Upload
syarif-hidayatulloh
View
165
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumor colli adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di
segitiga anterior atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula
serta dasar tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari
tiroid, 40% benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10 % berasal dari peradangan
atau kelainan kongenital.1
Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase
adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari
dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat.2 Biopsi adalah pengambilan
jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium.3
Diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.4
Pertimbangan anestesi pada pasien yang akan dioperasi dengan status diabetes
mellitus meliputi tahap preoperative, durante operatif, dan post operatif. Pasien diabetes, pada
preoperatif harus selalu dievaluasi secara rutin terhadap kemampuan pergerakan dari sendi
temporomandibular dan tulang leher untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi,
dimana kejadian ini terjadi sekitar 30% pada penderita DM tipe I. Neuropathy Otonomi pada
penderita diabetes dapat membatasi kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi
terhadap perubahan volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan
kardiovaskuler (seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan
dengan kematian jantung yang mendadak.5
1
General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan
depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara
intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya. Trias anestesi meliputi sedasi,
analgesi dan relaksasi.6
Berdasarkan keterangan diatas, maka perlu penelaahan dan penjelasan lebih lanjut
mengenai pasien yang akan dilakukan operasi insisi drainase + biopsi tumor colli dextra pada
pasien diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol dengan menggunakan general anestesi seperti
yang akan dipaparkan pada penyajian kasus ini.
B. Tujuan
Pemaparan kasus ini bertujuan untuk membahas mengenai kasus operasi insisi
drainase + biopsi tumor colli dextra pada pasien diabetes mellitus tipe II tidak terkon-
trol dengan general anestesia.
Tujuan khusus adalah untuk memaparkan mengenai kasus operasi insisi drainase +
biopsy tumor colli dextra pada pasien diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol dengan
general anestesia mulai dari persiapan sebelum pembedahan hingga pembedahan sele-
sai. Hal-hal yang akan dijelaskan terutama mengenai obat-obat yang akan diberikan
pada pasien tersebut sesuai dengan indikasi. Pembahasan dibentuk dalam sebuah anal-
isis sehingga akan lebih memudahkan dalam ilustrasi kasus. Analisis difokuskan ter-
hadap pasien yang diangkat dalam makalah ini.
BAB II
2
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 46 tahun
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 168 cm
Agama : Islam
Alamat : Padamara RT03/RW02, Purbalingga, Jawa Tengah
No. RM : 730912
B. PRIMARY SURVEY
Pemeriksaan
1. Airway
Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu.
2. Breathing
Napas spontan, normochest, tidak tampak ketertinggalan gerak pada dada (gerak
dada simetris), RR 20 x per menit, reguler, tidak terdapat retraksi, trakea terletak di
median, suara nafas vesikuler, tidak terdapat rhonki dan wheezing.
3. Circulation
Kulit hangat, TD 140/90 mmHg, nadi 88 x per menit, reguler, isi dan tegangan
cukup, S1> S2 reguler, gallop (-), murmur (-).
4. Disability
Keadaan umum tampak sakit sedang, gizi cukup, kesadaran compos mentis, pupil
bulat, isokor, 5mm/5mm dan reflek cahaya +/+.
C. SECONDARY SURVEY
3
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Keluar nanah dan darah dari benjolan di leher kanan
sejak 1 minggu yang lalu
b. Keluhan tambahan : Benjolan terasa nyeri
c. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Bedah Onkologi RSMS dengan keluhan keluar
nanah dan darah dari benjolan di leher kanan sejak 1 minggu yang lalu. Benjolan
dirasakan nyeri. Benjolan di leher kanan timbul sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya
benjolan sebesar kelereng, dan semakin lama semakin membesar dengan ukuran
± 5 cm. Demam, pusing, mual maupun muntah disangkal.
d. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat penyakit DM sejak 3 tahun yang lalu, obat yang dikonsumsi
metformin dan glibenklamid namun tidak diminum secara teratur
2) Riwayat penyakit hipertensi pasien tidak mengetahui apakah memiliki
penyakit hipertensi
3) Riwayat asma disangkal
4) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
5) Riwayat penyakit jantung disangkal
6) Riwayat penyakit ginjal disangkal
7) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal
e. Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM, hipertensi, dan
riwayat penyakit yang sama dengan pasien dalam keluarga keluarga disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
4
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36,5C
Pernapasan : 20 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, rambut hitam,
distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
c. Muka : Simetris tidak terdapat jejas.
d. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik, pupil
bulat isokor Φ 5mm/5mm, reflek cahaya +/+
e. Hidung : Tidak didapatkan deviasi septum, discharge (darah atau
cairan) dan napas cuping hidung.
f. Mulut/Gigi : Tidak terdapat bibir sianosis, hematom, lidah kotor, carries
dan hiperemis pada faring.
g. Telinga : Simetris dan tidak didapatkan discharge (darah atau cairan).
h. Leher : Tidak terdapat jejas, trakea teraba di tengah, tidak terdapat pem-
besaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe. Teraba benjolan di
regio colli posterior dextra sebanyak 1 buah ukuran diameter ±
5 cm, mobile, batas tegas, permukaan rata, nyeri tekan, pus (+)
i. Thorax
5
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 1 jari lateral LMC sinistra
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V 1 jari lateral LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta
tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, Tidak terdengar suara wheez-
ing dan rhonki
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak
teraba.
d) Perkusi : Timpani
k. Pemeriksaan Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), pucat (-), CRT < 2”
3. Pemeriksaan Laboratorium
6
Pemeriksaan 20-01-2012 Nilai normal
7
Hematologi
Hemoglobin 11,9 12,0-16,0 g/dL
Leukosit 14430 4800-10800/L
Hematokrit 37 37-47%
Eritrosit 5,4x106 4,2-5,4x106/
Trombosit 294000 150000-450000/L
MCV 68,9 79,0-99,0 fl
MCH 22,0 27,0-31,0 pg
MCHC 31,9 33,0-37,0 %
RDW 13,8 11,5-14,5 %
MPV 9,1 7,2-11,1 fl
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0,0-1,0 %
Eosinofil 0,6 2,0-4,0%
Batang 0,00 2,0-5,0%
Segmen 74,4 40,0-70,0%
Limfosit 15,6 25,0-40,0%
Monosit 9,2 2,0-8,0%
PT 13,2 11,5-15,5 detik
APTT 26,7 25-35 detik
Kimia Klinik
SGOT 8 15-37 U/L
SGPT 7 30-65 U/L
Ureum 21,0 14,98-38,52 mg/dL
Creatinin 0,65 0,60-1,00 mg/dL
8
GDS 303 ≤ 200 mg/dL
Natrium 134 136-148 mmol/L
Kalium 5,2 3,5-5,1 mmol/L
Klorida 96 98-107 mmol/L
Seroimmunologi
HBsAg Non-reaktif Non-reaktif
Pemeriksaan Tgl.28-01-2012 Tgl 29-01-2012 Tgl 30-01-2012
GDP
GD 2 Jam PP
315
366
253 (pkl 06.39)
GDS 375 (pkl 17.48) 135 (pkl 04.34)
251 (pkl 16.55)
192 (pkl 16.36)
4. Pemeriksaan Elektrokardiograf
Sinus rhythm, Heart rate 100 x/menit, gelombang P normal, axis normal, PR interval
0,16 detik, LVH +.
5. Pemeriksaan Foto Thorax
Kesan : Kardiomegali (Left Ventricle), Gambaran bronkopneumonia DD/ TB paru,
Tak tampak gambaran metastasis pada tulang yang terlihat
D. DIAGNOSIS
Tumor Colli Dextra dengan Diabetes Mellitus Tipe II tidak terkontrol
E. PENATALAKSANAAN
1. Bagian Bedah konsul ke Bagian Penyakit Dalam
9
pkl 08.05
Penatalaksanaan yaitu :
Tanggal 28-01-2012 Sliding scale tiap 6 jam dimulai 20 IU
2. Bagian Bedah konsul ke Bagian Anestesi
Penatalaksanaan yaitu :
- Informed concent pembiusan
- Puasa 6 jam pre operasi
- Pasang IVFD RL 30 tetes per menit
3. Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA III dengan diagnosis
pasca bedah sesuai dengan diagnosis awal
E. KESIMPULAN
ACC ASA III
F. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Tumor Colli Dextra dengan Diabetes Mellitus Tipe II tidak terkontrol
2. Diagnosis Pasca Bedah
Tumor Colli Dextra dengan Diabetes Mellitus Tipe II tidak terkontrol
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a. Informed Concent
b. Puasa 6 jam pre operasi
c. Pasang IVFD RL 30 tetes per menit
4. Penatalaksanaan Operasi
a. Jenis Pembedahan : Insisi drainase + biopsi
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : Semi closed dengan Face mask
d. Mulai Anestesi : 30 Januari 2012 pukul 11.40 WIB
10
e. Mulai Operasi : 30 Januari 2012 pukul 11.45 WIB
f. Premedikasi : -
g. Medikasi induksi : Propofol 130 mg, Fentanil 50μg,
h. Maintenance : O2, N2O, Isofluran 1,5%
i. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg, Ondansetron 4 mg
j. Relaksasi : -
k. Respirasi : Spontan
l. Posisi : Supine
m. Cairan Durante Operasi : RL 1000 ml
n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Waktu Hasil Pantauan Tindakan
11.40 WIB TD 120/90 mmHg
HR 80x/m
SpO2100%
Pasien masuk ke ruang OK dan
dilakukan pemasangan NIBP dan
saturasi O2. Infus RL terpasang
pada tangan kiri. Mulai anestesi
dengan Propofol dan Fentanyl.
Dilakukan face mask dengan
isofluran 1,5 %, N2O, dan O2
Nafas spontan
11.45 WIB TD 120/90 mmHg
HR 80x/m
SpO2100%
Dimulai pembedahan
12.00 WIB TD 130/90 mmHg Dimasukkan ketorolac 30 mg iv
dan Ondansetron 4 mg ivHR 98x/m
SpO2100%
11
12.05 WIB TD 130/90 mmHg Pembedahan selesai
HR 98x/m
SpO2100%
n . Selesai operasi : 12.05 WIB
o. Selesai anestesi : 12.10 WIB
p. Perdarahan : 150 cc
q. Urin Tampung : 100 cc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
A. Tumor Colli 1
Definisi
Adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di segitiga anterior
atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula serta dasar
tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari tiroid, 40%
benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10 % berasal dari peradangan atau kelainan
kongenital.
Patologi
Pembengkakan pada leher dapat dibagi kedalam 3 golongan:
1. Kelainan kongenital : kista dan fistel leher lateral dan median, seperti hygroma colli
cysticum, kista dermoid.
2. Inflamasi atau peradangan : limfadenitis sekunder karena inflamasi banal (acne faciei,
kelainan gigi dan tonsilitis) atau proses infamasi yang lebih spesifik (tuberculosis,
tuberculosis atipik, penyakit garukan kuku, actinomikosis, toksoplasmosis). Disamping itu di
leher dijumpai
perbesaran kelenjar limfe pada penyakit infeksi umum seperti rubella dan mononukleosis
infeksiosa.
3. Neoplasma : Lipoma, limfangioma, hemangioma dan paraganglioma caroticum yang
jarang terdapat (terutama carotid body; tumor glomus caroticum) yang berasal dari
paraganglion caroticum yang terletak di bifurcatio carotis,merupakan tumor benigna.
Selanjutnya tumor benigna dari kutub bawah glandula parotidea, glandula submandibularis
dan kelenjar tiroid. Tumor maligna dapat terjadi primer di dalam kelenjar limfe (limfoma
maligna), glandula parotidea, glandula submandibularis, glandula tiroidea atau lebih jarang
timbul dari pembuluh darah, saraf, otot, jaringan ikat, lemak dan tulang. Tumor maligna
sekunder di leher pada umumnya adalah metastasis kelenjar limfe suatu tumor epitelial
13
primer disuatu tempat didaerah kepala dan leher. Jika metastasis kelenjar leher hanya terdapat
didaerah supraclavikula kemungkinan lebuh besar bahwa tumor primernya terdapat ditempat
lain di dalam tubuh.
Ada dua kelompok pembengkakan di leher yaitu di lateral maupun di midline/line mediana :
1. Benjolan di lateral
a. Aneurisma subclavia
b. Iga servikal
c. Tumor badan karotis
d. Tumor clavikularis
e. Neurofibroma
f. Hygroma kistik
g. Limfonodi-inflamasi, karsinoma sekunder, retikulosis
h. Kista branchiogenik
i. Tumor otot
j. Tumor strnomastoideus
k. Kantung faringeal
l. Kelenjar ludah-inflamasi, tunor. Sindroma sjorgen
m. Lipoma subcutan, dan subfascia
n. Kista sebasea
o. Laringokel
2. Benjolan di Linea mediana
a. Lipoma
b. Kista sebasea
c. Limfonodi submental-inflamasi, karsinoma sekunder, retikulosis
d. Pembesaran kelenjar thyroid-diffuse, multinodular, nodular soliter
14
e. Kista thyroglossus
f. Dermoid sublingual
g. Bursa subhyoid
Pembengkakan pada tiroid dapat berupa kista, struma maupun neoplasma.
Pembengkakan akibat neoplasma misalnya Ca.metastasis, limfoma primer, tumor kelenjar
saliva, tumor sternomastoid, tumor badan carotis. Pembengkakan akibat peradangan meliputi
adenopati infektif akut, abses leher, parotitis. Sedangkan kelainan kongenital meliputi
hygroma kistik, kista ductus tiroglosus, kista dermoid, dan tortikolis. Kelainan vascular
meliputi aneurisma subclavia maupun ektasi subclavia.
Pada anak-anak, banyak disebabkan karena kelainan kongenital dan peradangan
meliputi hygroma kistik, kista dermoid, tortikolis, kista brankial, limfadenitis, adenitis
virus/bakteri, neoplasma maligna jarang pada anak (misalnya Limfoma).
Pada dewasa muda banyak disebabkan oleh karena adanya peradangan dan keganasan tiroid
misalnya adenitis/limfadenitis virus/bakteri, limfadenopati dan kanker tiroid. Pada usia diatas
40 tahun, dianggap sebagai suatu keganasan meliputi limfadenopati metastatik, limfadenopati
primer, neoplasma primer tiroid.
B. Insisi dan Drainase 2
Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Insisi
drainase merupakan tindakan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi
tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang mengandung antibiotik dan elemen
pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi (Hambali, 2008).
Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengelu-
arkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. Untuk memperta-
hankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber
15
drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tun-
tas (Lopez-Piriz et al., 2007).
Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/
infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta
toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi
jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan
pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase
spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan
ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian et al,
1994).
C. Biopsi 3
Biopsi adalah pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium. Pemerik-
saan jaringan tersebut bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit atau mencocokkan
jaringan organ sebelum melakukan transplantasi organ. Resiko yang dapat ditimpulkan oleh
kesalahan proses biopsi adalah infeksi dan pendarahan.
Jaringan yang akan diambil untuk biopsi dapat berasal dari bagian tubuh manapun, di
antaranya kulit, perut, ginjal, hati, dan paru-paru.
D. Diabetes Melitus 4
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
16
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,ataupun
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
denganglukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasikDM seperti di bawah ini:
- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvaepada wanita.
17
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu >200 mg/
dL sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL denganadanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pe-
meriksaan inimemiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulang-
ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan
khusus.
Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salahsatu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telahterstandardisasi
dengan baik.
DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada table dibawah. Apabila hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh,
maka dapat digolongkan kedalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
1.TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGOdidapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2.GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2
jam < 140mg/dL.
18
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes.
.1. Tujuan penatalaksanaan
- Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM,mempertahankan rasa nya-
man, dan mencapai target pengendalianglukosa darah.
- Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitaspenyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas danmortalitas DM.Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalianglukosa darah, tekanan darah, berat
badan, dan profil lipid, melaluipengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatanmandiri dan perubahan perilaku.
19
Pertimbangan Anestesi Pada Pasien DM 5
Preoperative
Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang mempunyai
resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu, meningkatkan
komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas perioperative pada pasien DM dihubungkan
dengan kerusakan organ-organ preoperative, walaupun sepertiga sampai setengah pasien DM
type II mungkin tidak menyadari bahwa mereka mempunyai hal itu. Paru-paru, kardiovasku-
lar, dan sistem renal memerlukan penilaian yang ketat. Rongent thorak preoperative pada
penderita DM lebih disukai untuk memastikan apakah terjadi pembesaran jantung, kongesti
pembuluh darah paru, atau efusi pleura. EKG preoperatif pada pasien DM juga menunjukan
terjadinya peningkatan insiden abnormalitas dari segment ST dan segmen gelombang T. My-
ocardial ischemia mungkin jelas terihat pada EKG meskipun tidak ada riwayat tentang
itu(silent myocardial ischemia and infarction).
Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom diabetic.
Gangguan refleks fungsi sisten saraf otonom meningkat sejalan dengan peningkatan usia, DM
lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-adrenergic. Neuropathy Otonom pada penderita
DM dapat membatasi kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi terhadap
perubahan volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidakstabilan kardiovaskuler
(seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian yang berhubungan dengan henti
jantung mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan penggunaan angiotensin-
converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers. Lebih lanjut, gangguan
fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan pengosongan lambung (gastroparesis).
Premedikasi dengan suatu antacid dan metoclopramide akan sangat membantu pada pasien
DM yang gemuk dengan tanda dari disfungsi otonom jantung. Bagaimanapun juga, disfungsi
20
otonom dapat mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan
jantung.
Table 36–3. Clinical Signs of Diabetic Autonomic Neuropathy.
Hypertension
Painless myocardial ischemia
Orthostatic hypotension
Lack of heart rate variability 1
Reduced heart rate response to atropine and propranolol
Resting tachycardia
Early satiety
Neurogenic bladder
Lack of sweating
Impotence
1Normal heart rate variability during voluntary deep breathing (6 breaths/min) is greater
than 10 beats/min.
Gangguan ginjal pertama kali dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian pen-
ingkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering mengalami
gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian infeksi yang dihubungkan
dengan system kekebalan tubuh, perhatian yang tegas pada tehnik aseptic harus dilakukan
pada pemasangan semua kateter intravena dan monitoring invasive.
Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi pada protein jaringan dan
sindrom keterbatasan pergerakan sendi (limited-mobility joint syndrome). Pada preoperative,
21
Pasien DM harus selalu dievaluasi secara rutin terhadap kemampuan pergerakan dari sendi
temporomandibular dan tulang leher untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi,
dimana kejadian ini terjadi sekitar 30% pada penderita DM tipe I.
Intraoperatif.
Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah menghindari
terjadinya hipoglikemi. Walaupun untuk mempertahankan kondisi euglikemi adalah hal yang
kurang hati-hati, hilangnya kontrol gula darah ( > 180mg/dL) juga membawa suatu resiko.
Hiperglikemi berhubungan dengan keadaan hiperosmolaritas, infeksi/peradangan dan luka
yang sulit sembuh. Yang lebih penting, hiperglikemi dapat memperburuk kondisi neurologis
setelah episoda iskemik serebral dan memperburuk hasil setelah tindakan bedah jantung atau
setelah akut miokard infark. Pengawasan yang ketat bermanfaat pada pasien yang akan
menjalani pembedahan kardiopulmonary bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan
dengan menurunkan infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien hamil
dengan DM telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun demikian, seperti
dicatat sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energi
membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya hipoglikemi harus dihindari.
Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total dosis insulin pada
bentuk insulin kerja intermediate (tabel 35-4). Untuk menurunkan resiko terjadinya
hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena terpasang dan diperiksa kadar gula darah
pagi hari. Sebagai contoh, seorang pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH (neutral
protamine Hagedorn; intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular atau insulin
Lispro (short-acting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang
150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi hari) dari
NPH secara subkutan atau IM sebelum pembedahan bersama dengan infus dekstrosa 5% (1,5
22
mL/kg/jam). Penyerapan insulin subkutan atau IM tergantung dari aliran darah dijaringan,
namun bagaimanapun juga, selama pembedahan hal itu tidak dapat diramalkan. Penggunaan
dari jalur intravena dengan jarum infus yang kecil untuk pemberian cairan dextrose dapat
mencegah terjadinya pengaruh dari cairan intraoperatif dan obat yang lain. Tambahan
dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipoglikemik ( < 100 mg/dL ). Tetapi,
hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln reguler IV
sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan pada dewasa biasanya
menurunkan kadar glukosa darah sekitar 25 – 30 mg/dL. Ini harus ditekankan bahwa dosis-
dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi pasien dalam keadaan Katabolic ( misalnya,
sepsis, hyperthermia).
Table 36–4. Dua tehnik yang paling sering pada perioperatif manage-
men insulin pada penderita DM
Bolus Administration Continuous Infusion
Preoperative
D5W (1.5 mL/kg/h) D5W (1 mL/kg/h)
NPH1 insulin (half usual AM dose) Regular insulin :
IntraoperativeRegular insulin (as per sliding
scale)Same as preoperative
Postoperative Same as intraoperative Same as preoperative
1NPH, neutral protamine Hagedorn.
Suatu metode alternative untuk pemberian insulin regular adalah dengan infuse
kontinyu. Keuntungan dari tehnik ini adalah lebih tepat dalam mengontrol pemberian insulin
23
daripada dengan suntikan insulin NPH secara subkutan atau IM, hal ini terutama pada kondisi
yang berhubungan dengan perfusi dikulit dan otot yang jelek. 250 Unit insulin regular dapat
ditambahkan dalam 250 ml garam fisiologis dan infuse dimulai pada dosis 0,1 U/kg/jam. Jika
terjadi fluktuasi kadar gula darah, infuse insulin regular dapat ditambahkan dan disesuaikan
menurut rumusan yang berikut :
Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 – 150
mg/dL, walaupun beberapa kasus berada diatas target dari 120 mg/dL. Penambahan 20mEq
KCl pada setiap 1 liter cairan harus diperhatikan, karena insulin menyebabkan potassium
(Kalium) pindah ke intraseluler.
Jika pasien pada saat preoperatif meminum obat hipoglicemik oral sebagai pengganti
insulin, obat dapat dilanjutkan sampai hari akan dioperasi, tetapi pada sulfonylurea dan
metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum operasi karena mereka mempunyai waktu
paruh yang panjang. Keduanya dapat dimulai lagi pada saat postoperatif ketika pasien sudah
dapat minum per oral. Metformin dimulai jika fungsi renal dan hepar tetap adekuat. Efek obat
oral hipoglikemi dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang pada gangguan ginjal.
Banyak pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama masa intraoperatif dan
postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress menghadapi pembedahan yang menyebabkan
peningkatan dalam counterregulatory hormon (seperti, catecholamines, glucocorticoids,
growth hormone) dan mediator inflamasi seperti TNF dan interleukin. Setiap terjadi stress
hiperglikemi, akan terjadi peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM tipe II akan
bertoleransi kecil, pembedahan yang ringan biasanya tanpa memerlukan insulin dari luar.
Kunci untuk managemen pasien seperti ini adalah memantau kadar glukosa plasma
secara rutin dan menyadari adanya variasi antara pasien. Pasien DM bervariasi dalam
24
kemampuan mereka untuk menghasilkan insulin endogenous. Pasien dengan DM tipe I
mungkin memerlukan penilaian glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe
2 cukup setiap 2 – 3 jam. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai stress pada
prosedur pembedahan tersebut. Pasien yang menerima insulin pada pagi hari tetapi tidak
menjalankan pembedahan sampai sore adalah cenderung menjadi hipoglikemi walaupun
diberikan infus dextrose. Portable spectrophotometers dapat menilai konsentrasi glukosa dari
setetes darah yang berasal dari ujung jari dalam semenit. Alat ini menilai konversi warna
suatu potongan glucose-oxidase-impregnated yang telah diunjukkan ke darah pasien untuk
suatu periode tertentu. Pemantauan gula di urin tidak cukup akurat untuk management
Intraoperatif (intraoperative manajement.)
Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya harus
tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini adalah variasi
individu dalam onset dan lamanya kerja dari preparat insulin (Tabel 36-5). Untuk contohnya,
onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1 jam, tetapi lama kerjanya lebih dari 6
jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada onset kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat
lebih lama dari 24 jam. Alasan lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas dari stress
hiperglikemi dalam masa rekoveri. Jika volume laktat yang terkandung pada IVFD banyak
diberikan intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 – 48 jam post operatif karena
hepar merubah laktat menjadi glukosa. Perlu diwaspadai juga kemungkinan terjadinya
hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah pada pasien DM terutama bila terdapat
keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca
bedah. Pemeriksaan EKG post operatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut,
penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung. Infark miokard post operatif
mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status
25
mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskan, atau disritmia, maka perlu diwaspadai
kemungkinan terjadinya infark miokard.7
Table 36–5. Summary of Bioavailability Characteristics of the Insulins.1
Insulin Type2
OnsetPeak
ActionDuration
Short-acting Lispro 10–20 min 30–90 min 4–6 h
Regular, Actrapid, Velosulin 15–30 min 1–3 h 5–7 h
Semilente, Semitard 30–60 min 4–6 h 12–16 h
Intermediate-
acting
Lente, Lentard, Monotard, NPH,
Insulatard2–4 h 8–10 h 18–24 h
Long-acting Ultralente, Ultratard, PZI 4–5 h 8–14 h 25–36 h
1There is considerable patient-to-patient variation.
2NPH, neutral protamine Hagedorn; PZI, protamine zinc insulin
26
E. General Anestesia 6
Definisi
General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan
depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara
intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya.
Trias anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum
dapat secara parenteral dan inhalasi.
Stadium anestesi terdiri dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia,
tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah
bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil
melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
27
c. Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana, yaitu
:
1. Plana 1
Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dengan pernafasan
abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik,
pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks
farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
2. Plana 2
Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekwensi
pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir
ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea
menghilang.
3. Plana 3
Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena
paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3
terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot
diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3
ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
4. Plana 4
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg
makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin
menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks
sfingter ani menghilang.
28
d. Stadium IV : stadium paralisis
Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti kegagalan
sirkulasi
Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahaan akan
berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang memiliki
kecemasaan yang cukup besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar pasien tersebut tetap
tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahaan.
Tahapan General Anestesi
- Induksi (awal pembiusan)
- Konduksi (maintenance pembiusan)
- Recovery (sadar kembali setelah anestesi)
Prosedur Anestesi Umum
Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat
harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat
dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan
kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan
seminimal mungkin.
29
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.
Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard,
angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi
dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obatobat
antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,
diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar,
perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti:
merokok dan alkohol.
B. Pemeriksaan fisik
30
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di
atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini
harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya
pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan
teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi
sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
D. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.
E. Masukan oral
31
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.
F. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau
kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan
lebih dari 24 jam.
ASA VI: mati batang otak, potensi untuk donor organ.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda
32
darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk
mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
Persiapan peralatan anestesi
33
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita memberi anesthesia yang lancar dan aman.
Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik
yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang
sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari
yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah
mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
- Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
- Ruang rugi (dead space) minimal
- Mengeluarkan CO2 dengan efisien
- Bertekanan rendah
- Kelembaban terjaga dengan baik
- Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
- Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
- Meter aliran gas (flowmeter)
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah
34
disepakati ialah: Oksigen (putih), N2O (biru), Udara (Putih hitam kuning), CO2(Abuabu),
Halotan (Merah), Enfluran (Jingga), Isofluran (Ungu), Desfluran (Biru), Sevofluran (kuning).
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan
saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien,
tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar
atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL,
adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi,
katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O .
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),
sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke
pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi
kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
35
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang
baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada
reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di
sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan
dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup
dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula
untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien.
Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah
dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga
dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Sedangkan untuk bayi dan anak kecil cara memilih ukuran pipa trakea adalah dengan rumus :
- Diameter dalam pipa trakea (mm) : 4.0 + ¼ umur (th)
- Panjang pipa orotrakeal tube (cm) : 12 + ½ umur (th)
- Panjang pipa nasotrakeal (cm) : 12 + ½ umur (th)
Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian
anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit
dan membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat
36
dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan
patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru
rendah seperti penyakit jalan nafas restriktif.
Induksi dan rumatan anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih
baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway : Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring
(nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape : Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer : Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C : Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction : Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rectal.
37
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien
yang kooperatif. Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anesthesia, tambahan apada analgesia regional atau untuk membantu prosedur
diagnostic. Obat yang biasa digunakan adalah : Tiopental dosis induksi 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan dihabiskan 30-60 detik, Propofol dosis bolus induksi 2-2,5 mg/kg, Ketamin untuk
induksi intravena 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg/kg, Opioid (fentanil) dosis
induksi 20-50 mg/kg.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rectal
38
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-
tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada
gerakan pada kelopak mata.
Rumatan anesthesia
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anesthesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anesthesia biasanya mengacu kepada trias anesthesia yaitu hipnotik-sedatif, analgesia dan
relaksasi.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50
µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2.
Rumatan inhalasi
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol % atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan
umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
39
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan
sungkup muka.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus
diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)
misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Selain itu
juga bisa diberikan obat-obatan simptomatik biasanya analgesia ketorolac dan antimuntah
ondansetron.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Tn.B 46 tahun didiagnosis tumor colli dextra + DM yang akan dilakukan
operasi insisi drainase dan biopsi. Sebelum dilakukakan operasi ada beberapa tahapan dari
anestesi yang harus dilakukan yaitu preoperative, durante operatif dan post operatif seperti
yang akan dibahas dibawah ini.
A. Pre operatif 6,8,9,10,11,12
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. Kondisi
pasien yang akan di operasi dalam kasus ini adalah ASA III yaitu pasien memiliki kelainan
40
sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa dan
mengganggu aktivitas. Selanjutnya ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan
yaitu anestesi general. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Anamnesa dan Informed consent
Pada anamanesa didapatkan bahwa pasien mengeluh keluar nanah dan darah dari
benjolan di leher kanan sejak 1 minggu yang lalu dan bersifat nyeri. Hal ini yang mendasari
diagnosis tumor colli sehingga akan dilakukan pembedahan. Selain itu dilakukan Informed
consent tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien
dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan
terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan dengan baik dan pasien menyetujui.
b. Pemeriksaan fisik
Pada kasus ini, terdapat permasalahan dari tanda vital yaitu tekanan darah 140/90
mmHg. Pasien mengalami hipertensi grade 1. Dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini
dapat disimpulkan adanya kelainan pada jantung dimana terdapat pembesaran jantung. Pada
pasien ini tidak ditemukan adanya kekakuan pada sendi atlantooccipitalis dan
temporomandibular. Pada pemeriksaan leher tidak terdapat jejas, trakea teraba di tengah,
tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe. Teraba benjolan di regio colli
posterior sebanyak 1 buah ukuran diameter 5 cm, mobile, batas tegas, permukaan rata, nyeri
tekan, pus (+).
c. Masukan oral
Pasien dipuasakan, tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping
dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia. Pada pasien dewasa umumnya dipuasakan selama 6 – 8 jam, anak kecil 4 – 6 jam,
dan pada bayi 3 – 4 jam.
41
d. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik sehingga
memenuhi toleransi operasi. Namun ada permasalahan pada gula darah karena pasien
memiliki diabetes mellitus sejak 3 tahun yang lalu. Adapun pemeriksaan laboratorium pada
pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, waktu perdarahan, waktu
pembekuan, dan kimia klinik. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada
tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi distribusi oksigenasi
ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida. Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan
jaringan guna mencegah terjadinya syok. Jumlah trombosit, masa pembekuan dan defisiensi
faktor pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi perdarahan.
Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat meningkatkan koagulasi.
Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak kurang dari 50% nilai normal akan
menyebabkan perdarahan.
Protrombin time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen),
II (protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi trombin akibat aksi
tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan darah. Activated Protrombin Time (APTT)
digunakan untuk mendeteksi apakah terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan
kecuali faktor VII dan XII. Pada pasien ini, nilai trombosit, PT, dan APTT dalam batas
normal sehingga diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat.
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya dalam berbagai
proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang dominan berada di petak cairan ekstrasel
(84%) dengan nilai normal 135-145 mEq/L. Natrium berperan dalam memelihara tekanan
osmotik dan volume cairan ekstrasel (Latief, 2001). Keadaan hiponatremia, bila tidak
dikoreksi secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan
42
kerusakan otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal sangat
efisien dalam mengeksresikan Na.
Sebagian besar kalium terdapat di dalam sel (150 mEq/L). Pembedahan
menyebabkan katabolisme jaringan dan mobilisasi kalium pada hari-hari pertama dan kedua.
Fungsi kalium antara lain merangsang saraf otot, menghantarkan impuls listrik, membantu
utilisasi O2, asam amino dan glikogen. Kadar kalium serum normalnya 3-5 mEq/L. Hipo- dan
hiperkalemia merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia jantung dan
perlu segera dikoreksi. Pada pasien ini kadar Na dan K dalam batas normal.
Dari hasil pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, dan gula darah 2 jam
post prandial, pasien menderita diabetes melitus. Pada saat akan dilakukan operasi GDP 253
mg/dl (pkl 06.39).
B. Durante Operasi 6,8,9,10,11,12
Pada pasien ini dilakukan teknik General Anestesi (GA) dengan semiclosed dengan
sungkup muka (face mask). Sungkup muka menghantar udara / gas anestesi dari alat
resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor
dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut / hidung (Latief, 2001). Pasien berada dalam
posisi supine kemudian dilakukan pemberian obat anestesi secara intravena.
Selama pembedahan kadar glukosa harus ditetapkan : 1.) Sebelum induksi anestesi ;
2.) 30 menit sesudah induksi ; 3.) Setiap 45 menit selama tindakan ; 4.) Pada akhir tindakan ;
5.) 30 menit sesudah sadar ; 6.) Setiap jam selama 6 jam atau sampai boleh makan.
Pemeriksaan glukosa lebih sering (tiap 30 menit) bila glukosa > 200 mg/dl dan tiap 15 menit
jika < 80 mg/dl selama anestesia. Pada pasien ini, saat dilakukan pembedahan, gula darah
puasa sangat tinggi (253 gr/dL) dan tidak diberikan infus insulin.
43
Pasien diberikan medikasi dengan propofol sebanyak 130 mg dan fentanil sebanyak
50 μg. Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso-profil fenol, berupa
cairan berwarna putih susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi,
mulai kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan kesadaran segera terjadi
setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB),
pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai
efek samping misalnya mual, muntah, sakit kepala, dan lainnya.
Propofol bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang
diberikan. Selain itu, propofol juga mendepresi sistem kardiovaskuler sehingga terjadi
penurunan tekanan darah yang segera dengan kompensasi peningkatan denyut nadi. Propofol
tidak mendepresi sintesis hormon adrenal dan tidak menimbulkan pelepasan histamin.
Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek analgetik maupun
relaksasi otot (Mangku, 2010). Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri. Oleh
karena itu, pada pasien ini diberikan tambahan fentanil sebagai analgetik.
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang bekerja terutama pada
reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang
poten, mempunyai potensi analgesia 50-100 kali efek morfin, dan bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanil banyak
digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat
dibandingkan morfin dan meperidin (sekitar 5 menit) dengan lama kerja 30 menit. Pemberian
secara infus akan memperpanjang lama kerja analgesik opioid tersebut. Fentanil bersifat
depresan terhadap saraf pusat, pernapasan, menekan respon sistem hormonal dan metabolik
akibat stress anestesia dan pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular.
Dosis fentanil sebagai analgesia adalah 1-2 μg/KgBB.
44
Tahap maintenance dilakukan dengan pemberian O2, N2O, dan Isofluran. Rumatan
anestesia mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis), analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi oto lurik yang
cukup. Nitrous oksida (N2O) berkhasiat sebagai analgesia dan tidak memiliki khasiat
hipnotikum. Khasiat analgesianya relatif lemah oleh karena itu dikombinasikan dengan
oksigen. Pada pemakaiannya yang lazim dalam anestesia, N2O tidak menimbulkan pengaruh
negatif terhadap sistem kardiovaskuler, hanya menimbulkan sedikit dilatasi pada jantung.
Sistem organ lain seperti sistem respirasi, ginjal, reproduksi, otot rangka, endokrin, dan
metabolisme tidak mengalami perubahan.
Dalam penggunaannya, N2O dapat dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan
yang bervariasi, N2O : O2 = 70 : 30 pada pasien normal, N2O : O2 = 60 : 40 pada pasien yang
memerlukan tunjangan oksigen lebih banyak, dan N2O : O2 = 70 : 30 pada pasien risiko
tinggi. Pada kasus ini digunakan N2O sebanyak 2L demikian O2 sebanyak 2L. Pada akhir
anestesia, setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga
terjadi pengenceranO2 dan terjadi hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia
difusi dapat diberikan O2 100% selama 5-10 menit dan hal ini dilakukan pada pasien.
Pada kasus ini, Isofluran 1,5% digunakan sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Selain itu, isofluran memiliki efek analgesi ringan dan
relaksasi otot ringan. Dosis pemeliharaan dengan pola napas spontan adalah 1 - 2,5 %,
sedangkan pada napas kendali berkisar antara 0,5 - 1%. Isofluran akan mendepresi sistem
saraf pusat sesuai dengan dosis yang diberikan, pada dosis anestesia tidak menimbulkan
vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta mekanisme autoregulasi tetap stabil.
Terhadap kadar gula darah isofluran tidak memiliki pengaruh yang nyata.
