Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN PERILAKU PETUGAS PUSKESMAS DALAM
SISTEM PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS DI UPTD PUSKESMAS JEURAM KABUPATEN
NAGAN RAYA
SKRIPSI
OLEH
FADHLI
08C10104083
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH ACEH BARAT
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini limbah merupakan masalah yang cukup serius, terutama
dikota-kota besar. Sehingga banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah
daerah, swasta maupun secara swadaya oleh masyarakat untuk
menanggulanginya, dengan cara mengurangi, mendaur ulang maupun
memusnahkannya. Namun semua itu hanya bisa dilakukan bagi limbah yang
dihasilkan oleh rumah tangga saja. Lain halnya dengan limbah yang di hasilkan
dari upaya medis seperti Puskesmas, Poliklinik, dan Rumah Sakit. Karena jenis
limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori biohazard yaitu jenis limbah
yang sangat membahayakan lingkungan, dimana disana banyak terdapat buangan
virus, bakteri maupun zat-zat yang membahayakan lainnya, sehingga harus
dimusnahkan dengan jalan dibakar dalam suhu diatas 800 derajat celcius
(Maxpelltechnology, 2008).
Limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan dapat terkontaminasi (secara
potensial berbahaya) atau tidak terkontaminasi. Sekitar 85% limbah umum yang
dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan tidak terkontaminasi dan tidak
berbahaya bagi petugas kesehatan yang menangani. Sedangkan selebihnya limbah
fasilitas pelayanan kesehatan terkontaminasi. Jika tidak dikelola secara benar,
limbah terkontaminasi yang membawa mikroorganisme ini dapat menular pada
2
petugas yang kontak dengan limbah tersebut termasuk masyarakat pada umumnya
(Tietjen, 2004).
Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun
dan bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar
lingkungannya. Jadi limbah medis dapat dikategorikan sebagai limbah infeksius
dan masuk pada klasifikasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Untuk
mencegah terjadinya dampak negatif limbah medis tersebut terhadap masyarakat
atau lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus (BPLHD,
2009).
Apabila tidak ditangani dengan baik, limbah medis dapat menimbulkan
masalah baik dari aspek pelayanan maupun estetika selain dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan dan menjadi sumber penularan penyakit ( infeksi
nasokomial). Oleh karena itu, pengolahan limbah medis perlu mendapat perhatian
yang serius dan memadai agar dampak negatif yang terjadi dapat dihindari atau
dikurangi (Chandra, 2006).
Hasil laporan National Safety Council (NSC) menunjukkan bahwa
terjadinya kecelakaan di pelayanan kesehatan 41% lebih besar dari pekerja di
industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit
pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain- lain.
Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja, yaitu keseleo
(sprains, strains) : 52%; trauma fisik, memar (contussion, crushing, bruising) :
11%; terpotong, luka gores, tusukan (cuts, laceration, punctures): 10.8%; patah
tulang (fractures): 5.6%; beberapa luka (multiple injuries): 2.1%; luka bakar
3
(thermal burns): 2%; goresan, lecet (scratches, abrasions): 1.9%; infeksi
(infections): 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain- lain: 12.4% (Depkes, 2007).
Pengelolaan limbah dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan terhadap limbah mulai dari tahap pengumpulan di tempat sumber,
pengangkutan, penyimpanan serta tahap pengolahan akhir yang berarti
pembuangan atau pemusnahan. Tindakan pertama yang harus dilakukan sebelum
melakukan pengelolaan limbah dari tindakan preventif dalam bentuk pengurangan
volume atau bahaya dari limbah yang dikeluarkan ke lingkungan atau minimasi
limbah. Beberapa usaha minimasi meliputi beberapa tindakan seperti usaha
reduksi pada sumbernya, pemanfaatan limbah, daur ulang, pengolahan limbah,
serta pembuangan limbah sisa pengolahan. Sedangkan tata- laksana penanganan
limbah medis sesuai permenkes meliputi kegiatan Minimisasi dan Pemilahan
Limbah (Depkes, 2007).
Penanganan limbah terkontaminasi yang tepat akan meminimalkan
penyebaran infeksi pada petugas kesehatan dan masyarakat setempat. Jika
memungkinkan, limbah terkontaminasi harus dikumpulkan dan dipindahkan ke
tempat pembuangan dalam wadah tertutup dan anti-bocor. Karena sebagian
limbah medis dikirim ke pusat pembuangan limbah, maka sangat penting untuk
melatih petugas kesehatan untuk memisahkan limbah terkontaminasi dengan
limbah tidak terkontaminasi (Tietjen, 2004).
Berdasarkan hasil survei awal yang peneliti lakukan di Puskesmas Jeuram
pada tanggal 18 sampai dengan 20 Februari 2013, di dapatkan bahwa terdapat
tumpukan limbah medis seperti jarum suntik, botol infuse, perban dan kapas.
4
Di sekeliling perkarangan Puskesmas Jeuram yang di biarkan begitu saja tanpa di
kelola dengan baik. Padahal di Puskesmas Jeuram sudah terdapat incinerator
dalam proses penggolahan akhir limbah medis. Selain itu, dilakukan pemilahan
ulang terhadap limbah medis sebelum dibakar. Namun dalam proses pengolahan
limbahnya alat pembakaran atau incinerator tidak digunakan, dikarenakan oleh
minimnya dana dan tenaga yang terampil. Oleh karena itu limbah medis yang
dihasilkan hanya dibakar di dalam bak sampah. Hal ini sehubungan dengan tidak
adanya koordinasi dalam sistem pengelolaan limbah medis dan dapat berakibat
pada terjadinya infeksi silang (nosokomial). Apabila pengelolaan pembuangannya
tidak benar, maka dapat menularkan penyakit kepada pasien lain, pengunjung
puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum.
Sesuai dengan permasalahan diatas, perlu untuk melakukan penelitian
tentang gambaran perilaku petugas puskesmas dalam sistem pengelolaan limbah
medis di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran perilaku petugas
puskesmas dalam sistem pengelolaan limbah medis di UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013?.
5
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku petugas puskesmas dalam sistem
pengelolaan limbah medis di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya
Tahun 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang gambaran pengetahuan
petugas puskesmas dalam sistem pengelolaan limbah medis.
b. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang gambaran sikap petugas
puskesmas dalam sistem pengelolaan limbah medis.
c. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang gambaran tindakan petugas
puskesmas dalam sistem pengelolaan limbah medis.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya
ilmu kesehatan dan Sebagai bahan bacaan bagi institusi pendidikan. Sebagai
bahan untuk menambah ilmu pengetahuan dan perbaikan pendidikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan dan dapat menjadi panduan atau bahan
perbandingan untuk melakukan penelitian yang akan datang.
