Gifted Terlambat Bicara vs Autisme Dan Atau ADHD

  • Upload
    na-ger

  • View
    368

  • Download
    14

Embed Size (px)

Citation preview

Gifted terlambat bicara VS autisme dan atau ADHD/ADD Bagaimana pendidikannya?1Julia Maria van Tiel Orangtua gifted visual spatial learner Pembina kelompok diskusi [email protected]

PendahuluanKelompok diskusi [email protected] sejak berdiri tahun 2001, menerima hampir 600 anggota yang umumnya merupakan orangtua dari anak-anak cerdas yang terlambat bicara dengan diagnosa yang berganti-ganti dari satu pendiagnosa ke pendiagnosa yang lain. Umumnya diagnosa yang diterima adalah saat anak-anak ini belum bicara menerima diagnosa ASD, atau juga PDD-NOS. Saat ia bisa berbicara mendapatkan diagnosa ADHD, dan saat sudah dapat bersekolah dengan prestasi baik mendapatkan diagnosa autisme Asperger. Jika tidak berprestasi dari ADHD menjadi ADD. Atau jika tidak berprestasi juga mendapatkan diagnosa Learning Disabilities, bahkan beberapa diantaranya menerima diagnosa brain injury dan retardasi mental. Mengapa ada satu anak diagnosanya bisa berubah-ubah, padahal gangguan-gangguan tersebut sudah dinyatakan gangguan yang disebabkan karena adanya cacat neurologis yang masalah dan bentuk kecacatannya sudah dinyatakan akan disandang seumur hidup. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, ada anak yang kemudian keluar dari kriteria dan dinyatakan sembuh, ada anak yang berganti diagnosanya, bahkan ada anak yang semakin parah? Bahkan kini muncul pendapat yang hampir mapan di masyarakat, bahwa demikianlah anak berkekhususan itu alamiahnya memang diagnosanya bisa berganti-ganti. Benarkah? Dari kenyataan di lapangan itu, muncullah suatu fenomena dimana ada bentuk terapi yang digunakan untuk semua bentuk gangguan tanpa lagi perlu memandang spesifikasi gangguannya. Ataukah, berarti jika demikian halnya maka kita bisa pula berpendapat bahwa: 1) mungkin pendiagnosanya yang sudah salah menginterpretasi gejala; 2) mungkin kriterianya yang memang sudah salah atau kurang tepat; 3) ataukah si anak memang mempunyai dual diagnosis, yaitu gifted plus autisme, ataupun gifted plus ADHD/ADD, gifted plus gangguan belajar, atau gifted plus retardasi mental? Ketiga kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi hingga saat ini berbagai macam diagnosa anak berkekhususan hanyalah menggunakan sistem penegakan diagnosa yang subjektif yaitu dengan menggunakan penilaian terhadap perilaku, misalnya pada ADHD, ADD, dan autisme. Terhadap learning disabilities juga tidak menggunakan tes-tes objektifDibawakan dalam Seminar dan Workshop Program Inklusi Magister Psikologi Unika SoegiyapranataSemarang 31 Juli 20010. 2 Kelompok diskusi orangtua anak gifted (gifted children) dengan segala permasalahannya,1

tetapi menggunakan tes-tes kemampuan belajar (didaktif). Tes objektif itu misalnya penciteraan otak, pemeriksaan darah, dan pemerikaan laboraturium lainnya. Namun hingga kini berbagai pemeriksaan itu masih belum dapat digunakan untuk melacak masalah anak berkekhususan ini. Apalagi bagaimana mekanisme terjadinya LD masih belum dipahami, begitu juga teori untuk menjelaskan perilaku autisme belum bisa ditegakkan. Hanya pada gangguan ADHD sudah disepakati bahwa gangguan ADHD disebabkan karena masalah sistem inhibisi pada fungsi eksekutif yang terletak pada otak bagian depan (lobus frontal). Tetapi bagaimana melacaknya dengan menggunakan metoda penciteraan otak, masih belum ada kepastian kesimpulannya ( Patternotte & Buitelaar, 2006 ). Karena itu sekalipun di berbagai negara (maju) pelacakan ADHD/ADD masih menggunakan kriteria perilaku. Namun kemungkinan bahwa gifted plus autisme (sekalipun asperger syndrome yang dikenal ada yang mempunyai inteligensi baik hingga tinggi) tidaklah mungkin, sebab kedua kekhususan mempunyai karakteristik inteligensi yang sungguh berkebalikan. Pada anak-anak gifted mempunyai kekuatan pada kemampuan pemecahan masalah, sedangkan pada anakanak autisme justru mengalami keterbatasan kemampuan pemecahan masalah ( Webb dkk, 2005). Gifted plus retardasi mental, tentu saja tidak mungkin. Selain diagnosa ADHD/ADD, dan autisme tadi, anak-anak ini juga banyak yang mendapatkan diagnosa brain injury dan bahkan retardasi mental. Hal ini disebabkan karena si anak ini mengalami keterlambatan bicara dan memperoleh prestasi tes IQ yang masih mempunyai deskrepansi yang besar antara verbal IQ dan performasi IQ, namun sudah diambil kesimpulan melalui total skor IQ. Jelas diagnosa retardasi mental dan brain injury ini adalah kesalahan dalam interpretasi hasil tes IQ. Kesimpulan seperti ini sering sekali dijumpai dalam mailinglist [email protected] . Terapi yang sering diterima, mulai dari terapi medikamentosa untuk ADHD/ADD ataupun autisme, vitamin dosis tinggi, smart drugs, terapi-terapi gerak atau motoric patterning (seperti paket Sensory integration therapy, Doman-Delacato, Brain Gym, Muscle touch), terapi diet, terapi hipnotis, food supplement, chelation/detoksifikasi, dan berbagai terapi alternatif lainnya. Pada umumnya menerima terapi yang non-EBP/EBM. Akhir-akhir ini ada kecendrungan memberikan terapi yang sama untuk segala bentuk kekhususan, yaitu Sensory Integration Therapy dan terapi okupasi, karena munculnya pemahaman di lapangan bahwa masalah anak-anak berkekhususan disebabkan karena masalah pada sensoriknya, yang tentu saja tidak ada bukti secara ilmiahnya (Stephenson, 2004). Pendidikan yang diterima anak-anak ini di Indonesia, sangat beragam, terbanyak masuk sekolah dasar umum dengan pendekatan khusus, namun sebagiannya mengalami kesulitan menempuh pembelajaran, tidak diterima di sekolah, masuk SLB, atau homeschooling. Karena belum diterimanya diagnosa gifted terlambat bicara secara formal baik di bidang psikologi dan kedokteran, maka anak-anak ini melandas di sekolah menjadi diagnosa ADHD, Asperger, PDD-NOS, ASD, gangguan belajar (Learning Disabilities), atau lamban belajar. Umumnya tidak menerima layanan keberbakatannya, yang lebih banyak disebabkan karena pihak sekolah hanya menyediakan layanan kelas akselerasi. Tentu saja hal ini sungguh sangat memprihatinkan kita semua.

Terlambat bicara?Umumnya orangtua dalam mailinglist [email protected] melaporkan anak-anaknya pada awalnya sudah mulai bicara beberapa kata, namun bersamaan dengan perkembangan motorik kasar dan eksplorasinya (di sekitar usia 18 bulan) anak mengalami kemunduran prestasi bicara. Ia semakin menyendiri, asyiek dengan mainannya, tidak merespon dan semakin sulit diajari. Motorik kasarnya semakin berkembang luar biasa diikuti dengan tingkat aktivitas yang tinggi. Kemudian orangtua mencari bantuan karena dirasa anaknya sulit dikendalikan, baik motorik (banyak gerak dengan tingkat aktivitas yang tinggi) maupun emosinya, terutama disebabkan karena anaknya tidak mengalami perkembangan bicara sebagaimana teman sebayanya. Sekalipun anak-anak ini tidak mampu berbicara namun ia masih bisa menangkap perintah-perintah yang diberikan orangtuanya. Ia juga sangat mampu membangun relasi yang hangat dengan orangtuanya. Kebingungan yang sering disampaikan orangtua adalah, si anak tidak merespon jika dipanggil (jikapun merespon hanya merespon sekilas saja), terutama saat ia asyiek bermain sendiri. Ia akan mulai bicara lagi di usianya yang ke tiga bahkan ada yang mulai lagi di usianya yang ke empat. Kondisi tidak bisa berkomunikasi dengan baik akan berlangsung hingga anak masuk usia sekolah dasar dan di usia itu anak sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Anak-anak yang kini sudah mulai remaja, pada kenyataannya mempunyai IQ yang luar biasa tinggi dan mempunyai prestasi yang baik di sekolah. Walau demikin sebagiannya mempunyai masalah sosial, emosi, dan bahkan ada juga yang sulit mencapai prestasi yang baik sekalipun dalam tes-tes psikologi menunjukkan mempunyai potensi inteligensi yang sangat baik. Berbagai literature yang berlatarbelakang keilmuan patologi bahasa menyebut gangguan bicara dan bahasa ini disebutnya dengan nama Specific Language Impairment (SLI). Istilah SLI bisa kita temukan misalnya dari literature yang dikeluarkan oleh Dorothy M Bishop atau oleh Gina Conti-Ramsden. Selanjutnya Goorhuis & Schaerlakens (2008) dua orang profesor ahli THT dalam kekhususan audiologi dari Belanda, menyebutnya juga sebagai gangguan bicara dan bahasa spesifik (SLI). Dalam hal ini gangguan bicara dan bahasa yang terjadi adalah merupakan gangguan primer, yang artinya murni karena perkembangannya. Kemudian kondisi ini biasa disebut gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik yang disebabkan karena gangguan perkembangannya sendiri. Karena itulah kemudian disebut spesifik. Dalam hal ini gangguan hanya akan mengenai pada produksi bahasa (ekspresif), tidak pada penerimaan bahasa (reseptif), kadang juga diikuti dengan gangguan pemahaman bahasa. Mekanismenya tidak diketahui secara jelas, namun dikatakan bahwa penyebabnya adalah genetik. Si anak bukan merupakan anak yang mengalami retardasi mental, bukan anak yang mengalami gangguan sosial dan perilaku, pendengarannya baik, dan tidak ada gangguan pada penerimaan bahasa (tidak ada gangguan reseptif). Dalam pemeriksaan neurologis juga tidak menunjukkan adanya gangguan/cacat neurologik, juga tidak ada masalah psikiatrik. Dengan kata lain ia merupakan anak yang tidak boleh diberi diagnosa apa-apa (Goorhuis & Shaerlakens, 2008). Faktor genetik misalnya adanya faktor bawaan pada lemahnya mempelajari bahasa bisa jadi juga mempunyai peranan yang besar. Demikian juga terjadinya variasi kematangan

neurologis sejak masih kecil, turut mempunyai peranan, sekalipun tidak semua anak menunjukkan gejala yang sama. Gangguan bahasa dan bicara spesifik ini oleh Charles Nyiokiktjien dan Xavier Tan dua orang psikiater dan sekaligus juga neurolog dari Vrij Universiteit Amsterdam, dari keilmuan neurologi diberi istilah pure developmental dysphasia (Tan, 2004)3. Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya anak-anak ini tidak mempunyai gejala adanya gangguan (kecacatan) di otak atau bentuk yang sejenisnya, baik dalam gejala mayor maupun minor. Tetapi lebih setengahnya diikuti juga dengan masalah gejala yang menunjukkan adanya gangguan neurologis sebagai komorbidoitas (gangguan lain yang mengikutinya), kondisi inilah yang menyebabkan parahnya masalah si anak. Gangguan lain yang sering menyertainya sebagai komorbiditas adalah gangguan motorik dan konsentrasi. Gangguan ini seringkali juga bukan hanya merupakan keterlambatan kematangan namun seringkali juga mengikutinya hingga ia dewasa dan tua, yang artinya merupakan gangguan (kecacatan) neurologis. Komorbiditas inilah menambah parahnya masalah gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekpresif ini (Goorhuis & Shaerlakens, 2008). Sebetulnya Nyiokiktjien sudah melakukan penelitiannya sejak lama lebih dari 20 tahun lalu, namun hingga saat ini masalah anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan karena perkembangannya sendiri itu, masih saja kurang dipahami, yang disebabkan karena memang kurang banyak hasil penelitian yang dapat menjelaskannya. Kurang banyak yang melakukan penelitian yang dalam pada kelompok ini karena kurang dianggap mendesak, dan ia mempunyai prognosa yang baik. Karenanya dianggap kurang mendesak jika dibandingkan dengan masalah gangguan lain yang lebih parah. Dalam DSM IV kita akan menemukan kelompok ini dengan istilah Gangguan bicara dan bahasa ekspesif. Gangguannya hanya mengenai kemampuan ekspresif yaitu mengemukakan pikiran dalam bentuk ekspresi bahasa. Sementara itu reseptifnya lebih baik daripada ekspresifnya. Sekalipun reseptifnya lebih baik, namun kadang kita juga manemukan anak-anak ini mengalami kesulitan reseptif terutama dalam bentuk perintah yang lebih dari satu (Greenspan, 1995, Nijenhuis, 2003).

