Upload
others
View
21
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Genealogi Pemikiran Modern ISLAM NUSANTARA
Lestari, dan Abdul Quddus
Genealogi Pemikiran Modern ISLAM NUSANTARA
Sanabil
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Katalog dalam Terbitan (KDT)
Lestari, & Abdul Quddus Genealogi Pemikiran Modern Islam Nusantara, Sanabil, 2017
xiv + 212 hlm.; 15,5 x 23
cm ISBN:
Genealogi Pemikiran Modern Islam Nusantara Penulis Editor Layout & Design Cover
: Lestari, dan Abdul Quddus : Erlan Muliadi : Muhammad Amalahanif
ISBN:
Cetakan I, September 2017
Penerbit: CV. Sanabil Jl. Kerajinan I Perum Puri Bunga Amanah Blok C/13 Sayang-sayang, Cakranegara, Mataram Email: [email protected] Telp./SMS 081805311362
All right reserved. Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku
ini dalam bentuk apapun, juga tanpa izin tertulis dari penerbit.
iv
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Pengantar Penulis
Puji dan syukur kepada Allah yang telah memberikan begitu
banyak nikmat kepada kami, sehingga dengan nikmat tersebut, kami mampu menyelesaikan edisi
revisi dari buku ini. Shalawat dan salam senantiasa
dihaturkan kepada Nabi Rasul akhir zaman Muhammad
SAW yang telah membawa pencerahan dan kemajuan bagi
ummat Manusia.
Keyakinan yang kuat pada Islam, sejatinya melahirkan
perubahan yang signifikan diberbagai aspek kehidupan, baik dari
aspek, ibadah, moral, ekonomi, pendidikan, budaya, dan lain
sebagainya. Hal ini dimungkinkan mengingat Islam hadir sebagai
agama besar yang menuntun umatnya menuju kemajuan dan
keselamatan. Al-qur‟an yang menjadi sumber utama ajaran
Islam menyediakan doktrin yang cukup baik dan tepat untuk
mengkonstruk kehidupan tersebut. Kita bisa melihat pada wahyu
pertama berisi perintah iqra‟ ‟“membaca” dengan menyebut
nama Tuhanmu, dari sini akan terjadi proses Aqalā, yang
menuntut untuk mengerti apa yang dibaca, baik teks maupun
alam. Nazharā, setelah proses membaca maka dilanjutkan dengan
proses merenungkan atau proses menalar untuk menemukan
sebuah pemahaman dan kesimpulan. Tadabbarā, juga demikian,
menganjurkan untuk merenungkan apa yang dibaca. Tafakkarā,
memikirkan apa yang dibaca. Faqihā, faham akan apa yang telah
dibaca.
v
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Tazakkarā, mengingat atau mendapat pelajaran dari apa yang
dibaca. Fahimā, ini juga sama. Ulu al-Bab, Ulu al-Abshar, al-
´Ilm. Namun semua nilai-nilai universal yang ada dalam Islam
tersebut, tidak akan bermakna dan berfungsi dalam
kehidupan manusia, jika pemeluknya tidak memiliki pemikiran dan intlektualitas yang maju, hanya
mengedepankan Islam dalam bentuk slogan-slogan dan
simbol-sombol, umat Islam terpenjara dalam hegemoni
aliran-aliran sempit dan eksklusif. Hal yang dibutuhkan oleh
umat Islam adalah tipologi pemahaman, keyakinan, dan
pengamalan Islam yang lebih maju, yang peka terhadap
perubahan dan perkembangan zaman yang dihadapi.
Buku ini melirik beberapa pemikiran Islam modern di
Indonesia yang mencoba merespon perkembangan dan
perubahan yang ada. Dalam mengkaji Islam modern di
Indonesia, kami mencoba melakukan penelusuran secara
genealogi-historis dan doktrinal dari gerakan-gerakan Islam
yang ada, mulai dari masa orde baru sampai era reformasi
saat ini.
Sebagai akhir dari kata pengantar ini, kami berharap
kritik dan saran dari pembaca untuk kami jadikan perbaikan
dari semua kekuranga yang ada pada buku ini. Semoga semua
yang kita lakukan dari ilmu yang kita miliki mendatangkan
manpaat bagi perkembangan dan kemajuan kita semua.
Penulis
vi
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Prolog H. Mutawali REKTOR UIN MATARAM
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji, hanya milik Allah SWT, Shalawat dan salam
semoga tetap tercurahkan pada makhluk termulia Nabi
Muhammad SAW yang dengan segenap dinamika
perjuangannya telah merubah kegelapan dunia menjadi
tercerahkan dan terberkahi Allah SWT.
Agama Islam tidak pernah lekang oleh gilasan waktu dan
terpenjara oleh kungkungan tempat, sebagai agama yang
rahmatan lil Alalamin, justru Islam selalu hadir menawarkan
fresh ijtihad yang shaalihun li kulli zamanin wa makanin (luwes
fleksibel sesuai dengan waktu dan tempat dimana Islam
hadir). Dalam konteks Hukum Islam (fiqih) misalnya, posisi
mapan berbagai sumber hukum Islam, seperti ijma‟, qiyas, maslahah mursalah, „urf, dan kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayuri al-azminah, menjadi tidak relevan ketika tidak
memberikan ruang bagi dinamika pemikiran dan lahirnya
ijtihad baru. Dalam upaya mensukseskan agenda
pembaharuan tersebut, maka gerakan insidad bab al-ijtihad
(penutupan pintu ijtihad) merupakan wacana utopia yang
menuntut untuk segera dipinggirkan, namun tentu
vii
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
mekanisme kerja-kerja ijtihad baru tersebut harus tetap
dilakukan dalam koridor al-muhâfazhah „alâ qadîm al-shâlih wa-lakhdzu bi al-jadîd al-ashlah.
Reinterpretasi dan perumusan kembali pemikiran Islam
merupakan aktifitas yang tidak bisa dielakkan (inevitable),
yang dalam praktiknya memperhatikan realitas sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan tradisi masing-masing lokalitas
umat. (Akh. Minhaji, 2004, 51). Dari sekian banyak teks
ajaran agama, baik al-Qur‟an maupun alhadis, hanya ada
sekitar 10% yang berupa diktum kulli dan qat„i yang konstan
dan immutable. Segmen ini mesti diterima apa adanya tanpa
harus adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada di
sekitarnya. Segmen ini adalah persoalan-persoalan dasar
menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang mempunyai
nilai-nilai strategis, seperti persoalan keimanan (pengesaan
Tuhan) dan bentuk-bentuk ibadah, seperti shalat, puasa dan
zakat. Sementara selebihnya, sekitar 90%, teks ajaran agama
berupa aturan global yang bersifat juz‟i dan zhanni. Segmen
ini mempunyai nilai taktisoperasional yang langsung
bersentuhan dengan fenomena sosial dan kemasyarakatan.
Karena wataknya yang taktis itulah maka segmen ini
menerima ekses perubahan pada tataran operasionalnya
sepanjang tetap mengacu pada pesan-pesan moral yang
terkandung dalam ajaran agama. (Abu Yasid, 2004, 2)
Di era global saat ini, Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam (PTKI) dituntut untuk melakukan pengembangan riset
dan ilmu pengetahuan guna memainkan perannya dalam
memberikan solusi cerdas terhadap aneka problem sosial
keagaaam ummat, bangsa dan negara. Pengembangan Ilmu
viii
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pengetahuan keislaman yang holistikintegratif-konprehensif
sangat dibutuhkan, demi lahirnya generasi intelektual Islam
handal yang mampu melahirkan pemikiran dan peradaban
gemilang.
Buku Genealogi Pemikiran Modern Islam Nusantara yang
ditulis oleh saudara Lestari dan Abdul Quddus ini
menawarkan kajian yang sangat menarik tentang peta
perkembangan pemikiran teologi Islam. Buku ini
menganalisis pemikiran tokoh-tokoh Islam diberbagai
belahan dunia yang mencoba melakukan perubahan
worldview, dengan cara dan pendekatan yang berbeda dalam
mereinterpretasi nash-nash alQur‟an-Hadis dan sumber-
sumber keilmuan Islam klasik. Ada yang mengusung jalan
pemurnian ajaran Islam dengan menghidupkan kembali Islam
ortodoks, sehingga pola keberislaman menjadi eksklusif,
taklidi, dan dogmatis. Selain itu, muncul gerakan yang
mengusung jalan pembaharuan dengan lebih memberikan
ruang bagi akal untuk melakukan ijtihad dengan mengacu
pada kondisi empiris dari perkembangan zaman. Namun
subtansi dan tujuan mereka sama, yakni rekonstruksi
peradaban Islam dengan cara menghidupkan dan
menegakkan kembali ijtihad dalam memahami ajaran Islam
Dari buku ini, kita bisa memahami dinamika pemikiran
Islam Indonesia yang ternyata sangat signifikan dalam
memainkan perannya pada perkembangan Indonesia sebagai
bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim. Sebagai Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Saya
mengucapkan selamat dan memberikan apresiasi yang tinggi
kepada penulisnya, semoga buku ini dapat memberikan
ix
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
kontribusi ilmiah bagi pengembangan kualitas pemahaman
civitas akademika dan masyarakat pada umumya, serta
tentunya dapat memperkaya wawasan dan literatur ilmiah
dalam diskursus pemikiran teologi Islam.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
x
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Daftar Isi
Pengantar Penulis ~ v
Prolog: Rektor UIN Mataram ~ vii
Daftar Isi ~ xi
Bagian 1
Pendahuluan ~ 1
Sketsa Gerakan Teologi
Pembaharuan dalam Islam ~ 1
Daftar Pustaka ~ 9
Bagian 2
Teologi Pandangan Dunia Islam
Reaktualisasi Nalar Kritis Islam ~ 12
Modernisme Barat:
Sebuah Telaah Kritis Kearah Perbandingan ~ 20
Epistemologi Barat ~ 25
Sketsa Historis Pengembangan Filsafat Islam ~ 30
Kemampuan Akal Dalam Filsafat Islam ~ 37 Akal
Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan ~ 41 Daftar
Pustaka ~ 49
xi
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 3
Geneologi-Historis
Pemikiran Teologi Modern Indonesia ~ 54
Daftar Pustaka ~ 64
Bagian 4
Teologi Eksklusivisme Islam Tipologi
Keyakinan, Pemahaman dan Pengamalan ~ 68
Geneologi Historis
Munculnya Eksklusivisme Islam ~ 68
Faktor Lahirnya Eksklusivisme Islam ~ 70
Karakteristik Eksklusivisme Islam ~ 77
Daftar Pustaka ~ 83
Bagian 5
Teologi Revivalisme Islam
Manifestasi Gerakan Furitanisasi Aqidah,
Ibadah dan Hukum Muamalah ~ 88
Daftar Pustaka ~ 91
Bagian 6
Teologi Islam Rasional ~ 92
Islam Rasional di Indonesia ~ 92
Daftar Pustaka ~ 99
Bagian 7
Teologi Neo-Modernisme Islam ~ 101
Daftar Pustaka ~ 107
xii
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 8
Teologi Islam Modernis ~ 109
Daftar Pustaka ~ 124
Bagian 9
Teologi Fundamentalisme-Radikalisme Islam
antara Pemurnian, Penguatan Ideologi dan Teror ~ 127
Definisi Fundamentalisme Agama ~ 129
Fundamentalsime Islam ~ 130
Radikalisme Islam ~ 135
Mengenal Islam Radikal ~ 137
Latar Belakang Munculnya Radikalisme Agama ~ 143
Karakteristik Islam Radikal ~ 145
Pemikiran dan Gerakan Radikalisme Agama ~ 148
Daftar Pustaka ~ 151
Bagian 10
Teologi Islam Liberal ~ 154
Sejarah dan Pengertian Islam Liberal ~ 157
Islam Liberal di Indonesia ~ 160 Daftar
Pustaka ~ 162
Bagian 11
Teologi Islam Spiritualis Kesatuan Teologis
Untuk Harmonis ~ 163
Sebab Kelahiran Islam Spiritualis ~ 163
Sejarah Kemunculan Tasawuf di Dunia Islam ~ 165
xiii
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Relevansi Islam Spiritualis dengan Konteks
Modern ~ 172 Peran Tasawuf di Era
Modern ~ 172 Sebagai Landasan
Epistemologi Islam ~ 174 Pandangan
Tentang Manusia ~ 176 Pandangan
Tentang Alam ~ 181
Gerakan Spiritualis-sufistik di Indonesia ~ 188
Dafatar Pustaka ~ 192
Bagian 12
Teologi Islam Emansifatoris ~ 196
Daftar Pustaka ~ 201
Bagian 13
Teologi Islam Kultural-Transformatif ~ 202
Daftar Pustaka ~ 211
Biodata Penulis ~ 212
xiv
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 1
PENDAHULUAN
Sketsa Gerakan Teologi Pembaharuan Dalam Islam
bad modern merupakan abad kelam bagi umat Islam. AHal ini berbeda
dengan masyarakat Barat yang mengalami kemajuan dalam berbagai aspek. Sadar akan kondisi keterbelakangan ini, maka di berbagai tempat,
di dunia Islam, muncul tokoh-tokoh yang mencoba
melakukan perubahan dengan cara dan jalan yang berbeda-
beda. Namun subtansi dan tujuan mereka sama, yakni
rekonstruksi peradaban Islam dengan cara menghidupkan
dan menegakkan kembali ijtihad dalam memahami ajaran
Islam. Tulisan ini tidak akan mengkaji semua tokoh
pembaharuan Islam secara detail, namun hanya sebagian saja.
Inti dari pemikiran pembaharuan atau modernime Islam yang
diusung oleh tokoh-tokoh tersebut adalah, menawarkan cara
1
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
baru dalam membaca atu menafsisr nash-nash al-Qur‟an dan
Hadis, serta sumber-sumber keilmuan Islam klasik, atau
paling tidak melakukan reinterpretasi dengan menggunakan
mekanisme atau metode ilmu-ilmu sosial modern yang
berkembang, serta melihat realitas sosial yang sedang
dihadapi.
Al-Quran harus dihadapkan dengan realitas empiris yang
sedang dihapai. Abduh misalanya, yang dalam pandangan
John L. Esposito mimiliki pijakan utama mengenai
keselarasan antara Islam dan akal yang saling sinergis, tidak
ada kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan Islam. Abduh
berpendapat, bahwa kemunduran umat Islam saat berhadapan
dengan modernisasi adalah karena aqidah dan praktek agama
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti pemujaan,
syafaat dan kekeramatan para wali, pembekuan nalar,
kreativitas dan dinamisme akibat kepasifan dan fatalisme sufi
maupun karena skolastisisme kaku ulama tradisional yang
melarang ijtihad. Abduh optimis bahwa transformasi
masyarakat tergantung pada reinterpretasi Islam dan
aktualisasinya melalui pendidikan dan reformasi sosial. Untuk
itu, Abduh melakukan pembedahan intisari ajaran Islam
dengan melakukan klasifikasi ajaran yang mutlak dan ajaran
yang berubah.1
Menurut Abduh, ijtihad harus terus dilaksanakan, ijtihad ini
harus lansung ke pada al-Qur‟an dan hadits yang menjadi
sumber ajaran Islam. Mengkaji kembali ayat al-Qur‟an yang
1John L. Esposito, Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju ‚Jalan Lurus‛ (al-Shirat al-Mustaqim), terj. Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. I., h. 162-163.
2
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
bersifat umum dan yang terkait dengan aspek muamalah,
terutama hukum kemasayarakatan agar sesuai dengan
tuntutan zaman. Sedangkan masalah ibadah tidak perlu
ditafsirkan kembali. Taklid pada ulama, menurut Abduh tidak
dibenarkan dalam Islam, karena akan menjadi penyebab dan
sumber kemunduran serta kebodohan. Taklid membelenggu
nalar dan kreativitas ummat. Islam menempatkan akal dalam
posisi yang penting dan sentral, Islam adalah agama yang
rasional, dengan demikian wahyu tidak akan mungkin
bersebrangan dengan akal, kalaupun ada, maka harus dicari
jalan penyelesaiannya. Manusia dilihat sebagai mahluk yang
memiliki kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, namun
bukan berarti manusia harus melupakan eksistensi Tuhan
sebagai yang lebih tinggi dari dirinya.2
Muhammed Arkoun dengan teori Rethinking atau islhlâhî.
Arkoun melihat bahwa pemikiran Islam yang berkembang selama
ini bersifat tertutup dan cenderung dogmatis (pembekuan nalar)
umat Islam, yang berdampak apada munculnya kompleksitas
masalah yang tidak dipikirkan atau yang belum dipikirkan. Arkoun
kemudian menawarkan ide tentang pembedaan antara ide “tradisi ideal” sebagai hasil dari misi al-Qur‟an di Makkah dan Madinah,
dengan tradisi yang datang setelah masa awal tersebut, yang
merupakan implikasi dari pembacaan atau pengulangan tradisi
ideal awal tersebut. Rethingking atau pembacaan kembali “tradisi ideal” dalam Islam tersebut, Arkaun menggunakan tiga
pendekatan,
2Pembahasan lebih lengkap tentang kebebasan kehendak dan perbuatan manusia dalam pandangan Abduh, baca, Muhammad Abduh, Risalah Tuhid, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), cet. I.,
3
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
yakni semiotika, pendekatan sejarah dan sosiologi serta
pendekatan teologis.3
Arkoun melihat terdapat penyakit yang disebut dengan
logosentrisme dalam pemikiran Islam, yang memiliki
beberapa ciri, yakni; Pertama, bersifat dogmatis dan terkait
dengan kebenaran teologis. Kedua akal yang berfungsi untuk
menganalisis secara kritis telah dibatasi wilayah cakupannya
pada metafisika, teologi, moral dan hukum. Ketiga dalam
berpikir, akal hanya terpokus pada rumusan umum yang
menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat
bersifat apologis terhadap penafsiran yang sudah ada. Kelima,
pemikiran Islam tidak melihat pada proses sejarah, budaya,
sosial dan etnik, sehingga cendrung menjadi kebenaran
obsolut yang harus diikuti secara menyeluruh dan
menekankan taklid. Keenam Pemikiran Islam bersifat lahiriah
atau tekstual yang diproyeksikan dengan bahasa yang
terbatas dan cendrung mengaulang apa yang sudah ada,
sedangkan pengetahuan batin yang melampaui logosentrime
diabaikan.4
Logosentrisme atau nalar Islam yang dimaksudkan
tersebut adalah nalar ortodoksi, epistemologis, skolastik atau
pemikiran Islam klasik. Menurutnya bangunan keilmuan
3Untuk lebih jelasnya mengenai pemikiran Arkoun, baca,
Muhammed Arkoun, ‚ Rethinking Islam‛ dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, editor, Charles Kurzman, terj. Bahrul Ulum Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2003), cet. II., h. 334-364.
4Sebagaimana yang dikutif dalam, Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet. I., h. 38.
4
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islam seperti fiqh, kalam, filsafat, tafsir dan tasawuf tidak
mengalami perubahan dari awal keberadaanya sampai
sekarang, padahal umat Islam sedang berhadapan dengan
dunia yang terus mengalami perkembangan, baik dari aspek
kualitas maupun kuantitas, intesitas maupun ekstensitasnya.
Itulah sebabnya Arkoun menawarkan pembaruan dalam
bidang keilmuan Islam tersebut atau wacana keagamaan
Islam pada tataran yang qorani, yang lebih mendasar,
mendalam dan subtansial, yakni sebuah wacana yang memuat
nilai-nilai normativitas, spiritualitas dan fungsional.5
Arkoun menawarkan untuk mengkaji Islam dan
kebudayaan peradaban Islam dengan menggunakan metode
ilmu sosial, seperti ilmu sejarah, antroplogi, sosiologi dan
bahasa (semantik).6 Menurut M. Amin Abdullah, pusat
pemikiran Arkoun terletak pada kritik epistemologis pada
konstruk keilmuan ilmu-ilmu agama secara keseluruhan.
Struktur dan bangunan keilmuan Islam dilihat sebagai
produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang berlaku
hanya pada kurun waktu tertentu. Dalam hal ini Arkoun
bukannya mengingkari nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat
transenden, namun saat bersentuhan dengan kehidupan
manusia maka hal itu sudah diwarnai oleh kehidupan sosial
empirik.7
5Amin Abdullah, ‚Arkoun dan Kritik Nalar Islam‛, dalam,
Tradisi, Kemoderenan, dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 5-17.
6Amin Abdullah, ‚Arkoun dan Kritik Nalar Islam‛, dalam, Tradisi, Kemoderenan, dan Metamodernisme, h. 1-21.
7Amin Abdullah, ‚Arkoun dan Kritik Nalar Islam‛, dalam, Tradisi, Kemoderenan, dan Metamodernisme, h. 5. Mengenai
5
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Fazlurrahman dengan ide pembedaan yang jelas antara
Islam normatif dengan Islam historis, mengkaji sebab-sebab
atau kondisi sosial historis yang melatar belakangi
diturunkannya suatu ayat, untuk selanjutnya dipetakan
dengan konteks sekarang.8 Menurut Rahman pemikiran
Islam saat ini merupakan pemikiran yang tidak berakar pada
sejara dan tidak relevan dengan kondisi masyarakat. Ia
melihat bahwa pemikiran yang lepas dari akar historisnya
pada masa Islam klasik dinilai sebagai pemikiran yang tidak
outentik, sehingga tidak bisa mengembangkan dinamika dan
tidak mampu bertahan karena tidak memiliki kemapanan.9
Pendidikan Islam juga harus dirubah yakni dengan
menerima pendidikan sekuler modern Barat, namun harus
terlebih dahulu diklasifikasikan dan dimasukkan unsur -unsur
ajaran Islam. Hal ini memiliki dua fungsi, yakni: 1)
membentuk kepribadian generasi Islam dengan nilai Isl. 2)
memungkinkan para ahli untuk memahami spesipikasi
masing-masing dengan nilai-nilai Islam.10
pembahasan pemikiran Arkoun baca, Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baequni, (Bandung: Mizan, 2000), cet. I., h. 165-195.
8Untuk lebih jelasnya, baca, Fazlur Rahman, ‚Islam dan Modernitas‛ dalam, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, editor, Charles Kurzman, h. 520-550.
9Nurcholis Madjid, ‚Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-qur’an‛, dalam, Jurnal Islamika, No. 2,1993, h. 24.
10Untuk lebih jelasnya, baca, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago & London: the University of Chicago Press, 1982), cet. I.
6
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Hassan Hanafi dengan ide At-turâts wa at-Tajdîd (Tradisi
dan pembaruan) yang terdiri dari tiga agenda, yakni, pertama
menekankan cara pandang atau sikap terhadap tradisi lama,
kedua sikap terhadap tradisi Barat, dan ketiga adalah sikap
terhadap realitas (teori interpretasi),11 Di samping itu Hanafi
juga terkenal dengan teologi pembebasan, seperti dalam
karyanya yang berjudul Al-Yasâr al-Islâmî,12 di samping itu
Hanafi juga menawarkan Hermenutika al-Qur‟an yang
bercorak sosial dan eksistensial, yang dipandang solusif bagi
permasalah umat Islam dewasa ini yang masih berada dalam
hegemoni dogmatisme, ketertindasan dan keterbelakangan.13
11Untuk lebih jelasnya, baca, Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Terj., M. Najib Buchori, (Jakarta: Pramadina, 2000), cet. I. baca juga Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Islmail, Suadi Putro, Adul Rouf, (Jakarta: Paramadina, 2003), cet. I.
12Untuk lebih jelasnya mengenai ide ‚Islam Kiri‛ Hasan Hanafi ini, baca, Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme; Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi, terj., M. Imam Azis & M. Jadul Maulana, (Yogyakarta: LKiS, 2000), cet. IV.
13Bagi Hanafi konstruksi metode tafsir al-Qur’an sangat
urgen dan signifikan untuk mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam. Tafsisr ini nantinya berguna untuk menjembatani perlawanan atau pembebasan umat Islam dari
ketertindasan dari luar maupun dari dalam oleh umat Islam sendiri yang otoritarian. Tafsir revolusioner Hanafi ini
merupakan anasir dari metode -metide sosial dan klaisk Islam yang diintegrasikan menjadi satu, seperti
Hermeneutik, fenomenologi, dan marxisme. Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an
Menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 8-9.
7
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Sementara itu Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan konsep
perlunya mengkaji kembali hubungan antara teks al-Qur‟an
dengan para pembacanya (terutama tafsir yang telah berubah
menjadi teks kedua setelah al-Qur‟an), terutama terhadapa
ulumul Qur‟an. Ia melihat bahwa tafsir yang ada selama ini cendrung melihat teks sebagai subyek, bukan sebagai
obyek sebagaimana dalam ta‟wil. Akibatnya adalah tafsir
terhadap al-Qur‟an menjadi tertutup untuk orang banyak dan hanya orang-orang tertentu yang berhak menafsirnya.14
Adonis15 melihat terdapat dua corak kebudayaan
pemikiran Arab-Islam dari awal sampai abad modern, yakni
yang imitatif atau mengikuti secara total apa yang sudah ada
sehingga menginginkan ortodoksi total (mempertahankan
kemapanan) dan kelompok yang kreatif atau menginginkan
perubahan dalam semua aspek keilmuan, baik teologi, hukum,
politik, budaya, dan bahasa sastra-puisi. Menurut Adonis
kebudayaan peradaban Arab-Islam bukan hasil dari aktivitas
intelektual dengan gerak realitas, melainkan hasil dari keyakinan yang bersumber pada wahyu dan syari‟at. Itulah sebabnya aktualisasinya tidak bersifat eksperimental, analitis -
14Untuk lebih jelas, baca, Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum
an-Nash Dirasah fi ‘Ulūm al-Qur’ân, terj., Khoiran Nahdiyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kriti terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2005), cet. IV.
15Adonis bukanlah nama asli, melainkan nama pemberian
dari tokoh dan pendiri Partai Nasional Syiria tahun 1940, yakni Anton Sa’adah. Adapun nama Asli Adonis adalah Ali Ahmad Said. Adonis, Atstsabit wa al-Mutahwwil: Bahts fî al-Ibdâ΄ wa al-Itbâ’ ‘inda al-’Arab, Adonis, jilid II, diterjemahkan oleh Khairon Nahdiyyin, menjadi, ‚Arkeologi Sejarah-Pemikiran-Arab-Islam,‛ (Yogyakarta: LKis, 2007), cet. I., h. xiv.
8
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
krtitis, melainkan bersifat penegasan dan pemapanan
terhadap apa yang diwahyukan.16
Mengenai pembacan atau penafsiran terhadap teks dalam
konteks pemikiran Arab-Islam, menurut Adonis memiliki dua
corak: Pertama kelompok yang memahami teks dan
difungsikan sebagai media perjuangan dan pembebasan.
Kedua kelompok yang membaca teks dasar agama secara
literalis. Menafsir dan memahami masa sekarang dan masa
yang akan datang dengan cakrawala literalitas, serta
membangun sistem, nilai dan budaya berdasarkan semangat
literalitas. Namun pembacaan yang dominan terhadap teks
agama adalah sebagai pembacaan ideologis, pembacaan teks
menjadi medan pertentangan dan pertarungan atau
mengubah teks menjadi teks politis.17
Selain tokoh-tokoh tersebut masih terdapat tokoh lain
yang tergerak untuk melakukan perubahan cara pandang
terhadap ajaran Islam. Namun kehadiran tokoh-tokoh di atas
dirasa cukup representative untk melihat kondisi ummat
Islam di era modern saat ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, 1996. ‚Arkoun dan Kritik Nalar Islam‛, dalam, Tradisi, Kemoderenan, dan
Metamodernisme, Yogyakarta: LkiS.
16Adonis, Atstsabit wa al-Mutahwwil: Bahts fî al-Ibdâ΄
wa al-Itbâ’ ‘inda al-’Arab, h. xIviii-xIix. 17 Adonis, Atstsabit wa al-Mutahwwil: Bahts fi al-Ibda
wa al-Itba ‘inda al-Arab, h. xIv-Ii.
9
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Abduh, Muhammad, 1989. Risalah Tuhid, terj.
Jakarta: Bulan Bintang, cet. I.
Adonis, 2007. Atstsabit wa al-Mutahwwil: Bahts fî
al-Ibdâ΄ wa al-Itbâ’ ‘inda al-’Arab, terj.,
Khairon Nahdiyyin, Yogyakarta: LKis, cet. I.
Arkoun, Muhammed, 2003. ‚ Rethinking Islam‛ dalam
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-isu Global, editor,
Charles Kurzman, terj. Bahrul Ulum Heri
Junaidi, Jakarta: Paramadina,cet. II. B. Saenong, B., Ilham, 2002. Hermeneutika
Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an
Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju.
Hanafi, Hassan, 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat, Terj., M. Najib
Buchori, Jakarta: Pramadina, cet. I.
Hanafi, Hassan, 2003. Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap
Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman
Islmail, Suadi Putro, Adul Rouf, Jakarta:
Paramadina, cet. I.
Lee, D, Robert, 2000. Mencari Islam Autentik: Dari
Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baequni, Bandung: Mizan,
cet. I.
L, John, J, Esposito, 2004. Islam Warna Warni:
Ragam Ekspresi Menuju ‚Jalan Lurus‛ (al-Shirat
al-Mustaqim), terj. Arif Maftuhin, Jakarta:
Paramadina, cet. I.
10
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Madjid, Nurcholis, 1993. ‚Fazlur Rahman dan
Rekonstruksi Etika Al-qur’an‛, dalam, Jurnal
Islamika, No. 2.
Nasution, Harun, 1991. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Putro, Suadi, 1998. Mohammed Arkoun Tentang Islam Modernitas, Jakarta: Paramadina, cet. I.
Shimogaki, Kazuo, 2000. Kiri Islam: Antara
Modernisme dan Posmodernisme; Telaah Kritis
Pemikiran Hasan Hanafi, terj., M. Imam Azis
& M. Jadul Maulana, Yogyakarta: LKiS, cet. IV.
Zaid, Abu, Hamid, Nasr, 2005. Mafhum an-Nash
Dirasah fi ‘Ulūm al-Qur’ân, terj., Khoiran
Nahdiyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kriti
terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS,
cet. IV.
11
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 2
TEOLOGI PANDANGAN
DUNIA ISLAM
REAKTUALISASI NALAR KRITIS ISLAM
etelah kita kaji mengenai hajatan luhur para pemikir SIslam modern di
atas, maka bagian ini kita akan melihat sebuah khazanah keilmuan Islam yang masih layak untuk ditawarkan sebagai alat untuk
mengkonstruk
dunia yang lebih progres. Cara atau mekanisme dalam
mempersepsi dunia (world view) berpengaruh besar terhadap
tindakan manusia dalam kehidupannya. Atau dengan kata
lain, gambaran atau citraan manusia tentang dunia menuntun
tindakan, kepercayaan, dan arah. Jadi permasalahan tata cara
atau mekanisme dalam hidup berkaitan dengan bagaimana
cara memandang dunia. Sehingga pembahasan tentang
12
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pandangan dunia pada dasarnya mengarah pada pengkajian
tentang manusia itu sendiri, baik manusia dalam konteks
keagamaan, kultur atau bahkan Negara Bangsa. Terkait
dengan ini, di era modern ini terdapat dua cara pandang,
yakni cara pandang teosentris atau religius1 dan
antruposentris-sekuleris.2 Cara pandang seseorang tentang
pengetahuan dan dunia inilah dalam pandangan Thomas
Kuhn diistilahkan sebagai paradigma.3
Agama dalam konteks ini merupakan salah satu sumber
dari pandangan dunia manusia. Hal ini disebabkan karena
agama hadir dengan visi dan misi yang cukup humanis,
memberikan acuan atau tuntunan doktrinal bagi manusia
untuk mencapai kemajuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Godfrey Gunnatilleke dalam bukunya, Religion and
Development in Asian Societies:.......sepanjang sejarah, agama telah
menjadi kekuatan yang paling berarti dalam perubhan dan
transformasi Eropa, reformasi proterstan dengan kehancuran
fiodalisme, Budhisme yang telah memberikan ajaran etika
humanisme, awal pertumbuhan Islam dengan menyatukan bangsa-
bangsa Arab, kita melihat gerakan agama telah memberikan
1 Pandangan dunia yang menitik beratkan segala sesuatu
pada Tuhan. Ini adalah cara pandang dunia Islam.
2 Cara pandang dunia yang menitik beratkan segala sesuatu pada manusia dan orientasi segalanya pada alam empirik. Ini adalah pandangan dunia modern Barat.
3Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions : Peran Paradigma Dalam revolusi Sains, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 46.
13
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
bentuk idiologi kepada sebagian besar kekuatan sosial
menyelenggarakan perubahan hidup dan masyarakat.4
Joachim Wach juga melihat agama sebagai yang memiliki
tiga bentuk dalam pengungkapan nilai universalnya, yakni,
belief sistem (sistem kepercayaan), sistem of worshif (ssistem
penyembahan), sistem of social relation (sistem hubungan
masyarakat).5 Sedangkan dalam tataran nilai religiusitas,
agama memiliki lima dimensi, yaitu, dimensi belief (ideologi),
dimensi practice (praktek agama), dimensi feeling
(pengalaman), dimensi knowledge (pengetahuan), dimensi effect
(konsekwensi).6
Islam sebagai agama, jika dilihat dari doktrin-doktrinnya
dalam al-Qur‟an dan al-Hadits sangat menentang sikap
yang mengarah pada pola hidup yang jauh dari kemajuan dan
produktivitas umatnya, seperti sikap apatis, statis,
individialistik, otoriter, radikal dan eksklusif.7 Islam juga
tidak membenarkan sikap yang mengarah pada bentuk
melemahkan diri pada selain Tuhan, seperti kultus, fanatik,
atau bahkan pada sesutau yang dianggap keramat, dan lain
sebagainya.8
4 Sebagaimana yang dikutif dalam, Fachry Ali, Agama,
Islam dan Pembangunan, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), h. 20.
5Joachim Wach, Sociology of Religion, (The university of Chicago Press, 1948), h. 37.
6Roland Robertson, ed., Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj., Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. 295-297.
7Safruddin Bahar, The Religous of Man, (New York; Hargestown San Francsco, 985), h. 29.
8Itulah sebabnya disamping manusia menerima agama dengan emosionalitas dan semangat yang tinggi, namun juga harus di
14
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Penentangan akan sikap yang demikian bisa dilihat dari
anjuran Islam untuk menjadi kritis dan berdaya intlektual
holistik. Wahyu pertama berisi perintah iqra‟ ‟“membaca” dengan menyebut nama Tuhanmu, dari sini akan terjadi
proses Aqalā, yang menuntut untuk mengerti apa yang
dibaca, baik teks maupun alam. Nazharā, setelah proses
membaca maka dilanjutkan dengan proses merenungkan atau
proses menalar untuk menemukan sebuah pemahaman dan
kesimpulan. Tadabbarā, juga demikian, menganjurkanuntuk
merenungkan apa yang dibaca. Tafakkarā, memikirkan apa
yang dibaca. Faqihā, faham akan apa yang telah dibaca.
Tazakkarā, mengingat atau mendapat pelajaran dari apa yang
dibaca. Fahimā, ini juga sama. Ulu al-Bab, Ulu al-Abshar, al-
´Ilm.
Namun semua nilai-nilai universal yang ada dalam Islam
tersebut, tidak akan bermakna dan berfungsi dalam
kehidupan manusia, jika pemeluknya tidak memiliki
pemikiran dan intlektualitas yang maju. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Ali Shariati9 bahwa suatu agama akan menjadi
penting dan bermamfaat bukan karena agama itu sendiri,
sertai dengan akal agar agama tidak dianut secara asal-asalan, bersifat taklid buta (menerima begitu saja ajaran agama tampa mengetahuai alasan dan maksud yang jelas). Disinilah terlihat akal menjadi sebuah acuan untuk memberi pertimbangan, mengkaji, mendukung dan mengabsahkan apa yang dihayati secara emosional. Azyumardi Azra, ‚Intraksi Agama dan Kebudayaan‛ dalam pengantar, Fachry Ali, Agama, Islam, dan Pembangunan, h. ii.
9Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj., M. S. Nasrulloh dan Afip Muhammad, (Bandung: Mizan, 1995), h. xiii.
15
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
melainkan tergantung pada kualitas pikiran dan intlektualitas
para pemeluknya, jika pemeluknya berfikiran dangkal dan
tekstual-skripturalais maka agama tersebut akan menjadi
sempit dan tidak bernilai universal, melainkan akan menjadi
agama yang kering nilai, dan pemeluknya akan menjadi
dogmatis, konserpatif, eksklusif, fundamentalis-radikal dan
militan, namun jika pemeluknya kritis dan berwawasan luas,
maka agama akan menjadi lebih bernilai universal dan
responsif terhadap perkembangan zaman.10
Namun apa yang ditemukan saat ini adalah Islam yang
diwujudkan dalam bentuk slogan-slogan dan simbol-
sombol.11 Umat Islam terpenjara dalam hegemoni aliran-
aliran sempit dan eksklusif. Hal ini menjadi pertanyaan besar
yang harus diselami. Marcel A. Boisard menggambarkan
dengan radikal kondisi umat Islam di era modern ini, bahwa
kondisi umat Islam sangat terbelakang, gerakan refitalisasi
dan refungsionalisasi nilai-nilai tradisional lebih diutamakan
dari pada melakukan riset-riset ilmiah yang berbasis saintifik
yang mengarah pada terciptanya teknologi. Para ulama dan
imam terjebak pada upaya mempertahankan ortodoksi sempit
dengan alasan demi menjaga orisinalitas dan autentisitas
dokrin dan nilai-nilai Islam, namun dengan cara
pengekangan terahadap kreatifitas berfikir rasional, dan hasil
dari jihad ortodoksi tersebut adalah kegagalan membawa dan
menampilkan Islam yang mampu menjawab dan merespons
tuntutan profanitas zaman yang terus berubaha dan
10 Ali Shariati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj., M. Amin Rais, (Jakarta: PT GrafindoPersada, 1996), h. 103.
11 Umat Islam menjadi umat yang sloganistik dan simbolistik.
16
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
berkembang, dan umat Islam sendiri kemudian gagal menjadi
umat yang maju, melainkan menjadi umat yang reseptif dan
konsumeristis terhadap apa yang dihadirkan oleh pemikiran
intlektual, budaya sekular dan ideologi sosial modern, serta
sains dan teknologi Barat.12
Senada dengan Marcel A. Boisard, Muhammad Al-
Fayyadl juga melihat umat Islam saat ini mengalami
kemunduran dalam segala aspek, terutama dalam masalah
sosial politik, pendidikan, ekonomi, budaya, sains, teknologi,
dan pemikiran. Justru yang terlihat adalah, sikapnya yang
ekslusif, dogmatis, paternalistik, konserpatif, radikal, budaya
oligarki yang diabadikan, pemimpin yang dianggap maksum,
pemerintahan yang non demokratis, deskriminatif terhadap
kaum wanita, feodalisme, persetruan antar beda mazhab dan
aliran, penantian tampa henti pada sang pemimpin gaib,
lahirnya sikap patalistik dari pemahaman Tasawuf dan
Kalam. Muhammad Al-Fayyadl, melihat bahwa penyebab
dari semua itu adalah hilangnya tradisi ijtihad, semua
permasalahan dianggap sudah terjawab oleh ulama-ulama
terdahulu sehinga generasi sekarang tidak perlu berijtihad
kembali dan cukup dengan mengutif apa yang sudah
ditetapkan ulama terdahulunya.13
Dengan sikap yang eksklusif, taklid dan dogmatis ini,
doktrin normatif Islam yang subtantif dan pengalaman
12Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj., H. M.
Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 310.
13Muhammad Al-Fayyadl, ‚Menjemput Islam Masa Depan‛ dalam pengantar, Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan, terj., R. Cecep Lukman Yasin dan Helmi Mustafa, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 6-7.
17
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
kebudayaan Islam sendiri dalam bentuk khazanah-khazanah
intlektual tidak difahami dan dimaknai secara autentik dan
kontekstual, sehingga umat Islam gagal merespon perubahan
zaman yang bersifat profan ini. Sikap yang demikian juga
berdampak pada krisis epistemologis di dunia Islam.Upaya
kearah gerakan reformasi dan rekonstruksi paradigma
pemikiran Islam agar lebih progresif dan kontekstual oleh
tokoh-tokoh pembaharu dan modernis Islam, ditentang oleh
kaum ortodoks-salafi Islam. Maka abad modern Islam selain
diwarnai dengan kemunduran di sisi lain diwarnai juga
dengan pertikaian antara kelompok ortodoks-salafi yang
konserpatif dan kaum modernis-reformis (pertikain antara
yang memakai metode Tuhan dan metode manusia) atau
dengan kata lain antar kelompok yang menggunakan metode
Barat-sekuler dengan kelompok yang menerapkan metode
Islam klasik-tradisional. Worldview Islampun (pandangan
dunia Islam) menjadi sempit.
Sadar akan nilai universal agama tersebut, maka dalam
pandangan dunia religius, terdapat dua kelompok yang
berseteru, yakni, pandangan religius yang ekstrims dan
pandangan religius yang humanis. Pandangan dunia religius
yang ekstrim bersifat metafisis dan eskatologis sehingga
cenderung menafikan potensi dan peran manusia sebagai
mahluk potensial dalam mengaktualisasikan dirinya, sebagai
mahluk yang memiliki indra, hati, pikiran, dan kehendak
bebas, manusia dilihat sebagai mahluk yang tidak berdaya,
lemah, semua dikemabalikan pada Tuhan. Dasar pandangan
hidup religius yang ekstrim adalah bersifat mitos atau
tahayul masa lampau dan tidak melihat peran atau pengaruh
ilmu pengetahuan modern. Pada hakekatnya pandangan
18
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
religius yang ekstrim bermuara pada sikap otoriter, dekaden,
dehumanisasi, eksklusif, dogmatis, konserpatif, radikial-
militan. Sedangkan pandangan hidupa religius yang humanis
lebih melihat pada pengangkatan citra, harkat dan fungsi
manusia di bumi sebagai mahluk yang memaenkan peran
signifikan sebagai realisasi rencana penciptaan, mansuia
berfungsi sebagai khalifah.
Di era ketertinggalan, atau era eksklusif, taklid dan
dogmatis umat Islam saat ini, dibutuhkan suatu pandangan
dunia yang lebih rasional dan empirik. Tapi bukan
rasionalisme dan empirisme. Melainkan suatu pandangan
dunia yang menitik beratkan pada kemajuan sains dan
teknologi, namun tetap dalam paradigma teosentrisnya,
tauhid sebagai fondasi dan tujuan ahir. Sebab jika kita
menengok ke belakang, yakni abat klasik, maka kita akan
menemukan bagaaimana umat Islam mampu merajut
peradaban besar yang menginspirasi peradaban dunia, bahkan
Barat saat ini.
