150

Gadis Berkacamata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Short story made by Ikhwan Rafiq

Citation preview

Page 1: Gadis Berkacamata
Page 2: Gadis Berkacamata

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Page 3: Gadis Berkacamata

2

Page 4: Gadis Berkacamata

3

Reza Irwansyah

GADIS BERKACAMATA

Penerbit JTIEZ Publisher

Page 5: Gadis Berkacamata

4

GADIS BERKACAMATA Oleh: Reza Irwansyah

Copyright © 2010 by Reza Irwansyah

Penerbit

JTIEZ Publisher

www.rezairwansyah.co.cc

[email protected]

Desain Sampul:

Ikhwan Rafiq

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

Page 6: Gadis Berkacamata

5

Ucapan Terima Kasih

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kupanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberiku tangan untuk menulis, memberiku akal untuk berpikir, dan memberiku kesempatan dan nikmat yang tidak dapat kusebutkan sehingga terbitlah kumpulan cerpen pertamaku ini. Setelah sekian lama saya menulis, akhirnya saya bisa menerbitkan buku sendiri.

Terima kasih juga kepada orang tua dan keluargaku yang senantiasa mendukung segala kegiatanku, serta atas motivasinya dan bantuannya selama ini sehingga kini saya bisa menghasilkan karya pertamaku.

Saya ucapkan terima kasih juga kepada guru-guru Bahasa Indonesiaku di SMA; Pak Edy, Bu Berkah, dan Bu Nunung yang telah banyak memberiku ilmu dalam dunia sastra dan tata bahasa.

Teman-temanku, Ketoprakzz : Jessy, Puji, Prasojo, Tri, dan Fitri. Ohm Friends : Asty, Davina, Ayu, Eka, Nadia, Ruli. Sweet Seventeens : Anggi, Ceri, Yani, Tika, Cahya, Nadia. Neunzig Magazine, Stico, Qexiaz, Gradasi, MBUI, TBM, GCUI, dan Turbo 2010 yang anggotanya tidak mungkin saya sebut satu persatu. Terima kasih untuk semua keceriaan dan kebersamaannya selama ini

Kepada Rohis 90, terutama Ats-Tsabat, saya ucapkan terima kasih sudah memberikan begitu banyak pengalaman dan ilmu yang sangat berguna. Pengalaman

Page 7: Gadis Berkacamata

6

sebagai anggota, pengurus, dan segala lika-likunya mungkin akan kalian temukan di beberapa cerita. Hehehe. Semoga ukhuwah kita terus terjalin

Untuk nulisbuku.com dan semua pihak yang telah terlibat dalam proses pembuatan dan penerbitan buku ini. Saya ucapkan terima kasih telah banyak membantu.

Akhirnya, semoga buku ini dapat memberikan motivasi kepada teman-teman untuk terus berkarya. Jangan takut untuk menulis. Selain itu, kritik dan saran juga sangat saya tunggu mengingat saya hanyalah penulis pemula yang butuh banyak masukan untuk menghasilkan karya yang lebih baik.

Tangerang, 11 Januari 2011

Wassalam

Reza Irwansyah

Page 8: Gadis Berkacamata

7

DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih 5

Keluargaku 9

Kado Terakhir 17

Sadarlah Kawan 27

Gadis Berkacamata 35

Curahan Hati Iblis 43

Andini 51

Berakhir karena Kejujuran 57

Biarkan Aku Lupa 67

Kisah Imam 79

Obrolan Meja Bundar 91

Gosip 99

Sebuah Penantian 107

Kelam 117

Kado Kode 1402 127

Di Balik Kesendirian 135

Page 9: Gadis Berkacamata

8

Page 10: Gadis Berkacamata

9

Keluargaku

Teriknya matahari siang ini tidak menghalangiku untuk berkumpul dengan teman-temanku sesama tukang ojek. Aku tidak malu walau tempatku berkumpul hanya berjarak beberapa meter dari sekolahku. Keadaan yang membuatku begini. Saat mereka dalam perjalanan pulang menuju rumah masing-masing dan bertemu orang tua tercinta, aku harus berjuang mencari uang untuk biaya perawatan ibuku.

Page 11: Gadis Berkacamata

10

Aku harus berjuang mencari uang hingga ibuku sembuh. Beliau satu-satunya keluarga yang kupunya. Semua keluarga besarku habis tersapu gelombang tsunami beberapa waktu lalu. Ayahku? Jangan tanya. Perayu brengsek itu meninggalkan ibuku saat usiaku tiga bulan di dalam kandungan. Aku tidak pernah melihat wajahnya dan tidak pernah menganggapnya keluarga.

Aku menunggu penumpang di dekat sekolahku. Aku tidak malu walau yang menumpang adalah temanku sendiri, justru aku bangga bisa mencari uang sendiri ketika mereka masih bergantung kepada orang tua.

“Mau kemana, Neng?” Candaku saat Siti memintaku mengantarnya ke rumahnya. Siti adalah salah satu pelanggan tetap sekaligus teman sekelasku. Meskipun ia berasal dari keluarga berada, ia tidak pernah mau diantar atau dijemput oleh sopirnya. Aku ingin mandiri, katanya padaku suatu waktu.

“Ibumu gimana kabarnya, Ndri?” Tanyanya di perjalanan. “Masih koma, tapi alhamdulillah stabil kondisinya.”

Tiga sampai lima persimpangan harus kulewati sebelum tiba di rumahnya.

Page 12: Gadis Berkacamata

11

“Makasih ya, Ndri.” Siti mengeluarkan sebuah kertas berwarna biru dan menyodorkannya padaku. “Loh?”

“Iya, kan sekarang udah tanggal 5, Ndri. Masa lupa?” Siti mengingatkan tanggal aku seharusnya menerima pembayaran jasa antar-jemputku.

“Oh iya.” Aku menerima uang darinya dan langsung menyimpannya di sakuku. “Makasih ya, Ti.” Kukebut motorku meninggalkan Siti. Dari spion terlihat Siti berdiri terdiam. Wajahnya tersenyum kecil, kecil, dan semakin kecil sampai menghilang dari pandangan spionku.

Aku duduk di sebelah ibuku, menatapnya penuh harapan. Perlahan tapi pasti air mata mulai meluncur di pipiku. Aku tidak peduli rasa lelah yang melanda. Aku hanya ingin di sampingnya, menggenggam tangannya, dan berharap genggaman balik dari tangannya yang semakin kurus.

“Nak, bangun! Bangun!” Suara panik terdengar menggema di telingaku. Aku bangun. Sejak kapan aku pindah ke lorong, pikirku.

Dokter Rudy membangunkanku, wajahnya panik. “Andri, ibumu saat ini kritis.”

“Apa! Bagaimana bisa!? Dokter! Ibuku kenapa!? Kenapa!?” Kugenggam bahunya sambil

Page 13: Gadis Berkacamata

12

bertanya. Aku panik. Wajahku memerah mendengar kabar buruk itu.

“Cardiac arrest. Ibumu sudah dibawa ke UGD dan sekarang berhasil diselamatkan, tapi ia belum melewati masa kritisnya.”

“Dokter! Selamatkan ibuku, Dokter! Kumohon! Cuma dia satu-satunya keluargaku yang tersisa.” Aku tidak bisa menahan laju air mataku lagi.

“Ibumu harus segera dioperasi, Andri. Jika tidak, bisa bahaya.” Dokter Rudy memegang bahuku. “Tapi kamu harus menyelesaikan administrasi dulu, sekarang kami akan melakukan apapun untuk membuat ibumu tetap bernafas.” Lanjutnya.

“Tidak, Dokter! Operasilah ibuku sekarang! Berapapun biayanya akan aku bayar! Tapi lakukan sekarang, Dokter!” Aku berteriak. Tenggorokanku terasa panas. Aku tidak peduli berapa mata yang menatapku, berapa uang yang kukeluarkan. Aku hanya ingin ibuku!

“Tidak bisa, Ndri. Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya dokter di sini.”

Wajahku semakin memerah. Marah. Kutarik kerah baju dokter itu dan kudekatkan ke wajahku. Aku menggeram, lalu melepaskannya.

Page 14: Gadis Berkacamata

13

Aku berlari sekuat tenaga menuju keluar rumah sakit. Tunggu aku Ibu, aku pasti kembali.

Aku mau cari uang dimana? Ini sudah malam? Pikirku panik. Aku bingung. Akhirnya kuputuskan duduk sebentar di pinggir jalan, memikirkan kemana tujuanku sekarang.

Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku lagi. Sebuah motor yang terparkir kokoh mengingatkanku kepada ibuku. Kendaraan yang dibelikan ibuku saat hari ulang tahunku dengan uang hasil mencuci pakaiannya. Aku tidak pernah memintanya.

“Kamu lebih gampang kemana-mana pakai ini, Nak.” Katanya lembut sewaktu aku menanyai perihal motor ini. Tatapan matanya yang teduh membuatku tidak tega untuk terus bertanya.

Benar! Motor ini!

---OOO---

Aku berlari sepanjang lorong rumah sakit sambil membawa sebuah amplop berisi uang hasil penjualan motorku. Beruntung ada temanku, Hana, yang rela membeli motorku dengan harga dua kali lipat.

Page 15: Gadis Berkacamata

14

Aku mencari ruang administrasi yang ternyata berada di seberang ruang UGD.

“Dokter!” Aku melihat Dokter Rudy keluar, diikuti dua orang petugas yang membawa ranjang berisi seseorang yang seluruh tubuhnya tertutup selimut.

Dokter berkacamata itu menoleh ke arahku dengan wajah sedih.

“Dok. Bukan kan, Dok! Bukan kan, Dok! Itu bukan ibuku! Katakan, Dokter!” Kurenggut kerahnya lalu kutarik. “Dokter!”

“Kami sudah melakukan segalanya, Andri.” Katanya pelan.

“Tidak!!! Tidak!!!” Aku melempar amplop di tanganku. Tidak ada gunanya lagi, ketusku. Wajahku banjir oleh air mata. Aku bersandar lesu ke dinding hijau tidak jauh dari tempatku itu. Tubuhku kubiarkan terjatuh ke lantai.

Aku tidak punya siapa-siapa lagi, pikirku sambil menatap dokter dan dua petugas yang semakin menghilang ditelan lorong-lorong rumah sakit.

“Andri?” Terdengar suara dari belakangku. Suara yang sudah sehari-hari selalu terdengar di

Page 16: Gadis Berkacamata

15

belakangku. “Siti?” Kucoba menghapus air mataku. Aku tidak ingin Siti melihatku seperti ini.

Ia datang dengan kedua orang tuanya.

“Andri, aku turut berduka.” Katanya sambil menutup mulutnya. Air mata membulat menelusuri pipinya.

“Iya, gak apa-apa. Kini aku gak punya siapa-siapa lagi, Ti. Aku sebatang kara sekarang.” Tatapanku kosong ke langit-langit. “Kamu gak sendiri Andri, kamu bisa tinggal bersama kami.” Kata seseorang berjas hitam yang berdiri di belakang Siti, ayahnya.

“Benar Andri.” Imbuh wanita berjilbab biru yang mendampinginya. “Makasih. Om, Tante. Tapi aku gak mau ngerepotin kalian.”

Siti menangis semakin keras di pelukan ibunya, sedangkan ibunya hanya bisa menunduk memeluk anaknya. “Tidak apa Andri, kamu masih punya keluarga.”

“Tidak, Om. Aku tidak punya siapa-siapa lagi.” Kataku tanpa ekspresi.

“Ya, kamu punya, Andri. Aku...ayahmu.”

Page 17: Gadis Berkacamata

16

Page 18: Gadis Berkacamata

17

Kado Terakhir

“Ria, met ulang tahun, ya!” kata Mitha

memberi selamat kepadaku. Hari ini memang istimewa karena hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-16. Sejak tadi pagi, banyak ucapan ulang tahun yang masuk ke hp ku, bahkan di sekolah ucapan itu tak berhenti mengalir dari teman-teman sekelasku.

“Met ulang tahun ya, Ria.” Ucap Hakim kepadaku yang hendak menaruh tas di bangku.

Page 19: Gadis Berkacamata

18

Waw! Ternyata Hakim ingat ulang tahunku, pekikku senang.

Sudah sejak lama aku menyukai Hakim. Sebagai ketua kelas, ia termasuk anak yang tegas, rajin, dewasa, dan berpandangan luas. Meskipun di kelas nilainya pas-pasan, ia selalu nyambung kalau diajak ngobrol mengenai apapun.

“Makasih ya, Kim. Lo inget aja ultah gue. Hehehe.” Balasku sambil tersenyum simpul kepada pemuda jangkung di depanku.

“Iya sama-sama. Sebenernya sih gue gak inget-inget amat. Dari tadi lo dikasih selamet melulu sih, ya gue ikutan aja. Hahaha.” Mendengar jawaban Hakim, aku hanya mendelik sambil memasang muka jutek.

“Hahaha. Bercanda kali, Ria. Hehehe.” Lanjutnya.

Hakim merogoh-rogoh tasnya yang besar berwarna hitam. Saking besarnya, tas tersebut lebih mirip tas kemping daripada tas sekiolah.

“Ria! Ke kantin yuk! Ntar keburu masuk!” teriak Mitha dari daun pintu, di belakangnya berdiri Raya dan Nur yang memberikan isyarat mata untuk ikut dengan mereka.

Page 20: Gadis Berkacamata

19

“Kim, gue ke kantin dulu ya. Kayaknya gue bakal jadi tabungan bon nih di kantin. Hehehe.” Kataku kepada Hakim sambil hendak berlalu.

“Iya, eh, bentar dah Ria!” Hakim mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak berukuran sedang yang berwarna kuning belang merah dengan pita hijau lucu terikat di atasnya.

“Nih, buat lo. Bukti kalo gue gak ikut-ikutan. Hehehe.” Ujar Hakim sambil menyodorkan kotak itu kepadaku.

“Eh, oh, iya. Aduh! Jadi ngerepotin, nih. Makasih ya,” Salting aku dibuatnya. Ia memberiku kado! Aku tidak pernah menyangka Hakim akan memberikanku sebuah kado. Tidak pernah!

“Eh, oh, aku, eh, gue ke kantin dulu ya, Kim.” Lanjutku. Aku pun melangkah cepat menuju Mitha dan kawan-kawan yang sedari tadi cengar-cengir di pintu. Langkahku terasa ringan seperti melayang di atas jutaan bunga yang bermekaran di taman yang indah.

“Oke! Jangan dibuka di sekolah ya!” teriak Hakim kepadaku yang menuju keluar kelas, aku hanya menoleh sedikit kepadanya sambil mengangguk kecil.

Page 21: Gadis Berkacamata

20

Di kantin, aku seperti orang yang kekurangan cairan otak. Senyam-senyum sendiri sambil memandangi kado yang diberikan Hakim.

“Ria, kenapa lo?” Tanya Raya sambil membawa sepiring nasi uduk lengkap dengan kerupuk dan mie.

“Kayak gak tau aja sih lo, Ya. Lagi kesemsem tuh dia!” Potong Mitha sambil menyeruput teh hangat yang baru dipesannya.

“Cie, yang dapet kado dari Hakim. Terima aja, Ria!” Nur menambahi. Aku hanya melirik kecil ke arah mereka yang sedang melihatku dengan tatapan geli.

“Terima apa sih, Nur? Emang Hakim nembak gue apa?” kataku kepada Nur,

“Maksud gue kadonya, Mbak! Ada yang ngarep nih kayaknya?”

“Ciee…Ria sudah besar ya! Hahaha.” Olok teman-temanku itu. Mereka sudah tahu bagaimana perasaanku kepada Hakim, tidak heran mereka begitu heboh melihat Hakim memberikanku kado.

“Ambil dah ambil! Nanti keburu dikhitbah orang loh! Hahaha.” Timpal Mitha sambil menyenggol Nur dengan sikunya. Mereka terlihat amat senang padahal aku yang diberi kado. Mereka

Page 22: Gadis Berkacamata

21

memang begitu kelakuannya, itulah yang membuatku nyaman bersama dengan mereka.

“Lo kira apaan!? Kebanyakan nonton AAC sih lo! Hahaha.” Suasana di kantin pagi itu menjadi sangat ramai walaupun hanya ada lima orang termasuk kami di kantin yang masih sepi itu.

---OOO---

Di kelas, seluruh pelajaran terasa mudah dan cepat. Yup! Maksudku pelajaran hari ini mudah masuk ke otak dan cepat keluar lagi. Bagaimana aku bisa konsentrasi? Aku sangat penasaran dengan kado yang diberikan Hakim.

Aku melihatnya yang sedang duduk di depanku. Sesekali aku coba mencuri pandang kepadanya, tapi dia malah asyik memperhatikan guru.

Tidak terasa bel pulang sudah berbunyi. Kami semua akhirnya dapat pulang dan menikmati akhir pekan untuk menjernihkan pikiran sejenak.

“Hakim! Hakim!” Aku memanggil Hakim yang sedang menaiki motornya. Bersiap pulang.

“Kenapa Ria?” tanyanya sambil memakai helm fullface hitamnya.

Page 23: Gadis Berkacamata

22

“Nggak, gue cuma mau berterima kasih aja sama lo buat kadonya.” Kataku berbasa-basi.

“Oh itu, iya sama-sama. Santai aja lagi.” Tiba-tiba saja siluet kemuraman terpantul dari balik kaca helm Hakim.

“Lo kenapa, Kim? Oya, akhir minggu ini mau jalan ke mana, Kim?” Hakim membuka kaca helmnya. “Ah, nggak apa-apa, kok. Oh, rencananya gue mau mengunjungi nenek gue di Surabaya, ni habis ini gue mau langsung ke stasiun.”

“Gue duluan ya, Ria!” Hakim segera menyalakan motornya dan maju perlahan.

“Iya, hati-hati ya, Hakim!”

Tiba-tiba ia berhenti dan menoleh ke arahku. “Oya, makasih ya Ria!”

“Untuk apa, Kim?” Ia tidak menjawab. Ia langsung menutup kaca helmnya dan langsung meluncurkan bebek miliknya, “Kim! Tunggu! Hakim!”. Namun, ia terlalu cepat menghilang dari cakrawala pandanganku.

Ada apa dengannya? Wajahnya sekilas murung, lalu tiba-tiba ia bersikap aneh seperti itu. Beda sekali dengan sikapnya tadi pagi. Apakah ia menyesal memberiku kado? Atau ada sesuatu di kadonya? Pikiranku meracau semakin kacau. Aku

Page 24: Gadis Berkacamata

23

membeku melihat Hakim yang semakin tenggelam jauh dari pandanganku.

