65
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya dikarenakan ruda paksa (Mansjoer, 2008). Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Mansjoer, 2008). Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu fraktur ekstremitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Sekitar 25% fraktur pada distal radius merupakan fraktur yang palingsering terjadi pada orang dewasa karea posisi jatuh dengan peregangan pergelangan tangan dan karena adanya faktor osteoporosis yang sering diderita wanita usia tua. Fraktur ini juga terhitung merupakan fraktur ekstremitas atas yang diperkirakan 16% dari semua fraktur yang ada di unit gawat darurat dan75% dari fraktur region antebrachii. Pada anak-anak fraktur 1

Fraktur Artikulasio Cubiti Dan Trauma Arteri Brakhialis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cubiti

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan

umumnya dikarenakan ruda paksa (Mansjoer, 2008). Fraktur biasanya disebabkan

oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan

tulang, dan jaringan lunak sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Mansjoer, 2008).

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta

orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang

mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi

cukup tinggi yaitu fraktur ekstremitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan

yang terjadi. Sekitar 25% fraktur pada distal radius merupakan fraktur yang

palingsering terjadi pada orang dewasa karea posisi jatuh dengan peregangan

pergelangan tangan dan karena adanya faktor osteoporosis yang sering diderita

wanita usia tua. Fraktur ini juga terhitung merupakan fraktur ekstremitas atas yang

diperkirakan 16% dari semua fraktur yang ada di unit gawat darurat dan75% dari

fraktur region antebrachii. Pada anak-anak fraktur radius ulna terhitung10-45% dari

semua fraktur pada pediatrik dan fraktur radius distal terhitung 75%-84% dari fraktur

lengan bawah .

Beberapa penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, fakor patologik, dan

yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan bertambah dengan adanya

komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, syndrome emboli lemak, syndrome

kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain

dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delay union, non union atau bahkan

pendarahan (Price, 2005).

Trauma arteri brakhialis adalah trauma pada pembuluh darah arteri yang bisa

disebabkan oleh trauma tembus atau trauma tumpul terhadap ekstremitas yang jika

tidak diketahui dan tidak dilakukan tindakan sedini mungkin akan mengakibatkan

1

hilangnya atau matinya ekstremitas tersebut atau bahkan bisa menyebabkan kematian

bagi pasien. Akhir akhir ini kejadian trauma vaskuler meningkat, hal ini disebabkan

oleh kecelakaan lalulintas, kekerasan dan penggunaan kateterisasi intra vaskuler.

Perkembangan yang pesat dari sektor transportasi saat ini memberikan kontribusi

yang sangat besar untuk timbulnya trauma vaskuler. Di Eropa dan diberbagai tempat

lain , penyebab terbanyak dari cedera vaskuler adalah akibat senjata api (Levy RM,

2008).

Cedera vaskuler pada ekstremitas atas merupakan sekitar 30-50% dari

keseluruhan trauma vaskuler. Lebih dari 80% disebabkan oleh trauma tembus. Yang

paling sering dilaporkan adalah cedera pada arteri brachialis. Cedera ini saja

memberikan kontribusi sekitar 15-30% dari semua cedera vaskuler, trauma pada

arteri axilaris memberikan kontribusi sekitar 5-10% dan arteri radialis serta ulnaris

menyumbang sekitar 5 – 30 % (Fields C E, 2002). Kematian dan kesakitan pada

pasien biasanya disebabkan oleh trauma penyerta lainnya. Penyebab terbanyak dari

kesakitan adalah cedera saraf bersamaan demikian juga cedera pada tulang dan vena.

Cedera pada saraf adalah penyebab terbanyak dari gangguan fungsi ekstremitas atas

(35% - 45%) (Levy RM, 2008).

Berbagai tindakan bisa dilakukan diantaranya rekognisi, reduksi, dan rehabilitasi.

Meskipun demikian masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan

akan berlanjut sampai tindakan setelah atau post operasi. Peran perawat sangat

penting dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien fraktur artikulasi cubitii

dengan trauma pada arteri brakhialis, sehingga sebagai seorang perawat ia perlu

mengetahui bagaimana penatalaksanaan fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada

arteri brakhialis serta pemberian asuhan keperawatan kepada pasien dengan fraktur

artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan asuhan keperawatan pada

klien dengan fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis

2

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Memahami anatomi fisiologi tulang

2. Memahami definisi dari fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri

brakhialis

3. Memahami etiologi terjadinya fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada

arteri brakhialis

4. Memahami patofisiologi dari fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada

arteri brakhialis

5. Memahami Web of Caution terjadinya fraktur artikulasi cubitii dengan

trauma pada arteri brakhialis

6. Memahami manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan fraktur

artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis

7. Memahami komplikasi yang muncul pada klien dengan fraktur artikulasi

cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis

8. Memahami pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosa

fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis

9. Menjelaskan penatalaksanaan pada klien dengan fraktur artikulasi cubitii

dengan trauma pada arteri brakhialis

10. Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur artikulasi

cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi Siku (Art. Cubiti)

2.1.1 Tulang pembentuk sendi siku

Elbow atau siku dibentuk oleh tiga tulang yaitu distal humeri, proximal ulna

dan proximal radius (Helmi, 2012).

1. Os Humeru

Merupakan tulang terpanjang pada anggota gerak atas. Ujung atas os

humerus terdiri dari sebuah caput humeri yang membuat persendian dengan

rongga glenoidalis scapula dan merupakan bagian dari persendian bahu. Di

bagian bawah caput terdapat bagian yang ramping di sebut collum

anatomicum dan di sebelah luar terdapat tuberositas mayor serta bagian dalam

terdapat tuberositas minor. Di antara kedua tuberositas terdapat celah, yaitu

sulcus intertubercularis.

Pada Batang os humerus terdapat tuberositas deltoid, yaitu tempat

melekatnya insersio otot deltoideus. Disebelah dorsal dari tuberositas deltoid

terdapat sulcus yang membelit disebut sulcus nerve radialis.

Ujung bawah os humerus terdapat permukaan sendi yang berhubungan

dengan tulang lengan bawah. Trochlear yang terletak di sebelah sisi dalam

tempat persendian os ulna dan sisi luar terdapat caspitulum yang bersendian

dengan os radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah os humerus

terdapat dua epicondylus, yaitu epicondilus lateral dan medial.

2. Os Radius

Tulang radius terletak di sisi lateral pada lengan bawah. Merupakan

tulang yang lebih pendek di bandingkan dengan os ulna. Mempunyai sebuah

batang dan dua ujung atas, yaitu caput yang berbentuk kancing. Dibawah

terdapat sebuah tuberositas radii.

4

3. Os Ulna

Tulang ulna terletak di sisi medial pada lengan bawah yang terdiri atas

sebuah batang dan dua ujung. Ujung os ulna masuk dalam persendian siku

yang disebut processus olecranon. Processus ini menonjol keatas di sebelah

posterior dan masuk ke dalam fosa olecrani os humerus. Processus

coronoideus os ulna menonjol di depannya dan tempat masuk di dalam fosa

coronoid os humerus, bila siku di bengkokkan. Batang os ulna semakin ke

bawah semakin mengecil dan memberi kaitan pada otot yang mengendalikan

gerak sendi pergelangan tangan dan jari-jari. Ujung bawah os ulna terdiri dari

caput ulna yang bersendian dengan os radius dan processus styloideus yang

menonjol ke bawah.

