130

Fleksibilitas Hukum Islam

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fleksibilitas Hukum Islam
Page 2: Fleksibilitas Hukum Islam

Fleksibilitas Hukum Islam

Page 3: Fleksibilitas Hukum Islam

Fuad Rahman

Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas asy-Syafi’i dalam Pemikiranal-Ghazali

Sulthan Thaha Press

Page 4: Fleksibilitas Hukum Islam

Fleksibilitas Hukum Islam:Pengembangan Konsep Qiyas asy-Syafi’i dalam Pemikiranal-Ghazalioleh Fuad Rahman© September, 2013

Hak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

Penyunting: M. Husnul AbidLayout: MurjokoDesain cover: Jamroni

Diterbitkan oleh:Sulthan Thaha Press, Jambi

Cetakan I, September 2013x + 127 halaman; 15,5 x 23 cm.ISBN: 978-979-1454-55-1

Page 5: Fleksibilitas Hukum Islam

Kupersembahan buku ini buat:Ayahanda, Bunda, orang tua, serta dan adik-adik-ku, semoga kesabaran dan segala pengor-banan yang diberikan manfaat di kemudianhari. Sahabat-sahabatku yang telah memberikanmotivasi sekaligus bantuan moril dan materildemi penyelesaian penulisan buku ini.

Page 6: Fleksibilitas Hukum Islam

Kata Pengantar

Puji syukur sepantasnya diucapkan atas kehadirat Allah SWT dansalawat beriring salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjunganumat, Nabi Muhammad SAW.

Telaah mengenai pemikiran al-Ghazali dari berbagai aspek,agaknya, saat ini marak untuk diperbincangkan baik menyangkut bi-dang tasawuf, logika, filsafat, dan ushul fikih. Ditambah dengan rasakeinginan saya untuk melihat sejauh mana pemikiran dan ketergan-tungan al-Ghazali dalam bidang ushul fikih dengan pemikiran sebel-umnya. Atas dasar ini, saya ingin mengangkat sebuah telaah terhadappemikiran al-Ghazali secara khusus mengenai qiyas.

Saya menyadari buku ini masih jauh dari kesempurnaan, seh-ingga dengan segala kerendahan, kritik dan saran konstruktif daripembaca sangat diharapkan dari penyempurnaan.

Dalam proses penyelesaian buku ini, saya banyak menerima ban-tuan dan partisipasi dari berbagai pihak, baik moril maupun materil,lembaga maupun perorangan. Oleh karena itu, saya ingin menyam-paikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih kepadaberbagai pihak, terutama Prof. Dr. Amir Syarifuddin dan Dr. NasrunHaroen, yang telah memotivasi saya dalam penyelesaian buku ini.

Page 7: Fleksibilitas Hukum Islam

8 | Fleksibilitas Hukum Islam

Daftar Isi

Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada RektorIAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta teman-teman di kam-pus tersebut. Dinamika dan dialog yang tercipta memungkinkan bukuini terbit sesuai yang diharapkan. Ayahanda dan Ibunda serta orangtua kami Drs. H. Abd Rozak, SH., yang tanpa kenal lelah memberikanmotivasi sekaligus bimbingan untuk terus maju berjuang menuntutilmu sampai kapan pun dan di mana pun.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada semua pihak yangtidak mungkin saya sebutkan satu per satu, yang juga turut memberi-kan sumbangsih demi penyelesaian buku ini.

Jambi, September 2013

Fuad Rahman

Page 8: Fleksibilitas Hukum Islam

9 | Fleksibilitas Hukum Islam

Daftar Isi

Kata Pengantar viiDaftar Isi ix

1 Pendahuluan 1

2 Konsep Qiyas asy-Syafi’i 11Riwayat Hidup dan Pendidikan asy-Syafi’i 11Setting Sosial dan Pemikiran Hukum 16Aktivitas Ilmiah dan Karya-karya asy-Syafi’i 19Murid dan Pengikut asy-Syafi’i 23Pemikiran asy-Syafi’i tentang Qiyas 25Posisi Qiyas dalam Kerangka Pemikiran asy-Syafi’i 40

3 Konsep Qiyas al-Ghazali 47Riwayat Hidup dan Pendidikan al-Ghazali 47Setting Sosial dan Pemikiran Hukum 51

Page 9: Fleksibilitas Hukum Islam

10 | Fleksibilitas Hukum Islam

Daftar Isi

Aktivitas Ilmiah dan Karya al-Ghazali 55Murid dan Pengikut al-Ghazali 57Pemikiran Al-Ghazali tentang Qiyas 58Keterkaitan Pemikiran asy-Syafi’i dan al-Ghazali dalam PersoalanQiyas 81

4 Pengembangan Konsep Qiyas asy-Syafi’i dalam Pemikiranal-Ghazali 89

Respons al-Ghazali Terhadap Pemikiran Qiyas asy-Syafi’i 89Implikasi Pengembangan Qiyas asy-Syafi’i oleh al-Ghazali 105

5 Penutup 113

Daftar Pustaka 117Indeks 123Tentang Penulis 127

Page 10: Fleksibilitas Hukum Islam

1 Pendahuluan

11 | Fleksibilitas Hukum Islam

Islam sebagai pandangan hidup (way of life) umat merupakan ajaranyang tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifal praktis. Sumberteoritis ajaran Islam adalah al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan sumberprakfis adalah sosok pribadi Rasul dan para ulama yang mewarisinyaDengan demikian, segala ajaranya dapat dipahami oleh manusia baikacara tekstual maupun kontekstual.

Sebagai praktisi, Rasul tidak hanya membawa ajaran baru denganmerombak segala tradisi masyarakat jahiliyah yang menyimpang dariaturan Ilahi dan norma kemanusiaan saat itu, tetapi juga menyempur-nakan dan menyelesaikan segala permasalahan yang muncul. Dalammenyikapi persoalan seperti ini, Rasul tidak hanya mengandalkannwahyu melainkan juga menggunakan nalar (al-ra'y) secara maksimal.Agaknya ini dilakukan mengingat al-Qur'an belum mengkanter per-soalan tersebut secara ekplisit (sharih), sehingga membutuhkan inisi-atif beliau secara bijaksana dalam mengambil suatu keputusan hukummaupun yang lain.

Petunjuk wahyu lebih dominan memberikan penjelasan terh-adap persoalan yang berkaitan dengan bidang akidah dan ibadah, se-

Page 11: Fleksibilitas Hukum Islam

12 | Fleksibilitas Hukum Islam

dangkan terhadap persoalan hukum hanya sedikit dan bersifal global.1Setelah Rasul wafat pada tahun 632 M2, para sahabat mulai dihadap-kan pada beragam persoalan baru yang "rumit dan bertubi-tubi" yangtidak ditemukan dalam nash (al-Qur'an dun Sunnah) secara eksplisitdan memerlukan solusi yang tidak dapat dihindari. Untuk mengatasipersoalan tersebut, para sahabat mengambil kebijaksanaan denganmelakukan upaya ijtihad dengan meniru praktek-praktek yang pernahdilakukan Rasul.

Upaya ijtihad dilakukan melalui beberapa langkah strategis antaralain; berawal dari pelacakan terhadap al-Quran, kemudian diteruskankepada Sunnah apabila juga tidak ditemukan ketetapan hukumnyamaka baru dilakukan upaya ijtihad baik secara kolekiif (ijma’) maupunpersonal (fardi). Hal ini dapat dibenarkan mengingat otoritas ijtihadsaat ini berada pada masing-masing Pribadi sahabat, seluruh sahabatsecara pribadi rnempunyai hak untuk melakukan ijtihad apabila telahdi anggap mampu.3

1 Ahmad Syahabi merinci terdapat 330 ayat al-Qur'an yang berbicara mengenaihukum mencakup berbagai aspek antara lain : mengenai ibadah berjurnlah140 ayat, rnengenai keluarga (nikah, thalak, warisan, wasiat dan penghentianhak untuk sementara berjumlah 70 ayat, rnengenai persoalan jual-beli, ga-dai, sewa-menyewa, perkongsian, perniagaan dan hutang-piutang berjumlah70 ayat, mengenai hukuman dan pidana bcrjumlah 30 ayat dan mengenaiqadha dan kesaksian berjurnlah 20 ayat. Lihat: Ahmad Syalabi, Tarikh at-Tasri’ al-Islamity, (Kairo; Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, tt,) h. 20-22.

2 Umat Islam saat itu dihadapkan pada persoalan pelik mengenai siapa yanglebih tepat untuk menggantikan posisi Rasul sebagai pemimpin umat (neg-ara), sehingga terpecah menjadi tiga golongan yaitu; golongan Muhajirin,Anshar dan Ahlu al-Bait. Kaum Muhajirin dan Ansar memberikan namacalon untuk dipilih pada pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah, sedangkan go-longan ahlu al-Bait saat itu sedang sibuk mengurus jenazah Rasul yang be-lum dirnakamkan. Perundingan tetap berlangsung meskipun tidak dihadirioleh sernua golongan dan berhasil menetatkan Abu Bakar sebagai orangyang dianggap rnampu dan berhak untuk rnenggantikan posisi khalifah(pemimpin umat Islam), Lihat: Muhammad S. Elwa, On Political System ofIslam, (London: Edinburg, 1983),h. 33-34.

3 Diantara para sahabat yang paling banyak melakukan ijtihad adalah Umaribn Khattab (khalifah kedua), yang dengan cermat dan tegas berani men-erapkan hukum yang berbeda dengan apa-apa yang telah ditetapkan sebe-lumnya seperti; tidak memberikan hak zakat terhadap para muallaf, tidakmemotong tangan orang yang kedapatan melakukan pencurian dan tidak

Page 12: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 33 | Fleksibilitas Hukum Islam

Keputusan yang diambil para sahabat dalam perkembanganselanjutnya dipandang sebagai bagian dari teks-teks suci meskipundilakukan tanpa acuan langsung kepada nash, Namun demikian,agaknya upaya semacam inipun dalam perkembangannya mengalamipergeseran dan dianggap kurang memuaskan setelah terjadi peruba-han dalam berbagai aspek sosial dan kultural pada masyarakat. Untukmengantisipasi jangan sampai terjadi kevakuman dalam pemikiranhukum maka muncullah berbagai metode untuk menemukan hukum-hukum baru tersebut.

Selanjutnya, studi sejarah hukum Islam atau fikih,4 memperlihat-kan bagaimana peranan ijtihad (personal reasoning) dalam perkemban-gan hukum Islam yang merupakan hasil pemikiran kreatif baik secarapersonil maupun kolektif. Kondisi seperti selanjutnya melahirkan be-berapa mujtahid mandiri yang mempunyai corak pemikiran tersendiriseperti; Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, Hanbali serta lainnya.

Munculnya beragam corak pemikiran fikih tersebut setidaknyadisebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya dorongan kea-gamaan yang merupakan sumber norma dan nilai normatif yangmengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga upaya untuk mensosial-isasikannya dan menginternalisasikannya selalu dibutuhkan. Kedua,terjadinya perubahan sosial budaya sebagai konsekuensi meluasnyaimperium Islam terutama pada masa kekhalifahan Umar ibn Khat-tab karena itu dibutuhkan upaya penanganan terhadap persoalanhukum secara serius, sehingga dapat dilihat bagaimana peranannya

memberikan bagian dari harta hasil rampasan perang (ghanimah) terhadaptentara yang tidak memenangkan perang saat itu. Dari beberapa contoh inisebagian umat Islam menganggap sikap semacam itu kontroversi denganketetapan sebelumnya yang diajarkan al-Qur’an dan sunnah, meskipun padadasarnya tidaklah demikian karena apa yang dilakukan Umar justru meru-pakan suatu kegeniusan dan kecermatan beliau dalam memahami nash dankondisi yang ada pada saat itu. Untuk lebih jelasnya lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. (Beirut : Dar al-Jail, 1973),jilid III, h. 22-23.

4 Term hukum Islam, fikih bahkan syari’at akhir-akhir ini agaknya merupakanistilah yang identik meskipun terminologi dari sudut historis berbeda satusama lain. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai klarifikasi term tersebut,lihat Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam, (Padang; Ang-kasa Raya, 1993), h. 13-15.

Page 13: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 44 | Fleksibilitas Hukum Islam

dalam menetapkan keputusan-keputusan baru melalui ijtihad. Ketiga,adanya independensi yang diberikan para ahli hukum Islam untukmengembangkan pemikiran mereka oleh penguasa. Keempat, adanyaprinsip fleksibilitas yang terkandung dalam hukum Islam itu sendiri,sehingga dapat sesuai dengan segala masa dan keadaan tanpa terikatoleh ruang dan waktu.5

Pada periode awal, ijtihad dengan nalar merupakan elemen uta-ma yang digunakan secara sangat sederhana, sehingga hanya meru-pakan pertimbangan sederhana melalui akal sehat (common sense) dariseoarang ahli, untuk selanjutnya dirumuskanlah suatu metodologi hu-kum Islam (metode teknis ushuliyyah) oleh ahli ushul berikutnya. Be-rawal dengan munculnya dua aliran yang memiliki perbedaan dalammetode berfikir untuk mengadakan pendekatan hukum, yakni aliranahlu al-ra’y dan aliran ahlu al-hadis.

Aliran ahlu al-ra’y6 yang berpusat di Baghdad (Iraq) dimotori olehAbu Hanifah (Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha’, 81-150 H/ 700-767M). Ia dianggap sebagai tokoh rasionalistik dalam bidang fikih kar-ena telah menempuh metode pemahaman hukum melalui akal (rasio),meskipun semuanya tidak terlepas dari latar belakang pendidikan dankondisi sosio-kultural yang mengitarinya. Alirah ahlu al-hadis7 yang

5 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hu-kum Fazlur Rahman, (Bandung; Mizan, 1989), h. 33-35; Hasbi ash-Shiddieqymerinci terdapat lima prinsip hukum Islam yang menyebabkannya dapatelastis, antara lain: 1) prinsip ijma’; 2) prinsip qiyas; 3) prinsip al-maslahahal-mursalah; 4) prinsip memelihara ‘urf, dan 5) prinsip berubahnya hukumsesuai dengan perubahan masa. Lihat: Hasbi ash-Shiddieqy, Syari’at IslamMenjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. 31.

6 Gelar ahlu al-ra’y disandarkan kepada Abu Hanifah karena kecenderunganbeliau dalam menggunakan rasio (ijtihad) ketika menetapkan hukum praktisdan sedikitnya berpedang kepada hadist atau tsar dalam pemikiran fikihnya.Kecenderungannya tersebut agaknya dilatar belakangi oleh beberapa faktor,antara lain :pertama, pengetahuannya yang mendalam terhadap fikih (hukumIslam); kedua, profesinya sebagai seorang saudagar, sehingga membuka pe-luang untuk melaksanakan hubungan-hubungan hukum praktis; dan ketiga,terbatasnya hadis-hadis Rasul ynag sampai ke tangan beliau. Selain itu juga,Abu Hanifah dikenal dengan julukan Imam al-Azam karena kemahiran dankeluasan ilmunya. Lihat: Sobhi Mahmassani, Falsafat at-Tasyiri’al-Islami, alihbahasa Ahmad Sudjono, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), h. 83.

7 Gelar aliran ahlu al-hadis disandarkan pada Malik ibn Anas karena kecend-

Page 14: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 55 | Fleksibilitas Hukum Islam

berpusat di Madinah al-Munawwarah (Saudi Arabia) dimotori oleh Ma-lik ibn Anas (Malik ibn Anas ibn Malik, 93-179 H/ 712-795 M). Iadianggap sebagai tokoh tradisionalis dalam bidang fikih karena me-mahami al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual, meskipun pernah ber-guru kepada penganut aliran al-ra’y yakni Rabi’ah ibn Farrukh, yangterkenal dengan julukan Rabi’ah al-ra’y.

Meresponi kemunculan dua aliran di atas, tampillah tokoh ula-ma moderat, yang tidak begitu saja menerima hadis dan tidak terlaludominan menggunakan akal, yaitu asy-Syafi’i (Muhammad ibn Idrisibn asy-Syafi’i 150-204 H/767-812 M) yang berupaya untuk men-jembatani kedua aliran yang berkedudukan di Iraq (ahlu al-ra’y) danyang berkedudukan di Hijaz (ahlu al-hadis). Ia berguru sekaligus te-man untuk berdiskusi kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibanitokoh yang mewakili aliran al-ra’y dan Malik ibn Anas tokoh yang me-wakili aliran al-hadis, yang pada akhirnya berhasil menemukan corakpemikiran tersendiri dalam bidang fikih.8

Sebagai seorang mujtahid, asy-Syafi’i tidak hanya dianggap ber-jasa dalam memberikan rumusan yang sistematis terhadap Sunnah,tetapi juga berjasa sebagai peletak dasar utama metodologi pemaha-man hukum Islam, sehingga diberi julukan “Bapak Ushul Fikih”. Ge-lar tersebut diperoleh karena keberhasilannya menyusun dasar-dasarmetodologi ushul fikih, melalui karya monumentalnya yang termashuryakni kitab “al-Risalah”.

Asy-Syafi’i melihat bahwa al-Qur’an dan Sunnah merupakanpegangan tekstual umat Islam. Meskipun demikian, keobyaktifandalil-dalil tekstual tersebut tidak berarti menutup sama sekali adanyakemungkinan kesubyektifan pemahaman. Oleh karena itu, dibutuh-

erungannya berfikir normatif dan tradisionalis dalam memegang hadis danatsar serta sangat sedikitnya dalam menggunakan akal. Agaknya, hal ini jugatidak terlepas dari latar belakang pendidikan yang diterima dan kondisi sosio-kultural ynag sedang dihadapi. Masyaratkan Madinah saat itu belum tersen-tuh dan terpengaruh oleh budaya dan peradaban luar, serta telah mengalamipersentuhan dengan budaya dan peradaban Romawi bahkan telah terjadiakulturasi. Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Malik: Hayatuhu wa Asruhu wa’Arauhu wa Fiqhuhu, (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi, 1925), h. 24-25.

8 Faruq Abu Zaid, at-Syari’at al-Islamiyah Baina al-Muhafizin wa al-Mujahidin,(http: Dar al-Makmun li al-Thaba’ah, tt,), h. 47.

Page 15: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 66 | Fleksibilitas Hukum Islam

kan aturan-aturan tegas untuk memahami bukti-bukti tekstual agarsegala pesannya dapat terlaksana dalam realitas hidup yang senantiasaberubah dan berkembang, sehingga memerlukan metodologi penal-aran tertentu. Metode yang dimaksud adalah qiyas (analogical reason-ing), dimana asy-Syafi’i merupakan peletak dasar pertama ilmu ushulfikih, karena ia melakukan pengkajian dan penulisan tersendiri padaakhir abad II dan awal abad III H. Pada era selanjutnya, pemikiranbeliau dikembangkan oleh murid dan pengikutnya.9

Adanya upaya pengembangan tersebut sangat beralasan mengin-gat asy-Syafi’i ketika mengemukakan konsep qiyas hanya secara global(belum begitu jelas dan rinci) meliputi; pertama, penegasan tentangpemahaman terhadap qiyas dan ijtihad; kedua, kapan saat diharuskanatau tidak diharuskannya untuk melakukan qiyas; dan ketiga, tentangsiapa saja yang berkompeten untuk melakukan qiyas.10 Kitab ini hanyamengemukakan konsep qiyas secara global tanpa merinci bagaimanateknisnya secara jelas.

Al-Ghazali, populer dengan sebutan Hujjah al-Islam,11 yang di-akui mempunyai tingkatan kesembilan sebagai pengikut asy-Syafi’imencoba mengembangkan dasar-dasar pemikiran dengan menjelas-kan masing-masing statemen yang dikemukakan as-Syafi’i, meskipunnantinya akan dijumpai bahwa al-Ghazali tidak hanya menerima se-cara bulat dan menyempurnakan semua pemikiran yang dilontarkan

9 Kalangan ulama berbeda pendapat dalam menyikapi mengenani tokoh pele-tak dasar ilmu ushul fikih. Golongan Syi’ah Imamiyah beranggapan bahwaImam al-Baqir adalah peletak dasar ushul fikih, berbeda dengan golonganSyafi’iyah yang beranggapan bahwa asy-Syafi’i adalah orang pertama yangmenyusun kitab ushul fikih. Terlepas dari itu semua yang jelas ulama sepa-kat bahwa aspek-aspek ushul fikih telah muncul sejak era sahabat meskipunmasih terjadi polemik tentang siapa yang mengarang atau menyusun ilmuushul fikih sebagai dasar ilmu tersendiri. Lihat: ‘Abd Wahab Ibrahim AbuSulaiman, al-Fikr al-Ustadi, (Mekkah; Dar al-Syuruq, 1984), h. 38-39.

10 Asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H), h. 170.11 Gelar hujjah al-Islam disandarkan kepada al-Ghazali karena pembelaannya

yang mengagumkan terhadap Islam, terutama terhadap kaum bathiniyyat dankaum filosof. Kaum bathiniyyat diserang melalui akidah mereka yang meya-kini bahwa imam itu ma’shum (terpelihara dari segala dosa). Secara jelaslihat al-Ghazali, Fadha’ih al-Bathiniyyat, edisi Abdul Rahman Badawi, (Kairo:Quuniyyah, 1964), h. 142-145.

Page 16: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 77 | Fleksibilitas Hukum Islam

asy-Syafi’i melainkan ia juga melakukan kritikan terhadap pendapatyang dianggapnya kurang tepat.12

Untuk itulah al-Ghazali berhasil mengarang beberapa kitab yangberkaitan dengan ushul fikih, yang dengan rasa rendah hati mengakuisebagai pengikut asy-Syafi’i, di antara kitabnya yaitu; al-Mankhul minTa’liqat al Ushul, Syifa’al-Ghalil dan al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul.

Secara historis, asy-Syafi’i telah meletakkan dasar-dasar “ideologimoderat” dalam bidang fikih dan syariah, sementara al-Ghazali ber-dasarkan teori-teori yang dibangun oleh pendahulunya mencoba un-tuk menyempurnakan sekaligus mengembangkan konsep yang dita-warkan oleh pendahulunya. Adanya pengakuan dari beberapa literaturmengenai hubungan al-Ghazali dengan asy-Syafi’i dalam pemikiranushul fikih, menurut hemat penulis bukanlah merupakan sesuatuynag harus diterima apa adanya tanpa peluang untuk dikritik, agaknyaada beberapa persoalan yang harus dicermati dalam kaitan ini.

Pertama, kalaupun dikatakan bahwa al-Ghazali sebagai pengi-kut asy-Syafi’i akan dilihat sejauh mana keterikutannya atau ketergan-tungannya terhadap pemikiran pendahulunya, sehingga akan terlihatjelas apakah ada benang merah antara pemikiran keduanya atau tidak.Sebagaimana diketahui asy-Syafi’i hanya mengemukakan konsep-konsep dasar, sedangkan penjelasan dan pengembangannya secarateknis dilakukan oleh al-Ghazali. Pengembangan tersebut apakahmasih dalam batas-batas ketergantungan atau telah merupakan suatupemikiran baru atau merupakan hasil adopsi dari pemikiran tokohlain.

Kedua, ketika mengamati pemikiran yang dikemukakan oleh al-Ghazali melalui beberapa bukunya yang berkaitan dengan ushul fikih,khususnya mengenai qiyas, agaknya terdapat pemikiran berbeda den-

12 Dalam kitab Syarh Minhaj al-Talibindijelaskan mata rantai yang menghubung-kan al-Ghazali dengan asy-Syafi’i, di mana al-Ghazali berguru kepada ImamHaramain, Imam Haramain berguru kepada al-Juwaini, al-Juwaini bergurukepada Abu Bakar al-Qurffal al Mawarzi, Abu Bakar al-Quffal berguru ke-pada Abi Zaid al-Mawarsi, Abi Zaid al-Mawarzi, Abi Zaid al-Mawarzi ber-guru kepada Ibnu Syuraij, Ibu Syuraij berguru kepada Abi Sa’id al-Mathy,Abi Sa’id al Mathy berguru kepada al-Muzani, al-Muzani berguru kepadaasy-Syafi’i. Lihat: Qalyubi dan Humairah, Syarh Minhaj al-Talibin, (Mesir;Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t), Jil. I, h.10.

Page 17: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 88 | Fleksibilitas Hukum Islam

gan pemikiran awal pendahulunya. Tidak hanya itu, justru pemikiranterakhir mencoba untuk mengkritik pemikiran pendahulunya.

Kenyataan semacam ini menimbulkan kecurigaan terhadapadanya kemungkinan al-Ghazali telah mengemukakan pemikirantersendiri yang kebetulan sama dengan pemikiran asy-Syafi’i atauhanya merupakan dorongan rasa kerendahan hati tetap dengan me-nyatakan sebagai pengikut asy-Syafi’i sebagaimana yang diakui olehberbagai literatur ushul fikih.13

Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang akan penulis cobacermati melalui sebuah buku sederhana ini, agar dapat diketahui lebihjelas di mana posisi al-Ghazali sebenarnya dalam pemikiran qiyas.Masalah pokok yang akan dikaji adalah bagaimana seharusnya rumu-san konsep qiyas yang dikembangkan oleh al-Ghazali. Agar bahasanini dapat lebih terarah dan intensif, maka masalah yang dijabarkandalam rumusan sebagai berikut: pertama, bagaimana sebenarnya pe-mikiran asy-Syafi’i dan al-Ghazali tentang qiyas? Kedua, bagaimanarespon al-Ghazali dalam menyikapi konsep qiyas yang ditawarkanasy-Syafi’i? Ketiga, di mana benang merah yang menghubungkanal-Ghazali dengan asy-Syafi’i? Keempat, sejauh mana al-Ghazalimengembangkan konsep qiyas yang diperoleh dari asy-Syafi’i? Ke-lima, sejauh mana implikasi pengembangan konsep qiyas asy-Syafi’ioleh al-Ghazali?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, buku ini berkaitandengan konsep teoritis seorang tokoh klasik melalui berbagai kary-anya. Karena itu, penulis berupaya untuk memperoleh informasi dandata mengenai teori dan praktik qiyas yang ditampilkan oleh asy-Syafi’i dan al-Ghazali. Dengan demikian, buku ini lebih diarahkan

13 Ada dua term yang mempunyai arti berbeda yaitu murid dan pengikut.Murid adalah orang yang mengadopsi ide, pemikiran, faham seorang gurusecara langsung dan hidup dalam waktu yang bersamaan dengan guru, se-dangkan pengikut adalah orang yang mengadopsi ide, pemikiran atau fahamtertentu pendhaulunya secara tidak langsung, melalui perantara baik gurumaupun buku. Lihat: Ibrahim Anis, dkk, Mu’Jam al-Wasts. (Mesir: al-Ma’arit,1972), h. 95 dan 157; WJS. Porwadarminta, Op. Cit, h. 350 dan 564. Da-lam kaitan ini, agaknya al-Ghazali dikelompokkan sebagai pengikut, begitujuga dengan gurunya Imam Haararnain, karena mengadopsi pemikiran asy-Syafi’i melalui beberapa tingkatan guru hingga tingkatan kesembilan.

Page 18: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan | 99 | Fleksibilitas Hukum Islam

sebagai penelitian kepustakaan (library research), selanjutnya, di samp-ing menggunakan teknik pengumpulan data melalui penulisan kepus-takaan juga digunakan metode lain yakni metode historis, analisis isidan komparatif.

Metode historis, karena obyek kajian buku ini berkaitan denganpemikiran seorang tokoh klasik (mutaqaddimin) yang dipaparkan mela-lui tulisan-tulisan ilmiahnya, kemudian merupakan usaha pemahamanterhadap peristiwa masa lalu dengan melihat fakta-fakta secara utuhmeliputi waktu, tempat, budaya, komunitas dan lingkungan dimanaperistiwa itu muncul. Dengan demikian, metode historis merupakanproses pengujian dan penganalisisan secara kritis terhadap rekamanpeninggalan masa lalu.14 Metode ini dianggap sangat akurat ketikamengamati fakta-fakta sejarah, politik, dan sosio-kultural yang mel-ingkari perkembangan intelektual asy-Syafi’i dan al-Ghazali.

Adapun untuk mengetahui intensitas mengenai pemikiran teori-tis dan praktis asy-Syafi’i dan al-Ghazli mengenai konsep qiyas diper-lukan analisis isi, yakni suatu metode studi dan analisis data secara sis-timatis dan obyektif.15 Selanjutnya, metode komparatis seagai upayaperbandingan dan pemecahan melalui analisis mengenai hubungankausalitas sesuai dengan masalah pokok yang dibahas. Mekanismenyamelalui penelitian terhadap segala aspek yang berkaitan dengan situ-asi dan fenomena bahasan dengan mengadakan perbandingan antarasatu sama lainnya.

Bertolak dari sana, buku ini diawali dengan upaya menemukanbuku-buku sumber yang berkaitan dengan qiyas baik primer mau-pun sekunder. Sumber primer buku ini adalah beberapa buku yangmerupakan karya asy-Syafi’i seperti kitab “ar-Risalah dan al-Umm”dan karya al-Ghazali seperti “al-Mankhul Min Ta’liqat al-Ushul, Syifa’al-Ghalil dan al-Mustashfa’ Min ‘Ilm al-Ushul” yang merupakan kha-zanah ushul fikih. Sedangkan literatur-literatur fikih yang merupakahlahan praktik teori ushul fikih beliau terhadap dalam kitab Ihya’ Ulumal-Din.

14 Lis Gottschalk, Understanding History, A Primary of Historical Method, (NewYork: Alfred & Knop, 1956), h.48.

15 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,1990), h.76.

Page 19: Fleksibilitas Hukum Islam

Pendahuluan |10

10|

Fleksibilitas Hukum Islam

Sumber sekunder adalah buku-buku berkaitan dengan qiyasyang ditulis tokoh-tokoh fikih lainnya, yang penulis gunakan untukmembantu dalam memahami sumber primer (rujukan pertama) disamping sebagai bahan analisis dalam penulisan. Buku yang menjadisumber sekunder dimaksud adalah yang berkaitan dengan sejarah,fikih dan ushul fikih.

Buku ini terdiri atas beberapa bagian yang disusun sebagai beri-kut. Bagian pertama, “Pendahuluan”, menguraikan latar belakang,permasalahan yang diangkat, serta metodologi penulisan. Bagiankedua, “Konsep Qiyas asy-Syafi’i”, memuat mengenai pengenalanpribadi asy-Syafi’i, yang meliputi: riwayat hidup, tempat kelahiran,pendidikan, karya-karya ilmiah, murid dan pengikutnya serta suasa-na pemikiran yang berkembang pada era asy-Syafi’i. Selain itu, jugadibicarakan pemikiran pokok asy-Syafi’i tentang qiyas yang meliputi:pengertian, rukun-rukun dan kehujjahan qiyas, kesemuanya disan-darkan pada asy-Syafi’i.

Bagian ketiga, “Konsep Qiyas al-Ghazali”, memuat tentang pen-genalan pribadi al-Ghazali yang meliputi: riwayat hidup, tempat kela-hiran, pendidikan, karya-karya ilmiah, dan suasana pemikiran yangberkembang pada era al-Ghazali. Selain itu, juga dibicarakan konsepqiyas dan ‘illat hukum versi al-Ghazali serta korelasi antara pemikiranal-Ghazali terhadap asy-Syafi’i dalam persoalan qiyas.

Bagian keempat, “Pemikiran Qiyas asy-Syafi’i oleh al-Ghazali”memaparkan bagaimana respon al-Ghazali terhadap konsep yangdimunculkan asy-Syafi’i dan aspek-aspek pemikiran yang dikembang-kannya. Selanjutnya juga dikemukakan bagaimana implikasi pengem-bangan konsep qiyas asy-Syafi’i oleh al-Ghazali. Buku ini ditutup den-gan kesimpulan dari keseluruhan bahasan sekaligus sebagai jawabanterhadap permasalahan yang dikemukakan di “Pendahuluan”. Den-gan demikian, kesimpulan ini merefleksikan secara global mengenaikonsep qiyas al-Ghazali, dalam arti segala pemikiran yang bersumberdarinya mengenai qiyas akan dapat terungkat secara eksplisit. Selan-jutnya, juga akan dikemukakan beberapa saran yang dianggap perlu.

Page 20: Fleksibilitas Hukum Islam

2 Konsep Qiyas asy-Syafi’i

Riwayat Hidup dan Pendidikan asy-Syafi’iAsy-Syafi’i, nama lengkapnya Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibnUsman bin Syafi’ ibn Saib ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn‘Abd Muthalib, yang selanjutnya memiliki silsilah yang sama denganRasulullah yang bertemu pada ‘Abd Manaf (moyang Rasulullah).1 Ge-lar asy-Syafi’i disandarkan pada nama kakeknya, tidak dapat diketahuisecara eksplisit apa yang melatar-belakanginya sehingga sampai seka-rang, namanya lebih lekat dengan asy-Syafi’i ketimbang nama lain-nya.

Dari jalur bapak ia berasal dari suku Quraisy,2 sedangkan ibunya

1 Yaqut al-Hamawiy, Mu’jam al-Udaba, (Kairo: Jumhuriyyah Misyr al-Arabi-yyah, tth), Vol. IV, h. 281.

2 Sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak mengakui silsilah tersebutdengan menyatakan bahwa terjadinya hubungan antara asy-Syafi’i denganQuraisy bukan merupakan hubungan nasab melainkan hubungan wala’.Kakek Muhammad yaitu asy-Syafi’i adalah maula dari Abu Lahab, namunargumen semacam ini dianggap oleh ulama peneliti silsilah sebagai suatuhal yang mengada-ngada (bid’ah). Lihat: Muhammad oleh Abu Zahrah, asy-Syafi’i: Hayatuhu wa’ Ashruh ‘Arauh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,1948), h. 15: Bandingkan dengan Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo:

Page 21: Fleksibilitas Hukum Islam

12 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 12

berasal dari suku Azad dari Yaman. Ia dilahirkan pada bulan Rajab ta-hun 150 H/ 767 M, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah,di Gazza, Asqalan Palestina,3 dan wafat di Mesir pada malam Jum’attanggal 29 Rajab 204 H/ 19 Januari 820 M, serta dikebumikan esoksorenya setelah shalat Ashr.

Ayahnya bernama Idris, seorang fakir berasal dari Hijaz, yangkemudian berhijrah dari Mekkah menuju Syam dan menetap diGazza dan wafat beberapa tahun setelah asy-Syafi’i lahir.4 Dengandemikian, sejak kecil ia telah menjadi yatim dan selanjutnya beradadalam asuhan ibunya. Meskipun hidup dalam keadaan miskin sebagaiseorang ibu yang baik tetap menggantungkan harapan agar kelas pu-tranya menjadi anak baik dan berguna. Ini terbukti dengan besarnyaperhatian sang ibu terhadap pendidikan dengan mengirim putranyake al-Kuttab (madrasah).

Ibunya hidup sangat miskin sehingga tidak sanggup membiayaisekolah asy-Syafi’i, namun berkat kebijaksanaan sang guru ia tetapdiizinkan untuk terus belajar. Agaknya, sikap ini dilakukan denganberbagai pertimbangan mengingat asy-Syafi’i adalah murid yang cer-das dan telah kelihatan sejak kecil, ini dapat dilihat ketika ia berusahatujuh tahun telah mampu menghapal al-Qur’an hingga tamat secarasempurna.

Karir pendidikannya berawal dari al-kuttab ini dan melanjut-kan rihlah ilmiahnya (perjalanan studi) ke Masjidil Haram (Mekkah)untuk mendalami ilmu-ilmu bahasa hingga mencapai tingkat mahir(fasih). Selain itu juga mampu menguasai berbagai dialek Arab yangada saat itu karena langsung hidup dan berbaur dengan berbagaikabilah yang ada di pedalaman. Kesempatan ini tidak hanya diman-faatkan oleh asy-Syafi’i untuk belajar bahasa, membaca dan menu-

Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1974), Jilid II, h. 218.3 Mengenai tempat lahir asy-Syafi’i dikalangan ulama masih berbeda penda-

pat yang pada intinya ada menyatakan bahwa ia lahir di Gazza, Asqalan danYaman, namun demikian pendapat yang lebih populer agaknya di Gazza.

4 Abu Zahrah mengutip beberapa riwayat mengenai usia asy-Syafi’i ketikaayahnya wafat, ada pendapat yang menyatakan saat berusia dua thaun danada lagi yang menyatakan saat berusia sepuluh tahun, terlepas dari pendapatmana yang lebih valid yang jelas harus dipahami akar sejarah yang terjadisaat itu. Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 18.

Page 22: Fleksibilitas Hukum Islam

13 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 13

lis serta menghafal al-Qur’an dan hadis dengan baik, melainkan jugauntuk mendalami ilmu-ilmu agama seperti bidang studi fikih, ulumal-Qur’an dan hadis dengan ulama Masjidil Haram. Bahasa dan sas-tra dipelajarinya dari Abu Huzail, seorang pakar sastra yang terke-nal, bertujuan untuk membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruhbahasa asing yang saat itu telah muncul dan mulai berkembang diArab. Pengintensifan bahasa tersebut dilaukan selama sepuluh tahundengan tinggal bersama Bani Huzail, disamping tidak meninggalkanpelajaran syair, sejarah, menunggang kuda dan memanah serta tidakluput mengamati bagaimana prilaku yang terjadi antara masyarakatpedesaan dan masyarakat perkotaan.5

Asy-Syafi’i mempelajari ilmu fikih dan hadis kepada ulama terke-nal di Mekkah, sehingga membuat ia menjadi seorang ulama terkenalpula dan mendapat kedudukan tinggi di mata umat Islam. Beberapaorang gurunya yang terkenal ketika berada di Mekkah antara lain : Is-mail ibn Qansthanthin, Sufyan ibn Uyainah, Sa’id ibn Salim al-Qadah,Daud ibn ‘Abd Rahman al-Athhar, ‘Abd Majib ibn ‘Abd Aziz ibn AbiRuwad dan Muslim ibn Khalid al-Zanjiy.6 Gurunya yang terakhir inipernah menyarankan agar ia menjadi seorang mufti, namun ide ituditolak mengingat ia merasa belum mampu untuk menjadi mufti dantidak dapat leluasa menuntut ilmu melalui pengembaraan ke berbagaitempat.

