75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumor colli adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di segitiga anterior atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula serta dasar tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari tiroid, 40% benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10 % berasal dari peradangan atau kelainan kongenital. 1 Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. 2 Biopsi adalah pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium . 3 Diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. 4 1

Finish

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Finish

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tumor colli adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di

segitiga anterior atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula

serta dasar tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari

tiroid, 40% benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10 % berasal dari peradangan

atau kelainan kongenital.1

Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase

adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari

dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat.2 Biopsi adalah pengambilan

jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium.3

Diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.4

Pertimbangan anestesi pada pasien yang akan dioperasi dengan status diabetes

mellitus meliputi tahap preoperative, durante operatif, dan post operatif. Pasien diabetes, pada

preoperatif harus selalu dievaluasi secara rutin terhadap kemampuan pergerakan dari sendi

temporomandibular dan tulang leher untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi,

dimana kejadian ini terjadi sekitar 30% pada penderita DM tipe I. Neuropathy Otonomi pada

penderita diabetes dapat membatasi kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi

terhadap perubahan volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan

kardiovaskuler (seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan

dengan kematian jantung yang mendadak.5

1

Page 2: Finish

General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan

depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara

intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya. Trias anestesi meliputi sedasi,

analgesi dan relaksasi.6

Berdasarkan keterangan diatas, maka perlu penelaahan dan penjelasan lebih lanjut

mengenai pasien yang akan dilakukan operasi insisi drainase + biopsi tumor colli dextra pada

pasien diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol dengan menggunakan general anestesi seperti

yang akan dipaparkan pada penyajian kasus ini.

B. Tujuan

Pemaparan kasus ini bertujuan untuk membahas mengenai kasus operasi insisi

drainase + biopsi tumor colli dextra pada pasien diabetes mellitus tipe II tidak terkon-

trol dengan general anestesia.

Tujuan khusus adalah untuk memaparkan mengenai kasus operasi insisi drainase +

biopsy tumor colli dextra pada pasien diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol dengan

general anestesia mulai dari persiapan sebelum pembedahan hingga pembedahan sele-

sai. Hal-hal yang akan dijelaskan terutama mengenai obat-obat yang akan diberikan

pada pasien tersebut sesuai dengan indikasi. Pembahasan dibentuk dalam sebuah anal-

isis sehingga akan lebih memudahkan dalam ilustrasi kasus. Analisis difokuskan ter-

hadap pasien yang diangkat dalam makalah ini.

BAB II

2

Page 3: Finish

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 46 tahun

Berat Badan : 65 kg

Tinggi Badan : 168 cm

Agama : Islam

Alamat : Padamara RT03/RW02, Purbalingga, Jawa Tengah

No. RM : 730912

B. PRIMARY SURVEY

Pemeriksaan

1. Airway

Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu.

2. Breathing

Napas spontan, normochest, tidak tampak ketertinggalan gerak pada dada (gerak

dada simetris), RR 20 x per menit, reguler, tidak terdapat retraksi, trakea terletak di

median, suara nafas vesikuler, tidak terdapat rhonki dan wheezing.

3. Circulation

Kulit hangat, TD 140/90 mmHg, nadi 88 x per menit, reguler, isi dan tegangan

cukup, S1> S2 reguler, gallop (-), murmur (-).

4. Disability

Keadaan umum tampak sakit sedang, gizi cukup, kesadaran compos mentis, pupil

bulat, isokor, 5mm/5mm dan reflek cahaya +/+.

C. SECONDARY SURVEY

3

Page 4: Finish

1. Anamnesis

a. Keluhan utama : Keluar nanah dan darah dari benjolan di leher kanan

sejak 1 minggu yang lalu

b. Keluhan tambahan : Benjolan terasa nyeri

c. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke Poliklinik Bedah Onkologi RSMS dengan keluhan keluar

nanah dan darah dari benjolan di leher kanan sejak 1 minggu yang lalu. Benjolan

dirasakan nyeri. Benjolan di leher kanan timbul sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya

benjolan sebesar kelereng, dan semakin lama semakin membesar dengan ukuran

± 5 cm. Demam, pusing, mual maupun muntah disangkal.

d. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat penyakit DM sejak 3 tahun yang lalu, obat yang dikonsumsi

metformin dan glibenklamid namun tidak diminum secara teratur

2) Riwayat penyakit hipertensi pasien tidak mengetahui apakah memiliki

penyakit hipertensi

3) Riwayat asma disangkal

4) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

5) Riwayat penyakit jantung disangkal

6) Riwayat penyakit ginjal disangkal

7) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal

e. Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM, hipertensi, dan

riwayat penyakit yang sama dengan pasien dalam keluarga keluarga disangkal

2. Pemeriksaan Fisik

4

Page 5: Finish

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 140/90 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Suhu : 36,5C