Dalam kondisi eksklusivisme yang demikian, salah satu
dari khazanah intlektual Islam yang bisa diandalkan saat ini
adalah, melanjutkan dan mengembangkan nalar kritis filsafat
Islam abad klasik. Reaktualisasi nalar kritis filsafat Islam ini
bukan berarti kembali ke masa lalu, melainkan meniru pola
kritis dengan mengarah pada kondisi yang dihadapi saat ini.
Dalam filsafat Islam ditemukan objek kajian yang bersifat
rasional, empiris dan metafisis. Ketiga komponen ini
mewakili pandangan dunia Islam untuk era krisis ini.
19
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Modernisme Barat:
Sebuah Telaah Kritis Kearah Perbandingan
Abad modern dalam pandangan Seyyed Hussein Nasr
adalah abad dimana manusia kehilangan visi Ilahiahnya
sehingga menderita penyaakit kehampaan spiritual. Sebuah
kemajuan yang diharapkan dari Ilmu pengetahuan, teknologi
dan filsafat rasionalisme hanya mampu memberikan kepuasan
material-fisikal, tapi tidak mampu memberikan nilai spiritual
transendental yang hanya bisa didapat dengan jalan
kepatuhan kepada Tuhan.14 Senada dengan Nasr, Nurcholis
Madjid mengatakan bahwa abad modern sebagai abad
teknokalis telah mengabaikan harkat kemanusiaan yang
paling mendasar dari manusia, yakni nilai rohani.15
Berbicara tentang abad modern di Barat, maka hal
penting yang dibicarakan sebagai indikator atau ciri
dominannya adalah, pertama lahirnya semangat humanisme- antroposentrisme. Kedua lahirnya sains dan teknologi modern
sekuler dan positivistik.
Pertama, ideologi humansime-antroposentrisme.
Pandangan ini merupakan ajaran tentang indevendensi dan
liberitas manusia atas dirinya dan segala sesuatu di alam.
Disinilah lahir filosof dan ilmuan yang cendrung melahirkan
ide-ide yang rasionlaistis dan empirik. Dengan semangat
indevendensi ini banyak dari tokoh-tokoh ilmuan tersebut
tidak percaya pada Tuhan (atheis), seperti Darwin, Laplace,
14Seyyed Hussein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj.
Abdul Hadi W.M., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 198. 15Nurcholis Madjid, Warisan Intlektual Islam; Khazanah
Intlektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 79.
20
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Freud, dan lain sebagainya.16 Manusia tidak lagi menganggap
dirinya sebagai peziarah di dunia, melainkan sebagai pencipta
dan penguasa alam. Kebebasan menjadi segala-galanya.17
Kedua, Abad modern dipenuhi oleh ilmuan dari berbagai
disiplin ilmu. Di abad ini, ilmu telah mengalami sekularisasi
(penghilangan segala unsur spiritual dari objek -objek ilmu).18
Terjadinya sekularisasi ilmu di Barat didorong oleh
pandangan ideologis bangsa Eropa yang bersipat rasional
dan sekuler serta tidak mempercayai hal-hal yang bersifat
metafisis-spiritual.19 Dengan demikian Sains modern Barat
secara objek kajian hanya fokus pada objek material-empirik,
dengan alasan bahwa objek fisik memiliki status ontologism
yang jelas.20 Tujuan dari sains tersebut adalah untuk
16Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama
Filsafat Islam, h. 88.
17 Dalam pandangan Nasr, dengan lahirnya konsep manusia
yang demikian, akan berdampak pada sikap arogan dan eksploitatif terhadap alam, alam dilhat sebagai b enda mati, sebagai sumber pemenuhan material manusia semata, tampa ada unsur spiritualitas di dalamnya, alam diperlakukan sebagai pelacur yang tampa tanggung jawab atasnya, akhirnya alam didominasi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan material. Seyyed Hussein Nasr, Man And Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (Geoge Allen & Unwin, Ltd. London, 1976), h. 18.
18Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 121.
19Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 86.
20Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam , h. 1-7.
21
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
memahami alam dan selanjutnya menguasai alam bagi
kemudahan dan kesejahtraan hidup manusia.21 Sains modern
Barat dikonstruksi berdasarkan semangat humanisitik -
antroposentris, pengetahuan yang sistematis tentang alam
dan dunia fisik yang indrawi. Ahirnya seperti yang dikatakan
Nasr, sains menjadi raja dan tolak ukur nilai-nilai
kemanusiaan dan kebenaran.22
Untuk mewujudkan sains alam modern tersebut, tugas
utama dari ilmuan adalah melakukan nihilisasi subtansi
kosmos dari karakteristik sakralnya, agar menjadi profan,
maka terjadilah sekularisasi alam oleh sains empirik--
materialis-sekuler tersebut, selanjutnya terjadi proses reduksi
terhadap kosmologi menjadi sains-sain partikuler tentang
subtansi materi, dengan demikian dalam pandangan yang
lebih umum, sains berkecendrungan mereduksi yang tinggi
ke yang rendah,23 yang sakral menjadi profan, dan lain
sebagainya. Semua itu dilihat Nasr sebagai implikasi
dihilangkannya fungsi signifikan dari metafisika,24 metafisika
21Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam, (bandung Mizan, 2004), h. 221-222.
22Seyyed Hussein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (Geoge Allen & Unwin, Ltd. London, 1976), h. 28.
23Seyyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosfis dan Religius Menuju Puncak Spiritual , h. 32-34.
24Metafisika (ilm I-ilahiyyat) ilmu yang mempelajari
tentang wujud sebagaimana adanya. Metafisika mengajarkan tentang masalah hukum yang menyangkut hal-hal jasmani dan spiritual, seperti quiditas-quiditas, kesatuan, pluralitas, keharusan, kemungkinan. Setelah itu membahas tentang awal
22
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
direduksi menjadi filsafat yang rasionalaistik, dan hanya
menjadi tambahan bagi sains alam dan matematis.25 Paling
tidak ini terlihat dari upaya konstruksi metode atau
epistemologi sains Barat yang dibangun pada abad ke-15 oleh
Francis Bacon dan Rene Descartes, metode ilmiah atau
epistemologi Barat telah mengalami proses empirisis, dan
pada masa kontemporer mencapai puncaknya pada
positivistik logis. Dengan demikian, sarjana Barat telah
berhasil membuang wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan
mereduksi wahyu pada tataran hayalan dan dongeng, paling
tidak ini terlihat jelas pada tiga abad terahir.26
Kemajuan peradaban duniawi-empirik-pragmatis-
materialis Barat tersebut menjadi kiblat masyarakat dunia,
sehingga usaha kearah proses modernisasi terus bergulir
semua maujud sehingga dipereloh hal-hal yang bersifat
spiritual. Kemudian membahas tentang cara kehadiran segala yang maujud dari yang bersifat spiritual sampai yang
fisikal. Disamping itu juga membahas tentang jiwa setelah
berpisah dari tubuh dan kembali ke asalnya, Ibn Kholdun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), 678-679. Dalam pandangan Nasr, metafisika merupakan
sains tentang yang rill, asal usul dan tujuan semua benda, ilmu tentang wujud obsolut, dan ilmu yang relatif bukan
eksak. Seyyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam:
Jembatan Filosfis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, h 99.
25Seyyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosfis dan Religius Menuju Puncak Spiritual , h. 34.
26Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), h. 7-8.
23
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
diseluruh belahan dunia. Dalam posisi dan kondisi yang
demikian, Barat sebagai masyarakat yang mempopulerkan
perkembangan zaman ini, menjadi kiblat bagai kemajuan dan
kemegahan kehidupan modern, sains dan teknologi telah menjadi kekuatan yang begitu sistematis dalam
menghegemoni paradigma kehidupan ilmiah. Teknologi
modern yang dicapai Barat telah menarik nalar ilmuan dan
intelektual seluruh umat manusia, dan paradigma
epistemologi27 sains modern Barat tersebut telah menjadi
superfawor dan superior dalam menghegemoni kehidupan
manusia, terutama para ilmuan, intelektual, politik dan lain
sebagainya.
Bahkan di dunia Islam sendiri tidak bisa lepas dari
ketergantungannya pada epistemologi dan sains modern
Barat tersebut. Al-Attas28 melihat bahwa ilmu pengetahuan
masa kini dan modern dibangun dan ditafsir serta
diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan
persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat.
27Merupakan cabang dari filsafat, epistemologi ini lebih
mengarah pada teori tentang ilmu pengetahuan, apa yang dapat diketahui (objek ilmu) dan bagaiman sesuatu itu diketahui (metode ilmu), Mulyadhi Kartanegara, Muzaik Khazanah Islam: Bunga Rampai Dari Chicago , (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 117.
28Al-Attas adalah tokoh Islam yang mempopulerkan wacana
keilmuan Islam Seyyed Hussein Nasr. Wacana tersebut dikemukakn pada komperensi pertam Islam di Makkah dengan mengusung upaya ke arah gerakan Islamisasi sains. Al-Attas merupakan salah satu tokoh yang paling serius dalam mewacanakan gerakan islamisasi sains tersebut, kemudian disambut baik oleh beberapa tokoh seperti al-Faruqi dan ziaduddin Sardar.
24
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Dan dengan masuknya aspek-aspek yang berasal dari
pandangan filsafat Barat kedalam pemikiran intlektual Islam
tersebut telah melahirkan sikap yang diistilahkan al-Attas
sebagai "deislamisiasi pemikiran umat Islam".29
Epistemologi Barat
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang
berarti pengetahuan.30 Epistemologi merupakan teori tentang
ilmu pengetahuan, yang berkaitan dengan apa yang dapat
diketahui, ini terkait dengan objek; dan bagaimana
mengetahui sesuatu, ini terkait dengan metode.31 Menurut H.
M. amin Abdullah terdapat tiga persoalan pokok dalam
masalah epistemologi ini, pertama, apakah sumber-sumber
pengetahuan itu?, darimana pengetahuan yang benar datang,
dan bagaimana cara diketahuinya?. Kedua, apakah sifat dasar
pengetahuan itu?, apakah ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran manusia, kalau ada apakah dapat diketahui? Ini
merupakan persoalan apa yang tampak oleh indra dengan
29Wan Mohd Nor Wan Daud, Fislafat Dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 1998), h. 333-334.
30 Istilah ini pertama kali digunakan sebagai term teori pengetahuan oleh J.F. Ferrier, filsuf Scotlandia. Lihat Jalal Muhammad Alhamid Musa, Manhaj al-Bahts al-Ilm ‘Indal Arab, (Beirut: Dar al-kutub al-Lubnani, 1972), h. 33.
31Mulyadhi Kartanegara, Muzaik Khazanah Islam: Bunga Rampai Dari Chicago, h. 117.
25
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
hakekat. Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar?,
bagaiman cara membedakan yang benar dari yang salah?.32
Dasar pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah secara
sistematis telah diletakkan oleh para filosof Yunani sejak abad
kelima sebelum Masehi33 oleh tokoh-tokoh seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles serta filsuf lainya. Plato menggunakan
pendekatan penelitian yang diistilahkan oleh
32H. M. Amin Abdullah, ‚Aspek Epistemoloi Filsafat
Islam‛, Dalam, Irma Fatimah dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologism, Epistemologis, Aksiologis, Histories, Prospektif, ( Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 28. Mengenai definisi epistemologi terdapat banyak pandangan,
diantaranya P. Hardono Hadi menyatakan, epistemologi
merupkan cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba
menentukan kodrat dan skop pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. D. W. Hamly
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
berkorelasi dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, dasar
dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum dapat
diandalkanya sebagai penegasan bahwa seseorang memiliki
pengetahuan. Dagobert D. Runmes epistemologi merupakan
cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-
metode dan validitas pengetahuan. Sedangkan Azyumardi Azra
mendifinisikan epistemologi sebagai ilmu yang membahas
tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan
validitas ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya, baca,
Mujamil Omar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode
Rasional Hingga Metode Krtik , (Jakarta: Erlangga, 2005),
h. 3-4.
33Oliver Leaman, Pengantar filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung : Mizan, 2001), 8. Baca juga M.M.Syarif (Ed.), A History of Muslim Philoshophy, Vol I, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), h. 346-348
26
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
ilmuan modern dengan aliran idealisme atau rasionalisme.34
Mekanisme kerja dari pendekatan ini adalah pengetahuan
ilmiah diperoleh secara deduktif yakni berangkat dari umum
ke khusus, atau mengkonstruk konklusi umum dengan
mengandalkan ide-ide murni, akal dan logika untuk kemudian
menerapkannya pada kasus-kasus tertentu. Pendekatan ini
melahirkan alat bantu pengetahuan ilmiah berupa
matematika.35
Aristoeles meletakkan dasar pengembangan ilmu
pengetahuan ilmiah melalui pendekatan empiris dengan
mengacu pada kemampuan indra. Pendekatan ini kemudian
dikenal dengan istilah metode empirisme atau metode
induktif. Dalam hal ini, pengetahuan ilmiah diperoleh dengan
cara mengambil konklusi umum atau generalisasi dari
sejumlah kejadian baik fenomena alam maupun sosial yang
bersifat kasuistik. Pendekatan empirisme atau metode
induktif tersebut telah melahirkan alat bantu ilmu
pengetahuan ilmiah yang disebut statistika.36
Penerapan metode ilmiah (Scientific Method) yang
berwatak rasional dan empiris berhasil mengkonstruk suatu
pandangan kehiduapan manusia dalam bentuk modernisme.
Pandangan dunia modernisme kemudian melahirkan corak pemikiran yang bersifat rasionalisme, liberalisme,
34Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 118.
35Harun Nasution, Falsafat Agama,(Jakarta : Bulan Bintang, 1991), h. 23-51.
36Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Philosophycal Instructions, An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy,( New York : Global Publications, 1999), h. 11
27
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
positivisme, materialisme, pragmatisme dan sekulerisme.37
Berbagai aliran filsafat ini menurut Frithjof Schuon telah
terlepas dari scientia sacra (ilmu pengetahuan suci) atau
philosophia perennis (filsafat keabadian).38
Gregori Bateson, mengkritik epistemologi Barat
modern39 yang telah mengkondisikan manusia terasing dari
37Istilah Sekuler berasal dari kata latin ‘Saeculum ‘ yang berarti ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Istilah sekulerisme pertama kali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake pada tahun 1846 M. Menurutnya, Secularism is an ethical system founded on the principle of natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism. Lihat William H. Swatos, Secularization, dalam George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory, (London: Sage Publication, 2005), vol.1, 680, Bandingkan dengan Harvey Cox, The Secular City, (New York: The Macmillan Company, 1966), 2. Bryan wilson, Secularization, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan, 1995), vol.13, h. 159 dan http://atheism.about.com/library/FAO/religion/blrel sec
def.htm.
38Frithjof Schuon, Understanding Islam, (trans.) D.M.
Matheson (London: Unwin Paperbacks, 1981). Frithjof Schuon mendefinisikan Scientia sacra sebagai suatu karakteristik sains yang secara konseptual masih terikat dan terintegrasi dengan wahyu Ilahi. Nilai-nilai etika wahyu mendasari bangunan sains secara paradigmatik. Sehingga tujuan ahir dari sains bermuara pada pengungkapan kebesaran Tuhan sebagai sumber segala kehidupan. Lawan dari Scientia Sacra adalah Sains Profan atau Profan Knowledge.
39Dalam konteks ini, istilah Barat tidak selamanya merujuk pada letak geografis, tapi lebih pada paradigma berpikir yang rasional dan ilmiah, serta mengesampingkan peran spiritual. Sedangkan istilah modern disebut Hodgson
28
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
alam, dari sesamanya bahkan dari manusia sendiri. Lebih
lanjut dalam papernya berjudul Pathologies of Epistemology,
Bateson menuding epistemologi Barat sebagai fundamental
error yang berujung pada kesengsaraan manusia itu sendiri.40
Dalam konteks inilah Jurgen Habermas mengatakan bahwa
kehidupan modern tidak hanya mewariskan kehidupan yang
materialistik dan hedonistik, tapi juga menyebabkan intrusive
dalam bukunya The Venture of Islam dimulai sejak tahun 1789 yang merujuk kepada kompleks tertentu yang mempunyai ciri-ciri kultur tertentu. Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 70
40Gregori Bateson, Steps to an Ecology of Mind, (New
York: Ballantin Books, 1972), h. 487. Di Barat sendiri muncul tokoh-tokoh pengkritik berbagai kelemahan paradigma
modern. Diantara tokoh tersebut adalah Louis Masignon (1962), Rene Guenon dengan karya The Crisis of Modern
World, Ananda K Coomraswamy, Titus Burckhart, Henri Corbin (1978), Martin Ling, Frithjof Schuon. Semua tokoh tersebut
mengkritik dan memberikan solusi atas probelema modernisme dengan merumuskan model atau filsafat baru yang holistik yang bersumber dari perennialisme dan tradisionalisme.
Mengenai pandangan-pandangan para filosof perenial tersebut selanjutnya lihat artikel-artikel mereka dalam buku The
Sword of Gnosis: Metaphysics, Cosmology, Tradition, Symbolism, diedit oleh Jacob Needleman, Arkana, (London,
1986). Tradisionalisme adalah suatu paham (ajaran) yang berdasar pada tradisi. Webster mendefinisikan tradisionalisme sebagai suatu doktrin atau ajaran yang merupakan tandingan (counter) terhadap modernisme, liberalisme dan radikalisme. Selanjutnya lihat Noah Webster, Webster Third New International Dictionary of the English Language Unabridged, (Massachusetts, USA: G & C Merriam Company Publishers, 1996), h. 2422
29
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
massif dan krisis yang mendalam pada berbagai aspek
kehidupan.41
Sketsa Historis Pengembangan Filsafat Islam
Dinamika ilmu rasional atau ilmu aqliyah di dunia Islam,
dimulai denga proses penerjemahan karya-karya filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab, yang dimulai sejak tahun 750 -
900 M, pada masa pemerintahan Umayyah. Namun
penerjemahan secara besar-besaran dimulai pada masa
khalifah al-Mansur dari Abbasiyah dan mengalami
puncaknya pada masa al-Ma‟mun.42 Diantara para
penerjemah tersebut adalah: Hunayn Ibn Ishaq (w. 873 M),
Ishaq (anak dari Hunayn, w. 910 M), Sabit Ibn Qurra (825 -
901 M), Qusta Ibn Luqa, SHubays, Abu Bisr Matta Ibn
Yunus (w. 939 M), Mereka banyak menterjemahkan karya-
karyafilsafat Aristoteles dan Plato serta karya-karya
Neoplatonisme.43
Usaha transfomasi karya-karya Filsafat Yunani dan
Alexandria pada abad kedua, ketiga dan keempat tersebut,
kemudian melahirkan filosof-filosof Islam yang besar. Pada
abad ketiga Islam pun memulai penulisan dan penelitian
dengan lebih sistematis dan adaptif, maka muncullah
41Jurgen Habermas, The Dialectics of Rationalizations,
dalam Sociology Department (Washington University: XLIX, 1981), h. 20
42Hj. Musrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. I., h. 78 -79.
43Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), cet. 12, h. 3-5
30
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
beberapa filosof muslim, dan al-Kindi tercatat sebagai filosof
pertama.44 Kemudian muncul tokoh-tokoh yang begitu
briliam dalam melahrkan ide-ide filosfisnya.45 Secara aliran,
filsafat Islam memiliki beberapa aliran, diantranya, pertama,
aliran peripatetik.46Kedua, aliran iluminasionis (Isyraqiyyah).47
44Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 7 45Karyanya yang cukup populer adalah ide tentang
penciptaan alam dari ketiadaan Creation ex nihilo, yang diambil dari konsep pemikiran filsafat Yunani, terutama pada Neo-Platonisem. Untuk lebih jelasnya tentang geografi al-Kindi, baca Henry Corbin, History of Islamik Philosophy, Tanslated by Liadain Sherrard, (London and New York, Kegan Paul International Ltd, 1993), h. 154 -157.
46Yakni aliran yang identik dengan filosof-filosof
seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Aliran ini dirujukkaan pada Aristoteles yang dalam mengajar filsafat selalu berjalan-jalan. H. Muzairi, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemolgis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), ce. I., h. 76.
47Aliran yang mengedepankan sumber perolehan ilmu pada
konsep penggabungan akal dan intuisi. Toko utama aliran ini adalah Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi (549-587/1154-
1191). Aliran ini lahir dalam rangka meresfons aliran Aristotelianisme di kalangan Islam diatas. Dari segi
ontologis aliran ini menganggap bahwa esensi lebih penting dari pada eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam
pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder yang tidak terdapat dalam realitas, sedangkan yang benar -benar ada
atau realitas yang sesungguhnya adalah esensi-esensi yang tidak lain adalah bentuk cahaya. Untuk lebih jelasnya, baca, Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi, Hikmah Al Israq:
Teosofi Cahaya Dan Metafsika Khuduri, terj. Muhammad`al-Fayyadl, (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I.
31
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Ketiga, aliran Teosofi Transenden atau al-Hikmah al-
Mutaaliyyah (979-1050/1571-160).48
Dengan pengembangan ilmu aqliyah ini, umat Islam
berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga
melahirkan ilmuan-ilmuaan yang kapasitas dan kualitas
keilmuannya di akui di seluruh dunia. Bahkan beberapa ide
pembaharuan yang muncul di abad modern dipengaruhi oleh
kejayaan ini.49 Tradisi keilmuan Islam bukan hanya
memberikan kontribusi positif terhadap umat Islam dalam
masa kejayaan Islam, tetapi hasilnya juga mampu dirasakan
oleh umat manusia hingga era modern. Bahkan, kemajuan
Eropa yang begitu pesat saat ini, juga tidak terlepas dari
tradisi keilmuan Islam.50 Dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi dan produk-produk canggih, istilah yang dipakai
dalam ilmu dan teknologi Barat dipinjam dari bahasa Arab
yang kemudian diserap kedalam bahasa Inggris, seperti,
admiral, alchemi, alcohol, alcive, alfalfal, algebra, algorithm,
48Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla
Shadra, (Jakarta; al-Huda, 2005), cet. I., 35. Aliran ini merupaka sintesis dari disiplin ilmu yang pernah ada di dunia Islam, tercatat ada empat aliran ynag mempengaruhi pemikiran Shadra, yakni kalam, pemikiran peripatetik, pemikiran iluminasionis dan pemikiran tasawuf.
49 Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan (Bandung : Cipta Pustaka Media, 2002), h. 13-17.
50 Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim's Guide to the Modern World (Chicago : Kazi Publication Inc, 1994), h. 135-148.
32
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
alkali, azimuth, azure, cpher, coffee, cotton, elixir, jar, magazine,
nadir, sofa, dan lain sebgainya.51
Al-fazani, tokoh matematika Islam abad ke 9, ia telah
menerjemahkan karya matematika India yang sangat terkenal
ke dalam bahasa Arab dengan judul Sindhind al-kabir.
Matematika India ini telah memperkenalkan angka dari satu
sampai sembilan, orang Arab menyebutnya angka India,
sedangkan di Barat dikenal dengan Arabic number. Kemudian
muncul tokoh Islam (Muhammad ibn Musa al-khawarizmi, w.
833 M) yang memperkenalkan angka “nol” dengan sebutan
sifr, kata ini kemudian dikenal di Barat dengan istilah cipher
dan zero. Selain itu ia juga terkenal dengan temuannya dalam
merumuskan al-Jabar, ini adalah nama dan cabang
matematika, yang diambil lansung dari nama kitabnya al-
jabar wa al-muqabbalah. Namanya juga secara diam-diam
diabadikan oleh barat dengan nama logaritma, ini merupakan
teori matematika yang diambil dari istilah inggris algorithm.
Kata ini setelah ditelaah merupakan terjemahan dari nama al-
khawarizmi.
Tokoh lain yang terkenal dalam bidang kedokteran
adalah Ibn Sina, di Barat ia terkenaldengan julukan
Avvicenna atau disebut juga Aristoteteles Baru. Ia telah
melakukan observasi yang seksama terhadap ratusan jenis
tumbuhan dan bermacam-macam hewan yang dilihat dari
manfaat medis dan nutritifnya. Ia juga terkenal dengan
begitu banyak hasil penelitian, diantaranya meningestik, cara
tersebarnya epidemic dan sifat menular tuberculosis. Itulah
51 Nurcholish Madjit, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 69-70.
33
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebabnya ia merupakan ilmuan dalam bidang kedokteran
yang paling terkenan di dunia Islam dan Barat. Karya
kedokterannya al-Qanun fi al-Thibb telah diterjemahkan
kedalam bahasa latin pada abad ke12 dan menjadi textbook
utama selama 600-700 tahun di universitas-universitas
terkemuka di Erofa; Oxford, Paris dan Budapest. Sampai
sekarang karnya ini masih dipelajari di beberapa belahan
dunia Islam terutama di Iran dan Pakistan dan di salah satu
Uinversitas terbesar di Jerman. Buku ini menjadi buku daras
mengenai kedoteran. Kandungan yang tercakup dalam
karyanya ini adalah; farmasi, farmakologi, dan zoology, ilmu
bedah dan saraf.
Dalam bidang fisika muncul al-Biruni (w. 1038m) dan ibn
Haitsam (w.1041 m). Al-Biruni merupakan tokoh
ensiklopedis Islam terbesar, ia menguasai hampir seluruh
bidang ilmu pengetahuan, namun banyak dari karyanya yang
tidak ditemukan. Diantara keilmuanya yang bisa direkam
sejarah adalah; astronomi, geografi, matematika, mineralogy
dan etnografi. Ia bahkan telah mendahului Newton dalam
temuannya mengenai hukum gravitasi. Dia orang pertama
yang mengkritik pandangan Aristoteles yang mengatakan
bahwa pusat gravitasi bersifat ganda; inti bumi untuk unsur
tanah dan air, dan langit untuk unsur udara dan api. Namun
bagi al-Biruni pusat atau sumber gravitasi adalah satu dan
sama. Yaitu di pusat bumi, baik untuk tanah dan air maupun
untuk udara dan api.
Adapun yang menyebabkan satu unsur yang satu
melayang dan yang satunya tenggelam adalah berat jenis
unsur tersebut berlainan. Ia melakukan eksperimen-
34
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
eksperimen secara intensif dilaboratorium fisikanya,
sehinggga ia berhasil menciptakan geravitasi spesifik bagi
lebih dari 20 unsur kimia. Hasil temuan ini masih akurat jika
dibandingkan dengan ukuran gravitasi spesifik modern. Ia
juga telah berhasil mengukur keliling bumi secara matematis
dengan menggunakan rumus-rumus trigonometri. Penelitian
ini menunjukkan bahwa ternyata bumi ini bulat, hal ini
berarti ia telah lebih dahulu menemukan keadaan bumi yang
bulat dari ilmuan pelayar Barat spanyol seperti Vasco
Dagama atau colombus.
Sedangkan Ibn Haitsam seorang ahli fisika. Di Barat
dikenal dengan sebutan al-Hazem (dari kata al-Hasan, nama
depan Ibn Haitsam). Ia menulis buku optic sebanyak tujuh
jilid dengan judul al-Manazir. Karya ini pada masanya
disebut fisika karna optic pada masa tersebut masih
merupakan cabang dari fisika. Temuan utama dari karya ini
adalah teori penglihatan (vision). Ia melakukan penelitian
mengenai cahaya dan pengaruhnya terhadap mata, ia pun
menemukan kesimpulan bahwa kita dapat melihat sebuah
objek karena objek memantulkan cahaya pada kornea mata
kita. Temuan ini pada masanya dan sekarang menjadi temuan
paling benar.
Teori optic Ibn Haitsam ini ternya berpengaruh besar
terhadap teori-teori optic di Barat, sehingga banyak dari
tokoh-tokoh Barat yang meneliti masalah ini pun menjadi
berpengaruh dan mengikutinya, seperti; Roger Bacon,
Vitello, Peckham, Johanes Kepler dan Newton. Selain itu
temuan penting lainnya dari Haitsam adalah mengenai
langkah-langkah penting dalam memahami spectrum cahaya
35
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dan meneliti mengenai bagaiamana terjadinya pelangi melalui
teori refleksi dan refraksi, dan telah menciptakan alat-alat
optic, seperti gelas cembung, cekung, parabolic, lensa
kacamata, teleskop dan yang paling mutahir adalah camera
obscura gambar terbalik dalam lensa kamera untuk
eksperimen.
Saintis Islam lainnya adalah dalam bidang astronomi.
Terdapat begitu banyak astronot Islam pada abad klasik,
namun yang bisa dipaparkan disini hanyalah beberapa tokoh,
diantaranya: al-Battani, al-Farghani, al-Biruni, Nasir al-Din
al-Tusi, Quthb al-Din al-Syirazi, al-Majrithi, dan Ibn Syatir.
Ciri has dari astronomi Islam adalah tidak berkarakter
ptolemius. Astronomi ptolomius bersifat geosentris. Dalam
pandangan Marshall Hodgson ostronomi Islam telah
menemukan konsep mengenai pandangan bahwa bumilah
yang mengelilingi matahari. Diantara tokoh yang paling
besar dalam maslaah ini adalah Nasir al-Din al-Tusi, dan Ibn
Syatir, yang di Barat dikenal dengan Thusi‟s Couple”, yakni
sebuah kaitan link antara dua vector panjang yang sama dan
konstan yang berputar pada kecepatan yang konstan. Ini
merupakan modul planeter yang berbeda dengan yang
dikembangkan plotomius.
Menurut Tuby Huff dalam bukunya The Rise Of Early
Modern Science, modul planeter inilah yang secara harfiyah
dijiplak oleh Nicholai Copernicus tanpa menyebut
sumbernya, yang kemudian di Barat dikenal dengan
Covernican Revolution. Lebih lanjut Tuby Huff mengatakan
bahwa Copernicus tidak lain adalah murid terkemuka dari
mazhab astronomi Maraghah (nama kota tempat didirikannya
36
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
observatorium yang megah dunia Islam). itulah sebabnya
banyak orang Barat mengatakan bahwa revolusi ilmiah yang
sebenarnya telah dimuali di Maragah.
Dalam bidang biologi muncul tokoh seperti Jalaluddin
Rumi yang mengajukan teori evolusi jauh sebelum Darwin.
Bagi Rumi, Tuhan sebagai sebab asal dan cinta alam sebagai
sebab derivatif dari evolusi alam. Sehingga evolusi tidak
mungkin terjadi tanpa cinta alam, sebagai kekuatan universal,
sedangkan cinta alam ini tidak mungkin tumbuh tanpa objek
kecintaannya, Tuhan. Ini berbeda dengan pandangan Darwin
yang mengatakan bahwa evolusi di alam terjadi karena
adanya hukum seleksi alamiah, dan hukum seleksi alamiah
merupakan mekanisme alam yang berjalan dengan
sendidrinya sehingga tidak memerlukan uluran tangan
Tuhan.52
Kemampuan Akal Dalam Filsafat Islam
Akal dalam bahasa Arab disebut al-„aql, dan dalam al-
Qur‟an ditemukan beberapa ayat dalam bentuk kata kerja,
yakni „aqaluh satu ayat, ta‟qilun 24 ayat, na‟qil satu ayat, ya‟qiluha satu ayat, dan ya‟qilun 22 ayat, yang semuanya berarti faham dan mengerti.53 Makna faham dan mengerti
dari akal tersebut tercermin pada para filosof muslim yang
mengadopsi dan mengembangkan pemikiran filsafat Yunani,
yakni nous, yang berarti daya berfikir yang terdapat dalam
52 Untuk lebih jelasnya mengenai semua tokoh Islam ini, baca, Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), cet. I.
53Harun Nasution: Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:
UI-Press, 1986), cent.II., h. 5-8.
37
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
diri manusia. Atas dasar pengaruh dari Yunani tersebutlah
akal dalam pandangan para filosof muslim dilihat sebagai
salah satu daya dari jiwa (al-nafs) yag terdapat pada
manusia.54
Berbicara tentang filsafat didunia Islam, berarti berbicara
tentang Ilmu pengetahuan, Murthadha Mutahahhari melihat
filsafat di dunia Islam lebih dipandang sebagai filsafat
pertama atau metafisika. Dan jika kita memakai perspektif ini,
maka perkembangan filsafat di dunia Islam meliputi empat
bagian: metafisika, teologi, psikologi dan akal atau logika.55
Dalam Islam ditemukan pernyataan-pernyataan yang
memeberikan ruang besar dan penting bagi akal, seperti,
“tidak ada agama tampa akal” “Tidak ada kewajiban
menjalankan ajaran Islam bagi mereka yang tidak berakal”.
Inilah pernyataan-pernyataan yang kita temukan dalam Islam
yang mengindikasikan peran dan fungsi akal yang begitu
besar dalam proses penerapan dan pelaksanaan ajaran-ajaran
Islam.
Menarik juga untuk diulas drama konflik, polemik dan
perdebatan yang seru, yang terjadi pada sejarah awal
penciptaan manusia (Adam), yakni antara Tuhan, Malaikat
dan Iblis. Polemik yang terjadi di surga tersebut telah
melahirkan korban atas pembelaan akal dan intlektualitas
manusia. Bagaimana Tuhan menjadikan manusia dengan
kemampuan berfikirnya menempati posisi yang istimewa
54Harun Nasution: Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 8. 55Murthadha Mutahahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar
Pemikiran Shadra, terj. Tim Penerjemah Mizan., (Bandung: Mizan, 2002), cet. I., h. 58 -59.
38
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dihadapan Tuhan (khlifah di muka bumi),56 dan dengan
adanya akal pada manusia, malaikat yang begitu setia dan
dekat dengan Tuhan harus sujud dihapan Adam, bahkan akal
yang dimiliki telah melahirkan kecemburuan pada iblis, dan
mendatangkan fitnah bagi iblis, sehingga mereka dinyatakan
oleh Tuhan sebagai musuh yang nyata bagi manusia. Karena
akal manusia dibela oleh Tuhan dihadapan para abdi setiaNya
tersebut.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, problem pemahaman
terhadap agama pada umat Islam mulai muncul sejak
turunnya wahyu dan setelah munculnya nast-nast agama.
Terdapat pandangan bahwa teks-teks agama memiliki
wilayah epektivitas sendiri, dan terdapat wilayah lain yang
merupakan wilayah epektiviats akal.57 Setelah nabi meninggal
dan seiring dengan berkebangnya Islam keberbagai wilayah,
yang berhadapan dengan kultur dan tradisi masyarakat yang
berbeda-beda, kompleksitas
56Dalam kisah ini diceritakan bahwa malaikat dan iblis
disuruh oleh Tuhan untuk bersujud dihadapan Adam, namun malaikat dan iblis menolak karena merasa diciptakan dari
sesuatu yang lebih mulya dari manusia. Malaikat berkata ‚engkau akan menciptakan manusia yang suka berbuat
kerusakan dimuka bumi?‛, lalu Tuhan menjawab ‚sesungguhnya Aku lebih tau dari kalian‛. Setelah itu malaikat bersujud
dihapan Adam, hanya iblis yang tetap memepertahankan fiodalismenya dihapdan tuhan dan adam. Dikisahkan pula,
bahwa malaikat disuruh untuk menyebutkan nama -nama yang telah diajarkan kepada adam,namun tidak satu pun malaikat yang mengingatnya.Ali Shariati, Tugas Cendikiawan Muslim,
terj. M. Amien Rais, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996), cet. I., h. 7-8.
57Nasr Hamid Abu Zaid, Kriti Wacana Agama, terj., Khoiron Nahdiyyin, (Yogyakarta: LKis, 2003), cet. I., h. 25.
39
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
permasalahan pun muncul, sehingga menuntut tindakan
interpretasi dari sumber ajaran Islam, yakni Qur‟an dan
Hadits. Tidak ada jawaban lansung dari pertanyaan akan
masalah yang dihadapi, sebab sang guru telah meninggal,
yang hanya meninggalkan kitab sebagai pedoman yang masih
berserakan dimanan-mana dan diotak beberapa tahfiz, serta
hadits yang masih terbungkus dalam hapalan dan
pendengaran para sahabat. Maka akal sebagai karunia yang
dijadikan untuk berfiir dan memahami harus dibangunkan
dari tidurnya yang lelap untuk berperan aktif dalam
membedah kitab tersebut.
Perdebatan mengenai akal terus bergulir sepanjang
sejarah penyampaian risalah Tuhan, akal yang
menerjemahkan ajaran Tuhan kedalam bahasa budaya dan tradisi manusia, sehingga ajaran-ajaran tersebut
termanifestasikan dalam kehdidupan sehari-hari manusia.
Dihadapan para filosof Islam, akal telah memainkan peran yang signifikan dalam mentransformasikan ilmu
pengetahuan, bahkan akal telah dijadikan sebagai basis
pencarian kebenaran, sumber ilmu pengetahuan, untuk
mengetahuai Tuhan, memahami agama, dan mengungkap
rahasia penciptaan Tuhan. Atas dasar fungsinya yang
demikian luas, akal dalam pandangan para filosof muslim
telah mengalami perdebatan yang serius, sehingga
melahirkan pandangan yang berbeda-beda antara filosof yang
satu dengan yang lainnya.
40
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Akal Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
Bagaimana peran akal dalam filsafat Islam, atau
bagaimana para filosof muslim memposisikan dan
memandang akal? Sebagaimana telah disinggung di atas,
bahwa akal dalam pandangan al-Qur‟an sendiri dilihat sebagai sebuah alat atau media untuk memahami, bahkan
dalam beberapa ayat ditemukan ahir ayat yang berbunyi, agar
kamu berpikir.58 Akal merupakan sebuah standar bagi kadar
kemanusiaan manusia, bahakan dalam Islam menjadi sarat
bagi diembankannya seseorang dalam melakukan ajaran-
ajaran Islam.Dalam etika Islam, akal menempati posisi yang
tinggi dalam Islam.59 Adalah Yunani yang memperkenalkan
tentang akal, manfaat dan kelebihan akal bagi manusia,
melalui pemikiran para filosofnya, terutama Plato dan
Aristoteles. Aristoteles melihat akal terdiri dari empat
macam: 1) akal aktual abdi. 2) akal yang ada secara potensial
(yang dimiliki oleh jiwa). 3) akal yang beralih dari potensial
ke aktual. 4) akal sekunder (yang mewakili akal pada indra).60
Dalam pandangan filosof Islam, akal memiliki beragam
jenis dan fungsi. Akal merupakan salah satu sumber ilmu
bahkan menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh
melalui indra. Akal manpu menerobos batas-batas indrawi
melalui metode silogistik, sehingga mampu menangkap
58Mengenai kedudukan akal dalam al-Quran dan al-hadits,
Harun Nasution: Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 39-70. 59Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakekat
Tuhan, Alam dan Manusia, h. 48. 60Nurcholis Madjid, Khazanah Intlektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), cet. I., h. 95.
41
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
objek-objek non material atau ma‟qulat yang berbeda
dengan objek-objek yang mahsusat (objek yang hanya bisa
ditangkap oleh indra).61 Mulla Shadra menggunakan metode
rasionalisnya dalam filsafat pada pendekatan mistik irfan,
bahkan dalam metafisikanya, Shadra membagi empat perjalan
akal intlektual manusia dalam pengembaraan transkosmiknya
menuju Tuhan: 1) perjalanan dari mahluk menuju Allah. 2)
perjalanan dalam Allah menuju Allah. 3) perjalanan dari
Allah menuju mahluk bersama Allah. 4) perjalanan dalam
mahluk bersama Allah).62
Akal dalam tradisi filsafat Islam terbagi ke dalam dua
jenis, yakni akal teoritis dan akal praktis (etika),63 yang
menerima makna-makna yang berasal dari materi melalui
indra pengingat yang ada pada jiwa. Kemudian akal teoritis,
yang menagkap arti-arti murni, arti-arti yang tak tidak ada
dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal teoritis
memiliki empat derajat: 1) akal material, yang masih bersifat
potensi. Akal yang hanya menangkaparti-arti murni arti-arti
yang tidak berada dalam materi. 2) akal bakat, yakni akal
yang telah memiliki kemampuan berfikir murni abstrak. Akal
ini telah mampu menangkap pengertian dan kaedah-kaedah
umum. 3) akal aktual, akal yang lebih banyak memiliki
61Mulyadhi Kartanegara,Nalar Religius: Memahami Hakekat
Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007), cet. I., h. 15.
62Murthadha Mutahahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, h. 66.
63Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Menuju Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), cet. I., h. 21.
42
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
kemampuan untuk menerima pengertian dan kaedah umum.
4) Akal perolehan.64
Ibn Rusyd melihat akal sebagai sumber ilmu yang sejati
dibandingkan dengan indera. Akal dibagi kedalam dua jenis,
yakni akal praktis dan teoritis. Akal praktis dapat dimiliki
semua orang karena lebih mengandalkan pengalaman
inderawi, perasaan dan imajinasi, itulah sebabnya akal praktis
ini tidak memiliki ketetapan, melainkan senantiasa berubah
berkembang atau menyusut seiring dengan pengalaman,
persepsi, imajinasi dan gambaran yang diterima. Sedangkan
akal teoritis, Ibn Rusyd melihatnya sebagai yang berkaitan
dengan pengetauan perolehan. Dalam konteks ini akal
memiliki tiga tahapan kerja: 1) abstraksi (proses pencerapan
gagasan universal atau objek-objek yang ditangkap indera), 2) Kombinasi (akal mengkombinasikan dua atau lebih dari
abstraksi-abstraksi indera sampai menjadi konsep), 3)
penilain (hal ini berlaku saat konsep-konsep tersebut
dihadapkan pada proposisi-proposisi benar atau salah).65
Akal teoritis inilah sebetulnya yang paling berperan
dalam upaya perolehan dan penyempurnaan ilmu
dibandingkan dengan indera dalam masalah mendapatkan
ilmu pengetahua. Hal ini disebabkan karena akal memiliki
kemampuan untuk menangkap kuiditas atau esensi dari
sesuatu yang diamati atau difahami. Dengan kemampuan ini
akal dapat mengetahui konsep universal dari sebuah objek
yang diamatinya lewat indera yang bersifat abstrak dan tidak
64Harun Nasution: Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 10-11. 65Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), cet.I., h. 102-104.
