Fungsi Politik Institusi Pendidikan

Embed Size (px)

Citation preview

FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKANMakalah ini disusun untuk memenhui tugas Matakuliah Politik Pendidikan Nasional Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hamruni, M. SiDisusun oleh: Agus Sutejo (1220411241) Rifai Kusuma Nurudin (1220411189)PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 12012 FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN1 A. Pendahuluan Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fongsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.B. Pembahasan Bab ini menjelaskan beberapa fungsi politik pendidikan beserta segala implikasinya, baik terhadap dinamika kehidupan politik dan pendidikan itu sendiri maupun implikasinya terhadap tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya. 1. Institusi Pendidikan Sebagai alat Kekuasaan? Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Eliot (1959;1046) menulis sebagai berikut. Although political power is centered in group and individuals, its effectiveness and use are shaped by institutions. The institutional patter of public education may seem firmly fixed, firmly enough, certainly, so that any proposal, to have a chance of success, must appear to conform to it (Walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektifitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi. Pola1 M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktek Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 37-57institusional pendidikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil. Setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya). Eliot (1959:1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok professional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-individu yang didewa-dewakan seperti John Dewey, John Lock, William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Kebutuhan ini sering menyebabkan terjadinya modifikasi program untuk mengantisipasi tuntunan publik. Ketiga, aktifitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik. Berbagai kelompok tersebut sering mempengaruhi isi kurikulum dan sulit dicegah. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran. Menurut Massialas (1969a:18-79 dan 1969b:155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatu sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negative terhadap penguasa atau symbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berprestasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di negara-negara Komunis misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme. Dari generasi ke generasi negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang telah ditimbulkan oleh sistem pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin 3mencapai tujuan-tujuannnya, termasuk tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan seringkali memainkan peran sentral dalam menentukan arah perubahan politik. Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan. Manakali terjadi transformasi radikal dalam sistem politik, misalnya setelah revolusi Prancis dan Rusia, salah satu langkah utama yang dilakukan oleh para penguasa di sana adalah menata sistem pendidikan. Penguasa yang baru dengan cepat berusaha mereformasi dan menerapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan tujuan tujuannya. Para penguasa yang baru naik tahta saat itu menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka berkaitan dengan ide-ide dan pola-pola perilaku yang ditransmisi melalui fasilitas kependidikan. Kesadaran ini mungkin saja salah, tetapi ini adalah suatu persoalan hubungan antara pendidikan dan politik yang memerlukan penjelasan melalui penelitian terencana. Penjelasan atas persoalan tersebut akan dapat mengungkapkan kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan ketahanan sistem politik. Di Indonesia, misalnya, daya tahan rezim Soeharto selama 32 tahun banyak melibatkan kebijakan-kebijakan kontroversial dalam bidang