Pernapasan : 20 x/menit

Status Generalis

a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor

kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba

hangat.

b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, rambut hitam,

distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

c. Muka : Simetris tidak terdapat jejas.

d. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik, pupil

bulat isokor Φ 5mm/5mm, reflek cahaya +/+

e. Hidung : Tidak didapatkan deviasi septum, discharge (darah atau

cairan) dan napas cuping hidung.

f. Mulut/Gigi : Tidak terdapat bibir sianosis, hematom, lidah kotor, carries

dan hiperemis pada faring.

g. Telinga : Simetris dan tidak didapatkan discharge (darah atau cairan).

h. Leher : Tidak terdapat jejas, trakea teraba di tengah, tidak terdapat pem-

besaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe. Teraba benjolan di

regio colli posterior dextra sebanyak 1 buah ukuran diameter ±

5 cm, mobile, batas tegas, permukaan rata, nyeri tekan, pus (+)

i. Thorax

5

Page 6: Finish

1) Jantung

a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 1 jari lateral LMC sinistra

b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat

c) Perkusi :

i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra

ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri : SIC V 1 jari lateral LMC sinistra

iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta

tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak

terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, Tidak terdengar suara wheez-

ing dan rhonki

j. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa

b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

c) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak

teraba.

d) Perkusi : Timpani

k. Pemeriksaan Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), pucat (-), CRT < 2”

3. Pemeriksaan Laboratorium

6

Page 7: Finish

Pemeriksaan 20-01-2012 Nilai normal

7

Page 8: Finish

Hematologi

Hemoglobin 11,9 12,0-16,0 g/dL

Leukosit 14430 4800-10800/L

Hematokrit 37 37-47%

Eritrosit 5,4x106 4,2-5,4x106/

Trombosit 294000 150000-450000/L

MCV 68,9 79,0-99,0 fl

MCH 22,0 27,0-31,0 pg

MCHC 31,9 33,0-37,0 %

RDW 13,8 11,5-14,5 %

MPV 9,1 7,2-11,1 fl

Hitung Jenis

Basofil 0,2 0,0-1,0 %

Eosinofil 0,6 2,0-4,0%

Batang 0,00 2,0-5,0%

Segmen 74,4 40,0-70,0%

Limfosit 15,6 25,0-40,0%

Monosit 9,2 2,0-8,0%

PT 13,2 11,5-15,5 detik

APTT 26,7 25-35 detik

Kimia Klinik

SGOT 8 15-37 U/L

SGPT 7 30-65 U/L

Ureum 21,0 14,98-38,52 mg/dL

Creatinin 0,65 0,60-1,00 mg/dL

8

Page 9: Finish

GDS 303 ≤ 200 mg/dL

Natrium 134 136-148 mmol/L

Kalium 5,2 3,5-5,1 mmol/L

Klorida 96 98-107 mmol/L

Seroimmunologi

HBsAg Non-reaktif Non-reaktif

Pemeriksaan Tgl.28-01-2012 Tgl 29-01-2012 Tgl 30-01-2012

GDP

GD 2 Jam PP

315

366

253 (pkl 06.39)

GDS 375 (pkl 17.48) 135 (pkl 04.34)

251 (pkl 16.55)

192 (pkl 16.36)

4. Pemeriksaan Elektrokardiograf

Sinus rhythm, Heart rate 100 x/menit, gelombang P normal, axis normal, PR interval

0,16 detik, LVH +.

5. Pemeriksaan Foto Thorax

Kesan : Kardiomegali (Left Ventricle), Gambaran bronkopneumonia DD/ TB paru,

Tak tampak gambaran metastasis pada tulang yang terlihat

D. DIAGNOSIS

Tumor Colli Dextra dengan Diabetes Mellitus Tipe II tidak terkontrol

E. PENATALAKSANAAN

1. Bagian Bedah konsul ke Bagian Penyakit Dalam

9

pkl 08.05

Page 10: Finish

Penatalaksanaan yaitu :

Tanggal 28-01-2012 Sliding scale tiap 6 jam dimulai 20 IU

2. Bagian Bedah konsul ke Bagian Anestesi

Penatalaksanaan yaitu :

- Informed concent pembiusan

- Puasa 6 jam pre operasi

- Pasang IVFD RL 30 tetes per menit

3. Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA III dengan diagnosis

pasca bedah sesuai dengan diagnosis awal

E. KESIMPULAN

ACC ASA III

F. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Tumor Colli Dextra dengan Diabetes Mellitus Tipe II tidak terkontrol

