Forwas Edisi III/2013

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Forwas Edisi III/2013

Citation preview

  • Pembaca yang budiman, banyak sudah kita saksikan fenomena tentang korupsi yang merupakan kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Fenomena ini bahkan sudah merambah ke sektor pendidikan. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan kita semua karena institusi pendidikan adalah lembaga yang sangat mulia dan menjadi benteng terakhir tempat kita bertanya tentang nilai-nilai kebenaran, moral yang baik, dan integritas. Inspektorat Jenderal telah banyak melakukan kegiatan untuk mencegah terjadinya korupsi pada satuan-satuan kerja di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tema ini menjadi perhatian utama dari edisi majalah Forum Pengawasan kali ini.

    Edisi Forum Pengawasan kali ini juga menyajikan tulisan-tulisan tentang pergeseran peran yang dijalani Inspektorat Jenderal selama kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Inspektorat Jenderal tidak lagi menjadi pengawas yang tajam matanya dalam melihat kesalahan auditan tetapi juga objektif dalam memberikan pengakuan dan mengapresiasi prestasi auditan. Inspektorat Jenderal juga melakukan banyak pembenahan dalam tata kelola auditan. Penerapan manajemen risiko dan implementasi audit berbasis risiko adalah contoh pembenahan tata kelola yang dilakukan Inspektorat Jenderal dalam rangka meningkatkan akuntabilitas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Ada dua kajian yang diketengahkan dalam edisi Forum Pengawasan kali ini yang keduanya menyangkut tentang Bantuan Sosial. Pemahaman yang mendalam tentang ruang lingkup dan mekanisme perlakuan yang tepat terhadap Bantuan Sosial sangat perlu untuk dimiliki auditor. Terlebih lagi karena permasalahan Bantuan Sosial ini juga sangat mendapatkan perhatian lebih dari aparat pengawasan eksternal pemerintah, dan bisa menjadi potensi kendala bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian atas Laporan Keuangan Tahun 2013.

    Artikel-artikel lepas yang dimuat dalam edisi Forum Pengawasan kali ini menyajikan informasi tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) yang dikoordinasikan langsung oleh Inspektur Jenderal, serta tulisan tentang kontribusi Inspektorat Jenderal dalam perlombaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.

    Bagi pembaca yang berminat untuk memberikan kontribusi tulisan atau gagasan yang konstruktif dan inovatif seputar pengawasan sektor pendidikan dan kebudayaan dapat menyampaikan ke redaksi majalah Forum Pengawasan, Gedung B, kantor Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat.

    KONSISTENSIMENCEGAH KORUPSI

  • 310

    20

    28

    25

    30

    32

    5

    12

    7

    14

    8

    16

    18

    Daftar Isi

    Alamat Redaksi : Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jl. Jend. Sudirman Senayan, Jakarta 10270Kotak Pos 4403JKT 12044 Telp. (021) 5737104, 5737138 ISSN : 0856-4209

    Redaksi Menerima Tulisan Maupun Artikel

    Penanggung Jawab : Haryono Umar, Hindun Basri Purba Redaktur Pelaksana : Zarkoni, Agam Bayu SuryantoPenyunting : Ahmar Hafids, Hodden Simarmata, Photografer : Abdul Rohim, Dewi Septaviani Tarigan

    Design Grafis : Yusron Nurrachim, MulyaningsihSekretariat : Awan Syarif, Suryati, Asep Saefudin, Yanto Susanto, Ferry Hasan, Fanny Budiman,

    M. Affan Hasibuan, Fifi Novianti, Tri Astuti, Irawati Rohsehatni, Tri Puji Legowo

    SUSUNAN REDAKSI

    RUBRIK UTAMA

    RUBRIK KHUSUS

    K A j I A n

    ARTIKel

    Peningkatan Kompetensi Audit ForensikKiprah Itjen dalam Pameran Pemberantasan KorupsiMembangun Wilayah Bebas dari Korupsi di lingkungan KemendikbudProgram Pengendalian Gratifikasi

    Pergeseran Paradigma Pengawasan Itjen dari Watch Dog Menjadi Katalisator

    Peran Itjen Sebagai Quality Assurance

    Asistensi Penyusunan Manajemen Risiko

    Langkah-langkah Audit Berbasis Risiko

    Peran Itjen dalam memperkuat SAKIP

    Pentingnya memahami PMK No 81

    Sinergi Pengawasan Bantuan Sosial

    Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

    Kontribusi Itjen dalam Perlombaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

    Salinan

  • oleh : Ahmar Hafid

    Saat ini perhatian publik terhadap kinerja

    layanan jasa pendidikan yang disediakan oleh

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    semakin tinggi. Hal ini menjadi sangat lumrah

    saja mengingat kualitas layanan jasa pendidikan

    sangat menentukan nasib SDM Indonesia

    yang berimplikasi pada martabat dan kejayaan bangsa ke depan. SDM

    yang berkualitas tentunya juga akan mewujudkan

    kedigjayaan bangsa yang semakin tinggi, demikian

    juga bila yang terjadi sebaliknya.

    RUBRIK UTAMA

    PENINGKATANKOMPETENSIAUDIT FORENSIKTerobosan baru Inspektorat Jenderalbekerjasama denganKomisi Pemberantasan Korupsi

    Pu b l i k m e n u n t u t Ke m e n d i k b u d u n t u k menyediakan layanan jasa pendidikan yang berkualitas tinggi namun terjangkau secara luas. Sifat pelayanan Kemendikbud sangat strategis karena merupakan investasi jangka panjang. Dalam konteks ini sangat wajar kiranya apabila masyarakat mengharapkan Kemendikbud untuk memberikan layanan yang terbaik dan paling

    prima. Harapan ini akan pupus manakala terjadi penyimpangan dari prosedur yang semestinya dilakukan.

    Pe r h a t i a n m a s y a r a k a t sangat tinggi terhadap kinerja Kemendikbud. Hal ini terlihat dari banyaknya pengaduan yang diterima Kemendikbud. Pengaduan-pengaduan masyarakat yang terkait dengan pelayanan jasa pendidikan diterima oleh

    FORWAS EDISI III / 2013 3

  • Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat serta Inspektorat Jenderal. Pengaduan yang bersifat ketidakpuasan atas pelayanan akan disalurkan oleh PIH kepada unit utama terkait, sedangkan p e n g a d u a n y a n g b e r s i f a t penyimpangan prosedur atau perilaku serta kerugian negara akan diteruskan kepada Inspektorat Jenderal untuk ditelaah lebih jauh.

    Inspektorat Jenderal telah membaca dan menangkap fenomena peningkatan atensi publik tersebut. Sebagai bagian dari Kemendikbud, Inspektorat Jenderal berupaya untuk berkontribusi dalam berbagai usaha yang dapat meningkatkan kepuasan publik terhadap penyediaan layanan jasa pendidikan. Inspektorat Jenderal melakukan upaya konstruktif untuk meningkatkan daya tanggap terhadap pengaduan yang datang melalui penelaahan yang sistematis dan pelaksanaan audit forensik.

    S e j a k t a h u n 2 0 0 9 Inspektorat Jenderal sudah memiliki Inspektorat khusus yang memiliki tugas dan fungsi melakukan penyelidikan lebih mendalam menyangkut sejumlah persoalan yang mayoritas berasal dari pengaduan masyarakat. Inspektorat khusus ini disebut dengan nama Inspek to ra t

    I n v e s t i g a s i . Pe n d e k a t a n yang dilakukan Inspektorat Investigasi dalam menangani pengaduan bersifat sistematis dan hati hati. Langkah pertama dalam penanganan pengaduan adalah melakukan penelaahan. Apab i l a has i l pene laahan tersebut menunjukkan bahwa pengaduan itu cukup dapat dipertanggungjawabkan maka akan dilanjutkan dengan pencarian dan pengumpulan fakta. Selanjutnya dari hasil pengumpulan fakta yang memadai akan dilakukan investigasi sebagai langkah terakhir dalam membuktikan masalah yang diadukan tersebut.Menyadari akan pentingnya

    peningkatan kompetensi dalam bidang Audit Forensik, Inspektorat Jenderal menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meningkatkan kompetensi audit forensik para auditor Inspektorat Jenderal. Kegiatan peningkatan kompetensi ini diwujudkan dalam Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Audit Forensik yang diselenggarakan selama dua hari di Hotel Salak The Heritage Bogor, Jawa Barat pada tanggal Oktober 2013. Nara sumber dari KPK ada 3 orang yaitu Kepala Divisi Pencegahan KPK Bapak Iswan, Bapak Buntoro, dan Bapak Herda. Diklat ini dibuka oleh Inspektur Jenderal dan dihadiri oleh para Inspektur, auditor, dan pejabat struktural Inspektorat Jenderal.Diklat ini berupaya untuk mengungkap konsep Audit Forensik berikut dengan metodologinya. Audit Forensik dapat didefinisikan sebagai audit yang dilakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti menurut hukum. Terdapat perbedaan mendasar antara bukti audit dengan bukti hukum. Jenis-jenis bukti hukum antara lain adalah surat, keterangan saksi, dan petunjuk. Dalam diklat ini juga dilakukan bedah kasus, diskusi, dan presentasi.

    FORWAS EDISI III / 20134

  • oleh : Asrizal B. Tanjung

    Inspektorat Jenderal mengkoordinasikan seluruh Unit Utama Kemendikbud untuk berpartisipasi dalam Pameran Perjalanan Pemberantasan Korupsi yang merupakan perhelatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pameran ini dimulai pada tanggal 9 Desember 2013 yaitu Hari Anti Korupsi Sedunia. Pameran ini berlangsung selama 3 hari sampai dengan tanggal 11 Desember 2013. Pameran ini diselenggarakan pada minggu kedua Desember yang diistilahkan sebagai Pekan Anti Korupsi dengan tema Mewujudkan Indonesia Bersih, Transparan Tanpa Korupsi.

    FORWAS EDISI III / 2013 5

  • Pa m e r a n Pe r j a l a n a n Pemberantasan Korupsi diselenggarakan pada pukul 10.00 sampai dengan 19.30 WIB selama tiga hari berturut-turut bertempat di Istora Senayan Jakarta, jalan Pintu I Senayan Jakarta Pusat. Pameran ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan apresiasi kepada para pejuang p e m b e r a n t a s a n ko r u p s i . Kegiatan ini juga bertujuan untuk memperingati 10 tahun kiprah KPK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

    Pameran ini diikuti oleh 75 peserta yang terdiri dari 13 Kementerian, 5 Lembaga Tinggi Negara, 15 Lembaga Pemerintah Non Kementerian, 4 Pemerintah Daerah, 9 Badan Usaha Milik Negara, 2 Institusi Pendidikan, 5 Lembaga Donor, 12 Lembaga Swadaya Masyarakat, dan 10 Media.

    Kegiatan Pameran Perjalanan Pemberantasan Korupsi diisi dengan beraneka ragam kegiatan mencakup panggung ekspresi anti korupsi, lelang barang gratifikasi, pameran program,

    pameran lukisan, pameran foto, permainan dan edukasi, seminar nasional koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi, talk show, dialog interaktif, gratifikasi award, stand up comedy, wahana pendidikan anti korupsi, Festival Film Anti Korupsi, panggung seni, dan donor darah.

