22
1 Refleksi Neokolonialisme Berwajah Pendidikan di Indonesia dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam: Kajian Orientalisme Else Liliani Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY [email protected] / [email protected] School Opziener ini lebih muda dari yang dulu menggeser Mas Martoatmodjo, tetapi lebih congkak dan karena merasa seorang raden selalu minta dipanggil Ndoro. Sampeyan tahu kalau itu bertentangan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, Ndoro. Tiyang itu bukan sekolah betulan. Itu cuma kelas kecil untuk menolong orang-orang desa dan anak-anak mereka membaca dan menulis. Dan itu saya kerjakan di luar jam sekolah di sini, Ndoro.” ”Tidak peduli itu. Pokoknya itu sekolah liar. Tidak boleh!” (Umar Kayam dalam Para Priyayi, 1992) Pengantar Indonesia, negara muda di Asia yang belum lama terlepas dari penjajahan di tahun 1945. Namun, apakah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno benar-benar menandai kemerdekaan Indonesia? Sangat sulit untuk menjawab ‘ya’ karena bukti - bukti untuk menunjang pernyataan itu tidak mudah untuk ditemukan. Selepas kemerdekaan sampai saat ini, keadaan tak banyak berubah. Permasalahan yang dihadapi bangsa ini pun semakin beragam, salah satunya adalah persoalan pendidikan. Persoalan pendidikan di Indonesia tak pernah ada habisnya, sejak penjajah masih bercokol di bumi nusantara hingga di milenium ke dua. Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan penjajahan berwajah pendidikan yang banyak

gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

1

Refleksi Neokolonialisme Berwajah Pendidikan di Indonesia dalam Novel Para

Priyayi Karya Umar Kayam: Kajian Orientalisme

Else Liliani

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY

[email protected] / [email protected]

School Opziener ini lebih muda dari yang dulu menggeser Mas

Martoatmodjo, tetapi lebih congkak dan karena merasa seorang raden selalu

minta dipanggil Ndoro.

”Sampeyan tahu kalau itu bertentangan dengan peraturan gupermen?”

”Tidak, Ndoro. Tiyang itu bukan sekolah betulan. Itu cuma kelas kecil

untuk menolong orang-orang desa dan anak-anak mereka membaca dan

menulis. Dan itu saya kerjakan di luar jam sekolah di sini, Ndoro.”

”Tidak peduli itu. Pokoknya itu sekolah liar. Tidak boleh!”

(Umar Kayam dalam Para Priyayi, 1992)

Pengantar

Indonesia, negara muda di Asia yang belum lama terlepas dari penjajahan di

tahun 1945. Namun, apakah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno benar-benar

menandai kemerdekaan Indonesia? Sangat sulit untuk menjawab ‘ya’ karena bukti-

bukti untuk menunjang pernyataan itu tidak mudah untuk ditemukan.

Selepas kemerdekaan sampai saat ini, keadaan tak banyak berubah.

Permasalahan yang dihadapi bangsa ini pun semakin beragam, salah satunya adalah

persoalan pendidikan. Persoalan pendidikan di Indonesia tak pernah ada habisnya,

sejak penjajah masih bercokol di bumi nusantara hingga di milenium ke dua. Tulisan

ini akan mencoba membahas persoalan penjajahan berwajah pendidikan yang banyak

Page 2: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

2

dialami oleh warga negara Indonesia dan yang terefleksi dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam.

Praktik Politik Pendidikan dan Bahasa oleh Kolonial Belanda di Indonesia

Pendidikan bukanlah hak setiap anak manusia. Mungkin kalimat inilah yang

tepat untuk menggambarkan sulitnya akses pendidikan bagi setiap penduduk pribumi

di Indonesia ketika Belanda masih memegang kekuasaan tertinggi di tanah

jajahannya. Orang yang mendapatkan hak pendidikan adalah segolongan orang yang

istimewa pada zaman ini. Mengapa? Karena penjajah Belanda menerapkan sejumlah

peraturan-peraturan istimewa mengenai siapa yang boleh dan tidak mendapatkan

pendidikan.

Jika ada yang beruntung mendapatkan pendidikan, maka tentulah orang itu

berasal dari sekelompok priyayi. Semenjak tahun 1816, pemerintah kolonial di Jawa

memiliki pemikiran untuk mendirikan sekolah bagi pribumi dalam rangka

menyiapkan tenaga yang akan mengisi jabatan pemerintahan, terutama jabatan di

kantor residen1. Murid-murid yang dipersiapkan tentu saja berasal dari golongan

bangsawan, dengan guru dari Eropa, dan dilaksanakan di tempat sang residen sendiri

setelah kantor tutup.

Priyayi inilah yang nantinya akan menduduki jabatan-jabatan administrasi

pemerintahan. Namun biasanya, pengangkatan pegawai ini sangat memperhatikan

1 Sartono Kartodirjo dkk dalam Perkembangan Peradaban Priyayi, Gadjah Mada University Press (1993)

Page 3: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

3

aspek keturunan. Jadi, sangat tak mungkin seorang pribumi rendahan yang tak

memiliki hubungan kekerabatan dengan priyayi dapat meraih jabatan ini.