Specific Langauge Impairment = Gifted visual spatial learner?Dahulu tidak pernah disangka bahwa keterlambatan bicara adalah jalan yang harus ditempuh oleh anak-anak gifted visual spatial learner. Dengan kata lain, bahwa terlambat bicara merupakan pola tumbuh kembang anak-anak gifted visual spatial learner ini. Karena itulah banyak dari anak-anak ini dulu masuk panti rehabilitasi anak-anak bermasalah, karena disangka mengalami brain damage (Mnks & Ypenburg, 1995). Greenspan (1995) dan Levine (2002) menjelaskan bahwa sekalipun ada anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara namun bila si anak mempunyai kemampuan dimensi yang baik, maka ia tidak akan mengalami masalah pada perkembangan inteligensinya terutama dalam kemampuan higher order thinking (inteligensi tinggi seperti kemampuan analisasintesa, pemecahan masalah, dan membuat kreasi sesuatu yang baru). Anak-anak ini akanUntuk penggunaan istilah-istilah yang membingungkan ini (padahal anaknya sama, yang itu itu juga) lihat buku Handboek Taalontwikkeling, Taalpathologie, en Taaltherapie oleh SM Goorhuis & Shaerlakens (2008).3

sangat pandai dalam matematika, ilmu-ilmu murni, dan sains (Reuver, 2004; Greenspan, 1995; Levine, 2002 ; Silverman, 2002). Di Belanda, sejarah mulai dikembangkannya pengertian tentang visual learner diawali oleh Maria J Krabbe di tahun 1930-an. Ia adalah seorang terapis wicara yang banyak menerima anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara. Anak-anak ini cerdas dan tidak tuli. Dari pengamatannya ia melihat bahwa anak-anak ini mempunyai caranya sendiri dalam mengemukakan apa yang tengah dipikirkannya. Ia juga melihat adanya perbedaan yang mencolok antara berbagai perkembangan yang dimiliki anak-anak ini, karena sekalipun ia mengalami kesulitan berbicara tetapi mempunyai kemampuan lain yang melebihi anak-anak lainnya. Dalam menghadapi fenomena ini ia berupaya mencari-cari jawaban dengan melakukan penelaahan berbagai bacaan dan melakukan pengamatan yang mendalam terhadap klien-klien kecilnya itu. Semua yang ia temui itu ia tulis dalam sebuah buku yang kemudian ia beri judul: Beelddenken and woordblindheid (Visual learner and wordsblindness). Bukunya terbit di tahun 1940-an. Maria J Krabbe kemudian banyak memberikan ceramah-ceramah tentang visual learner ini (de Groot & Paagman, 2003). Di tahun 1944, seorang guru sekolah dasar Montessori untuk kelas-kelas rendah di Bussum sebuah kota kecil di Belanda, bernama Nel Ojemann membuat skripsi dalam rangka pendidikan orthopedagoginya dengan judul: Het verschil in de wijze van uitwerking van het wereldspel door het al dan niet dyslectische kind (Perbedaan cara kerja permainan wereldspel oleh anak penyandang disleksia dan tidak disleksia). Skripsi Nel Ojemann ini menggunakan dasar-dasar pemikiran dari Maria J Krabbe tentang visual learner tadi. Skripsinya telah menarik perhatian seorang psikiater anak L N J Kamp, yang kemudian mencobanya untuk digunakan sebagai alat untuk menegakkan diagnosa. Dari sini ia melihat bagaimana perbedaan perkembangan anak-anak normal dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Dalam debut karirnya, Nel Ojemann akhirnya bekerja sebagai tenaga remedial teacher dan menyelesaikan pendidikannya dalam bidang pedagogi dan psikologi, serta bekerja sebagai dosen pertama untuk remedial teacher di Belanda. Sampai pensiun ia tetap bekerja sebagai remedial teacher untuk anak-anak normal yang mempunyai kesulitan belajar. Ia juga menjadi pendiri yayasan yang bergerak dalam membantu anak-anak visual learner di Belanda, yaitu Stichting Maria J Krabbe. Penerus Nel Ojemann juga semakin banyak, antara lain Prof Roel de Groot seorang orthopedagog yang banyak melakukan penelitian terhadap anak-anak gifted yang visual learner (de Groot & Paagman, 2003). Pemahaman tentang visual learner ini seringkali juga menjadi salah interpretasi terutama yang diluncurkan oleh Ron Davis dari Amerika yang memperkenalkan bahwa disleksia adalah sebuah anugerah. Ron Davis adalah seseorang yang pernah mengalami salah terdiagnosa sebagai anak mental retarded dan juga pernah terdiagnosa sebagai penyandang disleksia. Namun ternyata ia dapat menyelesaikan studinya menjadi insinyur penerbangan dan bekerja di NASA. Ia menjelaskan bahwa dengan metodanya ia dapat menolong dirinya dari disleksia tersebut. Metodanya masuk ke pasaran luas dengan nama Davis Method untuk mengatasi disleksia. Namun, apa yang diperkenalkan oleh Davis sebagai disleksia itu, menurut t Veld & de Groot (2005) sebenarnya adalah visual learner. Sebab, menurut Veld & de Groot, belum tentu visual learner akan menjadi penyandang disleksia. Bisa saja terjadi bahwa visual learner mengalami gangguan disleksia, tetapi hal itu merupakan masalah lain. Artinya tidak ada hubungan antara visual learner dan disleksia (Von Krolyi & Winner, 2004). Dari pemeriksaan melalui CT Scan juga menunjukkan bahwa gambaran antara penyandang disleksia dan visual learner juga berbeda. Artinya bahwa, apa yang dikemukakan

oleh Ron Davis adalah tidak benar (t Veld & de Groot, 2005). 4 Sayang pemahaman Ron Davis yang keliru itu terkenal di berbagai penjuru dunia, yang menawarkan terapi disleksia. Profesor Roel de Groot, guru besar orthopedagogi dari Universitas Groningen adalah seseorang yang kini sangat terkenal sebagai salah seorang pemerhati anak cerdas yang visual learner ini. Dalam bukunya Denkbeelden over beelddenken, een beeld zegt meer dan duizend woorden. Theorie en praktijk rond beelddenkers: over opvoeden, begeleiden, en hun speciefieke taal problemen (Gambaran berpikir tentang visual learner, sebuah gambar bicara lebih dari seribu kata. Teori dan praktik seputar visual learner: tentang pendidikan, bimbingan, dan masalah gangguan bahasa spesifik) tahun 2003, menjelaskan bahwa anakanak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa spesifik ini mempunyai visual spatial giftedness. Anak-anak ini juga mempunyai gaya berpikir (cognitive style) tersendiri yaitu gestalt, dan simultan. Dalam perkembangannya anak-anak ini juga mempunyai perkembangan berpikir primer yang lebih dominan dengan gejala keras kepala, bila menginginkan sesuatu harus sekarang juga, dan sulit menunggu giliran. Dalam pendidikannya hingga sekolah menengah atas pertama umumnya masih mengalami kesulitan dalam pendidikan dan pelajaran berbahasa. Dalam area patologi bahasa, masalah gangguan bicara dan bahasa spesifik atau SLI ini banyak dibicarakan oleh de Jong dari Universiteit van Amsterdam. Ia membuat disertasi, berbagai penelitian, dan banyak artikel tentang masalah anak-anak SLI ini. De Jong (2005) menjelaskan bahwa anak-anak ini dalam perjalanan perkembangan pendidikannya akan mengalami masalah dalam kemampuan gramatika, kesulitan mencari daftar kata dalam memori ( finding words), gangguan pemahaman bahasa (masalah sematik) karena masih keterbatasan dalam jumlah vokabulari yang berakibat pada masalah penggunaan bahasa (masalah pragmatik). Sampai kapan masalah ini dapat diatasi, Aldenkamp dkk (2003) dari keilmuan neurologi mengatakan bahwa kelompok anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan ini akan mengalami normalisasi perkembangan sebelum masa pubertas. Linda Kreger Silverman (2002) menyebutnya sebagai the late bloomer dan akan berkembang harmonis setidaknya di usia pubertas. Linda Kreger Silverman lah yang memperkenalkannya dengan istilah gifted visual spatial learner.

Gejala dan komorbiditasDalam literature misalnya Goorhuis & Shaerlakens (2008), menjelaskan bahwa pada anak dengan gangguan bicara dan bahasa spesifik ini adalah anak yang normal, hanya saja perkembangannya berbeda. Ia mengalami ketertinggalan perkembangan bicara karena ia tengah berkonsentrasi ke arah perkembangan lain. Misalnya tengah melatih perkembangan motoriknya (berjalan dan berlari). Mnks & Knoers (2000) menjelaskan bahwa anak-anak ini sedang dalam fase eksplorasi. Selanjutnya Goorhuis & Shaerlakens (2008), memberikan syarat bahwa seorang anak dapat disebut sebagai gangguan bicara dan bahasa spesifik (SLI) jika tidak diikuti dengan hal-hal di bawah ini: Inteligensi di bawah rata-rata. Bila anak-anak ini diberi tes IQ dengan tes Weschler untuk anak-anak (WISC), maka IQ performansi tidak boleh di bawah normal (di bawah skor 85).

Ron Davis menulis dua buah buku yaitu The Gift of Dyslexia, dan The Gift of Learning. Ia mendirikan Davis Dyslexia Association International. Lembaganya memberikan kursus-kursus terapi disleksia menurut metoda atas namanya sendiri.

4

Tidak ada gangguan pendengaran, dimana batas ambang pendengaran adalah 25 dBHL. Anak-anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif ini, ambang dengarnya tidak boleh lebih dari 25 dBHL. Bukan akibat dari gangguan pada organ-organ bicara, seperti misalnya gangguan otototot mulut, bibir sumbing dan langit-langit subing, gangguan otot-otot pernafasan serta gangguan pita suara. Tidak ada gejala parah maupun ringan cacat/gangguan neurologis (sistem syaraf pusat atau otak) 5 Tidak ada gangguan kontak sosial seperti halnya autisme Tidak terdapat adanya sajian bahasa yang sangat kurang, atau karena menggunakan beberapa bahasa sekaligus (multibahasa), atau disebabkan karena sakit sangat lama sehingga tidak dapat mengembangkan kegiatan berbicara dan berbahasa.