Dari Mekkah asy-Syafi’i melanjutkan rihlah ilmiahnya menujuMedinah, setelah menapat informasi di sana ada seorang ulama besaryang terkenal, pakar dalam bidang fikih dan hadis yakni Imam Ma-lik ibn Anas. Selanjutnya, tiba di Medinah pada tahun 164 H untukbelajar kepada Malik ibn Anas, namun sebelumnya ia telah membacabuku karya monumental Malik ibn Anas yang berjudul “al-Muwath-tha” dalam bidang fikih dan hadis ketika berada di Mekkah. Kitabtersebut diperolehnya dari seorang lelaki Mekkah. Selain itu, ia jugabelajar dengan ulama Medinah lainnya seperti : ‘Abd Aziz ibn Mu-hammad al-Darawardiy, Ibrahim ibn Sa’ad al-Anshariy, Ibrahim ibn

5 Muhammad Abu Zahrah, asy-Syafi’i...Op. Cit., h. 26.6 Ibn Abi Hatim al-Raziy, Adab asy-Syafi’i wa Manaqibuh, (Siria: Maktabah at-

Turas al-Islamiy, tth.), h. 22-23.

Page 23: Fleksibilitas Hukum Islam

14 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 14

Yahya dan Abdullah ibn Nafi’ al-Shaigh. Ia berdomisili di Medinahsampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H, dan setahun kemudianmenikah dengan Sayyidah Hamidah binti Nafi’, cicit dari Usman ibn‘Affan, berhasil memperoleh tiga orang anak, seorang putra bernamaAbus Usman Muhammad dan dua orang putri bernama Fatimah danZainab.

Selanjutnya, ia meneruskan rihlah ilmiahnya menuju Yaman danberdomisili di sana. Kehadirannya diketahui oleh Gubernur Yamanyang sekaligus memintanya untuk menjadi pegawai pemerintahan.Permintaan tersebut dikabulkan dan akhirnya ia ditempatkan di Na-jran dan segala tugas yang diemban berhasil dilaksanakan dengan baikserta berhasil mengangkat citra pemerintahan di mata masyarakat. Disamping itu, ia tidak lupa meluangkan waktunya untuk belajar padabeberapa ulama terkenal di Yaman seperti belajar fikih Muaz melaluimuridnya Mutharraf ibn Mazin (w. 220 H), Hisyam ibn Yusuf danHakim Shan’a (w. 197 H), fikih Auza’iy melalui ‘Amr ibn Salamah danfikih melalui Yahya ibn Hisyam (sahabat al-Lais ibn Sa’ad).

Di Yaman asy-Syafi’i menetap selama lima tahun dan melanjut-kan rihlah ilmiahnya menuju Iraq. Di sini ia mempelajari fikih AbuHanifah melalui muridnya Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibaniy.Asy-Syafi’i yang dibekali corak pemikiran fikih Madinah dan Yaman,sehingga sering terjadi diskusi menarik. Asy-Syafi’i sering mengkritikbahkan membantah pendapat gurunya yang dirasa kurang relevan.Selama berguru dengan al-Syaibani, ia banyak menimba pengalamandalam upaya mengembangkan pemikirannya melalui metode berpikirrasional sebagai ciri fikih ahlu al-ra’y.

Dari dua metode berpikir yang diterima dari Malik dan al-Syai-bani dikombinasikan, sehingga melahirkan aliran baru “moderat”yang berhasil menetralisir antara pemikiran aliran ahlu al-hadis denganahlu al-ra’y. Setelah kembali ke Mekkah dan selama sembilan tahunberusaha mencari solusi atas segala persoalan yang sepertinya ber-tentnagan antara kedua pemikiran gurunya melalui penetapan kaidahistinbath sebagai patokan untuk menentukan mana benar dan salah.Selain itu, ia juga menetapkan bagaimana mekanisme penggalian hu-kum terhadap kasus yang belum ditemukan dalam al-Qur’an mau-pun Sunnah dan pedoman pelaksanaan ijtihad serta batasannya yang

Page 24: Fleksibilitas Hukum Islam

15 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 15

harus dipenuhi. Selanjutnya, kembali ke Baghdad pada tahun 195 Hdan membawa metode baru melalui kaidah kulliyah7 dan berhasil me-nyusun kitab “al-Risalah”.

Secara ringkas al-Razi menjelaskan bahwa ada 19 orang guruasy-Syafi’i yang terkenal: lima berada di Mekkah (dalam kitab al-Ummdisebutkan ada enam), enam berada di Medinah, empat berada di Ya-man dan empat berada di Iraq. Mereka yaitu: Sufyan ibn Uyainah,Muslim ibn Khalid al-Zanjiy, Sa’id ibn Salim al-Qadah, Daud ibn’Abd al-Rahman al-‘Aththar dan ‘Abd Hamid ibn ‘Abd al-‘Aziz binAbi Ruwad berada di Mekkah; Malik ibn Anas, Ibrahim ibn Sa’adal-Anshariy, ‘Abd ‘Aziz ibn Muhammad al-Darawardiy, Ibn Rahuimibn Yahya al-Usmaniy, Muhammad ibn Sa’d ibn Abi Fudaik dan ‘Ab-dullah ibn Nafi’ al-Shaigh berada di Medinnah; Mutharrif ibn Mazin,Hisyam ibn Yusuf, ‘Amr ibn Salmah dan Yahya ibn Hisan berada diYaman; Waki’ ibn al-Jarrah Abu Usamah, Isma’il ibn ‘Aliyyah dan‘Abd Wahhab ibn ‘Abd al-Majid berada di Iraq.8

Pengalaman yang diperoleh asy-Syafi’i dalam berbagai alirahfikih, hadis dan teologi, membuatnya memiliki wawasan yang sangatluas dengan pisau analisisnya yang tajam. Ia mengerti letak kekuatandan kelemahan, luas dan sempitnya suatu mazhab. Agak sulit untukmenebak pemikiran beliau karena menguasai berbagai disiplin ilmudan pemikiran baik tradisional maupun rasional.

Dari perjalanan hidup asy-Syafi’i sebagaimana ditampilkandi atas, dapat dipahami bahwa ada beberapa faktor yang tidak da-

7 Kaidah Kulliyah adalah kaidah yang mencakup dalil-dalil umum untuk me-nyimpulkan suatu hukum. Kaidah dalam bentuk ini dikenal dengan istilahkaidah ushuliyyah, yang berkaitan dengan dalalah al-lafz, mutiaq dan muqayyad‘am dan khas takhsis, mantuq dan mafhtum. Lihat Abd Aziz Dahlan (ed.), dkk,Busiklopedia Hukum Islam, (Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jil., III, h.866-868. Contoh aplikasi kaidah kulliyah, antara lain: al-Qur’an adn Sunnahmerupakan dalil yang dapat dijadikan hujjah, dalil yang berstatus nash dida-hulukan dari zahir; hadis Mutawatir didahulukan dari hadis Ahad; kaidahperintah mengandung kewajiban dan larangan mengandung keharaman danlain-lain. Lihat Nasrun Haroen, Ushul al-Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), h.4.

8 Dari nama-nama tersebut agaknya hanya berorientasi kepada ulama fikih,sedangkan ulama seperti Abu Huzail (pakar sastra Arab) dan ‘Aththaf ibnKhalid al-Makhzimiy (pakar hadis) tidak dicantumkan. Lihat: Fakhr al-Dinal-Raziy, Manaqib Imam asy-Syafi’i, (Mesir: Dar al-Fikr, 1297 H), h. 87.

Page 25: Fleksibilitas Hukum Islam

16 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 16

pat dipungkiri sebagai penunjang sehingga beliau berhasil menjadiulama terkenal bahkan mendapatkan gelar “imam mazhab” (mujtahidmutlak). Adapun faktor-faktor tersebut antara lain : pertama, adanyabakat pribadi yang cemerlang dan kematangan mental serta kemauanyang kuat untuk mencapai cita-cita; kedua, menguasai metode da-lam berbagai ilmu pengetahuan serta mempunyai mitra diskusi yanghandal dan guru yang matang dalam ilmunya masing-masing; ketiga,pengalaman pribadi yang membuatnya dewasa dalam berfikir dankematangan ilmiah; dan keempat, setting sosio-kultural dan suasanapemikiran ilmiah yang kondusif di mana ia berada.9

Setting Sosial dan Pemikiran HukumCorak kehidupan dan kondisi sosial suatu masyarakat biasanya san-gat berpengaruh terhadap dinamika pemikiran dan politik yangberkembang masa itu, begitu pula halnya bila memperhatikan kondisimasyarakat pada era asy-Syafi’i. Kenyataan ini tentunya tidak dapatlepas dari rentetan sejarah yang muncul pada masa sebelumnya baikberupa aspek politik maupun aspek pemikiran hukum.

Dari aspek pemikiran, asy-Syafi’i yang hidup pada masa pemer-intahan Abbasiyah yang ketika itu telah mengalami masa kejayaan,di mana telah muncul ide dan usaha untuk mengembangkan ilmupengetahuan, mempelajari filsafat Yunani dan kebudayaan Persia sertapengetahuan lainnya, kesemuanya mendapat support (dukungan) daripenguasa baik bersifat moril maupun materil. Melalui pengembanganilmu pengetahuan dan filsafat, pola pikir masyarakat khususnya parailmuan dan intelektual mulai berubah menjadi lebih transparan danilmiah.

Para mutakalimin (teolog) merasa tertarik untuk mempelajariteknik berdebat yang biasa digunakan oleh para filosof, dengan tujuanmemberantas segala bentuk kesesatan yang ditimbulkan kaum zindiq.Namun demikian, setelah mempelajari filsafat mereka terbawa arus,sehingga tidak mampu menahan diri dan akhirnya terjebak dalamfilsafat itu sendiri dengan memperbincangkan persoalan berkaitan

9 Muhammad Abu Zahrah, asy-Syafi’i, Op. Cit., h. 36-40.

Page 26: Fleksibilitas Hukum Islam

17 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 17

dengan free will dan free act manusia dan Tuhan. Atas dasar ini, lahir-lah golongan Mu’tazila yang mampu menghadapi kaum zindiq, se-hingga khalifah yang berkuasa saat itu merasa kagum kepada ulamaMu’tazilah.

Di sisi lain, fuqaha tidak menyukai mekanisme yang digunakanoleh kaum Mu’tazilah dalam memahami berbagai persoalan akidahkarena diaggap menyalahi tradisi dan aturan sebelumnya (kaum salaf),termasuk asy-Syafi’i sendiri.

Pada kesempatan ini juga lahir mazhab-mazhab yang terdiri dariSyi’ah Imamiyah, Isma’iliyah dan Zaidiyyah yang kehilangan pengaruhsetelah menumbangkan kekhilafan Bani Umayyah dan mengalihkanvisi dan persepsi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalamberbagai bidang. Banyak ilmu pengetahuan yang berhasil dibukukanseiring dengan kemajuan yang dialami kekhilafahan Bani Abbasiah,sehingga inipun dapat dirasakan asy-Syafi’i melalui literatur yangdiperoleh dari hasil karya berbagai ulama ternama di antaranya kitab“al-Muwaththa” karya Malik ibn Anas. Selanjutnya, berhasil mendor-ongnya untuk melahirkan suatu karya serta berhasil mengembangkanmazhab dan teori ushulnya.10

Dari aspek politik, para penguasa Abbasiah seperti khalifahal-Mahdi, al-Hadi, al-Makmun, al-Mu’tasyim dan al-Wasiq didekatiulama Mu’tazilah. Ulama Mu’tazilah dimanfaatkan khalifah untukmembasmi kaum zindiq dan aliran-aliran yang dikembangkan olehorang non-Islam seperti Syi’ah Ghulat, yang dipelopori seorang to-koh Yahudi, Abdullah ibn Saba’. Setelah pucuk kekhalifahan bera-lih ke tangan Harun al-Rasyid11, keadaan menjadi berubah dengan

10 Muhammad Khudori Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamiy, (Surabaya: Matba’ahSa’ad ibn Sulaiman al-Nabhani, 1965), h. 154.

11 Pada masa ini sebenarnya asy-Syafi’i, berdomisili di Yaman sebagai pegawaipemerintahan di sana atas permintaan Gubernur, namun setelah Gubernurtersebut wafat dan digantikan oleh Gubernur yang zalim pada tahun 184 H.Ia secara terang-terangan menentang kebijakan Gubernur yang dianggapmenyimpang dari konstitusi hukum. Atas sikap ini, akhirnya ia difitnah olehGubernur sebagai kelompok Syi’ah (partisan Ali r.a). Harun al-Rasyid, khal-ifah Abasiyah yang berkuasa saat itu, memanggilnya untuk menghadap keBaghdad bersama sembilan orang koleganya, namun atas rahmat dan inayahAllah SWT dan bantuan Muhammad ibn Hasan-hakim besar yang tertarik

Page 27: Fleksibilitas Hukum Islam

18 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 18

dirangkulnya fuqaha dan muhaddisun, sehingga mereka lebih dekat.Asy-Syafi’i yang hidup pada masa itu mendapat kesempatan berdis-kusi dengan ulama-ulama ternama, sehingga terbiasa terhadap karya-karyanya yang merupakan tulisan bergaya diskusi (al-jadal).

Dari aspek hukum, telah muncul beragam aliran fikih yangberkembang pesat dan tokoh-tokoh ulama terkemuka dalam berba-gai disiplin ilmu seperti; Abu Hanifah, Malik Ibn Anas, Abu Huzaildan banyak lagi ulama lainnya. Asy-Syafi’i berusaha memahami secaraintensif pemikiran hukum yang berkembang saat itu dan memfor-mulasikannya menjadi suatu pemikiran yang berbeda dengan sebe-lumnya, melalui peletakan dasar-dasar pemikiran inilah oleh fuqahagenerasi berikutnya ia diberi gelar “Bapak Metodologi Hukum Islamdan Pembela Sunnah”.

Bila dicermati secara seksama, akan dapat diketahui bagaimanasebenarnya respon asy-Syafi’i menghadapi situasi yang sedemikianrupa saat itu, namun sebagai anak cerdas dan telah ditempa denganberbagai pengalaman pahit membuat ia tidak larut dengan suasanadan cepat putus asa. Sebaliknya, ia justru memanfaatkan momentumseperti ini untuk memperluas wawasannya dalam berbagai bidang danmenentukan sikap serta tetap konsisten berpijak pada prinsip hidupyang telah dilalui.

Pengalaman dalam menapaki hidup menjadikan wataknya seder-hana dan tidak sombong. Keterlibatan penguasa dalam pengemban-gan ilmu pengetahuan dijadikan kesempatan untuk memperluas danmengembangkan wawasan. Polemik antara ahlu al-ra’y dengan ahlu al-hadis memotivasi dirinya berupaya semaksimal mungkin untuk mer-ekonsiliasikan kedua metode berfikir tersebut dengan memunculkanide baru. Munculnya berbagai aliran teologi seperti Mu’tazilah, Kha-warij dan Syi’ah menyebabkan munculnya inspirasi untuk menentu-kan pilihan terhadap aliran mana yang dianggap lebih benar. Aktivitaspolitik Syi’ah dan Khawarij serta kelompok lainnya membuat ia dapat

dengan kepribadian asy-Syafi’i—maka ia dibebaskan dari seagala dakwaan.Sejak saat itu ia meletakan jabatan dan mengundurkan diri dari pekerjaanuntuk selanjutnya menkonsentrasikan kepada pengembangan ilmu penge-tahuan yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Lihat: MuhammadAbu Zahrah, asy-Syafi’i, Op. Cit., h. 22.

Page 28: Fleksibilitas Hukum Islam

19 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 19

membentuk sikap politik tersendiri, meskipun tidak terlibat secaralangsung (politik praktis).

Akan dikemukakan sekilas mengenai sikap politik Imam asy-Syafi’i, sebagaimana yang digambarkan oleh Abu Zahrah antara lain:1. Eksistensi imamah adalah urgen dalam rangka kemaslahatan

agama dan terpeliharanya stabilitas masyarakat;2. Yang berhak untuk menduduki posisi imam haruslah dari golon-

gan Quraisy, meskipun tidak mesti dari Bani Hasyim;3. Keabsahan seorang tidak mesti melalui bai’at;4. Urutan al-khulafa’ al-rasyidin yakni Abu Bakar ash-Shiddieqy, Umr

ibn Khattab, Usman ibn’ Affan dan ‘Ali ibn ‘Abi Thalib;5. Muawiyah beserta koleganya merupakan para pemberontak.12

Aktivitas Ilmiah dan Karya-karya asy-Syafi’iRihlah ilmiah asy-Syafi’i berakhir hingga kembali ke Mekkah, dan se-jak saat itu ia tidak lagi menjadi seorang murid tetapi telah menjadiguru yang didatangi oleh murid-murid. Salah seorang muridnya yangterkenal adalah Ahmad ibn Hanbal. Selain bertindak sebagai guru,selama sembilan tahun (186-195 H) di Mekkah, ia juga memikirkanbagaimana upaya untuk mengkombinasikan dua pemikiran berbedasatu sama lain yang dipelajari sebelumnya yakni antara pemikiranyang berasal dari kubu aliran ahlu al-ra’y dengan kubu ahlu al-hadis,sehingga pada akhirnya berhasil ditemukan metode ijtihad baru yangmempunyai corak tersendiri.

Setelah sekian lama berada di Mekkah, asy-Syafi’i kembali menu-ju Iraq untuk memperkenalkan metode ijtihad barunya kepada ulamaIraq yang mayoritas penganut aliran al-ra’y. Usahanya tidak sia-siadan sukses, terbukti banyaknya ulama Iraq yang datang untuk belajar.Ulama yang sangat respektif dengan metode tersebut adalah ‘AbdRahman ibn Mahdiy, yang meminta agar asy-Syafi’i mau menuliskanmetode ijtihadnya. Permintaan tersebut dikabulkan, sehingga lahir-lah kitab ushulnya berjudul “al-Risalah” yang dianggap oleh sebagian

12 Muhammad Abu Zahra, asy-Syafi’i, Op. Cit., h. 90-100.

Page 29: Fleksibilitas Hukum Islam

20 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 20

ulama sebagai kitab al-Risalat al-Qadimah (kitab risalat lama).13

Dari Iraq asy-Syafi’i kembali menuju Mekkah selama setahununtuk kemudian kembali lagi ke Iraq. Setelah berada di Iraq untukketiga kalinya selama beberapa bulan kemudian menuju Mesir hinggaakhir hayatnya. Selama berada di Mesir ia juga mempromosikan danmenyebarluaskan metode ijtihad sebagaimana dilakukan ketika be-rada di Iraq.

Penyebarluasan metode ijtihad asy-Syafi’i juga dilakukan melaluipertemuan dengan murid-muridnya dan diskusi dengan ulama yangterkenal saat itu, yang semakin memantapkan dan mematangkan me-tode yang diperkenalkannya. Ditambah dengan kondisi sosio-kulturalyang dihadapi mendorongnya untuk menulis dan menyempurnakankitab “ar-Risalah” yang pernah ditulisnya ketika berada di Mesir, se-hingga kitab ini dinamakan kitab “ar-Risalah al-Jadidah” (kitab risalahbaru).

Oleh karena itu, dalam perkembangannya pendapat asy-Syafi’idikenal ada dua yakni al-qaul al-qadim, pemikiran fikihnya saat beradadi Mekkah dan Iraq, dan al-qaul al-jadid, pemikiran fikihnya saat be-rada di Mesir.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ada berbagai kon-disi yang melingkari kehidupan yang sedang dihadapinya; pertama,berkembangnya ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin karenamendapat dukungan penguasa baik moril maupun materil; kedua, se-maraknya perkembangan pemikiran yang dimotori oleh ahlu al-ra’ydan ahlu al-hadis dalam bidang fikih, sehingga berhasil mencetak ula-ma-ulama ternama dan dibukukannya berbagai karya mereka; ketiga,muncul berbagai aliran teologi dan menuangkan pemikirannya ke da-lam tulisan sehingga dapat diketahui oleh masyarakat umum; dan ke-empat, lahirnya aliran teologi Mu’tazilah yang merupakan kombinasiantara pemikiran agamis filosofis.

Sebelum mengakhiri masa hidupnya, asy-Syafi’i meninggalkanberbagai karya penting yang selanjutnya menjadi warisan intelektualbagi generasi berikutnya melalui berbagai tulisan. Ada pendapat yang

13 Ahmad Muhammad Syakir, “Mukaddimah” dalam asy-Syafi’i, al-Risalah,Op. Cit., h. 9.12.

Page 30: Fleksibilitas Hukum Islam

21 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 21

mengemukakan terhadap 142 karya tulisnya,14 namun sampai saat initidak semuanya dapat dijumpai mengingat sebagian besar tulisannyaberbentuk risalah, lembaran-lembaran kecil yang memuat pemikiran-nya terhadap berbagai persoalan aktual yang muncul saat itu, dansangat sedikit dalam bentuk buku (kitab) mandiri secara utuh terse-but antara lain: kita al-Hujjah, al-Risalah, Ikhtilaf al-Hadits, al-Radd ‘AlaMuhammad ibn al-Hasan, al-Sunan, Ahkam al-Qur’an, Fadha’il al-Quraisy,al-Umm, al-Amality al-Kubra, al-Imla’ al-Shaghir, al-Qasamah, al-Jizyah danQital ‘Ahl al-Baghy. Di samping kitab lain yang dinisbahkan padan-ya seperti : Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, Khilaf Ali wa IbnuMas’ud, Ikhtilaf Malik wa asy-Syafi’i, Jama’i al-Ilm, Siyar al-Auza’iy, Ikhti-laf al-Hadis, al-Musnad, al-Harmalah, Hukhtasar al-Muzani dan Muhtasaral-Buwaiti.15

Ahli sejarah (muarrikhin) mengklasifikasikan karya asy-Syafi’ikepada dua kelompok; pertama, kitab tulisan asy-Syafi’i sendiri sep-erti kitab al-Risalah dan al-Umm yang merupakan riwayat al-Buwaitiyang diteruskan oleh Rabi’ ibn Sulaiman; kedua, kitab tulisan mu-ridnya dengan cara mendiktekan kepada muridnya dan selanjutnyamurid tersebut menuliskannya sendiri; Mukhtasar dan al-Muzami olehal-Buwaiti yang merupakan ringkasan dan kitab al-Imla’ al-Saghir danal-‘Amali al-Kubra.16

Sebagaimana diketahui bahwa setelah asy-Syafi’i menulis karyamonumentalnya dalam bidang ushul fikih yang termaktub pada kitab“al-Risalah”. Maka fuqaha dari berbagai mahzab mulai mengikuti je-jaknya termasuk murid dan pengikutnya sendiri melalui syarah dankhasiyah. Dalam perkembanganya, metode yang dikemukakan asy-Syafi’i melalui tulisannya disikapi dengan kritis, tetapi mengenai dalil-dalil hukum yang dikemukakan disepakati oleh mayoritas fuqaha.

14 Muhammad Yusuf Musa, al-Risalah li al-Iman asy-Syafi’i dalam al-Turas al-Insaniyah, (Mesir: al-Mu’assasat al-Maruzi ada 113 kitab yang merupakanhasil karya asy-Safi’i yang terbagi kepada berbagai disiplin ilmu seperti yangberkaitan dengan persoalan tafsir, ushul fikih, fikih, adab, hadis dan lainnya.Lihat: Ahmad ibn Husain ibn ‘Ali al-Baihaqi Abu Bakar, Ahkam al-Qur’an,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1975), h. 7.

15 Muhammad Khudori, Op. Cit. H. 331-33316 Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqi Abu Bakar, Loc.Cit.

Page 31: Fleksibilitas Hukum Islam

22 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 22

Namun demikian, upaya pengembangan terhadap metodologiasy-Syafi’i dilakukan oleh fuqaha berikutnya secara berkelanjutan den-gan beragam bentk antara lain; pertama, menguraikan secara detailteori-teori asy-Syafi’i yang dianggap sebagai universal sebagaimanayang dipraktikkan oleh sebagian kelompok syafi’iyyah; kedua, men-gadopsi pemikiran asy-Syafi’i sebagian untuk kemudian ditambahkandengan pemikiran dari mazhab lain sebagaimana yang dikembang-kan oleh Hanafiah dengan menambahkan istihsan dan ‘uruf dan Ma-likiyah dengan menambahkan ijma’ ulama Madinah, al-Istihsan danMaslahah al-Mursalah; ketiga, mengembangkan teori dasar asy-Syafi’isebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali, al-Amidi dan pengikutasy-Syafi’i lainnya.17

Selanjutnya, setelah diskursus-diskursus ynag mengkaji masalahushul fikih berkembang pesat dan telah diakuinya eksistensi mazhabyang empat, para puqaha melakukan dua cara untuk mengkaji segalapersoalan yang berkaitan dengan ushul fikih.

Pertama, menyelami ushul fikih dengan melepaskannya dari ke-terikatan ataupun pengaruh dari mazhab atau aliran tertentu. Metodeseperti ini dikembangkan oleh sebagian kalangan Syafi’iyyah karenamengikuti pola pengembangan imamnya ynag menetapkan dasar-dasar tasyri’ tanpa adanya pengaruh furu’, sedangkan metode mutaka-limin merupakan metode yang digunakan oleh teolog yang berupayauntuk membentuk kaidah-kaidah dasar yang valid melalui berbagaiargumen tanpa memperhatikan apakah argumen itu sebagai penguattanpa memperhatikan apakah argumen itu sebagai penguatan atauakan melemahkan terlepas dari ikatan mazhab.

Kedua, menyelami ushul fikih yang berada dalam kendali salahsatu mazhab dengan menetapkan kaidah dasar yang dapat ditarik darifuru’ hukum dan melegitimasinya dengan argumen yang dianggap te-pat. Metode seperti ini dianut oleh sebagian Hanafiyah, dengan caramenetapkan kaidah untuk memelihara furu’ hukum imamnya.

17 Klasifikasi sekaligus contoh dapat dilihat, Hasbi ash-Shiddieqi. Pokok-PokokPegangan Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,1975), h. 17-88.

Page 32: Fleksibilitas Hukum Islam

23 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 23

Murid dan Pengikut asy-Syafi’iKetika menjadi guru asy-Syafi’i mempunyai banyak murid ternama,sedangkan sebagai ‘imam mazhab’18 ia juga mempunyai pengkut-pengikut yang interes dengan ide-ide pemikirannya. Abu Zahrahmencatat nama-nama murid asy-Syafi’i yang terkenal di antaranya:Abu Bakar al-Hamidiy, (w.219 H), Abu Ishaq Ibrahim ibn Muham-mad al-Abbas (w.237 H) Abu Bakr Muhammad ibn Idris dan Abu al-Walid Musa ibn Abi al-Jarud di Mekkah; Abu Aliy al-Hasan al-Sabahal-Zaghfarani (w. 26 H), Abu ‘Aliy al-Husain ibn ‘Aliy al-Karabisiy (w.256 H), Abu Sawr al-Kalibiy (w. 240 H), Abu ‘Abd Rahman Ahmadibnu Abi Muhammad ibn Yahya al-Asy-‘ariy dan Ahmad ibn Hanbal(w. 240. H.) di Iraq (Baghdad); Harnalah ibn Yahya ibn Harmalah((w, 266 H). di Mesir; Abu Ya’kub Yusuf ibn Yahya al-Mazaniy (w.264 H.), Muhammad ibn ‘Abdillah ibn al-Hakam (w. 268 H), Rabi’ibn Sulaiman ibn Daud al-Jizzi (w. 254 H), dan Rabi’ ibn Sulaimanal-Maradiy (W. 270 H) di Mesir.19

Bagaimanapun banyak murid asy-Syafi’i sebagaimana yang te-lah disebutkan di atas, namun semuanya yang secara utuh konsistenmengamalkan apa yang diterima dari gurunya seperti yang dilaku-kan oleh Ahmad ibn Hanbal—telah mendirikan mazhab sendiri danberbeda dengan gurunya—dan Muhammad ibn Abdillah ibn Abdal-Hakam, yang kembali beralih kepada mazhab Maliki setelah asy-Syafi’i meninggal.

Setelah mazhab ini berkembang luas, mazhab tersebut dapatterus bertahan hingga saat ini, kenyataan ini tidka mengherankan

18 Tema mazhab muncul setelah berakhirnya masa hidup imam yang empatyaitu sekitar abad ke-empat H, yang mendasari pada alur berfikir para imamtertentu, selanjutnya dielaborasi sedemikian rupa sehingga menjadi aliranyang meluas dan mendalam serta cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient).Dengan demikian, mazhab berarti sesuatu kesatuan pemikiran yang tumbuhdan berkembang bertiitk tolak dari produk intelektual satu orang dan ter-lepas apakah dibenarkan atau tidak oleh imamnya secara post factum, artinyafakta-fakta yang berkembang setelah imam tersebut meninggal. NurcholishMadjid, “Tradisi Syarah dan Hasyiyyah dalam fikih dan Masalah StagnasiPemikiran Hukum Islam” dalam Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,diedit Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 101.

19 Muhammad Abu Zahra, Op. Cit., h. 159-164.

Page 33: Fleksibilitas Hukum Islam

24 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 24

mengingat asy-Syai’i juga memiliki banyak pengikut setia, sehinggamazhabnya dapat bertahan lama dan “lestari”. ‘Abd Halim al-Jundymencatat nama-nama pengikut asy-Syafi’i yang menjadi ulama terke-nal masanya di antaranya: Daud ibn Ali az-Zahiri (w. 270 H), Mu-hammad ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), Abu al-Ma’ali Abu al-Malik‘Abdilah al-Juwaini atau Imam Haramain (w. 478 H), Abu Hamid al-Asfarayayn (w. 418 H), al-Mawardi (w. 450 H), al-Baihaqi (458 H),Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), al-Kaffal al-Kabir al-Syasyi (w. 507H), Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), Muhammad ibn Umar al-Razi(w. 606 H), ‘Izz al-Din Abd Salam (w. 660H), al-Nawawi (w. 676 H),Siraj al-Din al-Balqayn, Taqi al-Din ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H) danTaqi al-Din as-Subqi (w. 756 H).20

Sebagaimana muridnya tidak semua setia dengan mazhab yangdiajarkan oleh gurunya, begitu juga yang terjadi dengan pengikutnya.Ada sebagian pengikutnya mengemukakan pemikiran berbeda sep-erti Daud ibn ‘Aliy az-Zahiri yang mendirikan mazhab sendiri yakniterkenal dengan sebutan mazhab az-Zahiri dan al-Ghazili, diakui se-bagai orang yang mengelaborasi sedemikian rupa ide-ide sebelumnya,sehingga akan terlihat hanya sedikit persamaann pemikiran denganasy-Syafi’i.

Al-Ghazali memang tidak secara langsung mengakui bahwaia pengikut asy-Syafi’i, ini akan terlihat merujuk kepada kitab yangdikarangnya dalam bidang ushul fikih. Ia mengemukakan pendapatasy-Syafi’i dengan mengemukakan kata “menurut pendapat asy-Syafi’i(qala asy-Syafi’i)” bukan kata-kata “menurut pendapat imam (qala al-Imam)”. Sedangkan kepada gurunya, Imam al-Juwaini, digunakan kata“menurut pendapat guru saya (qal al-Ustaziy)”. Namun demikian,karena ia berguru kepada al-Juwaini yang merupakan pengikut setiaasy-Syafi’i dan sebagian besar pemikiran al-Ghazali terinspirasi darial-Juwaini, secara tidak langsung ia dikategorikan sebagai pengikutasy-Syafi’i.21 Oleh karena itu, dari sinilah akan terlihat keterkaitan

20 Abd Halim al-Jundiy, Op. Cit., h. 201-203.21 Penulis mencatat ada beberapa literatur yang mengemukakan bahwa al-

Ghazali sebagai pengikut asy-Syafi’i di antaranya: Abu Hatim al-Razi al-Jundi dalam bukunya Imam asy-Syafi’i; Nashir al-Sunnah wa Wadhi’ al-Ushul.Nasr Hamid Abu Zaid, Imam asy-Syafi’i: Bain al-Qadasah wa al-Basyariyah wa

Page 34: Fleksibilitas Hukum Islam

25 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 25

hubungan pemikiran antara asy-Syafi’i dengan al-Ghazali, meskipuntidka secara langsung.

Demikianlah keharuman nama asy-Syafi’i yang telah meninggal-kan warisan sangat berharga bagi generasi berikutnya melalui berbagaikarya ilmiah, sehingga bermunculan beberapa gelar yang disandarkanpada dirinya seperti “Bapak Metodologi Hukum Islam dan PembelaSunnah”. Pengakuan sekaligus kekaguman tersebut tidka hanya darikalangan intern umat Islam yaitu kelompok syafi’iyyah dan pengikutmazhab lain, tetapi juga kalangan eksteren seperti para orientalis yangmendalami ilmu-ilmu ke-Islam-an.

Kenyataan ini semakin jelas terlihat bila mengamati bagaimanausaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut unutk menggoyangotoritas asy-Syafi’i karena dianggap sangat berpengaruh terhadap ka-langan intelektual Islam.

Pemikiran beliau sampai ke tangan umat Islam saat ini berkatjasa para muridnya selanjutnya diteruskan oleh para pengikutnya ynagmerasa simpatik. Sedangkan mengenai karya-karyanya sampai saat inimasih bisa dijumpai, meskipun tidak secara utuh dan merupakan kha-zanah intelektual ynag tidka ternilai harganya.

Pemikiran asy-Syafi’i tentang QiyasSebelum menguraikan tentang konsep qiyas yang ditampilkan olehasy-Syafi’i, terlebih dahulu akan dikemukakan yang menjadi pokokbahasan uhsul fikihnya yang terdiri dari beberapa bahasan pokok,antara lain:1. Dalil-dalil syura’ yang mencakup: Kitab, Sunnah, pendapat saha-

bat;2. Kaidah-kaidah penggalian hukum melalui pendekatan literal yang

mencakup: ‘am, khas, musytarak, mubayyin, mutlaq, muqayyad,mafhum takhsis al-‘am dan taqyid al-mutalq;

3. Kaidah-kaidah penetapan hukum yang mencakup; kasus hukumyang menjadi obyek ijtihad, hal-hal yang berkenan dengan ijtihaddan korelasi antara Kitab dengan Sunnah melalui; ta’arudh, tarjih

Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasthiyah, Abu Bakar Abd Razak dalam bukunya An-nufahat al-Ghazaliyah, Khudori Bek dalam bukunya Tarikh Tasyri al-Islamiy.

Page 35: Fleksibilitas Hukum Islam

26 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 26

dan naskh.Melalui pendekatan semacam ini, merupakan indiakasi bahwa

upaya ijtihat dalam menggali hukum melalui dalil-dalil dapat dilaku-kan melalui beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan literal mela-lui kaidah-kaidah literal; Kedua, pendekatan maknawiyah, berupametode qiyas; dan ketiga, pendekatan kaidah penetapan hukum yangmencakup ta’arudh, tarjih dan naskh.

Secara umum format qiyas yang ditawarkan asy-Syafi’i memangbelum memadai karena belum terkmas secara sistematis dan rinci,namun demikian, setidaknya ia telah menjadi pelopor lahirnya qiyasdalam bentuk teori dna praktek yang lebih maupun dari sebelum-nya. Hal ini dapat diketahui ketika mereferensi literatur-literatur yangberkaitan dengan latar belakang sejarah (historical background) muncul-nya qiyas sejak periode Rasulullah hingga saat ini. Untuk itu, melaluitesis ini akan dicermati secara global maksud dari qiyas yang ditawar-kan asy-Syafi’i tersebut, meskipun hanya merupakan prediksi-ilmiahberdasarkan literatur bersumber dari karyanya.

Pengertian QiyasAsy-Syafi’i dalam berbagai dirkursusnya yang diungkap berbagai lit-eratur ushul fikih, sebenarnya belum mengemukakannya secara ek-splisit dan utuh tentang pengertian qiyas, namun dari rumusan-rumu-san terpisah yang merupakan proposisi beliau dapat diketahui ataudiprediksi pengertian yang ia maksud.

Rumusan-rumusan tersebut antara lain:a.

فيه فلايحنتلف الاصل معنى ف تلشى يكون هماان احد وجهين من والقياسواكثرهاشبهافيه هابه لا باو يلحق فذلك اشياه الاصل ف الشى يكون وان

هذا.22 وقد يحنتلف القايسون فىProposisi yang menjelaskan keberadaan qiyas dapat dilihat

dari dua aspek; pertama, kasus baru (far’u) memiliki persamaan

22 Asy-Syafi’i.,Op.Cit., h. 207.

Page 36: Fleksibilitas Hukum Islam

27 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 27

makna (persis sama) dengan makna asal, sehingga dapat diqiyaskantidak jauh berbeda; kedua kasus baru memiliki persamaan arti den-gan beberapa makna pada kasus asal, sehingga dapat dihubungkandengan kasus asal pertama yang dominan persamaannya. Bentukterakhir ini masih terjadi polemik di kalangan mujtahid. Pada termdihubungkan ( يدحق ) dapat dikaitkan pada suatu kasus baru ke-pada kasus asal.

b.

والسنة الكتاب من لمتقدم الخبرا موافقه على الدلائل ماطلب والقياسطلبه.23 لانهما علم الحق المقترض

Proposisi yang menyatakan qiyas merupakan metode ber-pikir untuk melacak kasus hukum sesuai dengan yang dinyatakanoleh nash baik al-Qur’an maupun Sunnah, sebagai landasan yangmemuat pengetahuan wajib dicari secara formal.

Term apa yang dilacak ( ماطلب ) berorientasi pada kasus hu-kum secara eksplisit maupun implisit dan proporsi informasi yangjelas ( الخبرالمتقدم ) berorientasi pada landasan (sanad) yang dina-makan kasus asal. Asy-Syafi’i dalam kesempatan ini, kelihatannyasecara eksplisit menyatakan bahwa qiyas harus mempunyai sanaddari nash.

c.