2.1.2 Ligamentum Sendi Siku

Untuk menghubungkan tulang humerus dengan tulang ulna dan radius,

maka diperkuat oleh ligamentum-ligamentum yang terletak pada sendi siku.

Ligamen-ligamen itu terdiri dari :

1. Ligamen collateral ulnare yaitu ligamen yang bersal dari epicondylus medial

humerus dan memperkuat sendi humeroulnaris di sisi medial.

2. Ligamen collateral radial yaitu ligamen yang terbentang dari epicondylus

lateral humeri ke ligamen anular radii menuju os ulna. Memperkuat sendi

humeroradial di sisi lateral.

3. Ligamen anular radii yaitu ligamen yang bersama dengan ligamen collateral

radial menahan capitulum humeri pada tempatnya

2.1.3 Sistem Vaskularisasi

1. Arteri Brachialis

Arteri brachialis adalah pemasok arteri utama untuk lengan atas. Arteri

brachialis adalah lanjutan dari arteri axillaris, dimana arah perjalanan sesuai

dengan satu garis pemukaan ulnaris. Bagian proximal arteri brachialis di

sebelah medial dan otot-otot coracobrachialis serta cabang-cabangnya

member nutrisi pada otot-otot di sekitarny.

2. Vena Cephalica

5

Vena melintasi ke proksimal pada fescia superficialis, mengikuti tepi

lateral pergelangan tangan dan pada permukaan antero lateral lengan bawah

dan lengan atas. Disebelah proksimal vena cephalica melintasi antara

musculus deltoideus dan musculus pectoralis dan memasuki trigonum delto

pectrole, lalu bergabung dengan vena axilaris.

3. Vena Basilica.

Vena yang melintasi pada fascia superficialis disisi medialis lengan

bawah dan bagian distal lengan atas. Vena basilica lalu menembus fascia

superficialis dan melintasi ke dalam dan ke proksimal sampai lekuk ketiak

untuk bergabung dengan vena brachialis, membentuk vena axilaris.

4. Vena Media cubiti.

Vena ini merupakan pembuluh penghubung antara vena basilica dan

vena cephalica sebelah depan daerah fossacubiti.

2.1.4 Biomekanik Sendi Siku

Sendi siku terdiri atas 3 sendi yaitu : artikulasio humeroradial , artikulasio

humeroulnar dan artikulasio radioulnar.

1. Artikulasio Humeroradialis

Persendian ini di bentuk oleh capitulum humeri dan fovea capitulum

radii. Gerakan yang terjadi adalah fleksi dan ekstensi sendi siku, terjadi pada

bidang gerak sagital dengan axisnya frontal, serta mempunyai lingkup gerak

sendi 0-145°.

2. Artikulasio Humeroulnaris

Artikulasio Humeroulnar merupakan sendi berbentuk hinge ( engsel )

dengan trochlea humeri yang ovular bersendi dengan fossa trochlearis ulna.

Permukaan trochlea humeri menghadap kearah anterior dan bawah

membentuk sudut dari shaft humeri. Fossa trochlearis ulna menghadap ke

atas dan anterior membentuk sudut 45° dari ulna.

3. Artikulasio Radioulnar

Persendian ini dibentuk oleh head of radius dengan ulna. Sendi ini

bergerak secara simultan dengan proksimal radioulnar joint. Saat gerak

6

pronasi-supinasi, fossa ulnaris radii yang konkaf bergerak slide dalam arah

yang sama dengan gerak tulang.

2.2 Definisi

2.2.1 Fraktur Artikulasio Cubiti

Fraktur Artikulasio Cubiti adalah suatu kondisi terputusnya hubungan

tulang yang terdapat pada siku, baik intraartikuler maupun ekstraartikular,

termasuk fraktur interkondiler, suprakondiler, epikondiler, fraktur olekranon,

dan fraktur kondiler. Sementara fraktur intra artikuler termasuk fraktur

troklea, dan kapitelium, kepala radius, dan proksimal ulna (olekranon)

( Zairin,2012).

1. Fraktur Interkondiler

Fraktur interkondiler terjadi apabila tulang kondiler terpisah. Mekanisme

trauma yaitu pada saat tekanan pada siku posterior seperti jatuh dengan siku

tertekuk, mendorong olekranon terhadap permukaan artikuler humeri

sehingga memisahkan tulang kondilus (Helmi, 2012).

2. Fraktur Suprakondiler

Fraktur suprakondiler biasanya ditemukan pada anak-anak. Fragmen distal

dapat bergeser ke posterior atau anterior. Pergeseran posterior menunjukkan

cedera yang luas, biasanya akibat jatuh pada tangan terlentang. Humerus

patah tepat diatas kondilus. Fragmen distal terdesak kebelakang (karena

lengan bawah biasanya dalam posisi pronasi) dan terpuntir kedalam. Ujung

fragmen proksimal yang tajam kemungkinan akan merusak jaringan lunak

kebagian anterior dan mempunyai resiko mencederai arteri brakialis atau

saraf medianus. Fraktur suprakondiler mempunyai resiko kerusakan pada

vaskuler dan cedera pada saraf, sehingga memungkinkan pembengkakan

iskemia pada bagian lengan bawah (Helmi, 2012).

3. Fraktur Olekranon

Fraktur Olekranon adalah putusnya hubungan tulang ulna bagian atas yang

disebabkan oleh suatu traumadua jenis trauma yang ditemukan yaitu fraktur

kominutif akibat pukulan langsung atau jatuh pada siku dan patah melintang

7

bersih akibat traksi ketika penderita jatuh pada tangan saat otot trisep

berkontraksi. Fraktur memasuki sendi siku, oleh karena itu dapat juga

merusak kartilago artikular. Pada fragmen melintang, aponeurosis triseps

dapat tetap utuh, dalam hal ini fragmen – fragmen fraktur tetap bersama-

sama (Helmi, 2012).

2.2.2 Trauma Arteri Brakhialis

Pembuluh darah kecil dapat robek pada saat terjadi fraktur, tetapi hal ini

jarang terjadi pada pembuluh darah besar. Walaupun begitu komplikasi akibat

trauma dapat menyebabkan sekuele berupa oklusi arteri yang persisten. Arteri

besar mudah rusak oleh trauma yang disertai fraktur dan dislokasi. Trauma

arteri brakhialis biasanya terjadi pada fraktur humerus dan fraktur

suprakondiler humerus tipe ekstensi. Cedera pada arteri brakhialis adalah

cedera arteri ekstremitas atas yang paling sering terjadi. Hal ini disebabkan

karena arteri brakhialis relatif panjang, terletak superfisial dan terekspos

dibandingkan arteri perifer lain. Trauma pada arteri brakhialis biasanya

berasal dari tindakan iatrogenik dan luka tusuk, dan biasanya disertai dengan

fraktur humerus.(Pratama, 2010). Fraktur Artikulasio Cubiti dengan Trauma

Arteri Brakialis adalah Fraktur yang terjadi di sendi siku yang mana

menyebabkan terjadinya trauma atau cedera pada arteri brakialis.

