Upload
syarifah-nurhayati
View
149
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
BAB 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Tujuan........................................................................................... 2
BAB 2
2.1. Fraktur................................................................................................... 3
2.1.1. Epidemiologi....................................................................................... 3
2.1.2. Definisi................................................................................................. 5
2.1.3. Etiologi................................................................................................. 5
2.1.4. Patofisiologi......................................................................................... 6
2.1.5. Klasifikasi............................................................................................ 7
2.1.6. Stadium Penyembuhan Fraktur..........................................................14
2.1.7. Manifestasi Klinis..................................................................................15
2.1.8. Diagnosis ...............................................................................................16
2.1.9. Komplikasi.............................................................................................17
2.1.10. Penanganan fraktur............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................30
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan judul ”Fraktur pada Dewasa dan Anak”. Makalah ini disusun
sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta memenuhi persyaratan dalam
penilaian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Ortopedi dan Traumatologi RSUP HAM.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi para mahasiswa fakultas kedokteran, dokter, dan masyarakat Indonesia. Serta
semoga dapat menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran dan dapat
menjadi bekal dalam profesi kami kelak.
Kami menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini. Atas perhatian yang diberikan kami ucapkan terima kasih.
Medan, 3 Maret 2014
iii
Penulis
1
BAB 1
1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah salah satu kejadian paling sering dalam bidang ortopedi dan
traumatologi. Fraktur berhubungan dengan aktivitas, usia, jenis kelamin, dan
banyak faktor penyebab lainnya. Fraktur lebih sering terjadi pada laki – laki
daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Menurut Reeves (2000), mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki – laki
menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan
lebih sering mengalami fraktur daripada laki – laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopause.
Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cedera
yang disebabkan olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cedera
terbanyak adalah fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki – laki dengan
umur di bawah 15 tahun.27 Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas 4 kali lebih banyak terjadi pada laki – laki daripada
perempuan.
Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha atau tulang panggul
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendapat perhatian serius karena
dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan ketidakmampuan penderita dalam
beraktivitas. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan tahun 2000 di
Australia (2004) setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita mengalami keretakan
tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya akan meninggal karena
komplikasi
Menurut AFRO (2008), di negara – negara Afrika kasus fraktur lebih
banyak terjadi pada wanita karena peristiwa terjatuh berhubungan dengan
penyakit Osteoporosis. Di Kamerun pada tahun 2003, perbandingan insidens
fraktur pada kelompok umur 50 – 64 tahun yaitu, pria 4,2 per 100.000 penduduk,
2
wanita 5,4 per 100.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Maroko pada tahun
2005 insidens fraktur pada pria 43,7 per 100.000 penduduk dan wanita 52 per
100.000 penduduk.
Menurut Sugiharto (2000), Di Indonesia jumlah kasus fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai
kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan penelitian dari Depkes RI tahun 2000,
di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terdapat penderita fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas sebanyak 444 orang.
Oleh karena frekuensi fraktur yang tinggi, maka diperlukan pemahaman
yang lebih baik terhadap fraktur dan jenis jenisnya baik pada dewasa dan anak
anak.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang fraktur, jenis jenisnya,
penatalaksanaannya baik pada dewasa maupun anak.
2. Sebagai salah satu tugas dalam bagian Ortopedi dan Traumatologi RSUP
HAM.
3
BAB 2
2.1 Fraktur
2.1.1 Epidemiologi Fraktur
Distribusi Frekuensi
Determinan Fraktur
a) Faktor Manusia
Beberapa faktor yang berhubungan dengan orang yang mengalami fraktur
atau patah tulang antara lain dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, aktivitas olah
raga dan massa tulang.
