33

FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id
Page 2: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

i

SERI PENERBITAN

FORUM ARKEOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANBALAI ARKEOLOGI BALI

2019

ISSN : 0854-3232772/AU1/P2MI-LIPI/08/2017

Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019

Page 3: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

ii

ISSN : 0854-3232772/AU1/P2MI-LIPI/08/2017

SERI PENERBITAN FORUM ARKEOLOGI

Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019

Jurnal Forum Arkeologi terbit dua kali setahun pada bulan April dan Oktober. Terbit pertama kali pada bulan Januari 1988. Memuat pemikiran ilmiah, hasil penelitian atau tinjauan/ ulasan tentang kearkeologian.

Penanggungjawab : Drs. I Made Geria, M.Si. (Kepala Pusat Arkeologi Nasional)Pengarah : Drs. I Gusti Made Suarbhawa (Kepala Balai Arkeologi Denpasar)

Ketua Dewan Redaksi : I Wayan Sumerata, S.S. (Arkeologi Sejarah - BALAR)Anggota Dewan Redaksi : Drs. I Wayan Suantika (Arkeologi Arsitektur - BALAR) Drs.INyomanSunarya(ArkeologiEpigrafi-BALAR) Ati Rati Hidayah, S.S, M.A (Arkeologi Prasejarah - BALAR) Drs. I Nyoman Wardi, M.Si (Ilmu Lingkungan - UNUD) Dr.NiKetutPujiAstitiLaksmi(ArkeologiEpigrafi-UNUD) Dr. I Gede Mudana, M.Si (Antropologi - UNUD) Prof. Dr. Bawa Atmaja (UNDIKSHA) Mitra Bestari : Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A (Sejarah – UNUD) Prof. Dr. Dwi Purwoko (Agama dan Tradisi – LIPI) Dr. I Nyoman Dana, M.Si. (Antropologi – UNUD) Dr. I Made Sutaba, APU (Arkeologi Prasejarah – UNHI) Drs. M. Bashori Imron, M.Si. (Ilmu Komunikasi dan Media – LIPI) Prof. Ris. Dr. Harry Truman Simanjuntak (Prasejarah – Center for Prehistory and Austronesian Studies) Prof. Dr. I Wayan Ardika M.A (Arkeologi Prasejarah - UNUD)

Redaksi PelaksanaI Putu Yuda Haribuana, S.T., I Nyoman Rema, S.S., M.Fil.H., Putu Eka Juliawati, S.S., M.Si., Luh Suwita Utami, S.S., Hedwi Prihatmoko, S.Hum. Ida Ayu Gede Megasuari Indria, S.S., SekretariatAnak Agung Ngurah Bayu Dharma Putra.

Alamat RedaksiBalai Arkeologi BaliJl. Raya Sesetan no. 80 DenpasarTelp. (0361) 224703, Fax. (0361) 228661Email: forumarkeologi.kemdikbud.go.id

Page 4: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya Forum Arkeologi volume 32 nomor 2, Oktober 2019. Semakin tingginya tuntutan dari peneliti untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas, dengan demikian wahana publikasi merupakan wadah yang sangat penting untuk menyebarluaskan hasil penelitian. Terlebih lagi outcome penelitian harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, baik itu masyarakat umum maupun dunia pendidikan. Hal ini menyebabkan Forum Arkeologi ikut berperan dalam penyebarluasan hasil penelitian agat mendapat respon, baik itu bersifat kritik maupun yang lainnya. Khusunya penelitian arkeologi yang menggunakan data artefak masa lalu sebagai bahan kajian, diharapkan mampu berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu agar penelitian lebih holistik. Topik bahasan dalam terbitan ini lebih menekankan pada tinggalan arkeologi yang merupakan tinggalan masa lalu dimaknai dengan tema kekinian dengan harapan masyarakat dengan mudah dapat mengerti pentingnya tinggalan arkeologi. Forum Arkeologi diharapkan dapat meningkatkan komunikasi ilmiah antara peneliti dengan masyarakat untuk mencapai sasaran bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, pada edisi kali ini forum arkeologi mempublish enam artikel dengan topik beragam yang merupakan hasil penelitian dari berbagai wilayah di Indonesia.

Enam artikel yang dimuat pada terbitan ini masing-masing ditulis oleh peneliti Balai Arkeologi Bali, Balai Arkeologi Sumatra Utara, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Udayana, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana mahasiswa dan dosen Universitas Gadjah Mada. Artikel pertama ditulis oleh Dhanang Puspita; Andy S. Wibowo; dan Mohammad Ruly Fauzi yang membahas tentang bertahannya eksistensi organisme ini di situs hunian prasejarah menarik untuk diulas lebih lanjut sebab hewan ini dikenal rentan dan hanya hidup padalingkunganyangspesifik(i.e.stygobit).Artikelinimengungkapalasanyangmelatarbelakangibertahannya eksistensi Stenasellidae di situs Gua Mesiu melalui pendekatan deskriptif–eksplanatif.

Artikel kedua ditulis oleh Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari dari Universitas Udayana yang membahas tentang candi-candi yang terletak di Lereng Barat Gunung Lawu mengandung berbagai jenis relief, namun studi ini lebih memfokuskan terhadap relief tumbuh-tumbuhan. Untuk itu penelitian ini inginmengidentifikasi jenis-jenis flora yang abadikan dalam bentuk relief sertamenelusuri fungsi dan manfaatnya.

Artikel ketiga ditulis oleh I Ketut Paramarta; I.B. Putrayasa; dan I.B. Putra Manik Aryana dari Universitas Pendidikan Ganesha yang membahas tentang kata bilangan dalam salinan prasasti berbahasa Bali Kuno dan kata bilangan pembanding dalam rumpun Proto-Austronesia dan Proto-Malayo Polinesian dikumpulkan dengan cara dokumentasi.Analisis data dilakukan dengan menguraikan setiap ekspresi nilai bilangan ke dalam morfem.

Artikel keempat ditulis oleh Churmatin Nasoichah dan Mulyadi yang membahas tentang kalimat Pasif merupakan sebuah kalimat subjek menerima atau dikenai aksi. Terdapat dua bahasa yang juga memiliki bentuk kalimat pasif, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Jawa Kuna. Sebelum bahasa Jawa berkembang, telah dikenal adanya bahasa Jawa Kuna.

Artikel kelima ditulis oleh Nyoman Arisanti dari Balai Arkeologi Bali yang membahas kampung adat menjadi penanda identitas budaya masyarakat Sumba. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui ideologi dibalik tetap eksisnya kampung adat dan faktor-faktor lain yang melatar belakangi eksistensi kampung adat di Sumba Tengah.

Artikel keenam ditulis oleh Yuni Suniarti; Mahirta; Sue O’Connor; dan Widya Nayati yang membahas tentang Sumber daya akuatik pada umumnya dieksploitasi oleh komunitas atau masyarakat

Page 5: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

iv

yang tinggal di wilayah pesisir. Salah satu daerah yang masih melakukan eksploitasi sumber daya akuatik yaitu Desa Halerman, Kabupaten Alor Barat Daya.

Disadari bahwa dalam terbitan ini tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu kami sebagai pengelola jurnal sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan pada edisi berikutnya. Kami juga berusaha untuk menambah jumlah indeksasi jurnal ketingkat yang lebih tinggi atau yang bereputasi untuk menarik minat para penulis. Terima kasih da penghargaan kami ucapkan kepada Dewan Editor, Mitra Bestari, mitra bestari lepas Dr. Titi Surti Nastiti, M.Hum, dan Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, serta yang lainnya yang sudah memberikan sumbangan pemikiran untuk terbitan ini.

Denpasar, Oktober 2019

Dewan Redaksi

Page 6: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

v

ISSN : 0854-3232772/AU1/P2MI-LIPI/08/2017

Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 SERI PENERBITAN

FORUM ARKEOLOGI

DAFTAR ISI

Eksistensi Stenasellus Sp. Pada Gua Hunian Prasejarah di Kawasan Kars Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi ............................................................. 63-74The Existence of Stenasellus sp. at Prehistoric CaveHabitation Site in Bukit Bulan Karstic Area, Sarolangun, JambiDhanang Puspita; Andy S. Wibowo; dan Mohammad Ruly Fauzi

Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu ........................................................................................... 75-94The Identification and Meaning of Flora Relief on the Archaeological Remains to Western Slope of Mount LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

Jejak Kata Bilangan dalam Prasasti Berbahasa Bali Kuno:Hubungan Kekerabatannya dalam Rumpun Bahasa Melayu ..................................... 95-104Traces of Numeral in Old Balinese Inscriptions:Their Genetic Relationship in the Malayo Polynesian FamilyI Ketut Paramarta; I.B. Putrayasa; dan I.B. Putra Manik Aryana

Page 7: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

vi

Analisis Kontrastif Konstruksi Pasif Bahasa Jawa Kunadan Bahasa Jawa (Studi Kasus Prasasti Hariñjiŋ) ............................................................ 105-116Contrastive Analysis of Passive Construction of JavaKuna and Java Language (Case Study Prasasti Hariñjiŋ)Churmatin Nasoichah dan Mulyadi

Eksistensi Kampung Adat di Sumba Tengah ...................................................................... 117-132 The Existence of Traditional Villages in Central SumbaNyoman Arisanti

Perilaku Konsumsi Kerang Oleh Masyarakat Pesisir Desa Halerman, Alor Barat Daya, Nusa Tenggara Timur ................................................... 133-144 Consumption Shellfish Behaviors by Shoreline Societies in Halerman Village, Southwest AlorYuni Suniarti; Mahirta; Sue O’Connor; dan Widya Nayati

Page 8: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

vii

FORUM ARKEOLOGI Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 ISSN: 0854-3232

Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biayaDDC: 930.1Dhanang Puspita; Andy S. Wibowo; dan Mohammad Ruly Fauzi

Eksistensi Stenasellus Sp. Pada Gua Hunian Prasejarah di Kawasan Kars Bukit Bulan, Sarolangun, JambiForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 63-74Hingga saat ini, belum ada laporan mengenai penemuan Stenasellidae (Crustacea, Malacostraca, Isopoda) pada situs gua hunian prasejarah di Indonesia. Untuk pertama kalinya, informasi mengenai keberadaan udang purba tersebut pada situs gua hunian diperoleh dari penelitian multidisipliner di situs Gua Mesiu. Bertahannya eksistensi organisme ini di situs hunian prasejarah menarik untuk diulas lebih lanjut sebab hewan ini dikenal rentan dan hanya hidup pada lingkungan yang spesifik (i.e. stygobit). Artikel ini mengungkap alasan yang melatarbelakangi bertahannya eksistensi Stenasellidae di situs Gua Mesiu melalui pendekatan deskriptif–eksplanatif. Observasi kami pada fisiologi spesimen Stenasellidae tersebut menunjukkan karakteristik anatomi dari marga Stenasellus. Sedangkan deskripsi habitat Stenasellus sp. menunjukkan karakteristik lingkungan yang bertolak-belakang dengan lokasi aktivitas hunian manusia di gua-gua prasejarah pada umumnya. Perbedaan tersebut sangat mungkin menjadi salah satu faktor penyebab bertahannya eksistensi Stenasellus sp. di Gua Mesiu. Laporan mengenai penemuan fauna gua ini juga turut menambah nilai penting dan keunikan tersendiri Gua Mesiu sebagai situs cagar budaya.

Kata kunci: Stenasellus sp, Gua Hunian, Fauna Gua, Kars, Bukit Bulan.

DDC: 930.1Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 75-94Bangunan suci keagamaan masa lalu yang ditemukan di Indonesia dilengkapi dengan berbagai komponen. Salah satu komponen yang menarik untuk dibicarakan adalah relief. Candi-candi yang terletak di Lereng Barat Gunung Lawu mengandung berbagai jenis relief, namun studi ini lebih memfokuskan terhadap relief tumbuh-tumbuhan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi jenis-jenis flora yang abadikan dalam bentuk relief serta menelusuri fungsi dan manfaatnya. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan ialah kualitatif dan kontekstual. Penelitian ini berhasil mengindentifikasi duabelas jenis flora yaitu kelapa, nangka, terung, pinang, durian, teratai, beringin, anggur, tumbuhan menjalar, randu, kepuh, dan pisang?. Relief-relief flora ini dipahatkan diberbagai lokasi baik di perumahan, kuburan, maupun hutan. Fungsi yang ditunjukkan adalah untuk memperindah bangunan candi, menunjukkan lingkungan masa lalu, dan fungsi dalam kaitan keagamaan. Masyarakat masa lalu yang hidup di situs penelitian memanfaatkan berbagai jenis flora untuk bahan makanan, obat-obatan, dan upakara.

Kata kunci: identifikasi, flora, fungsi, manfaat, candi, relief.