2.2.3 Macam-macam Trauma Arteri Brakhialis

1. Terputusnya arteri

Suatu arteri besar dapat terputus secara total atau tidak total oleh fragmen

fraktur yang tajam dari dalam, terjadi secara tiba-tiba atau oleh benda yang

menyebabkan penetrasi di dalam jaringan yang berasal dari luar. Robekan

areteri yang total biasanya bereteraksi dan menghentikan perdarahan secara

spontan, sedangkan robekan yang tidak total cenderung menyebabkan

perdarahan sehingga ditemukan hematoma lokal dan sistemik. Robekan

areteri tidak total dapat mengakibatkan hematoma pulsasi.

8

2. Spasme arteri

Spasme menetap pada arteri yang disertai oklusi dapat terjadi akibat traksi

berat dan tiba-tiba pada arteri besar, pada saat fraktur atau pada waktu

pengobatan fraktur. Walaupun arteri tidak terputus, biasanya ditemukan

robekan pada intima yang menyebabkan trombosis. Spasme arteri sekunder

dapat memisahkan bagian proksimal dan distal arteri kolateral yang

mengakibatkan iskemik yang luas pada bagian distal.

3. Penekanan arteri

Penekanan arteri dapat disebabkan secara iatrogenik akibat lilitan gips atau

pembalut eksterna yang terlalu kuat dan pembengkakan progresif pada

permukaan dalam yang tertutup. Kadang-kadang suatu arteri besar dapat

terjerat dan tertekan diantara dua frakmen fraktur. Tanda dan gejala

penekanan arteri sama dengan tanda dan gejala kompartemen sindrom yaitu

pain, parestesia, pallor, pulselessness, paralisis.

4. Trombosis arteri

Selain trauma arteri yang menyebabkan oklusi persisten, dapat terjadi

sekuele berupa trombosis. Arterio sklerosis terjadi karena kerusakan akibat

trombosis arteri pasca trauma

2.3 Etiologi

Menurut Sachdeva 1996, penyebab fraktur siku dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

2.3.1 Cedera Traumatik

Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga

tulang patah secara spontan. seperti jatuh dengan siku tertekuk Pemukulan

biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di

atasnya.

2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi

benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur

pada sendi siku.

3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

9

2.3.2 Fraktur Patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma

minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan

berikut :

1. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak

terkendali dan progresif.

2. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau

dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.

3. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D

yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan

kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat

yang rendah.

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Fraktur Artikulasi Cubiti

1. Luka luas yang berkeping-keping, patah tulang yang membentuk sendi siku

yakni humerus, ulna dan radius disertai dengan dislokasi sendi siku.

2. Nyeri, karena adanya lesi saraf perifer

3. Sulit meluruskan siku, karean adanya deformitas tulang siku.

4. Edema pada lokasi fraktur siku, terkadang bengkak hebat sekali akibat

pendarahan yang luas.

5. Ada gangguan pada sirkulasi perifer karena terjadi trauma arteri brakialis dan

lesi pada sel saraf tepi

6. Ekimosis

7. Nyeri tekan

8. Kelumpuhan pada satu atau lebih jari. Karena pada lesi nervus radialis

didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan ekstensi jari yang lain

pada sendi metakarpofalangeal.

2.4.2 Trauma Arteri Brakhialis

Perdarahan eksterna suatu robekan arteri dapat terlihat secara jelas,

sedangkan perdarahan interna hanya berupa pembengkakan lokal yang

10

progresif. Gejala oklusi arteri yang total pada anggota gerak berupa kulit yang

pucat pada bagian distal, dingin, hilangnya denyu arteri dan bintik-bintik serta

warna hitam pada kulit yang menunjukkan adanya gangren.

Okluasi arteri dapat dideteksi dengan bantuan arteriografi. Okluasi

arteri yang tidak total misalnya pada penjepitan vena kompartemen dalam

fasia, menjepit arteri yang dalam tapi arteri superfisial tidak terjepit dan

menyebabkan iskemia saraf dan otot (iskemik volkman). Oleh karena itu,

iskemik volkman disertai nyeri dan iskemia otot, hilangnya sirkulasi perifer,

kulit dingin dan pucat, pembengkakan yang luas serta gangguan fungsi saraf

perifer berupa parastesia, hipestesia dan paralisis.

Gambaran klinis iskemik volkman berupa nyeri, hilangnya denyutan,

pucat, parastesia dan paralisis. Ketegangan pasif otot iskemik misalnya

ekstensi pasif jari-jari yang terlihat pada iskemia otot fleksor jari-jari yang

akan memperberat nyeri. Analgetik sebaiknya tidak diberikan pada nyeri

setelah reduksi fraktur karena dapat mengaburkan adanya iskemik volkman.

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Fraktur Artikulasi Cubiti

Menurut Zairin 2012. Ada dua mekanisme terjadinya fraktur siku yaitu:

1. Tipe ekstensi (sering terjadi pada 99% kasus)

Fraktur terjadi akibat injuri hiperekstensi (Outstreched hand) gaya

diteruskan melalui elbow joint sehingga terjadi fraktur proksimal terhadap

elbow joint. Fragmen ujung proksimal terdorong melalui periosteum sisi

anterior dimana terdapat muskulus brakialis, kearah arteri brakialis dan

nervus medianus. Fragmen ini menembus kulit sehingga terjadi frakture

terbuka dan terjadi trauma arteri brakialis

2. Tipe Fleksi (jarang terjadi)

Trauma terjadi akibat trauma langsung pada aspek posterior elbow

dengan posisi fleksi. Hal ini menyebabkan fragmen proksimal menembus

muskulus/tendon trisep dan kulit. Daerah suprakondiler humeri

merupakan daerah yang relative lemah pada ekstremitas atas. Pada daerah

11

ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan

adanya fossa olekranon dibagian posterior dan fossa koronoid. Dibagian

anterior sehingga mudah dimengerti bahwa daerah ini merupakan titik

lemah bila terdapat trauma didaerah siku. Terlebih pada anak-anak sering

terdapat fraktur didaerah ini.

Bila terdapat oklusi pada arteri brakialis dapat menimbulkan

komplikasi serius yang diebut dengan iskemia volkman’s. arteri brakialis

terperangakap dan mengalami perhentian aliran darah pada daerah

fraktur. Selanjutnya arteri brakialis sering mengalami kontusio dengan

atau tanpa dengan robekan intima.

2.5.2 Trauma Arteri Brakhialis

Daerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah

pada ekstremitas atas. Pada daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang

humerus menjadi pipih disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior

dan fossa coronoid di bagian anterior. Fraktur suprakondiler biasanya

ditemukan pada anak-anak. Fragmen distal dapat bergeser ke posterior atau ke

anterior. Pergeseran posterior menunjukkan cedera yang luas, biasanya akibat

jatuh pada tangan yang terentang. Humerus patah tepat di atas kondilus.