Bersama Mitha, Nur, dan Raya, aku pulang dengan berjalan kaki. Selama di perjalanan, aku tidak menceritakan keanehan Hakim kepada mereka. Kami sama sekali tidak membicarakan Hakim dan kadonya itu.

Sesampainya di rumah, kulempar tas dan tubuhku begitu saja ke atas tempat tidur. Sambil bersandar kepada bantal kecil, aku mencoba membuka kado pemberian Hakim. Waw! Isinya ada kartu ucapan, sebuah boneka kecil, dan beberapa buku.

Banyak sekali bukunya, pikirku. Kulihat satu persatu buku-buku itu. Aku sangat terkejut, di antara tumpukan buku-buku itu ada yang bertuliskan Hakim’s Dairy! Kenapa Hakim memberikan buku hariannya kepadaku? Apakah terselip? Atau ada maksud lain?

Aku buka buku tersebut. Di dalamnya terselip sebuah kalung cantik. Kalung itu adalah kalung yang dapat dibelah dua dan diisi foto di dalamnya. Aku buka kalung tersebut dan mendapati fotonya beserta teman-teman sekelas.

Pikiranku semakin berputar dibuatnya. Kubuka halaman terakhir dari buku tersebut.

Page 25: Gadis Berkacamata

24

Sebuah rangkaian kalimat bernada syair yang belum selesai terpampang di sana :

Hidup takkan sama Juga takkan lama

Cinta yang telah menyala Takkan mendapat sentuhan irama

Aku ikhlas Lillahi ta’ala Semoga hanya mimpi belaka

Tentang diriku yang Apa lanjutan syair ini? ‘yang’ apa? Ada apa

dengan Hakim? Aku semakin terjebak dalam teka-teki yang dibuat Hakim. Semua terasa bertambah rumit dan menyesatkan. Aku terjebak dalam labirin pikiranku sendiri, semakin aku mencoba keluar, semakin dalam aku tersesat.

Aku coba menenangkan diri dengan menonton televisi. Hhhh…berita melulu, bosan ah, keluhku. Channel demi channel kutelusuri untuk mendapat acara yang kuinginkan.

Mataku terbelalak saat melihat berita mengenai kecelakaan kereta api, bukan karena aku kagum atau apa, tapi karena jurusan kereta itu, Jakarta-Surabaya !!! Mungkinkah…Hakim…

Page 26: Gadis Berkacamata

25

Tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku jadi teringat Hakim yang telah berangkat ke Surabaya sejak tadi.

Dengan panik, aku segera menelepon ke handphone Hakim, namun tidak ada jawaban. Berkali-kali kuhubungi, berkali-kali pula si operator dengan rajin mengangkat telepon dariku.

Aku menyerah menghubungi handphonenya. Aku segera mengalihkan perhatianku untuk menghubungi telepon rumahnya. Tidak ada yang mengangkat! Kemana semua orang!? Apakah ini pertanda kalau mereka sudah benar-benar dalam perjalanan!?

Kukembalikan gagang telepon kembali ke tempatnya. Dengan langkah lunglai, aku berjalan menuju sofa merah di ruang tamuku, membanting diri di sana. Mataku menyapu langit-langit berbahan granit di atasku.

Kubuka kalung yang kutemukan tadi. Mataku merah karenanya. Gelontoran butir-butir air mata tidak mampu lagi kutahan.

Kuambil dan kupeluk boneka pemberian Hakim. Itulah kado ulang tahunku, kado pertama dan mungkin terakhir, dari orang yang kukagumi.

Page 27: Gadis Berkacamata

26

Page 28: Gadis Berkacamata

27

Sadarlah Kawan

“Assalamu’alaikum, sendiri aja antum? Belum pulang? Udah rapi masalah ama dia?” Ghofur tiba-tiba menepuk pundakku yang sedang duduk sendiri di depan kelas.

“Wa’alaikum salam. Tau deh, akhi. Ane juga bingung mau ngomong apa lagi sama Akbar. Ane udah kasih tahu, eh, dia malah jauhin ane sekarang.” Jawabku sambil memangku kepalaku di kedua tanganku.

Page 29: Gadis Berkacamata

28

“Wah, coba lagi, Wan. Kalian kan udah temenan lama banget, udah sohib sejatilah. Mungkin cara penyampaian antum agak salah, coba lagi dengan pendekatan yang lebih baik.” Saran ketua Rohisku itu.

“Iya sih, nanti ane coba lagi, deh.”

Dari kejauhan terdengar suara yang meneriakkan nama Ghofur. “Duh, ngapain lagi tuh si Maul. Ane pergi dulu ye, Wan. Ane gak bisa campuri masalah antum, cuma bisa bantu. Jangan lupa nanti mentor. Wassalamu’alaikum.” Katanya sambil ngacir menghampiri Maulana.

“Wa’alaikum salam.” Sahutku singkat.

Hhhh, aku menghela nafas seraya melepas semua beban di benak ini. Banyaknya manusia lalu lalang seolah tidak berarti bila dibandingkan dengan banyaknya masalah yang kuhadapi.

Semua bermuara pada satu masalah klasik : pacaran. Ya! Retaknya persahabatanku dengan Akbar memang disebabkan masalah klasik itu. Namun yang membuatnya tidak klasik bukan karena aku dan Akbar rebutan cewek, tapi lebih karena kesalahanku sendiri yang tidak bisa berdakwah dengan baik.

Sekar namanya. Seorang siswi baru yang menjadi ujung tombak masalah ini. Akbar menaruh

Page 30: Gadis Berkacamata

29

hati padanya, sampai akhirnya mereka jadian hanya 2 bulan setelah kemunculannya di sekolahku.

Ya Allah! Padahal sebelumnya aku takut juga kalo Akbar dapet PMDK – Pendekatan Mulu Dapet Kagak – yang jelas bakal ngancurin hati sahabatku itu. Tapi sekarang yang lebih kutakutin justru kalo dia jadian. Eh! Malah kejadian!

“Lo tuh katanya sahabat gue!? Harusnya lo seneng dong kalo gue seneng!” Bentak Akbar padaku saat kami bicara empat mata di belakang kantin sekolah.

“Tapi, Bar. Lo cuma bakal senang sesaat doang. Gak ada pacaran yang diakhiri happy ending! Kataku tegas.

“Gue bisa kok jaga diri gue sendiri. Temenan lama ama lo tuh udah cukup buat gue bisa jaga diri gue sendiri. Atau jangan-jangan lo punya hati sama Sekar? Hah!?” Lanjutnya.

“Astaghfirullah, Bar! Gue gak kayak gitu!” Aku yang mencoba sabar menghadapinya jadi tersulut emosi juga. “Gue bisa dapet yang lebih baik dari Sekar tau!” Ucap gue yang sedang tersulut amarah.

“Terserah!” Akbar lalu pergi meninggalkanku gitu aja. Aku sendiri bukannya

Page 31: Gadis Berkacamata

30

mencoba mengejar malah pergi melewati jalan yang berlawanan.

Sekarang aku menyesali semua kejadian dan perkataanku itu. Semua ucapan dan tindakan yang telah dikuasai syetan bukannya memperbaiki keadaan malah menambah runyam. Akbar kini enggan bertemu denganku, bahkan untuk sekadar menyapa saja dia ogah.

Kugaruk kepalaku berharap ide jatuh dari rambutku dan meresap ke otakku. Tapi semua hanya harapan belaka. Kini aku mengemban tugas berat menyambung tali silaturahim dan persahabatanku dengan Akbar yang sudah tejalin selama 6 tahun.

“Assalamu’alaikum.” Sebuah suara mengucap salam padaku sambil menepuk bahuku.

“Wa’alaikum salam.” Jawabku sambil menoleh.

“Akbar!” Aku benar-benar terkejut. Ternyata itu Akbar, sahabatku yang tidak menyapaku hampir 3 minggu.

Ia terlihat dalam keadaan yang tidak baik. Wajahnya cemberut dan terlihat sedih. Digenggamnya sebuah kertas di tangan kanannya. Ia pun duduk di sebelahku.

Page 32: Gadis Berkacamata

31

“Wan, gue minta maaf ya atas ucapan gue waktu itu ama lo.” Katanya pelan.

“Iya, Bar. Udah berlalu kok, gue juga udah maafin lo. Gue juga minta maaf, ya” Kataku sambil menjabat tangannya. Ia mengangguk. “Lo lagi ada masalah, Bar?” Lanjutku.

“Iya, ternyata lo bener, Wan. Pacaran itu emang gak baik, dan gue udah ngerasain sendiri.”

“Maksud lo?”

“Iya. Jujur, sejak gue jadian ama Sekar tuh nilai gue perlahan nurun, gue jadi gampang capek dan bokek. Emang sih dia baik, ada yang perhatiin gue, nemenin gue jalan dan sebagainya. Tapi gak asiknya ya itu tadi, pertemanan gue terbates banget jadinya, gue kadang kalo jalan ama dia suka lupa sholat, keingetan dia mulu bikin gue males ngaji. Duh...parah deh hidup gue!” Jelasnya panjang lebar.

“Kan gue udah ingetin, Bar. Tapi mau apa lagi, semua udah kejadian. Lebih baik lo berubah sekarang sebelum semua tambah buruk, kita dikit lagi ujian negara loh!”

“Iya juga sih. Gue pengen mutusin dia, tapi gak pengen mutusin silaturahim ama dia, kan kata lo pemutus silaturahim itu satu dari beberapa

Page 33: Gadis Berkacamata

32

golongan yang dijamin masuk neraka. Itu juga yang bikin gue sadar kesalahan gue ke lo.”

“Alhamdulillah kalo lo udah sadar. Ya sudah, nanti gue bantu gimana cara mutusin yang enak. Jodoh gak kemana kok, buat apa lo ngabisin waktu buat cewek yang belum tentu jodoh lo. Coba lo akumulasikan waktu lo yang terpakai buat pacaran ama dia. Seandainya waktu tersebut lo pake buat baca Al-Qur’an, udah hatam kali lo, Bar.”

“Iya, sih. Yah, penyesalan emang selalu datang belakangan ya, Wan.”

“Ya sudah, semangat dong, Bar! Daripada menyesal tiada guna, mending ikut gue mentor. Udah lama lo gak mentor, nanti lo bisa curhat masalah lo pas mentor, Insya Allah anak-anak bisa bantu solusi.” Akhirnya aku mencoba mengajak Akbar yang sudah hampir beberapa bulan ini tidak mentor.

“Ho, oke deh!” Meski kecil namun aku dapat melihat secercah senyuman dari wajahnya. Aku senang akhirnya Akbar yang dulu telah kembali dan persahabatan kami pun terjalin kembali.

Kami berjalan menuju masjid untuk mengikuti mentoring yang sedang berlangsung. “Ngomong-ngomong, kertas apaan tuh dari tadi lo bawa-bawa?” Tanyaku penasaran.

Page 34: Gadis Berkacamata

33

“Hah? Oh ini bungkus gorengan, lupa gue buang. Hehehe.” Katanya sambil tertawa. Aku pun mengacak-ngacak rambutnya sambil melompat dan tertawa riang. Bercanda.

Page 35: Gadis Berkacamata

34

Page 36: Gadis Berkacamata

35

Gadis Berkacamata

Aku hanya dapat menopangkan kepala di tas setiap istirahat tiba. Teman-teman di kelasku seolah enggan menyapaku. Mereka asyik mengobrol tanpa menggubrisku sama sekali. Beginilah kehidupan sunyi yang harus kujalani.

Aku memang hanya seorang anak dari petani miskin tua yang sudah tak beristri lagi, tapi aku tetaplah manusia yang perlu bersosialisasi. Kenapa mereka enggan menerimaku berada di

Page 37: Gadis Berkacamata

36

antara mereka? Apakah kaya dan miskin harus menjadi tolak ukur dalam berteman?

Tatapan-tatapan aneh nan sinis menerjang setiap aku menyelesaikan soal di papan tulis, maju presentasi paling pertama, atau mendapat kata-kata pujian dari guru. Aku benar-benar terasing di kelas ini, atau bahkan di sekolah ini.

Hari itu aku sakit sehingga tidak masuk selama dua hari. Tidak ada satupun pesan singkat di handphone sederhanaku yang menanyakan bagaimana kabarku. Tidak ada satu pun kaki yang berjalan dari sekolah dan menginjak rumahku untuk sekedar menjenguk. Tidak ada.

Sebuah pemandangan aneh terpampang ketika aku masuk sekolah kembali. Seorang anak perempuan berkacamata, berambut panjang sebahu, dan berkawat gigi duduk sendiri di bangku paling belakang. Kepalanya menunduk, ia terlihat asyik menulis sesuatu di sebuah buku tipis berwarna kuning. Aku baru kali itu melihatnya.

Aku menatap sekumpulan teman sekelasku yang sedang asyik bersenda gurau di meja paling depan tanpa mengindahkan keberadaan gadis itu.

Aku menghampiri anak itu, “Hai, namamu siapa?”

Page 38: Gadis Berkacamata

37

Anak itu menghentikan kegiatan menulisnya, lalu menatapku dengan tatapan yang syahdu, sambil tersenyum ia berkata, “Namaku Fatimah Anggraini, panggil saja Fati.”

“Fati, ya? Namaku Maryo. Kamu boleh kok duduk di situ, kebetulan aku duduk sendiri. Oh, ya, kamu anak baru ya?” Lanjutku. “Oh, maaf. Ini bangku kamu ya? Aku gak tau. Maaf, ya. Iya, aku baru masuk beberapa hari ini.” Balasnya.

Aku asyik mengobrol dengan Fati sampai tidak sadar bel masuk telah berbunyi. Fati orang yang sangat menyenangkan, ia ramah dan mudah bercanda. Akhirnya aku mendapat teman juga di kelas, seorang murid baru yang menjadi teman baruku.

Fati juga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga ia kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang sebagian besar merupakan anak-anak dari keluarga berada. Sifatnya yang pendiam menambah masalahnya dalam bersosialisasi di sekolah barunya ini.

Kesamaan nasib membuatku mudah klop dengannya. Di sekolah aku dan dia sudah seperti tembok dan lumut yang sudah sangat dekat. Kemana-mana aku selalu dengannya, berangkat sekolah, ke kantin, hingga pulang sekolah.

Page 39: Gadis Berkacamata

38

Hari itu aku sedang jalan ke kantin bareng Fati, sepanjang perjalanan aku mengobrol dengannya. Orang-orang yang berpapasan dengan kami banyak yang menertawakan ataupun bisik-bisik sambil menatap kami. Semua kuabaikan begitu saja.

Bulan demi bulan telah berlalu. Persahabatanku dengan Fati semakin erat, namun ada satu hal yang mengganjalku, ia tidak pernah mengizinkan aku untuk datang ke rumahnya. Padahal ia sendiri sudah sering main ke rumahku. “Aku malu sama kamu, Mar. Rumah aku jelek.” Bagitu katanya setiap aku ingin mampir ke rumahnya.

Apa lagi yang lebih jelek dari sebuah rumah kecil dengan dinding anyaman bambu dan atap seng? Bahkan di rumahku hanya ada tiga ruangan yang dipisahkan oleh selembar kain.

Hari itu Fati kembali datang ke rumahku untuk mengerjakan PR Kimia. Beberapa kali aku minta diajari dia apabila ada soal yang tidak aku mengerti. Ternyata dia pintar juga. Wah! My best friend is my best rival kalo gini namanya, pikirku sambil melihat Fati yang sedang serius mengerjakan soal stoikiometri.

Page 40: Gadis Berkacamata

39

“Wah makasih banget ya Fat udah mau mampir, udah ngajarin aku pula. Hehehehe.” Kataku sambil mengantar Fati ke pintu depan yang hanya berjarak satu meter dari tempat kami mengerjakan PR.

“Ah, gak apa-apa, kok. Makasih juga ya, Mar. Salam buat ayah kamu.” Katanya sambil pamit kemudian berjalan pulang. “Oke, sip!” Balasku singkat.

Tidak lama setelah Fati meninggalkan rumahku, aku melihat sebuah buku kecil atas nama Fati terserak di dekat kakiku, kontan aku pun langsung memanggilnya.

“Fati!” Aku memanggilnya dengan suara sekeras mungkin, tapi yang bersangkutan sudah tidak ada dalam jangkauan pandanganku lagi. Cepet banget, batinku.

Keesokan harinya aku berniat untuk mengembalikan buku itu kepada Fati. Buku tulis tipis berwarna kuning itu aku masukkan ke dalam tas sekolahku dan dengan segera aku berangkat ke sekolah.

Akan tetapi, sesampainya di sekolah aku tidak melihat Fati. Aku menunggunya hingga bel masuk berbunyi, namun ia tak kunjung datang.

Page 41: Gadis Berkacamata

40

Hingga pulang, Fati tak juga menampakkan diri. Aku menunggunya di taman sekolah, sambil berkali-kali menghubunginya, namun tak juga tersambung.

Aku melihat banyak anak-anak di sekolahku menatapku dengan tatapan mengejek dan terkadang mereka bisik-bisik lalu tertawa. Aku yang mulai jengah lalu pergi ke ruang kesiswaan untuk bertanya.

“Hah? Fatimah Anggraini? Bapak belum pernah mendengar nama itu, coba Bapak cek dulu.” Ujar Pak Marco, guru piket, sambil membolak-balik sebuah buku panjang.

Aku cukup terkejut saat mengetahui Pak Marco dan beberapa guru lain tidak mengenal adanya murid bernama Fatimah Anggraini, bahkan Bu Resti, wali kelasku.

Hal ini menambah daftar kebingunganku. Aku berlari ke ruang tata usaha untuk mencari daftar nama kelasku. Benar saja! Aku tidak menemukan nama Fatimah Anggraini di sana. Aku tidak pernah menyadarinya karena di kelasku tidak ada budaya absen.

Aku mencari dan bertanya, namun tidak ada satu pun yang tahu siapa itu Fatimah Anggraini. Dia datang dan hilang begitu saja. Apakah ini

Page 42: Gadis Berkacamata

41

mimpi? Kalo iya, kenapa lama sekali? Kapan aku akan bangun?

Sesampainya di rumah aku langsung mencari ayahku dan bertanya kepada beliau.

“Hah? Memang kamu sudah pernah membawa teman kemari, Nak? Sudah lama rumah ini tidak kedatangan tamu, mana ada sih teman-teman kamu yang jutawan itu mau berkunjung ke rumah seperti ini.”