Sebelum mengarahkan kepada gejala gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik, maka faktor-faktor di atas harus disingkirkan terlebih dahulu. Sekalipun anak-anak gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik ini telah mendapatkan perawatan medis, mendapatkan terapi wicara, maupun mendapatkan terapi edukasi, namun masalah keteringgalan perkembangan bicara dan bahasanya tetap ada. Artinya, kita memang harus menunggu kematangan perkembangan neurobiologisnya. Dengan demikian gejala dari gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik (SLI) adalah (Goorhuis & Shaerlakens, 2008; de Jong, 2005; Tan, 2004): 1. Mempunyai perkembangan bahasa reseptif yang baik atau normal dibanding dengan kemampuan rata-rata anak seusianya (pemahaman bahasa lebih baik daripada produksi bahasa). 2. Gangguan pada gangguan bahasa ekspresif (produksi bahasa lebih rendah daripada pemahaman bahasa, gangguan kesulitan menyampaikan pikiran dalam bentuk verbal). 3. Komunikasi dialog lebih sulit daripada berbicara spontan, sebab komunikasi dialog berada di bawah situasi komando6. 4. Terganggunya kelancaran bicara terutama yang menyangkut pencarian daftar kosa kata dalam memori ( finding words), dan kesulitan menyatukan elemen dalam sebuah cerita. 5. Kesulitan membangun kalimat dan bentuk kata-kata. 6. Menyampaikan sesuatu dengan menunjuk-nunjuk, menarik-narik, atau dengan suarasuara: aahuuhhuuhhuuuuh Gejala-gejala di atas adalah gejala yang dapat kita lihat secara langsung dalam suatu pengamatan atau observasi. Sekalipun berbagai literature mengatakan bahwa anak-anak ini mempunyai perilaku yang relatif normal, tidak ada cacat neurologis, tidak ada gangguan kontak, namun dalam kenyataan di lapangan yang kami temui dalam kelompok [email protected] anak-anak ini mempunyai banyak masalah. Mereka bagai anak yang hiperaktif, gangguan konsentrasi, emosi yang mengalami turbulensi, tidak/kurang merespon jika dipanggil, berperilaku seperti autisme yaitu seperti perilaku repetitif, masalah belajar, masalah komunikasi, sulit bekerja dalam kelompok, bermain sendiri, bermain dengan cara yang aneh dan seterusnya. Sehingga tidak heran jika anak-anak ini juga cocok dengan segala macamGejala adanya cacat/gangguan neurologis pada sistem syaraf pusat di otak dapat dilihat melalui pemeriksaan fisik seperti sistem refleks dan motorik, maupun pemeriksaan melalui pencitraan otak. 6 Dalam komunikasi dialog, misalnya tanya jawab, maka ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang lain. Situasi ini artinya berada di bawah komando orang lain.5

kriteria anak bergangguan, dan bisa berubah dari satu pendiagnosa ke pendiagnosa yang lainnya. Dalam hal ini Nyiokiktjien (1990; 1993) dan Goorhuis & Shaerlakens (2008) menjelaskan bahwa setengah dari populasi anak-anak ini mengalami masalah gangguan ikutan (komorbiditas) yang bisa jadi apabila masalahnya tidak menghilang berarti ia memang mengalami komorbiditas gangguan neurologis. Namun hal ini memerlukan pemeriksaan yang lebih seksama. Gangguan lain yang sering menyertainya adalah gangguan motorik (terutama motorik halus) dan gangguan konsentrasi (Goorhuis & Shaerlakens, 2008). Tentang masalah perkembangan emosi yang mengalami turbulensi ( misalnya mudah temper tantrum dan keras kepala) banyak dijelaskan de Groot & Paagman (2003) dan Tan (2005). De Groot & Paagman (2003) menjelaskannya sebagai perkembangan dalam bentuk proses berpikir primer. Sedang Xavier Tan (2005) menjelaskan dari sudut neurologis dengan apa yang disebutnya sebagai metamorfose hemisfer. Bentuk proses berpikir primer (De Groot & Paagman, 2003). Dalam dunia pengasuhan dan pendidikan dikenal adanya pengetahuan tentang bentuk perilaku yang disebut reaksi primitif atau reaksi primer dari seorang anak kecil. Bentuk perilaku ini dipengaruhi oleh bentuk primer proses berpikirnya. Pada anak kecil (dan orang dewasa) yang masih memiliki proses berpikir primernya dapat kita lihat jika ia menginginkan sesuatu ia menginginkan apa yang dimintanya itu dengan segera harus didapatkannya. Semakin dewasa atau semakin bertambah usia, bentuk seperti ini akan semakin menurun. Jika pola perilaku yang ingin segera mendapatkan keinginannya itu masih muncul diluar batas normal di usia anak yang agak besar, sering dikatakan bahwa ia mengalami keterlambatan kematangan perilaku. Orangtua yang mempunyai anak seperti ini seringkali merasa frustrasi dan menganggap anaknya menyusahkannya. Karena pada dasarnya anak-anak visual learner lebih melihat dunia ini secara konkrit dan global, dan ia mempunyai dominasi pada proses berpikir primer, maka anak-anak ini selalu meminta segala sesuatu apa yang dilihatnya sebagai kebutuhannya agar segera didapatkannya. Jika kebutuhannya ini ditolak, hal ini justru tidak sesuai dengan dasar-dasar perkembangannya. Pemahaman tentang proses berpikir primer dan skunder ini pertama-tama dikemukakan oleh Sigmund Frued dan dilanjutkan oleh Rapaport di tahun 1970, yang menjelaskan tentang bagaimana organisasi kerja dari sistem pemrosesan informasi berjalan. Ia meletakkan proses berpikir sebagai awal dari upaya manusia untuk mendapatkan sesuatu. Jika sesorang menginginkan sesuatu dan tidak mendapatkannya, maka ia akan berpikir bagaimana cara agar mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Berpikir bagaimana caranya agar keinginannya itu dapat dicapai adalah suatu proses berpikir sekunder. Pada anak-anak visual learner ini menurut Ojemann (1987), mempunyai proses berpikir primer yang sangat kuat. Dalam model psikoanalisa yang diajukan oleh Ojemann bahwa anak-anak visual learner ini dalam upayanya melakukan pemrosesan informasi lebih banyak menggunakan proses berpikir primer. Metamorphose hemisfer (Tan, 2005).Pertanyaannya adalah, jika anak-anak ini mempunyai perkembangan yang berbeda, lalu menjelaskannya bagaimana? Mengapa oleh para audiolog, speech patolog, dan neurolog, anak-anak ini dianggap normal, padahal mempunyai perkembangan yang berbeda.

Untuk menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena anak-anak ini sehingga ia mengalami gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif, Xavier Tan (2005) seorang psikiater anak dari Universitas Amsterdam menjelaskan7 tentang sebuah eksperimen yang dilakukan oleh seorang neurolog Amerika bernama Dennis Molfese di tahun 1972. Molfese melakukan eksperimen untuk melihat gelombang otak pada bayi. Caranya adalah bayi diberi stimulus berbagai bunyian, seperti kata-kata, musik, dan suara gaduh, yang kemudian diukur dengan menggunakan alat pengukur gelombang. Eksperimen ini bernama AERP (Auditory Event Related Evoked Potential). Hasilnya memperlihatkan bahwa pada anak-anak bayi, reaksi yang terjadi adalah pada bagian otak sebelah kanan, yaitu jika ia diberi bunyian berupa bunyian musik dan suara gaduh. Artinya bahwa perkembangan otak bayi tidak simetris. Kelak secara pelahan, otak sebelah kiri juga akan berkembang. Dimana otak sebelah kiri ini akan bekerja yang berkaitan dengan kata-kata atau auditori/pendengaran. Sedang sebelah kanan mempunyai fungsi kerja yang berkaitan dengan visual atau penglihatan. Artinya lagi, bahwa saat bayi masih sangat muda, mereka akan lebih didominasi oleh otak sebelah kanan yang lebih mempunyai fungsi kerja yang berkaitan dengan visual dan suara-suara musik. Kondisi asimetris dan hanya didominasi oleh otak sebelah kanan ini akan berlangsung hingga usia minggu ke 29. Kelak saat berusia 6 tahun dominasi akan berubah ke otak sebelah kiri, sehingga anak akan lebih menguasai bicara dengan kemampuan kerja auditori yang diatur oleh otak sebelah kiri. Di usia 10 tahun pergerakan ini akan berakhir, dan masa krisis anak berakhir. Keadaan yang dijelaskan ini adalah untuk anak perkembangan normal. Pada anak-anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik, perkembangannya akan berbeda. Dominasi otak sebelah kanan jauh lebih besar daripada perkembangan normalnya, sekalipun bukan berarti bahwa otak sebelah kiri akan mengalami fungsi yang kurang, bisa juga normal, tetapi bisa juga kelak pada saatnya akan berkembang dengan kapasitas kerja yang lebih besar dari normal. Namun akibat dari pola perkembangan yang berbeda ini, maka berbagai aspek tumbuh kembangnya juga akan berbeda. Ia dapat mengalami ketertinggalan kematangan kemampuan bersosialisasi, karena kemampuan ini diatur oleh otak sebelah kiri yang fungsinya tertinggal dari teman-teman sebayanya. Perkembangan yang lebih banyak dipengaruhi oleh otak sebelah kanan ini akan menyebabkan anak-anak ini lebih banyak menggunakan matanya untuk melakukan kegiatan pencanderaan atau observasi, sehingga anak-anak ini lebih giat melakukan eksplorasi daripada anak-anak lainnya. Ia lebih banyak bergerak kian kemari, melihat, memegang, menarik, dan memutar-mutar segala benda yang ditemuinya. Perkembangan motorik kasarnya baik, atau bahkan sangat baik. Jika anak-anak lain di usia 18 bulan akan mulai menanyakan berbagai benda di sekitarnya dan menanyakan nama-nama benda, serta orang-orang disekitarnya, maka anakanak ini akan lebih banyak memperhatikan bentuk-bentuk benda dan wajah-wajah orangorang di sekitarnya, bukan nama-namanya. Dengan sendirinya ia akan tertinggal dalam pemilikan jumlah kosa kata. Bagaimana anak-anak ini mengembangkan berbagai kemampuannya? Kita lihat bagaimana fungsi belahan otak dalam tabel di bawah ini.7

Lihat penjelasan dalam buku Xavier Tan (2005):Dysfatische Ontwikkeling (theorie, diagnostiek, behandeling), Suyi pub, Amsterdam.

Spesialisasi fungsi belahan otak kanan dan kiri pada orang dewasa Fungsi Belahan otak kiri Belahan otak kanan 8 Visual Analisa sintesa Menyimpan memori visual Mengenali objek secara simultan Pendengaran Analisa sintesa Pengenalan suara, intonasi, Penciuman nada, dan ritme Pengecapan Mengenali rasa, bebauan dan Perabaan taktil Kronologis dan sekuensial Fungsi waktu Global, dibayang-bayangkan, (berurutan) mengalir Fungsi bahasa dan bicara Formal Bahasa bicara, puisi, bahasa bayi, menirukan suara-suara, berteriak-teriak, memakiFungsi berpikir Rasional Sebab akibat Pengembangan pikiran dalam bentuk kata-kata Penyajian kata secara simbolik

Pengaturan motorik Motorik berdasarkan perintah verbal Pengaturan gerak sehari-hari

Intituif dalam bentuk bayangan Pengembangan pikir secara multisensorik9 Kreatif Logika matematika Kemampuan pandang ruang Pengaturan motorik berdasarkan perasaan/intuisi Selalu bergerak Pengaturan mimik

Diadopsi dari: Xavier Tan (2005): Dysfatische Ontwikkeling, theorie diagnostiek behandeling, Suyi uitgeverij, Amsterdam.

Walaupun dikatakan bahwa seorang anak akan didominasi oleh otak sebelah kanan, bukan berarti bahwa belahan otak sebelah kirinya tidak bekerja. Ia tetap bekerja secara normal, namun kemampun-kemampuan pada otak sebelah kanan akan lebih memberikan karakteristik utama baginya. Karakteristik utamanya yaitu ia akan lebih baik jika belajar melalui metoda visual daripada auditori (sekuensial). Ia akan lebih berpikir global (gestalt) daripada detil. Dalam menempuh pelajaran ia akan lebih mahir dalam pelajaran ilmu pasti seperti fisika, matematika, dan sains. Anak-anak seperti ini kemudian sering disebut anak dengan gaya belajar visual atau visual learner. Karena memang mempunyai kemampuan dimensi yang baik yang kemudian disebut sebagai kemampuan spasial maka oleh Linda Silverman dalam buku-bukunya disebut gifted visual spatial learner.

