60
*Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris , kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Definisi Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. [1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik , adat istiadat, bahasa , perkakas, pakaian , bangunan , dan karya seni . [1] Bahasa , sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia . Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika , "keselarasan individu dengan alam " d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina . Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Gabungan Kebudayaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gabungan Kebudayaan

*Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Definisi Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Page 2: Gabungan Kebudayaan

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Unsur-Unsur

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

1.Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

o alat-alat teknologio sistem ekonomi

o keluarga

o kekuasaan politik

2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

o sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya

o organisasi ekonomi

o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)

o organisasi kekuatan (politik)

Wujud dan komponen

Wujud Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

Gagasan (Wujud ideal)Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat

Page 3: Gabungan Kebudayaan

diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

Aktivitas (tindakan)Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Artefak (karya)Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

Kebudayaan materialKebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

Kebudayaan nonmaterialKebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan

Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)

Page 4: Gabungan Kebudayaan

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

alat-alat produktif senjata

wadah

alat-alat menyalakan api

makanan

pakaian

tempat berlindung dan perumahan

alat-alat transportasi

Sistem Mata Pencaharian Hidup

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

berburu dan meramu

Page 5: Gabungan Kebudayaan

beternak

bercocok tanam di ladang

menangkap ikan

Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

[Kesenian

Page 6: Gabungan Kebudayaan

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

Sistem Kepercayaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

Agama Samawi

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi atau agama Abrahamik, Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga

Page 7: Gabungan Kebudayaan

perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.

Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa. Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia. Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.

Agama dan Filosofi dari Timur

Agni, dewa api agama HinduArtikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.

Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

Agama Tradisional

Page 8: Gabungan Kebudayaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional

Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

"American Dream"

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations) yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

Pernikahan

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

Sistem Ilmu dan Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

pengetahuan tentang alam pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya

pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia

pengetahuan tentang ruang dan waktu

Page 9: Gabungan Kebudayaan

Perubahan Sosial Budaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat2. keefektifan komunikasi

3. perubahan lingkungan alam. Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

Penetrasi Kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau

Page 10: Gabungan Kebudayaan

Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Penetrasi kekerasan (penetration violante)Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?]. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

Cara Pandang Terhadap Kebudayaan

Kebudayaan Sebagai Peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni,

Page 11: Gabungan Kebudayaan

sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

Kebudayaan sebagai "Sudut Pandang Umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

Page 12: Gabungan Kebudayaan

Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

Kebudayaan Diantara Masyarakat

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

Monokulturalisme : Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

Melting Pot : Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

Multikulturalisme : Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

Kebudayaan Menurut Wilayah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Page 13: Gabungan Kebudayaan

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Page 14: Gabungan Kebudayaan

Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.

*Kebudayaan nasional*

Kebudayaan nasional secara mudah dimengerti sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni: |Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.[1]

Disebutkan juga pada pasal selanjutnya bahwa kebudayaan nasional juga mencermikan nilai-nilai luhur bangsa. Tampaklah bahwa batasan kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah berorientasi pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh semangat Pancasila. Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.

Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.

Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.

Page 15: Gabungan Kebudayaan

Kebudayaan daerah

Seluruh kebudayaan daerah yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.

Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.

Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok. Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.

*MEMAHAMI KEBUDAYAAN*

Kebudayaan atau culture adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Ruth Benedict melihat kebudayaan sebagai pola pikir dan berbuat yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia dan yang membedakannya dengan kelompok lain. Para ahli umumnya sepakat bahwa kebudayaan adalah perilaku dan penyesuaian diri manusia berdasarkan hal-hal yang dipelajari/learning behavior (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ;1999).

Kebudayaan sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah adab (keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat kebudayaan menjadi tanda dan ukuran tentang rendah-tingginya keadaban dari masing-masing bangsa (Dewantara; 1994).

Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya:

Page 16: Gabungan Kebudayaan

Hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adapt-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan.

Angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan.

Kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah (Dewantara; 1994).

Ki Hajar Dewantara mendefinisikan kebudayaan sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup, yakni perjuangannya terhadap 2 kekuatan yang kuat dan abadi, alam dan zaman. Kebudayaan tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus menerus berganti-gantinya alam dan zaman. (Dewantara; 1994).

KEBUDAYAAN NASIONAL

Kebudayaan Nasional Indonesia adalah segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun yang ciptaan baru, yang berjiwa nasional (Dewantara; 1994). Kebudayaan Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia (Suseno; 1992).

Dalam pasal 32 UUD 1945 dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai Kebudayaan Bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia” (Atmadja, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

AKAR KEBUDAYAAN INDONESIA

Berikut ini akan penulis kutipkan mengenai sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dari tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Situasi Akar Budaya Kita”. Nenek moyang kita adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari layar sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan. Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan

Page 17: Gabungan Kebudayaan

itu adalah orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton, yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.

Nenek moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni ornamentik pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan tenun Indonesia dan Balkan umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian. Jaap Kunst, seorang ahli musik, juga ahli musik Indonesia mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan Dongson menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa dibanding budaya Cina. Nenek moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman perunggu dan zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam penggalian situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan bersama-sama. Hulu pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk hulu pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di Kauskasus.

Tetapi, sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok manusia lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir, kurang lebih 15.000 tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan bahwa sebagian besar Nusantara bagian barat menyatu dengan daratan Asia Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang kini laut Jawa. Ketika es berakhir, permukaan laut naik kembali, dan terbentuklah gugusan pulau-pulau seperti yang kita kenal kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada perkembangan manusia Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang kurang lebih 1000 tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip tua Hebrew dari masa akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah menyebut perdagangan kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai timur Afrika.

Sebuah naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang Melayu-Polinesia ke belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan bahwa di masa mundurnya Kerajaan Fira’un di Mesir, tempat yang bernama Aden, yang menguasai jalan masuk ke laut Merah (yang masa itu merupakan tempat penduduk nelayan), telah direbut oleh orang Qumr (Melayu-Polinesia) yang datang dengan armada yang terdiri dari perahu-perahu yang memakai cadik. Mereka mengusir penduduk setempat, membangun berbagai monumen dan memilihara hubungan langsung dengan pulau Madagaskar dan Asia Tenggara. Para ahli sejarah menyebutkan hal itu mungkin terjadi di masa Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup lama orang Melayu-Polinesia menguasai pelayaran dan perdagangan lewat Samudera Hindia dari Asia Tenggara ke pintu Laut Merah, sepanjang pantai timur Afrika dan Pulau Madagaskar. Dalam melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke Madagaskar dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat pulau itu. Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa Madagaskar dan bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini berlayar jauh ke pedalaman pasifik, menetap di berbagai kepulauan, dan mereka paling ke timur mencapai Easter Island, pulau terjauh ke timur dari Nusantara.

Page 18: Gabungan Kebudayaan

Jelaslah bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke masa silam yang begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita. Jelas pula bahwa kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek moyang kita telah memberi pula sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di seberang Samudera Hindia, serta menciptakan berbagai budaya di Madagaskar, dan di kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik. Mengingat ini kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari mereka, harus merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya tidak! Kita harus berani memeriksa diri secara cermat. Apa kekurangan-kekurangan kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk berbuat yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?

Proses melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi kurang lebih 3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal bersama dalam komunitas-komunitas kecil dan mulai mengembangkan pertanian dan sistem pengairan. Di zaman ini berkembang akar budaya musyawarah Indonesia, karena di kala itu belum ada kepala dan raja, dan semuanya masih dimusyawarahkan oleh semua anggota komunitas, dipimpin oleh orang-orang yang lebih tua. Wanita ikut bermusyawarah, dan anak-anak boleh hadir dan ikut mendengar. Di suku Sakudei di pulau Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia masih menemukan tradisi musyawarah yang lama itu.

Akar budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di bumi memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat melepaskan diri dari dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami bencana dalam petualangannya di luar tubuh kita, yang dapat mengakibatkan yang punya tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus berbaik-baik dalam hubungannya dengan dunia roh ini. Selanjutnya nenek moyang kita di masa Megalitik itu memiliki konsep hubungan dan pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam upacara-upacara khusus, mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan melindungi ruh dari bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi penghubung antara yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan kekuatan-kekuatan magis mereka yang membangun megalith-megalith tersebut, atau untuk siapa batu-batu itu dibangun. Megalith-megalith dibangun untuk memperkuat kesuburan manusia, ternak dan apa yang mereka tanam, dan dengan demikian memperbesar kekayaan generasi-generasi yang akan datang.