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat alokasi anjungan (stand) nomor 47 yang berlokasi tepat di depan pintu masuk Istora bersebelahan dengan anjungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lokasi anjungan Kemendikbud sangat strategis karena dilalui o leh se luruh pengunjung pameran.

    Anjungan Kemendikbud ditata secara apik oleh Tim Bagian Umum Inspektorat Jenderal Kemendikbud di bawah komando Kasubbag Rumah Tangga, Sdr. Sunarto, S.Pd, M.Si. Dalam anjungan tersebut disediakan buku-buku Pendidikan Anti Korupsi, majalah Pendidikan, dan buku saku pengenalan gratifikasi. Wahana utama dari anjungan Kemendikbud adalah radio Inspektorat Jenderal yang

    secara aktif terus menyuarakan kampanye anti korupsi di jajaran Kemendikbud. Selain itu juga ditampilkan kantin kejujuran dan lemari hias barang-barang gratifikasi.

    Pe m b u k a a n p a m e r a n dilakukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan ditandai dengan pemukulan kentungan oleh beberapa pejabat teras pemerintahan seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala BPK, Jaksa Agung, dan Kepala BPKP. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diwakili oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi . Dalam momentum ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperoleh anugerah penghargaan dari KPK sebagai instansi yang memberikan laporan gratifikasi terbanyak kepada KPK dalam tahun 2013.

    FORWAS EDISI III / 20136

  • Dalam rangka membangun Wilayah Bebas dari Korupsi ( W B K ) d i l i n g ku n g a n Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 01 Tahun 2012 tentang Peningkatan Pengawasan da lam rangka mewujudkan Aparatur Negara yang berintegritas, akuntabel, dan transparan serta menindaklanjuti pertemuan antara Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 19 Agustus 2013 lalu, Inspektorat Jenderal menggandeng PPATK guna memperoleh informasi kewajaran transaksi keuangan PNS di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan menandatangani Nota Kesepahaman Kerjasama (MoU) antara Irjen dengan Kepala PPATK pada 30 September 2013 lalu. Substansi nota kesepahaman kerjasama tersebut khususnya terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

    Terobosan baru Inspektorat Jenderal ini diharapkan akan mendukung upaya peningkatan tata kelola di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan pendidikan dan kebudayaan.

    Membangun Wilayah Bebas dari Korupsidi lingkungan

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanoleh : Sogol Sugiarto

    Mengawal i sambutannya dalam penandatanganan nota kesepahaman tersebut, Inspektur Jenderal menyampaikan bahwa beberapa hari yang lalu Aparat Penegak Hukum sedang meneliti informasi tentang rekening yang mencurigakan di Kemendikbud, l eb ih lan jut Haryono Umar mengatakan bahwa Kemendikbud dengan anggaran yang cukup besar sangat rentan terhadap tindak pidana oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, upaya kita kedepan adalah bagaimana melakukan pencegahan supaya tidak ada penyimpangan, salah satunya adalah dengan menciptakan transparansi sebagai contoh tentang kewajiban pejabat untuk menyampaikan LHKPN ke KPK.

    S e m e n t a r a i t u , d a l a m sambutan balasannya, Kepala PPATK menyampaikan bahwa pihaknya menyambut positif penandatanganan nota kesepahaman ini, salah satu materi Mou ini adalah pertukaran informasi. Kalau bisa kita hindari berhadapan dengan penegak hukum. Lebih lanjut Kepala PPATK menyampaikan bahwa terhadap rekening seseorang yang mencurigakan, PPATK belum dapat memutuskan bahwa rekening itu adalah hasil dari tindak pidana korupsi sebelum dilakukan verifikasi lebih lanjut, siapa tahu uang itu uang keluarga atau hasil usaha bisnis. Lebih jauh Kepala PPATK mewacanakan bahwa ke depan

    pengangkatan pejabat setingkat Eselon I mestinya mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari PPATK. Jika nanti nota kesepahaman ini berjalan dengan efektif, pihak PPATK merasa terbantu karena verifikasi telah dilakukan oleh Inspektorat Jenderal

    Menutup acara penanda-tanganan MoU, Inspektur Jenderal menyampaikan terima kasih kepada jajaran Unit Utama yang telah merespon untuk bersama-sama melakukan upaya pencegahan tindak pidana korupsi, sehingga diharapkan kita tidak lagi melakukan hal-hal tindak pidana korupsi. Nota kesepahaman ini tidak hanya berdampak di internal Kemendikbud saja tetapi juga berdampak bagi negara, mudah-mudahan dengan Mou ini transparansi di Kemendikbud akan menjadi semakin meningkat.

    Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menjadi pintu masuk pemberantasan tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan demikian maka akan dapat mempersiapkan keadaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi lebih matang untuk menjadi Wilayah Bebas dari Korupsi. Upaya ini tidak mudah dan membutuhkan komitmen dan energi yang sangat besar dan luar biasa. Hal ini sangat wajar mengingat upaya tersebut memang untuk mengatasi masalah yang merupakan kejahatan luar biasa.

    FORWAS EDISI III / 2013 7

  • oleh : Rita Permatasari

    Inspektorat Jenderal dewasa ini sudah menerapkan paradigma baru pengawasan yaitu sebagai katalisator. Hal ini merupakan pergeseran paradigma yang sangat signifikan yang semula sebagai Watch Dog sekarang berubah menjadi Konsultan. Salah satu upaya untuk mengejawantahkan paradigma konsultan dengan peran sebagai katalisator adalah dengan membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lokasi Sekretariat UPG Kemendikbud berada di lantai 1 Inspektorat Jenderal Kemendikbud.

    FORWAS EDISI III / 20138

  • Gratifikasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pember ian dalam bentuk apapun. Penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri dan penyelenggara dapat dikategorikan sebagai salah satu perbuatan korupsi. Hal ini karena pemberian gratifikasi tersebut dapat ditafsirkan memiliki maksud dan tujuan tertentu yaitu mempengaruhi pengambilan keputusan dari si penerima. Penerimaan gratifikasi dapat juga dinilai sebagai suatu embrio cikal bakal perbuatan korupsi yang lebih besar. Namun demikian pengenaan sanksi hukum terhadap penerima gratifikasi dapat menjadi gugur apabila ia melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau Unit Pengendalian Gratifikasi. Oleh karena itu Inspektorat Jenderal membuka Sekretariat UPG sebagai sarana bagi pejabat dan pegawai negeri Kemendikbud yang ingin menyampaikan laporan penerimaan gratifikasi.

    Keberadaan UPG Kemendikbud juga telah didukung secara legal dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 53 Tahun 2013 tentang Program Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas UPG adalah menerima laporan penerimaan gratifikasi dari Penyelenggara Negara dan PNS di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Cara pelaporan penerimaan gratifikasi dapat dilakukan secara langsung dengan mendatangi sekretariat UPG

    atau melalui surat elektronik.Tim UPG Kemendikbud

    diketuai o leh Sekre tar i s Inspektorat Jenderal dan

    beranggotakan pe jabat struktural dan auditor serta staf. Tim ini memberikan ko n s u l t a s i t e n t a n g pengertian gratifikasi, jenis-jenis gratifikasi, dan latar belakang rasional munculnya ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pelaporan. Inilah peranan baru Inspektorat Jenderal sebagai katalisator

    yang membangun integritas mental

    p e g a w a i Kemendikbud

    yang lebih baik.

    Upaya menumbuhkan kesadaran pegawai tentang ruang lingkup barang gratifikasi perlu terus menerus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak singkat mengingat praktek pemberian hadiah kepada pegawai telah menjadi budaya yang sudah mengurat dan mengakar dalam waktu lama sehingga sudah menjadi adat kebiasaan yang teramat sukar untuk dihilangkan. Dalam hal ini diharapkan pejabat teras Kemendikbud dapat memberikan keteladanan dan menjadi pionir pelaporan gratifikasi. Apabila pimpinan sudah bisa menjadi pelopor dan teladan yang baik, maka diharapkan para bawahan dapat mengikuti contoh. Inilah yang dikenal dengan istilah prinsip Tone from the Top.

    UPG Kemendikbud telah meletakkan dua buah lemari hias berukuran besar di area lobby gedung Inspektorat Jenderal. Lemari hias tersebut digunakan untuk memajang barang-barang gratifikasi yang sudah dilaporkan. Dengan melihat langsung ke lemari hias tersebut, maka akan dapat menjadi pembelajaran bagi para pegawai tentang bentuk-bentuk barang gratifikasi yang biasa diberikan. Sampai dengan tanggal 12 Juni 2013 sudah ada 62 laporan gratifikasi dengan status 14 milik negara, 26 dikelola Kemendikbud, 5 ke Yayasan, dan 17 sedang diverifikasi KPK, serta Uang sebesar kurang lebih Rp.66.000.000,00.

    Demikianlah sekilas kiprah UPG Kemendikbud. Semoga upaya konstruktif ini dapat lebih dikembangkan dan menjadi konstribusi positif dalam upaya memberantas korupsi.

    FORWAS EDISI III / 2013 9

  • PERGESERAN PARADIGMA PENGAWASAN INSPEKTORAT JENDERAL DARI

    WATCH DOG MENJADI KATALISATORoleh : Zarkoni

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan upaya aktif dan konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi publik. Salah satu upaya utama Kemendikbud adalah dengan mencanangkan Misi Kemendikbud yang sarat dengan pemenuhan harapan publik yaitu 5 K terdiri dari Ketersediaan pelayanan jasa pendidikan,

    Dinamika manajemen instansi pemerintahan dewasa ini berjalan dengan sangat cepat. Peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi harapan utama dari masyarakat. Pemerintah benar-benar berhadapan langsung dengan masyarakat dan tidak dapat lagi menghindarinya. Masyarakat menghendaki pemerintah untuk menyediakan layanan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mengharapkan penyediaan layanan tersebut mempunyai kualitas tinggi berstandar prima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi maka akan timbul aspirasi yang menyuarakan ketidakpuasan dan mendorong agar tindakan perbaikan dapat segera dilakukan.

    Keterjangkauan masyarakat untuk mengakses pelayanan jasa pendidikan, Kualitas layanan jasa pendidikan yang tinggi, Kesetaraan layanan jasa pendidikan untuk semua golongan dan lapisan masyarakat, serta Keterjaminan penyediaan layanan jasa yang akuntabel sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

    RUBRIK KHUSUS

    FORWAS EDISI III / 201310

  • Sejalan dengan itu Inspektorat Jenderal sangat menyadari peran yang harus dilakukannya. Tugas Inspektorat Jenderal adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Kemendikbud. Amanat utama yang diemban Inspektorat Jenderal adalah memastikan bahwa penyediaan layanan jasa pendidikan oleh Kemendikbud dapat memenuhi harapan publik. Dengan kesadaran penuh pada arti penting amanat tersebut, maka Inspektorat Jenderal telah melakukan reorientasi peran pengawasannya secara bertahap sejak dari peran Watch Dog menjadi Katalisator sebagaimana diuraikan dalam skema di bawah ini.