Fragmen distal terdesak ke belakang dan (karena lengan bawah biasanya

dalam posisi pronasi) terpluntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang

tajam kemungkinan akan merusak jaringan lunak ke bagian anterior dan

mempunyai risiko mencederai arteri brakialis atau saraf.

Pergeseran anterior yang lebih jauh jarang terjadi, diperkirakan akibat

benturan langsung (misalnya, jatuh pada siku dalam keadaan fleksi). Fraktur

suprakondiler ini mempunyai risiko kerusakan vaskuler dan cedera saraf

sehingga memungkinkan pembengkakan iskemia pada bagian lengan bawah.

Bila terjadi oklusi pada arteri brakialis dapat menimbulkan komplikasi yang

disebut iskemia Volkmann’s. Arteri brakialis terperangkap dan mengalami

perhentian aliran darah pada daerah fraktur. Selanjutnya arteri brakialis sering

mengalami kontusio dengan atau tanpa robekan intima.

12

Kondisi klinis fraktur suprakondiler humerus menyebabkan kerusakan

neuromuskular dan neurovaskular sehingga menimbulkan keluhan klien

berupa nyeri, terputusnya hubungan tulang humerus menyebabkan hambatan

mobilitas fisik, kondisi prognosis penyakit menimbulkan respons psikologis

berupa ansietas. Intervensi medis reduksi tertutup dengan traksi tulang

olekranon menyebabkan risiko tinggi trauma dan tindakan pembedahan

menimbulkan keluhan nyeri pasca bedah, risiko infeksi, risiko tinggi trauma,

dan pemenuhan informasi.

13

Trauma Arteri Brachialis

Terputusnya Arteri Spasme Arteri

Merangsang mediator kimia (serotonin,

bradikinin, histamine, prostaglandin)

Pergeseran fragmen tulang

Deformitas

Gg. Fungsi Tulang

MK : Gg. Mobilitas Fisik

PK : Perdarahan

Hematoma

Konstriksi dan retraksi kedua ujung arteri yang

terputus tidak bisa maksimal

Perdarahan sulit dihentikan

Arteri yang terjerat dan

tertekan oleh fraktur

Hematoma subintima

Iskemik

Penurunan Metabolisme

Penurunan produksi ATP

Penuruan suplai oksigen dalam darah

Sesak

RR Meningkat

Munculnya gejala 5P

Trauma langsung Trauma tidak langsung

Fraktur Siku

Penekanan Arteri

Tertutupnya aliran darah

2.6 WOC Fraktur Siku dengan Trauma Arteri Brakialis

14

Pembentukan jaringan fribous di sekitar hematoma

Aneuresma palsu

Aliran darah jari terhambat

MK : Gg. Perfusi Jaringan

Kelemahan Fisik

MK : Intoleransi Aktivitas

MK : Pola Nafas Inefektif Merangsang ujung saraf bebas

Merangsang Medulla Spinalis

Talamus

Korteks Serebri

MK : Nyeri Akut

MK : Defisit Perawatan Diri

MK : Anxietas

Kompartemen Sindrom

Takikardi

Peningkatan Cardiac Output

Pain = MK : NyeriPulseless = MK : Gangguan Perfusi JaringanParastesi = MK : Resiko CederaPaleParalisis = MK : Resiko Cedera

15

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

2.7.1 Anamnesis

1. Riwayat trauma

2. Pergerakan sendi siku

3. Ada keluhan nyeri

4. Anamnesa AMPLE meliputi; A (Alergi), M(Medikasi/obat-obatan), P

( Penyakit sebelumnya yang diderita), L (Last Meal/ terakhir makan jam

berapa), dan E (Event,yaitu hal-hal yang bersangkutan dengan sebab dari

cedera)

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Berikut adalah temuan yang didapatkan pada pemeriksaan fisik

regional dislokasi posterior.

1. Look. Deformitas pada pergeseran posterior siku , terlihat terdorong ke

belakang. Ada edema pada lokasi fraktur,

2. Feel. Nyeri tekan pada siku

3. Move pada fase akut trauma, penderita akan mengalami ketidakmampuan

menggerakkan siku dan kelumpuhan pada satu atau lebih jari

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

1. X-Ray

Dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.

2. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi.

3. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks

4. Laboratorium :

Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering

rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan

jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di

dalam darah.

16

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Penatalaksanaan Kedaruratan

Survei dan resusitasi primer. Intervensi pada survey dan resusitasi primer

prarumah sakit adalah sebgai berikut :

1. Lakukan pengelolaan standar

a. Periksa ABCDE dan lakukan terapi pada keadaan yang mengancam

b. Nyawa terlebih dahulu, hal ini dapat dimulai sebelum pemeriksaan

selesai.

c. Periksa dan dokumentasikan keadaan neurovaskuler sebelum melakukan

intervensi, termasuk memasang bidai

2. Monitor ketat TTV, GCS, dan akses vena

3. Observasi gangguan neurovaskuler

4. Periksa adanya resiko fraktur mulitiple

5. Pengelolaan respon nyeri

6. Untuk menurunkan nyeri, lakukan intervensi dengan pemasangan gendongan

bahu dan menganjurkan penderita untuk tidak melakukan abduksi lengan.

Apabila tidak ada kontraindikasi, analgestik narkotik diberikan secara

intravena

Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reposisi, imobilisasi dan

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. Pada

undisplaced fracture hanya dilakukan elbow fleksi selama tiga minggu. Jika

pembengkakan tidak hebat dapat dicoba dilakukan reposisi dalam narkose

umum. Penderita tidur terlentang, dalam posisi ekstensi, operator menekuk

bagian distal, manarik lengan bagian bawah dengan siku pada posisi ekstensi,

sedangkan asisten menahan bagian proksimal, memegang lengan atas pada

ketiak pasien. setelah tereposisi, perlahan-lahan sambil tetap menarik lengan

bawah siku difleksikan sambil diraba arteri radialis. Gerakan fleksi diteruskan

sampai arteri radialis mulai tidak teraba, kemudian siku sedikit diekstensi untuk

memastikan arteri radialis teraba lagi.fleksi maksimal akan menyebabkan

17

tegangnya otot trisep dan ini akan mempertahankan reposisi lengan baik. Dalam

posisi ini dilakukan imobilisasi dengan gips spalk (posterior splint).

Pemasangan gips dilakukan dengan lengan bawah dalam posisi pronasi bila

fragmen distal displaced ke medial dan dalam posisi supinasi bila fragmen distal

displaced kearah lateral. Bila reposisi berhasil, biasanya dalam 1 minggu perlu

dibuat foto rongent control, karena dalam 1 minggu bengkak akibat hematom

dan odem telah berkurang dan menyebabkan kendurnya gips, yang selanjutnya

dapat menyebabkan terlepasnya reposisi yang telah tercapai. Jika dengan

pengontrolan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat dipertahankan selama 3

minggu. Setelah itu gips diganti dengan mitela dengan maksud agar pasien dapat

melatih gerakan fleksi ekstensi dalam mitela. Umumnya penyembuhan fraktur

ini berlangsung cepat dan tanpa gangguan.

Evaluasi union sekitar 3-4 minggu untuk anak usia 4 tahun dan sekitar 4-5

minggu untuk anak usia 8 tahun dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.