Kebudayaan Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang membawa teknologi perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta daya cipta baru pada kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan pula bahwa budaya Dongson membawa teknologi bertanam padi di sawah. Teknologi padi sawah mendorong komunitas-komunitas kecil untuk lebih berintegrasi mengembangkan dan memilihara sistem pengairan, koordinasi bertanam serempak pada waktu yang sama. Dalam proses sejarah, teknologi padi sawah ini telah mendorong proses integrasi masyarakat-masyarakat desa Indonesia yang hingga kini tumpuan kehidupan terbesar bangsa kita. Ia juga erat hubungannya dengan irama iklim, datang musim kering dan musim hujan, yang mempengaruhi pola kehidupan di Indonesia. Musim panen merupakan musim perkawinan umpamanya. Pemujaan nenek moyang merupakan salah satu akar budaya bangsa Indonesia. Pandangan kosmik mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan dunia atas tercermin dalam organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu dan garis ayah, hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil laki-laki dan perempuan dari dua suku

Page 19: Gabungan Kebudayaan

untuk perkawinan, membuat tiada satu suku lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Setiap suku bergantian menduduki tempat yang superior dan tempat di bawah. Struktur tradisi kesukuan ini merupakan sebuah mekanisme ke arah demokrasi, yang seandainya kita pandai mengembangkannya dapat merupakan kekuatan untuk tradisi demokrasi bangsa kita.

Datangnya agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu datang orang Eropa membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat pendidikan Barat masuk pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi modern telah mendorong berbagai proses kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan budaya, yang akhirnya membawa manusia Indonesia pada keadaan hari ini. Akar budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa kita sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di Indonesia dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah hubungan antara kekuasaan dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan Belanda menggunakan sistem menguasai dan memerintah melalui kelas bangsawan atau feodal lama Indonesia telah meneruskan tradisi feodal berlangsung terus dalam masyarakat kita. Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-hubungan diwarnai nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk baru.

Semua pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang datang dari Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkritisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa banyak konflik dalam jiwa dan diri kita. Sesuatu terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan yang satu dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang bayangan, mana yang kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata. Malahan banyak orang kini membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam arti, orang percaya bahwa ilmu dan teknologi dapat menyelesaikan semua masalah manusia di dunia. Dan ada yang berbuat sebaliknya. Kita jadi tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal. Karena itu beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-besaran, dan tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

KEBUDAYAN BARAT DI INDONESIA

Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif. Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).

Page 20: Gabungan Kebudayaan

Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:

a. Kebudayaan Teknologi Modern

Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang. Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.

Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.

b. Kebudayaan Modern Tiruan

Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC). Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.

Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian,

Page 21: Gabungan Kebudayaan

rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran. Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.

c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat

Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.

Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).

SITUASI BUDAYA INDONESIA

Dalam pemaparan tentang akar budaya di atas tadi telah kita ketahui bahwa nenek moyang kita adalah nenek moyang yang tangguh dan bangsa ini telah mampu melakukan akulturasi secara positif sehingga kita bisa mengintegrasikan kebudayaan luar untuk meningkatkan budaya sendiri. Namun kita harus melihat secara riil bagaimanakah keadaan budaya kita hari ini.

Sajiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986 menyampaikan tentang persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mnegeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab. Menurut beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya harus

Page 22: Gabungan Kebudayaan

melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building (Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

Mochtar Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986, menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan oleh ciri:1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.2. Kemunafikan.3. Lemahnya kreativitas.4. Etos kerja brengsek.5. Neo-Feodalisme.6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).

TANTANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA

1. Kebudayaan Modern Tiruan

Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.

Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan (Suseno;1992)

2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.

3. Masalah Pendidikan yang Tepat

Page 23: Gabungan Kebudayaan

Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.

4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.

5. Kondisi Alam Global

Beberapa waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini, ’Pemanasan Global, Jutaan Orang akan Teracam”. Pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di dunia. Demikianlah antara lain isi laporan kedua PBB yang sudah dipublikasikan tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan ketiga akan membeberkan tindakan untuk menanganinya. Laporan para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak di berbagai belahan dunia, Selasa (10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu ditulis dan dikaji 441 anggota IPCC.

Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan mengalami hal yang sama. Laporan itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa meningkatnya permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat. Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan Panama terbenam.

Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk. Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah. Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan, setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius, antara lain akan menurunkan produksi pertanian di Cina dan Bangladesh hingga 30 persen hingga 2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es

Page 24: Gabungan Kebudayaan

di Pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya tergenang karena peningkatan permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga 3 milimeter setiap tahun. Saat ini, pemanasan global sudah terasa dengan terjadinya kematian dan punahnya spesies di Afrika dan Asia (Kompas, Kamis 12 April 2007).

MENUJU PERADABAN INDONESIA

Untuk membuat formulasi kebudayaan yang khas dan bisa menjawab tantangan zaman ke depan bukanlah pekerjaan yang mudah. Perlu adanya suatu kebersamaan dan peran serta setiap warga negara ini. Para pemikir dan ilmuan harus bekerja secara keras untuk membuat suatu konsep yang jelas dalam pencapaian ini.

Tujuan nasional perjuangan bangsa Indonesia adalah menciptakan masayarakat yang adil dan makmur. Perjuangan menuju peradaban Indonesia yang ideal membutuhkan waktu dan perjuangan. Pengakuan sebagai salah satu peradaban dunia harus memiliki beberapa syarat. Syarat-syarat itu dapat kita lihat dari perwujudan peradaban di dunia sejak permulaan sejarah manusia. Nampaknya, kehidupan satu masyarakat diakui sebagai satu peradaban kalau menunjukkan kehidupan lahiriah yang maju, dan kemajuan itu cukup menonjol dari kehidupan lahiriah masyarakat lain (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ;1999).

Kehidupan lahiriah yang maju itu merupakan hasil dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlaku di zamannya. Bahkan dalam masyarakat itu terjadi perkembangan berupa penemuan dan inovasi dalam iptek. Sebagai hasil penguasaan iptek dapat dimajukan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Hal yang sama berlaku bagi produksi di lautan dan kesejahteraan para nelayan dan pelaut. Industrialisasi mengalami perkembangan yang tinggi dengan menghasilkan berbagi macam barang yang disukai di dalam dan luar negeri. Berbagai prasaran, yaitu penghasil energi listrik, aneka ragam komunikasi, keadaan jalan darat, perhubungan darat, laut dan udara, semuanya dalam kondisi yang sesuai dengan perkembangan iptek internasional mutakhir. Kesejahtreaan merata di antara seluruh anggota masyarakat. Dan kalau ada rakyat yang miskin, maka itu merupakan minoritas kecil. Ini memungkinkan rakyat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik, dan prasarana pendidikan tersedia dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Standar hidup yang tinggi dalam masyarakat memungkinkan bagian besar produksi pertanian dan isdustri dipasarkan dalam masyarakat sendiri, sehingga ketergantungan pada masyarakat luar tidak terlampau besar (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

Kondisi itu mendukung berkembangnya seni dan sastra yang kreatif. Berbagai kesenian mengalami kemajuan dan dilakukan penduduk dalam jumlah besar. Kesusasteraan menghasilkan buku dan hasil tulisan lain, yang banyak jumlahnya dan variasinya, serta terbeli oleh mayoritas masyarakat. Arsitektur menghasilkan rumah-rumah tempat tinggal, gedung-gedung pemerintahan, tempat-tempat ibadah yang indah, tapi juga kokoh dan tahan lama (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999). Kondisi sosial cukup mantap dengan menunjukkan kehidupan keluarga yang sehat dan kokoh, kurang adanya pengangguran dan tidak ada kelaparan. Mungkin krimanalitas tidak dapat ditiadakan seratus persen, tetapi jumlah amat sedikit dan terkontrol. Akan tetapi peradaban tidak hanya memerlukan kehidupan lahiriah yang

Page 25: Gabungan Kebudayaan

maju dan menonjol, juga perlu ada kehidupan rohaniah yang mantap dan merata (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