    Skema di atas menggambarkan adanya transformasi orientasi pengawasan yang dilalui Inspektorat Jenderal dalam menjalankan peran pengawasannya. Penjelasan dari tiap peran adalah sebagai berikut:

    1. Peran Inspektorat Jenderal sebagai Watch Dog

    Pola lama pengawasan Inspektorat Jenderal adalah berfokus pada menemukan kesalahan untuk merumuskan alternatif solusi guna mengatasi permasalahan yang ada. Fokus pengawasan tersebut dimaksudkan untuk melakukan perbaikan kinerja dan peningkatan kualitas pelayanan institusi. Namun demikian dengan fokus yang seperti itu, maka tim Inspektorat Jenderal kerap terjebak untuk selalu mencari-cari kesalahan, sehingga kehadiran tim auditor Inspektorat Jenderal sering tidak diharapkan oleh auditan.

    2. Peran Inspektorat Jenderal sebagai Konsultan Manajemen

    Menyadari atas citra yang berkembang mengenai kinerjanya, Inspektorat Jenderal kemudian melakukan reorientasi peran dari Watch Dog menjadi Konsultan Manajemen. Dengan peran barunya, Inspektorat Jenderal berupaya untuk lebih memberikan apresiasi kepada inisiatif-inisiatif positif yang dilakukan auditan. Inspektorat Jenderal memberi perhatian kepada aspek-aspek manajemen auditan yang masih perlu ditingkatkan efektivitasnya. Rekomendasi yang diberikan Inspektorat Jenderal lebih menekankan pada peningkatan tata kelola auditan.

    3. Peran Inspektorat Jenderal sebagai Penjamin Mutu

    Dari sekedar menjadi konsultan manajemen, Inspektorat Jenderal selanjutnya mengembangkan perannya menjadi penjamin mutu (Quality Assurance). Dalam menjalankan peran sebagai penjamin mutu, Inspektorat Jenderal banyak melakukan pendampingan, asistensi, evaluasi, supervisi, bimbingan teknis, reviu, dan lain-lain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan auditan. Fokus penjaminan mutu Inspektorat Jenderal saat ini antara lain adalah penyusunan laporan keuangan, Barang Milik Negara,

    Sistem Pengendalian Intern, dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Fokus seperti ini sangat wajar mengingat orientasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini sedang menekankan pada upaya

    menuju tercapainya opini Wajar Tanpa Pengecualian atas Laporan Keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

    4. Peran Inspektorat Jenderal sebagai Katalisator

    Peran terkini dari Inspektorat Jenderal adalah sebagai katalisator. Peran ini membuat Inspektorat Jenderal harus membantu auditan untuk menjadi lebih inovatif. Auditan akan dibantu untuk mencapai visi, misi, dan tujuan strategisnya. Inspektorat Jenderal berupaya untuk memberikan nilai tambah yang seoptimal mungkin kepada auditannya. Inspektorat Jenderal mendorong auditan untuk mengambil langkah-langkah percepatan dalam mencapai tujuan organisasinya.

    FORWAS EDISI III / 2013 11

  • oleh : Yeflina

    Dalam tahun 2013 Inspektorat Jenderal telah melaksanakan sosialisasi Gratifikasi ke beberapa provinsi di Indonesia. Sasaran sosialisasi ini adalah para pejabat struktural, pejabat perbendaharaan, dan pejabat/panitia pengadaan pada satuan kerja Kemendikbud. Tim sosialisasi gratifikasi adalah Inspektur Jenderal, para Inspektur, dan para pejabat struktural Inspektorat Jenderal Kemendikbud. Program sosialisasi gratifikasi merupakan upaya yang paling aktif dan konstruktif yang bersifat sangat substansial dan strategis dalam rangka mengenalkan tindakan gratifikasi.

    FORWAS EDISI III / 201312

  • Gratifikasi bermakna adalah pemberian dalam art i luas. Pada awalnya saling memberikan hadiah di antara sesama manusia adalah lumrah untuk mempererat ikatan hati dan persaudaraan antara pemberi dan penerima. Di negara-negara timur seperti Indonesia di mana kepemimpinan sangat bersifat paternalistik, pemimpin akan dianggap sebagai bapak yang menaungi rakyat atau anggotanya sebagai anak-anak. Dalam negara-negara paternalist ik budaya saling memberi hadiah lebih kuat daripada negara-negara barat yang individualistis.

    G r a t i f i k a s i y a n g t i d a k boleh dilakukan oleh aparatur adalah gratifikasi ilegal yaitu gratifikasi yang diberikan untuk mempengaruhi pejabat atau pegawai dalam melakukan pengambilan keputusan. Apabila aparatur menerima gratifikasi maka itu dapat dikategorikan sebagai salah satu

    tindak pidana korupsi kecuali bila aparatur tersebut melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau Unit Pengendalian Gratifikasi.

    Gratifikasi merupakan salah satu tindak pidana korupsi. Di samping gratifikasi, perilaku lain yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara, benturan kepentingan dalam pengadaan, berbuat kecurangan, dan penyuapan. Alasan mengapa gratifikasi diklasifikasikan ke dalam kelompok tindak pidana korupsi adalah karena gratifikasi merupakan embrio terjadinya tindak pidana korupsi yang lebih besar.

    Sosialisasi gratifikasi ini juga bertujuan untuk memperkenalkan keberadaan Unit Pengendalian Gratifikasi Kemendikbud yang sekretariatnya berlokasi di kantor Inspektorat Jenderal. Pejabat dan pegawai Kemendikbud dapat berkonsultasi tentang gratifikasi dan melaporkan penerimaan

    gratifikasi ke Unit Pengendalian Gratifikasi. Sasaran utama pejabat yang diharapkan dapat memberikan keteladanan dalam melaporkan penerimaan gratifikasi adalah para pejabat Esselon I dan II. Mekanisme pelaporan penerimaan gratifikasi ke Unit Pengendalian Gratifikasi juga sangat mudah yaitu cukup melalui surat elektronik.

    Tim sosialisasi gratifikasi menyampaikan informasi tentang gratifikasi secara interaktif. Tim lebih mengedepankan dialog dan diskusi dua arah daripada ceramah satu arah. Tim ingin membangun kebersamaan sebagai sesama aparatur Kemendikbud agar dapat memahami tentang korupsi secara umum dan gratifikasi secara khusus. Tujuan utama dari penyampaian materi oleh tim sosialisasi adalah agar audiens dapat memahami dan menghindari perilaku penerimaan gratifikasi.

    FORWAS EDISI III / 2013 13

  • Asistensi Penyusunan Manajemen RisikoProgram Baru Inspektorat Jenderal Tahun 2014oleh : Agam Bayu Suryanto

    Ada banyak cara untuk meningkatkan kual i tas tata kelola suatu institusi. Salah satu cara yang diyakini dapat mengatasi permasalahan institusi yang berimplikasi secara langsung dalam meningkatkan kualitas tata kelola adalah dengan menerapkan Manajemen Risiko. Penerapan konsep tersebut akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan seluruh anggota organisasi atas risiko-risiko yang terdapat dalam institusinya dan melakukan upaya-upaya untuk memitigasi dalam rangka meminimalisir potensi terjadinya risiko atau memperkecil dampak yang ditimbulkan apabila risiko tersebut pada akhirnya tidak dapat dihindari dan benar-benar terjadi.

    Inspektorat Jenderal pernah membantu untuk mengidentifikasi risiko pelaksanaan Ujian Nasional sejak tahun 2012, namun pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaannya t idak ter la lu mengindahkan identifikasi tersebut, sehingga terjadilah kekisruhan dan kekacauan pelaksanaan Ujian Nasional di tahun 2013. Diabaikannya peringatan Inspektorat Jenderal tersebut oleh Balitbang kemungkinan disebabkan karena penyusunan risiko tersebut dilakukan tidak secara langsung oleh Balitbang sehingga tidak muncul rasa memiliki (sense of belonging).

    Manajemen risiko merupakan salah satu kunci sukses keberhasilan pengelolaan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Institusi-institusi swasta dan publik di negara tersebut sudah terbiasa melakukan identifikasi risiko, memetakannya ke dalam peringkat tertentu, dan mengatur strategi untuk memitigasi sebagai upaya preventif guna mencegah terjadinya risiko dan meminimalisir dampaknya. Manajemen risiko telah diakui sebagai salah satu praktek bisnis terbaik berstandar internasional (International Best Practices) dalam konteks tata kelola yang baik (Good Corporate Governance).

    Di samping itu penerapan manajemen risiko di lingkungan Kemendikbud juga merupakan wujud konkret komitmen untuk mengimplementasikan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. SPIP akan tetap menjadi konsep yang ideal di atas kertas tetapi tidak benar-benar dapat difungsikan sebagai media pengendalian pimpinan apabila tidak ada upaya spesifik untuk mengimplementasikannya. Penerapan manajemen risiko dapat menjadi salah satu contoh utama

    upaya spesifik implementasi SPIP dalam komponen yang kedua yaitu Analisis Risiko. Dengan cara demikian maka SPIP tidak lagi berada pada tataran konsep teoritis ideal yang bersifat normatif tetapi benar-benar bisa direalisasikan dalam tata kelola institusi.

    Sejalan dengan itu, penerapan manajemen risiko juga akan sangat berguna bagi Inspektorat Jenderal. Hal ini terkait dengan sudut pandang kebalikan dari penerapan manajemen r is iko i tu ya i tu pengawasan terhadap tata kelola institusi yang sudah menerapkan manajemen risiko. Pengawasan dimaksud adalah Audit Berbasis Risiko (Risk Based Audit). Audit tersebut akan fokus pada kegiatan yang berisiko tinggi. Pengambilan sampel dalam audit berbasis risiko juga memperhitungkan faktor risiko. Dengan menerapkan konsep audit berbasis risiko, maka diharapkan kualitas audit yang dilakukan Inspektorat Jenderal akan semakin baik.

    Penerapan manajemen risiko harus diawali dengan kesadaran dan pengertian penuh dari segenap jajaran organisasi tentang tujuan instutisi. Sungguh naf rasanya bila ada seorang pegawai yang tidak mengetahui secara jelas tentang Visi, Misi, dan Tujuan institusi

    FORWAS EDISI III / 201314

  • tempat ia bekerja sehari-hari. Hal ini menandakan bahwa ia bukanlah tergolong kepada aparatur yang baik.

    Setelah aparatur memahami tujuan institusi maka ia dibantu untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan peristiwa, kondisi, dan penyebab lainnya yang berpotensi untuk menghalangi tercapainya tujuan organisasi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dikenal dengan istilah risiko. Apabila aparatur sudah mampu mengenali r i s iko - r i s iko yang d ihadapi organisasi maka manajemen akan lebih efektif.