Tertegun aku mendengar jawaban ayahku. Beliau yang jelas-jelas telah membuatkan minum dan aku kenalkan kepada Fati bahkan tidak mengetahui tentang Fati!

Di kamar, aku membuka tas dan mencoba mencari tahu isi buku Fati yang tertinggal kemarin. Kosong. Tidak ada satu halaman pun yang terisi, meskipun aku tahu buku itulah yang ditulis-tulis Fati saat kami pertama bertemu.

Aku melempar tubuhku ke atas kasur tua yang usang. Menatap langit-langit kamarku yang diselusupi cahaya matahari. Aku melamun tanpa arah dan tujuan, mencari jalan keluar dari keanehan ini.

Kalau memang tidak pernah ada orang yang bernama Fati, lalu, siapa dia? Sahabatku si gadis

Page 43: Gadis Berkacamata

42

berkacamata yang telah menemani dan banyak mengajariku selama ini?

Page 44: Gadis Berkacamata

43

Curahan Hati Iblis

Malam itu cukup mencekam. Tidak ada satu suara pun yang menghiasi saat itu. Jangkrik pun enggan berkicau. Semilir angin malam berhembus membangkitkan bulu roma siapa pun yang melewati jalan tersebut. Jalan di perkampungan yang berbatu dan becek karena baru saja diterpa hujan besar. Sekumpulan pohon pisang besar dan pemakaman kecil memperburuk keadaan jalan tersebut.

Page 45: Gadis Berkacamata

44

Di bawah pohon mangga besar, terduduk seorang yang tengah sepi menyendiri di atas batu besar. Ia sesekali mengepak-ngepakkan sayapnya yang basah tersapu hujan. Ia mengelap tanduknya yang runcing di kepalanya. Matanya yang tajam, dagunya yang berjanggut, dan wajahnya yang seram membuat ia sering dikenali sebagai salah satu musuh besar manusia yang biasa dipanggil Iblis.

“Tuan, Anda kenapa?” Tanya sesosok kecil yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Makhluk kecil yang hampir berperawakan sama seperti si Iblis bingung melihat tingkah tuannya yang hanya duduk termenung, tidak semangat menggoda manusia seperti biasanya.

“Entahlah, setan kecil kawanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku kini. Aku merasa sedang enggan untuk menggoda manusia.” Ujarnya pelan sambil menopang dagunya di tangan.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Tanya si setan kecil.

---OOO---

Page 46: Gadis Berkacamata

45

Pagi itu, Harun sedang asyik mencuci motornya di halaman depan rumahnya. Harun adalah seorang yang di kampungnya dikenal sebagai warga yang ramah dan sopan. Ia juga merupakan ketua remaja masjid setempat.

“Haruuun!!!” panggil seseorang dari kejauhan. Harun hanya memicingkan mata. Ia berusaha melihat siapa yang datang menghampirinya dengan setengah berlari. “Oh, Zizah.” Respon Harun dingin. Ternyata yang memanggilnya adalah Azizah, si gadis berkerudung ungu yang menjadi bunga di kampungnya. Harun sendiri pun sebenarnya sudah lama memperhatikan Azizah, hanya saja sampai saat ini Harun masih bisa mengendalikan hatinya.

Si Iblis pun melihat kesempatan dari situasi ini. “Aku bawa sesuatu buat kamu. Aku boleh masuk? Aku mau ngomong.” Iblis semakin gencar melakukan serangannya terhadap Harun.

“Duh, maaf, di rumahku lagi gak ada orang. Maaf ya, gak enak dilihat sama tetangga. Lain kali aja.” Jawab Harun tenang. “Sial!” Si Iblis hanya bisa merutuk kegagalan yang kesekian kalinya untuk menggoda Harun.

“Hu, uh! Penting tau! Kebiasaan, deh! Bodo, ah! Nih!” Zizah cemberut sambil memberikan

Page 47: Gadis Berkacamata

46

sebuah bingkisan kepada Harun, kemudian pergi begitu saja dengan muka masam. Tapi, kali ini Azizah menangis! Isakan kecil terdengar. Harun bingung. Ia pun sebetulnya sedikit menyesali perbuatannya, tapi, keadaaan yang membuatnya bersikap seperti itu. Sabar, sabar, sedikit lagi, hibur Harun dalam hati.

Azizah sebetulnya menyukai Harun, hanya saja sikap Harun yang seperti itu kadang membuat Azizah kesal sendiri. Sudah berkali-kali Azizah mencoba mendekati Harun, namun sikapnya yang selalu cuek dan tidak pernah mengindahkannya sering membuatnya emosi. Azizah berharap tidak untuk kali ini, karena ia akan mengatakan sesuatu yang penting, namun, sama saja. Harun tidak berubah.

Bukan hanya Azizah, si Iblis pun sering dibuatnya kesal. Usahanya untuk menggoda Harun sering kali gagal. Yang teranyar, kejadian tadi pagi ketika kedatangan Azizah pun masih tidak bisa juga melunturkan iman Harun. Ia tidak mengerti dengan sikap pemuda yang satu ini. Wajar saja anak buahnya mengaku menyerah sehingga ia sendiri yang harus turun tangan.

Keesokan harinya, Harun pergi ke rumah Azizah. Kali ini bukan tanpa alasan, kedatangan Harun kali ini membawa suatu niat yang suci. Ya,

Page 48: Gadis Berkacamata

47

Harun berencana akan melamar Azizah, gadis pujaan hatinya yang sudah berhasil meluruhkan hati Harun yang keras sejak masa SMA dulu.

Menapaki jalan setapak yang penuh bebatuan dan lumpur bukan halangan baginya untuk terus melaju menuju rumah Azizah yang hanya tinggal berjarak beberapa meter lagi. Siapa itu, tanya Harun dalam hati ketika melihat ada seseorang yang sedang duduk di atas batu besar yang tepat berada di bawah pohon mangga. Ah, sudahlah, katanya sambil terus melanjutkan perjalanannya.

Harun berlari, berlari, dan terus berlari. Ia berharap apa yang dilihatnya hanya sebuah fatamorgana semata. Sebuah janur kuning yang terpasang gagah di tepi jalan. Sebuah janur bertuliskan Azizah dan Rohimat yang memberikan sebuah shock hebat kepada Harun di tengah perjalanannya.

Sebuah tenda merah muda berdiri kokoh. Memancarkan kegelapan yang amat sangat ke dalam mata Harun. Sepasang mempelai yang tengah berfoto di bawah tenda tersebut membuat jantungnya remuk. Hatinya panas walau hari sedang mendung. Ia tidak mampu berkata apa-apa lagi. Semua hanya berakhir dengan penyesalan. Sikapnya kemarin menjadi sebuah pisau bermata

Page 49: Gadis Berkacamata

48

dua. Seandainya saja aku sedikit lebih lunak, pikir Harun penuh sesal.

Ia berlari menjauhi pemandangan sial itu. Berlari dan terus berlari. Hanya air mata yang meninggalkan jejak-jejak penuh sesal seorang pemuda yang memiliki niat suci. Kini ia tidak tahu harus ke mana. Kemana saja, yang penting jauh dari semua ini.

Kini Harun telah berubah total. Harun yang dulu dikenal sebagai remaja sholeh dan santun di tempatnya telah berubah menjadi seorang berandal yang kerjaannya berjudi dan minum-minuman keras. Imannya runtuh seperti tembok Berlin. Pelariannya waktu itu membawanya ke tempat hiburan malam yang merubahnya menjadi setan berwajah manusia. Harun telah kehilangan jati dirinya. Ia telah kehilangan segalanya lebih dari apa yang hilang darinya selama ini. Iblis pun ikut bersedih atas apa yang menimpa Harun.

“Begitulah wahai anak buahku. Waktu itu aku sedang istirahat di bawah pohon mangga ini. Aku bosan mengikuti Harun, apalagi saat itu ia mempunyai niat suci untuk melamar Azizah.

Ya, aku sedih karena ketika aku menemukannya kembali ia telah berubah menjadi seorang yang berakhak buruk. Imannya telah

Page 50: Gadis Berkacamata

49

habis. Semua perubahan yang dari dulu kuharapkan dari Harun itu terjadi bukan karena aku!!! Sial! Dasar manusia! Aku sudah susah payah menggodanya tapi ia bisa terjerumus karena hal seperti itu. Ternyata manusia juga bisa menjadi setan untuk dirinya sendiri. Kalau begini terus, mau kerja apa kita nanti!? ” tutup si Iblis.

Page 51: Gadis Berkacamata

50

Page 52: Gadis Berkacamata

51

Andini

Menghabiskan liburan di kampung memang menyenangkan. Udara sejuk dan alami, keadaan yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk ibukota benar-benar meliburkan pikiranku dari segala aktivitas sekolah yang menjenuhkan.

Malam itu, setelah pulang shalat tarawih, aku berjalan sendiri untuk pulang menuju rumah saudaraku. Aku tidak memiliki teman sebaya di sana, satu-satunya makhluk yang sebaya denganku

Page 53: Gadis Berkacamata

52

hanya sepupuku yang perempuan dan itu pun ia sedang berhalangan shalat.

Suasana saat itu sangat ramai. Banyak anak-anak kecil berlari-lari kesana kemari, bapak-bapak yang sedang berkumpul di pos ronda, dan kakak-kakak mahasiswi yang sedang ngerumpi sambil memikul selendang di bahunya.

Yah gak ada yang SMA kayak gue apa? Pikirku sambil terus berjalan melewati keramaian.

Wow! Aku terbelalak melihat sebuah dompet bermotif bunga yang baru saja…aku injak! Setengah panik aku langsung membersihkan dompet itu sebisanya.

Tidak jauh di depanku, tampak sesosok manusia yang sedang berjalan perlahan. Langkahnya santai tapi tegas. Rambutnya mengeluarkan siluet-siluet emas kekuningan. Tubuhnya kurus namun tinggi. Tangannya menyilang memegang mukena di badannya.

“Eh tunggu!” Teriakku kepadanya. Ia menoleh dan melihatku dengan tatapan asing. Aku berlari menghampirinya.

“Ini punya kamu?” Tanyaku berbasa-basi sambil menyerahkan sebuah dompet kuning dengan

Page 54: Gadis Berkacamata

53

motif bunga kepadanya. “Oh iya ini punyaku! Duh, makasih ya, Mas!” Serunya senang sambil mengambil dompet itu.

“Mas? Duh emang aku tua banget apa? Kayaknya kita sebaya deh? Panggil aku Iwan aja. Kamu siapa? Aku baru liat kamu di sini kayaknya.”

“Hehehe. Maaf deh. Kirain gitu. Aku baru sekarang pulang kampung ke sini, makanya kita belum pernah ketemu.” Suaranya terdengar agak cempreng, tapi terdengar lucu kalau tertawa.

“Jiah! Sama atuh! Aku juga di sini lagi mudik. Hehehe. Kamu emang asalnya mana?”

“Jakarta.” Jawabnya singkat.

“Ho…aku dari Bogor. Tadi maaf ya, dompet kamu, keinjek.” Ujarku pelan sambil malu-malu. Matanya menyipit. “Hu, uh. Dasar!” dia menggerutu sambil mengelap dompetnya di bajuku. “Iya, maaf, maaf, atuh!” Kami pun tertawa bersamaan.

Tiba-tiba dari kejauhan ada dua orang yang memanggilnya. “Duh, temen aku udah manggil tuh! Aku tinggal dulu ya. Makasih banget udah balikin dompetku. Jangan diinjek lagi!” Katanya sambil berlari kecil ke arah teman-temannya.

“Eh namamu siapa!?” Teriakku.

“Andini!” Balasnya sambil terus berlari.

Page 55: Gadis Berkacamata

54

---OOO---

Andini, nama itu terus teringat di benakku. Tutur katanya yang halus dan tingkah lakunya yang sopan benar-benar merekat dalam sel-sel otakku. Rasi bintang yang tersusun rapi entah mengapa membentuk wajahnya, ataukah mataku yang sudah dibutakan olehnya? Entahlah.

Selama aku tinggal di rumah saudaraku di Jogja, tidak pernah aku bertemu dengannya lagi. Hanya sekali itu saja aku bertemu dengannya, namun sudah sangat berkesan bagiku.

Tidak terasa bulan Ramadhan berlalu amat cepat. Idul Fitri pun tiba namun aku tidak pula bertemu dengan Andini.

“Tin, lo tau anak yang namanya Andini gak di daerah sini? Sepantaran sih sama kita.” Tanyaku kepada Tina sepupuku yang duduk di kelas 3 SMA, sama sepertiku.

“Oh, Andini bule ya? Itu mah kakak sepupunya Rahmat, rumahnya rada jauh sih dari sini. Ngapa dah Wan? Ceileh...cinta pandangan pertama yaaa! Ikikiu!” Ledek Tina sambil melempar

Page 56: Gadis Berkacamata

55

bantal kepadaku yang sedang menonton TV. “Apa sih? Nggak apa-apa kok.”

Seperti kata orang, waktu cepat berlalu kalau kita menikmatinya. Tiba-tiba saja waktuku untuk pulang sudah tiba, pulang ke kota yang sibuk dan padat penduduk.

Selama di perjalanan, aku masih teringat tentang Andini. Waktu awal pertemuanku dengannya, dan semuanya. Kapan lagi ya aku bisa ketemu dia, pikirku sambil menopang dagu dan menatap ke luar jendela mobilku.

Hari demi hari, bayangan wajah Andini saat pertama bertemu denganku terus hinggap dan enggan lepas. Astaghfirullah, jangan kepikiran mulu napa Wan, kalo jodoh gak kemana dah, kataku pada diriku sendiri.

---OOO---

Akhirnya aku masuk sekolah kembali. Pada hari pertama masuk sekolah diadakan acara halal bi halal di sekolahku. Semua guru dan murid berkumpul di lapangan dan saling bersalaman.

“Farhan!” Teriakku saat bertemu kembali dengan Farhan, sahabatku di sekolah. “Maafin gue

Page 57: Gadis Berkacamata

56

ya kalo gue banyak salah!” Kataku sambil berjabat tangan dan memeluknya.

“Yoi, sob! Maafin gue juga ya selama ini kalo banyak salah ama lo!” Balas Farhan.

Suasana yang benar-benar haru dan membanggakan dimana semua orang saling bermaaf-maafan dengan ikhlas dan tulus. Aku sampai lupa hal-hal keren dan indah yang terjadi saat liburan lalu.

“Loh? Kamu?” Sebuah suara kecil dan cempreng terdengar dari belakang Farhan. Aku kenal suara itu, ya, sangat mengenalnya.

“Andini?”

“Wah kalian udah saling kenal ya? Baru aja mau gue kenalin. Andini, ini Iwan, sahabatku dari kelas satu. Wan, ini Andini, cewek gue.” Ujar Farhan santai dengan wajah tak berdosa.

“Apa!!!”

Page 58: Gadis Berkacamata

57

Berakhir karena Kejujuran

Panas. Hanya itu kata yang ada di otakku saat duduk di sebuah bangku taman di tengah kota. Sinar matahari yang menyengat serta debu dan polusi yang melapisi udara Jakarta benar-benar membuatku merasakan neraka dunia.

Mengenakan kemeja, membawa map berisi ijazah, dan berwajah melas. Orang yang melihat tentu tahu kalau aku ini adalah seorang pelamar kerja yang sudah berkali-kali ditolak.

Page 59: Gadis Berkacamata

58

Apes memang! Sukma, Sekar, dan Susanti sudah kulamar namun ketiganya menolak. Alasannya karena aku tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. Dasar HRD keparat! Apa lagi yang kurang coba? Sarjana oke, IP tinggi oke. Cuma satu masalahku : lowongan yang mereka punya gak ada yang sesuai dengan gelar kesarjanaanku. Cuummmiii!

Sambil melonggarkan kerah dan mengipas diri dengan ijazah yang kubawa, aku celingak-celinguk mencari perusahaan mana lagi yang mesti aku datangi. Banyak perusahaan yang bergedung besar namun gak punya lowongan. Benar-benar linglung aku saat itu.

Sambil membetulkan kemeja dan merapikan sisiran rambut yang teracak karena tiupan angin, aku mulai bangkit sambil menatap tajam sebuah tempat yang kupikir di situlah karierku bakal dimulai.

Sreettt...

Sebuah pintu otomatis mempersilahkanku melangkah lebih jauh lagi ke dalam tempat tersebut.

“Maaf, Mas, ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang berpakaian putih bercelana biru. Awalnya kukira anak SMP sampai aku melihat

Page 60: Gadis Berkacamata

59

kumis tebal yang melilit mulutnya serta tanda security di baju tersebut.

“Oh, saya mau melamar kerja, Pak. Mungkin ada kesempatan bagi saya gitu?” Jawabku gugup.

“Mau melamar kerja, ya? Saya kurang tahu juga sih ada kerjaan buat Mas apa nggak. Tapi Mas bisa tanya bagian HRD.” Ujar sang satpam ramah.

“Oke, deh. Makasih ya, Pak. Tapi HRD di lantai berapa ya, Pak?”

“Mas naik ke lantai 4, keluar lift belok kanan, lurus terus sampe mentok, belok kiri sampe mentok. Nah, di sebelah kiri ruangannya. Ada bacaan HRD-nya, kok.” Lanjut petugas tersebut.

“Oke deh, Pak. Makasih ya.” Kataku sambil menjabat tangannya sok akrab.

“Sukses ya, Mas!”

Di dalam lift, aku deg-degan berhubung udah 3 kali ditolak. Rasanya lama sekali lift ini sampainya, mungkin rasa gugup membuat berat badanku bertambah saat itu.

Sesampainya di lantai 4, suasana langsung mencekam. Lantai apaan nih? Sepi banget, pikirku sambil menggenggam map berisi ijazah yang terhimpit di tanganku dari tadi. Lampu di sana remang-remang, ada juga yang mati. Gak ada orang

Page 61: Gadis Berkacamata

60

yang lewat atau kerja. Benar-benar seperti lantai 13 di film Lantai 13.

Aku menyusuri lorong tersebut, mengikuti titah pak satpam tadi. Dari tempat kuberpijak, aku gak ngeliat ruangan yang dimaksud. Ujung lorong kosong. Gak ada apapun.

“Mas, ngapain?”

Jantung serasa mau copot saat ada seseorang yang menepuk pundakku tiba-tiba.