Kehidupan beragama dilakukan oleh penduduk dengan penuh keimanan dan ketaqwaan. Dan kerukunan antar berbagai agama berjalan baik. Orang tidak menjalankan ketentuan agama hanya sebagai ritual belaka, tetapi mempunyai dampak nyata dalam kehidupan yang bermoral dan disiplin tinggi. Maka ada kemampuan kendali diri yang cukup kuat. Itulah yang turut menyemarakkan kehidupan demokrasi yang mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam berbagai profesi, etik dijunjung tinggi tanpa mengurangi dinamika yang diperlukan masyarakat pada zaman itu (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999). Persatuan bangsa terpelihara dengan baik, tanpa mengurangi hak dan kemampuan setiap unsur bangsa mengembangkan dirinya secara lahiriah dan batiniah. Adanya prasarana yang baik dalam berbagai bidang turut mendukung persatuan bangsa. Akan tetapi yang lebih penting adalah kesadaran tentang hubungan harmonis antara bagian dan keseluruhan (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

Hubungan luar negeri dengan bangsa-bangsa lain diselenggarakan dengan baik untuk membina perdamain dunia dan kesejahteraan umat manusia. Khususnya dengan lingkungan Asia Tenggara ada hubungan erat dan harmonis. Terhadap bangsa-bangsa yang tergolong miskin dan terbelakang dapat diadakan bantuan lahiriah dan batiniah yang mengusahakan kemajuan mereka (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

EPILOG

Dipahami bahwa kebudayaan merupakan respon positif manusia terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, budaya merupakan manifestasi dari aspek manusia yang multi-dimensional. Segala teori kebudayaan terlalu lamban untuk memahami keseharian manusia yang bergerak cepat. Manusia tidak sekedar merajut makna lewat kerja,melainkan komunikasi inter-subjektif dengan simbol-simbol. Manusia sehari-hari adalah manusia yang bercakap, merenung dan mamaknai. Kebudayaan adalah festival kemajemukkan dimensi manusia dan menolak segala bentuk reduksionisme. Manusia bukan semata-mata makhluk ekonomi yang melulu berfokus pada bagaimana bertahan hidup. Ruang refleksi yang tertutup oleh determinasi kerja dibukakan secara kultural. Kebudayaan adalah lokus dimana manusia bukan sekedar pedagang dan pembeli, melainkan makhluk multi-dimensi. Setiap dimensi dalam dirinya memiliki hak yang sama untuk diutarakan ( Adian, dalam Kompas 14 April 2007;14)

Terkait dengan formulasi kebudayaan Indonesia, merupakan suatu keharusan kita untuk lebih menyelami karakteristik manusia-manusia Indonesia yang telah terbentuk sekian lama semenjak periode sebelum masehi. Dan juga harus mempertimbangkan faktor alam yang melingkarinya. Sehingga, kita tidak terpaku dan larut dalam arus kebudayaan global hari ini, yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Mudah-mudahan cita-cita menuju peradaban Indonesia yang maju bukanlah sekedar mimpi belaka!

Teori Sistem Budaya Indonesia

Page 26: Gabungan Kebudayaan

Pengantar. Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbangun di atas aneka budaya yang berbeda-beda tetapi diasumsikan tetap “satu” : Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda dengan Jepang ataupun Korea, Indonesia tidak terbangun atas kultur yang homogen. Bahkan, untuk wilayah Papua saja terdapat kurang lebih 132 suku bangsa dan bahasa yang berlainan. Itu belum lagi budaya yang terdapat di pulau-pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan lainnya. Lalu, bagaimana dapat seseorang memutuskan bahwa ia tengah mengamati atau mempelajari budaya Indonesia?Tentu saja, Indonesia tadinya merupakan sebuah konsep abstrak. Indonesia merupakan sebuah ide yang dibentuk oleh para founding fathers guna mempersatukan wilayah-wilayah nusantara ke dalam ikatan nation yang lebih besar secara politik mengatasi sekat-sekat regional dan etnis. Secara politik, tatkala seseorang mempelajari budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta, dapat saja dikatakan bahwa ia tengah mempelajari budaya Indonesia. Atau, dikala seorang peneliti mempelajari budaya pemeliharaan tanaman hutan pada Suku Kubu di Jambi, ia juga dikatakan tengah mempelajari budaya Indonesia. Yogyakarta dan Jambi merupakan dua wilayah yang terikat ke dalam sebuah nation yang bernama Indonesia.Atau, budaya nasional Indonesia tampak tatkala publik di luar Indonesia mengklaim salah satu budaya “daerah” yang masuk wilayah Indonesia. Tatkala Malaysia memuat Tari Pendet dalam brosur pariwisatanya, publik Indonesia menganggapnya sebagai “penyerobotan” budaya. Ini juga terjadi tatkala Batik, yang dianggap sebagai produk budaya Indonesia, dipatenkan oleh negara-negara lain. Publik Indonesia yang “marah” terhadap sikap negara lain tersebut, misalnya dalam kasus Tari Pendet, bukan hanya orang Bali saja melainkan lintas primordial suku di Indonesia. Ini membuktikan signifikansi kajian mengenai budaya Indonesia: Kendati terbelah menjadi aneka suku dengan produk budaya sendiri-sendiri, seluruh budaya berbeda tersebut telah diberi trademark sebagai budaya Indonesia.

Masalah yang kerap muncul dalam negara dengan multikultur adalah masalah primordial. Suku, agama, golongan, ataupun ras yang berbeda-beda kerap bersitegang satu dengan lainnya guna mempertahankan eksistensi mereka. Manifestasi dari hal tersebut adalah maraknya konflik antar masyarakat Indonesia seperti di Poso, Papua, Sampit, Maluku, atau kerusuhan antara golongan pribumi versus etnis Cina. Integrasi nasional merupakan pekerjaan rumah yang rumit dan berat tetapi harus diselesaikan oleh seluruh elemen yang mengaku bagian dari nation Indonesia.

Definisi Budaya

Dalam mendekati permasalahan budaya Indonesia, akan digunakan sejumlah teori gunamendekatinya. Teori ini bermanfaat selaku penjelasan seputar konsep budaya yang digunakan dalam tulisan ini. Lewat teori-teori budaya, kita juga akan lebih memahami aspek-aspek apa saja yang patut dikaji seputar Sistem Budaya Indonesia.Menurut Kathy S. Stolley, budaya adalah seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi. Stolley menjelaskan bahwa budaya meliputi aspek material dan nonmaterial yang dihasilkan masyarakat tertentu. Budaya merupakan produk masyarakat yang muncul dari interaksi antar individu di dalam masyarakat. Budaya juga turut menentukan cara hidup suatu masyarakat.

Page 27: Gabungan Kebudayaan

Definisi budaya lainnya diajukan oleh A.L. Kroeber and Clyde Kluckhorn. Menurut Kroeber and Kluckhorn,

“... culture consists of patterns, explicit and implisit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievement of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may on the one hand, be considered as products of action, on the other as conditioning elements of further action.”

Kroeber dan Kluckhorn menjelaskan bahwa budaya tidak hanya terdiri atas obyek-obyek fisik. Budaya melibatkan representasi fisik dan mental secara simbolik dalam melukiskan dunia. Hanya representasi-representasi yang relatif stabil dan membentuk sistem hubungan antar anggota dari suatu kelompok sosial yang dapat dikatakan sebagai bersifat “budaya”. Sebab itu, budaya mampu membedakan suatu kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lainnya. Penulis lain yang cukup awal dalam meretas jalan ke arah studi budaya adalah Robert L. Sutherland dan Julian L. Woodward dalam karyanya Introductory Sociology. Dalam bahasannya mengenai suku-suku di Amerika, Sutherland dan Woodward berupaya menjelaskan apa itu budaya jika dikontraskan dengan ras. Menurut mereka, ras adalah bersifat genetik-fisik berupa warna kulit, bentuk hidung, warna rambut dan ekspresi-ekspresi tubuh lain yang tampak. Ras diturunkan dari generasi ke generasi lewat mekanisme pewarisan biologis.