pendidikan, baik menyangkut pengelolaan maupun kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Misalnya tentang kebijakan kurikulum Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan tentang seragam sekolah, khususnya tentang hak mengenakan jilbab bagi siswi disekolah umum. Kebijakan-kebijakan tersebut banyak dipengaruhi oleh tekad bulat para penguasa rezim untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler berlandaskan Pancasila. Bahan ajar untuk bidang studi sejarah, agama dan kenegaraan didesain sedemikian rupa, sesuai dengan visi dan misi politik penguasa rezim. Di Malaysia, konflik pribadi antara Mahathir Muhammad dan Anwar Ibrahim berimplikasi pada kebijakan pemerintah terhadap Universitas Islam antar Bangsa atau International Islamic University Malaysia (IIUM) di mana Anwar Ibrahim adalah salah seorang pendirinya. Sejak konflik tersebut merebak, berbagai kegiatan di lingkungan universitas tersebut mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Mahathir. Untuk mencegah berkembangnya sikap anti pemerintah di perguruan tinggi tersebut, pemerintah Mahathir telah melakukan pengawasan ketat terhadap kegiatan akademik di kampus IIUM. Sebagai implikasi dari kebijakan pemerintahMahathir terhadap para pelaku terorisme dan kelompok-kelompok Islam garis keras di negeri itu, telah dilakukan pengurangan subsidi terhadap sekolah-sekolah agama yang ada di sana. Di Indonesia, hal serupa terjadi pada kasus pelarangan oleh pemerintah Orde Baru terhadap rencana keluarga Bung Karno untuk mendirikan Universitas Bung Karno di Jakarta. Pertentangan politik antara Orde Baru dengan keluarga Bung Karno ternyata terbawa ke dalam wilayah kebijakan pendidikan. Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Jika selama masa Orde Baru otoritas pendidikan di kabupaten dan kota hanya merupakan perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maka pada era reformasi sekarang ini otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menata sistem pendidikan masing-masing. Inilah semangat otomisasi yang tergambar dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.2 Untuk menunjang proses otomisasi, sekolah-sekolah yang sebelumnya hanya merupakan unit pelaksana yang hanya menerima berbagai kebijakan kependidikan yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan di pusat dan daerah, saat ini diharapkan lebih memiliki kemampuan selfsufficient dan self-fulfilment. Inilah salah satu alasan mengapa sejak 1998 pihak Departeman Pendidikan Nasional telah menjalankan pilot project penerapan School Basic Manajemen (SBM) di sejumlah sekolah di seluruh Indonesia. Untuk memperkuat daya dukung sektor pendidikan terhadap gerakan reformasi dan mendongkrak daya saing sumber daya manusia nasional, otoritas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, telah berketetapan untuk meninggalkan content based curriculum dan memberlakukan competency based curriculum. Untuk memacu partisipasi para stakeholder pendidikan, pihak Departemen pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based education. Saat ini di sekolah-sekolah telah dibentuk Komite Sekolah dan Komite Madrasah telah dibentuk Komite madrasah yang keanggotaannya2 Pada tanggal 15 Oktober 2004, Undang-undang tersebut telah direvisi dan secara resmi telah digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.5merupakan perwakilan dari para stakeholder. Untuk mem-back-up pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam mendesain dan mengembangkan progamprogam pendidikan, maka di beberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan Pendidikan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari para pakar pendidikan yang ada di daerah. Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah juga telah memberlakukan kebijakan serupa melalui Peraturan Nomor 61 Tahun 1999 dengan nama lima perguruan tinggi utama (Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Pajajaran) telah dijadikan sebagai pilot project perguruan tinggi berbadan hukum, bahwa lima perguruan tingggi tersebut berubah status dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan perubahan status tersebut, maka para pengelola institusi pendidikan tinggi tersebut diberi kebebasan untuk mencari, memanfaatkan, dan mengembangkan dana serta progam perkuliahan. Pengelolaan dana pada BHMN diharapkan tidak lagi bersifat project oriented, tetapi profit oriented. Para pimpinan BHMN diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan sumber-sumber dana, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai akademik. 2. Sosialisasi Politik atau Politisasi Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik mendasar yang harus dimiliki bersama oleh sebagian besar anggota dari sistem yang sedang berjalan dengan berbagai variasi. Kita dapat memahami fungsi pendidikan dalam konteks ini dengan baik jika mencari momentum dalam proses sosial lebih luas yang berlangsung dalam setiap sistem. Salah satu prasyarat fundamental bagi bertahannya sebuah sistem politik, menurut Easton (1957: 311), adalah apabila orang-orang yang terlibat dalam sistem politik tersebut berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Bagian paling relevan dari proses conditioning ini, menurut Easton (1957: 311), adalah sosialisasi politik (political socialization) atau politisasi (politicization). Menurutnya, daya tahan suatu sistem dalam banyak hal akan tergantung pada sejauh mana keberhasilan proses politisasi. Salah satu jalan yang menghubungkan sekolah dan politik, kata Massialas (1969: 155) adalah melalui sosialisasi politik anak-anak dan para pemuda. Sekolahdengan berbagai perangkatnya; kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisai-organisasi, yang ada di sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi, dan lain-lainnya, bisa saja secara eksplisit maupun implisit, terkait dengan transmisi orientasi politik dasar terhadap lingkungan. Orientasi politik dasar, menurutnya, terbentuk pada pada usia sangat dini, khususnya antara usia hingga 13 tahun. Orientasi politik yang terbentuk pada usia tersebut akan terus berlanjut sepanjang hidup kecuali jika ada lingkungan sangat kuat yang mempengaruhi individu. Orientasi politik dasar, tandas Massialas (1969: 155), bisa bersifat (a) cognitive (misalnya, kemampuan menganalisis dan menginterpretasi data tentang perilaku atau institusi politik; 9b) afektif (misalnya, pengembangan sikap positif atau negatif terhadap simbol-simbol otoritas; atau (c) evaluatif (misalnya, penilaian berdasarkan aplikasi standar tertentu terhadap performa peran politik). Pada gilirannya, orientasi politik yang berkembang pada diri anak dan para pemuda banyak menentukan kultur politik yang dominan. Dalam suatu budaya di mana secara relative ada derajat keterlibatan warga yang tinggi (civic cultures) pada umumnya terdapat orang-orang yang memandang diri mereka memiliki kemampuan untuk bermain politik (politically efficacious). Mereka merasa mampu mempengaruhi keputusan politik melalui usaha mereka sendiri. Perasaan seperti ini biasanya dapat termanifestasi dalam sistem politik yang terbuka dan demokratis. Dalam kultur politik paroki, biasanya rakyat kurang memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mengubah situasi politik. Mereka kurang berusaha mengubah pemerintah dengan usaha mereka sendiri. Pada bangsa-bangsa seperti ini, warga negara tidak mengharap apa pun dari sistem politik. Mereka cenderung nrimo, apatis, dan pasif. Sosialisasi politik diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan suatu sistem politik, harus ada dukungan yang cukup dari warga negara. Dukungan atau kritik terhadap suatu sistem diberikan oleh agen-agen sosialisasi, seperti keluarga, gereja atau masjid, kelompok sebaya (peer group), dan sekolah. Sekolah, misalnya, dapat menyosialisasikan anak didik untuk menerima kebijakan-kebijakan pemerintah dan memiliki sikap loyal terhadap pemerintah. Sebaliknya, sekolah juga dapat menanamkan sikap kritis terhadap suatu rezim. Dengan menekankan hak dan privilese