihak. Allah Swt
menyukai orang-orang yang berlaku adil dan membalas mereka
dengan sebaik-baik balasan. Ini adalah perintah untuk berlaku
adil dalam segala urusan.
Kemudian Allah juga menegaskan dalam surat al-
Mumtaḥanah ayat 8
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. al-
Mumtaḥanah: 8)
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah “Qutaibah binti
Abdul Uzza datang mengunjungi putrinya Asma‟ binti Abi
Bakar r.a sambil membawa beberapa buah tangan (hadiah) yaitu
shinab (makanan yang terbuat dari biji sawi dan zabib) aqith
(keju) dan samn (mentega) sedang waktu itu ia adalah seorang
perempun musyrik. Lalu Asma‟ r.a pun menolak untuk
menerima hadiah itu dan menolak mempersilahkannya masuk,
44
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 238
125
hingga ia mengutus seseorang untuk menemani Aisyah r.a untuk
meminta tolong kepadanya agar menanyakan hal tersebut kepada
Rasulullah Saw. Lalu Aisyah r.a pun menyampaikan hal itu
kepada beliau, lalu beliau pun menyuruh Asma r.a agar
menerima hadiah dari ibunya itu dan mempersilahkannya masuk.
Lalu Allah Swt pun menurunkan ayat 8 surat al-Mumtaḥanah”45
Allah Swt tidak melarang kalian untuk bersikap baik
kepada orang-orang kafir yang bersikap damai dengan kalian,
tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian
dari kampung halaman dan rumah-rumah kalian, seperti kaum
perempuan dan orang-orang lemah di antara mereka. Allah Swt
tidak melarang kalian berbuat kebaikan kepada orang-orang kafir
yang seperti itu, seperti menyambung kekerabatan, berbuat baik
kepada tetangga, menjamu dan menyambut kunjungan dengan
baik.46
Allah Swt juga tidak melarang kalian untuk berbuat adil
antara kalian dengan mereka dengan menunaikan hak mereka,
seperti memenuhi janji kepada mereka, menunaikan amanah, dan
membayar harga barang yang dibeli secara utuh tanpa dikurang-
45
Jalaluddi Abdurrahman As-Suyuthi, Terjemah Asbabun…, p.415 46
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 141
126
kurangi. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
senantiasa berbuat adil dan meridhai mereka, serta membenci
orang-orang yang berlaku dzalim dan menghukum mereka.47
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran Wahbah al-
Zuḥailī mengenai ayat-ayat tentang golongan orang-orang yang
berlaku adil yaitu bahwa orang-orang yang adil adalah (a)
Mereka yang memberikan keputusan hukum dengan adil, jujur,
dan objektif. (b) Mereka yang bisa memberikan keputusan
diantara kedua belah pihak yang sedang berseteru hingga tidak
terjadi lagi konflik di antara keduanya. (c) Mereka yang bisa
berlaku adil kepada mereka (non muslim) dengan menunaikan
hak kepaha mereka, memenuhi janji kepada mereka, menunaikan
amanah, dll selama mereka memang tidak memusihi dan
memerangi karena agama atau dunia.
8. Golongan Orang-Orang yang Berperang di Jalan Allah
Jihad di jalan Allah adalah mencurahkan segala upaya
guna memerangi orang-orang kafir, untuk menggapai ridha
Allah dan demi meninggikan kalimatnya.48
Dan dalam kaitannya
47
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 141 48
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam Al-Kamil (Jakarta: Darus Sunnah, 2016), cet ke 24, p.1193
127
dengan jihad, seorang muslim tidak hanya semata-mata jihad
tetapi harus memiliki cinta terhadapnya. Ia harus
memprioritaskan jihad fi sabilillah atas selainnya dari kehidupan
yang fana ini. Jihad fi sabilillah jalan bagi keberlangsungan
agama ini, karena hanya dengannya agama ini tersebar dan
kokoh, yaitu dengan cara memerangi musuh-musuhnya,
mengibarkan panji-panjinya dan menyerukan kalimatnya49
.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-
Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. al-Ṣaff: 4)
Sesungguhnya Allah Swt ridha dan memberi pahala yang
melimpah kepada orang-orang yang berperang di jalan Allah
membentuk satu barisan dan sebuah front yang terjalin kuat,
kukuh, kompak, dan solid yang tidak bisa tergoyahkan dan
tergeser sedikit pun, seakan-akan mereka laksana sebuah
bangunan yang tertanam tegak nan kukuh yang antara bagian-
bagian konstruksinya saling terjalin erat tanpa ada sedikit pun
celah, retakan, dan lubang, seumpama satu kesatuan yang utuh.50
49
Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiya…., p.56-
57 50
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 170
128
Ini adalah pengajaran dari Allah Swt kepada kaum
Mukminin tentang bagaimana mereka seharusnya ketika
berperang melawan musuh mereka, mendorong, memotivasi dan
menstimulasi mereka untuk berjihad dengan persiapan yang
matang dan mantap, merealisasikan tugas jihad dengan penuh
perhitungan yang cermat, akurat dan professional, semangat
solidaritas dan kekompakan menjaga persatuan dan kesatuan,
melaksanakan perintah dengan penuh semangat, ketegasan dan
keteguhan tanpa mengenal kata lelah, tekad yang bulat tanpa
kenal kata ragu dan bimbang, menghadapi musuh dengan hati
yang teguh, tegar dan gagah berani tanpa mengenal kata takut
mati.51
Tujuan perang dalam Islam adalah untuk melenyapkan
kekufuran dan kesyirikan, mengeluarkan manusia dari gelapnya
kekufuran dan kesyirikan serta kebodohan menuju cahaya iman
dan ilmu, menundukkan para aggressor, menghilangkan fitnah,
meninggikan kalimat Allah, menyebarkan agama Allah dan
51
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr…, p. 170
129
menyingkirkan orang yang menghalangi dakwah serta
penyebaran agama Islam.52
Adapun analisis penulis mengenai penafsiran Wahbah al-
Zuḥailī mengenai surat al-Ṣaff ayat 4 tentang golongan orang
yang berperang di jalan Allah, ayat ini menjelaskan bahwa orang
yang berperang di jalan Allah adalah mereka yang mencurahkan
segala upaya mereka guna memerangi orang-orang kafir, untuk
menggapai ridha Allah dan demi meninggikan kalimat-Nya
dengan membentuk satu barisan yang terjalin kuat, kukuh,
kompak dan solid yang tidak bisa tergoyahkan dan tergeser
sedikitpun.
52
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam…, p. 1194
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa yang telah penulis lakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Di dalam Alquran telah disebutkan tentang mereka yang
mendapat jaminan cinta dari Allah karena perbuatan dan perilku
mereka yang disenangi Allah SWT, mereka adalah (1) orang-
orang yang berbuat baik (muḥsinīn), (2) orang-orang yang
bertaubat (tawwābīn), (3) orang-orang yang menyucikan diri
(mutaṭahhirīn), (4) orang-orang yang bertaqwa (muttaqīn), (5)
orang-orang yang sabar (ṣābirīn), (6) orang-orang yang
bertawakal (mutawakkilīn), (7) orang-orang yang adil (muqsiṭīn),
dan (8) orang-orang yang berperang di jalan Allah.
2. Wahbah Al-Zuḥailī menjelaskan bahwa golongan orang-orang
yang dicintai Allah adalah mereka yang mendapatkan cinta,
kasih sayang, serta keridhaan dari Allah SWT karena perbuatan
dan perilaku mereka yang disenangi oleh Allah, dan mereka
131
tunduk kepada Allah dengan ketundukan yang totalitas kepada-
Nya dan menyerah kepada Allah dengan penyerahan yang
sempurna pula. Oleh karena itu Allah akan memberi pahala dan
ampunan kepada mereka.
B. Saran
Tidak ada banyak hal yang dapat penulis sarankan dalam
skripsi ini, ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan:
1. Bagi seluruh kaum muslimin kerjakanlah apa yang
diperintahkan oleh Allah dan jauhilah apa yang dilarang oleh
Allah supaya kita mendapatkan jaminan cinta dari Allah
2. Jika kita telah melakukan apa yang telah diperintahkan oleh
Allah dan Rasulnya, niscaya Allah akan cinta dan ridha
terhadap kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ukasyah Habibu, 3 Mantra Kehidupan, cet 1, Yogyakarta:
Diva Press, 2015.
Aiman, Ummul, “Metode Penafsiran Wahbah al-Zuhaili; Kajian al-
Tafsir al-Munir”, Jurnal Miqot, Vol. 36, No. 1, 2012.
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhaili dalam Al-Tafsir Al-Munir”,
Mutawatir, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Vol. 1, No. 2,
2011.
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-
Fadhil Quran al-Karim, cet 2, Lebanon: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Matan Masykul
Al-Bukhari, Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin; Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu
Agama Jilid 9 Zuhud, Cinta, dan Kematian, cet 2, Jakarta:
Republika Penerbit, 2015.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad, Menguak
Rahasia Qolbu, terj. Bahrun Abu Bakar, cet 1, Bandung:
Nuansa Aulia, 2008.