“Astaghfirullah. Ngagetin aja, Mas.” Kataku sambil mengusap-usap dada dan istighfar berkali-kali.

“Mas ngapain di sini?” Tanya lagi seorang yang berpakaian OB dengan suara seraknya. Wajahnya pucat seperti orang sakit, matanya sayu, dan tubuhnya kurus. Ia menarik seperangkat alat pembersih di belakangnya.

“Saya mau cari ruang HRD, katanya di lantai 4 di pojok lorong sana. Tapi kok nggak ada ruangan apa-apa ya?”

“Oh, ruang HRD dipindah ke lantai 5, Mas. Karena suatu hal, lantai 4 gak boleh dipake dulu.” Ujarnya pelan dan dengan nada suara yang dingin.

“Kenapa, Mas?”

Page 62: Gadis Berkacamata

61

“Itu.” Katanya sambil menunjuk sesuatu dibelakangku. Sebuah bercak merah terburai di dinding. Ada pula seutas tambang yang menggantung di langit-langit dengan sebuah tangga yang terjatuh tepat di bawahnya.

Aku menahan nafas melihatnya.

“A, ada yang bunuh diri di lantai ini, Mas?” Tanyaku sambil merinding.

“Hah? Bukan, lagi ada renovasi.” Jawabnya singkat.

“Ohh...” Aku menghela nafas lega. “Yaudah, saya ke lantai 5 dulu ya, Mas.”

“Hati-hati.”

Aku segera melanjutkan perjalan ke lantai atas.

Nah, ini baru kantor. Aku melihat suasana kantor yang benar-benar hidup di lantai 5. Banyak karyawan yang sedang sibuk mengetik di depan komputer. Ada yang fotocopy, tapi ada juga yang asyik ngobrol atau PDKT-in rekan seruangannya.

Tok. Tok. Tok

“Silahkan masuk.” Kata sebuah suara sopran dari dalam ruangan bertuliskan HRD Room. “Ada perlu apa, Mas?”

Page 63: Gadis Berkacamata

62

“Oh, nama saya Satya. Saya ke sini ingin melamar kerja, Bu.”

“Oh, silahkan duduk. Nama saya Hanisti Setyaningsih, panggil saja Bu Hani.” Katanya sambil menjabat tangan saya. “Bisa saya lihat lampiran yang Anda bawa?”

“Oh, ini, Bu.” Aku langsung aja nyerahin tuh ijazah. Semoga aja diterima, kalo udah diterima kan tuh ijazah bisa beneran kubuat kipas, atau malah kapal-kapalan.

Janggal juga manggil dia “Bu”, secara tampang dia kelihatannya lebih muda dari aku, harusnya dia manggil aku “Kak”.

“Hm, cukup mengagumkan.” Katanya sambil tidak melepas pandangannya dari selembar kertas yang kudapat dengan membayar sejumlah uang plus empat tahun hidupku. Kata-katanya benar-benar menerbangkanku ke langit ke delapan. Aku amat berharap kali ini lolos.

“Yak! Saya pegang dulu lampiran ini. Anda bisa menunggu di lobi untuk wawancara kemudian tes. Sebenarnya yang kami butuhkan tenaga akuntan, tapi saya yakin keahlian Anda dibidang manajemen mungkin lebih bermanfaat dari kelihatannya.” Katanya sambil berdiri dan menutup lampiran tersebut.

Page 64: Gadis Berkacamata

63

“Wah, terima kasih, Bu Hani.” Kataku senang sambil berjabat tangan dengannya. Aku keluar ruangan dengan wajah sukacita dan harapan besar kini terpatri di wajahku yang kecil, atau imut kalau boleh narsis.

Satu jam lamanya aku menunggu di lobi. Bosan juga. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sekitar lobi. Rasa lapar mulai melanda. Namun, keadaan keuangan tidak memungkinkanku untuk membeli konsumsi. Huff…aku hanya menghela nafas panjang menratapi nasib.

“Apaan tuh?” Aku heran saat melihat sebuah benda hitam tergeletak tak berdaya di bawah sofa merah.

“Dompet!” Aku histeris saat kupungut benda hitam yang ternyata dompet. “Lumayan, Bung!” Kataku dalam hati saat melihat isi dompet tersebut. Lima lembar uang seratus ribuan berjejer rapi di sana. Fantastis!

Dalam dompet tersebut tidak terdapat tanda pengenal atau semacamnya, hanya ada surat-surat yang tidak kumengerti artinya. Sekilas aku merasa itu adalah rezeki untukku. Telinga kanan dan kiriku berdengung menebar konflik. Udah megang duit aja aku masih bingung.

Page 65: Gadis Berkacamata

64

“Ambil gak, ya?” Aku bergumam dalam hati.

Sebuah siluet ingatan melintas di kepalaku. Ya, sebuah siluet di saat aku disumpah ketika diangkat menjadi ketua Rohis di SMA, menjadi sekretaris di Remaja Masjid Kampus, dan siluet-siluet kebaikan lainnya.

Wah, gak mungkin aku ambil ni dompet! Malu aku! Emang sih Allah kadang memberi rezeki lewat jalan yang gak diduga, tapi yang pasti jalannya bukan kayak gini.

Sebuah bisikan nurani membimbing langkahku ke tempat informasi.

Gelegar mic membahana mengumumkan ditemukannya dompet hitam. Sang informan juga mengatakan kalau tiga hari tidak ada yang mengakui maka dompet tersebut menjadi milik si penemu.

Tidak perlu tiga hari, tiga menit kemudian datang Bu Hani dengan seseorang yang mengenakan ID bertuliskan ‘panelis’.

“Wah, itu dompet saya!” Katanya kepada sang informan. “Siapa yang menemukannya?” Lanjutnya. Sang informan itu pun menunjuk ke arahku yang sedang berdiri dengan mulut menganga.

Page 66: Gadis Berkacamata

65

“Anda yang menemukan?” Tanyanya. “I, iya.” Jawabku gugup.

“Ya Allah. Untunglah, uangnya sih tidak seberapa, tapi di dompet ini isinya surat-surat penting semua. Terima kasih banyak, Pak Satya.” Katanya berseri-seri sambil tersenyum. Aku meringis. Tidak seberapa? batinku merana.

Seorang yang dari tadi mengekor Bu Hani membisikkan sesuatu kepada Bu Hani.

“Pak Satya, saya punya berita baik untuk Anda. Sebelumnya, perkenalkan di sebelah saya ini Pak Kabul yang akan mewawancarai Anda, tapi beliau memutuskan bahwa Anda tidak perlu menjalani wawancara dan tes. Selamat, Anda diterima bekerja di perusahaan ini.”

“Apa!? Ta, ta, tapi bagaimana bisa, Bu?” Aku kaget banget ama omongan Bu Hani. Mulutku megap-megap seperti ikan kelebihan udara.

“Iya, sebuah kejujuran mahal harganya. Seorang akuntan yang kami perlukan adalah seorang yang jujur dan kami yakin Andalah orang yang tepat. Untuk skill akuntansi, kami akan menfasilitasi pelatihan untuk Anda.” Lanjut Bu Hani.

“Waaaa! Terima kasih, Bu, Pak! Terima kasih.” Aku seneng banget dengernya sampe

Page 67: Gadis Berkacamata

66

pengen lompat-lompat sendiri. Mataku berbinar-binar. Seluruh penghuni lobi kontan menoleh ke arahku.

Aku sama sekali tidak menyangka ternyata inilah rezeki sesungguhnya dari Allah. Sebuah pencarian panjang yang berakhir karena kejujuran, kejujuran yang hampir kujual dengan harga 500 ribu rupiah.

Page 68: Gadis Berkacamata

67

Biarkan Aku Lupa

Di salah satu meja sebuah kantin sekolah, jari-jemari Ridwan asyik menari-nari di atasnya. Matanya serius menatap layar notebooknya yang datar, sesekali jari kelingkingnya digunakannya untuk membetulkan posisi kacamatanya yang turun. Ditulisnya beberapa bait puisi dengan khidmat. Bait demi bait. Kata demi kata.

Sesekali mata hitamnya melirik ke depan, mengarah kepada sesosok gadis ayu berjilbab

Page 69: Gadis Berkacamata

68

putih yang sedang mengobrol dengan teman-temannya. Senyum manis sang gadis yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya itu sontak menghentikan tarian jari-jemarinya tersebut.

“Assalamamu’alaikum, Ridwan. Ngapain lo di mari!?” Sapa Gilang sambil menepuk pundak Ridwan. Ridwan yang bertubuh kurus hampir terhempas ke depan, konsentrasinya terhadap sang gadis buyar, beristighfarlah ia sebisanya.

“Wa’alaikum salam, Gilang. Ngagetin aja lo!? Gue lagi refreshing nih, baru kemaren kita selesai UN, sekarang gue pengen ngelanjutin hobi gue yang tertunda!” ujar Ridwan singkat sambil terus asyik mengetik seuntai puisi lagi.

“Hobi apa sih?” Gilang melirik ke arah layar notebook Ridwan. “Ciee...so sweet banget sih lo. Buat puisi buat siapa nih? Hehehe.” sambung Gilang.

“Bukan buat siapa-siapa. Emang gue hobi kali buat karya kayak gini. Haduh, lo kayak baru kenal gue kemaren sore aja, dah!” Cetus Ridwan tanpa menoleh kearah Gilang. Gilang menenggak es blender yang dari tadi dipegangnya.

“Bung! Gue ada masalah, nih!” Ridwan akhirnya menghentikan ketikannya. Tangan kanannya kini asik menggeser-geser mouse ke sana

Page 70: Gadis Berkacamata

69

kemari sambil beberapa kali mengklik sesuatu di layar tersebut.

“What the problem?” Gilang menoleh heran ke arah Ridwan sambil menyeruput es blender terakhirnya.

“Nih?” Ridwan memperlihatkan layar notebooknya kepada Gilang. Gilang melihatnya dengan wajah penuh keheranan. Gak ada yang salah, pikirnya.

“Kenapa layar notebook lo? Kotor? Retak? Ato kenapa?” Gilang meraba-raba layar notebook Ridwan dengan seksama. “Bukan itu, dodol!” Ridwan menepuk tangan Gilang agar permisi dari layar notebooknya.

“Lo baca nomor 14!” Perintah Ridwan sambil menunjuk ke arah suatu situs perusahaan yang sedang memberikan beasiswa ke Belanda kepada siswa-siswi SMA atau sederajat.

“Kenapa sih!?” Gilang semakin penasaran. Telunjuknya dijadikannya kalam untuk membaca nomor yang dimaksud Ridwan. “Ridwan Fatih Arohman.” Gilang terbelalak kaget membaca nama sahabatnya itu tercantum dalam daftar siswa-siswi yang berhak mendapat beasiswa tersebut.

“Subhanallah! Alhamdulillah! Ridwan! Lo dapet! Beasiswa! Ke Belanda! Wow! Fantastico

Page 71: Gadis Berkacamata

70

brother!” Gilang terlihat sangat senang melihat hal tersebut, berkali-kali ia mengusap matanya sendiri tanda tak percaya. Dibacanya nama tersebut, semakin dekat, semakin dekat. Tidak berubah, nama itu memang benar-benar Ridwan, manusia yang sedang mematung di sebelahnya.

Luapan rasa syukur menyelimuti Gilang. Berkali-kali ia mengucap alhamdulillah dan langsung sujud syukur di tempat. Gilang hendak menjabat tangan sahabatnya itu, namun diurungkan niatnya itu saat melihat sang peraih beasiswa justru tertunduk lemas

“Lo kenapa, sob? Dapet beasiswa kok malah lemes?” Tanya Gilang heran. Diambilnya sebuah kursi untuk duduk di dekat Ridwan. “Dimana letak masalahnya? Lo gak bisa bahasa Belanda? Gue punya temen yang bisa ngajarin lo, santai aja, lah! Atau lo alergi keju? Takut ketiup kincir?” Gilang menatap badanku yang kurus.

“Haduh, masalahnya gak seklise dan seaneh itu, Lang.” Ridwan kembali melirik ke arah sang gadis yang masih duduk dua meja di depannya. Ia masih asyik bersenda gurau dengan teman-temannya, sesekali tertawa sambil menunjuk notebook putih di depan mereka.

Page 72: Gadis Berkacamata

71

Gilang menoleh ke arah lirikan Ridwan. “Cie, ada apa tuh sama Vira? Gue mencium aroma merah jambu nih! Hahaha!” Gilang menggoda Ridwan sambil menyenggol Ridwan dengan sikunya. Matanya tersenyum mengejek, namun Ridwan tidak peduli.

“Itu masalah gue. Gue...suka sama Vira, Run.” Suasana hening seketika. Detakan jam dinding pun terasa ramai dibuatnya. Jangkrik menyanyi bebas untuk sesaat. Hembusan angin bergulung pelan melewati dua makhluk tersebut.

“Astaghfilrullah! Beneran lo!? Wadoh! Gue sih ngerti lo ama Vira udah temenan dari SD. Cuma kan dia dulunya ketua pengajian sekolah kita, paling anti ama pacaran. Sakit jiwa lo, Wan!” Gilang terkejut mendengar pengakuan Ridwan. Nafasnya tertahan. Matanya melotot seolah baru saja mendengar kabar paling mengejutkan kedua setelah kabar tentang ikannya yang dimakan kucing saat dia masih SMP.

“Sapa yang bilang mau pacaran sih? Gue cuma suka aja sama dia, Run.” Ridwan bersandar di bangkunya, membiarkan noteboknya menampilkan screen saver warna-warni.

“Terus so what, gitu? Dari kapan lo suka ama dia? Terus apa hubungannya ama beasiswa lo?”

Page 73: Gadis Berkacamata

72

Gilang semakin bingung dengan tingkah temannya ini. Dilihatnya Vira di meja sebrang, cantik memang, tapi milih-milih dong kalo suka. Mantan ketua pengajian ditaksir juga, edan, Gilang membatin.

“Gue suka ama dia sejak naik kelas XII, dulu sih kelas XI gue cuma tertarik aja, tapi lama-lama suka beneran. Tiap hari gue kebayang terus ama dia, masih di sini aja gitu, gimana kalo gue ke sono, Run.” Ridwan memelas.

Waduh, nih anak kena virus cinta akut stadium 4 nih kayaknya, pikir Gilang. Tangannya diusap-usapkannya ke dagu. Mikir.

Ridwan melihat Vira yang mulai bubar dengan teman-temannya. Sambil berdiri, Vira seperti berbicara sepatah dua patah kata sebelum akhirnya melambaikan tangan kepada teman-temannya. Sambil membawa tas selempang kecil dan sebuah notes, Vira berjalan pelan menuju Ridwan dan Gilang.

“Assalamu’alaikum, Ridwan, Gilang. Kalian di sini juga? Lagi ngapain?” Sapa Vira ramah, seuntai senyum terlukis di wajahnya yang bersahabat.

“Wa’alaikum salam. Oh, gak lagi ngapa-ngapain kok, Ra. Lagi refreshing aja. Hehehe.”

Page 74: Gadis Berkacamata

73

Jawab Gilang sambil cengar-cengir. Disenggolnya Ridwan di sebelahnya.

“I, iya kok, Vir.” Ridwan ikutan gugup. Orang yang baru aja dicurhatin tau-tau nyamperin. Keringat dingin bercucuran di kening Ridwan.

“Oh, ya sudah. Aku mau cari Bu Fitrah dulu, ya. Aku mau kasih laporan yang waktu itu. Wassalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Jawab Ridwan dan Gilang barengan.

Ridwan menceritakan semua keluh kesahnya mengenai perasaannya yang tersembunyi terhadap Vira. Perasaannya itu membuat ia ragu apakah ia harus mengambil beasiswa namun jauh dari Vira atau gimana. Gilang mendengarkannya dengan seksama dan sesekali manggut-manggut seolah mengerti.

“Sob, ayolah! Jangan sampe gara-gara cewek lo ngelepas kesempatan ini! Kapan lagi lo bakal dapet beasiswa ke Belanda coba!?” Gilang memberi saran sambil menepuk bahu Ridwan yang terlihat sangat bingung.

“Tapi...”

“Ridwan, jangan sampe hal kayak gini tuh ngilangin potensi yang ada dalam diri lo. Kalo Vira

Page 75: Gadis Berkacamata

74

emang jodoh gak bakal kemana kok. Lo jangan sinetronisme gini, dong!” Gilang memotong pembicaraan Ridwan.

Mimik muka Ridwan terlihat mulai tenang, hatinya kini mulai terbuka dengan penjelasan Gilang yang sebetulnya tidak terlalu jelas.

“Lo gue suruh nyatain perasaan lo gak mau, gue suruh lamar gak mungkin kan? Daripada lo menggantung diri lo sendiri kayak gini, mending lo belajar yang bener di sono, pas udah sukses lo balik dah. Lo khitbah tuh demenan lo.” Saran Gilang.

“Wah! Bener lo! Ngapain gue mikirin sampe kayak gini, hampir aja gue gak jadi ngambil beasiswa ini gara-gara Vira. Astaghfirullah! Lo emang best friend gue, Bung!” Ridwan terlihat semangat kembali mendengar nasehat Gilang. Wajahnya mekar seperi balon, senyum kepastian terpatri di wajah Ridwan yang bulat.

“Asal cepet, ntar keduluan gue. Hahaha!” Gilang berkelakar. “Wah, ngincer juga dia!” Mereka tertawa bersama.

Ridwan memutuskan untuk mengambil beasiswa tersebut. Dengan langkah yang ringan ia melangkah keluar kantin setelah sebelumnya ia

Page 76: Gadis Berkacamata

75

mentraktir Gilang segelas jus alpukat sebagai tanda terima kasih.

---OOO---

Hari ini adalah hari keberangkatan Ridwan. Di bandara, banyak keluarga dan kerabat yang menemani kepergian Ridwan. Ridwan berjalan santai sambil menarik koper birunya.

“Hati-hati ya, Nak, kamu di sana.” Pesan ibunya sambil memeluk anak sulungnya itu.

“Kak, bawa oleh-oleh ya.” Ujar Arum, adiknya yang paling kecil.

Satu per satu mendapat salam perpisahan dari Ridwan. “Sob, jadilah orang di sana. Buat gue bangga.” Gilang memeluk Ridwan dengan perasaan haru, tidak terasa air mata menitik dari matanya. “Udahlah, Lang. Nanti kita juga ketemu lagi, kok” Bujuk Ridwan. Gilang mengusap air matanya sambil mengangguk

“Ridwan, sukses ya. Ini ada kenang-kenangan buat kamu.” Vira pun tidak luput mengantar kepergian Ridwan. Sebagai teman dari SD, mereka tentu sudah punya ikatan batin yang kuat, meski bukan ikatan yang diharapkan Ridwan.