43
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
lagi berhubungan dengan data-data partikular. Jika
mengamati suatu objek, seperti meja misalnya, kita tidak
sedang berbicara tentang meja yang terdiri dari beragam
bentuk dan besar ukurannya, melainkan berbicara tentang
hakekat atau kuiditas yang meliputi keseluruhan meja
tersebut. Dengan kemampuan akal dalam menangkap esensi
dari benda-benda yang diamati, manusia bisa menyimpan
makna dan pemahaman tentang beragam objek ilmu yang
bersifat abstrak.66
Terkait dengan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan,
maka tidak lengkap kalau tidak membahas tentang
epistemologi Islam. Dalam konteks epistemologi Islam, objek
kajian dan metode kajiannya bersifat integral-holistik. Objek
kajian tidak hanya terbatas pada masalah empirik -material-
inderawi, tapi juga pada sesuatu yang bersifat immateril dan
metafisik. Entitas-entitas non fisik sepert konsep-konsep
mental, ruh, malaikat, dan jin. Atau seluruh rangkaian wujud
baik yang gaib maupun yang fisik.
Sedangkan dari metode sumber ilmu pengetahuan,
epistemologi Islam juga mengintegrasikan seluruh
kemampuan manusia, baik indera, akal, dan hati. Dari ketiga
alat tersebut lahir bermacam-macam metode. Dan inilah yang
pernah dilakuka oleh para ilmuan-filosof dan sufi Islam
terdahulu.67 Metode yang digunakan dalam epistemologi
Islam oleh para ilmuan Islam terdahulu adalah pertama
66Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Menuju Epistemologi Islam, h. 25. 67Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Menuju Epistemologi Islam, h.117-119.
44
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
metode observasi (Bayani), kedua metode logis atau
Demonstratif (Burhani), metode intuitif (Irfani). Ketiga metode
ini bersumber pada indra, akal dan hati.68
Khusus untuk metode demonstratif (burhani) oleh para
filosof muslim, terutama al-Farabi menempatkan burhani
sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu
filsafat yang memakai metode burhani dinilainya lebih tinggi
dari pada ilm-ilmu agama lainnya (kalam dan fiqh) yang tidak
menggunakan metode burhani,69 dilihat sebagai salah satu
metode rasional yang berfungsi untuk menguji validitas
kebenaran dan kesalahan dari pernyataan atau teori-teori
ilmiah dengan cara memperhatikan keabsahan dalam
pengambilan kesimpulan.70 Disini metode burhani terlihat
sebagai silogisme (yang mengacu pada makna asal. Silogisme
merupakan bentuk argumen dimana dua proposisi yang
disebut premis minor dan mayor diserasikan sehingga
mencapai kesimpulan yang benar dan pasti menyertai premis-
premis tadi)Aristoteles, yang dalam bahasa Arab
68Untuk lebih jelasnya baca, Mulyadhi Kartanegara,
Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam, h. 61-66. 69Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 222. 70Al-farabi melihat metode demonstratif sebagai bagian
terpenting dari logika yang berfungsi sebagai: 1) untuk mengatur dan menuntun akal kearah pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan pengetahuan yang mungkin salah. 2) untuk melindungi pengetahuan dari kemungkinanya untuk salah. 3) sebagai alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan. Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Menuju Epistemologi Islam, h. 56.
45
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
disebut qiyas.71Lagi-lagi akal dimaenkan sebagai alat atau
metode untuk menentukan dan mendapatkan ilmu
pengetahuan yang logis dan ilmiah.
Selain berfungsi sebagai sumber ilmu pengetahuan, akal
juga digunakan sebagai alat untuk memahami ajaran-ajaran
Allah yang termuat dalam al-Qur‟an, atau dengan bahasa
populernya, hubungan antara agama dan akal, atau posisi akal
dalam wahyu, atau hubungan filsafat dan agama.
Mengenai hubungan antara akal dan wahyu, filsafat dan
agama, para filosof berpandangan bahwa antara keduanya
saling berhubungan dan melengkapi, sejalan dan serasi.
Sebgaimana telah disinggung di atas, bahwa entah apa
jadinya al-Qur'an tanpa akal, sebab tanpa akal pesan-pesan
Tuhan tidak akan sampai pada pemahaman manusia, al-
Qur'an hanya akan menjadi teks yang mati dan hanya akan
berbicara dalam kebisuan, tanpa nilai praktis sebagai kitab
petunjuk. Untuk itu perlu diualas pandangan beberapa filosof
Islam yang mencoba melihat hubungan akal dengan wahyu.
71Pengetahuan burhani didasarkan pada objek eksternal
(materi maupun non materi, adanya persepsi dalam pikiran, pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran melalui bahasa), maka sebelum melakukan proses silogisme, terlebih dahulu harus melewati beberapa tahapan: tahap pengertian (proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang diserap
akal), tahap pernyataan (proses pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertia-pengertian yang ada), tahap penalaran (proses pengambilan keputusan berdasarkan atas hubungan diantara premis-premis yang ada, inilah silogisme). Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 224-225.
46
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Al-Kindi (796-873 M) melihat filsafat sebagai media
ilmiah yang mengantarkan manusia pada kebenaran,
sebagaimana agama. Keduanya bertemu pada satu kebenaran
tentang Tuhan, yakni filsafat dengan akal dan agama dengan
wahyu. Al-Farabi, juga melihat keharmonisan diantara
keduanya, ia berpendapat bahwa kebenaran yang dibawa
wahyu dan yang dihasilkan filsafat hakekatnya satu,
walaupun bentuknya berbeda. Bahkan akal dalam pandangan
al-Farbi merupakan alat untuk melakukan ta‟wil atas ayat-
ayat al-Qur‟an yang mutasyabihat. Kemudian Ibn Miskawaih
juga demikian, ia berpendapat bahwa antara filosof dan nabi
tidak ada perbedaan yang besar dan memiliki hubungan yang
erat. Nabi sampai pada hakekat-hakekat karena daya
pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya, dan hakekat-
hakekat itu juga yang sampai pada filosof, namun dengan
cara berfikr bukan dengan daya imanjinasi. Ibn Sina juga
demikian, ia melihat nabi dan filosof menerima kebenaran
dari sumber yang sama yakni jibril (akal aktif). Perbedaanya
pada bahwa nabi memeperoleh akal aktif melalui perolehan,
sedangkan filosof melalui latihan. Ibn Tufail yang
menuangkan pendapat tentang hubungan akal dengan wahyu
dan filsafat dengan agama dalam bentuk cerita tentang Hayy
Ibn Yakzan.72
al-Kindi melihat filsafat sebagai jalan bagi manusia untuk
mendapatkan kebenaran, sebagaiamana agama. Filsafat yang
menggunakan akal, bagi al-Kindi akan mampu sampai pada
kebenaran, sehingga kebenaran dilihat sebagai sesuatu yang
bersesuaian dengan akal dan apa yang diluar akal. Akal yang
72Harun Nasution: Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 82-84.
47
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
merupakan bagian dari jiwa (jiwa dilihat sebagai yang
memiliki tiga daya: daya bernafsu, daya amarah dan daya
berfikir) yang berfikir ini yang disebut akal.73
Kemudian Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria al-Razi
(863-925 M) merupakan filosf Islam yang radikal dalam
berfikr, Ia dianggap tidak ercaya apda wahyu dan kenabian
dan optimis bahwa akal mampu mengetahui yang baik dan
buruk, mampu mengetahui Tuhan. Kemudian al-Farabi
dengan konsep emanasi, Tuhan dilihat sebagai akal pertama
yang tunggal dan mutlak, lalu Tuhan berfikr tentang dirinya
maka muncullah maujud lain, dan begitu seterusnya samapai
pada akal kesepuluh. Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi melihat
jiwa sebagai yang memiliki, daya, dan salah satu dayanya
adalah berfikr (akal praktis dan akal teoritis), kemudian akal
sebagai daya berfikr memiliki tiga tingkatan: akal potensial,
akal aktual, akal mustafad.74
73Harun Nasution: Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 6-11.
Hampir semua filosof Islam dalam pembahasan mengenai hubungan filsafat (akal) dengan agama (wahyu) memiliki kesamaan, walaupun terdapat perbedaan namun tidak begitu besar, terutama dalam masalah akal sebagai daya berfikir, ,masing-masing filosof memiliki kesamaan.
74Sebagaimana yang dikutif dalam Harun Nasution: Falsafah
dan Mistisisme dalam Islam, h. 12-19. Setelah itu muncul Ibn
Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd para filosf ini melihat akal
sebagai sebuah daya yang mampu mengantar manusia pada
kebenaran tentang Tuhan dan agama, baik dan buruk. Bahkan akal
telah berjasa dalam mengungkap tabir yang menutupi sebagian
ayat al-Quran yang bersifat mutasyabihat. Filsafat dengan akal
di dalamnya telah menjadikan agama sebagai yang logis, atau
menjadi pengawal agama.
48
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Kemudian Ibn Rusyd hadir untuk mendamaikan
pertentang kalam para teolog dan filosof dalam permasalahan
apakah aql merupakan landasan naql atau naql merupakan
landasan aql. Ibn Rusy hadir dengan mengatakan bahwa aql
burhani sejalan dengan naql.75 Dalam payung yang lebih
besar, Ibn Rusyd merupakan filosof yang hadir untuk
mengharmonisasikan filsafat dengan agama. Bagi Ibn Rusyd
fungsi filsafat adalah mengadakan penyelidikan tentang alam
wujud dan melihatnya sebagai jalan menuju Tuhan, dalam hal
ini ia mengutif surat al-A‟raf ayat 185, dan dalam surat al-
Hasyr ayat 2. Surat terahir ini dilihat sebagai ayat yang
menganjurkan manusia untuk melakukan qiyas, dan kalau
dimikian maka mempelajari logika dan filsafat. Ia melihat al-
Qur‟an sebagai memiliki makna lahir dan bathin.
Daftar Pustaka
Abdullah, H. M. Amin. 1992. ‚Aspek Epistemoloi Filsafat Islam‛. Dalam Irma Fatimah dkk,
Filsafat Islam: Kajian Ontologism,
Epistemologis, Aksiologis, Histories,
Prospektif. Yogyakarta: LESFI.
A. Boisard, Marcel. 1980. Humanisme Dalam Islam,
terj., H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Abu Zaid, Nasr, Hamid. 2003. Kriti Wacana Agama, terj., Khoiron Nahdiyyin. Yogyakarta: LKis.
75Hasan Hanafi, Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj.,Miftah Faqih, (Yogyakarta; LKis, 1992), cet. I. h. 61-62.
49
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. ‚Menjemput Islam Masa
Depan‛ dalam pengantar, Kembali ke Masa
Depan, terj., R. Cecep Lukman Yasin dan
Helmi Mustafa. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
al-Syuhrawardi, Syihab, al-Din, Yahya. 2003. Hikmah Al Israq: Teosofi Cahaya Dan Metafsika
Khuduri, terj. Muhammad`al- Fayyadl. Yogyakarta: Islamika, 2003.
Bateson, Gregori. 1972. Steps to an Ecology of Mind. New York: Ballantin Books.
Corbin, Henry.1993. History of Islamik Philosophy,
Tanslated by Liadain Sherrard. London and
New York, Kegan Paul International Ltd.
Daud, Wan, Mohd, Wan. 1998. Fislafat Dan Praktek
Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,
terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan
Iskandar Amel. Bandung: Mizan. G. S. Hodgson, Marsal. 2002. The Venture of Islam:
Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia,
terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina.
Habermas, Jurgen. 1981. The Dialectics of
Rationalizations, dalam Sociology Department
Washington University: XLIX, 1981.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Kanisuis, Yogyakarta, 1980.
Hatta,Mohammad. 1986. Alam Pemikiran Yunani. UI-Press: Jakarta, 1986.
50
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
H. Muzairi, dkk. 1992. Filsafat Islam: Kajian
Ontologis, Epistemolgis, Aksiologis,
Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI.
Hanafi, Hasan. 1992. Dari Teologi Statis ke Anarkis,
terj.,Miftah Faqih. Yogyakarta; LKis, 1992.
John De Luca (Ed.). 1972. Reason and Experience;
Dialogues in Modern Philosophy. San Fansisco:
Free man, Cooper & Co.
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Pengantar Epistemologi Islam:Menyibak Tirai Kejahilan. Bandung:
Mizan.
________. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
________. 2000. Muzaik Khazanah Islam: Bunga Rampai Dari Chicago. Jakarta: Paramadina.
________. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy Mizan.
________. 2007. Nalar Religius: Memahami Hakekat Tuhan, Alam dan Manusia. Jakarta: Erlangga.
Kholdun, Ibn. 2006. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Labib, Muhsin. 2005. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta; al-Huda.
M. Lapidus,Ira. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam,
terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT
RajaLapindo Persada.
Madjid, Nurecholis. 1984. Warisan Intlektual Islam;
Khazanah Intlektual Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
51
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
________. 1994. Khazanah Intlektual Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Mahzar, Armahedi. 2004. Revolusi Integralisme
Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan
Teknologi Islam. Bandung Mizan.
Mujamil Omar. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam
Dari Metode Rasional
Hingga Metode Krtik.
Jakarta: Erlangga.
Mutahahhari,Murthadh. 2002. Filsafat Hikmah:
Pengantar Pemikiran Shadra, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 2006. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
________. 1975, Pembaruan dalam Islam: Sejaarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang.
Nasr, Seyyed, Hussein, 1991. Tasawuf Dulu dan
Sekarang, terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
________. 1976. Man And Nature:The Spiritual Crisis
of Modern Man, Geoge Allen & Unwin, Ltd.
London. Safi, Louay. 2001. Ancangan Metodologi Alternatif:
Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam
Khoiri. Yogyakarta: Tiara wacana.
Shariati,Ali. 1996. Tugas Cendikiawan Muslim, terj.
M. Amien Rais. Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada.
52
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Soleh, Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sunanto, Hj. Musrifah.2004. Sejarah Islam Klasik:
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam.
Jakarta: Prenada Media.
53
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 3
GENEOLOGI-HISTORIS
PEMIKIRAN TEOLOGI
MODERN INDONESIA
gama dalam kehidupan manusia merupakan fakta Ahistoris dan fakta
sosial dari sebuah keyakinan mutlak yang tidak terbantahkan. Agama hadir dalam diri manusia sepanjang sejarah eksistensinya di muka bumi,
bahkan totalitas hidup dan kehidupan manusia dikonstruk
oleh keyakinan atas agamanya. Dan yag ditemuka kemudian
adalah agama sebagai sistem nilai yang universal dalam diri
manusia. Kenyataan ini kemudian melahirkan pertanyaan Kenapa manusia beragama? Kenapa agama memaenkan
peran yang begitu penting? Pertanyaan ini bergulir
54
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
menjadi sebuah diskursus dalam berbagai disiplin ilmu,
sehingga melahirkan banyak teori dan pendekatan dalam
mengkajinya. Dalam ilmu sosil, terutama antropologi dan
sosiologi mengajukan beberapa teori, Seperti teori jiwa, teori
batas nalar, teori penderitaan dan teori konflik. Sedangkan
teologi mengemukakan teori fitrah. Azyumardi Azra melihat
agama hadir berdasarkan kebutuhan manusia, paling tidak
dari aspek emosionalitas manusa itu sendiri.1 Semua teori
tersebut seakan-akan memutlakkan ketidakmustahilan
manusia untuk tidak beragama.
Selain itu, agama merupakan wilayah atau bagian dari
fenomena hidup yang susah untuk difahami, sebab agama
yang sama akan berubah bentuk pemahaman pada wilayah
yang berbeda, tergantung dari seting sosial-kultural
masyarakat. Itulah sebabnya kita menemukan beberapa
pendefinisian agama oleh para pakar, sosiolog dan
antropolog, seperti Clifford Geertz, dengan merumuskan
agama sebagai : (1) Sebuah sistem simbol yang berfungsi untuk
(2) membangun perasaan dan motivasi yang penuh kekuatan,
pervasif dan tanpa akhir dalam diri manusia dengan (3)
merumuskan konsep mengenai tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura
faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi diatas menjadi
realistis2
1 Azyumardi Azra, ‚Intraksi Agama dan Kebudayaan‛ dalam
pengantar, Fachry Ali, Agama, Islam, dan Pembangunan, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I, h. 10.
2Clifford Geertz, ‚Religion as a Cultural System‛ dalam R. Banton (ed.) Anthropological Approach to the Study of Religion, 1965, h. 42
55
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
William James mendefinisakan agama sebagai „...
perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia secara individual
saat berada dalam perenungan atau kontemplasi saat sendiri sejauh
tindakan menyendiritersebut membawanya ke dalam kondisi yang
membawanya untuk berhubungan dengan apa pun yang dianggap
sacral.3 Sementara Joachim Wach (1892-1967), menerapkan
beberapa persyaratan mutlak untuk sampai kepada
pemahaman yang benar dan utuh terhadap agama yang
diteliti, diantaranya adalah syarat intelektual, kondisi emosional
yang cukup, kemauan yang keras dan pengalaman yang
memadai.4 Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang
memberikan gambaran tentag apa itu agama, bagaimana
memahami agama. Dari pendefinisian agama tersebut tampak
bahwa agama seakan-akan menjadi sebuah daya sakral bagi
manusia yang dimanifestasikan kedalam pola hidup sehari-
hari.
Deskripsi di atas memberikan acuan pemahaman kepada
manusia, bahwa semua itu merefleksikan bentuk dari
manifestasi agama dalam kehidupan sosial-kultural
masyarakat. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah
bagaimana masyarakat mempersepsikan agama kedalam
dirinya, terinternalisasi menjadi sebuah keyakinan mutlak,
dan mampu diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari
3William James, Varietes of Religious Experience, ( New
York : Longmans, 1929), h. 31.
4Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk
Pengalaman Keagamaan, terj. Djamannuri, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 15-18. Lihat juga H.A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia , (Bandung: Mizan, 1998), h. 61-63
56
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebagai worldview dalam memahamai, mempersepsi dan
menjalankan kompleksitas hidup di dunia yang profan dan
ambigu ini?
Sebagaimana ulasan di atas, bahwa telah terdapat
perhatian para sosiolog dan antropolog terhadap upaya
penelitian untuk memahami agama. Paling tidak kesimpulan
sementara yang bisa diambil adalah, bahwa pengambilan dan
penentuan sikap keberagamaan tidak lepas dari upaya
hermetisasi5 atu interpreatsi terhadap agama. Proses
hermetisasi inilah yang akan melahirkan bentuk dan warna
agama dalam diri manusia. Namun upaya hermetisasi ini
tidak lepas dari keterpengaruhan seseorang atas kultur,
pendidikan, ekonomi, politik dan kepentingan-kepentingan
yang ingin dicapai, sehingga perbedaan kondisi kultur,
pendidikan dan tingkat intlektualitas seseorang akan
melahirkan perbedaan bentuk pemahaman dan ekspresi
religiusitasnya.6
Masalah tersebut paling tidak diungkapkan oleh Mukti
Ali, bahwa (a) persoalan dan pengalaman keagamaan bersifat
subyektif dan individualistik. Tiap orang mengartikan agama
sesuai dengan pengalaman keagamaannya sendiri. (b) karena
dimensi kesakralannya, tidak ada orang yang begitu
5Hermenetik ditemukan di Yunani, yakni pada Hermes atau
Nabi Idris dalam Islam yang mencoba menyebarkan ajaran Tuhan dengan upaya penerjemahan ajaran agama atau bahasa Tuhan kedalam bahasa masyarakat agar mudah difahami dan diyakini.
6Dalam Islam perbedaan tersebut hanya berlaku pada masalah-masalah yang bersifat furu’iyah semata bukan masalah qot’i (solat, puasa, zakat, haji, Tauhid, kenabian dan lain sebagainya).
57
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
bersemangat dan emosional selain membicarakan agama. (c)
konsepsi tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh latar
belakang (backround), disiplin ilmu dan tujuan orang yang
memberikan pengertian tentang agama.7 Islam sebagai
agama juga telah melahirkan beragam bentuk pemahaman
dan praktek pengamalan dari umatnya, sebagaimana yang
akan kita lihat nanti.
Dalam sejarah peradaban Islam ditemukan beberapa
contoh perbedaan pemahaman dan ekspresi keberislaman,
terutama setelah nabi Muhammad meninggal dunia, tepatnya
pada masa khalifah Usman dan Ali. Maka pada masa awal
Islam ditemukan kelompok-kelompok Islam dalam bentuk
aliran-aliran, terutama antara kubu Umayyah dan Abbasiyah.
Dan pada masa pertengahan atau Islam klasik ditemukan
beragam kelompok atau mazhab, seperti kelompok Islam aliran kalam (Khawarij, Maturidyah, Mu‟tazilah, Asyariyah,
Qadiriyah, Jabariyah, Syiah dan Sunni). Mazhab Fiqh
(Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi‟i).
Dalam bidang filsafat, Islam pernah meiliki tokoh-tokoh
yang begitu briliam dalam melahrkan ide-ide filosfisnya,
diantranya, pertama, aliran Peripatetik.8 Kedua, aliran
7Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 5-6
8Yakni aliran yang identik dengan filosof-filosof
seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Aliran ini direfresentasikan pada Aristoteles yang dalam mengajar filsafat selalu degan berjalan -jalan. H. Muzairi, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemolgis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), ce. I., h. 76.
58
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
iluminasionis (Isyraqiyyah).9 Ketiga, aliran teosofi transenden
atau al-Hikmah al-Mutaaliyyah (979-1050/1571-160).10 Dalam
bidang tasawuf juga ditemukan tokoh-tokoh yang melahirkan
bentuk dan ekspresi Islam dalam beragam konsep dan ajaran,
terutama dalam masalah persepsi dan pengalaman eksistensialnya setelah melakukan pengembaraan
transkosmik dan menyatu dengan Zat Allah.
Semua bentuk aliran dalam Islam tersebut selanjutnya
melahirkan tipologi keyakinan, persepsi dan sikap keagamaan
yang berbeda-beda. Seorang filosof akan meyaakini dan
mengamalkan Islam secara rasional. Sufi secara esoteris atau
subtatif. Ahli fikih secara formalistis dan ritualistik.
Pleksibilitas Islam tersebutlah yang memungkinkan lahirnya
wajah baru kebersilaman sesuai dengan metode pendekatan
9Aliran yang mengedepankan sumber perolehan ilmu pada
konsep penggabungan akal dan intuisi. Tokoh utama aliran ini adalah Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi (549-
587/1154-1191). Aliran ini lahir dalam rangka meresfons aliran Aristotelianisme di kalangan Islam diatas. Dari segi ontologis aliran ini mengannggap bahwa esensi lebih penting dari pada eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam
pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder yang tidak terdapat dalam realitas, sedangkan yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya adalah esensi-esensi yang tidak lain adalah bentuk cahaya. Untuk lebih jelasnya, baca, Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi, Hikmah Al Israq:
Teosofi Cahaya Dan Metafsika Khuduri , terj. Muhammad`al-Fayyadl, (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I.
10Muhsin Labib, Para Filososf Sebelum dan Sesudah Mulla
Shadra, (Jakarta; al-Huda, 2005), cet. I., h. 35. Aliran ini merupakan sintesis dari disiplin ilmu yang pernah ada di dunia Islam, tercata ada empat aliran yang mempengaruhi pemikiran Shadra, yakni kalam, pemikiran peripatetik, pemikiran iluminasionis, pemikiran tasawuf.
59
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
yang dilakukan. Namun yang jelas setiap pemahaman dan
penafsiran harus tetap berada dalam wilayah-wilayah yang
dibenarkan oleh Islam.
Gerakan keislaman atau kebangkitan Islam dimulai sejak
Islam bersentuhan dengan Barat melalui kolonialisasi dan
imperialisasi wilayah kekuasaan Islam,11 dan ini merupakan
awal dari abad modern didunia Islam, atau dalam pandangan
Harun Nasution merupakan masa kebangkitan Islam.12 Islam
dihadapkan pada kondisis zaman yang begitu progresif,
berada diluar bayangan umat Islam sebelumnya. Barat
datang dengan seperangkat temuan-temuan canggih dalam
bentuk sains dan teknologi, sistem sosial yang begitu apik,
semuanya merupakan cermin atau ciri dari modernisme yang
berkembang di Barat. Napoleon Banoparte (1798-1801) yang
datang ke Mesir misalanya datang dengan segenap perangkat
modernisme, seperti, disertakannya para ilmuan,
perpustakaan, literatur Eropa Modern, laboratorium ilmiah,
serta alat-cetak dengan hurup Latin, Yunani dan Arab.13
Dari kondisi inilah maka dimulai apa yang dinamakan
dengan gerakan kebangkitan Islam, yang dalam pandangan
Fazlur Rahman bahwa respons Islam terhadap Barat justru
melahirkan Muslim Modernis dalam pandangan yang
11Baca, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj.,
Fungky Kusnaendy Timur, (Yogyakarat: Jendela, 2003), cet. I., h. 169-192.
12Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1995), cet. 5., jilid I., h. 88.
13Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, h.
95.
60
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
modernis pula.14 Terkait dengan ini maka tokoh-tokoh yang
lahir adalah mereka yang telah berintraksi dengan budaya
luar terutama budaya pemikiran dan pendidikan Barat,
sehingga pandangan keislaman yang mereka ajukan lebih
kontekstual dan demokratis. Dalam pandangan mereka,
trasformasi budaya modern Barat yang progresif ke wilayah
Islam sudah tidak terbendung, maka agar Islam relevan
dengan kondisi zaman yang dihadapi harus ada reinterpretasi
yang lebih edukatif, kontekstual, progresif dan akomodatif,
atau rethinking Islam.15 Rethinking Islam yang ditawarkan
Mohammed Arkoun bertujuan untuk menggunakan nalar
kritis bebas rasional untuk mengelaborasi sebuah visi baru
dan koheren yang mengintegrasikan kondisi baru yang
dihadapi umat dengan unsur-unsur tradisi Muslim yang
masih ada, atau integrasi antara kemajuan budaya modern
Barat dengan khazanah-khazanah keilmuan Islam.16 Maka
dalam bahasa Islam upaya tersebut dinamakan ijtihad yang
kontinyu dan intensif dalam segala aspek, baik fiqh, kalam
dan lain sebagainya.
14Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhamad, (Bandung:
Pustaka, 2001), cet. I., h. 316.
15Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. I., h. 6.
16Gerakan pembaharuan ini dimulai sejak Islam
bersentuhan dengan dunia Barat melalui kolonialisasi dan imperialisasi wilayah kekuasaan Islam, dan ini merupakan awal dari abad modern didunia Islam, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj., Fungky Kusnaendy Timur, (Yogyakarat: Jendela, 2003), cet. I., h. 169 -192.
61
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Azyumardi Azra juga melihat respons umat Islam
terhadap modernisme dan modernisasi Barat dilakukan
dengan tiga bentuk, pertama, apoligetik, kedua identifikatif
dan ketiga afirmatif.17 Secara garis besarnya sebagai sebuah
dampak dari kehadiran bangsa Barat di dunia Islam telah
melahirkan tiga kelompok Islam yang bersekala luas di
seluruh belahan dunia Islam, yakni, Islam Revivalisme, Islam
Reformis dan Islam fundamentalis.18
Demikianlah gambaran singkat tentang sejarah lahirnya
gerakan kebangkitan Islam di era Modern ini, yang bertujuan
sebagai pengantar kearah pembahasan untuk melihat tipologi
gerakan dan warna warni pemikiran Islam di Indonesia,
sebagai penutup, ada baiknya kita cantumpakan ilustrasi dari
Huntington terkait dengan kebangkitan Islam tersebut,
yakni: …..awal tahun 1970-an simbol-simbl, kepercayaan- kepercayaanpraktik-praktik, institusi-institusi, kebijakan-kebijakan,
dan organisasi Islam semakin dipegang teduh dan didukung oleh
satu miliar umat Islam di dunia yang membentang dari Maroko
sampai Indonesia, dari Nigeria sampai Kazakhastan. Proses
islamisasi dimulai dari wilayah kultur hingga apda wilayah
politik dan sosial.19
17Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. I., h. iv-vi.
18 Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj., Harimukti Bagus Oka, (Jakarta: Serambi, 2004), cet. II., h. 59.
19 Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj., M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Qolam, 2001), cet. 2., h. 186-187.
62
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Jika pada masa awal dan pertengahan saja sudah
sedemaikian kompleks dan plural bentuk Islam yang
diekspresikan oleh umatnya, pertanyaannya sekaranga
adalah, bagaimana dengan konteks sekarang yang telah
begitu jauh tertinggal dengan periode sejarah Islam awal dan
pertengahan, yang mana pertemuan budaya yang satu
dengan yang lainnya begitu kuat. Pemikiran progresif abad
modern yang lahir di Barat masuk kedalam ide intlektual dan
sikap masyarakat Islam, terutama dalam konteks Indonesia
yang secara historis, geografis dan kultural jauh berbeda
dengan sumber Islam, yakni Arab? Bahkan masyarakat
Indonesia lebih banyak bersentuhan dengan ide-ide progresif
modern Barat ketimbang Arab, baik dalam bentuk ide-ide
idiologi sosial politik modern Barat. Ahirnya sebagai sebuah
konsekwensi logis-kultural-teologis, maka sudah pasti
pemahaman dan ekspresi keberislaman akan menjadi plural,20
terutama jika kita mengacu pada teori determinisme
lingkungan,21 yakni, perubahan sosial, teori pembangunan,
teori budaya dan lain sebagainya.
Keragaman pemahaman dan ekspresi Islam yang
ditampilkan oleh umat Islam Indonesia inilah yang akan
dikaji dalam tulisan ini, sebuah perkembangan tipologis peta
20Tentunya masalah ini tidak akan dikaji secara historis,
dalam arti mengkaji sejarah awal masuk dan berkembangnya Islam
di Nusantara, namun lebih kepada masa dimana Islam mengalami pluralitas pemahaman dan ekspresi pada masyarakat Indonesia, terutama pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Atau pada masa modern di Indonesia.
21Teori yang mengacu pada konsekwensi atau kepastian yang mengarah pada dialektika sinergis antara diri dengan lingkungan.
63
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pemikiran keislaman di Indonesia. Semua kelompok dan
aliran pemikiran Islam tersebut hadir sebagai respons
terhadap proses globalisasi dan modernisasi di Indonesia.
Gerakan pemikiran tersebut terlihat baik dalam pemikiran
individu, kelompok maupun organisasi keislaman. Dalam
sejarah perkembangan teologi di Indonesia terjadi dan
dipengaruhi oleh konteks situasi dan kondisi historis tertentu
yang dihadapi kaum muslim Indonesia, yang mana untuk
kemudian meransang nalar intlektualitas para cendikiawan
muslim untuk memberikan respons-respons tertentu, yang
mengarah pada gerakan pembaruan.
Menurut Azyumardi Azra, teologi yang dianut Islam
Indonesia sejak awal perkembangannya adalah teologi
Asy‟ariya. Namun teologi Asyariyah dianggap tidak memberikan kebebasan pada manusia, karena terlalau
mempostulatkan doktrin kepatuhan dan kepasrahan terhadap
Allah, maka abad ke-17 muncul kaum neo-sufisme.
Sedangkan pada abad kontemporer sekitar tahun 70-an
muncul pula beberapa gerakan, seperti teologi modernisme, teologi transformatif, teologi inklusivisme, teologi
Fundamentalis, teologi neo-tradisionalisme.22
Daftar Pustaka
al-Syuhrawardi, Yahya, al-Din, Syihab, 2003. Hikmah Al Israq: Teosofi Cahaya Dan Metafsika
Khuduri, terj. Muhammad`al- Fayyadl, Yogyakarta: Islamika, cet. I.
22Untuk lebih lengkapnya baca, Azyumardi Azra, Konteks
Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I., h. 43-54.
64
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Ali, Mukti, 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta: Rajawali Press.
Arkoun, Mohammed, 2001. Islam Kontemporer Menuju
Dialog Antar Agama, terj. Ruslani.,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I.
Armstrong, Karn, 2003. Islam Sejarah Singkat, terj.,
Fungky Kusnaendy Timur, Yogyakarat: Jendela
cet. I.
Azra, Azyumardi, 1996. Pergolakan Politik Islam;
Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, cet. I.
Azra, Azyumardi, 1999. Konteks Berteologi di
Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta:
Paramadina, cet. I.
Azra, Azyumardi, 1985. ‚Intraksi Agama dan
Kebudayaan‛ dalam pengantar, Fachry Ali,
Agama, Islam, dan Pembangunan, Yogyakarta:
PLP2M, cet. I.
B. Lawrence, Bruce, 2004. Islam Tidak Tunggal:
Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj.,
Harimukti Bagus Oka, Jakarta: Serambi, cet.
II.
Geertz, Clifford ‚Religion as a Cultural System‛
dalam R. Banton (ed.) Anthropological
Approach to the Study of Religion, 1965. H. Muzairi, dkk. 1992. Filsafat Islam: Kajian
Ontologis, Epistemolgis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, ce.
I.
65
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
James, William 1929. Varietes of Religious
Experience, New York : Longmans.
Joachim Wach, Joachim. 1948. Sociology of Religion, The university of Chicago Press.
Labib, Muhsin, 2005. Para Filososf Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, Jakarta; al-Huda, cet.
I.
Nasution, Harun, 1995. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, cet. 5., jilid I.
Rahman, Fazlur, 2001. Islam, terj. Ahsin Muhamad, Bandung: Pustaka, cet. I.
Robertson, Roland ed., 1992. Agama Dalam Analisa dan
Interpretasi Sosiologis, terj., Achmad
Fedyani Saifuddin, Jakarta: CV Rajawali. Safi, Lauay, 2001. Ancangan Metodologi Alternatif:
Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam Dan Barat, Terj., Imam
Khoiri, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet.
I.
Saleh, Faozan, 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran
Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX,
terj., Fauzan Saleh, Jakarta: Serambi, cet.
I.
Wach, Joachim, 1996. Ilmu Perbandingan Agama: Inti
dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, terj.
Djamannuri, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
H.A. Mukti Ali, 1998. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan.
66
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
P. Huntington, Samuel, 2001. Benturan Peradaban dan
Masa Depan Politik Dunia, terj., M. Sadat
Ismail, Yogyakarta: Qolam, cet. 2.
67
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 4
TEOLOGI
EKSKLUSIVISME ISLAM
TIPOLOGI KEYAKINAN,
PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN
Geneologi Historis Munculnya Eksklusivisme Islam
ksklusif berasal dari bahasa Inggris yakni, exlusive Eyang bermakna sendiri,
dengan tidak disertai orang lain, berdiri sendiri, terpisah dari yang lain, dan tidak memiliki hubungannya dengan yang lain.1
Dalam kamus Oxford juga bermakna yang sama, yakni,
Exclusive bermakna, “tidak disertai yang lain”, terpisah dari
1John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VIII., h. 222.
68
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
yang lain, tidak termasuk, semata-mata, kehususan.2
Eksklusivisme Islam berarti suatu faham atau pandangan
tentang Islam yang tertutut. Selanjutnya yang penting untuk
dicermati adalah bentuk atau jenis dari Eksklusivisme
tersebut, yakni eksklusivisme internal (ke dalam) dan
eksklusivisme eksternal (ke luar).
Eksklusivisme internal yakni sikap eksklusif dalam
memahami, meyakini dan mengamalkan agama. Dalam artian
bahwa eksklusivisme ini disejajarkan dengan tradisionalisme,
konservatisme, irrasional, tidak melihat Islam dalam aspek
yang luas, melainkan dalam aspek yang sangat sempit dan
berada dalam hegemoni aliran pemikiran dan mazhab
tertentu, tidak mau menerima dan melakukan pembaruan
dalam cara pemahaman, cara pandang kearah yang lebih
rasional dan kontekstual, melainkan cenderung bersikap
dogmatis, totalistik, fanatik, taklid dan kultus. Inilah yang
akan menjadi fokus dari tulisan ini. Sedangkan eksklusivisme
eksternal (ke luar) berarti pandangan yang menganggap
agama sendiri yang paling benar, sedangkan agama lain
salah, keselamatan hanya ada dalam Islam, dan tidak ada pada
agama lain.
Eksklusivisme Islam tidak hadir begitu saja tanpa ada
sebuah cara atau metode yang melahirkannya. Eksklusivisme
bisa saja dipengaruhi atau paling tidak berkorelasi dengan
pengalaman keagamaan, perspektif, dan metode atau
2Joyce M. Hawkins, Kamus Dwi bahasaoxford-Erlangga: Inggris-Indonesia1, Indonesia-Inggris, terj. A. Remy Rohadian, Ading Dimyati, Sepina Yuda Purnamasari(Jakarat: Erlangga, 1996), cet. I., h. 115
69
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
epistemologi yang digunakan.3 Epistemologi yang digunakan
akan berperan dalam menentukan tipologi kepemelukan dan
pengamalan Islam. Jika epistemologi yang digunakan bersifat
rasional, maka kepemelukan dan pengamalan agamanya tentu
lebih kritis dan terbuka.4 Demikian juga dengan yang
mengandalkan intusi, maka corak kepemelukan dan
pengamalan Islamnya pun akan bersifat intuitif, yakni lebih
mengedepankan pengamalan batin.5
Faktor Lahirnya Eksklusivisme Islam
1. Faktor Wawasan Pemahaman Islam
Di atas telah disebutkan bahwa doktrin Islam yang
terkandung dalam al-Qur‟an terdapat dua bentuk, yakni yang
Qot„î dan Zonnî . Ranah Zonni inilah yang kemudian
melahirkan ragam penafsiran. Usaha memahami ajaran Islam
inilah nantinya yang akan membentuk warna dan corak
3Epistemologi berasal dari bahasa Yunani atau Greek,
yakni episteme, yang berarti pengetahuan, ilmu pengatahuan, dan logos berarti pengetahuan, imformasi. Dapat juga disebut ‚Pengetahuan tentang pengetahuan‛, bahkan terkadang disebut juga teori pengetahuan. Epistemologi berkaitan dengan filsafat ilmu, terutama yang berkaitan dengan teori ilmu pengetahuan. Berbicara tentang Epistemologi dalam Islam, maka akan mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai objeknya, dan metodenya menggunakan bayani, burhani dan irfani (akal, pengalaman dan intuisi), William L. Reese, Dictionary Philosophy and Religion, (New York: Humanity Books, 59 John Glenn Drive’ Amherst, 1996), h. 205.
4Dalam Islam corak kepemelukan yang rasional terdapat pada para filosof dan teologi Qadiriyah dan Mu’tazilah.
5Dalam konteks Islam, kepemelukan dan pengamalan Islam yang bersifat intuitif ini terdapat pada kelompok tasawuf.
70
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
tipologis kepemelukan dan pengamalan Islam. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan Ali Shariati6 bahwa agama akan
menjadi penting dan bermanfaat bukan karena agama itu
sendiri, melainkan tergantung pada kualitas pikiran dan
intlektualitas para pemeluknya, jika pemeluknya berfikiran
dangkal dan tekstual-skripturalais, maka agama tersebut
akan menjadi sempit dan tidak bernilai universal, namun jika
pemeluknya kritis, berwawasan luas, dan progresif, maka
agama akan menjadi lebih bernilai universal, modern dan
responsif.7 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Jalaluddin
Rahmat, bahwa agama akan berperan tergantung pada
pemeluknya, bergantung pada peranan yang kita berikan, dan
bergantung pada bagaimana kita memandang agama.8
Dengan demikian, wawasan dalam konteks ini dimaknai
sebagai tingkat kemampuan dan daya pikir yang dimiliki
umat Islam dalam mensikapai agamanya. Daya pikir ini dapat
diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yakni pertama yang
kritis, rasiolan, progresif dan inovatif. Dalam Hal ini dapat
dilihat dari kepemelukan dan pengamalan Islam oleh teologi
Mu‟tazilah dan para filosof Islam pada abad pertengahan.9
6Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj., M. S. Nasrulloh dan Afip Muhammad, (Bandung: Mizan, 1995 ), cet. II., h. xiii.
7Ali Shariati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj., M. Amin Rais, (Jakarta: PT GrafindoPersada, 1996), cet. I., h. 103.
8Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif; Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 1998), cet. IX., h. 36.
9Qadiriyah dan Mu’tazilah tidak mau terjebak dalam pemahaman dangkal terhadap wahyu John L. Esposito, dalam Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju ‚Jalan Lurus‛, h. 71.
71
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Sedangkan di abad modern ditemukan pada kelompok modernis
Islam, terutama yang telah bersentuhan dengan budaya dan
pendidikan modern Barat.10 Kedua adalah yang sempit, irrasional
dan tradisiolis, yakni tidak mau melakukan rasionalisasi dan
ijtihad, melainkan cendrung menerima secara dogmatis, literalis
dan taklid apa yang sudah diyakininya, yang didapat dari ulama
terdahulu. Dalam teologi misalnya terdapat kaum Khawarij,
Jabariyah dan Asy‟ariyah yang menempatkan akal sebagai yang nomor dua, dan cendrung bersifat predestination.11 Dalam
masalah fiqh, terdapat sikap tidak mau melakukan ijtihad dan
cedrung bersifat dogmatis dan taklid pada hukum yang telah ada. 12
Faktor wawasan Islam inilah yang cukup dominan dalam
menentukan eksklusivisme dalam Islam, karena paradigma
pendidikan Islam yang dipergunakan terlihat pada
pengkajian Islam yang hanya terpaku pada masa awal dan
kelasik Islam, dan cendrung dilihat dalam perspektik dan
aspek yang sempit. Islam tidak dilihat dalam jalinan
historitasnya yang panjang, yang telah berbaur dengan
beragam bentuk kebudayaan dan pemikiran kemanusiaan
yang sarat dengan perubahan dan kepentingan.
2. Faktor Aliran-aliran Mazhab Dalam Islam
Di atas telah disebutkan bahwa, dalam Islam terdapat
alira-aliran mazhab yang dikonstruksi sebagi lensa atau jalan
bagi umat Islam untuk memahami dan mengamalkan ajaran
10John L. Esposito, h. 175-184. 11John L. Esposito, h. 89-94. 12John L. Esposito, h. 105-106.
72
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islam. Pesan dibalik kemunculan aliran-aliran tersebut
seakan-akan berbunyi, bahwa untuk generasi selanjutnya
tidak perlu melakukan ijtihad, melainkan cukup kembali dan
membuka kitab-kitab yang dibuat oleh ulama-ulama terdahulu. Aliran-aliran inilah yang selanjutnya
menghegemoni dan membelenggu nalar umat Islam
sekarang. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
kemunculan beragam aliran dalam Islamlah yang membuat
lahirnya sikap eksklusif umat Islam. Hal ini dimungkinkan
karena dengan munculnya aliran-aliran tersebut, maka
terbentuklah orientasi kepemelukan dan pengamalan Islam
dalam wajah aliran yang dianut. Disamping itu, karena
masing-masing aliran dalam Islam sering mengalami
ketegangan dan komplik, atas nama klaim kebenaran, yakni
merasa aliran sendiri yang paling benar, sedangkan yang lain
salah.