Dengan sistem rekruitmen yang selektif, tidak semua penduduk pribumi

rendahan bisa mendapatkan akses pendidikan. Mereka umumnya hanya dibekali

dengan belajar membaca dan menulis saja di sekolah Ongko Loro. Prestis dari

sekolah jenis ini pun hampir dibilang tak ada. Bahasa Belanda yang menjadi

kebanggaan karena hanya diajarkan di sekolah-sekolah bergengsi yang diikuti oleh

para priyayi tak mungkin diajarkan di sekolah Ongko Loro ini. Bahkan pada beberapa

kasus, sekolah Ongko Loro ini pun dinilai sebagai ”sekolah liar” karena biasanya

sekolah-sekolah ini tidak mengantongi izin dari pemerintah kolonial Belanda dan

dapat menjadi bumerang bagi pemerintahan kolonial.

Praktis, bahasa Belanda tampil sebagai bahasa tertinggi yang berkelas dan

bergengsi di seluruh wilayah koloni Belanda. Bahasa-bahasa asli daerah, seperti

bahasa Melayu dan bahasa daerah lainnya menduduki tingkat di bawahnya. Karena

praktik politik-diskriminasi Belanda pula, bahasa Melayu yang dikenal dan

dipergunakan oleh masyarakat terpilah menjadi dua: bahasa Melayu Tinggi dan

Bahasa Melayu Rendah.

Bahasa Melayu Rendah adalah bahasa digunakan oleh sebagian besar

penduduk Hindia Belanda karena mudah dimengerti2. Bahasa Melayu Rendah inilah

yang kemudian banyak digunakan dalam surat kabar orang-orang Cina. Berlawanan

2 Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu oleh Claudine Salmode (Diterjemahkan Dede Oetomo, PN Balai Pustaka, 1985)

Page 4: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

4

dengan bahasa Melayu Rendah, Bahasa Melayu Tinggi atau yang biasa disebut

bahasa ”Melayu Riau” atau ”Melayu Ophuijsen” adalah bahasa Melayu yang telah

mengalami pembakuan oleh pemerintahan Belanda dan lebih diakui eksistensinya

sebagai bahasa yang lebih bermartabat, lebih tinggi dan unggul.

Bahasa Melayu Tinggi ini sebagian besar dipergunakan oleh kelompok elit

pribumi yang sudah mengenal pendidikan Eropa. Jumlah pengguna bahasa Melayu

Tinggi ini juga tidak begitu banyak. Praktis, bahasa Melayu Rendah lah yang lebih

banyak mengalami kemajuan karena lebih sering dipergunakan oleh banyak orang di

lintas tempat, situasi, dan etnis.

Akibat kebijakan politik Belanda pula, hasil kesusasteraan yang menggunakan

bahasa Melayu pun cukup beragam. Dalam khasanah sastra Indonesia, supremasi

pemerintahan kolonial Belanda terwujud dalam suatu badan bernama Commissie voor

de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Bumi Putera dan

Bacaan Rakyat) atau yang biasa disebut dengan Balai Pustaka, didirikan tahun 1908.

Balai Pustaka didirikan sebagai upaya untuk ”mendidik” masyarakat

Indonesia. Alih-alih sebagai bentuk balas budi yang dicanangkan oleh pemerintahan

kolonial dalam etische-politieknya, Balai Pustaka sebenarnya tak lain adalah alat

kontrol penguasa sekaligus upaya mencari tenaga murah dari Bumi Putera. Pendirian

Balai Pustaka sebagai ”kedok pendidikan” ini bukan berarti tak lepas dari

kekhawatiran pemerintahan kolonial Belanda. Kepala Balai Pustaka saat itu, Dr. A.

Page 5: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

5

Rinkes3, secara terang-terangan menjelaskan bentuk kekhawatirannya sebagai

berikut:

Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah

tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar

kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak

mengacau. Oleh sebab itu, bersamasama dengan pengajaran itu, maka

haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang

kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut

tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat

merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.

Bentuk kontrol pemerintahan kolonial dalam upaya penerbitan buku-buku itu

ditunjukkan dengan berbagai prasyarat, antara lain: (1) tidak boleh menyinggung

agama atau adat, (2) tidak boleh membicarakan politik yang bertentangan dengan

politik pemerintah (penjajah), dan (3) tidak boleh melanggar batas susila. Legalitas

Balai Pustaka sebagai satu-satunya badan resmi penerbit pemerintahan kolonial

dengan demikian menciptakan kanonisitas yang menentukan ”tinggi-rendahnya”

mutu sastra di tanah air pada saat itu.

Selain sastra Balai Pustaka, saat itu sebenarnya juga ada sastra di luar tradisi

Balai Pustaka. Umumnya sastra di luar tradisi Balai Pustaka itu dicetak di penerbitan

swasta dan menggunakan bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah. Karena

beberapa sifat dan isi karangannya yang banyak dinilai menghasut rakyat untuk

berontak, maka karya-karya itu disebut “bacaan liar”, dan penulisnya dinamakan

“pengarang liar”4. Sastrawan peranakan Tionghoa adalah mereka yang tergolong aktif

3 Dalam Sejarah Sastra Indonesia karya B.P. Situmorang Situmorang (Nusa Indah, 1980) 4 Ajip Rosidi dalam Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir? (Gunung Agung, 1988)

Page 6: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

6

menulis karya dalam bahasa melayu rendah ini. Jumlah karya yang dihasilkan oleh

mereka pun lebih banyak dan menjangkau di berbagai banyak wilayah.5

Pendidikan yang bertipe elitis dan memiliki orientasi menciptakan tenaga-

tenaga birokrasi-administrasi inilah sebenarnya yang sengaja diciptakan oleh

pemerintahan Belanda. Jadi sebenarnya, politik Balas Budi yang dikemukakan oleh

Van Deventer hanya kamuflase belaka. Karena, tujuan dari politik balas budi yang

terkait dengan pendidikan ini tetap berorientasi pada kepentingan penjajah.