Page 9: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

viii

DDC: 930.1I Ketut Paramarta; I.B. Putrayasa; dan I.B. Putra Manik Aryana

Jejak Kata Bilangan dalam Prasasti Berbahasa Bali Kuno: Hubungan Kekerabatannya dalam Rumpun Bahasa Melayu Forum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 95-104Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendeskripsikan beragam kata bilangan bahasa Bali Kuno yang terekam dalam jejak prasasti berbahasa Bali Kuno dan mengungkapkan hubungan kekerabatanya dalam jenjang kekerabatan Proto-Malayo Polynesian. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif ekploratif deskriptif. Kata bilangan dalam salinan prasasti berbahasa Bali Kuno dan kata bilangan pembanding dalam rumpun Proto-Austronesia dan Proto-Malayo Polinesian dikumpulkan dengan cara dokumentasi.Analisis data dilakukan dengan menguraikan setiap ekspresi nilai bilangan ke dalam morfem. Makna morfem, jika diketahui, dapat disimpulkan secara terpisah atau disimpulkan berdasarkan persamaan matematika sebagai bagian dari ekspresi nilai bilangan. Jejak kata bilangan bahasa Bali Kuno yang ditemukan dalam tinggalan prasasti berbahasa Bali Kuno adalah kata bilangan desimal utuh, kata bilangan inovasi leksikal yang tidak memiliki konsekuensi struktur tetapi memiliki keterkaitan dengan makna-makna budaya, dan kata bilangan tinggi.Bahasa Bali Kuno menyimpan jejak verbal dalam bentuk kata bilangan sebagai ekspresi budaya menghitung yang terbukti memiliki relasi kekerabatan dengan bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu Polinesia.

Kata kunci: jejak, kata bilangan, bahasa Bali Kuno.

DDC: 930.1Churmatin Nasoichah dan Mulyadi

Analisis Kontrastif Konstruksi Pasif Bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Jawa (Studi Kasus Prasasti Hariñjiŋ)Forum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 105-116Kalimat Pasif merupakan sebuah kalimat subjek menerima atau dikenai aksi. Terdapat dua bahasa yang juga memiliki bentuk kalimat pasif, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Jawa Kuna. Sebelum bahasa Jawa berkembang, telah dikenal adanya bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Kuna sebagai salah satu turunan dari bahasa Austronesia adalah bahasa yang mempunyai kesusastraan yang sangat tua. Dengan mengkaji Prasasti Hariñjiŋ A, B, C sebagai salah satu bukti adanya penggunaan bahasa Jawa Kuna, penelitian dilakukan dengan analisis kontrastif yaitu membandingkannya dengan bahasa Jawa. Adapun permasalahannya adalah bagaimanakah konstruksi pasif pada bahasa Jawa Kuna (studi kasus Prasasti Hariñjiŋ A, B, C) dan bahasa Jawa apabila dilihat dengan menggunakan analisis kontrastif? Adapun tujuannya untuk mendeskripsikan konstruksi pasif dalam bahasa Jawa Kuna (studi kasus pada Prasasti Hariñjiŋ A, B, C) dan bahasa Jawa serta membandingkan kedua pola kalimat tersebut. Metode penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif komparatif kontras yang bertujuan memberikan gambaran tentang bentuk kalimat pasif serta menemukan perbedaannya. Adapun kesimpulannya adalah konstruksi kalimat pasif dalam bahasa Jawa Kuna (dalam penulisan Prasasti Hariñjiŋ A, B, dan C) memiliki bentuk pasif transitif dan juga pasif intransitive yang sama dengan bahasa Jawa. Bentuk pasifnya ditandai dengan prefiks ka-, kombinasi afiks -in- -an, kombinasi afiks -in- -akan, kombinasi afiks ma- -akĕn, dan infiks -in-. Sedangkan bahasa Jawa hanya diketahui prefiks di-, konfiks di- -ni, dan konfiks di- -ne, atau dipun- -aken. Dapat disimpulkan juga bahwa kalimat penanda pasif bahasa Jawa bukan diturunkan dari bahasa Jawa Kuna melainkan mendapat pengaruh dari bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia.

Kata kunci: bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa, Prasasti Hariñjiŋ A, B, C, kalimat pasif, analisis kontrastif.

Page 10: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

ix

DDC: 930.1Nyoman Arisanti

Eksistensi Kampung Adat di Sumba TengahForum Arkeologi Vol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 117-132Tradisi megalitik di Sumba tidak terlepas dari komunitas adat yang melangsungkan tradisi marapu. Komunitas adat di Sumba Tengah hidup dalam suatu kawasan yang disebut kampung adat. Perkembangan globalisasi telah menyebabkan agama-agama modern masuk ke dalam tatanan masyarakat Sumba. Meskipun demikian, komunitas adat tetap eksis ditengah pergulatan modernitas yang cenderung mengikis kebudayan-kebudayaan lokal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana kampung adat menjadi penanda identitas budaya masyarakat Sumba. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui ideologi dibalik tetap eksisnya kampung adat dan faktor-faktor lain yang melatar belakangi eksistensi kampung adat di Sumba Tengah. Teori yang digunakan untuk mengkaji masalah penelitian ini adalah teori semiotika, teori ideologi, dan teori praktik yang digunakan secara eklektik. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dokumentasi, dan survei untuk membandingkan tradisi dan tinggalan budaya antar kampung adat. Teknik analisis data yang digunakan analisis kontekstual dan analisis komparatif. Identitas budaya masyarakat Sumba Tengah ditandai dengan rumah adat, ritual marapu, dan tradisi megalitik. Eksistensi kampung adat di Sumba Tengah didukung oleh ideologi marapu. Selain itu, perkembangan industri pariwisata Sumba Tengah telah menjadikan kampung adat sebagai objek wisata handalan, yang berperan dalam menjaga eksistensi komunitas di kampung adat. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Tengah, juga turut berperan dalam upaya pelestarian kampung adat dengan melakukan langkah-langkah pelestarian budaya. Cara komunitas adat mengatasi resistensi dan adaptasi terhadap perkembangan agama-agama modern menjadi kunci utama dalam menjaga eksistensi kampung adat di Sumba Tengah.

Kata kunci: eksistensi, kampung adat, identitas budaya, Sumba Tengah.

DDC: 930.1Yuni Suniarti; Mahirta; Sue O’Connor; dan Widya Nayati

Perilaku Konsumsi Kerang Oleh Masyarakat Pesisir Desa Halerman, Alor Barat Daya, Nusa Tenggara TimurForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 133-144

Pemanfaatan sumber daya akuatik telah dilakukan sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan. Sumber daya akuatik pada umumnya dieksploitasi oleh komunitas atau masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Salah satu daerah yang masih melakukan eksploitasi sumber daya akuatik yaitu Desa Halerman, Kabupaten Alor Barat Daya. Masyarakat yang bertempat tinggal di pesisir memanfaatkan sumber daya laut sebagai bahan pangan, salah satunya kerang-kerangan. Salah satu jenis kerang yang banyak dieksploitasi yaitu Haliotidae. Rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana perilaku konsumsi kerang masyarakat Desa Halerman. Tujuan Penelitian untuk mendokumentasikan perilaku konsumsi kerang masyarakat Desa Halerman. Metode penelitian yang digunakan berupa observasi partisipasi dan wawancara yang dilakukan kepada masyarakat pesisir Alor di Desa Halerman. Pemanfaatan kerang erat kaitannya dengan perilaku konsumsi masyarakat yang terdiri dari waktu pencarian kerang, cara pemilihan dan proses pengambilan, alat yang digunakan serta cara pengolahan kerang. Waktu pencarian kerang dilakukan meting surut (air laut surut) pada saat area intertidal terbuka. Jenis kerang yang dikonsumsi pada umumnya jenis kerang yang hidup di area low dan middle intertidal, akan tetapi salah satu jenis yang paling banyak dicari merupakan jenis kerang abalone (Haliotidae), alat yang digunakan untuk mencari kerang berupa besi, kayu, batu, keranjang dan ember. Cara pengolahan yang dilakukan dengan cara dicungkil, dibakar, direbus, dimasak bersama bumbu dan dipecahkan cangkangnya menggunakan batu atau alat keras lainnya. Pola pecah atau bekas pembakaran pada cangkang kerang dapat menjadi referensi untuk penelitian arkeologi yang berkaitan dengan pola kerusakan cangkang kerang pada deposit arkeologi.

Kata kunci: Pulau Alor, Perilaku konsumsi, kerang-kerangan, Haliotidae.

Page 11: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

x

FORUM ARKEOLOGI Volume 32, Number 2, Oktober 2019 ISSN: 0854-3232

These abstracts can be copied without permission and feeDDC: 930.1Dhanang Puspita; Andy S. Wibowo; dan Mohammad Ruly Fauzi

The Existence of Stenasellus sp. at Prehistoric Cave Habitation Site in Bukit Bulan Karstic Area, Sarolangun, JambiForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 63-74So far, there is no previous report on the existence of Stenasellidae in a prehistoric cave-site in Indonesia. For the very first time, information about the existence of this ancient shrimp in a prehistoric habitation-site yielded from multidisciplinary research at Mesiu Cave. Their existence is delightful to discuss because they are extremely vulnerable and only lives in a specific environment (i.e. stygobit). This article unravels the reason behind the survival of Stenasellidae at Mesiu Cave over a descriptive – explanatory approach. Our observation on the specimen shows its similarity to the typical characteristics of Stenasellus genera. Furthermore, description of their existing habitat shows a characteristic which is fundamentally contradicting to the regular location of prehistoric human activity in a cave site. More likely, this distinctive spatial use of the cave has enabled Stenasellus sp. to survive until the present day. Moreover, the discovery of this unique cavernicole also enhances the outstanding value of Mesiu Cave as a cultural heritage site.

Keywords: Stenasellus sp, Cave Habitation, Cavernicole, Karst, Bukit Bulan.

DDC: 930.1Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

The Identification and Meaning of Flora Relief on the Archaeological Remains to Western Slope of Mount LawuForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 75-94The holy building religious in the past founded in Indonesia equipped with various componens. One of the componens that to interesting for talking is relief. the temples is locatated in western slope Mount Lawu much to contain various kinds of relief, but this study want to identify the kind of type of flora that enshrined in the form of relief as well as looking for the functions and benefits. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative and contextual. This research managed to identify twelve the kinds of relief is coconut, jackfruit, eggplant, areca nut, durian, lotus, banyan tree, wine, plants spread, silk cotton tree, bulging, banana?. This flora reliefs carved in different places is in the housing, the grave, and the forest. The function showed is for beautify temple building, showed environment in the past, and function link to religious. The past peoples that lived in research site to using flora to the foods, medicine, and holy ritual.

Keywords: identify, flora, function, use, temple, relief.

Page 12: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

xi

DDC: 930.1I Ketut Paramarta; I.B. Putrayasa; dan I.B. Putra Manik Aryana

Traces of Numeral in Old Balinese Inscriptions: Their Genetic Relationship in the Malayo Polynesian FamilyForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 95-104The aims of this study is to describe a variety of old Balinese language numeral recorded in the footsteps of old Balinese inscriptions and expressing their kinship relationships in the level of Proto-Malayo Polynesian. This study used a qualitative-explorative-descriptive research design. Numeral in the copy of the old Balinese inscriptions and comparative number words in the Polynesian Proto-Austronesian and Proto-Malayo clumps were collected by documentation. Data analysis was done by describing each expression of the value of numbers into the morpheme. The trace of the old Balinese language numeral found in the remains of the old Balinese inscriptions were intact decimal number words, lexical innovation number words that related to cultural meanings, and high number words. Old Balinese language kept verbal traces in the form of number words as expressions of counting culture which were proven to have genetic relationship with languages in the Malayo Polynesian family.

Keywords: trace, numeral, Old Balinese.

DDC: 930.1Churmatin Nasoichah dan Mulyadi

Contrastive Analysis of Passive Construction of Java Kuna and Java Language (Case Study Prasasti Hariñjiŋ)Forum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 105-116Passive sentence is a sentence subject to accept or sub-ject to action. There are two languages which also have passive sentences, namely Javanese and Old Javanese. Before the Javanese language developed, it was known as Old Javanese. Old Javanese as one of the derivatives of Austronesian languages is a language that has very old literature. By studying the Hariñjiŋ A, B, C Inscriptions as one of the proofs of the use of Old Javanese language, the research was carried out with contrastive analysis, namely comparing it with Javanese. The problem is how do passive constructs in Old Javanese language (the case study of Hariñjiŋ A, B, CInscriptions) and Javanese when viewed using contrastive analysis? The purpose is to describe passive construction in Old Javanese (a case study on the Hariñjiŋ A, B, C Inscriptions) and Javanese inscriptions and compare the two sentence patterns. The method of this research is descriptive qualitative by us-ing a descriptive comparative contrast method which aims to provide an overview of passive sentences and find differences. The conclusions are that the construction of passive sentences in Old Javanese (in the writing of the Hariñjiŋ A, B and C Inscriptions) has a transitive pas-sive and intransitive passive form which is the same as Javanese. The passive form is indicated by a kiks prefix, a combination of affix-in, a combination of affixes, a com-bination of ma-affixes, and infix -in-. Whereas the Java-nese language is only known to be a prefix, di- -ni, and di-confix, or to be deunned. It can be concluded also that passive sentence Javanese is not derived from Old Java-nese but rather has an influence from Malay which is the forerunner of Indonesian.