Dalam bidang teologi Islam, eksklusivisme ditunjukkan
oleh kaum Khawarij dalam melihat orang-orang yang terlibat
arbitrase. Bagi kaum Kahwarij al-Muhakkimah, bahwa Ali,
Muawiyah dan Amr Ibn al-„As dan Abu Musa al-Asy‟ari yang menjadi juru runding dan semua yang terlibat dalam
albitrase dinyatakan sebgai kafir. Tidak hanya kelompok
Khawarij al-Muhakkimah, Khawarij al-Azariqah lebih
eksklusif lagi, bagi kelompok ini, terhadap orang yang tidak
sepaham dan tidak mau hijrah ke wilayahnya dikatakan
sebagai musyrik.13 Tidak hanya itu antara Asy‟ariyah dan
13Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. II., h. 14.
73
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Mu‟tazilah juga demikian, bagaima pertentangan-
pertentangan mereka mengenai dosa besar, keadilan Allah,
kedudukan al-Qur‟an dan lain sebagainya, takdir Allah. Semua ini menjadi lahan pertikaian yang masing-masing
mengklaim pendapat aliran sendiri yang paling benar.14
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, muncul ketegangan
antara ulama dan khalifah yang dianggap mengadopsi
praktek-praktek luar yang tidak Islami. Ulama juga
menyerang kelompok sufi dan filusuf, bagi ulama, syariat atau
fikh adalah jalan yang benar dan lurus yang menjadi kreteria
dalam aqidah dan perilaku baik dalam intlektual, sosial dan
standar-standar ortodoksi. Cara pengamalan Islam yang
seperti ini dinilai kurang tepat oleh para sufi dan filosof yang
lebih menekankan jalan batin berupa kontemplasi bagi para
sufi, dan penggunaan nalar oleh para filosof dalam
menangkap pesan wahyu.
Pertikaian dalam bidang filsafat semakin besar dengan
kritik al-Ghazzali ke pada para filosof Islam.15 Al-Ghazali
menilai para filosof telah keliru dalam beberapa pendapatnya,
yang tercatat sebanyak dua puluh, namun yang paling krusial
ada tiga, yakni Alam itu kekal dalam arti tak bermula, Tuhan
tidak mengetahui spesifikasi atau perincian wujud dan
fenomena dalam alam, dan tidak ada kebangkitan jasmani di
akherat.16
14John L. Esposito, h. 86-94. 15John L. Esposito, h. 71. 16Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme Dalam
Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III., h. 44-45.
74
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Dalam lingkup aliran yang lebih besar, yakni antara
Sunni dan Syi‟ah, masing-masing memiliki pijakan
tersendiri dalam kepemelukan dan pengamalan Islam. Kedua
aliran ini memiliki tipologi filsafat, tasawuf dan Fiqh yang
berbeda-beda, tentunya perbedaan ini bukan tampa sebab,
melainkan lebih karena sikap eksklusif dalam mewuj udkan
kepemelukan dan pengamalan Islam. Dalam bidang tasawuf,
Sunni hanya mengenal tingkat ma‟rifah dan tidak sampai
pada tataran penyatuan dengan Allah sebagaimana tasawuf di Syi‟ah. Dalam bidang fiqh, Sunni memiliki empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi‟I, yang masing-
masing mazhab memiliki wilayah yang berbeda-beda untuk
konteks saat ini. Mazhab Hanafi dianut diwilayah Timur Tengah
Arab dan Asia Selatan, Maliki di Afrika Utara, Tengah, dan Barat, Manbali di Saudi Arabia, dan Syafi‟I di
wilayah Afrika Timur, Arabia Selatan, dan Asia Tenggara.
Syi‟ah juga memiliki mazhab Fiqh tersendiri, yang paling dominant adalah mazhab Ja‟fari.17
Semua ini membuktikan bahwa para pengikut mazhab
dalam Islam telah memicu bagi lahirnya pemahaman dan
wawasan Islam yang sempit, dalam artian bahwa umat Islam
tidak mau melihat dan memahami Islam dari aspek yang lebih
luas, melainkan cukup berpegang pada aliran yang dianut
saja.
3. Faktor Sejarah Islam
Eksklusvisme Islam juga dipengaruhi oleh bagaimana
umat Islam melihat kejayaan peradaban yang digapainya,
17John L. Esposito, h. 106.
75
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
mulai dari awal abad permulaan Islam, sebagaimana yang
dikemukakan Robert N. Bellah.18 Pada masa Islam klasik,19
lahir para filosof, teolog, sufi dan fuqaha‟. Semua itu
merefliksikan Islam yang termanifestasikan ke dalam
kehidupan sosial keduniawian sehingga melahirkan
peradaban dunia yang besar. Islam dalam keyakinan para
pemeluknya pada masa-masa awal dan klasik telah berperan
sebagai penggerak bagi lahirnya etos intlektual dan
kreatifitas umatnya sebagai refleksi dari mengaktualisasikan
eksistensi diri kearah hidup yang lebih baik dan maju.20
Disinilah terlihat watak Islam yang inklusif.
18Hal inilah yang diilustrasikan Robert N. Bellah dengan:
Dihadapan Nabi Muhammad masyarakat Arab telah melakukan
lompatan yang jauh kedepan dalam bidang sosial dan kapasitas
politik. Pada saat struktur yang sudah dibentuk oleh Nabi
tersebut dilanjutkan oleh para khalifah pertama untuk
menyediakan prinsif pembentukan suatu imperiom dunia, hasilnya
kemudian adalah sesuatu yang sangat modern untuk masa dan
tempatnya saat itu. Modern dalam hal tingginya tingkat
komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari rakyat biasa sebagai anggota masyarakat......, Sebagaimana yang dikutif dalam Nurcholish Madjit, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XI., h. 62-63.
19Sejarah perkembangan Islam dibagi ke dalam tiga
periode, pertama periode klasik (650-1250), kedua periode pertenghan (1250-1800), ketiga periode modern (1800-sekarang). Dimasa klasik tersebutlah Islam mengalami kemajuan peradaban. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)h. 4-6.
20Nurcholish Madjit, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 69-70.
76
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Romantisme sejarah kejayaan peradaban Islam ini
menjadi salah satu faktor eksklusif dalam memeluk Islam.
Bagi umat Islam setelah abad pertengahan adalah tidak perlu
melakukan ijtihad dan temuan baru mengenai aqidah, hukum
dan lain sebagainya, sebab semua sudah ada dalam kitab -
kitab ulama terdahulu, sehingga hanya dengan membuka
kembali kitab-kitab tersebut sudah cukup untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada saat ini.
Karakteristik Eksklusivisme Islam
1. Literalis atau Tekstualis
R.William Liddle melihat sikap literalis atau skripturalis
sebagai kelompok yang tidak memandang diri mereka terlibat
dalam kegiatan intelektual yang mencoba mengadaptasikan
pesan-pesan Muhammad dan makna Islam ke dalam kondisi-
kondisi sosial. Menurut mereka pesan-pesan dan makna itu
sebagian besar sudah jelas termaktub dalam kehidupan,
karena itu mereka cenderung berorientasi pada syari‟at.21 Islam dilihat dari perspektif normativisme teks, sehingga
sikap pengamalan dan cara pandang dalam hidup adalah
berangkat dari teks al-Qur‟an dan Hadits dan berahir
dalam teks pula. Tokoh-tokoh pengkritik dari sikap literalis
atau skripturalis ini adalah Nasr Hamid Abu Zaid, Muhamad
Arkoun, Adonis.
21 R. William Liddle, Skripturalisme Media Dakwah, Suatu
Bentuk Pemikiran dan Aksi Polotik Islam di Indonesia Masa Orde Baru, dalam Mark Woodward (ed) Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1999, h. 304.
77
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Skripturalisme dilabelkan pada tokoh pembaharu Islam
Muhamad Abduh dan murid-muridnya. Geertz menyebut
Abduh dan murid-murudnya sebagai kelompok Islam
skripturalisme, mereka merupakan penerus dari Ibn Hambal,
Ibn Taymiyah dan abd al-Wahhab. Pandangan kaum
Muslimin yang melihat Islam sebagai yang universal, sering
menjadi modal kesadaran untuk mengubah kemandekan
lokalisme. segala macam bentuk perlawanan kaum muslimin
terhadap kolonialisme dan ketimpangan sosial lainnya
berangkat dari kesadaran ini.22 Dalam pandangan kaum
skripturalis, al-qur‟an dan Sunnah merupakan sesuatu yang sempurna, suci, yang datang dari Tuhan, dan tidak ada
jalan kritik padanya. Karena sikap inilah kemudian kaum
skripturalis dilabelkan dengan Islam fundamentalis.23
2. Dogmatis
Karakteristik yang menonjol dari Islam Eksklusif adalah
dogmatisme terhadap doktrin-doktrin Isalam yang sudah ada
dalam pemahaman dan keyakinan, dengan demikian
cendrung pasif dan taken for grented dalam menerima dan
memahami Islam, menerima apa adanya Islam yang didapat
lewat pemahaman figur Islam yang dihormati, dan tidka
berupaya untuk menalar atau mempertimbangkan ajaran
Islam yang didapat. Taklid inilah corak yang has. Ajaran
22Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in
a Post-Tradisionalist World, (University of California press; Berkeley and Los Angeles, Calipornia: Ltd. London, England, 1970), h. 159-160.
23Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Tradisionalist World, h. 160-161.
78
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islam diyakini bersifat obsolut dan mutlak benar sehingga
harus diyakini dan diamalkan apa adanya, akal tidak boleh
mempertanyaka dogma-dogma tersebut. Sikap dogmatis
dalam beragama merupakan sikap mempertahankan ajaran
yang sudah ada harus dianggap sempurna dan mapan
sehingga tidak menerima reinterpreatsi dan perubahan.24
3. Totalistik
Karaktersitik lain dari Islam eksklusif adalah
berpandangan totalistik. Islam dilihat sebagai agama yang
total (Kaffah), serta mengandung wawasan-wawasan, nilai-
nilai serta petunjuk yang bersifat lengkap, mencakup segala
aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya, dan lain-
lainnya. Pandangan yang bersifat totalistik ini berasumsi
bahwa pemahamannya berangkat dari teks yang bersumberr
pada wahyu, dengan demikian maka segala aspek kehidupan
haru berdasarkan pada hukum dan ajaran Islam.25
Di Indonesia, pandangan totalsitik ini ditemukan pada
sosok seorang Dr. Fuad Amsyari perlu disadari bahwa Islam
itu bersifat kaffah, utuh menyangkut segala segi kehidupan
termasuk mencari segala permaslahan harus berasal dari sumber-
sumber Islam. Tidak ada masalah apa pun di dunia yang itdak
dapat dipecahkan oleh acuan Islam. Karena itu strategi dan taktik
adalah bagian dari Islam, baik hal itu berkaitan dengan strategi
dan taktik dalam jihad atau strategi dan taktik manusia untuk
24Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, h. 87.
25M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia:
Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, h. 175.
79
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
hidup mencari kebahagiyaan lahir dan batin, individu-masyarakat,
dan dunia akherat. Di sini jelas bahwa upaya pemikiran strategi
dan taktik untuk suatu masalah tertentu dalam kehidupan sama
sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang
mana pun. Tidak boleh ada strategi dan taktik dalam kehidupan
seorang muslim ataupun kelompok muslim yang boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam.26
4. Fanatik
Fanatik juga merupakan sifat yang menonjol. Islam
Eksklusif menganggap bahwa hanya Islam sendiri yang
benar sedangkan yang lain salah, hanya kelompok dia yang
benar sedang yang lain salah. Fanatisme tidak menerima
pluralitas dalam Islam, baik mazhab, pemahaman dan lain
sebagainya. Dalam sejarah Islam ditemukan kelompok
Khawarij yang begitu eksklusif mempertahankan fanatisme
femahaman dan keyakinannya, sehingga menghantar
kelompok tersebut pada tingkat aktualisasi Islam yang keras,
penghujatan terhadap orang di luar kelompoknya sebagai
kafir dan harus diperangi. Di era sekarang karakter kwarij
masih ditemukan pada umat Islam, terutama pada kelompok
yang religius ekstrimis, seperti kelompok fundamentalisme
Islam dan Islam radikal. Di Indonesia bisa ditemukan pada
kelompok FPI dan Hizbu Tahrir.
26Sebagaimana yang dikutif dalam, M. Syafi’I Anwar,
Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, h. 177.
80
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
5. Ideologis
Ini merupakan ciri dari Islam Eksklusif, bahwa Islam
dijadikan sebagai ideologi hidup, Islam dibuat sedemikian
rupa menjadi sumber dan alasan untuk menjastifikasi tujuan-
tujuan atau pola hidup yang dijalankan. Islam dijadikan
sebagai ideologi sering dipraktekkan oleh para politisi
dengan mebentuk partai yang berlabelkan Islam.27 Disinilah
terlihat Islam dijadikan sebagai legitimasi dan jastifikasi
kepentingan. Islam dijadikan sebagai ideologi dapat diartikan
sebagai ideologi yang berazaskan pada Islam atas segala
tindakan yang dilakukan oleh umat Islam.28 Dijadikannya
Islam sebagai ideologi disebabakan oleh pandangan dan
keyakinan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal
dan total.29 Di Indonesia ditemukan pada kelompok FPI dan
Hisbu Tahril yang cendring menjadi kerumunan muslim
yang bercorak simbolis dan sloganistik.
Dalam sejarah Islam awal gerakan Islam sebagai ideologi dapat ditemukan pada pemberontakan Mu‟awiyah terhadap
Ali, kemudian kaum khawarij yang memberontak atas nama
keadilan dan kebaikan, dan pemberontakan Zaediyah dari
cucu Ali.30 Sedangkan di era modern dapat ditemukan dalam
gerakan-gerakan Islam yang berada dalam kelompok gerakan
27Di Indoneis misalnya, terdapat partai politik Islam,
seperti PKS, PPP, PBBB, PBR, PKNU, dan lain sebagainya.
28Abdul Qadir Djaelani, Perjuangan Ideologi Islam di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 23.
29Khalifah Abdul Hakim, Islamik Ideology, (Lahore:
Institut of Islamic Culture, 1993), h. iv.
81
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islamisme, seperti gerakan yang dilakukan oleh Jamaluddin
al-Afghani, Hasan al-Banna, dan lain-lain.
6. Formalistik
Eksklusivisme dalam Islam juga memiliki karakteristik
legalisme atau formalisme, yakni lebih mengedepankan
ketaatan yang ketat dan formal pada ajaran Islam dalam
segala aspek kehidupan, yang ditandai dengan penggunaan
simbol-simbol Islam, seperti pembentukan politik Islam,
Bank Islam, asuransi Islam, dan yang paling dominant adalah
pola kebersilaman yang bersfiat Arabisme, yakni dengan
menggunakan pakean ala Arab atau gambis, dan
pemeliharaan jenggot. Menurut Azyumardi Azra, artikulasi
keberagamaan formalisme ini bisa melahirkan sikap
fundamentalsime, baik yang pada gilirannya juga dapat
mengambil berbagai bentuk ekskpresi, baik yang bersipat
damai maupun radikal, hal ini disebbakan oleh wataknya
yang cenderung literalis dalam memahami agama.31 Menurut
M. Sirajudin Syamsudin formalisme Islam sangat
mengedepankan ideologisasi atau politisasi yang mengarah
pada simbolisme secara formal.32 Formalisme Islam lebih
bersipat simbolis dan sloganistik.
Akhirnya, Islam eksklusif atau eksklusivisme Islam lebih
melihat Islam sebagai agama yang totalistik dan definitif
dalam memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi
dalam segala aspek kehidupan dan di setiap kondisi zaman.
Paradigma pemahaman terhadap ajaran Islam bersifat
82
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dogmatis, taklid, dan tekstual sehingga tidak menginginkan
adanya reinterpretasi yang lebih, empiris dan inklusif,
melainkan mencukupkan diri dengan apa yang sudah ada
sebagai warisan keislaman. Sedangakan bentuk keyakinan
bersifat totalistik dan ideologis. Dari aspek pengamalan
ajaran Islam bersifat formalistik, simbolik, fanatik,
sloganistik, militant, fundamental dan radikal.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad, 1989. Risalah Tauhid, terj. Jakarta: Bulan Bintang, cet. I.,
Abdullah, Amin,. 1998. ‚Arkoun dan Kritik Nalar
Islam‛, dalam, Tradisi, Kemoderenan, dan
Metamodernisme, Yogyakarta: LkiS.
Adonis, 2007. Atstsabit wa al-Mutahwwil: Bahts fî
al-Ibdâ΄ wa al-Itbâ’ ‘inda al-’Arab, terj.,
Khairon Nahdiyyin, Yogyakarta: LKiS, cet. I.
Ali, Fachry, 1985. Agama, Islam dan Pembangunan, Yogyakarta: PLP2M.
Arjoman, Amir, Said, 2006. ‚Thinking Globally About
Islam‛, dalam, The Oxford Handbook of Global
Religions, edited, Mark Juergensmeyer,
Oxford: University Press. Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat
Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, cet. I.
________, 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, cet.
I.
Bahar, Safruddin, 1985. The Religous of Man, (New York; Hargestown San Francsco.
83
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bellah, N, Robert, 1970. Beyond Belief: Essay on
Religion in a Post-Tradisionalist World,
University of California Press; Berkeley and
Los Angeles, Calipornia: Ltd. London,
England.
Boisard, A, Marcel, 1980. Humanisme Dalam Islam,
terj., H. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan
Bintang, cet. I.
Djaelani, Qadir, Abdul, 1996. Perjuangan Ideologi
Islam di Indonesia, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya.
Esposito, L, John, 2004. Islam Warna Warni: Ragam
Ekspresi Menuju ‚Jalan Lurus‛ (al-Shirat al-
Mustaqim), terj. Arif Maftuhin, Jakarta:
Paramadina, cet. I.
Hakim, Abdul, Khalifah, 1993. Islamic Ideology, Lahore: Institut of Islamic Culture.
Hanafi, Hassan, 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat, Terj., M. Najib
Buchori, Jakarta: Pramadina, cet. I.
Hawkins, M, Joyce, 1996. Kamus Dwi bahasa Oxford-
Erlangga: Inggris-Indonesia1, Indonesia-
Inggris, terj. A. Remy Rohadian, Ading
Dimyati, Sepina Yuda Purnamasari, Jakarat:
Erlangga, cet. I.
Hidayat, Komaruddin, 1998. Tragedi Raja Midas:
Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
Jakarta: Paramadina, cet. I.
84
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1979. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet.
VIII.
Kuhn, Thomas, 2000. The Structure of Scientific
Revolutions : Peran Paradigma Dalam revolusi
Sains, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Kurzman, Charles, 2003. Wacana Islam Liberal:
Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global, editor, terj. Bahrul Ulum Heri
Junaidi, Jakarta: Paramadin, cet. II.
Lee, D., Robert, 2000. Mencari Islam Autentik: Dari
Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baequni, Bandung: Mizan,
cet. I.
Madjit, Nurcholish, 1998. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, cet. XI.,
Mark, Woodward (ed), 1999. Jalan Baru Islam,
Memetakkan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, Bandung: Mizan.
Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran, (Jakarta: Mizan), cet. I.
______, 1972. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press,
cet. II.
______, 1983.Falsafah & Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. III.
______, 1975. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah
Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang.
85
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
______, 1991. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Putro, Suadi, 1998. Mohammed Arkoun Tentang Islam Modernitas, Jakarta: Paramadina, cet. I.
Rahmat, Jalaluddin, 1998. Islam Alternatif; Ceramah-
Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, cet. IX.
Reese, L, William, 1996. Dictionary Philosophy and
Religion, New York: Humanity Books, 59 John
Glenn Drive’ Amherst.
Robertson, Roland, ed., 1992. Agama Dalam Analisa
dan Interpretasi Sosiologis, terj., Achmad
Fedyani Saifuddin, Jakarta: CV Rajawali.
Sardar, Ziauddin, 2005. Kembali ke Masa Depan,
terj., R. Cecep Lukman Yasin dan Helmi
Mustafa, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
cet I. Saenong, B., Ilham, 2002. Hermeneutika Pembebasan:
Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju.
Shariati, Ali, 1996. Tugas Cendikiawan Muslim,
terj., M. Amin Rais, Jakarta: PT
GrafindoPersada, cet. I.
Syari’ati, Ali, 1995. Islam Mazhab Pemikiran dan
Aksi, terj., M. S. Nasrulloh dan Afip
Muhammad, Bandung: Mizan, cet. II.
Wach, Joachim, 1948. Sociology of Religion, The university of Chicago Press.
86
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Worldmark, 2006. Encyclopedia of Religious
Practices, edited, Thomas Riggs, Thomson
Gale, Volume I.
Zaid, Abu, Hamid, Nasr, 2005. Mafhum an-Nash
Dirasah fi ‘Ulūm al-Qur’ân, terj., Khoiran
Nahdiyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kriti
terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS,
cet. IV.
_______, 2003. Kritik Wacana Agama, terj., Khoiron Nahdiyyin, Yogyakarta: LKis, cet. I.
87
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 5
TEOLOGI
REVIVALISME ISLAM
MANIFESTASI GERAKAN FURITANISASI
AQIDAH, IBADAH DAN HUKUM MUAMALAH
eberadaan Revivalisme Islam merupakan bentuk Kpenolakan dan
perlawanan terhadap modernisme Barat yang telah mempengaruhi cara pandang ummat Islam terhadap dunia (permasalahan sosial). Bangsa-
bangsa eropa seperti Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris dan
Prancis telah menguasai perdagangan di wilayah Islam. Atas
dasar kondisi keterpurukan dan penjajahan tersebut, maka
lahir gerakan Revivalisme Islam.1
1Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan, (Jakarta: Serambi, 2004), cet. II. h. 73.
88
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Dalam perkembangannya, Revivalisme Islam mengalama
beberapa corak atau tipologis, yakni yang moderat dan
radikal. Revivalsime Islam moderat lebih mengedepankan
sikap penghayatan dan pengamalan Islam secara individual
ataupun berkelompok, sehingga arah yang dituju adalah
meng menghidupkan kembali Islam yang damai, Islam yang bisa dijadikan sebagai kekuatan ideologis dalam membendung
arus modernisasi yang mengarah pada tercitapnya budaya
vulgar dalam diri umat Islam. Kelompok ini di Era sekarang
tercermin pada kelompok-kelompok jamaah Tablig yang
memenuhi masjid-masjid untuk solat berjama‟ah dan muzakarah. Islam Revivalis mengajarkan tentang huruj,
yakni berkunjung ke masjid-masjid di seluruh dunia Islam
selama 40 hari 40 malam. Ciri lainnya adalah melakukan
dakwah keliling mengajak masyarakat untuk solat berjamaah.
Dihadapan mereka ilmu pengetahuan tidak terlalu penting,
sebab yang utama adalah ibadah vertikal. kelompok
Revivalsime Islam radikal, mengarah pada gerakan
perlawanan terhadap ideologi di luar ideologi Islam.
Sehingga kelompok Revivalsime Islam radikal bertujuan
untuk menciptakan sistem sosial, budaya, politik, dan
ekonomi yang berasaskan Islam.2
Di Indonesia, kelompok Revivalisme Islam dalam konteks
Indonesia merupakan gerakan keislaman yang bertujuan
untuk mengembalikan Islam pada ajarannya yang murni.
Kemunduran ummat Islam di era modern disebabkan oleh
2Azyunardi Azra, Islam Reformis; Dinamika Intlektual dan
Gerakan, (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1999), cet. I., h. 47.
89
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
kondisi pengamalan dan keyakinan yang telah dinodai oleh
bid‟ah, khurafat, tahayul, dan tradisi lokal, serta pemikiran dan idiologi sosial modern Barat. Karena itulah maka Islam
harus dimurnikan kemabali. Dalam upaya pelaksanaan
puritanisasi Islam tersebut, langkah yang diambil oleh kaum
Revivalis adalah penerapan dan pengembangan ijtihad,
khususnya dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan
hukum. Contoh yang dapat diamani adalah gerakan Padri di
Minang Kabau pada awal abad ke-19, dan Muhammadiyah.
Keduanya menyerukan gerakan kembali pada al-Qur‟an dan
al-Hadits. Di samping menyuarakan puritanisasi, gerakan
revivalis Islam juga mengajarkan untuk melakukan
penafsiran dan Hijrah.3
Di era Modern ijtihad kaum Revivalis dalam aspek
hukum terlihat dengan munculnya unsur syariat dalam
sistem perbangkan, atau melahirkan Bank Syari‟at. Dalam
aspek teologi mereka mengacu pada teologi kaum salafi yang
ditemukan dari ajaran Ibn Taimiyah. Bidang Politik muncul
partai-partai yang berlabelkan Islam. Intinya bagi kaum
Revivalisme Islam adalah refuritanisasi Islam dibidang
aqidah, ibadah dan hukum muamalah. Sebab semua itu telah
mengalami distorsi. Kembali kepada ajaran Islam dan Sunnah
merupakan ciri dakwahnya. Revivalisme Islam tidak
menganut suatu faham atau mazhab dalam Islam.
3 Azyunardi Azra, Islam Reformis; Dinamika Intlektual dan
Gerakan, h. 47-50.
90
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Daftar Pustaka
B. Lawrence, Bruce, 2004. Islam Tidak Tunggal:
Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj.,
Harimukti Bagus Oka, Jakarta: Serambi, cet.
II.
Azra, Azyunardi, 1999. Islam Reformis; Dinamika
Intlektual dan Gerakan, Jakarta: PT Grapindo
Persada, cet. I.
91
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 6
TEOLOGI ISLAM
RASIONAL
Islam Rasional Di Indonesia
alam konteks Indonesia tokoh yang dianggap Drasional
adalah Nurcholis Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wawid, Ahmad Wahib, Amin Rais. Bagaimana paradigma Islam yang
dikembangkan Islam rasional? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini, terutama pandangan Harun Nasution.
Sedangkan yang lainnya telah dilabelkan dalam kelompok pemikiran yang lain, seperti Nurchlis Madjid, Djohan Effendi,
Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid lebih dilihat sebagai tokoh Neo-
92
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Modernisme Islam oleh Greg Barton Ph. D,1 Fachry Ali
dengan sebutan Islam yang Wajar atau Islam Kultural
(terutama Nurcholis Madjid dan Gusdur).2 Harun Nasution
(1919-1998)3 dikenal sebagai tokoh yang rasional bahkan
dikatakan sebagai Abduh kedua atau Abduhnya Indonesia.
Gagasan-gagasan Islam rasional Harun tercermin pada
perjuangannya memasukkan ajaran Mu‟tazilah dalam
kurikulum perkuliahan di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta saat menjabat sebgai Rektor tahun
1973.
Harun Nasution dikenal sebagi tokoh yang rasionalis,
sehingga karya-karya yang dilahirkannya hampir tidak lepas
dari pandangannya yang rasional tersebut, seperti, Islam
ditinjau dari Berbagai Aspek, Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Tipologi Islam Aliran-
Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Filsafat Agama,
Falsafah dan Mistik dalam Islam, Akal dan Wahyu dalam
Islam, Perkembangan Modern dalam Islam, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah dan Islam Rasional
Gerakan dan Pemikiran. Dengan sikapnya yang rasional
1Baca, Greg Barton Ph.D., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq, (Jakarta: 1999)
2Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I., h. 121.
3Mengenai bigrafi Harun Nasution, baca, Zaim Uchrowi,
dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta: Panitia Penerbit Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasutio dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), h. 3-62.
93
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
itulah, maka Harun merupakan tokoh modernis yang dimiliki
oleh Umat Islam Indonesia. Namun perlu dari awal
ditekankan bahwa akal dalam pandangan Harun tidaklah
menghapus Wahyu, wahyu tetap dianggap sebagai yang
unggul dan mutlak benar, akal hannya menginterpretasi teks
wahyu sesuai dengan kebutuhan manusia.4
Sebuah pernyataan yang akan membakar jiwa dan
menimbulkan kemarahan yang besar dari seorang muslim
jika al-Qur‟an yang dianggap sakral dan lengkap dalam
memberikan panduan dan petunjuk bagi manusia, yang
dijamin dan dijaga oleh Tuhan sendiri dan berlaku sepanjang
zaman, tiba-tiba dianggap sebagai kitab yang tidak lengkap
dalam memberikan solusi permasalahan bagi manusai. Harun
dengan penuh pertimbangan intlektual dan keimanannya
melontarkan pernyataan bahwa al-Quran tidaklah mencakup
segala-galanya dan tidak pula menjelasakan segala
permasalahan manusia, baik masalah sosial, ekonomi, politik,
maupun sains dan teknologi modern. Ayat al-Quran yang
terdiri dari ayat Makiyah dan Madaniah tidak akan sanggup
menjawab permasalahan manusia yang begitu kompleks.
Ayat yang berbicara masalah hukum misalnya hanya terdapat
230 ayat, masalah ibadah sekitar 140 ayat. Dari semua itu
maka tidaklah cukup untuk menjawab peramsalah manusia.5
Apa penilaian orang jika sesuatu yang diajarakan nakjis
oleh agama tapi justru dipelihara oleh umat Islam, sudah
4Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet. II., jilid. VI., h. 25-31. 5Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Bandung: Mizan, 1998), cet. V., h. 21.
94
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
tentuk akan dinilai buruk, jorok dan lains sebagainya, tapi
bagi Harun semua yang dianngap tabu oleh umat Islam
dilampaui dengan penuh pertimbangan intlektual dan
imannya. Bagi Harun kemungkinan anjing juga diyakininya
nakjis, tapi bukan berarti tidak bermamfaat bagi manusia.
Anjing berguna sebagai penjaga gudang, penjaga rumah,
ternak dan lain sebagainya. Dari segi mamfaat inilah maka
anjing dipelihara oleh Harun, dan mengatakan pandangannya
bahwa anjing itu haram hannya akan menghambat kepada
peningkatan keamanan dan masalah kriminalitas sosial.6
Bagaiamana pemikiran rasional modernis Harun? Sebagai
seorang intlektual yang terdidik dengan begitu disiplin dan
menimba ilmu-ilmu keislaman di Negara-negara Islam seperti di
Mesir dan Makkah, Harun tentunya memiliki kapasitas
pengetahuan yang tingggi, dan sebagai seorang intlektual
akademisi, Harun merasa prihatin dengan kondisi umat Islam
Indonesia, yang berada dalam hegemoni pemahaman keagamaan
yang sempit dan tradisionalis. Bagi Harun sikap yang demikian
tidak akan bisa berdampingan dengan modernisasi yang sedang
berlansung di Indonesia.7 Umat Islam Indonesia dalam pandangan
Harun hanya mengenal Islam dari perspektif fiqh Syafi‟I sedangakan dalam segi teologi hanya dalam perspektif Asy‟ariyah. Dengan
demikian Islam Indonesia adalah Islam hasil pemahaman
Syafi‟I dan Asy‟ariyah. Karena hanya dilihat dari dua sudut
6Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
(Bandung: Mizan, 1996), cet. IV., h. 157. 7Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
h.157.
95
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
inilah maka Islam dalam masyarakat menjadi sempit, padahal
Islam memiliki horizon yang sangat luas.8
Disamping itu, secara tidak lansung yang menggerakkan
Harun untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia
adalah ummat Islam dianggap sebagai penghalang bagi
gerakan modernisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru
saat itu. Dengan sikap yang agak ambigu namun risih
melihat pandangan yang demikian, ia mencoba menganalisa
permasalahan umat Islam, sehingga secara tidak lansung
Harun membenarkan klaim tersebut. Bagi Harun
kemungkinan yang menyebabkan pandangan tersebut lahir
adalah: 1) karena umat Islam mempunyai pandangan yang
sempit tentang Islam, yaitu pandangan yang bersifat
legalistis, sementara pandangan yang bersifat teologis,
filososfis dan ilmiah kurang diperhatikan. 2) umat Islam
secara umum berada dalam penjara tradisi, yakni masih dan
tidak mau meninggalkan pemahaman Islam masa lalu. 3)
karena terhegemoni oleh pandangan tradisional, maka ummat
Islam dalam usahanya menyelesaikan persoalan modern yang
ilmiah dan penuh dengan temuan teknologi, mengajak
kembali kepada kitab yang ditinggalkan ulama terdahulu,
bukan kembali ke pada al-Qur‟an dan sunah dengan
melakukan reinterpretasi.9
Untuk mengubah pandangan yang sempit dan tradisional
tersebut, maka harus dilakukan gerakan-gerakan
8Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
h. 160. 9Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
h. 165.
96
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pembaharuan dan pengembangan dalam beberapa aspek: 1)
kurikulum dan pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah
harus ditambahkan dengan dasar-dasar hukum Islam,
perbandinagn Mazhab, teologi dengan aliran-aliran yang
terkandung di dalamnya, filsafat, mistisisme, sejarah
kebudayaan Islam mualai dari zaman klasik sampai modern. 2) dalam menghadapi permasalahan yang ditimbulkan
modernsime dan teknologi modern, umat Islam seharusnya
jangan kembali ke pada ajaran ulama terdahulu, melainkan
kembali membedah al-Quran dan hadis.10
Atas dasar kondisi inilah maka Harun mencoba
melakukan gerakan pembaharuan dengan menawarkan Islam
yang ditinjau dari berbagai aspek, baik fiqh, teologi, filsafat
dan tasawuf.11 Namun agar tidak terjebak pada pembaharuan
yang patalistik dalam artian membabi buta, perlu dilakukan
klasifikasi atau pembedaan antara ajaran Islam yang qath‟I dan yang zhanni, atau perlu dibedakan ajaran yang obsolut
dan relatif12. Islam memiliki ajaran yang mutlak dan tidak
dapat diubah dan ajaran yang dapat diubah, yakni yang
berupa hasil pemikiran dan penafsiran manusia atau ulama
yang merupakan hasil dari penafsiran terhadap ajaran yang
mutlak tersebut.13
10Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
h. 166. 11Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
(Jakarta: UI-Press, 1986). 12Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 tahun Harun
Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), h. 53 13Harun Nasutio, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
(Jakarta: UI-Press, 1986), jilid. II., cet. VI., h. 93.
97
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Menurut Harun, selama ini umat Islam hanya
mengetahui dua bentuk nast, yakni yang qot‟I dan zhanni,
masing-masing menurut wurut dan dalalahnya. Padahal di
samping menurut wurut dan dalalah, nast yang qot‟i dan zhanni bisa dilihat dari perspektif tampiz (pelaksananya), sehingga
nast yang qat‟i dalam pelaksanaannya tidak selamanya qot‟i. Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa di dalam hukum fiqh, hukum yang qhat‟i jumlahnya relatif sedikit. Ada bagian Qur‟an dan Hadits yang tidak bisa disesuaikan dengan kondisi zaman, berarti ajaran tersebut obsolut.14
Sedangkan dalam aspek aqidah, sebagian terdapat qhat‟i
al-dalaalah dan sebagiannya zhanni al-dalalah dan zhonni al-
Wurut. Misalnya mengenai rukun imam yang enam, yakni
percaya pada qadhak dan qadar Allah. Bagi Harun ajaran ini
akan berdampak pada sikap patalistik, padahal kondisi
sekarang menuntut upaya dan kreatifitas mansuia, maka
masalah ini bisa disesuaikan dengan kondisi zaman, sebab
hadisnya bersifat zhanni al-wurut. Dalam pandangan Harun,
14Contoh yang diajukan adalah masalah riba yang tetap
obsolut mesti sudah banyak orang yang melakukan riba, kemudian
babi, walaupun di Barat babi tidak haram dan dimakan namun
tidak mendatangkan penyakit. Semua itu tidak bisa dilakukan
perubahan, dalam arti ajaran Islam yang obsolut tidak bisa
mengikuti perkembanagn zaman dan tidak bisa diubah. Pada level
zhonni al -dalalah inilah hukum bisa disesuaikan dengan perkembanagan zaman. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 tahun Harun Nasution, h. 54.
98
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
rukun iman bukan enam, melainkan lima sebagaimana yang
disebutkan dalam al-Qur‟an.15
Apa yang menjadi payung besar dari gerakan
pemabahruan Harun? Jawabanya adalah ijtihad yang terus
menerus sesuai dengan perkemabangan dan kebutuhan umat.
Ijtihad pada al-Quran dan hadits yang sifanya terbatas
tersebut, bukan pada level pemikiran ulama terdahulu. Di
samping itu pengetahuan dalam bidang keagamaan tidak
semuanya bersumber pada wahyu, melainkan hasil ijtihad
manusia, dengan cara analisa atas gejala-gejala historis,
argumen rasional dan pengalaman subjektif.16
Harun Nasution telah meletakkan sebuah pijakan untuk
melihat Islam secara lebih koprehensif dan tidak berpatokan
pada tradisi keislaman masa klasik saja, melainkan harus
senantiasa dikembangkan mengikuti arus dan perubahan
zaman. Ide ini dituangkan dalam karyanya Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspek. Dan ide tersebut kemudian diwujudkan
oleh sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta dalam bentuk mata
kuliiah Kajian Islam Komprehensif (KIK) dan Pendekatan
Metodologi Studi Islam (PMSI). Semua itu bertujua untuk
mengkaji Islam agar lebih dinamis dan edukatif.
Daftar Pustaka
Ali, Fachry, 1996, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam
15Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 tahun Harun
Nasution, h. 55 16Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), h. 11.
99
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, cet. I.
Nasution, Harun,1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press, cet. II., jilid. VI.
_______, 1998, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran, Bandung: Mizan, cet. V.
_______, 1973, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-Press.
_______,1973. Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang..
Uchrowi, Zaim, 1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta:
Panitia Penerbit Buku dan Seminar 70 Tahun
Harun Nasutio dan Lembaga Studi Agama dan
Filsafat.
100
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 7
TEOLOGI NEO-
MODERNISME ISLAM
azlurrahman merupakan intlektual Islam yang
Fmencetuskan istilah Neo-Modernisme Islam dicetuskan. Bagi Fazlurrahman Neo-Modernisme merupakan
sintesa pemikiran dari rasionalitas kaum modernis yang tetap mempertahankan tradisi keilmuan klasik Islam, untuk selanjutnya dikaji berdasarkan konteks situasi yang sedang
berkembang. Dalam pandangan Fazlurrahman sejarah gerakan Islam pada dua abad terahir terbagi kedalam empat bentuk,
yakni, pertama, gerakan revivalis di ahir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Kedua, gerakan modernis. Ketiga Neo-Revivalis yang
modern namun
101
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
agak reaksionis. Dan keempat adalah Neo-Modernis, yakni
yang diusung oleh Fazlur Rahman sendiri.1
Bendera Neo-Modernsme Islam di Indonesia dikibarkan
oleh Nurcholis Madjid melalui ide pembaruan pemikiran
dalam Islam sekitar tahun 70-an pada sebuah seminar.
Nurcholis Madjid menyampaikan makalah yang berjudul
Keharusan Pemabaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat. Makalah ini kemudian disebar luaskan oleh
media masa tampa sepengetahuan Nurcholis Madjid.2
Nurcholis Madjid merupakan tokoh pembaharuan yang
ide-idenya dianggap sebagai pemikiran yang paling radikal,
lantaran ia menggarap atau membedah ajaran Islam yang
prinsifil atau fundamental, seperti masalah ketuhanan,
kemanusiaan, dan keduniawian.3 Ide-ide tersebut merupakan
1Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq, (Jakarta: 1999), cet. I., h. 9.
2Untuk lebih jelasnya latar belakang lahirnya gerakan
neo-modernisme Islam di Indonesia, baca, Greg Barton Ph.D., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, h. 9-68.
3Slogan ini dilontarkan Caknur karena melihat kondisi
para politisi yang menggunakan lebel Islam untuk memobilisasi masa, bahkan memilih partai berlebelkan Islam menjadi tolak ukur religiusitas masyarakat Islam saat itu, atau untuk menjadi muslim yang benar maka harus memilih partai Islam. Para politisi ini lupa akan kebutuhan mendesak dari rakyat yang harus diperjuangkan, mereka sibuk dengan memperjuangkan eksistensi partai yang mereka bangun. Namun disini terjadi sikap yang paradox dari Caknur
102
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
metode untuk mengakomodasi gerakan pemerintahan Orde
Baru yang terlihat cenderung menyudutkan tokoh-tokoh
Islam, dengan asumsi bahwa Islam menghalangi langkah
modernisasi pembangunan bahkan berseberangan dengan
ideologi Bangsa. Melihat keadaan tersebut, maka Nurcholis
Madjid mendamaikan komplik tersebut, dengan cara mendukung aspirasi dan unsur-unsur yang menopang
pemerintahan Orde Baru, seperti TNI, kelompok teknokrat,
dan intlektual.4
Namun sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa
mereka adalah para tokoh reformis, modernis dan pembaharu
dalam Islam yang bertujuan untuk melihat realitas zaman
dalam kaca mata Islam, sehingga pemahaman Islam menjadi
lebih relevan dan aktual sesuai dengan kondisi zaman modern
yang edukatif, progresif, trasformatif, kritis dan penuh
dengan kemajuan pembangunan dalam segala aspek, lahirnya
sains dan teknologi. Realitas zaman inilah yang menuntut
gerakan neo-modernisme Islam untuk melihat Islam secara
lebih komprehensif dan aktual. Tawaran utama dari gerakan
ini adalah melakukan ijtihad dan pemungsian akal rasio
manusia untuk membedah dan menafsir al-Qur‟an dan al-
Hadits.
Desakralisasi bertujuan untuk membumikan ajaran Islam,
desakralisasi merupakan kebutuhan orgen umat Islam di era
modern agar tidak hanya menengok kebelakang, yakni ke
sendiri, bahwa ternyata Caknur justru mendukung PPP sebagai satu-satunya partai Islam pada saat itu.
4Faozan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, terj., Fauzan Saleh, (Jakarta: Serambi, 2004), cet. I. h. 320.
103
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
tradisi klasik yang sudah ketingalan zaman, namun tetap
diupayakan untuk menyelesaikan permasalah sosial yang
begitu terpuruk. Desakralisasi akhirnya menawarkan sebuah
rasionalitas Islam demi memenuhi dan merespon
perkembangan zaman.
Neo-modernisme melakukan terobosan baru pada aspek
ijtihad. Ijtihad yang dikembangkan merupakan kombinasi
dari dua paradigma keilmuan, yakni keilmuan tradisional-
klasik Islam dan metode Barat modern. Ijtihad yang
dilakukan dengan mengedepankan metode yang lebih
universal dalam menafsir al-Qur‟an dengan menempatkan
rasionalitas dan sadar akan pentingnya menempatkan teks
kitab suci dan realitas modern dalam bingkai historis dan
kultural.5 Hal ini tercermin dalam ide Caknur yang
menekankan cara untuk mengaktualisasikan ajaran Islam
secara benar dan tepat oleh umat Islam diwilayahnya sendiri,
yakni Indonesia, dengan cara memahami doktrin agama
dengan tepat serta memahami lingkungan sekitar dimana
ajaran tersebut akan diimplementasikan. Itulah sebabnya
Caknur mencetuskan pemikiran tentang Islam Kultural
sebagai agama yang berperan sebagai sumber dan sistem nilai
serta pedoman etika dan budaya dalam kehidupan berbangsa.