Meskipun, akibat positif dari politik ini tentu ada juga. Misalnya, semakin meleknya

pribumi-pribumi terhadap berbagai persoalan-persoalan yang pada akhirnya

memunculkan kaum intelek pribumi, dan mengantarkan mereka pada paham

kebangsaan dan adanya kesadaran akan keterjajahan mereka.

Para Priyayi karya Umar Kayam: Refleksi Neokolonialisme Pendidikan dalam

Jagat Sastra Indonesia

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam merupakan salah satu contoh yang

paling tepat untuk merefleksikan dunia pendidikan Indonesia yang terjajah, terutama

di masa kolonialisme Belanda hingga masa pasca-kemerdekaan. Para Priyayi secara

garis besar menceritakan lahirnya priyayi-priyayi baru dari lumpur sawah (pedesaan)

karena akses pendidikan. Namun, jangan dikira setiap orang –baik di kota maupun di

desa, yang bisa mendapatkan hak istimewa ini.

5 Sebagai ilustrasi: Yap Guan Ho, seorang pedagang, pedagang buku dan penterjemah, pada tahun 1890 mencetak ulang buku Yuli baochaoquanshi wen yang ke-5 sebanyak 8.652; 5.898 eksemplar terdistribusi di Jakarta, 1.481 eksemplar di Pantai Barat Sumatera, 585 di Kalimantan, 390 di Ambon, dan 294 di Manado (Salmone, 1985:184-185)

Page 7: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

7

Sastrosoedarno adalah salah satu contoh konkrit dari priyayi yang lahir karena

pendidikan. Setelah dipelihara dan diizinkan untuk ngenger6 kepada Ndoro Seten,

Sastrodarsono berhaisl menjadi mantri guru di puncak karirnya. Dari Sastrodarsono

ini pula, kelak akan terlahir priyayi-priyayi baru dalam keluarganya.

Seperti dalam pengantar tulisan ini, tidak semua masyarakat bisa

mendapatkan hak yang istimewa, pendidikan. Hanya mereka yang memiliki

hubungan kekerabatan dengan priyayi lah yang bisa mendapatkan akses ini. Praktik

selektif merupakan hal yang umumnya banyak ditemui.

Penguasaan bahasa Belanda merupakan indikasi terpelajarnya seseorang.

Tidak semua sekolah mengajarkan bahasa Belanda. Sekolah-sekolah liar seperti yang

diajarkan oleh Sastrodarsono hanya mengajarkan membaca dan menulis, sekedar

bekal supaya pribumi dapat membaca dan menulis saja, berbeda dengan sekolah-

sekolah elit yang lebih banyak diisi para priyayi dan mendapatkan pelajaran bahasa

Belanda. Sekolah yang berada di desa-desa ini nilainya rendah dibandingkan dengan

sekolah-sekolah yang ditujukan bagi para priyayi yang umumnya sudah mengantongi

6 Ngenger atau nyantrik atau belajar sambil mengabdi biasa dilakukan oleh pribumi yang berkelas sosial rendah kepada anggota kelompok masyarakat yang berkelas sosial tinggi. Ngengernya Sastrodarsono adalah suatu prestasi karena dari usaha ngenger untuk mendapatkan budaya baca tulis ini dia berhasil menjadi seorang priyayi (guru bantu). Ketika sudah berhasil menjadi priyayi karena akses pendidikannya, Sastrodarsono mampu melahirkan priyayi-priyayi baru dalam kehidupan keluarganya. Anak-anaknya otomatis menjadi seorang priyayi. Saudara-saudaranya pun menikmati imbas keberhasilannya setelah menjadi seorang priyayi, yang akhirnya akan membuat mereka ngenger kepada Sastrodarsono untuk meningkatkan status sosial mereka sebagai priyayi karena akses pendidikan: sebuah ritual menuju jenjang kepriyayian yang dulu pernah dilakoni oleh Sastrodarsono.

Page 8: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

8

izin dari penguasa Belanda. Simaklah bagaimana refleksi penilaian sebuah sekolah

desa dan sekolah anak-anak priyayi berikut ini:

Anak-anak kami tentu saja tidak kami kirim ke sekolah desa. Sekolah

desa diadakan untuk memenuhi keperluan yang sangat terbatas, yaitu untuk

mendidik dan mengajar anak-anak desa bisa menjadi pemuka masyarakat

desa, bisa menjadi buruh yang bisa membaca dan menulis (cat: garis bawah

dari penulis), bisa menjadi juru tulis kelurahan. Dan kalau anak-anak desa itu

beruntung, seperti saya misalnya, bisa mendapat kesempatan lebih baik.

Anak-anak kami masukkan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak

priyayi itu, karena sekolah ini diadakan untuk menyiapkan priyayi-priyayi

gupermen. Anak-anak yang sekolah di situ akan diajar bahasa Belanda,

bahasa yang sangat penting buat mendapat keududukan di kantor gupermen

dan dapat meneruskan pelajaran ke sekolah menengah dan sekolah menengah

atas priyayi, seperti MULO, AMS, atau sekolah-sekolah guru menengah,

seperti sekolah Normaal, Kweeksekul, dan sebagainya. (Para Priyayi, Umar

Kayam: 1992:52)

Pendidikan yang diperoleh para priyayi itu pun sebenarnya juga pendidikan

yang taktis saja karena hanya dimaksudkan untuk menyiapkan pegawai-pegawai

birokrat penguasa Belanda. Demikian pula dengan sekolah-sekolah di desa. Namun,

tetap saja penguasaan bahasa Belanda merupakan salah satu akses bagi para priyayi

ini untuk memasuki karirnya dalam birokrasi.