6
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat melalui pengelolaan
limbah medis yang dihasilkan oleh tempat pelayanan kesehatan.
b. Bagi Dinas Kesehatan
Memberikan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan
Raya tentang pentingnya pembinaan dan pengawasan pengelolaan limbah medis
yang dilakukan oleh tempat pelayanan kesehatan.
c. Bagi Petugas Kesehatan
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi kepada petugas kesehatan
dalam usaha pencegahan penularan infeksi dengan kegiatan administratif maupun
operasional, melibatkan penanganan, perawatan, mengkondisikan, penimbunan,
dan pembuangan limbah.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
2.1.1. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia (human behavior) merupakan suatu yang penting dan
perlu dipahami secara baik. Hal ini disebabkan perilaku manusia terdapat dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Perilaku manusia tidak berdiri sendiri. Perilaku
manusia mencangkup dua komponen yaitu sikap atau mental dan perilaku
(attitude) (Herijulianti, 2002).
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup)
yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk
hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu
berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang
dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis,
membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi,
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
8
stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
merespons, maka teori Skiner ini disebut teori "S-O-R" atau Stimulus-Organisme-
Respons.
Menurut teori Green dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan, dimana kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan
faktor diluar perilaku (nonbehavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor- faktor predisposisi
(predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya; faktor-faktor pendukung (enabling
factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya fasilitas untuk cuci
tangan; dan faktor- faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan
tersebut terjadi mulai proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap
bernilai positif bagi individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain
dari hidupnya. Upaya pengelolaan limbah pelayanan kesehatan telah dilaksanakan
dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan,
pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan
peningkatan kesehatan di lingkungan pelayanan kesehatan. Selain itu secara
9
bertahap dan berkesinambungan departemen kesehatan mengupayakan instalasi
pengelolaan limbah pelayanan kesehatan, sehingga sampai saat ini sebagian
pelayanan kesehatan pemerintah telah dilengkapi fasilitas pengelolaan limbah,
meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan
limbah pelayanan kesehatan masih perlu ditingkatkan lagi. Adanya unsur-unsur
kimia, fisika dan mikroba yang terkandung dalam limbah pelayanan kesehatan
sangat berpotensi menimbulkan berbagai macam gangguan baik terhadap pasien,
petugas, pengunjung, maupun masyarakat masyarakat yang tinggal disekitar
pelayanan kesehatan. Gangguan yang ditimbulkan adalah gangguan estetika, bau
busuk, dan kecelakaan kerja (Depkes RI, 2002).
2.1.2. Jenis-Jenis Perilaku
Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terserubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan
sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain. oleh sebab itu disebut covert behavior atau
unobservoble behavior (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah
dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. oleh sebab itu disebut overt behavior,
tindakan nyata atau praktek (practice) (Notoatmodjo, 2007).
10
2.1.3. Domain Perilaku
Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang
merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik faktor
internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah
kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (l908)
seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 (tiga)
domain, ranah atau kawasan yakni: (1) kognitif (cognitive), (2) afektif (affective),
(3) psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2007),
yaitu :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari
oleh seseorang. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang
ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan
muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali
benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan
sebelumnya.
Menurut Notoatmodjo (2007) Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. menjelaskan bahwa pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
11
(overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
6 tingkatan yaitu:
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
kedalam komponen-komponen.
5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi yaitu kemampuaan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.
2. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau
12
objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek
kesehatan tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Sarwono dalam Maulana (2009), sikap merupakan kecenderung-
an merespons (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek tertentu. Sikap
mengandung suatu penilaian emosional atau afektif (senang, benci, dan sedih),
kognitif (pengetahuan tentang suatu objek), dan konatif (kecenderungan
bertindak). Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan.
Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk
berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan
perasaan terhadap objek tersebut.
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, yang menjadi predisposisi tindakan suatu
perilaku, bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kes iapan untuk
bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.
Dengan sikap secara minimal, masyarakat memiliki pola berpikir tertentu
dau pola berpikir diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman,
pendidikan, dan pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Seperti
halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
(Notoatmodjo, 2007) :
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
13
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, te rlepas
dari pekerjaan itu benar atau salah.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden
terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan
hipotesis, kemudian tanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2007).
3. Tindakan (Practice)
Menurut Notoatmodjo (2007), Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (overt behavior) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan
nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara
lain adalah fasilitas. Tindakan (Practice) ini mempunyai beberapa tingkatan yaitu.
1) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
14
2) Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3) Mekanisme (mekanisme)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
4) Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikanya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan responden (Notoatmodjo, 2007).
2.2. Puskesmas
2.2.1. Pengertian Puskesmas
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu unit pelaksana
fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat
pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan
kesehatan tingkat perta yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal
dalam suatu wilayah tertentu (Mubarak, 2009).
15
Menurut Departemen Kesehatan RI (1991) dalam Mubarak (2009),
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan, fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat dalam memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu di
wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
2.2.2. Fungsi Puskesmas
Menurut Mubarak (2009), Ada tiga fungsi pokok puskesmas, di antaranya
adalah sebagai berikut :
1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya.
Proses dalam melaksanakan fungsinya dilakukan dengan cara:
1. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan
dalam rangka menolong dirinya sendiri.
2. Memberikan petunjuk kepada masyarakat bagaimana menggali dan
menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efesien.
3. Memberi bantuan yang bersifat bimbingan teknik materi dan rujukan medis
maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat.
4. Memberi pelayanan keseharan kepada masyarakat.
16
5. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan
program puskesmas.
2.2.3. Peran Puskesmas
Dalam konteks otonomi daerah saat ini, puskesmas mempunyai peran
yang sangat vital. Sebagai institusi pelaksana teknis, puskesmas dituntut memiliki
kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan (Mubarak, 2009).
Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan untuk menentukan
kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang, tatalaksana kegiatan
kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat.
Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait
upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu
(Mubarak, 2009).
2.2.4. Kegiatan Pokok Puskesmas
Menurut Mubarak (2009), kegiatan pokok puskesmas dibagi atas :
(1) Kesejahteraan ibu dan anak (KIA), (2) Keluarga berencana, (3) Usaha
perbaikan gizi, (4) Kesehatan lingkungan, (5) Pemberantasan penyakit menular,
(6) Upaya pengobatan, (7) Penyuluhan kesehatan masyarakat, (8) Usaha
kesehatan sekolah, (9) Kesehatan olah raga, (10) Perawatan kesehatan
masyarakat, (11) Usaha kesehatan kerja, (12) Usaha kesehatan gigi dan mulut,
(13) Usaha kesehatan jiwa, (14) Kesehatan mata, (15) Laboratorium (diupayakan
17
tidak lagi sederhana), (16) Pencatatan dan pelaporan system informasi kesehatan,
(17) Kesehatan usia lanjut, dan (18) Pembinaan pengobatan tradisional.
Upaya kesehatan yang diselenggarakan di puskesmas terdiri dari upaya
kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Upaya Kesehatan Wajib
merupakan upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh seluruh Puskesmas di
lndonesia. Upaya ini memberikan daya ungkit paling besar terhadap keberhasilan
pembangunan kesehatan melalui peningkatan lndeks Pembangunan Manusia
(lPM), serta merupakan kesepakatan global maupun nasional. Yang termasuk
dalam upaya kesehatan wajib adalah promosi kesehatan, kesehatan lingkungan,
kesehatan lbu anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat,
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular serta pengobatan. Sedangkan
upaya kesehatan pengembangan adalah upaya kesehatan yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat setempat
serta disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas (Depkes RI, 2006).