الابدلائل، لايكون الشئ وطلب شئ طلب الاعلى فالاجتهادابدالايكونالقياس24 والدلاهي

Praktek ijtihad hanya boleh diterapkan dalam upaya melacakhukum kasus baru dan upaya pelacakan tersebut hanya melaluipetunjuk dalil (argumentasi) dan argumentasi dimaksud melaluiqiyas (penyerupaan). Pada proposisis untuk melakukan pelacakan( الشئ طللب على ) berorientasi terhadap peristiwa hukum yangakan diperjelas status hukumnya baik berupa kasus asal maupunkasus baru.

23 Ibid., h. 25.24 Ibid., h. 25.

Page 37: Fleksibilitas Hukum Islam

28 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 28

d.

لمعتى. اواحله صا منصو الشئ حرم رسوله او الله يكون ان هما ...احدكتاب لعينه فيه فنص ينص لم فيما المعتى ذلك مثل مافي وجدنا فاذا

25 ولاسنة احللنا ه او احرمنا ه لاته فمى معنى الحلا ل والحرامSebagai upaya praktek qiyas di mana Allah SWT dan Rasul

Nya menyatakan keharaman terhada sesuatu secara eksplisit (sharih)atau menghalalkannya secara implisit (maknawi). Selanjutnya, biladijumpai suatu kasus yang tidak disinyalir oleh nash, namun memi-liki persamaan (keserupaan) arti (maksud) dengan kasus yang din-yatakan nash maka dapat ditetapkan hukumnya halal atau haramkarena memiliki persamaan makna dengan halal atau haram.

Pada proposisi pengharaman sesuatu secara eksplisit maupunimplisit ( منصوصااوحله الشئ (حرم berorientasi terhadap hukumasal dan ‘illat, proposisi اواحرمناه) (احالناه berorientasi pada ‘il-lat dan kasus baru, ( الحام و الحلال معنى فى (لانه berorientasi padahubungan antara kasus asal (ashl) dengan kasus baru (far’u).

Mengacu pada proposisi di atas, dapat dipahami sebenarnyaasy-Syafi’i telah membuat rumusan tentang pengertian qiyas yaitumenghubungkan suatu kasus yang belum jelas ketentuan hukum-nya (kasus baru) disebabkan adanya kesamaan ‘illat atau makna.26

Ada beberapa pemahaman yang dapat ditariki pengertian tersebut,antara lain:

Pertama, kesamaan yang terdapat pada kasus asal dan kasusbaru harus mempertimbangkan kemaslahatan agar tidak kon-tradiktif dengan tujuan ditetapkannya hukum oleh Syari’. Kedua,

25 Ibid., h. 220.26 Secara eksplisit asy-Syafi’i tidak menjelaskan tentang persmaaan makna

antar kasus asal dengan kasus baru dari aspek ‘ain maupun jinsnya. Ia hanyamenyatakan kesamaan ain al-ma’na, namun bukan berarti dipahami secaramentah (apa adanya). Makna yang dimaksud dapat dipahami secara luas se-hingga memberi peluang terhadap adanya metode lain. Meskipun demikianhal ini dapat dimaklumi mengingat ia tidak memberikan uraian yang jelastentang perbedaan antara ‘ain dengan jins makna. Menurutnya, hal yang sig-nifikan untuk praktek qiyas bahwa ‘illiat yang terdapat pada kasus asal mau-pun kasus baru diakui oleh Syari’.

Page 38: Fleksibilitas Hukum Islam

29 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 29

upaya pelacakan makna atau ‘illat dapat dilakukan melalui dua carayaitu: melalui petunjuk nash dalam arti khusus (‘ain al-ma’na) beru-pa qiyas dalam arti khusus dan melalui komulasi dari beberapanash (jins al-ma’na) berupa qiyas dalam arti umum.

Rukun QiyasUntuk menformat qiyas menjadi utuh dan sempurna tidak da-pat dilepaskan dari beberapa unsur pokok yaitu rukun, yang harusdipenuhi dan saling mendukung satu sama lain. Bila rukun telah sem-purna maka baru diterapkan qiyas. Asy-Syafi’i menetapkan ada empatrukun agar terbentuknya qiyas, yaitu: ashl (wadah hukum yang ber-sumber dari nash), hukm al-ashi (hukum yang telah ditetapkan olehnash), far’u (kasus yang akan ditetapkan hukumnya) dan ‘illa (motivasihukum).a. Ashl

Ashl (kasus asal), juga dapat digunakan dalam term lain yaitumaqis ‘alaihi المقيسعليه berarti tempat mengqiyaskan suatu kepa-danya. Sebagaimana diketahui asy-Syafi’i hanya mengakui ijtihaddalam format qiyas karena dianggap memiliki sandaran (sanad).Sedangkan yang lain seperti istihsan dan metode lainnya beliau to-lak karena dianggap tidak memiliki sandaran yang jelas. Menurutasy-Syafi’i, sandaran qiyas hanya al-Qur’an atau Sunnah (khabaral-muqaddam) dan juga menetapkan bagaimana proses kembali ke-pada sandaran tersebut melalui beberapa persyaratan. Pertama,harus bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Ia menolak berbagaiproduk hukum yang tanpa didasari oleh sanad yang jelas dari nash,dengan demikian dapat dipahami bahwa ia menolak produk hu-kum yang bersandarkan selain dari nash baik ijma’ maupun qiyasatau lainnya.

Kedua, kasus asal harus muncul lebih dahulu kemudian dii-kuti kemunculan kasus baru. Untuk menetapkan hukum terhadapkasus baru harus ada yang dijadikan landasan sehingga dapat di-lakukan komparasi melalui persamaan ‘illat. Tanpa mengacu ke-pada kasus asal ketetap hukum terhadap kasus baru tidak dapatditentukan karena tidak diketahui hukumnya secara pasti dan hal

Page 39: Fleksibilitas Hukum Islam

30 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 30

semacam ini tidak mungkin benar.Oleh karena itu, melalui diskursusnya asy-Syafi’i memberi-

kan solusi dalam persoalan yang dianggap substansial ini, melaluiproposisinya bahwa setiap kasus yang dihadapi umat Islam pastiada ketentuan hukumnya baik tekstual (literal) maupun kontekstu-al (maknawi) sebagai bukti kesempurnaan dan ke-elastisan ajaranIslam

b. Hukum al-AshlMelalui proposisi asy-Syafi’i yang menyatakan:

او الله م احكا من غيره فى لةا لا د فيه ت وجد لرسوله او الله حكم كلذ27 رسوله با نه حكم به المعنى من المعا

“Segala hukum yang ditetapkan Allah atau Rasul, ada petunjuknyabaik dijelaskan secara langsung maupun melalui penjelasan lainyang menyatakan bahwa hukum tersebut mempunyai makna seba-gai argumen penetapan.”

Proposisi ini menunjukkan hukm al-ashl (hukum asal) ada-lah hukum yang telah ditetapkan melaui nash baik secara tekstualmaupun kontekstual, sehingga untuk menentukan hukum asaldibutuhkan beberapa persyaratan antara lain, pertama, ketetapanhukumnya telah dinyatakan oleh al-Qur’an dan Sunnah, sehinggasumber lain selain nash tidak dibenarkan.

Kedua, ketetapan hukum pada kasus asal dapat dicerna olehakal mengenai tujuan yang dijadikan alasan penetapannya olehSyari’i (ma’qul al-makna). Oleh karena itu terhadap kasus hukumyang bukan ma’qu al-ma’na, seperti yang berhubungan dengan iba-dah tidak dapat dijadikan sandaran qiyas, kalaupun ada maka mak-na (‘illatnya) hanya terbatas pada kasus itu saja, sedangkan ‘illatqiyas harus muta’addiyah. Contoh ma’qul al-ma’na adalah keharamankhamar yang mengakibatkan munculnya rasa permusuhan dan ke-marahan, sebagai ‘illatnya adalah memabukkan. Sedangkan con-toh bukan ma’qu al-ma’na (ta’abbudi) adalah jumlah bilangan rakaatshalat dan manasik haji.28

27 Ibid., h. 25.28 Ibid., h. 237.

Page 40: Fleksibilitas Hukum Islam

31 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 31

Ketiga, hukum asal bukan merupakan rukhsah. Contoh, ke-bolehan jual-beli korma basah yang masih berada di pohon den-gan korma kering dengan tidak menggunakan takaran atau tim-bangan, sebagai hukum rukhsah dari ketentuan hukum umum. Dimana Rasul melarang menjual korma segar dengan korma ker-ing. Ketentuan seperti ini tidka boleh diqiyaskan kepada anggur.Keempat, hukum asal bukan merupakan ketentuan khusus yangada petunjuk mengenai kekhususannya. Hal ini dipandang bukanma’qul al-ma’na dan ‘illatnya terbatas. Bila tetap diberlakukan qiyasmaka secara tidak langsung telah membatalkan nash.

c. Kasus baru (far’u)Sebagaimana sebelumnya, asy-Syafi’i tidak memberikan defi-

nisi secara eksplisit mengenai far’u (kasus baru), namun melaluiproposisi yang dikemukakannya dapat diprediksi apa yang ia mak-sud dengan kasus baru:

او الله م احكا من غيره فى لةا لا د فيه ت وجد لرسوله او الله حكم كلفى لانه ه حرمنا او ه احللنا قإذا ذ، المعا من المعنى به حكم نه با رسوله

والحرام29 معنى الحلالDengan demikian, yang dimaksud asy-Syafi’i kasus yang tidak

dinyatakan nash adalah kasus baru, yang dapat dilacak ketentuanhukumnya melalui pengqiyasan terhadap kasus asal. Oleh karenaitu, secara tidak langsung melalui sinyal tersebut ia tetap menetap-kan persayaratan langsung melalui sinyal tersebut ia telah men-etapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar dapatdikategorikan pada kasus baru, antara lain, pertama, kasus barubelum dinyatakan secara tegas oleh nash baik secara lafzi (literal)maupun maknawi, sehingga dapat dikatakan qiyas tidak berlakupada kasus yang telah dinyatakan oleh nash الناس قياسفموضع لاsebagaimana dinyatakan asy-Syafi’i bahwa qiyas tidak dapat diter-apkan bila ditemukan khabarnya جود مو والخبر س القيا لايحل .لان

Kedua, kasus baru harus mempunyai kesamaan ‘illat dengankasus asal sebagai landasan penetapan hukum, seperti haramnya

29 Ibid., h. 25.

Page 41: Fleksibilitas Hukum Islam

32 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 32

khamar karena ‘illat yang dinyatakan nash adalah memabukkan.Namun demikian, kesamaan tersebut tidak mesti masa benar tetapiterdapat keserupaan yang dominan.

d. ‘illatSegala hukum yang ditetapkan Allah SWT pada manusia ber-

tujuan untuk menjaga kemaslahatan manusia. Hanya saja untukmengetahui tujuan itu dapat melalui indera (zahir) ataupun melaluinaluri atau nalar (hikmah). Hikmah inilah yang nantinya dijadikan‘illat terhadap suatu kasus. Namun biasanya hikmah bersifat khafi(tersembunyi) maupun ghairu mundabith (relatif). Dengan demiki-an, perlu sesuatu yang zahir dan mundabith tadi agar dapat dijadikanmazinnah al-hikmah (tempat diduga kuat adannya hikmah), itulahyang dijadikan ‘illat atau landasan operasional qiyas.

Agar dapat terpenuhinya sesuatu sebagai ‘illat, asy-Syafi’imemberikan batasan-batasan yang dijadikan persyaratan sebagaisuatu ‘illat, antara lain, pertama, ‘illat yang akan diberlakukan terh-adap kasus hukum dinyatakan oleh nash. Hal ini mengingat tidaksemua ‘illat bersifat efektif, sebagaimana diketahui pada dasarnyasebagai landasan hukum yakni hikmah. Akan tetapi hikmah secaraumum bersifat abstrak dan tidak mundabit, diahlihkan landasanhukum kepada ‘illat. Contoh hikmah hukum yang tidak efektif,yaitu hikmah shalat adalah agar terpelihara dari perbuatan keji danmungkar. Hikmah semacam ini tidak dapat dijadikan dasar terh-adap adanya kewajiban mengerjakan salat, karena sekalipun tidakdapat terpenuhinya hikmah tersebut tetap diwajibkan.

Kedua, ‘illat harus berupa sesuatu yang dapat diketahui atauditangkap melalui panca indera (ma’qul al-ma’na). Ketiga, ‘illat harusberupa sesuatu yang pasti dan memiliki hakikat yang kongkrit dandapat diukur (mundabit), ini mengingat dasar qiyas adalah menya-makan ‘illat hukum yang ada pada kasus baru dengan kasus asal.Persamaan itu haruslah berupa ‘illat yang pasti agar dapat diper-samakan hukumnya seperti, dibolehkannya orang yang sedang da-lam perjalanan atua sakit meninggalkan puasa, yang ‘illatnya bukanmenolak masaqqah30 karena tidak mundabit tetapi ‘illatnya adalah sa-

30 Massaqah adalah kesulitan dalam melaksanakan taklif hukum. Masaqqah ter-

Page 42: Fleksibilitas Hukum Islam

33 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 33

far atau sakit.31

Dengan demikian, bila persyaratan berlakunya ‘illat tidak ter-penuhi maka menurut asy-Syafi’i, dapat diberlakukan qiyas. Atasdasar ini, asy-Syafi’i menetapkan rumusan ‘illlat berlandaskan padasesuatu sifat zahir dan mundabit sebagia mazinnah al-hikmah. Menu-rutnya, menggunakan ‘illat melalui sesuatu yang zahir secara tidaklangsung bersandarkan pada sesuatu yang pasti karena hukumbaru muncul bila ada yang zahir begitu juga sebaliknya.

‘Ilat HukumSalah satu unsur signifikan dalam upaya terbentuknya qiyas sebagia-mana dijelaskan sebelumnya adalah ‘illat. ‘Illat merupakan suatu ke-tentuan hukum yang ditetapkan secara eksplisit oleh nash atau mela-lui tunjukan dalil-dalil pada nash atau melalui ijma’ bahkan melaluiijtihad. Apabila ketentuan tentang adanya llat telah dijelaskan olehnash maka tidak ada peluang terjadinya polemik di kalangan ulamauntuk menetapkan hukum terhadap suatu kasus.

‘Illat berperang sebagai tali penghubung antarahukum yang ter-dapat pada kasus asal (nash) dengan hukum yang diprediksikan teda-pat pada kasus baru yang akan diberlakukan qiyas. Disisi lain, ‘illatjuga berperan sebagai penentu terhadap persamaan atau perbedaansuatu hukum.

Untuk menentukan suatu ‘illat diperlukan beberapa cara seba-gaimana umumnya dilakukan oleh mayoritas ulama yang dikenal den-

bagi dua yaitu mutaddah dan ghairu mutaddah. Masaqqah mu;taddah adalah ke-sulitan yang juga dialami orang banyak dan tidak akan menimbulkan bahayaterhadap diri pelaku maupun lingkungan sekitarnya. Contoh, perintah wajibseperti shalat, kesulitannya hanya membuat pelakunya letih dan puasa me-nyebabkan orang merasa lapar. Masaqqah ghairu mu;taddah adalah kesulitanyang tidak biasa dialami orang banyak dan sulit dilakukan seperti shalat set-iap waktu, kesulitan semacam ini dapat menyebabkan pelakunya menderitabahwa lebih dari itu.

31 Uraian tentang persyaratan terbentuknya ‘illat di atas adalah prediksi ilmiahdari pemikiran asy-Syafi’i tentang ‘illat yang tertuang dalam diskursus karan-gan As’ad al-Sa’adi. Klarifikasi secara lengkap dapat dilihat dalam As’ad al-Sa’adi, Mabahis al-‘illat ‘Inda Ushullyyin, (Beirut: Dar al-Basyir al-Islamiyyah,1986), h. 195.

Page 43: Fleksibilitas Hukum Islam

34 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 34

gan tema masalik al-’illat (upaya pelacakan ‘illat) yaitu melalui nashatau ijtihad.

Pertama, yang ditentukan nash secara ekspisit sebagaimana ter-dapat dalam S.al-Nisa (4) ayat 43 :

يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى

“Wahai orang yang beriman, janganlah mendekkati shalat ketika kamumasih mabuk...”.

Ayat diatas diturunkan sebelum diturunkan larang secara umummeminum khamar yang dijelaskan pada S. al-Maidah (5) ayat 93.

ليس على الذين آمنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا

“tidak ada dosa bagi orang yang beriman dan beramal saleh karenamemakan makanan yang telah mereka makan dahulu...”

Dengan demikian, diketahui referensi yang jelas tentang perso-alan mabuk dan juga dikuatkan dengan hadis yang menyatakan segalayang memabukkan hukumnya haram sedikit maupun banyak.

Kedua, yang ditentukan melalui indikasi-indikasi, yang dapatdiketahui melalui ungkapan bahasan nash maupun kata depan yangsering muncul seperti ; anna, inna, bi, fa, ti dan lainya, yang berhubun-gan dengan ta’lil. Contoh, sebagaimana terdapat pada firman Allah S.Ali Imran (3) ayat 159.

فبما رحمة من الله لنت لهم

“Maka disebabkan dari rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembutterhadap mereka...”.

Ketiga, yang ditentukan oleh ijma’, sebagaimana diketahui bah-wa ‘illat hak perwakilan bapak terhadap harta anaknya yang belumdewasa. Melalui analogi semacam ini hak tersebut juga diberikan ke-pada kakek, meskipun tidak dijumpai adanya ijma’ yang menyatakanhak perwalian bapak terhadap harta anak perempuannya yang masihkecil.32

32 Asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘ilm al-Ushul, (Surabaya :Syirkah Maktabah Ahmad bin Nabhan, tth.), h. 210.

Page 44: Fleksibilitas Hukum Islam

35 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 35

Alternatif terakhir untuk mengetahui ‘illat yaitu melalui ijtihad,sehingga fuqaha’ memiliki tugas berat untuk melacak sekaligus me-mahami sifat-sifat (awsaf) yang terdapat pada kasus asal agar dapatdiidentifikasi sebagai ‘illat.

Dalam kaitan ini, asy-Syafi’i beranggapan bahwa segala ketentu-an hukum (hukum syara’) yang ditetapkan Syari’ bagi manusia sudahtentu mengandung motivasi untuk mencapai suatu tujuan yaitu untukkemaslahatan dan menolak kerusakan (mafsadat).

Tolak ukur untuk mengetahui maslahat atau kerusakan adalahberdasarkan pada kehendak Syari’ bukan kehendak manusia meng-ingat penilaian Syari’ lebih obyektif karena memandang segala aspekdan demi kepentingan manusia secara umum.

Sedangkan penilaian manusia tidak terlepas dari unsur subyek-tivitas yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik interen berupa ke-pentingan pribadi dan kelompok maupun eksteren berupa kondisisosio-kultural di sekitarnya.

Menurut asy-Syafi’i, hukum yang ditetapkan Allah dibina di ataslandasan hikmah, sehingga ada atau tidaknya hukum berkaitan eratdengan ada atau tidaknya hikmah. Hikmah inilah yang nantinya akandijadikan sebagai sandaran hukum.33

Hikmah yang dijumpai pada suatu kasus hukum biasanya dapatdinalar dan sulit diukur serta ditangkap oleh panca indera. Oleh kar-

33 Ada tiga term yang seing digunakan oleh ulama ushul dimaksudkan seba-gai ganti dari motivasi hukum yaitu; hikmah, illat dan sebab, ketiga term inimempunyai pengertian berbeda secara substansial. Hikmah adalah kemasla-hatan yang dimaksudkan oleh Syari’ sebagai pembuat hukum dalam rangkapensyari’atan hukum yang bertumpu pada terpeliharanya agama, harta,jiwa, kehormatan diri pribadi dan masyarakat umum, yang esensinya ada-lah meraih kemasalahatan dan menolak kerusakan. ‘Illat adalah sifat yangjelas dihubungkan Syari’ terhadap suatu hukum dan atas dasar ini hukumdibangun. Sebab adalah sesuatu yang menjadi motivasi ditetapkannya suatuhukum namun tidak dapat dinalar oleh manusia. Contoh, hikmah bolehberbuka puasa bagi orang yang sakit yaitu menghilangkan kesulitan bag-inya agar jangan bertambah parah, ‘illatnya adalah sakit dan sebabnya ada-lah munculnya awal bulan disaksikan oleh orang yang dianggap memilikiotoritas dan dipercaya sebagai indikasi diwajibkannya melaksanakan ibadanpuasa (ramadhan). Lihat :Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Me-sir: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1993), h. 204.

Page 45: Fleksibilitas Hukum Islam

36 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 36

ena itu, untuk menjadikan hikmah sebagai ‘illat hukum perlu adanyaupaya pelacakan terhadap seuatu yang diprediksikan sebagai tempatadanya hikmah (mazinnah al-hikmah). Hal ini mengingat hikmah bi-asanya tersembunyi (khafi) dan relatif (ghairu mundabit), sehingga san-darannya dapat diketahui melalui sesuatu yang bersifat kongkrit (zahir)dan mundabit. Sifat zahir adalah sifat yang terdapat pada suatu hukumyang dapat dinalar oleh manusia, sedangkan sifat mundabit adalah sifatyang telah pasti dan memiliki hakikat kongkrit serta dapat diukur.

Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui contoh yang dikemuka-kan asy-Syafi’i pada kitab “al-Umm” sebagai berikut:

والقصرفى الخوف والسفربالكتاب ثم بالسنة والقصر فى قال: لشافعى،رخصة السفربلاخوف القصرفى ان على يد والكتاب سنة السقربلاخوف

عزوجل...34 من الله

“Qasar shalat dalam keadaan takut dan dalam perjalanan (ditetapkan)melalui al-Qur’an dan al-Sunnah, qasar shalat dalam perjalanan tanparasa takut adalah sunnat. Selanjutnya, al-Qur’an mengindikasikan bah-wa qasar shalat ketika dalam perjalanan tanpa rasa takut merupakanrukhsah dari Allah...”

Proposisi diatas, mengindikasikan bahwa yang menjadi ‘illatdalam persoalan ini adalah perjalanan bukan perasaan takut. Alasanyang dikemukakan karena takut merupakan masaqqah yang berbedapada setiap orang. Ada yang menganggapnya sebagai masaqqah danada pula yang merasakan sebaliknya, oleh karena itu, takut tidak da-pat dijadikan sebagai ‘illat. Jika yang dijadikan ‘illal adalah perjalanan(safar) maka akan jelas diketahui melalui panca indera (zahir), sedan-gkan jarak perjalanan yang ditempuh dapat diukur ehingga menjadimundabit.

Dengan demikian, secara tidak langsung asy-Syafi’i menetapkansuatu persyaratan agar dapat dijadikan suatu mazinnah al-hikmah harus‘illat yang bersifat zahir dan mundabit, seperti; pembunuhan, pencuriandan penipuan dengan sengaja, yang ‘illatnya dapat dinalar dan diukurmelalui pikiran manusia normal. Disyaratkan demikian, mengingatesensi qiyas adalah upaya mempersamakan antara dua kasus asal den-

34 Asy-Syafi’i, al-Umum, (Mesir, ttp.,tth), Jil. III, h. 4.

Page 46: Fleksibilitas Hukum Islam

37 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 37

gan kasus baru, untuk itu perlu kejelasan ‘illat agar dapat diberlakukanhukum yang sama.

Menurut asy-Syafi’i, tujuan luhur dari segala ketentuan Allah(hikmah al-tasri’) bertumpu kepada meraih manfaat dan menolakkerusakan. Hikmah ini dipahami sebagai makna suatu hukum, namuntidak dijelaskan apa yang dimaksud makna secara jelas dan sistimatis.Oleh ulama berikutnya termasuk al-Ghazali, makna yang dimaksudasy-Syafi’i dipahami adalah ‘illat yang merupakan alasan atau pertim-bangan dalam menetapkan hukum.

Inilah yang nantinya akan dilihat dalam pemikiran al-Ghazali se-bagaimana akan dijelaskan pada pembahasan mendatang. Oleh kar-ena itu, tidak dapat diketahui secara pasti apakah ‘illat (makna) yangdimaksud al-mu;atstsir li zatihi atau mu’atstsir li fa’l Allah.

Agaknya, hal ini ia lakukan untuk menghindari polemik ynagmengarah kepada persoalan teologis karena ia tidak ingin terjebakpada berbagai persoalan yang dianggap sebagai persoalan furu’ (subst-anstif) dan pola pikir yang ditampilkannya bersifat praktis dan netral.

Namun demikian, asy-Syafi’i tetap memberikan isyarat-isyarattentang apa yang dimaksud dengan ‘Illat melalui proposisiny “Bilabertemu suatu kasus yang belum dinyatakan oleh nash”.

Proposi di atas, merupakan suatu indikasi di mana makna (‘il-lat) itu snediri yang telah menginformasikan adanya hukum terhadapkasus baru. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ‘illat adalah se-suatu yang berperan sebagai pemberi informasi adanya hukum (al-mu’arrif al-hukm), ‘illat yang terdapat pada kasus asal dapat dikem-bangkan atau mencakup (menjangkau) kasus baru.

Atas dasar uraian di atas, agaknya ‘illat yang dimaksudkan asy-Syafi’i diprediksikan adalah sesuatu yang bersifat zahir dan mundabitsebagai motivasi ditetapkannya suatu hukum oleh Syari’.

Dalam menduduki ‘illat, agaknya asy-Syafi’i melihat dari bebera-pa aspek, yaitu aspek kekuatan ‘illat yang menghubungkan kasus asaldengan kasus baru dan aspek kejelasan suatu ‘illat.35

Pertama, aspek kekuatan ‘illal, yang diklasifikasikannya pada be-berapa bentuk. Apabila ‘illat yang terdapat pada kasus baru lebih kuat

35 Asy-Syafi’i, al-Risalah, Op.Cit., h. 223.

Page 47: Fleksibilitas Hukum Islam

38 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 38

atau utama dengan yang ada pada kasus asal, maka dinamakan qiyasawlawi (analogi yang lebih kuat). Contoh, adanya hadis yang menya-takan larangan dari Allah menumpahkan darah dan mengambil hartamukmin dan memerintahkan untuk berbaik sangka terhadap sesamamukmin. Hal ini mengindikasikan bahwa bila kita berprasangka bu-ruk terhadap teman sesama mukmin, baik melalui ucapan maupunsikap yang menunjukkan rasa permusuhan lebih dilarang.36

Larangan melakukan perbuatan itu melahirkan hukum haramsebagai hukum asak, yang dijadikan kasus asal dalah berburuk sangkatanpa rasa permusuhan, ‘illatnya adalah iman, dan yang dijadikan se-bagai kasus baru adalah buruk sangka yang disertai ucapan maupunsikap permusuhan. Artinya, bila buruk sangka yang tidak disertai rasapermusuhan dilarang apakah lagi buruk sangka yang disertai rasa per-musuhan. Dalam hal ini, larangan yang terdapat pada kasus baru lebihkuat dibanding yang terdapat pada kasus asal.

Apabila ‘illat yang ada pada kasus baru sama kekuatannya diban-din kasus asal, maka dinamakan qiyas musawi (analogi yang seband-ing). Contoh, sebagaimana firman Allah yang menyatakan;

العذا من المحصنت على ما نصف فعليهن بفاحشة اتين فان احصن ..فاذاب... (النساء)

“...Apabila mereka (budak wanita) telah kawin, kemudian melakukanperbuatan keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari wanitayang berdeka yang bersuami...”

Ayat diatas menjelaskan bahwa hukuman 100 kali dera adalahuntuk wanita penzina yang merdeka, sedangkan wanita penzina yangberstatus budak mendapat hukuman 50 kali dera atau separo dari hu-kuman wanita merdeka. Selanjutnya diqiyaskan kepada laki-laki pen-zina yang berstatus budak (hamba).

Wanita penzina yang berstatus merdeka dan wanita penzina yangberstatus budak dijadikan sebagai kasus asal, status merdeka dan bu-dak dijadikan sebagai ‘illat, laki-laki penzina yang berstatus merdekadan laki-laki penzina yang berstatus budak dijadikan sebagai kasusbaru, dan keharaman berbuat zina dijadikan sebagai hukum asal.

36 Ibid.

Page 48: Fleksibilitas Hukum Islam

39 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 39

Oleh karena itu, bila keduanya melakukan perbuatan zina dansama-sama berstatus budak maka hukuman dera yang dikarenakanterhadap keduanya sama yaitu separo dari penzina merdeka.

Apabila ‘Illat pada kasus baru lebih rendah kekuatannya diband-ingkan kasus asal, maka dinamakan qiyas ‘adna (analogi yang lebihrendah). Contoh, mengqiyaskan perasaan buah-buahan yang dapatmemabukkan dengan khamar yang telah nyata dapat memabuk-kan. Khamar dijadikan sebagai kasus asal, ‘illatnya memabukkan danperasaan buah-buahan sebagai kasus baru, sedangkan hukum asalnyaadalah haram. Artinya ‘illat yang terdapat pada kasus asal lebih kuatdibanding yang ada pada kasus baru.37

Kedua, aspek jelas atau tidak ‘illat, dalam hal ini asy-Syafi’i meng-klasifikasikannya kepada dua bentuk;

Qiyas Makna yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak dijelaskan secaralangsung namun sulit untuk membedakan antara kasus asal dengankasus dapat juga dinamakan qiyas jali (qiyas yang jelas), di mana pe-nyamaan antara asal dan kasus baru adalah jelas begitu pula ketidakse-suaiannya. Contoh, penyamaan antara budak pria dan wnaita tentangpenentuan pembebasan. Jika dua orang mempunyai satu orang budakdan salah satunya memerdekakan budak tersebut maka imam wajibmembayar ganti rugi pemilik budak yang satunya dan memerdeka-kannya. Ketentuan ini pada dasarnya berlaku terhadap budak pria,namun diqiyaskan terhadap budak wanita.

Qiyas Syabah yaitu qiyas terhadap hukum kasus baur melaluipengqiyasan terhadap salah satu dari beberapa kasus asal pada be-berapa nash yang serupa, juga dinamakan qiyas khafi, di mana terjadiperbedaan corak pengqiyasan yang jelas dengan adanya penghilanganketidaksesuaian antara kasus asal dengan kasus baru disebabkan olehdalil yang zanniy. Contoh, memperluas ketentuan hukuman zina ke-pada homoseksual, meskipun kasusnya berbeda.38

Secara umum dapat dipahami ada dua pola hukum yang dikem-bangkan melalui metode ushul fikihnya; pertama, pola hukum yangdibangun berlandaskan pada makna lahirlah dan batiniah melalui teks

37 Ibid., h. 224.38 Asy-Syafi’i, al-Umm, Loc. Cit..

Page 49: Fleksibilitas Hukum Islam

40 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 40

yang ada secara utuh (al-hukm bi thathah); dan kedua, pola hukum yangdibangun berlandaskan pada makna lahiriah semata (al-hukm bi ghairal-ihathah). Sedangkan qiyas merupakan cakupan dari pola hukumyang kedua.

Bila dilakukan pemetaan terhadap pola hukum tersebut makaakan berbentuk sebagai berikut: pola pertama, terdiri dari : al-Qur’an,Sunnah yang mutaqatir, masyhur dan sebagian ahad; pola kedua, terdiridari qiyas dan Sunnah ahad yang berpeluang terhadap adanya upayaijtihad (qiyas).

Posisi Qiyas dalam Kerangka Pemikiran asy-Syafi’iUntuk mengetahui bagaimana pandangan asy-Syafi’i tentang kedudu-kan dan apa saja yang dapat diqiyaskan, melalui tesis ini akan dicermatipersoalan tersebut secara seksama. Asy-Syafi’i diakui oleh mayoritasfuqaha dari berbagai mazhab sebagai tokoh peletak dasar utama stan-dar qiyas melalui kaidah dan dasar-dasarnya. Sedangkan mujtahid lainera sebelumnya telah melakukan praktik qiyas dalam melacak hukum,namun belum menentukan landasan teoritis yang jelas.

Oleh karena itu, asy-Syafi’i tampil melalui metode qiyasnyamemberikan kerangka teoritis dan metodologis berupa kaidah rasion-al praktis.39 Argumen yang digunakan untuk menyatakan ke-eksisanqiyas adalah berdasarkan al-Qur’an S. an-Nisa’ (4) ayat 59 yang me-nyatakan:

فردوه إلى الله والرسول ... فإن تنازعتم في شيء

“...kemudian jika kamu berbeda pendapat terhadap sesuatu persoalan(kasus), maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT. (al-Qur’an) danRasul (Sunnah)...”

Mengembalikan kepada nash dimaksud adlaah melakukan analo-gi kepada salah satunya baik kepada al-Qur’an maupun Sunnah. Mer-ujuk kepada beberapa proposisi yang dikemukakan asy-Syafi’i sebel-umnya yang menyatakan, pertama, peluang untuk melakukan praktikqiyas terhadap persoalan yang belum disinyalir oleh nash ketentuan

39 Muhammad Abu Zahrah, asy-Syafi’i...Op. Cit., h. 280.

Page 50: Fleksibilitas Hukum Islam

41 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 41

hukumnya atau berupa indikasi mengarah kepada ketentuan hukum,oleh karena itu dapat dilakukan upaya ijtihad melalui qiyas.40

Dengan demikian, dapat dipahami ia meletakkan qiyas padaproporsi signifikan sebagai dalil ynag harus dipegangi dalam melacakhukum. Hal ini mengingat beberapa pertimbangan, antara lain:

Pertama, al-Qur’an merupakan petunjuk kompleks—bersifatuniversal dan praktis—yang memuat segala permasalahan hukumyang dihadapi umat manusia balik telah, sedang dan akan terjadi. Ked-ua, tunjukkan hukum yang bersifat lafzi (tekstual) maupun maknawi(kontekstual) dapat dipahami melalui petunjuk-petunjuk yang ada, se-hingga dapat dipahami melalui dua aspek yaitu lafzi (nash yang sharih)dan maknawi (qiyas).41

Adanya peluang aplikasi qiyas agaknya beralasan, mengingatnash banyak memberikan isyarat yang menunjukkan adanya ‘illat hu-kum terhadap berbagai kasus, seperti meminum khamar (arak) yang‘illatnya memabukkan dan qishas yang ‘illatnya menyakiti orang laindan sebagainya.

Namun demikian, asy-Syafi’i tetap konsisten dengan menyata-kan bahwa produk hukum melalui upaya qiyas lebih rendah kapasi-tasnya dibanding produk hukum yang lahir dari al-Qur’an, Sunnahmaupun ijma’. Alasan yang dikemukakan, mengingat produk hukummelalui qiyas hanya benar secara lair dan tidak terlepas dari unsursubyektivitas manusia.

Sebagaimana dapat dipahami melalui proposisinya bahwa kebe-naran pengetahuan terbagi beberapa macam yaitu kebenaran bersifatlahir-batin dan kebenaran bersifat lahir saja, kebenaran yang bersum-ber dari ijma’ dan yang bersumber dari ijtihad (qiyas). Kebenaran per-tama dan kedua bersiat pasti dan wajib diyakini karena bersumberdari nash, sedangkan kebenaran yang ketiga tidak dijelaskan termasukke dalam kelompok mana dan keempat merupakan kebenaran yangrelatif dan hanya Allah SWT yang dapat mengetahui secara pasti.

Mengenai persoalan apa saja yang dapat diaplikasikan qiyas,agaknya asy-Syafi’i menganggap segala kasus yang dihadapkan ada

40 Asy-Syafi’i, al-Risalah, Op. Cit., h. 209.41 Ibid.

Page 51: Fleksibilitas Hukum Islam

42 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 42

umat Islam pasti terhadap ketentuan hukum yang mengaturnya atauminimal ada petunjuknya,42 sehingga terlepas apakah itu berkaitandengan persoalan ibadah, mu’amalah maupun jinayah. Namun de-mikian, ia juga menyatakan bahwa suatu ketetapan hukum munculkarena adanya makna baik dapat ditangkap melalui panca indera mau-pun tidak.

Dengan demikian, segala hukum yang dapat ditangkap panca in-dera makna atau ‘illatnya dapat diaplikan qiyas terhadapnya. Begitupula dalam persoalan seperti; hudud, jinayah, kaffarah dan muqaddarah.

Contoh, pertama dalam persoalan kaffarah, mengqiyaskan pem-bunuhan sengaja dengan rasa dendam dan permusuhan dengan pem-bunuhan yang tidak sengaja atau seperti sengaja karena ‘illatnya samayaitu menghilangkan nyawa orang lain. Kedua, dalam persoalan rukh-sah, mengqiyaskan najis dengan istinja’ yang cukup dengan batu kar-ena ‘illatnya sama-sama menghilangkan najis. Ketiga, mengqiyaskanwudhu dengan tayammum karena sama-sama bersuci.

Oleh karena itu, terhadap persoalan ini tidak dapat dipahamitujuan penetapan dan kuantitasnya, sehingga harsu dipatuhi sebagia-mana adanya dengan alasan hal itu bersifat ta’abbudi. Namun, dapatjuga diberlakukan qiyas terhadap persoalan ibadah yang hukumnyadapat dicerna oleh akal (ma’qul al-makna). Begitu juga tidak adanyaperbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i.

Di sisi lain, asy-Syafi’i membuka lapangan yang luas terhadapaplikasi qiyas dalam berbagai lapangan hukum termasuk hudud, kaf-farat (uqubat)43.

Pemikiran semacam ini agaknya mendapat dukungan dari kalan-gan ulama berikutnya seperti kalangan syafi’iyyah dengan menampil-kan contoh pengqiyasan homo seksual (liwat) kepada zina dan men-

42 Ibid., h. 200.43 Abu Zahrah menjelaskan bahwa ‘uqubat terbagi kepada dua bentuk; Perta-

ma, hukum-hukum yang telah ditentukan Allah kadarnya (ukurannya) yangdisebut hudud, termasuk di dalamnya kaffarat. Kedua, hukum-hukum yangtidak ditentukan Allah ukuran dan batasannya yang disebut ta’sir. Ulamasepakat tentang penerapan qiyasterhadap persoalan ta’zir, sedangkan dalampersoalan hudud masih terjadi polemik. Lihat : Abu Zahrah, Ushul...Op. Cit.,h. 259.