Karena kebijakan pendidikan yang selektif dan elitis yang diterapkan oleh

pemerintahan Belanda, maka sekolah-sekolah bagi pribumi rendahan yang berdiri di

luar izin gupernemen ini dinilai sebagai sekolah liar. Sekolah liar inilah yang

didirikan oleh Sastrodarsono, terinspirasi oleh sepak terjang Raden Mas Tirto

Adisoerjo dalam Medan Prijajinya, surat kabar yang sangat dibenci dan ditakuti oleh

Belanda karena dinilai bisa mengakibatkan perlawanan dari kaum intelektual

pribumi.

Page 9: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

9

Pengaruh pendidikan Eropa ini juga terlihat dalam sikap Soemini, anak

perempuan Sastrosoedarno. Soemini adalah gambaran perempuan Jawa yang modern.

Soemini menolak untuk dinikahkan dengan lelaki priyayi pilihan bapaknya dengan

alasan dia ingin belajar terlebh dahulu. Rupanya, Soemini ini diberikan pasangan

yang dinilai cocok oleh ayahnya: dari golongan pribumi yang sama-sama terpelajar

dan sudah mendapatkan kedudukan di pemerintahan. Suami Soemini pun ternyata

juga seorang pribumi yang modern dan moderat. Dengan kebesaran hatinya, dia

menerima syarat Soemini yang mau dinikahinya jika dia memberikan kesempatan

kepada Soemini untuk bersekolah terlebih dahuilu. Sastrodarsono, ayah Soemini pun

tak bisa memaksakan kehendaknya karena menurutnya situasi zaman sudah berubah.

Dan secara getir, Sastrodarsono diam-diam mengakui imbas dari pendidikan modern

yang dibawa Belanda terhadap kebiasaan dan nilai-nilai budayana.

Peralihan penguasa dari Belanda ke Jepang juga membawa imbas bagi dunia

pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda tak lagi diajarkan. Sebaliknya, bahasa

Indonsia cukup tumbuh dengan subur masa penjajahan Jepang. Hanya saja, dalam

masa penjajahan ini, karakter pendidikan di Indonesia menjadi sangat berkiblat ke

Jepang. Dalam novel Para Priyayi ini akan terlihat beberapa nilai kebudayaan yang

terlalu dipaksakan oleh Jepang pada penduduk Indonesia:

Sesudah saya kembali dari Wanagalih untuk menghibur Bapak yang

merasa sangat terpukul oleh tempelengan tuan Nippon, saya kembali bekerja

seperti biasa di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis. Tentulah nama sekolah

tersebut nama baru sesudah Jepang masuk. Sebelumnya, pada zaman

Nederlandsche Indie, sekolah tempat saya mengahar itu adalah gouvernment’s

HIS Jetis. Saya ternyata tidak seberani Bapak yang menolah untuk menjalani

upacara saikere kita ni muke, membungkuk dalam-dalam kearah utara. Saya

Page 10: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

10

bersama rekan guru-guru patuh belaka mengikuti perintah itu. Juga perintah

agar setiap pagi kami bersama semua murid harus melaksanakan taiso, gerak

badan, dalam hitungan delapan dan itingan piano dari radio. (Para Priyayi,

Umar Kayam, 1992:177)

Setelah kemerdekaan, situasi bangsa Indonesia yang digambarkan oleh Umar

Kayam tidak secara detail menggambarkan adanya perubahan dalam dunia

pendidikan. Pasca perang kemerdekaan, sepak terjang keluarga Noegroho lah yang

paling banyak disorot. Keluarga Noegroho adalah representasi dari hiruk pikuk

kemerdekaan yang banyak memberikan keuntungan bagi para pejuang-pejuangnya.

Noegroho adalah tokoh yang diuntungkan dari akses pendidikan yang

diperoleh karena status keistimewaannya sebagai priyayi. Dalam korpsnya, dia

mendapatkan jabatan sebagai pemimpin. Kedudukannya semakin mapan sesuai

dengan kelihaiannya dalam mencari aman dan celah untuk menumpuk kekayaannya

sendiri. Hasilnya sangat menggembirakan: lahirlah Noegroho –seorang anak priyayi

yang berhasil menjadi priyayi tulen dengan menduduki jabatan tertinggi dalam dunia

ketentaraan. Berkat Noegroho yang berhasil mendapatkan hak-hak istimewa di

ketentaraan karena jasa-jasa yang pernah dilakukannya, dia berhasil membuat

Harimurti –keponakannya yang tertangkap oleh pemerintahan RI karena telribat

dengan gerakan PKI, bebas!

Pendidikan Belanda yang elitis, selektif, dan diskriminatif ini jelas membawa

keuntungan bagi mereka yang pernah mendapatkannya. Pendidikan itu melahirkan

pejabat-pejabat pemerintah yang sampai Indonesia merdeka pun tetap mendapatkan

manfaat dari pendidikan elitis tersebut. Tengoklah bagaimana Noegroho yang

Page 11: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

11

seorang priyayi, mendapatkan pendidikan Belanda, berhasil menjadi tentara dan

memiliki jabatan yang cukup tinggi dalam karir kemiliterannya.