- Umur
Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat
daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung mengalami
kelelahan tulang dan jika ada trauma benturan atau kekerasan tulang bisa saja
patah. Aktivitas masyarakat umur muda di luar rumah cukup tinggi dengan
pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko terjadinya benturan atau
kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Insidens kecelakaan yang menyebabkan
fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda pada waktu berolahraga,
kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian.5,6
Berdasarkan penelitian Nazar Moesbar tahun 2007 di Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan terdapat sebanyak 864 kasus patah tulang, di antaranya
banyak penderita kelompok umur muda. Penderita patah tulang pada kelompok
umur 11 – 20 tahun sebanyak 14% dan pada kelompok umur 21 – 30 tahun
sebanyak 38% orang.5
- Jenis Kelamin
Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang
menyebabkan fraktur yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan. Pada
umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas daripada
perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja sehingga mempunyai
4
risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah tulang umumnya lebih banyak
terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Tingginya kasus patah tulang akibat
kecelakaan lalulintas pada laki – laki dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku
mengemudi dengan kecepatan yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan
yang lebih fatal dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian Juita, pada
tahun 2002 di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan terdapat kasus fraktur sebanyak
169 kasus dimana jumlah penderita laki –laki sebanyak 68% dan perempuan
sebanyak 32%.1,7
- Aktivitas Olahraga
Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi risiko
penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat berolah raga seperti
hentakan, loncatan atau benturan dapat menyebabkan cedera dan jika hentakan
atau benturan yang timbul cukup besar maka dapat mengarah pada fraktur. Setiap
tulang yang mendapat tekanan terus menerus di luar kapasitasnya dapat
mengalami keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada
pemain sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain.
Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging, pelari,
pendaki gunung ataupun olahraga lain yang dilakukan dengan kecepatan yang
berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan patah tulang.8,9
- Massa Tulang
Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami fraktur daripada
tulang yang padat. Dengan sedikit benturan dapat langsung menyebabkan patah
tulang karena massa tulang yeng rendah tidak mampu menahan daya dari benturan
tersebut. Massa tulang berhubungan dengan gizi tubuh seseorang. Dalam hal ini
peran kalsium penting bagi penguatan jaringan tulang. Massa tulang yang
maksimal dapat dicapai apabila konsumsi gizi dan vitamin D tercukupi pada masa
kanak – kanak dan remaja. Pada masa dewasa kemampuan mempertahankan
massa tulang menjadi berkurang seiring menurunnya fungsi organ tubuh.
Pengurangan massa tulang terlihat jelas pada wanita yang menopause. Hal ini
5
terjadi karena pengaruh hormon yang berkurang sehingga tidak mampu dengan
baik mengontrol proses penguatan tulang misalnya hormon estrogen.2,6
2.1.2 Definisi
Batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur menurut
Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuinitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuinitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Doengoes (2000) memberikan batasan, fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Fraktur menurut Reeves (2001),
adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Fraktur adalah hilangnya
kontinuinitas tulang, tulang rawanm baik yang bersifat total maupun sebagian
(Chairudin Rasjad, 1998).
2.1.3 Etiologi
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan
tulang dalam menahan tekanan. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Faktur cenderung terjadi pada laki-
laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Pada orangtua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause
(Reeves, 2001).
Cedera fraktur pada anak dapat disebabkan oleh kejadian traumatik di
rumah, sekolah, pada kendaraan bermotor, atau ketika berekreasi. Aktivitas
sehari-hari anak meliputi bermain aktif yang memungkinkan anak mengalami
cedera yaitu memanjat, terjatuh, berlari menuju benda yang tidak bergerak, dan
mendapat tumbukan di bagian-bagian tubuh (Wong, 2008)
6
2.1.4 Patofisiologi
Tulang normal
Trauma, penyakit patologi, malnutrisi
Fraktur
Rusak, terputusnya kontiniunitas tulang
Kerusakan jaringan lunak sekitar
Kerusakan integritas kulit
Gangguan rasa nyaman/nyeri
Kerusakan mobilitas fisik
Perdarahan
Periosteum terpisah dari tulang
Resti trauma
Resti neurodisfungsi neurovaskular perifer
Resti infeksi
7
2.1.5 Klasifikasi
2.1.5.1. Fraktur pada dewasa
A. Fraktur diklasifikasikan menurut etiologi, terbagi dalam beberapa keadaan
berikut :
a. Fraktur traumatik
Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar
dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.
b. Fraktur patologis
Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam
tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang menjadi lemah
karena tumor atau proses patologis lainnya.
c. Fraktur stres
Terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.
B. Menurut klasifikasi klinis, fraktur dibagi atas :
a. Fraktur tertutup ( Simple Fracture )
Adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (Compound Fracture)
Adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada
kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from
without (dari luar). Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo),
yaitu:
b.1. Derajat I :
- Luka <1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
- Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
- Kontaminasi minimal
b.2. Derajat II :
- Laserasi >1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
- Fraktur kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
8
c. Fraktur dengan komplikasi (Complicated Fracture)
Adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed
union, non-union, infeksi tulang.