Budaya, menurut Sutherland and Woodward meliputi seluruh cara berbuat di mana seseorang mempelajarinya selaku anggota masyarakat. Termasuk ke dalam budaya adalah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, peralatan, dan tata cara berkomunikasi. Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi lain lewat mekanisme sosial berupa instruksi dan pemberian teladan dari anggota masyarakat senior kepada junior.

Peneliti lain seperti David Matsumoto dan Linda Juang kemudian membedah budaya secara lebih mendetail dalam bukunya Culture and Psychology. Menurut Matsumoto and Juang, budaya adalah “

... a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in order to ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and behaviors, shared by a group but harbored differently by each specific unit within the group, communicated accross generations, relatively stable but with the potential to change accross time.”

Budaya bersifat dinamis oleh sebab budaya menggambarkan rata-rata kecenderungan perilaku. Budaya tidak bisa menggambarkan seluruh perilaku individu dalam masyarakat yang mempraktekkan budaya tertentu. Selalu akan ada perbedaan perilaku antar individu kendatipun kecil. Perbedaan ini menciptakan ketegangan dinamis (dynamic tension) berupa “gap budaya” antara satu individu dengan individu lain atau antara junior dengan seniornya. Atas dasar ini, budaya kemudian secara perlahan tetapi pasti mengalami perubahan. Budaya juga merupakan seperangkat sistem aturan. Budaya tidak mengacu pada satu perilaku, aturan, sikap, ataupun nilai saja. Budaya mengacu pada keseluruhan dari paduan dari aspek-aspek tersebut. Sebagai sebuah sistem, budaya mengkaitkan perilaku, aturan, sikap, dan nilai secara harmonis satu sama lain.

Page 28: Gabungan Kebudayaan

Budaya merujuk pada kelompok dan unit-unit sosial. Budaya hadir di setiap tingkatan ---antarindividu dalam kelompok atau antarkelompok dalam suatu kelompok besar (misalnya korporasi bisnis). Pendapat ini menyatakan suatu relativitas budaya, bahwa dalam suatu budaya “besar” sesungguhnya terdapat budaya-budaya yang lebih “kecil” yang merupakan bagian di dalamnya dan terkadang mengalami ketegangan dengan budaya yang lebih “besar” tadi.

Budaya memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Sistem aturan yang membentuk budaya secara esensial memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Aturan-aturan ini memungkinkan tiap-tiap unit dalam kelompok hidup bersama satu sama lain, memungkinkan keteraturan sosial (social order) tinimbang situasi kacau atau kebebasan mutlak. Secara umum, budaya merupakan cara manusia untuk memenjarakan, mengendalikan, dan menghidari chaos. Budaya juga berpotensi untuk berubah. Budaya adalah entitas dinamis yang merupakan hasil interaksi ketat antara perilaku, sikap, nilai, keyakinan, dan norma. Tiap unit dalam masyarakat (individu) selalu berubah setiap saat. Perubahan dari unit-unit ini kemudian terjadi dalam skala yang dapat saja stagnan atau semakin besar lewat efek bola salju dan akhirnya, mengubah warna budaya secara keseluruhan. Selanjutnya, Matsumoto and Juang menjelaskan serangkaian faktor yang mampu mempengaruhi suatu budaya. Pertama adalah faktor lingkungan. Lingkungan sebagai lokasi dipraktekkannya suatu kebudayaan mempengaruhi sifat dari budaya itu sendiri. Wilayah yang miskin sumber daya alam penduduknya cenderung mengembangkan semangat kerja tim dan spirit kelompok seraya berhubungan dengan kelompok lain yang berlimpah sumber dayanya demi bertahan hidup. Kebutuhan dan hubungan ini memicu karakteristik dan atribut psikologis tertentu yang membantu kerja tim, semangat kelompok, dan kesalingbergantungan. Sebaliknya, di wilayah yang kaya sumber daya alam, masyarakat cenderung tidak memilikinya seperti contoh pertama.

Kedua, faktor kepadatan penduduk. Masyarakat dengan kepadatan populasi yang tinggi butuh perangkat keteraturan sosial yang lebih besar dalam menjamin keberfungsiannya. Masyarakat seperti ini lalu menciptakan pengelompokan dan hirarki masyarakat yang lebih rumit tinimbang masyarakat dengan kepadatan yang lebih rendah.

Ketiga, faktor teknologi. Teknologi semisal teknologi komunikasi (contohnya telepon seluler dan surat elektronik), mengakibatkan interaksi personal berubah secara cepat. Komputer memungkinkan orang bekerja secara lebih mandiri, jadi kurang bergantung pada orang lain. Ini berakibat pada perubahan perilaku dan fungsi-fungsi psikologis seseorang dan lebih jauhnya, perubahan pada budaya.

Keempat, faktor iklim. Masyarakat yang tingga di dengan khatulistiwa, iklim panas, area tropis, akan mengembangkan gaya hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di zona artik atau zona bertemperatur rendah. Perbedaan iklim membentuk pakaian berbeda, makanan yang dimakan, jenis penyakit, dan alat transportasi.

Dari definisi budaya Stolley di atas, dapat kita peroleh konsep-konsep seperti gagasan, keyakinan, perilaku, produk, sementara dari pendapat Kroeber and Kluckhorn konsep-konsep seperti pola perilaku yang diwariskan antargenerasi secara simbolik. Selain itu, masih menurut Kroeber and Kluckhorn, budaya juga dapat memunculkan tindakan dan mengkondisikan tindakan-tindakan yang akan diambil di masa kemudian. Budaya membentuk cara bagaimana

Page 29: Gabungan Kebudayaan

orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung tinggi, berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan, hukum yang dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk atau baik.

Budaya di dunia sangat bervariasi. Budaya, bagi penganutnya, adalah “normal” ataupun “lebih baik” ketimbang budaya yang dianut pihak lain. Terkadang seseorang yang memasuki budaya berbeda akan mengalami “culture shock” atau kejutan budaya. Culture shock adalah kebingungan yang muncul tatkala seseorang memasuki situasi atau cara hidup yang tidak dikenal. Seorang suku Sunda mungkin saja terkejut melihat tata cara berpakaian, tatkala ia diberi kesempatan berkunjung ke kediaman seorang Suku Dani di pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Keterasingan yang ia alami tatkala mengalami itu dapat disebut sebagai cultural shock.

Komponen-komponen Budaya

Budaya masyarakat satu berbeda dengan budaya masyarakat lainnya. Sebab itu budaya sangat bervariasi bergantung pada serangkaian faktor yang mempengaruhinya seperti dijelaskan Matsumoto dan Juang di atas. Namun, kendati satu sama lain berbeda, budaya memiliki serangkaian komponen yang terdapat di setiap jenis kebudayaan. Kita bisa secara mudah mengenali suatu budaya lewat manifestasi dari komponen-komponen ini. Komponen-komponen tersebut terdiri atas komponen Material dan Normaterial. Komponen nonmaterial misalnya adalah: (1) Simbol; (2) Bahasa; (3) Nilai; dan (4) Norma. Sementara komponen Material budaya adalah : (1) Perkakas; (2) Makanan; (3) Pakaian; (4) Arsitektur.

Page 30: Gabungan Kebudayaan

Simbol

Simbol adalah segala sesuatu yang mewakili makna suatu lainnya. Budaya mustahil eksis tanpa simbol karena dengan begitu para anggota masyarakat tidak bisa saling berbagi makna. Simbol dapat menciptakan loyalitas, kegairahan, cinta, dan benci. Simbol mampu mengkomunikasikan obyek abstrak ke dalam suatu yang visible atau bisa dicerap panca indera. Misalnya bendera adalah simbol nasionalisme, patriotisme, semangat partai, atau komunitas keagamaan. Misal simbol lainnya adalah merpati (damai), cinta (hati), atau letter P (boleh parkir). Suatu gambar yang sederhana, mudah dimengerti, tetapi memiliki penafsiran yang sangat luas.

Manifestasi simbol lain termasuk pakaian. Dapat kita lihat misalnya baret prajurit angkatan laut berbeda dengan angkatan darat, termasuk warna dan pernak-pernik lainnya. Dengan menggunakan seragam tertentu, yang menggunakan secara mudah langsung dapat diidentifikasi asal-usul komunitasnya. Budaya masyarakat apapun dapat secara mudah diidentifikasi lewat simbol-simbolnya.