    Aparatur harus memahami program kerja dan anggaran organisasi dengan baik. Pemahaman yang utuh terhadap substansi program dan anggaran sangat penting bagi aparatur mengingat kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kapasitas organisasi dalam mencapai tujuannya. Program kerja dan anggaran merupakan proses bisnis yang benar-benar harus dipahami dengan baik oleh aparatur. Setelah memperoleh pemahaman yang memadai terhadap program dan anggaran, maka aparatur dapat mengidentifikasi risiko-risiko yang terdapat di dalamnya.

    Ris iko awal yang harus dipahami aparatur adalah risiko melekat (inherent risk). Risiko seperti ini terdapat dalam program dan anggaran secara umum. Dengan

    melihat pada materialitas program dan nilai anggarannya, maka aparatur dapat secara langsung risiko melekat di dalamnya. Program pengadaan tentunya memiliki risiko melekat yang tinggi karena sudah banyak contoh aparat yang terjebak dalam tindak pidana korupsi disebabkan pengadaan yang tidak akuntabel. Program yang mempunyai nilai anggaran besar seperti Rapat Koordinasi dan Rapat Kerja Nasional dapat berpotensi memiliki risiko melekat yang besar apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.

    D e n g a n p e m a h a m a n -pemahaman yang tepat dan m e m a d a i t e r h a d a p t u j u a n organisasi, risiko, dan program serta anggaran, maka aparatur dapat melakukan pemetaan risiko. Aparatur harus mengidentifikasi dan menginventarisir seluruh risiko-risiko dalam program dan kegiatan yang berpotensi menghambat tercapainya tujuan institusi. Aparatur harus menyusun daftar risiko organisasi yang menjadi rujukan utama dalam manajemen risiko.

    Setelah aparatur menyusun daftar risiko, langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dari tiap risiko. Aparatur harus membuat pemeringkatan risiko dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Pemeringkatan terhadap risiko-risiko ini didasarkan pada

    besarnya dampak kegagalan terhadap pencapaian tujuan organisasi dan kemungkinan risiko tersebut dapat terjadi. Risiko tertinggi bagi organisasi adalah risiko yang memiliki dampak kegagalan pencapaian tujuan organisasi dan kemungkinan terjadi yang tinggi, demikian juga sebaliknya.

    Risiko-risiko yang sudah d ipe takan sedemikian rupa merupakan modal awal bagi organisasi untuk dapat melakukan pengelolaan yang lebih efektif. Setelah terdapat pemetaan risiko yang tinggi, sedang, dan rendah, maka selanjutnya aparatur harus merumuskan alternatif langkah-langkah penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya risiko dan meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan bila risiko tersebut pada akhirnya benar-benar terjadi. Hal ini dikenal dengan istilah melakukan mitigasi risiko.

    Demikian uraian singkat tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam manajemen risiko. Urutan langkah manajemen risiko sangat sistematis dan runtun yang harus dilakukan secara bertahap satu demi satu. Pengidentifikasian, pemetaan, dan penyusunan mitigasi risiko yang dilakukan dengan baik oleh aparatur akan sangat membantu dalam meningkatkan tata kelola organisasi.

    Penge lo laan r i s iko yang baik akan sangat berguna dan membantu organisasi dalam meningkatkan efektifitasnya. Pada tahun 2013 Inspektorat Jenderal akan menjadikan pembimbingan penyusunan manajemen risiko sebagai program baru. Dengan program ini Inspektorat Jenderal m e n g h a r a p k a n t a t a k e l o l a Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menjadi lebih baik.

    FORWAS EDISI III / 2013 15

  • Fasilitator pelatihan adalah The Institute of Internal Auditors yang merupakan satu-satunya institusi auditor internal bertaraf internasional serta memiliki banyak kantor perwakilan di manca negara. Artikel ini akan membahas tentang tata cara melakukan Audit berdasarkan resiko secara praktis.

    Aktifitas Audit internal harus dapat mengevaluasi efektifitas dan memberikan kontribusi untuk perbaikan dari proses manajemen resiko. Suatu proses manajemen

    LANGKAH-LANGKAH AUDIT BERBASIS RISIKOoleh : Helena

    Penerapan Audit berbasis Risiko merupakan salah satu rekomendasi yang diberikan BPK dalam audit tujuan tertentu beberapa tahun yang lalu. Dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi tersebut, pada tahun 2010 dan 2011 Inspektorat Jenderal telah mengirimkan beberapa orang auditor untuk mengikuti pelatihan ke luar negeri dengan tema Audit berbasis Risiko (Risk Based Audit). Negara-negara yang menjadi tujuan pelatihan adalah Australia, Selandia Baru, dan Belanda karena Negara tersebut dipandang sebagai Negara maju yang telah berhasil menerapkan praktek-praktek audit terbaik berstandar internasional seperti Audit berbasis Risiko.

    resiko dinyatakan efektif oleh internal audit bila memenuhi:1. tujuan organisasi mendukung

    d a n s a m a d e n g a n m i s s i organisasi

    2. resiko tinggi dapat teridentifikasi dan dinilai

    3. reaksi wajar atas resiko dapat terseleksi

    4. Informasi yang relevan dengan pengendalian resiko dapat diperoleh dan dikomunikasikan dalam organisasi. Informasi ini didiskusikan antar staf yang

    berkepentingan, serta pejabat terkait, untuk menyelesaikan masalah.Resiko harus dapat dinilai,

    hal ini terdiri atas dua tahapan proses yaitu menganalisa resiko dan mengevaluasi resiko; kedua tahap penting karena akan menentukan langkah dan strategi pengendalian resiko. Analisa resiko fungsinya untuk menentukan besarnya suatu resiko yang merupakan gabungan dari kemungkinan terjadi dan kerumitan bila resiko terjadi. Sedangkan

    FORWAS EDISI III / 201316

  • evaluasi risiko adalah untuk menilai apakah resiko dapat diterima atau tidak dengan memperbandingkan terhadap standar yang berlaku atau kemampuan organisasi untuk menghadapi suatu resiko.

    Penilaian tingkat risiko dengan mempertimbangkan beberapa langkah:

    1. pastikan proses kegiatan dan aktifitas lembaga

    2. tentukan akibat dari resiko melekat

    3. tentukan juga kemungkinan-kemungkinan risiko yang mungkin terjadi

    4. beratnya faktor-faktor risiko5. tentukan skor relatif risiko6. dapatkan persetujuan dari

    manajemenMisalnya kita telah menentukan

    ada 5 hal yang perlu dicermati, contohnya:

    Kegiatan Persentase SkorTingkat risiko

    Anggaran 40% 3 1,2

    Staf 15% 3 .45

    Sarana 15% 2 .3

    prasarana 15% 1 .15

    Performan 15% 3 .45

    Risiko 2.55

    Setelah ditemukan tingkat risiko tertinggi, kegiatan yang paling tinggi risiko tersebut selalu dimonitor dan dievaluasi secara berkala dengan melibatkan staf dan pejabat terkait sehingga tingkat risiko dapat diminimalisir sekecil mungkin.

    Analisa risiko adalah untuk menentukan besarnya suatu resiko yang dicerminkan dari kemungkinan dan keparahan yang ditimbulkannya. Banyak teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisa risiko, baik kualitatif, semi kuantitatif maupun kuantitatif. Hal ini tergantung pada:

    1. teknik yang digunakan sesuai dengan kondisi dan kompleksitas fasilitas ataupun keterbatasan fasilitas dan sarana prasarana serta kemampuan personalia

    2. teknik tersebut dapat membantu dalam menentukan pilihan cara pengendalian risiko

    3. t e k n i k t e r s e b u t d a p a t m e m b a n t u m e m b e d a ka n tingkat bahaya secara jelas sehingga memudahkan dalam menentukan prioritas langkah pengendaliannya

    4. cara penerapannya terstruktur dan konsisten sehingga proses manajemen risiko dapat berjalan berkesinambungan.

    Metode kualitatif menggunakan matrik risiko yang menggambarkan tingkat dari kemungkinan dan keparahan suatu kejadian yang

    dinyatakan dalam bentuk rentang dari risiko paling rendah sampai risiko tertinggi. Pendekatan kualitatif dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui risiko suatu kegiatan. Pendekatan ini dilakukan jika data-data yang lengkap tidak tersedia. Akibatnya tidak jelas perbedaan antara tingkat resiko rendah, sedang maupun resiko tinggi, terserah persepsi masing-masing penilai.

    Metode semi kuantitatif lebih baik dalam mengungkapkan tingkat risiko dibanding teknik kualitatif.Nilai risiko digambarkan dalam angka numerik. Namun nilai ini

    tidak absolut. Misalnya risiko A bernilai 2 dan risiko B bernilai 4. Dalam hal ini bukan berarti risiko B secara absolut dua kali lipat risiko A. Namun tingkat risiko lebih terlihat jelas dari metode kualitatif.

    Metode kuantitatif menggunakan perhitungan probabilitas kejadian atau konsekuensinya dengan data numerik dimana besarnya risiko tidak berupa peringkat seperti pada metode semi kuantitatif. Besarnya risiko lebih dinyatakan dalam angka seperti 1,2,3 atau 4 yang mana 2 mengandung arti risikonya dua kali lipat dari 1. Oleh karena itu, hasil perhitungan kualitatif akan memberikan data yang lebih akurat mengenai suatu risiko dibanding metode kualitatif ataupun semi kuantitatif. Namundemikian, perhitungan secara kuantitatif memerlukan data dan informasi yang mendalam. Hasil perhitungan secara kuantitatif akan memberikan gambaran tentang risiko suatu kegiatan.

    Sebagai contoh kasus dalam kegiatan audit pemberian beasiswa pada mahasiswa. Risiko yang mungkin terjadi adalah:1. Beasiswa diber ikan pada

    mahasiswa yang sudah lulus2. Beasiswa diber ikan pada

    mahasiswa yang sudah drop out

    3. Beasiswa diber ikan pada mahasiswa fiktif

    4. Beasiswa diber ikan pada m a h a s i s w a y a n g t i d a k membutuhkan

    5. Beasiswa diberikan tidak penuh/dipotong sebagian

    6. Beasiswa tidak diberikan sama sekaliKeenam kemungkinan ini diberi

    skor berdasarkan persentase temuan yang ada selama ini. Sehingga hasilnya mendekati fakta sebenarnya dan kemungkinan pengulangan risiko yang akan datang. Akibatnya pejabat yang terkait sudah dapat mengambil langkah- langkah penanggulangan untuk pemberian beasiswa tahun berikutnya.