C. Menurut klasifikasi radiologis, dibagi atas :
1. Lokalisasi
- Diafisis
- Metafisis
- Intra artikular
- Fraktur dengan dislokasi
2. Konfigurasi
a. Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang
atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah
dikontrol dengan pembidaian gips.
b. Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan.
c. Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d. Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan
ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
e. Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f. Fraktur Baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi.
g. Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendon.
h. Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang tengkorak.
9
i. Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
j. Fraktur Pecah (Burst)
Dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah misalnya pada fraktur vertebra,
patela, talus, kalkaneus.
k. Fraktur epifisis
Gambar 1. Klasifikasi fraktur sesuai konfigurasi
A. Transversal D. Kupu-kupu G. Depresi
B. Oblik E. Kominutif
C. Spiral F. Segmental
3. Berdasarkan ekstensi
a. Fraktur total
b. Fraktur tidak total (fraktur crack)
c. Fraktur buckle atau torus
d. Fraktur garis rambut
e. Fraktur greenstick
4. Berdasarkan hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya :
a. Tidak bergeser (undisplaced)
b. Bergeser (displaced), dibagi dalam 6 cara ;
10
- Bersampingan
- Angulasi
- Rotasi
- Distraksi
- Overriding
- Impaksi
Gambar 3. Klasifikasi fraktur berdasarkan hubungan antar fragmen tulang.
A. Bersampingan D. Distraksi
B. Angulasi E. Over-riding
C. Rotasi F. Impaksi
2.1.5.2. Fraktur pada anak
Fraktur pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa, karena adanya perbedaan
sebagai berikut:
1. Anatomi
Anatomi tulang pada anak-anak terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang
rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dan menghasilkan kalus
yang cepat dan lebih besar dari orang dewasa.
2. Biomekanik, terdiri atas:
a. Biomekanik tulang
Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat mudah
dipotong oleh karena kanalis Haversian menduduki sebagian besar tulang. Faktor
ini menyebabkan tulang anak-anak dapat menerima toleransi yang besar terhadap
deformasi tulang dibandingkan orang dewasa. Tulang orang dewasa sangat
11
kompak dan mudah mengalami tegangan dan tekanan sehingga tidak dapat
menahan kompresi.
b. Biomekanik lempeng pertumbuhan
Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat erat pada metafisis
yang bagian luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian dalamnya oleh
prosesus mamilaris. Untuk memisahkan metafisis dan epifisis diperlukan
kekuatan yang besar. Tulang rawan lempeng epifisis mempunyai konsistensi
seperti karet yang keras.
c. Biomekanik periosteum
Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah mengalami
robekan dibandingkan orang dewasa.
3. Fisiologis
a. Pertumbuhan berlebihan (over growth)
Pertumbuhan diafisis tulang panjang akan memberikan stimulasi pada
pertumbuhan panjang, karena tulang rawan lempeng epifisis mengalami hiperemi
pada waktu penyembuhan tulang.
b. Deformitas yang progresif
Kerusakan permanen lempeng epifisis menyebabkan kependekan atau deformitas
anguler pada epifisis.
c. Fraktur total
Pada anak-anak fraktur total jarang bersifat kominutif karena tulangnya sangat
fleksibel dibandingkan orang dewasa.
Atas dasar kelainan perbedaan anatomi, biomekanik, dan fisiologis, maka fraktur
pada anak-anak mempunyai gambaran khusus, yaitu:
1. Lebih sering ditemukan
2. Periosteum sangat aktif dan kuat
3. Penyembuhan fraktur sangat cepat
4. Terdapat problem khusus dalam diagnosis
5. Koreksi spontan pada suatu deformitas residual
6. Terdapat perbedaan dalam komplikasi
12
7. Berbeda dalam metode pengobatan, dimana yang lebih diutamakan adalah secara
konservatif baik dengan cara manipulasi tertutup atau traksi kontinu.
8. Robekan ligamen dan dislokasi lebih jarang ditemukan.
9. Kurang toleransi terhadap kehilangan darah.
Klasifikasi fraktur pada anak dapat dibedakan sebagai berikut:
A. Klasifikasi radiologis:
a. Fraktur buckle atau torus
b. Tulang melengkung
c. Fraktur green stick
d. Fraktur total
Gambar 4. Klasifikasi radiologis fraktur pada anak
A. Bengkok C. Buckle (Panah)
B. Green stick D. Lengkap
B. Klasifikasi anatomis
a. Fraktur epifisis
Merupakan suatu fraktur tersendiri dan dibagi dalam fraktur avulsi akibat tarikan
ligamen, fraktur kompresi yang bersifat kominutif, dan fraktur osteokondral
(bergeser).
b. Fraktur lempeng epifisis
Klasifikasi fraktur ini dibedakan menurut Salter-Harris dalam lima tipe:
1. Tipe I
13
Terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya fraktur pada tulang, sel-sel
pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis. Terjadi oleh karena
ada shearing force dan sering terjadi pada bayi baru lahir dan pada anak-anak
yang lebih muda.