8

Analisa adalah melakukan penguraian dari sebuah keadaan atau kondisi, dalam hal ini berbagai informasi yang masuk melalui panca indera (mata, hidung, kulit, telinga, lidah). Misalnya mendengar berbagai suara-suara di tengah pasar, maka ia bisa menguraikan suara apa saja yang didengarnya. Sintesa adalah menggabungkan atau mengkristalisasikan berbagai informasi yang diterima melalui inderanya. 9 Penyajian pikir secara multisensorik artinya, saat ia menyampaikan pemikirannya semua sensor (yang berkaitan) yang dimilikinya turut bekerja, ia membayangkan kejadian, memvisualisasikannya dengan kata-kata (ia akan berbahasa visual yang serba menjelaskan), tangannya dan badannya memberikan gambaran penjelasan apa yang tengah dipikirkan.

Kata visual spatial learner ini bisa kita temui melalui artikel-artikel yang ditulis oleh Linda Kregger Silverman. Sedang berbagai penulis lain sering menggunakan istilah visual learner. Visual learning adalah cara berpikir secara visual (bayangan/gambaran) pada berbagai kejadian. Para penyandang visual learning memakna berbagai kejadian alam bukan melalui perangkat kata-kata. Ia melihat berbagai kejadian di kepalanya, yang secara bersamaan muncul seolah olah di depan matanya, segera kesemuanya diprosesnya yang pada akhirnya dengan cepat memberikan informasi baru secara menyeluruh yang penuh dengan pengertian baru. Kejadian ini merupakan kejadian berpikir yang simultan dan non-verbal yang dimanipulasi melalui perwujudan kemampuan pandang ruang. Kelompok visual learner ini merupakan kelompok kecil, diperkirakan berjumlah sekitar 25 persen (dengan berbagai kualitasnya) dari jumlah populasi yang lahir. Mereka berkemampuan dimensi, dan berpikir tanpa kata-kata. Dengan begitu cara berpikir ini tidak tahap pertahap tetapi secara simultan dan global, tanpa ia kehilangan makna detilnya. Selain cara berpikirnya berupa makna pengertian yang saling berhubungan, seringkali juga diwarnai dengan emosi. Bahasanyalah yang seharusnya pertama-tama menggantikan berpikir visualnya agar ia mampu berkomunikasi dengan orang lain. Artinya ia harus mencari kata-kata yang tepat, tetapi hal ini bisa menyita waktu yang banyak. Kemampuan visual learning adalah kemampuan yang menyulitkan, karena hal ini juga menghasilkan kemampuan kreativitas, dan bakatnya dalam kemampuan pandang ruang, musik, seni (melukis dan seni patung), tetapi juga memungkinkan risiko disleksia, gangguan perkembangan bahasa dan bicara, dan gangguan kemampuan berhitung hapalan. Kebanyakan kondisi ini akan sangat bermasalah saat berada di sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama. Anak penyandang visual learning melakukan pemrosesan informasi adalah dengan caranya sendiri. Caranya sering berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru di sekolah, karena itu banyak dari anak-anak ini mengalami kesulitan menempuh pelajaran di sekolah konvensional yang memberikan pelajaran yang sebetulnya tidak cocok untuk anak-anak visual learner. Karenanya ia perlu mendapat perhatian pelajaran apa saja yang menurutnya sulit dan pelajaran apa saja yang menurutnya mudah, agar ia dapat dibantu menggunakan cara-cara pemrosesan informasi yang dipunyainya. Maksudku, banyak pelajaran yang membutuhkan kemampuan hapalan, namun hal ini baginya akan sangat menyulitkan, karenanya ia perlu diajak belajar mengenal dan mengingat berbagai hal dengan cara memanfaatkan keunggulannya berkemampuan visual dan analistis. Jadi pemberian metoda pembelajaran baginya membutuhkan metoda yang berbeda dengan anak-anak lainnya, dimana anak-anak lain akan sangat mudah belajar dengan cara menghapal. Dari pengalaman saya dan pengalaman para orangtua yang sama-sama mempunyai anak-anak visual learner, umumnya anak-anak ini sangat menyukai pelajaran geografi, terutama peta-peta, matematika, dan tergila-gila dengan komputer, tetapi tidak untuk pelajaran bahasa dan berhitung hapalan. Banyak yang bercerita, seperti juga anak saya, bahwa begitu pandainya ia akan pelajaran geografi, topografi, dan sangat menyukai peta, anak-anak ini sangat menyukai menjadi co-pilot jika sedang melakukan perjalanan dengan mobil. Pengalaman saat kami melakukan liburan di kota Paris, beberapa hari sebelum berangkat ia sibuk mempelajari peta kota Paris. Dan selama berada di hotel, ia masih saja membaca peta secara detil. Saat jalan-jalan, ialah yang menjadi petunjuk jalan, dan dengan mudah menemukan arah jalan kembali jika kita tersasar. Ia menjelaskan beberapa patokan gedung penting, dan menjelaskan bahwa jika mengikuti jalan yang ditunjuk yang nama-namanya ia ingat dari peta maka kita akan dapat menemukan kembali jalan yang pernah kita liwati. Betapa uniknya, seorang anak 9 tahun dapat menyimpan data demikian detilnya.

Anak-anak visual learner selalu dikatakan mempunyai cara berpikir (cognitive style) yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak-anak ini mempunyai gaya berpikir yang disebut gestalt, yaitu berpikir secara simultan dalam bentuk gambar/visual, dan sirkuler. Sirkuler artinya cara berpikirnya tak pernah berhenti, jika ia mendapatkan suatu informasi maka segera informasi yang masuk akan diolah bersama-sama dengan informasi yang sudah berada dalam rekaman memorinya, dan secara cepat dianalisa untuk kemudian menjadi pertanyaan baru, dan di dalam otaknya segeralah ia membuat perkiraan pemecahan masalahnya. Apabila dalam melakukan pemrosesan informasi yang baru itu tidak sesuai dengan berbagai data rekaman di kepala, dengan serta merta ia akan segera menanyakan pada seseorang yang tengah memberinya informasi tersebut. Sebelum ia menemukan jawaban yang sesuai dengan data yang dimiliki, ia tidak akan menerima informasi tersebut. Situasi ini setiap hari bisa dirasakan, dalam bentuk ia selalu membantah, dan keras kepala tidak bisa menerima berbagai instruksi maupun informasi yang kami sebagai orangtua berikan. Agak sulit juga memberinya tambahan-tambahan informasi apalagi jika panjang lebar, sementara informasi yang dimilikinya masih sangat terbatas. Kesulitan memberinya tambahan informasi adalah karena rentang perhatiannya masih pendek, dan ia masih mengalami kesulitan dalam otomatisasi pemrosesan informasi dalam bentuk auditory ke dalam bentuk gaya berpikirnya yang gestalt. Dalam hal ini orangtua perlu memperbesar ruang-ruang kesabarannya.

Perkembangan inteligensiHal yang sangat dari khas dari gifted visual spatial learner ini adalah mempunyai profil IQ yang mempunyai deskrepansi yang besar antara profil verbal yang rendah dan profil performansinya yang tinggi. Keadaan dengan kondisi tidak harmonis ini dilaporkan oleh Silverman (2002) bisa membaik hingga saat usia pubertas. Dari segi perkembangan emosi dan perilaku Aldenkamp dkk (2004) menjelaskan normalisasi perkembangan akan diperolehnya di usia menjelang pubertas. Kecuali pada anak-anak yang mengalami komorbiditas yang parah yang merupakan juga komorbiditas dalam bentuk cacat neurologis, ia akan mengalami kesulitan yang terus menerus semasa hidupnya (Tan, 2004; Goorhuis & Shaerlakens, 2008). Karena itu kepada semua anak-anak terlambat bicara ini sangat penting dilakukan pemeriksaan yang seksama pada saat menjelang sekolah dasar, dan evaluasi yang terus menerus hingga setidaknya di usia sekolah menengah. Hal ini semua untuk melihat mana gangguan yang bisa menghilang, menipis, kronis, bahkan bertambah parah. Kesulitan yang di temui di lapangan pada pemeriksaan inteligensi dengan menggunakan tes-tes inteligensi seperti misalnya IQ tes adalah karena anak-anak ini tidak bisa menggunakan time limit; tidak bisa dengan tes kelompok artinya harus per individu; anak sering kurang konsentasi/sulit diajak konsentrasi/ sulit diajak komunikasi; memerlukan cross-check tes-tes lain; dan memerlukan interpretsi per subtes secara canggih. Karena itu untuk melengkapi tes dan mengurangi kekeliruan interpretasi hasil tes, diperlukan observasi mendalam jangka panjang (dapat dibantu oleh sekolah), wawancara mendalam dengan orangtua, dan laporan tumbuh kembangnya (Mnks & Katzko, 2005 ). Banyak buku-buku terutama buku-buku lama yang yang menjelaskan bahwa pada anak-anak cerdas yang mempunyai deskrepansi yang besar dalam profil IQ nya adalah bentuk gifted dengan learning disabilities. Tetapi dari penelitian yang dilakukan oleh Reuver (2004) dari sejumlah 776 anak (539 anak laki, 237 anak perempuan), umur 6 16 tahun; kesemuanya klien Centrum voor Begaafdheid Onderzoek Katholieke Universiteit van

Nijmegen, dari tahun 1992 sampai tahun 2002, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masalah ketidak harmonisan profil ini dengan terjadinya learning disabilities. Dari pengalaman sebagai orangtua dengan anak gifted visual spatial learner memberikan petunjuk betapa besar peranan orangtua dalam turut mengamati perkembangan inteligensi anak-anaknya. Karena usia balita saat mana belum dapat dilakukan pemeriksaan dengan IQ tes dengan hasil memuaskan, maka laporan orangtua berupa catatan-catatan seharihari dan berbagai hasil karya, permainan, kesukaan anak, dapat digunakan untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya perkembangan inteligensi anak. Hal ini sangat penting karena di usia balita inilah si anak seringkali justru mendapatkan diagnosa yang keliru. Dari pengalaman di lapangan dalam kelompok [email protected] di usia sekolah dasar, dalam tes inteligensinya menunjukkan adanya deskrepansi yang besar antara inteligensi potensial (menggunakan Ravens matrics tes) dengan inteligensi aktualnya (menggunakan Weschler tes). Kondisi ini dapat kita pahami sebagai bahwa anak-anak ini bagai anak yang kurang mampu berprestasi dalam inteligensi aktualnya. Potensinya lebih tinggi daripada aktualnya. Bisa jadi kondisi ini disebabkan karena kurang stimulasi atau salah stimulasi (masalahnya berada di lingkungan), namun juga dapat berarti bahwa masih ada penghambat prestasi yang disebabkan oleh masalah perkembangannya yang belum harmonis (masalahnya ada pada dirinya sendiri). Karena itu kepada anak-anak ini perlu ditelusuri lagi apa yang menyebabkan munculnya masalah deskrepansi antara potensi dan aktualnya. Kesalahan yang paling sering ditemui di lapangan dalam kelompok [email protected] adalah, kepada anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara ini kepadanya tidak disyaratkan untuk dilakukan pemeriksaan psikologi terutama tes inteligensi yang cocok baginya. Jika pun orangtua mempunyai inisiatif sendiri, seringkali perlakuan pemberian tes tidak dengan pendekatan individu, tidak ada dukungan pengamatan dan wawancara mendalam, bahkan hasil tes dibaca sebagaimana membaca bagi tes anak normal yang akhirnya hanya mendapatkan kekeliruan interpretasi. Misalnya hanya diberi laporan skor total yang justru seringkali hasilnya mengarah pada kesimpulan bahwa si anak mempunyai kemampuan inteligensi di bawah normal dan lambat belajar. Dengan saran agar si anak di sekolahkan di SLB untuk anak lambat belajar. Tentu saja saran seperti ini dapat membahayakan diri anak dan masa depannya. Sementara itu, tes inteligensi juga sebetulnya dapat memberikan bantuan tambahan dalam keperluan penegakan diagnosa, apakah anak ini memang autisme ataukah bukan autisme (Volkmar dkk, 2004; Vermeulen, 1999, Vermeulen, 2009 ) . Secara jelas Vermuelen (2009) memaparkan bagaimana bedanya antara perkembangan kognitif autisme terutama asperger, jika dibandingkan dengan anak gifted. Ia menjelaskan bahwa gaya berpikir autisme merupakan gaya berpikir yang sangat khas, yaitu sangat harafiah dan sulit melihat hubungan sesuatu dengan konteksnya secara global. Ciri seperti ini disebutnya sebagai contextblindness. Contextblindness ini disebabkan karena adanya keterbatasan kreativitas berpikir pada autisme, yang menyebabkannya juga kesulitan pada pemecahan masalah dan keluwesan dalam mengahadapi sesuatu. Pada anak gifted justru mempunyai keluwesan berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Secara tegas ia pun menjelaskan bahwa seharusnyalah datadata pemeriksaan psikologi seperti tes-tes untuk melihat perkembangan inteligensi dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam penegakan diagnosa. Umumnya anak-anak ini dalam kenyataannya di lapangan di Indonesia, selalu saja dikelompokkan ke dalam kelompok Asperger. Pengambilan kesimpulan Asperger hanya