Penguasa selaku penentu kebijakan dalam novel ini ternyata juga

menunjukkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan. Lihatlah bagaimana pergeseran

penentu kebijakan beralih dari Belanda ke Jepang. Penguasaan bahasa Belanda tidak

lagi menjadi kemutlakan untuk diajarkan di sekoalah-sekolah dalam pemerintahan

Jepang. Bahkan, penggunaan bahasa Belanda pun mulai dibatasi. Bahasa Indonesia

justru tampil dan diperbolehkan untuk digunakan. Atas kebijakan yang cukup longgar

ini lah, maka gerak pribumi yang mendapatkan pendidikan tinggi sebelumnya

menjadi lebih leluasa karena mereka toh sebelumnya sudah memperoleh keuntungan

dari pendidikan yang pernah diperoleh sebelumnya.

Persoalan Pendidikan Indonesia Kini: Menuai Gejala yang Sama?

Merdeka dari penjajahan bukan berarti merdeka dari keterbatasan akses

pendidikan. Situasi bangsa yang serba tak menentu ditambah dengan krisis yang

hampir ditemui di semua lini kehidupan semakin mengakibatkan pendidikan di

Indonesia menjadi tak karuan. Di Juli 2007 ini, beberapa siswa terancam tercabut

statusnya sebagai siswa di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota

Semarang karena tak dapat memenuhi kewajibannya membayar daftar ulang.

Kebijakan kuota siswa berasal dari luar daerah Yogyakarta sebanyak 20% di Kota

Yogyakarta dinilai membatasi akses anak-anak di luar kota Yogyakarta untuk

mendaftar di SMA yang diinginkan. Tak terhitung banyaknya anak-anak jalanan atau

Page 12: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

12

mereka yang berasal dari keluarga tak mampu berada di ambang kecemasan karena

bisa jadi mereka termasuk yang tak beruntung mengenyam pendidikan, meski konon

katanya untuk siswa SD bebas dari biaya pendidikan dan adanya sumbangan dana

BOS dari negara. Janji APBN 20% yang akan dianggarkan untuk biaya pendidikan

pun hanya menjadi janji manis karena tak kunjung terbukti kebenarannya.

Sulitnya akses pendidikan bagi semua warga negara hanya satu dari untaian

benang kusut pendidikan yang membelit negeri ini. Di tingkat Pendidikan Tinggi,

beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai mengubah statusnya menjadi BHP.

Subsidi pendidikan dari pemerintah mulai dikurangi, akibatnya perguruan tinggi yang

telah berubah statusnya menjadi BHP kemudian menerapkan biaya anggaran yang

terhitung cukup tinggi sebagai cadangan dana operasional yang jumlahnya tak sedikit

itu!

Belum lagi ketentuan dan kebijakan yang beragam dari masing-masing

universitas. Kualitas dalam hal ini mungkin dipertanyakan. Karena, sudah menjadi

rahasia umum jika besarnya uang sumbangan yang mampu diberikan oleh calon

mahasiswa terhadap jurusan yang menjadi tujuannya akan berpengaruh terhadap

keterterimaannya di perguruan tinggi yang dituju. Ini umumnya dijumpai pada

penerimaan mahasiswa dengan jalur di luar SPMB, atau jalur nonreguler atau melalui

ujian tulis dari universitas yang bersangkutan.

Mahasiswa yang lahir dari situasi The Have-lah yang akan diuntungkan dalam

hal ini karena mereka masih relatif lebih mudah mendapatkan akses pendidikan. Tak

lolos dari SPMB bukanlah penghalang bagi mereka untuk mengenyam pendidikan

Page 13: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

13

tinggi. Asal bisa membayar biaya pendidikan jalur nonreguler, mereka akan memiliki

akses yang sama untuk menempuh jalur pendidikan tinggi. Sedangkan bagi mereka

yang berasal dari The Have Not, tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan dan

kesempatan yang sangat kecil. Kecerdasan, keberuntungan, dan kejelian dalam

menentukan jurusan yang dituju adalah faktor-faktor yang lebih banyak berpengaruh

bagi mereka. Jika tak lolos dari SPMB, atau tak memiliki cukup biaya untuk

membayar biaya pendidikan di luar jalur penerimaan reguler atau perguruan tinggi

swasta, mereka hanya bisa bersabar dan menahan diri untuk tidak tergoda

melanjutkan pendidikan tinggi.

Sebenarnya, pendidikan tinggi di Indonesia pun belum banyak memberikan

jaminan skill atau keterampilan bagi alumninya. Terbukti dengan masih banyaknya

jumlah pengangguran di Indonesia yang berkualifikasi sarjana. Beberapa sekolah

menengah kejuruan yang ada belum mampu mengubah paradigma masyarakat karena

minimnya publikasi kinerjanya. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

beranggapan bahwa bersekolah di SMA lebih menguntungkan karena bisa

melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berikutnya, sedangkan bersekolah di SMK

tidak. Namun, satu hal yang kurang jeli dilihat oleh masyarakat kita adalah SMK

menyediakan serangkaian keterampilan yang dibekalkan bagi siswa lulusannya.

Inilah yang tak banyak didapatkan di bangku-bangku SMA. Karenanya, tak

mengherankan pihak instansi pemerintah seperti Dirjen Dikdasmen merasa perlu

melakukan kampanye dan sosialisasi akan manfaat dan keuntungan bersekolah di

SMK.