Page 77: Gadis Berkacamata

76

Vira menyerahkan sepasang sarung tangan, kelihatannya buatannya sendiri. “Di sana dingin.” Ujar Vira singkat. “Makasih ya, Vir.” Ujar Ridwan singkat. Vira hanya tertunduk, menyembunyikan air matanya agar tidak terlihat.

Panggilan menuju pesawat telah terdengar. Ridwan berjalan meninggalkan sahabat dan keluarganya. Ridwan menoleh, dilihatnya ibunya bersandar ke ayahnya dengan air mata terurai, begitupun sahabatnya yang lain, terutama Gilang dan Vira.

Ridwan melambaikan tangannya kepada semuanya, suasana di bandara saat itu begitu haru, melepas kepergian anak dan sahabat untuk merantau ke negeri orang. “Ridwan! Jangan lupa yang di Indonesia, ya!” Teriak Gilang. Ridwan hanya mengacungkan jempolnya ke udara tanda iya.

Saat hendak menaiki pesawat, Ridwan mengeluarkan sepasang sarung tangan pemberian Vira. Ditatapnya sapu tangan itu dengan seksama, terlihat bayangan wajah Vira tampak di antara kedua sarung tangan tersebut.

Aku gak ingin teringat kamu lagi, Vira. Biarkanlah aku belajar dengan baik dulu. Saat aku kembali, Insya Allah aku telah siap. Ia pun memasukkan sarung tangan itu ke dalam plastik

Page 78: Gadis Berkacamata

77

hitam dan disimpannya dalam-dalam di saku celananya.

Ridwan berlari sambil menarik paksa kopernya menuju pesawat. Pesawat yang akan membawanya meraih impian dan cita-citanya, serta pesawat yang akan menghilangkan bayangan Vira dari benaknya, untuk beberapa tahun ke depan.

Page 79: Gadis Berkacamata

78

Page 80: Gadis Berkacamata

79

Kisah Imam

I watch the most horrible things In this country

No peace around I know it’s fake I’d sing for you

If you didn’t took my heart away

Page 81: Gadis Berkacamata

80

Sambil memainkan gitar kecilnya, Imam menyanyikan sepenggal untaian melodi yang menyentuh meski liriknya dalam bahasa Inggris. Imam adalah seorang “lulusan” pesantren di Bogor, nasiblah yang membawanya menjadi seorang seniman jalanan. Pemuda yang kerap memakai koko putih ini memiliki ilmu yang lumayan, bahasa Inggrisnya memang jago, MTQ nomor wahid di pesantrennya dulu, namun hobinya bermain gitar membuatnya “diluluskan” karena gitar merupakan alat musik terlarang di pesantren tersebut.

Hari ini adalah Ramadhan pertamanya sebagai seorang pengamen. Berjalan dari satu bus ke bus yang lain, melantunkan lagu-lagu ciptaannya sambil sesekali beristirahat di bawah pohon rindang di pinggir jalan sudah menjadi kehidupannya kini.

Sore itu, setelah shalat Ashar, Imam tengah duduk di bawah pohon beringin di taman kota. Dilihatnya matahari panas menyengat saat itu. Sesekali ia mengusap peluh di keningnya dan berkipas-kipas kecil dengan tangannya.

“Ya Allah, hari ini panas banget, ya.” Ujarnya mengeluh kepada diri sendiri. Diambilnya sebuah dompet lusuh dari sakunya, di dalamnya terdapat fotonya bersama teman-teman di pesantrennya dulu, benar-benar mengingatkannya

Page 82: Gadis Berkacamata

81

pada masa-masa indah itu, saat mereka sering ngaji bareng, sampai iseng bareng menjahili teman-teman satu pesantren.

Imam menggali isi dompetnya, “Waduh, udah siang belum dapet duit. Buka pake apa aku nanti?” Katanya lemas.

“Hoi, Bos. Bengong aja kau. Kenapa kau? Capek? Nih ku beri kau ini!” Kata Bang Kimun, preman bersertifikat lokal seraya melempar segelas minuman ke arah Imam.

“Wah, makasih, Bang. Tapi maaf saya lagi puasa. Abang gak puasa?” Imam meletakkan minuman itu begitu saja di sebelahnya.

“Hoalah! Kau ini jadi pengamen saja belagu! Kalau kau puasa, suara kau tak ada nanti buat ngamen. Gimana kerja kau nanti?” Bang Kimun menyeruput minumannya tanpa mempedulikan keadaan Imam yang sedang berpuasa.

“Astaghfirullah, Bang. Puasalah kamu sebagaimana diperintahkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu semakin bertaqwa. Meski kita hidup di jalan, kita harus tetap ingat sama Allah yang udah memberi kita hidup, Bang.”

“Halah! Ceramah saja kau! Minum saja sudah minuman itu, susah-susah aku belikan buat

Page 83: Gadis Berkacamata

82

kau!” Bang Kimun marah sambil menarik kerah baju Imam.

Imam menepis tangan Bang Kimun lalu spontan berdiri. “Nggak, Bang! Jangan paksa saya membatalkan puasa saya! Kalau Bang Kimun tetap tidak mau puasa ya terserah! Biar Allah yang membalas, saya sudah memberitahu Bang Kimun tentang faedah puasa waktu itu, serta hukuman buat yang meninggalkan puasa Ramadhan. Tapi jangan paksa saya mengikuti jejak Abang!”

“Berani kau sama aku! Kemari kau! Biar kuremukkan tulang kau buat buka puasa anjing-anjingku nanti!” Bang Kimun yang marah berlari menerjang Imam.

Imam terlihat panik, jurus langkah seribu pun diambilnya untuk menghindari diri dari Bang Kimun yang berbadan sebesar traktor.

Bang Kimun tidak tinggal diam, dikejarnya Imam yang terlihat panik. Kejar-kejaran ala Tokyo Drift pun tidak terelakkan lagi.

Imam yang notabene berbadan lebih kecil dan lebih muda memang bisa menghindari kejaran Bang Kimun, namun keadaan Imam yang sedang berpuasa membuat staminanya lebih cepat terkuras.

Page 84: Gadis Berkacamata

83

Imam berlari ke arah gang kecil dan bersembunyi dibalik sebuah truk kuning besar yang sedang terparkir. Bang Kimun yang kehilangan Imam celingak-celinguk mencari pemuda alim tersebut. “Mana anak itu! Kalau ketemu, kujadikan fu yung hai dia nanti!” Ujar Bang Kimun geram sambil meninggalkan tempat itu. Imam yang mengintip dari balik truk bernafas lega melihat Bang Kimun telah menghilang dari pandangan.

Imam kini berjalan menyusuri gang kecil tersebut. Haduh, dikejar Bang Kimun benar-benar menghabiskan waktu nih, duit gak dapet, tambah laper dan haus pula, pikir Imam yang kemudian disambut ucapan istighfar dari mulutnya.

Imam tidak tahu berada dimana ia sekarang. Jalan raya tempat ia biasa mencari rezeki tidak aman lagi karena Bang Kimun telah menaruh dendam padanya. Sambil berjalan pelan, Imam berdo’a dalam hati. “Ya Allah, cobaan berat telah Engkau sematkan padaku di awal Ramadhan ini. Tunjukkanlah jalan keluar padaku. Langkahkanlah kakiku ke jalan yang Engkau ridhai, ya Allah.”

Gang yang benar-benar kecil dan gelap, terletak di belakang bangunan-bangunan tinggi dan berkelok-kelok layaknya labirin.

Page 85: Gadis Berkacamata

84

“Tolong! Lepasin aku!” Imam mendengar sebuah teriakan minta tolong, entah darimana. Imam berhenti, berusaha memfokuskan diri pada suara tersaebut. Dengan langkah tanpa keraguan Imam segera berlari ke arah suara tersebut.

Imam terkejut saat melihat tiga orang pemuda yang terlihat seperti mahasiswa sedang berusaha merebut tas yang dibawa seorang siswi SMA.

“Aduh!” Salah seorang dari mereka yang memakai kemeja kotak-kotak dan menenteng tas ransel kecil berteriak kesakitan. Kontan hal tersebut membuat kedua mahasiswa lainnya mengalihkan pandangan ke arah Imam.

Imam terlihat sedang melempar-lempar kecil sebuah batu di atas tangan kanannya. Tangan kirinya menumpukan gitar kecil di bahunya. Sebuah lemparan dari Imam kini berhasil dihindari tiga orang tersebut.

“Siapa lo!? Ikut campur urusan orang lain aja!” Seseorang yang memakai jaket hitam menghardik Imam. Gadis SMA yang sudah berurai air mata itu pun dilepaskannya. Kedua orang itu kini fokus kepada Imam, yang telah membuat kepala salah satu teman mereka bocor berkat

Page 86: Gadis Berkacamata

85

head shoot spektakuler yang dipertontonkan Imam.

“Astaghfirullah! Hari gini masih ngerampok, apa kata Allah?” ledek Imam seraya menirukan iklan televisi.

“Cih! Ikut campur saja lo kayak es!” Geram seorang yang berwajah agak western.

Ketiga pemuda tersebut serentak menyerang Imam. Dengan melafadzkan basmalah, Imam pun siap menyambut terjangan mereka. Pukulan demi pukulan melayang ke badan Imam. Ia dikeroyok.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Imam mencoba bangkit. “Allahu akbar!” Takbir keras meluncur dari mulut Imam sambil melayangkan gitar kecilnya tepat ke kepala si western tersebut. Satu orang berhasil dilumpuhkannya.

Melihat temannya western-nya yang diketahui bernama Gilbert itu terkapar dengan kepala berdarah, kedua orang sisanya perlahan mundur menjauhi Imam. Imam yang setengah berdiri sambil memegang gitarnya yang rusak menatap tajam ke arah kedua mahasiswa yang tersisa. Mereka pun lari meninggalkan si western beserta Imam dan gadis SMA tadi.

Page 87: Gadis Berkacamata

86

Imam yang sudah kehabisan tenaga pun akhirnya pingsan di tempat itu.

---OOO---

Suara adzan maghrib berkumandang, membangunkan Imam yang tadi pingsan. Imam membuka matanya perlahan, pikirannya menerawang sekeliling, berusaha menerjemahkan kejadian yang baru saja dialaminya.

Maghrib? Duh, gitarku rusak, aku gak punya uang, mau buka pake apa aku? Batinnya khawatir. Imam memegang keningnya, dirasakan ada sebuah sapu tangan hangat di keningnya. “Punya siapa ini?”

Imam terkejut saat didapati dirinya sedang berada di sebuah ruangan yang begitu kecil namun terlihat nyaman, sebuah televisi kecil berdiri tegak di atas sebuah meja hijau kecil. Sejak kapan aku di sini, pikir Imam sambil merubah posisinya menjadi duduk.

Imam semakin tersentak saat dilihatnya segelas teh manis hangat terpampang gagah di atas sebuah nampan merah.

Terdengar suara pintu terbuka. “Assalamu’alaikum. Oh, kamu sudah bangun, Nak.

Page 88: Gadis Berkacamata

87

Silahkan diminum dulu tehnya, batalkankanlah dulu puasamu.” Kata seseorang yang muncul dari balik pintu. Seorang ustadz, mungkin, dengan janggut putih lebatnya, baju gamis, dan sorban melingkar di kepalanya tidak mungkin ia seorang pengamen sepertiku.

“Saya ada dimana, Pak?” tanya Imam setelah membatalkan puasanya dengan menghabiskan teh manis hangat tersebut.

“Abi, dia sudah bangun?” Dari belakang ustadz tersebut terdengar sebuah suara sopran yang asing untuknya. Sesosok wanita muncul dari belakang ustadz tersebut. Imam mengenalnya, ia adalah gadis SMA yang ditolongnya di gang itu.

“Loh, kamu?” Imam terheran-heran. Gadis itu hanya menunduk lalu menghilang dari balik pintu.

“Iya, dia itu anakku, namanya Puji. Kamu sekarang sedang berada di ruangan di belakang masjid. Saya mau berterima kasih kepada nak...”

“Imam, Pak. Muhammad Imam.”

“Iya, kepada nak Imam karena telah menolong putri saya dari pemuda-pemuda itu. Puji sudah cerita semuanya ke bapak. Oh, iya, nama saya Lukman, panggil saja Pak Lukman.” katanya memperkenalkan diri sambil duduk di depan Imam.

Page 89: Gadis Berkacamata

88

“Ho, jadi dia tersesat waktu itu?” Imam ngangguk-ngangguk mendengar penjelasan Pak Lukman.

“Nak Imam sendiri dari mana?”

“Saya dari pesantren Al-Fath, Pak. Cuma saya dikeluarin gara-gara suka main gitar.” Imam bercerita.

“Wah, kebetulan.” Wajah Pak Lukman tiba-tiba terlihat berseri-seri.

“Kenapa, Pak?”

“Gini, kebetulan saya sedang mencari guru musik buat Puji, katanya buat tugas seni musik sekolahnya. Sekalian Nak Imam bisa jadi guru ngaji buat Puji, dari pesantren Al-Fath ilmu Nak Imam lumayan, dong? Nanti Nak Imam boleh tinggal di sini, kecil memang, tapi setidaknya layak, soalnya belum ada marboth untuk mengurusi masjid ini. Gimana? Nak Imam mau terima tawaran saya?”

Imam seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Air mata keluar dari pelupuk matanya. Ia berkali-kali bersujud syukur sambil mengucap alhamdulillah.

Dalam sujudnya, Imam berdoa. “Ya Allah, ternyata ini jalan yang Engkau tunjukkan padaku.

Page 90: Gadis Berkacamata

89

Terima kasih ya Allah.” Imam pun memeluk Pak Lukman sebagai ucapan terima kasih. “Terima kasih, Pak. Saya terima semua amanah yang Bapak berikan.”

Pak Lukman pun bersyukur karena Allah telah mengirim seorang pemuda seperti Imam. “Sama-sama, Nak. Mungkin memang disinilah tempat yang cocok untuk nak Imam, bukan di jalanan.”

Puji yang telah mengenakan mukenah datang dan mengetuk pintu. “Abi, sudah komat, tuh.”

“Nak Imam, mari kita shalat maghrib dan tarawih dulu. Nak Imam boleh ganti baju dengan baju yang ada di lemari, Insya Allah muat.” Pak Lukman menunjuk sebuah lemari berwarna coklat.

“I, iya, Pak.” Imam yang masih dalam perasaan tidak percaya bergegas mengganti baju kokonya yang sedikit kotor dengan yang ada di lemari itu. Imam benar-benar merasakan sesuatu yang amat berharga dengan bulan Ramadhan kali ini, yakni tentang arti kehidupan dan rahasia Allah terhadap hambanya.

Page 91: Gadis Berkacamata

90

Page 92: Gadis Berkacamata

91

Obrolan Meja Bundar

Maman celingak-celinguk mencari tempat kosong. Semangkok mie rebus dipegangnya dengan hati-hati. Penuh banget, pikir Maman. Ia berjalan menyusuri kantin berharap bertemu kursi nganggur.

Matanya terhenti saat melihat sebuah kursi kosong di tengah kantin.

“Maaf, boleh duduk di sini?” Maman meletakkan mangkok makanannya di meja bundar

Page 93: Gadis Berkacamata

92

tepat di depan kursi tersebut sambil berkata kepada seseorang di seberang meja yang sedang asyik dengan laptopnya.

“Oh, silahkan. Kursinya kosong kok.” Ujar sesosok gadis yang dari tadi asyik mengotak-tik laptopnya.

“Makasih yo!” Maman membalas dengan gaya sok asiknya. Ia pun duduk dan mulai menikmati makan siangnya.

“Serius amat, Mbak. Lagi ngapain?” Maman coba membuka pembicaraan. Maman kini berstatus mahasiswa di Universitas Negeri Impian Keluarga (UNIK) dan mengambil Fakultas Ilmu Arsitektur. Ia tinggal bersama Hanung, sahabatnya.

“Mbak, mbak, aja! Gue masih muda kali. And then, gue tuh punya nama, Suryani Ayu Perdana, panggil aja gue Yani. Lagi nyari-nyari beasiswa nih!” Katanya sambil terus menatap layar laptopnya.

“Oke deh, Yani. Kalo nama gue Maman. Cie’elah nyari beasiswa ya kan. Hahaha. Lo fakultas apa, Yan?”

“Gue Fakultas Ilmu Jurnalistik semester dua. Lo?” Yani bertanya terus tanpa menatap orang yang menanyainya. “Hoah! Sip deh!” Yani tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan mulai berbincang normal dengan Maman.

Page 94: Gadis Berkacamata

93

“Ho, gue Fakultas Ilmu Arsitektur semester tujuh.” Maman menjawab singkat. Yani langsung terdiam mendengar jawaban Maman, wajahnya pucat.

“Duh, ma..maaf ya, Kak. Aku gak tau kalo kakak senior.” Katanya gugup.

“Hahaha. Santai aja kali, Yan.” Ujar Maman terrtawa sambil melanjutkan makan. “Uhuk, uhuk.”

“Wah, Kak, makanya jangan ketawa lagi makan.” Yani menahan tawa melihat tingkah Maman yang menurutnya tidak seperti senior lainnya di UNIK itu yang biasanya galak dan sok berkuasa.

“Iya nih, duh, karma kali ya gara-gara bolos kuliah.”

“Wah parah nih. Kakak bolos kuliah?” Tanya Yani sambil memesan minuman kepada pelayan di sana. “Iya, habis males, kakak udah ketinggalan banget soalnya. Jadi gak mudeng sama materinya deh. Lebih baik tidak sama sekali daripada terlambat. Hahaha.”

Yani merengut. “Jiah! Nggak boleh gitu tau, Kak. Kakak udah semester tujuh dikit lagi lulus, loh.” Yani tiba-tiba kembali mengotak-atik laptopnya lagi. “Nih, lihat deh, Kak.” Yani menyodorkan laptopnya kepada Maman.

Page 95: Gadis Berkacamata

94

“Walah!” Respon Maman saat melihat artikel mengenai orang-orang kurang beruntung namun bisa meraih kesuksesan yang terpampang di laptop Yani.