2.3. Limbah
2.3.1. Pengertian
Menurut Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), definisi imbah
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah
bahan sisa atau buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi,
baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk
limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai
18
jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) (Soenarno, 2011).
Limbah atau waste diartikan sebagai benda yang tidak dipakai, tidak
diingikan dan dibuang atau sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia, serta
tidak terjadi dengan sendirinya (Mubarak, 2009).
Semakin meningkat kegiatan manusia, semakin banyak pula limbah yang
dihasilkan. Oleh karena itu perlu peraturan yang mengikat secara hukum terkait
dengan limbah dan pengelolaannya. UU No 32 Tahun 2009 sudah memuat aturan
segala sesuatu yang terkait limbah tersebut. Aturan itu menyangkut apa yang
diperbolehkan, dilarang dan sanksi hukumnya. UU no 32/2009 ini merupakan
penyempurnaan dari UU sebelumnya yaitu UU No 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disamping itu, sudah ada UU
yang lebih khusus lagi yaitu UU no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Soenarno, 2011).
2.3.2. Jenis-Jenis Limbah
Menurut Notoatmodjo (2007), jenis-jenis limbah dapat dibagi dalam
beberapa bagian yaitu :
1. Limbah berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya
a. Limbah anorganik, adalah limbah yang umumnya tidak dapat membusuk,
misalnya : logam/besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.
19
b. Limbah organik, adalah limbah yang pada umumnya dapat membusuk,
misalnya : sisa-sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan, dan sebagainya.
2. Limbah berdasarkan dapat atau tidaknya dibakar
a. Limbah yang mudah terbakar, misalnya karet, kertas, kayu, dan sebagainya.
b. Limbah yang tidak dapat terbakar, misalnya kaleng bekas, besi/logam bekas,
dan sebagainya.
3. Limbah berdasarkan karakteristiknya
a. Garbage, yaitu jenis limbah hasil pengolahan/pembuatan makanan yang
umumnya mudah membusuk yang berasal dari rumah tangga, pasar, restoran,
hotel, dan sebagainya.
b. Rabish, limbah yang berasal dari perkantoran baik yang mudah terbakar
maupun yang tidak mudah terbakar.
c. Ashes (Abu), yaitu sisa pembakaran dari bahan yang mudah terbakar,
termasuk abu rokok.
d. Limbah jalanan (steet sweeping), yaitu limbah yang berasal dari pembersihan
jalan dan limbah industri.
e. bangkai binatang (dead animal), bangkai kendaraan (abandoned vehicle) dan
limbah pembangunan (construction waste).
2.3.3. Sumber-Sumber Limbah
1. Limbah yang berasal dari pemukiman (domestic wastes)
Limbah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah
tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti sisa-sisa makanan baik yang
20
sudah dimasak atau belum, bekas pembungkus baik kertas, plastik, daun, dan
sebagainya, pakaian-pakaian bekas, bahan-bahan bacaan, perabot rumah tangga,
daun-daunan dari kebun atau taman.
2. Limbah yang berasal dari tempat-tempat umum
Limbah ini berasal dari tempat-tempat umum, seperti pasar, tempat-tempat
hiburan, terminal bus, stasiun kereta api, dan sebagainya. Limbah ini berupa
kertas, plastik, botol, daun, dan sebagainya.
3. Limbah yang berasal dari perkantoran
Limbah ini dari perkantoran baik perkantoran pendidikan, perdagangan,
departemen, perusahaan, dan sebagainya. Limbah ini berupa kertas-kertas, plastik,
karbon, klip dan sebagainya. Umumnya limbah ini bersifat anorganik, dan mudah
terbakar (rubbish).
4. Limbah yang berasal dari jalan raya
Limbah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri dari :
kertas-kertas, kardus-kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban, onderdil-
onderdil kendaraan yang jatuh, daun-daunan, plastik, dan sebagainya.
5. Limbah yang berasal dari industri (industrial wastes)
Limbah ini berasal dari kawasan industri, termasuk limbah yang berasal
dari pembangunan industri, dan segala limbah yang berasal dari proses produksi,
misalnya: limbah- limbah pengepakan barang, logam, plastik, kayu, potongan
tekstil, kaleng, dan sebagainya.
21
6. Limbah yang berasal dari pertanian/perkebunan
Limbah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian misalnya: jerami,
sisa sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah, dan
sebagainya.
7. Limbah yang berasal dari pertambangan
Limbah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari
jenis usaha pertambangan itu sendiri, maisalnya: batu-batuan, tanah/cadas, pasir,
sisa-sisa pembakaran (arang), dan sebagainya.
8. Limbah yang berasal dari petenakan dan perikanan
Limbah yang berasal dari peternakan dan perikanan ini, berupa : kotoran-
kotoran ternak, sisa-sisa makanan bangkai binatang, dan sebagainya (Notoatmojo,
2007).
2.4. Limbah Medis
2.4.1. Pengertian
Limbah medis adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan
diagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Termasuk dalam kajian tersebut
juga kegiatan medis di ruang poliklinik, perawatan, bedah, kebidanan, otopsi dan
ruang laboratorium. Limbah padat medis sering juga disebut limbah biologis
(Arifin, 2011).
Limbah medis merupakan benda atau barang infeksius yang harus dikelola
dengan baik dimulai pada saat pengumpulan, pengangkutan, sampai proses
22
pemusnahan, sehingga penyebaran microba pathogen dapat dicegah. Tempat asal
limbah medis adalah semua unit pelayanan medis yang ada (Darmadi, 2008).
2.4.2. Jenis Limbah Medis Menurut Sumbernya
Tabel 2.1. Jenis Limbah Medis Menurut Sumbernya
No. Sumber/Area Jenis Limbah
1. Unit obstetric dan ruang perawatan
obstetric
Dressing (pembalut/pakaian), sponge (sepon/ pengosok ), placenta, ampul, termasuk kapsul
perak nitrat, jarum syringe (alat semprot), masker disposable (masker yang dapat dibuang),
disposable drapes (tirai/kain yang dapat dibuang), sanitary napkin (serbet), blood lancet disposable (pisau bedah), disposable chat eter
(alat bedah), disposable unit enema (alat suntik pada usus) disposable diaper (popok) dan
underpad (alas/bantalan), dan sarung disposable.
2. Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan
Dressing(pembalut/pakaian),sponge(sepon/ penggosok), jaringan tubuh, termasuk amputasi ampul bekas, masker disposable (masker yang
dapat dibuang), jarum syringe (alat semprot), drapes (tirai/kain), disposable blood lancet
(pisau bedah), disposable kantong emesis, Levin tubes (pembuluh) chateter (alat bedah), drainase set (alat pengaliran), kantong colosiomy,
underpads (alas/bantalan), sarung bedah.