Keywords: Old Javanese, Javanese, The Hariñjiŋ A, B, C Inscriptions, passive sentences, contrastive analysis.

Page 13: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

xii

DDC: 930.1Nyoman Arisanti

The Existence of Traditional Villages in Central SumbaForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 117-132This study aims to see how traditional villages become a marker of the cultural identity of the people of Central Sumba, and also to determine the ideology that exists within traditional villages, and other factors that also lies behind that. The theory used to examine this research problem are semiotic theory, ideological theory, and theory practices. Data collection techniques were carried out by interviews, observations, documentation, and surveys. Data analysis techniques used contextual analysis and comparative analysis. The cultural identity of the peoples of Central Sumba are characterized by traditional houses, rituals of marapu, and megalithic traditions. The existence of traditional villages in Central Sumba is motivated by the ideology of marapu. Besides that, the Regional Government of Central Sumba Regency also gives efforts to preserve traditional villages. The way the indigenous community overcomes resistance and adaptation are the main points in maintaining the existence of traditional villages.

Keywords: existence, traditional village, cultural identity, Central Sumba.

DDC: 930.1Yuni Suniarti; Mahirta; Sue O’Connor; dan Widya Nayati

Consumption Shellfish Behaviors by Shoreline Societies in Halerman Village, Southwest Alor, East Nusa TenggaraForum ArkeologiVol. 32, No. 2, Oktober 2019, Hal. 133-144Exploitation of aquatic resources has been carried out since the time of hunting and gathering food. Aquatic resources are generally exploited by communities or people living in coastal areas. One area that still exploits aquatic resources is Halerman Village, Alor Barat Daya Regency. People who live on the coast use marine resources as food, one of which is shellfish. The most shellfish that widely exploited is Haliotidae. Research question brought in this article is how shellfish consumption behavior of people in Halerman Village is. The purpose of this research is to record shellfish consumption behavior of people in Halerman Village. The research method used was in the form of observation and interviews regarding all stages of shellfish exploitation conducted by Alor coastal communities in Halerman Village. The use of shellfish is closely related to the consumption behaviors of the community which consists of the search for shellfish carried out during periods of low tide when the intertidal area is exposed. When collecting the shellfish, people use various equipment such as iron, wood, stone, baskets and buckets. The method of processing is done by gouging, burning, boiling, cooking with spices and breaking the shell using stones or other hard tools. Shellfish processing in archaeological assemblages can be demonstrated by the presence of breakage and/or burning patterns on the shell remains. These experimental and ethno-archaeological observations can be used as a reference for understanding the behaviour that resulted in the formation of shells in archaeological deposits.

Keywords: Alor Island, Consumption behavior, Shellfish, Haliotidae.

Page 14: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

75Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

IDENTIFIKASI DAN PEMAKNAAN RELIEF FLORA PADA TINGGALAN ARKEOLOGI DI LERENG BARAT GUNUNG LAWU

The Identification and Meaning of Flora Relief on the Archaeological Remains to Western Slope of Mount Lawu

Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari Universitas Udayana

Jl. Pulau Nias No. 13, Denpasar Email: [email protected]; [email protected]

Naskah diterima: 6-10-2019; direvisi: 09-09-2019; disetujui: 7-10-2019

Abstract The holy building religious in the past founded in Indonesia equipped with various componens. One of the componens that to interesting for talking is relief. the temples is locatated in western slope Mount Lawu much to contain various kinds of relief, but this study want to identify the kind of type of flora that enshrined in the form of relief as well as looking for the functions and benefits. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative and contextual. This research managed to identify twelve the kinds of relief is coconut, jackfruit, eggplant, areca nut, durian, lotus, banyan tree, wine, plants spread, silk cotton tree, bulging, banana?. This flora reliefs carved in different places is in the housing, the grave, and the forest. The function showed is for beautify temple building, showed environment in the past, and function link to religious. The past peoples that lived in research site to using flora to the foods, medicine, and holy ritual. Keywords: identify, flora, function, use, temple, relief.

AbstrakBangunan suci keagamaan masa lalu yang ditemukan di Indonesia dilengkapi dengan berbagai komponen. Salah satu komponen yang menarik untuk dibicarakan adalah relief. Candi-candi yang terletak di Lereng Barat Gunung Lawu mengandung berbagai jenis relief, namun studi ini lebih memfokuskan terhadap relief tumbuh-tumbuhan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi jenis-jenis flora yang diabadikan dalam bentuk relief serta menelusuri fungsi dan manfaatnya. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan ialah kualitatif dan kontekstual. Penelitian ini berhasil mengindentifikasi duabelas jenis flora yaitu kelapa, nangka, terung, pinang, durian, teratai, beringin, anggur, tumbuhan menjalar, randu, kepuh, dan pisang?. Relief-relief flora ini dipahatkan diberbagai lokasi baik di perumahan, kuburan, maupun hutan. Fungsi yang ditunjukkan adalah untuk memperindah bangunan candi, menunjukkan lingkungan masa lalu, dan fungsi dalam kaitan keagamaan. Masyarakat masa lalu yang hidup di situs penelitian memanfaatkan berbagai jenis flora untuk bahan makanan, obat-obatan, dan upakara. Kata kunci: identifikasi, flora, fungsi, manfaat, candi, relief.

PENDAHULUANKebudayaan India datang ke Indonesia

paling tidak sudah terjadi sekitar pertengahan abad kedua sebelum Masehi atau sekitar 2150 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan beberapa temuan gerabah yang diprediksi

berasal dari India Selatan. Salah satu indikasi gerabah tersebut berasal dari India Selatan adalah adanya hiasan rolet khas dari Arikamedu (India Selatan). Gerabah tipe arikamedu ditemukan di situs Sembiran, Pacung, Buni, dan Batu Jaya (Ferdinandus 2003, 18; Ardika et

Page 15: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

76 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

al. 2013, 50-52; Calo et al. 2015, 383; Ardika et al. 2017, 36-37). Bukti lain yang mengindikasi kontak Indonesia dengan India pada masa-masa awal Masehi adalah temuan manik-manik kaca dan karnelian, lempengan daun emas penutup mata untuk orang mati (Ardika et al. 2017, 38). Hubungan India dengan Indonesia nampaknya terus berlanjut hingga masa-masa selanjutnya. Arca bergaya seni Amarawati yang berkembang sekitar abad 2 hingga 5 Masehi juga ditemukan di Indonesia yaitu arca Buddha yang terbuat dari perunggu di Sulawesi, arca Buddha dari Jember, dan arca Buddha dari Bukit Siguntang. Sekitar abad 5 Masehi berdirilah kerajaan paling awal di Indonesia, Tarumanegara di Jawa Barat dan Kutai di wilayah Kalimantan Timur. Hingga akhirnya muncul kerajaan-kerajaan baru yang mewarnai sejarah kebudayaan di Nusantara. Kerajaan tersebut diantaranya Sriwijaya (abad 6-9 Masehi), Mataram Kuna (abad 8-10 Masehi), Mataram Jawa Timur (abad 10-11 Masehi), Kadiri (abad 11-13 Masehi), Singhasari (abad 13 Masehi), dan terakhir Majapahit (abad 13 – 15 Masehi).

Kerajaan-kerajaan tersebut di atas berkembang secara silih berganti melampaui abad demi abad yang banyak meninggalkan jejak, namun ada pula yang sedikit saja mempunyai peninggalan arkeologis. Temuan-temuan arkeologis yang dijumpai hingga sekarang kebanyakan berkaitan dengan bekas kegiatan keagamaan, seperti halnya bangunan candi, gua pertapaan, patirthan (pemandian suci), punden berundak, dan lain sebagainya.

Bangunan-bangunan keagamaan sebagaimana disebutkan di atas sudah barang tentu dibangun oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Berdasarkan data kitab Manasa-Silpasastra terdapat enam macam orang/kelompok yang berperan dalam pembangunan kuil, candi, atau bangunan keagamaan lainnya, yaitu 1) yajamana adalah orang yang mempunyai gagasan dan seorang penaja, raja, atau tokoh lainnya, 2) sthapaka yaitu pendeta senior yang mahir dalam ilmu bangunan suci, 3) sthapaki adalah arsitek perencana, 4)

sutragrahin yaitu ahli perhitungan teknis, 5) taksaka adalah ahli pahat relief maupun arca, dan 6) wardhakin yaitu ahli hiasan arsitektural atau ornamental (Munandar 2015, 140). Ahli-ahli ini sangat mungkin memahami betul ilmu bangunan suci untuk memuja dewa. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila bangunan suci yang mereka dirikan pada masa silam tetap memancarkan keindahan dan berbagai keunggulan hingga sekarang sekalipun bangunannya sudah tidak lengkap lagi. Komponen-komponen yang memperindah bangunan keagamaan tersebut salah satunya adalah relief-relief yang menyertainya.

Relief- relief yang tertera pada bangunan suci tentunya mengandung arti tertentu. Menurut tujuan penggambaranya, relief dapat dibedakan menjadi dua yakni relief cerita (naratif) dan relief non-cerita. Relief jenis pertama merupakan visualisasasi dari sebuah cerita tertentu. Sebagai contoh relief Ramayana yang dipahatkan di Candi Siwa yang terus menyambung ke Candi Brahma, Prambanan. Relief jenis ini sangat mungkin dimaksudkan untuk menyampaikan pesan simbolik secara naratif. Relief jenis kedua merupakan bentuk penggambaran yang tidak memiliki rangkaian cerita tertentu. Misalnya tumbuhan, garis-garis lengkung, deretan lidah api, dan sebagainya. Relief jenis ini lebih menekankan pada penyampaian pesan secara simbolik. Namun dalam kenyataannya hadirnya dua jenis relief tersebut seringkali tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, sehingga lebih mudah memahami maknanya apabila keduanya dikemukakan sebagai satu kesatuan (Rahardjo 2011, 228; Istari 2015, 3-4; Munandar 2011, 195-196).

Munandar (2011, 175) telah menggelompokkan ciri-ciri relief cerita ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Klasik Tua yang umumnya berkembang pada bangunan keagamaan yang dibangun ketika kerajaan berpusat di Jawa Tengah abad ke 8–10 Masehi. Selanjutnya kelompok Klasik Muda yaitu relief yang dipahat pada bangunan

Page 16: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

77Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

keagamaan ketika kerajaan berpusat di Jawa Timur abad ke 11-15 Masehi.

Sementara itu berdasarkan bentuknya, relief dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, 1) relief manusia yaitu motif-motif yang menampilkan bentuk manusia secara utuh maupun bentuk-bentuk lain yang bersumber pada bagian tubuh manusia, 2) relief binatang adalah motif hias yang menampilkan bentuk yang bersumber pada binatang, 3) relief tumbuhan adalah motif hias yang bersumberkan pada bentuk tumbuhan baik bentuk naturalis maupun stilisasi, 4) relief ilmu ukur (geometris) adalah motif yang terdiri atas garis lurus, garis lengkung, dan campuran antara keduanya, 5) relief lain yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kelompok di atas (Hoop dalam Amertaningsih 2008, 4 ).

Pengelompokan tetumbuhan ke dalam flora biasanya didasarkan pada wilayah, periode, lingkungan tertentu, atau iklim. Wilayah-wilayah yang berbeda secara geografis, misalnya pegunungan dibandingkan dataran akan memiliki jenis flora yang berbeda. Perbedaan jenis flora di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni iklim, jenis tanah, relief atau tinggi rendahnya permukaan bumi, dan biotik (pengaruh makhluk hidup). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Yofani (2010) terhadap bangunan candi pada abad 14 Masehi di Jawa Timur telah mengidentifikasi 21 relief tumbuhan. Sebagai contoh Aren, Pinang, Kelapa, Pisang, dan Pandan. Tumbuhan-tumbuhan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Kuno saat itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti halnya sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan bahan kerajinan. Sementara kajian atas prasasti pada Masa Bali Kuno dilakukan oleh Sumiartini et al. (2017) yang telah berhasil menelusuri 45 jenis flora yang dimanfaatkan oleh masyarakat Bali Kuno. Sebagai contoh Kacang Hijau, Bawang Merah, Cabai, Jeruk, dan Kemiri. Berbagai jenis flora tersebut dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat-obatan, sebagai sarana

upakara, bahan kerajinan, bahan bangunan, perlindungan lingkungan, sarana hukuman, dan sarana penulisan lontar.