mereka sebagai warga negara, ketimbang tugas-tugas dan kewajiban 7mereka, sekolah dapat menstimulasi para pemuda untuk mengorganisasi dan mengartikulasikan keinginan tertentu terhadap pemerintah dalam bentuk tuntutan. Kadang kala, sebagaimana sering terlihat tuntutan tersebut ditujukan pada administrasi sekolah yang merepresentasikan simbol otoritas politik masyarakat yang lebih luas. Pihak Departemen Pendidikan Nasional, misalnya, sering menjadi sasaran protes manakala muncul ketidakpastian terhadap kinerja sekolah atau mutu lulusan. Banyak juga tuntutan yang ditujukan langsung kepada para pemimpin politik. Para mahasiswa berekspresi melalui aksi-aksi mereka, baik secara spontan maupun secara terorganisasi, untuk menyatakan keprihatinan dan kepentingan mereka pada pemerintah. Tidak jarang keprihatinan tersebut berujung pada tuntutan penggantian kekuasaan. Dapat dicatat bahwa di banyak negara, misalnya di Turki pada masa kekuasaan Adnan Manderes dan di Korea Selatan pada masa Ferdinan Marcos dan di Indonesia pada masa kekuasaan Soeharto, pemerintah tumbang oleh aksi-aksi yang diawali oleh mahasiswa. Selain pada tingkat nasional, sosialisasi politik juga dapat berlangsung pada tingkat internasional. Pada tingkat ini, sosialisasi politik memiliki dua pengertian. Pertama, istilah ini merujuk pada proses transmisi pengetahuan tentang dan sikap terhadap komunitas internasional. Misalnya, anak-anak Indonesia belajar tentang sistem politik lain di berbagai negara di dunia dan mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap berbagai sistem politik tersebut. Kedua, istilah sosialisasi politik internasional merujuk pada proses transmisi orientasi politik di berbagai negara. Misalnya, apakah perilaku politik anak-anak Jerman banyak dipengaruhi oleh institusi pendidikan sebagaimana anak-anak Inggris? Apakah anak-anak Italia bersikap sinis terhadap aspek-aspek politik tertentu sebagaimana anak-anak amerika? Pada era otonomi daerah atau desentralisasi, sosialisasi juga dapat terjadi dan didesain untuk kebutuhan regional. Para elit politik yang ada di daerah dapat saja membuat kebijakan sedemikian rupa, untuk mengoptimalkan fungsi lembaga pendidikan sebagai media sosialissasi politik. Salah satu hasil langsung dari sosialisasi politik adalah tumbuhnya keyakinan akan kemampuan politik (political efficacy) di kalangan masyarakat. Political efficacy adalah salah satu hasil (outcome) yang dapat diperoleh dari sosialisasipolitik,yaitusuatugambaranbahwaseseorangmenilaidirinyadapatmempengaruhi proses keputusan politik pemerintah (Massialas, 1969: 157). Gambaran ini muncul dari kemampuan orang tersebut memahami jalannya pemerintahan dan rasa berkompeten untuk mengubahnya. Tingkat efficacy suatu bangsa merupakan indikasi yang baik bagi kultur politik bangsa tersebut, apakah parochial, subject, civic, atau campuran. Untuk memaksimalkan political efficacy dan meminimalisasi ethnocentrism, guru-guru harus mengikuti harus mengikuti isuisu sosial politik yang sedang berkembang, memasukkannya dalam progam formal sekolah dan mendiskusikannya secara intensif dengan dukungan semua unsur yang ada dalam lingkungan sekolah. Secara lebih luas, sosialisasi politik melalui proses pendidikan dapat mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa tranformasi politik yang besar di mana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideologi dan agenda politiknya adalah dengan mengontrol sistem pendidikan. Ketika sistem politik mengalami transformasi radikal, seperti Revolusi Prancis dan revolusi Rusia, langkah awal yang ditempuh oleh para penguasa yang baru adalah segera mengubah sistem pendidikan. Mereka mengubah struktur, personil, kurikulum, dan peserta pendidikan. Para penguasa baru tersebut memaklumi bahwa keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka sangat terkait dengan ide-ide dan pola perilaku yang ditransmisikan melalui fasilitas pendidikan. Hal serupa juga dilakukan bangsa-bangsa Eropa untuk memperkuat ceengkeraman kolonialisme