Dengan meletakkan jari diatas tendon bisep kemudian dilakukan fleksi dan

ekstensi siku. Adanya spasme muskulus bisep menunjukkan siku belum siap

mobilisasi. Setelah melepas splints dilakukan latihan aktif dalam sling selama

beberapa bulan sampai rang of motion tercapai sesuai yang diharapkan .

Penatalaksanaan yang dilakukan untuk mengatasi trauma arteri brakialis

adalah dengan bedah vaskuler dengan dilakukan repair arteri . repair arteri

mengikuti urutan akses, eksposur, control dan repair. Control perdarahan

sementara dapat dilakukan dengan menggunakan penekanan jari-jari atau balut

tekan tidak dianjurkan menggunakan klem pada arteri karena bisa mencederai

organ sekitar seperti syaraf.

2.8.2 Penatalaksanaan Trauma Arteri Brakhialis

Oklusi pada arteri besar membutuhkan suatu operasi darurat dalam beberapa

jam sejak terjadinya trauma bersama-sama dengan iskemik yang bersifat

irreversibel. Komplikasi pada pembuluh darah membutuhkan pengobatan yang

segera. Urutan pengobatan diatur sebagai berikut :

18

1. Setiap penjepitan arteri akibat lilitan pembalut yang terlalu ketat harus dibuka

(pembalut jangan hanya dipotong)

2. Setiap distorsi pada fraktur anggota gerak atau posisi ekstrim dekat

persendiaan harus dikurangi

3. Bila fraktur diobati dengan traksi kontinu, seluruh traksi harus dikurangi

4. Jika gagal untuk memulihkan sirkulasi perifer yang adekuat dapat dilakukan

arteriografi darurat dan bila tidak ada kemajuan dalam 30 menit, maka harus

dilakukan eksplorasio arteri.

Pada operasi, jika arteri telah dibuka harus diperbaiki dengan melakukan

teknik jahitan langsung. Jika memungkinkan dapat dilakukan vena graft

autogenous dan protesis arteri. Jika arteri tertekan dan menyebabkan spasme

arteri, alirannya dapat diperbaiki. Trombus pada arteri harus dihilangkan dan jika

arteri mengalami memar atau robekan pada intima harus dilakukan pemotongan

pada pembuluh darah yang rusak dan dipulihkan dengan gtekhnik jahitan

langsung, graft vena atau protesis.

Spasme arteri yang persisten lebih sulit dihilangkan; jika aplikasi lokal dengan

papaverin hangat tidak mengurangi spasme, maka bagian yang mengalami

kontriksi dapat didilatasi dengan injeksi intra-arterial Nacl fisiologis dari

proksimal. Sebagian patogen, pemotongan dan pengikatan ujung arteri serta

kolarateralnya akan memulihkan sirkulasi distal terutama pada anak-anak.

Setelah pengobatan komplikasi vaskuler, maka perlu dilakukan fiksasi interna

pada fraktur untuk mencegah pergerakan pada daerah arteri yang mengalami

trauma.

Penatalaksanaan Keperawatan

Pada Trauma arteri brakhialis, ada 2 keadaan yaitu

1. Arteri terputus sehingga terjadi perdarahan sehingga pentalaksanaan

yang harus dilaksanakan yaitu hentikan perdarahannya.

2. Arteri terjepit yang disebabkan karena fragmen fraktur atau

pembebatan yang terlalu kuat sehingga penatalaksanaan yang perlu

dilakukan adalah

19

a) Obeservasi status Neurovaskuler, sensoris dan motoriknya.

b) Berikan edukasi kepada pasien dan juga keluarganya untuk

keamanan luka.

Pada penatalaksanaan nyeri adalah dengan kolaborasi dengan dokter

untuk pemberian analgesic/antinyeri. Anti nyeri ada 2 jenis yaitu:

a) Sedative bisa menyebabkan terjadinya kontipasi sehingga

penatalaksanaa keperawatannya observasi BAB pasien.

b) Anti inflamasi NSAID bisa menyebabkan mual, dan perdarahan

lambung sehingga penatalaksanaan keperawatannya observasi status

pencernaannya.

c) Pada penalaksanaan luka post operasi lakukan perawatan luka setiap

hari karena resiko terjadi infeksi.

d) Hambatan mobilitas fisik pada pasien bisa dilakukan mobilisasi sendi

untuk mencegah terjadinya kekakuan sendi dengan ROM aktif/pasif

atau optimalkan pada sisi yang sehat.

2.8.3 Penatalaksanaan Medis

1. Fraktur Terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh

bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden

period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:

a. Pembersihan luka

b. Exici

c. Hecting situasi

d. Antibiotik

2. Seluruh Fraktur

a. Rekognisis/Pengenalan

Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan

selanjutnya.

20

b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi

Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti

semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting

tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan

rotasfanatomis (brunner, 2001).

Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk

mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,

namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan

reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak

kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.

Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera

sudah mulai mengalami penyembuhan.

Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan

untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,

dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan

anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan

lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut

Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan

dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya

saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara

gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan

menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.

Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah

dalam kesejajaran yang benar.

Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan

imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi

fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus

21

pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk

melanjutkan imobilisasi.

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.

Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna

dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam

digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi

tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga

aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

c. OREF

Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan

cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external

fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.

Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur

sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.

Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik

untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah

lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap

sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union

(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis

(penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh

secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan

gerakan)

d. ORIF

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal

fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk

mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak

mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail

biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur

tranvers.

22

Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and

internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila

dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai

dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur

terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan

fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi

eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada

fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan

perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang.

Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada anak untuk

menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan

infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang

disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada

keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang

digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner

wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3

macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring

(Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan

fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan

seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa

mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan

langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap

dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah

terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik

dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan

pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan

radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi

antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus

dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk

menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai

23

nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber

infeksi. Pada kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi

jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk

debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan

pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan

imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak.

Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6

bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur.

Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin

e. Retensi/Immobilisasi

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga

kembali seperti semula secara optimun.

Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus

diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar

sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi

eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,

bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan

logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai

interna untuk mengimobilisasi fraktur.

f. Rehabilitasi

Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan

imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler

(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan

ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan

neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol

dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi

peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot

diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran

darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk

24

memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap

pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya,

fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang

memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan

stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat

aktivitas dan beban berat badan.

2.9 Komplikasi

1. Kekakuan sendi

Fisio terapi yang terlambat bisa menyebabkan kekakuan pada sendi siku

karena jarang digerakkan

2. Osteomielitis

Terjadi infeksi tulang karena staphylococcus yang disebarkan oleh darah, efek

trauma arteri brakialis yang tidak tertangani dengan baik (Henderson, 1997)

3. Kerusakan arteri brakilais .radialis, medianus dan ulnaris.

4. Delayed union

Delayed union artinya penyatuan yang tertunda, yaitu patah tulang yang tidak

menyatu dalam waktu 3-6 bulan, tidak terlihat ada pertumbuhan tulang yang

baru, kalaupun ada sangat sedikit, kalus (tulang muda) di sekitar daerah

patahan pun sangat kurang.