Studi ini dilakukan di kawasan Gunung Lawu yang merupakan pegunungan vulkanik tua yang sudah tidak aktif. Secara geografis terletak pada posisi sekitar 111o15’ BT dan 7o30 LS dan meliputi areal seluas sekitar 15.000 hektare. Secara administratif lereng barat terletak di Provinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Wonogiri, sedangkan lereng timur terletak di Provinsi Jawa Timur, meliputi Kabupaten Ngawi dan Magetan. Gunung ini memanjang dari utara ke selatan, dipisahkan jalan raya penghubung Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Topografi bagian utara berbentuk kerucut dengan puncak Argo Dumilah setinggi 3.265 meter di atas permukaan air laut, sedangkan bagian selatan sangat kompleks terdiri dari bukit-bukit bertebing curam, dengan puncak Jobolarangan setinggi 2.298 meter di atas permukaan air laut (Setyawan dan Sugiyarto 2001, 115).

Situs-situs arkeologi yang terletak di Lereng Barat Gunung Lawu antara lain adalah Candi Kethek, Cetho, Sukuh, Planggatan, Cemoro Bulus, dan Menggung. Dari sekian situs-situs ini nantinya akan dicari dan dipilah yang mengandung relief-relief berjenis flora. Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1) apa saja jenis flora yang dipahatkan pada relief tinggalan arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu ?, 2) bagaimana manfaatnya bagi masyarakat pendukung saat itu ?. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui beragam jenis flora dan pemanfaatannya. Kemudian tujuan umum yang hendak dicapai adalah untuk melengkapi perekontruksian sejarah kuno yang berada di wilayah Kabupaten Karanganyar.

METODEMetode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah observasi, dilakukan dengan cara mengamati langsung situs-situs arkeologi yang terletak di Lereng Barat Gunung Lawu (gambar

Page 17: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

78 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

1) pada bulan Januari hingga Februari 2017, diikuti dengan pengambilan gambar relief-relief di setiap situs dan melakukan pencatatan-pencatan hal-hal yang terkait dengan objek yang menjadi objek kajian. Sementara itu studi pustaka dilakukan dengan cara mencari atau memahami konsep dan teori dari berbagai sumber. Sumber-sumber itu berupa buku, majalah, laporan ilmiah, skripsi, tesis, artikel, makalah, laporan penelitian maupun bentuk publikasi lainnya, sehingga dapat menunjang dalam penyelesaian penelitian ini.

Lawu khususnya di Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah tahun 2012 tercatat Benda Cagar Budaya (BCB) tak bergerak sejumlah 37 situs arkeologi (Purwanto 2017a, 37). Situs yang menjadi objek penelitian ini semuanya terletak di Kabupaten Karanganyar yaitu Candi Kethek, Cetho, Sukuh, Planggatan, Cemoro Bulus, dan Menggung. Menurut berbagai hasil penelitian bahwa tinggalan arkeologi tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya, yang dibangun pada masa Majapahit akhir sekitar abad 14 – 15 Masehi (Atmodjo 1983, 331; Purwanto 2017b, 6). Lebih lanjut dalam kajian Purwanto (2017b) memberikan kesimpulan bahwa situs-situs ini merupakan tempat bermukimnya kaum rsi dan pertapa yang sengaja mengundurkan diri dari hiruk pikuk keduniawian. Mereka mencari tempat-tempat yang jauh dari keramaian seperti halnya lereng gunung, bukit-bukit, gua, maupun di tepi sungai.

Relief-relief yang dipahatkan pada situs penelitian cukup beragam, yakni dari bentuk manusia, binatang, tumbuhan, dan geometris. Bentuk figur manusia selalu digambarkan mengarah ke samping (enprofile) dan dalam keadaan yang kaku cenderung mirip dengan wayang kulit. Relief naratif sifatnya hanya fragmentaris tidak secara lengkap dipahatkan dan hanya episode tertentu yang dianggap cukup mewakili dari suatu cerita lengkap. Relief seperti itu disebut dengan relief pandu yang berasal dari istilah leitmotiv. Relief dengan penggambaran adegan tertentu dapat dijadikan pegangan atau patokan ketika seorang peneliti hendak mengetahui cerita apa yang dipahatkan (Munandar 2011, 197). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa relief-relief yang dipahatkan pada tinggalan arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu memiliki gaya relief klasik muda. Berdasarkan penelusuran di lapangan terdapat duabelas relief berjenis flora yaitu kelapa, nangka, terung, pinang, durian, teratai, beringin, anggur, tumbuhan menjalar, randu, kepuh, dan pisang ?. Ada satu relief yang tidak dapat teridentifikasi jenisnya karena

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Gunung Lawu pada dot merah.

(sumber: www.maps.google.com 2017)

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalan kualitatif dan kontekstual. Analisis kualitatif adalah pembabaran data yang bersifat deskriptif, artinya diuraikan dalam bentuk kalimat-kalimat atau pernyataan. Data yang berasal dari lapangan akan digabungkan dan direduksi kembali, kemudian ditunjang dengan berbagai sumber-sumber tertulis yang sudah didapatkan. Data relief yang sudah didapatkan lebih lanjut akan diidentifikasi atau ditafsirkan berkenaan jenis floranya, kemudian dijelaskan dengan mengunakan sumber-sumber tertulis yang relevan. Selanjutnya dilakukan analisis kontekstual, yaitu analisis yang menekankan pada sebuah hubungan antar data, baik data berupa artefaktual maupun fitur. Analisis ini digunakan untuk memecahkan masalah yang berkenaan dengan manfaat dari jenis-jenis flora yang telah teridentifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Jenis Flora

Hingga sekarang tinggalan arkeologi banyak ditemukan pada sisi Lereng Barat Gunung

Page 18: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

79Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

memang penggambaran relief kurang jelas. Lebih jelasnya satu-persatu akan dijelaskan dalam sub bab di bawah ini.

Kelapa (Cocos Nucifera)Identifikasi relief flora berjenis kelapa

ditemukan di beberapa panil yang ditemukan di Candi Cetho dan Sukuh. Di candi cetho terdapat tiga relief kelapa. Relief kelapa pertama (lihat gambar 2) dipahatkan dalam sebuah panil yang berukuran tinggi 34 cm, panjang 70 cm, dan tebal 14 cm. Relief kelapa dipahat secara utuh dengan enam lembar daun yang sudah mekar ditambah daun yang masih kuncup menjulang ke atas. Batang pohon digambarkan beruas-ruas sementara buah kelapanya nampak bergelayutan. Tiga tokoh manusia digambarkan berperut gendut, badan pendek, sehingga terlihat tambun dan digambarkan menghadap ke samping (enprofile). Perawakan yang ditunjukkan ketiga tokoh tersebut mencirikan tokoh punakawan, yaitu seorang pengiring atau pembantu.

Relief kelapa kedua di Candi Cetho dipahat dalam sebuah panil yang berukuran tinggi 35 cm, panjang 48 cm, dan tebal 17 cm. Relief kelapa digambarkan di tengah-tengah tiga orang, dua orang sebelah kanan dan satu orang sebelah kiri. Relief kelapa digambarkan dengan sedikit bengkok pada bagian batang. Mempunyai lima lembar daun yang sedang mekar dengan buahnya yang nampak bergelantung. Dua orang sebelah kanan relief kelapa menampakkan ciri-ciri seorang wanita. Salah satu tokoh wanita yang letaknya lebih dekat dengan relief kelapa nampaknya membawa sebuah benda

berbentuk ular mahkota. Tokoh sebelah kiri relef kelapa digambarkan menghadap ke kedua tokoh wanita dengan tangan tengadah. Apabila memang benar panil relief ini merupakan salah satu adegan dari kisah Sudamala, maka dapat dipastikan bahwa tokoh disebelah kiri relief kelapa adalah Sadewa, sementara dua tokoh wanita tersebut sangat mungkin anak dari Rsi Tambapetra. Adengan ini bercerita setelah Sadewa membebaskan Dewi Uma dari kutukan, ia juga menyembuhkan penyakit Rsi Tambapetra. Sebagai imbalannya kedua anak rsi tersebut diperbolehkan untuk menikah dengan Sadewa dan kembarannya Nakula (Duijker 2010, 171-172). Relief kelapa ketiga dipahatkan dalam panil yang berukuran berukuran tinggi 35 cm, panjang 35 cm, dan tebal 19 cm. Relief kelapa digambarkan ditanam dalam sebuah pot berbentuk kotak, mempunyai enam daun dan buahnya sejumlah dua bonggol.

Di Candi Sukuh terdapat tujuh pahatan relief kelapa. Relief kelapa pertama (gambar 3) terpahat dalam punggung arca Garudeya yang digambarkan buahnya saja sejumlah 5 biji, relief dua buah kelapa dalam keadaan aus sementara ketiga lainnya masih dalam keadaan cukup baik. Relief buah kelapa ini digambarkan terpikul bersama duah buah terong dan pada bagian sebelah terdapat buah nangka dalam keadaan terbungkus serta sayuran yang belum dapat dipastikan jenisnya. Relief kelapa kedua dipahatkan dalam sebuah panil berukuran tinggi 98 cm, panjang 119 cm, dan tebal 14 cm. Adengan dalam panil ini merupakan penggalan dari cerita Sudamala. Relief kelapa dipahat dalam keadaan utuh, batang digambarkan

Gambar 2. Relief Kelapa di Candi Cetho.(Sumber: Dokumen pribadi 2017)

Page 19: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

80 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

beruas-ruas semakin ke atas semakin mengecil, mempunyai 6 daun yang sudah mekar dan pada bagian atas terdapat daun yang masih kuncup, serta buah-buah tampak bergelayut. Punakawan sebelah kiri kelapa memakai kain bercorak garis-garis hingga pinggang, kedua kaki dilipat ke belakang (mentimpuh), dan kedua tangan dicakupkan (menyembah) denga rambut dikucir. Sadewa juga digambarkan dalam keadaan menyembah Dewa Siwa dalam sikap berdiri di atas sebuah lapik menghadap ke arah Sadewa.

Relief kelapa ketiga dipahatkan dalam sebuah panil berukuran tinggi 106 cm, panjang 156 cm, dan tebal 20 cm. Panil ini merupakan penggalan cerita Sudamala ketika Ra nini telah berhasil dibebaskan dari kutukannya. Relief kelapa memiliki enam daun yang sudah

mekar dengan kuncup daun berada di bagian atas pohon. Batang beruas-ruas dengan buah kelapa bergelantungan. Relief kelapa keempat (gambar 4) dipahatkan dalam salah satu tiang yang terletak di teras ketiga sebelah barat panggung selatan. Relief kelapa relatif utuh walaupun buahnya sudah tidak terlihat lagi karena sudah rusak. Selain itu dipahatkan pula pohon kalpataru (beringin) dan seorang tokoh sedang duduk.

Relief kelapa kelima dipahatkan di sebuah tiang yang terletak di obelisk utara (gambar 4). Relief dipahatkan dengan enam daun yang sudah mekar dan kuncup daun pada bagian atas. Relief kelapa dipahatkan dengan seorang tokoh rsi perempuan. Relief kelapa keenam dan ketujuh dipahatkan dalam dinding obelisk utara yang masih mengisahkan

Gambar 3. Relief Kelapa, Terung, Sayuran Tidak Teridentifikasi, Nangka, Pinang di Candi Sukuh. (Sumber: Dokumen pribadi 2017)

Gambar 4. Relief Beringin, Kelapa, Durian, Pinang di Candi Sukuh. (Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

Page 20: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

81Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

tentang cerita Sudamala (gambar 4). Panil ini mengambarkan adengan peperangan Raksasa Kalanjaya dan Kalantaka melawan Nakula dan Sadewa. Di akhir peperangan, kedua raksasa dapat dikalahkan oleh Sadewa. Pada dinding panil dapat dilihat Nakula dan Sadewa tengah berbincang selepas peperangan, juga terlihat dua tubuh yang terbujur, yaitu tubuh Kalanjaya dan Kalantaka yang di atasnya terlihat dua punakawan. Penempatan relief kelapa ditempatkan berbeda yang satu di dalam sebuah bangunan perumahan, dan yang satu di luar bangunan perumahan. Relief kelapa di luar perumahan digambarkan bersama-sama dengan pohon pinang dan durian. Sementara relief kelapa yang berada di dalam perumahan diletakkan dekat dengan bangunan panggung.