Bahasa

Bahasa adalah seperangkat simbol yang mengekspresikan gagasan dan memungkinkan orang untuk berpikir dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa terdiri atas bahasa verbal dan bahasa nonverbal (tulisan, gerak-gerik). Bahasa ini juga dimiliki oleh hewan dan kelompoknya

Page 31: Gabungan Kebudayaan

semisal suara, sentuhan, penciuman, dan gerak-gerik guna berkomunikasi satu sama lain. Namun, bahasa hewan berlangsung secara “fix meaning” atau makna yang tetap dan turun-temurun tanpa perubahan. Sementara beda manusia adalah mampu memanipulasi simbol-simbol secara lebih rumit.

Nilai

Nilai adalah gagasan tentang apa yang baik, adil, layak, atau benar. Nilai dalam budaya masyarakat yang satu cenderung berbeda dengan nilai dalam masyarakat yang lain. Nilai berfungsi selaku pengatur agar individu-individu di dalam suatu masyarakat saling bekerja sama guna mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atau, nilai memainkan peran penting akibat ia merupakan representasi kognitif (pengetahuan) seputar hasrat dan kebutuhan individual di satu sisi dengan tuntutan masyarakat di sisi lain. Nilai budaya yang membuat masyarakat satu berbeda dengan masyarakat lain seputar isu-isu hukuman mati, pernikahan sesama jenis, aborsi, euthanasia, penodaan agama, prostitusi, konsumsi alkohol, dan sejenisnya.

Lebih lanjut, nilai merupakan suatu konsep yang luas dan multidefinisi. Sebab itu, kini akan dirangkum beberapa pengertian nilai sebagai berikut :

1. Nilai adalah keyakinan. Namun, nilai bukanlah tujuan atau gagasan yang kaku. Lebih dari itu, tatkala nilai telah diaktifkan ia kemudian dipengaruhi oleh perasaan.

2. Nilai mengacu pada tujuan yang diinginkan (misalnya kesetaraan) dan tata cara bagaimana mencapai tujuan tersebut (misalnya saling bantu, fairplay).

3. Nilai mentransendensikan situasi dan tindakan tertentu. Kepatuhan, misalnya, adalah relevan tatkala ada di tempat kerja atau sekolah, ataupun keluarga.

4. Nilai memberikan standar guna mengarahkan pilihan atau evaluasi atas perilaku, orang, atau peristiwa.

5. Nilai diurutkan dari yang relatif penting dan seterusnya. Urutan perangkat nilai ini kemudian membentuk sistem prioritas nilai. Budaya dan individu dikarakteristikkan oleh sistem prioritas nilainya.

Salah satu kajian menarik diberikan Shalom H. Schwartz mengenai nilai-nilai yang bersifat lintas budaya. Nilai-nilai yang yang dipergunakan tampak pada diagram di bawah ini :

Page 32: Gabungan Kebudayaan

Keterangan:

1. Universalism : “pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan bagi kesejahteraan untuk orang ataupun lingkungan.”

2. Benevolence : “preservasi dan penguatan kesejahteraan orang lain dengan mana ini dilakukan dalam aneka kontak personal.”

3. Conformity: “pengendali tindakan-tindakan, inklinasi, dan impuls yang mampu mengecewakan atau membuat marah orang lain serta melanggar ekspektasi (harapan) sosial atau norma.”

4. Tradition : “respek, komitmen, dan penerimaan atas kebiasaan serta gagasan bahwa suatu budaya atau agama berhak mengatur individu.”

5. Security: “keamanan, harmoni, dan stabilitas yang berhubungan dengan masyarakat, hubungan antarindividu, dan kedirian.”

6. Power: “penguasaan status sosial dan prestise, serta kendali atau dominasi atas orang maupun sumber daya.”

7. Achievement: “keberhasilan personal lewat unjuk kompetensi menurut suatu standar sosial.”

8. Hedonism: “kesenangan atau pemberian sensasi bagi diri sendiri.”

9. Stimulation: “daya tarik, novelty, dan tantangan dalam hidup.”

10. Self-direction: “pikiran dan tindakan bebas dalam memilih, mengkreasi, dan menjelajah.”

Page 33: Gabungan Kebudayaan

Pertama, menurut Schwartz, di setiap kebudayaan nilai-nilai individual terletak di sepanjang dimensi “self-enhancement” hingga “self-transcendence.” Dimensi-dimensi ini merefleksikan penjarakan antara nilai yang diorientasikan pada pengejaran self-interest (kepentingan pribadi) dan nilai yang diorientasikan demi kesejahteraan orang lain.

Kedua, dimensi-dimensi mengkontraskan “openess to change” (keterbukaan untuk berubah) dengan “conservation” (kecenderungan memelihara yang ada). Openess to change adalah apa yang memotivasi orang untuk mengejar kepentingan emosional dan intelektual dalam jalur-jalur yang tidak menentu dan tidak bisa dipastikan. Sementara conservation adalah kecenderungan memelihara status quo (kondisi saat ini) dan kemenentuan yang disediakan oleh status quo dalam berhubungan secara erat dengan individu, organisi, dan tradisi lain.

Temuan yang dihasilkan Schwartz misalnya, bangsa-bangsa di Asia Timur lebih menekankan pada nilai hirarki dan konservatisme. Bangsa-bangsa Eropa lebih menekankan pada otonomi individual dan egalitarianisme. Bangsa-bangsa yang bermoyang Anglo-Saxon (Inggris, Amerika Serikat, Australia) jatuh di antara ekstrimitas berikut: pada satu sisi menekankan pada penguasaan dan otonomi tetapi juga hirarki dalam mana ini bisa menjelaskan besarnya toleransi orang-orang Anglo-Saxon akan perbedaan penghasilan di negara semisal Amerika Serikat.

Norma

Nilai menyediakan gagasan atau keyakinan tentang suatu perilaku, tetapi tidak menyatakan secara tegas bagaimana kita harus berperilaku. Norma, di sisi lain, punya fungsi seputar bagaimana satu individu harus berperilaku. Norma adalah aturan-aturan mapan tentang standar perilaku atau standar bertindak. Norma terdiri atas Prescriptive Norm dan Proscriptive Norm.

Prescriptive Norm mengatur perilaku apa saja yang dianggap memang semestinya dan diterima. Contoh, orang yang berhasil menghasilkan sejumlah uang diharapkan menghitung pajak dan membayarkannya. Norma-norma yang didasarkan pada kebiasaan mengharuskan kita segera membantu membukakan pintu bagi orang yang membawa beban berat. Proscriptive Norm menyatakan apa perilaku yang tidak semestinya atau tidak diterima. Hukum yang melarang kita untuk tidak melampaui batas kecepatan mengemudi atau menyatakan tidak pantas berbicara di telepon genggam tatkala tengah belajar di kelas. Baik norma preskriptif maupun proskriptif beroperasi di setiap tingkatan masyarakat, baik dalam tindakan sehari-hari ataupun formulasi undang-undang di tingkat parlemen.

Tingkat pentingnya norma-norma yang ada tidak pula selalu sama. Norma-norma yang dianggap penting dikodifikasi masyarakat secara tertulis (written). Sebab itu, menurut tingkat pentingnya, norma terbagi atas : Norma Formal dan Norma Informal. Norma Formal adalah norma yang dikodifikasi dalam kitab hukum resmi serta melibatkan sanksi tertentu bagi pelanggarnya. Hukum dan undang-undang adalah jenis umum dari Norma Tertulis ini. Sanksi adalah ganjaran bagi perilaku yang selaras keinginan masyarakat atau hukuman bagi perilaku yang melanggarnya. Sanksi terdiri atas Sanksi Positif dan Sanksi Negatif. Contoh sanksi positif adalah pujian, penghormatan, atau medali bagi konformitas atas suatu norma. Sementara Sanksi Negatif berkisar dari ketidaksetujuan yang halus hingga hukuman mati.

Page 34: Gabungan Kebudayaan

Norma Informal adalah norma yang dianggap tidak terlalu penting, bersifat tidak tertulis, dan merupakan standar perilaku yang dipahami orang-orang yang saling berbagi identitas yang sama. Tatkala seseorang melanggar norma informal, orang lain kemungkinan hanya akan menimpakan sanksi informal. Misalnya, seseorang yang lupa bersalaman di dalam komunitas yang biasa bersalaman tatkala bertemu, seorang yang buang angin di dalam ruangan hening dan penuh, membiarkan wanita hamil berdiri sementara seorang lelaki perkasa asik duduk terkantuk-kantuk dalam bis yang penuh sesak, dan seterusnya dan seterusnya.