Ciri-ciri yang terlihat pada kasus delayed union yaitu :

a. nyeri pada saat berjalan

b. terdapat pembengkakan

c. nyeri pada saat ditekan di daerah patahan

d. tulang bertambah bengkok ( bisa bengkok, bisa tidak)

e. terdapat gerakan yang abnormal pada daerah patahan

5. Non union

Non union artinya tidak menyatu atau tidak ada penyatuan, non union

merupakan kasus lanjutan dari delayed union. Jadi, bila patah tulang tidak

menyatu dalam waktu 6-8 bulan dinamakan non union.

Penyebab delayed union dan non union :

25

a. terlalu banyak bergerak

b. kurangnya asupan nutrisi untuk tulang (protein, kalsium, magnesium dan

zat

c. mineral lainnya)

d. pernah jatuh atau terpeleset

6. Mal union

Tulang yang patah menyatu dalam waktu yang tepat (3-6 bulan) tetapi

tulangnya menjadi bengkok. Penyebabnya bisa karena terlalu banyak

bergerak, pernah terpeleset sehingga fragmen tulangnya bergeser, sering

duduk atau tidur dengan posisi yang tidak tepat, pengobatan dengan dipijit

(karena tidak dilihat langsung, posisinya kurang pas).

7. Komplikasi yang sering muncul adalah syok, yaitu keadaan berkurangnya

perfusi organ dan oksigenasi jaringan serta gangguan mekanisme

homeostatis.

a. Fase-fase syok

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik,

2000):

1) Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa

sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk

menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan

melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan

otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital.

Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan

menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat

untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi

pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot

jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk

memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun,

tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk

26

mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah

menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.

2) Fase Progresif/dekompensasi

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi

kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah

jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh

tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun,

hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme

terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi

kematian sel.

Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi

sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun.

Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi

tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan

trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang

luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran

darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di

otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia

menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan

(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan

memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan

penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri

usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar

memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata,

integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga

rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari

aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi

peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di

jaringan.

27

3) Fase Irevesibel

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak

dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya

ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu

lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema

interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan

hiperkapnea.

Dari fase-fase tersebut maka tanda-tanda syok yang harus di observasi

adalah :

a. Tekanan darah rendah

b. Suhu tubuh rendah

c. Denyut nadi cepat

d. Lemah, akral dingin, dan kulit pucat

28

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus Semu

Nn. Z umur 25 tahun, tinggal di kota x, suku bangsa jawa, dan pendidikan SMA

datang ke RS setelah jatuh dari lantai 3. Nn. Z jatuh dengan posisi siku tertekuk Nn.Z

mengeluh nyeri di bagian lengan kiri bawah/siku. Lengan Nn.Z terlihat edema,

mengeluarkan banyak darah, ditemukan adanya luka terbuka sampai terlihat bagian

tulang yang fraktur. Pasien terlihat pucat. Karena keadaannya pasien tidak bisa

melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk perawatan diri. Nn. Z terlihat cemas dan

terus menanyakan tentang kondisinya kepada perawat. Dari hasil pemeriksaan fisik

didapatkan data TD 100/70 mmHg, RR 30x/menit, N 120x/menit, suhu 37,5°C. Dari

pemeriksaan X-ray didapatkan fraktur suprakondiler humeri.

3.1 Pengkajian

1. Anamnesa

1) Identitas

Nona Z umur 25 tahun, tinggal di kota x, suku bangsa jawa, pendidikan

SMA.

2) Keluhan Utama

Nyeri di lengan kiri

3) Riwayat penyakit saat ini

Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri dan perdarahan yang banyak di

lengan kiri. Nn.Z sebelumnya terjatuh dari lantai 3 dengan posisi siku

tertekuk. Nn.Z tidak bisa meluruskan siku tangan kirinya.

4) Riwayat penyakit dahulu

Sebelumnya pasien tidak pernah MRS

5) Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga Nn.Z

6) Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual

Klien merasa cemas akan keadaannya

29

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pernafasan (B1)

RR 30x/menit ( normal=24x/menit), pergerakan dada simetris, tidak ada

sesak, tidak ada bunyi nafas tambahan

b. Kardiovaskuler (B2)

TD 100/80mmHg (normal 120/70mmHg), suhu badan 37,5°C

(N=37,5°C), Nadi 120x/menit (Normal 60-100x/menit), perdarahan di

bagian siku kiri, akral dingin, CRT > 2 detik

c. Persyarafan (B3)

Nyeri di daerah luka, konjungtiva anemis dengan Hb=8 gr/dL (N pada

wanita= 12-16 gr/dL), pusing

d. Perkemihan (B4)

-

e. Pencernaan (B5)

Tidak mual dan muntah.

f. Muskuloskeletal dan integument (B6)

Pasien terlihat pucat, lengan kiri edema, siku tangan kiri tidak bisa di

luruskan

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan X-ray didapatkan fraktur suprakondiler humeri.

b. Kadar Hb=8 gr/dL

3.2 Analisa Data

Data Etiologi MK

DS= pasien mengatakan

nyeri

P : nyeri bertambah

bila siku

digerakkan

Q : nyeri sedang

R : siku kiri

Fraktur siku

Merangsang mediator kimia

(serotonin, bradikinin,

histamine, prostaglansin)

Merangsang ujung saraf bebas

Nyeri

30

S : 6

T : nyeri dirasakan

terus menerus.

DO=berkeringat, RR

30x/menit, Nadi

120xmenit, pasien

terlihat merintih

Merangsang medulla spinalis

Thalamus

Korteks serebri

Nyeri akut

DS=pasien mengatakan

tidak bisa melakukan

aktivitasnya sehari-

hari karena siku

tidak bisa diluruskan

dan nyeri.

DO=keterbatasan ROM,

penurunan aktivitas

Fraktur siku

Pergeseran fragmen tulang

Deformitas

Gannguan muskuloskeletal

Hambatan mobilitas fisik

Hambatan mobilitas

Fisik

DS=pasien mengatakan

tidak bisa melakukan

aktivitas sehari-hari

termasuk perawatan

diri

DO=ketidakmampuan

dalam melakukan

perawatan diri

Fraktur siku

Deformitas

Kemampuan menjalankan

aktivitas

Defisit perawatan diri

Defisit perawatan

diri

DS=pasien mengatakan

khawatir akan

keadaannya.

DO=pasien terus

menanyakan tentang

Trauma

Fraktur siku

Kurang pengetahuan

Anxietas

31

keadaannya, kontak

mata kurang, terlihat

gelisah.

Anxietas

DS=pasien mengatakan

banyak keluar darah

setelah terjatuh.

DO=darah terus keluar

dari daerah luka, hb

8 gr/dL, pucat, nadi

120x/menit (cepat

dan lemah)

Fraktur siku

Trauma arteri brachialis

Terputusnya arteri

PK:perdarahan

PK perdarahan

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen

tulang

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal, nyeri.