berdasarkan melihat dua kondisi: anak berprestasi di sekolah (sebagai anak cerdas) tetapi mempunyai masalah sosial. Dari dua kondisi ini disimpulkan bahwa anak-anak ini adalah penyandang autisme kelompok Asperger syndrome. Padahal seorang anak Aperger mengalami keterbatasan pada kemampuan analisa dan keterbatasan kreativitas, sekalipun ia mempunyai IQ yang tinggi. Klin dkk ( 2000 ) Volkmar, dkk (2004), dan Vermeulen (2009) menjelaskan bahwa apabila ada anak mempunyai gejala yang mirip dengan autisme tetapi mempunyai kemampuan pemecahan masalah (autism mengalami deficit dalam kemampuan visual spatial) maka untuk kepentingan pendidikan ia harus dikeluarkan dari kelompok autisme.

Klin dkk ( 2000 ) Volkmar dkk (2004), dan Vermuelen (2009) menjelaskan bahwa apabila ada anak mempunyai gejala yang mirip dengan autisme tetapi mempunyai kemampuan pemecahan masalah (autism mengalami deficit dalam kemampuan visual spatial) maka untuk kepentingan pendidikan ia harus dikeluarkan dari kelompok autisme.

Pengalaman dengan anak saya, yang dilakukan tes inteligensi dengan menggunakan IST (Inteligence Struktur Test) oleh Centrum voor Begaafheid Onderzoek Katholieke Universiteit van Nijmegen saat ia berusia 12 tahun menunjukkan bahwa total skor inteligensi anak saya mempunyai tingkat inteligensi rata-rata anak gifted Belanda ( di atas 130 skala Weschler), sekalipun dinyatakan belum berkembang secara penuh. Hal ini dapat terlihat dari struktur inteligensinya sangat bervariasi dan terdapat scatter plot yang masih tajam di berbagai tempat terutama dalam skala verbalnya. Misalnya saja ia memperoleh peraihan kemampuan tiga dimensional yang luar biasa tinggi yaitu di atas 98 persentil, tetapi normal dalam kemampuan dua dimensi. Dari kenyataan ini bisa dipahami bahwa ia akan lebih handal dalam kemampuan matematika, mekanika, daripada aljabar linier. Dalam pendidikannya juga kondisi ini dapat terlihat dimana prestasi peraihan matematika akan biasa-biasa saja bahkan kadang kurang bagus dalam pelajaran aljabar linier. Sementara itu prestasinya dalam peraihan hasil tes inteligensi dengan menggunakan IST itu, di usianya yang ke 12 masih mengalami kesulitan dalam kemampuan analogi bahasa yang prestasinya jauh berada di bawah rata-rata anak seusianya. Dengan demikian juga bagaimana ia melakukan pemilihan kata-kata yang tepat untuk suatu keadaan juga masih mengalami kesulitan. Dari tes orthopedagogi yang dilakukan di tempat lain, menunjukkan bahwa dalam usianya yang ke 12 ia masih mengalami kesulitan dalam penguasaan vokabulari. Disamping itu penguasaan vokabulari yang dikuasainya juga berbeda dari teman sebayanya. Ia lebih banyak menguasai bahasa tehnik komputer, bahasa Pandora (film avatar), dan bahasa dari outer space.... Pemeriksaan dengan menggunakan Ojemann tes di usianya yang ke 12 itu juga, untuk melihat seberapa besar kemampuan visual learnernya yang dilakukan oleh lembaga orthopedagogi yang bernaung di bawah Stichting Maria J Krabbe di Alkmaar, menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan visual spatial learner yang sangat kuat, yaitu 65 persen. Hasil peraihan prestasi di sekolahnya menunjukkan masih terjadi hambatan dalam pemahaman bahasa, bahasa ekspresi dalam menuliskan cerita, mengalami kesulitan gramatika dan penyampaian dalam bentuk tulisan, yang menyebabkan hasil-hasil tes bahasa dan

pelajaran yang banyak menggunakan teks yang kurang memuaskan. Berbeda dengan peraihan matematika, ilmu alam, sains, dan kimia. Ia mampu mencapai prestasi di atas rata-rata. Artinya disini bahwa sebagaimana juga apa yang dikemukakan oleh CBO dan berbagai literature bahwa di usianya yang ke 12 sekalipun ia sudah mampu bersosialisasi dengan baik, namun peraihan prestasinya masih bervariasi diakibatkan oleh hambatan perkembangan berbahasa.

PrevalensiBerapa jumlah anak-anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa spesifik ini? Penelitian Yudianita Kesuma ( 2009 ) pada anak-anak usia taman kanak-kanak seluruh TK di Palembang menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi yaitu, 12, 9 %. Di UK, diketahui anak yang bergangguan ekspresif saja berjumlah 3 persen (Archibald & Gathercole, ---), di Amerika dengan prevalensi 7,4 % (Tomblin dkk, 1994). Sedang penelitian di Belanda menunjukkan sejumlah 37 56 % anak usia menjelang sekolah dasar mengalami masalah keterlambatan bicara (TNO raport, 2005), namun dalam penelitian ini tidak lagi diidentifikasi dalam berbagai macam gangguan bicara dan bahasa. Berbagai perbedaan antara berbagai negara dan berbagai peneliti itu bisa jadi disebabkan karena menggunakan alat-alat ukur yang berbeda, dan perbedaan karakteristik masing-masing bahasa yang harus dipelajari oleh masayarakat setempat. Bila kita melihat prosentasi betapa tingginya masalah anak terlambat bicara (SLI) ini bila kita bandingkan dengan gangguan perkembangan autisme yang publikasinya sering kita dengar bahwa 1 dari setiap 150 anak (1: 150 ) atau 0,6 % adalah anak penyandang autisme, dengan demikian apabila masalah anak SLI ini dijadikan autisme, maka bisa kita bayangkan betapa banyaknya jumlah anak yang sebetulnya mempunyai prognosa baik ini tetapi menjadi korban kesalahan diagnosa. Bukan hanya memprihatinkan, namun juga membahayakan sejumlah besar nasib anak-anak pemilik visual spatial giftedness ini.

Membedakannya dengan autisme atau dengan ADD/ADHD?Gifted visual spatial learner yang masa kecilnya mempunyai beberapa perilaku yang mirip dengan autisme, ataupun dengan ADD/ADHD ini tentu saja tidak bisa diperlakukan sama dengan autisme dan atau dengan ADD/ADHD. Mengingat selain neurobiologisnya berbeda, ia juga mempunyai karakteristik kemampuan belajar serta cognitive style (gaya berpikir) yang berbeda. Dalam menempuh pendidikannya ia juga membutuhkan metoda pendidikan yang berbeda. Bagaimana bedanya? Gifted plus masalah sosial emosional. Anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa spesifik ini, dilaporkan oleh de Jong (2005) Bishop (2006), dan Conti-Ramsden (2004) dalam perkembangan berbahasanya akan mempunyai masalah juga sebagaimana autisme, yaitu ia akan mengalami masalah semantik (pemahaman bahasa) dan juga masalah pragmatik (penggunaan bahasa). Dari sudut ilmu patologi bahasa hal ini juga merupakan masalah pada anak-anak autisme. Sehingga jika anakanak ini dilihat dari masalah gangguan berbahasa (semantik dan pragmatik), memang mirip. Namun perlu diperhatikan juga masalah reseptifnya. Pada anak-anak gangguan bicara dan bahasa spesifik ini tidak mengalami masalah pada kemampuan reseptifnya walaupun seringkali kesulitan karena memang vokabularinya masih kurang. Namun dalam perjalanan

waktunya masalah ini akan menghilang saat mana ia sudah menguasai daftar vokabulari yang cukup banyak. De Jong (2005) menjelaskan bahwa seringkali terjadi, hanya karena si anak masih mengalami kesulitan pada kemampuan pragmatik dan semantik lalu diklaim sebagai anak bergangguan autisme. Disamping itu juga hanya karena si anak mengalami masalah berbahasa ekpspresif akibat dari masalah pragmatik dan semantik yang masih menyertainya, menyebabkan si anak mengalami masalah bersosialisasi. Akibatnya si anak juga diklaim sebagai anak bergangguan autisme. Padahal menurut de Jong (2005) masalah gangguan perkembangan bersosialisasi ini bagi anak-anak bergangguan bicara dan bahasa spesifik hanyalah masalah sekunder. Jika masalah primernya yaitu masalah berbahasa dapat diatasi dengan bimbingan yang baik, masalah bersosialisasinya juga dapat diatasi. Webb dkk (2005) menjelaskan bahwa pada dasarnya penyandang Asperger yang mempunyai kemampuan dan inteligensi yang tinggi mempunyai kesamaan dengan kelompok gifted (gifted children), yaitu : o kedua kelompok (Asperger dan gifted) sama-sama mempunyai memori luar biasa dan kemampuan bicara yang baik; o mereka juga sama-sama selalu menanyakan sesuatu secara terus menerus; o mereka membicarakan suatu bidang yang intelektual, dan sejak kecil mereka sudah mulai melakukannya; o mereka sangat cepat menerima sesuatu yang diminatinya, selalu mencari tentang fakta-fakta dan pengetahuan tentang apa yang menjadi minatnya itu, sekalipun demikian seorang penyandang Asperger tidak membuat hubungan dengan makna yang ada dalam fakta dan pengetahuan itu; o kedua kelompok sangat menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, sekalipun pada Asperger hal itu lebih kepada hal yang menurutnya logik daripada sesuatu yang menyangkut pada masalah yang emosional; o kedua kelompok baik kelompok Asperger maupun kelompok gifted mempunyai masalah konsentrasi karena mereka hanya ingin terfokus pada apa yang memang mereka ingin fokuskan sehingga diluar itu mereka mengalami kesulitan berkonsentrasi; o kedua kelompok sama-sama mempunyai rasa humor yang datar/halus, mudah terangsang dengan stimulus (misalnya suara), tekstur, cahaya, bau-bauan, dan rasa; o kedua kelompok sering dipandang oleh orang lain sebagai anak yang sangat halus, rentan, sensitif, dan berbeda; o keduanya mempunyai pola perkembangan yang asinkroni (pada kelompok Asperger kondisi asinkroninya akan sangat ekstrim nampak pada perilakunya yang lebih aneh dan lebih bagai potongan puzzle yang tidak tahu dimana tempat yang pas baginya) ; o keduanya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan model pendidikan konvensional; o keduanya mempunyai masalah pada keterampilan sosial, merasa tidak nyaman di tengah orang banyak; o keduanya mempunyai kepribadian yang menarik diri. Sekalipun ada persamaannya namun juga ada perbedaannya. Jika kita mencari-cari persamaannya kita akan menemukan persamaannya yang luar biasa banyak. Namun agar kita

