22
Inovasi “Healthy Biscuit” berbahan baku Tepung sagu Dengan Formulasi Ubi jalar dan Kacang Hijau Disusun Untuk Memenuhi Tugas Biokima Pangan Disusun Oleh : Kelompok David H Sinaga 24030110110003 Firda Kusumaningrum 240301101200 Afrianti Reza Kusuma 24030110120018 M.Fadlu J2C0090 Buyung J2C0090 JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Functional Food Biskuit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fungsional food biskuit

Citation preview

Page 1: Functional Food Biskuit

Inovasi “Healthy Biscuit” berbahan baku Tepung sagu

Dengan Formulasi Ubi jalar dan Kacang Hijau

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Biokima Pangan

Disusun Oleh :

Kelompok

David H Sinaga 24030110110003

Firda Kusumaningrum 240301101200

Afrianti Reza Kusuma 24030110120018

M.Fadlu J2C0090

Buyung J2C0090

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2012

Page 2: Functional Food Biskuit

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

tinggi dan keanekaragaman hayati yang besar. Sumber daya alam ini merupakan modal

penting untuk memenuhi kebutuhan pangan. Penggalian potensi bahan pangan lokal

unggulan daerah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai ketahanan

pangan nasional. Sagu, umbi-umbian serta kacang-kacangan adalah salah satu komoditas

pertanian Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan.

Sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan pensubstitusi produk

pangan dan bahan baku untuk industri. Tanaman sagu dapat dipanen dan diolah tanpa

mengenal musim, serta resiko terkena hama penyakit tanaman kecil (Djoefrie, 1999).

Namun potensi sagu belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan sagu di

Indonesia baru sekitar 10% dari potensi yang ada. Berdasarkan potensi areal, dan

kebutuhan pangan masyarakat, sagu berperan sebagai sumber karbohidrat yang dapat

dimanfaatkan untuk produk-produk pangan (Limbongan, 2007).

Dari semua jenis umbi-umbian yang terdapat di Indonesia, ubi jalar (Ipomoea

batatas) adalah umbi terpenting setelah singkong. Umbi ubi jalar sebagian besar

digunakan sebagai makanan, sedangkan kelebihan panennya dapat digunakan sebagai

bahan mentah untuk industri. Ubi jalar memiliki potensi produktivitas yang tinggi, yaitu

sebesar 30-40 ton/ha. Namun dalam dekade terakhir produktivitas ubi jalar menurun jauh

hingga 9.4-9.5 ton/ha. Padahal ubi jalar dapat menjadi substitusi bahan pangan pokok di

Indonesia, karena ubi jalar merupakan penghasil karbohidrat. Nilai kalori ubi jalar cukup

tinggi, yaitu 123 kalori / 100 gram. Ubi jalar berkulit tipis, apabila kulit tersebut rusak

organisme akan mudah masuk dan merusak umbi. Pengolahan ubi jalar menjadi produk

jadi maupun setengah jadi selain meningkatkan nilai ekonomis ubi jalar, juga

meningkatkan masa simpan.

Kacang-kacangan merupakan sumber protein nabati. Salah satu jenis kacang-

kacangan yang dapat dikembangkan sebagai produk pangan adalah kacang hijau. Kacang

hijau merupakan sumber zat gizi yang sangat potensial. Kandungan proteinnya dapat

mencapai 20 – 25 persen. Kacang hijau juga mengandung vitamin dan mineral yang

penting untuk tubuh manusia. Vitamin yang paling banyak terkandung pada kacang hijau

Page 3: Functional Food Biskuit

adalah thiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), dan niasin (vitamin B3). Selain itu

kacang hijau juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber). Kadar serat dalam

kacang hijau dapat mencegah terjadinya sembelit, serta penyakit lainnya yang

berhubungan dengan sistem pencernaan. Kombinasi kacang hijau dengan sumber

karbohidrat seperti ubi jalar dan sagu akan menghasilkan produk dengan kualitas gizi

yang lebih baik.

Pemanfaatan bahan pangan lokal, dapat ditingkatkan melalui pengembangan

produk olahannya. Hal ini juga diperlukan untuk mewujudkan diversifikasi pangan.