Nangka (Artocarpus Herphyllus)Identifikasi relief flora berjenis nangka

ditemukan di pahatan relief Candi Sukuh. Pada punggung Arca Garuda memikul sayuran yang salah satunya menunjukkan karakter buah nangka. Karakternya adalah buahnya digambarkan berduri-duri dengan jarak rapat, buah nangka ini terbungkus. Kemungkinan bungkusnya adalah daun pisang, memang kenyataan sekarang ketika orang memetik nangka biasanya dibungkus dengan daun pisang agar getahnya tidak menempel ke bagian tubuh orang yang membawanya. Relief nangka tersebut dipikul bersama sayuran yang belum dapat dipastikan jenisnya dan diletakkan pada bagian pundak kanan Arca Garuda. Relief nangka berikutnya ditemukan pada sebuah panil yang ditunjukkan pada gambar 3 yang telah dijelaskan sebelumnya. Nangka dipahatkan di

antara Sadewa dan Punakawan. Dipahatkan dengan kokoh menjulang ke atas, dedauanan yang tampak rimbun. Pada bagian belakang rumah panggung beratap satu, menurut hemat penulis daun yang terlihat kemungkinan juga menggambarkan relief flora berjenis nangka. Hal ini didasarkan atas kemiripan daunnya.

Terung (Solanum Melongen)Identifikasi relief flora berjenis terung

didapatkan dari relief yang dipikul oleh Arca Garuda bersama dengan lima buah kelapa. Terung dipahatkan sebanyak dua biji digambarkan bulat lonjong. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terung yang dipahatkan berjenis terung panjang. Dengan begitu kemungkinan warna terung adalah unggu ketika sudah tua siap panen.

Pinang (Areca Cathechu) Identifikasi relief flora berjenis pinang

ditemukan di beberapa panil di Candi Sukuh. Relief pinang pertama dipahatkan di sebuah panil berukuran tinggi 92 cm, panjang 139 cm, dan tebal 21 cm (gambar 5). Panil relief ini merupakan penggalan cerita dari Sudamala ketika Sadewa diikat di kuburan. Relief pinang berada di tengah-tengah dinding panil tepatnya di depan Ra nini. Dipahat dengan empat daun yang sudah mekar dan daun kuncup menjulang ke atas. Buahnya dipahatkan sejumlah dua bonggol.

Relief pinang kedua dipahatkan dalam sebuah panil pada gambar 3 (pada saat sadewa sudah meruwat ranini) yang telah dijelaskan di atas baik cerita dan tokohnya. Relief pinang dipahat dengan enam daun yang sudah mekar

Gambar 5. Relief Kepuh, Pinang, Randu di Candi Sukuh. (Sumber: Dokumen pribadi 2017)

Page 21: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

82 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

dan daun yang masih kuncup menjulang ke atas. Buahnya dipahat sejumlah dua bonggol. Relief pinang ketiga dipahat dalam sebuah panil berukuran tinggi 94, panjang 35 cm, dan tebal 18 cm (lihat gambar 5). Relief pinang dipahat dengan empat daun yang sudah mekar dan daun kuncup menjulang ke atas. Relief pinang keempat, kelima, dan keenam sama-sama dipahatkan di obelisk sebelah utara yang masih penggalan dari cerita Sudamala (lihat gambar 4) pada saat Sadewa dan Nakula telah memenangkan pertempuran dengan raksasa. Relief pinang keempat dan kelima dipahat diluar bangunan perumahan, sementara relief pinang keenam terletak didalam bangunan. Ketiga relief pinang tersebut dipahat secara utuh baik dari batang, buah, pelepah, dan daun.

Durian (Durio Zibethinus) Identifikasi relief flora berjenis durian

terpahat di dinding obelisk utara yang merupakan penggalan cerita Sudamala sebagaimana dijelaskan sebelumnya (lihat gambar 4). Relief durian dipahat di tengah-tengah relief pinang yang digambarkan lebih pendek. Terlihat relief durian tersebut digambarkan secara utuh baik batang hingga daun yang begitu rimbun, serta buahnya yang tumbuh dari cabang-cabang pohon. Terdapat relief pohon di dalam bangunan perumahan, namun hanya terlihat daunnya saja. Mempertimbangkan dedaunan tersebut mirip dengan relief durian maka mungkin saja relief yang dipahat adalan relief durian.

Teratai (Nymphaea)Identifikasi relief flora berjenis teratai

ditemukan di Candi Sukuh dan Rumah Arca.

Relief teratai di Candi Sukuh terpahat di dinding bangunan induk (lihat gambar 6). Dasar bentuk relief teratai ini berupa lingkaran (medallion) sebagai pembatas teratai yang satu dengan yang lainnya. Di dalam lingkaran tersebut dipahat kelopak-kelopak bunga teratai yang sudah mekar dan bonggol pada bagian tengah. Sementara relief teratai yang ditemukan di Rumah Arca dipahat sebagai tempat berdirinya arca, namun arca yang di atasnya sudah tidak ada lagi yang tersisa hanya bagian kakinya saja. Relief teratai dipahat dengan empat kelopak bunga mekar. Terdapat tiga jenis teratai yang sering dipahatkan pada tinggalan purbakala yaitu teratai putih (Nymphaea lotus) atau kumuda, teratai biru (Nymphaea stellata) atau utpala, dan teratai merah (Nelumbius speciosum) atau padma (Istari 2015, 5-6; Van der Hoop dalam Bawono dan Zuraidah 2016, 3).

Beringin (Ficus Benjamina) Indentifikasi relief flora berjenis

beringin ditemukan di Candi Cetho, Sukuh, dan Planggatan. Pohon kalpataru merupakan pohon mitos yang berada di dunia para dewa, namun banyak ahli yang menyatakan bahwa pohon ini dapat diidentifikasi sebagai pohon beringin karena mempuyai kemiripian baik dari segi bentuk maupun nilai religiusnya. Untuk itu relief kalpataru yang ditemukan di objek penelitian dimasukkan dalam flora berjenis beringin. Relief beringin pertama di Candi Cetho terpahat dalam sebuah panil yang berukuran tinggi 30 cm, panjang 45 cm, dan tebal 15 cm (lihat gambar 7). Dalam panil ini terdapat tokoh yang membawa cakra yang mungkin simbol dari keberadaan Dewa Wisnu (Purwanto 2017a, 40-41) dan tokoh sedang mengantung (kaki di atas). Relief beringin dipahat diantara kedua tokoh tersebut dengan dua tunas di bawahnya. Relief kedua dipahat dalam panil yang berukuran tinggi 36 cm, panjang 65, dan tebal 15 cm (lihat gambar 7). Dalam panil ini terdapat dua tokoh punakawan dan seorang tokoh berhias supit urang sedang

Gambar 6. Relief Teratai di Bangunan Induk Candi Sukuh dan Rumah Arca.

(Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

Page 22: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

83Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

duduk santai. Relief beringin digambarkan di atas relief tokoh yang sedang duduk tersebut. Dipahat dengan daun yang cukup rimbun.

Di Candi Sukuh terdapat lima relief beringin. Relief beringin pertama di pahat di dinding bangunan yang dinamakan Kyai Sukuh pada sisi selatan (lihat gambar 8). Relief beringin tersisa hanya daunnya saja, batang sudah tidak ada lagi. Relief beringin kedua (lihat gambar 8) dipahat pada bagian depan bangunan Kyai Sukuh. Dipahat secara utuh mulai dari batang hinga daunnya. Relief beringin ketiga (lihat gambar 4) dipahatkan disalah satu tiang yang terletak di teras tiga sebelah barat panggung selatan. Relief beringin digambarkan di atas tokoh yang sedang duduk berbentuk meruncing (semakin ke atas semakin mengencil). Relief beringin keempat (lihat gambar 8) dan kelima (lihat gambar 4) dipahat pada dinding obelisk utara. Menarik perhatian

adalah relief beringin dilengkapi dengan seekor kadal yang sedang memanjat diantara daun-daun pohon. Relief beringin kelima dipahat di dalam perumahan dekat rumah panggung. Dua buah relief beringin di Candi Planggatan terpahat dalam sebuah panil berukuran tinggi 38 cm, panjang 85 cm, dan tebal 39 cm (lihat gambar 8). Panil relief ini menggambarkan tentang cerita Panji yang sangat mungkin dalam persiapan perang (Purwanto dan Titasari 2018b, 63-64; Munandar 2018, 15-16). Relief beringin dipahat pada bagian pinggir relief berdekatan dengan perumahan.

Anggur (Vitis Vinivera)Interpretasi relief flora diidentifikasikan

sebagai anggur ditemukan disalah satu panil relief Candi Cetho yang berukuran tinggi 34 cm, panjang 74 cm, dan tebal 16 cm (lihat gambar 9).

Gambar 7. Relief Beringin di Bangunan Candi Cetho.(Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

Gambar 8. Relief Beringin di Candi Sukuh dan Planggatan.(Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

Gambar 9. Relief Anggur di Candi Cetho.(Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

Page 23: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

84 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

Anggur dipahat pada bagian pinggir, tepatnya dibelakang hewan (kemungkinan babi hutan) dan di atas relief gajah. Terdapat punakawan dan seorang tokoh sedang menyembah tokoh berdiri. Apabila panil relief ini merupakan penggalan dari cerita Sudamala maka dapat dipastikan tokoh yang berdiri adalah Dewa Siwa, sementara tokoh menyembah memakai hiasan supit urang tiada lain adalah Sadewa. Relief anggur hanya dipahat buahnya saja sebanyak dua bonggol dan terlihat bulatan-bulatan kecil yang mengerombol.

Tumbuhan Menjalar Pada objek penelitian terdapat relief-

relief yang digambarkan berupa sulur-suluran bergelombang dengan berbagai bentuk. Sulur-suluran ini mungkin saja bagian dari tumbuhan-tumbuhan tertentu yang diubah sesuai keinginan pembuatnya. Namun dalam hal ini penulis mengidentifikasikan bentuk suluran tersebut sebagai tumbuhan menjalar. Mengingat banyaknya jenis tumbuhan menjalar maka tidak memungkinkan bahasan ini sampai pada jenis-jenisnya, hal ini dapat dimaklumi bahwa gambaran relief sulur-suluran yang terpahat sangat sulit diidentifikasi. Di teras kedua Candi Kethek terdapat relief berupa untaian garis melengkung ke dalam pada kedua sisi dan terbingkai oleh garis yang bertemu menyerupai mahkota (lihat gambar 10) (Purwanto et al. 2017, 106). Di Candi Cetho terdapat dua buah antefik yang terletak di teras IX (lihat gambar 10). Antefik ini pada bagian sisi-sisinya dihiasi

Gambar 10. Relief Tumbuhan Menjalar di Candi Kethek, Cetho, Sukuh, dan Menggung.(Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

dengan sulur-suluran melengkung ke dalam. Hiasan sulur-suluran di Candi Sukuh terdapat pada relief tapal kuda yang mengambarkan tokoh Dewa Siwa. Di Candi Menggung relief suluran dipahatkan di salah satu antefik. Hiasan suluran dipahat pada bagian pinggir-pinggir antefik.

Randu (Gossypylum Javanicum)Identifikasi flora berjenis randu ditemukan

di Candi Sukuh. Pada salah satu panil yang telah dijelaskan di atas (lihat gambar 5) terdapat randu yang digunakan mengikat Sadewa. Interpretasi relief tersebut sebagai randu didapatkan dari teks Sudamala, kutipannya sebagai berikut:

Sadewa hucapen mangke, sinangkala ring setra, cinangcang sira ring rangdu mangko, pun smar hatunggu hajaga, aranrehku kadi mangke (I.99)

Terjemahan ke dalam Bahasa IndonesiaSekarang Sadewa diceritakan. Ia mengalami gangguan di Setra, diikat pada pohon randu. Semarlah yang menunggu. Ia menjaga. Semar bertanya kepada diri sendiri: “nah apa dayaku kini mengalami peristiwa seperti sekarang ini ?” (Padmapuspita 1972, 76-81). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa

tempat kejadian dalam panil tersebut adalah di sebuah kuburan (setra). Sementara punakawan yang dipahatkan adalah Semar.

Page 24: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

85Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

Relief randu juga dipahatkan di bangunan obelisk utara tepatnya di atas relief tapal kuda. Relief randu dipahat sejumlah lima buah ditata secara berderet ( lihat gambar 11). Di atas relief randu terdapat relief burung merak dan sebuah bangunan tertutup yang diapit oleh dua dinding pada kedua sisi luarnya. Pada dinding utara dilengkapi dengan senjata cakra dan trisula, sementara dinding selatan dilengkapi dengan ujung-ujung tombak. Di bawah relief randu

Gambar 11. Relief Randu di Candi Sukuh.(Sumber: Dokumen Pribadi 2017)

Sukuh yang merupakan penggalan dari kisah Sudamala (lihat gambar 5). Interpretasi sebagai tanaman kepuh didapatkan dari naskah Kidung Sumadala, kutipannya sebagai berikut.