tepat memberikan pendidikannya, pengasuhan, dan intervensinya, perlu dilihat apa saja perbedaannya. Dalam hal ini Webb dkk (2005) juga memberikan acuannya. Sebetulnya memang akan sangat sulit melihat perbedaan antara keduanya, sebab persamaannya memang banyak. Apalagi baik anak gifted maupun anak Aspeger seringkali juga diikuti dengan gejala-gejala gangguan lainnya, seperti ADHD dan OCD (Obsessive Compulsive Disorder), yang menyebabkan penegakan diagnosa menjadi semakin sulit. Sekalipun demikian, kita tetap perlu mengingat bahwa perkembangan seorang anak gifted yang secara alamiah memang mengalami perkembangan yang tidak sinkron, dapat menyebabkan pola perilaku yang sering dipandang aneh, tidak sebagaimana anak normal. Namun pola perkembangan yang aneh ini pada anak-anak gifted akan mengalami normalisasi perkembangan saat menjelang pubertas, kecuali jika memang ia mengalami komorbiditas dengan gangguan lain. Sementara itu pada kelompok Asperger akan mengalami gangguan yang kronis, terus menerus dan akan dibawanya hingga dewasa dan tua. Dalam hal ini sangat penting artinya untuk meletakkan diagnosa yang tepat, sebab jika seorang penyandang Asperger hanya dianggap sebagai anak gifted yang aneh dan terlalu sensitif, maka ia artinya tidak akan mendapatkan terapi yang tepat bagi masalah gangguan autismenya. Sebaliknya, jika seorang anak gifted mendapatkan diagnosa Asperger, maka ia akan mendapatkan salah penempatan dalam pendidikannya, disamping juga mendapatkan berbagai terapi autisme yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Nasihat Webb dkk (2005) ada dua kunci yang terpenting bagaimana agar kita dapat membedakan antara Asperger dan gifted: 1. Amati dan lakukan pemeriksaan dengan teliti pada perilaku anak saat mana ia melakukan berbagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada teman-teman sebayanya. Pada anak Asperger akan menunjukkan perilaku dimana ia mengalami kesulitan membangun kontak sosial dengan cara menarik perhatian teman sebayanya agar mendengarkan dan tertarik pada objek cerita yang disampaikannya. Cara penyampaiannya dengan cara yang kekanakan (terasa kurang matang), serta monoton. Ia akan bercerita terus tanpa memperhatikan apakah orang lain sudah bosan. Objek yang dibicarakannya juga seringkali tidak pada hal-hal yang bersifat sosial, misalnya tentang bermacam-macam mesin cuci, tentang planet, atau dinosaurus. Sebaliknya pada anak gifted walau kadang membosankan namun ia juga mempunyai minat pada masalah budaya ataupun masalah kemanusiaan dan politik. Ia juga mencoba agar orang lain tertarik dengan apa yang dibicarakannya. Ia mengajak orang lain untuk memahami apa yang dipikirkannya. Pada kelompok Asperger tidak, karena ia sendiri karena keterbatasannya pada kemampuan berbahasa simbolik maka ia kesulitan membaca pikiran orang lain, sehingga ia juga mengalami kesulitan bagaimana agar orang lain tertarik pada apa yang menjadi pikirannya. Ia akan berbicara terus menerus tanpa menghiraukan apakah orang lain bosan apa tidak. 2. Amati dan periksa baik-baik pada waktu berbagi ilmu pengetahuan itu, apakah anak mempunyai intuisi untuk melihat orang lain dan juga apakah orang lain melihat pada dirinya. Seorang anak gifted pada dasarnya mempunyai intuisi yang tajam terhadap situsai sosial dan selalu ingin tahu apakah orang lain melihat dirinya atau tidak; sedang pada anak dengan Asperger Syndrome tidak mempunyai intuisi seperti ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa seorang anak gifted selalu sadar bahwa dirinya berada di tengah orang banyak dan sering justru mengalami stress jika ia tidak mampu menyesuaikan diri di tengah orang banyak. Ia sangat sensitif terhadap bagaimana pandangan orang lain. Anak gifted bila mendapatkan teman yang seichwan, ia dapat berkomunikasi dengan baik dan akan terjadi komunikasi timbal balik yang bisa berisi muatan nuansa empathi dan emosi.

Kenyataan di lapangan juga sering terjadi bahwa anak-anak gifted yang mempunyai kepribadian menarik diri, seringkali menerima diagnosa sebagai penyandang autisme Asperger. Bukan berarti bahwa jika didapati seorang anak yang menarik diri dan mengalami kesulitan bersosialisasi artinya ia adalah penyandang autisme. Sebab gangguan bersosialisasi dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada autisme gangguan bersosialisasi pada dasarnya disebabkan karena adanya gangguan atau keterbatasan pada emosi sosial dan keterbatasan kemampuan memahami bahasa mimik (Vermuelen, 2002). Dalam pendidikan, kesulitan anak autisme Asperger lebih disebabkan karena keterbatasannya dalam kemampuan kreativitas, kemampuan berpikir analisa dan pemecahan masalah, hal-hal yang abstrak, serta kemampuan berfantasi dan imajinasi (Baltussen dkk, 2003). Hal itu jugalah yang menyebabkan keterbatasan pada pengembangan bidang minatnya. Dengan kata lain, bidang minatnya sangat sempit. Dalam situasi sosial ia juga sangat kesulitan dalam situasi yang tak terstruktur seperti misalnya di lapangan bermain saat keluar main, di mana di lapangan segala hal dapat saja terjadi tanpa diduga. Apabila kita mendapatkan anak kita mempunyai gejala-gejala yang tidak cocok sebaliknya sebagiannya juga cocok dengan baik gejala anak gifted, dan juga penyandang Asperger, maka hal ini perlu diadakan pengamatan yang dalam, secara multidisiplin dalam berbagai bidang keilmuan terutama neurologi, psikatri, psikologi, dan orthopedagogi. Diharapkan semua profesi juga memahami masalah baik pada anak gifted maupun pada anak autisme. Dalam hal ini bila mendapatkan anak dengan diagnosa Asperger dan kita ragu-ragu akan diagnosa tersebut, Webb dkk (2005) juga memberikan beberapa beberapa butir dalam daftar di bawah ini (gejala di bawah ini adalah gejala untuk seorang anak gifted): Menunjukkan adanya kemampuan hubungan interpersonal pada saat ia berbagi bidang minatnya. Mempunyai pengetahuan yang sangat dalam dan intensif dalam bidang yang diminatinya, tetapi tanpa perilaku yang berkaitan dengan Asperger. Akan sangat tertarik pada ide-ide yang abstrak, dalam situasi tak terstruktur, dan mampu membangun ide-ide yang inovatif. Mempunyai gerakan-gerakan yang atipikal namun dalam kontrol dan kesadaran10. Mempunyai gerakan yang aneh yang lebih disebabkan karena stress atau pelepasan energi. Tidak mempunyai gangguan motorik. Mempunyai intuisi untuk membangun kontak emosi dengan orang lain dan kontak interpersonal dengan orang lain. Mempunyai emosi yang sesuai dengan topik pembicaraan. Dapat menunjukkan empathi dan simpathi dalam berbagai situasi. Gaya bicara dan humornya seringkali lebih mirip orang dewasa. Memahami humor dan menggunakan humor dalam situasi sosial secara timbal balik, bukan hanya humor sepihak saja, bermain kata, dan searah. Mempunyai kesadaran akan dirinya, dan sangat memahami apa akibat dari perilakunya terhadap orang lain bagi dirinya sendiri. Sadar bila diamati orang lain, dan tahu bagaimana perilaku akan memberikan efek pada orang lain. Dapat mentoleransi bila tiba-tiba ada perubahan, atau bersikap pasif terhadap perubahan itu. Bisa memahami makna bahasa kiasan.10

Gerakan atipikal atau kegiatan yang berulang-ulang pada anak gifted seringkali merupakan gerakan mencobacoba seringkali salah diinterpretasi sebagai gerakan stereotipik dan repetitif pada autisme.

Mengalami kesulitan perhatian bila suatu ide datang dari orang lain, daripada bila datangnya dari pikirannya sendiri. Namun bagaimana jika didapatkan anak mempunyai gejala perkembangan kognitif sebagai anak gifted namun mempunyai gejala perilaku autisme yaitu sangat menarik diri dan mengalami kesulitan dalam pergaulan, maka kelompok anak ini juga disebut sebagai kelompok anak gifted plus, yaitu gifted dengan masalah sosial emosional. Bukan gifted plus autisme, karena kedua kelompok mempunyai karakteristik yang berkebalikan. Apabila kita dapati seorang anak mempunyai kedua gejala sekaligus, yaitu beberapa gejala mirip dengan autisme namun juga mempunyai kemampuan pemecahan masalah, maka anak ini perlu dikeluarkan dari kelompok autisme (Klin dkk, 2000). Hal ini dimaksudkan demi menyusun strategi pendidikannya, dimana perlu strategi pemberian materi yang berbeda (Baltussen dkk, 2003)

Gifted plus masalah konsentrasi Konsentrasi adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi anak untuk belajar. Belajar apa saja, baik belajar bicara, olah raga, maupun belajar di sekolah. Konsentrasi juga ditentukan oleh sistem kesadaran manusia terhadap dirinya bahwa ia tengah berhubungan dengan dunia luar untuk menerima informasi. Dalam kaitannya dengan masalah belajar bicara ini, laporan dari Goorhuis & Shaerlakens (2008) bahwa sebagian anak-anak ini memang mempunyai masalah dalam mengkonsentrasikan diri untuk belajar bicara. Namun kita dapat memakluminya, karena sebagaimana yang dikemukakan oleh de Groot & Paagman (2003), Silverman (2002) maupun Tan (2004) bahwa anak-anak ini mempunyai gaya berpikir gestalt (simultan) yang kuat terutama saat anak-anak ini masih balita. Padahal untuk belajar bicara dibutuhkan kemampuan konsentrasi yang baik agar seorang anak bisa mendengarkan informasi yang masuk melalui telinganya secara berurutan (sekuensial). Silverman (2002) menjelaskan sebagai kelemahan dalam bentuk kemampuan auditory skeunsial. Dalam mailinglist [email protected] juga banyak orangtua yang melaporkan si anak mempunyai konsentrasi yang kacau. Ia tidak bisa diajak suatu permainan dalam waktu yang cukup lama. Ia selalu cepat berpindah-pindah dari satu permainan ke permainan lain sebelum mainannya selesai atau terwujud. Namun jika si anak menemukan permainan yang menarik baginya, maka si anak tak bisa lepas lagi permainan itu. Ia justru akan sangat terfokus, bahkan hiperfokus. Disinilah masalah yang sering ditemui orangtua. Anak hanya berkonsentrasi pada hal-hal yang menjadi minatnya saja, sementara untuk hal lain yang tidak menjadi minatnya ia nampak bagai anak yang tidak bisa berkonsentrasi yang menyebabkan ia bisa terjerat dalam diagnosa anak bergangguan konstrasi. Gangguan konsentrasi plus hiperaktif, dalam DSM IV diidentifikasikan sebagai ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Sementera itu banyak sudah pemikiran para ahli yang berkecimpung dalam anak-anak bermasalah psikiatri, mengetengahkan bahwa ADHD tidaklah mungkin kemudian berubah menjadi ADD (Attention Deficit Disorder), sebab masalah ini adalah masalah gangguan/cacat neurologis. Sehingga pada anak ADHD, gangguan ini akan dibawanya seumur hidup, dan tidak bisa hilang. Gangguan konsentrasi sendiri kemungkinan merupakan gangguan yang akan menyertai semua gangguan psikiatri (Patternote & Buitelaar, 2006). Artinya disini bila orangtua mendapatkan anaknya berubah diagnosa dari ADHD ke ADD, maka perlu dipertanyakan kembali bagaimana dengan diagnosa tersebut.