Dengan kemampuan yang demikian, maka neo- modernisme sebagai sebuah gerakan pembaharuan
keagamaan yang tergerakkan oleh keinginan untuk
mengkontruksi wajah dan bentuk Islam yang aktual dan
progresif.
5 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. xvii.
104
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Jika dilihat dalam perspektif akademis maka gerakan
pembaharuan dari kelompok neo-modernisme Islam ini
memang sebuah kemestian yang fundamen dan urgen,
mengingat kondisi umat Islam saat ini berada dalam
keterpurukan dan hanya menjadi konsumen dari produk-
produk pemikiran, kebudayaan dan teknologi Barat.
Disamping itu isu-isu yang ditawarkan sebagai sebuah
agenda pembaharuan cukup aktual dan mengacu pada kondisi
realitas sosial yang dihadapi umat Islam saat ini, baik dalam
bidang politik, kenegaraan, ekonomi, pendidikan, hak asasi
manusia, hukum, dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang diungkapkan Marcel A. Boisard bahwa
kondisi umat Islam sangatlah terbelakang, gerakan
revitalisasi dan refungsionalisasi nilai-nilai tradisional lebih
diutamakan dari pada melakukan riset-riset ilmiah yang
berbasis saintifik yang mengarah pada terciptanya teknologi.
Para ulama dan imam terjebak pada upaya mempertahankan
ortodoksi sempit dengan alasan demi menjaga orisinalitas
dan autentisitas dokrin dan nilai-nilai Islam, namun dengan
cara pengekangan terahdap kreatifitas berfikir rasional, dan
hasil dari jihad ortodksi tersebut adalah kegagalan membawa
dan menampilkan Islam yang mampu menjawab dan
merespons tuntutan profanitas zaman yang terus berubaha
dan berkembang, dan umat Islam sendiri kemudian gagal
menjadi umat yang maju, melainkan menjadi umat yang
reseptif dan konsumeristis terhdap apa yang dihadirkan oleh
105
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pemikiran intlektual, budaya sekular dan ideologi sosial
modern, serta sains dan teknologi Barat.6
Senada dengan Marcel A. Boisard, Muhammad Al-
Fayyadl juga melihat umat Islam saat ini mengalami
kemunduran dalam segala aspek, terutama dalam maslah
social politik, pendidikan, ekonomi, budaya, sains dan
teknologi, dan pemikiran. Yang lebih terlihat sebagai sebuah
kemajuan pada umat Islam adalah, sikapnya yang ekslusif,
dogmatis, paternalistik, konserpatif, radikal, budaya oligarki
yang diabadikan, pemimpin yang dianggap maksum,
pemerintahan yang non demokratis, deskriminatif terhadap
kaum wanita, feodalisme, persetruan antar beda mazhab dan
aliran, penantian tampa henti pada sang pemimpin gaib,
lahirnya sikap patalistik dari pemahaman tasawuf dan kalam.
Muhammad Al-Fayyadl, melihat bahwa penyebab dari semua
itu adalah hilangnya tradisi ijtihad, semua permasalahan
dianggap sudah terjawab oleh ulama-ulama terdahulu
sehinga generasi sekarang tidak perlu berijtihad kembali dan
cukup dengan mengutif apa yang sudah ditetapkan ulama
terdahulunya.7
Kondisi yang demikian juga terjadi pada masyarakat
Islam Indonesia sehingga ide-ide reformis yang ditawarkan
akan mampu memberikan sumbangan bagi terciptanya
religiusitas yang humanis, pemerintahan yang demokratis,
6Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj., H. M.
Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. I., h., 310.
7Muhammad Al-Fayyadl, ‚Menjemput Islam Masa Depan‛ dalam pengantar, Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan, terj., R. Cecep Lukman Yasin dan Helmi Mustafa, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), cet I., h. 6-7.
106
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sikap inklusif. Jadi semangat humanis dan demokratisasi yang
ditawarkan paling tidak akan memberikan peluang bagi
tercipatanya masyarakat yang edukatif, progresif, toleran,
egalitarian, inklusif dan mandiri serta indenvenden.
Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad, 2005. ‚Menjemput Islam Masa
Depan‛ dalam pengantar, Ziauddin Sardar,
Kembali ke Masa Depan, terj., R. Cecep
Lukman Yasin dan Helmi Mustafa, Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, cet I. Barton, Greg, 1999. Gagasan Islam Liberal Di
Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang
Tahqiq, Jakarta: 1999, cet. I.
Boisard, Marcel A., 1980. Humanisme Dalam Islam,
terj., H. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan
Bintang, cet.I.
Fachry Ali dan Bahtiar Efendy, 1986. Merambah Jalan
Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholis, 1987. Islam Kemordernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholis, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.
Nasution, Harun, 2001. Pembaharuan Dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, cet. II.
107
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Saleh, Faozan, 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran
Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX,
terj., Fauzan Saleh, Jakarta: Serambi, cet.
I.
108
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 8
TEOLOGI ISLAM
MODERNIS
stilah Islam modernis telah mendatangkan perhatian Iyang
besar dari kangalangan intlektual Islam, baik dalam rangka memberikan definisi maupun dari aspek tujuan pemikirannya. Bassam
Tibi melihat gerakan modernis Islam sebagai upaya untuk melakukan akulturasi budaya, yakni dengan melakuakn integrasi sains dan
teknologi modern ke dalam Islam sambil melakukan prevemtifiaksi atas konsekwensi negatif yang akan muncul dari penerapannya.1
1Bassan Tibbi, The Crisis of Modern Islam: A preindustrial Culture in the Scientific-Teknologikal Age, (Slat Lake City: The University of Utah Press, 1988), h. 1143.
109
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Sekularisme, alinasi dan ambruknya pilar-pilar moral atau
dekadensi spiritual masyarakat Barat merupakan implikasi
negatif dari sains dan teknologi modern. Itulah sebabnya
kaum modernis berusaha untuk mensistesiskan nilai-nilai
ruhani dan moral Islam dengan sains dan teknologi tersebut.
Sedangkan Mukti Ali melihat modernisme Islam sebagai
gerakan yang berupaya melakukan purifikasi agama dan
kebebasan berpikir. Maka Islam modernis adalah gerakan ke
arah puritanisasi untuk mengajak umat Islam kembali kepada
al-Qur‟an dan Sunnah serta mengajak untuk diberikannya ruang bagi akal untuk mengeksplorasi Islam
sepanjang eksflorasi tersebut tidak bertentangan dengan al-
Qur‟an dan al-Sunnah.2
Sementara itu Fazlur Rahman melihat Islam modernis
sebagai gerakan Islam yang berusaha menyesuaikan Islam
dengan pengaruh modernitas dan westernisasi di dunia Islam,
dengan cara re-interpretasi doktrin Islam agar relevan
dengan perkembangan dan perubahan zaman.3
Dari definisi diatas maka kita dapat memberikan identitas
kepada kelompok Islam modernis sebagai: pertama kelompok
yang menganjurkan ijtihad, terutama mengenai persoalan
muamalah atau sosial kemasyarakatan. Dalam upaya ini
mereka cenderung bersifat inklusif dalam melakukan
penafsiran, baik yang bersumber dari peradaban lain dengan
cara akulturasi, maupun dengan cara adaptif. Kedua dengan
2A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini,
(Jakarta: Rajawali, 19988). 3Fazlu Rahman, Islam, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1982), h. 215-216.
110
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
penekanan pada ijtihat, maka sudah pasti mereka tidak
membenarkan sikap jumud dan taklid buta, sebab yang
demikian tidak mencerminkan penggunaan akal, melainkan
sikap dogmatis belaka. Pelabelan diatas pada kelompo
modernis Islam dapat dilihat pada pandangan Fazlur Rahman
(Islam), A. Mukti Ali (Islam dan modernisme), Deliar Noer
(Gerakan Modern Islam).
Kaum modernis Islam dalam melakukan gerakan
reinterpretasi atau pembaharuan, lebih disebabkan oleh
perbedaan yang besar dan signifikan antara masyarakat Barat
dan Islam. Dimana Barat telah begitu maju dalam bidang
sains dan teknologi, ideologi-ideologi sosial politik modern,
HAM, kebebasan, pluralisme, demokrasi, sistem sosial yang
stabil dan lain sebagainya. Sehingga program-program
mereka adalah lebih mengarah pada permasalahan sosial
masyarakat, seprti pendidikan, kebudayaan dan status kaum
hawa. Satu yang paling melekat dari mereka adalah sikap
liberal dan pluralis, sebagai wujud dari sikap inklusif.
Dengan pandangan yang demikian, maka apa yang telah
ditetapkan oleh ulama terdahulu harus segera dilihat dalam
perspektif kekinian, dan jika tidak memadai untuk diterapkan
maka harus ditinggalkan. Selama ini umat Islam cenderung
mengobsolutkan pandangan ulama terdahulu dan merasa
semua permasalahan sudah tersedia dalam karya-karya
mereka, sehingga umat Islam tinggal membukanya. Hal ini
terlihat jelas terutama dalam masalah hukum fiqh dan kalam,
para pengikut suatu mazhab hukum enggan melakukan
ijtihad karena imam mazhab mereka telah menyediakannya
111
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
secara komprehensif. Salah satu dari peninggalam ulama
terdahulu yang mesti dikaji ulang adalah konsep ijmak.
Apa yang digambarkan oleh sejarah tentang Islam pada
masa klasik adalah Islam yang begitu maju dalam peradaban
dan kebudayaan yang besar di segala aspek kehidupan.
Dengan kata lain, secara historis dan sosial Islam ditangan
pemeluknya telah melakukan suksesi revolusi radikal.4 Dan
pada masa Islam klasik, lahir para filosof, teolog, sufi,
mufassir dan fuqaha‟.5 Semua itu merefleksikan Islam yang
termanifestasikan kedalam kehidupan sosial keduniawian
sehingga melahirkan peradaban dunia yang besar. Semua ini
merefleksikan bahwa Islam melihat kehidupan sosial-dunia
sebagai fondasi yang kuat untuk menghadapai kehidupan
akherat yang abadi.
Islam dalam keyakinan para pemeluknya pada masa-masa
awal dan klasik telah berperan sebagai penggerak bagi
4Hal inilah yang diilustrasikan oleh Robert N. Bellah
dengan: Dihadapan Nabi Muhammad masyarakat Arab telah
melakukan lompatan yang jauh kedepan dalam bidang sosial dan kapasitas politik. Pada saat struktur yang sudah dibentuk oleh Nabi tersebut dilanjutkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan prinsif pembentukan suatu
imperiom dunia, hasilnya kemudian adalah sesuatu yang sangat modern untuk masa dan tempatnya saat itu. Modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari rakyat biasa sebagai anggota masyarakat......, Sebagaimana yang dikutif dalam Nurcholish Madjit, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XI., h. 62-63.
5Untuk lebih jelasnya, baca, Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 25.
112
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
lahirnya etos intlektual dan kreatifitas umatnya sebagai
refleksi dari mengaktualisasikan eksistensi diri kearah hidup
yang lebih baik dan maju.6 Kondisi tersebut berbeda dengan
kondisi di era modern, dimana ummat Islam berada dalam
kemunduran dan perpecahan.
Berdasarkan keadaan faktual umat Islam inilah maka
muncul gerakan pembaharuan. Kelompok modernis Islam
mencoba melakukan dekonstruksi cara pandang terhadap
Islam. kelompok modernis ini lahir dari ide yang mereka
dapatkan pada pengalaman Modern Barat yang begitu maju
dalam segala aspek. Maka dari sini kita dapat melihat bahwa
Islam modernis bertujuan untu melakuakn gerakan relevansi
Islam dengan realitas sosial yang dihadapi umat Islam di era
modern ini. Sebelumnya dalam istilah Harun Nasution
disebut dengan tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam.7
Setelah itu muncul tokoh modernis seperti Fazlur Rahman,
Muhamad Arkoun, Abed Aljabiri dan lain sebagainya.
Gerakan modernis Islam di Negara-negara Islam tersebut
kemudian merembes ke Indonesia, terutama kelompok yang
6Dari sejarah Islam klasik ditemukan tokoh -tokoh
ilmuan, sufi dan filosof yang besar, yang karya-karyanya sangat berpengaruh di dunia bahkan di Barat, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan produk-produk canggih, hal ini terlihat dari istilah yang dipakai dalam ilmu dan teknologi yang dipinjam dari bahasa Arab yang kemudian diserap kedalam bahasa Inggris, seperti, Admiral, Alechemi, Alcphol, Alcpve, Alfalfal, Algebra, Algorithm, Alkali, Azimuth, Azure, Cpher, Coffee, Cotton, Elixir, Jar, Magazine, Nadir, Sofa, dan lain sebagainya. Nurcholish Madjit, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 69-70.
7Baca Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
113
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
merasa terpengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman. Seperti
apa bentuk pemikiran Islam modernis di Indonesia? Lahir
dari para tokoh muda Islam Ilndonesia yang telah berintraksi
dengan budaya luar, baik mereka yang mengenyang
pendidikan di Barat maupun di Timur Tengah. Namaun
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang
bersentuhan dengan ide dan budaya pemikiran sosial modern
Barat yang progresif. Sehingga begitu mereka kembali ke
Indonesia dan melihat situasi umat Islam yang begitu massif dan apatis, sementara gerakan modernisasi oleh
pemerintahan Orde Baru terus merambah kewilayah-wilayah
pelosok, namun ulama tidak mampu menyuguhkan nuansa
Islam yang aktual dan progresif, sehingga masyarakat seakan
tidak memiliki sistem nilai yang kuat dari Islam untuk
membendung arus modernisasi tersebut.
Menurut Saiful Muzani persoalan dasar yang terus
menerus dirasakan umat Isalam, minimal para intlektual
adalah kurang harmonisnya hubungan antara Islam sebagai
ajaran dengan kehidupan sehari-hari umat. Doktrin Islam
yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tidak
secara jelas dan eksplisit menjelaskan realitas umat. Itulah
sebabnya dibutuhkan penjelasan dan pemahaman yang
tingkat abstraksinya lebih rendah dan lebih elaboratif,
sehingga menyentuh ke persoala-persoalan kongkrit yang
terus berubah, dan metodenya adalah sebagian mengadopsi
teori-teori sosial modern Barat.8
8Saiful Muzani dkk, ‚Islam Dalam Hegemoni Teori Modernisasi: Telaah Kasus Awal‛ dalam Prisma (Majalah Pemikiran Politik, Sosial dan Ekonomi), NO. 1 tahun XXII, 1993, h. 73.
114
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Persoalan inilah yang kemudia mengantarkan Nurcholis
Madjid, Kuntowijoyo dan M. Dawam Raharjo Harun
Nasution, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid atau
Gusdur untuk melakukan ijtihad demi menemukan
mekanisme pemahaman yang tepat dalam konteks
pembangunan dan modernisasi yang berlansung di Indonesia.
Dengan menawarkan ide perubahan paradigmatik dalam
melihat Islam dan perubahan sosial. Mereka menganjurkan
ijtihad sebagai bentuk reinterpretasi Islam agar mampu
memberikan pijakan moral dalam proses pembangunan dan
modernisasi. Berbeda dengan kaum modernis Islam generasi
tua yang merupakan sisa-sisa fungsionaris kepengerusan
Masyumi, mereka cenderung merespons modernisasi dengan
cara repolitisasi Islam sebagai upaya menumbuhkan politik
Islam.9
Dilain pihak Islam dianggap sebagai penghambat
pembangunan oleh pemerintahan Orde Baru, sehingga para
tokoh Islam dimarjinalkan dalam proses pembangunan
tersebut. Umat Islam tidak diberikan Ruang yang luas untuk
mengekspreiskan diri. Sementara itu partai-partai Islam yang
berada dalam satu partai yakni PPP cenderung melakukan
politisasi atas Islam, ukuran keberislaman yang benar adalah
jika memilih partai Islam. Maka Caknur melakukan terobosan
untuk mendamaikan komplik tersebut dengan ide-ide yang
dicetuskan yang mengarah pada pendukungan terhadap
aspirasi dan unsur-unsur yang menopang
9M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia:
Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I., h. 25 -26.
115
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pemerintahan Orde Baru, seperti TNI, kelompok teknokrat,
dan intlektual, demi mewujudkan cita-cita pembangunan
Nasional, seperti stabilitas politik dan modernisasi
Indonesia.10
Mereka hadir dengan menawarkan perlunya
pembaharuan dalam Islam. Nurcholis dengan ide Keharusan
Pemabaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Nurcholis dengan kemampuannya dalam menguasai
Khazanah keilmuan klasik Islam dan modern Barat hadir
dengan tawaran yang integratif. Ia membedah Islam dengan
metodologi keilmuan Barat dan Islam. sehingga isu-isu sosial
yang menjadi titik yang dibidik oleh pemikirannya, seperti
pluralism, hak azasi manusia, pembangunan social,
pendidikan dan budaya dan lain sebagainya. Ijtihad yang
dikembangkan merupakan kombinasi dari dua paradigm
keilmuan, yakni keilmuan tradisional-klasik Islam dan
metode Barat modern.11
Dalam rangka menjelaskan hubungan doktrin Islam dan
umat Islam, Nurcholish banyak menggunakan pendekatan
sejarah peradaban Islam dan teori sosial modern, terutama
yang dikembangkan oleh Weberian dan Parsonian, melalui
sosiologi agama Robert N. Bellah dan antropologi budaya
yang dikembangkan Clifford Geertz. Semua itu dilakukan dengan pertimbangan epistemologis Nurcholish,
sebagaimana yang ia katakana: Ilmu pengetahuan baik yang
10Faozan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana
Islam Sunni di Indonesia Abad XX, h. 320. 11Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
(Jakarta: Paramadina, 1992), h. xvii.
116
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
alamiah maupun social adalah netral. Artinya tidak mengandung
nilai kebaikan dan kejahatan pada dirinya sendirinya senidiri.
Nilanya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau
menguasainya. Sebagaimana halnya dengan apa yang netral. Ilmu
pengetahuan dapat dipergunakan untuk tujuan yang bermanfaat
maupun yang merusak.12
Dari sini jelas Nurcholish melihat bahwa baik buruknya
ilmu pengetahuan bergantung pada orang yang
mempergunakannya, dan orang yang menilainya dari sudut
pandang yang dipergunakan. Apa yang dikatakan Nurcholis
ini ada benarnya, baginya Ilmu-ilmu sosial modern yang ada
di Barat sekarang juga jika ditelusuri secara geneologi
historisnya berasal dari berbagai wilayah dan budaya, dan
yang paling besar sumbanganya dalam ilmu pengetahuan
modern Barat tersebut adalah umat Islam. Umat Islam
merupakan orang pertama yang menginternasionalkan Ilmu
pengetahuan,13 namun begitu ilmu pengetahuan tersebut
dipegang oleh Barat, maka menjadi destruktif, karena ilmu
telah mengalami sekularisasi14 dan dipegang oleh ilmuan
yang tidak bertuhan. Maka mempergunakan kembali ilmu
sosial moderen Barat sekarang adalah sah-sah saja, karena
sama dengan mengambil kembali khazanah keilmuan Islam.
12Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: mizan, 1998), cet. XI., h. 268.
13Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 274-275.
14Renaisans juga merupakan abad dimulainya sebuah gerakan sekularisasi ilmu. Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), cet. I., h. 121.
117
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Namun dalam kondisi yang demikianlah seharusnya Islam
memaenkan peran sebagai penyelamat bagi etika ilmu
pengetahuan modern, sebab sumbangan Islam bagi ilmu
pengetahuan adalah faham tauhid. Ilmu pengetahuan modern
dari segi etika dan moral pada saat ini amat miskin15
Nurcholish menggunakan teori-teori sosial untuk
mengelaborasi ajaran Islam dan untuk mereaktualisisasi
tradisi Islam. Baginya modernisasi berarti merombak
mekanisme kerja yang tidak berlandaskan akal atau yang
tidak akliyah menjadi yang akliyah, yang berguna untuk
efisiensi yang maksimal. Hal itu harus dilakukan dengan
menggunakan temuan mutahir manusia dalam bidang ilmu
pengetahuan. Ia juga berpendapat bahwa modernisasi bagi
umat Islam di Indonesia adalah keharusan bahkan kewajiban
yang mutlak, modernisasi merupakan perintah dan ajaran
Tuhan.16 Namun sebagaimana yang dikatakan di atas, bahwa
Nurcholis adalah sosok yang memadukan antara Ilmu
tradisional Islam dengan ilmu sosial modern. Hal ini terlihat
dari padanganya tentang, bahwa pada masa Rasulullah dan
khalifah yang empat, umat Islam begitu modern, baik dalam
bidang ekonomi, bahkan Islam terlalu modern, sehingga system kelembagan sesudahnya tdiak mampu
mneyanganya.17
15Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, h. 276.
16Untuk lebih jelasnya, baca Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 172.
17Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Keimanan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xI.
118
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Khusus untuk masalah kemajuan ekonomi pada masa
Islam awal, Nurcholis melihat bahwa untuk konteks modern
saat ini pandangan teologi Asy‟ariyah tentang konsep kasb dilihatnya sebagai sistem yang dapat menumbuhkan etos
kerja umat Islam. Ia mengelaborasi konsep kasb ini denagn
apa yang telah dilakukan Weber terhadap penelitiannya
tentang sekte Calvinis. Baginya pengertian kasb tidak bisa
dipisahkan dari konsep zuhud atau asketisme.18 Bekerja keras
disertai sikap hemat, memungkinkan surplus dan saving yang
pada ahirnya akan berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi
umat.19 Dari sini tampak perpadauan yang apik antara
Tradisi Islam dan teori sosial modern Barat. Nurcholis
menganjurkan umat Islam untuk memahami dan mengetahui
agama dan bangsanya dengan baik, sebab diwilayah itulah
Islam akan ditelurkan menjadi system nilai yang
teraktualisasi sebagai pijakan melangkah dan bergerak.
Berbeda dengan ide modernis Harun Nasution, Ia melakukan
modernisasi Islam berangkat dari instansi pendidikan yakni IAIN
saat diangkat menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gerakan Islam modernis yang ia lancarkan pertamakali adalah
berjuang memasukkan matakuliah teologi dan filsafat di fakultas
Ushuluddin. Bagi Harun, umat Islam Indonesia menjadi
terbelakang karena Islam yang dikenal dan dijalankan hanya pada
perspektif hukum fiqh semata dan itupun terbatas pada mazhab Syafi‟I
18Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis Tentang Keimanan, dan Kemodernan, h. 481. 19Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis Tentang Keimanan, dan Kemodernan, h. 602.
119
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sedangkan dari segi teologi terpaku pada teologi Asy‟ari.
Dengan demikian Islam Indonesia adalah Islam hasil
pemahaman Syafi‟I dan Asy‟ariyah. Karena hanya dilihat dari
dua sudut inilah maka Islam dalam masyarakat menjadi
sempit, padahal Islam memiliki horizon yang sangat luas.20
Atas dasar kondisi inilah maka Harun mencoba
melakukan gerakan pembaharuan dengan menawarkan Islam
yang ditinjau dari berbagai Aspek, baik fiqh, kalam, teologi,
filsafat dan tasawuf.21 Namun agar tidak terjebak pada
pembaharuan yang patalistik dalam artian membabi buta,
perlu dilakukan klasifikasi atau pembedaan antara ajaran
Islam yang qath‟i dan yang zhanni, atau perlu dibedakan
ajaran yang obsolut dan relative.22
Islam memiliki ajaran yang mutlak dan tidak dapat diubah.
Namun pemikiran dan penafsiran manusia atau ulama atas Islam
harus tetap diuapayakan untuk dikoreksi.23 Menurut harun, selama
ini umat Islam hanya mengetahui dua bentuk nast, yakni yang qot‟i dan zhanni, masing-masing menurut wurut dan dalalahnya.
Padahal disamping menurut wurut dan dalalah, nast yang qot‟i dan zhanni itu bisa dilihat dari perspektif tampiz, sehingga nast yang qat‟i dalam
pelaksanaanya tidak selamanya qot‟i. Lebih jauh ia
20Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran,
h. 160. 21Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
(Jakarta: UI-Press, 1986). 22Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 tahun Harun
Nasution, h. 53 23Harun Nasutio, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
(Jakarta: UI-Press, 1986), jilid. II., cet. VI., h. 93.
120
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
menjelaskan, bahwa di dalam hukuk fiqh, hukum yang qhat‟i jumlahnya realtif sedikit. Ada bagian al-Qur‟an dan
al-Hadits yang tidak bisa disesuaikan dengan kondisi zaman,
berarti ajaran tersebut obsolut.24
Sedangkan dalam aspek aqidah, sebagian terdapat qhat‟i
al-dalalah dan sebagiannya zhanni al-dalalah dan zhonni al-
Wurut. Misalnya mengenai rukun iman yang enam, yakni
percaya pada qadhak dan qadar Allah. Bagi Harun ajaran ini
akan berdampak pada sikap patalistik, padahal kondisi
sekarang menuntut upaya dan kreatifitas mansuia, maka
masalah ini bisa disesuaikan dengan kondisi zaman. Hal ini
dimungkikan mengingat hadisnya bersifat zhanni al-wurut.
Dalam pandangan Harun rukun iman tidak berjumlah enam
melainkan lima, sebagaimana yang disebutkan dalam al-
qur‟an.25
Disamping itu Amin Rais yang dikenal dengan bapak
reformis Islam, sebagai sorang politisi dan adpokat, ia
menawarkan pembaharuan Islam dalam lima aspek. Pertama,
aspek aqidah. Hal ini dimaksudkan bahwa perlu adanya
24Contoh yang diajukan adalah maslah riba yang tetap
obsolut mesti sudah banyak orang yang melakuakan riba,
kemudian babi, walaupun di Barat babi tdiak haram dan dimakan
namun tdiak mendatangkan penyakit. Semua itu tidak bisa
dilakukan perubahan, dalam arti ajaran Islam yang obsolut
tidak bsia mengikuti perkembanagn zaman dan tidak bisa diubah.
Pada level zhonni al -dalalah inilah hukum bisa disesuaikan dengan perkembanagan zaman. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 tahun Harun Nasution, h. 54.
25Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 tahun Harun Nasution, h. 55.
121
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
tanzhiful aqidah atau furipikasi aqidah, pembersihan,
pemurnian, dari semua kekotoran yang bertentangan dengan
al-Qur‟an dan al-Sunnah. Kedua, pembaharuan dalam
Teologi Islam, yakni membumikan ajaran Islam kedalam
kehidupan kemasyarakatan, kehidupan sosial yang kongkrit.
Amin menganjurkan agar bentuk pemahaman teologi untuk
konteks sekarang tidak mesti seperti pembahasan teologi
pada masa awal kelahirannya, melainkan pembahasan teologi
yang relevan dengan permasalahan yang kita hadapi di era
modern ini. Ketiga, pembaharuan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini penting sebab tanpa ilmu dan
teknologi maka umat Islam tidak akan mampu menggapai
sebuah kejayaan, doa sapu jagat yang dilantunkan tidak akan
teralisasi, jika ilmu dan teknologinya tidak memadai.
Keemapat adalah umat Islam harus juga memodernisasi diri
dalam bidang organisasi dan menejemen. Kelima,
pembaharuan etos kerja yang lebih Islami dan Qorani.26
Ide-ide tersebut Amin Rais wujudkan dalam wadah
politik, dengan mendirikan partai, yakni Partai Amanat
Nasional (PAN). Sebetulnya Amin Rais telah memiliki wadah
dalam bentuk organisasi Islam Muammadiya. Namun wadah
tersebut dirasa tidak cukup untuk mengubah keadaan ummat
Islam, maka dengan mendirikan Partai Politik Amin Rais
berharap melalui kekuasaan semua itu bisa diwujudkan.
Namun upaya kekuasaan masih belum bisa terwjud juga, hal
ini terbuktidengan kegagalan Amin Rais menjadi Presiden
26Amin Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur
Kesenjangan, (Bandung: Mizan,1998), cet. III., h. 53 -59.
122
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
tahun 2009 dan pada tahun 2014 PAN gagal memenangkan
pertarungan politik.
Dilain pihak muncul Gusdur sebagai tokoh modernis
Islam Indonesia yang berdarah biru politik dan lahir dari
keluarga pendiri Nahdhatul Ulama (NU). Gusdur yang
terkenal dengan si aneh yang cerdas dan cendrung bersifat
memberontak atas apa yang sudah menjadi aturan, ia prontal
dan anti kemapanan. Banyak orang menganggap Gusdur
sebagai tokoh yang misterius lantaran susah untuk
memahami ide dan tingkah Gusdur yang terkesan masa bodo.
Akibat dari sulitnya memahami Gusdur kemudian banyak
gelar yang dilabelkan orang kepadanya, seperti politisi
sekuler, intlektual liberal, namun disisi lain ia dikenal sebagai
seorang figur religius. Namun orang bisa melihat Gusdur
sebagi tokoh Bangsa sekaligus agamawan yang humanis. Hal
ini misalnya terlihat dari upayanya dalam menyeru
pluralisme dan tolenransi, pahlawan kelompok minoritas
(cina Indonesia, kaum Kristen). Gusdur seorang Muslim yang
religius, figur mistis. Gusdur juga seorang yang menganggap
khazanah Islam klaisk sebagai khazanah yang penting dan dia
sendiri bangga dengan semua itu.27
Sebagai seorang yang pernah menjabat sebagai pengurus
PB NU dan sebagai keturunan lansung dari pendiri NU,
Gusdur tumbuh dalam lingkungan Islam Tradisional, namun
dalam tataran empirik terutama dalam kancah politiknya ia
terlihat sebagai sosok Islam yang sekuler. Lihat saja
27Untuk lebih jelasnya siapa gusdur baca, Greg Barton,
‚Memahami Abdurrahman Wahid‛, dalam, Prisma Pemikiran Gusdur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. I., h. xx-xiv.
123
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
anjurannya terhadap orang-orang NU yang ingin masuk
dalam kancah pemerintahan, dia menyeru NU untuk masuk
dalam pemerintahan atas dasar yang moderat dan
berwawasan kebangsaan, bukan Islam radikal. Sebab Gusdur
melihat Islam sebagai agama sosial yang menawarkan
tatanan sosial dan moral. Dalam hal ini ia membedah ajaran
al-Qur‟an pada aspek humanism, seperti egalitarianism atau
persamaan, konsensus, dan keadilan. Dari sinilah Gusdur
kemudian dianggap banyak kalangan sebagi tokoh
pembaharu, bapak demokrasi di Indonesia, bahkan ujung
tombak pembaharu dalam NU.28
Daftar Pustaka
Ali, A. Mukti, 1998. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali.
Anwar, M. Syafi’i, 1995. Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta:
Paramadina, cet. I.
Barton, Greg, 1999. ‚Memahami Abdurrahman Wahid‛,
dalam, Prisma Pemikiran Gusdur, Yogyakarta:
LKiS, cet. I.
Bassan Tibbi, Bassan, 1988. The Crisis of Modern
Islam: A preindustrial Culture in the
Scientific-Teknologikal Age, Slat Lake City:
The University of Utah Press.
28Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,
Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet.II., h. 349-350.
124
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Enjiner, Ali, Asghar, 2000. Devolusi Negara Islam,
terj., Imam Mutaqin, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet. I.
Feillard, Andree, 2008. NU Vis-à-vis Negara;
Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj.
Lesmana, Yogyakarta: LKiS, cet.II.
Kartanegara, Mulyadhi, 2002. Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan,
cet. I. _____, 2002. Menembus Batas Waktu: Panorama
Filsafat Islam, Bandung: Mizan, cet. I.
Madjid, Nurcholis, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Pae z,m zz ramadina.
_____, 1998. Keislaman, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, cet. XI.
_____, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Keimanan, dan
Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
_____, 1998. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, cet. XI.
Mudhdifir, Ali, 1988. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, Yogyakarta: Liberty, cet. I.
Muzani, Saiful, dkk, 1993. ‚Islam Dalam Hegemoni
Teori Modernisasi: Telaah Kasus Awal‛ dalam
Prisma (Majalah Pemikiran Politik, Sosial
dan Ekonomi), NO. 1 tahun XXII. Nasution, Harun, 1975. Pembaharuan Dalam Islam;
Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang.
125
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Nasution, Bakti, Hasan, 2001. Filsafat Umum, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. I.
Yazdi, Misbah, Taqi, Muhammad, 2003. Buku Daras
Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim dan Saleh
Bagir, Bandung: Mizan, cet. I.
Nasution, Harun, 2001. Pembaharuan Dalam Islam;
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, cet. I.
Nasution, Harun, 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspek, Jakarta: UI-Press.
Rahman, Fazlur, 1982. Islam, Chicago: The University of Chicago Press.
Rais, Amin, 1986. Tauhid Sosial: Formula Menggempur
Kesenjangan, Bandung: Mizan, cet. III.
Secularization, Swatos, H., William, dalam George
Ritzer (ed.) 2005. Encyclopedia of Social
Theory. London: Sage Publication, vol. I.
126
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 9
TEOLOGI
FUNDAMENTALISME-
RADIKALISME ISLAM
ANTARA PEMURNIAN, PENGUATAN
IDEOLOGI DAN TEROR
enurut Karn Armstrong, yang melatar belakangi Mmunculnya
gerakan fundamentalisme agama adalah rasa takut pada gerakan modernisme dan liberalisme sosial. Para elit agama melihat bahwa
sistem
sekuler diciptakan untuk menghapus agama, sehingga musuh
yang mereka hadapi bersifat internal, yakni gerakan
127
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pemikiran radikal dan liberal dalam masalah kebudayaan atau
kebangsaan mereka sendiri.1
Dengan lahirnya pemikiran liberal dan sekuler
dikhawatirkan menggeser peran agama dalam kehidupan
sosial masyarakat, agama menjadi termarjinalkan kedalam
urusan privat dan bersipat subjektif belaka. Akibatnya adalah
lahirnya gerakan kekarasan sebagai jalan pembelaan diri.
Namun jalan kekerasan agak jarang dipergunakan, justeru
yang lebih terlihat sebagai bentuk perlawanan adalah dengan
cara perjuangan untuk menerapkan hukum dan peraturan
agama dalam kehidupan sosial masyarakat yang telah dirusak
oleh kaum sekuler, sehingga nilai-nilai Ilahiyah akan
terwujud.2
Sejarah kemunculan Fundamentalsime Agama pada abad
modern justeru pada negara yang paling maju dari berbagai
aspek, Negara yang mengembangkan demokrasi dan yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia, yakni Amerika Serikat,
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 pada berbagai gerakan
keagamaan Kristen Protestan.3
Fundamentalsime Kristen AS hadir sebagai reaksi
terhadap gerakan modernisme Amerika yang sekuler.
1Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj. Fungky
kusnaendy Timor, (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 193 -194. 2Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, h. 195-196. 3Karn Armstrong, Berperang Demi Tuhan, terj., Sartio
Wahono dkk, (Bandung: Mizan, 2001), cet. 2., h. x. Istilah fundamentalisme diambil dari jidul buku The Fundamentals: a Testimony to the Truth, Jamesa Barr, Fundamentalisme, terj., Stephan Suleman, (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1996), cet. 2., h. 2.
128
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Disamping itu para tokoh Kristen berjuang untuk
menyelaraskan ajaran agama dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, evolusionisme dan liberalisme. Kaum
fundamentalis Gereja tetap berpegang teguh pada lima ajaran
mutlak Kristen, yakni: 1. Injil tidak dapat salah. 2. Ketuhanan
Yesus Kristus. 3. Yesus lahir dari Perawan Mariam. 4.
Penebusan dosa. 5. Kebangkitan kembali Yesus kedunia
secara fisik.4 Semua bentuk kemajuan yang lahir dari sains
dan perkembangan sosial kemasyarakatan yang bertentangan
dengan lima ajaran Gereja tersebut dianggap sebagai
ancaman.
Definisi Fundamentalisme Agama
Fundamentalisme secara etimologis berasal dari bahasa
Latin, yakni Fundamentum yang berarti “dasar”.5 Menurut Ernest Gellner, fundamentalisme Agama memiliki pengertian
yang luas, salah satunya dapat dimaknai sebagai integrisme
(bahasa Prancis) yang berarti kekakuan, gagasan dari
integrisme adalah iman harus dipegang teguh dan total,
difahami secara harfiah, tidak mengenal kompromi, tidak
mengenal reinterpretasi bahkan reduksi.6
4 Untuk lebih jelasnya, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I., h. 133 -142.
5J. B., Fozeman (ed); Encyclopedi and Dictionary, (M.A. London, 1974) sebagaimana yang dikutif dari Rifyal Ka’bah, Islam dan fundamentalisme, (Jakarta: Panjimas, 1984), cet. I., h. 1.
6Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme Antara fundamentalsiem Rasionalis dan Fundamentalisme Religius,
129
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Untuk tidak mengupas secara luas pandangan para tokoh
mengenai definisi fundamentalisme agama ini, dan sebagai
sebuah kesimpulan, bahwa fundamentalsime agama dimaknai
oleh para peneliti sebagai kelompok agama yang merespon
gerakan modernisasi atau perubahan sosial dalam kehidupan,
dan menyeru kepada kembali keajaran dasar agama secara
total, sebab agama tidak mungkin salah.
Fundamentalsime Islam
Sebagaimana disinggung diatas, bahwa pengalaman
fundamentalisme Kristen kemudian dibawa oleh para peneliti
untuk menamai gerakan kelompok Islam yang menentang
pemikiran yang bersifat pembaharuan dengan memasukkan
unsur-unsur modernisme kedalam tatanan sosial masyarakat.
Sehingga penerapan tersebut menjadi kontroversial saat
melabelkannya pada Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruenessen: “menerapkan terminologi
fundamentalisme pada Islam akan menimbulkan beragam asosiasi, sebab biar bagaiamanpun kita akan
mendeskripsikannya tetap akan menjadi ilusif dan sulit untuk
difahami”.7
terj., Hendro Prasetyo dan Nurul Agustina, (Bandung: Mizan, 1994), h. 13.
7Martin Van Bruenessen, ‚Fundamentalisme Islam Sesuatu
yang Harus Difahami atau Dijelaskan, dalam Imron Rasidi (ed) Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 63. Sehingga banyak kalangan yang tidak setuju dengan pelabelan fundamentalsime pada konteks Islam, seperti, Riffat Hasan dan Chandra Muzaffar.
130
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Itulah sebabnya banyak kalangan yang menolak untuk
dilabelkan pada agama Islam. Namun sudah menjadi sebuah
rahasia umum dalam kajian selama ini bahwa pelabelan
fundamentalisme pada kelompok Islam berdasarkan
kesamaan ciri, baik dalam prinsip dan prakteknya, seperti
yang diungkapkan oleh Ibrahim Abu Bakar melihat terdapat
beberapa kesamaan antara Fundamentalsime Kristen dengan
Fundamentalisem Islam, diantaranya: 1) penafsiran yang
literalis terhadap kitab suci. 2) fundamentalisme mirip
dengan sikap fanatisme, eksklusivisme, Radikalisme,
intolaran dan militant. 3) fundamentalisme menekankan pada penolakan terhadap modernisme, liberalisme, dan
humanisme. 4) kaum fundamentalsime melihat orang diluar
dirinya sebagai yang sesat dan kelompok merekalah yang
paling benar dalam menafsirkan agama.8
Dari kalangan umat Islam sendiri juga cenderung tidak
mau menggunakan istilah Fundamentalsime, seperti Yusuf
Qorddhawi memakai istilah Sahwah Islamiyah, Mohammed
Arkoun dengan istilah Islamawiyah,9 Hasan Hanafi dengan
istilah al-Usuliyyah Islamiyyah.10 Sedangkan yang melatar
belakangi lahirnya fundamentalsime Islam adalah hampir
sama dengan fundamentalsisme Kristen, yakni penolakan
8Seperti yang dikutif Hadimulyono, ‚Fundamentalisme: Istilah Yang Dapat Menyesatkan‛, Ulumul Qur’an, No., 3 Vol. IV, 1993, h. 5
9Mohamed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemoni Dalam Islam dan Postmodernise, (ed), terj. Jaohari dkk, (Surabaya: AL-FIKRI, 1999), cet. I., h. 209.
10Hasan Hanafi, Aku Bagian Dari Fundamentalsime Islam, terj., Kamran As’ad Irsady Mufliha Wijayanti, (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I., h. 107.
131
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
atas gerakan modernisme sekulerisme di negara Islam,
karena dipandang bertentangan dengan doktrin Islam. Jadi
fundamentalisme Islam lahir untuk membendung permasalah
internal yang diakibatkan oleh kelompok Islam sendiri yang
berusaha mengembangkan budaya modernisme sekulerisme
Barat.11
Apa makna fundamnetalisme Islam? Dalam
mendefinisikan fundamnetalisme Islam ini para peneliti
cenderung berbeda, diantaranya, seperti Musa Keilani
mendefinisikan fundamentalsime Islam sebagai gerakan sosial
dan keagamaan yang menyeru umat Islam untuk kembali
kepada prinsif-prinsif dasar Islam, kembali pada kemurnian
etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif,
kembali menjalankan hubungan yang harmonis dengan
Tuhan, manusia dengan masyarkat, dan manusia dengan
kepribadiannya sendiri. Jan Hjarpe mengartikan
fundamentalsime Islam sebagai keyakinan kepada al-Qur‟an
dan Sunnah sebagai sumber otoritatif yang mengandung
norma-norma politik, ekonomi, sosial, budaya untuk
menciptakan masyarakat yang baru. Sementara Leonard
Binder, fundamentalisme Islam sebagai aliran keagamaan
yang bercorak romantisme dan mengajak untuk kembali ke
masa awal Islam, kaum fundamentalis berkeyakinan bahwa
doktrin Islam bersifat lengkap, sempurna dan total, hukum-
hukum Tuhan diyakini mengatur segalanya.12
11Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai Fundamentalsime
Islam beserta tokoh-tokohnya, baca, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, h. 194-206.
12Sebagaimana yang dikutif dalam, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam;
132
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Sebagian lagi lebih melihat Fundamentalisme dari aspek
rigid dan riteralis dalam memahami agama. Seperti, Allan
Taylor melihat fundamentalsime Islam sebagai kelompok
yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan
reformasi keagamaan, bercorak literalis dan lebih
menekankan gerakan furitanisasi ajaranagama. Sementra itu
Bannerman melihat kaum fundamentalis sebagai kelompok
ortodoks yang bercorak rigid dan ta‟ashu yang bertujuan
untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad
klasik.