2. Tipe II
Merupakan jenis fraktur yang paling sering ditemukan. Garis fraktur melalui
sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis dan akan membentuk
suatu fragmen metafisis yang berbentuk segitiga yang disebut tanda Thurston-
Holland. Trauma yang terjadi biasanya trauma shearing force dan membengkok
dan umumnya terjadi pada anak-anak yang lebih tua.
3. Tipe III
Fraktur ini merupakan fraktur lempeng intra-artikuler. Garis fraktur mulai
permukaan sendi melewati lempeng epifisis kemudian sepanjang garis lempeng
epifisis.
4. Tipe IV
Merupakan fraktur intra-artikuler yang melalui permukaan sendi memotong
epifisis serta seluruh lempeng epifisis dan berlanjut pada sebagian metafisis. 5
5. Tipe V
Merupakan fraktur akibat hancurnya epifisis yang diteruskan pada lempeng
epifisis. Biasanya terjadi pada daerah sendi penopang badan yaitu sendi
pergelangan kaki dan sendi lutut.
Gambar 2. Klasifikasi fraktur lempeng epifisis menurut Salter-Harris (1963).
c. Fraktur metafisis
14
d. Fraktur diafisis
C. Klasifikasi klinis
a. Traumatik
b. Patologis
c. Stres
D. Fraktur khusus pada anak
a. Fraktur akibat trauma kelahiran
Biasanya terjadi pada saat persalinan yang sulit yaitu pada bayi besar, letak
sungsang atau ekstraksi bayi dengan alat forsep.
b. Fraktur akibat penyiksaan (child abuse)
2.1.6 Stadium Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur terdiri atas lima stadium yaitu :
1.) Pembentukan hematom
Fraktur merobek pembuluh darah dalam medulla, korteks dan periosteum
sehingga timbul hematom.
2.) Organisasi
Dalam 24 jam, kapiler dan fibroblas mulai tumbuh ke dalam hematom
disertai dengan infiltrasi sel – sel peradangan. Dengan demikian, daerah bekuan
darah diubah menjadi jaringan granulasi fibroblastik vaskular.
3.) Kalus sementara
Pada sekitar hari ketujuh, timbul pulau – pulau kartilago dan jaringan
osteoid dalam jaringan granulasi ini. Kartilago mungkin timbul dari metaplasia
fibroblas dan jaringan osteoid ditentukan oleh osteoblas yang tumbuh ke dalam
dari ujung tulang. Jaringan osteoid, dalam bentuk spikula ireguler dan trabekula,
mengalami mineralisasi membentuk kalus sementara. Tulang baru yang tidak
teratur ini terbentuk dengan cepat dan kalus sementara sebagian besar lengkap
pada sekitar hari kedua puluh lima.
4.) Kalus definitif
Kalus sementara yang tak teratur secara bertahap akan diganti oleh tulang
yang teratur dengan susunan havers – kalus definitif.
15
5.) Remodeling
Kontur normal dari tulang disusun kembali melalui proses remodeling
akibat pembentukan tulang osteoblastik maupun resorpsi osteoklastik. Keadaaan
terjadi secara relatif lambat dalam periode waktu yang berbeda tetapi akhirnya
semua kalus yang berlebihan dipindahkan, dan gambaran serta struktur semula
dari tulang tersusun kembali.
2.1.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi
16
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung
pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien
mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
2.1.8. Diagnosis
a. Anamnesis
Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus
diperinci kapan terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah
trauma, dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme
trauma). Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma di tempat lain secara
sistematik dari kepala, muka, leher, dada, dan perut.
b. Pemeriksaan Umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel,
fraktur pelvis, fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang
mengalami infeksi.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk fraktur adalah:
- Look (inspeksi): bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
Cari apakah terdapat deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal (misalnya
pada fraktur kondilus lateralis humerus), angulasi, rotasi, dan pemendekan
Functio laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur kruris tidak bias berjalan.
Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan, misalnya, pada
tungkai bawah meliputi apparenth length (jarak antara ubilikus dengan maleolus
medialis) dan true lenght (jarak antara SIAS dengan maleolus medialis).
- Feel/palpasi: nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
- Movement/gerakan: gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi.
Krepitasi, terasa bila fraktur digerakan. Tetapi pada tulang spongiosa atau tulang
rawan epifisis tidak terasa kreitasi. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan
karena akan menambah trauma. Nyeri bila digerakan, baik pada gerakan aktif
17
maupun pasif. Seberapa jauh gangguan – gangguan fungsi, gerakan – gerakan
yang tidak mampu digerakan, range of motion ( derajat dari ruang lingkup
gerakansendi ), dan kekuatan.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan adalah “pencitraan”
menggunakan sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi
yaitu antero posterior (AP) atau AP lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) atau indikasi untuk memperlihatkan patologi yang
dicari, karena adanya superposisi. Untuk fraktur baru indikasi X-ray adalah untuk
melihat jenis dan kedudukan fraktur dan karenanya perlu tampak seluruh bagian
tulang (kedua ujung persendian).
2.1.9 Komplikasi
A. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut
komplikasi lanjut.
1. Pada tulang
- Infeksi, terutama pada fraktur terbuka
- Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non
union. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga
terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenarasi.
2. Pada jaringan lunak
- Lepuh, kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena
edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan
pemasangan elastik.
18
- Dekubitas, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena
itu, perlu diberikan bantalan tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
3. Pada otot
- Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut
yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit
dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley
& Solomon, 1993).
4. Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan
pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan
perdarahan berhenti spontan. Pada jaringa distal dari lesi akan mengalami iskemi
bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan
terjadi trombus pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet
dapat terjadi sindrom crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair
untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993)
5. Pada saraf
Berupa kompresi, neuropaksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan
akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley
& Solomon, 1993)
B. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa mal-union,delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjang.
1. Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung
fraktur. Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih
dari 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu).
19
2. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I
(Hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan
diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi
untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II
(atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan
sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan,
rosesunion tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
3. Mal-union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Tindakan
refraktur atau osteotomi koreksi
4. Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union
(infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis
mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
5. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler,
perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannnya berupa memperpendek
waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan
perlengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan
kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon, 1993)
20
2.1.10 Penanganan Fraktur
2.1.10.1. Prinsip Penanganan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (Sneltzer, 2002).
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi autonomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi
tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur
bergantung pada sifat frakturnya.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat
dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
skrup, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi.
Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan
mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan gips, bidai, traksi kontinu, pin dan
teknk gips. Sedangkan implan logam digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan
dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskular,
latihan isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.
2.1.10.2. Prinsip-prinsip Pengobatan Fraktur
a. Penatalaksanaan Awal
Sebelum dilakukan pengobatan definiti pada suatu fraktur, maka
diperlukan:
1. Pertolongan Pertama
21
Pada penderita fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan jalan nafas,
menutup luka dengan verband bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak
yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum
diangkut dengan ambulans.
2. Penilaian Klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka
itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah atau saraf, apakah ada trauma
alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan penderita fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan syok, sehingga
diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri berupa
pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.
b. Prinsip umum pengobatan fraktur
Ada enam prinsip pengobatan fraktur:
1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
Beberapa komplikasi fraktur terjadi akibat trauma yang antara lain disebabkan
karena pengobatan yang diberikan disebut sebagai iatrogenik. Beberapa
komplikasi yang bersifat iatrogenik, dapat dihindarkan apabila kita dapat
mencegahnya dengan melakukan tindakan yang memadai seperti mencegah
kerusakan jaringan lunak pada saat transportasi penderita, serta luka terbuka
dengan perawatan yang tepat.
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat
Dengan melakukan diagnosis yang tepat pada fraktur, kita dapat menentukan
prognosis trauma yang dialami sehingga dapat dipilih metode pengobatan yang
tepat. Faktor-faktor yang penting dalam penyembuhan fraktur yaitu umur
penderita, lokalisasi dan konfigurasi, pergeseran awal serta vaskularisasi dari
fragmen fraktur.