“Kakak jangan nyerah gitu aja, kalo ketinggalan dikejar, Kak. Kakak kan alhamdulillah tergolong beruntung, fisik sehat, tidak cacat, dan lainnya, masa kalah sama mereka, Kak.” Kata Yani sambil menunjuk foto orang-orang dalam artikel tersebut.

“Yang penting mah semangat, Kak. Kalo kita punya semangat dan motivasi, ketinggalan sejauh apapun Insya Allah bisa dikejar. Aku juga sempet gak bisa kuliah selama empat bulan karena kecelakaan, tapi alhamdulillah bisa ngejar, ketinggalan bukan halangan untuk berjuang, Kak.” Lanjut Yani.

Maman kagum mendengar penjelasan Yani, ia sama sekali tidak merasa digurui penjelasan Yani yang panjang dan lebar, dan mungkin dikali tinggi. Maman dengan hati terbuka menerima masukan Yani sambil melihat-lihat artikel tersebut. Wajahnya tiba-tiba memerah. Malu.

“Wah bener juga lo, Yan. Sumpah nih artikel bikin gue tergerak banget.” Yani hanya tersenyum mendengar komentar seniornya itu.

Page 96: Gadis Berkacamata

95

“Loh, Yani. Kamu di sini rupanya? Sapa tuh? Temen kamu ya?” Seorang pemuda berkemeja kotak-kotak datang setengah berlari menghampiri Yani.

“Iya, Kak. Kenalin ini Kak Maman.” Pemuda tadi pun melihat Maman sambil tertawa. “Hahaha. Dia mah kakak kenal, soalnya kami sama-sama anggota Perkumpulan Remaja Islam Arsitektur, Yan.”

“Yah, elu, Rid. Nih adek lo?” Maman berjabat tangan dengan Farid yang ternyata adalah sekretarisnya di PRIA.

“Iya, nih adek gue. Dasar lo adek gue digodain juga. Lo tadi kemana kagak masuk?”

“Wah gawat lo nuduh gue godain anak orang. Emang gue godain lo, Yan? Gak kan ya?” Yang ditanya hanya menggeleng. “Tadi aku sama Kak Maman cuma ngobrol aja kok, Kak.”

“Tuh kan. Hehehe. Dari tadi gue di sini, males gue lagian, Rid.”

“Wah, sumpit lo, Man! Bolos mulu!”

“Yani, kamu nih dari tadi kakak cariin. Nih pialanya.” Farid menyerahkan sebuah piala kepada Yani. “Hore!” Yani berteriak kegirangan menerima piala dari kakaknya itu.

Page 97: Gadis Berkacamata

96

“Adek lo menang apaan, Rid?” Tanya Ridwan penasaran. “Kemaren dia menang lomba English Debate di Kedubes Australia. Tapi karena ada sesuatu dia gak bsia hadir di penyerahan pialanya.”

“Alhamdulillah! Wah selamat ya, Yani!” Maman bertambah malu saat melihat Yani yang baru semester dua sudah berprestasi seperti itu, sedangkan ia sendiri yang sudah hampir lulus belum pernah berprestasi apa-apa.

“Iya, Kak. Makasih. Tadi diambilin sama Kak Farid soalnya aku gak bisa ngambil sendiri.” Yani meletakkan piala itu dipangkuannya lalu membereskan laptopnya.

“Loh emang kenapa?”

Yani pun memundurkan kursi tempat ia duduk dari tadi. “Aku harus cek kakiku yang lumpuh karena kecelakaan waktu itu, Kak.” Maman terdiam, kaget, takjub, sekaligus tidak percaya, ternyata dari tadi Yani menggunakan kursi roda! Maman sama sekali tidak menyadarinya karena terhalang si meja bundar.

Hal ini membuat Maman terhenyak. Ia benar-benar merasa seperti baru saja terjatuh dari lubang yang sangat dalam menuju lubang lainnya tanpa dasar. Ia terkejut bukan kepalang melihat Yani yang sudah mampu berprestasi

Page 98: Gadis Berkacamata

97

dengan kondisi seperti itu. Dua puluh tahun, aku sudah apa? Pikir Maman sendu.

Page 99: Gadis Berkacamata

98

Page 100: Gadis Berkacamata

99

Gosip

Sudah hampir tiga jam Husein menunggu sms balasan dari Ara. Sesekali ditengoknya handphone putih yang tergeletak di atas meja. Tumben balesnya lama, keluh Husein. Husein memutuskan untuk mengaktifkan nada deringnya agar ia tidak perlu menengok handphone-nya terlalu sering.

Maaf kak baru bales. Iya, terserah kakak aja. Begitu bunyi sms balasan dari Ara, cukup

Page 101: Gadis Berkacamata

100

singkat untuk sebuah sms yang lama munculnya. Oh, yasudah. Balas Husein seadanya. Raut muka jenuh terlukis di wajahnya yang Arabic.

Husein dan Ara adalah teman di Rohis, hanya saja Husein lebih tua satu tahun dari Ara, atau bisa dibilang Husein adalah kakak kelas Ara. Kedekatan mereka diawali oleh wall-wall-an di Facebook hingga mereka smsan seperti sekarang ini. Awalnya semua biasa saja, Husein dan Ara saling sharing tentang keadaan Rohis mereka di angkatan masing-masing. Ara juga kerap meminta saran atau solusi kalau ada masalah di Rohis atau masalah pribadi. Namun, akhir-akhir ini Ara sudah jarang menghubunginya lagi.

Malam itu Husein mencoba sms Ara duluan dengan maksud ngobrol dan melepas kejenuhan setelah pusing mengerjakan tugas Matematika 30 soal dari Pak Marta. Namun apa yang didapat Husein justru lebih menjenuhkan lagi, biasanya Ara sangat fun kalo diajak ngobrol lewat sms, namun malam itu Husein lebih merasa mewawancarai Ara daripada ngobrol dengannya.

Keesokan harinya, Husein dan teman-temannya sedang berkumpul di bawah tangga masjid untuk menunggu waktu dimulainya rapat. Saat asyik ngobrol dan bercanda dengan teman-

Page 102: Gadis Berkacamata

101

temannya, tiba-tiba Ara lewat bertiga dengan temannya.

“Eh, Ara!” Panggil Husein sambil berdiri menghampiri Ara.

“Oh, apa, kak? Tanyanya.

“Buku yang kemaren masih sama Ara kan ya?” Tanya Husein. Basa-basi.

“Eh, iya. Tapi aku belum baca semua, kak. Kakak mau pake ya?”

“Oh, nggak, kok. Ya sudah kalo masih dibaca juga nggak apa-apa kok. Tapi jangan sampe ilang ya ada tanda tangan kakak loh”

“Yeee, apa sih kak.” Balasnya sambil tertawa.

Husein kembali berkumpul dengan teman-temannya setelah menyelesaikan basa-basinya yang nggak penting sama sekali.

“Cie, Husein.” Sambut teman-temannya ngeledek saat Husein baru saja duduk.

“Apa sehhh!?” Timpalnya sebal.

“Eh, kabarnya udah ada gosip tau antara lo ama Ara?” Sambung Rendi. Kata-katanya yang sederhana tapi bermakna dalam sontak membuat teman-temannya terdiam, termasuk Husein.

Page 103: Gadis Berkacamata

102

“Gosip apaan?” Tanya Husein penasaran.

“Jadi gini...” Rendi berbicara dengan nada serius, teman-temannya memperhatikan seraya tak berkedip sama sekali. “...menurut kabar yang gue denger, entah dari para pasukan wanita berkudung atau siapalah. Lo itu deketin Ara.”

“Astaghfirullah!” Husein yang mendengar kabar tersebut kontan istighfar dan mengusap dadanya. “Ya Allah! Gak mungkin lah! Dia tuh adik kelas kali!” Lanjutnya.

“Yee, nggak tau. Namanya juga karung, kabar burung. Lo gak tau tadi pas lo nyapa Ara ada berapa pasang mata yang merhatiin gelagat lo?” Tanya Rendi.

“Kagak.” Jawabnya polos.

“Wah, kalo udah gini gawat nih, Hus.” Sambung Zaki.

“Gawat apaan?” Husein terlihat panik.

“Ya, liat aja.”

Benar saja. Sejak beredar kabar nggak enak itu. Ara terlihat menjauhi Husein. Tidak pernah lagi sms Husein dibalas secara layak. Tidak pernah pula terdengar sapaan atau salam darinya ketika mereka bertemu. Kalaupun Husein yang

Page 104: Gadis Berkacamata

103

menyapa duluan, hanya dibalas oleh kilatan senyum maksa yang tersungging di bibir Ara.

Husein sedang duduk santai di barisan depan ketika rapat sedang berlangsung. Tidak ada raut wajah bingung yang ditunjukkkan oleh Husein. Ia memang tidak memikirkan perubahaan sikap dari Ara. Ia berpikir ia tidak ada niatan sama sekali untuk mendekati Ara, so, gue gak salah kenapa harus takut? Gue cuma pengen jaga temenan aja ama dia, makanya gue gak pengen gosip kayak gitu ngerusak silaturahim gue ama dia, pikirnya santai.

Rapat singkat tersebut hanya berlangsung selama 2 jam. Selesai rapat, seluruh anggota Rohis kelas 2, termasuk Ara, diperbolehkan pulang. Tapi tidak untuk kelas tiga, Husein dan kawan-kawan masih berada di ruang rapat untuk membahas suatu hal.

“Astaghfirullah! Kalian gila apa!” Ternyata yang dibahas selanjutnya adalah tindak lanjut dari kabar burung yang beredar antara Husein dan Ara. Mereka hendak meluruskan semua itu dengan bicara langsung dengan Husein, tapi yang terjadi Husein justru merasa dipojokkan.

“Ya sudahlah, Sein. Kita semua juga gak enak denger gosip itu. Kamu tuh sebagai ketua

Page 105: Gadis Berkacamata

104

bisa-bisanya digosipin gitu sama adik kelas. Kamu malu dong! Kamu juga mestinya tau dan merubah itu, Sein!” Kata Isni, sang ketua Keputrian, dengan nada tinggi.

“Apa! Apa yang mesti aku rubah? Semua biasa aja kok. Aku sama dia cuma sebagai kakak dan adik kelas. Kedekatanku sama dia yang cuma sebatas itu, gak lebih dan gak kurang!” Sebuah pengadilan berkedok rapat yang seharusnya berlangsung damai berubah tegang saat kedua petinggi berhadapan.

Teman-teman Isni dan Husein berusaha saling melerai. Tapi sayang mereka tidak bisa melerai ucapan yang keluar dari lisan kedua insan tersebut.

Husein melepaskan pegangan teman-temannya yang berusaha melerainya.

“Aku deket ama Diah, Ika, Ani, dan semua cewek temen sekelasku adem ayem aja! Kenapa aku deket sama adik kelas aja pada ribut sih! Emang organisasi kita ini kerjaannnya ngegosip apa!?” Sebuah pernyataan yang kontan mengheningkan semua peserta rapat. Isni pun yang dari tadi emosi memasang wajah tidak percaya atas apa yang didengarnya itu.

Page 106: Gadis Berkacamata

105

Husein yang sudah terbakar emosi berjalan menuju pintu, dia pun membuka pintu.

“Oke kalo kalian emang mau perubahan! Lihat saja!” Katanya dari mulut pintu.

BRAKK! Husein membanting pintu dan meninggalkan kelas tempat diadakannya rapat.

Isni masih tercengang, matanya sembab oleh air mata. Ya, walau di depan Husein ia terlihat kuat namun ia tetaplah wanita yang memiliki perasaan yang dapat sakit setelah dibentak.

“Kamu juga sih, mah. Cara kamu tuh salah. Seharusnya kita bilanginnya itu dengan cara ala remaja, bukannya ala ustadz, gak singkron. Kamu malah buat dia merasa dipojokkin.” Tegur Halim kepada Isnis yang menyembunyikan wajah sembabnya dalam pelukan Nurul.

Husein menepati janjinya. Semenjak rapat itu tidak terdengar lagi kabar burung Husein yang coba mendekati Ara. Sejak itu juga Husein dan Ara tidak pernah lagi bertegur sapa, atau saling berkomunikasi. Keakraban mereka menguap ditelan udara, begitu pula dengan silaturahim mereka.

Page 107: Gadis Berkacamata

106

Page 108: Gadis Berkacamata

107

Sebuah Penantian

Sudahlah, Mitha, kamu sudah cantik, kataku pada diriku sendiri ketika menatap refleksi diriku pada sebuah cermin. Berkali-kali aku mengganti jilbab agar matching dengan pakaianku. Benar-benar membingungkan, aku ingin memberikannya kejutan hari ini.

“Aduh, aduh. Dari tadi masih di depan cermin aja? Kamu ngapain sih, Mit? Sibuk bener kayaknya?” Tegur Kak Tias dari balik dapur sambil

Page 109: Gadis Berkacamata

108

membawa sepiring omelet buatannya. Aku dan Kak Tias tinggal satu kamar kost.

“Mau ada tamu dari jauh, Kak.” Jawabku sambil membetulkan posisi jilbabku yang bergeser. Aku menghampirinya.

“Oh, Hakim sahabatmu itu? Memang dia mau pulang hari ini?” Pagi ini Kak Tias menghias meja makan dengan masakan-masakan bertema telur. Ia memang jago dalam hal memasak.

“Iya, kemarin aku udah terima surat dari dia. Dia telah menyelesaikan studinya dan hari ini mau pulang katanya, Kak.”

“Alhamdulillah. Hebat bener ya Hakim itu, sudah ikhwan, cum laude, ngelanjutin studi ke Jerman pula. Gak salah selama ini kamu tunggu-tunggu dia. Cocok dah. Hehehe.” Canda Kak Tias.

Hakim, ya, ia adalah pemuda yang telah mendorong hatiku hingga terjatuh, mengambil penawar racunku tanpa permisi, merubah hitam menjadi putih, membutakanku dari melihat pemuda lain.

Sifatnya yang tenang dan mengalir seperti air benar-benar membuatku terhanyut. Menghanyutkanku ke taman penuh buah dan bunga, membuatku hanyut dalam pesonanya yang tersembuyi. Meninggalnya Ria beberapa tahun lalu

Page 110: Gadis Berkacamata

109

seolah berkah untukku karena hal itu yang membuatku dapat mengenal Hakim lebih jauh.

“Jangan terlalu berharap, nanti kamu kecewa sendiri loh. Sambutlah ia layaknya seorang sahabat.” Kata-kata Kak Tias sedikit menguncupkan mulutku yang sejak tadi seyum-senyum sendiri.

Kak Tias benar, sampai saat ini aku belum menerima respon apapun dari Hakim sebagai tanda pambalasan atas perasaanku ini padanya. Ia sepertinya benar-benar hanya menganggapku sahabat dan tidak lebih. Tapi aku tidak peduli, lambat laun toh nanti Hakim bisa saja suka kepadaku.

Aku tahu ia menyukai gadis berjilbab, hal itu pula yang membuatku memutuskan untuk mengenakannya tepat sehari setelah kepergiannya ke Jerman. Dan sekarang, aku hendak memberikan kejutan kepada Hakim, yaitu penampilan baruku ini.

“Ayo makan dulu Mitha.” Suruh Kak Tias. “Iya, Kak.”

Selesai makan, aku duduk di ruang tamu. Sesekali aku melirik ke jendela, menunggu kedatangannya. Kuraih sebuah buku kecil bersampul hati yang terbaring di atas meja. Buku itu mengingatkanku akan pembicaraan singkat di

Page 111: Gadis Berkacamata

110

bawah pohon mangga yang berdiri kokoh di pekarangan rumah kos ini.

---OOO---

Wajahnya menyiratkan kebahagiaan. Matanya menatap penuh harapan. Menggenggam selembar kertas yang menentukan masa depannya. Ia memandangku dengan lembut. Senyumnya melebar seperti badut. Tangannya menggenggam kopor yang sangat besar.

“Hakim, selamat ya!” Aku ikut senang mendengar kelulusan Hakim. Aku hampir saja reflek memeluknya sebelum ia menghindar. “Makasih ya Mit! Eit, kita belum muhrim tau!” Katanya. Aku hanya tersipu malu, aku lupa dengan siapa aku berhadapan.

“Akhirnya jadi juga lo ke Jerman, Kim.” Ujarku sambil mengikat rambut panjangku. Saat itu aku belum seperti sekarang, cara berpakaianku masih layaknya gadis remaja pada umumnya. Tapi sedikit demi sedikit Hakim mulai coba memasuki pikiranku, ia mencoba memberitahuku agar tidak lagi memakai pakaian “U KNOW LAH” , ia ingin aku barpakaian lebih baik dan menutup aurat.

Page 112: Gadis Berkacamata

111

Tapi emang dasar akunya yang bandel, membuat hidayah harus berkali-kali menunda kedatangannya.

“Iya, setelah sekian lama gue cuma bisa cerita sama lo berupa impian dan angan-angan. Kini gue bakal ke sana beneran.”

“Yah, berarti gue gak bisa ketemu lo lagi dong?”

“Tenang aja. Setelah gue selesai di sana, gue langsung balik kok ke Indonesia. Dan orang pertama yang gue kunjungin adalah lo, sebagai best freind gue.” Hiburnya.

“Bener ya? Gue tunggu loh! Bawa oleh-oleh ya!” Candaku. Kulihat Hakim tengah mengambil sesuatu dari kopornya.

“Nih.” Hakim menyerahkan sebuah buku kecil kepadaku. Tidak terlalu kecil memang, tapi tidak juga besar untuk ukuran sebuah buku. “Buat lo nulis kegiatan lo sehari-hari. Jadi kalo gue pulang nanti, lo punya banyak cerita dari buku ini yang harus lo ceritain ke gue.” Hakim tersenyum saat aku meraih buku itu dari tangannya.

“Bener nih buat gue?” Hakim hanya mengangguk.

Page 113: Gadis Berkacamata

112

Tidak lama setelah itu, Hakim berangkat menuju impiannya. Sudah lama Hakim becerita kepadaku tentang keinginannya menginjakkan kaki di negeri Panser itu, dan akhirnya ia berhasil meraih mimpinya itu.

Aku hanya bisa merelakan ia pergi. Setelah sebelumnya aku ditinggal Raya ke Swiss, kini giliran Hakim yang meninggalkanku.

Berselang tiga tahun, sebuah surat mendarat ke kamarku. Surat dari Hakim! Aku melompat. Isinya tentang kepulangannya akhir pekan nanti, tidak lupa juga ia menulis sesuatu tentang adanya kejutan yang akan dibawanya dari Jerman.