2. Diagnosis Pasca Bedah

Tumor Colli Dextra dengan Diabetes Mellitus Tipe II tidak terkontrol

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a. Informed Concent

b. Puasa 6 jam pre operasi

c. Pasang IVFD RL 30 tetes per menit

4. Penatalaksanaan Operasi

a. Jenis Pembedahan : Insisi drainase + biopsi

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : Semi closed dengan Face mask

d. Mulai Anestesi : 30 Januari 2012 pukul 11.40 WIB

10

Page 11: Finish

e. Mulai Operasi : 30 Januari 2012 pukul 11.45 WIB

f. Premedikasi : -

g. Medikasi induksi : Propofol 130 mg, Fentanil 50μg,

h. Maintenance : O2, N2O, Isofluran 1,5%

i. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg, Ondansetron 4 mg

j. Relaksasi : -

k. Respirasi : Spontan

l. Posisi : Supine

m. Cairan Durante Operasi : RL 1000 ml

n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR

Waktu Hasil Pantauan Tindakan

11.40 WIB TD 120/90 mmHg

HR 80x/m

SpO2100%

Pasien masuk ke ruang OK dan

dilakukan pemasangan NIBP dan

saturasi O2. Infus RL terpasang

pada tangan kiri. Mulai anestesi

dengan Propofol dan Fentanyl.

Dilakukan face mask dengan

isofluran 1,5 %, N2O, dan O2

Nafas spontan

11.45 WIB TD 120/90 mmHg

HR 80x/m

SpO2100%

Dimulai pembedahan

12.00 WIB TD 130/90 mmHg Dimasukkan ketorolac 30 mg iv

dan Ondansetron 4 mg ivHR 98x/m

SpO2100%

11

Page 12: Finish

12.05 WIB TD 130/90 mmHg Pembedahan selesai

HR 98x/m

SpO2100%

n . Selesai operasi : 12.05 WIB

o. Selesai anestesi : 12.10 WIB

p. Perdarahan : 150 cc

q. Urin Tampung : 100 cc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

12

Page 13: Finish

A. Tumor Colli 1

Definisi

Adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di segitiga anterior

atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula serta dasar

tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari tiroid, 40%

benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10 % berasal dari peradangan atau kelainan

kongenital.

Patologi

Pembengkakan pada leher dapat dibagi kedalam 3 golongan:

1. Kelainan kongenital : kista dan fistel leher lateral dan median, seperti hygroma colli

cysticum, kista dermoid.

2. Inflamasi atau peradangan : limfadenitis sekunder karena inflamasi banal (acne faciei,

kelainan gigi dan tonsilitis) atau proses infamasi yang lebih spesifik (tuberculosis,

tuberculosis atipik, penyakit garukan kuku, actinomikosis, toksoplasmosis). Disamping itu di

leher dijumpai

perbesaran kelenjar limfe pada penyakit infeksi umum seperti rubella dan mononukleosis

infeksiosa.

3. Neoplasma : Lipoma, limfangioma, hemangioma dan paraganglioma caroticum yang

jarang terdapat (terutama carotid body; tumor glomus caroticum) yang berasal dari

paraganglion caroticum yang terletak di bifurcatio carotis,merupakan tumor benigna.

Selanjutnya tumor benigna dari kutub bawah glandula parotidea, glandula submandibularis

dan kelenjar tiroid. Tumor maligna dapat terjadi primer di dalam kelenjar limfe (limfoma

maligna), glandula parotidea, glandula submandibularis, glandula tiroidea atau lebih jarang

timbul dari pembuluh darah, saraf, otot, jaringan ikat, lemak dan tulang. Tumor maligna

sekunder di leher pada umumnya adalah metastasis kelenjar limfe suatu tumor epitelial

13

Page 14: Finish

primer disuatu tempat didaerah kepala dan leher. Jika metastasis kelenjar leher hanya terdapat

didaerah supraclavikula kemungkinan lebuh besar bahwa tumor primernya terdapat ditempat

lain di dalam tubuh.

Ada dua kelompok pembengkakan di leher yaitu di lateral maupun di midline/line mediana :

1. Benjolan di lateral

a. Aneurisma subclavia

b. Iga servikal

c. Tumor badan karotis

d. Tumor clavikularis

e. Neurofibroma

f. Hygroma kistik

g. Limfonodi-inflamasi, karsinoma sekunder, retikulosis

h. Kista branchiogenik

i. Tumor otot

j. Tumor strnomastoideus

k. Kantung faringeal

l. Kelenjar ludah-inflamasi, tunor. Sindroma sjorgen

m. Lipoma subcutan, dan subfascia

n. Kista sebasea

o. Laringokel

2. Benjolan di Linea mediana

a. Lipoma

b. Kista sebasea

c. Limfonodi submental-inflamasi, karsinoma sekunder, retikulosis

d. Pembesaran kelenjar thyroid-diffuse, multinodular, nodular soliter

14

Page 15: Finish

e. Kista thyroglossus

f. Dermoid sublingual

g. Bursa subhyoid

Pembengkakan pada tiroid dapat berupa kista, struma maupun neoplasma.