Al-Ghazali, Imam, Taubat; Media Pengampunan dan Pembersih
Dosa, terj. Moh. Syamsi Hasan, cet 1, Surabaya: Amelia
Surabaya, 2006.
Al-Hafidz, Ahsin. W, Kamus Ilmu Alquran, cet 4, Jakarta: Amzah,
2012.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’; Macam-
Macam Penyakit Hati yang Membahayakan dan Resep
Pengobatannya, cet 4, Putaka Imam As-Syafi‟i, 2013.
Al-Jawi, Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar, Pribadi Muslim,
Kendal: PT. Karya Toha Putra, 1992.
Al-Kurdi, Syaikh Muhammad Amin, Jalan ke Surga, terj. M.
Yaniyullah, cet 1, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Al-Yamani, Syaikh Yahya ibn Hamzah, Pelatihan Lengkap
Tazkiyatun Nafs, terj. Maman Abdurrahman Assegaf, cet 1,
Jakarta: Zaman, 2012.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarīʽah
wa al-Manhaj, Bairūt: Dār al-Fikr al-Muʽāṣir, 1991.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarīʽah
wa al-Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, cet 1, Jakarta:
Gema Insani, 2013.
An-Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi,
Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, terj.
Umar Faruq, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
An-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Ensiklopedia Hadits
al-Kutub al-Sittah Shahih Muslim 2, terj. Masyhari, cet 1,
Jakarta: Almahira, 2012.
An-Nuaim, Muhammad Ibrahim, Amalan-Amalan untuk Meraih
Tingkat Tertinggi Surga, cet 3, Jakarta: Qisthi Press, 2005.
Ash-Shawi, Syaikh Syahhat bin Muhammad, Mahabbah Ilahiyyah;
Menggapai Cinta Ilahi, cet 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu Al-Quran dan
Tafsir, cet 3, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Asma, Ummu, Dahsyatnya Kekuatan Sabar, cet 1, Jakarta: Belanoor,
2010.
As-Sakandari, Ibnu Athaillah, Terjemah Kitab Al-Hikam, terj.
Muhammad Farid Wajdi, cet 1, Yogyakarta: Mutiara Media,
2015.
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi,
Ensiklopedia Hadits al-Kutub al-Sittah Sunan Abu Dawud,
terj. Muhammad Ghazali, cet 1, Jakarta: Almahira, 2012.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Terjemah Asbabun Nuzul, terj.
Rohadi Abu Bakar, Semarang: Wicaksana, 1986.
Athaillah, Ibnu, Mengaji Tajul Arus; Rujukan Utama Mendidik Jiwa,
terj. Fauzi Faisal Bahreisy, cet 1, Jakarta: Zaman, 2015.
At-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Jami’ Al-
Tirmidzi, Riyad: Bait al-Afkar al-Dauliyah.
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa, Ensiklopedia Hadits al-
Kutub al-Sittah Jami’ at-Tirmidzi, terj. Misbahul Khaer,
Jakarta: Almahira, 2013.
At-Tuwaijiri, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah,
Ensiklopedia Islam Al-Kamil, cet 24, Jakarta: Darus Sunnah,
2016.
Aziz, Abdul, “ Ciri-Ciri Orang yang Dicintai Allah; Studi Analisis
Tafsir al-Munir Karya Syekh „Abd Mu‟thi‟ Muhammad
Nawawi al-Bantani” (Skripsi UIN “Gunung Djati” Bandung,
2018).
Badawi, Abdul Azhim bin, 40 Karakteristik Mereka yang Dicintai
Allah Berdasarkan Alquran dan As-Sunnah, cet 7, Jakarta:
Darul Haq.
Badrudin, Akhlak Tasawuf, cet 2, Serang: IAIB Press, 2015.
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili dan
Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”,
Jurnal Analisis, Vol. 16, No. 1, 2016.
Ehasari, Iis, “Konsep Cinta; Study Tentang Pemikiran Tasawuf
Jalaluddin Rumi” (Skripsi IAIN “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten, 2012).
Faroqi, Ahmad, “Analisis Ayat-Ayat Mutasyabihat Tafsir al-Munir
Karya Wahbah al-Zuhaili” (Skripsi UIN “Walisongo”
Semarang, 2016).
Fathani, Abdul Halim, Ensiklopedia Hikmah: Memetik Buah
Kehidupan di Kebun Hikmah, cet 1, Jogjakarta: Darul
Hikmah, 2008.