“ring kepuh rangdunga mangke, rarawenya rumembya,...(II.4)”Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia“di atas pohon kepuh dan pohon randu tumbuh-tumbuhan berbisa merumbai...” (Padmapuspita tanpa tahun, 76-81).Relief kepuh yang dipahatkan pada

panil tersebut hanya digambarkan pada bagian daunnya saja, karena memang bagian batang ke bawah tertutupi oleh bangunan rumah panggung.

Pisang (Musa Paradisiaca)Interpretasi flora berjenis pisang

didapatkan dari Arca Garudeya di Candi Sukuh yang memikul buah nangka dan sayuran (lihat gambar 2). Buah nangka dan sayuran tersebut dalam keadaan terbungkus, yang jadi pembungkusnya kemungkinan daun pisang. Oleh karena itu, daun pisang ini dapat mengindikasikan adanya pohon pisang yang tidak tertuang dalam bentuk pahatan relief.

Flora yang Tidak Teridentifikasi JenisnyaFlora yang belum dapat teridentifikasi

jenisnya terdapat pada salah satu yang dipikul oleh Arca Garudeya di Candi Sukuh. Letaknya di bagian pundak sebelah kanan bersama dengan buah nangka. Flora tersebut dibungkus oleh daun pisang yang terlihat bagian bawahnya berupa garis-garis. Mungkin salah satu jenis sayuran yang sangat sulit diidentifikasi.

Gambaran Lokasi Berdasarkan Penggambaran Relief Flora Perumahan

Kompleks bangunan-bangunan suci (sekitar XV Masehi) yang berada di Lereng Barat Gunung Lawu ini merupakan bangunan yang diperuntukkan bagi kaum rsi dan pertapa (Purwanto 2017b, 91-95; Purwanto 2017c, 71-75; Purwanto dan Titasari 2017, 101-105;

terdapat lima tokoh manusia, kedua tokoh nampak memakai sorban sebagaimana seorang pertapa sedangkan ketiga tokoh belum dapat dipastikan identitasnya. Masih pada bangunan obelisk, namun sisi selatan juga terdapat relief randu (lihat gambar 11). Terdapat empat ruas (dari atas ke bawah), ruas pertama terdapat dua relief randu yang diletakan pada pinggir-pinggir ruas. Ruas kedua tidak ditemukan pahatan relief randu. Ruas ketiga terdapat satu relief randu yang digunakan untuk gantungan oleh seorang tokoh. Ruas keempat digambarkan sejumlah lima relief randu dan beberapa hewan yang sedang berdiri. Ruas keempat seorang tokoh pertapa dan seekor burung yang sedang terbang.

Kepuh (Sterculia Foetida)Identifikasi flora berjenis kepuh

didapatkan pada salah satu panil relief di Candi

Page 25: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

86 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

Purwanto et al. 2017, 110; Purwanto dan Titasari 2018b, 67). Bangunan semacam ini sering disebut dengan karsyan. Namun jenis karysan yang dibangun di Lereng Barat Gunung Lawu adalah mandala kadewaguruan. Karsyan jenis ini merupakan sebuah pemukiman kaum rsi dan pertapa (wanasrama), yang digunakan sebagai tempat pendidikan agama (Munandar 1990, 340; Santiko 2005, 117-122). Dalam kampung rsi tersebut dibangunlah rumah-rumah sebagai tempat tinggal maupun ruang belajar-mengajar. Rumah-rumah inilah nampaknya dihias oleh berbagai pepohonan yang ditunjukkan dalam panil-panil relief yang ditemukan di situs penelitian. Hal ini selaras dengan uraian Nāgarakṛtāgama Pupuh XXXII yang menceritakan perjalanan Hayam Wuruk mengunjungi beberapa asrama di gunung-gunung, kutipannya sebagai berikut.

“....handwang karawira kayumās menur caracaranya saha kayu puring, Mwangnyu gadhingakuningahandhap-ahwah-ipadunya namuhara langö’’.Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:“...pohon andong, karawira, kayumas, dan menur ditatarapi serta kayu puring. Disudut kelapa gading yang rendah berbuah menguning membangkitkan keindahan “ (Riana 2009: 172).Sangat jelas bahwa rumah-rumah yang

didiami oleh kaum rsi dan pertapa di sebuah asrama dihias oleh berbagai jenis flora. Berbagai jenis flora yang ditampilkan di areal perumahan juga ditemukan di situs-situs objek penelitian. Obelisk utara Candi Sukuh pada dinding selatan terdapat relief randu yang terletak di depan rumah. Rumah tersebut memiliki empat tiang sebagai penyangga dan atap berbentuk limasan terbuat dari sirap. Tiang satu dengan tiang lainnya dihubungkan dengan balok persegi panjang, serta berlantai tanah. Depan rumah Rsi Tambapetra juga dihias dengan pohon pinang. Pada panil yang menceritakan tentang terbebasnya Ra nini dari kutukan terlihat dua tipe rumah. Tipe rumah pertama berbentuk rumah panggung dengan lantai tanah, memiliki

empat tiang dengan umpak sebagai penyangga, atap sirap berbentuk tajug, terdapat kemuncak di atas atap, dan bangunan terbuka tanpa dinding. Rumah tipe kedua perbedaanya terletak pada jumlah atap, yakni memiliki atap tingkat berjumlah lima buah (meru). Di depan rumah-rumah tersebut jelas dihiasi oleh beberapa pohon yakni nangka, pinang, dan kelapa. Menurut sumber Nāgarakṛtāgama sebagaimana dikutip di atas sangat mungkin jenis kelapa yang ditanam adalah kelapa gading.

Di obelisk utara pada dinding-dinding yang memahatkan cerita sudamala terdapat kompleks bangunan rumah yang dipagari oleh tembok. Ambang pintu masuk perumahan terdapat kepala kala sebagaimana yang didapati pintu masuk Candi Sukuh pada teras pertama. Di samping pintu masuk ini ditanami pepohonan yakni pinang, durian, kelapa. Di dalam perumahan terdapat dua bangunan rumah panggung. Rumah panggung pertama memiliki enam tiang dengan umpak sebagai penyangga, lantai terbuat dari papan-papan kayu yang ditata rapi, dan atap sirap berbentuk tajug. Samping kanan rumah ditanam pohon kelapa, sedangkan samping kiri ditanam pohon pinang. Rumah panggung kedua memiliki empat tiang dengan umpak sebagai penyangga, lantai terbuat dari papan-papan kayu yang ditata rapi, dan atap berbentuk limasan sejumlah tiga tingkatan. Samping kanan rumah ini terdapat pohon beringin. Di salah satu panil relief di Candi Planggatan terdapat tiga rumah.

Di salah satu panil Candi Planggatan terdapat dua tipe rumah. Rumah tipe pertama sejumlah dua yang memiliki empat tiang berlantai tanah, antara tiang satu dengan tiang lainnya dihubungkan dengan balok persegi panjang, dan atap berbentuk limasan kemungkinan terbuat dari ijuk. Rumah tipe kedua merupakan rumah panggung memiliki empa tiang dengan umpak sebagai penyangga, lantai terbuat dari papan-papan kayu yang ditata rapi, atap berbentuk limasan. Kedua rumah tersebut dilengkapi dengan halaman yang terbuat dari batu-batu. Disamping rumah

Page 26: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

87Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

tipe pertama ditanam satu pohon beringin. Di Candi Cetho dan Sukuh terdapat relief pohon beringin yang digambarkan disamping bangunan yang digunakan sebagai tempat duduk. Bangunan tersebut mempunyai empat tiang dan permukaan dibuat dengan papan-papan kayu persegi panjang. Di atas bangunan inilah digambarkan seseorang sedang duduk, salah satu kaki diangkat ke kaki satunya.

KuburanPada salah satu panil relief di Candi

Sukuh terdapat adegan ketika Sadewa diikat pada pohon randu. Lokasi tersebut di kuburan “sinangkala ring setra” artinya ”ia mengalami gangguan di setra”, setra merupakan bahasa Jawa Kuna yang masih digunakan sampai sekarang baik dalam Bahasa Jawa maupun Bali dan sama-sama mengandung arti sebagai kuburan. Demikianlah kutipan singkat dari Kidung Sudamala, kisah yang diberkembang pada Masa Majapahit. Relief flora yang dipahatkan dalam kuburan ini adalah randu, pinang, dan kepuh.

HutanSebagaimana dijelaskan sebelumnya

situs-situs yang menjadi penelitian ini terletak di Lereng Barat Gunung Lawu. Dapat dikatakan bahwa Lereng Barat Gunung Lawu pada masa lalu merupakan areal perhutanan yang cukup luas serta jauh dari pusat kerajaan. Walaupun sekarang ini banyak pemukiman warga di sekitar situs, namun suasana hutan masih dapat dirasakan. Relief –relief flora yang menggambarkan dalam suasana atau terletak dihutan dapat dijumpai pada obelisk utara. Beberapa pohon randu dipahatkan dan hewan-hewan yang berada disampingnya seperti halnya kijang dan anjing. Dalam naskah Kidung Sudamala dikatakan bahwa kuburan yang menjadi lokasi pengikatan Sadewa sebenarnya letaknya di dalam hutan.

“....dokan miber sakalsa tutuwu muni tanalon ,tetekek makarowange”

Terjemahaan ke Bahasa Indonesia“....Burung hantu, segenap penghuni hutan, burung tuhu memanggil-manggil dengan suaranya yang keras, diiringi oleh suara burung tetekak (Padmapuspita 1972, 76-81).

Fungsi Relief Flora dalam Sebuah Panil Fungsi Religius

Secara sepintas fungsi relief di candi-candi adalah sebagai penghias yang menambah keindahan bangunan. Agaknya pemahatan relief-relief tersebut mempunyai fungsi lain, lebih sekedar penghias bangunan. Kajian-kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pemahatan relief pada bangunan suci (terutama relief cerita) mempunyai fungsi religius, mengingat bangunan suci tersebut didirikan untuk keperluan ritus agama Hindu Saiva atau Buddha Mahayana. Relief cerita diasumsikan dapat mengajarkan pendidikan keagamaan dan moral kepada para pengunjung candi di masa silam yang mengamati (membaca) relief cerita yang tertera di bagian-bagian candi. Pendapat lain menyatakan bahwa pemahatan relief cerita dengan tema tertentu, misalnya tema kalepasan, menjadi simbol upaya pembebasan roh si mati (moksa) yang dimuliakan di suatu candi agar segera bersatu dengan istadevata-nya (Santiko 2005, 144; Munandar 2011, 196; Lelono 2016, 100; Murdihastomo 2018, 67). Santiko (2005, 146-150) menambahkan bahwa relief naratif yang mempunyai fungsi religius dapat dibagi menjadi dua tahap yakni tahap persiapan dan ajaran inti. Tahap pertama pastilah relief yang dipilih berkenaan dengan ajaran-ajaran tata susila dan tata upacara. Tahap kedua memasuki ajaran inti, yakni relief yang mengandung ajaran tentang konsep-konsep keagamaam misalnya menuju kalepasan.

Memperhatikan uraian tersebut dapat dipastikan relief – relief naratif yang terpahat di situs penelitian juga mempunyai makna religius. Hal ini didukung juga dengan tema-tema yang dipilih oleh pemahat masa lalu yakni berkenaan

Page 27: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

88 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

dengan pembebasaan dan penyatuan. Hal itu tercermin dalam kisah Sudamala, Garudeya, Ramayana, Swargarohanaparwa, Panji, dan Bima suci. Pemahat masa lalu sangat mungkin mempertimbangkan cerita-cerita untuk dipahat, sehingga cerita ini dapat menjadi sebuah ajaran atau patokan oleh masyarakat masa lalu di situs penelitian dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Terlebih masyarakat tersebut adalah kaum rsi dan pertapa, orang-orang suci yang memang mempersiapkan dirinya untuk mencari jalan kalepasan. Oleh karena itu, tema-tema cerita yang dipahatkan sangat sesuai dengan tujuan kaum rsi dan pertapa.