Penyebab ADHD sendiri dipahami sebagai gangguan neurologis di pusat perencanaan perilaku dan sistem inhibisi (sistem rem), yaitu executive function yang letaknya di lobus frontal (Aldenkamp dkk, 2003). Karenanya masalah yang muncul pada anak penyandang ADHD/ADD akan muncul di semua setting (di sekolah, di rumah, maupun di tempat bermain). Sementara itu Webb dkk tahun 2005 melaporkan bahwa di Amerika setengah dari anak yang mendapatkan diagnosa ADHD ternyata bukan ADHD tetapi anak-anak gifted. Masih menurut Webb dkk (2005) anak gifted dapat terjerat ke dalam diagnosa ADHD, karena kriteria diagnosa yang digunakan untuk menegakkan diagnosa ADHD yaitu kriteria diagnosa ADHD menurut DSM IV, tidak mempunyai kriteria diagnosa pembanding dengan perilaku anak gifted. Sidney M Moon psikolog ahli anak gifted, dalam artikelnya Gifted children with attention deficit hyperactivity disorder, yang ditulis bersama dengan beberapa kolega lainnya dalam sebuah buku berjudul The social and emotional development of gifted children, what do we know tahun 2002, menjelaskan bahwa karena adanya beberapa gejala yang mirip antara ADD/ADHD dengan karakteristik perilaku anak gifted, maka seringkali justru anak-anak ini mendapatkan penanganan sebagaimana penyandang ADD/ADHD sekalipun anak-anak ini secara siknifikan tidak memenuhi kriteria ADD/ADHD. Menurutnya kesalahan identifikasi seperti ini justru akan memberikan konsekuensi yang negatip terhadap perkembangan sosial emosional anak gifted itu sendiri. Selain itu kebutuhan yang sebenarnya perlu diberikan bagi perkembangan anak ini tidak akan terpenuhi, disamping itu ia juga harus menerima penanganan yang tidak semestinya, misalnya pemberian obat-obatan psikotropika. Sebaliknya menurut Moon lagi, bahwa seringkali juga terjadi pada anak-anak gifted ini, justru keberbakatannya menutupi atau menyelubungi gangguannya, dalam hal ini ADD/ADHD yang disandangnya. Sehingga ADD/ADHD yang ada padanya cukup sulit diidentifikasi. Ada beberapa alasan yang dikemukakan Moon (2002) mengapa terhadap anak-anak ini sering terjadi kesalahan identifikasi, baik keberbakatannya maupun gangguan ADD/ADHD yang disandangnya. Pertama. Ada penelitian yang pernah dilakukan oleh Castellanos, tahun 2000 (dalam Moon, 2002) , yang menyatakan bahwa semakin tinggi IQ anak tersebut, diagnosa ADD/ADHD akan semakin lambat bisa ditegakkan. Ia menyebut keadaan seperti ini sebagai hidden ADD/ADHD atau ADD/ADHD yang kasat mata. Keterlambatan ini justru akan memunculkan konsep diri negatip pada anak tersebut. Sebab sekalipun ia mencoba untuk mengatasi masalahnya sekuat tenaga, namun hanya akan menghasilkan efek yang kecil terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan akibat ADD/ADHD nya itu. Seperti misalnya, disorganisasi, day dreaming, terlalu banyak bicara, tidak bisa diam, dan kekurang matangan sosial. Sekalipun keberbakatannya dapat teridentifikasi, namun apabila ADD/ADHD yang disandangnya tidak teridentifikasi, maka akibat gangguannya itu, akan mudah memunculkan masalah gangguan belajar. Begitu juga jika prestasi anak ini ternyata hanya berada di batas rata-rata teman sekelasnya (prestasi rendah relatif), maka keduanya baik keberbakatannya maupun gangguannya tidak akan teridenfikasi. Kedua. Melakukan identifikasi keberbakatan terhadap anak-anak ini dengan menggunakan alat ukur tes IQ, menurut banyak psikolog ahli gifted juga sangat sulit. Sebab kondisi gangguan konsentrasi dan perhatiannya akan menyebabkan ketidak efisienan dalam proses kognitifnya yang dapat menghasilkan skor menjadi berada di bawah kemampuan yang sebenarnya. Menurut berbagai laporan penelitian yang dicatat oleh Moon, skornya bisa

berada di bawah 5 hingga 10 point dari skor normalnya. Terutama performansi IQ bisa justru menunjukkan berada 10 40 point di bawah verbal IQ nya. Maka bila prosedur penentuan anak-anak gifted menggunakan tes IQ saja, anak-anak ini tidak akan teridentifikasi sebagai anak gifted. Ketiga. Kesulitannya lagi adalah, karakteristik anak gifted yang mempunyai pola ADD/ADHD justru akan lebih memberikan hasil yang lebih baik jika ia mendapatkan tekanan sebagai stimulan yang bisa meningkatkan minatnya, dan kemauan atau motivasinya. Artinya anak-anak ini justru akan bekerja lebih serius jika tugas yang diberikan cukup menantang, memikat, berada di bawah tekanan waktu atau deadline, serta cepat. Sayangnya anak-anak seperti ini akan mengalami kesulitan beradaptasi dalam sebuah kelas konvensional yang berisi anak-anak campuran dengan berbagai tingkat kecerdasan. Dengan bentuk kelas seperti ini ia akan mengalami kefrustrasian dan hanya akan memunculkan gejala ADD/ADHD nya. Sedang dengan tugas yang menantang, memikat dan mampu meningkatkan motivasinya justru ia akan membangun konsentrasi sangat baik, bahkan hiperfokus, dan gejala ADD/ADHD dapat menghilang. Artinya disini bahwa ia mempunyai profil kerja yang mempunyai deskrepansi atau perbedaan, jika bekerja di bawah tekanan waktu dan stimulasi, dengan jika tidak mendapatkan tekanan dan stimulasi. Kelompok anak seperti ini justru sering menyebabkan para guru menjadi frustrasi dan dapat menghantarnya untuk tidak terpilih sebagai anak gifted agar dapat menerima program keberbakatan. Perilaku repetitif pada autisme VS perilaku trial and error pada anak gifted Kesalahan diagnosa anak-anak gifted visual spatial learner ini seringkali juga sudah salah terdiagnosa sejak dini sekali, yaitu di usianya yang kedua. Keadaan ini nampaknya hampir menyeluruh. Hal yang menjadi perhatian utama adalah karena anak-anak ini terlambat bicara dan diinterpretasi mempunyai gejala perilaku repetitif tanpa melihat lagi kemampuankemampuan lain seperti misalnya kemampuan berbahasa simbolik dan kehangatan relasi ibu dan anak (anak tidak mengalami gangguan kontak). Perilaku yang sering ditunjuk sebagai perilaku repetitif autisme adalah perilaku cobacoba yang sangat intensif di fase eksploratif yang dilakukan oleh anak-anak gangguan bicara dan bahasa spesifik ini. Di usianya yang ke 18 bulan hingga usianya yang ketiga, dilaporkan oleh para orangtua [email protected] umumnya anak-anak ini melakukan kegiatan eksplorasi dengan mencari-cari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dipegang, diputar, dicolok-colokkan ke lubang-lubang, bahkan dibanting-banting. Umumnya sangat menyukai benda-benda yang bergerak (seperti kipas angin, air mengalir), yang dapat diputarputar (seperti roda mobil), dan dibanting-banting (seperti bola, pintu). Kegiatan seperti ini dalam berbagai literature gifted children disebut kegiatan eksplorasi dan mencoba-coba (trial and error) untuk menemukan sesuatu yang menarik baginya (Mooij, 1991). Perilaku trial and error ini memang sangat menghawatirkan para orangtua, karena si anak akan melakukannya terus menerus berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulanan dengan kegiatan yang sama. Ia asyiek bermain dengan bentuk perilaku itu, namun bagi dirinya merupakan kegiatan yang menggembirakan. Misalnya ia menyusun balok-balok sampai tinggi lalu disepak agar jatuh. Setiap hari ia bermain hal itu, dan ia akan sangat gembira jika balok-balok itu jatuh berantakan, tertawa gembira sambil bertepuk-tepuk tangan. Bentuk perilaku ini di usianya yang ketiga seringkali sudah mulai menghilang atau bertambah luas dan kaya dengan beragam kegiatan lain. Di usianya yang ketiga biasanya si anak sudah bisa bermain konstruksi tiga dimensional.

Bentuk perilaku repetitif pada autisme dinyatakan oleh para ahli sebagai perilaku yang berulang-ulang tanpa tujuan. Hal ini lebih disebabkan oleh masalah gangguan neurologis (Baltussen dkk, 2003).

Memerlukan pendidikan dalam kelas inklusiDari pengalaman di Belanda memilih pendidikan bagi anak dengan anak gifted visual spatial learner, (demikian juga orangtua lain di dalam mailinglist [email protected]) kesulitannya adalah menentukan bentuk sekolah yang bagaimana yang cocok untuknya. Banyak dari anak-anak ini di Belanda juga mengalami kesulitan di tempatkan di kelas-kelas reguler (sekalipun dengan pendekatan inklusi) yang disebabkan karena beratnya masalah komorbiditas tadi, serta masalah perkembangan anakanak gifted yang akhir-akhir ini diketahui bahwa mempunyai perkembangan yang sangat krusial (mengalami disinkronitas). Orangtua, pihak sekolah, dan profesi yang terkait perlu duduk bersama menentukannya (Mnks & Pfuger, 2005 ). Namun saat menentukannya sering terjadi konflik antara pihak sekolah dan orangtua. Disini peranan para ahli sungguh sangat dibutuhkan, untuk memberikan pemahaman pada orangtua dan pihak sekolah. Hal yang sering terjadi adalah, pihak sekolah menolak menerima si anak alasannya si anak mempunyai masalah yang parah (yang sebetulnya tidak, dimana kemungkinan masalah yang muncul adalah akibat tidak terlayaninya giftednessnya yang mengakibatkan munculnya masalah perilaku dan emosi). Atau sebaliknya orangtua menganggap anaknya tidak parah (yang sebenarnya memang parah) dan menginginkan di sekolah reguler tanpa pendekatan khusus. Ada hal yang sungguh sangat menarik untuk dikaji, adalah sikap orangtua terhadap kondisi anak. Sekalipun anak mempunyai potensi keberbakatan yang luar biasa, dan dapat ditunjukkan dengan adanya sinyal-sinyal tumbuh kembang, sinyal kepribadian, dan sinyal keberbakatan, namun jika anak tidak menunjukkan prestasi yang baik, bahkan ada masalah dalam bersosialisasi dan emosi, maka orangtua akan malu menerima diagnosa si anak sebagai anak gifted, sekalipun disebut sebagai gifted plus masalah yang mengalami underachievement (prestasi rendah). Akibatnya anak juga kurang mendapatkan bimbingan keberbakatannya yang menjadikan masalahnya semakin parah. Diantara anak-anak itu ada yang mengalami kesulitan di tempatkan di sekolah reguler (sekalipun dengan pendekatan inklusi) disebabkan karena masalah yang disandangnya memang sulit ditangani di sekolah ini. Sehingga sekolah reguler dengan pendekatan inklusi11 ini tidak dapat menangani anak-anak gangguan bicara dan bahasa spesifik yang memang mempunyai gangguan ikutan yang parah. Akhirnya anak-anak ini sering dikirim ke sekolah untuk anak-anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa yang parah, misalnya kelompok anak penyandang autisme dan anak-anak yang gangguan bicara dan bahasa karena gangguan inteligensi (di bawah 80). Dengan begitu penanganan bagi anak-anak ini diutamakan penanganan pada masalahnya. Namun kerugiannya adalah di sekolah seperti ini tidak disediakan program untuk pengembangan keberbakatan tinggi.

11

Pendekatan inklusi di Belanda dibatasi untuk anak-anak dengan inteligensi normal ke atas, dan terbatas pada masalah-masalah ADHD, autisme, disleksia, dan gifted children. Anak-anak gangguan bicara dan bahasa spesifik adalah anak-anak normal (tanpa cacat neurologis), tidak ada diagnosa baginya, sehingga penempatannya diberikan di sekolah reguler ini.