Folkways adalah norma informal atau kebiasaan sehari-hari yang mungkin dilanggar tanpa konsekuensi serius dalam satu budaya tertentu. Folkways menyediakan aturan untuk bertindak tetapi tidak dianggap esensial bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Di Amerika Serikat, folkways termasuk menggunakan deodoran untuk mencegah bau ketiak, menyikat gigi agar tidak kuning dan bau, serta menggunakan pakaian yang semestinya bagi suatu acara. Folkways tidak berusaha ditegakkan secara serius oleh masyarakat, tatkala terjadi pelanggaran (misalnya bau ketiak seseorang yang menyebar di suatu ruangan), sanksi yang diberikan adalah halus semisal menghindari bicara, menunjukkan gerak-gerik “tidak betah” dan sejenisnya dan sejenisnya. Termasuk ke dalam folkways adalah kebiasaan mengetuk pintu sebelum masuk ke suatu ruangan.

Mores adalah norma yang dianggap lebih tinggi dan penting bagi stabilitas suatu masyarakat. Mores adalah suatu budaya tertentu yang diidentikan dengan masalah moral dan etika yang pelanggarnya akan menghadapi sanksi yang cukup serius. Mores dibangun berdasar nilai-nilai budaya suatu masyarakat, pelanggarnya menghadapi Sanksi Negatif yang cukup keras semisal pemecatan dan pemenjaraan. Masuk ke dalam kategori Mores ini adalah Tabu. Tabu adalah Mores yang sangat kuat yang pelanggarnya dianggap melakukan penyerangan dan tidak boleh dibicarakan. Pelanggaran Tabu menghadapi hukuman tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga, pada budaya tertentu, oleh kekuatan Supernatural. Misal dari Tabu ini adalah inses (perkawinan sedarah) dan cukup bersifat universal. Law (hukum) adalah norma formal yang distandardisasi serta dibuat oleh legislatif suatu masyarakat dan dijalankan dengan sanksi-sanksi formal. Hukum terdiri atas hukum perdata dan hukum pidana. Hukum perdata bicara tentang pertikaian orang atau antar kelompok. Sanksi bagi hukum perdata biasanya adalah pembayaran denda kepada pihak pemenang pertikaian. Sebaliknya hukum pidana bicara tentang keamanan dan kehidupan masyarakat. Tatkala hukum pidana dilanggar, denda, penjara, dan hukuman mati biasanya merupakan Sanksi Negatifnya.

Folk Culture, High Culture, Popular Culture, dan Mass Culture

Studi Sistem Budaya Indonesia memerlukan sebuah “peta” guna meletakkan kajiannya. Peta tersebut berguna untuk meletakkan konteks suatu pembicaraa. Kajian Sistem Budaya Indonesia nantinya akan mengarah pada budaya-budaya spesifik yang berkembang di seantero wilayah Indonesia. Namun, kini pun budaya Indonesia tengah mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi selaras dengan teori faktor pengaruh budaya yang telah disebut oleh Matsumoto dan Juang di bagian awal tulisan. Peta Budaya dimaksudkan untuk memilah bahwa

Page 35: Gabungan Kebudayaan

konsep Budaya (Culture) telah berkembang semakin canggih dan bervariasi. Budaya, jika kita pahami sebagai warisan turun-temurun nenek moyang adalah tetap ada. Namun, kini pun berkembang budaya-budaya “baru” seiring tumbuhnya inovasi teknologi dan industrialisasi di seluruh penjuru dunia, utamanya teknologi produksi massal dan perkembangan media massa.

Banyak istilah-istilah yang muncul sehubungan dengan budaya semisal : “berbudaya”, “tidak berbudaya”, “budaya tinggi”, “budaya rendah”, “folk art“, “budaya populer” (popular culture), “budaya massa” (mass culture), dan sebagainya. Tulisan kemudian dilanjutkan guna menelusuri konsep-konsep ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, penulis akan mempertentangkan 4 buah konsep budaya saja yaitu : (1) Folk Culture; (2) High Culture; (3) Popular Culture; dan (4) Mass Culture.

Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Masyarakat pasti memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada pertentangan antara apa yang dimaksud dengan “budaya tinggi” (high culture) dengan “budaya rendah” (low culture). Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi buruk sehingga istilah yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer). Bagi Stolley, High Culture adalah manifestasi komponen material dan non material budaya yang dikaitkan dengan elit sosial. Jadi, dapat dikatakan jika kita membicarakan mengenai budaya tinggi (high culture) asosiasi kita tertuju pada manifestasi budaya yang dilakukan kalangan elit masyarakat. Misal dari manifestasi tersebut adalah musik klasik, galeri seni, pertunjukkan opera, literatur filsafat atau ilmiah, produksi anggur, atau jamuan-jamuan makan. Aktivitas dalam budaya tinggi tidak terbuka bagi seluruh anggota masyarakat akibat beberapa alasan. Tingginya harga tiket yang dibayarkan untuk menonton pertujukan konser musik klasik mustahil terjangkau oleh warga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Demikian pula, literatur filsafat dan ilmiah, kendati banyak tersedia di toko-toko buku, tetapi kerumitas isi dan ketidakfamiliaran bahasa membuat warga awam “emoh” mengkonsumsinya. Budaya tinggi disebut elit akibat hanya segelintir individu di dalam masyarakat yang dapat mengecapnya. Lawan dari “high culture” adalah “popular culture” (budaya populer). Budaya populer terdiri atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam sebuah kebudayaan, dengan daya tarik dan tersedianya akses bagi seluruh orang, dan digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas sosial. Contoh dari budaya populer ini adalah restoran fast-food (Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Warung Tegal, Rumah Makan Padang, McDonald, komedi-komedi situasi di televisi, novel-novel best seller (Davinci Code, Malaikat dan Iblis, atau novel-novel karya Mira W.), konser musik pop dan rock, dan sejenisnya. Dalam konteks budaya populer ini, salah satu varian konsep yang berhasil dikembangkan adalah McDonalization. Istilah McDonalization dipopulerkan oleh George Ritzer tahun 1993 lewat tulisannya The McDonalization of Society. Ritzer mendefinisikan McDonalization sebagai “ ... the process by which the principles of the fast-food restaurant are coming to dominate more and more sectors of American society as well as of the rest of the world.” Fenomena McDonalization tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di seluruh belahan dunia lain dalam mana beroperasi franchise-franchise McDonald, Pizza Hut, Hoka-hoka Bento, dan sejenisnya, termasuk Indonesia.

Ritzer berargumentasi bahwa McDonalization tidak hanya berpusar di aspek jual-beli

Page 36: Gabungan Kebudayaan

makanan cepat saji belaka, melainkan juga merambah ke aspek pendidikan (training pekerja, koki, manajemen penjualan), work (aturan kerja, manajemen pekerjaan harian), kesehatan (dampak makanan cepat saji atas kesehatan), travel (perjalanan dari satu franchise ke franchise lain, termasuk transportasi dan masalahnya), pemanfaatan waktu luang (pertemuan antarorang di restoran cepat saji), dieting (obesitas anak-anak, kolesterol, diabetes), politics (imperialisme ekonomi Amerika lewat salah satu MNC-nya), keluarga (pola kegiatan memasak dan keakraban keluarga di sela pengaruh restoran cepat saji), dan kegiatan-kegiatan orang lainnya di seputar “McDonald.”