Page 14: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

14

Kejadian serupa pernah dialami oleh Indonesia masa penjajahan Belanda.

Pada saat itu, pendidikan bagi pribumi hanya berorientasi sebagai penyedia tenaga

birokrasi yang akan mengisi pos-pos administrasi pemerintahan kolonial. Tenaga

birokrasi ini umumnya tak memiliki skill atau keterampilan khusus. Ini juga yang saat

ini tengah terjadi di Indonesia. Pendidikan kita sangat lemah dalam membekali

siswanya dengan lifeskill. Akibatnya, mereka menjadi ”mandul” atau tak bisa

berkarya ketika keluar dari sekolah. Tentu saja kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan

berlarut-larut. Pemerintah selaku pemegang kebijakan harus menghasilkan kebijakan-

kebijakan baru yang dapat mendongkrak kualitas lulusan, terutama membekali

mereka dengan serangkaian skill yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Peran pemerintah selaku pemegang kebijakan juga belum menunjukkan hasil

yang memuaskan, terutama berkaitan dengan kurikulum. Di Indonesia, pembaharuan

kurikulum umumnya dilakukan sepuluh tahun sekali. Namun, sejak era reformasi di

tahun 1998, dunia pendidikan di Indonesia ikut-ikutan latah mengalami reformasi.

KBK atau Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah salah satu contoh hasil kelatahan

pemerintah Indonesia. Ketika salah satu menteri pendidikan waktu itu berkunjung ke

luar negeri dan melihat kurikulum berbasis kompetensi diterapkan di negara asing

dan menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, kurikulum ini diadopsi mentah-

mentah, tidak diolah dengan penyesuaian situasi dan kebutuhan dalam negeri sesuai

dengan kekayaan lokal yang dimiliki di setiap daerah Indonesia.

Page 15: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

15

Belum lagi dipahami oleh semua elemen pendidikan, KBK ternyata hanya

menjadi sekedar wacana. Padahal, untuk menyosialisasikan KBK ke sekolah-sekolah

saja pemerintah sudah mengeluarkan banyak dana. Bayangkan berapa kerugian yang

dialami oleh pemerintah karena kecerobohan dalam menentukan kebijakan yang

‘kurang diperhitungkan secara masak-masak ini.

Pengganti KBK berikutnya adalah KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan. Konon, kurikulum ini hampir mirip dengan KBK. Namun, sampai saat

ini, pemahaman yang satu mengenai KTSP pun belum sepenuhnya ada. Ini mungkin

tak akan menjadi soal di pulau Jawa yang sangat dekat dengan pemerintahan pusat

(Jakarta) yang selama ini cenderung menjadi penentu kebijakan dan memudahkan

akses informasi terhadapnya. Bagaimana dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, di

mana tidak semua kebutuhan pendidikan tercukupi di sana? Film Denias garapan Ari

Sihasale dan Nia Zulkarnaen dapat menjadi gambaran betapa pendidikan di

Indonesia, terutama yang berada di luar Jawa, sangat jauh dari kesempurnaan dan

ideal. Tidak setiap sekolah mempunyai fasilitas yang layak, bahkan beberapa sekolah

pun mengalami kelangkaan tenaga pengajar.

Kecenderungan mutakhir, kota-kota besar di indonesia –terutama yang

berada di Pulau Jawa, mulai banyak melakukan labelisasi sekolah, antara lain sekolah

berstandar nasional, internasional, atau sekolah terpadu. Standarisasi sekolahan ini

antara lain didasarkan atas sarana-prasarana yang dimiliki sekolah, kualifikasi tenaga

pengajar, desain kurikulum yang diterapkan, bahasa atau medium pengajaran yang

Page 16: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

16

digunakan, standar mutu lulusan, sustainability yang telah ditunjukkan oleh sekolah,

dsb.

Beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jawa bahkan telah

menyelenggarakan kelas-kelas bertaraf internasional, yang cirinya antara lain adalah

diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris. Beberapa sekolah menjalin

kerja sama dengan universitas atau sekolah di Luar Negeri yang bersedia memberikan

beasiswa bagi pelajar atau mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri.

Tidak hanya pelajar yang dikirim ke luar negeri untuk belajar ilmu

pengetahuan yang selama ini menjadi sumbernya. Pengajar pun mengalami nasib

yang sama. Pihak perguruan tinggi terutama yang paling sering mengirimkan tenaga

pengajarnya untuk belajar di negara asing (Barat). Barat menjadi kiblat modernitas,

standar kemajuan berpikir, dan pengetahuan.

Berkaca pada pengalaman di UNY, di mana standar internasional tengah

berusaha didapat melalui serangkaian bantuan-hibah (lebih tepatnya adalah dana

pinjaman) dari World Bank, kelas-kelas berstandar internasional tengah diupayakan

untuk dirintis di beberapa jurusan. Beberapa dosen juga dipersiapkan untuk

menempuh studi banding di beberapa negara terdekat yang dirasa lebh maju daripada

Indonesia.

Dalam rangka meningkatkan mutu keinternasionalannya pula, tes bahasa

Inggris (TOEFL) wajib dipenuhi oleh mahasiswa yang ingin lulus. Mahasiswa harus

mampu mencapai skor minimum 400. Para dosen juga dipersiapkan untuk studi ke

luar negeri. Pihak UNY juga menyiapkan pelatihan bahasa Inggris bagi dosen,

Page 17: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

17

memberi mereka tes ITP gratis seharga $ 30 US, bagi yang telah mendapatkan skor

minimum 500 pada tes TOEFL Like sebelumnya. Bahkan bagi dosen yang bisa

mendapatkan skor ITP minimum 525, akan diberikan reward oleh pihak rektorat

UNY sebesar @ Rp 2.000.000!!