Page 52: Fleksibilitas Hukum Islam

43 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 43

etapkan hukuman liwat sama dengan zina, juga menetapkan kaffarat(denda) terhadap pembunuhan yang tidak disengaja.

Dengan demikian, asy-Syafi’i lebih dominan menggunakan qiyaskarena menurutnya bila ‘illat qiyas telah diketahui dan syarat-syarattelah terpenuhi maka berlakulah qiyas atas dasar persamaan ‘illat, danbila tidak diketahui yang membolehkan berlakunya qiyas maka tidakdapat diberlakukan qiyas. Kalangan pengikutnya mengemukakan ar-gumen bahwa qiyas merupakan salah satu dalil syara’ dan boleh digu-nakan untuk menetapkan persoalan hudud sebagaimana al-Qur’an danSunnah serta dapat diterapkan pada semua tempat.

Menurut mayoritas ulama bahwa qiyas yang satu dapat menjadiasal bagi qiyas yang lain. Ini dapat diketahui dengan melihat kepada‘illat yang menjadi dsar pembentukan analogi kedua. Apabila hal iniidentik dengan ‘illat asal, maka pembentukkannya menjadi berlebih-lebihan. Contoh, bila disepakati bahwa kualitas makanan merupakan‘illat yang dapat menyebabkan riba’, maka hal ini menjustifikasi analo-gi yang ditarik antara bertas dan minyak goreng untuk memperluasketentuan-ketentuan riba’ kepada yang disebut terakhir ini menjaditidak perlu, karena lebih tepat kalu menarik langsung analogi antaragandum dan minyak goreng.44

Sementara dari kalangan Hanafiyah beranggapan bahwa tidakada qiyas terhadap persoalan hudud atau kaffarat. Alasan yang dike-mukakan; pertama, mengingat persoalan tersebut telah dinyatakanoleh nash; kedua, qiyas di dasarkan pada ‘illat dan sifat-sifat ‘illatyang terdapat pada kasus asal bersifat zanniy (dugaan) dan zanniy akanmembawa kepada subhat (keraguan); dan ketiga, adanya peringatandari Rasul agar menagguhkan hukuman hudud bila ditemukan adanyasubhat.

Contoh, had terhadap pelaku zina sebanyak 100 kali dera danhad terhadap penuduh zina sebanyak 870 kali dera, ketentuan huk-umnya langsung ditetapkan oleh nash. Kelompok ini beranggapanbahwa akal tidak mampu mengetahui rahasia yang terkandung padaukuran yang ditetapkan terhadap hudud, sehingga qiyas tidak dapatdiaplikasikan.

44 Abu Harnid al-Ghazali, al-Mustashfa...Op. Cit., h. 205.

Page 53: Fleksibilitas Hukum Islam

44 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 44

Argumen lainnya dasar qiyas adalah ‘illat, sedangkan ‘illat statusnya zanniy (relatif) yang akan mengarah kepada subhat. Selain itu, Nabimenganjurkan agar menolak hukuman hudud bila terjadi subhat. Kel-ompok ini menegaskan bahwa hudud merupakan hak Allah, sedang-kan qiyas adalah hasil rakyu (akal), apa yang menjadi hak Allah tidakboleh dimasuki nalar.

Dari pemikiran kedua kelompok tersebut, dapat dianalisis yangmenjadi dasar perbedaan pandangan ini tentang persoalan hudud danuqubat. Kalangan Syafi’iyah tidak mempersoalkan antara hudud danuqubat, asal telah memenuhi persyaratan diberlakukannya qiyas. Se-dangkan kalangan Hanafiyah menganggapan hudud sebagai hukumyang telah ditentukan nash dan tidak mungkin diberlakukan qiyas.

Berkaitan dengan upaya pengqiyasan hukum wadh’i seperti; sebab,syarat dan mani.45 Pertama, mengqiyaskan sebab, yang dimaksud asy-Syafi’i di sini adalah ‘illat, di mana Syari’ menjadikan wasf (sesuatu/sifat) sebagai sebab hukum yang dijadikan landasan qiyas (kasus asal)untuk selanjutnya diqiyaskan kepada wasf yang lain (kasus baru) yangmempunyai kesamaan dengan wasf asal. Hukum syara’ mencakup duahal, yaitu: pertama, hukum ini secara mandiri seperti hukuman po-tong tangan terhadap pencur dan kedua, terciptanya sebab hukumseperti menjadikan mencuri (wasf) sebagia sebab hukum wajibnya po-tong tangan.

Dengan demikian, bila pada kasus baru terdapat sifat yang samasebagaimana terdapat pada kasus asal yakni mencuri maka dapatdiberlakukan hukum potong tangan. Contoh, mengqiyaskan praktekhomoseksual (kasus baru) dengan praktek zina (kasus asal) berdasar-kan pada firman Allah yang terdapat dalam S. an-Nur (24) ayat 2 yangmenyatakan:

الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة45 Dalam menentukan tentang pemberlakuan qiyas terhadpa sebab, syarat dan

mani. Agaknya di kalangan ulama masih terjadi polemik. Kelompok Ma-likiyah, sebagian kelompok Hanafiyah dan Syafi’iyah menolak aplikasi qi-yas pada bidang ini. Sedangkan sebagian kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah,Hanabila yang lain membolehkan apliasi qiyas. Lihat; Taj al-Din AbdulWahab as-Subki, Jam’ ul-Jawami’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiah, tth.) UU, h. 74

Page 54: Fleksibilitas Hukum Islam

45 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas asy-Syafi’i | 45

“penzina perempuan dan penzina laki-laki maka jilidlah kedua-duanyasebanyak 100 kali...”.

Zina dengan homoseksual mempunyai kesamaan yaitu sama-sama memasukan kemaluan ke dalam kemaluan orang lain yang di-haramkan, sehingga baik zina maupun homoseksual merupakan se-bab yang mewajibkan adanya had.46

Agaknya, dalam kaitan ini asy-Syafi’i mempraktekkan qiyas terh-adap sebab (‘illat), ini dapat dilihat melalui fatwanya yang menyatakanpembuhan sengaja yang didasari rasa permusuhan dengan mengug-nakan benda berat hukumannya sama dengan pembunuhan sengajayang didasari permusuhan dengan menggunakan senjata tajam.47

Kedua, mengqiyaskan syarat, seperti mengqiyaskan sucinya tem-pat sebagai syarat sahnya salat (kasus baru) terhadap sucinya pakaian(kasus asal), sebagaimana telah dijelaskan dalam S. al-Muddastsir (74)ayat 4. Ketiga, mengqiyaskan mani’, seperti mengqiyaskan nifas seba-gai halangan bagi terjadinya hubungan seks antara suami istri (kasusbaru) terhadpa menstruasi (kasus asal), sebagaimana dijelaskan dalamS. al-Baqarah (2) ayat 222.

ولا المحيض في النساء فاعتزلوا أذى هو قل المحيض عن ويسألونكتقربوهن حتى يطهرن

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah “haidh ituadalah kotoran.”. oleh karena itu, hendaklah menjauhkan diri dariwanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebe-lum mereka suci...”

Berdasarkan pada contoh-contoh diatas, dapat diketahui bahwaasy-Syafi’i secara eksplisit mempraktekkan berlakunya qiyas terhadapsebab, syarat dan mani’.48

46 Asy-Syafi’i, al-Umm...Op. Cit.,Jil, VII, h. 109.47 Ibid.48 Al-Shan’ani, Subul al-Salam (Mesir : Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t) Jilid III,

hal. 230.

Page 55: Fleksibilitas Hukum Islam

3 Konsep Qiyas al-Ghazali

Riwayat Hidup dan Pendidikan al-GhazaliAl-Ghazali,1 nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Mu-hammad ibn Ahmad at-Thusi asy-Syafi’i,2 adalah keturunan Persiaasli dari keluarga religius yang mempunyai kecenderungan sufistik. Iadilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di desa kecil bernama GhazlahThabran, sebuah kota kecil di Thus wilayah Khurasan (Iran).3

1 Gelar al-Ghazali memiliki dua pengertian; pertama, al-Ghazzali (denganduaz) berarti tukang tenung yang dinisbahkan kepada pekerjaan orang tu-anya; dan kedua, al-Ghazali (dengan satu z) berarti nama daerah tempat iadilahirkan. Penamaan gelar yang terakhir ini agaknya yang paling populer.Lihat: Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta; UI Press,1986), jilid I, h. 19.

2 Abu Bakar Abd Razak dalam bukunya “al-Nufahat al-Ghazaliyah”, menam-bahkan nama akhir al-Ghazali dengan nama asy-Syafi’i karena dianggap ber-mazhab Syafi’i, hal ini mengingat al-Ghazali melakukan upaya pentakhrijanterhadap pendapat asy-Syafi’i. Lihat: Abu Bakar Abd Razak, al-Nufahat al-Ghazaliyah, (Kairo: Dar al-Qauniyyah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1949), h.12.

3 Sebagian ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai tempat kelahiranal-Ghazali apakah di Arab atau Persia, namun demikian banyak literaturyang mengemukakan di Persia. Lihat: Muhammad az-Zuhaily, Marja’ al-

Page 56: Fleksibilitas Hukum Islam

48 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 48

Ayahnya Muhammad, seorang pemintal benang dan pedagangkain wol juga seorang muslim Sunni yang shalih dan gemar mempela-jari ilmu tasawuf serta senantiasa menghadiri majlis-majlis ta’lim yangdiselenggarakan oleh para ulama. Selain itu, ia merupakan orang tuabijak yang selalu menggantungkan harapan yang kuat agar dua orangputranya yaitu al-Ghazali (Abu Hamid ibn Muhammad) dan Majdud-din (Ahmad ibn Muhammad) menjadi pencinta ilmu dan ulama be-sar. Hal ini terbukti ketika ia akan meninggal dunia, berwasiat ke-pada sahabat karibnya Ahmad ibn Muhammad ar-Razaqani at-Tusi,seoarang ahli tasawuf dan fikih serta khat yang berasal dari Tuhs, agarmendidik al-Ghazali dan Majduddin.4 Amanat yang merupakan ke-percayaan luar biasa dari seorang teman tersebut kemudian diembandengan segala rasa tanggung jawab.

Dari kampung halaman inilah, dua orang bersaudara ini men-gawali karir pendidikannya, sehingga pada akhirnya menjadi ulamaternama, hanya saja al-Ghazali menjalani hidupnya sebagai pemikirdan penulis sedangkan Majduddin lebih menyukai bidang dakwah.Namun demikian, amat disayangkan pendidikan yang diterima dikampung tidak dapat berlangsung lama, mengingat harta warisanyang ditinggalkan buat bekal hidup berangsur-angsur mulai menipisdan hais. Di sisi lain, kecenderungan hidup sufistik yang dijalani olehar-Razaqani tidka dapat memberikan penghasilan tambahan.

Pada suatu saat ar-Razakani berkata kepada al-Ghazali dan Ma-jduddin “aku orang miskin dan melarat serta tidak memiliki harta lagiuntuk diwasiatkan kepada kalian, sedangkan kalian adlaah anak-anakyang cerdas (berpotensi), agar pendidikan kalian tetap dapat berlan-jut maka aku akan menitipkan kalian ke madrasah ynag berada diThus”.

Ulum al-Islamiyyah, (Damsyq: Dar al-Ma’arif, tth), 342.4 Melalui ar-Razaqani al-Ghazali dan Majduddin pertama kali memperoleh

pengetahuan mengenai ilmu fikih, riwayat hidup para wali dan kehidupanspiritual mereka, di tambah dengan belajar al-Quran dan Sunnah serta syair-syair mengenai cinta (muhabbah) kepada Allah SWT. Lihat: Ahmad Syam-suddin, al-Ghazali: Hayatuh, Atsaruh wa Falsafatuh, (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1990), h. 15; Abu Hamid al-Ghazali, al-Mankhul Min Ta’liqat al-Ushul, ditahqiq oleh Muhammad Hasan Haitu, (Damsyq: Dar al-Fikr, 1980),h, 19.

Page 57: Fleksibilitas Hukum Islam

49 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 49

Selanjutnya, ar-Razaqani menitipkan dua orang bersaudara kesebuah madrasah di Thus, madrasah ini memberikan santunan gratisberupa pakaian, makanan dan sarana akomodasi lain bagi pendidikanmurid-muridnya. Segala kemudahan dan fasilitas yang diterima sem-pat menggoyahkan tujuan semua al-Ghazali dan Majduddin, untungar-Razaqani cepat mengetahui jalan fikiran mereka dan memberikannasehat agar jangan lupa bahwa tujuan utama menuntut ilmu bukanmencari penghidupan melainkan hanya mengharapkan keridhoaanAllah secara benar. Madrasah ini yang mempertemukan al-Ghazalidengan Yusuf al-Nassaj, seorang sufi kenamaan, yang bergelar “Imamal-Haramain” sekaligus merupakan titik awal terhadap perkembanganintelektual dan spiritual yang mengantarkan idirnya menjadi ulamabesar yang sangat berpengaruh dalam berbagai aspek keilmuan beri-kutnya.5

Sepeninggalan gurunya, al-Nassaj, al-Ghazali melanjutkan rihlahilmiahnya ke Naisabur, untuk memperdalam ilmunya di MadrasahNizamiyyah yang dipimpin oleh ulama besar bermazhab asy-Syafi’idalam bidang fikih dan mazhab al-Asy’ariy dalam bidang teologi, yaituImam al-Haramain Dyiya al-Din al-Juwaini,6 419-478 H/ 1028-1085M. Madrasah ini memberikan banyak kontribusi terhadap pemikiranal-Ghazali dalam berbagai bidang ilmu seperti teologi, filsafat, logika,fikih, ushul fikih dan lainnya.7

5 Sulaiman Dunya, al-Haqaiq fi al-Nadhar al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Mar’arif,1971). H. 15; Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil, h. 15.

6 Gelar al-Juwaini dinisbahkan pada dirinya karena ia lahir di desa Juwain,salah satu desa yang termasuk distrik Khurasan (Persia). Sedangkan gelarImam Haramain dinisbahkan padanya karena ia pernah tinggal di Mekkahselama empat tahun sekaligus mengajar untuk menintensifkan ajaran agamsecara serius. Lihat: Fauqiyah Husain Mahmud, al-Juwaini Imam Haramain,(Kairo: Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1964), h. 11-16.

7 Tatkala belajar di madrasah ini, pada diri al-Ghazali telah muncul rasa kera-guan, sementara keinginannya untuk mendalami praktek sufi terhalang den-gan kondisi yang kurang kondusif. Oleh karena itu, perhatiannya diahlikanuntuk memperdalam ilmu kalam dan persoalan yang terkait dengannya.Dan tanpa disadari perasaan ragu (syak) yang hinggap pada dirinya menjadisemakin bertambah dan sulit untuk dibendung, meskipun perhatiannya te-lah diahlihkan dengan mempelajari berbagai bidang ilmu termasuk filsafat.Agaknya, di antara sebab yang menjadi pemicu munculnya perasaan ragu

Page 58: Fleksibilitas Hukum Islam

50 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 50

Kemampuan dan potensi pada dirinya membuat segala ilmuyang dipelajari dapat dikuasai dalam waktu sangat singkat, sehinggaketika belajar di madrasah ini ia sempat melahirkan karya perdananyadalam ushul fiqih yaitu kita “al-Mankhul Min Ta’liqat al-Ushul”. Se-lain itu, di tempat ini al-Ghazali juga mempelajari praktek dan teoritasawuf kepada Abu Ali al-Fadl ibn Muhammad ibn Ali al-Farmaziat-Tusi (w. 477 H), dan banyak belajar hadis kepada ulama hadis diantaranya Abu Sahal Muhammad ibn Ahmad al-Hafsi al-Mawarsi,Abu al-Fath Nasr ibn Ali ibn Ahmad Al-Hakimi at-Tusi. Dengan de-mikian, menjadi komplitlah ilmu ynag diperolehnya ketika berada diNaisabur, sehingga saat itu ia dapat dianggap sebagai profil intelek-tual yang menguasai berbagai disiplin ilmu.

Selanjutnya, ia meninggalkan Naisabur dan berhijrah menujuMu’asykar, sebuah kota di Persia yang berada dalam kekuasaan BaniSaljuk, dan bergabung dengan mejelis studi yang didirikan oleh Niz-ma al-Mulk, seorang wazir pencinta ilmu pengetahuan dan ulama.Kehadiran al-Ghazali disambut dengan meriah oleh studi ini karenaketajaman dan kecerdasannya dalam mengemukakan argumentasi,sehingga berhasil mengukir kembali prestasi yang disandangnya ke-tika berada di Naisabur. Reputasi ilmiah di Mu’asykar semakin harumdan keilmuannya semakin luas serta mendalam terutama pada bidangfikih dan teologi. Pada kahirnya, kemampuan al-Ghazali diketahuioleh Nizam al-Mulk pada tahun 484 H/1092 H, sehingga diangkatmenjadi guru besar sekaligus sebagai pimpinan perguruan Nizamiyah

adalah setelah mempelajari corak pemikiran filsafat dan kalam. Menurut-nya, metode berfikir yang berkembang dalam filsafat tidak mempunyai akaryang kuat, begitu juga pola fikir spekulatif para teolog yang benar namuntidak mempunyai dasar yang pasti. Ia menolak pola fikir filsafat yang telahmeracuni para teolog ,sehingga muncul pernyataannya bahwa hanya melaluiilmu yang langsung dan ma’rifat yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati ma-nusia (orang beriman) rahasia kenabian dapat ditegakkan dan terpeliharanyakebenaran struktur kalam. Munculnya argumen semam ini mengingat kon-disi umat Islam yang sangat memprihatinkan dengan terjadinya perpecahanhanya disebabkan perbedaan mazhab teologi maupun fikih yang dianut Li-hat: H.A.R. Gibb & J.H Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (Londong:Company, 1961), h. 111.

Page 59: Fleksibilitas Hukum Islam

51 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 51

yang berdiri sejak tahun 458 H/ 1066 H di Baghdad.8Di Baghdad ia menjadi terkenal dan khankahnya (tempat praktek

suluk) menjadi ramai serta banyak menulis karya ilmiah, namun padatahun 488 H/ 1096 M, ia meninggalkan keduudkan terhormatnya diBaghdad dan menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Set-elah pulang melanjutkan hijrah ke Dasmaskus (Syiria) untuk beri’tikafdi Mesjid Umawi. Pola hidup seperti ini dijalaninya dengan berbagaipertimbangan psikologis, di mana ia mengaku selama menjalani karirintelektual mengalami kehidupan spiritual yang tidak jelas arahnyadan di mesjid inilah ia merasa mendapatkan kesempurnaan batin.Meskipun selama sepuluh tahun menjalani pola hidup sufistik, ia tetapproduktif menuangkan ide-ide keilmuan melalui karya-karyanya.

Pertapaan al-Ghazali berakhir pada tahun 499 H/1106 M, tatka-lah Fakhrul al-Mulk Ali ibn Nizam al-Mulk, seorang wazir di Bagh-dad, memintanya untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah. Permint-aan tersebut dikabulkan namun tidak berlangsung lama, ia kemudiankembali ke Thus dan membangun sebuah madrasah serta khanqahuntuk mengajar tasawuf. Di tempat inilah ia menghabiskan sisa-si-sa hidupnya yang berakhir pad atanggal 14 Jumadil Akhir (505 H.)bertepatan dengan 19 Desember 1111 M.

Setting Sosial dan Pemikiran HukumBerbagai pemikiran dimunculkan al-Ghazali tidak terlepas dari set-ting sosial yang berkembang saat itu, begitu pula dengan pemikiranhukum.

8 Madrasah Nizamiyah adalah madrasah terpenting yang didirikan oleh Nizamal-Mulk wazir yang berkuasa pada masa Sultan Adud ad-Daulah Alp-Arse-lan (455-465 H/ 1063-1072 M.) dan Jalal ad-Daulah Maliksyah (465-485H./1072-1982 M.) dari Dinasti Salajika, yang menganut mazhab asy-Syafi’idan terdidik dalam ilmu syari’ah sebelum menjadi wazir di Baghdad padatahun 1067 M. Dana yang dikelola oleh madrasah ini bersumber dari wakafdalam jumlah yang besar, sehingga mampu menanggung segala biaya ako-modasi dan fasilitas belajar lainnya bagi para guru dan murid serta merupa-kan tempat belajar para sarjana terkemuka dari generasi berikutnya. Lihat:Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h.5.

Page 60: Fleksibilitas Hukum Islam

52 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 52

Aspek politik, pemerintahan yang berkuasa saat itu adalah Di-nasti Abbasiah yang berpusat di Baghdad,9 yang berada pada sosisilemah dan mundur. Hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain;pertama, semakin luasnya daerah kekuasaan sehingga sulit dikontrol;kedua, banyak yang ingin mendirikan kerajaan-kerjaan kecil denganmemisahkan diri dari pemerintahan pusat; ketiga, timbulnya berbagaibentuk pemberontakan dan gerakan bawah tanah (under ground); keem-pat, terjadinya perebuatan kekuasaan di kalangan intern kerjaan; dankelima, khalifah yang berkuasa tidka profesional dalam memimpinpemerintahan. Kesemuanya menyebabkan kondisi negara menjadilemah dan kurang terkendali, sehingga menimbulkan berbagai gejo-lak politik maupun sosil serta pemikiran yang sulit untuk dibendung.

Contoh konkrit dapat dilihat bagaimana Bani Fatimiyah (297-567 H./909-1171 M.) yang pemerintahannya berpusat di Kairawan(Tunisia) memindahkan pusat pemerintahannya ke Mesir pada tahun973 M.10 dan Bani Umayyah yang berhasil mendirikan kerajaan diSpanyol (138-414 H./756-1023 M.) setelah salah seorang keturunan-nya, Abd Rahman ad-Dakhil, berhasil meloloskan diri dari kejaranpasukan Abbasiah ke Spanyol.11 Di tambah dengan dominasi BaniBuwaih yang mengatur roda pemerintahan Bani Abbasiah karenatelah lemah, namun mereka tidak berani mengambil alih kekuasaansecara langsung mengingat masih banyak umat Islam yang mengakuiotoritas kekhilafahan Abbasiyah.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa umat Islam mempu-nyai tiga pusat pemerintahan yang terpisah dan memiliki kekuatantersendiri, sehingga Bani Abbas yang berkuasa tidak dapat berbuat

9 Dinasti Abbasiyah berdiri sejak tahun 132 H hingga tahun 656 H., yangdidirikan oleh Abu Abbas al-Safah (Abdullah al-Safah ibn Muhammad ibnAli ibn Abdullah ibn Abbas), akar penamaan tersebut disandarkan pada“Abbas” paman Rasulullah dan gelar keturunannya ke bawah dinamakanBani Abbas. Lihat: Ahmad Syalabim Mausu;ah al-Tarikh al-Islamiy wa al-Ha-darah al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Kutub, 1958), h. 47.

10 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1978)m h. 19; Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization, Delhi:Khitab Bhavan, 1978), h. 146.

11 John Ralph Willis, Spanish Islam: A History of The Muslim in Spain, (Londong:Frank Cass & Company Limited, 1972), h. 186.

Page 61: Fleksibilitas Hukum Islam

53 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 53

banyak dan hanya dijadikan boneka.Di tengah gejolak yang parah ini datang Bani Saljuk menyerang

kota Baghdad pada tahun 447 H. dan menghancurkan Bani Buwaihserta memproklaimrkan kekuasaannya terhadap kekuasaan yang sebe-lumnya dipegang oleh khalifah Abbasiah. Sedangkan jabatan khalifahtetap diserahkan kepada Bani Abbas sebagai simbol pemimpin reli-gius umat Islam. Penyerbuan tersebut dikomandoi oleh Tugril Bekdan tanpa perlawanan berarti sehingga dapat dikuasainya kota Bagh-dad, bahkan pada kahirnya mendapat dukungan daeri khalifah ker-ena berbagai pertimbangan dan keterpaksaan.12 Tampilan Bani Saljukjelas membawa dampak terjadinya berbagai perubahan dari aspek ke-hidupan masyarakat termasuk politik dan pemikiran.

Dari aspek pemikiran hukum, pada era ini telah terdapat beber-apa mazhab hukum yang memiliki corak tersendiri, meskipun tidajsecara mendasar. Yang jelas perbedaan tersebut lebih diarahkan padabagaimana upaya atau metode yang digunakan dalam menyelesaikansuatu kasus baru yang belum disinyalir oleh nash secara eksplisit ke-tentuan hukumnya. Mazhab-mazhab hukum tersebut mengkristal da-lam kehidupan lokal umat Islam dan terkondisi pada berbagai pusataktivitas yang dilakukan umat Islam.

Aktivitas mazhab hukum yang berkembang di Madinah lebihdiwarnai oleh aliran ahlu al-hadi sedangkan aktivitas mazhab hukumyang berkembang di Iraq lebih diwarnai oleh ahlu al-ra’y, keduanyatidak terlepas dari pengaruh praktek lokal yang berkembang. Padaawalnya, masing-masing mazhab hukum menyadari bahwa terjadinyaperbedaan dalam pola fikir, doktrin dan praktek hukum tersebut mer-upakan suatu hal yang wajar, namun dalam perkembangannya setelahpemerintahan Abasiyah berupaya membentuk sistem kenegaraan danmasyarakat berdasarkan etika Islam. Kedua kelompok ini berkom-peteisi untuk mengintrodusir dan mensosialisasikan mazhab merekakepada umat Islam dengan cara mem-proklamirkan bahwa mazhabmereka lebih elastis dan bersifat universal, sehingga dapat dipraktek-kan oleh semua umat Islam.13

12 Ahmad Syalabi, Op.Cit., h. 428.13 Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarahm terj, Hamid Ahmad

Page 62: Fleksibilitas Hukum Islam

54 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 54

Oleh karena itu, pada era munculnya al-Ghazali gerakan pe-mikiran hukum telah mengalami stagnasi, dimana fuqaha tidak beranimelakukan ijtihad secara bebas dan mandiri sebagaimana yang telahdipraktekkan oleh fuqaha sebelumnya. Kenyataan ini berlaku, meng-ingat opini yang berkembang menyatakan apabila fuqaha keluar darimazhab formal yang dianutnya maka ia dianggap tidak setia kepadamazhabnya, sehingga sebagai konsekwensi dari pemikiran semacamini menyebabkan munculnya ta’assub dan taqlid terhadap mazhab ter-tentu. Agaknya, pada masa ini juga muncul istilah talfiq, beralih darisatu mazhab ke mazhab lain, yang menurut sebagian anggapan dila-rang.

Taqlid dan ta’assub mazhab ini merajalela sehingga mengakibat-kan masing-masing mazhab berebut pengaruh untuk mencari massadan mendeskriditkan mazhab selainnya dengan mencari dan menon-jolkan kelemahan berbagai mazhab tertentu bahkan sering menim-bulkan konflik yang sulit untuk didamaikan. Agaknya, hal semacamini berbekas pada umat Islam sampai saat ini khususnya bagi kalanganawam.

Studi perkembangan hukum Islam memperlihatkan bagaimanakondisi pemikiran hukum umat Islam yang sampai kepada titik ter-endah dalam sejarah yaitu pada abad keempat sampai dengan abadkeenam H., yang merupakan masa klimaks kemunduran pemikiranhukum umat Islam hingga jtuhnya kota Baghdad ke tangan HulaguKhan (656 H./1250 M.)14 pada periode ini mengakar sangat kuatsuatu mazhab dan budaya taqlid telah merebak kepada kehidupanmasyarakat luas. Dari sekian banyak mazhab yang muncul maka yangberkembang dan sampai sekarang tetap eksis dengan banyak pengautada empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i dan Han-

(Jakarta: PT. Mias Surya Grafindo, 1987), h. 99.14 Fuqaha pada masa ini tidak berani melakukan ijtihad karena mengaggap

tidak memiliki kemampuan sebagiamana pendahulunya, seingga merekahanya berani mensyarah dan menghasyiyah produk-produk hukum sebel-umnya. Apalagi setelah munculnya kaidah fikih, yang dijadikan senjata pa-mungkas dalam melacak hukum sehingga ada yang merasa tidak perlu lagiuntuk merunjuk kepada sumber pokok karena dianggap sulit dan merasacukup dengan apa adanya. Lihat: Ali as-Sayis, Op.Cit.,h. 111-112.

Page 63: Fleksibilitas Hukum Islam

55 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 55

bali, masing-masing mazhab mempunyai pola pikir tersendiri dalammenentukan metode hukum.

Melalui uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa bagaimana kon-disi umat Islam pada saat itu yang telah terpilah-pilah kepada berbagaimazhab hukum dan satu sama lain merasa lebih unggul. Konsekw-ensi logis dari kondisi demikian adalah terhentinya kreatifitas berfikirpraktis, kebebasan dan kemandirian para quqaha dalam pemikiranhukum, yang pada masa sebelumnya tidak terikat oleh mazhab ter-tentu telah pudar bahkan hilang sama sekali.

Pada periode ini, banyak fuqaha yang mencoba menggali hukummelalui metode tarjih, memilih pendapat yang dianggap lebih validdari satu mazhab tanpa berani keluar dari mazhab tersebut. Dengandemikian, ruh taqlid dan pembelaan terhadap mazhab semakin men-gakar dan kuat, sehingga terjadi perbedaan bahkan pertentangan ma-zhab yang sulit untuk dihindari dan ini diikuti oleh orang awam yangtidak mengerti sama sekali persoalan hukum.

Oleh karena itu, kemunduran dan stagnasi dalam bidang pe-mikiran hukum di kalangan fuqaha, agaknya tidak terlepas dari pen-garuh politik Islam dan mazhab hukum yang berakar dalam kehidupanumat Islam. Di tengah-tengah kondisi yang begitu rapuh, al-Ghazalidikenal sebagai sang hujjah al-Islam (pembela Islam) memproklamir-kan diri sebagai partisan mazhab asy-Syafi’i. Alasan yang dikemuka-kan ini belum diketahui secara pasti latar belakangnya, namun besarkemungkinan bila ditelusuri latar belakang pendidikan yang dilaluidengan berguru kepada ulama kesemuanya bermazhab asy-Syafi’i.

Aktivitas Ilmiah dan Karya al-GhazaliSecara kesplisit dapat dikemukakan titik awal aktivitas ilmiah al-Ghazali adalah setelah pindah dari Naisabur menuju Baghdad untukbertemu dengan Nizam al-Mulk. Kedatangannya disambut dengangembira, sehingga akhirnya diangkat menjadi guru dan memimpinmadrasah Nizamiah pada tahun 484 H./1091 M.

Perkenalan tersebut melalui perantaraan gurunya al-Juwaini,melalui bekal ilmu yang diterima dari beberapa orang guru dalam ber-bagai bidang, al-Ghazali mulai mengajarkan ilmunya kepada murid-

Page 64: Fleksibilitas Hukum Islam

56 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 56

-muridnya di Madrasah Nizamiyah. Di kota Baghdad ia meneruskankarir ilmiah melalui mengajar dan melakukan studi intensif dalamberbagai disiplin ilmu seperti teologi dan filsafat serta menulis karya-karya ilmiah ynag pada perkembangan selanjutnya membawa keharu-man namanya di pentas pemikiran, meskipun aktivitas menulis inisebenarnya tleah dilakukan semenjak berada di Naisabur.

Sebelum mengkahiri masa hidupnya, sebagaimana ulama lain, al-Ghazali juga banyak meninggalkan warisan intelektual bagi generasiberikutnya melalui berbagai karya yang mencakup bidang; filsafat, te-ologi, ushul fikih, fikih, mantiq dan ilmu berpolemik. Mengenai jum-lah karya ilmiah yang merupakan tulisan al-Ghazali, kalangan ulamamasih berbeda pendapat, adayang menyatakan jumlahnya sebanyak47 buah (Abu Bakar Abd Razaq), ada yang menyatakan sebanyak 58buah (Ibnu Subki), ada lagi yang menyatakan sebanyak 98 buah (Mu-hammad ibn Hasanuddin Abdullah al-Husaini al-Wasithi) bahkan adayang menyatakan sebanyak 500 buah sebagaimana dijelaskan dalamkitab al-Mankhul Min Ta’liqat al-Ushul.15 Adapun karya-karya tersebuyang dapat dilacak antara lain: Ihya’ al-Ulum al-Din, al-Adab fi al-Din,al-Arba’in fi Ushul al-Din, Asas al-Qiyas, al-Istidraj, Asrar Mu’amalat al-Din, al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Iljam al-Awwamin ‘an ‘Ilm al-Kalam, al-Imla’‘ala al-Musykil al Ihya’, Ayyuha al-Walad, al_bab al-Muntahal fi’Ilm al-Jidal, Bidaya al-Hidayah , al-Basith fi al-Furu’, Ghayah al-Ghawr fi Drayahad-Dawr, at Ta’wilat, at-Tibr al-Masbuk fi Nasha’ih al-Muhik, Tahsin al-Ma’akhid, Talbis Iblis, at-Ta’liqah fi Furu’ al-Mazhab, at-Tafriqah Baynaal-Islam wa az-zandaqah, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Tahafut al-Falasifah,Tahzib al-Ushul, Jawab al-Ghazali ‘am Da’wah Mu’ayyid al-Malik Lahur lial-Mu’awwadah at-Tadris bi an-Nizamiyyah fi Baghdad, al-Jawahir al-La’li fiMutsallats al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an wa Durauhi, Hujjah al-Haqq, Haq-iqah al-Qur’an, Haqiqah al-Qaulayni, al-Hikmah fi al-Makluqatillah ‘Azzawa al-Jalla, Khulashah al-Mukhtasar wa Naqawah al-Mu’tashir, ad-Durj al-Marqum bi al-Jadawil, ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhrah,ar-Risalah wa al-ihiyyah, Zad al-Akhirat, Sirr al-‘Alamayn wa Kasyf ma fiad-Drayn, Syifa al-Ghalil fi al-Qiyas wa at-Ta’lil, Fayshal at-Tafriqah Baynal-Islam, wa Azzandaqah, Qawasyim al-Bathiniyyah, al-Kasyif wa at-Tabyin

15 Sulaiman Dunya,Op. Cit., h. 20.

Page 65: Fleksibilitas Hukum Islam

57 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 57

fi Ghurur al-Khalaq Ajma’in, Kimia as-Sa’adah, al0Mustazhar fi ar-Radd‘ala al-Bathiniyyah, al-Maqsad al-Asna fi Syarah ‘Asma Allah al-husna, al-Munqiz min ad-Dalal, al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, al-Mankhul MinTa’liqat al-Ushul dan lain-lain.16

Dari karya-karya tersebut, ada beberapa karya penting mewakilibidang masing-masing, seperti: magnum ovusnya dalam bidang ta-sawuf yaitu kitab Ihya’ al-Ulum at-Din; dalam bidang filsafat kitab Tahafutal-Falasigah dan Maqasid al-Falasifah; dalam bidang ushuk fikih kitabal-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul ; dalam bidang mantiq dan logika kitabMi’yar al-‘Ilm dan Mahk al-Nazar.

Dalam bidang ushul fikih, kitab yang populer karya al-Ghaaliadalah Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul 17– yang merupakan kitab terpent-ing karya al-Ghazali dalam bidan ushul fikih, -- sebagai penyempurnadari dua kitab sebelumnya yaitu al-Mankhul Min Ta’liqat al-Ushul danSyifa’ al-Ghalil.

Murid dan Pengikut al-GhazaliSebagaimana asy-Syafi’i, al-Ghazali juga banyak mempunyai muriddan pengikut yang interes dengan ide dan pemikirannya. Diuraikandalam mukaddimah kitab Syifa al-Ghalil yang ditahqiq oleh al-Kasibi,ada banyak ulama yang menjadi murid al-Ghazali di antaranya:18 Qa-dhi Abu Nasyr Ahmad ibn Abdullah ibn Abd Rahman al-Khamharial-Bahuni (w. 544 H), Imam Abu al-Fath Ahmad ibn Muhammad ibn

16 Abu Hamid, al-Mankhul...Op. Cit., h. 21-22.17 Kitab Mustashfa merupakan kita terakhir al-Ghazali yang ditulis pada saat te-

lah mencapai tingkat kematangan ilmiah dan kedewasaan berpikir, terbuktidari uraian materinya yang sangat sistimatis dan kongkrit serta detail. Ma-teri kitab ini memuat berbagai aspek hukum baik bersumber dari al-Qur’anSunnah, ijma’ dan qiyas serta metode istinbath lainnya. Mengenai bab qiyasdiuraikan segala persoalan yang terkait di dalamnya yang meliputi; penger-tian, klasifikasi, persayatan teknis operasional, hubungan antara ‘illat danproses penetapannya antara nash sebagai landasan qiyas dnegan kasus un-tuk melacak suatu ‘illat (masalik al-‘illat). Dengan demikian, dapat dipahamibahwa upaya praktek qiyas harus dilihat dari adanya unsur kesamaan ‘illatagar qiyas dapat diaplikasikan. Lihat: ‘Abd Wahhab Ibrahim Sulaiman, Ushulal-Fiqh, (Mekkah; Dar al-Syuruq, 1983), h. 325-330.