3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus
- Menghilangkan nyeri
Nyeri timbul karena trauma pada jaringan lunak termasuk periosteum dan
endosteum. Nyeri bertambah bila ada gerakan pada daerah fraktur disertai spasme
22
otot serta pembengkakan yang progresif dalam ruang yang tertutup. Nyeri dapat
diatasi dengan imobilisasi fraktur dan pemberian analgetik.
- Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
Beberapa fraktur tanpa pergeseran fragmen tulang atau dengan pergeseran yang
sedikit saja sehingga tidak diperlukan reduksi.
- Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
Pada fraktur tertentu, bila terjadi kerusakan yang hebat pada periosteum atau
jaringan lunak sekitarnya, kemungkinan diperlukan usaha agar terjadi union
misalnya dengan bone graft.
- Mengembalikan fungsi secara optimal
Penyembuhan fraktur dengan imobilisasi harus dipikirkan pencegahan atrofi pada
anggota gerak, sehingga perlu diberikan latihan yang bersifat aktif dinamik
(isotonik).
- Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
- Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip
pengobatan ada empat (4R), yaitu:
1. Recognition (Diagnosis dan Penilaian Fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan:
a. Lokalisasi fraktur
b. Bentuk fraktur
c. Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
d. Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan
2. Reduction
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat
diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi autonomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas serta perubahan osteoartritis di kemudian hari. Posisi yang
baik adalah alignment yang sempurna dan posisi yang sempurna.
23
3. Retention (Imobilisasi Fraktur)
4. Rehabilitation, mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
2.1.10.3. Metode-metode Pengobatan Fraktur
a. Fraktur Tertutup
Metode pengobatan fraktur pada umumnya dibagi dalam:
1. Konservatif
- Proteksi
Terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut misalnya dengan cara memberikan
sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
Indikasi pemasangan terutama pada fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga
yang stabil atau fraktur klavikula pada anak.
- Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)
Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna hanya memberikan sedikit
imobilisasi, biasanya mempergunakan gips. Indikasi pada fraktur yang perlu
dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.
- Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi posisinya dalam proses
penyembuhan
Dilakukan dengan pembiusan umum ataupun lokal. Reposisi yang dilakukan
melawan kekuatan terjadinya fraktur, penggunaan gips untuk imobilisasi
merupakan alat utama pada teknik ini. Indikasinya adalah:
a. Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama
b. Imobilisasi sebagai pengobatan definitif pada fraktur
c. Diperlukan manipulasi pada fraktur yang bergeser dan diharapkan dapat direduksi
dengan cara tertutup dan dapat dipertahankan. Fraktur yang tidak stabil atau
bersifat kominutip akan bergerak di dalam gips sehingga diperlukan pemeriksaan
radiologis berulang-ulang.
d. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
e. Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang kuat.
- Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi
Reduksi tertutup yang diikuti dengan traksi berlanjut dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu traksi kulit dan traksi tulang.
24
- Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi
Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti bidai Thomas, bidai Brown
Bohler, bidai Thomas dengan Pearson knee flexion attachment. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama berupa reduksi yang bertahap dan imobilisasi.
Indikasi:
a. Bila reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak memungkinkan
serta untuk mencegah tindakan operatif misalnya pada fraktur batang femur,
fraktur vertebra servikalis.
b. Bila terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur pada tulang tungkai bawah yang
menarik fragmen dan menyebabkan angulasi, over-riding, dan rotasi yang dapat
menimbulkan malunion atau delayed union.
c. Bila terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik, fraktur spiral atau kominutif pada
tulang panjang.
d. Fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil
e. Fraktur femur pada anak-anak (traksi Bryant).
f. Fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat disertai dengan pergeseran yang
hebat serta tidak stabil, misalnya pada fraktur suprakondiler humerus.
g. Jarang pada fraktur metakarpal.
h. Kadang pada fraktur Colles atau fraktur pada orang tua dimana reduksi tertutup
dan imobilisasi eksterna tidak memungkinkan.
Ada empat metode traksi kontinu yang digunakan:
- Traksi kulit
Dengan mempergunakan leukoplas yang melekat pada kulit disertai dengan
pemakaian bidai Thomas atau bidai Brown Bohler. Traksi menurut Bryant
(Gallow) pada anak-anak di bawah 2 tahun dengan berat badan kurang dari 10 kg.
Traksi juga dapat dilakukan pada fraktur suprakondiler humeri menurut Dunlop.
- Traksi menetap
Dengan mempergunakan leukoplas yang melekat pada bidai Thomas yang
difiksasi pada salah satu bagian dari bidai Thomas. Biasanya dilakukan pada
fraktur femur yang tidak bergeser.