3. Unit laboratorium, ruang mayat,
phatology dan autopsy
Gelas terkontaminasi, termasuk pipet petri dish, wadah specimen, slide specimen (kaca/alat
sorong), jaringan tubuh, organ, dan tulang.
4. Unit Isolasi Bahan-bahan kertas yang mengandung buangan nasal (hidung) dan sputum (dahak/air liur), dressing (pembalut/pakaian dan bandages
(perban), masker disposable (masker yang dapat dibuang), sisa makanan, perlengkapan makan.
5. Unit Perawatan Ampul, jarum disposable dan syringe (alat
semprot), kertas dan lain- lain.
6. Unit pelayanan Karton, kertas bungkus, kaleng, botol, limbah dari ruang umum dan pasien, sisa makanan.
7. Unit gizi/dapur Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan
sayuran dan lain- lain
8. Halaman Rumah Sakit Sisa pembungkus, daun ranting, debu.
(Sumber : Depkes, 2002)
23
2.4.3. Pengelolaan Limbah Medis
Pengelolaan limbah merupakan semua kegiatan baik administratif maupun
operasional, (termasuk kegiatan transportasi), melibatkan penanganan, perawatan,
mengkondisikan, penimbunan, dan pembuangan limbah (Tietjen, 2004).
Pengelolaan limbah ialah melindungi petugas pembuangan limbah dari
perlukaan, melindungi penyebaran infeksi terhadap para petugas kesehatan,
mencegah penularan infeksi pada masyarakat sekitar, membuang bahan-bahan
berbahaya (bahan toksik dan radioaktif) dengan aman. Tumpukan limbah terbuka
harus dihindari, karena menjadi objek pemulung yang akan memanfaa tkan limbah
yang terkontaminasi, dapat menyebabkan perlukaan, menimbulkan bau busuk dan
mengundang lalat dan hewan (Tietjen, 2004).
Menurut Chandra (2006), Pengelolaan limbah di pelayanan kesehatan
harus dilakukan dengan benar dan efektif dan memenuhi persyaratan sanitasi.
Adapun persyaratan sanitasi yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Limbah tidak boleh mencemari tanah, air permukaan atau air tanah dan juga
udara.
2. Limbah tidak boleh dihinggapi lalat, tikus dan binatang lainnya.
3. Limbah tidak menimbulkan bau busuk dan pemandangan yang tidak baik.
4. Limbah cair yang beracun harus dipisahkan dari limbah cair lain dan harus
memiliki tempat penampungan sendiri.
Perangkat penunjang pada proses pengolahan limbah merupakan sarana
dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Penentuan untuk
keseluruhan perangkat tersebut. Penentuan untuk keseluruhan perangkat tersebut
24
harus mempertimbangkan aspek ketersediaan anggaran, jumlah kunjungan dan
lama rawat inap pasien serta berbagai pertimbangan teknis yang lain (Chandra,
2006).
Pembuangan limbah medis yang terkontaminasi yang benar meliputi:
1. Penimbunan ( Pemisahan Dan Pengurangan )
Proses pemilahan dan reduksi limbah hendaknya merupakan proses yang
kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan: kelancaran penanganan
dan penampungan limbah, pengurangan volume dengan perlakuan pemisahan
limbah B3 dan non B3 serta menghindari penggunaan bahan kimia B3,
pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah untuk
efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
2. Wadah penampung
Setiap unit di fasiltas kesehatan hendaknya menyediakan tempat
penampungan sementara limbah dengan bentuk, ukuran dan jenis yang sama.
Jumlah tempat penampungan sementara itu disesuaikan dengan kebutuhan serta
kondisi ruangan. Wadah yang digunakan harus tidak mudah berkarat, kedap air,
memiliki tutup yang rapat, mudah dibersihkan dan mudah dikosongkan (Chandra,
2006).
Penampungan limbah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah
bocor atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak
overload. Penampungan dalam pengelolaan limbah medis dilakukan perlakuan
standarisasi kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan kantong yang
bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam Permenkes RI no.
25
986/Men.Kes/Per/1992 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang
biohazard untuk limbah infeksius, kantong berwarna ungu dengan simbol
citotoksik untuk limbah citotoksik, kantong berwarna merah dengan simbol
radioaktif untuk limbah radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan
“domestik”.
Penanganan limbah terkontaminasi yang tepat akan meminimalkan
penyebaran infeksi pada petugas kesehatan dan masyarakat setempat. Jika
memungkinkan, limbah terkontaminasi harus dikumpulkan dan dipindahkan ke
tempat pembuangan dalam wadah tertutup dan anti bocor (Tietjen, 2004).
a. Untuk limbah terkontaminasi, pakailah wadah plastik atau disepuh logam
dengan tutup yang rapat. Sekarang, kantong-kantong plastik yang berwarna
digunakan untuk membedakan limbah umum (yang tidak terkontaminasi)
dengan yang terkontaminasi pada sebagian besar fasilitas kesehatan.
b. Gunakan wadah tahan tembus untuk pembuangan semua benda-benda tajam.
(benda-benda tajam yang tidak akan digunakan kembali).
c. Tempat wadah limbah dekat dengan lokasi terjadinya limbah itu dan mudah
dicapai oleh pemakai (mengangkat-angkat limbah kemana-mana meningkat-
kan resiko infeksi pada pembawanya). Terutama penting sekali terhadap
benda tajam yang membawa resiko besar kecelakaan perlukaan pada petugas
kesehatan dan staf.
d. Peralatan yang dipakai untuk mengumpulkan dan mengangkut limbah tidak
boleh dipakai untuk keperluan lain di klinik atau rumah sakit (sebaiknya
menandai wadah limbah terkontaminasi).
26
e. Cuci semua wadah limbah dengan larutan pembersih disinfektan (larutan
klorin 0,5% + sabun) dan bilas teratur dengan air.
f. Jika mungkin, gunakan wadah terpisah untuk limbah yang akan dibakar dan
yang tidak akan dibakar sebelum dibuang. Langkah ini akan menghindarkan
petugas dari memisahkan limbah dengan tangan.
g. Gunakan perlengkapan perlindung diri (PPD) ketika menangani limbah
(misalnya sarung tangan utilitas dan sepatu pelindung tertutup).
h. Cuci tangan atau gunakan penggosok tangan antiseptik berbahan dasar alkohol
tanpa air setelah melepaskan sarung tangan apabila menangani limbah
(Tietjen, 2004).
3. Sarana pengangkutan
Proses dimulai dari pengangkutan limbah dari wadah penampungan yang
diletakan pada lokasi tertentu sampai ketempat pembuangan. Secara mekanis,
limbah dapat diangkut dengan sejenis sistem conveyor yang akan membawa
limbah tersebut ke lokasi pembuangan akhir (Chandra, 2006).
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan intenal dan
eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat
pembuangan atau ke incinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan
internal biasanya digunakan kereta dorong sebagai yang sudah diberi label, dan
dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi
dan pakaian kerja khusus. Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan limbah
medis ketempat pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal
memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang
27
terlibat. Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Limbah
medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor.