3. Defisit perawatan diri behubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal.

4. Anxietas berhungan dengan perubahan status kesehatan, kurang pengetahuan.

5. PK perdarahan

3.4 Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan

fragmen tulang

Tujuan : Dalam 3x24 jam nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria Hasil : Skala nyeri berkurang (0-10), RR normal (20x/menit),

menunjukkan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik.

No

.

Intervensi Rasional

1. Pertahankan imobilisasi pada

bagian yang nyeri.

Menghilangkan nyeri dan mencegah

kesalahan posisi tulang atau tegangan

jaringan yang ada.

2. Jelaskan prosedur sebelum Memungkinkan pasien untuk siap secara

32

memulai setiap tindakan mental untuk aktifitas dan berpartispasi

dalam mengontrol ketidaknyaman.

3. Atur periode istirahat tanpa

terganggu

Tindakan ini meningkatkan kesehatan,

kesejahteraan, dan peningkatan tingkat

energi yang penting untuk pengurangan

nyeri.

4. Bantu pasien untuk mendapatkan

posisi yang nyaman

Untuk menurunkan tegangan atau spasme

otot

5. Berikan alternative tindakan

kenyamanan seperti pijatan,

perubahan posisi

Meningkatkan sirkulasi umum,

menurunkan tekanan area local dan

kelelahan otot

6. Instruksikan dan anjurkan pasien

untuk menggunakan aktivitas

pengalihan atau rekreasional dan

tindakan pengurangan nyeri non-

invasif

Untuk meningkatkan kualitas hidup

7. Berikan kompres dingin sesuai

kebutuhan.

Menurunkan edema dan pembentukkan

hematom serta menurunkan sensasi nyeri

8. Kolaborasi untuk pemberian obat:

narkotik dan analgesic non-

narkotik, NSAID injeksi seperti

ketorolak (toradol) dan atau

relaksan otot siklobenzaprin

(flekseril), hidroksin (vistaril)

Diberikan untuk menurunkan nyeri dan

atau spasme otot. Toradol lebih efektif

untuk menghilangkan nyeri tulang

dengan masa kerja yang lama dan efek

samping yang sedikit dibandingkan

dengan agen narkotik.

9. Evaluasi keluhan nyeri atau

ketidaknyamanan, perhatikan

lokasi dan karakteristik termasuk

intensitas (skala 0-10) dan

petunjuk nyeri non-verbal

Mempengaruhi pilihan atau pengawasan

keefektifan intervensi.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal, nyeri.

33

Tujuan : Dalam 3x24 jam terjadi perbaikan tingkat mobilitas fisik

Kriteria Hasil : meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat

optimal, mempertahanka posisi fungsional, meningkatkan kekuatan atau fungsi

yang sakit dengan mengkompensasi bagian tubuh

No Intervensi Rasional

1. Dorong pasien dalam melakukan

aktivitas terapeutik. Pertahankan

rangsangan lingkungan.

Memberikan kesempatan untuk

mengeluarkan energi, memfokuskan

kembali perhatian, dan membantu

menurunkan isolasi sosial.

2. Lakukan latihan ROM untuk

sendi jika tidak merupakan

kontraindikasi, minimal satu kali

setiap pergatian tugas jaga.

Latihan ROM secara aktif dan pasif dapat

mencegah kontraktur sendi dan atrofi otot.

3. Ajarkan pada pasien dan anggota

keluarga tentang latihan ROM

dan program mobilitas

Untuk memingkatkan kemandirian pasien.

4. Bantu atau dorong perawatan

diri atau kebersihan (contoh

mandi, mencukur)

Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi,

meningkatkan control pasien dalam situasi.

5. Berikan bantuan dalam

melakukan mobilisasi

Mobilisasi dini menurunkan komplikasi

tirah baring dan meningkatkan

penyembuhan dan normalisasi fungsi organ

6. Ubah posisi secara periodic Mencegah atau menurunkan insiden

komplikasi kulit

7. Berikan diet tinggi protein,

karbohidrat, vitamin dan mineral

Pada cidera musculoskeletal, nutrisi yang

diperlukan untuk proses penyembuhan

8. Monitoring TD dengan

melakukan aktivitas dan

perhatikan adanya keluhan

pusing

Hipotensi postural adalah masalah umum

yang menyertai tirah baring lama dan dapat

memerlukan intervensi khusus

34

9. Kolaborasi dengan ahli terapi

fisik atau okupasi dan atau

rehalilitasi

Berguna dalam membuat aktivitas individu

atau program latihan dan membantu

program rehabilitasi deficit

musculoskeletal

3. Defisit perawatan diri behubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal.

Tujuan : Dalam 2x24 jm perawatan diri terpenuhi

Kriteria Hasil : melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan

sendiri, mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas memberikan bantuan

sesuai kebutuhan.

No Intervensi Rasional

1. Berikan waktu yang cukup untuk

untuk pasien melakukan perawatan

diri

Ketergesa-gesaan menimbulkan

stress yang tidak seharusnya terjadi

dan meningkatkan kegagalan

2. Beri privasi pada pasien Untuk meningkatkan harga diri

3. Pantau pelaksanaan kegiatan

perawatan diri setiap hari dan berikan

pujian

Penguatan dan penghargaan akan

mendorong pasien untuk terus

berusaha melakukan aktivitas sehari-

hari dan menyelasaikannya.

4. Dorong pasien untuk mencapai tujuan

program perawatan diri, berikan

umpan balik yang positif

Penguatan dan penghargaan dapat

mendorong pasien untuk terus

berusaha dalam aktivitas pemenuhan

perawatan diri sehari-hari

5. Ajarkan pasien cara-cara melakukan

perawatan diri (mandi, hygiene,

toileting dan berhias), gunakan

instruksi yang sederhana

Agar mudah di mengerti

6. Bantu pasien dalam melakukan

perawatan diri sesuai dengan

kebutuhan. Misalnya membantu pasien

dalam berpakaian dan berhias setiap

Untuk mendorong kemandirian dan

kepercayaan diri serta meningkatkan

kemandirian pasien dalam

melakukan perawatan diri sehari-

35

hari:memakai baju, mengancingkan

baju, menyisir rambut, membersihkan

kuku.

Berikan bantuan hanya jika pasien

mengalami kesulitan

hari.

7. Memberikan kesempatan pasien untuk

melakukan kegiatan eliminasi,

hygiene, makan dan berhias secara

mandiri semaksimal mungkin dan

berikan bantuan bila perlu.

Untuk menimbulkan rasa percaya diri

8. Lakukan perawatan berkemih atau

defekasi bila perlu.

Pemantauan keberhasilan atau

kegagalan rencana eliminasi dapat

membantu mengidentifikasi dan

menyelesaikan masalah

9. Berikan alat bantu sesuai dengan

keperluan pasien

Untuk meingkatkan kemandirian

pasien dalam aktivitas pemenuhan

perawatan diri

10. Ajarkan anggota keluarga untuk

menyediakan pakaian yang mudah

dikenakan oleh pasien. Pakaian yang

berukuran sedikit lebih besar daripada

biasanya dan menggunakan perekat

Velcro dapat membantu.