Pengembangan produk perlu diarahkan untuk menciptakan suatu produk baru yang

memiliki beberapa sifat yang diminati oleh masyarakat. Saat ini masyarakat

menghendaki produk yang bersifat praktis, tersedia dalam segala ukuran, dan mudah

didapat di mana saja. Salah satu jenis produk yang memenuhi kriteria tersebut adalah

biskuit. Biskuit adalah produk makanan kering yang sifatnya mudah dibawa karena

volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat

dikelompokkkan berdasarkan tingginya kandungan gula dan shortening serta rendahnya

kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Salah satu klasifikasi biskuit

adalah cookies. Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak dengan

sifat yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Cookies umumnya dibuat dari

bahan baku terigu. Cookies dari bahan-bahan lokal seperti sagu, ubi jalar, dan kacang

hijau belum banyak dikembangkan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Mengapa pada “Healthy Biscuit” ini dapat dikatakan Functional Food ?

1.2.2 Komponen apasajakah yang terdapat pada produk Functional food tersebut?

1.2.3 Bagaimanakah Proses mekanisme dari Healthy Biscuit ?

1.2.4 Bagaimana jika komponen dari Healthy Bisciut disubstitusi dengan

komponen/bahan baku yang lain ?

Page 4: Functional Food Biskuit

1.3 Tujuan Makalah

1.3.1 Mengenal dan mengetahui karakteristik dari produk Healthy Biscuit ini termasuk

golongan Functional Food.

1.3.2 Mengetahui macam-macam kombinasi atau bahan baku dari Healthy Biscuit.

1.3.3 Mengetahui Proses pembuatan Healthy Biscuit menjadi Functional food.

1.3.4 Mengetahui kandungan pada kombinasi bahan baku Healthy Biscuit.

Page 5: Functional Food Biskuit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biskuit

Biskuit merupakan produk kering, disimpan dalam waktu lama dan mudah dibawa

dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses

pengeringan (Whiteley, 1971). Menurut Manley (1998) biskuit diklasifikasikan

berdasarkan beberapa sifat, yaitu : (1) tekstur dan kekerasan; (2) perubahan bentuk akibat

pemangganan; (3) ekstensibilitas adonan; dan (4) pembentukan produk. Berdasarkan SII

tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan

wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Crackers

adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur

yang berlapis-lapis. Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak

dengan sifat yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Sedangkan wafer

adalah jenis biskuit dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki

tekstur yang berongga.

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti

yang terdapat pada Tabel berikut :

Page 6: Functional Food Biskuit

2.2 Kandungan Bahan

2.2.1 Sagu

Flach (1977) menyatakan bahwa sifat sagu dipengaruhi oleh faktor

genetik maupun proses ekstraksinya seperti pemakaian peralatan, kualitas air,

penyimpanan potongan batang sagu, dan kondisi penyaringan. Berdasarkan Ruddle

(1978), komponen terbesar dalam 100 gram sagu Metroxylon mentah adalah

karbohidrat sebesar 71.0 gram. Kemudian kalsium 30.0 gram, air 27.0 gram, serat

0.3 gram, protein 0.2 gram, dan besi 0.7 mg. Adapun kandungan lemak serta

vitamin seperti karoten, thiamin dan asam askorbat sangatlah kecil, sehingga dapat

diabaikan. Kalori yang dapat dihasilkan oleh 100 gram sagu Metroxylon mentah

sebesar 285.0 kal. Sedangkan berdasarkan Djoefrie (1999), kadar karbohidrat yang

terdapat dalam sagu sebesar 85.0%. Kemudian kadar air sebesar 13.7%, kadar abu

0.4%, kadar lemak 0.2%, kadar serat 0.2%, dan kadar protein 0.7%. Tepung sagu

dapat menghasilkan energi sebesar 357.0 Kcal per 100 gramnya.

Apabila sagu akan dijadikan makanan pokok dalam rangka diversifikasi

pangan, maka kadar gizi yang dikandung dalam sagu hendaknya diperhatikan.

Kadar karbohidrat di dalam pati sagu lebih tinggi daripada beras, tetapi kadar

protein dan vitamin di dalam sagu sangat rendah bahkan lebih rendah daripada

tepung gaplek. Sagu hanya dapat mendukung pertumbuhan manusia bila dimakan

bersama makanan lain yang bergizi tinggi. Nilai gizi sagu dapat ditingkatkan

dengan dua cara, yaitu dengan memberikan suplemen dan fortifikasi. Dengan cara

suplemen, pati sagu dicampur dengan bahan lain, sehingga kadar gizinya lebih

baik. Dengan cara fortifikasi, pati sagu ditambah satu atau beberapa zat gizi untuk

maksud tertentu (Djoefrie, 1999).

Ketersediaan sagu yang banyak memungkinkan sagu untuk menjadi bahan

pangan pokok, namun keseimbangan diet serta kecukupan gizi sangat tergantung

dengan bahan pangan lain (Ruddle, 1978). Pada Tabel 1 ditampilkan komposisi

kimia dari beberapa jenis tanaman penghasil pati sebagai pembanding.