18 Abu Hamid al-Gahazalim Syifa’,,,,,Op.Cit., h. 20-23.

Page 66: Fleksibilitas Hukum Islam

58 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 58

Burhan al-Ushuliy (w. 518 H.), Abu Said Muhammad ibn As’ad ibnMuhammad an-Nauqaniy (w. 554 H.), Abu Mansur Muhammad ibnIsmail ibn Husain ibn al-Qasim al-‘Itoriy at-Thusi al-Wa’iz (w. 573H.), Abu Abdillah Muhammad ibn Abdillah ibn Tumrut, Abu HamidMuhammad ibn Abd al-Malik al-Jaizaqaniy al-Isfirainiy, Abu Abdul-lah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al-Iraqiy al-Baghdadiy, Abu SaidMuhammad ibn Ali al-Jawaniy al-Kurdiy, Abu Said ibn Muhammadibn Yahya ibn Mansur al-Naisaburiy, Abu Thahir Ibrahim ibn Muth-ahhir al-Jahaniy al-musiliy (552 H), Khalaf ibn Ahmad al-Naisabur,Abu al-Hasan Sa’ad al-Khair al-Ansyariy al-Magribiy al-Andalusiy (w.541 H.), Abu Abdullah Syafi’ ibn Abd ar-Raibn al-Qasyim al-Jiliy (w.541 H.), al-Ustaz Abu Thalib Abd al-Karim ibn Ali ibn Abi Thalibar-Raziy (w. sekitar 522 sampai 528 H.), Imam Abu Mansur Sa’id ibnMuhammad ar-Razzaz (w. 539 H.), Ali ibn Muhammad ibn Hami-yyah as-Su’ifiy, Abu Hasan Ali ibn al-Muthahhir ibn Makki ad-Dainawariy (w. 533 H.). Abu Hasan Ali ibn al-Muthahhir ibn Makki ad-Dainawariy (w. 533H.), Abu Abdullah Marwan ibn Ali ibn Salamahat-tanzi (w. 540 H.), Abu Hasan Ali ibn Muslim ibn Muhammad as-Sulami (w. 533 H.), Abu Umar Daghas ibn Ali a-Na’im al-Maufiqi(w. 542 H.), Radi ibn Mahdi ibn Muhammad al-Zaidi, Abu Bakar ibnal-Arab.

Sedangkan yang menjadi pengikut al-Ghazali, agaknya belumada literatur yang menjelaskan secara khusus, namun dapat dicermatibahwa pengikutnya tersebut ke seluruh penjuru dunia. Tidka hanyaterbatas pada kalangan uma Islam tetapi juga para pemikir Barat, ori-entalis dan hingg asaat ini masih banyak yang mendalami berbagaipemikiran al-Ghazali baik dalam bidang filsafat, tawasuf, fikih, ushulfikih dan lainnya. Hal ini wajar mengingat al-Ghazali memang meru-pakan tokoh yang sulit untuk dicarikan bandingannya pada era seka-rang dan akan datang.

Pemikiran Al-Ghazali tentang QiyasSebelum menguraikan tentang konsep qiyas al-Ghazali, akan dikemu-kakan terlebih dahulu secara umum bahasan-bahasan yang termuatdalam kitab al-Mankhul Min Ta’liqat al-Ushul, Syifa’ al-Ghalil dan Musta-

Page 67: Fleksibilitas Hukum Islam

59 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 59

shifa Min ‘Ilm al-Ushul. Kitab-kitab ini memuat uraian-uraian tentangmekanisme yang harus ditempuh dalam upaya menggali atau men-etapkan hukum dair dalil-dalil yang disepakati. Secara umum kita inimemuat beberapa pembahasan pokok antara lain:

Pembahasan pertama, tentang hukum yang mencakup ; penger-tian dan hakikat hukum, klasifikasi hukum, bentuk-bentuk hukum,elemen-elemen hukum serta penerapannya.

Pembahasan kedua, tentang dalil-dalil hukum yang mencakuplKitab, Sunnah, ijma’, dan dalil-dalil logika yang terdiri dari; istishab,qaul sahabi, istihsan dan istislah.

Pembahasan ketiga, tentang metode penggalian hukum dari dal-il-dalil yang mencakup, dalalah lafaz, bentuk lafazi, hakikat dan majaz,mujmal dan mubayyan, ‘amr dan nahy, ‘am dan khas, mantuq dan mafhum,mutlaq dan muqayyad serta terakhir membahas tentang qiyas.

Pembahasan keempat, tentang ijtihad yang mencakup; mujtahiddan persayaratannya, rukun ijtihad dan hukumnya, keharusan untukberijtihad, kedudukan hasil ijtihad, dan persoalan taqlid serta upayapentarjihan apabila ditemukan dua dalil yang bertentangan.

Dalam kaitan tentang persoalan qiyas, al-Ghazali dalam bebrapakitab ushul fikihnya yang secara utuh terdapat pada kitab al-MustashfaMipn ‘Ilm al-Ushul, menguraikan segala persoalany ang berkaitan den-gan qiyas yang mencakup; eksistensi qiyas, rukun dan persayaratanoperasionalnya, korelasi antara ‘illat dan penetapannya antara nashyang merupakan landasan qiyas dengan kasus yang akandiqiyaskan.Hubungan dimaksud, di mana antara nash dengan kasus baru yangakan dicarikan hukumnya harus logis dan kongkrit serta ‘illat yangada pada keduanya harus sama.

Ketika membahas tentang persoalan yang berkaitan dengan qi-yas. Agaknya melalui beberapa diskursus karya al-Ghazali dijumpaiuraian secara eksplisist dan sistimatis. Kenyataan semacam ini dapatdianggap wajar mengingat al-Ghazali hidup pada rentang waktu yangsangat panjang dengan asy-Syafi’i atau setelah periode imam mazhab,yang telah mengintrodusi dan mengelaborasi pemikiran berbagai ma-zhab yang berkembang saat itu.

Untuk selanjutnya, mengkombinasikan teori yang ada dan me-munculkan suatu teori dalam format baru yang disesuaikan dengan

Page 68: Fleksibilitas Hukum Islam

60 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 60

setting sosia-kultural yang dihadapi sehingga terkesan berbeda secarasubstansial namun tetap berpijak pada dasar-dasar pemikiran sebel-umnya. Oleh karena itu, melalui tesis ini akan dicoba untuk melacakpemkiran beliau secara glola khususnya tentang qiyas.

Pengertian QiyasSecara leksikal qiyas yang berasal dari akar kata qa-sa berarrti “men-gukur, membandingkan, membandingkan sesuatu dengan yang lainatau memastikan panjang”, sehingga skala dikatakan qiyas. Secaragramatikal terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulamaushul fikih, yang akan dijadikan bandingan terhadap pengertian yangdikemukakan asy-Syafi’i dan al-Ghazali; di antaranya sebagaimanadikemukakan.1. Sadr al-Syari’ah ibn Mas’ud (tokoh ushul fikih Hanafi);

فهم بمجرد لاتعرق متحدة بعلة الفرع الى الاصل من الحكم تعديةاللغة.19

“memberlakukan kasus asal kepada kasus baru karena adanya kes-atuan ‘illat yang tidak dapat diketahui melalui literalk saja”.

2. Saifuddin al-Amidi:

حكم من المستنبطت العلت فى والاصل الفرع الاستواءبين عبارةعنالاصل20

“suatu bentuk kesamaan antara kasus asal dnegan kasus baru men-genai ‘illat nag digali dari hukum asal”.

3. Taj al-Din Abdul Wahhab al-Subki:

لحامل.21 حمل معلو م على معلو م لمساواته له فى علة حكم عندا

19 Sadr al-Syari’ah, Tauqih al-Ushul, (Mekka: Maktabah al-Bazz, tth), Jil. II, h.52.

20 Saifuddin al-Arnidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), Jil. II, h. 170.

21 Ibnu Subki, Op. Cit., h. 202.

Page 69: Fleksibilitas Hukum Islam

61 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 61

“membawa (hukum) yang diketahui kepada (hukum) yang telahdiketahui pula karena terhadap kesamaan ‘illat dalam pandangan‘mujtahid”.

4. Ibn Hummam:

22 حكم له شرعي لاتد بكجرد فهما اللغة. مساواة محل لاخرفى علة

“Persamaan suatu kasus dengan kasus lain dengan persoalan ‘illathukum syara’ yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman litralsemata”

5. Wahbab Mustaffa az-Zuhaily;

عكمه على منصوص مر بأ الشرمي حكمه على امرغيرمنصوص الحاقلحكم.23 لاشترا كهما فى علة

“Menghubungkan sesuat uyang tidak ada ketentuan hukumnya da-lam nash kepada sesuatu yang lain yang ada nashnya karena adakesamaan ‘illat antara keduanya”.

6. Abu Hamid al-Ghazali

جامع بامر عنهما نفيه أو لهما حكم إثبات فى م معلو على م معلو حملصفة24 بينهما من إثبات حكم أو

“Membawa (hukum) yang diketahui pula dalam upaya menetapkanhukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum keduanya, dise-babkan ada yang mempersatukannya baik hukum maupun sifat”.

Term-term yang digunkaan ahli ushul dalam memberikan defi-nisi terhadap qiyas seperti; term ية“ تعد ” ,” اثبات ” ,” الحاق “,dan“ .“حمل Term “ilhaq” berarti menghubungkan atau mengaitkansesuatu dengan yang lainnya, term istbat berarti menetapkan, term“ta’diyah” berarti memberlakukan atau menyampaikan sesuatu kepadayang lainnya, term “hamla” yang menanggungkan dan term musawat

22 Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir at-Tasyri’ Mala Nusasa fik, (Kuwait: Daral-Qalam, 1972), h. 21-22.

23 Wahbah Mustafa az-Zuhaily, Op. Cit., h. 170.24 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa...,Op. Cit., h. 395.

Page 70: Fleksibilitas Hukum Islam

62 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 62

berarti menyamakan.25

Keempat term tersebut yaitu; “hamla, itsbat, ilhad dan ta’diyah”.Menurut Muhammad Khudori Bek mempunyai pengertian yangberdekatan atau semakna karena menetapkan atau memberlakukanhukum pada kasus asal (pokok) yang telah dijelaskan oleh nash ke-pada kasus baru yang tidak disebutkan nash secara literal, sedangkanantara keduanya terdapat kesamaan ‘illat hukum.26 Begitu pula seba-liknya, yaitu memberlakukan atau menetapkan hukum terhadap kasusbaru yang belum dijelaskan oleh nash kepada kasus asal yang telahditetapkan hukumnya berdasarkan adanya persamaan ‘illat.

Menurut Abdul Wahhab,27 definisi yang menggunakan term mu-sawat (persamaan) agaknya, telah bergeser karena hanya mengand-ung arti bahwa qiyas bukan merupakan karya mujtahid, karena padadasarnya hukum yang terdapat pada kasus baru adalah sama denganterdapat pada kasus asal, meskipun tanpa usaha pengqiyasan mujta-hid. Kesamaan tersebut secara mutlak dapat dipahami secara sama,terlepas apakah kesamaan tersebut sesuai atau tidak dalam pandanganmujtahid.

Adapun penggunaan term lain merupakan usaha atua hasil karyapelaku qiyas (mujtahid). Dalam memberikan definisi qiyas fuqahamenggunakan term redaksional berbeda, namun esensi maksud mer-eka sama yaitu; membandingkan, menghubungkan, mempersamakanatau menyatakan hukum antara suatu kasus dengan kasus lain dis-ebabkan terdapat kesamaan ‘illat hukum.

Oleh karena itu, bila nash telah menjelaskan hukum suatu kasusdan diketahui adanya ‘illat penetapan hukumnya, di sisi lain ada kasusbaru yang ‘illatnya sama dengan ditetapkan nash atas dasar kesamaan‘illat ini dapat diberlakukan hukum yang sama. Dengan demikian,definisi-definisi yang dikemukakan di atas, telah memenuhi persayara-tan dasar berlakunya qiyas terhadap kasus hukum.

Sedangkan menurut al-Ghazali, bila menyatukan atau men-ghubungkan (jami’) antara dua kasus yang telah diketahui dan ternyata

25 Ibid., h. 396.26 Muhammad Khudori Bek, Usul-al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr, 1981), h. 28927 Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit., h. 305.

Page 71: Fleksibilitas Hukum Islam

63 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 63

menimbulkan kesamaan antara keduanya maka qiyas semacam ini di-anggap benar (shahih). Sebaliknya, jika setelah dihubungkan ternyatatidak menimbulkan kesamaan maka qiyas semacam ini dianggap tidakbenar (fasid).

Agaknya, inilah yang melandasi ia menggunakan kata ma’lum se-bagai ganti dari kata syal’ sebagaimana terdapat pada definisi di atas.Ia tidak menggunakan term “ham syai’ ‘ala syai” karena term ini di-gunakan pada sesuatu yang dapat diketahui, sedangkan term ma’lumtertujuan untuk mengjangkau kepada sesuatu yang belum diketahui(ma’dum) karena kalau menggunakan kata “syai” hanya mencakup ke-pada yang diketahui (maujud).

Melalui formulasi definisi di atas, menurut al-Ghazali dapat di-pahami bahwa penetapan qiyas dapat dilakukan melalui dua cara yaituistbat dan nafi. Istbat dapat dilakukan dengan memperhatikan dua halpokok yaitu penetapan adanya kesamaan hukum atau kesamaan sifatdari dua kasus yang diketahui berbeda, sedangkan nafi adalah seba-liknya yaitu menetapkan ketidaksamaan hukum atau sifat dari keduakasus.

Mencermati pengertian yang dimaksud asy-Syafi’i—melaluikomponen-komponen proposisnya secara parsial—dengan yangdikemukakan al-Ghazali pada dasarnya terdapat kesamaan visi dalammemahami makna qiyas sebagaimana tokoh ushul lainnya.

Hukum QiyasSebagaimana fuqaha lain, al-Ghazali juga menetapkan rukun qiyasitu terdiri dari empat macam yang merupakan landasan pokok ter-bentuknya qiyas, yaitu adanya ashl (wadah hukum yang merupakanketetapan dari nash atau ijma’), far’u (kasus baru yang akan ditentukanhukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang dapat diketahui oleh mujta-hid dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan ketetapnnya olehnash atau ijma’).

Kesemuanya ini merupakan dasar pijakan dalam upaya mengap-likasikan qiyas yang bersifat komulatif dan tidak sah jika mengabai-kan salah satunya.

Page 72: Fleksibilitas Hukum Islam

64 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 64

a. Kasus Asal (Ashl)Kasus asal adalah obyek yang ditentukan hukumnya baik mela-

lui al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’. Ashl memiliki dua pengertianyaitu sumber ataupun materi hukum dari suatu ketentuan, dapatjuga berarti kasus yang telah disebutkan hukumnya oleh nash.Mengenai rukun pertama ini, dikalangan ulama berbeda dalammenggunakan terim ini, ada yang menggunakan term; ashl (obyekyang telah ditentukan hukumnya), maqis ‘alaih (obyek pengqiyasanbagi sesuatu), musabbah bih, sesuatu yang menjadi pokok penyeru-paan dan dalil al-hukm (sesuatu yang memberi petunjuk mengenaiadanya hukum) dan sebagainya.

Baik asy-Syafi’i maupun al-Ghazali, kelihatannya tidak mem-berikan penjelasan secara eksplisit tentang pengertian kasus asal,namun masing-masing memberikan isyarat secara langsung mau-pun tidka bahwa praktik qiyas harus berdasarkan pada sandaran(sanad). Kasus asal merupakan kasus yang telah mempunyai ke-tentuan hukum baik secara literal maupun maknawi, secara konk-rit maupun abstrak.

Agar dapat terbentuk suatu kasus asal sebagai sandaran qiyas,dibutuhkan bebebrapa persyaratan antara lain,28 pertama, keten-tuan hukum pada kasus asal tidak boleh berubah. Artinya, kasusasal yang dijadikan sebagai tempat melakukan qiyas adalah jelasdan pasti bersumber dari nash dan tidak tergolong ke dalam ke-mungkinan untuk dinasakh.

Kedua, ketentuan hukum kasus asal merupakan ketetapansyari’at, karena saya yang ditetapkan melalui jalan ijtihad atau isti-lah kebahasan tergolong selain hukum syara’. Artinya, ketentuanhukum pada kasus asal ditetapkan melalui nash bukan berdasar-kan hasil ijtihad. Ketiga, ‘illat hukum yang terdapat pada kasus asaldapat dipahami secara jelas bahwa ketentuan hukumnya didasar-kan pada ‘illat.

Keempat, kasus asal bukan merupakan far’u (cabang) dariasal yang lain, contohnya, sia-sia mengqiyaskan biji dengan be-ras untuk selanjutnya diqiyaskan lagi dengan gandum karena sifat

28 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa..Op.Cit., h. 453-455.

Page 73: Fleksibilitas Hukum Islam

65 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 65

yang terkumpul pada kasus asal pertama adlaah makanan, prak-tek semacam ini hanya kaan memperpanjang metode yang akanditempuh hingga tidak berkesudahan. Kelima, adanya dalil yangmemastikan bahwa ‘illat pada kasus asal tidak tercakup pada kasusbaru secara langsung, artinya ‘illat yang ada pada kasus asal harusjelas.

Keenam, kasus asal tidak berubah setelah dilakukan upayaqiyas (ta’lil). Ketujuh, kasus asal tidak boleh keluar dari ketentu-an qiyas. Artinya, kasus asal bukan merupakan dalil yang berlakukhusus terhadap suatu persoalan. dalil-dalil khusus tersebut tidakboleh dijadikan sebagai tempat qiyas, karena konsekuensinya akanmembatalkan kekhususannya.

Contoh, kekhususan bagi Nabi Muhammad mempunyai is-teri sebanyak sembilan orang dan menikahinya tanpa mahar, ke-tentuan semacam ini hanya berlaku bagi diri Nabi.

Ketika menetapkan persyaratan yang harsu dipenuhi agar da-pat diaplikasikan qiyas, agaknya baik asy-Syafi’i maupun al-Ghazaliserta ulama lainnya sepakat bahwa berlakunya qiyas jika memenuhiempat persayaratan pokok yaitu adanya kasus asal (ashl)), hukumasal, kasus baru (far’u) dan ‘illat,29 yang intinya sama. Kasus aslayaitu landasan tempat berpijak guna melacak atau menetapkan hu-kum terhadap suatu kasus Persyaratan yang ditampilkan asy-Syafi’ilebih singkat ketimbang al-Ghazali, namun dari sini kelihatannyaal-Ghazali mencoba mengembangkan dan memperinci persyara-tan yang telah ditetapkan asy-Syafi’i.

Mengenai persyaratan terhadap kasus asla, asy-Syafi’i tidakmemberiakn penjelasan secara rinri, namun melalui proposisinyamengenai asal sebagiamana diuraikan sebelumnya, dapat dipahamibahwa ia menetapkan ada beberapa persyaratan kasus asal yaitu;pertama secara jelas terdapat pada al-Qur’an dan Sunnah; dankedua, kasus asal muncul lebih dahulu dari kasus baru. Al-Ghazalimenetapkan persyaratan lebih terperinci yaitu tujuh macam, se-mentara ulama lain menetapkan empat persyaratan terbentuknyaashl. Namun demikian, bila dicermati sebenarnya empat persyara-

29 Abdul Wahhab Khalaf, Op. Cit.,b h. 52-53.

Page 74: Fleksibilitas Hukum Islam

66 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 66

tan yang dikemukakan sudah cukup untuk terbentuknya kasusasal.

b. Kasus Baru (far’u)Kasus baru adalah obyek yang ditentukan hukumnya karena

tidak ada nash atau ijma’ secara tegas menyebutkan ketentuan hu-kum kasus tersebut. Agar dapat terpenuhinya suatu baru, menurutal-Ghazali diperlukan beberapa persyaratan, antara lain,30 pertama,illat yang terdapat pada kasus harus sama dengan yang terdapatpada kasus asal baik zat (‘ain) maupun jenisnya sehingga dapatdiberlakukan qiyas. Contoh, najis menjadi ‘illat terhadap batalnyaproses transaksi kulit bangkai yang diqiyaskan dengan menjual an-jing. Ini sesuai dengan tujuan qiyas yaitu menyamakan hukum yangterdapat pada kasus asal dengan kasus baru melalui perantaraan‘illat yang ada pada keduanya. Sehingga bila ‘illat antara keduanyatidak dapat menjangkau yang lainnya maka qiyas yang tidak dapatdiaplikasikan.

Kedua, kasus baru tidak boleh mendahului kasus asal den-gan penetapan hukumnya, seperti mengqiyaskan wudhu’ dengantayammum dalam soal niat padahal tayammum munculnya belakan-gan. Bila terjadi sebaliknya di mana kasus bar lebih dahulu munculdari kasus asal maka akan rancu, selain itu penetapan hukum kasusbaru tanpa dalil tidak dibenarkan. Ketiga, ketetapan hukum antarakasus baru dengan kasus asal haruslah sama, tidak boleh terjadiperbedaan baik bertambah maupun berkurang dalam penetapanhukumnya karena esensi qiyas adalah pemberlakuan hukum darisatu tempat ke tempat lain melalui analogis. Kesamaan tersebuttidak hanya dari aspek ‘illat melainkan juga mencakup antara ‘ainatau jins’ ‘illat dengan ‘ain atau jins hukum.

Keempat, hukum yang diberlakukan terhadap kasus baru te-lah dinyatakan oleh nash secara umum meskipun belum dijelaskansecara detail, jika ketetapan pada kasus asal berdasarkan ‘illat makademikian juga terhadap kasus baru. Kelima, belum jelas ketentuanhukumnya melalui nash atau ijma’. Karen kasus baru merupakanpersoalan baru yang dicarikan ketentuan hukumnya melalui qiyas.

30 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa..Op. Cit., h. 331-333.

Page 75: Fleksibilitas Hukum Islam

67 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 67

Mencermati persyaratan yang dikemukakan al-Ghazali, padadasarnya tidak jauh berbeda dengan persyaratan yang telah dike-mukakan oleh fuqaha lain, hanya saja al-Ghazali dalam menentu-kan persyaratan terbentuknya kasus baru lebih detail.

Kasus baru merupakan kejadian atau kasus yang harus dicari-kan ketentuan hukumnya melalui qiyas (analogi). Mereka sepakatbahwa kasus baru tidak ada ketentuan hukumnya secara eksplisitpada nash namun diupayakan untuk melacak hukumnya melaluiqiyas.

Agar dapat dikatakan sebagai kasus baru, asy-Syafi’i mengi-syaratkan ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu; belum adaketentuan hukumnya dan mempunyai ‘illat yang sama. Al-Ghazalilebih memperluas dengan menambahkan ketetapan hukum kasusbaru tidak boleh mendahului kasus asal dan antara keduanya tidakboleh terjadi dua hukum yang berbeda serta jenis hukum yangdiberlakukan pada kasus baru berdasarkan pada nash.

Namun demikian, persyaratan yang diisyaratkan asy-Syafi’idan al-Ghazali serta ulama lainnya – yang menetapkan tiga syaratyaitu kasus baru belum ada ketentuan hukumnya melalui nash danadanya kesamaan ‘illat antara kasus baru dengan kasus asal ser-ta kasus baru tidak boleh mendahului kasu asal – secara esensialtidak ada perbedaan. Penambahan beberapa persyaratan lain olehal-Ghazali sebenarnya telah mencakup persyaratan yang ditetap-kan ulama lain, termasuk asy-Syafi’i.

Hal ini beralasan, mengingat mengqiyaskan sesuatu kasustujuannya adalah untuk mencari persmaaan hukum yang dengansendirinya akan diberlakukan hukum yang sama.

c. Hukum Asal (hukm al-ashl)Hukum asal adalah hukum syara’ yang ditentukan oleh nash

atau ijma’ dan akan diberlakukan pada kasus baru. Al-Ghazalimengemukakan bahwa hukum asal esensinya hukum syara’ yangpasti dan secara langsung diinduksi dari nash dan bukan merupak-an produk ijtihad. Berkaitan dengan hal ini, ia menekankan bahwahukum yang merupakan produk ijtihadiyah (produk akal) maupundari term-term kebahasan tidka dapat ditetapkan melalui qiyas.

Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan nama khamar kepada

Page 76: Fleksibilitas Hukum Islam

68 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 68

nabiz (anggur), zina kepada liwat (pelaku homoseks), dan pencu-rian kepada pengambilan barang-barang yang digali dari kuburan(nabsy) serta bercampur dengan mengalir melalui qiyas. Ia men-egaskan bahwa dalam term Arab khamar berarti sesuatu yang te-lah mengalami peragian, ini secara tidak langsung mengisyaratkanterhadap benda-benda yang tidak menggunkaan peragian tidakharam. Term fars (kuda) dipakai pada kuda hitam, namun tidaksemua yang berwarna hitam dinamakan farrs. Selanjutnya, ia jugamengatakan apa-apa yang tunduk dan dihasilkan berdasarkan akaltidak boleh dikembangkan melalui qiyas.31

Mengenai persyaratan terhadap hukum asal, al-Ghazalimengabungkan persyaratan tersebut ke dalam bagian persyaratanasal meskipun esensinya sama, yaitu adanya nash yang menjelas-kan mengenai ketentuan hukum terhadap suatu kasus yang lebihdahulu muncul.

Hukum adalah ketentuan, sedangkan hukum asal adalah hu-kum yang terdapat pada kasus asal yang ditetapkan hukumnyamelalui nash dan hukum ini pulalah yang akan diberlakukan terh-adap kasus baru. Baik asy-Syafi’i maupun al-Ghazali tidak menge-mukakan secara eksplisit mengenai hukum asal, namun asy-Syafi’idalam ungkapannya menyatakan setiap kasus ada ketentuan hu-kumnya melalui nama nash baik secara literal maupun maknawisebagai landasan penetapan.

Atas dasar ini, terlihat asy-Syafi’i telah berupaya untuk mem-berikan gambaran mengenai makna hukum asal, meskipun nanti-nya terlihat sama dengan yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Inti-nya, bahwa hukum asal adalah hukum yang telah ditentukan padakasus asal berdasarkan nash dan dikembangkan atau diperluas padakasus baru dengan hukum yang sama. Al-Ghazali menambahkanbahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’ yang pasti danlangsung dari nash bukan hukum yang ditetapkan berdasarkanakal, sehingga ia menolak peranan hukum akal maupun pemaha-man literal terhadap qiyas.32

31 Ibid., h. 457-458.32 Ibid., h. 459.

Page 77: Fleksibilitas Hukum Islam

69 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 69

Mengenai persyaratan agar terbentuknya hukum ashl, asy-Syafi’i juga tidak menjelaskan secara rinci, namun dapat dipahamimelalui proposisnya tentang makna hukum asal sebagaimana di-jelaskan sebelumnya, sedangkan al-Ghazali kelihatannya meng-gabungkan persyaratan pada hukum asal dengan persyaratan yangada pada kasus asal.

Agaknya, hal ini berkaitan erat dengankeharusan kasus asalmempunyai hukum berdasarkan nash karena nash tidak ada ke-tentuan hukum konsekuensinya akan terjadi kekosongan hukum(facum of law).

d. ‘Illat‘Illat yang merupakan unsur signiikan agar terbentuknya qi-

yas oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dianggap sebagai satu-satunya unsur qiyas, sedangkan unsur-unsur lain hanya merupakansyarat. Persoalan yang berkaitan dengan ‘illat itu sendiri sangat luassehingga muncul buku yang membahas secara khusus seperti yangdikarang oleh Abd Hakim al-Sa’adi berjudul “Mabahis al-‘Illah ‘Indaal-Ushuliyyin”

Secara leksikal ‘illat berarti “nama sesuatu yang menyebab-kan berubahnya keadaan sesuatu”, sedangkan secara gramatikal dikalangan ulama masih berbada dalam memahami makna ‘illat, na-mun demikian mereka sepakat perlunya ‘illat dalam upaya pengqi-yasan hukum kasus asal dengan kasus baru. Sehingga bila tidakdijumpai ‘illat dalam kasus hukum maka tida dapat diaplikasiaknqiyas (batal)

Agar dapat dikatakan sebagai ‘illat ditubuhkan beberapa per-syaratan antara lain,33 pertama, ‘illat harus merupakan sifat yangjelas (وصفاظاهرا) dapat ditangkap oleh panca indera dan logika.Kejalasan ‘illat ini sangat signifikan untuk menarik konklusi yangterdapat pada kasus baru agar dapat disamakan. Kedua, ‘illat mer-upakan sifat yang tegas dan pasti ( وصفامنضبظا ) sehinnga benar-benar dapat terdeteksi. ‘illat yang ada diupayakan tidak berbedakalaupun ada tidak terlalu jauh agar memungkinkan pengambilansuatu kesimpulan yang akurat.

33 Ibid., h. 463.

Page 78: Fleksibilitas Hukum Islam

70 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 70

Ketiga, ‘illat merupakan sifat yang relevan dan serasi(وصفامناسيا) agar tujuan penerapan hukum dapat teraslisasi se-cara tepat demi terwujudnya kemaslahatan hakiki dan menolakkerusakan. Keempat, ‘illat merupakan sifat yang tidak terbataspada kasus asal semata ( لأصل عليا صرا قا وصفا تكون لا ان ) karenaakan dijadikan sebagai standar atau acuan bagi kasus baru.

Kelima, ‘illat harus mempunyai sandaran yang bersumber darinash dan tidak boleh berdasarkan hukum akal karena ‘illat hukumadalah sesuatu yang syar’i. Keenam, ‘illat harus sejalan dengannash atau ijma’ nila menyalahi ketentuan tersebut maka aplikasiqiyas dianggap batal serta mengandung kemaslahatan.

Bila persyaratan yang dikemukakan telah terpenuhi secarautuh, maka menurut al-Ghazali dapat diberlakukan qiyas. Berbedahalnya dengan asy-Syafi’i yang mengisyaratkan ada tiga yaitu; ber-laku efektif, harsu zahir dan mundabit. Persyaratan yang dikemu-kakan ini dalam perkembangan selanjutnya tidak ditolak oleh ahliushul termasuk al-Ghazali. Hanya saja, al-Ghazali menambahkanbeberapa persyaratan lain yaitu ‘illat boleh sesuai atau tidak namuntetap mengandung kemaslahatan serta didukung nash keabsahan-nya.

Kalangan ulama ushul masih berbeda dalam menentukanjumlah persyaratan ‘illat, seperti Syaukani yang menetapkan per-syaratan terhadap ‘illat sebanyak 24 macam,34 yang dirasakan san-gat ketat dan monoton. Sedangakan jumhur ulama menetapkanhanya empat yaitu: ‘illat harus berupa sesuatu yang jelas, pasti, se-rasi dan tidka hanya terdapat pada kasus asal tetapi juga terdapatpada lainnya (kasus baru).

Bila dicermati persyaratan ‘illat yang dikemukakan al-Ghazalimaka terasa begitu ketat, karena persyaratan yang dikemukakanlebih banyak, meskipun syarat yang dimajukan jumhur ulama telahmencakup persyaratan yang ditawarkan oleh al-Ghazali. Tiga per-syaratan terakhir seperti; tidak diterimanya (cacat) ‘illat yang tanpadidukung nash, batalnya berpegang pada ‘illat yang berdasarkandalil akal atau menyalahi nash, batalnya berpegang pada ‘illat yang

34 Al-Syaukani, Irsyad...Op. Cit., h. 207-208.

Page 79: Fleksibilitas Hukum Islam

71 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 71

berdasarkan dalil akal atau menyalahi nash, sebenarnya memilikiesensi yang sama. Dengan demikian, agaknya persyaratan yangditetapkan al-Ghazali kurang aplikatif dan parsial, sedangkan se-cara teoritis persyaratan yang ditetapkan harus merupakan suatukesatuan yang utuh.

Selain itu, pada dasarnya persyaratan yang diterima oleh al-Ghazali identik dengan persyaratan yang ditetapkan ulama lainyaitu; ‘illat harus berupa sifat yang jelas, pasti, serasi dan cocokdan tidak hanya terdapat pad asal melainkan juga terdapat padakasus baru. Hanya saja al-Ghazali lebih menguraikan secara rincisehingga terkesan bercampur baur karena ia mengkombinasikanantara persyaratan terbentuknya kasus asal dengan ‘illat. namundemikian, tujuan penetapan persyaratan ‘illat agaknya bertujuanuntuk menghindari kebimbingan atau ketidakpastian hukum danagar tidak ada yang menghalangi adanya ketetapan hukum terh-adap kasus setelah dillacak adanya kesamaan ‘illat antara kasus asaldengan kasus baru.

‘Illat Hukum‘Illat berarti nama sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaansesuatu yang lain karena keberadaannya. Oleh karena itu, al-Ghazalimenyatakan bahwa sakit itu merupakan ‘illat, karena melalui penyakitseseorang yang dahulunya sehat menjadi sakit.35

‘Illat pada suatu hukum pada diketahui melalui dua cara yaituinformasi nash dan ijtihad. Al-Ghazali melalui beberapa diskursusnyamenguraikan secara jelas dan komprehensif persoalan yang berkaitandengan’illat, namun sebelumnya akan dikemukakan terlebih dahulupandangan ulama secara umum tentang ‘illat.

Mayoritas ulama memberikan definisi terhadpa ‘illat berbeda se-cara substansial, namun inti dari pengertian secara keseluruhan sama,sebagaimana yang berhasil dirangkum oleh al-Syaukani, antara lain:36

35 Al-Ghazalim al Mustashfa....Op.Cit,. h. 394.36 Pendapat yang berhasil dirangkum asy-Syaukani berkaitan dengan penger-

tian ‘illat sebagaimana dikemuakakn di atas, antara lain; Saifuddin al-Amidi,Abu Hamid al-Ghazali, Abu Hasan Muhammad al-Bisri, al-Baidawi; Asy-

Page 80: Fleksibilitas Hukum Islam

72 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 72

1.

وحدالمعنى أن الحكم على علما جعلت بان للحكم المعرفة إنهاوحدالحكم

“Illat adalah pemberitahu kepada hukum, sebab ia menjadikanpengetahuan terhadap hukum itu bila arti tersebut diperoleh makabegitu pula dengan hukum”.

2.

إنهاالموجبة للحكم بذاتهالابجعل الله

“Illat adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hukum dengan send-irinya bukan dengan sebab dijadikan Allah”

3.

إنهاالموجبة للحكم على معنى ان الشارع جعلهاموجبة بذاتها وبه

“Illat adalah sesuatu yang mewajibkan kepada hukum dalampengertian sesungguhnya, Syari’ telah menjadikannya sebagai ses-uatu yang mewajibkan dengan sendirinya dengan sebab ditetapkanoleh Syari’”

4.

إنها الموجبة بالعادة

“Illat adalah sesuatu yang mewajibkan (adanya hukum) denganberdasarkan adat (tradisi)

5.

إنها البا عث على التش يع

“Illat adalah motivasi bagi terbentuknya hukum”.

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat di-pahami bahwa ‘illat berorientasi pada pemberi informasi terhadapadanya hukum, sesuatu yang mengharuskan terciptanya hukum baikmelalui esensinya sendiri maupun atas kehendak Syari’, atau tuntutan

Syaukani, Lihat: Asy-Syaukani.,Op. Cit.,h. 83.

Page 81: Fleksibilitas Hukum Islam

73 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 73

adat, atau sesuatu yang ditetapkan sebagai motivasi adanya suatu hu-kum.

Sedangkan pengertian ‘illat menurut al-Ghazali, yaitu;37

العلة هوالوصف المؤثرللحكم بذاته

“Sifat yang dapat mempengaruhi hukum karena zatnya tetapi atas ke-hendak Syari”.

Bila dicermati beberapa pengertian yang dikemukakan ulamamengenai ‘illat, agaknya terdapat perbedaan dalam memberikan defi-nisi terhadap ‘illat meskipun pada intinya sama, perbedaan ini didasarioleh perbedaan sudut pandang baik teologis, essensi maupun aplikasiqiyas. Yang menjadi polemik di kalangan ulama mengenai peranan‘illat, apakah ‘illat itu berpengaruh secara otomastis terhadap hukumatau berpengaruh karena adanya ketetapan Allah SWT atau hanyasekadar petunjuk terhadap adanya hukum.

Menurut al-Ghazali, ‘illat di sini merupakan sebab munculnyahukum, ia menganggap bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bu-kan menjadi sendirinya tetapi atas kehendak atau izin Syari’. Contoh,seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja terhalangmendapat harta warisan dari orang dibunuhnya. ‘Illat yang terdap-at pada kasus ini tidak hanya pembunuhan melainkan juga atas ke-hendak Syari’, sehingga ada atau tidaknya suatu hukum sangat ber-gantung pada ada atau tidaknya ‘illat agar dapat dijadikan dasar dalampenetapan hukum.

Menurut al-Ghazali, ‘illat dapat ditinjau dari dua aspek yaitu as-pek keberadaan ‘illat dan aspek bisa atau tidaknya ‘illat diaplikasikanterhadap kasus-kasus hukum lain (far’u).

Pertama, aspek keberadaan ‘illat yang dapat dibedakan kepadadua macam yaitu ‘illat yang berdasarkan pada dalil naqly النفلية) علة) dan ‘illat yang berdasarkan istinbath ( ستنبلة اللا علة ). ‘Illat naqlyadalah ‘illat yang langsung ditunjukkan langsung oleh nash secara jelasdan tegas (sharih), dengan menggunakan lafal tertentu. Sedangkan ‘il-lat istinbathi adalah ‘illat yang ditetapkan berdasarkan istinbath (ijtihad),disebabkan tidak nyatakan langsung oleh nash secara tegas. Namun

37 Al-Ghazali, al-Mustashfa....Loe. Cit.

Page 82: Fleksibilitas Hukum Islam

74 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 74

demikian, mayoritas ulama lebih menekankan pada aspek diakui atautidaknya ‘illat tersebut oleh Syari’. ‘Illat dalam bentuk ini sering digu-nakan ulama dengan term ‘illat al-manshushah, bersifat qath’ty sehinggadijadikan sebagai sandaran hukum dan ‘illat al-mustanbathah, bersifatzanniy sehingga tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum.

Kedua, aspek bisa atau tidaknya ‘illat diaplikasikan terhadap kasushukum lain, yang terpolarisasi menjadi dua yaitu ‘illat al-muta’addiyah,yaitu ‘illat yang ditetapkan melalui nash dan dapat diaplikasikan padakasus hukum lain, dan ‘illat al-qaisrah, yaitu ‘illat yang ditetapkan mela-lui nash terbatas pada kasus-kasus tertentu serta tidak dapat dijadikansebagai ‘illat hukum asal.

Untuk mengetahui intensitas "illat, menurut al-Ghazali ada be-berapa hal yang harus diperhatikan yang dapat ditinjau dari dua aspekyaitu apa saja yang dapat dijadikan ‘illat dan penyandaran hukum ke-pada ‘illat.