Pakaian tersebut lebih mudah

dikenakan secara mandiri oleh pasien

4. Anxietas berhungan dengan perubahan status kesehatan, kurang pengetahuan

Tujuan : Dalam 2x24 jam ansietas berkurang

Kriteria Hasil : pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang

sampai dapat ditangani, mengakui dan mendiskusikan rasa takut, menunjukkan

rentang perasaan yang tepat.

No Intervensi Rasional

1. Dorong pasien untuk Mendefinisikan masalah dan pengaruh

36

mengekspresikan ketakutan yang

dirasakannya

pilihan intervensi.

2. Dorong pasien untuk

mendiskusikan masalah

sehubungan dengan cidera

Membantu untuk menghilangkan ansietas.

Berbagai informasi membentuk dukungan

dan kenyamanan dan dapat

menghilangkan ketegangan

3. Jelaskan setiap prosedur yang

akan dilakukan

Menurunkan rasa cemas dan takut

terhadap kondisinya

4. Orientasikan pasien atau orang

terdekat terhadap peningkatan

aktivitas yang diharapkan

Perkiraan dan informasi dapat

menurunkan kecemasan pasien

5. Dorong kemandirian dan

perawatan sendiri dalam rencana

pengobatan

Peningkatan kemadirian dapat

meningkatkan keprcayaan diri

6. Beri privasi pasien dan orang

terdekat

Memungkinkan waktu untuk

mengekspresikan perasaan, meghilangkan

cemas.

7. Libatkan pasien atau orang

terdekat dalam rencana perawatan

dan dorong partisipasi maksimum

pada rencana pengobatan

Keterlibatan akan membantu mefokuskan

perhatian pasien dalam arti positif.

8. Evaluasi respon fisik terhadap

kecemasan, seperti palpitasi,

takikardi, gerakan berulang dan

gelisah

Membantu menurunkan derajat

kecemasan dan evaluasi respon verbal dan

non-verbal

5. PK Perdarahan

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam perdarahan dapat dihentikan.

37

Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembab, turgor kulit

normal, TTV dalam batas normal (TD 120/80mmHg, N 60-100x/menit, RR

24x/menit, Suhu 37,5°C), CRT < 3 detik.

No Intervensi Rasional

1. Memberikan posisi lebih tinggi

dari jantung pada bagian yang

mengalami cidera.

Bertujuan untuk menurunka aliran darah

menuju daerah yang mengalami cidera.

2. Imobilisasi pada bagian tubuh

yang mengalami cidera.

Bertujuan untuk meminimalkan gerakan

anggota tubuh yang mengalami cidera,

diharapkan aliran darah ke bagian yang

cidera tersebut menurun.

3. Berian cairan melalui intravena. Jalur yang paten penting untuk pemberian

cairan cepat dan memudahkan perawat

dalam melakukan kontrol asupan dan

haluaran cairan.

4. Kolaborasi untuk pemberian

transfuse darah

Membantu memenuhi kebutuhan darah

dalam tubuh dan meningkatkan perfusi

jaringan sehingga dapat mencegah

terjadinya shock.

5. Kolaborasi pemberian koagulan Koagulan dapat membantu dalam proses

pembekuan darah.

6. Monitoring TTV setiap 4 jam Untuk mengetahui kondisi klinis pasien

7.  Monitoring hasil Laboratorium

darah terutama trombosit, Hct,

Hb

Trombosit sebagai indicator pembekuan

darah.

6. Resiko infeksi berhubungan dengan ada luka bekas operasi pada pasien

Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil : Tidak ada tanda- tanda infeksi seperti merah pada luka operasi,

bengkak

38

Tidak ada peningkatan suhu, TTV dalam batas normal (TD 120/80mmHg, N 60-

100x/menit, RR 24x/menit, Suhu 37,5°

No Intervensi Rasional

1 Lakukan rawat luka setiap hari Untuk mencegah terjadinya infeksi

2. Kolaborasi pemberian antibiotik Untuk mencegah tumbuhnya kuman

yang bisa menyebjabkan infeksi

3. Kaji respon pasien terhadap

pemberian antibiotik

Untuk mengevaluasi pemberian

antibiotic, ada respon baik atau buruk

4. Pantau adanya tanda-tanda infeksi Untuk mendeteksi apakah ada tanda-

tanda infeksi

5. Pantau luka operasi dan cairan

yang keluar dari luka

Untuk senantiasa waspada supaya tidak

terjadi infeksi.

BAB 4

PENUTUP

39

4.1 Kesimpulan

Fraktur Artikulasio Cubiti adalah suatu kondisi terputusnya hubungan

tulang yang terdapat pada siku, baik intraartikuler maupun ekstraartikular,

termasuk fraktur interkondiler, suprakondiler, epikondiler, fraktur olekranon,

dan fraktur kondiler. Sementara fraktur intra artikuler termasuk fraktur

troklea, dan kapitelium, kepala radius, dan proksimal ulna (olekranon)

( Zairin,2012). Trauma Arteri Brakhialis adalah pembuluh darah kecil dapat

robek pada saat terjadi fraktur, tetapi hal ini jarang terjadi pada pembuluh

darah besar. Walaupun begitu komplikasi akibat trauma dapat menyebabkan

sekuele berupa oklusi arteri yang persisten. Arteri besar mudah rusak oleh

trauma yang disertai fraktur dan dislokasi. Trauma arteri brakhialis biasanya

terjadi pada fraktur humerus dan fraktur suprakondiler humerus tipe ekstensi.

4.2 Saran

Perawat mampu menangani fraktur Artikulasio Cubiti dan Trauma

Arteri Brakhialis secara tepat atau cepat sehingga tidak menimbulkan

komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Lalu perawat juga

perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam

menangani pasien dengan kasus fraktur Artikulasio Cubiti dan Trauma Arteri

Brakhialis. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera mungkin. Untuk

itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien dengan

Artikulasio Cubiti dan Trauma Arteri Brakhialis.

40

DAFTAR PUSTAKA

Apley, Graham .1995. Buku Ajar Ortopedi Dsn Fraktur Sistem Apley, Edisi

Ketujuh. Jakarta: Widya Medika.

Doenges, M. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

C E ., Latifi RI, Ivatury R R (2002). “Brachial and Forearm vessel Injuries :

Vascular Trauma Complex and Challenging Injuries Part II”. Surg Clin of

North Am Vol. 82 (Hlm.105 – 114).

Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeltal. Jakarta:

Salemba Medika

Helmi, ZN. 2012. Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi. Jakarta:

Salemba Medika

Herdman, T. Heather.2009.Nursing Diagnoses : Definitions and Classification

2009-2011.USA : Wiley-Blackwell.

Mark A, Thomas. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC

Levy RM ., Alarcon RH, Frykberg ER (2008).”Peripheral Vascular Injuries :

Trauma manual”. The Trauma and Acute Care Surgery 3 rd Edition.

Lippincott William & Wilkins.

Mansjoer, A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisis 3. Jakarta: Media

Aesculapius

Pratama, PD. 2010. Trauma Vaskuler Extremitas Atas.Laporan Kasus. 12

Oktober 2010

Taylor, C.M. 2011. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan ed. 10.

Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wilkinson, J. M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi

NIC dan Kreteria Hasil NOC ed. 7. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran

EGC

41