Samakah budaya populer (popular culture) dengan budaya massa (mass culture) ? Pertama-tama akan kita bahas terlebih dahulu masalah budaya populer. Marcel Danesi dalam bukunya Popular Culture : Introductory Perspective menyatakan bahwa konsep budaya populer muncul di Amerika Serikat sejak 1950-an tatkala negara tersebut diterpa oleh “wabah” hippie, disco, punk, hip-hop, dan sejenisnya. Sama seperti Stolley, Danesi mengkontraskan pemahaman tentang Budaya Populer dengan High Culture (budaya tinggi) dengan sebelumnya membuat peringkat budaya (levels of culture). Budaya populer adalah budaya yang meminimalkan sekat perbedaan kelas sosial, edukasi, atau variabel masyarakat lainnya yang membatasi kesempatan orang dalam mempraktekkan suatu budaya. Seorang sosiolog yang termasuk paling awal mempermasalahkan konsep popular culture dan mass culture ini adalah Dwight Macdonald dalam tulisannya Masscult & Midcult yang terbit tahun 1960. Macdonald melihat terdapat 4 kategori budaya yaitu folk culture, mass culture (popular culture), midcult, dan high culture. Selanjutnya, Macdonald menulis :

Up to then, there was only High Culture and Folk Art. To some extent, Masscult is a continuation of Folk Art, but the differences are more striking than te similarities. Folk Art grew mainly from below, an autochthonous product shaped by the people to fit their own needs, even though it often took its cue from High Culture. Masscult comes from above. It is fabricated by technicians hired by businessmen. They try this and try that and if something clicks at the box office, they try to cash in with similar products .... Folk Art was the people’s own institution, their private little kitchen-garden walled off from the great formal park of their masters. But Masscult breaks down the wall, integrating te masses into a debased form of High Culture and tus becoming an instrument of domination. If one had no other data to go on. Masscult would expose capitalism as a class society rather than the harmonious commonwealth that in election year, both parties tell us it is ...

Dalam hal ini, Macdonald mempersamakan antara Popular Culture dengan Mass Culture. Namun, pandangan ini belum-lah fixed oleh sebab pada perkembangan selanjut, bermunculan tulisan-tulisan yang mengkrisinya.

Popular Culture tidaklah identik dengan Mass Culture, kendati Mass Culture dapat “menghegemoni” popular culture menjadi sekadar komoditas dagangan. Lewat pendapat Macdonald yang dicuplik di atas, Mass Culture adalah dirancang dari “atas” oleh kaum bisnis-industrialis yang mengkomersialisasi budaya ----baik folk culture, high culture--- guna menghasilkan uang dan dapat dipasarkan secara luas. Salah satu penafsiran atas tulisan

Page 37: Gabungan Kebudayaan

Macdonald salah satunya dibuat oleh Dominic Strinati. Strinati membahas konsep popular culture dan mass culture sebagai berikut :

... we can say that mass culture refers to popular culture which is produced by the industrial techniques of mass production, and marketed for profit to a mass public of consumers. It is commercial culture, mass produced for a mass market. Its growth means there is less room for any culture which cannot make money, and which cannot be mass produced for a mass market, such as art and folk culture. This also indicated how mass culture theory can be understood as a response to the industrialisation and commercialisation of popular culture ....

Dari pendapat Strinati di atas, ternyata popular culture dan mass culture adalah 2 entitas yang berbeda.

Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, popular culture merupakan lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang popular culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi popular culture karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat sosial.

Tiba kini kita berpindah ke pendapat dari John G. Nachbar. Nachbar mendefinisikan popular culture sebagai berikut :

If we combine our previous definition of “popular” with the camera’s view of “culture” then we have a “popular culture” which refers to “the products of human work and thought which are (or have been) accepted and approved of by a large community of population.” This definition ignores notions of “quality” in the culture ... Popular culture forms the vast majority of the artifacts and events which compose our daily lives but it does no consist of our entire culture.

Nachbar and Klause kemudian menjelaskan ke konsep budaya yang telah disebut oleh Macdonald sebagai Folk Culture. Menurut keduanya, folk culture :

“ ... refers to the products of human work and thought (culture) that have developed within a limited community and that are communicated directly from generation to generation, between “folk” who are familiar to each other. The means of communication usually oral, the “author” or “creator” of the artifact of event is often unknown ... and is typically simple both thematically and technologically.

Kita bicara soal folk culture tatkala membahas resep kue dari nenek, bagaimana merawat bayi dengan “membedong”, menaruh gunting dan bangle di bawah bantal bayi (termasuk sapu lidi), dan sejenisnya. Folk culture berkembang turun-temurun hampir tanpa nuansa komersialisasi.

Selain folk culture, Nachbar dan Klause juga bicara tentang High Culture yang mereka sebut sebagai “Elite Culture”. Menurut keduanya High Culture adalah :

“ ... refers to the products of human work and thought produced by and for a limited number of people who haave specialized interest, training or knowledge ... The elite artist is known by the audience, and his identity is vital to understanding and appreciating his

Page 38: Gabungan Kebudayaan

work –the artist is using his art to express his unique interpretaion of the world (of society of all of reality) and the more we know about him the more meaningful his work becomes ...Selanjutnya, Nachbar and Klause mempresentasikan taksonomi yang membedakan antara Popular Culture, Folk Culture, dan High Culture :

Dari pandangan di atas, tampak bahwa popular culture adalah konsep budaya yang paling potensial untuk menjadi Mass Culture (budaya massa). Sebab itu, banyak penulis kerap melakukan pergantian kata “mass” dengan “popular” untuk mengapresiasi perkembangan budaya-budaya kontemporer. Tatkala kita bicara tentang produk-produk mass culture, maka sesungguhnya kita bicara tentang popular culture yang dieksploitasi dan dikomersialisasi.

Konsep-konsep Budaya dan Sistem Budaya IndonesiaJelaslah bahwa kajian sistem budaya Indonesia berlangsung dalam aras Folk Culture. Telah umum diketahui, bahwa budaya Indonesia tumbuh di wilayah-wilayah yang tersekat oleh perairan dan pegunungan. Bangsa Indonesia “terkotak-kotak” dalam sekat-sekat lingkungan sehingga masing-masing mengembangkan budaya mereka sendiri yang berbeda satu sama lain. Pengakuan perbedaan ini ada dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua.

Budaya di masing-masing wilayah Indonesia bertahan secara turun-temurun. Dari orang tua kepada anak, yang bahkan diperkuat dengan pembentukan dewan-dewan budaya daerah. Namun, berkembangnya ekonomi kapitalis lewat proses industrialisasi dan peralihan dari masyarakat agrikultural ke arah masyarakat industri, membuat folk-folk culture tersebut menghadapi persaingan. Audiens dari suatu folk culture Indonesia adalah warga primordial wilayah. Misalnya, mereka yang mempraktekkan tari pendet biasanya adalah orang Bali karena unsur-unsur di dalam Tari Pendet kental nuansa ajaran dan tatakrama Bali.

Namun, kini audiens dari Tari Pendet memiliki pilihan akibat berkembangnya teknologi media massa. Audiens Tari Pendet kemungkin mengalihkan perhatiannya menganut seni pop, rock, ataupun disco yang disebar lewat media. Tari Pendet kehilangan daya tarik dan kemudian menjadi sekadar High Culture karena kerumitan berpakaian dan gerakan tinimbang musik rock, disco atau pop. Terlebih, musik rock,

Page 39: Gabungan Kebudayaan

disco, dan pop didukung oleh industrialis rekaman yang menyebarkan VCD/DVD musik-musik tersebut dengan harga murah (karena bajakan biasanya). Akibatnya, pemuda-pemudi Bali lebih paham musik-musik “mass culture” tersebut tinimbang Tari Pendet yang asli Bali sendiri. Sebab itu, kajian sistem budaya Indonesia selain yang terpokok mengeksplorasi folk culture di Indonesia, juga akan membahas aneka budaya populer yang mengalami massifikasi menjadi mass culture yang pelan tetapi pasti menghegemoni folk-folk culture di Indonesia.

C. PERAN KEBUDAYAAN DAN PENDIDlKANSekarang bangsa Indonesia sudah berada dalam era globalisasi, satu era yangditandai dengan "menciutnya" dunia disebabkan berkembangnya teknologi informasi.Dalam era ini dunia yang sebenarnya luas terkesan menjadi sempit karena daya jangkau informasi yang semakin panjang, semakin luas, dan semakin cepat sehingga membuka kemungkinan sistem aksesabilitas yang makin sempurna.