4. Sarana Pembuangan dan pemusnahan
Metode yang digunakan untuk megolah dan membuang limbah medis
tergantung pada faktor- faktor khusus yang sesuai dengan institusi yang berkaitan
dengan peraturan yang berlaku dan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap
masyarakat. Teknik pengolahan limbah medis (medical waste) yang mungkin
diterapkan adalah Insinerasi, Sterilisasi dengan uap panas/autoclaving (pada
kondisi uap jenuh bersuhu 121o C, Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan
berupa ethylene oxide atau formaldehyde), Desinfeksi zat kimia dengan proses
grinding (menggunakan cairan kimia sebagai desinfektan), Inaktivasi suhu tinggi,
Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi), Microwave treatment, Grinding
dan shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran limbah), Pemampatan/
pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang terbentuk.
Kegiatan pemusnahan merupakan tahap akhir dari proses pengolahan
limbah. Limbah dari lokasi penampungan akhir diangkut ke luar fasilitas
kesehatan dengan menggunakan sarana angkutan dinas kebersihan kota.
Khususnya untuk limbah non-medis. Untuk limbah medis yang mudah terbakar
dimusnahkan dengan menggunakan insinerator dan limbah yang tidak mudah
terbakar, limbah tersebut disterilkan dahulu dengan autoclave baru kemudian
dibuang (Chandra, 2006).
Menurut Tietjen (2004), Pembuangan limbah yang terkontaminasi
meliputi :
28
a. Menuangkan cairan atau limbah basah ke sistem pembuangan kotoran
tertutup.
b. Insenerasi (pembakaran) untuk menghancurkan bahan-bahan sekaligus
mikroorganismenya. Ini merupakan metode terbaik untuk pembuangan limbah
terkontaminasi. Pembakaran juga akan mengurangi volume limbah dan
memastikan bahwa bahan tersebut tidak akan dijarah dan dipakai ulang.
c. Menguburkan limbah terkontaminasi untuk mencegah ditangani lebih lanjut.
2.5. Kerangka Teori
Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang
merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik faktor
internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah
kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (l908)
seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 (tiga)
domain, ranah atau kawasan yakni: (1) kognitif (cognitive), (2) afektif (affective),
(3) psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu Pengetahuan
(Knowledge), Sikap (Attitude) dan Tindakan (Practice) (Notoatmodjo, 2007).
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian
Perilaku Petugas Puskesmas
Menurut Notoatmodjo (2007) 1. Pengetahuan (Knowledge) 2. Sikap (Attitude)
3. Tindakan (Practice)
Sistem Pengelolaan Limbah
Medis
29
2.6. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
2.7. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara pengetahuan petugas puskesmas dengan sistem
pengelolaan limbah medis di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan
Raya Tahun 2013
2. Ada hubungan antara sikap petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan
limbah medis di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya Tahun
2013
3. Ada hubungan antara tindakan petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan
limbah medis di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya Tahun
2013
Tindakan
Sikap
Pengetahuan
Sistem Pengelolaan Limbah
Medis
30
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan
pendekatan Cross Sectional yaitu mengumpulkan data penelitian untuk variabel
baik variabel independen maupun variabel dependen dilakukan dalam satu waktu
yang bersamaan (Notoadmojo, 2005). Metode deskriptif korelasi ini digunakan
untuk mengetahui gambaran perilaku petugas puskesmas terhadap sistem
pengelolaan limbah medis di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya
Tahun 2013.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan
Raya dan dilaksanakan pada tanggal 02 sampai dengan 06 Mei 2013.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah petugas puskesmas yang ada di UPTD
Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya yang berjumlah 105 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Pengambilan
31
sampel dalam penelitian ini adalah secara simple random sampling yaitu cara
pengambilan sampel dengan teknik memberikan nomor yang berbeda kepada
setiap anggota populasi, kemudian memilih sampel dengan mengunakan angka-
angka random. Menghitung jumlah sampel, peneliti mengunakan rumus :
𝑛 = 𝑁
𝑁 (𝑑)2 + 1
Keterangan :
n : Sampel
N : Populasi
d : Derajat kebebasan (0.05).
𝑛 = 105
105 (0.05)2 + 1
𝑛 = 105
1.2625
n = 83.2 dibulatkan menjadi 83 responden (Sarwono, 2006).
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui
penyebaran kuisioner kepada responden untuk memperoleh tanggapan, penjelasan
dari responden tentang perilaku petugas puskesmas terhadap sistem pengelolaan
limbah medis. Pada penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan metode
angket. Angket ini dilakukan dengan mengedarkan fomulir- fomulir, diajukan
secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan jawaban
32
(Notoatmodjo, 2005). Kuesioner disusun sendiri oleh peneliti mengacu kepada
konsep sistem pengelolaan limbah medis.
3.4.2. Data Sekunder
Data yang diperoleh sebagai pendukung hasil penelitian, sumber data
sekunder diperoleh dari catatan, literatur, artikel dan tulisan ilmiah yang relevan
dengan topik penelitian yang dilakukan (Sarwono, 2006).
3.5. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel
No Variabel Keterangan
Variabel Dependen
1 Sistem
Pengelolaan Limbah Medis
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
Semua kegiatan baik administratif
maupun operasional, melibatkan penanganan, perawatan, mengkondisi-kan, penimbunan, dan pembuangan
limbah Angket
Kuesioner 1. Kurang 2. Baik
Ordinal
Variabel Independen
1 Pengetahuan Definisi
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
Hasil tahu petugas kesehatan tentang sistem pengelolaan limbah medis
Angket Kuesioner 1. Kurang
2. Baik Ordinal
2 Sikap Definisi
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
Reaksi atau respon petugas kesehatan
dalam upaya pengelolaan limbah medis
Angket Kuesioner 1. Kurang
2. Baik Ordinal
33
3 Tindakan Definisi
Cara Ukur Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Pelaksanaan yang dilakukan petugas kesehatan dalam sistem pengelolaan
limbah medis
Angket Kuesioner
1. Kurang 2. Baik
Ordinal
3.6. Aspek Pengukuran
3.6.1. Variabel Dependen
Pertanyaan sistem pengolahan sampah mengunakan chacklist dengan 10
pernyataan dalam tiap-tiap variabel, interpretasi penilaian dalam penelitian ini,
apabila skor dilakukan nilainya 1 (satu) dan apabila tidak dilakukan nilainya 0
(nol). Kategori pengukuran sistem pengolahan limbah dibagi dalam dua bagian,
yaitu kategori “kurang” apabila responden menjawab ≤50% dan kategori “baik”
apabila responden menjawab >50%.