Page 7: Functional Food Biskuit

2.2.2 Ubi Jalar

Tanaman ubi jalar lebih efektif sebagai penghasil karbohidrat dibandingkan

dengan ubi kayu. Ubi jalar mampu menghasilkan 48000 kalori per hektar per hari,

sedang ubi kayu hanya 35000 kalori per hektar per hari. Hal ini tentu tidak terlepas

dari umur panen tanaman ini lebih pendek dari ubi kayu yakni hanya sekitar empat

bulan (Syarief, 1999).Bradburry dan Halloway (1988) menyusun urutan prioritas

beberapa bahan pangan menurut kandungan energi, protein, mineral, dan vitamin

seperti berikut ini:

• Energi: beras > ubi jalar > leguminosa

• Protein: leguminosa > beras > ubi jalar

• Mineral (Ca dan Fe): leguminosa > ubi jalar > beras

• Vitamin: ubi jalar > leguminosa > beras

Apabila `karena kandungan kadar protein komoditas ini rendah

(Huang, 1982). Komposisi kimia ubi jalar per 100 gram dicantumkan dalam

Tabel 3 seperti dibawah ini :

Page 8: Functional Food Biskuit

Ubi jalar mengandung beberapa zat anti gizi dan penurun cita rasa yang

memberikan pengaruh negatif terhadap preferensi ubi jalar. Anti gizi utama dalam ubi

jalar adalah trypsin inhibitor yang bersifat menghambat kerja tripsin yang berperan

sebagai pemecah protein. Akibat adanya antitripsin ini, menyebabkan pencernaan

protein dalam usus terhambat, sehingga menurunkan tingkat penyerapan protein

dalam tubuh. Aktivitas anti tripsin dapat berkurang dengan perebusan, pengukusan

dan pemasakan (Bradbury dan Halloway, 1988).

Komponen lain yang kurang disukai dalam ubi jalar adalah adanya senyawa

penyebab flatulensi. Senyawa ini dalam ubi jalar berlum dapat diidentifikasi.

Penyebab flatulensi umumnya adalah senyawa karbohidrat yang tidak tercerna,

kemudian difermentasi oleh bakteri perut menghasilkan gas H2 dan CO2. Dengan

pemasakan sifat pembentukan gas tersebut dapat diturunkan (Truong, 1992).

2.2.3 Kacang Hijau

Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung pada varietas,

faktor genetik, iklim, maupun kondisi lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen

terbesar (lebih dari 55%) biji kacang hijau kering, yang terdiri dari pati, gula, dan

serat. Pati pada kacang hijau memiliki daya cerna yang sangat tinggi yaitu 99.8%,

sehingga sangat baik untuk dijadikan bahan makanan untuk bayi dan anak balita yang

sistem pencernaannya belum sempurna (Astawan, 2004).

Protein merupakan penyusun utama kedua setelah karbohidrat. Kacang hijau

mengandung 20 – 25 % protein. Protein pada kacang hijau mentah memiliki daya

cerna sekitar 77%. Protein kacang hijau kaya akan asam amino leusin, arginin, iso

leusin, valin, dan lisin. Kandungan lemak dalam kacang hijau relatif sedikit (1 – 1.2

%). Lemak kacang hijau sebagian besar tersusun atas lemak tidak jenuh oleat (20.8%),

linoleat (16.3%) dan linolenat (37.5%). Linoleat dan linolenat merupakan asam lemak

esensial yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak

balita (Astawan, 2004).

Kacang hijau juga mengandung vitamin dan mineral yang penting untuk

tubuh manusia. Vitamin yang paling banyak terkandung pada kacang hijau adalah

thiamin (B1), riboflavin (B2), dan niasin (B3). Selain itu kacang hijau juga merupakan

sumber serat pangan (dietary fiber) (Astawan, 2004). Menurut Kay (1979), kacang

hijau memiliki perkiraan komposisi sebagai berikut: kadar air 6.6 – 11.6 %, protein

19.7 – 24.2 %, karbohidrat total 60.3 – 67.5 %, serat kasar 4.2 – 4.4 %, abu 3.4 – 3.5

Page 9: Functional Food Biskuit

%, lemak 1.0 – 1.3 %, kalsium 118 – 145 mg/100 gram, fosfor 340 – 345 mg/100

gram,besi 5.9 – 7.7 mg/100 gram, potassium 1028 mg/100 gram.