Pertama, apa saja yang dapat dijadikan ‘ilalt berupa beberapapremis ( القضايا جملة من ) antara lain;1. ‘Illat boleh dalam bentuk hukum ( حكما ) baik ucapan maupun si-

fat. Ucapan seperti keharaman memanfaatkan khamar diqiyaskanpada haram mengkormersilkannya karena ‘illatnya najis. Sedang-kan sifat boleh berupa sifat yang dapat ditangkap panca indera(وصنامحسوسا) seperti kesukaran atau keadaan belum dewasa;atau berupa suatu keniscayaan seperti kesukaran atau keadaan be-lum dewasa; atau berupa suatu keniscayaan seperti uang tunai danmakanan; atau bersumber dari aktivitas mukallaf seperti mem-bunuh dan mencuri ; atau bersumber dari sifat itu sendiri yang ter-susun dari beberapa bilangan yang berbentuk penolakan ataupunpenetapan.38

2. ‘Illat boleh berupa sifat yang relevan ( وصفامناسبا ) seperti mabukrelevan dengan pengharaman terhadap minuman khamar, kesu-karan karena sakit relevan dengan rukhsah dalam transaksi.

3. ‘Illat boleh berupa indikasi suatu kemaslahatan ( الملحة إمارة ) sep-erti bepergian mengandung keringanan sebagai pola rukhshah danbukan merupakan masaqqah. Indikasi maslahat terkadung samar

38 Ibid,. H, 450.

Page 83: Fleksibilitas Hukum Islam

75 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 75

dan sulit untuk dilacak seperti makanan.4. ‘Illat boleh berupa sesuatu yang dinyatakan oleh nash yakni kasusasal ( صل اللا وهو الذكورنصا فى ), dimana ‘illat yang akan ditentu-

kan hukumnya terhadap suatu kasus telah dinyatakan secara lan-sung oleh nash, seperti mabuk yang menyebabkan sesorang tidakdibolehkan melaksanakan shalat.

Kedua, penyandaran hukum kepada ‘illat ( العلة إلى الحكم إضافة), yang dapat diketahui melalui empat cara antara lain:1. Adanya perbedaan hukum dalam ‘illat bersamaan dengan muncul-

nya ‘illat itu sendiri yang dikenal dengan takhsis al-‘illat.2. Adanya hukum tanpa ‘illat yang dikenal dengan ‘adam al-ta’tsir, ini

merupakan upaya penyandaran hukum melalui dua ‘illat.3. Penyandaran hukum pada ‘ilalt terhadap kasus yang telah dinyata-

kan oleh nash, hukum tersebut dalam posisi ada nash disandarkanpada nash atau ‘illat.

4. Uraian tentang suatu ‘illat yang singkat (‘illat al-qasirah) yang ber-landaskan pada penyadaran hukum dalam posisi ‘illat tertentu.

Penetapan tentang aspek untuk mengetahui ‘illat di atas,agaknyajuga telah merangkum persyaratan ‘illat yang dikemukakan sebelum-nya. Hanya saja, persyaratan merupakan ketentuan yang harus ter-penuhi bagi suatu ‘ilat. Bila persyaratan tersebut tidak mencukupimaka ‘illat dianggap batal. Sedangkan kebolehan merupakan keten-tuan yang tidak mesti terpenuhi boleh ada boleh juga tidak.

Agar dapat diketahui apakahsuatu hukum memiliki ‘illat atautidak, menurut al-Ghazali diperlukan prosedur untuk melacaknya se-cara sistematis yang dikenal dengan masalik at-‘illah (proses pelacakan‘illat).

Pertama,mereferensi nash secara langsung baik secara eksplisitmaupun melalui indikasi (al-ima’) dan keterangan (al-tanbih), dari nash.‘illat yang dapat diketahui secara eksplisit melalui nash dapat dilihatmelalui ungkapan bahasa nash seperti; lafaz, li ajli, min ajli (karena,untuk) dan lafaz kay (agar, supaya) serta lafaz lainnya. Contoh, ten-tang harta rampasan perang (al-fay’) yang dijelaskan dalam al-Qur’ansebagiaman terdapat pada S. al-Hasyr (98) ayat 7;

منكم.... كي لا يكون دولة بين الأغنياء

Page 84: Fleksibilitas Hukum Islam

76 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 76

“...supaya harta itu (harta rampasan) jangan hanya beredar di antaraorang-orang karya di antara kamu...”.

Lafaz key yang tercantum pada ayat tesebut merupakan ‘illat yangditunjukkan secara langsung oleh nash. Sedangkan ‘illat yang dapatdiketahui melalui al-ima’ atau al-tanbih berupa isyarat atau keteranganyang diperoleh melalui hubungan antara sifat dengan hukum yangdimaksudkan. Hubungan tersebut signifikan karena berguna untukmengetahui ‘illat.

Contoh, adanya larangan untuk melakukan hubungan kelamindengan istri yang sedang mengalami haidh sebagaimana dijelaskandalam S. al-Baqarah (2) ayat 222.

Term aza (penyakit) pada ayat ini merupakan al-ima’ dan al-tanbihyang dijadikan sebagai ‘illat terhadap larangan bergaul ketika masihdalam keadaan haidh, jika tidak dimaksudkan demikan maka sifat“aza” ini tidak disebutkan secara beriringan dengan larangan.

Kedua, penentuan ‘illat melalui ijma’. Menurut al-Ghaazali ‘illatdapat ditentukan dan ditetapkan melalui ijma’ dengan melihat sifatdan keadaan yang memiliki pengaruh (al-muatstsir) pada penetapan hu-kum. Contoh, ijma’ ulama tentang saudara laki-laki sekandung (seibudan seayah) lebih diutamakan dalam mendapatkan waris ketimbangsaudara laki-laki seayah saja. Atas dasar ini, sudah selayaknya sudaralaki-laki sekandung lebih diutamakan haknya saudara laki-laki seayahdalam masalah kekuasaan nikah.

Dengan demikian, mengutamakan pertalian persaudaraan meru-pakan ‘illat yang berpengaruh langsung terhadap persoalan waris dandinyatakan sebagai sesuatu yang telah disepakati (ijma’) ketentuan hu-kumnya, sehingga dijadikan sebagai tempat qiyas terhadap kewenan-gan dalam masalah nikah.

Aplikasi qiyas pada contoh di atas, dapat dipilah-pilah sebagaiberikut; yang menjadi kasus asal adalah kedudukan saudara laki-lakisekandung dan seayah dalam masalah waris; hukum asal adalah men-gutamakan saudara laki-laki sekandung ketimbang saudara laki-lakiseayah; kasus baru adalah kekuasaan dalam masalah nikah; dan seba-gai ‘illat adalah pertalian persaudaraan yang terdekat.

Oleh karena itu, kekuasaan dalam masalah nikah memiliki ‘illat

Page 85: Fleksibilitas Hukum Islam

77 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 77

yang sama dengan kasus asal-pertalian persaudaraan—sehingga da-pat diterapkan hukum yang sama. Artinya, bila dalam masalah warislebih diutamakan saudara laki-laki sekandung maka ini dapat terjadidalam masalah kekuasaan nikah.

Selanjutnya, al-Ghazali tidak menjelaskan secara detail bagaima-na proses pelacakan ‘illat melalui ijma’, ia hanya mengemukakan be-berapa contoh kongkrit sebagaimana dijelaskan sebelumnya, namuncontoh semacam ini agaknya disepakati oleh ulama lain.

Ketiga, melalui istinbath dan istidlal,39 upaya ini dapat ditempuhmelalui dua cara yaitu melalui al-sabru wa al-taqsim dan al-munasabah.Al-sabru wa al-taqsim secara leksikal berarti memperhitungkan danmenyingkirkan atau dapat juga diartikan menguji dan menghimpunsemua sifat-sifat yang pantas terhadat pada ‘illat agar dapat dijadikansebagai ‘illat pada kasus asal, tujuanya untuk menyeleksi mana yanglebih pantas untuk dijadikan ‘illat.

Contoh, hadis yang menjelaskan tentang denda terhadap orangyang melakkan hubungan seksual pada siang hari di bulan Ramadhan.Pada kasus ini diketahui secara jelas apa yang menjadi ‘illatnya apakahmembatalkan puasa dengan atau melakukan hubungan seksual.

Al-munasabah adalah melacak ‘illat yang dianggap sesuai da-lam menetapkan hukum.40 Contoh, adanya pengharaman terhadapkhamar karena ‘illatnya memabukkan yang ada merusak akal pikiran,yang dijadikan tolok ukur pembebanan hukum bagi mukallaf. Darikedua cara di atas, al-Ghaazli menganggap cara pertama lebih tepatdan akurat dalam menentukan dan menetapkan ‘illat.

Mengenai cara kedua ini, al-munasabah al-Ghazali membaginyakepada beberapa bentuk yaitu; munasib al-muatstsir, munasib al-mula’imdan munasib al-gharib.41

39 Ibid,. h. 433.40 Ibid., h, 436. Terim munasabah, yang dikalangan di kalangan ahli ushul dikenal

dengan ikhalah, yaitu sifat yang diduga kuat sebagai ‘illat hukum atau masla-hat. Contoh, terhadap perbuatan zina. Zina merupakan sifat perbuatan yangdapat diukur dan menurut nalar seiring dengan hukum diharamkannya agartercipta kemaslahatan yakni; memelihara keturunan, atau menolak kerusa-kan dengan bercampurnya nasab dan tidak dapat membedakan keturunan.

41 Ibnu Subki membagi maslahat kepada tiga. Pertama, munasib al-mu’atstsir,yaitu adanya pengakuan Syari tentang munasabahnya melalui nmash mau-

Page 86: Fleksibilitas Hukum Islam

78 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 78

Pertama, munasib al-muatstsir adalah penetapan hukum terlihatjelas baik melalui nash maupun ijma’, bahkan ia menyatakan dalambentuk ini sebenarnya tidak dibutuhkan liga adanya munasabah. Con-toh, hadis yang menyatakan batalnya wudhu’ jika menyentuh kemalu-an;

من مس ذكره نليثو ضا

“Barang siapa yang menyentuh kemaluannya (zakar) maka hendaklahia kembali berwudhu....”

Hadis ini mengindikasikan batalnya wudhu’ seseorang bila meny-entuh kemaluannya dengan tangan. Indikasi tersebut terlihat melaluiterm al-mass (menyentuh). Selanjutnya, diqiyaskan dengan menyentuhkemaluan orang lain, sehingga tidak hanya menyentuh kemaluan sen-diiri yang membatalkan wudhu’ melainkan juga menyentuh kemaluanorang lain.

Upaya pengqiyasan semacam ini dapat dipahami bahwabatalnyawudhu’ merupakan kasus asal dan ‘illatnya adalah menyentuh. Den-gan demikian, jika menyentuh kemaluan sendiri dan orang lain memi-liki ‘illat yang sama maka berlaku pula hukum yang sama.

Kedua, munasib al-mula’im adalah pengaruh ‘ain ‘illat terhadap‘ain hukum dan pengaruh sifat ‘illat terhadap penetapan hukum tidakterliha begitu jelas namun dapat dilihat pad ajenis hukum. Artinya,pengaruh tersebut tidak dinyatakan secara langsung oleh nsah mau-pun ijma’.

Contoh, seorang wanita yang sedang haid tidak wajib mengqad-ha shalat, ‘illatnya adalah kesukaran yang berulang-ulang. Sebagaima-na hadis yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi wnaita

pun ijma’ atau Syari’ tidak mengakui sifat yang ada pada hukum tertentu,namun sifat itu melahirkan hukum karena global diakui oleh Syari’ (diakuijenisnya). Kedua, munasib al-mula’im, yaitu adanya pengakuan Syari’ bahwasifat itu dapat melahirkan hukum karena jenisn ya diakui termasuk ke dalamjenis hukum yang dinyatakan nash. Ketiga, munasib al-mursal, yaitu sifat yangtidak ditemukan petunjuknya diakui atau ditolak. Bentuk terakhir ini, lebihdikenal dengan term maslahat al-mursalah atau istislah, masih terjadi polemikdi kalangan ulama tentang keberadaannya. Lihat: Ibnu Subki, Op. Cit., h.282.

Page 87: Fleksibilitas Hukum Islam

79 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 79

mengqadha shalat ketika haidh kecuali puasa, mengingat bila ditetap-kan kewajiban qadha shalat maka akan menyulitkan kaum wanita.Kesulitan itu dapat dilihat berpengaruh terhadap jenis hukum bukanpada penetapnnya, yaitu pengaruh yang menyebabkan adanya rukhsah(keringanan).

Kesukaran yang berulang-ulang dalam melakukan qadha tidakdinyatakan oleh nash maupun ijma’ sebagai ‘illat tidak wajib qadha.Namun sifat yang sejenis yaitu kesukaran dalam perjalanan dipan-dang oleh nash sebagai ‘illat untuk hukum sejenis qadha shalat. Keduasifat tersebut sejenis dalam hal keringanan, sehingga segala yang ber-sifat menyulitkan dapat menjadi ‘illat bagi hukum yang bersifat ker-inganan.

Ketiga, Munasib al-gharib adalah pengaruh dan padanan sifat ‘il-lat terhadap penetapan hukum syara’ tidak terlihat jelas, diterima lehakal namun ditolak oleh syari’at. Contoh, bila pengharaman terhadapkhamar karena keadaannya yang memabukkan maka dapat dipahamibahwa setiap yang memabukka tidak nyata pada tempat lain namunada kesesuaiannya.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat diketahui bagaimana jalankeluar yang ditawarkan al-Ghazali dalam upaya menetapkan suatu ‘il-lat agar ‘illat tersebut benar-benar sesuai dengan maksud Syari’.

Dengan demikian, munasib al-muatstsir ‘illatnya secara langsungdinyatakan oleh nash dan munasib al-mula’im ‘illatnya tidak secara din-yatakan oleh nash, sedangkan munasib al-gharib¸yang dikalangan ulamaushul dikenal dengan term munasib al-mulgah, ‘illatnya tidak diakui olehSyari’ atau ditolak.

Selanjutnya, dalam upaya penetapan dan pelacakan suatu ‘illatmelalui ijtihad, agaknya al-Ghazali membahas persoalan tersebut se-cara terpisah namun tidak secara detail. Menurutnya, ada tiga carauntuk melakukan ijtihad ‘illat yaitu: tahqiq al-manat (memastikan ‘illat),tanqih al-manat (memisahkan ‘ilat) dan takhrij al-manat (mengeluarkan‘illat), ia tidak menjelaskan pengertian term di atas namun memberi-kan contoh-contoh.42

Tahqiq at-manat, adalah upaya untuk memastikan adanya ‘illat da-

42 Ibid,. 395-396.

Page 88: Fleksibilitas Hukum Islam

80 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 80

lam sesuatu kasus. Contoh, ada adanya kewajiban menghadap kiblatketik melaksanakan shalat dapat diketahui melalui informasi nash na-mun tentang bagaiman mengetahui arah kiblat dapat diketahui mela-lui ijtihad dengan mengamati tanda-tanda.

Tanqih al-manat, adalah upaya untuk memisahkan ‘illat mana yanglebih tepat dan akurat dalam suatu kasus, karena dipandang ketentuanhukum kasus tersebut memiliki lebih dari satu alasan. Oleh karenaitu, mujtahid harus mengidentifikasi mana alasan tersebut yang lebihtepat (munasib).

Contoh, kasus persetubuhan yang dilakukan oleh orang Arabdi siang hari pada bulan Ramadhan, bila merujuk pada hadis makaia membayar kaffarat dengan memerdekakan budak, atau berpuasaselama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan fakir-miskin.

Terhadap kasus ini, agak nya terdapat beberapa kemungkinansifat yang menjadi dasar ‘illat hukum yakni dilakukan oleh orang Arabdan persetubuhan dengan istrinya. Namun, setelah dilakukan peneli-tian ternyata dasar ‘illat hukum tersebut adalah bersetubuh pada sianghari bukan dua kemungkinan di atas.

Menurut al-Ghazali, taklif hukum berlaku bagi setiap pribadi se-hingga berlaku bagi siapa saja tidak hanya orang Arab karena telahdiketahui bahwa manat al-hukm adalah persetubuhan yang dilaku-kan oleh mukallaf bukan orang Arab. Dengan demikian, yang menjadidasar pijakan kewajiban membayar kaffarat adalah perbuatan mukallafyang bersetubuh di siang hari dalam bulan Ramadhan.

Takhrif al-manaf, adanya pengharaman sesuatu yang tidak dis-ebutkan penjelasannya melainkan penyebutan hukumnya dan tidakdiketahui ‘illat pengharaman tersebut. Contoh, haramnya minum kah-mar dan riba pada gandum, dalam persoalan ini dibutuhkan pemikiranintensif untuk melacak manat al-hukm. Dijelaskan haramnya khamarkarena keadaannya yang memabukkan dijadikan sebagai ‘illat laludiqiyaskan terhadap nabiz (aggur), begitu pula berlaku pada gandumsebagai makanan pokok dan diqiyaskan terhadap pagi.43

43 Ibid

Page 89: Fleksibilitas Hukum Islam

81 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 81

Keterkaitan Pemikiran asy-Syafi’i dan al-Ghazali dalam Perso-alan QiyasSebelum mengemukakan tentang korelasi antara pemikiran asy-Syafi’idengan al-Ghazali dalam persoalan qiyas, agaknya terlebih dahuluharus dikemukakan rentetan historical-backraounds bagaimana prosesmunculnya teori dan praktek qiyas dalam kerangka pemikiran ushulfikih.

Mencermati bagaimana perkembangan qiyas dalam kerangka pe-mikiran hukum Islan, akan dapat dipahami bagaimana peranan paramujtahid dalam rangka memberikan konstribusi terhadap pemikiranhukum Islam bagi generasi berikutnya, melalui beragam karya monu-mental. Tujuan utama yang ingin dicapai agaknya untuk memberikanmekanisme yang harus ditempuh ulama dalam menetapkan hukumterhadap suatu kasus hukum serta sebagai upaya antisipatif terhadapsegala persoalan hukum yang akan muncul di kalangan umat Islam.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau hasil karya produkstifdan kreatif dari para intelektual agung semacam ini dijadikan sebagaipanduan sekaligus menempatkannya pada posisi yang setinggi-ting-ginya melalui upaya penggalian dan pengambangan secara kontinui-tas.

Di sisi lain agaknya, upaya ini dilakukan para mujtahid dilatar-be-lakangi oleh semangat serta motivasi dari sebuah hadis yang berkaitandengan peristiwa yang dialami Muaz ibn Jabal saat diutus Rasulullahke Yaman untuk menyelesaikan suatu perkara:

نى تجد فإن قال الله، بكتاب أقض قال: ؟ قضاء لك عرض اذا تقض كيففى سنة رسول الله ولانى فإن لم تجد قال رسول الله، فبسنة قا ل كتاب الله؟ معاذ، صدر على صلهم الله فضربرسول لوا ولاا اجتهدرأيى قال ؟ االله كتابوقال الحمد الله الذ ى وقق رسول رسو ل الله لما يرض رسو ل الله (رواه ا

وابوراود)44 حمد بن حنبلKuat dugaan bahwa hadis ini menjadi penyebab munculnya ke-

44 Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Bandung, Maktabah Dahlan, tth.), h.303.

Page 90: Fleksibilitas Hukum Islam

82 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 82

sadaran bagi umat Islam, khususnya yang hidup pada era pasca NabiSAW seperti; sahabat, tabi’in, tab’it tabi’in dan fuqaha berikutnya, un-tuk membangun masyarakat Islam. Umat Islam tidak hanya terbataspemahamannya pada apa yang tersurat dalam teks al-Qur’an maupunSunnah secara literal semata, lebih dari itu juga dituntut untuk mema-hami makna yang terkandung dalam teks tersebut secara intensif.

Menyikapi segala persoalan yang tidak dinyatakan oleh nash se-cara letaral ini, agaknya, fuqaha mau tidak mau harus bekerja ekstrakeras dalam menyelesaikan suatu kasus baru dengan tetap berpijakpada semangat yang ada pada nash tersebut, upaya yang ditempuhsalah satunya melalui praktek qiyas.

Praktek semacam ini, pada awalnya dipandang sebagai penggu-naan nalar (al-ra’y) secara bebas, terutama pada era tabi’in, terhadapkasus yang belum ditemukan ketentuan hukumnya pada nas. Namundemikian, dalam perkembangannya penggunaan nalar dibatasi unutkmenghentikan pengugnaannya secara bebas tanpa batas dan untukmengsistimatisasikan proses penalaran sehingga muncullah teorisekaligus praktek qiyas.

Upaya seperti ini lebih populer pada era asy-Syafi’i,45 di manaia dianggap berjasa dalam menempatkan qiyas secara skematis seba-gai dalil ynag disepakati setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Melaluikitabnya “al-Risalah dapat dijumpai bagaiman pengakuannya terh-adap eksistensi ijtihad dalam melacak hukum-hukum terhadap kasusbaru, yaitu qiyas.46

Bila dilacak secara seksama, akan diketahui bahwa sebelum mun-culnya teori qiyas ynag dikembangkan asy-Syafi’i, pada dasarnya ula-ma pendahulunya telah melakukan praktek semacam ini, hanya sajabelum terkemas secara rapi dan sistimatis sebagai suatu teori seba-gaimana yang dipraktekkan oleh Abu Haniffah dan Malik ibn Anas.

Namun demikian, praktek qiyas yang berkembang saat itu di-anggap ambisius, dalam arti pemikiran yang muncul terlihat sangat

45 Noel J. Coulson. Op.Cit h. 64.46 Staternen semacam ini secara tidak langsung merupakan justifikasi atas oto-

ritas qiyas sebagai dalil hukum dan metode ijtihad yang akurat dalam mela-cak hukum kasus baru meskipun ia tidak menolak adanya kemungkinanmetode alternatif lain. Lihat: asy-Syafi’i, Op. Cit.,h. 60.

Page 91: Fleksibilitas Hukum Islam

83 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 83

bebas sehingga memunculkan doktrin yang beragam dan menyebab-kan timbulnya polemik serta pola pikir yang berkembang dianggaptidak teratur.

Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, muncullah ideasy-Syafi’i untuk menetapkan suatu teori yang baku agar dapat dijadi-kan pedoman bagi para mujtahid dengan alur berpikir yang benar,teratur dan ketat melalui qiyas.

Mayoritas ulama memberikan pengakuan terhadap jasa asy-Syafi’i, karena mampu menetapkan suatu tepro yang berpengaruhterhadap generasi berikutnya. Sehingga pada masa selanjutnya keban-yakan ulama hanya berpegang pada teori (qiyas) yang ditetapkannyatermasuk al-Ghazali bahkan pada era dan pascanya hingga sekarangtidak ada teori lain yang dapat menandinginya.

Dalam perkembangannya selanjutnya, teori qiyas asy-Syafi’i se-cara sandar atau tidak mengakar dan melembaga di kalangan fuqahadalam format dalil dalam urutan sumber hukum Islam. Dengan di-posisikannya qiyas ke dalam rentatat dalil berimplikasi terhadap ke-sajajarannya dengan dalil hukum yang ada meskipun posisinya lebihrendah dan terbatas ketimbang al-Qur’an, Sunnah dan ijma’.47

Bila melacak bagaimana awal kemunculan qiyas, di mana melaluiupaya pengutipa terhadap ‘illat yang hampir sama dalam suatu ka-sus untuk kemudian dilakukan qiyas (analogi). Dengan demikian, bilaterjadi kasus belum ada ketentuan dalam nash, namun ada kemiri-pan dengan kasus yang dinyatakan oleh nash maka otomatis dapatditetapkan hukum yang sama.

Contoh kasus, sebagaimana yang dikemukakan oleh Malik ibnAnas (Imam Malik); apabila seseorang meminjam sesuatu barang danbarang tersebut idak mau dikembalikannya maka tidak ada hukumanpotong tangan terhadapnya. Agaknya, persoalan ini diqiyaskan ke-pada seseorang ynag terhutang dan tidak mau membayar hutangnyamaka tidak dikenakan hukuman potong tangan padanya.48

Secara mikro melalui contoh tersebut, kelihatan qiyas sebelum

47 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah Garnadi,(Bandung; Pustaka, 1984), . 125.

48 Ibid,. h. 127.

Page 92: Fleksibilitas Hukum Islam

84 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 84

mempunyai landasan teoritis serta batasan-batasan khusus sebagia-man pada era berikutnya. Pada awalnya, qiyas hanya merupakan pe-nyerupaan meskipun sebagian kecil saja bahkan esensinya terkandangberbeda.

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya setelahbermunculan beberapa mujtahid (Imam Mazhab) barulah qiyas dis-istimatisir sedemikian rupa dengan menetapkan batasan-batasan danpersyaratan yang harus dipenuhi, sehingg dalam mengaplikasikan qi-yas benar-benar berlandaskan pada aspek kesamaan dan kesejajaransuatu sebagai upaya praktek qiyas.

Oleh karena itu, terhadap dua kasus yang dijadikan obyek qiyasbenar-benar terdapat hubungan ‘illat secara eksplisit. Dalam mengap-likasikan qiyas, kalangan ulama klasik maupun kontomperer sepakatbahwa qiyas baru dapat dipraktekkan bila telah memenuhi beberapaunsur yaitu: adanya kasus asal (ashl), hukum asal (hukm al-ashl) dan‘illat. keempat unsur persyaratan ini mempunyai persyaratan teknisoperasional tersendiri ynag berbeda di kalangan ulama dalam penen-tuannya. Contoh yang sering ditampilkan tentang pengharaman ter-hadap khamar yang ‘illatnya adalah memabukkan, ‘illat ini dijadikanacuan atau landasan dalam menetapkan ketentuan hukum terhadapminuman yang beredar sekarang ini.

Setelah dikemukakan bagaiman sejarah perkembangan qiyas,dapat dipahami proses kemunculan qiyas secara gradual dan kapanmenjadi suatu metode yang dianggap mapan oleh ulama berikutnya.

Kemunculan kitab ushul fikih al-Ghazali, agaknya mempunyaiketerkaitan dengan pemikiran asy-Syafi’i. Hal ini terlihat dari pe-mikiran yang ditampilkan khususnya tentang persoalan qiyas. Untukmengetahui lebih jauh keterkaitan tersebut, akan dikemukakan latarbelakang historis munculnya pemikiran ushul fikih al-Ghazali.

Setelah periode sahabat dan berlanjut kepada periode berikut-nya, yakni perode tabi’in, perkembangan pemikiran ushul fikih se-cara perlahan mulai mapan meskipun mulai terkemas secara perla-han mulai mapan meskipun belum terkemas secara rapi seperti padaera Hanafi dan Maliki. Fuqaha mengambangan ushul fikih melaluidua jalur, yaitu jalur fuqaha (tariqah al-fuqaha) dan jalur mutakallimin(tariqah al-mutakallimin).

Page 93: Fleksibilitas Hukum Islam

85 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 85

Jalur fuqaha dinamakan juga dengan jalur Hanafiah yang disan-darkan kepada Abu Hanifah karena lebih mengutamakan pada ca-bang-cabang fikih untuk kemudian menetapkan kaidah ushul melaluicabang tersebut. Kelompok ini berpegang teguh pada cabang danmenetapkan kaidah untuk memelihara ini berpegang teguh pada ca-bang dan menetapkan kaidah untuk memeliharan dan menguatkankaidah yang telah ditetapkan imamnya. Karya terpenting dari jalur iniantara lain;1. Ma’huz al-Syarai’, karya Abi Manshur al-Mahuridiy (w. 330 H)2. Kitab fi al-Ushul, karya al-Karakhi (w. 340 H).3. Ushul al-Jashshash, karya Abi Bakar Ahmad ibn Ali al-Jashshash

al-Razi (w. 370 H.)4. Taqwim al-Adillah dan Ta’stas al-Nazar, karya Abi Zaid ad-Da-

busiy (w. 430H)5. Ushul al-Syarhisty, karya Abui Bakr Muhammad ibn Ahmad asy-

Syarhisiy (w. 490 H.); dan lainnya.Sedangkan jalur mutakallimin, melepaskan diri dari pengaruh furu’

mazhab dan menetapkan kaidah-kaidah ushul dengan menggunakanakal (logika). Kitab terpenting dari jalur ini antara lain.1. Al-Risalah, karya Muhammad Idris asy-Syafi’i (w. 204 H.) dan te-

lah banyak yang mensyarahnya;2. Ibthal al-Qiyas, karya Ahmad ibn Umar ibn Suraij Abu al-Abbas

(w. 306 H.);3. Istbat al-Qiyas, karya Muhammad ibn Ibrahim ibn Munzir (w. 306

H.);4. Istbab al-Qiyas dan Ikhtilaf al-Nas fi al-Asma’ wa al-Ahkam wa

al-Khas wa al-‘Am¸karya Abu Hasan al-Asy’ariy (w. 324 H.);5. Syarah al-Risalah asy-Syafi’i dan Dalail al-A’lam ala Ushul al-Ah-

kam karya Abu Bakr al-Syairafi (w. 330 H)6. Al-Hidayah, karya Abu Ahmad al-Khamarizmi (w. 343 H.)7. Al-Taqrib wa al-Irsyad fi al-Tartib Thuruq al-Ijtihad, karya Abu

Bakr al-Baqilani (w. 412 H.);8. Al-‘Amad, karya Qadhi Abd Jabbar ibn Ahmad al-Hamdani (w.

415 H);9. Al-Burhan¸karya Abu Malik Abdullah al-Juwaini (w. 478 H).

Jalur kedua tingkatan terakhr inilah yang menghubungkan al-

Page 94: Fleksibilitas Hukum Islam

86 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 86

Ghazali dengan asy-Syafi’i, meskipun tidak secara langsung. Al-Ghazali berguru kepada seorang tokoh, Imam Haramain al-Juwaini,49

tokoh yang kental bermazhab asy-Syafi’i dalam ushul fikih dan ber-mazhab Asy-‘ari dalam bidang teologi. Al-Ghazali melalui beberapaliteratur ushul fikihnya ketika mereferensi pendapat gurunya meng-gunakan term, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, qala al-ustaz(guru berpendapat) berbeda dengan asy-syafi’i dengan menggunakanterma qala asy-Syafi’i (asy-Syafi’i berpendapat). Di samping itu, keduatokoh ini dihadapkan pada kondisi yang hampir sama yaitu hubunganhistoris-epistimologi.

Hubungan pemikiran meliputi sosial, politik dan pemikiran, his-toris epistimologis. Pertama setting sosial, kedua tokoh masing-mas-ing dihadapkan pada komonitas masyarakat yang heterogen dengantingkat intelegensia dan pendidikan serta peradaban, sehingga sangatsulit untuk didamaikan atau direkonsiliasikan bila terjadi gejolak so-sial seperti adanya polise pemerintah yang kontradiktif dengan aspi-rasi rakyat.

Kedua politik, masing-masing dihadapkan pada kondisi yangmemprihatinkan, di mana para penguasa dari Bani Abbasiah ber-sikap despotik dalam menjalankan roda pemerintahan sehingga tidakheran bila sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuanagama dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Ketiga pe-mikiran, terjadi pertarungan pemikiran antara aliran-aliran yang adabaik bersifat teologis, hukum, tasawuf maupun filsafat.50

Sedangkan mata-rantai yang menghubungkan kedua tokohtersebut, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa al-Ghazaliberguru kepada Imam al-Haramain, berguru kepada al-Juwaini, ber-guru kepada Abi Bakr al-Quffal al-Mawarzi, berguru kepada Abi Zaidal-Mawarzi, berguru kepada Ibnu Syuraij, berguru kepada Abi Said

49 Al-Juwaini merupakan Imam besar yang hidup pada era itu, berguru kepadaayahnya Syeikh Abi Muhammad dan kepada Abi Qasim al-Asqaf yang mer-upakan murid al-Asfarany. Lihat: Muhammad Khudori Bek, Tarikh at-Tasyri’al-Islamiy (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), h. 309-310.

50 Nasyr Hamid Abu Zayd, Imam asy-Syafi’i, Baim al-Qadasah wa al-Basayar-uyyah wa Ta’sis al-Aidulujiwah al-Waasthiyah, alih bahasa Khoiron Nahdhiyyin,(Yogyakarta; LKIS, 1997), h. 3-5.

Page 95: Fleksibilitas Hukum Islam

87 | Fleksibilitas Hukum Islam Konsep Qiyas al-Ghazali | 87

al-Mathy, berguru kepada al-Muzani, berguru kepada asy-Syafi’i. 51

Asy-Syafi’i merupakan peletak dasar-dasar metodologi hukumIslam (ushul fikih), sedangkan al-Ghazali dan kalangan Syafi’iyahmembangun sekaligus mengembangkan pemikiran selanjutnya den-gan tetap berpijak pada pemikiran yang telah ada.

Melalui rentetan pemikiran di atas, terlihat kaitan pemikirankedua tokoh, di samping kondisi sosio-politik dan pemikiran yangmereka hadapi hampir sama bahkan terdapat kesamaan, di mana ked-uanya dihadapkan pada kondisi yang memprihatikankan baik bidangpolitik, sosial, pemikiran dan hukum dan mereka tampil menyelamat-kan umat dari polemik yang berkepanjangan.

Dengan demikian, diakui atau tidak al-Ghazali telah terpengaruhatau telah mengintrodusir pemikiran asy-Syafi’i secara tidak langsungmelalui jalur gurunya dan terbukti banyak kesamaan pemikiran antarakeduanya dalam bidang ushul fikih. Ini juga dapat dilihat ketika iamengemukan suatu pemikiran yang dijadikan dasar acuan adalah pe-mikiran asy-Syafi’i. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila dalamliteratur dikatakan bahwa al-Ghazali pengikut asy-Syafi’i terutama da-lam persoalan qiyas dan umumnya dalam bidang ushul fikih.

Atas dasar ini, agaknya penulis mendukung tesis yang menya-takan bahwa al-Ghazali sebagai pengikut asy-Syafi’i meskipun tidaksecara langsung, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama melaluibeberapa literatur ushul fikih.

51 Qolyubi dan ‘Umairah, Loc. Cit

Page 96: Fleksibilitas Hukum Islam

4 Pengembangan Konsep Qiyasasy-Syafi’i dalam Pemikiran al-Ghazali

Respons al-Ghazali Terhadap Pemikiran Qiyas asy-Syafi’iMencermati kemunculan pemikiran asy-Syafi’i tentang qiyas, agaknyabagi ulama era berikutnya memberikan respon yang beragam baikpro maupun kontra. Hal ini beralasan mengingat kajian nash belumditemukan ayat maupun hadis yang secara jelas dan tegas menyatakankeberadaan qiyas sebagai sumber hukum, namun ini bukan berartimenghentikan kreatifitas ulama ushul untuk mencarikan landasanteori yang dijadikan legitimasi tentang eksitensi qiyas.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui upaya kreatif inilahnantinya munculkan beberapa pendapat yang berupaya mendudu-kan qiyas pada proporsi sebenarnya. Dalam menyikapi pemikiranasy-Syafi’i dan al-Ghazali mengenai posisi qiyas, terlebih dahulu akandikemukakan respon ulama ushul fikih secara umum mengenai posisiqiyas tersebut.

Dalam kaitan ini, setidaknya ada tiga kelompok yang mencobamendudukkan qiyas pada proporsi sebenarnya sesuai dengan pan-dangan masing-masing. Tiga kelompok yang mencoba menyikapipersoalan ini yaitu; kelompok yang mengklaim qiyas sebagai dalil hu-

Page 97: Fleksibilitas Hukum Islam

90 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 90

kum, kelompok penolak qiyas dan kelompok yang menganggap qiyashanya sebagai metode.

Kelompok pertama,1 sepakat bahwa qiyas merupakan salah satupokok tasyri dan dalil hukum syariyyah, inilah pendapat yang dipegangioleh kelompok yang mengakui qiyas sebagai dalail hukum yang dapatdijadikan hujjah syar’iyyah.2 Oleh karena itu, mereka dianggap sebagaikelompok yang mendukun qiyas (mutsbit al-qiyas). Dalam melegitimasipendapatnya, kelompok ini memunculkan beberapa argumen.

Pertama, berdasarkan pada al-Qur’an S. an-Nisa’ (4) ayat 59 yangmenyatakan;

تنازعتم فإن منكم الأمر وأولي الرسول وأطيعوا الله أطيعوا آمنوا الذين أيها يافردوه إلى الله والرسول في شيء

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan Ra-sul serta Ulul Amri (pemimpin) di antara kamu. Jika kamu berbedapendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Ra-sul-Nya..”

Ayat ini mereka pahami sebagai perintah kepada umat Islamagar kembali al-Qur’an dan Sunnah jika berbeda pendapat terhadapsuatu persoalan. Pengembalian ini secara utuh baik melalui isyaratnash maupun tidak ada isyarat sama sekali yang didasarkan pada ke-samaan ‘illat hukum, meskipun tidak hanya melalui akal semata tetapitetap berlandasarkan pada nash.

1 Zakiy al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Mesir: Dar al-Ta’lic, 1965), h.110; Muhammad Abu Zahrah. Tarikh at-Mazahib al-Islamiyah, (Mesir: Daral-Fikr al-Arabi, tth), h. 216-274; Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Op. Cit., Jil. I, h.22.

2 Ada beberapa term yang digunakan ulama disandarkan kepada dali naqlidan aqli, antara lain; hujjah al-syar;iyyah, dalil, sumber dan metode (manhaj),Hukkah al-syar’tyyah yaitu argumentasi (kesimpulan) yang diperoleh dari pe-mahaman terhadap nash; dalil yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasanberpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang praktis, baikqath’iy maupun zanniy, sumber yaitu asal dari segala sesuatu dan tempatmerujuk kepada sesuatu; dan metode (manhaj) yaitu cara yang ditempuhulama untuk menetmukan hukum yang belum dinyatakan secara tgas dalamal-Qur’an dan Sunnah. Lihat: ‘Abd. Wahab Khallaf, Ushul....Op. Cit., h. 20;Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 417.