Pembengkakan akibat neoplasma misalnya Ca.metastasis, limfoma primer, tumor kelenjar

saliva, tumor sternomastoid, tumor badan carotis. Pembengkakan akibat peradangan meliputi

adenopati infektif akut, abses leher, parotitis. Sedangkan kelainan kongenital meliputi

hygroma kistik, kista ductus tiroglosus, kista dermoid, dan tortikolis. Kelainan vascular

meliputi aneurisma subclavia maupun ektasi subclavia.

Pada anak-anak, banyak disebabkan karena kelainan kongenital dan peradangan

meliputi hygroma kistik, kista dermoid, tortikolis, kista brankial, limfadenitis, adenitis

virus/bakteri, neoplasma maligna jarang pada anak (misalnya Limfoma).

Pada dewasa muda banyak disebabkan oleh karena adanya peradangan dan keganasan tiroid

misalnya adenitis/limfadenitis virus/bakteri, limfadenopati dan kanker tiroid. Pada usia diatas

40 tahun, dianggap sebagai suatu keganasan meliputi limfadenopati metastatik, limfadenopati

primer, neoplasma primer tiroid.

B. Insisi dan Drainase 2

Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Insisi

drainase merupakan tindakan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi

tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang mengandung antibiotik dan elemen

pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi (Hambali, 2008).

Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengelu-

arkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. Untuk memperta-

hankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber

15

Page 16: Finish

drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tun-

tas (Lopez-Piriz et al., 2007).

Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/

infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta

toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi

jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan

pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase

spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan

ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian et al,

1994).

C. Biopsi 3

Biopsi adalah pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium. Pemerik-

saan jaringan tersebut bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit atau mencocokkan

jaringan organ sebelum melakukan transplantasi organ. Resiko yang dapat ditimpulkan oleh

kesalahan proses biopsi adalah infeksi dan pendarahan.

Jaringan yang akan diambil untuk biopsi dapat berasal dari bagian tubuh manapun, di

antaranya kulit, perut, ginjal, hati, dan paru-paru.

D. Diabetes Melitus 4

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

16

Page 17: Finish

Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah. Diagnosis

tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.Guna penentuan diagnosis DM,

pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik

dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,ataupun

kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik

yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil

pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler

denganglukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasikDM seperti di bawah ini:

- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvaepada wanita.

17

Page 18: Finish

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu >200 mg/

dL sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL denganadanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 g glukosa lebih

sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pe-

meriksaan inimemiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulang-

ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan

khusus.

Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salahsatu

kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telahterstandardisasi

dengan baik.

DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada table dibawah. Apabila hasil

pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh,

maka dapat digolongkan kedalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa

darah puasa terganggu (GDPT).

1.TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGOdidapatkan glukosa

plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2.GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma puasa

didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2

jam < 140mg/dL.

18

Page 19: Finish

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes.

.1. Tujuan penatalaksanaan

- Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM,mempertahankan rasa nya-

man, dan mencapai target pengendalianglukosa darah.

- Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitaspenyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas danmortalitas DM.Untuk

mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalianglukosa darah, tekanan darah, berat

badan, dan profil lipid, melaluipengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan

perawatanmandiri dan perubahan perilaku.

19

Page 20: Finish

Pertimbangan Anestesi Pada Pasien DM 5

Preoperative

Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang mempunyai

resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu, meningkatkan

komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas perioperative pada pasien DM dihubungkan

dengan kerusakan organ-organ preoperative, walaupun sepertiga sampai setengah pasien DM

type II mungkin tidak menyadari bahwa mereka mempunyai hal itu. Paru-paru, kardiovasku-

lar, dan sistem renal memerlukan penilaian yang ketat. Rongent thorak preoperative pada

penderita DM lebih disukai untuk memastikan apakah terjadi pembesaran jantung, kongesti

pembuluh darah paru, atau efusi pleura. EKG preoperatif pada pasien DM juga menunjukan

terjadinya peningkatan insiden abnormalitas dari segment ST dan segmen gelombang T. My-

ocardial ischemia mungkin jelas terihat pada EKG meskipun tidak ada riwayat tentang

itu(silent myocardial ischemia and infarction).

Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom diabetic.

Gangguan refleks fungsi sisten saraf otonom meningkat sejalan dengan peningkatan usia, DM

lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-adrenergic. Neuropathy Otonom pada penderita

DM dapat membatasi kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi terhadap

perubahan volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidakstabilan kardiovaskuler

(seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian yang berhubungan dengan henti

jantung mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan penggunaan angiotensin-

converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers. Lebih lanjut, gangguan

fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan pengosongan lambung (gastroparesis).

Premedikasi dengan suatu antacid dan metoclopramide akan sangat membantu pada pasien

DM yang gemuk dengan tanda dari disfungsi otonom jantung. Bagaimanapun juga, disfungsi

20

Page 21: Finish

otonom dapat mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan

jantung.