3.6.2. Variabel Independen
a. Pengetahuan
Penelitian menggunakan instrumen berupa angket (kuesioner) yang berisi
10 pertanyaan dengan bentuk pertanyaan multiple choice. Pilihan jawaban yang
diberikan oleh peneliti kepada responden. Peneliti telah menyediakan jawaban,
sehingga responden tinggal memilih atau membubuhkan tanda checklish (√) pada
jawaban yang sesuai menurut responden. Jawaban yang benar diberi skor 1 (satu)
dan salah diberi skor 0 (nol). Kategori pengukuran pengetahuan dibagi dalam dua
34
bagian, yaitu kategori “kurang” apabila responden menjawab ≤50% dan kategori
“baik” apabila responden menjawab >50%.
b. Sikap
Pengukuran dalam penelitian ini mengunakan pernyataan tertutup (close
anded question) yang berjumlah 10 pernyataan. Hasil ukur mengunakan cara skala
Likert dengan graduasi tingkat penilaian yaitu : Sangat setuju diberi bobot 5,
Setuju diberi bobot 4, Netral diberi bobot 3, Tidak Setuju diberi bobot 2, dan
Sangat Tidak Setuju diberi bobot 1. Kategori pengukuran sikap dibagi dalam dua
bagian, yaitu kategori “kurang” apabila responden menjawab ≤50% dan kategori
“baik” apabila responden menjawab >50%.
c. Tindakan
Metode pengukuran dalam penelitian ini mengunakan skala guttman
merupakan skala yang bersifat tegas dan konsistensi dengan memberikan jawaban
yang tegas seperti jawaban “Ya” dan “Tidak”. Skala guttman ini dibuat dibuat
dalam bentuk chacklist dengan 10 pernyataan dalam tiap-tiap variabel, interpretasi
penilaian dalam penelitian ini, apabila skor dilakukan nilainya 1 (satu) dan apabila
tidak dilakukan nilainya 0 (nol). Kategori pengukuran tindakan dibagi dalam dua
bagian, yaitu kategori “kurang” apabila responden menjawab ≤50% dan kategori
“baik” apabila responden menjawab >50%.
3.7. Analisa Data Penelitian
3.7.1. Analisa Univariat
Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa univariate. Analisis
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terhadap variabel-variabel independen
35
yang diteliti, mendiagnosis asumsi statistik lanjut dan mendeteksi nilai ekstrim
dengan melihat gambaran distribusi frekuensi variabel dependen dan independen
yang akan diteliti yang digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik (Sarwono,
2006).
Data hasil pengkatagorian untuk tiap-tiap variabel yang diteliti selanjutnya
ditentukan persentase perolehannya masing-masing dengan menggunakan rumus
(Setiadi, 2007):
P = f
n x 100%
.
3.7.2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
dependen dan independen dengan cara diagnosis data dan uji hipotesis dua
variabel.
Keterangan :
P = Persentase
f = Jumlah Jawaban yang Benar
n = Jumlah Skor Maksimal
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Geografis
Puskesmas Jeuram berdiri tahun 1963 dengan luas bangunan kurang lebih
200 m2, ditambah enam unit rumah dinas untuk dokter dan paramedis sehingga
luas seluruhnya mencakup kurang lebih 450 m2. Lokasi Puskesmas Jeuram
berada di Jalan Kesehatan No. 1 Gampong Parom, Kecamatan Seunagan. Dengan
Akses kejalan Nasional lebih kurang ± 500 meter.
Puskesmas ini mempunyai wilayah kerja 35 desa yang ada di Kecamatan
Seunagan . Jarak dari Puskesmas ke Ibukota kabupaten Nagan Raya lebih kurang
10 km. Sedangkan luas wilayah kerja Puskesmas sekitar 8 km2. Batas wilayah
kerja Puskesmas Jeuram yaitu:
a. sebelah utara : Kecamatan Seunagan Timur
b. sebelah selatan : Desa Cot Peuradi, Desa Blang Sapek
c. sebelah timur : Kecamatan Beutong
d. sebelah barat : Kabupaten Aceh Barat
Untuk perhubungan dari Puskesmas ke ibukota Kabupaten dapat ditempuh
dengan jalan tanpa hambatan, sedangkan hubungan antara Puskesmas dengan
desa-desa di wilayah kerja Puskesmas Jeuram cukup lancar. Hanya beberapa desa
yang sulit dijangkau terutama di musim hujan.
37
4.1.2. Tenaga Kesehatan
Adapun pegawai yang bertugas di lingkungan Puskesmas Jeuram saat ini
berjumlah 91 orang termasuk yang ditugaskan di Pustu (Puskemas Pembantu)
dengan berbagai jenjang pendidikan dari SLTA sampai perguruan tinggi, baik
yang berlatar belakang kesehatan maupun umum, bahkan saat ini ada beberapa
orang yang sedang menempuh pendidikan pada program strata 1 kesehatan
masyarakat di Universitas. Tenaga pelaksana (Teknis) di Puskesmas Perawatan
Jeuram sebagai berikut: Dokter umum : 2 orang, Dokter gigi : 1 orang, Sajana
Kesehatan Masyarakat : 1 orang, Perawat : 45 orang, Bidan : 28 orang, Petugas
Gizi (D III) : 1 orang, Sanitarian (D III) : 1 orang, SLTA (LOPK) : 13 orang.
4.1.3. Sarana dan Prasarana Puskesmas Jeuram
Puskesmas Jeuram dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
tinggal di desa-desa yang jauh dari Puskesmas induk dibantu oleh sarana dan
prasarana kesehatan yang ada di desa-desa tersebut. Sarana dan Prasarana
Puskesmas Non Fisik dan Fisik terdiri atas:
a. Sumber dana
1) Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2) Asuransi Kesehatan (ASKES)
3) Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)
b. Sarana Transportasi
1) Mobil Pusling Unit
2) Mobil Ambulance Unit, Sepeda Motor
38
c. Sarana Administrasi
Saat ini Puskesmas Puskesmas Jeuram memiliki Enam (6) unit computer
dan satu Unit Internet untuk mendukung semua kegiatan yang digunakan
semaksimal mungkin untuk pembuatan pelaporan dan pembukuan di Puskesmas.
Tabel di bawah ini menampilkan data sarana dan prasarana yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Jeuram
Tabel 4.1 : Daftar Sarana dan Prasarana Puskesmas Jeuram Tahun 2009
No Nama fasilitas Jumlah
1 Puskesmas Pembantu 4 buah
2 Pusling 3 Unit
3 Polindes 9 buah
4 Posyandu 36 buah
5 Pos pelayanan terpadu Usila 2 buah
4.1.4. Program Pokok Puskesmas Jeuram
a. Kesejahteraan ibu dan Anak (KIA),
b. Pemeriksaan antenatal, buteki, nifas
c. Pemeriksaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
d. Keluarga berencana
e. Pembinaan posyandu
f. Pembinan Taman Kanak-kanak (TK)
g. Pemberian kapsul vitamin A
h. Pemberian tablet penambah darah
i. Penyuluhan pemanfaatna pekarangan
j. Penyuluhan pemberian makanan tambahan (PMT)
k. Pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah
39
4.2. Analisis Univariat
4.2.1. Pengetahuan Petugas Puskesmas
Pengetahuan petugas puskesmas dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang
dan baik, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Gambaran Pengetahuan Petugas Puskesmas
Tentang Pengelolaan Limbah Medis di UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
No Pengetahuan Jumlah Persen
1 2
Kurang Baik
7 76
8.4 91.6
Jumlah 83 100.0
Dari Tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa mayoritas pengetahuan
responden mempunyai kategori pengetahuan baik sebanyak 76 responden
(91.6%).