- Traksi tulang
25
Dengan kawat Kirschner (K-wire) dan pin Steinmann yang dimasukkan ke dalam
tulang dan juga dilakukan traksi dengan mempergunakan berat beban dengan
bantuan bidai Thomas. Tempat untuk memasukkan pin, yaitu pada bagian
proksimal tibia di bawah tuberositas tibia, bagian distal tibia, trokanter mayor,
bagian distal femur pada kondilus femur, kalkaneus (jarang dilakukan), prosesus
olekranon, bagian distal metakarpal dan tengkorak.
- Traksi berimbang dan traksi sliding
Terutama digunakan untuk fraktur femur, mempergunakan traksi skeletal dengan
beberapa katrol dan bantalan khusus, biasanya digunakan bidai Thomas dan
Pearson attachment.
Gambar 2.1. Macam-macam traksi
A. Traksi dengan berat D. Traksi Hamilton Russel
B. Traksi menetap E. Traksi berimbang dengan bidai Thomas dan
C. Traksi Dunlop pegangan Pearson
2. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi perkutaneus dengan K-wire
Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka
reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya
pada fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau fraktur Colles. Juga dapat
dilakukan pada fraktur leher femur dan trokanter dengan memasukkan batang
26
metal, serta pada fraktur batang femur dengan teknik tertutup dan hanya membuat
lubang kecil pada daerah proksimal femur. Teknik ini biasanya memerlukan
bantuan alat rontgen image intensifier (C-arm).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang
Selain alat-alat metal, tulang yang mati ataupun hidup dapat pula digunakan bone
graft baik autograft / allograft, untuk mengisi defek tulang atau pada fraktur yang
nonunion. Operasi dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur dan fragmen
direduksi secara akurat dengan penglihatan langsung.
- Reduksi terbuka dengan fiksasi interna
Indikasi tindakan:
a. Fraktur intra-artikuler misalnya fraktur maleolus, kondilus, olekranon, dan patella.
b. Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan misalnya fraktur radius dan ulna
disertai malposisi yang hebat atau fraktur yang tidak stabil.
c. Bila terdapat interposisi jaringan di antara kedua fragmen.
d. Bila diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur leher femur.
e. Bila terjadi fraktur dan dislokasi yang tidak dapat direduksi secara baik dengan
reduksi tertutup misalnya fraktur Monteggia dan fraktur Bennett.
f. Fraktur terbuka
g. Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi eksterna sedangkan diperlukan
mobilisasi yang cepat, misalnya fraktur pada orang tua.
h. Fraktur avulsi misalnya pada kondilus humeri
i. Eksisi fragmen yang kecil
j. Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan mengalami nekrosis avaskuler misalnya
fraktur leher femur pada orang tua
k. Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV (Salter-Harris) pada anak-anak
l. Fraktur multipel misalnya fraktur pada tungkai atas dan bawah.
m. Untuk mempermudah perawatan penderita misalnya fraktur vertebra tulang
belakang yang disertai paraplegia.
- Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
27
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna dengan mempergunakan kanselosa
screw dengan metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan jenis-jenis
lain. Indikasi:
a. Fraktur terbuka grade II dan grade III.
b. Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat
c. Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosis
d. Fraktur yang miskin jaringan ikat
e. Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah penderita diabetes melitus.
- Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis
Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis
avaskuler dari fragmen atau nonunion, oleh karena itu dilakukan pemasangan
protesis yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian
yang nekrosis. Sebagai bahan tambahan sering dipergunakan metilmetakrilat.
Gambar 2.2. Macam-macam traksi
A. Kirschner wire D. Kunstchner nail
B. Screw E. Interlock nail
C. Plate and screw F. Protesis
b. Fraktur terbuka
28
Fraktur terbuka merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Beberapa hal yang penting untuk
dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan
dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang berulang-ulang, stabilisasi
fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik
yang adekuat.
Secara klinis, patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat (Pusponegoro A.D.,
2007) yakni :
Derajat I = terdapat luka tembus kecil seujung jarum, luka ini di dapat dari
tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam.
Derajat II = luka lebih besar disertai dengan rusaknya kulit subkutis. Kadang-
kadang ditemukan adanya benda-benda asing di sekitar luka.
Derajat III = luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada derajat II.
Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon dan otot saraf tepi.