Table 36–3. Clinical Signs of Diabetic Autonomic Neuropathy.

Hypertension

Painless myocardial ischemia

Orthostatic hypotension

Lack of heart rate variability 1

Reduced heart rate response to atropine and propranolol

Resting tachycardia

Early satiety

Neurogenic bladder

Lack of sweating

Impotence

1Normal heart rate variability during voluntary deep breathing (6 breaths/min) is greater

than 10 beats/min.

Gangguan ginjal pertama kali dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian pen-

ingkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering mengalami

gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian infeksi yang dihubungkan

dengan system kekebalan tubuh, perhatian yang tegas pada tehnik aseptic harus dilakukan

pada pemasangan semua kateter intravena dan monitoring invasive.

Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi pada protein jaringan dan

sindrom keterbatasan pergerakan sendi (limited-mobility joint syndrome). Pada preoperative,

21

Page 22: Finish

Pasien DM harus selalu dievaluasi secara rutin terhadap kemampuan pergerakan dari sendi

temporomandibular dan tulang leher untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi,

dimana kejadian ini terjadi sekitar 30% pada penderita DM tipe I.

Intraoperatif.

Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah menghindari

terjadinya hipoglikemi. Walaupun untuk mempertahankan kondisi euglikemi adalah hal yang

kurang hati-hati, hilangnya kontrol gula darah ( > 180mg/dL) juga membawa suatu resiko.

Hiperglikemi berhubungan dengan keadaan hiperosmolaritas, infeksi/peradangan dan luka

yang sulit sembuh. Yang lebih penting, hiperglikemi dapat memperburuk kondisi neurologis

setelah episoda iskemik serebral dan memperburuk hasil setelah tindakan bedah jantung atau

setelah akut miokard infark. Pengawasan yang ketat bermanfaat pada pasien yang akan

menjalani pembedahan kardiopulmonary bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan

dengan menurunkan infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien hamil

dengan DM telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun demikian, seperti

dicatat sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energi

membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya hipoglikemi harus dihindari.

Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien DM. Yang

paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total dosis insulin pada

bentuk insulin kerja intermediate (tabel 35-4). Untuk menurunkan resiko terjadinya

hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena terpasang dan diperiksa kadar gula darah

pagi hari. Sebagai contoh, seorang pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH (neutral

protamine Hagedorn; intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular atau insulin

Lispro (short-acting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang

150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi hari) dari

NPH secara subkutan atau IM sebelum pembedahan bersama dengan infus dekstrosa 5% (1,5

22

Page 23: Finish

mL/kg/jam). Penyerapan insulin subkutan atau IM tergantung dari aliran darah dijaringan,

namun bagaimanapun juga, selama pembedahan hal itu tidak dapat diramalkan. Penggunaan

dari jalur intravena dengan jarum infus yang kecil untuk pemberian cairan dextrose dapat

mencegah terjadinya pengaruh dari cairan intraoperatif dan obat yang lain. Tambahan

dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipoglikemik ( < 100 mg/dL ). Tetapi,

hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln reguler IV

sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan pada dewasa biasanya

menurunkan kadar glukosa darah sekitar 25 – 30 mg/dL. Ini harus ditekankan bahwa dosis-

dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi pasien dalam keadaan Katabolic ( misalnya,

sepsis, hyperthermia).

Table 36–4. Dua tehnik yang paling sering pada perioperatif manage-

men insulin pada penderita DM

  Bolus Administration Continuous Infusion

Preoperative

D5W (1.5 mL/kg/h) D5W (1 mL/kg/h)

NPH1 insulin (half usual AM dose) Regular insulin :

IntraoperativeRegular insulin (as per sliding

scale)Same as preoperative

Postoperative Same as intraoperative Same as preoperative

1NPH, neutral protamine Hagedorn.

Suatu metode alternative untuk pemberian insulin regular adalah dengan infuse

kontinyu. Keuntungan dari tehnik ini adalah lebih tepat dalam mengontrol pemberian insulin

23

Page 24: Finish

daripada dengan suntikan insulin NPH secara subkutan atau IM, hal ini terutama pada kondisi

yang berhubungan dengan perfusi dikulit dan otot yang jelek. 250 Unit insulin regular dapat

ditambahkan dalam 250 ml garam fisiologis dan infuse dimulai pada dosis 0,1 U/kg/jam. Jika

terjadi fluktuasi kadar gula darah, infuse insulin regular dapat ditambahkan dan disesuaikan

menurut rumusan yang berikut :

Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 – 150

mg/dL, walaupun beberapa kasus berada diatas target dari 120 mg/dL. Penambahan 20mEq

KCl pada setiap 1 liter cairan harus diperhatikan, karena insulin menyebabkan potassium

(Kalium) pindah ke intraseluler.