Dalam laporan UNDP “Human Development Report 1999” (1999) disebutkansecara jelas ciri-ciri globalisasi sbb: (1) Ethic, adapun maksudnya ialah tuntutan untukmengakhiri kekerasan dan pelanggaran HAM; (2) Inclusion, maksudnya ialah adanyatuntutan untuk memperkecil perbedaan-perbedaan antarbangsa; (3) Human Security,yaitu adanya tuntutan sanggup mengeliminasi instabilitas sosial; (4) Sustainability, yaitu adanya tuntutan untuk meminimalisasi perusakan lingkungan; serta (5) Development, adanya kesanggupan untuk berusaha mengakhiri kemiskinan dan deprivasi.

Jiwa dari globalisasi itu sendiri, adalah informasi yang tidak berbatas (borderless information). Di dalam situasi yang seperti ini terjadilah proses lintas budaya (trans cultural) serta silang budaya (cross cultural) yang kemudian mempertemukan nilai-nilai budaya yang satu dengan yang lainnya. Pertemuan nilai-nilai budaya, atau disebut kontakbudaya (cultural contact),dapat menghasilkan dua kemungkinan; pertama, pertemuantanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut dengan asimilasi(assimilation),serta kedua,pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut akulturasi (acculturalization).

Di dalam konteks kebudayaan nasional, globalisasi itu bukan sesuatu yangmenakutkan namun justru membuka peluang untuk menciptakan kemajuan kebudayaan yang positif; meski globalisasi itu sendiri tidak bebas dari unsur-unsur negatif. Untuk mengantisipasi itu bangsa Indonesia memiliki pedoman yang disebut "Teori Trikon”, yang terdiri dari tiga komponen sbb: Kontinuitas, melanjutkan budaya para “leluhur” bangsa yang mengandung

Page 40: Gabungan Kebudayaan

nilai-nilai positif; Konvergensi, membuka peluang bagi budaya manca untuk berakulturasi dengan budaya Indonesia; dan Konsentrisitas, hasil pertemuan budaya manca dengan budaya Indonesia hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilainilai)baru yang bermakna.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa saat ini kebudayaan nasional tidakkondusif untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Untuk itudiperlukan suatu perubahan budaya agar pembangunan nasional yang dijalankan bangsa Indonesia dapat membuahkan hasil yang optimal. Sebagaimana yang dicantumkan di dalam "Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Indonesia" (2000) pada dasarnya perubahan budaya bangsa Indonesia itu meliputi dua aspek sekaligus; masing-masing menyangkut perubahan sistem pengetahuan dan perubahan budaya politik. Di satu sisi sistem pengetahuan harus lebih ditingkatkan kualitasnya dan di sisi lain perubahan budaya politik masyarakat harus lebih direalisasikan.

Selanjutnya perubahan sistem pengetahuan meyangkut lima aspek sekaligus, yaitusbb: (1) dari egosentrisme ke sivilitas, (2) dari pengabaian hukum ke kesadaran hukum,(3) dari fanatisme ke toleransi, (4)dari cukup diri ke saling bergantung, serta (5) darisejarah alamiah ke sejarah yang manusiawi. Di sisi lain perubahan budaya politik jugamenyangkut lima aspek sekaligus, yaitu sbb : (1) dari kawula ke warga negara, (2) dariparokial ke kenegaraan, (3) dari negara serba kuasa ke negara serba sahaja, (4) dariPancasila sebagai ideologi ke ilmu , dan (5) dari Pancasila yang terpisah ke yang satu.Untuk menjalankan perubahan budaya tersebut diperlukan adanya dukunganpendidikan. Oleh karena dalam realitasnya kinerja pendidikan nasional kita masih rendah

maka persoalannya sekarang ialah bagaimana membenahi pendidikan itu sendiri untuk meningkatkan kualitas manusia supaya bisa berperan dalam mengubah budaya bangsa agar kondusif terhadap pembangunan nasional. Belum memuaskannya kinerja pendidikan di negara kita tidak lepas dari visi kepemimpinan kolektif pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Sangat Ironis, negara Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam ternyata kurang memiliki pemimpin yang mempunyai visi kepemimpinan jauh ke depan serta komitmen yang tinggi untuk membangun bangsa melalui pendidikan.

Keadaan tersebut di atas bukan saja dialami sekarang, akan tetapi sudah

Page 41: Gabungan Kebudayaan

dirasakan sejak bertahun-tahun yang lalu ketika kondisi ekonomi dan politik tidaksekompleks saat ini. Para petinggi pemerintah cenderung disibukkan oleh berbagai permasalahan instan serta terlena pada berbagai persoalan yang berjangka pendek sehingga kurang dapat memecahkan permasalahan bangsa dalam jangka panjang ke depan. Sampai sekarang kita tidak dapat menggambarkan bagaimana profil bangsa Indonesia seperempat abad ke depan dikarenekan para petinggi pemerintah memang tidak memiliki desain perencanaan yang matang. Di samping kurang memiliki visi kepemimpinan jauh ke depan ternyata komitmen pemerintah terhadap pendidikan juga sangat terbatas adanya. Pada waktu pemerintahan negara masih menggunakan sistem sentralisasi terlihat bahwa komitmen pemerintah (pusat) terhadap bidang pendidikan jauh dari kata maksimal. Sekarang, ketika pemerintahan negara menggunakan sistem desentralisasi ternyata komitmen pemerintah pusat terhadap bidang pendidikan masih saja jauh dari kata memadai; bahkan keadaan seperti ini juga dilakukan oleh banyak pemerintah daerah. Rendahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan dapat dicermati antara lain pada rendahnya anggaran yanq dialokasikan pada bidang pendidikan. Sejak kemerdekaan dideklaraisi di negara ini lebih dari setengah abad yang lalu ternyata anggaran pendidikan tidak pernah mencapai angka yang memadai .

Anggaran pendidikan di Indonesia memang sangat minim dan termasuk paling rendah dibanding negrara-negara lain, baik dengan negara-negara maju, berkembang, maupun terbelakang. Anggaran pendidikan di Indonesia hanya sekitar 1 persen dari GNP; pada hal angka rata-rata untuk negara-negara terbelakang (least developed countries) seperti halnya Angola, Bangladesh, Malawi, Ethiopia, Congo, Nepal, Samoa, dsb, sudah mencapai bilangan 3,5 persen. Sungguh-sungguh terjadi, Indonesia yang konon sudah lebih maju dari negara-negara terbelakang tersebut ternyata lebih pelit dalam mengalokasikan dana untuk kepentingan pendidikan rakyat. Hal ini sungguh tidak realistik.

Kalau dibandingkan perjalanan pendidikan Indonesia dengan Malaysia cukupmenarik hasilnya. Perjalanan kita lebih lambat dari pada Malaysia. Dulu Malaysia pernah berguru pada Indonesia, kini kondisinya terbalik 180 derajat. Pendidikan di Malaysia maju dengan pesat; dengan program SMART-nya pendidikan dasar maju pesat dan dengan program Malaysia 2020-nya maka pendidikan tinggi maju pesat. Ketika Indonesia kehilangan ketangguhan daya saing, sekarang daya saing Malaysia diperhitungkan oleh masyarakat dunia.

Apa kunci kemajuan di Malaysia? Pertama, para petinggi pemerintah di Malaysiamemang memiliki visi kepemimpinan yang jauh ke depan. Dibuatnya program "Malaysia

Page 42: Gabungan Kebudayaan

2020" dan jabarannya dalam program SMART di bidang pendidikan membuktikan hal itu. Kedua, komitmen pemerintah terhadap pendidikan memang relatif tinggi. Ini semuadibuktikan secara riil dengan mengalokasi anggaran pendidikan secara memadai. Selama ini, anggaran pendidikan di Malaysia tidak pernah kurang dari 15 persen terhadap budget negara. Ilustrasi tersebut di atas menggambarkan pentingnya visi dan komitmen pemerintah untuk, meningkatkan kinerja pendidikan nasional sehingga lebih berperan dalam mengkondisi masyarakat untuk kepentingan pembangunan nasionalPembangunan nasional yang berkelanjutan, baik yang telah lalu maupun yangakan datang, memerlukan dukungan kebudayaan nasional yang kondusif untuk itu. Untuk kepentingan tersebut diperlukan manusia-manusia bermutu sebagai hasil dari pendidikan;dan untuk itu semua diperlukan visi dan komitmen pemerintah yang lebih nyata terhadap pendidikan itu sendiri.