Daniel Pipes melihat fundamentalis sebagai kelompok
yang meyakini syariah sebagaia peraturan yang abadi
sepanjang zaman tampa melakukan reinterpretasi untuk
menyeselesaikannya dengan perkembangan zaman, sehingga
kaum fundamentalis sebagai kaum legalis yang konservatif.
Bassam Tibi mengartikan fundamentalis sebagai kelompok
yang menolak segala sesuatu yang baru dalam kehidupan
sosial selain dari apa yang sudah tersedia dalam doktrin
agama.13
Setelah memberikan definisi dari fundamentalisme, para
pengamat juga memberikan ciri bagi kelompok, seperti
Fazlur Rahman, baginya ciri yang melekat pada kelompok
fuindamentalis adalah sikap anti Barat dan anti modernisme.
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I., h. 16-17.
13Sebagaimana yang dikutif dalam, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h. 17-18.
133
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Kaum fundamentalis dilihat sebagai kelompok seloganistik
yang bersifat distingtif, namun pada dasarnya mereka anti
akan sains, sehingga pemikiran kaum fundamentalis sejatinya
tidak berdasarkan pada al-Qur‟an dan budaya intlektual tradisional Islam.14
Dari paradigma pemahaman yang rigid dan literalis
tersebut, kaum Fundamentalsime Islam menganggap Islam
sebagai agma yang total, sehingga tidak perlu lagi
memasukkan unsur-unsur luar Islam atau Barat untuk
menyelesaikan permasalaahan umat Islam. Yang perlu
dilakuakan adalah menerapkan hukum-hukum Islam menjadi
sebuah sistem nilai yang universal dalam hidup, baik dalam
masyarakat maupun Negara.
Kalau kita mengacu pada definisi dan ciri
Fundamentalisme Islam tersebut, maka untuk kasus Islam
Indonesia pada dasarnya mirip dengan gerakan pemurnian
Islam dari unsur-unsur ideologi Barat, terutama Amerika
Serikat dan unsur budaya lokal yang bersifat mistis, yang
dinilai masih berbau animisme dan mencerminkan ajaran
Hindu-Budha. Fundamentalisme Islam Indonesia terlihat
dalam gerakan furitanisasi yang dilakukan oleh ormas
Muhammadiyah, Salafi dan kelompok Front Pembela Islam.
Pemurnian Islam dari unsur budaya disebabkan oleh
peraktik keislaman yang bercampur dengan budaya lokal.
Islam Indonesia secara umum memang identik dengan
integrasi Islam dengan Budaya, hal ini disebabkan oleh
14Fazlur Rahma, Islam and Modernity; An Intlektual Transformation, (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1979), h. 162-169.
134
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
proses penyebarannya yang mengunakan media budaya atau
akulturasi dengan budaya lokal. Inilah ciri utama dari
gerakan Fundamentalisme Muhammadiyah. Sedangkan FPI
lebih mengedepankan gerakan ideologis dalam mewujudkan
dakwahnya.
Radikalisme Islam
Bila kita berbicara tentang perubahan sosial (social
change), pada umumnya kita akan menemukan tiga macam
pendekatan, yaitu pendekatan konservatif, radikal atau
revolusioner dan pendekatan reformis. Dalam pandangan
Islam, pendekatan konservatif jelas tidak diunggulkan,
konservatif biasanya didukung oleh kaum formalis dan para
pembela buta terhadap tradisi serta mereka yang tergolong
ulama salafi. Konservatisme mengarah pada pelestarian
tradisi dan berupaya untuk dijadikan sebagai sarana dalam menjawab permasalahan kehidupan sosial modern.
Pendekatan konservatisme tidak menghendaki adaya
perubahan dan "modernisasi" karena dianggap merusak
tatanan nilai tradisi yang digenggam. Sehingga tatkala akan
melakukan inovasi alternatif akan dianggap sebagai tindakan
yang salah. Keyakinannya adalah semua yang dicari umat
Islam sekarang sudah tercantum dalam khazanah tradisi yang
diwarisi.
Pendekatan radikal revolusioner mengarah pada
pencabutan tradisi sampai keakar-akarnya, dan menganggap
pelestarian tradisi sebagai penyebab stagnasi sosial. Padahal,
tidak semua tradisi berkonotasi dan bersubstansi negatif
destruktif. Adapun pendekatan reformis, sebagai jalan tengah
135
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
antara konservatif dengan radikal memang lebih dekat
dengan ajaran Islam, tapi belum sepenuhnya mencerminkan
pendekatan perubahan sosial seperti diajarkan oleh Islam
melalui nabi Muhammad. Reformisme menekankan
perubahan secara perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit
(pada tingkatan teoritis), akan tetapi dalam praktek sering
tidak dapat diterapkan, karena kekuatan internal dan
eksternal yang anti perubahan dan kemajuan memperoleh
waktu yang longgar untuk menyusun kekuatan guna
menjegal reformisme. Sejarah memang tidak banyak memberikan contoh yang menunjukkan keberhasilan
pendekatan reformisme dalam perubahan sosial.15
Saat Islam berintraksi dengan modernitas, umat Islam
terperanjat kaget, kaget karena sebelumnya mereka merasa
menjadi umat yang paling maju dalam budaya dan peradaban,
namun begitu Barat datang dalam bentuk kolonialisasi dan
inperialisasi, barulah mereka tertunduk malu. Barulah
dimulai apa yang diistilahkan sebagai kebangkitan Islam, atau
era modern Islam. Dalam konteks inilah kemudian muncul
berbagai respon yang ditonjolkan umat Islam sebagai bentuk
kebangkitan Islam.
Menurut khaled Abou El Fadl bahwa dalam rangka
merespon zaman modern, umat Islam terbagi kedalam dua
kelompok, yakni yang modert dan yang Puritan. Bagi
kelompok Modert, para pakar juga melabelkan dengan
istilah-istilah yang berbeda, seperti, modernis, progresif dan
reformis. Sedangkan kelompok puritan sering dilabelakan
15M. Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987),
Cet. 1, h. 136-137.
136
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dengan istilah, fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal,
fanatik dan jahidis.16 Namun semua istilah tersebut dinilai
kurang tepat. Sedangkan Fazlur Rahman melihat ada empat
bentuk kelompok, yakni Revivalisme Islam, neo-revivalis,
modernis dan neo modernis.
Adapun mekanisme atau pendekatan dalam merespons
modernisasi Barat di dunia Islam, Menurut Azyumardi Azra
terdapat tiga bentuk respon. Pertama adalah apologetik,
pembelaan terhadap diri dengan tetap mempertahankan
pandangan diri sebgai umat yang paling baik, sebab Islam
telah menyiapkan solusi bagi permasalahan yang dihadapi.
Maka pendekatan apologetik ini bersifat normative dan
idealistic, dengan mengabaikan realitas dan progresiofitas
fenomena dan problem social. Kedua adalah dengan cara
identifikatif, cara ini dibuat untuk identifikasi masalah-
masalah yang dihadapi guna merumuskan respon dan
identitas Islam. Ketiga pendekatan apirmatif, yakni bertujuan
untuk menegaskan kembali kepercayaan terhadap Islam dan
sekaligus untuk memperkuat kembali eksistensi umat Islam.17
Mengenal Islam Radikal
Sebetulnya usaha untuk mengatributkan atau melabelkan
istilah pada sebuah keyakinan, pendirian, idealisme dan
16Khaled Abou El fadl, Selamatkan Islam dari Muslim
Puritan, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006), cet. I., h. 27-31.
17Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. I., h. Iv-vi.
137
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
idiologi merupakan upaya yang sulit, hal ini disebabkan oelh
label-label tertentu hanya memberikan deskripsi dan tak
jarang merupakan bentuk klaim bahkan penghakiman.
Namun demi tercapainya sebuah pisau analisis terhadap suatu
fenomena, maka tindakan tersebut sah-sah saja asal sesuai
dengan teori dan indikator yang identik dengan
permasalahan tersebut.
Terkait dengan itu, maka secara etimologis, radikalisme
berasal dari kata radix, yang berarti akar. Seorang radikal
adalah seseorang yang menginginkan perubahan terhadap
situasi yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. A
radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws
of goverments. Seorang radikalis adalah seorang yang
menyukai perubahan-perubahan secara cepat dan mendasar
dalam hukum dan metode-metode pemerintahan. Jadi
radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap yang
mendambakan perubahan dari status quo dengan jalan
menghancurkan status quo secara total, dan menggantinya
dengan sesuatu yang baru sama sekali berbeda. Biasanya cara yang digunakan adalah revolusioner artinya
menjugkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui
kekerasan (violenceri) dan aksi-aksi ekstrim.18
Secara sosilogis bisa diterangkan bahwa radikalisme
kerap kali muncul bila terjadi banyak kontradiksi dalam orde
sosial yang ada. Bila masyarakat mengalami anatomi atau
kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan
masyarakat tidak mempunyai daya lagi untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, maka radikalisme dapat muncul ke
18 M. Amin Rais, Cakrawala Islam, h. 4.
138
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
permukaan. Dengan kata lain akan timbul proses radikalisme
dalam lapisan-lapisan masyarakat,19 terutama di kalangan
anak muda.
Sedangkan Istilah Islam radikal sampai saat ini belum ada
kesepakatan di antara pengamat Islam tentang istilah yang
tepat untuk menggambarkan gerakan Islam radikal. Istilah
yang paling umum adalah "fundamenalisme", guna
menunjukkan sikap kalangan muslim yang menolak tatanan
sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model
tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai doktrinal
Islam.20 Hal ini juga masih mendatangkan permasalahan yang
besar.
Meskipun demikian istilah fundamentalisme dipengaruhi
oleh pengalaman radikal Kristen Protestan.21 Untuk menghindari bias keagamaan, beberapa pengamat
menggunakan istilah tertentu yang bersifat sosiologis dan
19M. Amin Rais, Cakrawala Islam,, h. 5. 20Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan Dalam
Sejarah Islam, dalam Bahtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, h. 6.
21Fundamentalsime Kristen AS hadir sebagai reaksi terhadap gerakan modernisme Amerika yang sekuler, namun disamping itu para tokoh kristen berjuang untuk menyelaraskan ajaran agama dengan kemajuan ilmu pengetahuan, evlusionisme dan liberalisme. Kaum fundamentalis tetap berpegang teguh pada lima ajaran mutlak
Kristen, yakni: 1. Injil tidak dapat salah. 2. Ketuhanan Yesus Kristus. 3. Yesus lahir dari Perawan Mariam. 4.
Penebusan dosa. 5. Kebangkitan kembali Yesus kedunia secara fisik. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I., h.
133-142.
139
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
politis seperti "radikal, ekstrim, nasionalis keagamaan atau
cukup dengan islamis". Kesulitan menerapkan istilah ini juga
muncul dari kenyataan bahwa anggota gerakan radikalisme
keagamaan tidak pernah menyebut dirinya fundamentalis
atau istilah Arabnya Ushuliyyun.22
Media massa Arab biasanya menyebut mereka kaum
radikal atau ekstrim sedangkan Hasan al-Banna sendiri
selaku pendiri al-Ikhwan al-Muslimun, salah satu organisasi
keagamaan yang dikenal radikal menamakan dirinya
Salafiyah yang artinya secara harfiyah adalah orang-orang
terdahulu. Istilah ini secara teknis menunjukkan upaya
mengiktui perilaku keagamaan yang didasarkan al-Qur'an,
Sunnah Rasul dan praktik kehidupan orang saleh terdahulu.
23 Olever Roy menyebutkan gerakan Islam yang berorientasi
pada pemberlakuan syariat sebagai Islam Fundamentalis,
yang ditunjukkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin.
Hizbuttahrir, Jamaah Islamiyah, dan Islamic Salvation Front
(FIS).24
Namun istilah fundamentalis bagi John L. Espito terasa
lebih provokatif dan bahkan pejoratif sebagai gerakan yang
22Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan Dalam
Sejarah Islam, dalam Bahtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, h. 6. Lihat juga Martin E. Marty dan R. Scott Appleox (ed): Fundamentalism and the State, Remaking Polities, Economis and Militance, Chicago: The University of Chicago Press, 1993, h. 153.
23Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan Dalam Sejarah Islam, dalam Bahtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, h. 7.
24Olever Ropy, The Failure of Political Islam, London:
I.B. Tauris & Co. Ltd., 1994, h. 2.
140
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pernah dilekatkan pada Kristen sebagai kelompok literlis,
statis dan ekstrem. Pada gilirannya fundamentalisme sering
merujuk kepada kehidupan masa lalu, bahkan lebih jauh lagi
fundamentalisme sering disamakan sebagai ekstrimisme,
fanatisme politik, aktivisme politik, terorisme dan Anti
Amerika. Karena itu, John L. Es Posito lebih memilih
menggunakan istilah revivalisme Islam atau aktivisme Islam
yang memiliki akar tradisi Islam.25
Negarawan senior, Lee Kuan Yew menggunakan istilah
gerakan militan Islam ketika melihat militansi Islam secara
global yang berasal dari Negara Islam seperti Afganistan dan
Pakistan. Komentar Lee ditujukan dengan maraknya ormas
Islam yang siap jihad ke Afganistan seperti FPI, KISDI,
Majlis Mujahidin, dan PPMI. Istilah ini juga digunakan oleh
perdana menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dengan
menunjuk kelompok militan Islam di Malaysia (PAS dan
Mujahidin).26 Sedangkan Robert W. Hefner menggunakan
istilah anti liberal. Hefner secara jelas menunjuk DDII dan
KISDI sebagai kelompok Islam anti Liberal. Kelompok ini
tidak setuju dengan apa yang dianggap sebagai bias liberal
dilingkungan IAIN maupun DEPAG.27
25Dikutip oleh Khamani Zada, Islam Radikal Pergulatan
Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Bandung, Teraju, 2002, Cet. 1. h. 14 dalam buku Jhon L. Espito, Myth or Relity The Islamic Threat?, Oxford University Press, 1992 h. 7-8.
26Khamani Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas -ormas Islam Garis Keras di Indonesia h. 14.
27Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokraasi di Indonesia, Jakarta: ISAI, 2001, h. 197. Lihat juga Khamani Zada, h. 14.
141
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Sementara Abid al-Jabiri menggunakan istilah
ekstrimisme Islam. Kelompok Islam ekstrim biasanya
mengarahkan permusuhan dan perlawanan kepada gerakan-
gerakan Islam "tengah" atau moderat. Oleh Jabiri disebutkan,
musuh bebuyutan Islam ekstrim adalah kelompok yang
paling dekat dengannya. Islam moderat al-Jabiri
menunjukkan perbedaan dari gerakan Islam ekstrim dimasa
kontemporer ini. Gerakan-gerakan ekstrimis masa lalu
mempraktikkan ekstrimisme pada tatanan akidah, sedangkan
gerakan-gerakan ekstrim kontemporer menjalankannya pada
tatanan syariah dengan melawan mazhab-mazhab moderat.28
Muhammad Said al-Asmawi juga menggunakan istilah
ekstrimisme yang telah menjadi gejala global: menyebar
keseluruh pelosok dunia di setiap negara.29
R. William Liddle menggunakan istilah Islam
Skripturalis yaitu kelompok Islam yang tidak memandang
diri mereka terlibat terutama dalam kegiatan intelektual yang
mencoba mengadaptasikan pesan-pesan Muhammad dan
makna Islam ke dalam kondisi-kondisi sosial ke penghujung
abad dunia ke dua puluh ini. Menurut mereka pesan-pesan
dan makna itu sebagaian besar sudah jelas termaktub dalam
kehidupan, karena itu mereka cenderung berorientasi pada
syariat.30
28Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan
Syariah, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001, h. 139-140. 29Muhammad Said al-Asmuni, al-Islam al-Siyasi, Kairo:
Arabiyah li al Thiba'ah wa al-Nasyr, 1992, h. 166.
30R. William Liddle, Skripturalisme Media Dakwah, Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Polotik Islam di Indonesia Masa Orde Baru, dalam Mark Woodward (ed) Jalan Baru Islam,
142
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Berdasarkan pada muatan esensial yang relatif sama
antara istilah Islam fundamentalis, ekstrim, militan,
skriptualis, Islam anti liberal, maka lebih pas kita
menggunakan Islam Radikal yang menurut hemat penulis
selalu berorientasi pada karakteristik kekerasan yang tidak
pernah memandang kelompok yang di luar mereka berada
dalam koridor kebenaran.
Latar Belakang Munculnya Radikalisme Agama
Kiranya bukanlah sebuah organisasi kalau dikatakan
bahwa radikalisme agama sama dengan radikalisme sosial,
hanya dapat dipahami dalam kontek sosial tertentu. Apakah
dengan motivasi atau lebih tepat dengan kerangka pengertian
simbolik bahasa agama, atau dengan motivasi pembebasan
politik atau misalnya kepercayaan akan datangnya ratu adil,
sekelompok orang akan menjadi radikal dan ekstrem sebagai
reaksi atas sebuah situasi dan dalam sebuah konteks. Oleh
karena itu, sebuah penelitian tentang radikalisme agama
sudah tentu memerlukan pengetahuan sejarah, khususnya
sejarah agama yang bersangkutan.31
Jika kita hubungkan dengan fakta sejarah maka akan
ditemukan adanya kelompok-kelompok dalam Islam yang
berpandangan Fundamentalis, walaupun tidak sepenuhnya
muncul sebagai reaksi terhadap modernisasi, melainkan juga
Memetakkan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia , Bandung: Mizan, 1999, h. 304.
31Edy Kristiyanto OPM, Perspektif-perspektif Historis Tentang Radikalisme Religius dalam Agama Katolik, Dalam Radikalisme Agama, Bakhtiar Efendy (ed), Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, h. 45.
143
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
karena latar belakang politik, teologi dan lain sebagainya.
Dalam bidang teologi misalnya kita jumpai Khawarij,
kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap khalifah
Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah serta para pendukungnya
dari tokoh yang bertikai ini mengambil jalan penyelesaian
dengan cara arbitrase (damai) yang berakhir dengan
kemenangan dari pihak Muawiyah. Kelompok ini kemudian
menuduh orang-orang yang terlibat dalam arbitrase sebagai
kafir.32
Kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan
secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protesten, ternyata ditemukan juga dikalangan
penganut agama-agama lain di abad ke dua puluh ini. Karena
itu tidaklah mengherankan jika para sarjana orientalis dan
islamis Barat kemudian menyebut kecenderungan serupa di
kalangan masyarakat muslim sebagai "Fundamentalis Islam".
Disamping dihubungkan dengan Islam, istilah
fundamentalisme juga dihubungkan dengan agama-agama
lain, sehingga muncul istilah kaum "Fundamentalis Sikhs",
dan sebagainya. Tetapi berbeda dengan kaum
fundamentalisme Protestan yang memang menyebutkan
dirinya fundamentalis, kelompok-kelompok dengan
kecenderungan serupa di dalam agama-agama lain malah
menolak disebut sebagai kaum fundamentalis. Kelompok-
kelompok seperti itu, di Timur Tengah, lebih suka menyebut
diri mereka dengan istilah-istilah seperti Ushuliyah
32Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, h. 127-141.
144
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islamiyah (asas-asas Islam), Ba'ats Islam (Kebangkitan Islam)
atau Harakah Islam (gerakan Islam), sementara kelompok-
kelompok yang kurang menyukai mereka menyebutnya
Muta'asshibin (kelompok fanatic) juga Muthathrrifin
(kelompok radikal/ekstrim).33
Dari gambaran di atas tampaknya ada empat faktor yang
menyebabkan lahirnya kaum fundamentalis atau radikalis:
Pertama, karena faktor modernisasi yang dapat dirasakan
menggeser nilai-nilai agama dan pelaksanaanya dalam agama.
Kedua, karena pandangan dan sikap politik yang tidak sejalan
dengan sikap dan ideologi politik yang dianut penguasa.
Ketiga, kerena ketidakpuasan terhadap kondisi sosial,
ekonomi, politik dan sebagainya yang berlangsung di
Indonesia. Keempat, karena sifat dan karakter ajaran Islam
yang dianutnya cenderung bersifat rigid (kaku) dan literlis.
Karakteristik Islam Radikal
Secara personal orang-orang Islam mengidentikkan
dirinya dengan perjuangan-perjuangan berada dalam titik
krisis yang didalamnya ada aksi individu dapat menjadikan
segalanya berbeda. Karakteristik-karakteristik yang dimiliki
agama yang mengantarkan sosok spiritual ke dalam
kekerasan, tapi juga hal-hal lain yang mengitarinya: situasi-
situasi keras yang lebih meraih pembenaran kekerasan dan
ekstrimisme dalam agama mengarah pada kekerasan, yang
33Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme, Faktor dan Masa
Depannya, dalam M. Wahyu Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. 1, h. 98.
145
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pada waktu yang bersamaan komplik-komplik kekerasan
tersebut meneriakkan validasi keagamaan.34
Ketika komprontasi terhadap ekstrimisme agama
dicirikan sebagai perang kosmis, perang suci, jihad dan
seterusnya, maka: 1. Perjuangan dipahami sebagai sebuah
pertahanan indentitas dan kemuliaan yang mendasar. 2.
Hilangnya perjuangan yang tak terduga, juga akibat negatif
dari suatu perjuangan dipahami berada diseberang jangkauan
konsepsi manusia. Perjuangan bisa dipandang sebagai
pengambilan tempat pada tataran tranhistoris. Semakin
banyak tujuan-tujuan yang tak terwujud dan menjadi
pleksibel, semakin keras kemungkinan yang akan mereka
dewakan dan dipandang sebagai pemenuhan titah suci. 3.
Perjuangan yang buntu dan tidak dapat dimenangkan dalam
realitas atau term-term yang nyata.
Adanya ketiga karakteristik tersebut meningkatkan
keserupaan bahwa perjuangan di dunia nyata bisa saja
dipahami melalui term-term kosmis (jihad) sebagai perang
suci yang melahirkan ciri pemahaman radikalisme dalam
agama.35 Radikalisme sering menunjukkan sikap ekstrimisme
politik dalam aneka ragam bentuknya, atau usaha untuk
merubah orde sosial secara drastis dan ekstrim. Walauapun
tradisi menggunakan kekerasan dalam bentuk perang
merupakan sarana ampuh untuk membangun suatu bangsa
dalam sejarah peradaban manusia, namun sejarah
34Mark Juergensmeyer, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama (ed. Terj.), Jakarta: Mizan Press, 2002, Cet. 1, h. 214.
35Mark Juergensmeyer, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama, h. 214-217.
146
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
membuktikan tidak satupun agama yang meligitimasi apalagi
menganjurkan kekerasan. Sebagaimana agama Kristen, Islam
juga tampil sebagai gerakan reformis bukan agama
ekspansoris. Namun sejarah timbulnya kekerasan temporal
(negara) yang didirikan atas nama agama, tradisi kuno
melancarkan perang untuk mencapai kemenangan dan
penaklukan mewarnai negara-negara baru.36
Berpijak pada tataran sosiologis tersebut di atas
radikalisme dapat dicirikan dan ditandai oleh tiga
kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan
respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya
respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi penolakan
atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak
dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat
dipandang bertanggung jawab terhadap kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan,
melainkan terus berupaya mengganti tatanan-tatanan
tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Ciri ini
menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkadang suatu
program atau pandangan dunia (worl view) tersendiri. Kaum
radikal berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut
menjadi ganti dari tatanan yang sudah ada.
Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis terhadap
kebenaran yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama
dibarengi dengan penafian kebenaran dengan ssstem lain
yang akan diganti. Dalam gerakan sosial keyakinan tentang
kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan
36Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan Press, 1998, Cet. 4, h. 282.
147
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dengan cara-cara pencapaian yang megatasnamakan nilai-
nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan, akan tetapi
kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap
emosional yang menjurus pada kekerasan.37
Ciri-ciri radikalisme sosial di atas dapat dijadikan titik
tolak untuk memahami fenomena agama yang memiliki
pendekatan karakteristik. Tentu saja tiga ciri tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai patokan untuk menilai apakah
fenomena sebuah agama dapat dikategorikan radikal atau
tidak. Ketiganya semata-mata berfungsi sebagai working
hyipotesis untuk membantu melihat persoalan yang
mengandung kemiripan-kemiripan. Dengan kata lain, jika
suatu fenomena keberagamaan hanya memenuhi satu atau
dua ciri bukan berarti ia tidak dapat diasosiasikan dengan
radikalisme. Sebaliknya bila fenomena tersebut memiliki
criteria lebih dari tiga, ia juga tidak dapat dikeluarkan dari
kategori radikalisme tentunya kelonggaran ini perlu diberi
catatan yakni bila menang tidak dapat istilah lain yang
mampu menjelaskan.38
Pemikiran dan Gerakan Radikalisme Agama
Para radikalis telah kehilangan kesabaran terhadap atau
menolak para modernis. Ada garis halus yang sering
dilanggar antar tradisionalis yang kita sebut radikal
kepercayaan dan imannya. Perbedaannya terdapata pada
37Khamani Zada, h. 16-17, Lihat juga Bakhtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama, hal. 1.
38Khamani Zada, h. 16-17.
148
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
strategi dan gaya mereka. Strateginya dijelaskan oleh lebih
dari filasafat politik, karakter personal, usia dan gaya hidup
turut membedakan perbedaan ini. Beberapa radikalis bukanlah orang yang intelektual dan ingin
mengimplementasikan tatanan Islam melalui bersenjata dan
komprontasi. Biasanya mereka terdorong oleh kebencian dan
rasa jijik pada apa yang mereka sebut "Barat" banyak yang menghadapi bahaya menjadi misologis. Mereka
membangkitkan kemarahan dan kebencian dikalangan
muslim. Retorika mereka mengandung banyak populisme dan
dorongan untuk berbuat anarki, mereka ini bukanlah figur-
figur establisme dan seringkali ditolak.39
Golongan radikal memandang rendah para modernis dan
lalu oleh para modernis dicap sebagai fundamentalis dan
sebagian besar sarjana Barat, termasuk sarjana dari generasi
muda dan hanya lebih simpatik, ditolak oleh golongan radikal
karena tercemari oleh orientalisme.40 Fazlurrahman mendefinisikan sikap pemikiran mereka sebagai
fundamentalis posmodernis atau neo fundamentalis dan
menggarisbawahi sikap anti Barat.41
Kaum radikal berpikir dan mendambakan kesadaran
politik dalam maknanya yang tepat: menyadari identitas diri
sendiri berarti menyadari kekuatan-kekuatan institusional
39Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi
Islam (terj.), Bandung: Mizan, 1994, Cet. 4, h. 168.
40Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam, h. 169.
41Fazlurrahman, Islam and Modernity: Trasnformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University Presas, 1984, h. 136.
149
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
yang telah bekerja pada diri orang itu sendiri. Jalan menuju
pembebasan pribadi tidak bersifat privat atau melalui
meditasi namun lewat politik. Kesadaran berkembang lewat
tindakan yang sadar, reflektif, akurat. Pemisahan antara
pemikiran dan tindakan yang berorientasi pada pemahaman
agama yang diyakininya.42
Sejalan dengan itu Kuntowijoyo menyatakan bahwa
fundamentalisme Islam adalah gerakan anti industri, suatu
hal yang tidak disadari bahkan oleh pengikut
fundamentalisme itu sendiri, karena industrialisasi sudah
menimbulkan dampak negative seperti dominasi masa lalu
oleh masa kini, dominasi industri atas alam, dominasi bangsa
atas bangsa lain. Sejalan dengan itu kaum fundamentalis
memiliki karakter pemikiran berikut: 1) Kaum fundamentalis
ingin kembali ke zaman Rasul. Dalam berpakaian mereka
cenderung memakai jubah dan cadar dengan maksud untuk
menolak industri fashion . 'kesalahan' yang mereka lakukan
ialah menganggap fashion yang bersifat muamalah sebagai
akidah. 2) Kaum fundamentalis ingin kembali ke alam,
sebenarnya semboyan back to nature ini temannya, tetapi
dengan alasan lain misalnya, untuk menolak wewangian
buatan pabrik, kaum fundamentalis memakai bahan-bahan
alamiyah seperti siwak minyak wangi tanpa alcohol dan
sejenisnya. Kesalahannya sama dengan pertama. 3) Kaum
fundamentalis memiliki implikasi politik. Ini yang menyebabkan negara-negara industri mencap
fundamentalisme sama dengan terorisme. Negara-negara
42Michael Novak, Teologi Politik Radikal, Yogyakarta:
Jendela, 2000, Cet. 1. h. 137.
150
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
barat terutama Amerika Serikat melihat Iran, Libia, FAS, Al-
Jazair, Somalia dan Sudan sebagai sarang fundamentalis
sekaligus teroris.43
Daftar Pustaka
Akbar S. Ahmed, 1994. Posmodernisme Bahaya dan
Harapan Bagi Islam (terj), Bandung: Mizan,
Cet. 4.
Alwi Shihab, 1998. Islam Inklusif Menuju Sikap
Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, Cet.
4.
Armstrong, Karn, 2003. Islam Sejarah Singkat, terj.
Fungky kusnaendy Timor, Yogyakarta: Jendela,
cet. I.
Armstrong, Karn, 2001. Berperang Demi Tuhan, terj., Sartio Wahono dkk, Bandung: Mizan, cet. 2.
Azra, Azyumardi, 1996. Pergolakan politik Islam:
dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga
Post-modernisme, Jakarta; Paramadina, cet.
I.
Azra, Azyumardi, 1999. Konteks Berteologi di
Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta:
Paramadina, cet. I. Edy Kristiyanto OPM, 1998. Perspektif-Perspektif
Historis Tentang Radikalisme Religius Dalam
Agama Katolik, Dalam Radikalisme Agama,
Bakhtiar Efendy (ed). Jakarta: PPIM-IAIN.
43Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:
Mizan, 1997, Cet. 1, h. 49.
151
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Fazlurrahman, 1984. Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition,
Chicago: The University Presas.
Jhon L. Espito, 1992. Myth or Reality The Islamic Threat?, Oxford: Oxford University Press.
Khamani Zada, 2002. Islam Radikal Pergulatan Ormas-
ormas Islam Garis Keras di Indonesia,
Bandung: Teraju, Cet. 1. Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam,
Bandung: Mizan, Cet. 1.
M. Amin Rais, 1987. Cakrawala Islam, Bandung:
Mizan, Cet. 1.
Mark Juergensmeyer, 2002. Teror Atas Nama Tuhan,
Kebangkitan Global Kekerasan Agama (ed.
terj.), Jakarta: Mizan Press, Cet. 1. Mark Woodward (Ed), 1999. Jalan Baru Islam,
Memetakkan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan.
Martin E. Marty Dan Scott Apleox (Ed), 1993.
Fundamentalism and The State, Remaking
Polities, Economis and Militance, Chicago:
The University Of Chicago Press. Martin E. Marty Dan R. Scott Appleby, 1993.
Introduction, Fundamentalism Observed,
Chicago: University Of Chicago Press.
Michael Novak, 2000. Teologi Politik Radikal,
Yogyakarta: Jendela, Cet.1.
Muhammad Abid Al-Jabiri, 2001. Agama, Negara, dan
Penerapan Syariah, Yogyakarta: Fajar Pustaka.
152
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Muhammad Said Al-Asmuni, 1992. Al-Islam Al-Siyasi, Kairo: Arabiyah Li Al Thiba'ah Wa Al-Nasyr.
Olever Ropy, 1994. The Failure of Political Islam, London: I.B, Tauris & Co. Ltd.
R. William Liddle, Skripturalisme Media Dakwah,
Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik di
Indonesia Masa Orde Baru.
Robert W. Hefner, 2001. Civil Islam: Islam dan
Demokrasi di Indonesia, Jakarta: ISAI.
Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan
Dalam Sejarah Islam, dalam Bahtiar Effendy dan
Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta:
PPIM-IAIN.
Yusril Ihza Mahendra, 1996. Fundamentalisme, Factor
dan Masa Depannya dalam M. Wahyu Nafis,
Rekunstruksi dan Renungan Religius Islam,
Jakarta: Paramadina, Cet. 1.
Yusuf Al-Qardawi, 2001. Ekstrimisme Dalam Wacana Islam, Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-Isu Global,
Charterkhurzman (Ed), Jakarta: Paramadina, Cet. 1.
153
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 10
TEOLOGI
ISLAM LIBERAL
erdapat pandangan bahwa manusia merupakan Tmahluk homo
religius. Ini berarti bahwa beragama dan bertuhan adalah fitrah bahkan merupakan ontologi dari manusia itu sendiri. Agama telah menjadi
penuntun atau worldview manusia dan Tuhan sendiri adalah
tujuan itu sendiri. Nilai sakralitas dari agama berupa ritual-
ritual yang terkandung dalam doktrinnya diyakini sebagai
blue prin ajaran Tuhan. Manusia di dalam kehidupannya tidak
satu gerakan yang lepas dari agama itu sendiri. Betapa tidak,
Zat maha hidup Tuhan mengalir dalam diri manusia dan ruh
manusipun ditiupkan Tuhan, sehingga jazad yang ada
menjadi potensial dalam aktualisasinya di alam empirik ini.
154
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Demikianlah manusia tidak bisa berpaling dari agama dan
Tuhan.
Lalu bagaimana ajaran agama itu bisa difahami untuk
kemudian dipraktekkan dalam hidup dan kehidupan sebagai
worldview manusia? Maka jawabannya adalah memfungsikan
akal pikiran untuk memahami ajaran yang bersifat teks
bahkan yang berupa alam mayapada yang begitu menawan
dan misterius ini. Keduanya adalah kitab Tuhan yang mesti
difahami sebagai jalan untuk memahami Tuhan itu sendiri.
Namun upaya kearah pemahaman agama paling banyak
dilakukan pada subyek teks kitab suci agama. Dari teks inilah
para ulama mengkaji agama untuk selanjunya diterapkan
sebagai prakteks dalam kehidupan, entah sebagai hukum,
pembedaan mana perintah kebaika dan laranga keburukan
dan lain sebagainya. Pemahaman teks keagamaan terus
berklembang seiring dengan perkembangan peradaban
manusia itu sendiri.
Islam sebagai agama yang memiliki kitab suci al-Quran
dan sunnah Nabi kemudian menjadi rujukan dalam
memahami ajarannya, disamping ijtihad akliyaha yang
dilakukan oleh umat Islam sendiri apa bila rumusan dan
legalitas masalah tidak ditemukan pada kedua sember
tersebut. Dan fitalitas ijtihad ini pernah dipraktekkan oleh
umat Islam pada abad klasik atau pertengahan.1 Namun
seiring perkembangan zaman dan keterlenaan para elit Islam
menikmati kemegahan kekuasaaannya, umat Islam kemudian
1Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemimikiran dan Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), cet. 14. h. 5.
155
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
terpuruk dan jatuh kelembah kemunduran. Agama kemudian
hanya dijadikan lejitimasi kekuasaan penguasa Islam. Ijtiha
ditutup dan fiqh menjadi standar kebenaran dalam Islam.
Reduksi Syari‟at ke dalam fiqh ini kemudian berbuah
kemandulan kreatifitas umat Islam, pemikiran dibatasi jangan
sampai bertentangan dengan hukum yang sudah ada dalam
mazhab masing-masing. Penafsiran al-Quran pun dimonopoli
oleh ulama fiqh, sehingga begitu Islam bersentuhan dengan
abad modern, umat Islam menjadi badut budaya modern
Barat, konsumen pemikiran, budaya dan sains serta teknologi
Barat.
Maka melihat kondisi tersebut sebagian elit Islam mulai
bangkit dan berupaya melakukan ijtihad namun tetap pada
segelintir orang yang memiliki otoritas atau yang sudah
ditunjuk oleh Negara, sehingga tetap menghasilkan
kegagalan. Namun di lapisan bahwah atau kelompok yang
diam namun progresit muncul para pemikir Islam yang
mencoba melakukan pembaharuan, karena melihat kegagalan
kaum ortoksi dalam mentrasformasikan Islam di ranah sosial
atau konteks zaman.2 Secara garis besar dapat kita katakan
bahwa dalam merespons kondisi zaman modern ini, umat
Islam memakai dua pendekatan, yakni dengan tetap
mempertahankan metode dan ajaran Islam klasik dan
kelompok yang mencoba memakai pendekatan keilmuan
Barat.
2Untuk lebih jelasnya tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam,
baca Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemimikiran dan Gerakan.
156
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Dari kedua kelompok ini yang akan dikaji dalam tulisan
ini adalah kelompok Islam yang mencoba mengadopsi dan
menerapkan sistem keilmuan modern untuk membedah
Islam, disamping tetap memakai metode Islam klasik. Kedua
pendekatan ini diklasifikasi menjadi sintesis yang dijadikan
media transformasi Islam kedalam kehidupan modern. Atau
mengkontekstualisasikan Islam dengan kondisi zaman. Atau
bisa dikatakan kelompok yang berangkat dari realitas empirik
untuk selanjutnya melihatnya pada teks, atau bisa saja tampa
dikembalikan pada teks namun mengacu pada subtansi dari
realitas yang ada.
Sejarah dan Pengertian Islam Liberal
Liberal merupakan istilah yang dipakai oleh Charles
Krzman dalam bukunya Liberal Islam; a Source Book. Dalam
buku ini termuat beberapa tokoh Islam kontemporer yang
dilihat sebagai pemikir liberal, progresif, indevenden, kritis
dan modern. Sebelumnya terdapat buku yang ditulis oleh
Leonard Binder Islamic Liberalizm. Dan dalam buku Albert
Hourani Arabic Thought in The Liberal Age. Istilah Islam
liberal sejatinya didasarkan atau mengacu pada kesadaran
akan pentingnya sebuah gerakan memikirkan dan
menafisrkan Islam secara kontekstual, kritis, dinamis,
progresif dan modern. Maka dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa Islam liberal merupakan kelompok Islam yang
mencoba melakukan ijtihad secara bebas dalam arti tidak lagi
mau dipenjara dalam sistem pemahaman keislaman yang
sifatnya diwarisi dari Islam klasik saja, atau kelompompok
Islam yang mencoba lepas dari penjara tradisi dalam
157
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
memahami agama dan melihat realitas kehidupan. Atau
kelompok Islam yang mengusung kebebasan dalam
melakukan ijtihad dalam artian tidak dimonopoli oleh kaum
tua atau ulama semata.
Dalam sejarah kebangkitan pemikiran Islam di Negara-
negara Arab pada masa modern, maka akan ditemukan
pemikir modern liberal dari Mesir Rif‟at Tahtawi. Dan
mencapai puncaknya pada masa Muhammad Abduh. Dari
Abduh inilah kemudian muncul pemikir Islam yang
melahirkan ide-ide modernis dan liberal terutama yang
beraliran kiri seperti Qasim Amin dan Ali Abdul Razik. Dan
pada masa kontemporer saat ini, kita menemukan tokoh-
tokoh seperti Hssan Hanafi, Mohammed Arkoun, Muhammed
Abed Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Ali Abdul
Razik, Mahmud Thaha, dan Abdullah Ahmad Na‟im.3
Inti dari Islam liberal adalah meramu Islam berdasarkan
realitas dan kondisi globalitas zaman yang empirik, dengan
cara melakukan reinterpretasi Islam agar sesuai dengan
kondisi zaman yang ada. Mereka berangkat dari realitas baru
ke pada teks, naumn teks agama tidak dijadikan sebagai
legitimasi atas realitas yang ada, melainkan yang ingin
dilakukan dengan cara tersebuta adalah adanya sebuah
pemahaman yang lebih aktual dan progresif sehingga agama
menjadi tidak kering dan mandul, atau agama tidak menjadi
penghalang bagi pluarlisme. Agama tidak lagi menjadi alasan
untuk memarjinalkan perempuan, agama tidak lagi menjadi
3Ahmad Sahal dkk, ‚Akar-akar Liberalisme Islam;
Pengalaman Timur Tengah‛ dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, h. 158-159.
158
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
penghalang bagi demokrasi, agama tdiak lagi menjadi penjara
bagi kebebasan dalam mengekspresikan keyakinan dan
peribadatan masyarakat.
Sedangkan dari segi sejarahnya, Islam liberal dengan
pengertian kebebasan berpikir dalam memahami doktrin
Islam yang termaktub di al-Qur‟an dan al-Sunnah sudah
ditemukan pada Islam awal4 seperti keberanian Umar Bin
Khattab dalam pembagian barang hasil rampasan perang.
Umar melakukan pembagian harta rampasan tersebut tidak
berdasarkan atas apa yang ada dalam al-Qur‟an surah al-Anfal 41 yang telah dilakukan nabi Muhammad.5
Kebanyakan dari umat Islam klasik yang memiliki
keberanian yang sifatnya melampaui kebiasaan umum dalam
menafsir al-Qur‟an dan sunnah adalah para filosof Islam, seperti Arrazi, al-Farai dan Ibn Rusyd menggunakan
4Yang dimaksud dengan Islam liberal dalam hal ini pada
masa awal adalah, bahwa ontologi dan primordialitas Islam adalah wahyu al-Qur’an dan ini menujukkan bentuk Islam yang sangat sederhana. Namun begitu Islam dikembangkan dalam
bentuk penafsiran oleh Nabi, para sahabat, dan seterusnya, Islam menjadi agama yang kompleks, munculnya beberapa aliran dan mazhab menambah rumit dan kompleknya Islam. Dari sini dapat dikatakan bahwa Islam liberal dalam konteks
historisnya merupakan sebuah gerakan pemikiran dalam rangka memahami Islam untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Nabi, sahabat dan mazhab menafsirkan Islam dalam ruang budaya dan sejarah dan berdasarkan pada masalah yang
dihadapi. Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002), h. xxiv.
5Mengenai tindakan pemikiran yang dalam prakteknya tidak berdasarkan pada al-Qur’an, baca, Ahmad Sahal dkk. ‚Umar Bin Khattab dan Islam Liberal‛ dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, h. 4-8.
159
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
silogisme Aristoteles sebagai metodologi burhani untuk
melakukan pengkiyasan atau ta‟wil untuk memahami ayat-ayat al-Quran yang mutasyabihat. Kemudian para sufi
dengan pendekatan esoterisnya melakukan peribadatan
kepada Tuhan dengan cara melampaui kebiasaan praktek
ibadah dan pemahaman umat Islam. Dari aliran kalam Islam
terdapat kelompok Mu‟tazilah yang melihat akal sebagai yang fundamental dalam memahami Islam.
Dari paparan historis tersebut jelas bahwa upaya kearah
pemahaman Islam yang kritis dan indevenden memiliki
akarnya dalam Islam awal dan klasik. Bagaimana dengan
Islam saat ini, yang memiliki masalah yang lebih kompleks,
yakni berhadapan dengan progresifitas budaya, baik
pemikiran, politik, ekonomi, sains dan teknologi, HAM,
Gender, kemiskinan dan kebodohan, dan lain sebagainya.
Semua itu mengindikasikan sebuah upaya ijtihad yang lebih
mendalam dan progresif.
Islam Liberal di Indonesia
Pembaharuan pemikiran dan cara pandang terhadapa
Islam di Indonesia, menurut Azyumardi Azra dapat
ditemukan pada tokoh-tokoh empat Sumatra di Aceh.
Sedangkan menurut M. Dawam Raharjo, awal mula sejarah
kesadaran dan kebangkitan Islam di Indonesia pada era
modern dapat ditemukan pada pemikiran dan gerakan Raden
Aria Wiratmaja yang mendirikan Hulp en Sparbaank de
Inlandse Bestuur Ambtenaren pada tahun 1895. Inilah yang
menjadi embrio bagi lahirnya Bank perkreditan rakyat
sebagaimana kita temukan saat ini dengan modal dari kas
160
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Masjid untuk menolong kaum pribumi yang miskin. Gerakan
perubahan pemahaman dan gerakan sosial keagamaan umat
Islam Indonesia dari sejak pra merdeka sampai merdeka
memiliki empat jenis gerakan, yakni: 1) Islam sebagai
gerakan kaum pribumi Indonesia. 2) Islam sebagai gerakan
politik kebangsaan. 3) Islam sebagai gerakan ekonomi kaum
pribumi. 4) Islam sebagai gerakan sosial.6 Di era reformasi
sampai sekarang, muncul tokoh-tokoh muda Islam yang
terhimpun dari berbagai golongan dan propesi, yakni dari
kalang NU, Universitas Paramadina, Aktivis Jurnalis, IAIN.
Diantara mereka muncul sebagai tokoh Islam Liberal
Indonesia. Mereka menafsirkan sejarah dan doktrin Islam
menjadi parallel-konektif dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang berkembang di Indonesia, dan pluralisme kebudayaan
modern.7 Prinsip demokrasi dan humanis inilah yang menjadi
pegangan bagi Islam Liberal di Indonesia.
Islam Liberal di Indonesia yang mengedepankan
semangat humanis, egalitarian, toleransi dan demokrasi,
menuntutnya untuk melakukan penafsiran atas ajaran Islam
yang dianggap sudah mapan sebagai ajaran yang tidak bisa
dikotak katik, terutama pada aspek hukum Fikih.
Kemunculan tokoh-tokoh muda Islam Liberal seperti Ulil
Abshar Abdalah, Zuhairi Misrawi dan lainnya membuat
aliran ini menjadi kontropersial di kalangan ulama dan
6M. Dawam Raharjo, Intlektual Intlegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), cet. IV., h. 217-255.
7Denny J.A., dkk ‚Berharap Kepada Islam Liberal‛ dalam dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, h. 20.
161
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
intlektual Islam. Pelabelan sebagai faham dan pemikiran
sesat adalah sesuatu yang lumrah bagi Islam Liberal. Namun
yang menarik dari tokoh muda Islam Liberal adalah
penguasaan mereka yang tinggi terhadap khazanah keilmuan
Islam klasik. Mereka kebanyakan mengenyang pendidikan di
pesantren.
Daftar Pustaka
Assyaukanie, Luthfi, 2002. Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL.
Nasution, Harun, 2003. Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemimikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Raharjo, M. Dawam, 1999. Intlektual Intlegensia dan
Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan
Muslim, Bandung: Mizan, cet. IV.
162
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 11
TEOLOGI ISLAM
SPIRITUALIS
KESATUAN TEOLOGIS UNTUK HARMONIS
Sebab Kelahiran Islam Spiritualis
slam sebagai agama selain bersipat holistik juga bersifat
Idualistik, seperti konsep baik dan buruk, pahala dan dosa, surga dan neraka. Bahkan Islam sendiri mengandung
dua dimensi, yakni lahir dan batin atau eksoteris (syari‟at) dan esoteris (tasawuf). Manusia sebagai mahluk Tuhan juga
memiliki dua dimensi tersebut, dimensi lahir dan batin, dimesi material dan spiritual. Dualisme dalam diri manusia terlihat pada sisi tersebut, yakni jiwa dan jasad. Berdasarkan watak manusia yang demikianlah agama hadir memberikan kebutuhan untuk
memenuhi kedua dimensi
163
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
manusia tersebut. Agama hadir berdasarkan kebutuhan yang
amat manusiawi, paling tidak dari segi emosional manusia itu
sendiri.1
Atas dasar dualisme Islam dan manusia itulah maka
dalam sejarah Islam ditemukan kelompok-kelompom yang
mengembangkan perjalanan Tauhidnya dengan dua bentuk
tersebut. Ada kelompok Islam yang formalistik-ritualisti atau
Fiqh dan ada Islam yang esotoris-sufistik. Khusus untuk
Islam esoteris telah terdapat beberapa tokoh sufi yang begitu
gemilang dalam melahirkan corak Islam esoteris. Dan yang
menarik dari para sufi ini, sebagaimana yang dikatakan oleh
Harun Nasution bahwa, mereka merasa puas dengan jalan
pendekatan kepada Allah melalui ibadah ritual seperti, solat,
puasa dan lain sebagainya, itulah sebabnya mereka kemudian
mencari jalan lain yakni tasawuf, yang bertujuan untuk
memperoleh hubungan lansung dengan Tuhan bahkan
menyatu dengan Tuhan, yakni dengan lahirnya sebuah
kesadaran akan adanya komunikasi antara roh manusia
dengan Tuhan melalui jalan asketik, kontemplasi atau
menghindar dari kenikmatan duniawi.2
Apa relevansinya dengan Islam spiritualis-sufistik untuk
konteks sekarang? Sebagaimana yang telah diungkapkan di
atas, bahwa Islam sebagai agama memiliki dua dimensi, yakni
1Azyumardi Azra, ‚Intraksi Agama dan Kebudayaan‛ dalam pengantar, Fachry Ali, Agama, Islam, dan Pembangunan, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I, h. 10.
2Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1986), jilid. II., h. 71. Dalam buku ini termuat juga asal-usul tasawuf Islam beserta ajaran-ajaran dan para tokohnya.
164
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
lahir dan batin. Maka Islam spiritualis-sufistik merupakan
suatu gerakan keislaman yang mencoba hidup dan beribadah
berdasarkan dimensi batiniyah dari Islam tersebut, dengan
jalan inilah mereka beribadah dan membersihkan jiwa agar
menyatu dengan Zat yang Maha Kuasa. Latar belakang
kelahiran dari Islam spiritualis-sufistik dapat dilihat dari
permasalahan ubudiyah dan sosial kemorderenan, seperti: a)
Pengamalan Islam yang formalistik oleh hukum fiqh, namun
tidak sampai pada hakekat solat tersebut. b) kecintaan
terhadap dunia dalam beragam aspeknya dan bentuknya. c)
pandangan yang inklusif dalam menemukan persamaan
dalam perbedaan agama, dengan pandangan bahwa inti dari
semua agama adalah satu, Tuhan yang sama dan satu.3
Menarik untuk mengelaborasi Tasawuf Islam ini secara
lebih luas dan komprehensif sebagai dasar kajian historis kita
untuk melihat kebangkitan Islam spiritualis atau sufistik di
era modern khususnya dalam konteks Indonesia.
Sejarah Kemunculan Tasawuf di Dunia Islam
Tasawuf lahir disebabkan oleh ketidak adilan dalam dunia
politik Islam di awal abad pertama hijriyah, disini tasawuf berperan sebagai refleksi perlawanan terhadap
penyimpangan dari syari'at Islam oleh pemerinta.
Pemerintah saat itu secara praktis hanya menjadikan Islam
sebagai legitimasi kekuasaan. Gerakan ini kemudian meluas
ke berbagai belahan dunia Islam, dengan tujuan untuk
3Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan Perspektif Pirenialis, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I., h. 15.
165
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
mengembalikan ajaran Islam yang ortodoks berdasarkan
pada apa yang disampaikan Muhammad. Para sufi melakukan
gerakan dakwah dan pemurnian Islam dengan menjunjung
tinggi pesan Islam.4
Teori tentang asal usul tasawuf dalam Islam masih dalm
perdebatan, seperti ada yang mengatakan dari: a) pengaruh
Kristen dengan paham menjauhkan diri dari dunia dan hidup
mengasingkan diri dlam biara-biara. b) Falsafah mistik
Pythagoras terutama dalam pandnagannya tentang roh yang
bersifat kekal dan berada di dunia sebagai yang asing. c)
falsafah emanasi Platonius, dengan pandnagan bahwa wujud
yang ada merupakan pancaran dari Zat Tuhan, roh berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, tetapi karena
roh terlempar ke alam materi, maka roh menjadi kotor, dan
untuk kembali ke asalnya roh harus terlebih dulu disucikan,
yakni dengan cara meninggalkan kehidupan dunia dan
mendekat kepada Tuhan. d) ajaran Budha tentang nirwana.
Untuk mencapai nirwana seseorang harus meninggalkan
dunia dan hidup dnegan kontemplatif dan asketik. e) dan
ajaran Hinduisme, terutama ajaran tentang persatuan
manusia pada atman dengan Brahman.5
Sedangkan geneologi dari kata tasawuf itu sendiri, masih
menyisakan perdebatan di antara para pengkaji, ada yang
mengatakan tasawuf dikaitkan dengan jenis pakaian yang
4Said Agil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial
Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), cet. I., h. 34.
5Untuk lebih jelasnya baca, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), cet. Ke-12., h. 44-45.
166
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
kasar yang disebut shuff atau wool. Pakaian wool menjadi ciri
pakean para zahid yang menjadi simbol dari kesederhanaan.
Korelasi antar pakaian wool dengan kesederhanaan hidup
para zahid memang relevan, karena para sufi pada masa-masa
awal relatif menjauhkan diri dari kemewahan materi, karena
diaanggap sebagai penghalang untuk mencapai kedekatan
dengan Allah. Bahkan Memakai pakean wool kasar sudah
menjadi kebiasaan dan identitas orang-orang saleh sebelum
datangnya Islam. Sehingga menurut Ibn kholdun kata sufi itu
merupakan kata jadian, sehingga berasal dari kata showf,
sebab para sufi sering memakai pakian dari bulu domba,
sebab dengan pakain yang sederhana dan kasar tersebut
dimaksudkan untuk menentang orang-orang yang suka
berpakaian mewah.6
Di samping itu ada yang mengatakan bahwa kata tasawuf
berasal dari bahasa Yunani, yakni sophos, yang berarti hikmah
atau kemulyaan. Dikatakan demikian, karena para sufi dalam
hidupnya selalu mencari hakekat atau hikmah. Pendapat lain
mengatakan bahwa kata sufi diambil dari kata shafa atau
shfwun yang berarti bening hal ini diidentikkan dengan
kejernihan dan kesucian hati para sufi. Kata tasauf juga
diambil dari kata shaff atau barisan terdepan, karena para sufi
dalam mencari keredhaan Allah selalu paling depan dan tidak
mau ketinggalan.7
Sedangkan definisi tasawuf juga mengundang perbedaan
pendapat. Diantranya, Ibrahim Basuni memberi definisi
6Ibn Kholdun, Muqaddimah, h. 624. 7Julian Beldick, Mystical Islam: An Introduction to
Sufism, I. B., Tauris & Co Ltd, London, 1992. h. 30-32.
167
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
tasawuf setelah menghimpun beberapa definisi dari para
pengamat, kateogori pertama tasawuf dimaknai sebagai al-
Bidayah, yakni manifestasi dari kesadaran spiritual manusia
tentang dirinya sebagai mahluk Allah. Ketegori kedua adalah
al-Mujahadah sebuah amaliah dan latihan dengan satu tujuan,
yakni berjumpa dengan Allah. Kategori ketiga adalah al-
Madzaqot sebuah pengalaman tentang apa yang dialami dan
dirasakan seorang sufi, apakah ia melihat Allah, atau
merasakan kehadiranNya dalam hatinya atau merasa bersatu
denganNya. Dari pendekatan yang ketiga ini tasawuf
kemudian diartikan sebagai al-Ma'rifatu al-Haq.8
Berdasarkan pemaknaan di atas kita bisa memaknai
tasawuf sebagai jalan Ruhani menuju Ilahi, sebuah jalan dan
bentuk kesadaran spiritual seorang hamba untuk
mendapatkan pencerahan, sakralitas diri dan kemulyaan
dihadapan Allah, sehingga dengan kemulyaan tersebut
seorang hamba akan memiliki kualitas spiritual dengan
beragam manifestasi dalam hidupnya, entah ia merasakan
kedamain, dibukakan ijab, dan mendapatka ilmu pengetahuan
eksistensial dari Allah, bahkan memiliki karamah yang luar
biasa.9 Tasawuf sebagai sebuah kesadaran dan jalan spiritual
8H. A., Rifay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-
sufisme, (Jakarta: Rajawali Perss, 2002), cet. 2., h. 33-35.
9Karamah inilah yang menjadi bukti kesalehan seorang
sufi dihadapan masyarakat, karamah inilah yang dimiliki oleh Abdul Kadir Jilani, wali songo, dan lain sebagainya. Karamah ini memiliki beragam bentuk manifestasi, yang intinya adalah jika dilihat dari perspektif orang awam dan modern dikategorikan sebagai yang irrasional, walaupun itu nyata.
168
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
untuk mengintegrasikan diri dengan Tuhan sehingga yang
dilihat dan dirasakan sebagai satu-satunya wujud mutalak
hanyalah Allah, sufi merupakan orang yang telah mampu
membuka misteri Tuhan dalam hidupnya.10
Adapun perkembangan tasawuf dalam Islam terdiri dari
beberapa fase dan bentuk. Fase pertama diwakili oleh para
sahabat, para tabi‟in dan orang-orang yang datang sesudah mereka. Pada fase ini pendekatan sufi lebih bercirikan pelaksanaan
ibadah yang total kepada Allah, kesetiaan penuh kepada Allah,
menjauhkan diri dari kesenangan harata, jabatan, dan menjauhkan
diri ari kehidupan dunia dengan melakukan asketsime atau hidup
dalam kezuduan. Lalu pada abad keduan dan sesudahnya tasawuf
dan gelar sufi diberikan pada kehidupan orang-orang yang senang
beribadah.11
Secara detil dapat diungkapkan bentuk dan gerakan dan
ciri perkembangan tasawuf Islam, fase zuhud, berkembang
pada abad pertama dan keduan hijriyah. Tokoh-tokohnya
seperti, hasan Basri (wafat tahun 110 H) dan rabi‟ah
adawiyah (wafat tahun 185 H). Fase abad ke tiga hijriyah, sufi
lebih mengarahkan fokus spiritualnya pada jiwa dan tingkah
laku yang mulya. Hal ini terlihat dari uppaya dan gerakan
yang dilakukan sufi dalam rangka menegakkan moral,
sehingga tasawuf pada abad ini berkembang menjadi gerakan
moral keagamaan. Pada abad ini juga berkembang tasawuf
yang lebiih mengedepankan pemikiran yang ekslusif, salah
satu tokohnya adalah al-Hallaj dengan konsep hulul.
10Seyyed Hussein Nasr, Sufi Essays, London George Allen and Unwil Ltd, Ruskin Hause, museum Steet, 1972, h. 43.
11Ibn Kholdun, Muqaddimah, h. 623-624.
169
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Pada abad ke lima hijriyah, muncul tasawuf yang lebih
mengedepankan tasawuf yang berdasarkan pada al-Qur‟an
dan al-Sunnah, tokohnya adalah al-Ghazali.12 Setelah itu pada
abad-abad selanjutnya muncul tokoh-tokoh sufi yang
mengembangkan tarekat, seperti Sayyid Ahmad ar-rifa‟I (wafat tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Jaelani (wafat
tahun 651 H). setelah itu muncul tasafuf yang memadukan
pengalaman tasawuf dengan filsafat atau lebih dikenal dengan
teosufi. Tokohnya adalah Syuhrawardhi (wafat tahun 549 H) dengan kitab Hikmah al-Isyraqiyah, Syeh Muhyiddin
Ibn Arabi (638 H), tokoh-tokoh tersebut banyak emlahirkan
konsep tentang jiwa, moral, pengetahuan, wuju dan lain
sebagainya.13
Sedangkan jika dilihat dari tipologi tasawuf, menurut
Taftazani, terdapat dua bentuk tasawuf. Pertama, tasawuf
religius, ini merupakan sebuah gejala spiritual yang dimiliki
oleh semua agama. kedua tasawuf filosofis atau teosufi, merupakan kombinasi pengalaman mistik dengan
pengetahuan filsafat, ini diwarisi dari para filosof Yunani dan
Eropa.14 Tasawuf falsafi biasanya diidentikkan dengan para
filosof karena kemampuannya dalam mengintegrasikan
pengalaman mistik dengan pengetahuan intlektual, dan upaya
integrasi tersebut merupakan tugas akal dan orang yang
mampu melakukan integrasi tersebut dipandang
12Rosiahan Anwar dan Muhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. I., h. 53. 13Rosiahan Anwar dan Muhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 52. 14Abu al-Wafa' 'al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-
Tashawwuf al-Ilslam, terj. Ahmad Rofi'I Ustsmani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Jakarta: Pustaka, 1997), cet. 2., h. 1 -2.
170
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebagai filosof yang sebenarnya.15 Seorang folosof
memerlukan ilmu pengetahuan dan pengalaman mistik, sebab
intuisi mistik merupakan ilham, tokoh-tokoh utama
khususnya di Yunani adalah Heraclitus, Plato dan
Parmenides.16
Adapun tujuan dari mistisisme baik di luar Islam maupun
dalam Islam sendiri menurut Harun Nasution adalah untuk
mencapai hubungan lansung dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa sufi telah berada dengan Tuhan.
Dengan demikian mistisisme atau tasawuf merupakan
kesadaran akan kominikasi antara roh manusia dengan
Tuhan, yakni dengan cara mengasingkan diri menjalani
kehidupan aketik dan zuhud. Kesadaran etrsebut kemudian
mengambil bentuk perasaan dekat dengan Tuhan bahkan
bersatu dengan Tuhan.17
15Tasawuf jenis ini ditemukan di aliran al-Hikmah al-
Muta’aliyah karya Mulla Shadra.
16Betrand Russel, Mysticism and Logic, (New york: the
Modern Library, 1927), h. 16-29. Russel juga memberikan karakteristik bagi tasawuf filosofis ini, di antaranya, pertama, keyakinan atas intuisi dan pemahaman batin sebagai metode pengetahuan dan sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis. Kedua, keyakinan atas ketunggalan, serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi. Ketiga, pengingkaran atas realitas zaman. Keempat, keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang bersifat lahiriyah semata dan ilusi, yang dikenakan pada kontradiksi dan diferensiasi yang dikendalikan oleh rasio analitis, h. 28-55.
17Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2002), cet. I., jilid II., h. 68.
171
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Relevansi Islam Spiritualis Dengan Konteks Modern
Arah dari kajian Islam Sufistik ini sebetulnya adalah ingin
melihat bahwa abad modern sejatinya telah melahirkan krisis
multidimensional bagi manusia, sebab modernisme Barat
dengan kemajuan sains dan teknologi hanya mampu
memberikan niali material pragmatis, dengan mengorbankan
nilai spiritual dari manusia itu sendiri. Moderniats telah
menjadikan manusia serakah dan tanpa pegangan hidup,
sebab rasionalitas diri, antroposentrisme, sekularisme dan
sains yang bebas nilai telah menjadikan manusia sebagai raja
atau penguasa di muka bumi, sehingga tindakan eksploitatif
terhadap kehidupan, terutama alam sudah tidak terelakkan
lagi, sehingga lahirlah krsisis global. Berdasarkan ini semua
maka sebelum melihat signifikansi dari Islam Sufistik ini
terlebih dahulu kita kaji apa itu modernisme Barat.
Peran Tasawuf di Era Modern
Abad modern dalam pandangan Seyyed Hussein Nasr
adalah abad dimana manusuia kehilangan visi Ilahiahnya
sehingga menderita kehampaan spiritual. Sebuah kemajuan
yang diharapkan dari Ilmu pengetahuan, teknologi dan
filsafat rasionalisme hanya mampu memberikan kepuasan
material-fisikal, tapi tidak mampu memberikan nilai spiritual
transendental yang hanya bisa didapat dengan jalan
kepatuhan kepada Tuhan.18 Senada dengan Nasr, Nurcholis
Madjid mengatakan bahwa abad modern sebagai abad
18Seyyed Hussein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj.
Abdul Hadi W.M., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 198.
172
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
teknokalis telah mengabaikan harkat kemanusiaan yang
paling mendasar dari manusia, yakni nilai rohani.19
Dari pandangan dua tokoh tersebut dapat diambil
gambaran bahwa abad modern merupakan abad dimana
agama tidak lagi dilihats sebagai sebuah kebenaran wahyu,
jalan keselamatan dan lain sebagainya, agama telah
digantikan dengan pandangan hidup yang materialistik-
empirik dan pragmatis. Sikap yang demikian dapat dilihat
dari agenda dan bentuk paham sekularime dan sekularisasi
yang digalakan dalam segala aspek kehidupan, dan agama
dimarjinalkan bahkan ditempatkan dipinggiran ingatan.
Maka mengacu pada pernyatan Nasr dan Caknur tersebut
bahwa manusia modern adalah manusia yang kehilangan visi
ilahiah, dampak yang diakibatkan adalah kehilangan makna
hidup, tidak adanya nilai spiritualitas sebagai sebuah
paradigma nilai yang dijadikan landasan moral dalam melihat
realitas kehidupan. Dampak dari semua itu adalah sains
modern Barat yang dideklasrasikan sebagai yang bebas nilai,
lahirnya manusia yang serakah, karena tujuan hidup adalah
ekonomi dan materi, masyarakat modern menjadi masyarakat
yang hedonis, sehingga dengan pijakan hidup yang
materialistik tersebut manusia menjadi serakah dan kemudian
mengeksploitasi alam dengan menggunakan perangkat saisn
dan teknologi, wal hasil krisis global pun terjadi dalam tiga
diemensi. Menurut Prittjif Capra (krisis ekologis, sosiologis
dan psikologis). Dengan paradigma hidup yang meterialistik
tersebut pula negara-negara maju di
19Nurcholis Madjid, Warisan Intlektual Islam; Khazanah
Intlektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 79.
173
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Eropa melakukan impasi dan kolonialisasi terhadap negara
lain guna memenuhi kebutuhan ekomi industri di negaranya,
bahan-bahan mentah diambil dengan paksa dari negara
jajahan, penyebaran idologoi politik modern di negara-negara
jajahan dan lain sebagainya.
Dalam konteks dan situasi krisis inilah maka
Tasawuf signifikan untuk kita kaji kembali sebagai salah satu
cara untuk mengobati penyakit tersebut, disamping cara-cara
yang lain. Maka hal yang dapat kita ambil adalh, pertama,
dapat dijadikan sebagai landasan epistemology Islam yang
komprehensif dan holistic, kedua apndnaganya tentang
manusi, dan yang ketiga adalah apndangannya tentang alam.
Sebagai Landasan Epistemologi Islam
Dalam konteks epistemologi Islam, objek kajian dan
metode kajiannya lebih bersifat integral-holistik. Objek kajian
tidak hanya terbatas pada masalah empirik -material-indrawi,
tapi juga pada sesuatu yang bersifat immateril dan metafisik.
Entitas-entitas non fisik sepert konsep-konsep mental, ruh,
malaikat, dan jin.20 atau seluruh rangkaian wujud baik yang
gaib maupun yang fisik.
Sedangkan dari metode sumber ilmu pengetahuan,
epistemologi Islam juga mengintegrasikan seluruh
20 Dari kerangka berfikir seperti inilah dalam pandangan
Mulyadhi, epistemologi Islam telah berhasil mengkonstruksi klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secar hirarkis. Metafisika menempati tingkat tertinggi, kemudian matematika dan terahir ilmu-ilmu fisik. Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam, I., h. 58-59.
174
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
kemampuan manusia, baik indra, akal, dan hati. Dari ketiga
alat tersebut lahir bermacam-macam metode. Dan inilah yang
pernah dilakuka oleh para ilmuan-filosof dan sufi Islam
terdahulu.21 Metode yang digunakan dalam epistemologi
Islam oleh para ilmuan Islam terdahulu adalah pertama
metode observasi (Bayani), kedua metode logis atau
Demonstratif (Burhani), metode intuitif (Irfani). Ketiga metode
ini bersumber pada indra, akal dan hati.22
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, bahwa
sistem ideologi sosial modern Barat tersebut, baik sains
sekuler, ideologi politik, bahka pola hidup materialistis-
pragmatisnya, telah merambah secara global di seluruh
belahan dunia, dengan proses modernisasi. Proses
modernisasi yang menghilangkan nilai-nilai kearifan
tradisional masyarakat, baik yang bersumber dari agam
maupun tradisi dan budaya lokan masyarakat (Local Wisdom)
dengan alasan tidak relevan dengan kondisi zaman. Maka
upaya kearah preventifikasi dari dampak negatif modernitas
Barat tersebut dan upaya ke arah puritanisasi diri dan
peradaban, diperlukan sebuah konsep yang lahir dari ajaran
yang bersifat sakral, yakni agama dengan konsep dan ajaran
etisnya.
Salah satu bagian dari ajaran agama yang telah
dipraktekkan oleh umat Islam terdahulu adalah dalam bentuk
komunitas ajaran tasawuf, filsafat, fiqh dan kalam. Namun
21Mulyadhi Kartanegara, Minyibak Tirai Kejahilan: Muzaik
Khazanah Islam: Bunga Rampai Dari Chicago, h.117119. 22Untuk lebih jelasnya baca, Mulyadhi Kartanegara,
Menembus batas waktu; panorama filsafat islam, h. 61-66.
175
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
pada makalah ini akan mengambil satu bagian aliran dalam
Islam tersebut, yakni tasawuf. Tasawuf inilah nantinya yang
akan membentuk individu-individu yang etis-religius,
sehingga dari pribadi yang menjadi citra ilahi tersebut akan
lahir tatanan hidup sosial yang harmonis, akan lahir ilmuan
yang religius dan menciptakan bangunan ilmu pengtahuan
yang bersifat integral-holistik, atau dalam term Islam yakni
sains Islmi. Sebab dalam tasawuf manusia diajarkan untuk
melakukan amalan-amalan, dan amalan tersebut tergantung
pada makom yang telah dijalani sang penuntut. Inti dan
tujuan dari semua itu adalah untuk menciptakan pribadi yang
tercerahkan dan soleh, sehingga dalam hidupnya senantiasa
melakuan apa yang baik dalam pandangan agama dan Tuhan,
atau berahlak dengan sifat-sifat Allah. Puncak tertinggi dari
makom-makom tersebut adalah ma'rifah. Dimana sang sufi
telah sampai pada kesempurnaan dalam mencerap kemulyaan
dan kebahagyaan dalam hidupnya. Di makom inilah sang sufi
telah kehilangan diri sebgai manusia, melainkan yang dilihat
hanyalah Allah23. Dari Ma'rifah inilah sang sufi meneguk
ilmu secara lansung dari Allah.
Pandangan Tentang Manusia
Agama Islam memandang manusia sebagai mahluk Allah
yang paling mulia, melebihi malaikat. Manusia dibekali Allah
dengan akal pikiran, dengan kelebihan inilah manusia
menjabat status di bumi sebagai khalifah Alllah dan sebagai
proyeksi dimensi teologis ke dalam tataran sosial. Manusia
23Seyyed Hussein Nasr, Sufi Essays, London George Allen
and Unwil Ltd, Ruskin Hause, Museum Steet, 1972, h. 43.
176
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebenarnya berada anatar ciptaan spiritual dan material.
Dalam arti esensial, dalam diri manusia terdapat seluruh
ciptaan. Manusia juga diciptakan menurut gambaran Tuhan24
Manusia digambarkan oleh al-Quran sebagai sebaik-baik
ciptaan,25karena kemulyaan manusia diahadpan Tuhan,
manusia bahkan diajarkan lansung oleh Alllah atas nama-
nama.26
Dengan akal pikirannya manusia mampu mengetahui
realaitas. Dengan kemampuan berbicara mansia mampu
berkomunikasi dengan Allah bahkan menjadi teman
bicaraNya yang saheh. Ini terlihat dengan adanya wahyu dan
ilham sebagi media komunikasi manusia dengan Allah.
Manusia merupakan perpaduan dari yang tinggi sampai yang
rendah, mansia menjadi cermin yang di dalamnya teremanasi
nama dan sifat-sifat Allah. namun kelebihan itu hanya sebatas
setatusnya sebagai hamba dan mahluk, namun dihadapan
Allah manusia tetap tidak memiliki apa dan sangat kecil dan
terbatas, keberadaannya di bumi hanya sementara. Dihadapan
Allah manusia hanyalah hamba yang segala
24 Seyyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam:
Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, h. 122. Konsep manusia diciptakan menurut gambaran Tuhan, sebetulnya lahir dari konsep Tasyabbuh dan Tanzih Ibn Arabi.
25 (Q. S. al-Tin/95: 4-6) Artunya: sesungguhnya Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik kejadian. Kemudian Kami kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.
26 Hal ini sesuai dengan firman Allah yang mengajarkan nama-nama kepada adam, sebagaiman firman Allah dalam Surat al-Baqarah/2: 30 yang artinya: dan Dia yang mengajarkan adam nama-namaseluruhnya.
177
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
aktifitas dan tujuan hidupnya hanyalah patuh kepada Allah.
dalam perspektif tasawuf ini merupakan sebuah acuan bahwa
dihapan Tuhan manusia tidak memiliki apa-apa, dan manusia
harus membebaskan diri dari prangsangka akan memiliki
sesuatu bahkan meiliki wujud tersendiri.27
Dalam tasawuf manusia sering dicitrakan sebagai citra
Ilahi, yakni dalam konsep insan kamil Ibn Arabi (w. 638
H/1240 M) yang menjadi fokus penampakan diri Tuhan. Abu
Yazid al-Busthami (w. 261 H/874 M) juga mengeluarkan
konsep tentang al-Wali al-Kamil. Menurut ajaran ini, wali
yang sempurna adalah orang yang telah sampai pada makom
ma'rifah yang sempurna tentang Allah, ma'rifah yang
sempurna akan membuat wali sirna atau fana' dalam sifat-
sifat ilahiyah, dan wali yang sirna dalam nama ilahiah yang
al-Zahir (nyata) akan dapat menyaksikan keajaiban Qudrah
Allah, sedangkan wali yang sampai dalam nama Allah al-
Bathin dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam, dan wali
yang sirna dalam nama Allah al-Awwal dapat menyaksikan
masa lalu, dan wali yang sirna dalam nama Allah al-Akhir
dapat menyaksikan masa depan. Kemudian dari al-Hallaj (w. 309 H/913 M) tentang doktrin al-Hulul, doktri ini
mengajarkan bahwa manusia (adam) dilihat sebagai
penampakan lahir dari cinta Allah yang azali kepada zat-Nya
yang mutlak, dan tidak bisa disifatkan. Itu sebabnya manusia
diciptakan dalam citra shurah Allah yang mencerminkan
segala sifat dan asma' Allah, dengan demikian ia (adam)
27Charles Le Gai Eaton, ‚Manusia‛, dalam, Seyyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualistas Islam, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 2002), cet. I., h. 482-483.
178
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
adalah Dia (Allah). kemudian al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320
h/932 M) dengan konsep khatm al-Auliya'. Konsep ini melihat
bahwa mansuia yang telah mencapai puncak ma'rifah yang
sempurna tentang Allah. Dengan demikian ia mendapatkan
cahaya dari Allah dan mendapatkan quwwah ilahiyah (daya
ilahiyah).
Setelah itu muncul al-Suhrawardi (w. 587 H/1190 M)
yang melihat bahwa manusia sempurna itu harus memiliki
tiga klasifikasi, pertama, orang yang mendalami masalah
analitis, tetapi tidak mendalami masalah ketuhanan. Kedua,
orang yang mendalami masalah ketuhaman, tetapi tidak
mendalami masalah analitis. Ketiga adalah orang yang
mendalami pembahasan analitis dan masalah ketuhanan
sekali gus. Setelah itu muncul Ibn Sab'in (w. 667H/ 1268 M)
dengan konsep al-Muhaqiqah. Konsep ini mengajarkan,
bahwa manusia sempurna dari sisi ontologisnya merupakan
penampakan lahir dari Wujud Mutlak secara paripurna,
karena melaluinya Wujud Mutlak menampakkan Diri-Nya
sebagai kebenaran dan kebaikan murni. Sedangkan dari sisi
mistis, konsep tersebut manusia sempurna adalah orang yang
telah mencapai pengetahuan tertinggi atau ilmu al-Tahqiq,
yakni oarang yang telah menyadari akan kesatuan mutlak,
yang memandang hanya ada satu wujud hakiki, yakni Wujud
Mutlak, sedang wujud alam adalah ilusi belaka. Kemudian
Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jili (767-826 H/1365-1422 M)
yang menyempurnakan konsep insan kamil Ibn Arab.28
28Yunasri Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep
Insan Kamil Ibn Arabi Oleh al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I., h. 6-14.
179
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Dari penjelasan diatas tampak terlihat perbedaan antara
konsep Barat tentang manusia yang antroposentris, sebagai
penguasa dan pusat dari segala sesuatu, yang melihat pada kemampuan indra dan rasio manusia dalam
mengaktualisasikan dirinya di bumi. Manusia dianggap
sempurna dan sebagai penguasa hanya karena kemampuan
mencipta sesuatu atau peradan budaya material, namun tdiak melihat manusia sebagai mahluk yang memiliki
pertanggungjawaban kepada Tuhan.
Manusia dalam konsep Barat telah meniadakan nilai-nilai
spiritual dalam hidupnya, dengan demikian manusia super di
Barat adalah mnusia yang telah membunuh Tuhan
(Nietzsche) dengan konsep overman-nya. Akiabtnya manusia
menjadi kehilang makna hidup dan tujuan hidup, manusia
menjadi depresi dan hampa spiritual. Manusia yang gelisah
karena tidak ada pegangan hidup teologis sehingga idak ada
lagi kedamain dalam jiwa. Dengan demikian bisakah dikatan
sempurna, tentu tidak, manusia yang kuat dalam pandagan
Barat adalah manusia yang memiliki kekayaan yang banyak,
jabatan yang tingi, popularitas yang mendunia. Dengan
demikian manusia sempurna Barat adalah manusia yang
masuh menggantungkan diri pada segala sesuatu yang
bersipat duniawi, tampa materi manusia Barat tdiaklah
menjadi apa-apa. Hal ini berbeda dengan konsep manusia
sempurna dalam ajaran tasawuf, yakni manusia yang telah
tercerahkan oleh Allah karena rutinitas pengabdiannya yang
tampa henti, manusia yang dibimbing oleh Allah secar
lansung tampa berusaha dengan proses indrawi dan
rasionalisasi, manusia yang telah mampu memandang segala
sesuatu di dunia sebagai yang tidak berarti apa-apa, baik
180
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
materi, jabatan dan popularitas, karena semuanya bersifat
ilusi dan sementara, lalu bisakah manusia menggantungkan
diri pada sesuatu yang serba terbatas dan profan, tentu tidak,
maka dalam tasawuf mengajarkan bahwa tempat
menggantungkan diri adalah pada Dia yang serba meilki dan
tidak ada batasannya, Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa
konsep manusia di Barat adalah manusia yang materialis- pragmatis, dalam artian manusia yang masih
menggantungkan diri pada kemegahan dan kemewahan dunia
(kemegahan dan kemewahan ini dikembalikan ke Barat,
bukan ke sufi yang memandangnya tidak ada apa-apa),
sedangkan dalam tasawuf manusia sempurna adalah manusia
yang tercerahkan dan yang telah mencapai puncak
pengetahuan tertinggi dalam ma'rifah, Allah sebagai
pembimbing dan tempat menggantungkan hidup dan mati.
Pandangan Tentang Alam
Dalam Islam terdapat bandangan bahwa alam diciptakan
dalam kebenaran dan oleh kebenaran dan bukan dengan sia-
sia (Q. S. al-Anbiya', 21: 16).29 Dengan demikian maka Dalam
Islam juga terdapat dua konsep wahyu, yakni Qur'an dan
Alam. Alam merupakan ayat Allah untuk dikaji sebagai mana
mengkaji dan membaca al-Qur‟an, yang tujuannya adalah
untuk menelusuri jejak-jejak kekausaan Allah, mendapatkan
hikmah dan mampaat bagi kehidupan. Terkait dengan
mamfaat mengkaji alam, dalam Islam juga mengajarkan ada
29Artinya: Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduannya dengan bermain-main. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang diciptakan Allah itu sia-sia.
181
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
duan mampaat, yakni sebagai pemenuhan sumber materi dan
sebagi sumber spiritual. Alam ditundukka Allah untuk
manusia, dengan demikian manusia wajib mengkaji alam
demi menemukan hukum-hukum alam dan entitas-entista
yang ada pada alam tersebut demi memudahkan untuk
mendapatkan fungsi dan ammfaat lam bagi kehidupan
masnuai.
Dengan demikian alam dalam konsep spiritualitas alam,
sebgaiman yang dikemukakan Nasr adalah sahabat bagi
penegmbara dijalan spiritual dan penolong bagi orang yang
emmiliki spiritual dalam perjalanannya melewati bentuk-
bentuknya menuju alam ruh, yang menjadi sumber manusia
dan kosmos. Itulah sebabnya, mengkaji alam akan mendatangkan hikmah ilahiyah bagi manusia, dengan
ketentuan bahwa alam tidak dipisahkan dari prinsip ketuhan.
Sebab alam merupaka sumber karunia yang didalamnya indra
kontemplatif muslim merasakan kehadiran Allah, dia menyaksikan do‟a dan kepatuhan mahluk kepada ketentuan
Allah. inilah yang oleh Ibn Arabi, bahwa melihat alam
sebagai napas yang Maha Pengasih yang dihembuskan
kepada realitas-realitas arketipal. Dengan demikian semua
entitas yang ada dialam merupakan aktualisasi dari kasih
sayang Allah, inilah yang menyebabkan alam juga dipandang
sebagai yang bertasbih dan memuja kepada Allah
berdasarkan eksistensinya sendiri. 30
30 Seyyed Hussen Nasr, ‚Kosmos dan Tatanan Alam‛, dalam
Seyyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualistas Islam, h. 468-472.
182
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Alam juga sering disebut dengan tanda-tanda kekuasaan
Allah. maka tepatlah jika dikatakan alam sebagai media atau
sumber bagi nilai-nilai spiritual bagi mereka yang sadar.
Alam dalam konteks taswuf dilihat sebagai wadah tajalli dari
nama dan sifat-sifat Allah, dan hakekat alam adalah ilusi31
belaka.32 Jadi dalam pandangan tasawuf Islam, alam dilihat
sebgai ciptaan Allah dan merupakan wahyu Tuhan yang
tersirat, karena itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah.
Adapaun bagi manusia, alam dimampaatkan sebagai sumber
pemenuhan kebutuan material dan spiritual.
Pandangan tasawuf tentang hakekat alam tersebut
berbeda dengan pandangan Barat. Barat lebih melihat alam
sebagai sesuatu yang mati bahkan sebagai mesin raksasa
yang ditentukan oleh hukum-hukum yang tidak jelas dan
menentu. Dari cara pandang yang demikian lahirlah sikap
yang eksploitatif terhadap alam, alam diperlakukan sebagai
objek pemenuhan kebutuhan material manusia, dan sains
berfungsi untuk memudahkan pencapaian tersebut. Dalam
pandangan Nasr, bahwa masyarakat modern Barat telah
memperlakukan alam sebagai pelacur tampa ada kewajiban
dan tanggung jawab atasnya. Alam dilihat sebagai yang
terpisah dari Tuhan, alam berdiri sendiri dan eksis degan
31Makna ilusi dalam konteks ini adalah, jika seorang sufi
telah sampai pada ma’rifah maka yang dilihat dalam segala yang ada di alam ini adalah Allah, atau dalam konteks tasawuf Ibn Arabi ‚kesatuan wujud‛ (wahdatul al-Wujud).
32Yunasri Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh al-Jili, H. 13.
183
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sendirinya.33 dari sikap eksploitatif tersebutlah maka alam
kemudian mendatangkan bencana bagi kehidupan mansuia
dan ekosistem lainnya. Inilah yang disebut Pritjof Capra
sebagai krisia global akibat dari kesalahan cara pandang dan
keserakahan manusia terhadap alam.34
Maka untuk memulihkan kemabali alam yang sudah
rusak ini, akibat dari pandnagan sekuler dan ilmu
pengetahuan serta teknologi yang jauh dari nilai-nilai
spiritualitas agama,35 meunut Nasr harus dilakuak dengan
mengubah cara pandang dan sikap manusia terhadap alam,
yakni dengan melakukn fungsionalisasi ajaran agama dan
kearifan moral.36
Terkait dengan tawaran Nasr tersebut dan dengan
mengubah cara pandang masyarakat modern terhadap alam,
maka ajaran tasawuf diperlukan untuk diaktualisasikan dalam
konteks tersebut. Dengan alasan bahwa tasawuf juga
merupakan ajaran tentang kearifan, sebagaiman yang
termuat dalam kajian pirenialism, yang di dalam ajarannya
melihat alam sebagai cerminan Tuhan dan manusia mesti
memperlakuakannya dengan baik demi terjalinnya hubungan
yang harmonis-sinergis-dialektis. Menyikapi tawaran Capra
bahwa krisis global disebabkan oleh cara pandang
33Seyyed Hussein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, h. 18.
34 Pritjof Capra, The Web of Life, (London: Harper Colling, 1996), h. 4-6.
35Seyyed Hussein Nasr, Religion and the Order of Nature, (New York: Oxford University Press, 1996), h. 3.
36Seyyed Hussein Nasr, Religion and the Order of Nature, h. 29.
184
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
(worldview)37 dan kesarakahan manusia terhadap alam,
tasawauf juga memainkan peran, bahwa tasawuf meiliki cara
pandang yang spiritialis terhadap alam, dan mempergunakan
alam sebagai salah satu jalan menelusuri jejak-jeka kekuasaan
Tuhan.
1. Tasawuf sebagai fondasi konstruksi epistemologi sains yang Islami dan
holistik.