4.2.2. Sikap Petugas Puskesmas
Sikap petugas puskesmas dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang dan baik,
secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Gambaran Sikap Petugas Puskesmas
Tentang Pengelolaan Limbah Medis di UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
No Sikap Jumlah Persen
1
2
Kurang
Baik
7
76
8.4
91.6
Jumlah 83 100.0
Dari Tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa mayoritas sikap responden
mempunyai kategori sikap baik sebanyak 76 responden (91.6%).
40
4.2.3. Tindakan Petugas Puskesmas
Tindakan petugas puskesmas dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang dan
baik, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Gambaran Tindakan Petugas Puskesmas
Tentang Pengelolaan Limbah Medis di UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
No Tindakan Jumlah Persen
1 2
Kurang Baik
40 43
48.2 51.8
Jumlah 83 100.0
Dari Tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa mayoritas tindakan
responden mempunyai kategori tindakan baik sebanyak 43 responden (51.8%).
4.2.4. Sistem Pengelolaan Limbah Medis
Sistem pengelolaan limbah medis dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang
dan baik, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Sistem Pengelolaan Limbah Medis di UPTD
Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
No Pengelolaan Limbah Jumlah Persen
1 2
Kurang Baik
22 61
26.5 73.5
Jumlah 83 100.0
Dari Tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa mayoritas sistem pengelolaan
limbah medis mempunyai kategori baik sebanyak 61 responden (73.5%).
41
4.3. Analisis Bivariat
4.3.1. Gambaran Pengetahuan Petugas Puskesmas Dalam Sistem
Pengelolaan Limbah Medis
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Gambaran Pengetahuan Petugas Puskesmas
Dalam Sistem Pengelolaan Limbah Medis di UPTD Puskesmas
Jeuram Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
Pengetahuan
Pengelolaan Total p OR
Kurang Baik
f % f % f %
Kurang 6 85.7 1 14.3 7 100.0
0.001 22.500 Baik 16 21.1 60 78.9 76 100.0
Jumlah 22 26.5 61 73.5 83 100.0
Diketahui pada Tabel 4.6. mayoritas pengetahuan responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 60 (78.9%) responden dan
pengetahuan responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang kurang
sebanyak 6 (85.7%) responden, sedangkan hasil uji korelasi terdapat hubungan
antara pengetahuan petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan limbah medis,
dengan nilai p = 0.001 dan OR = 22.500, dimana responden dengan pengetahuan
baik memiliki sistem pengelolaan yang baik 22.500 kali lebih besar dibandingkan
responden yang mempunyai pengetahuan kurang.
4.3.2. Gambaran Sikap Petugas Puskesmas Dalam Sistem Pengelolaan
Limbah Medis
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Gambaran Sikap Petugas Puskesmas Dalam
Sistem Pengelolaan Limbah Medis di UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
Sikap
Pengelolaan Total p OR
Kurang Baik
f % f % f %
Kurang 6 85.7 1 14.3 7 100.0
0.001 22.500 Baik 16 21.1 60 78.9 76 100.0
Jumlah 22 26.5 61 73.5 83 100.0
42
Diketahui pada Tabel 4.7. mayoritas sikap responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 60 (78.9%) responden dan sikap
responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang kurang sebanyak 6
(85.7%) responden, sedangkan hasil uji korelasi terdapat hubungan antara sikap
petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan limbah medis, dengan nilai p =
0.001 dan OR = 22.500, dimana responden dengan sikap baik memiliki sistem
pengelolaan yang baik 22.500 kali lebih besar dibandingkan responden yang
mempunyai sikap kurang.
4.3.3. Gambaran Tindakan Petugas Puskesmas Dalam Sistem Pengelolaan
Limbah Medis
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Gambaran Tindakan Petugas Puskesmas
Dalam Sistem Pengelolaan Limbah Medis di UPTD Puskesmas
Jeuram Kabupaten Nagan Raya Tahun 2013
Tindakan
Pengelolaan Total p OR
Kurang Baik
f % f % f %
Kurang 13 32.5 27 67.5 40 100.0
0.345 1.819 Baik 9 20.9 34 79.1 43 100.0
Jumlah 22 26.5 61 73.5 83 100.0
Diketahui pada Tabel 4.8. mayoritas tindakan responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 34 (79.1%) responden dan
tindakan responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak
27 (67.5%) responden, sedangkan hasil uji korelasi tidak terdapat hubungan antara
tindakan petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan limbah medis, dengan
nilai p = 0.345 dan OR = 1.819 dimana responden dengan tindakan baik memiliki
sistem pengelolaan yang baik 1.819 kali lebih besar dibandingkan responden yang
mempunyai tindakan kurang.
43
4.4. Pembahasan Penelitian
4.4.1. Gambaran Pengetahuan Petugas Puskesmas Dalam Sistem
Pengelolaan Limbah Medis
Hasil penelitian menunjukan mayoritas pengetahuan responden baik
dengan pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 60 (78.9%) responden dan
pengetahuan responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang kurang
sebanyak 6 (85.7%) responden, sedangkan hasil uji korelasi terdapat hubungan
antara pengetahuan petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan limbah medis,
dengan nilai p = 0.001.
Pengetahuan yang baik ini menurut peneliti dimungkinkan dari mayoritas
responden yang memiliki pendidikan setara yaitu Dipoloma III dan beberapa
diantaranya sudah mendapatkan pelatihan tentang pengelolaan limbah serta
mayoritas responden sudah lama bertugas di Rumah Sakit Umum. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan ahli bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang
dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan
sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
Pengetahuan yang baik pada responden ini di dapat dari petugas kesehatan
lingkungan dan dari beberapa media yang tersedia di antaranya poster, leafled,
buku, maupun internet yang ada di UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan
Raya. Menurut peneliti dengan banyaknya informasi yang didapat dari media
maka pengetahuan yang dimiliki petugas puskesmas akan lebih baik.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Notoatmodjo (2007),
mengemukakan bahwa pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah
44
orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. menjelaskan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
4.4.2. Gambaran Sikap Petugas Puskesmas Dalam Sistem Pengelolaan
Limbah Medis
Hasil penelitian menunjukan mayoritas sikap responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 60 (78.9%) responden dan sikap
responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang kurang sebanyak 6
(85.7%) responden, sedangkan hasil uji korelasi terdapat hubungan antara sikap
petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan limbah medis, dengan nilai p =
0.001.
Sikap yang baik pada responden ini di dapat dari ketersediaan fasilitas-
fasilitas yang mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah medis tersebut,
tempat-tempat pembuangan limbah medis dan non medis diletakkan di depan atau
di dalam ruang tindakan petugas kesehatan, hal ini juga merupakan salah satu
alasan bagi petugas untuk lebih mudah dalam membuang limbah medis tempat
yang sudah disediakan dengan sesuai spesifikasinya dan lebih mudah untuk
petugas dalam pengelolaannya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sarwono dalam Maulana (2009),
sikap merupakan kecenderungan merespons (secara positif atau negatif) orang,
situasi atau objek tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau
45
afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu objek), dan
konatif (kecenderungan bertindak). Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam
diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek
akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut.