di negara-negara Asia dan Afrika. Dalam konteks inilah dapat dilihat denga jelas betapa pendidikan berperan besar dalam integrasi sistem politik. Jelas pula bahwa, jika pendidikan tidak menjalankan fungsi integratifnya dengan baik, akan muncul tekanan-tekanan dan hambatan-hambatan yang harus dihadapi oleh suatu sistem politik. Cara paling umum yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan keberlanjutan suatu sistem politik dijelaskan oleh Easton (1957: 311) bahwa pendidikan membantu menegmbangkan dan mentramisi orientasi dasar politik tertentu yang, dalam variasi tertentu, harus dimiliki bersama oleh para anggota dari sistem yang ada. Kita dapat memahami dengan baik fungsi yang dimainkan oleh pendidikan dalam hal ini jika kita mencari momentum pada proses sosial yang lebih besar yang sedang berjalan dalam setiap sistem. 9Eaton (1957: 311) melanjutkan salah satu kondisi fundamental untuk mempertahankan suatu sistem politik adalah bahwa ketika generasi muda dalam suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan, nialai-nilai, dan sikap-sikap sebagaiman diharapkan oleh para anggota dari sistem yang ada. Apakah sesuatu sistem politik baik atau buruk, jika sistem itu ungin berlanjut, dalam artian luas sistem tersebut harus mampu mendidik anggota masyarakat untuk memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan dari mereka. Jika kita menggunakan konsep sosialisasi untuk mendeskripsikan proses yang harus ditempuh oleh individu untuk menjadi anggota masyarakat yang sebenarnya, kita dapat mengidentifikasi bahwa aspek dari proses tersebut relevan dengan penguasaan peran politiksebagai sosialisasi politik (polical socialization) atau politisasi (politicization). Apa yang terlibat dalam proses politisasi? Nilai terpenting dari politisasi, enurut easton (1957: 311), karena politisasi memungkinkan transmisi dan penanaman dalam mematangkan para anggota suatu sistem politik terhadap orientasi politik dasar yang mesti dimiliki oleh semua anggota, paling tidak oleh kalangan dewasa. 3. Orientasi Dasar Politik Orientasi dassar politik (basic political orientation), menurut Easton (1957: 311-12), mencakup tiga elemen utama. Pertama, objek politik (polotical objects) atau kesan yang dipersepsikan (perceive images). Karena kita tidak dapat betindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan tindakan politik kita harus mengarahkan diri kita pada objek politik tertentu. Kita menginginkan sesuatu dari pemerintah, kita mendukung suatu partai atau seseorang, dan sebagainya. Inilah orang-orang atau lembaga-lembaga yang menjadi objek tuntutan politik. Orangorang dan lembaga-lembaga tersebut memiliki kesan tersendiri tentang kehidupan politik. Hipotesis dari pandangan ini, menurut Easton (1957:312), bahwa orangorang yang memiliki kesan yang berbeda-beda tentang objek-objek yang menjadi sasaran aktivitas dan tuntutan polotik mereka akan menghadapi kesulitan dalam mengoordinasikan perilaku mereka. Kedua, nilai-nilai (values) atau kesan yang diinginkan (desired images). Mengetahui kesan yang diinginkan sama halnya dengan pencarian satu aspek sistemkepercayaan dalam sistem politik. Untuk tujuan ini kita perlu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Doktrin atau filosofi politik apakah yang diikuti oleh para anggota? Siapakah yang dikehendaki oleh para anggota untuk menjadi otoritas politik mereka? Bagaimana keinginan mereka terhadap organisasi dari otoritas politik tersebut? Kualitas apakah yang menurut mereka harus dimanisfestasikan oleh otoritas politik tersebut di dalam menjalankan peranannya? Dengan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kita dapat mengidentifikasi dan mengungkapakan norma-norma politik dasar yang diyakini oleh anggota dari sistem politik dan membandingkan mereka untuk mmbuat pengelompokan dan pemisahan dalam sejumlah variasi. Ketiga, sikap politik (political attitude). Anggota-anggota dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap terhadap objek-objek politik. Mereka