    FORWAS EDISI III / 2013 17

  • oleh : Mulyaningsih dan Abdul Rohim

    SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) merupakan sistem kinerja yang komprehensif pada instansi pemerintah. Sistem ini terdiri dari 5 komponen yaitu Perencanaan Kinerja, Pengukuran Kinerja, Pelaporan Kinerja, Evaluasi Kinerja, dan Pencapaian Kinerja. Selama ini yang lebih dikenal dalam manajemen pemerintahan adalah komponen Pelaporan Kinerja yaitu kewajiban instansi pemerintah untuk menyampaikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) secara berkala setiap setahun sekali. Selama ini berkembang opini bahwa penyusunan LAKIP hanya dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban

    saja tanpa memanfaatkan laporan tersebut secara optimal. Hal ini sebenarnya sangat disayangkan karena sebenarnya informasi kinerja yang termuat di dalam LAKIP merupakan informasi yang sangat penting dalam melakukan pengambilan keputusan. Inspektorat Jenderal selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas SAKIP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui evaluasi secara menyeluruh. Dalam evaluasi SAKIP, tim Inspektorat Jenderal melakukan penelaahan secara mendalam terhadap kelima komponen SAKIP. Hasil penelaahan tersebut adalah rekomendasi kepada unit utama untuk meningkatkan kualitas dari komponen SAKIP yang

    FORWAS EDISI III / 201318

  • masih belum baik. Artikel ini mengetengahkan SAKIP secara utuh sebagai pembelajaran bagi aparatur pemerintahan di lingkungan Kemendikbud.

    Pemahaman tentang SAKIP secara utuh sangat diperlukan terutama dalam memahami bahwa LAKIP bukanlah bagian yang berdiri sendiri tapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SAKIP. Berikut ini disajikan dua perspektif tentang SAKIP yaitu perspektif secara luas (makro) dan perspektif secara mikro.

    1. SAKIP Dalam Arti Makro

    SAKIP dapat dimaknai sebagai suatu sistem besar yang menata kinerja pemerintahan secara luas. Di era reformasi birokrasi ini pelayanan publik yang berkualitas merupakan tema besar yang diusung oleh pemerintah. Untuk dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas tersebut tidak bisa ditawar lagi adalah melakukan pembenahan tata kelola atau manajemen pemerintahan. SAKIP adalah bagian dari program pembenahan tata kelola tersebut.

    Manajemen Pemerintah diawali dengan penuangan janji kampanye Calon Presiden yang sekarang sudah dilantik menjadi Presiden ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berorientasi 5 tahun. Dokumen RPJMN kemudian dijabarkan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga menjadi Rencana Strategis.

    Berdasarkan RPJMN ini Presiden menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang berorientasi 1 tahun. Selenjutnya Presiden menyampaikan usulan anggaran untuk mendukung RKP dalam forum rapat paripurna DPR setiap tanggal 16 Agustus. Setiap akhir tahun Presiden menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan menghimpun seluruh LAKIP-LAKIP Kementerian/Lembaga.

    2. SAKIP Dalam Arti Mikro

    Dalam arti mikro, SAKIP merupakan sistem pengelolaan kinerja pada suatu instansi pemerintah. Inspektorat Jenderal Kemendikbud adalah salah satu unit utama dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Itjen harus menyusun Renstra periode lima tahunan dengan merujuk pada Renstra Kemendikbud. Materi Renstra Itjen harus selaras dan tidak boleh bertentangan atau kontradiktif dengan Renstra Kemendikbud.

    Dalam Renstra Itjen tertuang Visi dan Misi serta IKU (Indikator Kinerja Utama) dan IKK (Indikator Kinerja Kegiatan). IKU ditetapkan sebagai target kinerja untuk Esselon I, sedangkan IKK ditetapkan sebagai target kinerja untuk Esselon II. IKU dan IKK sudah ditentukan targetnya per tahun dalam Renstra. Setelah itu Pejabat Esselon I dan Pejabat Esselon II

    akan menyusun Perencanaan Kinerja Tahunan dan melakukan pengikatan kontrak kinerja kepada pejabat yang lebih tinggi. Pejabat Esselon I menandatangani kontrak kinerja kepada Menteri, sedangkan Pejabat Esselon II menandatangani kontrak kinerja kepada Pejabat Esselon I.

    Berdasarkan kontrak kinerja tersebut, maka pejabat esselon I dan II menyusun program kerja tahunan. Program kerja ini kemudian diformulasi ke dalam bentuk kalkulasi perhitungan Rincian Anggaran Belanja (RAB) yang kemudian dimasukkan ke dalam aplikasi Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) untuk selanjutnya akan diproses menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

    Setelah melaksanakan aktivitas selama 1 tahun, maka dilakukan penyusunan LAKIP sebagai upaya yang sistematis untuk mengukur sejauhmana pencapaian indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis. LAKIP-LAKIP unit utama Kemendikbud seluruhnya akan direviu oleh Inspektorat Jenderal. LAKIP-LAKIP tersebut akan dihimpun oleh Bagian Pembinaan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada Biro Keuangan Sekretariat Jenderal menjadi LAKIP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Demikian perspektif SAKIP secara makro dan mikro. Dari kedua perspektif tersebut dapat dipahami bahwa LAKIP suatu institusi harus diletakkan dalam posisi yang tidak sendirian tetapi di tengah-tengah LAKIP institusi lainnya dalam lingkungan suatu Kementerian.

    Inspektorat Jenderal melakukan evaluasi terhadap LAKIP-LAKIP Unit Utama Kemendikbud dengan tujuan untuk memperbaiki tata kelola dari tiap komponen SAKIP. Selain itu evaluasi ini juga bertujuan untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam melakukan penilaian terhadap SAKIP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Evaluasi SAKIP yang dilakukan Inspektorat Jenderal bersifat objektif dan apa adanya. Evaluasi ini merupakan wujud komitmen Inspektorat Jenderal untuk melakukan penjaminan mutu (Quality Assurance) terhadap kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain evaluasi SAKIP, Inspektorat Jenderal juga melakukan kegiatan penjaminan mutu lainnya antara lain seperti pendampingan penyusunan laporan keuangan, pendampingan pengadaan barang/jasa, dan bimbingan teknis Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

    Demikian ulasan singkat tentang SAKIP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta peranan Inspektorat Jenderal dalam melakukan evaluasi atas SAKIP tersebut. Semoga ada manfaatnya.

    FORWAS EDISI III / 2013 19

  • PENTINGNYA MEMAHAMI PMK NOMOR 81/PMK.05/2012 TENTANG BELANJA BANTUAN SOSIAL

    PADA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGABAGI APARAT PENGAWAS FUNGSIONAL DAN PENGELOLA

    Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.05/2012 tanggal 1 Juni 2012 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga, merupakan kabar gembira bagi pengelolaan anggaran tahun 2013 dalam kaitanya untuk pencairan dan penyaluran bansos kepada lembaga masyarakat yang mempunyai resiko sosial. Sehubungan berlakunya peraturan ini maka, semua ketentuan yang mengatur mengenai pencairan dan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Berikut beberapa hal-hal pokok dan penting untuk diketahui berkenaan dengan mekanisme pencairan dana Belanja Bantuan Sosial berdasarkan PMK-81/PMK.05/2012 antara lain;

    1. Difinisi ;

    a) Belanja bantuan sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.

    b) Resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh indivindu, keluarga, kelompok masyarakat sebagai dampak dari krisis (sosial, ekonomi, politik, fenomena alam dan bencana alam) yang jika diberikan bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.

    c) Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menkeu selaku BUN atau pejabat yang ditunjuk untuk menampung seluruh penerimaan negara dan atau membayar seluruh pengeluaran negara padan Bank/Sentral Giro yang ditunjuk.

    2. Penyalur bantuan diatur di PMK ini melalui Bank/Pos sebagai mitra tempat dibukanya rekening atas nama satker untuk menampung Belanja Bansos yang akan disalurkan kepada penerima bantuan.

    3. Ketentuan dalam peraturan menteri ini mengatur pengalokasian, pencairan dan penyaluran dana belanja bantuan sosial pada K/L yang bersumber dari APBN kepada penerima bansos termasuk pertanggungjawabannya.

    4. Alokasi Bansos disusun dan ditelaah pada RKA-K/L yang bersangkutan, untuk belanja Bansos ada di akun 57, sedangkan belanja anggaran operasional, biaya pencairan, penyaluran, dan biaya yang timbul untuk pengadaan barang dan jasa harus dipisahkan dengan maksud akun 52.

    5. Tujuan penggunaan Bansos dapat dijelaskan sebagai berikut;

    a. Rehabilitasi sosial untuk memulihkan dan mengembangkan seseorang yang mengalami disfungsi sosial, agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar.

    b. Perlindungan sosial untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok dan atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dasar minimal

    c. Pemberdayaan sosial, untuk warga negara yang mengalami masalah sosial sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

    d. Jaminan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.

    e. Penanggulangan kemiskinan, merupakan kebijakan program untuk membantu kepada orang, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat yang tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan, dan;

    oleh : Sudarko

    KAJIAN

    FORWAS EDISI III / 201320

  • f. Penanggulangan bencana, serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.

    6. Pemberi bantuan sosial merupakan Kementerian Negara/ Lembaga yang tugas dan fungsinya terkait dengan penanganan kemungkinan terjadinya Risiko Sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/atau kesejahteraan masyarakat

    7. Penerima Bantuan Sosial terdiri dari perorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.

    8. Penerima Bantuan Sosial termasuk juga lembaga Non Pemerintah bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya Risiko Sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/atau kesejahteraan masyarakat.

    9. Bantuan sosial yang diberikan oleh pemberi bantuan sosial kepada penerima bantuan sosial tidak untuk:a. dikembalikan kepada pemberi bantuan sosial;

    ataub. diambil hasilnya oleh pemberi bantuan sosial.

    10. Bentuk Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan terdiri atas:a. uang;b. barang; dan/atauc. jasa

    11. Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan dalam bentuk uang yang digunakan oleh penerima bantuan sosial untuk pengadaan barang dan/atau jasa, dikerjakan/dihasilkan sendiri oleh penerima bantuan sosial secara swakelola.

    12. Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan dalam bentuk barang dan/atau jasa, dilaksanakan melalui penyaluran barang dan/atau jasa kepada penerima bantuan sosial yang pengadaan barang dan/atau jasanya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

    13. Kewenangan PA, Kuasa PA, dan PPK dalam rangka pengelolaan dana Belanja Bantuan Sosial diatur sebagai berikut:

    a. PA memiliki kewenangan untuk menetapkan p e d o m a n u m u m p e n g e l o l a a n d a n

    pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi Kementerian Negara/ Lembaga berkenaan;

    b. Kuasa PA memiliki kewenangan untuk menetapkan petunjuk teknis pengelolaan Belanja Bantuan Sosial, dan mengesahkan surat keputusan penerima bantuan sosial;

    c. PPK memiliki kewenangan untuk melakukan proses seleksi, penentuan dan penetapan surat keputusan penerima bantuan sosial, melakukan perikatan dengan pihak ketiga, dan melaksanakan pembayaran.

    14. Petunjuk teknis pengelolaan Belanja Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh Kuasa PA paling sedikit memuat:a. tujuan penggunaan Belanja Bantuan Sosial;b. pemberi bantuan sosial;c. penerima bantuan sosial; d. alokasi anggaran;e. persyaratan penerima bantuan sosial;f. tata kelola pencairan dana Belanja Bantuan

    Sosial;g. pelaksanaan penyaluran Belanja Bantuan

    Sosial; danh. pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial.