Pada derajat I, biasanya tidak mengalami kerusakan kulit sehingga penutupan
kulit dapat ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila
dipaksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini akan
mengganggu sirkulasi bagian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan ditutup
setelah 5-6 hari (delayed primary suture). Untuk fiksasi derajat II dan III paling
baik menggunakan fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna yang sering dipakai adalah
judet, roger anderson dan Methly metbacrylate. Pemakaian gips masih dapat
diterima bila peralatan tidak ada, namun kelemahan pemakaian gips adalah
perawatan yang lebih sulit.
Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan debridemen.
Debridemen bertujuan untuk membuat keadaan luka yang kotor menjadi bersih,
sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Tindakan
debridemen dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan
pencucian luka dengan air yang steril/NaCl yang mengalir. Pencucian ini
memegang peranan penting untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel
pada tulang. Daerah luka dicukur rambutnya, dicuci dengan detergen yang lunak
29
(mis: physohek), sabun biasa dengan lamanya 10 menit dan dicuci dengan air
mengalir. Dengan siraman air mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat
terangkat mengikuti aliran air.
Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit, subkutis, fisia dan
otot nekrosis yang kotor. Fragmen tulang yang kecil dan tidak mempengaruhi
stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang cukup besar tetap dipertahankan.
Komplikasi fraktur terbuka :
- Perdarahan, syok septik sampai kematian
- Septikemia, toksemia oleh karena infeksi piogenik
- Tetanus
- Gangren
- Perdarahan sekunder
- Delayed union
- Non union dan mal-union
- Kekakuan sendi
30
DAFTAR PUSTAKA
AFRO, 2008. WHO Global Reports On Falls Among Older Person. www.afrowho.int.doc
Apley A. Graham, Solomon Louis.1995. Buku Ajar: Orthopedi dan Fraktur Sistem.
Jakarta : Widya Medika
Budiman, I. (2005). Pemeriksaan Fisik dan Radiologi pada Fraktur. Jakarta
Depkes RI, 2009. Jurnal Penyakit Tidak Menular vol 1. Balitbang. Depkes RI, Jakarta
Doengoes, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta : EGC
Gustillo R.B, Merkow R.L, Templeman D. 1990. The Management of Open Fractures. J.
Bone and Joint Surgery. 72A: 299-303
Hartono, Muljadi, 2004. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Cetakan ke-4.
Puspaswara, Jakarta.
Juita, 2004. Karakteristik Penderita Fraktur Rawat Inap di Rumah Sakit St. Elisabeth
Medan Tahun 2002, skripsi FKM USU Medan
Moesbar, Nazar, 2007. Pengendara dan Penumpang Sepeda Motor Terbanyak Mendapat
Patah Tulang Pada Kecelakaan Lalu Lintas. http://www.digilibusu.ac.id
Muttaqin, Arif, 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
EGC, Jakarta
Manjoer, Arief, dkk. (2000). Kapita Selekta kedokteran, jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Price Syvia, A. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jilid 2. Edisi 4.
Jakarta : EGC
Pusponegoro AD. 2005. Trauma dan Bencana. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Rasjad.C. 1998. Trauma dalam : Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta : Yarsif
watampone.
Reeves B.C. 2001. Multicentre randomised Controlled Trial of Nasal Diamorphine for
Analgesia in Children and Teenagers with Clinical Fractures. Diakses di :
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11157525 pada tanggal 2 Maret 2014.
Rusdijas. (2007). Standar Pelayanan Medis Bedah, Obstetri dan Ginekologi. Buku 4.
Medan: RSUP H. Adam Malik
Reeves, Charlene J., 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Salemba Medika,
Jakarta
31
Salter RB. 1970. Fractures, Dislocation and Soft Tissues Injuries. Textbook of Disorders
and Injuries of The Musculoskeletal System. Asian Ed. Tokyo : Igaku Shoin Ltd.
Pp. 411-458
Sjamsuhidayat R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 3). Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. et all. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth (Ed. 8, Vol. 1,2). Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2008. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi Revisi.
Jakarta : EGC
Smeltzer, S. C, Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Kepeawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sugiharto, 2000. Abstrak Penelitian Kesehatan Seri 17. Balitbang. Depkes RI. Jakarta
Taylor, Paul M., 1997. Mencegah Dan Mengatasi Cedera Olah Raga. PT. Raja Grafindo,
Jakarta
Thomson, A. D., 1997. Catatan Kuliah Patologi. Edisi 3. EGC, Jakarta