Jalan keluar yang kini tengah ditempuh oleh para orangtua untuk sekolah dasar adalah bersama sekolah-sekolah dengan pendekatan onderwijs op maat12 ( sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak), yaitu dengan cara membangun kelas-kelas khusus untuk anak-anak gifted dengan segala permasalahannya. Hingga kini bentuk kelas ini masih merupakan kelas alternatif dan belum mendapatkan subsidi dari pemerintah, karena peraturan dan pedomannya masih dalam taraf pengusulan. Salah satu yang menjadi kerugian dalam bentuk kelas khusus ini adalah anak-anak gifted ini tidak bergaul dengan anak-anak normal lainnya. Padahal kelompok anak gifted terlambat bicara adalah anak yang mempunyai prognosa yang baik, dan dikelompokkan dalam kelompok anak normal (tidak bergangguan/cacat neurologis). Nyiokiktjien & Xavier Tan (2005) menjelaskan bahwa anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa spesifik yang murni hanya karena perkembangannya saja (pure dysphatic development) untuk menempuh pendidikannya, ia dapat diberikan program yang sama dengan anak-anak lain. Hal ini mengingat bahwa reseptif anak-anak ini memang baik, dan tidak ada masalah lain. Namun jika si anak mempunyai masalah lain, maka diperlukan adanya pendekatan individual sesuai dengan masalah yang ada. Untuk ini anak memerlukan metoda sendiri dengan menggunakan Individual Education Program (IEP) dan juga guru-guru remedial untuk membantu mengatasi masalah yang ada. Tercapainya pendidikan inklusi bagi anak gifted dengan masalah, memang membutuhkan guru kelas yang memahami persoalan. Bukan hanya memberikan materi pengkayaan, pendalaman, atau percepatan, namun juga bagaimana berbagai aspek perkembangan yang lain mendapatkan perhatian. Beberapa kompetensi yang diperlukan adalah ( Montgomery, 2009): Pengetahuan tentang metoda pengajaran. - guru perlu memahami tujuan inti pendidikan, terutama tujuan inti setiap tahun ajaran, serta tujuan antara untuk mencapai tujuan inti tersebut; - guru perlu memahami berbagai metoda yang harus diberikan pada murid, serta struktur dan fungsinya. Pengetahuan tentang teori mengajar dan berbagai cara belajar - untuk mengembangkan strategi kerja serta strategi mengajar bukan saja hanya memberikan metoda-metoda pendalaman, pengkayaan, dan percepatan, namun juga metoda-metoda lain yang dibutuhkan sesuai gaya belajar serta kesulitan yang dihadapi anak; - guru harus juga memperhitungkan berbagai perbedaan gaya belajar anak, serta gaya belajar yang sangat individual yang dapat mempengaruhi caracara pemberian pelajaran pada anak. Ia harus mampu secara luwes dan fleksibel melayani gaya belajar anak yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang metoda pembelajaran seorang anak gifted - guru perlu memahami berbagai kategori metoda pembelajaran gifted (pengkayaan, pendalaman, dan percepatan); - guru mempunyai persediaan materi belajar yang dapat diberikan kepada murid;

Onderwijs op maat, adalah bentuk sekolah yang menyediakan tawaran pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak (sekolah yang adaptif) dengan pendekatan inklusi. Sekalipun dalam garus besar pendidikan sudah ada pedoman bahwa semua sekolah harus melaksanakan onderwijs op maat, namun siapa saja yang dapat masuk ke bentuk sekolah ini tergantung dari SDM yang dimiliki sekolah.

12

guru selalu siap selama proses pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar baik terhadap materi-materi reguler maupun materi tambahan dalam pegkayaan, pendalaman maupun percepatan. Pengetahuan tentang anak berkekhususan - guru perlu memahami berbagai karakteristik anak didiknya yang mempunyai kekhususan, gangguan dan kesulitan dalam pembelajaran; - guru perlu memahami bagaimana metoda pembelajaran bagi anak-anak berkekhusuan; - guru perlu memahami dan mampu tentang cara-cara mengatasi jika terjadi kedaruratan pada anak didik (misalnya terjadi peledakan emosi pada anak). Manajemen kelas yang efektif - guru mempunyai kemampuan menguasai kelas dengan berbagai pola perilaku maupun kebutuhan; - guru mampu memberikan struktur yang jelas bagi berbagai macam pola kemampuan dan gaya belajar murid (struktur waktu, struktur materi, dan struktur ruang); - guru mampu memberikan materi berbeda-beda (kurikulum berdiferensiasi) - guru mampu menguasai kelas selama proses belajar sedapat mungkin dalam keadaan tidak ada ketegangan.

-

PENUTUP1. Mengingat banyaknya terjadinya kesalahan diagnosa bagi anak-anak gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik (Specific Language Impairment) yang mana anak-anak tersebut mempunyai visual spatial giftedness dengan pola tumbuh kembang dan perilakunya yang khusus, maka perlu diusulkan kepada pihak keilmuan yang mengupas anak-anak gifted visual spatial learner (yaitu keilmuan psikologi) untuk memberikan informasi secara formal kepada profesi kedokteran (ilmu kedokteran anak, ilmu kedokteran jiwa, dan ilmu kedokteran syaraf), serta membangun kesepakatan bersama tentang interpretasi tampilan gejala. Kesalahan-kesalahan yang terjadi disebabkan karena di pihak profesi kedokteran hingga saat ini memang tidak memberikan diagnosa pembanding (differential diagnosis) bagi gangguan ADHD dan autisme dengan anak-anak gifted. 2. Hingga saat ini tidak ada ceklist baku untuk menjaring anak-anak gifted yang sudah standar dan diakui secara internasional, hal ini disebabkan karena pola tumbuh kembang anak-anak gifted yang memang sangat krusial. Karena itu untuk menghindari kesalahan diagnosa diperlukan wawancara mendalam, observasi longitudinal, pemantauan tumbuh kembang, dan melihat berbagai sinyal-sinyal yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini secara kualitatif bagi seorang anak gifted. Sinyal-sinyal itu adalah sinyal tumbuh kembang, sinyal kepribadian, dan sinyak keberbakatan. 3. Pendidikan yang paling cocok untuk anak-anak ini adalah pendidikan yang memperhatikan keunikan anak, yaitu pada faktor lemah anak dan juga faktor kuat anak. Faktor lemah anak yaitu kesulitan perkembangan berbahasa, dan masalah perkembangan sosial emosional anak. Sedang faktor kuatnya adalah visual spatial giftedness nya. Ia memerlukan pendidikan dengan kurikulum berdiferensiasi, yang menantang dan sesuai dengan keberbakatannya. Anak-anak gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik ini mempunyai kekuatan dalam ilmu-ilmu yang presisi seperti matematika, mekanika, fisika, geografi/topografi, dan sains. Namun lemah dalam mata ajaran yang banyak

menggunakan teks/bahasa, serta kelemahan dalam hapalan serta aljabar linier. Bentuk kelas seperti ini adalah kelas inklusi. Daftar bacaanBishop,DM (2003): Autism, neural basis and posibilities, Wiley, Chibester (Novaritas Fondation Symposium 251) p 213 254. Greenspan, S.J (1995): The challanging Child, Addison-Wishley Company, Massachusetts Mnks, JF & Katzko, MW ( 2005): Giftedness & gifted education, dalam Conception of giftedness, ed: Sternberg, RJ & Davidson, J E, Cambridge University Press, New York. Mnks JF & Ypenburg,I (1995): Hoogbegaafde kinderen thuis en op school, Samson HD Tjeenk Willink, Alpheen aan de Rijn. Monks,JF & Knoers,AMP (2000): Ontwikkeling psychologie, van Gorcum, Assen. Mnks, JF & Katzko, MW ( 2005): Giftedness & gifted education, dalam Conception of giftedness, ed: Sternberg, RJ & Davidson, J E, Cambridge University Press, New York. Mnks,JF & Pflger, R (2005): Gifted Education in 21 European Country: Inventory and Persfective, Radboud University Nijmegen, The Netherland. Montgomery, D (2009): Able, gifted, and talented underachiever, Wiley-Blackwel, West Sussex. Mooij, T (red) (1991): Onderwijs aan hoogbegaafde Kinderen, Dick Coutinho Muiderberg. Mooij, T (1991): Schoolproblemen van hoogbegaafde kinderen, richtlijnen voor passend onderwijs, Dick Coutinho - Muiderberg. Mooij, T., Hoogeveen, L., Driessen, G., van Hell, J., Verhoeven, L. (2007): Succescondities voor onderwijs aan hoogbegaafde leerlingen, Eindverslag van drie deelonderzoeken, Radboud Universiteit Nijmegen Neihart,M; Reis, SM; Robinson, NM; Moon,SM (2005): The social emosional development of gifted children, what do we know?, Prufrock Press,Inc.Texas. Nyiokiktjien, C (2005): De relatie tussen taalontwikkelingstornissen en autisme, Wettenshaplijk Tijdshrieft Autisme, jaargang 2005, nummer 2. Ojemann, P.J (1987): Woordblindheid en beelddenken, compentatie, correctie, preventie, Van Loghum Slatereus, Deventer. Paternotte, A & Buitelaar,JK (2006): Het is ADHD, alles over kenemerken, diagnose, behandeling, en aanpak thuis en op school, vereniging Balans/Bohn Stafleu van Loghum, Bilthoven. Tomblin JB; Record NL; Buckwalter P, Zhang X; Smith E & OBrien M (1997): Prevalence of specific language impairment in kindergarten children, J Speech Lang Hear Res. 1997 Dec;40(6):1245-60. Reuver, J (2003): de WISC-RN als presenteerblaadje? Een onderzoek naar het vaststellen van schoolproblemen bij kinderen op basis van het verschil tussen hun verbal en performal IQ, Doctoralscriptie opleiding pedagogische wetenschappen afstududeerichting orthopedagogiek, Universiteit Leiden. Reuver,J & Peters,W (2004) : Verbaal-Performaal Discrepanties en Schoolprobelemen, Talent, Mei 2004. Silverman, LK (2002): Upside-Down Brilliance, The Visual Spatial Learner, DeLeon Pub., Denver, Colorado. Stephenson, J (2004): A Teachess guide to controversial therapy, Special Education Perspectives, Volume 13, Number 1, pp. 66-74, 2004 Tan, X (2005) Dysfatische Ontwikkeling, Suyi Publicaties, Amsterdam. TNO Raport (2005) : http://tno-kwaliteit-van-leven.adlibsoft.com/docs/spraaktaalont.pdf Volkmar,F; Lord C; Bailey A; Schultz RT; Klin A (2004): Autism Pervasive Development Disorder, Journal of Child Psychology and Psychiatry, 45 1(2004) p 135 - 170 Webb,JT; Armend,ER; Webb,NE;Goerss,J; Beljan,P; Olenchak,FR (2005): Misdiagnois and Dual Diagnosis of Gifted Children and Adults, Great Potential Pers,inc., Scottsdale, Arizona. Vermeulen,P (1999): Brein bedriegt, als autisme niet op autisme lijk, Vlaamse Dienst Autisme en Uitgeverij EPO, Berchem. Vermeulen,P (2009): Autisme als contextblindheid, Uitgeverij Epo, Berchem. Von Krolyi, C & Winner, E (2004): Dyslexia and visual spatial talents: are they connected? Dalam: Student with both gifts and learning disabilities, identification, assessment, and outcomes, ed. Newman, TM. & Sternberg, RJ., Kluwer Academic/Plenium Publisher, NewYork/Boston/Dordrecht/London/Moscow. Yudianita Kesuma, Rismarini, Theodorus, Mutiara Budi Ashar (2009): Association between specific language impairmaint with behavioural disorder among preschool children in Palembang, Dept of child health University of Sriwijaya/Dr. Moh. Hoesin, Palembang.