Relief-relief flora yang dipahat dalam panil relief religius, sudah barang tentu relief flora ini juga mengandung makna religius. Misalnya pohon kalpataru (beringin), pohon ini dianggap sebagai salah satu dari lima pohon yang hidup di Surga. Dianggap dapat memenuhi semua keinginan dan dapat pula dianggap sebagai penghidupan. Sementara pohon-pohon yang dianggap memiliki nilai sakral diantaranya randu, pisang, dan kepuh. Secara umum bunga teratai dalam agama Hindu dan Buddha erat kaitannya dengan kelahiran, kemurnian, dan kesucian. Teratai dianggap sebagai simbol kelahiran dalam agama Hindu. Dunia yang dilambangkan dengan tanaman teratai lahir dan tumbuh dari bonggol yang disebut padmamūla. Delapan kelopak mahkota bunganya melambangkan simbol delapan sikap kesusilaan dalam agama Buddha. Selain itu, teratai juga melambangkan kesucian. Hal ini sesuai dengan sifat teratai yang muncul dan tumbuh di dalam air, timbul dan keluar dari air, tetapi tetap tidak terkotori oleh air. Sifat seperti ini pula yang hendaknya dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, bentuk teratai sering ditemukan sebagai asana (tempat duduk) dewa dan atribut dewa (Istari 2015, 5-6; Amertaningish 2008, 104).

Memperindah Panil ReliefPada dasarnya pahatan-pahatan

relief di bangunan candi berfungsi untuk

memperindah penampilan candi itu sendiri. Dapat dikatakan demikian karena relief – ragam hias – merupakan bagian dari seni, yang berkaitan dengan keindahan. Sukarno (dalam Amertaningsih 2008, 93) pernah menyampaikan bahwa perwujudan dari seni hias berupa ragam hias yang memiliki berbagai bentuk dan makna. Definisi ragam hias atau ornament adalah berbagai jenis pola yang dipakai untuk memperindah sesuatu. Ornament flora yang dipahatkan di situs penelitian merupakan bagian dari wujud seni itu sendiri yang sudah barang tentu selain memiliki nilai religius juga memberi kesan mempercantik dari tampilan panil-panil relief.

Pahatan relief flora dalam suatu panil dapat juga dikatakan untuk mengisi bidang-bidang yang kosong agar indah dipandang, selain itu mungkin saja juga untuk mendukung kesan “nyata”. Misalnya saja dalam cerita yang menggambarkan keadaan lingkungan hutan sudah tentunya pohon-pohon yang dipahatkan dalam jumlah yang banyak, seperti yang terlihat di obelisk utara dinding bagian selatan. Oleh Stutterheim (dalam Yofani 2010, 200) unsur-unsur alam yang digambarkan memenuhi bidang-bidang kosong dan menjadi latar belakang dari adegan-adegan cerita dapat disebut dengan istilah horror vacui.

Menunjukkan Keadaan Lingkungan pada Masa Lalu

Menurut Sedyawati (dalam Amertningsih 2008, 94) ekspresi seni yang dimiliki oleh suatu masyarakat dipengaruhi oleh empat hal yaitu 1) tradisi-tradisi terdahulu yag telah mengakar, 2) kebutuhan yang dirasakan, 3) kondisi lingkungan, baik alamiah maupu kemasyarakatan, dan 4) intensitas terjadinya kontak dengan lingkungan atau masyarakat lain. Butir satu dan dua menjelaskan bahwa masyarakat masa lalu memahat relief-relief di situs penelitian dipengaruhi oleh tradisi dan kebutuhan keagamaan yang dirasakan. Butir ketiga dan keempat inilah yang dapat mengindikasikan bahwa relief flora yang

Page 28: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

89Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

terpahat di situs-situs penelitian mencerminkan keadaan lingkungan masa lalu wilayah tersebut. Selain tiga tujuan utama arkeologi yang disampaikan oleh Binford (dalam Akbar 2013, 64) yakni 1) merekontruksi sejarah kebudayaan manusia masa lampau, (2) merekontruksi cara-cara hidup manusia masa lampau, (3) penggambaran proses perubahan budaya manusia masa lampau, studi arkeologi juga dapat merekontruksi lingkungan masa lalu terutama di sekitaran situs. Salah satu yang dapat dilakukan adalah mengamati relief-relief flora yang terpahat di setiap dinding-dinding candi.

Keberagaman relief flora yang diabadikan pada panil-panil situs penelitian menandakan bahwa lingkungan masa lalu di sekitar situs dapat dikatakan subur. Hal ini didukung pula dengan jenis tanahnya yaitu kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan, dan litosol dengan topografi yang landai dan berbukit. Jenis tanah ini merupakan tanah subur yang kerap dijumpai di daerah pegunungan baik yang aktif maupun tidak aktif/tertidur. Tanah-tanah seperti ini cocok digunakan untuk pertanian basah pada tempat-tempat kemiringan landai dengan hasil yang memuaskan apabila dilengkapi dengan air irigasi, khususnya tanah andosol (BPS 2016). Tanah-tanah tersebut tersebar di wilayah situs penelitian yaitu Kecamatan Jenawi, Ngargoyoso, dan Tawangmangu. Sehingga dapat dikatakan bahwa gambaran lingkungan yang terpahat dalam panil relief tidak terlalu jauh perbedaannya dengan keadaan lingkungan wilayah sungguhan.

Manfaat bagi Masyarakat Masa LaluSebagai Bahan Makanan dan Minuman

Berbagai jenis flora yang telah teridentifikasi sangat mungkin mencerminkan flora sungguhan pada masa lalu, sehingga flora yang dipahatkan memang benar tumbuh dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu, flora yang dibudidaya tersebut dapat dipergunakan oleh masyarakat masa lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,

terutama yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa mandala kadewaguruan merupakan perkampungan yang dihuni oleh para rsi dan pertapa yang letaknya jauh dari pusat kerajaan atau di lereng gunung dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk itu dalam memenuhi kehidupan sehari-harinya dilakukan secara mandiri.

Kelapa merupakan salah satu jenis flora yang banyak mempunyai manfaat. Dari semua bagian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, baik dari akar, batang, daun, maupun buahnya. Sangat mungkin pohon kelapa dibudidaya oleh kaum rsi, walaupun pohon ini tumbuh subur di daerah pesisir. Bukan berarti tidak dapat tumbuh di daerah pegunungan. Berdasarkan pengamatan lingkungan sekarang ini pohon kelapa juga dapat tumbuh di daerah-daerah situs. Dapat dipastikan air kelapa menjadi salah satu variasi minuman kaum rsi saat itu, sedangkan dagingnya dapat digunakan sebagai bahan bumbu dapur. Terung merupakan salah satu sayuran yang dapat tumbuh subur di daerah pegunungan. Hingga sekarang tanaman ini menjadi salah satu sayuran yang digemari oleh masyarakat. Terung yang terpahat di relief garuda menunjukkan terung panjang, dengan begitu kemugkinan warna terung adalah unggu ketika sudah tua siap panen. Rupanya berdasarkan kenyataan ini kaum rsi juga memanfaatkan terung sebagai bahan makanan.

Buah-buah seperti nangka, durian, anggur, dan pisang sampai sekarang dapat tumbuh subur di daerah situs-situs objek penelitian. Oleh sebab itu, buah-buahan tersebut sangat mungkin menjadi asupan gizi untuk para rsi dan pertapa yang hidup di mandala-mandala objek penelitian. Memang dapat dikatakan bahwa para pertapa yang hidup dalam hutan melakukan tapanya dengan caranya masing-masing sesuai dengan kemampuan dan prinsip yang mereka pegang. Bagi mereka yang mempunyai keseriusan bertapa tidak pernah makan dan minum. Seperti halnya dalam kakawin arjunawiwaha menceritakan sang Arjuna yang memantapkan keteguhan dan tak

Page 29: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

90 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

goyah digoda, dikarenakan telah menghentikan pengaruh luar yang datang menganggu panca indranya. Lain cerita dengan kisah Bhubuksah-Gagang Aking. Dua orang pertapa merupakan kakak adik, bertapa di Lereng Gunung Wilis. Bhubuksah selama tinggal di gunung tersebut selalu makan dan minum (Munandar, 1990: 355). Ia makan buah-buahan, tanam-tanaman, dan bahkan daging yang diperolehnya dari binatang-binatang yang dijeratnya. Ia minum tuak yang dihasilkan dari nira pohon aren. Disebutkan pula bahwa Bhubuksah selama tinggal di hutan tidak pernah tidur. Sementara itu saudara tuanya yaitu Gagang Aking disebutkan hidupnya sangat sederhana, berusaha menghentikan hawa nafsunya dan hanya makan makanan yang halal.

Berdasarkan sumber-sumber yang tersedia kemungkinan mandala-mandala di Lereng Barat Gunung Lawu juga disambangi oleh raja ataupun orang dari kalangan luar istana. Terdapat beberapa karya sastra yang mengindikasikan adanya tamu-tamu yang datang ke mandala-mandala di Gunung Lawu. Hal ini diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, dan Naskah Bhujangga Manik walaupun kitab-kitab ini ditulis pada masa kemudian (sekitar abad 16-17 Masehi) paling tidak memberikan informasi bahwa tradisi mengunjungi sebuah pertapaan terus dilanjutkan. Babad Tanah Jawi, memberitakan bahwa Prabhu Brawijaya V moksa di Gunung Lawu, dengan begitu ketika ia mendaki ke gunung jelas akan singgah di karsyan-karsyan Gunung Lawu. Lebih lanjut Serat Centhini menjelaskan perjalanan Seh Amongraga setelah melewati Kayangan Hyang Girinata di puncak Agratiling dan bersemadi disana. Ia melanjutkan perjalanannya melewati gunung-gunung seperti Pawenang, Bayu, Sadewa, Candhirengga, Rimbi, Kalithi, Aji, Bintulu, Sukuh, Tambak. Pastilah Seh Amongraga juga mengunjungi mandala Sukuh dan Planggatan yang terletak di Tambak. Tentunya oleh para rsi dan pertapa yang tinggal di mandala Sukuh dan

Planggatan dijamu dan diberi makanan seperti uraian dalam kitab Nāgarakṛtāgama. Jamuan tersebut mungkin saja makanan yang tersedia disana (air kelapa, sayur terung, dan lainnya) (Purwanto 2017c, 77-78).

Sebagai Bahan Obat-obatanMelihat jenis flora yang telah dijelaskan di

atas nampaknya ada beberapa flora yang dapat dimanfaatkan untuk bahan obat-obatan. Masih dapat dijumpai pada masyarakat pedalaman di Indonesia, salah satunya Suku Wawonii. Suku Wawonii merupakan salah satu etnis asli di Sulawesi Tenggara. Etnis ini umumnya berdiam dalam wilayah kabupaten Kendari (Konawe), khususnya di pulau Wawonii yang terletak berseberangan dengan ujung tenggara jazirah Sulawesi Tenggara. Seperti halnya masyarakat pedalaman lainnya di Indonesia, masyarakat Wawonii juga memiliki sistem pengetahuan tentang pengelolaan keanekaragaman sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya. Salah satu sistem pengetahuan tersebut adalah pemanfaatan tetumbuhan untuk pemenuhan kehidupan sehari-harinya, antara lain sebagai bahan obat tradisional (Rahayu et al. 2006, 246-247).

Air kelapa muda dapat digunakan untuk menyembuhkan cacingan. Ternyata kulit akar dan daun kapas juga dapat dipergunakan sebagai obat. Tanaman pohon beringin nampaknya juga dapat berkhasiat sebagai bahan obat-obatan akar udara pohonnya bermanfaat untuk mengatasi pilek, demam, radang amandel, dan remntik. Sementara daunnya bermanfaat untuk mengatasi malaria, radang usus akut, disentri, dan unfluenza (Syafitri 104, 9). Diketahui bersama bahwa teratai merupakan bunga yang dianggap suci dan sakral oleh Agama Hindu dan Buddha, bunga ini banyak mengandung manfaat untuk pengobatan tradisional yang banyak dimuat dalam kitab Ayurveda. Oleh karennya pada masa kerajaan di India maupun di China teratai merupakan bunga yang dianggap penting. Dapat mempercantik wanita-wanita

Page 30: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

91Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

yang kala itu tinggal di sebuah kerajaan. Selain itu digunakan juga untuk penyakit diabetes (Muna 2017, 1).

Pohon pinang ditanam terutama untuk dimanfaatkan bijinya. Biji pinang dikenal untuk campuran orang makan sirih, selain gambir dan kapur. Agaknya pinang menjadi tanda bahwa kaum rsi tidak hanya makan dan minum tapi juga nginang. Dipercaya dengan nginang dapat membuat gigi awet dan tidak mudah keropos. Hingga saat ini budaya nginang masih dijumpai pada masyarakat sekarang. Pinang juga mempunyai khasiat mengobati berbagai penyakit seperti cacingan, diare, disentri, dan kudisan (Purwanto 2017c, 77).