Apabila tidak ditangani dengan baik, limbah medis dapat menimbulkan
masalah baik dari aspek pelayanan maupun estetika selain dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan dan menjadi sumber penularan penyakit (infeksi
nasokomial). Oleh karena itu, pengolahan limbah medis perlu mendapat perhatian
yang serius dan memadai agar dampak negatif yang terjadi dapat dihindari atau
dikurangi (Chandra, 2006).
4.4.3. Gambaran Tindakan Petugas Puskesmas Dalam Sistem Pengelolaan
Limbah Medis
Hasil penelitian menunjukan mayoritas tindakan responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 34 (79.1%) responden dan
tindakan responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak
27 (67.5%) responden, sedangkan hasil uji korelasi tidak terdapat hubungan antara
tindakan petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan limbah medis, dengan
nilai p = 0.345.
Pengelolaan limbah yang kurang ini menurut peneliti, petugas puskesmas
tidak memilah limbah medis dan non medis sebelum dibuang ketempat sampah,
padahal di tempat sampah tersebut sudah tertera jenis-jenis sampah yang
dimaksud, hal ini terlihat pada limbah medis dan non medis seperti perban dan
46
kapas bercampur darah, infuset bekas, sarung tangan bekas dan lain- lain
bercampur dengan limbah non medis. Kondisi ini dapat menyebabkan tikus,
kecoa, lalat berkeliaran dan berinteraksi dengan limbah medis dan non medis
tersebut sehingga rentan terjadinya penularan kuman patogen.
Hal ini sejalan dengan pendapat ahli yaitu Pada fasilitas pelayanan
kesehatan dimanapun, petugas puskesmas merupakan kelompok utama yang
beresiko mengalami cidera, jumlah bermakna justru berasal dari luka teriris dan
tertusuk limbah benda tajam.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Notoatmodjo (2007) menyatakan
bahwa tindakan terbagi atas beberapa tingkatan dalam tindakan yaitu respon
terpimpin bahwa tindakan yang dilakukan sesuai dengan urutan yang benar dan
sesuai dengan contoh. Dalam hal ini contoh yang dimaksudkan adalah tata cara
atau panduan mengenai cara melakukan pengelolaan limbah medis dan non medis.
Sedangkan menurut Tietjen (2004), Penanganan limbah terkontaminasi
yang tepat akan meminimalkan penyebaran infeksi pada petugas kesehatan dan
masyarakat setempat. Jika memungkinkan, limbah terkontaminasi harus
dikumpulkan dan dipindahkan ke tempat pembuangan dalam wadah tertutup dan
anti-bocor. Karena sebagian limbah medis dikirim ke pusat pembuangan limbah,
maka sangat penting untuk melatih petugas kesehatan untuk memisahkan limbah
terkontaminasi dengan limbah tidak terkontaminasi.
47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat simpulkan sebagai berikut:
5.1.1. Hasil penelitian menunjukan mayoritas pengetahuan responden baik
dengan pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 60 (78.9%)
responden dan pengetahuan responden kurang dengan pengelolaan limbah
medis yang kurang sebanyak 6 (85.7%) responden, sedangkan hasil uji
korelasi terdapat hubungan antara pengetahuan petugas puskesmas dengan
sistem pengelolaan limbah medis, dengan nilai p = 0.001.
5.1.2. Hasil penelitian menunjukan mayoritas sikap responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 60 (78.9%) responden dan
sikap responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang kurang
sebanyak 6 (85.7%) responden, sedangkan hasil uji korelasi terdapat
hubungan antara sikap petugas puskesmas dengan sistem pengelolaan
limbah medis, dengan nilai p = 0.001.
5.1.3. Hasil penelitian menunjukan mayoritas tindakan responden baik dengan
pengelolaan limbah medis yang baik sebanyak 34 (79.1%) responden dan
tindakan responden kurang dengan pengelolaan limbah medis yang baik
sebanyak 27 (67.5%) responden, sedangkan hasil uji korelasi tidak
terdapat hubungan antara tindakan petugas puskesmas dengan sistem
pengelolaan limbah medis, dengan nilai p = 0.345.
48
5.2. Saran
5.2.1. Diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat melalui
pengelolaan limbah medis yang dihasilkan oleh tempat pelayanan
kesehatan
5.2.2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya agar dapat
melakukan/melaksanakan pelatihan tentang pengelolaan limbah medis agar
dapat meningkatkan perilaku petugas dalam membuang limbah medis. kepada
UPTD Puskesmas Jeuram Kabupaten Nagan Raya agar hasil penelitian
dapat menjadi acuan dalam melakukan pengelolaan limbah medis dalam
upaya pencegahan terhadap infeksi Nasokomial.
5.2.3. Diharapkan kepada petugas dilingkungan UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya agar dapat melaksanakan pemisahan antara limbah
medis dan non medis.
5.2.4. Diharapkan dilakukan penelitian lanjutan tentang pengelolaan limbah medis
dengan mengambil populasi seluruh Pegawai UPTD Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, 2011, Jenis dan Macam Sampah Medis Yang Perlu Diketahui dikutip dari http://helpingpeopleideas.com/publichealth/index.php/2011/02/sampah-medis/ pada tanggal 10 Maret 2013
BPLHD, 2009, Pengelolaan Limbah Medis dikutip dari http://www,bplhd
jabar,go,id/index,php/ pada tanggal 10 Maret 2013 Chandra, 2006, Pengantar Kesehatan Lingkungan, EGC, Jakarta
Darmadi, 2008, Infeksi Nasokomial: Problematika dan Pengendaliannya,
Salemba Medika, Jakarta Depkes RI, 2006, Pedoman Manajemen Puskesmas, Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat
_____ , 2007, Pedoman Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3), Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007
Herijulianti, 2002, Pendidikan Kesehatan Gigi, Jakarta, EGC
Hidayat, 2007, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Bineka Cipta
Maulana, 2009, Promosi Kesehatan, EGC, Jakarta
Mubarak, 2009, Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar dan Teori, Buku 1, Salemba Medika, Jakarta
Maxpelltechnology, 2008, Incinerator Medis Alat Pengolahan Sampah Klinik/Puskesmas/Rumah Sakit di kutip dari http://www.maxpell
technology.com/incineratormedis.php pada tanggal 10 Maret 2013 Notoadmojo, 2005, Metodelogi Penelitian Kesehatan : Rineka Cipta: Jakarta
__________ , 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta
Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu.
Bandung
Soedjajadi, 2006, Evaluasi Pengelolaan Sampah Padat Di Rumah Sakit Umum
Haji Surabaya dikutip dari Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 3, NO.1, Surabaya
Tietjen, 2004, Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas, JNPK-KR, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta