12
Artropati pada Sindrom Down : Suatu keadaan yang kurang dikenali dan kurang terdiagnosis HARBIR JUJ, MD, MPH, DAN HELEN EMERY, MBSS Tujuan : Untuk mendefinisikan manifestasi-manifestasi klinis, menentukan prevalensi, dan meningkatkan kesadaran tentang kondisi artropati pada sindrom down. Desain studi : menggunakan kode diagnostik untuk Sindrom Down dan artritis idiopatik juvenil. Kami telah mengidentifikasikan 9 kasus di sistem rumah sakit kami. Masing-masing kasus telah bertemu dengan kriteria diagnosis untuk artritis idiopatik juvenil. Kasus-kasus yang telah ada dibandingkan dengan 21 kasus-kasus tambahan literatur. Prevalensi ditentukan berdasarkan kode diagnostik. Hasil : Rata-rata keterlambatan dari onset gejala terhadap diagnosis adalah 2 tahun. Usia saat onset terjadi bervariasi dari 20 bulan hingga 12 tahun. Distribusi jenis kelamin adalah sama. Saat onset terjadi, 57% memiliki penyakit poliartikular dan 43% memiliki penyakit oligoartikular. Tetapi, 54% dengan penyakit oligoartikular berprogesi menjadi penyakit poliartikular. 72% pasien mengalami peningkatan Laju Endap darah. Sebagian besar pasien membutuhkan terapi lini kedua dan hampir separuhnya berkembang menjadi subluksasi sendi. Prevalensi artropati pada Sindrom Down adalah 8,7/1000, 6 kali lebih tinggi daripada artritis idiopatik juvenil pada populasi umum. Kesimpulan : Artropati pada Sindrom Down adalah suatu keadaan yang kurang dikenali yang dapat mengakibatkan disabilitas kronik dan gangguan fungsi dalam suatu populasi The Arthropathy of Down Syndrom: An Underdiagnosed and Under-recognized Condition The Journal of Pediatric . February 2009

Fix Artropati Pada Sindrom Down

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SINDROM DOWN

Citation preview

Artropati pada Sindrom Down : Suatu keadaan yang kurang dikenali dan kurang terdiagnosisHARBIR JUJ, MD, MPH, DAN HELEN EMERY, MBSSTujuan : Untuk mendefinisikan manifestasi-manifestasi klinis, menentukan prevalensi, dan meningkatkan kesadaran tentang kondisi artropati pada sindrom down.

Desain studi : menggunakan kode diagnostik untuk Sindrom Down dan artritis idiopatik juvenil. Kami telah mengidentifikasikan 9 kasus di sistem rumah sakit kami. Masing-masing kasus telah bertemu dengan kriteria diagnosis untuk artritis idiopatik juvenil. Kasus-kasus yang telah ada dibandingkan dengan 21 kasus-kasus tambahan literatur. Prevalensi ditentukan berdasarkan kode diagnostik.

Hasil

: Rata-rata keterlambatan dari onset gejala terhadap diagnosis adalah 2 tahun. Usia saat onset terjadi bervariasi dari 20 bulan hingga 12 tahun. Distribusi jenis kelamin adalah sama. Saat onset terjadi, 57% memiliki penyakit poliartikular dan 43% memiliki penyakit oligoartikular. Tetapi, 54% dengan penyakit oligoartikular berprogesi menjadi penyakit poliartikular. 72% pasien mengalami peningkatan Laju Endap darah. Sebagian besar pasien membutuhkan terapi lini kedua dan hampir separuhnya berkembang menjadi subluksasi sendi. Prevalensi artropati pada Sindrom Down adalah 8,7/1000, 6 kali lebih tinggi daripada artritis idiopatik juvenil pada populasi umum.Kesimpulan: Artropati pada Sindrom Down adalah suatu keadaan yang kurang dikenali yang dapat mengakibatkan disabilitas kronik dan gangguan fungsi dalam suatu populasi dengan resiko tinggi. Anak dengan Sindrom down cenderung memiliki kelainan autoimun, tetapi kondisi artritis sering terlewatkan dalam surveilans. Untuk memaksimalkan fungsi sendi dan kualitas hidup. Penyedia layanan kesehatan untuk anak dengan Sindrom down membutuhkan kecurigaan yang tinggi terhadap kondisi yang berhubungan dengan artropati tersebut (J.Pediatr.2009:154:234-8)Enam anak dengan Sindrom Down dan Artritis Idiopatik juvenil pertama kali dideskripsikan pada tahun 1984. Karena diagnosis dari Artritis idiopatik juvenil adalah suatu pengecualian, dan anak-anak dengan Sindrom down menunjukkan ciri muskuloskeletal dan imunologi yang unik, istilah Artropati pada Sindrom Down digunakan untuk menggambarkan kondisi mereka. 15 anak dengan artropati pada Sindrom Down telah dideskripsikan. Sindrom Down juga diketahui berhubungan dengan berbagai macam penyakit autoimun lain. Banyak center secara rutin men-screening populasi ini untuk penyakit diabetes, penyakit tiroid, dan penyakit celiac. Tetapi beberapa guideline juga memasukkan screening artritis. Kurangnya kesadaran para profesional dari kondisi ini dan ketidak konsistenan surveilan untuk artritis sendiri, semakin memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk mendiagnosis penyakit ini. Keterlambatan penanganan dapat memicu munculnya kerusakan sendi permanen, yang mana bisa dihindari dengan pemberian seawal mungkin dari obat-obat yang baru. Serangkain kasus-kasus kami, mendeskripsikan 9 kasus tambahan pada anak dengan artropati pada sindrom down dan membandingkan kasus-kasus ini dengan kasus pada literatur. Artikel ini menawarkan review terbaru dari ciri klinis artropati pada sindrom down dan akan memampukan dokter merawat anak-anak sindrom down dan supaya memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi ini, membuat diagnosis lebih tepat dan pelayanan yang lebih baik terhadap orang tua mereka. METODESetelah mendapatkan persetujuan dari Institutional Review Board (institusi peninjauan) untuk studi ini, grafik-grafik data dari klinik reumatologi di Childrens Hospital & Regional Medical center (CHRMC) di Seattle, Washington, dipilih untuk review dengan menggunakan sistem informasi klinik rumah sakit. Kode-kode diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi, baik anak dengan Sindrom Down (758.0) dan Arthritis Idiopatik juvenil (714.3, 714.31, 714.32, dan 714.33). Kasus-kasus ini ditinjau ulang kembali untuk memverifikasi bahwa anak tersebut cocok dengan kriteria diagnosis untuk Artritis idiopatik Juvenil sebelum diinklusikan dalam studi ini. 9 kasus artropati pada Sindrom Down teridentifikasi. Jumlah total anak dengan sindrom down dalam populasi di CHRMC ditentukan melalui kode-kode diagnostik dan prevalensi artropati pada anak dengan sindrom down dihitung. Kasus-kasus di literatur diidentifikasi dan kami mengonfirmasikan bahwa kasus tersebut juga bertemu dengan kriteria diagnostik untuk Artritis Idiopatik Juvenil sebelum diinklusikan dalam analisis komparatif.

HASIL

Pasien 1

Seorang anak wanita berusia 6 tahun dengan Sindrom Down dan Endocardial Cushion defect (ECD) datang ke klinik reumatologi anak untuk evaluasi ketidakmampuan berjalan. Pasien pertama kali berjalan pada usia 2 tahun, tapi kemudian secara progresif kehilangan kemampuan motoriknya. Pasien telah beberapa kali mendapat visit spesialis rehabilitasi, ortopedi, dan klinik arthrogryposis sebelum didiagnosa dengan artritisnya.

Di klinik reumatologi, pasien menyatakan memiliki riwayat selama 2 tahun mengalami morning stiffness (kaku-kaku persendian pada pagi hari) dan pembengkakan pada pergelangan tangan, lutut, dan pergelangan kaki. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keterbatasan gerak pada C-Spine (Servikal Spine) dan pembengkakan dan kehilangan range gerak di bahu, siku, pergelangan tangan, dan metacarpophalangeal bilateral, interphalang proximal, dan sendi interphalang distal.

Pasien juga menderita kontraktur fleksi berat pada lutut dan kedua sendi panggul. Studi laboraturium menunjukkan titer ANA (antibodi anti-nuklear) immunofluorescent positif 1:640, Laju Endap darah normal, dan C-Reaktif Protein (CRP) normal. Anak tersebut diobati dengan naproxen, methotrexate, etanercept, prednison, dan rehabilitasi intensif pasien. Tiga tahun kemudian pasien di ambulasi secara mandiri dengan cara berjalan, broad-based gait tetapi terus berlanjut menunjukkan keterbatasan range gerak pada berbagai sendi dan juga memiliki subluksasi pergelangan tangan bilateral. Radiografi tangan yang diperoleh 4 tahun setelah diagnosis ditunjukkan pada gambar. Pasien melanjutkan pengobatan dengan naproxen, methotrexate, dan prednison dosis rendah.

Pasien 2

Anak laki-laki usia 5 tahun dengan Sindrom Down datang ke klinik ortopedi untuk evaluasi pembengkakan pada pergelangan tangan kanannya setelah terjatuh. Pada hasil pemeriksaan pasien didapatkan penonjolan jaringan lunak pada aspek radial dari pergelangan tangan dan terdapat sedikit deviasi ulna. Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium menunjukkan peningkatan intensitas sinyal di sekeliling tulang carpal. Hasil laboraturium menunjukkan laju endap darah yang normal dan CRP yang normal. Pasien menjalani sinovektomi pergelangan tangan kanan dan ahli patologi konsisten dengan sinovitis.

Anak tersebut memulai terapi naproxen dan dirujuk ke klinik reumatologi setelah 7 bulan dari onset gejala. Hasil lab menunjukkan titer ANA (-) dan antigen HLA B27 yang positif. Tidak diketahui apakah ada riwayat artritis pada keluarga. Walaupun ditatalaksana dengan naproxen, hasil pemeriksaan reumatologi awal dapat diketahui bahwa terdapat pembengkakan pergelangan tangan kanan yang terus berlanjut dan deviasi ulna. Lebih dari 4 tahun kemudian, pasien mengalami penambahan jumlah sendi yang terlibat yakni lutut kiri, pergelangan kaki kiri, metacarpophalangeal kiri dan interphalang proximal kiri. Pasien pada akhirnya mendapat injeksi sendi dan di maintenace dengan meloxicam dan methotrexate.

Pasien 3

Pasien wanita berusia 8,5 tahun dengan Sindrom down datang ke klinik neurologi dengan riwayat menderita poliartikular artritis. Pertama kali pasien merasakan lutut kiri yang terus membengkak, tetapi setelah beberapa tahun terdapat progressi terhadap sendi-sendi yang lain. Pasien juga mengalami morning stiffness selama 3 jam. Evaluasi awal pada klinik reumatologi menunjukkan bahwa terdapat artritis yang aktif pada kedua lutut, siku, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Hasil laboraturium menunjukkan ANA (-) , LED 38 mg/dl, dan CRP 5,8 mg/dl. Pasien memulai dengan terapi prednison, metotrexat dan didapatkan perbaikan klinis dan stabil untuk beberapa tahun. Empat tahun setelah onset awal, pasien mengalami peningkatan gejala poliartikular. Pasien membutuhkan beberapa perubahan medikasi karena efek samping. Pada akhirnya, pasien berespon terhadap infliximab.

Pasien 4

Seorang anak laki-laki berumur 4 tahun dengan Sindrom Down, hipotiroid, dan penyakit celiac datang ke klinik reumatologi dengan tujuan evaluasi dari artritis dan tidak dapat berjalan. Pasien tidak dapat berjalan hingga usia 3 tahun. 6 bulan kemudian, pembengkakan sendi multipel dan rasa nyeri berkembang. Pemeriksaan pasien menunjukkan artritis pada siku kanan, lutut kanan, pergelangan tangan kiri, dan juga pergelangan kaki kiri. Hasil pemeriksaan ANA (-) dan Laju Endap Darah normal. Pasien tidak responsif terhadap pemberian naproxen tetapi terjadi perubahan setelah injeksi sendi dan pemberian metotrexat. Beberapa tahun kemudian, artritis pasien kambuh kembali di tangannya. Pasien tidak responsif terhadap kombinasi pemberian methotrexate, naproxen, dan prednison sehingga etanercept ditambahkan. Sekarang ini, pasien tidak mengalami artritis yang aktif dan di maintenance dengan pemberian methotrexate.

Pasien 5

Seorang anak laki-laki usia 8 tahun dengan Sindrom Down dan awalnya memiliki riwayat akut Limfoblastik leukimia mengalami pembengkakan lutut kiri intermittent yang berkembang pada usia 5 tahun yang responsif terhadap ibuprofen. Aspirasi sendi menunjukkan hasil negatif terhadap sel malignansi. Tujuh bulan setelah kemoterapi dinyatakan lengkap, pada usia 8 tahun, pasien memiliki riwayat 3 hari lutut membengkak. Dibandingkan dengan episode sebelumnya. Pembengkakan lutut tampak lebih berat, lebih lama, dan gagal berespon terhadap ibuprofen. Pada pemeriksaan, pasien tampak tertatih-tatih dan mengalami penurunan kemampuan ekstensi kaki. Aspirasi sendi negatif terhadap keberadaan sel malignansi. CBC, ANA, LED, dan scan tulang menunjukkann hasil normal. Lutut pasien diinjeksi dengan steroid dan pasien mulai menerima naproxen. Lutut kiri pasien yang mengalami pembengkakan secara bertahap berkurang dan gejala sisa dari pemeriksaan fisik adalah ditemukan sedikit keterbatasan pada ekstensi lutut. Sekarang, pasien berhenti dari semua medikasi.Pasien 6

Pasien usia 3 tahun dengan Sindrom Down dan hipotiroid mengalami 3 episode pembengkakan lutut bilateral dalam 4 bulan. Episode-episode ini berhubungan dengan morning stiffnes dan sembuh kembali dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan lutut kanan yang teraba hangat dan bengkak dengan range gerak yang penuh. Hasil laboraturium menunjukkan ANA ELISA 634, Laju Endap Darah normal dan CRP normal. Episode ini terlalu singkat untuk membuat diagnosis definitif dari Artritis Idiopatik juvenil, tetapi pasien mulai menerima naproxen. Lima bulan kemudian, hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan sinovitis persisten pada lutut kanan, metacarpophalangeal kanan, interphalangeal proximal kanan, interphalangeal distal kanan, metacarpophalangeal kiri, dan interphalang proximal kiri. Pasien menerima injeksi sendi dan mulai menerima methotrexate.Pasien 7

Pasien usia 4 tahun dengan sindrom down dan riwayat operasi penggantian katup mitral (mitral valve replacement) mengeluh nyeri tungkai kiri yang intermiten selama 1 tahun dan 2 bulan sebelum dievaluasi. Pasien mulai berjalan tertatih-tatih pada pagi hari. Sebulan sebelum kunjungannya, kedua ibu jarinya membengkak. Hasil ANA. LED, RF (rheumatoid factor), dan scan tulang menunjukkan hasil normal. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan sinovitis pada lutut kiri, kedua pergelangan kaki, dan ketiga ibu jarinya. Pemberian NSAID dihindari karena sedang menggunakan warfarin (coumadin). Pasien memulai pengobatan dengan sulfasalazine. Pasien tidak berespon terhadap sulfasalazine, tetapi berespon terhadap prednison. Dalam usaha untuk berhenti dengan pemakaian prednison, pasien diobati dengan hidrochloroquin, rofecoxib, dan celecoxib dengan pengurangan gejala nyeri minimal. Orang tua pasien tidak menginginkan suatu pengobatan trial dengan menggunakan tumor necrosis factor inhibitor dan memilih mengontrol gejala anaknya dengan prednison dosis rendah.

Pasien 8Pasien wanita usia 20 bulan dengan sindrom down dan hipotiroid mengalami demam tinggi sepanjang hari dan ruam yang bermigrasi. Saat masuk RS, LED pasien 75mm/jam, CRP 11,1 mg/dl, hasil ANA negatif (-), RF negatif, aspirasi sumsum tulang negatif, dan hasil CT scan secara signifikan hanya menunjukkan sinusitis maxillaris. Pasien diduga mengalami onset sistemik dari Artritis idiopatik juvenil dan mulai menerima indometasin dan prednison. Meskipun dengan tatalaksana awal ini, morning stifness dan pembengkakan pada lutut, pergelangan kaki, dan siku berkembang 3 bulan kemudian. Methotrexate kemudian ditambahkan. Artritis pasien kembali aktif dan etanercept ditambahkan. Pasien berespon terhadap etanercept. Etanercept digantikan dengan infliximab yang mana berespon baik terhadap pasien. Pasien 9

Pasien wanita usia 13 tahun dengan sindrom down memiliki riwayat pembengkakan selama 8 bulan pada jari-jari dan ibu jari pasien. Pasien juga mengalami fenomena raynaud dan morning stiffness. Pasien menggunakan pengobatan naproxen dengan pengurangan nyeri terbatas. Hasil pemeriksaan pada pasien menunjukkan pembengkakan difus pada jari-jari dan terbatasnya gerak pada metacarpophalangal, interphalang proximal, interphalang distal. Pasien didiagnosis dengan artropati pada sindrom down dengan fenomena Raynaud dan mulai menerima naproxen dosis reguler

DISKUSIBanyak anak-anak dalam rangkaian kasus diatas mengalami keterlambatan diagnosis atau prosedur-prosedur yang tidak diperlukan karena kurangnya kesadaran/pemahaman tentang artritis pada anak-anak dengan sindrom down. Dua anak mengalami regresi atau hambatan mendapat perkembangan skill motorik. Pada kedua contoh tersebut, hal ini diyakini konsisten terhadap hambatan perkembangan motorik pada sindrom down. Yang sama perlu dikhawatirkan adalah anak-anak dengan keadaan penyakit yang signifikan dan beberapa tahun kemudian mengalami kerusakan sendi yang ireversibel dan keterbatasan fungsional karena keterlambatan diagnosis. Hanya dua orang anak dalam rangkaian kasus kami yang yang mengalami peningkatan marker inflamasi. Karena kombinasi dari keterlambatan perkembangan, suatu pemeriksaan fisik yang meragukan, dan kekurangkonsistenan marker laboraturium, penyedia layanan membutuhkan petunjuk yang tinggi dalam mencurigai keadaan awal dari penyakit tersebut agar dapat membuat diagnosis yang akurat.

Dalam usaha mempromosikan diagnosis dini, ciri klinik dari artropati pada sindrom down harus secara lebih baik didefinisikan. Tabel diatas mendeskripsikan ciri dari penyakit ini yang diproses dengan membandingkan 9 kasus kami terhadap literatur.

Umur dari onset bervariasi dari 20 bulan hingga 12 bulan. Kebanyakan kasus dimulai sebelum usia 8 tahun. Anak laki-laki dan anak perempuan sama dipengaruhinya (prevalensi). 72% (18/25) dari yang dilaporkan memiliki riwayat yang jelas tentang morning stiffness.

Pada diagnosis, 57% pasien memiliki penyakit poliartikular dan 43% memiliki penyakit oligoartikular. Satu pasien memiliki onset penyakit sistemik sebelum penyakit sendi ditemukan berkembang. Bagaimanapun juga, baik serangkaian kasus kami dan serangkaian kasus Padmakumar menunjukkan bahwa 54% (7/13) pasien dengan oligoartikular berkembang menjadi penyakit poliartikular. Beberapa terdapat peningkatan titer ANA pada saat diagnosis. Pada kasus kami, hanya 2 yang memiliki hasil positiv pada marker inflamasi, tetapi dari seluuh kasus yang dilaporkan 72% (21/29) terdapat peningkatan Laju Endap darah pada saat diagnosis.

Hanya 32% (8/25) yang responsiv terhadap pengobatan terapi lini pertama sendiri. Hampir setengah dari anak-anak yang menderita berkembang menjadi subluksasi sendi. Bagaimanapun juga tidak ada anak yang berkembang menjadi iritis atau komplikasi okular yang lainnya yang sering berhubungan dengan artritis idiopatik juvenil. Hasil ini menawarkan pemahaman yang baru tentang artropati pada sindrom down.

Secara keseluruhan, prevalensi dari artritis idiopatik juvenil diperkirakan 1,4/1000. Pada review ini, 9 anak didefinisikan dengan sindrom down dan artritis idiopatik juvenil like dissease. Dalam waktu yang sama, 1029 anak di sistem RS kami diidentiikasi dengan sindrom down, membuat estimasi prevalensi artropati pada sindrom down 8,7/1000, 6 kali lebih tinggi dari artritis idiopatik juvenil pada populasi umum.

Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya dari Yancey et al mengenai artritis dan mengenai beberapa macam penyakit autoimun lain (diabetes mellitus, hipotiroid, dan penyakit celiac). Kelainan-kelainan ini lebih umum ditemukan pada sindrom down. Artropati pada Sindrom Down adalah suatu keadaan yang kurang dikenali yang dapat mengakibatkan disabilitas kronik dan gangguan fungsi dalam suatu populasi yang memilliki resiko tinggi. Kebanyakan anak-anak yang terkena, memiliki riwayat morning stiffness yang bisa digunakan oleh penyedia layanan dalam penilaian diagnosis. Kesadaran tentang peningkatan resiko pada anak-anak dengan Sindrom Down adalah penting bagi penyedia pelayanan primer dan perawatan subspesialis untuk anak-anak ini. Anak dengan sindrom down memiliki peningkatan kerentanan terhadap kondisi-kondisi medis sehingga mengamanatkan pemahaman dan pengamatan yang penuh kehati-hatian dari penyedia pelayanan kesehatan. Akhir-akhir ini artritis tidak dimasukkan pada kebanyakan pedoman screening kesehatan. Studi ini dan studi-studi sebelumnya menyarankan bahwa penggabungan screening arthritis pada surveilan rutin kesehatan dapat menguntungkan anak-anak dengan sindrom down.

The Arthropathy of Down Syndrom: An Underdiagnosed and Under-recognized Condition

The Journal of Pediatric . February 2009