Hari ini adalah hari yang disebutkan. Sejak pagi aku telah bersiap menyambut kedatangan sahabat spesialku itu.

“Assalamualaikum.” Salam seseorang di depan pintu sambil mengetuk pintu beberapa kali. Aku dengan cekatan membuka pintu. “Maaf, benar di sini alamatnya Rahmi Tanjung Haningrum?” Tanya orang itu. Badannya tinggi besar, dengan pakaian formal dan kopor yang dibawanya, ia terlihat mirip penjual barang keliling.

“Iya benar, dengan saya sendiri. Ada apa ya?” Tanyaku heran.

Page 114: Gadis Berkacamata

113

“Subhanallah, Mitha! Ini lo!? Ini gue Hakim!”

“Hakim!? Ya Allah, beda banget lo!” Aku melongo. Hakim yang dulu berkacamata dan tampil sangat layaknya ustadz, kini berubah wujud menjadi seorang pemuda dengan penampilan catchy mirip...salesman? Ah kalo Hakim mah mirip eksekutif muda, pikirku.

“Apa kabar, Mitha? Lama gak ketemu. Subhanallah lo udah berubah banget ya sekarang. Lebih baik, jauh lebih baik.” Puji Hakim saat melihat penampilanku. Aku hanya tersipu malu dan menunduk. “Alhamdulillah tiga tahun ini banyak yang terjadi. Hehehe. Oh iya, katanya mau bawa kejutan ya? Mana?”

“Oh iya!” Hakim menepuk keningnya. “Tebak gue di sana ketemu siapa?”

“Hah?” Aku melongo. Bingung.

“Assalamualaikum, Mitha!” Sesosok kepala melongo dari balik pintu. “Raya!?” Aku memekik girang.

Aku dan Raya saling berpelukan. Melepaskan semua rindu yang telah terpendam dalam hati. Semua terasa sangat indah ketika dua orang sahabat baikku berdiri tepat di hadapanku. “Ih, kamu cantik banget sih kalo pake jilbab,

Page 115: Gadis Berkacamata

114

Mitha.” Raya menyorot wajahku dalam-dalam, seolah aku baru saja operasi plastik.

“Kalian ke sini bareng naik mobil?” Tanyaku heran sambil melihat sebuah mobil sedan hitam di depan pekarangan. Aku heran karena biasanya Hakim selalu menolak berduaan dengan seseorang yang bukan muhrimnya, apalagi sampai satu mobil. “Wah, Hakim berubah ya.” Sindirku.

“Hahaha. Berubah apa sih? Gue semobil sama Raya, gitu? Hahaha. Gak apa-apa lagi, kami udah menikah kok.” Hakim tertawa sambil merangkul bahu Raya. Raya tertunduk, ia sebenarnya tahu aku sudah menyukai Hakim sejak SMA.

“Hah!?” Aku terperanjat. Kata-kata itu seolah petir yang menyambar di siang hari bolong, membuat hatiku gemetar karena sengatannya yang dahsyat. Sebuah tawa renyah yang tidak lain adalah sembilu yang baru saja menghujamku, meremukkan tulang igaku menjadi debu.

“Iya, maksudnya kejutan dari Hakim tuh ini. Ia pengen kamu, sebagai sahabat terbaik kami, menjadi orang pertama di Indonesia yang tahu berita bahagia ini.” Lanjut Raya.

“Kalian ketemu dimana?” Tanyaku. Semua keindahan yang terjadi begitu singkat, semua

Page 116: Gadis Berkacamata

115

lenyap tertelan seketika seperti bintang yang terhisap blackhole, hilang tanpa jejak.

“Kami ketemu pas lagi pertemuan pelajar antarbenua di Berlin.” Jawab Hakim. Mata mereka menyorotkan perasaan bahagia. Rasa bahagia yang seharusnya kurasakan dengan kepulangan Hakim.

Kalau saja kamu tahu perasaanku, Hakim, tentu sorot matamu tidak akan seperti itu. Aku ingin sekali menangis, tapi tidak di depan mereka. Aku akan bertahan sekuat mungkin, mencoba memakai topeng senyum seketat mungkin. Tidak ingin kuhancurkan kehidupan mereka, sebagaimana mereka telah menghancurkan harapanku, menghancurkan sebuah penantian panjang yang kini berakhir hampa.

Page 117: Gadis Berkacamata

116

Page 118: Gadis Berkacamata

117

Kelam

Sekolah itu berdiri megah. Tidak peduli kegelapan yang mengepungnya, kilatan cahaya lampu kuning yang menyorot dari atap menimbulkan kesan romantis pada sekolah hijau berbentuk kotak tersebut. Berbagai macam pohon berdiri kokoh layaknya manekin di toko-toko pakaian. Tidak ketinggalan sebuah tiang bendera yang ikut menyemarakkan suasana mematung di depan podium yang berada tepat di depan gedung

Page 119: Gadis Berkacamata

118

tersebut. Sekolah yang berbentuk huruf U kaku jika dilihat dari angkasa ini benar-benar memancarkan pesonanya sendiri di malam hari.

“Yud, bengong aja lo ngeliatin sekolah. Ngeliat apaan sih?” Sebuah tepukan mendarat di bahuku, memang tidak begitu keras, tapi cukup untuk mengejutkanku yang sedang melamun. Zaelani, biasa dipanggil Zae, yang tadi menepukku ikut berdiri di sebelahku sambil bersandar pada jendela masjid sekolah.

“Lo kesambet jejadian apaan, Yud? Sekolah dibilang romantis. Hahaha.” Zae menoleh sambil tertawa ke arahku yang masih melamun. Ya, bagiku sekolah ini lebih angker pada waktu pagi hingga siang hari, saat banyaknya hantu-hantu berseragam dinas yang memberiku kutukan berupa ulangan dan tugas yang mengalir pelan seperti kali Ciliwung, tapi dapat banjir sewaktu-waktu dan memporak-porandakan segala aspek kehidupan di sekitarnya. Dalam hal ini aspek itu tentu saja, aku sendiri.

“Ayo semua tidur! Nanti kalo sudah waktunya Kelam dibangunin!” Komando Kak Manik, ketua ekskul Rohis di sekolahku. Aku dan Zae langsung menjauh dari jendela dan bersiap tidur. Hanya beralaskan tikar dan berbantalkan tas, kami semua – aku, Zae, Amil, Dana, Irwan, Rizky,

Page 120: Gadis Berkacamata

119

Wanto, dan Putro – telentang berjejer seperti ikan sarden yang siap disantap.

Kelam – Keliling Malam – adalah salah satu dari rangkaian acara mabit yang biasa diadakan Rohis, dan ini pertama kalinya kami ikut serta dalam acara ini.

“Pada kemana yang lain?” Tanyaku heran saat aku dibangunkan dan mendapati teman-temanku menghilang semua. Mataku menyisir seisi masjid sekolah yang bangunannya hanya berjarak beberapa meter dari gedung sekolah.

Aku dibimbing Kak Hasbih menuju ke gedung sekolah. Aku terkejut saat sekolah berpenampilan indah yang kulihat sebelum tidur tadi bertransformasi menjadi rumah hantu Amatyville.

“Kamu jalan dari sini ke sana, cari pos-pos yang di sepanjang jalan. Tiap pos ada pertanyaan dari penjaga posnya.” Kak Manik menunjuk ke arah kelas yang berada tepat di atas tempatku sekarang, tapi di lantai tiga, dan di sisi gedung yang lain.

Setelah Kak Manik memberi beberapa instruksi, dan peringatan tentunya, aku mulai berjalan dari tempat Kak Manik menuju kelas yang

Page 121: Gadis Berkacamata

120

ditunjuk. Sialnya, meski kelas itu terlihat dekat, tapi aku harus berputar ke pos-pos itu dulu.

Aku melangkah naik ke tangga pojok tidak jauh dari tempatku tadi. Angin semilir merasuk badanku yang kurus hingga ke tulang. Suasana amat sepi. Kulewati beberapa ruangan di lantai dua dan tidak mendapati hawa kehidupan apapun.

Suasana mulai ramai, sayangnya mulai ramai dengan suara-suara yang tidak berkenan. Mulai dari lolongan serigala, anjing yang meraung-raung, dan yang paling gres, suara yang memanggilku dari dalam Laboratorium Kimia.

Yudha...Yudha... Aku menoleh perlahan. Sebuah tangan

memegang kakiku dari balik meja kayu yang tergeletak di depan Lab. Kimia yang tidak jauh dari tangga tadi. Tangan putih itu terasa begitu dingin.

Dalam kepanikan tingkat tinggi, aku berusaha melepas pegangan itu. Tapi tangan itu semakin kuat, dan kuat. Dengan perasaan panik dan sedikit iseng, kuinjek tangan misterius itu dengan kakiku yang satu lagi. Berhasil! Aku langsung ngacir meninggalkan tempat itu.

Sambil terengah-engah dalam gerakan ruku’, aku mengambil nafas dalam-dalam, tepat di

Page 122: Gadis Berkacamata

121

depan Lab. Bahasa Inggris yang hanya berjarak enam ruangan dari Lab. Kimia tadi. Wajahku tersenyum saat teringat pekikan “aww” yang terdengar dari balik meja tadi.

Mana posnya? Tanyaku dalam hati.

Dari kejauhan aku bisa melihat ada bayangan seseorang yang duduk di pojok lantai dua, hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku menghampirinya.

“Waa!!!” Aku histeris saat melihat ternyata bayangan itu adalah tengkorak yang seharusnya berada di dalam Lab. Biologi. Aku terjerembab ke belakang melihat tengkorak yang sedang duduk bersila sambil menunduk. Bagaimana ia keluar dari lab? Malem-malam kan dikunci? Pikirku panik. Keringat dingin keluar dari seluruh permukaan tubuhku.

Aku hendak berbalik badan meninggalkan makhluk tak bernyawa itu sendiri. Sampai aku kembali menjerit kembali. “Waaa!!!”

Mataku terbelalak melihat seragam sekolah yang berserakan. Berserakan begitu saja di tempat aku baru saja melewatinya, dan tidak ada apa-apa sebelumnya. Pakaian seragam perempuan bernodakan darah itu menutupi jalanku. Aku berlari. Panik.

Page 123: Gadis Berkacamata

122

Aku baru saja menaiki tangga terdekat ke lantai tiga dengan berlari. Jantungku masih berdegup kencang beradu cepat dengan denyut nadiku.

Dalam keadaan terengah-engah, aku menoleh ke arah ruang matematika di pojok lantai tiga.

Senyuman itu benar-benar membuat bulu romaku berdiri. Senyuman yang terukir di bibir mungil seorang gadis berpakaian seragam lengkap di depan ruang matematika. Ia melihat ke arahku. Gadis yang tengah berdiri di atas tembok pembatas serambi setinggi pinggang itu menampakkan wajah sedih. Air mata tampak menggelembung di pelupuk matanya.

Aku hanya terdiam saat gadis berambut lurus sebahu itu menjatuhkan dirinya dari atas tembok itu, dari lantai tiga ini. Aku terperangah dengan tatapan wajah tak percaya. Mulutku menganga selebar Danau Toba.

Siapa gadis itu? Anak mana? Roknya pendek, padahal peraturan sekarang rok harus panjang? Apakah dia alumni? Alumni dunia ini maksudnya? Beribu pertanyaan aneh mengerubungi pikiranku seperti lebah.

Page 124: Gadis Berkacamata

123

Ruang matematika menghembuskan aura yang tidak mengenakkan. Aku mencoba menghilangkan bayangan gadis itu dan berbalik menuju tujuan semula, sampai...

“Waaaaaa!!!!”

Ini jeritanku yang kesekian kalinya dan mungkin yang terkeras. Sesosok makhluk putih yang muncul tiba-tiba di hadapanku, lebih tepatnya berhadapan face to face, ketika aku menoleh.

Sosok putih dengan tangan dan kaki yang terikat, serta wajah yang sudah tidak beraturan dengan mata yang hampir keluar, hidung yang terlihat rata, dan wajah berpoleskan darah membuatku berharap pingsan saat itu juga. Sialnya, aku terlalu kuat untuk pingsan.

Tubuhku gemetar beberapa skala Ritcher. Gigiku gemeretak. Aku melangkah mundur beberapa langkah, dia maju beberapa lompatan. Jantungku serasa bertukar tempat dengan paru-paruku. Sesak.

Dari lubuk hati yang terdalam, aku menghitung mundur. Pada hitungan ketiga, aku berlari secepat merpati pos, menjauh dari makhluk yang sama sekali gak ada cakep-cakepnya itu.

Aku berlari melewati semua ruangan kelas di lorong itu. Semua pintu kelasnya terbuka. Dari

Page 125: Gadis Berkacamata

124

dalam tiap kelas, muncul sosok yang sama yang berwajah sama jeleknya dengan makhluk tadi. Aku bersyukur dalam hati masih ada yang lebih jelek dariku, tapi rasa takut tetap tidak ngungsi dari diriku.

Mereka semua keluar bersamaan dari ruang Kimia yang terdekat denganku sampai ruang bahasa Inggris di ujung sana.

Lariku semakin cepat dan cepat, tidak peduli asam laktat yang menggunung di lututku.

Di kejauhan aku melihat sebuah cahaya putih kebiruan. Mataku memicing untuk memperjelas apa itu. Ternyata itu dia, gadis yang tadi menjatuhkan diri. Dia berdiri, lebih tepatnya melayang, di depan ruang fisika. Kalo kayak dia mah gak apa-apa, pikirku sambil terus berlari.

Gadis itu tersenyum padaku.

Aku malas melihat mereka-mereka yang asyik lompat-lompat di sampingku, mendekatiku. Sambil berlari yang kulihat hanyalah makhluk halus di seberang sana.

BRUK!

Aku tersandung sebuah pot yang ada di dekat tembok pembatas serambi. Aku terhempas hingga kepalaku membentur lantai dan...pingsan.

Page 126: Gadis Berkacamata

125

---OOO---

“Yud, bangun! Yud, bangun! Yud! Yee, orang lagi Kelam lo malah molor di sini. Bangun woi!” Mataku membuka samar-samar. Sekelilingku buram.

Samar-samar kulihat wajah Zae dan Amil. Wajah mereka sih memang buram, pikirku bercanda.

Mereka menyandarkanku di tembok, entah tembok dimana. Dunia serasa tawaf dalam kepalaku. “Duh gue dimana nih?”

“Lo di lantai tiga, Yud. Lo dodol dah orang lagi pada Kelam lo malah tiduran di sini.” Zae berkoar. Aku hanya menatap ke ruangan di belakang Zae.

“Iya, Yud. Katanya lo tadi lari terus kepleset. Pingsan deh.” Amil menambahkan. “Ohh...Makasih ya.” Sambungku lirih.

Aku memandang jauh ke belakang Zae, tepatnya ke ruang matematika.

Cuma mimpi toh, pikirku.

Page 127: Gadis Berkacamata

126

Senyumanku merekah bagai bunga di tepi sungai. Wajahku berseri-seri. Amil dan Zae hanya bengong menatapku. Saat mereka berdua ikut menoleh ke ruang matematika, gadis itu telah menghilang.

Page 128: Gadis Berkacamata

127

Kado Kode 1402

Di pagi yang cerah itu, Wira dan Arfah sedang dalam perjalanan menuju kampusnya. Jarak yang tidak seberapa cukup membuat mereka harus ke kampus dengan berjalan kaki. Wira yang dari tadi terlihat cengar-cengir sendiri membuat Arfah terheran-heran.

“Oi, Wir, kenapa lo dari tadi senyam-senyum sendiri?” Tanya Arfah penasaran. “Ini nih!” Wira dengan wajah bangga memperlihatkan sebuah

Page 129: Gadis Berkacamata

128

kado kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna merah jambu, diikat dengan pita merah dan dari kertas kecil yang tertempel di sana, jelas sekali kado itu ditujukan untuk Wira.

Arfah mengerutkan dahinya, “Hah? Kado dari siapa tuh? Pantes seneng banget!”

“Dari Meily, dong, Bung! Hahaha. Tadi sebelum gue nyamper ke rumah lo, gue ketemu Meily di jalan. Oya, lo udah hadiah dari siapa, Fah?” lanjutnya tiba-tiba.

“Apaan deh? Buat apaan coba? Hari ini kan bukan ulang tahun gue.” Cetus Arfah. Dia sedikit banyak mengetahui arah pembicaraan Wira. Pasti dia mau pamer lagi, gerutunya.

“Lah, kan hari ini valentine! Lo gimana deh?” Wira bergidik. “Haduh, sabar ya. Gue aja udah dapet 3 nih ngomong-ngomong. Hahaha.” Wira tertawa bangga. Fisikli, Wira memang tergolong rupawan di kampusnya, tubuh yang tinggi dan statusnya sebagai pemain futsal di kampus jelas membuatnya menjadi incaran banyak gadis di kampusnya.

“Gaya lo! Sori gue gak ikut yang kayak begitu. Ayo dah udah mau masuk nih!” Arfah tiba-tiba berlari. Wira yang kaget langsung menyusul

Page 130: Gadis Berkacamata

129

dengan tergopoh-gopoh. “Cie ngambek nih! Tunggu napa!”

Bagi Arfah, valentine tidak pernah ada, atau tepatnya sudah tidak ada dalam kamus kehidupannya. Kebudayaan barat yang diperingati setiap tanggal 14 Februari tersebut menurutnya hanya sebuah kebudayaan aneh yang diserap mentah-mentah remaja Indonesia.

Pandangannya tersebut sebenarnya baru terbentuk beberapa tahun belakangan. Ketika itu ia putus dengan kekasihnya di masa sekolah yang terjadi tepat di tanggal tersebut. Tanggal kelam yang justru dirayakan gembira oleh teman-temannya. Selain itu, semakin aktifnya ia di keanggotaan remaja muslim kampus memperkuat opininya tersebut.

“Apaan nih?” Arfah agak terkejut ketika ia menemukan sebuah kado berbentuk kotak yang ada di bangkunya. ‘Untuk Arfah Rasyidin’, begitu kalimat yang tertera di kertas yang menempel di kado berlapiskan kertas kuning tersebut. Kuning? Sebuah warna yang janggal untuk sebuah kado yang diberikan di hari valentine.

Arfah celingak celinguk mencari siapa pengirimnya, namun banyaknya orang yang sudah hadir di kelas membuatnya ragu untuk

Page 131: Gadis Berkacamata

130

berspekulasi. Pemuda berkacamata dan berambut kriting tersebut tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya di antara berpasang-pasang mata di kelas tersebut.