Page 10: Functional Food Biskuit

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah pati sagu kering

(Methroxylon sp.), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan kacang hijau (Virginia radiata L

Bahan-bahan pendukung lainnya yang dibutuhkan dalam pembuatan produk biskuit adalah

gula halus, mentega, telur, dan baking powder.

B. Pembuatan produk

a. Pasta ubi jalar

Ubi jalar segar dibersihkan dari tanah dan kotoran lainnya dengan menggunakan

air. Ubi jalar yang telah bersih direbus selama 30 menit, kemudian dikupas kulitnya.

Ubi jalar dimasukkan ke dalam grinder untuk menghasilkan pasta ubi jalar.

b. Pasta kacang hijau

Kacang hijau direndam dalam air selama 30 menit agar menjadi lunak,

kemudian dikukus selama 30 menit. Kacang hijau dimasukkan ke dalam grinder untuk

menghasilkan pasta kacang hijau.

c. Cookies

Adonan cookies yang dibuat menggunakan metode krim. Gula dan mentega

dikocok dengan menggunakan mixer selama lima menit kemudian ditambahkan telur

dan baking powder, dan dikocok kembali selama lima menit. Ke dalam adonan

ditambahkan pasta ubi jalar dan kacang hijau sambil dilakukan pengadukan. Setelah itu

ditambahkan pati sagu dan adonan diaduk hingga merata. Komposisi bahan-bahan

tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 11: Functional Food Biskuit

Tabel 5.Persentase komposisi bahan pembuat cookies

Adonan diratakan ketebalannya sebesar 3 mm dengan menggunakan roll kemudian dicetak dengan pencetak kue berbentuk lingkaran. Adonan yang telah dicetak dipanggang dalam oven dengan suhu 180º C selama 20 menit. Diagram alir pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 12: Functional Food Biskuit

BAB IV

PEMBAHASAN

Pangan Fungsional (Functional Food) adalah pangan, baik alami maupun olahan,

yang mengandung satu atau lebih senyawa yang memiliki fungsi fisiologis tertentu dan

menguntungkan bagi kesehatan. Salah satu contoh pangan fungsional yang bisa

dikembangkan sebagai produk pangan olahan adalah produk olahan biskuit. Sampai saat ini

terigu masih merupakan bahan utama dalam pembuatan biskuit.

Mengingat indonesia bukan negara penghasil gandum, untuk mengurangi impor

tepung terigu perlu dicari bahan yang dapat digunakan untuk subtitusi terigu. Tepung sagu

merupakan pilihan yang cukup tepat sebagai bahan pengganti terigu dalam pembuatan biskuit

tersebut. Keuntungan yang bisa diperoleh dari biskuit berbahan baku tepung sagu yaitu

adanya kadar karbohidrat di dalam pati sagu lebih tinggi serta tekstur biskuit yang dihasilkan

kurang padat dan tidak rapuh sehingga membuat biskuit ini tahan terhadap gesekan selama

pengemasan dan penyimpanan. tetapi kadar protein dan vitamin di dalam sagu sangat rendah

sehingga dapat dikombinasikan varian kacang hijau serta ubi jalar .

Keuntungan yang bisa diperoleh dari penambahan ubi jalar merah yaitu adanya

penambahan nilai gizi dalam biskuit seperti vitamin A, vitamin C, vitamin B1 dan vitamin B2

serta mineral. Kandungan kalori dalam ubi jalar cukup tinggi, yaitu 123 kalori sehingga dapat

memberikan rasa kenyang dalam jumlah yang relatif sedikit. Sedangkan pada kacang hijau

mengandung protein yang kaya akan asam amino leusin, arginin, iso leusin, valin,

dan lisin. Kandungan lemak dalam kacang hijau relatif sedikit (1 – 1.2 %).

Lemak kacang hijau sebagian besar tersusun atas lemak tidak jenuh oleat

(20.8%), linoleat (16.3%) dan linolenat (37.5%). Linoleat dan linolenat

merupakan asam lemak esensial yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan

(Astawan, 2004). Kacang hijau juga mengandung vitamin dan mineral yang

penting untuk tubuh manusia. Vitamin yang paling banyak terkandung pada

kacang hijau adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), dan niasin (B3). Selain itu

kacang hijau juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber)(Astawan,

2004).