Page 98: Fleksibilitas Hukum Islam

91 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 91

Kedua, berdasarkan hadis yang memulai dialog antara RasulSAW, dengan Mu’az ibn Jabal ketika akan diutus ke Yaman, yangmemberikan peluang terhadap adanya alternatif untuk menemukanhukum-hukum baru yang sedang dihadapi berdasarkan ijtihad melaluinalar (al-ra’y) dan dapat dijadikan hijjah al-Syari’yyah. Ketiga, berdasar-kan praktek yang dilakukan oleh kalangan sahabat dalam menetapkanberbagai persoalan hukum.

Selain dari argumen di atas, ada yang menambahkan bahwa nashhanya memuat hukum-hukum pokok yang bersifat universal danterbatas, sedangkan perkembangan zaman melahirkan konsekuensibermunculnya persoalan hukum baru yang belum pernah dijumpaisebelumnya dan membutuhkan penyelesaian. Salah satu upaya pe-mecahannya adalah dengan melakukan qiyas terhadap persoalantersebut dengan memperhatikan kuasa hukumnya, sehingga agaknyaupaya ini mutlak untuk dilakukan demi kesinambungan hukum.

Kelompok kedua,3 menggugat dan menolak eksistensi qiyassebagai dalil hukum, sehingga konsekuensinya qiyas tidak dapat di-jadikan hujjah al-syari’iyyah dalam menetapkan hukum. Kelompok inidituding sebagai penolak qiyas (nfat al-qiyas), yang dimotori oleh al-Nazzham beserta koleganya dari kalangan Mu’tazilah, Daud az-Zahiridan Ibnu Hazam serta sebagian kalangan Syi’ah. Ibnu Hazm secarategas menolak beragumen dengan akal (al-ra’y) dan hanya bersandarpada nash melalui pemahaman terhadap maknawi dan lafzi saja,4 se-dangkan qiyas menurutnya berdasarkan rakyu sehingga tidak dapatdijadikan argumen dan dalil. Untuk melegitimasi pendapat merekadimunculkanlah beberapa argumen.

3 Zakaria al-Birri, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyyah. (Kairo: Dar al-Ittihad,1975), h. 100-102.

4 Ada beberapa kritik tajam dilontarkan Ibnu Hazm kepada kelompok pen-erima qiyas dengan menyatakan bahwa; pertama, qiyas hanya didasarkandan kembali kepada rakyu (penalaran bebas) yang ditolak ajaran Islam; dankedua, tidak adanya metodologis yang baku untuk menentukan hasil qiyasapakah benar semua atua sebagian. Kalaupun benar bagaimana cara menge-tahui dan membedakannya karena keduanya tidak mungkin berkumpul se-cara bersamaan. Klarifikasi secara lengkap lihat ; Muhammad Abu Zahrah,Ibnu Hazm; Hayatuhunu ‘Asyruhu wa ‘Ara ‘ wa Fiqluhun (Kairo: Dar al-Arabi,1954), h. 382.

Page 99: Fleksibilitas Hukum Islam

92 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 92

Pertama, berdasarkan pada al-Qur’an S.al-Baqarah (2) ayat 29dan S. al-Maidah (5) ayat 3 yang menyatakan:

هو الذي خلق لكم ما في الأرض جميعا

“Dia-lah Allah yang telah menjadikan segala sesuatu yag ada di bumiini unutuk kamu..”

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk mu agamamu dan telahKucukupkan kepadamu nikmat-Ku...”

Ayat ini mereka pahami sebagai tunjukan yang jelas mengenaikesempurnaan syari’at atau agama Islam, sehingga tidak diperlukanlagi upaya qiyas. Ketentuan-ketentuan syari’ah dalam format hukum;wajib, makruh, haram, sunnat maupun mubah, kesemuanya meru-pakan variasi dari mubah. Dengan demikian, hanya ada tiga formathukum yaitu; perintah, larangan dan kebolehan. Jika suatu kasus tidakditemukan ketentuannya pada nash maka dikategorikan pada susuatuyang mubah.

Perintah dan larangan merupakan ketentuan yang memiliki oto-ritas yang jelas berdasarkan nash maupun ijma’. Oleh karena itu, jiwatidak tercover di dalamnya maka tidak ada yang berhak untuk mene-tapkannya dan otomatis hukumyna mubah, sehingga tidak ada peluanaplikasi qiyas.5

Kedua, qiyas merupakan bangunan yang berdiri atas dasar du-gaan (zanniy) dalam penentuan ‘illal hukum, sehingga produk huku-mnya pun bersifat zannity dan tidak mencapai tingkat yakin. Ketiga,praktek sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar dan IbnMas’ud yang menolak eksistensi qiyas dan mengingatkan agar berha-ti-hati dalam menggunakan rakyu. Selanjutnya, Umar juga mengemu-kakan “agar berhati-hati kepada ahlu al-ra’y karena menyalahi SunnahNabi” dan Ibnu Abbas mengemukakan “jika engkau menggunakanqiyas terhadap persoalan agama, maka apakah engkau akan mengh-

5 Abu Muhammad Ali ibn Hamz, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Mesir; al-Sa’adah 1928), h. 3.

Page 100: Fleksibilitas Hukum Islam

93 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 93

afalkan apa yang telah diharamkan Allah SWT, atau sebaliknya.Atas dasar argumen yang dikemukakan tersebutm kelompok

kedua ini menetapkan suatu konklusi bahwa qiyas tidak memiliki ka-pasitas sebagai dalil hukum dan hujjah al-syar’iyyah.

Kelompok ketiga, berupaya menduduki [posisi qiyas pada posisisebenarnya dalam kerangka hukum Islam karena menganggap qiyasmerupakan suatu metode dalam menghasilkan ketetapan hukum ber-dasarkan penalaran teks nash melalui penyamaan ‘illat hukum. Kel-ompok terakhir ini dimotori oleh al-Ghazali,6 yang selanjutnya diikutioleh ahli ushul seperti; Abu Zahra, Ahmad Hasan dan lainnya yangsecara tegas tidak memasukkan qiyas dalam urutan dalil. Abu Zahrahdan Ahmad Hasan menyatakan bahwa qiyas merupakan salah satumetde untuk menggali hukum karena sebenarnya qiyas hanya sebagaiinstrumen yang digunakan untuk menafsirkan nash.

Dasar pemikiran yang membedakan antara asy-Syafi’i denganal-Ghazali – meskipun diakui oleh banyak tokoh melalui berbagai lit-eratur memiliki hubungan yang erat sebagai yang diikuti (muttaba’)dan pengikut (muttatabi) – berawal dari penentuan posisi qiyas apakahdikategorikan sebagai dalil (sumber hukum yang wajib dipegangi) atauhanya sebagai metode (manhaj) dalam menggali dari sumber-sumberhukum yang telah ada. Sebenarnya, dalam kaitan ini juga terjadi po-lemik di kalangan fuqaha yang masing-masing meyakini kebenaranpendapatnya, namun hal semacam ini merupakan suatu “kewajaran”dalam khazanah intelektual Islam.

Dari tiga pendapat kelompok yang memposisikan qiyas secaraberbeda tersebut, kelihatannya ada persoalan mendasar melatar-bela-kangi perbedaan pandangan yaitu perumusan sistematika yang digu-nakan. Kelompok pertama menempatkan qiyas sebagai dalil setelahal-Qur’an, Sunnah dan ijma’ meskipun tidak berdiri sendiri, di manaqiyas tetap pada urutan setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ atau dalil-dalil lain yang disepkati, agaknya pendapat kelompok inilah yang di-pegangi oleh asy-Syafi’i beserta koleganya.

6 Al-Ghazali beranggapan bahwa qiyas merupakan dalil hukum, baginya yangdikategorikan sebagai dalil hukum (adillah al-ahkam) yaitu; al-Qur;an, Sun-nah, ijma’, fatwa sahabi, istihsan.,istishab dan istislah. Lihat; Abu Harnid al-Ghazali, al-Mustashfa’ ... Op.Cit.,h. 394.

Page 101: Fleksibilitas Hukum Islam

94 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 94

Kelompok kedua, tidak menempatkan qiyas dalam urutan dalilatau metode bahkan menolak sama sekali ekstensi qiyas. Kelompokketiga tidak menempatkan qiyas dalam urutan dalil namun tetap men-gakui eksistensi qiyas sebagai metode yang harus digunakan dalamupaya menemukan hukum kasus baru. Pendapat kelompok terakhirinilah yang dipegangi oleh al-Ghazali beserta koleganya.

Al-Ghazali juga beranggapan qiyas memiliki posisi signifikan da-lam melacak hukum kasus baru. Bila tidak dijumpai nash atau ijma’yang menjelaskan suatu kasus hukum maka dapat diberlakukan qiyas.Mengenai pemikirannya terhadap qiyas akan dikemukakan beberapacontoh, antara lain;

Pertama, dalam persoalan hudud, ia mengharamkan nabiz (peras-aan anggur) diqiyaskan khamar karena ‘illatnya sama-sama memabuk-kan dan hukum meminumnya adalah haram, sehingga hukum yangada pada khamar diberlakukan pula pada nabiz melalui qiyas.

Kedua, persoalan ibadah, ia menyatakan batalnya wudhu ses-eorang bila menyentuh kemaluan orang lain merupakan pengqiyasanterhadap hukum batalnya wudhu’ bagi seseorang yang menyentuh ke-maluannya sendiri. Berdasarkan hadis yang menyatakan apabila ses-eorang menyentuh zakarnya maka hendaklah ia berwudhu’ menurutal-Ghazali, hadis tersebut yang menjadi penyebab atau memberi pen-garuh adalah menyentuh, sehingga diqiyaskanlah dengan menyentuhkemaluan orang lain. Oleh karena itu, qiyas sangat signifikan dalammelacak hukum yang belum dinyatakan secara tegas oleh nash, inidapat dilihat melali beberapa proposisinya yang menyatakan;

الربافى حرمت نى ظننتمإ أ ذا فإ بانقياس تكم بعبد قد تعالى. الله إذاتالحكم عن خبرا هذا فيكون م مطعو كل عليه فقيسٮوأ ما مطعو لكونه البر

الزبيب7

“Maksudnya, jika Allah SWT, berkata Aku ingin melihat kalian berib-adah dengan menggunakan qiyas maka kalian menduga Aku telahmengharamkan riba pada gandum—karena keadaannya adalah maka-nan—maka qiyaskanlah kepada gandum semua makanan. Dengan de-mikian, gandum menjadi dasar penjelasan mengenai hukum riba pada

7 Ibid.

Page 102: Fleksibilitas Hukum Islam

95 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 95

kismis.

Agaknya, disinilah al-Ghazali memperlihatkan hubungan antarasuatu kasus yang ada nashnya dengan kasus ynag belum ada ketentuanhukumnya, sehingga menyebut gandum sebagia penjalasan terhadapkismis. Hubungan dimaksud adalah kesamaan antara keduanya seba-gai makanan, sehingga ketentuan hukum bagi gandum berlaku samaterhadap kismis. Namun demikian, dalam penerapan qiyas al-Ghazalitidak keluar dair ketentuan nash, meskipun nash tidak keluar dari ke-tentuan nash, meskipun nash tidak menyebutkan hukum terhadapsuatu kasus secara literal tetapi nilai dasar nash tetap beraku terhadapsuatu kasus melalui qiyas berdasarkan adanya kesamaan ‘illat.

Dalam kaitan tentang kehujjahan qiyas, yang dimaksud al-Ghaz-ali adalah kebijakan hasil qiyas, ia menyatakan bahwa hukum yangdihasilkan berdasarkan penalaran qiyas merupakan hujjah al-syari’yyahdalam hukum Islam. Untuk melegitimasi pandangan tersebut, iamengemukakan beberapa argumen sebagai landasan teori.

Pertama, merunjuk kepada praktek yang dilakukan Umar ber-pedoman pada hadis Nabi SAW yang menyatakan “Allah mengutukorang Yahudi, diharamkan atas mereka bangkai tetapi tetap merekaperdagangan dan memakan hasilnya”.

Atas dasar ini, Umar mengqiyaskan harga khamar kepada hargalemak bangkai dengan mengharamkan memakan harga dari khamar,kemudian ia juga memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari agarmeneliti sesuatu yang terdapat kesamaan atau keserupaan untuk se-lanjutnya diqiyaskan.8

Kedua, al-Ghazali membantah pendapat kelompok yang meno-lak eksistensi qiyas sebagai hujjah al-syar’iyyah. Kelompok ini menge-mukakan argumen melalui al-Qur’an S. al-An’am (6) ayat 38 dan S.an-Nahl (15) ayat 89 yang menyatakan

... ما فرطنا في الكتاب من شيء...

“...tidaklah Kami alpakan sesuatu dalam kitab....”

8 Ibid,. h, 399.

Page 103: Fleksibilitas Hukum Islam

96 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 96

... ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء...

“...dan tidaklah kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untukmemperjelas segala sesuatu)

Bertitik tolak dari pemahaman ayat di atas, kelompok penolakqiyas menegaskan ayat tersebut merupakan penjelasan terhadap se-gala sesuatu yang disyari’atkan dalam al-Qur’an maupun tidak, agardikembalikan ketetapannya pada nash. Al-Ghazali membantah ar-gumen semacam ini dengan mengemukakan nash kondisinya terba-tas sedangkan persoalan hukum terus bermunculan sesuai denganperkembangan kondisi dan keadaan yang membutuhkan solusi yangjelas.

Oleh karena itu, agar hukum tetap eksis dan sempurna dapatditempuh dua cara yaitu melalui muqaddimah al-kulliyah dan muqaddi-mah al-juz’iyyah.9 Muqaddimah al-kulliyah adalah dasar dan kaidah umumyang bertolak dari nash, sedangkan muqaddimah az-juz’iyyah adalah ka-sus hukum yang tidak dinyatakan nash dan akan terus muncul sesuaidengan perkembangan masa dan keadaan.

Dengan berpijak pad dua dasar ini dan hubungan antara keduan-ya berlakulah qiyas dan hukum-hukum yang dihasilkan merupakanhujjah al-syar’iyyah yang memiliki kekuatan legalitas. Sedangkan argu-men yang dikemukakan kelompok penolak qiyas tergolong kepadamuqaddimah al-kulliyah.

Atas dasar argumen di atas, dapat dipahami bahwa al-Ghazalimelihat bidang aplikasi qiyas sangat luas, mencakup berbagai aspekdan obyek hukum, hanya saja harus memenuhi ketentuan atau per-syaratan untuk berlakunya qiyas. Dalam kaitan ini, agaknya ia jugasepakat dengan pandanan mayoritas fuqaha tentang posisi hasil qiyassebagai hujjah al-syar’iyyah.

Al-Ghazali juga menggambarkan bagaimana peranan qiyas padaera sebelumnya dalam melacak kasus yang belum dijelaskan olehnash—berawal sejak periode sahabat dan berlanjut hingga periodetabi’in terutama setelah munculnya imam mazhab, yang menempat-kan qiyas pada posisi tinggi dalam kerangka pemikiran hukum Is-

9 Ibid., h. 400.

Page 104: Fleksibilitas Hukum Islam

97 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 97

lam. Ini terbukti ketika melacak berbagai literatur mengungkapkanbagaimana otoritas qiyas dijadikan sebagai salah satu dalilk hukumsetelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’, meskipun dalam kapasitasnyaberbeda.

Al-Ghazali menyatakan qiyas memiliki peranan dalam menetap-kan hukum, ketika kasus baru terebut tidak ditemukan ketentuan hu-kumnya melalui nash maupun ijma’. Ia membantah pendapat kelom-pok, sebagaimana kelompok Syi’ah, Mu’tazilah dan Zahiri serta IbnuHazm, yang menolak eksistensi qiyas karena dianggap tidak logis danmelanggar aturan syara’, kelompok ini mempertanyakan ‘illat yangmerupakan landasan qiyas yang menyatakan:

ليست الشرع علل و لذاتها الحكم توجب ما والعلة إلابعلة قياس لايستقيمعلة يكون يجوزأن للتحريم ءلة نصب أنما مع التعليل يستقيم فكيف لك كذ

للتحليل10

“Qiyas tidak dapat diterapkan kecuali ada ‘illat dan ‘illat merupakan se-suatu yang memastikan munculnya hukum karena dirinya sendiri, se-dangkan ‘illat Syari’ tidaklah demikian. Oleh karena itu, bagaimanakahmemberlakukan ‘illat yang boleh jadi digunakan untuk penetapanharam dan boleh jadi pula digunakan untuk menetapkan halal”.

Untuk mengkanter argumen kelompok ini, al-Ghazali menge-mukakan argumen:

ينصب أن ويجوز الحكم على بة منصو مة علا إلا لحكم ا لعلة لامعنىكل واجتنبوا العلامة هذه اتبعوا ويقول الخر لتحريم مة علا السكر النشرع

مسكر ويجوز ان ينصبه علا مة للتحليل

“Illat hukum tidak lain adalah tanda (‘alamat) demi tegaknya hukum,boleh jadi Syari’ menetapkan mabuk sebagai tanda terhadap kehara-man khamar dan dikatakan-Nya ikutilah olehmu tanda tersebut danjauhilah segala yang memabukkan dan boleh juga penetapannya seba-gai tanda kehalalan.

Selanjutnya, ia menyatakan orang yang menganggap tanda terse-but sebagai tanda kehalalan maka halal baginya, sebaliknya, orang

10 Loc. Cit.,h. 397.

Page 105: Fleksibilitas Hukum Islam

98 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 98

yang beranggapan tanda itu sebagai tanda keharaman maka harambaginya. Namun demikian, ia mengakhiri proposisinya dengan me-nyatakan bahwa perbedaan pendapat semacam ini adalah wajar dansemuanya benar.

Kelompok penolak qiyas juga mempertanyakan tentang peng-haraman zabib yang memunculkan riba’ jika dipertukarkan tidakdengan barang yang sama. Anggapan mereka bahwa nash tidak me-nyatakan hukum zabib sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang diri-wayatkan oleh Muslim yang berasal dari Ubadah ibn Samit, ada enammacam benda yang bila ditukarkan dengan tidak sama maka hukum-nya riba yaitu; emas, perak, gandum, sya’ir, korma dan garam.11

Selanjutnya ulama sepakat bahwa yang menjadi sasaran (sanad)qiyas al-Qur’an dan Sunnah, namun demikian mereka berbeda penda-pat tntang ijma’ dan qiyas yang menjadi sandaran qiyas. Asy-Syafi’i,sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menetapkan iyas harus mem-punyai sandaran (sanad) dan sandaran itu harus jelas berupa khabarmustaqadam, khabar dimaksud hanya al-Qur’an dan Sunnah, tidak ter-masuk ijma’ dan istihsan serta lainnya, sedangkan muqaddam yaitu mun-culnya lebih dahulu dari kasus baru.

Argumen yang dikemukakan asy-Syafi’i dan sebagian ulamaSyafi’iyyah menolak ijma’ sebagai sandaran qiyas karena dianggaptidak jelas dan tidak dapat diketahui ‘illat hukumnya. Berbeda halnyadengan al-Ghazali yang menyatakan sandaran qiyas adalah al-Qur’an,Sunnah dan ijma’ dan inilah pendapat yang dipegangi oleh jumhurfuqaha.

Mereka mencontohkan tentang terjadinya ijma’ terhadap wanitadewasa dan cerdas yang berhak mengurus hartanya secara mandiritanpa bantuan orang lain, selanjutnya diqiyaskan terhadap laranganmemaska untuk menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disetujui.Namun demikian, yang menjadi pendapat di kalangan fuqaha tentan

11 Enam jenis benda ini bila dilakukan dibarterkan dan ternyata tidak samaakan menyebabkan riba atas dasar hadis riyawat oleh Muslim. Hadis ini jugadijadikan dasar argumen praktek raiba fadl dan sepakat ulama untuk men-gaplikasikannya kepada kasus yang sama. Intinya apapun bentuk barter ter-hadap arang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda dilarang(riba).

Page 106: Fleksibilitas Hukum Islam

99 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 99

otoritas ijma’ dapat dijadikan asal yang sah bagi qiyas.Kelompok yang mempertanyakan ini mengemukakan argumen

bahwa ketentuan ijma’ tidak selalu menuntut adanya sanad atau ijmatidak selalu menjelaskan alasannya, sedangkan qiyas haru smempu-nyai informasi yang jelas untuk melakukan analogi melaui ‘illatnya.Pendapat seperti ini lemah karena hanya memandang ‘ilalt qiyas han-ya ditentukan oleh sumber-sumber. Padahal kenyataan ‘illat tersebutdapat ditentukan melalui sumber-sumber apabila ada, apabila tidakditemukan maka kewajiban mujtahid untuk melacak kerangka melaluitujuan syari’ah (maqasid al-syari’ah) baik melalui penarikan terhadap ‘il-lat maupun nash. Selain itu, menurut jumbur ijma’ merupakan sanaddari ‘illat, sehingga hukum yang dihasilkan atas dasar ini dapat diten-tukan melalui ijtihad.

Kelompok Malikiyah bahkan lebih renggang dengan memasuk-kan qiyas sebagai sandaran qiyas dengan alasan bahwa yang dinama-kan kasus baru itu bila belum diketahui ketentuan hukumnya, namunbila telah dikethaui maka ia beralih menjadi asal.

Mengenai eksistensi qiyas sebagai sandaran qiyas, ulama ushulsepakat menyatakan tidak boleh, mengingat besar kemungkinan ka-sus baru yang menjadi asal ‘illatnya berbeda dengan ‘illat kasus asalyang pertama sehingga akan berbeda manat at-hukm dalam qiyas.

Contoh, mengqiyaskan wudhu’ (kasus baru kedua) dengantayammum (kasus baru pertama, kasus asal kedua) tentang kewajibanberniat karena ‘illatnya sama yaitu bersuci, diqiyaskan kepada shalat(kasus asal pertama) karena ‘illatna sama-sama ibadah. Apabila ‘illatpada kasus asal kedua tetap sama dengan ‘illat pada kasus asal per-tama maka dibolehkan.

Al-Ghazali menolak argumen yang membolehkan qiyas sebagaisandaran qiyas yang lain, ia mengemukakan contoh sebagai bandin-gan yaitu bila seorang mencoba mencari batu kerikil di pantai yangsama degan batu kerikil yang ada di tangannya, setelah ketemu batukerkil yang mirip dengan kerikil yang asli lalu dilemparkannya danmencari kerikil yang sama dengan kerikil yang kedua dan seperti ituterus-menerus. Setelah ia menemukan batu kerikil yang kesepuluh,tidak mengherankan bila kerikil tersebut jauh berbeda dengan kerikilpertama. Oleh karena itu, menurut qiyas merupakan spekulasi terus-

Page 107: Fleksibilitas Hukum Islam

100 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 100

menerus dan kemungkinan besar akan salah.12

Mencermati pemikiran di atas, agaknya penulis cenderung ke-pada pendapat al-Ghazali dan rekannya, ini mengingat berbagai lit-eratur memperlihatkan bagaimana secara historis awal kemunculanqiyas yang hanya merupakan instrumen atau metode yang digunakanuntuk menalar nash dna bukan dalil serta produknya dijadikan seba-gai hujjah.

Namun demikian, bila dicermati secara seksama maka dapatdiketahui bahwa dalam mereponi teori qiyas yang ditawarkan asy-Syafi’i di kalangan ulama terbagi ke dalam dua kelompok yaitu men-erima qiyas yang dianut oleh mayorias ulama atau menolak yang dia-nut oleh minoritas ulama.

Mencermati pemikiran asy-Syafi’i bahwa tidak ada cara dan jalanlain untuk mengetahui ketentuan hukum syara’ (syari’at) terhadapsuatu kasus, melainkan dengan melacak kepada al-Qur’an, Sunnah,fatwa sahabat dan ijma’. Bila melalui sumber-sumber tersebut belumjuga ditemukan ketentuan hukumnya maka dapat beralih denganmenggunakan qiyas, yakni dengan cara mengembalikan pada keten-tuan hukum yang terdapat pada sumber tersebut. Ini dibsebabkanbahwa prinsip yang dicari melalui manhaj qiyas adalah menemukanketentuan hukum yang sesuai dengan kandungan hukum yang adapada nash (al-khabar).13

Oleh karena itu, mujtahid tidak dibenarkan menentukan danmenetapkan hukum halal dan haramnya sesuatu tanpa melandasi pe-mikirannya kepada nash, sebab bila tidka demikian maka berarti ia di-anggap telah membuat ketentuan hukum berdasarkan akal dan selerapribadi (spekulatif) dan hal semacam ini tidak dibenarkan.

Setiap hukum Allah dan Rasul-Nya akan dapat dijumpa melaluidalalah, baik bersumber dan dalil itu sendiri maupun dari dalil laindan setiap hukum itu mempunyai makna. Oleh karena itu bila terjadisuatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya secara tegas dan jelasmaka dapat ditentukan hukumnya berdasarkan pada kasus yang telahada ketentuan hukumnya karena persamaan makna.

12 Ibid., h. 402.13 Asy-Syafi’i, al-Risalah...Op. Cit., h. 40

Page 108: Fleksibilitas Hukum Islam

101 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 101

Atas dasar ini, ia menyimpulkan bahwa ijtihad pada hakikatyayaitulah qiyas. Qiyas adalah menarik hukum dari suatu persoalan yangtidak ada dengan kasus yan telah ada nashnya disebabkan dua kasustersebut mempunyai kesamaan makna.14

Dengan demikian, untuk menyelesaikan persoalan-persoalanbaru harus tetap dicarikan dukungan nash, sehingga maslahat tidaklangsung berada di bawah bimbingan nash. Ini dilakukan asy-Syafi’iagar akal jangan menetapkan hukum secara mandiri, tanpa bimbin-gan nash dan ia juga berupaya untuk mengembalikan maslahat ke-pada nash syari’at. Ini dilakukan bila qiyas dipahami sebagai suatuupaya pencarian ketentuan hukum terhadap sesuatu yang ditemukannashnya secara tekstual, melalui penyandaran pada ketentuan hukumyang jelas nashnya.

Menurut asy-Syafi qiyas dapat diberlakukan bila telah memenuhibeerapa persyaratan, antara lain;1. Adanya kasus baru yang belum dinyatakan secara tegas oleh

nash’2. Adanya ketentuan hukum asal yang belum dinyatakan secara tegas

oleh nash;3. Suatu kasus yang belum ditemukan ketentuan hukum melalui nash

tersebut tercakup ke dalam hukum yang secara tekstual disebutkannashnya (‘illat)15

Namun demikian, asy-Syafi’i tidak menyajikan urutan yang jelastentang apa itu makna dan bagaimana cara mengetahui makna terse-but. Ditambah lagi dalam teori qiyasnya qiyasnya asy-Syafi’i tidakmembedakan antara ‘ain al-ma’na dengan jins al-ma’na. Luasnya caku-pan teori qiyas asy-Syafi’i memnculkan ide bagi pengikutnya sepertial-Ghazali, untuk mengelaborasi dan mempertegas konsep qiyas yangditawarkan asy-Syafi’i.

Titik awal upaya yang dilakukan al-Ghazali tersebut dneganmenterjemahkan bahwa makanya yang dimaksud asy-Syafi’i adalah‘illat, selanjutnya baru menetapkan persyaratan teknis berlakunya qi-

14 Ibid., h. 512.15 Husein Hamid Hasan, Nazhariyat at-Mastahat fi al-Syari’ah al-Islamiyah. (Kai-

ro: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, tt) h. 324

Page 109: Fleksibilitas Hukum Islam

102 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 102

yas dan bagaimana cara menemukan suatu ‘illat agar dapat diketahuisecara jelas.

Al-Ghazali juga memilah kesamaan dari segi ‘ain dengan kesa-maan dari segi jenis. Bila kesamaan ‘illat yang terdapat padakasus asaldengan kasus baru dari segi ‘ain maka berlakulah qiyas, bila kesamaantersebut dari segi jenis maka berlakulah prinsip maslahat.

Al-Ghazali membedakan maslahat sebagai prinsip hukum danmaslahat sebagai metode ijtihad. Menurutnya:16

“Dalam pengertian esensial (ashl), maslahat merupakan suatu ekspresiuntuk mencari sesuatu yang berguna atau menyingkarkan sesuatu yangkeji (mudharat). Namun demekian, bukan ini yang kami maksud, kar-ena mencari manfaat dan menyingkirkan mudharat merupakan tujuanyang

Menurutnya, bila terjadi persamaan makna antara ‘ain kasus asaldengan ‘ain pada kasus baru maka berlakulah qiyas, namun bila per-samaan makna tersebut dari segi jenis maka berlakulah maslahat al-mula’imah17 yang masih berada di bawah payung qiyas.

Al-Ghazali juga memilah-milah kesamaan dari segi ‘ain dengankesamaan dari segi jenis. Bila kesamaan ‘illat yang terdapat pada kasusasal dengan kasus baru dari segi ‘ain maka berlakulah qiyas, bila kesa-maan tersebut dari segi jenis maka berlakulah prinsip maslahat.

Al-Ghazali membedakan maslahat sebagai prinsip hukum danmaslahat sebagai metode ijtihad. Menurutnya,18

اعتماد الاءستدلا ل وإن لم وذهب الشافعى ومعظم أصحا ب حنيفة إلىإلى حكم متفق عليه فى أصل ولكنه لا يسبجيزالنأى والبعد والإفراط ييتندوفاقا المعتبرة بالمصالح شتهة يراها بمصالح الأحكام تعليق وإنمايسؤغ

16 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa...Op. Cit., h. 286-287.17 Mashlahat al-mula’imah adalah maslahat yang diakui syari’at dari segi jenisnya

dan ‘illat yang diinformasikan padanya tidka secara langsung. Agar dapatberlaku maslahat al-mula’mah maka diperlukan beberapa persyaratan, yaitupertama, kasus baru yang hendak ditentukan hukumnya tidak dinyatakanoleh nash dan disandarkan pada ketentuan hukum yang memiliki kesamaanjenis; kedua, pada kasus baru diketahui bahwa maslahat yang ada padanyadiakui oleh Syari’ ; dan ketiga, pada kasus baru diketahui dan didahulukankepentingan umum.

18 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa..Op. Cit., h. 286-287

Page 110: Fleksibilitas Hukum Islam

103 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 103

الشريعة19 بالمصالح المستندة إلى أحكام ثابتةا لأصؤل تارة فى

“dalam pengertian esensial (ashl), maslahat merupakan suatu ekspresiuntuk mencari sesuatu yang berguna atau menyingkarkan sesuatu yangkeji (mudharat). Namun demikian, bukan ini yang kami maksud, kar-ena mencari manfaat dan menyingkirkan mudharat merupakan tujuan,yang diinginkan oleh makhluk. Kebaikan dari makhluk terdapat dalammerealisasikan tujuan-tujuan mereka. Apa yang kita maksud maslahatadalah pemeliharaan terhadap maksud (obyektif) hukum syara’ yangterdiri lima hal pokok, yaitu; pemeliharaan agama, jiwa, akal, ketu-runan dan kekayaan. Apa saja yang menjamin kelima prinsip tersebutmerupakan maslahat, dan keallaian apa saja yang terjadi dalam peme-liharaan lima hal tersebut merupakan mafsadat.

Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa mengelompokkan sesuatuyang dianggap maslahat20 kepada tiga kategori, pertama, maslahatyang ada ketegasan syari’at secara khusus mengakuinya, dan oleh kar-ena itu tidak diragukan lagi keshahihannya sebagai landasan hukum.Kedua, sesuatu yang dianggap maslahat oleh manusia tetap ada kete-gasan syariat yang menolaknya, dan oleh karena itu ditolak. Ketiga,maslahat yang tidak ada ketegasan secara khusus baik yang mengakuimaupun yang menolak.

Maslahat kategori terakhir ini oleh al-Ghazali dirinci sebagaiberikut;a. Maslahat yang tidak ada kesaksian syari’at secara khusus, baik yang

mengakui maupun menolaknya, tetapi ada kesaksian syari’at se-cara umum mengakuinya. Maslahat seperti ini dapat diterima se-bagai landasan metode istinbath.

b. Maslahat yang walaupun ada kesaksian syari’at secara umum men-gakuinya, tetapi bertentangan dengan nash syari’at secara khusussehingga memfungsikannya akan mengubah ketentuan syari’at.Maslahat seperti ini, pada hakikatnya tidak menguntungkan bagimanusia dan oleh karena itu dianggap batal.

c. Sesuatu yang dianggap maslahat yang tidak termasuk ke dalam hal-hal yang diakui oleh syari’at secara khusus dan tidak pula secara

19 Hasbi ash-Shiddieqi, Falsafat Hukum Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1975), h.352-353.

20 Abu Hamin al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil..,Op. Cit., h. 184.

Page 111: Fleksibilitas Hukum Islam

104 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 104

umum. Maslahat seperti ini dinamakan maslahat al-gharibah (munasibal-gharibah), yang memfungsikannya berarti melaksanakan sesuatuyang tidak diakui oleh syari’at. Maslahat semacam ini hanya dug-aan hawa nafsu belaka dan oleh karena itu ditolak.21

Secara umum al-Ghazali menolak bentuk maslahat yang samasekali bertentangan nash. Maslahat seperti ini karena tidak sejalandengan kebiasaan syari’at, dianggap palsu. Namun apa yang dimak-sud nash nash ynag dipertahankan al-Ghazali, bila dicermati adalahnash yang secara tegas dan pasti.

Dengan demikian, ada tiga poin yang dapat ditarik dalam perso-alan ini. Pertama, maslahat yang berarti mencari manfaat dan menolakmudharat, sebagaimana pengertian secara leksikal. Artinya, apabilaada maslahat dan mudharat yang saling bertentangan maka kemashla-hatan adalah menolak mudharat. Kedua, al-Ghazali memakai masla-hat tidak sama dnegan ‘urut, tetapi sebagai upaya untuk mencari man-faat dan menolak mudharat sebagaimana dikehendaki Syari’. Artinya,apabila ada maslahat dan mudharat yang saling bertentangan makakemaslahatan adalah menolak mudharat. Sebagaimana dikehendakiSyari’. Artinya, terkadang seseorang melihat sesuatu yang bermanfaat,namun dari segi Syari’. Artinya, terkadang seseorang melihat sesuatuitu bermanfaat, namun dari segi Syari merupakan mafsadah. Demiki-ah pula sebaliknya, sesuatu yang dianggap kerusakan bagi manusia,namun maslahat dari segi Syari’.22

Ketiga, al-Ghazali mensejajarkan antara maslahat dan munasibmelalui pernyataannya: “Apabila kami mengatakan munasib dalam babqiyas yang kami maksud adalah maslahat”.

Apabila maslahat al-musalah bertentangan dengan nash makamaslahat al-mursalah harus ditinggalkan, maksudnya nash yang tidakqath’iy. Ini merupakan isyarat bahwa dikhotomis al-Ghazali meman-dang ada dua bentuk maslahat, yaitu kemaslahatan meunurut manu-sia yang parameternya adalah akal dan perasaan, serta kemaslahatanmenurut syari’at yang parameternya adalah wahyu. Kemaslahatanyang disebut terakhir inilah yang diakui al-Ghazali.

21 Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’..Op. Cit., h. 184.22 Ibid., h. 6-8.

Page 112: Fleksibilitas Hukum Islam

105 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 105

Munculnya ide cemerlang al-Ghazali adalah wajar, mengigat al-Ghazali sebagai ulama yang cerdas dan berpengetahuan luas serta da-tang kemudian tidak puas dengan apa yang ada dan berupaya semaksi-mal mungkin meramu dan menyempurnakan pemikiran sebelumnya,dengan memerinci konsep-konsep yang ada sebelumnya supaya lebihjelas dan dapat dipahami. Meskipun, pada akhirnya ia tidak segan-segan memberikan kritikan terhadap proposisi yang dianggap kurangrelevan bahkan mempunyai pandangan berbeda terhadap proposisiyang dianggap kurang relevan bahkan mempunyai pandangan ber-beda terhadap beberapa persoalan. hal semacam ini merpakan suatukemestian sekaligus kewajaran dalam perkembangan dinamika keil-muan di manapun dan sampai kapanpun.

Dengan demikian, agaknya ada dua aspek yang menjadi obyekpengembangan al-Ghazali terhadap konsep qiyas asy-Syafi’i. Perta-ma, al-Ghazali lebih memperjelas sekaligus mempertegask konsepqiyas sebelumnya melalui pengertian secara sistimatis, berikut denganpersyaratan teknis operasional, ditambah dengan petunjuk bagaima-na menentukan suatu ‘illat (masalik al-‘illat). kedua, asy-Syafi’i secaratekstual hanya meyakini bahwa qiyas dapat terjadi apabiola terdapatkesamaan makna antara kasus yang terdapat kesamaan makna antarakasu yang terdapat pada kasus baru dengan yang terdapat pada kasusasal dari segi ‘ain. Sedangkan al-Ghazali mengakui kesamaan makna,baik dari segi ‘ain maupun jenis.

Implikasi Pengembangan Qiyas asy-Syafi’i oleh al-GhazaliMereferensi diskursus-diskursus yang merupakan hasil pemikiran asy-Syafi’i yang termaktub dalam kitab “al-Risalah dan al-Umm”. Tidakberlebihan kalau dikatakan bahwa ia hanya mengakui keberadaansumber hukum Islam sebagaimana dinyatakan sebelumnya yaitu;al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Karena dipercaya sumbertersebut te-lah dan mampu merangkum dan menjawab segala persoalan hukumyang dihadapi umat Islam, namun demikian ada yang dinyatakan se-cara tegas dan ada yang hanya bersifat indikatif (isyarat). Bila jawa-ban yang ada hanya bersifat indikatif (tidak tegas), maka upaya yangharus ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan

Page 113: Fleksibilitas Hukum Islam

106 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 106

melakukan ijtihad, yang ada dalam hal ini yaitu qiyas.Atas dasar ini, secara tidak langsung agaknya asy-Syafi’i meno-

lak dalil lain seperti maslahat dianggap sebagai sesuatu yang berdirisendiri tanpa adanya sandaran kepada nash (al-khabar). Bila ada yangberijtihad dengan menggunakan cara lain, maka dianggap telah me-nyalahi petunjuk dan telah keluar dari al-Qur’an dan Sunnah, atausama artinya menolak teks wahyu sebagai sumber hukum.