Tekanan darah dipantau setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Penurunan tekanan sistole pada pasien sekitar 20 mmHg dan belum
45
mencapai 20% dari tekanan darah awal sehingga tidak perlu diberi tindakan untuk menaikkan
tekanan darah. Selain itu, nadi dan SpO2 juga dipantau dengan bantuan pulse oxymetri untuk
mengetahui ada tidaknya peningkatan atau penurunan nadi maupun gangguan perfusi O2.
Selain itu, perlu juga dipantau warna kulit dan suhu. Jika pasien merasa dingin serta
berkeringat kemungkinan mengalami hipoglikemi dan harus di periksa kadar gula darah serta
berikan glukosa secara intravena.
Selanjutnya, pasien diberikan ketorolac 30 mg iv dan ondansetron 4 mg iv.
Ketorolac 30 mg diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non
steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga digunakan sebagai
analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai anti infalamasi. Obat ini mempunyai
efektiftas analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan
morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan secara
intramuskular dan intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat oral.
Ondansetron secara selektif akan menghambat reseptor serotonin 5 - HT 3, dengan
sedikit atau tanpa efek terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5 – HT 3 yang terdapat perifer
(eferen vagal abdominal) dan sentral (chemoreceptor trigger zone pada area postrema dan
nukleus traktus solitarius) yang mempunyai peranan penting dalam permulaan refleks
muntah. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk ondansetron sebagai
pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum induksi
anestesi atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan
pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 1000 ml untuk mengganti
defisit cairan puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan serta mengganti perdarahan yang terjadi. Cairan Ringer Laktat merupakan
46
cairan yang paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak dipergunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk : syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka
bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan di metabolisme oleh hati menjadi bikarbonat
untuk memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis.
Terapi cairan durante operasi dijabarkan sebagai berikut :
Usia : 46 tahun
Berat badan : 65 kg
Terapi Cairan :
Maintenance = (4 x 10 + 2 x 10 + 1 x 45) = 105 cc
Pengganti Puasa
(PP)
=
=
=
6 x maintenance
6 x 105
630
Stress Operasi = 6cc/kgBB (Sedang)
= 6cc x 65
= 390 cc
Jam I = ½ PP + M + SO
= 315 + 105 + 390
= 810 cc
Jam II = ¼ PP + M + SO
=
=
157,5 + 105 + 390 cc
652,5 cc
Estimated Blood Volume = 65 x BB
= 65 x 65 kg
= 4225 cc
Allowed Blood Loss = 20% x EBV = 20% x 4225 = 845 cc
47
C. Post operatif 6,8,9,10,11,12,13
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Pengawasan ketat di
UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi) harus seperti sewaktu di kamar bedah sampai pasien
bebas dari bahaya, karena itu perlu peralatan monitor yang baik. Tensimeter, pulse oxymeter,
EKG, peralatan resusitasi jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri.
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan
adekwat serta kesadaran masih belum sadar betul. Tekanan darah selama 30 menit pertama
pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg. Kemudian digunakan penilaian pemulihan anestesi
dengan menggunakan skala aldrette. Pada pasien ini, total penilaian dengan menggunakan
skala aldrette adalah 9 sehingga pasien dapat di bawa ke ruang perawatan. Dianggap sudah
pulih dari anestesia dan dapat pindah dari ruang pemulihan ke ruang perawatan apabila skor
> 8. Komponen dari skor aldrette dapat dilihat pada tabel berikut :
Komponen Skor
Gerakan
Dapat menggerakkan ke 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah
Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah
Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah
2
1
0
Pernapasan
Bernapas dalam dan kuat serta batuk
Bernapas berat atau dispneu
Apnue atau napas dibantu
2
1
0
Tekanan Darah
Sama dengan nilai awal 2
48
Tekanan darah berubah 20-50% dari nilai awal
Tekanan darah lebih dari 50% dari nilai awal
1
0
Kesadaran
Sadar penuh
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan
Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan
2
1
0
Warna kulit
Merah
Pucat, ikterus
Sianosis
2
1
0
Pada pasien ini juga diberikan medikasi post operatif yaitu ketorolac 30 mg jika
pasien kesakitan dan ondansetron 4 mg jika pasien mual muntah. GDS pasien setelah di
ruangan perawatan adalah 192 mg/dl (pkl 16.36) yang menunjukan tidak terjadi hiperglikemi.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pada kasus ini, pasien Tn. B dengan diagnosis tumor colli dextra dengan diabetes
mellitus tipe II yang tidak terkontrol, dilakukan tindakan insisi drainase dan biopsi.
Pengontrolan kadar gula darah perlu dilakukan saat pre operatif, intra operatif dan
post operatif untuk menghindari hipoglikemi serta mencegah komplikasi dari
hiperglikemi. GDP pasien saat akan operasi adalah 253 mg/dl.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik general anestesi menggunakan semi closed
face mask. Sebagai medikasi induksi diberikan propofol 130 mg dan fentanil 50 µg,
dan sebagai maintenance digunakan isofluran 1,5%, O2, dan N2O. medikasi
49
tambahan diberikan Ketorolac 30 mg sebagai analgesic dan Ondansetron 4 mg
sebagai anti muntah.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 1000 ml.
4. Lama operasi pada pasien ini adalah 20 menit.
5. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang
pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekwat serta
kesadaran masih belum sadar betul. Kemudian digunakan penilaian pemulihan
anestesi dengan menggunakan skala aldrette. Pada pasien ini, total penilaian dengan
menggunakan skala aldrette adalah 9 sehingga pasien dapat di bawa ke ruang
perawatan.
6. GDS pasien ini setelah operasi adalah 192 (pkl 16.36) yang menunjukan tidak terjadi
hiperglikemi.
50