“Gaya lo sok gak mau merayakan! Dapet kado diterima juga kan? Huuu…dasar muna lo, Fah! Hahaha.” Sembur Wira saat Arfah menceritakan apa yang terjadi. Mereka tengah berbincang di kursi panjang di lorong belakang kampus, tempat strategis yang ujungnya berakhir di kantin.

“Siapa bilang gue terima sih?” bantah Arfah. “Gue cuma gak mau yang ngasih ni kado sakit hati kalo langsung gue tinggal gitu aja di kelas.”

“Lah! Lah! Pede banget lo kalo ini dari temen kelas lo? Kelas lo tuh tempat umum yang bisa dimasukin siapa aja kali, Fah!” tandas Wira. Arfah hanya memasang wajah ‘oh iya ya’. “Dah buka aja kadonya!” Lanjut Wira.

SREK!

Seperti dugaan mereka semula, isinya tentu coklat, namanya juga hari valentine. Coklat tersebut unik, kotak pembungkusnya berbentuk balok, namun coklat itu sendiri berbentuk seperti tabung. Polos. Hanya ada sebuah hiasan kecil

Page 132: Gadis Berkacamata

131

bertuliskan Arfah dan sebuah gambar dua wajah sejoli yang terukir di sana.

“Nih buat lo aja! Kan gue udah bilang gue gak ikut-ikut valenten-valentenan” ujar Arfah sambil menyodorkan coklat tersebut pada Wira. “Eh sumpe lo!? Beneran nih? Kebeneran gue laper nih! Asyik!” Tanpa pikir panjang Wira langsung mengambil coklat tersebut. “Dapet hadiah valenten dari sohib gue juga! Hahaha!”

“Idih! Gue masih normal kali! Sial! Hahaha.” Arfah menepuk pundak Wira seraya berdiri. “Gue cabut dulu ya! Mau selonjor di kost.”

“Gak kuliah lo?” Tanya Wira sambil mengunyah coklat gratisannya. “Udah abis. Hari ini cuma satu matkul doang. Udah ye! Abisin dah tuh!” katanya sambil ngeloyor pergi. “Sip dah, Bos!”

Wira masih melanjutkan acara makannya, sampai ia tidak sadar seseorang mendekatinya. “Eh, Wira. Makan melulu.” Tanya seorang gadis berkemeja hijau kotak-kotak dan bercelana pensil. Wira melongo, sekilas ia tidak mengenali gadis tersebut. ‘Eh, ini lo, Sya? Gila gak ngenalin gue, sumpah! Tumben cakep! Hahaha.”

Si objek hanya tersipu malu. “Becanda aja deh lo! Ya, dong. Gue kan harus menyesuaikan, gue gak mau dibilang kutu buku lagi.” Ujarnya sambil

Page 133: Gadis Berkacamata

132

membetulkan kacamatanya yang bergeser. “Dapet darimana tuh coklat?” lanjutnya.

“Oh, ini dari Arfah.” Jawabnya singkat sambil terus mengunyah. “Dia katanya gak mau. Dia sering ngomong gak bakal mau ikutan valentenan baik sebagai objek atau pun subjek.” Lanjutnya.

BRAK!

Semua buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Wira hanya menoleh. Wajahnya menyiratkan sebuah kebingungan. “Kenapa lo? Pusing?”

Gadis tersebut mengambil lagi buku-bukunya. Tanpa dirasa ujung matanya mulai gerimis. Ia menangis. “Hei, hei, kenapa lo?” Wira mulai panik. Ia mendekati mahasiswi berambut pendek tersebut. “Gue gak apa-apa.” Gadis itu pun langsung berlari meninggalkan Wira. Isakan kecil terdengar jelas oleh Wira yang hanya garuk-garuk kepala. Gue salah ngomong apa ya, pikirnya bingung.

---OOO---

Keesokan harinya, Arfah mendapat kejutan lagi. Lagi-lagi sebuah kado, namun kali ini hanya

Page 134: Gadis Berkacamata

133

berbungkus koran. Apa lagi sih ini, pikirnya agak kesal. Empat belas nol dua. Itu angka yang tertera di bungkus luar kado tersebut. Angka yang ditulis besar-besar dengan spidol merah.

“What!!!” Arfah reflek melempar isi kado tersebut setelah membukanya. Jantungnya hampir saja copot dibuatnya. Nafasnya tersengal. Teman sekelasnya hanya diam dan ikut bergidik ngeri melihat sesuatu yang keluar dari dalam kado tersebut. Mahasiswi di kelas pun menjerit. Orang dari luar kelas tertarik melihat ke dalam karena penasaran apa yang terjadi.

Di saat sebuah kepanikan melanda kelas tersebut karena lepasnya seekor makhluk melata tanpa kaki di kelas tersebut, siluet senyum mengerikan terlihat dari belakang kelas. Pojok kelas. Tempat di mana seorang gadis cantik berambut pendek duduk dengan manis sambil sesekali membetulkan kacamatanya yang bergeser.

Page 135: Gadis Berkacamata

134

Page 136: Gadis Berkacamata

135

Di Balik Kesendirian

Aku berlutut memandang sebuah batu yang telah usang. Air mataku mengalir tak tertahankan. Ditebarnya seuntai mawar dan melati tanpa tangkai begitu saja tanpa mempedulikan semut-semut yang mungkin tertimpa bunga-bunga tersebut.

Aku beranjak meninggalkan tempat itu, tempat dimana semua manusia pasti mendatanginya, baik hidup atau mati. Sebuah

Page 137: Gadis Berkacamata

136

tempat dimana sahabat dan kedua orang tuaku kini terbaring tak bernyawa lagi. Kembali ke tanah, sebagaimana mereka datang dari tanah. Ya, aku baru saja mendatangi makam Ria dan kedua orang tuaku.

Aku selamat dari kecelakaan kereta api mengerikan ketika aku hendak pergi ke Surabaya. Kini aku telah kembali dari koma panjang selama tiga bulan, namun kembalinya aku ke dunia harus dibayar dengan perginya tiga orang terdekatku dari dunia, Ria dan kedua orang tuaku.

Ria meninggal karena kecelakaan mobil yang ia alami sepulang menjengukku yang tengah koma, begitupun kedua orang tuaku, mereka turut meninggal dalam kecelakaan yang sama dengan Ria karena mereka satu mobil.

Aku yang tengah koma tidak menyadari bahwa selama itu aku tidak ditemani satu orang pun, tidak ada ibu yang senantiasa menemaniku siang dan malam, ayahku, serta sahabat yang selalu memberiku semangat.

Kini aku sebatang kara, kedua orang tuaku adalah anak tunggal sehingga aku tidak punya sanak saudara, kakek dan nenek dari kedua orang tuaku telah lama meninggal. Letak rumahku pun terpencil, jauh dari kehidupan ramai.

Page 138: Gadis Berkacamata

137

Kutatap rumah bercat hijau itu dengan tatapan kosong. Rumah itu amat sepi, seolah tidak pernah dihuni sebelumnya. Kumasuki rumah itu perlahan.

“Assalamu’alaikum.” Aku memberi salam, berharap ada jawaban dari dalam. Sepi, tidak ada jawaban.

Kubanting tubuhku di sebuah sofa besar depan TV. Di sofa itu biasanya kami berkumpul sambil menonton TV, bercengkerama, dan lain-lain. Karena sofa itu pula aku pertama kali bertemu Ria, dimana aku sempat menyerempetnya dengan sepeda sewaktu hendak membayar tagihan sofa.

Malam pun datang dengan tidak terasa. Aku saat itu tengah membuat makan malam sendiri.

Tok. Tok. Tok

“Siapa itu?” Aku berteriak saat mendengar pintu depan rumahku diketuk-ketuk.

Ku tinggal adonan yang sedang kubuat. Sambil mengelap kedua tanganku, kuhampiri seseorang yang ada di depan pintu.

“Lha? Gak ada orang?” Aku tertegun heran melihat sepinya lingkungan rumahku. Aku melihat sekeliling, hanya ada kebun pisang dan jalan setapak yang hanya cukup untuk satu mobil.

Page 139: Gadis Berkacamata

138

Melihat lingkungan rumahku, tidak mungkin ada yang datang tanpa niat sebelumnya.

Aku masuk kembali ke dalam rumah.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan itu terdengar lagi. Aku berlari menghampiri pintu, berharap dapat menangkap basah pelakunya.

Kosong.

Kudapati suasana yang sama dengan sebelumnya. Sepi. Sunyi. Hanya suara jangkrik dan dan lolongan serigala yang menghiasi malam itu.

“Siapa dah ngerjain!?” Ujarku kesal seraya menghibur diri.

Aku masuk lagi ke dalam rumah. Kali ini idak terdengar lagi suara ketukan itu. Rumah yang lumayan besar ini terlalu besar untuk ditempati sendiri, namun aku mau bagaimana lagi, hanya aku penghuni rumah yang tersisa di dunia.

Beberapa bumbu telah kumasukkan, daging dan sosis telah kucampurkan. Kini aku siap untuk memasukkan adonan pizza itu ke dalam oven. Aku memang sedikit bisa memasak, tidak heran dalam ulangan praktek wirausaha di sekolah aku mendapat omset tertinggi karena aku menjual

Page 140: Gadis Berkacamata

139

makanan buatanku sendiri, sehingga modal tidak terlalu banyak.

Sekolah. Ya, aku hampir melupakannya. Besok aku harus kembali ke sekolah, tapi aku tidak tahu bagaimana kehidupan di sekolah nanti. Koma panjang cukup membuat kelulusanku tertunda, sehingga aku harus sekolah lagi di kelas tiga. Teman-teman sekelasku tentu sudah lulus semua. Aku benar-benar kehilangan kontak dengan mereka karena aku tidak memiliki handphone lagi.

Yap! Tinggal menunggu matang, pikirku senang.

Tok. Tok. Tok.

Suara itu lagi. Kini aku coba mendiamkannya.

Jdar! Jdar! Jdar!

Semakin lama aku membiarkannya suara ketukan tadi berubah menjadi gedoran. “Iya! Tunggu!” Sambil memasang wajah yang merah padam aku hampiri lagi pintu depan.

“Aaaaa!!!” Aku terkejut bukan main.

“Bagaimana bisa!?”

Suara gedoran itu menghilang sebelum aku membuka pintu. Langkahku terhenti melihat sosok

Page 141: Gadis Berkacamata

140

mungil yang berdiri di atas meja ruang tamuku. Aku kenal, ya, aku sangat mengenalnya.

Kupungut kado mungil itu dengan perasaan takut. Kubuka kotak kado yang dulu kuberikan pada Ria. Isinya sebuah buku diary kosong dengan noda merah di tiga halaman terdepannya.

“Apa sih maksudnya!?” Aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa kotak kado yang kuberikan pada Ria dulu tiba-tiba ada di rumahku.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan itu kini terdengar lagi, tapi bukan hanya dari pintu depan. Jendela, pintu belakang, seluruh rumahku! Siapa sebenarnya itu!?

Aku berlari seraya melempar kotak itu begitu saja. Aku mencari tempat sembunyi.

Tok. Tok. Tok.

Drak! Drak! Drak!

Jendela pun berderak-derak seolah ingin melepaskan diri dari bingkainya.

Suara itu terus tedengar semakin riuh. Aku semakin takut, kuputuskan membatalkan makan malam dan langsung berlari ke lantai dua menuju kamar tidurku. Aku sembunyi dibalik selimut sambil merinding dan menutup telingaku untuk menghindari bunyi kacau tersebut. Ayah, ibu, aku

Page 142: Gadis Berkacamata

141

harap kalian di sini, pikirku sampai tidak sadar aku tertidur.

“Waaa!” Aku terbangun. Tidak terasa hari sudah pagi.

“Wah, harus bergegas sekolah nih!” Kataku sambil beranjak seolah tidak ada apapun tadi malam.

Aku berlari turun ke lantai satu, kulihat meja makan yang kosong melompong, dimana biasanya ibu selalu ada di sana sambil menyiapkan sarapan dan ayah membaca koran sambil menyuruhku cepat.

Bayangan itu kembali muncul dibenakku. Apakah aku harus hidup sendiri seperti ini? Selamanaya?

Lariku berubah menjadi langkah lunglai yang meratap kesendirian ini. Ria selalu membangunkanku setiap paginya, baik dengan telepon atau sms. Huaaa...ingin menangis rasanya ketika aku teringat bayangan mereka semua. Mereka yang telah memberiku kenangan indah, mereka yang manyayangiku dan membuat hidupku berwarna.

Sepotong pizza buatanku yang tidak jadi kubuat tadi malam meluncur masuk ke saluran pencernaanku. Segelas teh hangat kuminum untuk

Page 143: Gadis Berkacamata

142

membantu pizza itu menjelajah perutku. Sarapan yang benar-benar sepi, pikirku.

Aku kunci pintu rumah dan bersiap berangkat ke sekolah. Bersiap menuju sekolah dimana aku seharusnya sudah berstatus alumni.

Waktu masih menunjukkan pukul 06.15, aku datang terlalu pagi, sekolah pun masih gelap. Aku berjalan pelan memasuki sekolah dan mencari namaku di daftar pembagian kelas. Dua belas sosial dua, kataku pelan.

Aku melihat sekitar sekolah, tidak ada yang berubah, semua masih sama seperti terakhir kali aku ke sini.

Dua belas sosial dua, sebuah kelas terpencil di pojok lantai dua. Sepi sekali, pikirku.

Kreeettt...

Pintu tua itu menjerit saat kudorong.

Slap!!!

“Happy birthday!!!!” Sebuah kilatan cahaya lampu yang menyala tiba-tiba mengagetkanku. Suasana sepi tadi kabur seketika berubah menjadi suasana ramai.

“Hakim, met ulang tahun ya!!!” Ujar Mitha memberiku selamat.

Page 144: Gadis Berkacamata

143

Aku terbengong melihat semua ini. Mereka, teman-teman sekelasku yang telah lulus memberiku kejutan yang sangat mengejutkan. Aku benar-benar tidak percaya.

“Hei! Bengong, kita gak mungkinlah lupa sama ketua kelas sendiri. Ya kan, guys?” Hanif merangkul pundakku sambil memberiku sebuah minuman.

“Yoi dong!” Jawab yang lain serempak.

Air mataku tak tertahan lagi, aku benar-benar tidak menyangka bahwa mereka masih ingat padaku meski mereka sudah lulus.

“Yahhh...jangan nangis dong, masa cowok nangis sih?” Sambung Nur.

“Gila, gue...bener-bener...gak nyangka. Makasih ya semuanya.” Isakku sambil menahan air mata yang terus mengalir.

“Tenang aja, Kim. Kita semua inget kok sekarang hari ulang tahun lo, gue turut berduka atas yang menimpa orang tua lo dan Ria, karena itu kami sengaja janjian ngumpul buat menghibur lo.” Kata Raya, wakilku kala aku masih menjabat sebagai ketua kelas.

“Eh, eh. Semalem ada yang ketakutan gitu deh. Hahaha.” Hanung tiba-tiba berkoar. Rapanya

Page 145: Gadis Berkacamata

144

yang dari semalam mengetuk-ngetuk dan menggedor-gedor rumahku itu Hanung dan beberapa teman-temanku yang lain.

Sambil tertawa-tawa aku mengejar Hanung dan menjitaknya. Suara tawa memecah pagi yang seharusnya sunyi ini.

Mereka sudah izin kepada pihak sekolah untuk mengadakan acara ini, jadilah mereka memberiku kejutan mengharukan ini. Kini aku tahu bahwa aku tidaklah sendiri, aku masih punya banyak teman yang begitu peduli dan sayang padaku.

“Makasih banyak ya teman-teman semua! Gue gak nyangka banget hari ini bakal jadi hari paling spesial buat gue. Sekali lagi terima kasih!” Ujarku berpidato singkat sambil berdiri di atas bangku.

“Oya! Gue mau tanya deh, sapa yang kasih gue kado malem-malem dah? Kadonya kayak gini?” Lanjutku sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang kutemukan semalam.

Suasana kembali bergemuruh, mereka saling bertanya-tanya satu sama lain. Hanung pun bicara mewakili teman-temn yang lain.

Page 146: Gadis Berkacamata

145

“Gak ada kok, Kim. Gak ada yang ngasih kado itu, apalagi malem-malem. Serem kale!” Katanya.

“Lho!?” Responku terkejut.

Terus, kado ini darimana?

>> Tamat <<

Page 147: Gadis Berkacamata

146

Page 148: Gadis Berkacamata

147

Biografi Penulis

Penulis terlahir pada tanggal 20 Oktober 1992 dengan nama Reza Irwansyah. Ia anak kedua dari pasangan M. Ikhwani dan Ratna Ningsih. Selain itu, ia juga memiliki

adik bernama Firda Nurina dan kakak yang bernama alm. Ina Puspa Andini.

Reza sudah hobi membaca novel dan cerpen sejak SMP, hanya saja ia baru berani mencoba menulis di SMA.

Karyanya seperti Kado Terakhir, Di Balik Kesendirian, dan Sebuah Penantian pernah dimuat dalam Neunzig Magazine. Karyanya yang lain, berjudul Hidayah Mercusuar, mendapat juara 3 kompetisi cerpen nasional di SMAN 70 Jakarta.

Selain cerpen, penulis juga sering membuat puisi. Karya puisinya antara lain, Nisan, Ilusi, Kembali Negeriku, dan Pintu Masa Lalu. Puisi berjudul Kembali Negeriku bahkan terpilih sebagai salah satu dari 100 puisi

Page 149: Gadis Berkacamata

148

terbaik dalam kompetisi “Kado untuk Indonesia”.

Penulis kini masih menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia.

Lulusan SMAN 90 Jakarta ini pernah aktif di berbagai kegiatan, seperti sekretaris Rohis 90 pada tahun 2008-2009 dan redaksi Neunzig Magazine pada tahun yang sama. Di kampus, penulis tercatat sebagai anggota unit marching band Madah Bahana Universitas Indonesia (MBUI), klub teater Biru Merah, dan staff Divisi Media Komunikasi GCUI.

Buat teman-teman yang ingin kirim-kirim pesan, kritik, saran, wesel, kado, atau apapun bisa menghubungi penulis di [email protected] atau bisa juga berkunjung ke rumah mayanya di www.rezairwansyah.co.cc.

Page 150: Gadis Berkacamata