Upload
michiko-fujiwara-tanadi
View
254
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ekstraksi Kulit Rambutan --> Uji aktivitas antibiotik --> Sediaan Gel --> Uji Fisik
Citation preview
PROPOSAL PENELITIAN
FORMULASI GEL EKSTRAK KULIT BUAH
RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.) SEBAGAI
ANTI JERAWAT DAN UJI EFEKTIVITASNYA
PADA PROBANDUS
Diajukan oleh
MICHIKO TANADI
NPM : 2011210156
UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS FARMASI
JAKARTA
April 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jerawat merupakan penyakit kulit yang dikenal dengan acne vulgaris,
hampir semua orang pernah mengalaminya. Jerawat sering dianggap sebagai
kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Hal ini umumnya terjadi pada umur
sekitar 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pada pria dan akan menghilang
dengan sendirinya pada usia sekitar 20-30 tahun. Namun kadang-kadang terutama
pada wanita, jerawat menetap sampai dekade umur 30 tahun lebih (1,2,3).
Jerawat adalah suatu proses peradangan kronik kelenjar-kelanjar polisebasea
yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul dan nodul. Penyebaran jerawat
terdapat pada muka, dada, punggung yang mengandung kelenjar sebaseus (4).
Jerawat dapat disebabkan oleh bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus
epidermidis dan Staphylococcus aureus. Bakteri ini tidak patogen pada kondisi
normal, tetapi bila terjadi perubahan kondisi kulit, maka bakteri tersebut berubah
menjadi invasif. Sekresi kelenjar keringat dan kelenjar sebasea yang menghasilkan
air, asam amino, urea, garam dan asam lemak merupakan sumber nutrisi bagi
bakteri. Bakteri ini berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta pembentukan
enzim lipolitik pengubah fraksi sebum menjadi massa padat, yang menyebabkan
terjadinya penyumbatan pada saluran kelenjar sebasea (3,5,6).
Salah satu bahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai pencegahan jerawat
pada wajah adalah kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.). Tanaman
rambutan tersebar di seluruh daerah Indonesia, sesuai dengan habitatnya di daerah
beriklim tropis. Buah rambutan banyak ditanam, dibudidayakan, dan digemari oleh
masyarakat Indonesia tetapi limbah kulit buahnya belum dimanfaatkan. Kulit buah
rambutan dapat dipertimbangkan sebagai sumber alami antibakteri yang murah dan
mudah didapat.
Penelitian yang telah dilakukan secara in vitro (7) menyimpulkan bahwa
pemberian ekstrak metanol kulit buah rambutan memiliki efek antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis dengan nilai Kadar Bunuh
Minimum (KBM) lebih besar dari 0,2 %. Kulit buah rambutan (Nephelium
lappaceum L.) mengandung senyawa tanin geraniin, asam ellagat, dan corilagin
yang berkhasiat sebagai antibakteri (8). Ketiga senyawa ini termasuk dalam
golongan tanin terhidrolisis yang dikenal memiliki aktivitas antibakteri yang kuat
(9).
Untuk mengatasi masalah jerawat dibutuhkan suatu sediaan yang
mempunyai daya penetrasi yang baik dan waktu kontak yang cukup lama untuk
mengurangi/mengobati jerawat, di antaranya adalah sediaan gel yang mempunyai
kadar air yang tinggi sehingga dapat menghidrasi stratum corneum dan
mengurangi resiko timbulnya peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya
minyak dalam pori-pori.
Dalam penelitian ini akan digunakan rancangan faktorial 23 dengan 2 faktor
yang diduga berperan penting dalam mutu dan efektivitas sediaan gel, yaitu ekstrak
kulit buah rambutan sebagai bahan aktif dan HPMC sebagai bahan pembentuk gel.
Selain itu digunakan metil paraben sebagai pengawet, propilenglikol sebagai
humektan, serta sebagai pelarut digunakan air suling. Pada penelitian ini digunakan
variasi konsentrasi HPMC sebagai gelling agent sehingga dapat diketahui
konsentrasi optimum dari masing-masing faktor untuk menghasilkan sediaan gel
yang memenuhi syarat mutu fisika dan kimia, serta efektif sebagai anti jerawat.
B. PERUMUSAN MASALAH
Kulit buah rambutan mengandung senyawa tanin geraniin, asam ellagat, dan
corilagin yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus epidermidis sebagai penyebab utama jerawat. Oleh karena itu,
ekstrak kulit buah rambutan akan diformulasikan menjadi sediaan gel untuk
mengoptimalkan penggunaan, meningkatkan kenyamanan, estetika, mutu fisika dan
kimia, serta efektivitasnya sebagai anti jerawat. Pada sediaan gel, bahan yang
diduga berperan penting dalam mutu fisika dan kimia serta efektivitasnya adalah
variasi konsentrasi ekstrak kulit buah rambutan dan variasi HPMC sebagai gelling
agent. Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah ekstrak kulit buah rambutan dapat diformulasikan menjadi sediaan gel
yang memenuhi syarat mutu fisika dan kimia?
2. Apakah sediaan gel yang dihasilkan efektif dalam menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis pada kulit wajah
probandus?
3. Apakah dapat diperoleh formula optimum gel ekstrak kulit buah rambutan yang
memenuhi syarat mutu fisika dan kimia, serta efektif sebagai antijerawat?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan umum
Memanfaatkan dan mengembangkan potensi kulit buah rambutan (Nephelium
lappaceum L.) menjadi sediaan gel yang dapat mencegah tumbuhnya jerawat
pada kulit wajah.
2. Tujuan khusus
a. Memformulasikan ekstrak kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum
L.) menjadi sediaan gel yang memenuhi syarat mutu fisika dan kimia,
serta efektif sebagai antijerawat.
b. Menentukan formula optimum gel ekstrak kulit buah rambutan yang
memenuhi syarat mutu fisika dan kimia, serta efektif sebagai antijerawat.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai pemanfaatan kulit buah rambutan menjadi sediaan obat kumur untuk
membantu peningkatan kesehatan rongga mulut yang murah dan mudah didapat,
serta menjadi masukan bagi penelitian lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)
1. Tinjauan botani
a. Klasifikasi tanaman.
Gambar II.1 Rambutan (9) Gambar II.2 Buah rambutan (9)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Marga : Sapindaceae
Genus : Nephelium
Spesies : Nephelium lappaceum L. (10)
b. Nama simplisia.
Nephelii lappacei Pericarpium (kulit buah rambutan)
c. Nama lokal
Sumatera: rambutan, rambot, rambut, rambuteun, rambuta, jailan, folui,
bairabit, puru biancak, p. biawak, hahujam, kakapas, likis, takujung alu.
Jawa: rambutan, corogol, tundun, bunglon, buwa buluwan.
Nusa Tenggara: buluan, rambuta. Kalimantan: rambutan, siban, banamon,
beriti, sanggalaong, sagalong, beliti, malit;, kayokan, bengayau, puson.
Sulawesi: rambutan, rambuta, rambusa, barangkasa, bolangat, balatu,
balatung, walatu, wayatu, wilatu, wulangas, lelamu, lelamun, toleang.
Maluku: rambutan, rambuta.
NAMA ASING Shao tzu (C), rambutan (Tag), ramboutan (P), ramustan
(Spanyol).
d. Uraian tumbuhan.
Rambutan banyak ditanam sebagai pohon buah dan kadang-kadang ditemukan
tumbuh liar. Tumbuhan tropis ini memerlukan iklim lembab dengan curah
hujan tahunan paling sedikit 2000 mm. Rambutan merupakan tanaman dataran
rendah yang ketinggiannya mencapai 300-600 m dpl. Pohon dengan tinggi 15-
25 m ini mempunyai banyak cabang. Rambutan berbunga pada akhir musim
kemarau dan membentuk buah pada musim hujan, sekitar November sampai
Februari. Ada banyak jenis rambutan, seperti rapiah, simacan, sinyonya, lebak
bulus, dan binjai (11).
2. Habitat dan Penyebaran
Rambutan dapat tumbuh subur pada dataran rendah dengan ketinggian antara 30-
500 m dpl. Pada ketinggian dibawah 30 m dpl rambutan dapat tumbuh namun
tidak begitu baik hasilnya.
3. Kandungan kimia
Kulit buah rambutan mengandung tanin dan saponin (11). Penelitian yang telah
dilakukan oleh Thitilerdecha et al. tahun 2010 berhasil mengisolasi senyawa
yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba dari kulit buah rambutan,
yaitu senyawa tanin geraniin, asam ellagat, dan corilagin dari ekstrak metanol
kulit buah rambutan (5).
a. Karakteristik geraniin.
Gambar II.3 Struktur kimia geraniin (12)
Geraniin merupakan elagitanin, termasuk dalam kelompok tanin terhidrolisa.
Geraniin diidentifikasi sebagai komponen bioaktif utama dari ekstrak etanol
kulit buah rambutan. Geraniin memiliki aktivitas sebagai antibakteri,
antioksidan, dan antihiperglikemia (12). Geraniin memiliki rumus molekul
C41H28O27, larut dalam alkohol dan air (13).
b. Karakteristik asam ellagat.
Gambar II.4 Struktur kimia asam ellagat (14)
Asam ellagat merupakan derivat elagitanin. Biosintesa asam ellagat di
tanaman berasal dari hidrolisis tanin seperti elagitanin dan geraniin. Asam
ellagat memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antioksidan, dan antiproliferatif
(14). Asam ellagat memiliki rumus molekul C14H6O8, agak sukar larut dalam
air atau alkohol; larut dalam alkali dan piridin; praktis tidak larut dalam eter
(13).
c. Karakteristik corilagin.
Gambar II.5 Struktur kimia corilagin (15)
Corilagin merupakan derivat elagitanin. Biosintesa corilagin di tanaman
berasal dari hidrolisis tanin seperti elagitanin dan geraniin. Corilagin memiliki
aktivitas sebagai antibakteri, antioksidan, dan astringen (15). Corilagin
memiliki rumus molekul C27H22O18, sangat mudah larut dalam air, alkohol,
dan aseton; mudah larut dalam gliserol panas; praktis tidak larut dalam
benzen, kloroform, dan eter. Pada suhu 2100 - 2150C terdekomposisi menjadi
pirogalol dan CO2 (13).
4. Khasiat dan penggunaan
Penggunaan kulit buah rambutan secara tradisional memberikan khasiat:
a. Obat demam.
Cuci kulit buah rambutan yang telah dikeringkan (15 gram). Tambahkan 3
gelas air minum, lalu rebus sampai airnya mendidih selama 15 menit. Setelah
dingin, saring dan minum sehari tiga kali, masing-masing sepertiga bagian.
b. Obat disentri.
Cuci kulit buah rambutan (10 buah), potong-potong seperlunya. Tambahkan 3
gelas air minum, lalu rebus sampai airnya tersisa separuhnya. Setelah dingin,
saring dan minum sehari dua kali, masing-masing tiga perempat gelas (11).
5. Karakteristik kulit buah yang digunakan
Pada penelitian ini, kulit buah yang digunakan adalah kulit dari buah rambutan
varietas Lebak Bulus yang telah matang. Ciri-ciri buah yang telah matang yaitu
kulit buah berwarna merah kekuningan hingga merah tua, tercium aroma khas
rambutan, dan rasanya manis.
B. KULIT
Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi
utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar.
Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti
pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi, pengaturan suhu tubuh,
produksi sebum dan keringat, pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit
dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan
terhadap tekanan dan infeksi dari luar.(Tranggono, R.I. dan Latifah, F., 2007).
1. Struktur Kulit
Menurut Aiache, J.M. dan J. Devissaguet, kulit secara umum dibagi menjadi 3
bagian, (1993), yaitu:
1. Lapisan epidermis
Lapisan terluar merupakan lapisan yang paling banyak menerima kontak dari
lingkungan luar.
2. Lapisan dermis
Lapisan ini tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening.
3. Lapisan Hipodermis
Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung syaraf dan lapisan jaringan di bawah
kulit yang berlemak.
Dari sudut kosmetika, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik karena
kosmetika dipakai pada lapisan epidermis. Lapisan epidermis terdiri atas 5
lapisan: stratum korneum (lapisan tanduk), stratum lusidum (lapisan jernih),
stratum granulosum (lapisan butir), stratum spinosum (lapisan taju), dan
stratum basalis (lapisan benih) (Tranggono, R.I. dan Latifah, F., 2007).
2. Fungsi Biologik Kulit
Fungsi biologik kulit menurut Mitsui, T. (1997), ada 5 fungsi yaitu:
1. Proteksi
Serabut elastis yang terdapat pada dermis serta jaringan lemak subkutan
berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap interior tubuh.
Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan
cara mencegah masuknya air dari luar tubuh dan mencegah penguapan air,
selain itu juga berfungsi sebagai barrier terhadap racun dari luar. Mantel
asam kulit dapat mencegah pertumbuhan bakteri di kulit.
2. Thermoregulasi
Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi
pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya dipengaruhi saraf
otonom. Pusat pengatur temperatur tubuh di hipotalamus. Pada saat
temperatur badan menurun terjadi vasokonstriksi, sedangkan pada saat
temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan
pembuangan panas.
3. Persepsi sensoris
Kulit sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba,
suhu dan nyeri. Beberapa reseptor pada kulit untuk mendeteksi rangsangan
dari luar diantaranya adalah Benda Meissner, Diskus Merkell dan
Korpuskulum Golgi sebagai reseptor raba, Korpuskulum Panici sebagai
reseptor tekanan, Korpuskulum Ruffini dan Benda Krauss sebagai reseptor
suhu dan Nervus End Plate sebagai reseptor nyeri. Rangsangan dari luar
diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf
pusat selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri.
4. Absorbsi
Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua
jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjer sebasea dari folikel
rambut. Bahan yang mudah larut dalam lemak lebih mudah diabsorbsi
dibandingkan bahan yang larut air.
5. Fungsi Lain
Kulit dapat menggambarkan status emosional seseorang dengan memerah
ataupun memucat. Kulit dapat juga mensintesa vitamin D dengan bantuan
sinar ultraviolet.
3. Absorbsi Obat Melalui Kulit
Tujuan umum pengunaan obat topikal pada terapi adalah untuk menghasilkan
efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis. Daerah yang
terkena, umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat topikal tertentu
seperti emoliens (pelembab), dan antimikroba bekerja dipermukaan kulit saja
(Lachman, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi kulit sangat bergantung dari
sifat fisika kimia obat dan juga bergantung pada zat pembawa, pH dan
konsentrasi. Perbedaan fisiologis melibatkan kondisi kulit yaitu apakah kulit
dalam keadaan baik atau terluka, umur kulit, perbedaan spesies dan kelembaban
yang dikandung oleh kulit (Lachman, 1994).
Beberapa cara penetrasi obat yang mungkin ke dalam kulit menurut
Tranggono, R.I. dan Latifah, F. (2007), yaitu:
1. Lewat antara sel-sel stratum korneum (interselular)
2. Menembus sel-sel stratum korneum (transelular)
3. Melalui kelenjar keringat
4. Melalui kelenjar sebasea
5. Melalui dinding saluran folikel rambut
Cara 1 dan 2 disebut transepidermal. Cara 3 dan 4 disebut penetrasi. Cara
5 disebut transfolikular. Cara 3, 4 dan 5 disebut juga transappendageal
4. Penyakit Dan Kelainan Pada Kulit
Penyakit dan kelainan pada kulit menurut Wirakusumah dan Setyowati (1999)
diantaranya adalah:
a. Jerawat
Jerawat merupakan penyakit kulit yang sudah dikenal secara luas dan sering
timbul pada wajah, baik wajah para remaja maupun dewasa. Jerawat terjadi
karena adanya peradangan yang disertai penyumbatan pada saluran kelenjar
minyak dalam kulit.
b. Infeksi pada kulit
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus ini dapat berupa bisul,
cacar air, kusta atau jamuran. Umumnya infeksi di sela paha dan telapak
kaki.
c. Penuaan dini pada kulit
Penyebabnya demam yang tinggi dan berkepanjangan atau terkena sinar
matahari yang terlalu lama.
d. Noda-noda hitam
Kelainan kulit ini disebabkan oleh sinar ultra violet matahari yang memacu
pembentukan pigmen warna kulit secara berlebihan. Akibatnya, timbul
bercak atau noda hitam pada bagian-bagian kulit yang sering terkena sinar
matahari.
C. JERAWAT
Jerawat adalah suatu proses peradangan kronik kelenjar-kelanjar polisebasea
yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul dan nodul. Penyebaran jerawat
terdapat pada muka, dada, punggung yang mengandung kelenjar sebasues (4).
Gambar II.6 Jerawat pada wajah ()
Jerawat dapat disebabkan oleh bakteri Propionibacterium acnes dan
Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus. Bakteri ini tidak patogen
pada kondisi normal, tetapi bila terjadi perubahan kondisi kulit, maka bakteri
tersebut berubah menjadi invasif. Sekresi kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
yang menghasilkan air, asam amino, urea, garam dan asam lemak merupakan
sumber nutrisi bagi bakteri. Bakteri ini berperan pada proses kemotaktik inflamasi
serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi sebum menjadi massa padat,
yang menyebabkan terjadinya penyumbatan pada saluran kelenjar sebasea. (3,5,6).
1. Penyebab Terjadinya Jerawat
Penyebab terjadinya jerawat karena terjadinya penyumbatan pada saluran
kelenjar minyak. Sumbatan saluran kelenjar minyak dapat terjadi diantaranya
karena:
1. Perubahan jumlah dan konsistensi lemak kelenjar akibat pengaruh berbagai
faktor penyebab, yaitu: hormonal, infeksi bakteri, makanan, penggunaan
obat-obatan dan psikososial (Wasitaadmadja, 1997).
Hormonal. Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif dipacu oleh
pembentukan hormon testoteron (androgen) yang berlebih, sehingga pada
usia pubertas akan banyak timbul jerawat pada wajah, dada, punggung,
sedangkan pada wanita selain hormon androgen, produksi lipida dari kelenjar
sebaseus dipacu oleh hormon luteinizing yang meningkat saat menjelang
menstruasi (Mitsui, T., 1997).
Infeksi bakteri. Kelebihan sekresi dan hiperkeratosis pada
infundibulum rambut menyebabkan terakumulasinya sebum. Sebum yang
terakumulasi kemudian menjadi sumber nutrisi yang bagi pertumbuhan
Propionibacterium acne. Enzim lipase yang dihasilkan dari bakteri tersebut
menguraikan trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas, yang
menyebabkan inflamasi dan akhirnya terbentuk jerawat. Sedangkan,
Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus dapat menimbulkan
infeksi sekunder pada jerawat, infeksi akan bertambah parah jika jerawat
sudah bernanah (Mitsui, T., 1997).
Makanan. Makanan yang mengandung lemak, karbohidrat dan
berkalori tinggi dapat memicu timbulnya jerawat. Meskipun tidak semua ahli
sependapat dengan adanya hubungan antara makanan dan jerawat, tetapi
banyak pengalaman ditemukan adanya hubungan ini (Wasitaatmadja, 1997).
Penggunaan obat. Obat-obatan yang dapat memicu timbulnya jerawat,
misalnya kortikosteroid, narkotika, stimulansia susunan saraf pusat, karena
obat-obatan ini dapat memicu sekresi kelenjar lemak yang berlebihan
(Wasitaatmadja, 1997). Psikososial. Stres psikis secara tidak langsung dapat
memicu timbulnya jerawat karena penigkatan stimulasi kelenjar sebasea
(Wasitaatmadja, 1997).
2. Tertutupnya saluran keluar kelenjar sebasea olah massa eksternal, baik dari
kosmetik, bahan kimia, debu dan polusi (Wasitaatmadja, 1997).
3. Saluran keluar kelenjar sebasea menyempit (hiperkeratosis) akibat radiasi
sinar ultraviolet, sinar matahari, atau sinar radio aktif (Wasitaatmadja, 1997).
Ketiga faktor di atas dapat menyebabkan jerawat secara terpisah, tetapi
ketiganya juga dapat saling mempengaruhi untuk membentuk jerawat. Selain itu,
masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan jerawat bertambah buruk, antara
lain faktor genetik, rasial, kerja berlebih, dan cuaca (Mitsui, 1997;
Wasitaatmadja, 1997).
2. Jenis-Jenis Jerawat
Jenis-jenis jerawat berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit menurut
Wasitaatnadja (1997), terbagi menjadi 3 skala, yaitu:
1. Ringan, meliputi komedonal: whitehead (komedo tertutup) dan blackhead
(komedo terbuka).
Whitehead (komedo tertutup) merupakan kelainan berupa bintil kecil
dengan lubang kecil atau tanpa lubang karena sebum yang biasanya disertai
bakteri menumpuk di folikel kulit dan tidak bisa keluar (Anonim, 2009).
Blackhead (komedo terbuka) merupakan perkembangan lebih lanjut
dari komedo tertutup, terjadi ketika folikel terbuka di permukaan kulit
sehingga sebum, yang mengandung pigmen kulit melanin, teroksidasi dan
berubah menjadi coklat/hitam. Blackhead dapat berlangsung lama karena
proses pengeringan komedo di permukaan kulit berlangsung lambat
(Anonim, 2009).
2. Sedang, meliputi: papule, pustule dan nodule
Papel terjadi ketika dinding folikel rambut mengalami kerusakan atau
pecah sehingga sel darah putih keluar dan terjadi inflamasi di lapisan dalam
kulit. Papel berbentuk benjolan-benjolan lunak kemerahaan di kulit tanpa
memiliki kepala (Anonim, 2009).
Pustule terjadi beberapa hari kemudian ketika sel darah putih keluar ke
permukaan kulit. Pustel berbentuk benjolan merah dengan titik putih atau
kuning di tengahnya yang mengandung sel darah putih (Anonim, 2009).
Nodule. Bila folikel pecah di dasarnya maka terjadi benjolan radang
yang besar yang sakit bila disentuh. Nodus biasanya terjadi akibat rangsang
peradangan oleh fragmen rambut yang berlangsung lama (Anonim, 2009).
3. Berat, meliputi abses dan sinus(akne kongloblata)
Abses. Kadang beberapa papel atau pustel mengalami pengelompokan
dengan membentuk abses yang berwarna kemerahan, nyeri dan cenderung
mengeluarkan bahan berupa campuran darah, nanah dan sebum. Pada proses
penyembuhan kelainan ini meninggalkan jaring parut yang luas (Anonim,
2009).
Jenis jerawat paling berat (acne konglobata Sering terdapat di lekukan
samping hidung, hidung, rahang dan leher. Kelainan berupa garis linier
dengan ukuran panjang bisa mencapai 10 cm dan mengandung beberapa
saluran sinus atau fistel yang menghubungkan sinus dengan permukaan
kulit. Penyembuhan jerawat ini memakan waktu berbulan-bulan, bahkan
tahun dan dapat kambuh lagi bila mengalami proses inflamasi. Sinus harus
ditangani dengan pembedahan (Anonim, 2009).
3. Penanggulangan Jerawat
Penanggulangan jerawat meliputi usaha untuk mencegah terjadinya jerawat
(preventif) dan usaha untuk mengobati atau menghilangkan jerawat yang terjadi.
Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara: hidup teratur dan sehat, tetap
menjaga kebersihan kulit dari kelebihan minyak, jasad renik, kosmetik, debu,
kotoran dan polusi lainya yang dapat menghambat folikel sebagai pemicu
timbulnya jerawat. Mempelajari dan mengetahui informasi mengenai penyakit,
pencegahan dan cara maupun lama pengobatannya (Wasitaatmadja, 1997).
Usaha pengobatan jerawat menurut Wasitaatmadja (1997) dapat
dilakukan dengan 3 cara:
1. Pengobatan topikal
Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo (jerawat
ringan), ditujukan untuk mengatasi menekan peradangan dan kolonisasi
bakteri, serta penyembuhan lesi jerawat. Misalnya dengan pemberian bahan
iritan dan antibakteri topikal serta kortikosteroid topikal seperti; sulfur,
resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida, asam azelat, tetrasiklin,
eritromisin dan klindamisin.
2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk penderita jerawat sedang sampai berat,
dengan prinsip menekan aktivitas jasad renik, menekan reaksi radang,
menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal.
Golongan obat sistemik misalnya: pemberian antibiotik (tetrasiklin,
eritromisin dan klindamisin), obat hormonal (etinil estradiol, antiandrogen
siproteron asetat), penggunaan retinoid untuk menekan hiperkeratinisasi dan
atas dasar serta tujuan berbeda dapat digunakan berupa antiinflamasi
nonsteroid, dapson atau seng sulfat.
3. Bedah kulit
Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi akibat
jerawat. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh baik dengan
cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi atau
bedah laser.
D. URAIAN BAKTERI
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat
atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok
mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian
kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1987). Bakteri
penyebab jerawat umumnya adalah Propionibacterium acne, Staphylococcus
epidermidis, dan Staphylococcus aureus
1. Bakteri Propionibacterium acne
Dalam penelitian ini salah satu bakteri yang digunakan adalah Propionibacterium
acne. Propionibacterium acne adalah organisme utama yang pada umumnya
memberi kontribusi terhadap terjadinya jerawat. Adapun sistematika bakteri
Propionibacterium acne adalah sebagai berikut:
Kingdom : Monera
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Marga : Propionibacteriaceae
Jenis : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acne
Gambar II.7. Bakteri Propionibacterium acne dengan perbesaran 6500 kali ()
Propionibacterium acnes adalah termasuk gram-positif berbentuk batang,
tidak berspora, tangkai anaerob ditemukan dalam spesimen-spesimen klinis.
Propionibacterium acne pada umumnya tumbuh sebagai anaerob obligat,
bagaimanapun, beberapa strain/jenis adalah aerotoleran, tetapi tetap
menunjukkan pertumbuhan lebih baik sebagai anaerob. Bakteri ini mempunyai
kemampuan untuk menghasilkan asam propionat, sebagaimana ia mendapatkan
namanya (Irianto, 2006).
2. Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis adalah sebagai berikut:
Kingdom : Monera
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Marga : Micrococaceae
Jenis : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus epidermidis
Gambar II.8. Bakteri Staphylococcus epidermidis dengan perbesaran 6500 kali ()
Stafilokokus merupakan sel gram positif berbentuk bulat biasanya
tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus
epidermidis membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih, non patogen,
koagulasi negatif, memfermentasi glukosa, dapat bersifat aerob dan anaerob
fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit.
Infeksi stafilokokus lokal tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut atau
abses, terdapat juga sebagai reaksi inflamasi yang kuat dan terlokalisir (Jawetz
dkk., 1996).
3. Bakteri Staphylococcus aureus
Sistematika bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut:
Kingdom :Monera
Divisi : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Marga : Staphylococcaceae
Jenis : Staphilococcus
Spesies : Staphilococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak (Gambar 2.1). Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada
perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar,
halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.
aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan
dalam virulensi bakteri. Infeksi Staphylococcus aureus diasosiasikan dengan
beberapa kondisi patologi, diantaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis,
dan arthritits. Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini
memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik (Jawetz et al.,
1995 ; Novick et al., 2000).
E. EKSTRAKSI
1. Ekstraksi dan ekstrak
Ekstraksi adalah penyarian senyawa yang terdapat dalam larutan campuran
atau campuran padatan dengan menggunakan pelarut yang cocok. Ekstraksi
dapat dilakukan dengan pelarut organik terhadap bahan segar atau bahan
kering.
Pada dasarnya prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang
berada dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Pelarut
polar melarutkan senyawa polar, pelarut semipolar melarutkan senyawa
semipolar, pelarut non polar melarutkan senyawa non polar.
Sediaan yang diperoleh dari hasil ekstraksi dinamakan ekstrak. Ekstrak
adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (16).
2. Metode ekstraksi
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam golongan alkaloid, minyak atsiri, flavonoid, dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Berikut ini cara
ekstraksi dengan menggunakan pelarut:
a. Cara dingin.
1) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan.
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu
baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan.
b. Cara panas.
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur didihnya
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konsisten
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi sempurna.
2) Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
berkelanjutan dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
3) Digesti
Digesti ialah maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi dari
temperatur ruangan yaitu dilakukan sekitar 400 – 500 C.
4) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air pada temperatur terukur 960-
980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu lebih lama (≥ 30 menit) dengan
temperatur sampai titik didih air (16).
F. Gel
1. Uraian Gel
Gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik
yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan
partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya
Gel Aluminium Hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari
fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai
magma (misalnya Magma Bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa
tiksotropik, membentuk semipadat jika dibiarkan dan menjadi cair pada
pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan untuk
menjamin homogenitas dan hal ini tertera pada etiket. Jika massanya banyak
mengandung air, gel itu disebut jelly.
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba
sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara
molekul makro yang terdispersi dan cairan. (Ditjen POM, 1995).
2. Sifat Gel
Gel memiliki sifat yang khas:
1. Dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi
larutan yang menyebabkan terjadinya pertambahan volume. Pelarut akan
berpenetrasi di antara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut
dengan gel. Pengembangan gel kurang sempurna jika terjadi ikatan silang
antara polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan
komponen gel berkurang.
2. Sineresis, yaitu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa
gel. Cairan yang terjerat akan ke luar dan akan berada di atas permukaan
gel. Pada saat pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis sehingga
terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi
berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat
terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran sel akan
mengakibatkan karakter antar matriks berubah, sehingga memungkinkan
cairan bergerak menuju permukaan, sinerisis dapat terjadi pada hidrogel
maupun organogel.
3. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan
mempunyai aliran viskoelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam
tergantung dari komponen pembentuk gel (Lieberman, 1997).
Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen
pembentuk gel. Bentuk struktur gel antara lain struktur kumparan acak, heliks,
batang, dan bangunan kartu. Sediaan farmasi umumnya menggunakan gel
dengan struktur kumparan acak yang terbentuk dengan mekanisme interaksi
antar polimer. Pembentukan gel sangat tergantung dari konsentrasi polimer dan
afinitas pelarut terhadap polimer (Lieberman, 1997).
Ada tiga macam sifat pelarut dalam struktur gel, yaitu: pelarut yang
bebas terperangkap di dalam struktur tiga dimensi gel. Berdasarkan ketiga sifat
pelarut tersebut di atas, maka pembentukan gel tergantung dari konsentrasi
polimer dan aktivitas pelarut terhadap polimer. Pelarut yang biasa digunakan
untuk gel adalah air (hidrogel) dan pelrut organic (organogel). Xerogel adalah
basis gel yang padat dengan kandungan komponen pembentuk gel dalam
pelarut dengan jumlah minimum yang diperoleh dengan menguapkan
pelarutnya (Lieberman, 1997).
3. Keunggulan Gel
Keunggulan gel pada formulasi sediaan antijerawat :
1. Waktu kontak lama
Kulit mempunyai barrier yang cukup tebal, sehingga dibutuhkan waktu
yang cukup lama untuk zat aktif dapat berpenetrasi.
2. Kadar air dalam gel tinggi
Jumlah air yang banyak dalam gel akan menghidrasi stratum corneum
sehingga terjadi perubahan permeabilitas stratum corneum menjadi lebih
permeabel terhadap zat aktif yang dapat meningkatkan permeasi zat aktif.
3. Resiko timbulnya peradangan ditekan
Kandungan air yang banyak pada gel dapat mengurangi resiko peradangan
lebih lanjut akibat menumpuknya lipida pada pori-pori, karena lipida
tersebut merupakan makanan bakteri jerawat (Lieberman, 1997).
G. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
Aktivitas antibakteri suatu zat dapat ditetapkan melalui kadar minimal yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya masing-
masing dikenal sebagai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi
Bunuh Minimum (KBM). Pada uji aktivitas antibakteri terdapat 2 metode yang
dapat digunakan, yaitu:
1. Metode dilusi (cara pengenceran tabung)
Pengujian cara ini dilakukan dengan mencampur zat antibakteri dalam
konsentrasi yang bervariasi dalam media yang kemudian diinokulasi dengan
bakteri, diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. Umumnya pengenceran
dilakukan dengan kelipatan dua.
2. Metode difusi agar
Pada metode ini zat antibakteri diletakkan pada perbenihan padat yang telah
diinokulasi dengan bakteri yang akan diuji, kemudian diinkubasi pada suhu
370C selama 18-24 jam. Setelah diinkubasi, adanya zona jernih di sekeliling zat
antibakteri menunjukkan daya hambat zat antibakteri terhadap bakteri uji.
Metode ini dibedakan menjadi 3, yaitu cara cakram, cara silinder, dan cara
sumur (20).
H. HITUNGAN CAWAN
Pengukuran kuantitatif populasi mikroba amat diperlukan di dalam berbagai macam
penelaahan mikrobiologis. Terdapat 2 macam pengukuran dasar, yaitu penentuan
jumlah sel dan penentuan massa sel. Pengukuran jumlah sel dilakukan bagi
organisme bersel tunggal misalnya bakteri, sedangkan penentuan massa sel
dilakukan untuk organisme bersel tunggal dan juga bagi organisme berfilamen
misalnya kapang. Pengukuran jumlah sel dapat dilakukan dengan cara hitungan
cawan (plate count) atau dengan cara hitungan mikroskopik langsung.
Metode hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang
dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Teknik yang harus dikuasai
dalam metode ini adalah mengencerkan sampel dan mencawankan hasil
pengenceran tersebut. Setelah inkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan
diamati, nyatakan rata-rata jumlah mikroba tiap gram atau mL spesimen. Untuk
memenuhi persyaratan statistik, cawan yang dipilih untuk perhitungan koloni adalah
yang mengandung antara 30 – 300 koloni karena jumlah mikroorganisme dalam
sampel tidak diketahui sebelum penuangan. Jika tidak ditemukan koloni mikroba di
dalam cawan dengan enceran awal (1 : 10), nyatakan hasil pengujian sebagai
“kurang dari 10 mikroba per gram atau mL spesimen” (20,21).
BAB III
RENCANA PENELITIAN
A. PRINSIP PENELITIAN
Kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.) dikeringkan, diblender,
dimaserasi, dan dikentalkan dengan rotavapor. Ekstrak ditentukan nilai Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM), diformulasikan dalam bentuk sediaan obat kumur yang
dirancang menggunakan rancangan faktorial 22 dengan faktor ekstrak kulit buah
rambutan, HPMC. Sediaan obat kumur dibiarkan berkesetimbangan selama 3 hari
pada suhu kamar, dilakukan evaluasi parameter mutu fisika, kimia, dan efektivitas
meliputi uji organoleptik, kejernihan, bobot jenis, pH, dan angka lempeng total
bakteri rongga mulut probandus. Hasil evaluasi dibuat persamaan polinomial,
contour plot, dan superimposed contour plot sehingga diperoleh formula optimum.
Formula optimum dibuat berdasarkan analisa data, disimpan selama 1 bulan pada
suhu 400C, dilakukan evaluasi parameter mutu fisika, kimia, dan efektivitas pada
minggu ke 0, 2, dan 4. Hasil evaluasi formula optimum dianalisis menggunakan
ANVA 1 arah.
B. TEMPAT PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Skripsi, Laboratorium Teknologi
Bahan Alam, Laboratorium Teknologi Formulasi Sediaan Setengah Padat dan Cair,
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.
C. RANCANGAN PENELITIAN
1. Tinjauan pustaka
Meliputi penelaahan literatur.
2. Pengumpulan dan penyiapan bahan penelitian
Bahan yang digunakan adalah kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.)
yang diperoleh dari sentra budidaya rambutan di Subang. Kulit buah rambutan
dicuci, diiris tipis-tipis, dikeringkan di oven pada suhu 40oC – 50oC selama 24
jam.
3. Determinasi tanaman
Determinasi kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.) dilakukan di
Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor.
4. Pemeriksaan bahan tambahan
5. Pembuatan serbuk simplisia kulit buah rambutan
6. Identifikasi tanin dalam simplisia kulit buah rambutan
7. Pembuatan ekstrak kulit buah rambutan
8. Karakterisasi ekstrak kulit buah rambutan
Karakterisasi meliputi organoleptik, ketercampuran ekstrak, dan rendemen.
9. Penentuan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
10. Formula sediaan obat kumur ekstrak kulit buah rambutan
11. Pembuatan sediaan obat kumur ekstrak kulit buah rambutan
12. Evaluasi parameter mutu dan efektivitas sediaan
Sediaan obat kumur dibiarkan berkesetimbangan selama 3 hari pada suhu
kamar, dilakukan evaluasi parameter mutu fisika, kimia, dan efektivitas meliputi
uji organoleptik, kejernihan, bobot jenis, pH, dan angka lempeng total bakteri
rongga mulut probandus untuk menentukan formula optimum.
13. Analisis data (penentuan formula optimum)
14. Evaluasi parameter mutu dan efektivitas formula optimum
Formula optimum dibuat berdasarkan hasil analisa data, disimpan pada suhu
400C selama 1 bulan, dilakukan evaluasi parameter mutu fisika, kimia, dan
efektivitas meliputi uji organoleptik, kejernihan, bobot jenis, pH, dan angka
lempeng total bakteri rongga mulut probandus pada minggu ke 0, 2, dan 4.
15. Analisis data (pengaruh waktu penyimpanan terhadap respon)