Fatimah, Putri Ajeng, “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah al-
Zuhaili” (Skripsi UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta, 2011).
Fauzi, Isnan Luqman, “Syibhul „Iddah Bagi Laki-Laki; Studi Analisis
Pendapat Wahbah al-Zuhaili” (Skripsi IAIN “Walisongo”
Semarang, 2012).
Hadi, Nor, Panduan Shalat dalam Keadaan Darurat, cet 1, Bandung:
Ruang Kata Imprint Kawan Pustaka, 2012.
Hamid, Shalahuddin, Study Ulumul Quran, cet 2, Jakarta: Intimedia
Ciptanusantara, 2014.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985
Hani, Ummu, “Penafsiran Kalimat Wadhribuhunna dalam QS. al-
Nisa dan Implementasinya; Studi Komparatif Antara
Penafsiran Wahbah al-Zuhaili dan Muhammad Quraish
Shihab” (Skripsi IAIN “Sunan Ampel” Surabaya, 2010).
Harahap, Syahrin, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, cet 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Hayatunnisa, Eka dan Anwar Hafidzi, “Kriteria Poligami serta
Dampaknya melalui Pendekatan Alla Tuqsitu Fi al-Yatama
dalam Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu” Syariah; Jurnal Ilmu
Hukum dan Pemikiran, Vol. 17, No. 1, 2017.
Hidayatullah, Yayat, “Mahabbatullah dalam Al-Qur‟an (Kajian Tafsir
Al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili)” (Skripsi UIN “Sultan
Maulana Hasanuddin” Banten, 2018).
Khaled, Amru, Hati yang Menyejukkan; Kiat Sukses Beribadah,
Berkarir dan Menggapai Hidup Bahagia dengan Bening Hati
dan Suci Jiwa, terj. Tim Baitul Kilmah, cet 1, Jakarta:
Himmah Media, 2010.
Lutfi, Atabik, Tafsir Tazkiyah; Tadabur Ayat-Ayat untuk Pencerahan
dan Penyucian Hati, cet 1, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazini Ibnu,
Ensiklopedia al-Kutub al-Sittah Sunan Ibnu Majah, terj.
Saifuddin Zuhri, cet 1, Jakarta: Almahira, 2013.
Matsna, Moh, Qur’an Hadits, Jakarta: Karya Toha Putra,
2004.
Muhammadun, “Wahbah al-Zuhaili dan Pembaruan Hukum Islam”,
Mahkamah, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2016.
Mujieb, M. Abdul, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, cet 1,
Jakarta: Hikmah, 2009.
Nawawi, Imam dan Imam Qasthalani, Hadis Qudsi, Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2018.
Nazir, Moh, Metode Penelitian, cet 5, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003.
Nikmah, Dessy Nurul, “Saksi-Saksi di Hari Kiamat dalam Al-Qur‟an;
Kajian Tematik dalam Kitab al-Tafsir al-Munir Karya
Wahbah al-Zuhaili” (Tesis UIN “Sunan Ampel” Surabaya,
2017).
Nurlina, Selfi, “Cinta dan Benci Karena Allah; Studi Analisis Sanad
dan Matan Hadits” (Skripsi IAIN “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten, 2015).
Pur, Majid Rasyid, Tazkiyah al-Nafs Penyucian Jiwa, cet 2, Bogor:
Cahaya, 2003.
Rosidin, Metodologi Tafsir Tarbawi, cet 1, Jakarta: Amzah, 2015.
Shihab, M. Quraish, Ensiklopedia Alquran; Kajian Kosa Kata, cet 1,
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, cet 4, Jakarta: Lentera Hati,
2002
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Quran, cet 2, Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.
Syafaat, “Telaah Terhadap Tafsir Al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili
tentang Konsep Poligami dalam Konteks Keadilan Jender”,
Jurnal Penelitian Kependidikan, No. 1, 2008.
Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu,
Tafsir Ibnu Katsir, cet 5, Bogor: Pustaka Imam As-Syafi‟i,
2004.
Tharsyah, Adnan, Manusia yang Dicintai dan Dibenci Allah; Kunci-
Kunci Menjadi Kekasih Allah, cet 1, Bandung: Mizan Pustaka,
2018.
Utsman, Mahran Mahir, Serba 3 dari Nabi Muhammad; 3 Amalan
yang Paling Dicintai Allah, 3 Dosa yang Paling Besar Disisi
Allah, 3 Doa Penting Setelah Shalat, terj. Abdullah Abbas, cet
1, Tangerang: Lentera Hati, 2012.