    15. Dalam rangka menentukan penerima bantuan sosial, PPK melakukan seleksi penerima bantuan sosial sesuai kriteria/persyaratan yang ditentukan dalam pedoman umum pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh PA dan petunjuk teknis pengelolaan Belanja Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh Kuasa PA. Berdasarkan hasil seleksi tersebut, PPK menetapkan surat keputusan penerima bantuan sosial.

    16. Dalam rangka penyaluran Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang, surat keputusan penerima bantuan sosial paling sedikit memuat:a. identitas penerima bantuan sosial;b. nilai uang bantuan sosial; danc. nomor rekening penerima bantuan sosial.

    17. Dalam hal penerima bantuan sosial tidak mempunyai nomor rekening, nomor rekening yang dicantumkan dalam surat keputusan penerima bantuan sosial adalah nomor rekening Bank/Pos Penyalur.

    18. Dalam rangka penyaluran Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk barang dan/atau jasa, surat keputusan penerima bantuan sosial paling sedikit memuat:a. identitas penerima bantuan sosial;b. nilai barang bantuan sosial; danc. bentuk barang dan/atau jasa yang akan

    diberikan.

    FORWAS EDISI III / 2013 21

  • 19. Surat keputusan penerima bantuan sosial selanjutnya disahkan oleh Kuasa PA. Surat keputusan penerima bantuan sosial yang disahkan oleh Kuasa PA merupakan dasar pemberian bantuan sosial kepada penerima bantuan sosial.

    20. Untuk mempercepat pemberian bantuan sosial, penetapan surat keputusan dan pengesahan surat keputusan penerima bantuan sosial dapat dilakukan secara bertahap bagi penerima yang telah memenuhi persyaratan.

    21. Pencairan dana Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan dalam bentuk uang dilakukan melalui pembayaran langsung (LS):a. dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening

    penerima bantuan sosial pada bank/pos; ataub. dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening

    Bank/ Pos Penyalur.

    22. Pencairan dana Belanja Bantuan dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Bank/ Pos Penyalur Sosial dilakukan dalam hal:

    a. penerima bantuan sosial dalam bentuk uang tidak memungkinkan untuk membuka rekening pada bank/pos;

    b. dana Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan merupakan Program Nasional yang menurut peraturan perundang-undangan harus disalurkan melalui lembaga penyalur; atau

    c. jumlah penerima bantuan sosial dalam bentuk uang pada satu jenis Belanja Bantuan Sosial dan satu DIPA lebih dari 100 (seratus) penerima bantuan sosial.

    23. Dalam rangka pencairan dana Belanja Bantuan Sosial dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Bank/ Pos Penyalur, Kuasa PA membuka rekening pada Bank/Pos Penyalur.

    24. Pembukaan rekening pada Bank/Pos Penyalur oleh Kuasa PA tersebut diatas dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan rekening milik Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja.

    25. Pencairan dana Belanja Bantuan Sosial dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Bank/Pos Penyalur disalurkan kepada penerima bantuan sosial dengan cara:

    a. pemindahbukuan dari rekening Bank/ Pos Penyalur ke rekening penerima bantuan sosial; atau

    b. pemberian uang tunai dari rekening Bank/Pos Penyalur kepada penerima bantuan sosial oleh petugas Bank/Pos Penyalur.

    26. Dalam rangka pelaksanaan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Bank/Pos Penyalur, PPK melakukan pemilihan Bank/Pos Penyalur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

    27. Bank/pos yang terpilih menjadi Bank/Pos Penyalur dana Belanja Bantuan Sosial menandatangani kontrak/perjanjian kerja sama dengan PPK.

    28. Kontrak/perjanjian kerja sama paling sedikit memuat:

    a. hak dan kewajiban kedua belah pihak;

    b. tata cara dan syarat penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang kepada penerima Belanja Bantuan Sosial;

    c. pernyataan kesanggupan Bank/Pos Penyalur untuk menyalurkan dana Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang kepada penerima bantuan sosial paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dana Belanja Bantuan Sosial ditransfer dari Rekening Kas Umum Negara ke rekeningBank/Pos Penyalur;

    d. pernyataan kesanggupan Bank/Pos Penyalur bahwa sisa Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang pada Bank/PosPenyalur yang tidak tersalurkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara pada hari kerja berikutnya;

    e. kewaj iban Bank /Pos Penyalur untuk menyampaikan laporan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial secara berkala kepada PPK;

    f. pernyataan kesanggupan Bank/Pos Penyalur untuk menyetorkan bunga dan jasa giro pada Bank/Pos Penyalur yang timbul dalam rangka kegiatan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial ke Rekening Kas Umum Negara;

    g. pernyataan kesanggupan Bank/Pos Penyalur untuk menyetorkan sisa dana Belanja Bantuan Sosial yang tidak tersalurkan sampai dengan akhir tahun anggaran ke Rekening Kas Umum Negara; dan

    h. ketentuan mengenai sanksi yang dikenakan terhadap salah satu pihak yang melanggar kontrak/perjanjian kerja sama.

    29. Dalam kontrak/perjanjian kerja sama dengan Bank/Pos Penyalur dana Belanja Bantuan Sosial, tidak diperkenankan mencantumkan klausul potongan atau pungutan terhadap penerima dana Belanja Bantuan Sosial.

    FORWAS EDISI III / 201322

  • 30. Dalam hal ketentuan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang kepada penerima bantuan sosial yang tercantum pada kontrak/perjanjian kerja sama melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan.

    31. Dalam rangka pengadaan barang dan/atau jasa untuk bantuan sosial yang akan disalurkan dalam bentuk barang dan/atau jasa kepada penerima bantuan sosial, PPK menandatangani kontrak pengadaan barang dan/atau jasa dengan penyedia barang dan/atau jasa.

    32. Pengadaan barang dan/atau jasa yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial dapat juga termasuk pelaksanaan penyaluran barang dan/atau jasa sampai dengan diterima oleh penerima bantuan sosial.

    33. Pencairan dana Belanja Bantuan Sosial dalam rangka pengadaan barang dan/atau jasa yang akan disalurkan untuk penerima bantuan sosial dilakukan dengan cara pembayaran langsung (LS) dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening penyedia barang dan/atau jasa.

    34. Penyaluran barang dan/atau jasa yang pengadaannya menggunakan dana Belanja Bantuan Sosial kepada penerima bantuan sosial dilakukan oleh: PPK; atau Penyedia barang dan/atau jasa sesuai kontrak.

    35. Dalam rangka pencairan dana Belanja Bantuan Sosial, PPK mengajukan SPP Belanja Bantuan Sosial kepada PP-SPM yang paling sedikit dilampiri dengan:

    a. Surat keputusan penerima bantuan sosial;

    b. Daftar dan rekapitulasi penerima bantuan sosial;

    c. Naskah kontrak/perjanjian kerjasama penyaluran Belanja Bantuan Sosial antara PPK dan Bank/Pos Penyalur dalam hal penyaluran bantuan sosial dilakukan melalui Bank/PosPenyalur;

    d. Dokumen kontrak pengadaan barang dan/atau jasa antara PPK dan penyedia barang dan/atau jasa dalam hal dana Belanja Bantuan Sosial disalurkan dalam bentuk barangdan/atau jasa.

    36. PP-SPM melakukan pengujian terhadap SPP dan lampiran yang diajukan oleh PPK. Dalam hal hasil pengujian oleh PP-SPM terhadap SPP, SPP dinyatakan lengkap dan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan, PP-SPM menerbitkan SPM-LS. Tata cara pengujian SPP, pengajuan SPM-LS oleh PP-SPM ke KPPN, dan penerbitan SP2D oleh KPPN dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata

    cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.

    37. PPK melakukan penelitian atas laporan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial yang disampaikan oleh Bank/Pos Penyalur. Dalam hal hasil penelitian atas laporan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial terdapat dana Belanja Bantuan Sosial yang belum tersalurkan sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam kontrak/perjanjian kerja sama, PPK menerbitkan surat perintah penyetoran dana Belanja Bantuan Sosial ke Rekening Kas Umum Negara. Penyetoran dana Belanja Bantuan Sosial yang dilakukan pada tahun anggaran berjalan menggunakan Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB). SSPB dilampiri dengan daftar nama penerima bantuan sosial yang tidak tersalurkan. Setoran dana Belanja Bantuan Sosial dibukukan sebagai pengembalian belanja sebesar nilai setoran dana Belanja Bantuan Sosial pada fungsi, subfungsi, program, kegiatan, output, dan jenis belanja yang sarna sebagaimana yang tercantum dalam SSPB. Dalam hal penyetoran dana Belanja Bantuan Sosial tidak dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan, penyetoran dana Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan pada tahun anggaran berikutnya menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang dilampiri dengan daftar nama penerima bantuan sosial. Penyetoran dana Belanja Bantuan Sosial dan bunga/jasa giro yang timbul dalam rangka kegiatan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial, surat setorannya dibuat secara terpisah.

    38. Pembayaran kembali atas setoran dana yang tidak tersalurkan hanya dapat dilakukan pada tahun anggaran berjalan. Mekanisme pembayaran kembali setoran dana Belanja Bantuan Sosial diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.

    39. Kuasa PA bertanggungjawab atas pencapaian target kinerja penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial kepada penerima bantuan sosial. PPK bertanggungjawab atas pelaksanaan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial kepada penerima bantuan sosial untuk menjamin bantuan sosial telah sesuai dengan peruntukan dan tepat sasaran dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Kuasa PA. Dalam rangka pengawasan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial, Kuasa PA dapat melakukan koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial, Kuasa PA harus menyusun laporan pertanggungjawaban. Laporan pertanggungjawaban paling sedikit memuat jumlah pagu bantuan sosial yang disalurkan, realisasi bantuan sosial yang telah disalurkan, dan sisa

    FORWAS EDISI III / 2013 23

  • dana bantuan sosial yang disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara. Dalam hal masih terdapat dana-Belanja Bantuan Sosial pada rekening Bank/Pos Penyalur yang belum disetorkan sampai akhir tahun anggaran, dana tersebut disajikan sebagai Kas Lainnya di Kementerian Negara/Lembaga pada Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL). Laporan pertanggungjawaban dilampiri dengan:

    a. data bukti transfer/tanda terima/konfirmasi dari Bank/Pos Penyalur/penerima bantuan sosial, untuk penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang; atau

    b. berita acara serah terima, untuk penyaluran

    dana Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk barang dan/atau jasa.

    Laporan pertanggungjawabandilampirkan sebagai suplemen pada Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.

    40. Pencairan dan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial yang sedang dilaksanakan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dapat tetap dilaksanakan dan disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua ketentuan yang mengatur mengenai pencairan dan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Catatan Penting:a. Pasal-Pasal lengkap peraturan ini dapat dibaca pada PMK-81/PMK.05/2012 tentang Belanja Bantuan Sosial

    Kementerian Negara/Lembaga.Bila memerlukan informasi dan penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini jangan ragu untuk datang ke KPPN/Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat untuk mendapatkan bantuan yang diperlukan.

    b. Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pengalokasian, pencairan dan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada. penerima bantuan sosial termasuk pertanggungjawabannya.