Asy-Syafi’i tidak mengakui keberadaan maslahat sebagai salahsatu smber hukum, bila dipahami sebagai sesuatu yang berdiri sendiri(independen), tanpa sandaran nash. Namun di sisi lain, adanya fak-ta-faktaa bahwa asy-Syafi’i melalui banyak ijtihadnya terbukti meng-gunakan prinsip maslahat dalam pemikiran fikihnya. Di antara buktitersebut sebagaimana dikemukakan al-Juwaini yang dikutib Hasbiash-Shidieqi.

“asy-Syafi’i dan kebanyakan sahabat Abu Hanifah berpegang kepada is-tidlal meskipun tidak bersandar kepada sesuatu hukum yang disepakatidasarnya. Namun demikian, asy-Syafi’i tidak membenarkan bila hal itudilakukan terlalu jauh dan berlebihan. Hanya saja asy-Syafi’i membole-hkan kita menggangtungkan hukum dengan maslahat-maslahat yangdipandangkannya mempunyai kemiripan dengan maslahat-maslahatyang bersandar kepada hukum yang tetap dasarnya dalam syari’at.

Contoh kasus, seseorang yang memesan dibuatkan barang,menurut asy-Syafi’i pembuat barang atau pekerja tidak dibebanikewjaiban menanggung keselamatan barang yang dipesan, kecualidiketahui dengan jelas ia merusakkannya atau dapat membuktikanketidakterlibatan atas hilang atau rusaknya barang tersebut. Ia men-gumpamakan pada seeorang yang memesan dibuatkan baju kepadapenjahit, ketika baju dalam proses pembuatan ternyata hilang dicurimaling atau musnah terbakar, maka pemesanan (pemilik) baju tidakmeminta gantinya dan penjahit tidak menerima bayaran upah ataspekerjaannya.23

Contoh laion, asy-Syafi’i membolehkan membunuh sekelompokorang yang terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, untuk melind-ungi jiwa manusia secara keseluruhan apakah pembunuh satu orang

23 Asy-Syafi’i, al-Umum, Jil., II, h. 87.

Page 114: Fleksibilitas Hukum Islam

107 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 107

atau beberapa orang.24

Dari contoh-contoh di atas, dapat dipahami bahwa asy-Syafi’iyang juga diikuti ulama lain mempraktekkan prinsip maslahat dalamijtihadnya. Bahkan menurut Hasbi, asy-Syafi’i setelah berada di Me-sir banyak menggunakan huruf Mesir dan meninggalkan uruf yangberkembang di Iraq. Hal ini merupakan bentuk aplikasi prinsip masla-hat dalam ijtihad asy-Syafi’i.25

Pada dasarnya, asy-Syafi’i tidak menolak prinsip maslahat sepa-njang maslahat tersebut mempunyai kemiripan dengan maslahat-maslahat yang diakui oleh Syari’, maslahat kategori ini tercakup dalamteori qiyasnya.26

Sebagai istilah teknis ushul fikih dan sebagai metode dalam istin-bath hukum, tem maslahat biasanya dirangkai dnegan kata mursalahsehingga disempurnakan menjadi maslahat al-mursalah. Secara leksikalmaslahat al-mursalah, yang juga disebut dengan istislah, berarti kepent-ingan yang tidak terbatas, tidak terikat, kepentingan yang tidak dipu-tuskan secara bebas.27

Sedangkan secara gramatikal maslahat al-mursalah berarti sesuatuyang dipandang maslahat, yang tidak ada dalil secara khusus baik yangmengakui maupun yang menolaknya, namun sejalan dengan langkah-langkah syari’at dalam mewujudkan dan memelihara tujuan syari’at(maqasid al-syari’ah).28

Pada dasarnya, ulama Syafi’iyyah menggunakan maslahat al-mur-salah sebagai salah satu dalil syara’, meskipun asy-Syafi’i memasuk-kannya ke dalam qiyas. Contoh, ia mengqiyaskan hukuman bagi

24 Ibid., h. 88.25 Asy-Syafi’i, al-Risalah... Op. Cit., h. 514-515.26 Hasbi, Loc. Cit.27 Abd. Waahab Khallaf, Mashadir... Op. Cit., h. 86.28 Asy-Syatibi membagi maslahat kepada beberapa macam yaitu maslahat mul-

qhah, mu’tabarah dan mursalah. Maslahat mulghah adalah maslahat yang ditolakdan tidak diakui oleh Syari’ sebagai maslahat serta tidak dapat dijadikansebagai landasan hukum; maslahat mu’tabarah adalah maslahat yang sejalandengan ketentuan syara’ dan maslahat mursalah adalah maslahat yang tidakdidukung atau ditolak oleh Syari’. Klarifikasi secara lengkap tentang masla-hat ini dapat dilihat dalam Abu Ishaq asy-Syatibi. Al-Muqafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Jil. II, h. 38.

Page 115: Fleksibilitas Hukum Islam

108 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 108

peminum khamar kepada hukuman qadzaf, yakni dera sebanyak 80kali karena orang yang mabuk akan mengigau dan ketika mengigaudiduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina.

Bila diamati secara seksama tentang aplikasi qiyas asy-Syafi’isebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa qiyas harus me-menuhi tiga ketentuan agar dapat direalisasikan yaitu; adanya kasusasal, adanya kasus baru dan ketentuan hukum asal. Tiga persyaratanin dapat dijumpai pada persyaratan berlakunya maslahat al-mula’imahsebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu:29

1. Kasus baru yang akan dicarikan ketentuan hukumnya denganmenggunakan prinsip maslahat adalah kasus yang belum dinyata-kan hukumnya oleh nash disandarkan pada ketentuan hukum yangmemiliki kesamaan jenisnya dan jelas ketentuan hukumnya.

2. Kasus baru yang akan dicarikan ketentuan hukumnya, sebenarnyauntuk ketentuan hukum syari’ah yang diakui Syari’. Seperti laran-gan pembelian terhadap orang yang membawa dagangan dari kam-pung dengan cara mencegatnya di tengah jalan, karena ketidakta-huan merkea akan harga yang sebenarnya. Ketentuan hukum inididasarkan pada makna yaitu mendahulukan maslahat umum den-gan mengesampingkan maslahat khusus.

3. Pada kasus yang tidak ditemukan nashnya secara langsung (sharih),seperti pesan dibuatkan barang juga ditemukan padanya satu mak-na, yaitu prinsip mendahulukan kepentingan si pemesan (maslahatal-‘ammah).

Kemaslahatan tersebut akan merujuk pada nilai-nilai asasi syara’atau ekspresi sifat-sifat yang berkaitan (munasib). Hal ini dapat dike-tahui melalui statemen asy-Syafi’i yang menyatakan “tentang kebole-han menetukan suatu hukum yang belum dinyatakan oleh nash biladiketahui melalui statemen asy-Syafi’i yang menyatakan “tentang ke-bolehan menentukan suatu hukum yang belum dinyatakan oleh nashbila diketahui memiliki kesamaan makna dengan kasus baru yang te-lah dinyatakan oleh nash”. Makna tersebut nantinya dapat dijadikanpedoman syari’at sebagai syahid bagi jins al-ma’na selagi mengandungmaslahat yang dapat dibenarkan oleh syara’.

29 Husain Hamid Hasan, Loc. Cit.

Page 116: Fleksibilitas Hukum Islam

109 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 109

Asy-Syafi’i agaknya tidak membedakan antara ‘ain al-ma’na danjins al-ma;na seperti memabukkan yang terdapat pada khamar den-gan yang terdapat pada jenis sari buah lain. Ini merupakan indikasibahwa makna tidak mesti berupa ‘ain. Namun ia tetap mengakuibahwa makna yang melandasi suatu hukum yang dijadikan sebagaisandaran hukum (manat al-hukm) dapat diketahui melalui nash khusus(‘ain al-ma’na) maupun melalui komulasi dari beberapa nash tercakupke dalamnya maslahah al-mulaimah yang merupakan garapan qiyas versiasy-Syafi’i.

Bila maslahat al-mursalah diutamakan atas ketegasan nash, makaberarti membatalkan ketegasan nash wahyu sama sekali. Ayat yangtegas dan jelas pengertiannya tidak sebanding atau ditandingi olehmaslahat al-mursalah yang sangat mungkin manusia keliru menyim-pulkannya. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali bila yang dianggapmaslahat bertentangan dengan nash maka itu sebenarnya hanya ke-palsuan yang pada akhirnya akan membuat manusia rugi.30

Atas dasar ini, al-Ghazali tidak melakukan ta’wil atau mema-lingkan arti ayat kepada pengertian yang sejalan dnegan maslahat al-mursalah tersebut. Ini mengingat praktek ta’wil hanya dapat dilakukandengan syarat-syarat yang ketat pada lafal-lafal yang tidak tegas, disamping pengertian lahirnya cepat dapat ditangkap, secara kebahasanjuga mengandung pengertian lain yang tidak cepat dapat ditangkap.Sehingga lafal-lafal yang hanya mengandung satu pengertian secarategas tidak dapat di ta’wil.

Adapun teks-teks wahyu yang mengandung banyak pengertiandan tidak ada ketegasan yang dimaksud oleh syari’at adalah seluruhcakupannya itu. Menurut al-Ghazali, maslahat al-mursalah denganpersyaratan-persyaratam tertemti dan dalam kamus tertentu bisa ber-fungsi mentakhshishkan (mengeluarkan atau mengecualikan) sebagiandari pengertian yang dicakup oleh lafal umum itu. Ini dapat terjadi ke-tika menerapkan lafal umum kepada suatu kasus ternyata berbenturandengan suatu kepentingan, atau maslahat yang juga harus dipeliharamenurut petunjuk-petunjuk umum dari syari’at, meskipun tidak adadalil secara khusus mengakuinya.

30 Ibid

Page 117: Fleksibilitas Hukum Islam

110 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 110

Dalam kaitan ini, hakikatnya adalah perbenturan antara duamaslahat yang ekduanya sama-sama diakui oleh syari’at seagai tujuan-nya. Jalan keluarnya adalah dengan mentarjih maslahat yang lebih be-sar.

Menurut al-Ghazali, demi kemaslahatan orang banyak bolehmenghukum mati seorang zindiq yang menyembunyikan kekafiran-nya dan melahirkan keislamannya. Sedangkan al-Ghazali menerimamaslahat al-mursalah bila memenuhi ketentuan sebagai berikut;31

1. Maslahat itu sejalan dengan tindakan-tindakan syara’;2. Maslahat itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash

syara’3. Maslahat itu termasuk dalam kategori dharuri, kulli dan qath’ty.

Pertama, dharuri (pokok) berarti maslahat tersebut berkaitan eratdengan pemeliharaan kebutuhan esensi manusia yang mencakup limahal, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua, qath’iy (pas-ti) berarti apabila hal itu tidak dilakkan maka dapat dipastikan akanterjadi kerusakan. Ketiga, kulli berarti yang dilindungi tidak hanya ke-pentingan personal, melainkan kepentingan umat secara umum.

Sedangkan kalangan Syafi’iyah, khususnya al-Ghazali, meng-klasifikasi bentuk maslahat menjadi beberapa kategori yaitu; maslahatal-muatstsir, al-mula’im dan al-gharib sebagaimana telah dijelaskan sebe-lumnya. Qiyas dikategorikan sebagai maslahat al-mula’im yang diakuioleh Syari dan pengakuan tersebut baik berupa ‘ain maupun jins marla-hat. Maslahat al-mula’im merupakan nau’ dari maslahat al-mu’tabarah, se-dangkan maslahat al-mursalah tidak tergolong jenis maslahat yang diakuiSyari’ sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum.

Al-Ghazali sendiri menggunakan term maslahah al-mula’imah den-gan term munasib al-mula’imah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnyabahwa ia mengemukakan bagaimana proses pelacakan ‘illat (masalikal-‘illat) yaitu istibanthdan istidlal melalui al-sabr wa al-taqsim dan muna-sabah. Munasabah terpolarisasi kepada munasib al-mu’tsir, mula’im dangharib. dalam pembagian ini, agaknya qiyas asy-Syafi’i dikelompokkanke dalam munasib al-mula’im.

31 Ibid., h. 294-295.

Page 118: Fleksibilitas Hukum Islam

111 | Fleksibilitas Hukum IslamPengembangan Konsep Qiyas | 111

Maslahat al-mursalah,32 bukan merupakan bentuk sifat mula’im dantidak mempunyai syahid terhadap jenisnya dari Syari’ serta mengand-ung unsur perbuatan bid’ah sehingga ditolak Syari’. Al-Ghazali baruakan menerima maslahat al-mursalah dengan syarat harus dalam kon-disi terpaksa (dharuri), kulit dan qath’iy

Bila dicermati sebenarnya menurut hemat penulis, maslahat al-mula’im versi al-Ghazali dari kalangan Syafi’iyah lainnya terdapat kesa-maan bahkan identik dengan maslahat al-mursalah versi Malikiyah danHanafiyah, begitu juga halnya dengan maslahat al-mursalah (Malikiyah)atau munasib al-gharib (al-Ghazali) identik dengan istihsan dalam pan-dangan asy-Syafi’i.

Atas dasar uraian di atas, dapat dipahami adanya benang merahantara pemikiran asy-Syafi’i dengan pemikiran al-Ghazali, di manakedua tokoh ini menerima keberadaan mashlahat al-mursalah sebagaiupaya alternatif dalam melacak hukum terhadap kasus baru. Han-ya saja mereka berbeda dalam melacak hukum terhadap kasus baru.Hanya saja mereka berbeda dalam memberikan terminologi terhadapmaslahat al-mursalah.

Malikiyah menggunakan term maslahat al-mursalah, Hanafiyahmenggunakan term mursal al-mula’in , sedangkan asy-Syafi’i dan al-Ghazali menyebutnya dengan maslahat al-mula’im.

32 Mursal berarti “terlepas” sedangkan menurut al-Ghazali tidak bisa diper-tanggungjawabkan karena tidak mempunyai hubungan kepada kasus asaldan tidak menysyaratkan keadaan ‘illat terhadap kasus asal yang bersumberdari nash serta tidak mempunyai syahid lain, sehingga tidak dapat diaplikasi-kan terhadap hukum syara’. Alasan penerima maslahat al-mursalah sebagaidalil hukum dengan menyatakan mursal sebenarnya tidak memerlukan syahidkarena secara universal Syari’ telah mengakui syahidnya.

Page 119: Fleksibilitas Hukum Islam

5 Penutup

Setelah menampilkan uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakandi atas, setidaknya ada beberapa catatan yang dapat dijadikan konk-lusi secara keseluruhan. Pertama, jalan mencari hukum Islam melaluiijtihad dapat dilakukan tergantung kepada obyek yang harus ditelitiatau dicari hukumnya, baik melalui qiyas, ijma’ atau metode lainnya.Hal ini sangat bergantung kepada ilmu, pengalaman, kebijakan dankearifan para pakar untuk memilih metode mana yang dianggap lebihtepat dan akurat.

Kedua, salah seorang yang dianggap paling berjasa dalam me-nyusun teori ijtihad secara skematis dan sistimatis adalah asy-Syafi’i,melalui karya monumentalnya dalam bidang ushul fikih yang termak-tub dalam kitab “al-Risalah”. Ketiga, teori ijtihadnya yang terkenaladalah qiyas meskipun hanya bersifat unviersal, dengan menyatakanbahwa bila antara kasus asal dengan kasus baru terdapat kesamaan‘ain makna maka dapat diberlakukan qiyas. Namun demikian, teori inidapat perkembangan selanjutnya mendapat respon pro (mayoritas)maupun kontra (minoritas) dari murid maupun pengikutnya.

Keempat, salah seorang tokoh yang pro dan diakui sebagaipengikut asy-Syafi’i adalah al-Ghazali, yang dipandang berjasa da-

Page 120: Fleksibilitas Hukum Islam

114 | Fleksibilitas Hukum Islam

lam melestarikan pemikiran asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i dan al-Ghazalimempunyai hubungan pemikiran secara tidak langsung yakni sebagaipengikut pada tingkatan kesembilan (al-Ghazali) dan orang yang dii-kuti (asy-Syafi’i), namun demikian ia tetap dianggap sebagai pengikutsetiap ditambah dengan pertimbangan lain. Pertama, ia hanya bergu-ru kepada satu orang yaitu Imam Haramain, pengikut setia asy-Syafi’i.Kedua, dasar pijakan pemikiran al-Ghazali khususnya dalam perso-alan qiyas lebih didominasi oleh pemikiran asy-Syafi’i. Ketiga, adanyahubungan historis-efistimologis ang hampir sama bahkan mirip.

Kelima, qiyas menurut al-Ghazali adalah menghubungkan kasusasal kepada kasus baru karena adanya kesamaan makna dari segi ‘ain,sedangkan bila kesamaan makna tersebut dari segi jenis maka berlaku-lah prinsip maslahat. Keenam, al-Ghazali sebagai pengikut asy-Syafi’iberupaya semaksimal mungkin memperjelas, mempertegas sekaligusmengembangkan pemikiran qiyas asy-Syafi’i sehingga menjadi teoriyang lebih mapan agar lebih muda dipahami. Dengan menangkapmakna yang dimaksud asy-Syafi’i yaitu ‘illat, ‘illat inilah titik awal seka-ligus obyek pengembangan qiyas al-Ghazali, dengan mengemukakanpengertian, klasifikasi, persayaratan teknis operasional yang harusdipenuhi dan bagaimana proses pelacakannya secara detail dan sis-timatis.

Ketujuh, ‘illat bagi al-Ghazali adalah tempat bergantungnya hu-kum (manat al-hukm), di mana pensyariatan hukum bergantung padaadanya ‘illat. selanjutnya aplikasi ‘ilat harus sesuai dengan apa yangterdapat pada kasus asal. Kedelapan, al-Ghazali memberikan alter-natif lain bila tidak adanya kesesuaian antara ‘illat yang terdapat padakasus asal dengan kasus baru maka boleh maslahat dapat dijadikanpertimbangan hukum dalam melacak ‘illat.

Kesembilan, qiyas merupakan upaya alternatif yang mempunyaiotoritas tinggi dalam menetapkan hukum yang tidak dijelaskan mela-lui nash maupun ijma’. Kesepuluh, mengenai otoritas dan cakupanqiyas agaknya antara asy-Syafi’i dengan al-Ghazal terdapat kesamaanpemikiran, dimana keduanya mengganggap qiyas dapat berlaku da-lam segala lapangan hukum sebagaimana yang ditolak oleh kalanganHanafi.

Kesebelas, hasil hukum melalui upaya qiyas mempunyai kekua-

Page 121: Fleksibilitas Hukum Islam

Penutup | 115

tan legalitas untuk diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam seh-ingga ia merupakan hujjah al-syar’iyyah. Ke-12, munculnya teori qiyasasy-Syafi’i menimbulkan implikasi terhadap diakuinya teori maslahatsebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.Melalui pertimbangan maslahat inilah segala bentuk kasus hukum danserumit apapun dapat diselesaikan dan diputuskan secara bijaksana.

Ke-13, asy-Syafi’i dan al-Ghazali pada dasarnya mengakui ke-beradaan maslahat al-mursalah sebagai salah satu upaya menemukanhukum, namun mereka tetap memberikan batasan yang tidak bolehdilanggar. Asy-Syafi’i mengakui maslahat yang diakui oleh Syari’meskipun tidak secara langsung, sedangkan al-Ghazali menerimamaslahat bila memenuhi persyaratan yaitu: bersifat kulli, dharuri danqath’iy.

Pembicaraan tentang qiyas, sebagaimana dalam buku ini, sampaisekarang masih cukup representatif untuk dikaji, khususnya bagi ka-langan fuqaha maupun akademisi, yang berkompeten untuk member-ikan kejelasan hukum yang sedang dihadapi umat Islam. Oleh karenaitu, perlu kiranya diadakan kajian ulang pemikiran tokoh-tokoh klasikkhususnya mengenai qiyas. Hal ini mengingat qiyas merupakan salahsatu upaya mempermudah fuqaha untuk melacak hukum-hukum padsuatu kasus baru yang belum dijelaskan oleh nash maupun dalil hu-kum lainnya secara eksplisit melalui analogi (distorsi) terhadap kasushukum yang ada dengan kasus hukum yang baru muncul.

Dengan demikian, eksistensi qiyas tetap akan diperlukan sampaikapanpun karena upaya ini dianggap tidak terlalu menyimpang darigaris-garis hukum yang ditetapkan oleh Syari’, sehingga dirasa perluuntuk menganalisis konsep-konsep qiyas yang ada sebelumnya (dike-mukakan asy-Syafi’i) dengan konsep qiyas yang muncul kemudian(dikemukakan al-Ghazali) secara sistimatis dan komprehensif.

Page 122: Fleksibilitas Hukum Islam

Daftar Pustaka

Abd Rozak, Abu Bakr, Annufahat al-Ghazaliyah, (Kairo: Dar al-Qaumiyahli al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1949)

Abu Bakar, Ahmad ibn Husain ibn Ali Baihaqiy, Ahkam al-Qur’an. (Bei-rut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1975)

Abu Zaid, Faraouk, al-Syari’ah al0Islamiyyah Baina al-Muhafizin wa al-Muj-tahidin, (ttp: Dar al-Ma’mun li al-Thaba’ah, tt)

Abu zaid, Nasr Hamid, Imam asy-Syafi’i :Bain al-Qadasah wa al-Basyariyahwa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, alih abhasa Khoiron Nahdi-yyin, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1997)

Abu Zahrah, Muhammad asy-Syafi’i, Hayatuhu wa ‘Ashuruh ‘Arah’uh waFiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1948)

Abu Zahrah, Muhammad asy-Syafi’i, Ushul al-Fiqh, (Kairo : Dar al-Fikral-Arabi, 1958)

Abu Zahrah, Muhammad asy-Syafi’i, Muhadharat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth)

Abu Zahrah, Muhammad asy-Syafi’i, Tarikh al-Muzahib al-Islamiyyah m(Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, tt)

Page 123: Fleksibilitas Hukum Islam

118 | Fleksibilitas Hukum Islam Daftar Pustaka | 118

Abu Zahrah, Muhammad asy-Syafi’i, Ibn Hazm : Hayatuhu wa ‘Ashruhuwa Ara’ wa Fiqhuhu, (Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi, 1954)

Abu Zahrah, Muhammad asy-Syafi’i, Malik : Hayatuhu wa ‘Ashruhuwa’Arauhu wa Fiqhuhu, (Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi, 1925)

Abdullah, Sulaiman, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam,(Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996)

Abd Wahab Khallafa, Mashadir at-Tasyri’ fi Mala Nassa Fih, (Mesir: Daral-Fikr, tt.)

Al-Amidi, Ali ibn Abi Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,(Mesir: Dar al-Fikr, 1928)

Al-Bisri, Abu Hasan Muhammad, al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, (Beirut :Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983)

Al-Birri, Zakaria, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyyah, (Kairo : Dar al-Ittihadal-Arabic, 1975)

Al-Dasuqi, Sayid ‘Id, Istiqlal al-Fiqh al-Islami ‘an al-Qanun al-Rumani, (Kai-ro: Maktabah al-Tijariyah al-Islamiyyah, 1989).

Al-Faruqi, Ismail dan Lois Lamnya, The Cultural Atlas of Islam, (Londong: MC Millan, 1986)

Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mankhul min Ta’liqaq al-Ushul, ditahqiq olehMuhammad Hasan Haitu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980).

Al-Ghazali, Abu Hamid, Syifa’ al-Ghalol fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil waMasalik al-Ta’lil, ditahqiq oleh Hamad ‘Ubaid al-Kabisi, (Baghdad:Matba’ah al-Irsyad, 1390 H.)

Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Musytasyfa fi ‘ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Ku-tub al-‘Ilmiyyah, 1983).

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ al-Ulum al-Din, (Mesir : Dar al-Fikr, tth.)

Al-Ghazali, Abu Hamid, Fadha’ih al-Bathiniyyat, edisi Abd RahmanBadawi, (Kairo: Qauniyyah, 1964) Al-Hamawiy, Yaqut, Mu’jam al-Udaba’, (Kairo: Jumhariyyah Mishr al-Arabiyyah, tth)

Al-Hamawiy, Yaqut, Mu’jam al-Udaba’, (Kairo : Jumhuriyyah Mishr al-Arabiyyah, tth.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Bei-

Page 124: Fleksibilitas Hukum Islam

119 | Fleksibilitas Hukum Islam Daftar Pustaka | 119

rut: Dar al-Jail, 1973)

Al-Jundi, Abu Hatim al-Razi, al-Imam asy-Syafi’i Nashir Sunnah wa Wadhi’al-Ushul, (Mesir : Dar al-Ma’arif, tth.)

Al-Makki, Abu Thalib, Manaqib Abi Hanifah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Ar-abi, 1948)

Al-Mu’tazili, Abu Husain al-Basri, al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, (Beirut,Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyahm 1983)

Al-Qattan, Manna, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1992)

Al-Razi, Fahkr al-Din, al-Mahsul fi ‘ilm al-Ushul al-Fiqh, (Mekkah : Jami’al-Imam Muhammad ibn Sa’ud, 1980).

Al-Syakur, Syekh Abdullah ibn Abd, Muslam al-Subut, (tt.p: Dar al-Fikr,tt.)

Al-Sa’adi, Abd Hakim Abd Rahman As’ad, Mubahis ‘Illah ‘Ind al-Ushuliyyin,(Beirut : Dar al-Basy;ir al-Islamiyyah, 1986)

Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernintas: Studi Atas PemikiranHukum Fazlu Rahman, (Bandung : Mizan, 1989)

Amin, Ahman, Dhuha al-Salam (Bandung: Maktabah al-Nahdhah al-Mis-riyyah, 1974)

As-Syan’ani, Subul al-Salam (Bandung; Maktabah Dahlan Multazam al-Tab’i wa al-Nasyr, tt.)

Ash-Shiddieqy, Hasby, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta:Bulan Bintang, 1966)

Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung : Mizan,1994)

Asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haq Min ‘Ilm al-Ushul, (Sura-baya: Syirkah Maktabah Ahmad ibn Nahbhan, tt.)

Asy-Syafi’i, Muhammad Idris, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.)

Asy-Syafi’i, Muhammad Idris, al-Umm, (Mesir: al-Babi al-Halaqi, tth.)

Az-Zuhaily, Wahbab Mustafa, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,1986)

Page 125: Fleksibilitas Hukum Islam

120 | Fleksibilitas Hukum Islam Daftar Pustaka | 120

Az-Zuhaily, Muhammad, Marja’ al-Ulum al-Islamiyyah, (Damsyq: Dar al-M’arifah, tth.)

Cowie, A.S. Hornby, (ed), Oxford Advanceed Learner’s Dictionary of CurrentsEnglish, (Londng: Oxford University Press, 1974)

Coulson, Noel, J., Hukum Islam Dalam Perspekti Sejarah, alih bahasa HamidAhmad, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1987)

Dunya, Sulaiman, Haqiqat foi Nadhar al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Ma’arif,1971)

Elwa, Muhammad S., On The Political System of Islam, (London; Edinburg,1983)

Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh ad-Daulah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhahal-Misriyyah, 1978)

Haitu, Muhammad Haasan, al-Tamhid fi Takhrif al-Furu’ ‘ala al-Ushul liImam al-Asnawi, (Damsyq: Mu’assasah al-Risalah, 1981)

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah Garnadi(Bandung; Pustaka, 1984)

Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Mesir:al-Sa’adah, 1928)

Ibnu Subki, Taj al-Din Abd Wahab, Jam’u al-Jawawi, (Mesir; Dar al-Ihya’al-Kutub al-Arabbiyah, tt)

Khallaf, Abd Wahab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami, (Kuwait; Dar al-Qalam,1972)

Mahmassani, Sobhi, Falsafat at-Tasyri’ al-Islami, alih bahasa Ahmad Sud-joono (Bandung; al-Ma’arif, 1981)

Majid, Nurcholis, Tradisi sejadah dan Hasyiyyah dalam Fiqh dan MasalahStagnasi Pemikiran Hukum Islam; dalam Kontekstualisasi Doktrin Is-lam Dalam Sejarah, diedit oleh Budhy Munawar Rachman, (Jakarta;Paramadina, 1994)

Musa, Muhammad Yusuf, al-Risalat li al-Imam asy-Syafi’i, dalam al-Turasal-Islamiyyah, (Mesir: al-Mu’assasah al-Risalah al-Misriyyah, tth.)

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UIPress, 1986)

Page 126: Fleksibilitas Hukum Islam

121 | Fleksibilitas Hukum Islam Daftar Pustaka | 121

Qadri, Anwar A, Islamic Yurisprudence in The Modern Worldi, (Lahore: Uni-versity Press, 1973)

Qasim, Yusuf, Ushul al-Ahkam al-Syari;ah, (Kairo: Dar al-Banhadat al-Arabiyyah, 1994)

Runes, D.D (ed), Dictionary of Current Philosophy, (Londong; New Jersey,1977)

Syamsuddin, Ahmad, al-Ghazali: Hayatuhu, Atsaruhu wa Falsafatu, (Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990)

Syalabi, Ahmad, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Nahdhahal-Misriyyah, tt.)

Syalabi, Ahmad, Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah,(Mesir: Dar al-Kutub, 1958)

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam, (Padang; Pang-kasa Raya, 1993)

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indo-nesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)

Tim Penyusun IAIN Imam Bonjol Padang, Pedoman Penulisan Skripsi,(Padang: IAIN Imam Bonjol, 1992)

Tiwana, Sayid Muhammad Musa, al-Ijtihad : wa Mada Hajatina Ilaihi fiHadza al-Ashar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, tt.)

Willis, John Ralph, Spanish Islam: A History of The Muslim in Spain,(London; Company Limited, 1972)

Zaidan, Abd Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: Dar al-Tauzi waal-Nasyr al-Islamiyyah, 1993)

Zaidan, Jurji, History of Islamic Civilization, (Delhi : Khitab Bavan, 1978).

Page 127: Fleksibilitas Hukum Islam

Indeks | 123

Indeks

‘Abd Manaf 11‘Ali ibn ‘Abi Thalib 19‘illat 10, 28-39, 41, 43-5, 57, 59-67,

69-80, 83-4, 90, 93, 95, 97-9,101-2, 105, 110-1, 114

‘Izz al-Din Abd Salam 24‘uruf 22, 107Abbas, Bani 52-3Abbasiah, Daulah/Bani 17, 52-3,

86Abd Rahman ad-Dakhil 52Abdullah ibn Saba’ 17Abu Bakar 2Abu Bakar al-Qurffal al Mawarzi 7Abu Bakar ash-Shiddieqy 19Abu Daud 81Abu Huzail 13, 15, 18Abu Zahrah 5, 11-3, 16, 18-9, 23,

40, 42, 90-1, 93, 117-8

Ahlu al-Bait 2ahlu al-hadis 4-5, 14, 18-20ahlu al-ra’y 4-5, 14, 18-20, 53, 92Ahmad Hasan 83, 93Ahmad ibn Hanbal 19, 23Ahmad Syahabi 2al-Buwaiti 21al-Ghazali 6-10, 22, 24-5, 37, 43,

47-51, 54-71, 73-5, 77, 79-81,83-4, 86-7, 89, 93-8, 100-5, 109-11, 113-5, 120-1, 123

al-Istihsan 22al-Juwaini 7, 24, 49, 55, 85-6, 106al-khulafa’ al-rasyidin 19al-munasabah 77al-Muzani 7, 21, 87al-Qur'an 1-3, 5, 12-5, 21, 27, 29-

30, 36, 40-1, 43, 56-7, 64-5, 75,82-3, 90, 92-3, 95-8, 100, 105-6,

Page 128: Fleksibilitas Hukum Islam

124 | Fleksibilitas Hukum Islam

117al-Razi 15, 24, 85, 119Amir Syarifuddin 3Ansar, kaum/golongan 2Arab 12-3, 15, 47, 58, 68, 80ashl 28-30, 63-5, 67, 69, 84, 102-3asy-Syafi’i 3, 5-6, 11, 13-4, 18, 26-7,

29, 36-7, 39-41, 45, 87, 98, 100,106-7, 109, 114-5, 119; —yyah22, 98, 107

asy-Syatibi 107Baghdad 4, 15, 17, 23, 51-6, 118,

121bid’ah 11, 111Buwaih, Bani 52-3Daud ibn ‘Aliy az-Zahiri 24far’u 26, 28-9, 31, 63-6, 73Fatimiyah, Bani 52fikih 3-10, 13-5, 18, 20-4, 26, 48-50,

54, 56-8, 60, 81, 84-7, 89, 107,113

filsafat 16, 49-50, 56-8, 86Hanafi 3, 54, 60, 84, 114; —yah 11Hanbali 3, 54Harun Nasution 47Hasbi ash-Shiddieqi 22, 103Hijaz 5, 12 hudud42-4, 94 hujjah al-Islam 6, 55hujjah al-syari’iyyah 91Hulagu Khan 54Ibnu Hazm 91, 97, 120Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 3ideologi 7ijma’ 2, 4, 22, 29, 33-4, 41, 57, 59,

63-4, 66-7, 70, 76-9, 82-3, 92-4,

97-100, 105, 113-4ijtihad 2-4, 6, 14, 19-20, 25, 27, 29,

33-5, 40-1, 54, 59, 64, 67, 71, 73,79-80, 82, 91, 99, 101-2, 106-7,113

Imam Haramain 7, 24, 49, 86, 114Iran 47Iraq 4-5, 14-5, 19, 20, 23, 53, 107Islam 1-6, 11, 13, 15, 17-8, 22-3,

25, 30, 42, 47, 50-6, 58, 81-3, 87,90-3, 95-6, 103, 105, 113, 115,118-21, 123; hukum— 3-5, 54,81, 83, 87, 93, 95-6, 105, 113

istidlal 77, 106, 110istinbath 14, 57, 73, 77, 103, 107istislah 59, 78, 93, 107jinayah 42kaffarah 42Khawarij 18Madinah 5, 13-5, 22, 53Madrasah Nizamiyyah 49Malik ibn Anas 4-5, 13, 15, 17, 82-3Maliki 3, 23, 54, 84; —yah 11, 22,

44, 99, 111maqasid al-syari’ah 99, 107masaqqah 32, 36, 74Masjidil Haram 12-3maslahat 35, 74, 77-8, 101-4, 106-

11, 114-5maslahat al-mursalah 78, 104, 107,

109-11, 115mazhab 15-7, 22-5, 40, 49-51, 53-5,

59, 85, 96Mekkah 6, 12-5, 19-20, 23, 49, 51,

57, 119Mesir 7-8, 12, 15, 20-1, 23, 35-6,

Page 129: Fleksibilitas Hukum Islam

Indeks | 12544-5, 49, 52, 62, 90, 92, 107,117-21

Mu’tazilah 17Muaz ibn Jabal 81Muhajirin, kaum 2Muhammad ibn al-Hasan al-Syai-

bani 5Muhammad Khudori Bek 17, 62,

86Muhammad, Nabi/Rasul/Rasu-

lullah 1-2, 4, 28, 30-1, 40, 43-4,65, 82, 90-2, 95, 100

munasib al-gharib 77, 111munasib al-muatstsir 77-9munasib al-mula’im 77-9, 110munasib al-mulgah 79mundabit 32-3, 36-7, 70muqaddarah 42naskh 26Nizam al-Mulk 50-1, 55Nurcholish Madjid 23Palestina 12Persia 47, 49-50qiyas 4, 6-10, 25-33, 36, 38-45,

57-70, 73, 76, 81-4, 87, 89-102,104-10, 113-5

Quraisy, suku 11, 19, 21Rabi’ah ibn Farrukh 5rukhsah 31, 36, 42, 74, 79Sadr al-Syari’ah ibn Mas’ud 60

Saifuddin al-Amidi 60, 71Saljuk, Bani 50, 53Saudi Arabia 5Spanyol 52Sunnah 1-2, 5, 14-5, 18, 24-5, 27,

29-30, 36, 40-1, 43, 48, 57, 59,64-5, 82-3, 90, 92-3, 97-8, 100,105-6, 119

syari’at 3, 64, 79, 92, 100-4, 106-10Syi’ah 6, 17-8, 91, 97ta’arudh 25-6ta’assub 54Taj al-Din Abdul Wahhab al-Subki

60taqlid 54-5, 59tarjih 25-6, 55tasawuf 48, 50-1, 57, 86teologi 15, 18, 20, 49-50, 56, 86Tunisia 52Umar ibn Khattab 2-3ushul fikih 5-10, 21-2, 24, 26, 49,

56-8, 60, 81, 84, 86-7, 89, 107,113

Usman ibn’ Affan 19Yahudi 17, 95Yahya ibn Hisyam 14Yaman 12, 14-5, 17, 81, 91Yusuf al-Nassaj 49Zahiri 24, 91, 97zakat 2

Page 130: Fleksibilitas Hukum Islam

Tentang Penulis

Fuad Rahman lahir di Kampung Manggis pada 30 Januari 1973 seba-gai putra dari Thohri Yasin dan Asia Jobab. Latar belakang pendidi-kan berawal dari Sekolah Dasar Negeri 73/ IV Kelurahan CempakaPutih yang diselesaikannya pada 1985. Selanjutnya melanjutkan studike Madrasah Tsanawiyah Negeri Jelutung, tamat pada 1988, dan keMadrasah Aliyah Swasta As’ad Olak Kemang yang diselesaikan pada1991. Pendidikan jenjang tinggi didapat dari Fakultas Syari’ah Insti-tut Agama Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi dan tamatpada 1995 dengan mempertahankan skripsi berjudul “Peranan Kon-disi Sosio-Kultural Dalam Pembentukan Hukum Islam”. Pada 1996mendapat kesempatan melanjutkan studi ke Program PascasarjanaInstitut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang dan untuk me-nyelesaikan tesis dengan judul “Pengembangan Konsep Qiyas Imamasy-Syafi’i: Studi Atas Pemikiran al-Ghazali”.