Bahan tambahan dalam pembuatan Cookies biskuit meliputi lemak,

gula dan telur, bahan pengembang (soda kue dan baking powder).Jumlah dan mutu gula

Page 13: Functional Food Biskuit

akan berpengaruh terhadap tekstur, penampakan dan cita rasa produk akhir.Gula halus paling

baik digunakan untuk membuat cookies. Jumlah gula harus pas untuk menjamin hasil yang

diinginkan yaitu lembut dan tidak keras. Lemak berfungsi sebagai pengemulsi sehingga

menghasilkan cookies yang renyah. Telur juga berperan dalam membentuk warna, aroma,

kelembutan dan emulsifier alami serta menambah nilai gizi pada produk akhir, karena

mengandung protein, lemak dan mineral.

Hasil yang didapatkan pada formulasi biskuit ialah nilai kadar serat kasar prediksi

sebesar 1,35%, lebih tinggi 0,85% dibandingkan nilai SNI. Hal ini dimungkinkan karena

adanya kandungan pasta ubi jalar dan pasta kacang hijau sebesar 20,48% dari total bahan

baku. Ubi jalar dan kacang hijau mentah memiliki kadar serat kasar yang tinggi. Penggunaan

kedua bahan baku tersebut dalam bentuk pasta, menyebabkan kadar serat kasar yang

terkandung tidak berbeda jauh dengan bahan baku mentah. Sehingga apabila ubi jalar dan

kacang hijau terdapat dalam komposisi yang tinggi maka akan semakin tinggi pula kadar

serat kasar yang terkandung.Dimana fungsi serat untuk tubuh dapat menambah volume porsi

makanan dan makanan tinggal lebih lama dalam lambung yang akan membuat rasa kenyang

lebih lama, membantu proses BAB lancar, serta sifatnya yang larut air dapat menurunkan

kolesterol darah.

Page 14: Functional Food Biskuit

BAB III

PENUTUP

Inovasi “Healthy Biscuit” dapat dikategorikan Functional Food dikarenakan

bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi mutu suatu makanan ,memiliki fungsi fisiologis

tertentu dan menguntungkan bagi kesehatan sehingga dapat dikonsumsi semua kalangan usia.

Bahan baku dasar tepung terigu pembuatan biskuit disubstitusi dengan tepung sagu karena

memiliki kandungan kadar karbohidrat yang tinggi tinggi serta tekstur biskuit yang dihasilkan

padat dan rapuh sehingga membuat biskuit ini tahan terhadap gesekan selama pengemasan

dan penyimpanan dan untuk menambahkan kadar protein, mineral serta vitamin dapat

diformulasi dengan adanya penambahan kacang hijau serta ubi jalar. Pembuatan biskuit jenis

cookies harus memperhatikan beberapa hal diantaranya, tekstur dan kekerasan,ekstensibilitas

adonan serta pembentukan produk.

Page 15: Functional Food Biskuit

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, F.B., P.A. Williams, J. Doublier, S. Durand, dan A. Buleon. 1999. Physiochemical

Characterisation of Sago Starch. Carbohydrate Polymers 38: 361 -370

Anonim. 1987. Penelitian Pemanfaatan Sagu sebagai Bahan Pembuatan Makanan. Laporan

Akhir, Kerjasama BPPT dengan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB, Bogor

Astawan, M, 2004, Kacang Hijau: Antioksidan yang Membantu Kesuburan Pria,Tabloid

Senior, No 238/Jum’at 9 Januari 2004,

Bradbury, J.H. dan W.D. Halloway, 1988. Chemistry of Tropical Root Crops;Significance for

Nutrition and Nutrition in the Pacific. ACIAR.Canberra

Cornell, J.A. 1990. Experiments with Mixtures: Designs, models, and The Analysis of Mixture

Data. 2th ed. John Wiley and Sons. New York

Direktorat Gizi. 1993. Daftar Komposisi Makanan. Departemen Kesehatan RI.Jakarta.

Manley, D. 1998. Technology of Biscuits Crackers and Cookies. Woodhead Publishing

Limited. Cambridge

Matz, S.A., T.D. Matz. 1978. Cookie and Cracker Technology. Avi Publishing Company.

Connecticut

Montgomery, Douglas C. 2001. Design and Analysis of Experiments. John Wiley and Sons.

New York

Onwueme, I.C. 1978. The Tropical Crops: Yams, Cassava, Sweet Potatoes, and Cocoyam.

John Wiley and Sons. London

Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setiyanto. E, Savitri. dan R, Thahir. 2006. Teknologi Mi

Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan PascapanenPertanian. Bogor

Ruddle, Kenneth. et.al. 1978. Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. University

Press of Hawaii. Honolulu

Sagiman, S. 2004. Prospek Sagu dan Penganekaragaman Pangan. Prosiding Seri Seminar

Pemantapan Road Map Penganekaragaman Pangan. Bogor