Jika pasien pada saat preoperatif meminum obat hipoglicemik oral sebagai pengganti

insulin, obat dapat dilanjutkan sampai hari akan dioperasi, tetapi pada sulfonylurea dan

metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum operasi karena mereka mempunyai waktu

paruh yang panjang. Keduanya dapat dimulai lagi pada saat postoperatif ketika pasien sudah

dapat minum per oral. Metformin dimulai jika fungsi renal dan hepar tetap adekuat. Efek obat

oral hipoglikemi dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang pada gangguan ginjal.

Banyak pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama masa intraoperatif dan

postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress menghadapi pembedahan yang menyebabkan

peningkatan dalam counterregulatory hormon (seperti, catecholamines, glucocorticoids,

growth hormone) dan mediator inflamasi seperti TNF dan interleukin. Setiap terjadi stress

hiperglikemi, akan terjadi peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM tipe II akan

bertoleransi kecil, pembedahan yang ringan biasanya tanpa memerlukan insulin dari luar.

Kunci untuk managemen pasien seperti ini adalah memantau kadar glukosa plasma

secara rutin dan menyadari adanya variasi antara pasien. Pasien DM bervariasi dalam

24

Page 25: Finish

kemampuan mereka untuk menghasilkan insulin endogenous. Pasien dengan DM tipe I

mungkin memerlukan penilaian glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe

2 cukup setiap 2 – 3 jam. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai stress pada

prosedur pembedahan tersebut. Pasien yang menerima insulin pada pagi hari tetapi tidak

menjalankan pembedahan sampai sore adalah cenderung menjadi hipoglikemi walaupun

diberikan infus dextrose. Portable spectrophotometers dapat menilai konsentrasi glukosa dari

setetes darah yang berasal dari ujung jari dalam semenit. Alat ini menilai konversi warna

suatu potongan glucose-oxidase-impregnated yang telah diunjukkan ke darah pasien untuk

suatu periode tertentu. Pemantauan gula di urin tidak cukup akurat untuk management

Intraoperatif (intraoperative manajement.)

Post-operative

Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya harus

tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini adalah variasi

individu dalam onset dan lamanya kerja dari preparat insulin (Tabel 36-5). Untuk contohnya,

onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1 jam, tetapi lama kerjanya lebih dari 6

jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada onset kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat

lebih lama dari 24 jam. Alasan lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas dari stress

hiperglikemi dalam masa rekoveri. Jika volume laktat yang terkandung pada IVFD banyak

diberikan intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 – 48 jam post operatif karena

hepar merubah laktat menjadi glukosa. Perlu diwaspadai juga kemungkinan terjadinya

hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah pada pasien DM terutama bila terdapat

keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca

bedah. Pemeriksaan EKG post operatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut,

penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung. Infark miokard post operatif

mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status

25

Page 26: Finish

mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskan, atau disritmia, maka perlu diwaspadai

kemungkinan terjadinya infark miokard.7

Table 36–5. Summary of Bioavailability Characteristics of the Insulins.1

  Insulin Type2

OnsetPeak

ActionDuration

Short-acting Lispro 10–20 min 30–90 min 4–6 h

Regular, Actrapid, Velosulin 15–30 min 1–3 h 5–7 h

  Semilente, Semitard 30–60 min 4–6 h 12–16 h

Intermediate-

acting

Lente, Lentard, Monotard, NPH,

Insulatard2–4 h 8–10 h 18–24 h

Long-acting Ultralente, Ultratard, PZI 4–5 h 8–14 h 25–36 h

1There is considerable patient-to-patient variation.

2NPH, neutral protamine Hagedorn; PZI, protamine zinc insulin

26

Page 27: Finish

E. General Anestesia 6

Definisi

General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan

depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara

intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya.

Trias anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum

dapat secara parenteral dan inhalasi.

Stadium anestesi terdiri dari :

a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi

Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia,

tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah

bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.

b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium

Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil

melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),

tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.

27

Page 28: Finish

c. Stadium III : stadium pembedahan

Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana, yaitu

:

1. Plana 1

Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dengan pernafasan

abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik,

pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks

farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.

2. Plana 2

Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekwensi

pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir

ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea

menghilang.

3. Plana 3

Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena

paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3

terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot

diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3

ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin

menurun.

4. Plana 4

Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg

makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin

menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks

sfingter ani menghilang.

28

Page 29: Finish

d. Stadium IV : stadium paralisis

Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti kegagalan

sirkulasi

Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahaan akan

berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang memiliki

kecemasaan yang cukup besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar pasien tersebut tetap

tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahaan.

Tahapan General Anestesi

- Induksi (awal pembiusan)

- Konduksi (maintenance pembiusan)

- Recovery (sadar kembali setelah anestesi)

Prosedur Anestesi Umum

Persiapan pra anestesi umum

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat

harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat

dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya

dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih

singkat.