Dalam pemikiran keilmuan Islam setidaknya terdapat tiga
macam teori ilmu pengetahuan, yakni pertama pengetahuan
rasional, kedua pengetahuan indrawi, ketiga pengetahuan kasyf
yang diperoleh melalui ilham.38 Sebagaiamana yang telah
diungkapkan diatas bahwa epistemolog sains modern Barat
jika dilihat dari objek kejiannya hanya fokus pada masalah
material-empirik-indrawi, namun dalam epistemolog Islam
yang telah dirintis oleh para ilmuan Islam abad klasik tidak
membatasi objek kajian pada yang empirik-indrawi saja,
melainkan objek yang non fisik dan metafisis pun menjadi
kajian yang sangat penting. Sedangkan dari segi cara
mendapatkan pengetahuan, Barat hanya menggunakan
kemampuan indra dan akal, dan dengan metode observasi,
37Ini dimaksudkan dengan cara pandang sains modern Barat
terhadap alam, yakni dilihat dari paradigma Cartesian-Newtonian. Alam dilihat sebagai mesin raksasa yang mati. Dalam pandangan ini Tuhan tidak dimasukkan sebagai pusat utama dari alam, alam menjadi tersekulerkan, dan jauh dari nilai-nilai spiritual.
38 H. M. Amin Abdullah, ‚Aspek Epistemologi Filsafat Islam‛, dalam H. Musa Asyarie, dkk, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, h. 35-36.
185
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
perifikasi dan rasionalisasi. Sedangkan dalam Islam,
sebagaimana yang diungkapkan diatas, mempergunakan
semua potensi manusia, fisik dan rohaninya.39
Khusus dimensi kasyaf, ini merupakan hasil dari perjalan
hidup kerohaniaan sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah,
sehingga pengetahuan yang dimiliki bersifat dihadirkan
secara lansung tampa proses pengindraan dan rasionalsiasi.
Pengetahuan kasyaf bersifat ketersingkapan, merasakan,
kesaksian, hasrat Ilahiyah, ilham. Semua istilah tersebut
mengacu pada kondisi sufi saat menyatu dengan Allah atau
setelah sampai pada makom ma'rifah, sehingga ilmu yang
dimiliki sufi bersifat lansung dari Allah. penyingkapan berarti
Tuhan membuka hati sufi untuk menanamka ilmu.40
Dari bentuk epistemologi sains Islam terdahulu inilah
yang menjadi fondasi gerakan-gerakan Islamisasi sains yang
diprogramkan oleh tokoh-tokoh Islam modern dan
kontemporer. Sebab secara filososfis, sains modern Barat
yang menghegemoni keilmuan dunia telah jauh dari norma-
norma dan telah gagal memainkan fungsinya bagi
kesejahtraan manusia dan keharmonisan alam, tapi sebaliknya
datang sebagai sebab krisis kehidupan secara global. Upaya
rekonstruksi dengan melakuakan revipalisasi dan puritanisasi
sains keislaman abad klasik oleh tokoh-tokoh Islam,
memberikan peluang bagi pertumbuhan doktrin tasawuf
ditengah-tengah kehidupan modern sebagai salah
39 Baca, Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, h.116-147.
40 William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan Sufi, terj. Achmad Nidjam, M. Sadat Ismail, dan Ruslani, (Yogyakarta: Qalam, 2001), cet. I., h. 8.
186
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
satu basis epistemologi sains. Sehingga ilmuan yang lahir
kemudian adalah ilmuan yang religius dan sains yang lahir
dari ilmuan yang religius adalah sains yang tidak bebas nilai.
2. Tasawuf sebagai jalan kedamaian dan ketentraman hidup.
Konsep utamanya adalah bahwa kegelisahan manusia
diakibtkan oleh kehilangan makna dan tujuan hidup akibat
tidak adanya pemenuhan spiritual terhadap jiwa manusia.
Dalam kondisi yang demikian manusia modern hanya
cendrung memperhatikan kebutuhan material. Maka konci
untuk mengobati semua itu adalah kembali mengisi jiwa
dengan ajaran agama, memasukkan Tuahan kedalam hidup.
maka dalam upaya tersebut tasawuf memainkan peran yang
sangat signifikan.
Tasawuf sebagai jalan kedamaian dan ketentraman hidup
manusia bisa dicarai dari beberapa ajaran tasawuf, seperti
doktrin rela, zuhud, syukur, tawakkal. Rela melahirkan sikap
ihlas dan tidak merasa berat untuk menerima semua kondisi
hidup yang datang menghampiri. Rela ini akan melahirkan
hati dan pikiran yang tenang, sebab tidak ada lagi beban
hidup yang dipikirkan, semuan diterima apa adanya dan
ihlas.41 Zuhud. Ajaran ini mengajarkan kesederhanaan (tidak
serakah dan terlalau cinta dunia sampai pada tahap
materialsme atau hedonisme) bukan kemiskinan atau
menghindari dari kehiudpan dunia. Syukur akan melahirkan
sikap yang penuh dengan kesadaran religius, bahwa apa yang
41Rela bukan berarti bersikap pasif dan patalistik, rela disini dilihat dalam konteks yang paling sederhana dan sedah difahami oleh manusia, bahwa semua ketentuan ada di tangan Allah, manusia hanya berusaha dan berdo’a.
187
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dimiliki adalah pembirian dan milik Allah. tawakkal
mengajarkan sikap pasrah kepada ketentuan Allah, semua
dikembalikan kepada kehendak Allah.
Doktrin-doktrin tasawuf di atas akan mampu mengobati
penyakit masyarakat modern yang telah kehilangan
kedamain akibat perceraiannya dengan agama dan Tuhan.
Kegersangan spiritual telah menjadikan masyarakat modern
Barat sebagai manusia yang berdimensi satu, yakni
masyarakat yang materialsitis. Tasawuf mengajarkan
keyakinan bahwa segala sesuatu berasal dari, oleh dan untuk
Allah, dari Allah semua berasal dan ke Allah pula semua akan
kembali.
Gerakan Spiritualis-sufistik di Indonesia
Apa relevansinya dengan konteks Indonesia? Inilah
pertanyaan yang penting untuk dijawab dalam tulisan ini.
Maka terdapat dua bentuk gerakan Islam Spirituals-sufisik di
Indonesia. Pertama, sebagaimana yang diketahui bahwa
Indonesia terdiri dari beragam suku, etnis dan budaya, serta
agama. Pluralitas bangsa Indonesia dalam berbagai aspek
sosial kultural ini jika tidak dipayungi dengan pemikiran
yang bisa menaungi semua perbedaan yang ada tentunya
akan menjadi rawan komplik, dan ini sudah terbukti dengan
sering terjadinya komplik antar etni dan agama. Sementara
Pancasila yang menjadi Falsafah dan yang menaungi
pluralitas Bangsa tersebut seakan-akan tidak memiliki
kekuatan dalam masyarakat. Maka dalam kondisi yang
demikian adalah penting untuk menelurkan ide yang bersifat
spiritualis-sufistik yang melihat perbedaan tersebut sebagai
188
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebuah kemestian dalam dunia yang profane, namun ternyata
dalam keragaman tersebut terdapat satu hal yang
menyatukan, yakni kesatuan teologis. Maka gerakan Islam
Spiritualsi-sufistik memiliki dua bcorak,yakni, Pertama
gerakan dalam bentuk ide pemikiran. Kedua adalah
spiritualis-sufistik dalam tataran empirik, atu kelompok-
kelompok tarekat, tasawuf.
Pertama Islam spiritualis-sufistik dalam bentuk gagasan
pemikiran. Hal ini terkait dengan gagasan untuk membangun
perdamaian antar umat beragama di Indonesia agar tidak
terjadi komplik atas nama Tuhan. Islam sebagai agama yang
mayoritas pengikutnya di Indonesia harus menjadi kekutan
untuk menebarkan perdamain, sebab Islam memiliki
perangkap yang kuat dan banyak secara doctrinal dan
historis. Sebgaimaan yang diungkapkan Gamal Albana, jika
umat Islam mengakui keEsaan Tuhan dan kekelanNya, maka
sebetulnya sudah mengakuai pluralitas di luar Tuhan, bahwa
yang Tunggal hanyalah Allah dan diluar Allah adalah plural.
Jika ini tidak diyakini maka secara tidak sadar umat Islam
telah menyekutukan Allah.42
Upaya kearah gerakan tersebut telah dilakuakan oleh para
pemikir intlektual Islam, seperti Komaruddin Hidayat,
Nurcholis Madjid, kelompok Islam Liberal (Ulil Absar
Abdalah), para pemikir Paramadina, Kautsar Azhari Noer,
Zainun Kamal, Alwi Shihab, Soetjipto, Wirosardjono, Anand
Krisna. Tokoh-tokoh ini dengan tegas dan brani melintasi
42Gamal Al-Bana, Pluralitas dalam Masyarakat Islam,
terj., Tim MataAir Publishing, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 5.
189
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
atau melampaui batas-batas fiqh dalam menegakkan harmoni
antar umat beragama di Indonesia. Satu buah refleksi
pemikiran yang terhimpun dari mereka adalah dengan
terbitnya buku berjudul Fiqh Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, yang inti dari pemikiran
tersebut adalah bagaimana memandang dan mensikapi umat
yang berbeda agama.43 Mereka melihat pluralitas yan ada
sebagai yang bersumber pada Satu Tuhan, dan perbedaan
daris segi ajaran, syari‟at, bahasa agama, disebabkan
perbedaan geografis dan kultur yang berbeda. Mereka
seakan-akan mengibaratkan agama seperti Terminal yang
mana setiap angkutan yang datang dari berbagai arah dan
keluar keberbagai arah pula, namun tetap akan kembali dan
bertemu pada terminal yang sama.
Kedua adalah gerakan Islam Spiritualis-sufistik dalam
tataran praktek dan pengmaalan. Ini merupakan paham yang
mempraktekkan unsur batiyah atau esoterik dalam Islam,
yang dapat diperoleh melalui peran aktif pada kelompok-
kelompok ekslusif spiritualis, tasawuf atau tarekat. Kelompok
ini tidak mau terlibat atau tidak peduli dengan permasalahan
sosial baik ekonomi, politik dan sebagainya, yang terpenting
adalah bagaimana mendapatkan kesucian batin dan dekat
dengan Tuhan. Kelompok ini muncul di Indonesia lebih
disebabkan oleh proses modernisasi dan globalisasi yang
terkadang menimbulkan disorientasi dan dislokasi psikologis
pada masyarakat tertentu, dismaping juag disebabkan oleh
43Untuk lebih jelasnya, baca nurcholis Madjid dkk dalam
Mun’im A Sirry, Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. VII.
190
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
ketidakpuasan terhadap bentuk agam yang dikembangkan
oleh ulama atau organsiasi keagamaan yang lebih bersifat
normative-ritualsitik semata atau eksoteris.44
Kelebihan dari kelompok praktisi Islam spiritualis ini
adalah jika dilihat dari sikap para pencari Tuhan dengan jalan
menyendiri dan tidak secara kolektif atau menampakkan
simbul-simbul Islam sangat penting untuk menjaga
keharmonisan antar agama, sebab sikap acuh dan seakan
tidak mau peduli dengan urusan dan keyakinan orang lain
justru berdampak positif, tidak ada istilah kafir, murtad dan
lain sebagainya yang keluar untuk mendiskreditkan agama
dan keyakinan orang lain. Kesibukan pada intensitas zikir dan
menyendiri akan menyempitkan waktunya untuk menilai
orang lain, waktu yang dimiliki lebih banyak dipergunakan
untuk melakukan ibadah guna mendekatkan diri pada Tuhan
dan mencapai maqom tertinggi dalam hirarki kesufian.
Bahkan dari segi fungsinya dalam kehidupan sosial, Islam
Spiritualis-sufistik telah dijadikan sebagai tempat rehabilitasi
atau pengobatan bagi para pecandu narkoba, seperti yang
dilakukan oleh Abah Anom.
Namun yang harus diwaspadai dari pengamalan dan ide
Islam spiritualis-sufistik ini adalah dihawatirkan akan
melahirkan sikap singkretis, dalam arti menggabungkan
semua agama dalam satu paket, sehingga orang yang
beragama Islam sesungguhnya secara tidak lansung telah
beragama Kristen atau Hindu. Dengan demikian nilai-nilai
syari‟at dari Islam dengan sendirinya tidak berfungsi.
44Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, h. 10.
191
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Disaamping itu kehawtiran yang muncul dari Islam
spiritualis-sufistik ini adalah hilangnya tanggung jawab
sosial, baik pada keluarga maupun masyarakat. Dengan
keasikan melakukan penyendirian dan menghindar dari
kehidupan duniawi kewajiban terhadap keluarga menjadi
terabaikan.
Sedangkan Islam Spiritualis-sufistik dalam tatarn
pemikiran para intlektual Islam Indonesia bertujuan untuk
mendamaikan dan menciptakan kehidupan yang harmonis
antar umat beragama, sebab pluralitas merupakan kepastian
yang tidak bisa dihindarkan selama kita masih bersetatus
hamba dan sebagai mahluk. Dengan ide pluarlisme atau
kesatuan teologis diharapkan akan tercapai kehidupan yang
toleran, egalitarian dan harmonis di Indonesia yang
pluralistik ini. Disamping itu Islam spiritualis-sufistik dalam
tataran praktis adalah untuk mengembalikan Tuhan dalam
diri kehidupan masyarakat yang modern yang berada dalam hegemoni kebutuhan material, sehingga nilai-inilai
transendental menjadi terabaikan, dan ini merupakan
implikasi dari munculnya isme-isme Barat yang bernuansa
sekuler. Maka Islam spiritualis-sufistik hadir untuk
mengembalikan Tuhan kedalam diri.
Dafatar Pustaka
Al-Bana, Gamal, 2006. Pluralitas dalam Masyarakat
Islam, terj., Tim MataAir Publishing,
Jakarta: MataAir Publishing.
Ali, Yunasri, 1997. Manusia Citra Ilahi:
Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi
Oleh al-Jili, Jakarta: Paramadina, cet. I.
192
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Azra, Azyumardi, Fachry Ali, 1985. Agama, Islam, dan Pembangunan, Yogyakarta: PLP2M, cet. I.
Beldick, Julian, 1992. Mystical Islam: An
Introduction to Sufism, I. B., Tauris & Co
Ltd, London.
Capra, Prijof 1996. The Web of Life, London: Harper Colling.
Chittick, C., William, The Sufi Path of Knowledge:
Pengetahuan Sufi, terj. Achmad
Eaton, Gai, Le, Charles, 2002. ‚Manusia‛, dalam,
Seyyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis
Spiritualistas Islam, terj. Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan, cet. I. Hidayat, Komarudin dan Nafis, Wahyuni, Muhammad,
1995. Agama Masa Depan Perspektif Pirenialis, Jakarta: Paramadina, cet. I.
Kartanegara, Mulydhi, 2002. Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
_______, 2005. Mulyadhi, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik, Bandung: ARASY Mizan.
_______, 2003. Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Epistemologi Islam, Bandung:
Mizan.
_______, 2000. Mulyadhi, Muzaik Khazanah Islam:
Bunga Rampai Dari Chicago, Jakarta:
Paramadina.
Kholdun, Ibn. 2006. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
193
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Madjid, Nursholis, 1984. Warisan Intlektual Islam; Khazanah Intlektual Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Nasution, Harun, 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-Press, jilid. II.
Nasution, Harun, 2006. Filsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-12.
Nasr, Hussein, Seyyed, 1991. Tasawuf Dulu dan
Sekarang, terj. Abdul Hadi W.M., Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Nasr, Hussein, Seyyed, 1972. Sufi Essays, London
George Allen and Unwil Ltd, Ruskin Hause,
Museum Steet. Nasr, Hussein, Seyyed, 1996. Religion and the Order
of Nature, New York: Oxford University
Press.
Nasr, Hussein, Seyyed, 1972. Sufi Essays, London
George Allen and Unwil Ltd, Ruskin Hause,
museum Steet.
Russel, Betrand, 1972. Mysticism and Logic, New york: the Modern Library.
Siraj, Agil, Said, 2006. Tasawuf Sebagai Kritik
Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi
Bukan Aspirasi, Bandung: Mizan, cet. I.
Siregar, Rifay, A., H., 2002. Dari Sufisme Klasik
ke Neo-sufisme, Jakarta: Rajawali Perss,
cet. 2.
194
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Sirry, A., Mun’im, 2005. Fiqh Lintas Agama:
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
Jakarta: Paramadina, cet. VII.
Solihin, Muhtar dan Anwar, Rosiahan,2002. Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, cet. I.
Taftazani, Al-Ghanimi, al-Wafa’, Abu, 1997. Madkhal
ila al-Tashawwuf al-Ilslam, terj. Ahmad
Rofi'I Ustsmani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
Jakarta: Pustaka, cet. 2.
195
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 12
TEOLOGI ISLAM
EMANSIFATORIS
slam Emansifatoris lahir dari rahim para cendikiawan
Imuda Islam Indonesia, terutama dari kalangan muda NU. Dengan bekal penguasaan terhadap kitab-kitab dan tradisi Islam, dan model hermeneutika. Tokoh-tokoh muda tersebut
mencoba menghadirkan cara pandang yang lebih kontekstual tentang Islam. Paradigma keislaman yang mereka hadirkan
merupakan kelanjutan dari nalar kritis Islam yang pernah ada dalam sejarah Islam klasik. Islam Emansipatoris atau Islam
untuk pembebasan, bisa dikatakan sebagai gerakan yang muncul dalam rangka mengatasi kesenjangan antara agama yang hanya
dilihat sebagai jalinan
196
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
teks semata, namun tidak mampu menjangkau realitas sosial
empirik yang ada.
Islam emansipatoris berangkat dari problem
kemanusiaan, sedangkan teks dilihat sebagai subordinat
terhadap pesan moral atau spiritual, dan tidak dipahami
sebagai hukum atau undang-undang, tetapi sebagai sinyal
pembebasan. Disini Islam emansipatoris membedah teks
untuk aksi, sehinga yang menjadi target pembebasannya
adalah: 1) cara mendefinisikan dengan adil apa yang dipahami
sebagai problem kemanusiaan. 2) metode memperlakukan
teks dalam tahap refleksi kritis. Disini teks bukan satu-
satunya rujukan dalam melakukan refleksi kritis. 3) metode
dalam memperlakukan teks sebagi sumber kritik. 4) memperlakukan teks secara lebih ringan dan
mendekonstruksinya, yaitu dengan mengabaikan teks dan
tidak terlalu mengagungkanya dalam pembahasan.1
Dari sini kita bisa mengambil pemahaman tentang Islam
emansipatoris, bahwa kehadirannya adalah untuk
pembebasan dan penyelesain permasalahan sosial manusia,
sebab agama sebagai sebuah sistem nilai yang terinternlisasi
dalam kehidupan manusia secara eksplisit menjadi rujukan
dalam menyelesaikan suatu masalah (worldview), maka mau
tidak mau disaat umat Islam dihadapkan pada permasalahan
hidup yang begitu kompleks ditengah-tengah globalitas
zaman, maka Islam harus berfungsi sebagai penggerak atas
1Masdar F. Mas’ud, dalam pengantar umum ‚Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris‛ dalam, Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta: P3M, 2004), cet. I., h. I-xvi.
197
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
keyakinan masyarakat yang mapan tersebut, sehingga agama
yang telah berurat akar tersebut mampu berperan bukan
hanya sebagai keyakinan yang abstrak atau sebatas
pemahaman teoritis akademis, melainkan lebih dari itu yakni
dalam tataran praktis, sebagai media pembebasan.
Kenyataan yang ditemukan selama ini bahwa lahirnya
gerakan keislaman di Indonesi yang begitu banyak namun
tidak ada yang fokus pada upaya penyelesaian permasalahan
sosial dan kemanusiaan dalam perspektif agama. Bahkan
belum membuka diri pada pemikiran kemoderan yang sadar.
Akibat dari itu semua adalah banyaknya permasalahan
kemanusiaan yang tidak terpecahkan dan agama dibuat
menjadi mandul akan solusi permasalahan tersebut, seperti
permasalahan HAM, demokrasi, Pluralisme agama dan
kesetaraan jender.2
Maka dari pandangan yang demikianlah Islam
emasipatoris lahir untuk memberikan warna yang praktis
dari Islam untuk penyelesain problem sosial dan keagamaan
manusia. Paling tidak ada tiga kelompok keislaman yang
dinilai oleh Islam emansipatoris sebagai yang gagal
memaenkan peran sebagai agenda pembebasan, yakni,
pertama Islam Skripturalis, dilihat sebagai kelompok yang
mendasarkan diri pada teks, titik awal dan akhir adalah teks.
Kedua Islam ideologis, Islam yang tidak berangkat dari teks
dan tidak pula berakhir pada teks, melainkan dari pilihan
kebenaran dan idenya sendiri yang diideologikan. Teks hanya
2Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama
Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta: P3M, 2004), cet. I., h. 1.
198
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dijadikan sebagai legitimasi dan jastifikasi atas apa yang
diinginkan. Ketiga Islam modernis yang hanya melakukan
pendalilan terhadap realitas kemodernan atas nama agama.3
Gerakan pemikiran keislaman tersebut dilihat oleh Islam
emansipatoris sebagai kelopmpok yang hanya melihat Islam
dalam tataran teoritis atau teks, namun jauh dari tataran
praksis. Mereka tidak melakukan upaya-upaya pengenalan
kepada masyarakat luas tentang Islam dan tantangan
kehidupan yang problematic ditengah-tengah globalitas
zaman. Islam emansipatoris melankah lebih jauh dengan
agenda-agenda pembangunan social yang prkatis terutama
dalam pembanguan pendidikan Islam dan pemahaman islam
yang lebih komprehensif, edukatif dan progreisf. Terkait
dengan.4
Maka terkait dengan studi agama ini, Islam emansipatoris
melakukan tiga bentuk, pertama agama dilihat
3Masdar F. Mas’ud, dalam pengantar umum‚Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris‛ dalam, Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, h. xi-xv.
4Langkah yang dilakukan dalam tataran praktis adalah, pertama pendidikan dan bahtsul Masa’il yang bertujuan untuk, 1) mengenalkan pemikiran islam kontemporer, baik dalam bidang teologi, filsafat, fiqh, tafsir dan tasawuf. 2) mengenalkan pemikiran-pemikiran progresif yang berkembang di dunia modern saat ini. 3) merev iew pwmikiran
klasik yang selama inidiajdiakn referensi dalam mengakji agama. 4). Kedua talk Show diradio dan TV. Ketiga homepage
dan mailinglist. Keempat lembaran urnal. Kelima,penerbitan buku. Keenam melakukan seminar regional. Very Verdiansyah,
Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, h. 77-79.
199
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebagai realitas sosial. Disini agama terkadang dilihat sebagai
produk sejarah, sebagaimana agama juga membentuk sejarah.
Hal ini dilihat dengan alasan bahwa pesan-pesan agama
merupakan pesan sosial dan sejarah, sehingga terjadilah
akulturasi antara agama dan realitas. Kedua kritik wacanan
agama. Ketiga melakukan reinterpretasi atas doktrin-doktrin
keagamaan.5
Terkait denga itu semua, maka Islam emansipatoris
dalam menjalankan agenda perubahannnya terlebih dahulu
melakukan pembebasan cara pandan terhadap teks, yakni
pertama, teks harus dibebaskan dari pensakralan oleh umat
Islam, teks tidak lagi dilihat sebagai dialektika antara wahyu
dan budaya, melainkan wahyu yang terpisah dari budaya,
karena itu teks telah berpisah dengan konteks budaya. Teks
tdiak berdampingan dengan problem yang dihadapi mansuai.
Kedua, kerancuan mentodologi. Selama ini pemahaman
tentang agama seakan lepas dari aspek metodologi, sehingga
doktrin agama terkadang berdampak patalistik pada manusia.
Dengan adanya metodologi pemahaman yang komprehensif
maka agama tidak hanya dilihat sebagai dokumen teologis,
melainkan media bagi terciptanya perubahan pada konteks
realitas.6
Inilah langkah pertama yang dilakukan Islam
emansipatoris sebagai jalan menuju agenda selanjutnya.
Kemudian setelah itu Islam emansipatoris merumuskan tiga
5Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama
Untuk Praksis Pembebasan, h. 80-81. 6Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama
Untuk Praksis Pembebasan, h. 75-76
200
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
hal dalam merumuskan Islam yang ingin diletakkan dalam
tataran praktis diskursif. Pertama memberikan pandangan
baru tentang teks, yakni melihat teks dari permasalah
kontekstual dan problem kemanusiaan, karena teks lahir dari
situasi sosiokultural masyarakat pada zamannya. Kedua
menempatkan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan.
Selama ini pemahaman agama berangkat dari teks yang
kemudian diturunkan menjadi hukum dalam rangkan
memberi status hukum kepada realitas. Akibtnya teks
menjadi kehilangan semangat trasformatifnya. Ketiga Islam
emansipatoris pokus pada permasalah manusia bukan pada
perdebatan teologis, dalam artian bahwa persoalan agama
dialihkan ke permasalah praktis bukan permasalah ritualistik,
atau dari permasalah teosentris menuju antroposentris.
Dengan demikian agama selain berperan sebagai ritual
peribadatan tapi agama juga berperan sebagai sarana
pembebasan.7
Daftar Pustaka
Mas’ud, F., Masdar, 2004. ‚Paradigma dan Metodologi
Islam Emansipatoris‛ dalam, Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir
Agama Untuk Praksis Pembebasan, Jakarta:
P3M, cet. I.
Verdiansyah, Very, 2004. Islam Emansipatoris:
Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan,
Jakarta: P3M, cet. I.
7Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, h. 75-77.
201
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Bagian 13
TEOLOGI ISLAM
KULTURAL-
TRANSFORMATIF
i era pembaharuan pemikiran Islam Indonesia, ilmu Dsosial
seperti antropologi, ilmu budaya, sosiologi, dan sejarah, mendapatkan tempat ditangan intlektual Islam sebagai ilmu
pengetahuan yang membantu dalam melahirkan penafsiran dan pemahaman Islam yang lebih kontekstual, salah satu
kelompok Islam yang mempergunakan ilmu-ilmu sosial tersebut adalah Islam Kultural. Kelompok ini hadir sebagai
gerakan pemikiran keislaman yang ingin berkontribusi dalam perkembangan kemajuan ummat Islam di Indonesia. Istilah
kultural berasal
202
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dari kata culture yang berarti kesopanan, kebudayaan, dan
pemeliharaan.1 Dari definisi tersebut, maka Islam kultural
dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran Islam yang
dikonstruksi berdasarkan perspektif kebudayaan untuk
memahami Islam.
Sebagaimana pengertian kebudayaan sebagai sebuah hasil
karya budi daya manusia. Ini merupakan pengertian yang
sangat umum, namun jika kita melihat dari bentuk
kebudayaan yang dihasilkan yakni dalam dua jenis, intlektual
(pemikiran kefilsafatan, seni sastra), dan benda (benda-benda
bersejarah). Islam Kultural lahir sebagai gerakan pemikiran
keislaman yang bertujuan untuk melibatkan agama dalam
proses kehidupan sosial manusia, yang selama ini diabaikan
oleh sebagian kelompok Islam yang hanya mengedepankan ajaran Islam yang ritualistik-formalistik, sehingga
melahirkan kesalehan individual semata, namun kering dari
kesalehan sosial. Dalam arti bahwa jika seorang hamba telah
melakukan kewajiban ritual dalam bentuk ibadah wajib
maupun sunat secara teologis-vertikal, maka seakan-akan
hamba tersebut sudah melakukan kebaikan yang besar dan
merasa tidak memiliki kewajiban yang bersifat muamalah atau
sosial horizontal.
Islam Kultural lahir untuk melakukan transformasi,
membentuk dan untuk selanjutnya menjadikan Islam yang
berfungsi dalam segala aspek kehidupan. Hal ini sesuai
dengan makna dari kata transformation (bahasa Inggris) yang
1 Johan M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VIII. h. 159.
203
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
berarti perubahan atau menjadi.2 Dari definisi ini maka secara
umum, bahwa Islam transformatif bertujuan, untuk:
1. Pemikiran Islam yang bertujuan mengaktualisasi
Islam rahmatan lil alamin.
2. Untuk menciptakan kehidupan yang integral dan
holistik dalam kehidupan, yakni pemaduan antara
kesalehan vertikal yang kemudian terwujud dalam
kesalehan sosial-horizontal. Atau dengan kata lain
aktualisas nilai ritual ibadah yang dikerjakan kedalam
kehidupan sosial dalam bentuk cinta, kasih saying,
toleran dan egalitarian terhadap sesama manusia,
bahkan mungkin terhadap lingkungan alam.
3. Bertujuan untuk mengembangkan Islam yang aktual
pada kondisi zaman yang dihadapi.
Setelah kita elaborasi makna dan tujuan dari Islam
transformatif tersebut, maka yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah, apakah terdapat landasan normatif dan
historisnya dalam Islam? Sebagai sebuah pemikiran
keislaman yang lahir dari seorang muslim, maka sudah tentu
terdapat landasan doktrinal dan historisnya. Seperti tujuan
pertama yang ingin mewujudkan Islam yang menebar cinta
dan kasih saying bagi alam semesta, maka ajaranpandnagan
ini akan ditemukan dalam surat al-Ambiya‟ 21: 107, yang
artinya: sesungguhnya Kami mengutusmu wahai Muhammat
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Al-Quran sendiri
diwahyukan sebagai kitab yang didalamnya diajdikan
2John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, h. 601.
204
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS.
Al-Nahl, 16: 44).
Tujuan kedua, yang mengarah pada terciptanya kesalehan
sosial dari kesalehan individual, hal ini bisa dimaknai bahwa
setelah melakukan kewajiban ibadah yang bersifat vertikal
(solat puasa) maka kesalehan tersebut harus diaktualisasikan
dengan sikap peduli terhadap orang miskin, yatim piatu
dalam bentuk mendermakan pikiran, tenaga dan harta untuk
membatu, terlibat aktif dalam urusan kemaslahat bersama.
Secara doktrinal masalah kepedulian sosial banyak dimuat
dalam al-Qur‟an dan al-Hadits, bahkan terdapat dalam
rukun Islam (mengeluarkan zakat). Sedangkan tujuan ketiga,
yakni mengakomodir semangat perkembangan zaman,
dengan cara melakukan reinterpretasi terhadap Islam agar
mampu berperan sebagai sistem nilai di setiap situasi dan
kondisi. Hal ini banyak tercermin dalam al-Quran yang
menganjurkan untuk berfikir dalam memahami fenomena
alam sebagai sebuah tanda kekuasaan Tuhan.
Secara historis Islam transformatif dalam gerakan
pemikiran Islam dapat ditemukan pada sikap Nabi
Muhammad yang penuh kasih, sopan, toleran, egalitarian,
peduli sama anak yatim dan melakukan musawarah dengan
para sahabat dalam memecahkan suatu masalah yang
dihadapi. Bahkan dalam melakukan ekspansi kewilayah lain,
tentara Islam senantiasa melakukan penaklukan secara etis,
jika tidak dalam keadaan terdesak tidak akan melakukan
tindakan kekerasan.
Salah satu tokoh yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah
pemikir Islam Indonesia yang begitu popular dan memiliki
205
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
ide-ide transformatif yang luar biasa, yakni Kuntowijoyo. Ide
transformasi masyarakat Kuntowijoyo dilakukan dengan
pendekatan historis, sehingga pemikiran Kuntowijoyo lebih
bersifat metodologis ketimbang subtantif. Islam dalam
pandangan Kuntowijoyo adalah: agama sekuler” dalam arti
bahwa, Islam lahir dan tumbuh untuk memperjuangkan
pembebasan dan penyelamatan manusia di dunia “kini dan di
sini” demi suatu cita-ita eskatologis yang sudah pasti. Oleh
karena itu orientasi Islam yang bersifat mengedepankan
orang lain atau altrusitas Islam yang berdasarkan pada etika
transendental tersebut harus diarahkan pada ranah yang
objektif dan empiris. Dan karena kehidupan yang objektif
empiris tersebut merupakan resultan dari kondisi sistem sosial-ekonomi-politik yang bersifat historis, maka
perjuangan Islam adalah perjuangan untuk meperbaikinya.
Dalam arti bahwa, Islam jangan hanya dijadikan sebagai
pemberi legitimasi terhadap sistem sosial yang ada,
melainkan harus mengontrol sistem tersebut.3
Bagaimana Islam bisa menjadi pengontrol sistem sosial
yang ada? Disinilah dibutuhkan sebuah kesiapan metodologi
dan aksiologi, agar umat Islam berperan sebagai pengendali
sistem, atau dengan kata lain sebuah interpretasi untuk aksi
dalam kerangka paradigmatik Islam. Dari kerangka dan
tujuan inilah Kuntowijoyo kemudian menggagas ide tentang
reaktualisasi Islam yang memiliki dua jenis agenda. Pertama,
bersifat akademis-intlektual. Dalam kerangka ini, Islam dapat
3A. E. Priyono, ‚Feriferalisasi, Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak Pemikiran Kontowijoyo)‛, dalam prolog, Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), cet. VIII., h. 26-27.
206
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
dikembangkan sebagai paradigma teoritis atas dasar
epistemik dan etis yang secara an sich dimiliki Islam. Seperti
dalam tataran normatif, Islam memiliki konstruk sistem nilai
koheren yang terdiri dari ajaran wahyu sebagai ajaran
obsolut dan transendental. Untuk dapat berfungsi sebagai
acuan aksiologis, konsep-konsep normatif Islam tersebut
melalui dua medium, yakni ideologi dan ilmu.
Agama menjadi idiologi karena disamping mampu
membentuk realitas, tapi juga mampu memberikan motivasi
etis-teologis untuk merekonstruksinya. Dengan demikian
idiologi dapat diwujudkan menjadi aksi. Sedangkan agama
dapat dikembangkan menjadi ilmu, yakni dengan cara
merumuskan dan mengelaborasi konsep-konsep normatif
agama pada tingkat empiris dan objektif. Dengan demikian
agama dijabarkan menjadi teori untuk aplikasi. Dengan
mengelaborasi konsep normatif agama menjadi teoritis ilmu,
maka agama sejatinya dikembalikan pada acuan orientasi
normatif, dan ilmu akan disubordinasikan ke dalam standar-
standar etika agama. Dari sini akan lahir sebuah bentuk
integrasi ilmu dan agama atau antara teori dan nilai.4
Mengenai perkembangan Islam di Indonesia,
Kuntowijoyo membaginya kedalam dua perkembangan.
Pertama periode paleoteknik atau periode agraris. Pada masa
agraris umat Islam Indonesia bercorak mitis dan majis. Pada
periode ini umat Islam masih belum mengalami
4A. E. Priyono, ‚Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak Pemikiran Kontowijoyo)‛, dalam prolog, Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, h. 36038.
207
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
perkembangan yang dalam pola pikir, fenomena alam masih
dilihat sebagai masalah yang besar dan sulit untuk diatasi.
Namun sikap demikian lebih dikarenakan oleh belum adanya
teknoplogi yang tercipta untuk mensikapi fenomena alam.
Sebagaiamana ciri masyarakat paleoteknik yang masih
mengandalkan tenaga binatang dalam mengelola alam.
Disamping itu, masyarakat Islam periode agraris juga masih
belum mengkonstruksi pengorganisasian masyarakat,
sehingga sulit untuk mobiliasai dan menggalang solidaritas.
Kedua adalah periode neoteknik atau periode industrialis.
Pada masa ini, umat Islam Indonesia mulai melakukan upaya
pemikiran yang lebih progresif, walaupun kepercayaan pada
mistik dan majis masih dilakukan, namun yang menjadi ciri
dari periode ini adalah lahirnya organisasi-organisasi
keislaman modern serta ulama dan intelektual yang mencoba
melakukan pembaharuan terhadap pola pikir dan paradigma
keberislaman.5
Namun kewaspadaan harus tetap dijaga oleh umat Islam
saat menghadapi masa industrialisasi, sebab industrialisasi
pada dasarnya merupakan hasil kebudayaan dan sains modern
Barat, yang mana rasionalisme, modernisme dan sekularsime
merupakan ciri dari kebudayaan modern Barat tersebut. Jika
hal-hal seperti itu tidak diwaspadai maka akan mendatangkan
bencana bagi umat Islam Indonesia. Berangkat dari sikap
waspada dan prepentif inilah Kuntowijoyo menawarkan cara
respon yang dianggapnya merupakan khazanah intlektual
Islam itu sendiri atau Islam
5Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1991), cet. I., h. 280-281.
208
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
memiliki cara berpikir tersendiri yakni cara berpikir yang
rasioanal dan empiris. Bagi Kuntowijoyo Islam
menganjurkan pentingnya akal pikiran dan pencarian
pengetahuan melalui observasi. Al-Qur‟an menganjurkan
untuk menelaah fenomena alam, dalam sejarah dan dalam diri
kita. Dari sini terlihat bahwa Islam memiliki cita-cita rasional
dan empirik. Formulasi inilah yang harus dipergunakan umat
Islam untuk menghadapi periode neoteknik dan saat ini.
Terkait dengan formulasi sistem dan keilmuan Islam
yang rasional dan empiris tersebut Kuntowijoyo menawarkan
lima cara reaktualisasi ajaran Islam sebagai bentuk
kebangkitan dan respons umat Islam terhadap kebudayaan
yang dihadapi.
Pertama, perlunya dikembangakan interpretasi atau
penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran
individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di
dalam al-Qur‟an. Kedua mengubah cara berfikir subjektif
menjadi cara berfikir objekrtif. Ketiga mengubah Islam yang
normati menjadi teoritis. Keempat mengubah pemahaman
yang a-historis menjadi pemahaman yang historis. Kelima
merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi
formulasi yang bersifat spesifik dan empirik. Dengan
diaktualsikannya kelima cara tersebut Kuntowijoyo optimis
bahwa umat Islam Indonesia akan mampu menjawab
tantanga zaman yang dihadapi.6
Dari kutipan ini dapat terlihat bagaimana Kuntowijoyo
melihat Islam sebagai sistem nilai sosial yang berfungsi
6Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, h. 283-285.
209
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
sebagai penggerak sosial yang melahirkan idiologi
transformatif, hal ini jika dilihat dalam konteks pemikiran
Weber yang memandang agama memiliki unsur
motivasionisme dalam melahirkan etos dan spirit bagi
pengikutnya.Ahirnya sebagai sebuah kesimpulan dalam
tulisan ini akan dicantumkan kata-kata atau ide transformati
Kuntowijoyu: salah satu kepentingan Islam sebagai sebuah
ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai
dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua
idiologi sosial atau filsafat menghadapi suatu pertanyaan pokok,
yakni bagaimana mengubah masyarkat dari kondisi yang sedang
dihadapi menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan
idealnya. Penjelasan terhadap semua pertanyaan-pertanyaan pokok
tersebut akan melahirkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk
menjelasakan kondisi masyarkat yang empiris pada masa kini dan
sekaligus akan memberikan “insight” mengenai perubahan dan
transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari idiologi
sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi
sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial
tersebut bersifat transformatif.7
Kuntowijoyo melahirkan ide Islam transformatif dalam
konteks bagaimana agama mampu berperan dalam tataran
hidup sebagai penggerak kearah hidup yang lebih baik dan
progresif. Namun apakah Kuntowijoyo melihat Islam sebagai
sebuh sistem yang membentuk atau mempengaruhi atau
membentuk suatu budaya masyarakat atu tidak? Hal ini
belum jelas, tapi yang pasti bahwa Kuntowijoyo melihat
7Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, h.
337.
210
Genealogi Pemikiran Modern I slam Nusantara
Islam sebagai agama harus mampu memaenkan peran
idiologis dalam melakukan transformasi sosial bagi umatnya
sepanjang zaman dan dalam kondisi apapun dan kakapanpun.
Tapi idiologi yang dimaksud disini adalah idiologi yang
bersifat membangun kearah hidup yang lebih baik maju dan
progresif, bukan idiologi yang menghancurkan stabilitas dan
pluralitas hidup.
Daftar Pustaka
A. E. Priyono, 1998. ‚Feriferalisasi, Oposisi, dan
Integrasi Islam di Indonesia Menyimak
Pemikiran Kontowijoyo)‛, dalam prolog,
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, cet. VIII.
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1997. Kamus Inggris Indonesia,(Jakarta: Gramedia, cet.
VIII.
Kuntowijoyo, 1991. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, cet. I.
211
Biodata Penulis
Lestari lahir di Dusun Pegading Kecamatan Kopang Lombok Tengah pada 4 April 1982. Pendidikan yang ia tempuh mulai dari SD, Stanawiyah Darul Mahmudin NW Montong Gamang tahun 1994-1997, MAKN-MAN 2 Mataram tahun 1997-2000. Kemudian Ia melanjutkan program S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
Jurusan Aqidah Filsafat, S2 Tahun 2007-2010 di Kampus yang sama dengan konsentrasi Pemikiran Islam. Selama Kuliah S1 ia aktif sebagai pengurus Cabang PMII Ciputat, Dewan Pembina dan Pengurus Ikatan Mahasiswa Sasak Jakarta (IMSAK), anggota pengurus Lembaga Studi Islam Progresip (LSIP). Tahun 2010 sampai sekarang Ia diangkat menjadi Dosen Tetap STIT Darussalimin NW Praya Lombok Tengah dan diamanahkan menjabat sebagai Ketua LP3M, Dosen Luarbiasa UIN Mataram. Selain Mengajar ia juga aktip melakukan penelitian yang diselenggarakan oleh direktorat pendidikan Islam, Kordinator Forum Komunikasi Dosen Peneliti (FKDP) Kopertais IV Surabaya cluster Sasambo/NTB, Dewan Pembina dan Ketua Umum Local Wisdom Research (LWR) periode 2016-2021.
Abdul Quddus adalah dosen tetap UIN Mataram untuk mata kuliah Filsafat dan Tasawuf, Lahir di Lombok 11 Nopember 1978. Meraih peghargaan wisudawan terbaik program doktor bidang pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Berbagai penghargaan research internasional telah diraih mulai
dari Academic Recharging (ARFI) di Jerman-Belanda 2012, post doctoral research di Universitas Ibnu Tufayl, Marocco (2013), tahun 2014 mendapat kehormatan sebagai Guest Lecturer di Aukcland University, New Zealand melalui program POSFI. Tahun 2016 post doctoral research di Western Sydney University, Australia. Aktif sebagai narasumber diberbagai seminar internasional; Jakarta 2013, Malaysia 2014, Kitakyushu-Jepang 2016, menulis beberapa buku dan artikel ilmiah. Kini dipercaya sebagai editor in chief jurnal ‘Schemata’ dan Ketua Program Doktor (S.3) Pascasarjana UIN Mataram.
212