Dalam beberapa kasus, orientasi ke Barat ini sangat berpengaruh terhadap

pola pikir dan perilaku dosen-dosen yang pernah mengecap pendidian di Barat. Sikap

negtif yang muncul antara lain adalah memandang keunggulan Barat sebagai sebuah

keniscayaan yang harus dikejar dan dipelajari oleh manusia-manusia Indonesia. Dan

kadang kala (atau lebih tepatnya sering), kepercayaan-kepercayaan asing itu ditelan

mentah-mentah dan tidak disesuaikan nilai-nilai budayaan lokal.

Status bahasa Inggris sebagai bahasa percaturan dunia seakan-akan telah

membius sekolah-sekolah di Indonesia untuk mengajarkan bahasa asing ini sejak

anak-anak Indonesia masih TK hingga perguruan tinggi. Kosa kata baru dan

sederhana bahasa Inggris mulai dikenalkan sejak taman kanak-kanak. Sementara itu,

bahasa Indonesia menjadi bahasa ke dua yang paling sering dipergunakan oleh anak-

anak. Ini bisa dilihat dengan mulok (muatan lokal) sekolah TK di Yogyakarta yang

baru-baru ini saja memasukkan bahasa Jawa sebagai mulok yang harus diajarkan

pada anak didiknya.

Masuknya bahasa Jawa menjadi mulok tentu didasarkan atas sejumlah

pemikiran akan posisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan di tengah arus

globalisasi yang mulai menyentuh sudut-sudut wilayah Indonesia. Bahkan di tahun

Page 18: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

18

2010, konon bahasa-bahasa daerah di Indonesia akan semakin menyusut jumlahnya

karena penggunanya yang semakin sedikit.

Sebaliknya, bahasa Inggris tampil menjadi bahasa yang sangat prestisius.

Kondisi ini agak berbeda dengan Indonesia tahun 1990an. Di milenium ke dua, di

mana globalisasi adalah isu yang mustahil tak dibicarakan, bahasa Inggris menjadi

‘pemenang’ dan menjangkau semua elemen masyarakat.

Di lingkup pendidikan, bahasa Inggris tidak hanya menjadi pelajaran wajib

yang diberikan kepada para murid. Akibatnya, pesan-pesan berupa ajakan bagi

masyarakat untuk menggunakan dan mencintai bahasa Indonesia perlu

dikampanyekan karena kuatnya indikasi masyarakat kita mulai meninggalkan bahasa

Indonesia. Tengoklah beberapa wawancara yang ditayangkan televisi, kita akan

mendapati beberapa kata yangs sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia

namun lebih suka diucapkan dalam bahasa asing. Maksudnya tentu saja untuk

menunjukkan kelas penggunanya.

Dengan demikian, penggunaan bahasa sudah merupakan penunjuk prestis

penggunanya. Semakin canggih seseorang berbahasa asing, maka masyarakat akan

menilainya sebagai seseorang yang lebih beradab dan maju daripada yang lainnya.

Tentu saja ini hanya salah satu ukuran dari banyaknya ukuran yang diterapkan

masyarakat.

Penggunaan bahasa Inggris dalam situs-situs pendidikan merupakan salah satu

indikasi akan keterjajahan dunia pendidikan Indonesia. Kolonialisme yang melanda

Indonesia memang bukan lagi milik Belanda. Negara-negara adikuasa seperti Inggris

Page 19: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

19

dan Amerika sebagai negara industri maju lah yang memegang kekuasannya. Salah

satunya dimanifestasikan dalam pengakuan bahasa Inggris sebagai media yang

digunakan untuk prasyarat akan berkualitasnya murid dari segi penguasaan

bahasanya.

Di dunia kerja Indonesia, penguasaan bahasa Inggris secara aktif dan pasif

menjadi prasyarat yang semakin banyak dijumpai. Setiap lowongan yang termuat di

koran hampir selalu menyaratkan penguasaan bahasa Inggris, baik dengan unjuk skor

TOEFL, IELTS, atau kemampuan lisan dan tulisnya.

Kolonialisme di Indonesia telah mencapai bentuknya yang baru, yakni melalui

topeng pendidikan. Memang benar bahwa kolonialisme dalam beberapa hal mungkin

membawa kebaikan dalam bidang pendidikan. Namun, seiring perkembangan zaman,

Indonesia membuktikan bahwa keterjajahan Indonesia masih terjadi hingga saat ini.

Pendidikan di Indonesia rata-rata masih didikte dengan kepercayaan-

kepercayaan asing. Selain itu, fasilitas-fasilitas sangat tidak merata penyebarannya.

Dunia pendidikan di luar Jawa umumnya yang mengalami kesulitan dalam

mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti ini. Kurikulum yang tidak disesuaikan dengan

perkembangan zaman dan analisis kebutuhan untuk memajukan bangsa menjadi

kendala dalam dunia pendidikan di Indonesia. Akibatnya, sekolah-sekolah di

Indonesia masih berorientasi pada pengkaderan tenaga administrasi dibandingkan

dengan tenaga-tenaga terlatih yang memiliki kesadaran sosial untuk memperbaiki

kehidupan sosial-ekonomi negara Indonesia.