    Kelemahan dan KelebihanPeraturan ini walaupun telah ditetapkan pada tahun 2012, namun pelaksanaan untuk kegiatan penyaluran Dana Bantuan Sosial yang tersedia tahun anggaran 2013, pada Dirjen Pendidikan Tinggi, Dirjen Pendidikan Menengah, Dirjen Pendidikan Dasar, Dirjen PAUD-NI dan UPT-eselon 1 di Daerah serta Unit Eselon 1 yang lain di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, belum dapat dilaksanakan secara penuh mengacu pada Permenkeu No. 81/PMK.05/2012 hal ini hambatannya/terkendala pada;

    1. Pada umumnya Daftar Isian Pengelolaan Anggaran (DIPA) dan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) tahun 2013 dari masing-masing Unit Utama Eselon 1 dan UPT-nya yang mempunyai anggaran Bantuan Sosial, belum mengalokasikan atau menyedian dana seperti yang tertuang pada Permenkeu RI No. 81/PMK.05/2012 pada BAB III pasal 3 ayat 2 dan ayat 3 bunyi sebagai berikut;

    2. Mendasarkan pada Permenkeu RI No. 81/PMK.05/2012 tentang Belanja Bantuan Sosial Kementerian Negara/Lembaga, sangat baik bila pelaksanaan anggaran Bantuan Sosial penyaluran mengikuti aturan tersebut, hal ini dapat dijelaskan;

    a. Kelebihan bagi pengelola : Penyaluran Bantuan Sosial ke Masyarakat dan Lembaga oleh pemberi dana dengan diproses melalui Pengadaan barang/jasa baik sistem Lelang/Pemilihan Langsung/Penunjukkan Langsung kepada Bank/Pos penyalur yang ditunjuk, sehingga dapat secara cepat diketahui dana yang disalurkan tidak diterima oleh penerima bantuan atas kesalahan input rekening atau rekening lembaga yang tutup (tidak mempunyai saldo).

    b. Kelemahan bagi pengelola : Bila kondisi ini belum mengikuti aturan PMK No. 81/PMK.05/2012 akan terjadi sebaliknya, yaitu jika kesalahan input rekening atau rekening lembaga yang tutup (tidak mempunyai saldo), maka Penyaluran Bantuan Sosial ke Masyarakat dan Lembaga oleh pemberi dana dengan diproses melalui Pengadaan barang/jasa sulit secara cepat diketahui dana yang disalurkan tidak diterima oleh penerima bantuan dan akan disetor kembali ke Kas Negara melebihi tahun anggaran.

    Demikian yang perlu diketahui oleh para pembaca terhadap tulisan ini, semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada khususnya, dan umumnya bisa digunakan sebagai alat bagi para pimpinan pengelola anggaran dan para auditor yang mempunyai tugas fungsi untuk memahami aturan/ketentuan yang berlaku.

    FORWAS EDISI III / 201324

  • SINERGI PENGAWASANBANTUAN SOSIAL/BLOCKGRANT PAUDNIANTARA INSPEKTORAT I ITJEN KEMENDIKBUDDENGAN INSPEKTORAT KABUPATEN/KOTA

    Pembukaan oleh Bp. Inspektur Jenderal Kemendikbud pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013 jam 19.00 WIB mulai 16 s.d. 18 Oktober 2013 Hotel Bidakara Jakarta, Inspektorat I Itjen Kemdibud telah berhasil melaksanakan kegiatan sosioalisasi sinergi pengawasan bantuan sosial/blockgrant PAUDNI Inspektorat I Inspektorat Jenderal Kementerian Pen-didikan dan Kebudayaan dengan Inspektorat Kabupaten/Kota.

    oleh : Sudarko

    FORWAS EDISI III / 2013 25

  • Penyelenggaraan kegiatan sosialiasi tersebut diatas, tentunya dapat dilaksanakan dengan dukungan Anggaran tahun 2013 Inspektorat I Itjen Kemendikbud senilai Rp799 .717 .000 ,00 dan implementas i keg ia tan ditetapkan dalam Dasar Surat Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8018/G2/KP/2013 tanggal 11 Oktober 2013 sebagai acuan pelaksanaan kegiatannya.Kegiatan Sosialisasi Sinergi Pengawasan Bantuan Sosial/Blockgrant PAUDNI antara Inspektorat I Inspektorat Jendera l Kemendikbud d e n g a n I n s p e k t o r a t Kabupaten/Kota secara umum bertujuan secara manajemen dapat di jelaskan untuk mengurangi resiko penyimpangan secara dini dan untuk menyampaikan kebijakan pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka mewujudkan Opini Laporan Keuangan Kemendikbud Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tahun 2013 dari Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) tahun sebelumnya Laporan Keuangan Kemendikbud.

    Disamping tujuan umum yang sudah disebutkan diatas, tentunya ada tujuan khusus Sosialisasi Sinergi Pengawasan Bantuan Sosial/Blockgrant PAUDNI ini untuk:

    1. M e w u j u d ka n ko o r d i n a s i d a n k e r j a s a m a d e n g a n Inspektorat Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan audit pengelolaan dana bantuan/blockgrant PAUDNI sehingga dapat memperluas jangkauan sasaran pengawasan Inspektorat Jenderal Kemendikbud.

    2. Menyamakan persepsi dan pemahaman pe laksanaan pengawasan atas pengelolaan dana-dana bantuan/blockgrant dar i D i rek tora t J endera l

    PAUDNI yang disalurkan langsung dari Ditjen PAUDNI dan yang disalurkan melalui Dinas Pendidikan Provinsi ke lembaga PAUDNI di kab/kota, sejak perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

    3. Memperoleh informasi Program dana-dana bantuan/blockgrant dari Direktorat Jenderal PAUDNI yang disalurkan langsung dari Ditjen PAUDNI dan yang disalurkan melalui Dinas Pendidikan Provinsi ke lembaga PAUDNI di kab/kota.

    Atas dasar tujuan tersebut has i l yang diharapkan dar i penyelenggaraan Sosial isas i Sinergi Pengawasan Bantuan Sosial/Blockgrant PAUDNI ini adalah:

    1. Terwujudnya kesamaan persepsi dan pemahaman tentang kebijakan pengawasan terhadap dana-dana bantuan/blockgrant dari Direktorat Jenderal PAUDNI yang disalurkan langsung dari Ditjen PAUDNI dan yang disalurkan melalui Dinas Pendidikan Provinsi ke lembaga PAUDNI di kab/kota.

    2. Terwujudnya Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) yang dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengawasan oleh Inspektorat I Inspektorat Jenderal Kemendikbud dan Inspektorat Kabupaten/Kota.

    3. Terwujudnya Sistem pengawasan PAUDNI yang adaptif terhadap t u n t u t a n p e r ke m b a n g a n berdasarkan prinsip-prinsip ketaatan, ketertiban, ekonomis, efisiensi dan efektivitas.

    Dalam proses dan mekanisme terhadap penunjukkan/penetapan Lembaga penerima Bansos tersebut, masing-masing Direktorat Ditjen PAUDNI dengan koord inas i pengelolaan data dan informasi untuk penetapan lembaga penerima dana Bantuan Sosial tahun 2013, atas dasar usulan dari Dinas Pendidikan Kab/kota, selanjutnya dilakukan verifikasi dan visitasi serta sosialisasi oleh masing-masing Direktorat Ditjen PAUDNI yang menyalurkan dana Bantuan Sosial, bersama dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kab/kota seluruh Indonesia ke lembaga PAUDNI di kab/kota, yang dimulai

    FORWAS EDISI III / 201326

  • NO KEGIATAN NILAI

    1 Rintisan Paud 45,000,000

    2 Tbm Rintisan 30,000,000

    3 Tbm Penguatan 30,000,000

    4 Pkbg 30,000,000

    5 Pengk Kapasitas Pokja Pug Bid Provinsi 200,000,000

    6 Pengk Kapasitas Pokja Pug Bid Kab/Kota 100,000,000

    7 Pengk Kapasitas Psw/Psg 200,000,000

    8 Kecakapan Keorangtuaan 35,000,000

    9 Keaksaraan Dasar 72,000,000

    10 Perluasan Akses Pkbm Kecamatan 50,000,000

    11 Pendidikan Keaksaraan 25,000,000

    12 Pendidikan Karakter 25,000,000

    13 Multi Keaksaraan Berbasis Teknologi 90,000,000

    14 Napza, Hiv/Aids 40,000,000

    15 Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang 40,000,000

    16 Pengembangan Pkbm Tematik 100,000,000

    17 Peningkatan Mutu Pkbm 50,000,000

    18Peningk Kompetensi Pendidik Paud Melalui Melalui Diklat Berjenjang Bekerjasama Assosiasi Ptk Paud (Igktki Dan Himpaudi)

    90,000,000

    Singkatan-singkatan;1. PAUD Pendidikan Anak

    Usia Dini2. TBM Ta m a n B a c a a n

    Masyarakat3. PKBG Pendidikan Keluarga

    Berbasis GenderSelain daftar tersebut diatas masih ada penyaluran Bansos untuk kegiatan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) nilainya variatif terkecil

    Rp4,600,000.00 dan terbesar senilai Rp78,200,000.00 demikian juga untuk kegiatan Keasaraan Dasar Layanan Khusus (KDLK) nilai variatif terkecil Rp8,000,000.00 dan terbesar senilai Rp 24,000,000.00.Selanjutnya perlu kami disampaikan bahwa kegiatan audit ini tentunya baik yang baru terima dana dan belum dilaksanakan programnya maupun telah terima dana yang

    sedang berjalan program namun belum selesai kegiatannya, sehingga kondisi ini dengan dilaksanakan audit akan menjadikan perbaikan administrasi pertanggungjawaban dan dapat secara dini untuk mencegah kemungkinan terjadi penyimpangan pengelolaan keuangan serta dapat mempercepat laporan akhir sebagai pertanggungjawaban dana Bansos.

    dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

    Adapun para peserta sosialisasi tersebut, Inspektorat I Inspektorat Jenderal Kemendikbud telah mengundang para Inspektur dan Auditor Inspektorat Kabupaten/kota

    serta pegawai dari Direktorat Ditjen PAUDNI sebanyak 137 peserta yang hadir, dan yang tidak hadir sebanyak 11 peserta.

    Sasaran audit Bansos Ditjen PAUDNI di 30 provinsi dan 47 kab/kota untuk program anggaran 2013 Inspektorat I Itjen Kemendikbud,

    sampai dengan saat dilaksanakan kegiatan audit pada Frekuensi 1 dari tanggal 24 s/d 31 Oktober dan Frekuensi 2 dari tanggal 6 s/d 13 Nopember 2013, mendasarkan surat keputusan yang telah ditetapkan dan disalurkan dananya untuk kegiatan sebagai berikut;

    FORWAS EDISI III / 2013 27

  • oleh : Maralus Panggabean

    Reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah sebuah gerakan (movement) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Gerakan-gerakan reformasi birokrasi bersifat dinamis dan pembaharuan untuk merubah kondisi yang ada saat ini menjadi lebih baik. Kata kunci dalam gerakan reformasi birokrasi adalah perubahan (Change) menuju manajemen atau tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Perubahan merupakan suatu keniscayaan karena era reformasi dan demokratisasi dewasa ini membuat publik menjadi lebih cerdas dan kritis dalam menilai kinerja instansi pemerintahan.