Tujuan kunjungan pra anestesi:

- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.

- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan

kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan

seminimal mungkin.

29

Page 30: Finish

- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai

klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien

secara umum.

Persiapan pasien

A. Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga

pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta

berkenalan dengan pasien.

Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

- Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.

- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit

dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik

(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard,

angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.

- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi

dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obatobat

antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,

diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.

- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan

selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar,

perawatan intensif pasca bedah.

- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti:

merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik

30

Page 31: Finish

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka

mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan

seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit

yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium

secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah

kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di

atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini

harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji

semacam ini.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,

selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya

pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan

hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan

teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru

pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi

sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

D. Kebugaran untuk anestesi

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien

dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus

dihindari.

E. Masukan oral

31

Page 32: Finish

Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan

kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang

menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan

untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama

periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,

anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam

sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk

keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi

anesthesia.

F. Klasifikasi status fisik

Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of

Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau

kategori sebagai berikut:

ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.

ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan

penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak

akan

lebih dari 24 jam.

ASA VI: mati batang otak, potensi untuk donor organ.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda

32

Page 33: Finish

darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.

G. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :

-Meredakan kecemasan dan ketakutan

-Memperlancar induksi anesthesia

-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

-Meminimalkan jumlah obat anestetik

-Mengurangi mual muntah pasca bedah

-Menciptakan amnesia

-Mengurangi isi cairan lambung

-Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak

pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan

menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg

beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat

diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk

meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral

simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk

mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan

intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

Persiapan peralatan anestesi

33

Page 34: Finish

Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang

baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan

tujuan kita memberi anesthesia yang lancar dan aman.

Mesin anestesi

Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik

yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang

sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari

yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah

mesin yang memenuhi persyaratan berikut:

- Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat

- Ruang rugi (dead space) minimal

- Mengeluarkan CO2 dengan efisien

- Bertekanan rendah

- Kelembaban terjaga dengan baik

- Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:

- Sumber O2, N2O, dan udara tekan.

- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)

- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)

- Meter aliran gas (flowmeter)

- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)

- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)

- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk

menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah

34

Page 35: Finish

disepakati ialah: Oksigen (putih), N2O (biru), Udara (Putih hitam kuning), CO2(Abuabu),

Halotan (Merah), Enfluran (Jingga), Isofluran (Ungu), Desfluran (Biru), Sevofluran (kuning).

Sirkuit anestesi

Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan

saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien,

tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar

atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:

- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea

- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL,

adjustable pressure limiting valve)

- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)

Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk

- Kantong cadang (reservoir bag)

- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).

Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi,

katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O .

Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),

sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.

Sungkup muka

Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke

pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi

kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam

dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.

35

Page 36: Finish

Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang

baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada

reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di

sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan

dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.

Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup

dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula

untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut

rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk

ventilasi pasien.

Endotracheal tube (ETT)

ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan

memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah

dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga

dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.

Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan

panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

Sedangkan untuk bayi dan anak kecil cara memilih ukuran pipa trakea adalah dengan rumus :

- Diameter dalam pipa trakea (mm) : 4.0 + ¼ umur (th)

- Panjang pipa orotrakeal tube (cm) : 12 + ½ umur (th)

- Panjang pipa nasotrakeal (cm) : 12 + ½ umur (th)

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)

LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian

anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit

dan membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat

36

Page 37: Finish

dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan

patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru

rendah seperti penyakit jalan nafas restriktif.

Induksi dan rumatan anestesi

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak

sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur

akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan

pembedahan selesai.

Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan

yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat

dan lebih

baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:

S : Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah

atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5

tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway : Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring

(nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga

supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape : Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I : Introducer : Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan

C : Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction : Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya

Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau

rectal.

37

Page 38: Finish

a. Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang

jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan

hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam

kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan

darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien

yang kooperatif. Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk

rumatan anesthesia, tambahan apada analgesia regional atau untuk membantu prosedur

diagnostic. Obat yang biasa digunakan adalah : Tiopental dosis induksi 3-7 mg/kg disuntikan

perlahan dihabiskan 30-60 detik, Propofol dosis bolus induksi 2-2,5 mg/kg, Ketamin untuk

induksi intravena 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg/kg, Opioid (fentanil) dosis

induksi 20-50 mg/kg.

b. Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular

dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

c. Induksi inhalasi

Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat

- tidak berbau menyengat / merangsang

- baunya enak

- cepat membuat pasien tertidur.

Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.

Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang

dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.

d. Induksi per rectal

38

Page 39: Finish

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-

tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada

gerakan pada kelopak mata.