Bahan Upakara Santiko (2005, 106) pernah menjelaskan

bahwa terdapat dua jenis cara dalam melakukan pemujaan, yakni puja luar (bahya-puja) dan puja dalam (antar-puja). Puja luar adalah tata upacara pemujaan dewa dengan mempergunakan sarana materi berupa arca, yantra, batu, dan sebagainya. Puja luar dilakukan khususnya oleh mereka yang belum tinggi pengetahuan spiritualnya. Sementara, puja dalam adalah pemujaan dewa tanpa benda materi sebagai perantara. Dewa dibayangkan dalam pikiran si pemuja. Mereka yang melakukan antar-puja ini pengetahuan spiritualnya lebih tinggi daripada melakukan bahya-puja. Sangat mungkin kedua jenis pemujaan ini dilakukan dilingkungan mandala-mandala yang menjadi objek penelitian. Hal ini dapat dipahami bahwa murid-murid kaum rsi sudah barang tentu mempunyai kemampuan spiritiual yang masih dalam taraf rendah. Oleh karenanya untuk melakukan pemujaan kepada dewa dilakukan dengan cara bahya-puja.

Sudah diterangkan di depan bahwasanya lingkungan mandala merupakan suatu perkampungan yang penghuninya cukup banyak. Oleh karena itu, upacara-upacara dalam waktu tertentu kemungkinan dilakukan di bangunan-banguan suci. Sangat mungkin upacara ini sifatnya komunal, yakni melibatkan semua penghuni mandala. Sudah pasti rsi

yang memiliki spiritual tinggi (dewaguru) dijadikan sebagai pemimpin upacara tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Purwanto (2017) terdapat beberapa jenis upacara yang dilakukan di mandala-mandala lereng Gunung Lawu, diantaranya ruwatan, diksa (inisiasi), dan abiseka. Ruwatan merupakan upacara yang dilakukan untuk membebaskan diri dari dosa maupun ikatan malapetaka (Atmodjo 1990, 2). Diksa adalah upacara inisiasi bagi calon murid yang akan belajar di lingkungan mandala kadewaguruan. Sementara upacara abiseka adalah pengukuhan seorang rsi yang akan menjadi seorang wiku, dalam hal ini pemimpin mandala (dewaguru). Selain itu berdasarkan hasil pengamatan rupanya mandala-mandala di lereng Gunung Lawu masih dipergunakan masyarakat sekitar sebagai tempat melakuan upacara, diantaranya bersih desa, dawuan, ruwahan, suran, dan nyadran.

Dalam melangsungkan proses upacara tentunya membutuhkan berbagai sarana dan prasana pelengkap upacara. Sarana fisik itu seperti bangunan keagamaan, arca, relief, tembikar dan lainnya. Sementara sajian-sajian yang dipersembahkan sangat mungkin hasil bumi yang berada di mandala-mandala. Hasil bumi tersebut sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yakni kelapa, nangka, durian, anggur, terung, dan pisang. Pohon-pohon seperti pinang, randu, dan beringin mungkin saja digunakan sebagai pelengkap upacara.

KESIMPULANStudi ini berhasil mengidentifikasi

duabelas jenis flora yang diabadikan dalam bentuk relief yaitu kelapa, nangka, terung, pinang, durian, teratai, beringin, anggur, tumbuhan menjalar, randu, kepuh, dan pisang ?. Ada satu relief yang tidak dapat teridentifikasi jenisnya karena memang penggambaran reliefnya kurang jelas. Relief-relief flora ini dipahatkan diberbagai lokasi baik di perumahan, kuburan, maupun hutan.

Relief sebagai salah satu komponen yang dijadikan sebagai pelengkap dalam

Page 31: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

92 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

sebuah bangunan suci keagamaan masa lalu, tentunya memiliki kandungan nilai religius didalamnya. Salah satu fungsi dari relief flora yang dipahatkan di bangunan candi di Lereng Barat Gunung Lawu adalah sebagai simbol perantara/penghantar bagi pembaca dalam mempelajari tahap-tahap kalepasan jiwa. Selain itu, fungsi relief ini untuk memperindah bangunan candi serta dapat menunjukkan lingkungan sekitar pada masa lalu. Masyarakat masa lalu yang tinggal di situs penelitian rupanya memanfaatkan berbagai flora untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan pelengkap upakara (lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 1 tabel 1).

DAFTAR PUSTAKAAfriono, Rizky. 2011. “Identifikasi Komponen-

komponen Bangunan Berundak Kepurbakalaan Situs Gunung Argopuro”. Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Akbar, Ali. 2013. Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi. Jakarta: Change Publication.

Amertaningsih, Arni. 2008. “Variasi Jenis Dan Makna Ragam Hias Pura Mangkunegaran. Surakarta”. Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A. A Bagus Wirawan. 2013. Sejarah Bali: dari Prasejarah hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press.

Ardika, I Wayan, I Ketut Setiawan, I Wayan Srijaya, dan Rochtri Agung Bawono. 2017. “Stratifikasi Sosial pada Masa Prasejarah di Bali”. Jurnal Kajian Bali 7 (1) : 35 -56

Atmodjo, M.M. Sukarto K. 1983. “Punden Cemoro Bulus di Lereng Barat Gunung Lawu”. dalam PIA III, 325-335. Ciloto: Puslit Arkenas.

Bawono, Rochtri Agung dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Seri Bahasa, Sastra, dan Budaya, Denpasar, 29 Februari.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2016. Kabupaten Karanganyar dalam Angka. Karanganyar:

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar.

Calo, Ambra, Bagyo Prasetyo, Peter Bellwood, James W. Lankton,Bernard Gratuze, Thomas Oliver Pryce, Andreas Reinecke, Verena Leusch, Heidrun Schenk, Rachel Wood, Rochtri A. Bawono, I Dewa Kompiang Gede, Ni L.K. Citha Yuliati, Jack Fenner, Christian Reepmeyer, Cristina Castillo & Alison K. Carter. 2015. “Sembiran and Pacung on the norht coast of Bali a strategic croassoads for early trans Asiatic exchange”. Antiquity 89 (344): 378-396.

Darmosoetopo, Riboet et al. 2016. Peninggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu. Yogyakarta. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Darmosoetopo, Riboet. 1975/1976.”Peninggalan-Peninggalan Kebubayaan di Lereng Barat Gunung Lawu”. Laporan Penelitian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Duijker, Marijke. 2010. The Worship of BhīMa: The Representations of BhīMa on Java During the Majapahit Period. Amstelveen: EON Pers Amstelveen.

Ferdinandus, Sri Utami. 2003. “Hubungan India Kuno dengan Asia Tenggara pada Abad ke 4 SM hingga Abad ke 7 M”. Laporan penelitan, Univeritas Indonesia, Jakarta.

Gutomo, Manaruddin Hadiyanto, Darmono. 1989. “Pengolahan Data Situs Menggung, Desa Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar”. Laporan Penelitian, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, Jawa Tengah.

Irawan, Sura Edy. 2017. “Candrasengkala Memet pada Candi Sukuh dan Candi Cetho sebagai Represntasi Kebudayaan Masa Akhir Majapahit”. Avatara 5 (1): 1334-1339.

Istari, Rita T.M. 2015. Ragam Hias Candi-candi di Jawa: Motif dan Maknanya. Yogyakarta: Kepel Press.

Lelono, T.M Hari. 2016. “Relief Candi Sebagai Media Efektif untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif pada Masa Jawa Kuna”. Berkala Arkeologi 36 (1): 99-116.

Maulana, Ratnaesih. 1996/1997. “Perkembangan Seni Arca di Indonesia”. Laporan Penelitian, Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 32: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

93Identifikasi dan Pemaknaan Relief Flora pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung LawuHeri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

Munandar, Agus Aris. 1990. “Kegiatan Keagamaan Di Pawitra: Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—5 M”. Tesis, Fakultas sastra, Universitas Indonesia.

Munandar, Agus Aris. 2004. “Karya Sastra Jawa Kuni yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi Abad ke 13-15 M”. Makara: Sosial Humaniora 8 (2): 54-60.

Munandar, Agus Aris. 2011. Catuspatha Arkeologi Majapahit. Jakarta. Wedatama Widya Sastra.

Munandar, Agus Aris. 2014. Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Munandar, Agus Aris. 2015. Keistimewaan Candi-candi Zaman Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Munandar, Agus Aris. 2018. “Beberapa Aspek Budaya yang terdapat dalam kisah-kisah Panji”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Festival Inernasional Panji, Jakarta, 10 Juli.

Murdihastomo, Ashar. 2018. “Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara di Kompleks Candi Sewu”. Kalpataru 27 (2): 66-79.

Nugraha, Bachtiar Agung. 2012. “Prasasti-prasasti Candi Sukuh: Suatu Tinjauan Aksara dan Bahasa”. Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Univeritas Indonesia.

Padmapuspita Y. 1972. Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Purwanto, Heri. 2017a. “Beberapa Keistimewaan Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar”. Jurnal Candra Sengkala 8 (16): 35-45.

_______________2017b. “Kehidupan Beragama di Lereng Barat Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah Abad XIV-XV Masehi”. Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

_______________2017c. “Candi Sukuh sebagai Tempat Kegiatan Kaum Rsi”. Berkala Arkeologi 37 (1): 69-84.

Purwanto, Heri dan Coleta Palupi Titasari. 2017. “Candi Planggatan Di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah: Bangunan Suci Milik Kaum Rsi”. Naditira Widya 11(2): 97- 110.

Purwanto, Heri dan Coleta Palupi Titasari. 2018a. “The Whorship Parwatarajadewa In Mount Lawu”. Kapata Arkeologi 14 (1): 37-48.

Purwanto, Heri dan Coleta Palupi Titasari. 2018b. “Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru sebagai Arca Panji”. Forum Arkeologi 31 (1): 57-74.

Purwanto, Heri, Coleta Palupi Titasari, dan I Wayan Sumerata. 2017.”Candi Kethek: Karatkter dan Latar Belakang Agama”. Forum Arkeologi 30 (2): 101-112.

Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

Rahayu, Mulyati, Siti Sunarti, Diah Sulistiarini, Suhardjono Prawiroatmodjo. 2006. “Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi tenggar”. Biodiversitas 7 (3): 245-250.

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desawarnnana Uthawi Nagarakrtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Gramedia.

Santiko, Hariani. 2005. Hari-Hara: Kumpulan Tulisan Tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia abad IV-XVI Masehi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Setyawan, Ahmad dan Sugiyarto. “Keanekaragaman Flora Hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 1. Cryptogamae”. Biodiversitas 2 (1): 115-122.

Sumiartini, Ni Kadek Sri, I Ketut Setiawan, dan Rochtri Agung Bawono. 2017. “Tumbuh-Tumbuhan yang Dimanfaatkan pada Masa Bali Kuno Abad X-XI M (Kajian Epigrafi). Jurnal Humanis 18 (1): 169-177.

Syafitri, Igga Pharamitha. 2014. “Identifikasi Struktur Anatomi Daun Tanaman Beringin (Ficus spp) Serta Implementasinya pada Pembelajaran Ipa Biologi di SMPN 1 Curup”. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu.

Yofani, Regina. 2010. “Beragaman Tanaman pada Relief Candi di Jawa Timur Abad 14 Masehi (Kajian Bentuk dan Pemanfaatan)”. Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Wawancara: Gunawan (39 tahun) sebagai juru pelihara Candi Sukuh.

Page 33: FORUM ARKEOLOGI - erepo.unud.ac.id

94 Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 2, Oktober 2019 (75 - 94)

No Jenis Flora JumlahLokasi Fungsi Manfaat

KeteranganA B C 1 2 3 I II II

1 Kelapa 10 - - 3 di Candi Cetho, 7 di Candi Sukuh

2 Nangka 3 - - - - Di Candi Sukuh, 2 pohon, 1 buah

3 Terung 2 - - - - Di Candi Sukuh, 2 buah biji

4 Pinang 6 - - Di Candi Sukuh5 Durian 2 - - - - Di Candi Sukuh

6 Teratai - - - - - Di Candi Sukuh dan Rumah Arca

7 Beringin 11 - - - 4 di Candi Cetho, 5 di Candi Sukuh, 2 di Candi Planggatan

8 Anggur 2 - - - - - Di Candi Cetho, 2 bonggol buah

9 Tumbuhan Menjalar - - - - - - Di Candi Kethek, Cetho, Sukuh, dan Menggung

10 Randu 14 - Di Candi Sukuh11 Kepuh 1 - - Di Candi Sukuh12 Pisang ? 1 - - - - Di Candi Sukuh13 Tidak terindetifikasi 1 - - - - - - Di Candi Sukuh

LAMPIRAN 1Tabel 1. Jenis-jenis Relief Flora yang terdapat pada Tinggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu

(Sumber: Dokumen pribadi)

A: Perumahan 1: Fungsi Religius I: Bahan MakananB: Kuburan 2: Memperindah Panil

ReliefII: Bahan Obat-obatan

C: Hutan 3: Menunjukkan Lingkungan Masa Lalu

III: Bahan Upakara

: Kehadiran- : Tidak

Teridentifikasi