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah secara aktif mengimplementasikan program-program reformasi birokrasi sejak tahun 2010. Beberapa program telah dilaksanakan secara berkesinambungan antara lain Manajemen Perubahan, Penataan SDM Aparatur, Penataan Perundang-undangan, Penataan Organisasi, Penguatan Pengawasan, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, serta Monitoring dan Evaluasi. Implikasi dari implementasi program reformasi birokrasi telah terlihat dengan jelas antara lain peningkatan pelayanan publik dan peningkatan tata kelola.

    Dalam mengiplementasikan program-program RBI tersebut telah disusun buku panduan yang disebut dengan istilah Peta Jalan (Road Map) yang memuat garis-garis kebijakan utama, uraian kegiatan, dan target capaian yang diharapkan. Masing-masing koordinator pelaksana program reformasi birokrasi Kemendikbud telah memberikan kontribusi dalam penyusunan buku Peta Jalan. Buku tersebut selanjutnya menjadi rujukan bagi tim

    ARTIKEL

    FORWAS EDISI III / 201328

  • kerja RBI Kemendikbud dalam menjalankan program reformasi birokrasi di unit utama masing-masing. Buku ini juga digunakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen-PAN dan RB) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam melakukan evaluasi dan penjaminan mutu.

    Sejak tahun 2012 Kemen-PAN dan RB telah memberlakukan ketentuan tentang tata cara melakukan evaluasi atas pelaksanaan reformasi birokrasi yang dilakukan di seluruh Kementerian/Lembaga. Kemen-PAN dan RB menunjuk Inspektur Jenderal selaku Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk bertindak sebagai koordinator evaluasi program reformasi birokrasi. Kemen-PAN dan RB juga telah membangun sistem berbasis On Line untuk mendukung pelaksanaan evaluasi ini. Istilah populer untuk evaluasi ini adalah Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB).

    Tujuan dari penerapan PMPRB adalah untuk memperoleh gambaran umum menyeluruh tentang profil pelaksanaan reformasi birokrasi

    di seluruh Kementerian/Lembaga. Aplikasi PMPRB On Line akan memungkinkan Presiden Republik Indonesia untuk memantau perkembangan kemajuan reformasi birokrasi segenap kabinetnya secara cepat dan mudah. Setiap Menteri/Pemimpin Lembaga diberikan satu akun dan password untuk memantau perkembangan reformasi birokrasi di instansi yang dipimpinnya.

    K e m e n - P A N d a n R B membangun sebuah Model PMPRB yang terdiri dari 2 komponen yaitu komponen pengungkit (Enabler) dan komponen hasil (Result). Hubungan antara kedua komponen tersebut bersifat sebab akibat (analisis kausalitas). Komponen pengungkit yang diterapkan dengan baik akan berimplikasi pada kepuasan publik yang semakin meningkat tercermin dan terfleksikan pada komponen hasil. Tiap komponen memiliki kriteria dan sub kriteria yang menjadi objek penilaian PMPRB.

    Ko m p o n e n p e n g u n g k i t adalah bagian dari model PMPRB yang bersifat penggerakan dan pemberdayaan organisatoris dan SDM untuk melakukan upaya-upaya yang sistematis dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan

    kepuasan publik. Komponen hasil adalah penyediaan layanan publik yang dalam konteks Kemendikbud adalah layanan jasa pendidikan berkualitas dan dapat terjangkau dengan mudah sehingga dapat menghasilkan SDM Indonesia yang berkarakter kuat, kompeten, dan berdaya saing tinggi. Komponen pengungkit terdiri dari 5 Kriteria ya i tu Kepemimpinan , SDM Aparatur, Perencanaan Strategis, Kemitraan, dan Proses. Komponen hasil terdiri dari 4 kriteria yaitu hasil pada SDM aparatur, hasil pada masyarakat pengguna layanan, hasil pada komunitas luas, dan hasil kinerja utama.

    Inspektorat Jenderal telah melakukan berbagai upaya untuk mengkoordinasikan pelaksanaan PMPRB di lingkungan Kemendikbud. Sosialisasi dan bimbingan teknis d i l akukan untuk men jamin keterlaksanaan berbagai aktivitas seperti Survey Internal, Survey Eksternal, dan penilaian oleh tim asesor. Dengan upaya koordinasi tersebut diharapkan Unit-Unit U tama Kemendikbud dapa t menyelesaikan kegiatan PMPRB pada akhir tahun.

    FORWAS EDISI III / 2013 29

  • KONTRIBUSIINSPEKTORAT JENDERALDALAM PERLOMBAAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAToleh : Sunarto

    Kementerian Kesehatan memprakarsai penyelenggaraan perlombaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PBHS) di lingkungan Kementerian/Lembaga Pemerintahan Non Kementerian. Tujuan perlombaan ini adalah untuk mendorong instansi pemerintah dalam mempraktekkan perilaku bersih dan sehat dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai.

    P e r l o m b a a n i n i diselenggarakan Kementerian Kesehatan untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional yang ke -49 . Momentum ini d imanfaa tkan untuk mendorong Kementerian/Lembaga untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bentuk lingkungan kerja yang bersih dan sehat dalam rangka mendukung kinerja pegawai yang berproduktivitas tinggi. Hal ini sangat relevan dengan era kinerja yang saat ini menjadi slogan besar yang diusung dan dipopulerkan oleh instansi pemerintahan.

    Instansi pemerintah harus memberikan keteladanan dalam mewujudkan lingkungan kerja yang bersih dan sehat. Citra sebagian instansi pemerintah yang kumuh harus dikikis habis dan digantikan dengan

    lingkungan yang bersih dan menunjang kinerja pegawai. Hal ini secara tidak langsung j u g a a k a n b e r d a m p a k kepada peningkatan citra Kementerian.

    Kebersihan lingkungan kerja secara langsung akan m e n i m b u l k a n s u a s a n a lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Hal ini tentunya akan membuat pegawai yang

    FORWAS EDISI III / 201330

  • bekerja dalam lingkungan kantor tersebut akan merasa senang dan menimbulkan kegairahan dalam bekerja. Kebersihan ruangan kantor tidak hanya menimbulkan kesan yang menyenangkan tetapi juga membantu pegawai untuk menjadi lebih sehat. Dengan bekerja dalam lingkungan seperti itu tentunya pegawai akan bekerja dengan lebih giat dan semakin produktif.

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu instansi pemerintah terbesar tidak ketinggalan turut berpartisipasi dalam perlombaan tersebut. Dalam hal ini yang ditunjuk untuk m e w a k i l i Ke m e n t e r i a n Pendidikan dan Kebudayaan a d a l a h g e d u n g k a n t o r Inspektorat Jenderal, kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Kantin Boga Rasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Perlombaan ini dimulai pada minggu pertama bulan

    Oktober 2013 di mana seluruh Kementerian/Lembaga diminta menyampaikan laporan data Perilaku Hidup Bersih dan Sehat kepada Tim Penilai Kementerian Kesehatan untuk dipelajari dan ditelaah.

    Selanjutnya Tim Penilai Ke m e n t e r i a n Ke s e h a t a n melakukan visitasi untuk mengecek keberadaan dan ko n d i s i u n i t - u n i t y a n g diajukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tim melakukan pemeriksaan ke setiap sudut ruangan dan lantai kantor Inspektorat Jenderal termasuk kebersihan toilet. Hal ini dilakukan untuk menjamin kebers ihan ruangan dan melihat perilaku pegawai dalam menjalani hidup bersih.

    Inspektorat Jenderal adalah unit utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang paling pertama dinilai oleh Tim Kementerian Kesehatan. Dar i aspek kemandir ian gedung, Inspektorat Jenderal merupakan unit utama yang

    memiliki gedung kantor sendiri dibandingkan dengan kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan kantin Bogasera yang menjadi objek penilaian. Dengan demikian Inspektorat Jenderal adalah unit utama yang berkontribusi besar dalam perlombaan ini.

    Hasi l perlombaan ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi juara ketiga setelah Kementerian Pe k e r j a a n U m u m d a n Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Atas prestasi ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diberikan piagam penghargaan dari Kementerian Kesehatan. Hal in i juga dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 443/Menkes/PK/XI/2013 tentang Pemberian Tanda Penghargaan Pemenang Lomba dalam rangka Hari Kesehatan Nasional ke 49 yang ditandatangani Menteri Kesehatan dr. Nafsiah Mboi, SpA, M.PH pada tanggal 12 November 2013.

    FORWAS EDISI III / 2013 31

  • Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 47 Tahun 2011 tentang Satuan Pengawasan Intern di Lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang Petunjuk Teknis Satuan Pengawasan Intern di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;

    Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

    2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

    4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah {Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890);

    5. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);

    6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;

    PERATURAN INSPEKTUR JENDERALKEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    REPUBLIK INDONESIANOMOR 5173/G/HK/2013

    TENTANG

    PETUNJUK TEKNISPERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 47 TAHUN 2011

    TENTANG SATUAN PENGAWASAN INTERN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAINSPEKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    REPUBLIK INDONESIA,

    Salinan

    FORWAS EDISI III / 201332

  • Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011;

    7. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 5/P Tahun 2013;

    8. Keputusan Presiden Nomor 30/M Tahun 2012 tanggal 2 Maret 2012 tentang Pengangkatan DR. Haryono Umar, Ak., M.Sc sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;

    9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan : PERATURAN INSPEKTUR JENDERAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN PENGAWASAN INTERN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL.

    Pasal 1

    Petunjuk Teknis Satuan Pengawasan Intern di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang selanjutnya dalam Peraturan Inspektur Jenderal ini disebut Juknis SPI digunakan sebagai pedoman dalam Penyelenggaraan SPI di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Pasal 2

    Juknis SPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Inspektur Jenderal ini.

    Pasal 3

    Peraturan Inspektur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

    Ditetapkan di Jakartapada tanggal 25 Juni 2013

    INSPEKTUR JENDERAL KEMENTERIANPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,

    HARYONO UMARNIP. 196009081983021001

    FORWAS EDISI III / 2013 33

  • LAMPIRAN PERATURAN INSPEKTUR JENDERAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 5173/G/HK/2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS SATUAN PENGAWASAN INTERN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    BAB IPENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANGPengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern

    yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Lingkup pengaturan pengawasan intern mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat.

    Pengawasan intern rnenurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, yang dalam lingkup organisasi Kementerian dilakukan oleh Inspektorat Jenderal. Inspektorat Jenderal Kemendikbud sebagai unit pengawasan intern dalam lingkup Kemendikbud mengacu pada peraturan tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan semua tugas dan fungsi unit kerja dilakukan dengan efektif, efisien, da