mungkin saja berbeda, misalnya, dalam hal keramahan, kehangatan, penerimaan-penolakan, kpeercayaan-kecurigaan, dan minat-ketidaksukaan yang mereka ekspresikan terhadap institusi-institusi dan otoritas politik. Sikap-sikap tersebut tentu saja tidak semuanya tertransmisi melalui sistem pendidikan, tetapi tentu saja sistem pendidikan memainkan peran penting di dalamnya. Bagi Easton (1957:312), tiga orientasi dasar politk di atas tidak diperoleh secara terpisah selama proses politisasi. Ketiganya satu sama lain saling terkait. Kesan yang dipersepsikan oleh individu, tertentu tentang orang-orang, praktik, dan institusi akan dibentuk secara bersama oleh apa yang dia kehendaki dan sikap-sikap yang diekspresikannya terhadap objek-objek politik. Banyak badan dan mekanisme dalam masyarakat, yang memberi kontribusi pada sosialisasi politik anggota suatu sistem politik. Institusi-institusi pendidikan memainkan peran penting dalam menentukan ketahanan, integrasi dan perubahan sistem politik, karena proses pendidikan dapat membentuk jenis-jenis orientasi dasar yang dimiliki oleh individu. Meskipun kelompok sebaya (peer group), keluarga, mass media, dan pengalaman politik juga turut menentukan, peranan institusi-institusi pendidikan tidak bisa dikesampingkan. Rata-rata anak berada di bawah pengaruh sekolah mulai dari usia lima tahun hingga usia 15 atau 16 tahun, suatu periode yang cukup bagi sekolah untuk memberi warna pada kehidupan mereka pada masa dewasa. Atas pertimbangan tersebut, tandas Easton (1957:314), ada cukup alasan untuk percaya bahwa memainkan peranan penting dalam proses pembentukan dan transmisi 11orientasi dasar politik (basic political orientation). Selain menanamkan orientasi dasar politik (basic political orientation), institusi-institusi pendidikan, menurut Harman (1974:11-12), juga mempunyai enam fungsi penting lainnya, yaitu membantu mengembangkan, memformulasikan, dan memopulerkan asar-dasar ideologi sosial dan politik. Pendidikan formal memberikan kontribusi besar pada integrasi politik. Sistem pendidikan yang sangat sentralistik telah membantu menumbuhkan dan memperkuat rasa kenegaraan (sense of state) dan identittas nasional (national identity). Pendidikan formal juga mampu menjembatani keterpisahan antarwilayah dan mengasimilasi anak-anak migran ke dalam masyarakat. Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekrutmen politik. Pada umumnya pendidikan meningkatkan peluang bagi individu untuk naik ke jenjang kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi dan untuk mendapatkan status elite politik. Selain itu, tanpa jenis pendidikan tertentu atau tanpa pernah memasuki lembaga pendidikan tertentu, individu kurang memiliki kesempatan untuk berkompetisi mendapatkan posisi kunci di sektor pelayanan publik atau pemerintahan. Misalnya, gelar sarjana meningkatkan kesempatan bagi seseorang untuk menduduki jabatan tinggi di lembaga pemerintahan. Pada era otonomi daerah, misalnya, beberapa provinsi menekankan bahwa para calon kepala dinas diutamakan mereka yang berpendidikan S2. Wajib belajar yang bersifat universal telah memainkan peran penting dalam memberantas buta aksara secara massal sehingga memungkinkan terlaksananya sistem komunikasi daalm sistem politik modern saat ini. Tanpa massa yang melek huruf suatu sistem politik tidak mungkin dapat dijalankan dari generasi ke generasi. Kelompok-kelompok yang dipertemukan melalui industri pendidikan, seperti dosendosen, guru dan murid, sering memainkan peran penting dalam memberikan masukan pada sistem politik. Kelompok-kelompok mahasiswa, misalnya, telah sangat memengaruhi pandangan pemerintah tentang berbagai sektor kehidupan publik. Sikap kritis dan dinamis yang banyak dimiliki oleh para mahasiswa sering kali memengaruhi kebijakan publik pemerintah. Begitu juga halnya dengan guruguru. Mereka juga sering memainkan peran politik penting dalam masyarakat. Guruguru adalah kelompok politik yang sangat signifikan, selain karena partisi langsungmereka dalam politik, juga