Page 20: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

20

Pembangunan sarana-dan prasarana, kualitas dan kuantitas mutu pendidikan

di Indonesia juga masih berorientasi di daerah pusat. Daerah-daerah tertinggal sangat

jauh dari citra sekolah yang ideal. Kondisi ini masih diperburuk dengan penetapan

standar yang diterapkan di beberapa daerah perkotaan, seperti sekolah berstandar

internasional, berstandar nasional, berbadan hukum pendidikan (BHP), sekolah

terpadu, dst. Dengan model-model seperti ini, pendidikan di daerah menjadi semakin

tertinggal dengan pendidikan yang berada di kota-kota besar.

Orientasi ke Barat tanpa melihat struktur keunikan masyarakat Indonesia

menjadi salah satu sebab yang semakin mempertajam persoalan-persoalan pendidikan

di Indonesia. Penggunaan dan pengajaran bahasa asing yang porsinya lebih banyak

daripada bahasa lokal (daerah) tentu saja akhirnya membuat bahasa daerah lama-

kelamaan menjadi mati.

Sayangnya, peningkatan penggunaan bahasa asing tidak didukung dengan

upaya untuk mencintai bahasa daerah. Masuknya bahasa daerah ke dalam muatan

lokal, misalnya, bukan satu-satunya solusi yang tepat. Ini dikarenakan tidak

diimbanginya dengan penanaman budaya atau kesenian lainnya di sekolah-sekolah.

Porsi yang tak seimbang antara budaya lokal yang diajarkan bukan tak mustahil akan

membuat hal-hal yang berbau kedaerahan menjadi semakin terasing dan tak dikenali

oleh masyarakat Indonesia.

Penutup

Page 21: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

21

Meski dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap

warga negara, namun tampaknya Indonesia belum dapat mewujudkannya. Situasi dan

kondisi kehidupan bangsa yang tak stabil semakin membuat dunia pendidikan di

Indonesia sarat dengan persoalan-persoalan yang sangat erat dengan persoalan

politik.

Persoalan-persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan di Indonesia

sebenarnya adalah persoalan-persoalan yang lahir dan diperuncing oleh kolonialisme.

Dalam bentuk pendidikan inilah, pendidikan bermetamorfosa sebagai sebuah

neokolonialisme7.

Praktik neokolonialisme dalam dunia pendidikan Indonesia terekam dalam

Para Priyayi karya Umar Kayam yang banyak bercerita tentang pola-pola pendidikan

zaman kolonialisme Belanda yang tak pernah bebas dari diskriminasi, elitisasi, dan

seleksi. Penguasaan bahasa Belanda merupakan salah satu faktor yang berpengaruh

bagi kedudukan dan karir seorang priyayi yang telah mendapatkan pendidikan a la

Eropa.

Kondisi yang sama hampir ditemui di dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Pembelajaran bahasa asing yang banyak digunakan di berbagai sekolah merupakan

indikasi adanya bentuk neokolonialisme karena bahasa-bahasa lokal mulai terabaikan.

7 Philip G Altbach dalam “Education and Postcolonialisme” (dalam The Postcolonial Studies Reader, 1995) mengatakan bahwa neokolonialisme adalah situasi yang tengah terjadi pada Negara yang sedang membangun, ini terutama terkait dengan sistem pendidikan dan kehidupan intelektualnya. Neokolonialisme memiliki pengaruh positif dan negatif. Dampak neokolonialisme yang negatif lah yang disoroti Philip dalam tulisannya tersebut, terutama yang berwujud pendidikan. Menurutnya, negara-negara berkembang banyak menggunakan pola administrasi sekolah kolonial.

Page 22: gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah ...staffnew.uny.ac.id/upload/132299491/penelitian/Refleksi neokolonialisme pendidikan... · gupermen. Anak-anak yang

22

Masyarakat juga memandang bahwa penguasaan bahasa asing akan membuat

seseorang menjadi terdongkrak prestisnya. Ini antara lain ditunjukkan dnegan

semakin banyaknya anggota masyarakat, terutama kaum elit yang pernah mencecap

pendidikan di luar negeri, untuk lebih sering menggunakan kosa kata asing dalam

percakapan -meski sebenarnya kata tersebut ada pula padanannya dalam bahasa

Indonesia, dan mulai sedikitnya pengguna bahasa daerah.

Akses pendidikan yang terbatas terutama bagi mereka yang tak mampu adalah

salah satu bukti lain betapa pendidikan di Indonesia saat ini tak mudah diperoleh.

Gonta-gantinya kurikulum oleh pejabat yang berbeda merupakan bukti lain betapa

pondasi pendidikan kita mudah goyah dan tak memiliki struktur yang kuat, terutama

yang memperhatikan nilai-nilai lokal dan kebutuhan yang beragam dari masing-

masing daerah dengan karakteristiknya.

Jika pendidikan indonesia tidak mengalami perubahan, masih bergerak dalam

usaha menciptakan calon-calon tenaga birokrat pemerintah yang sangat minim

kualitas skill yang dimilikinya, tentu ini tak akan memperbaiki kondisi pendidikan

kita. Pendidikan yang berkarakter, berorientasi pada kebutuhan untuk memajukan

masyarakat dan bangsa Indonesia, menciptakan keadilan bagi seluruh warga negara

untuk mendapatkan hak pendidikan, dan keberanian untuk menentukan nasib

pendidikan dengan tak berkiblat kepada dunia Barat perlu diwujudkan supaya

pendidikan kita lebih bermartabat dan merdeka.

Jogjakarta, Juli 2007