karena posisi mereka sebagai penghubung komunikasi anatara kelompok elite modern dengan massa rakyat (Abenethy dan Combee, 1965: 296). Melalui guru-guru ide-ide tentang nasionalisme ditransmisi dari para pemimpin politik kepada pers. Tidak jarang guru-guru selamanya diizinkan walaupun tidak menjadi aktivis partai politik yang terlibat langsung dalamorganisasi dan pendidikan politik. Namun, perlu diingat bahwa keterlibatan guruguru dalam dunia politik bisa didorong oleh keinginan untuk mengekspresikan aspirasi politik tertentu, bisa juga karena terkooptasi oleh kekuatan penguasa. Pada masa Orde Baru (1968-1998), misalnya, guru-guru, baik secara individu maupun melalui organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), banyak yang berafiliasi dengan golongan karya (Golkar), kekuatan hegemoni dalam sistem perpolitikan Indonesia pada waktu itu, karena ditekan oleh rezim yang berkuasa, bukan karena dorongan untuk mengekspresikan aspirasi politik tertentu. Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dan implementasi kebijakan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi politik penting. Antara lain, lembagalembaga tersebut mempengaruhi jenis dan tingkat pengangguran dalam masyarakat, mobilitas sosial dan stratifikasi, serta distribusi kekuatan politik dan ekonomi. Lembaga-lembaga tersebut juga memungkinkan beberapa individu dan kelompok mendapatkan keuntungan secara sosial dan ekonomi lebih dari yang lainnya. Sementara itu, implementasi berbagai kebijakan membantu melahirkan berbagai tuntutan baru. 4. Civic Education Studi-studi politik pendidikan dapat diarahkan pada wilayah permasalahan (problem areas) yang cukup luas. Apa jenis orientasi yang masuk ke dalam sistem sekolah, tidak hanya melalui nahan ajar yang terdapat dalam kurikulum, tetapi melalui pengajaran informal yang tergantung pada pengetahuan dan pengalaman staf pengajar? Bagaimana transmisi berbagai jenis orientasi secara signifikan berhubungan dengan karakteristik sosio-ekonomi, pandangan politik, etnisitas, agama, dan sejenisnya, dari para staf pengajar? Apa jenis orientasi yang diserap oleh para siswa dari seorang staf pengajar berbeda dari latar belakang sosio-ekonomi, etnik, agama, dan preferensi politik siswa? Apakah terjadi disparitas antara kesan kesan yang dipersepsikan (percived image) dan kesan yang dikehendaki (desired 13image) dalam pikiran siswa? Biasanya akan ada kesenjangan antara cara pandang siswa terhadap politik sebagaimana yang terorganisasi dan dilaksanakan serta sistem politik yang mereka kehendaki. Jika ada kesenjangan yang cukup besar antara kesan yang dipersepsikan (percived image) dan kesan yang diinginkan (desired image), maka ada alasan untuk percaya bahwa seorang individu dalam posisi siap untuk menggeser aliansi politiknya dari satu otoritas politik ke otoritas politik lainnya. Selain itu, penting juga diketahui sejauh mana orientasi politik yang dibentuk melalui pengalaman pendidikan berlanjut pada kehidupan dewasa. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, menurut eatson (1957: 315), akan membantu para ilmuwan politik memahami secara konkret proses yang dilalui oleh pendidikan dalam memengaruhi ingtegrasi sistem politik. Karena pemahaman tersebut memberi pengetahuan tentang konsekuensi-konsekuensi politik pendidikan, para ilmuwan pendidikan akan lebih mudah memahami relasi institusiinstitusi mereka dengan masyarakat lebih luas di mana mereka adalah salah satu bagiannya. Dan yang tidak kalah pentingnya, para ilmuwan pendidikan juga akan mampu membandingkan efek pendidikan terhadap ilmu pengetahuan, nilai dan sikap individu dengan tujuan-tujuan yang diartikulasikan dalam filsafat pendidikan di mana sistem pendidikan mereka jalankan. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan informasi tentang keberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuantujuannya pada era yang lebih kurang dapat disebut training for citizenship. Inilah salah satu alasan penting dicantumkannya pendidikan kewargaan (civic education) dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara. Meskipun mengalami perubahan nama, bidang studi ini terus-menerus dicantumkan dalam kurikulum nasional pendidikan Indonesia. Hingga awal tahun 1980-an, istilah yang digunakan untuk pendidikan kewargaan dalam sistem pendidikan Indonesia adalah civic. Memasuki akhir tahun 1980-an, istilah civic dihapus, lalu diganti dengan nama-nama lain yang lebih konstektual dengan kebutuhan sosio-politik penguasa pada waktu itu, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Namun setelah memasuki era reformasi, tuntutan akan civic education kembali muncul di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Atas dasar tuntutan tersebut berbagai intstitusi pendidikan mulai melakukan kajian-kajianuntuk mempersiapkan pendidikan kewargaan (civic education). Di lingkungan perguruan tinggi agama Islam (PTAI), persiapan tersebut tidak kalah gencarnya. Pada tahun 2000 Pusat Penelitian Institut Agama Islam negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (saat ini Universitas Islam Jakarta) menerbitkan buku berjudul Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demkrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Buku tersebut memuat penjelasan tentang signifikasi, konteks, ruang lingkup, dan pendekatan civic education. Tentu saja buku tersebut diharapkan mendorong berbagai lembaga pendidikan tinggi untuk menyajikan civic education dalam kurikulum mereka. Namun, harus diingat bahwa lembaga pendidikan bukanlah satu-satunya agen yang terlibat dalam proses sosialisasi politik. Keluarga dan mass media juga memainkan peran penting dalam proses tersebut (Connel 1969, 1970, dan 1971). Namun, kenyataan bahwa sekolah memiliki akses terhadap pikiran anak-anak selama berjam-jam sehari untuk masa paling tidak sepuluh tahun berturut-turut, memberikan kesempatan besar pada sekolah untuk memengaruhiide-ide dan sikapsikap politik, dan cukup banyak bukti tentang hal ini. Sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, sangat giat mengindoktrinasi anak-anak dengan nilai-nilai dasar masyarakat, dan mendorong mereka untuk menerima simbol-simbol politik bangsa dan sikap terhadap penguasa dan rezim. Sekolah dan sistem sekolah cenderung percaya begitu saja bahwa semua ini adalah bagian dari peran dan tanggung jawab mereka. Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik didasari maupun tidak didasari oleh pengelolanya. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi tidak terlepas dari dinamika sosial politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecenderungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, karena para pengelola sekolah pada dasarnya juga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.15C. Kesimpulan Salah satu kandungan dari institusi pendidikan adalah politik, yakni politik yang tidak lain politik untuk memaju-kembangkan pendidikan. Namun, dalam kenyataan pada umumnya, fungsi-fungsi tersebut dapat berubah haluan untuk kepentingan yang lain. Meskipun tidak sepenuhnya melenceng dari tujuan dasar, karena banyak pula didapati unsur politik berperan penting dalam memaju-kembangkan institusi pendidikan. Sebagai contoh semakin pesatnya lembaga-lembaga pendidikan dengan indikator banyaknya warna-warna model pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tingkat tinggi. Baik itu lembaga yang berstatus negeri maupun swasta, maupun lembaga yang berorientasi sebagai jembatan untuk mencerdaskan anak bangsa dan demi kemajuan bangsa. Sampai disitu, maka penilaiannya masih dianggap murni atau tidak melenceng, akan tetapi, bila sudah tercampuri dengan unsur-unsur yang dinilai tidak sesuai tujuan awal diadakannya lembaga pendidikan, seperti tujuan untuk politik yang pada akhirnya untuk meraih kekuasaan, maka disinilah letak nilai negatifnya dari fungsi politik intsitusi pendidikan.D. Daftar PustakaSirozi, M., Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktek Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 37-57