Rumatan anesthesia

Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anesthesia

intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan

anesthesia biasanya mengacu kepada trias anesthesia yaitu hipnotik-sedatif, analgesia dan

relaksasi.

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50

µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga

tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan

opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.

Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan

ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +

O2.

Rumatan inhalasi

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah

halotan 0,5-2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol % atau sevofluran 2-4 vol%

bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

Teknik anestesi

- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka

Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan

umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.

- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea

39

Page 40: Finish

Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan

sungkup muka.

- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali

Ekstubasi

Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk

dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

Pasca bedah

Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi

dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus

diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)

misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Selain itu

juga bisa diberikan obat-obatan simptomatik biasanya analgesia ketorolac dan antimuntah

ondansetron.

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Tn.B 46 tahun didiagnosis tumor colli dextra + DM yang akan dilakukan

operasi insisi drainase dan biopsi. Sebelum dilakukakan operasi ada beberapa tahapan dari

anestesi yang harus dilakukan yaitu preoperative, durante operatif dan post operatif seperti

yang akan dibahas dibawah ini.

A. Pre operatif 6,8,9,10,11,12

Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi

anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. Kondisi

pasien yang akan di operasi dalam kasus ini adalah ASA III yaitu pasien memiliki kelainan

40

Page 41: Finish

sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa dan

mengganggu aktivitas. Selanjutnya ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan

yaitu anestesi general. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :

a. Anamnesa dan Informed consent

Pada anamanesa didapatkan bahwa pasien mengeluh keluar nanah dan darah dari

benjolan di leher kanan sejak 1 minggu yang lalu dan bersifat nyeri. Hal ini yang mendasari

diagnosis tumor colli sehingga akan dilakukan pembedahan. Selain itu dilakukan Informed

consent tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien

dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan

terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan dengan baik dan pasien menyetujui.

b. Pemeriksaan fisik

Pada kasus ini, terdapat permasalahan dari tanda vital yaitu tekanan darah 140/90

mmHg. Pasien mengalami hipertensi grade 1. Dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini

dapat disimpulkan adanya kelainan pada jantung dimana terdapat pembesaran jantung. Pada

pasien ini tidak ditemukan adanya kekakuan pada sendi atlantooccipitalis dan

temporomandibular. Pada pemeriksaan leher tidak terdapat jejas, trakea teraba di tengah,

tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe. Teraba benjolan di regio colli

posterior sebanyak 1 buah ukuran diameter 5 cm, mobile, batas tegas, permukaan rata, nyeri

tekan, pus (+).

c. Masukan oral

Pasien dipuasakan, tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung

karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping

dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama

anestesia. Pada pasien dewasa umumnya dipuasakan selama 6 – 8 jam, anak kecil 4 – 6 jam,

dan pada bayi 3 – 4 jam.

41

Page 42: Finish

d. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik sehingga

memenuhi toleransi operasi. Namun ada permasalahan pada gula darah karena pasien

memiliki diabetes mellitus sejak 3 tahun yang lalu. Adapun pemeriksaan laboratorium pada

pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, waktu perdarahan, waktu

pembekuan, dan kimia klinik. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada

tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.

Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi distribusi oksigenasi

ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida. Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan

jaringan guna mencegah terjadinya syok. Jumlah trombosit, masa pembekuan dan defisiensi

faktor pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi perdarahan.

Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat meningkatkan koagulasi.

Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak kurang dari 50% nilai normal akan

menyebabkan perdarahan.

Protrombin time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen),

II (protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi trombin akibat aksi

tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan darah. Activated Protrombin Time (APTT)

digunakan untuk mendeteksi apakah terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan

kecuali faktor VII dan XII. Pada pasien ini, nilai trombosit, PT, dan APTT dalam batas

normal sehingga diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat.

Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya dalam berbagai

proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang dominan berada di petak cairan ekstrasel

(84%) dengan nilai normal 135-145 mEq/L. Natrium berperan dalam memelihara tekanan

osmotik dan volume cairan ekstrasel (Latief, 2001). Keadaan hiponatremia, bila tidak

dikoreksi secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan

42

Page 43: Finish

kerusakan otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal sangat

efisien dalam mengeksresikan Na.

Sebagian besar kalium terdapat di dalam sel (150 mEq/L). Pembedahan

menyebabkan katabolisme jaringan dan mobilisasi kalium pada hari-hari pertama dan kedua.

Fungsi kalium antara lain merangsang saraf otot, menghantarkan impuls listrik, membantu

utilisasi O2, asam amino dan glikogen. Kadar kalium serum normalnya 3-5 mEq/L. Hipo- dan

hiperkalemia merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia jantung dan

perlu segera dikoreksi. Pada pasien ini kadar Na dan K dalam batas normal.

Dari hasil pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, dan gula darah 2 jam

post prandial, pasien menderita diabetes melitus. Pada saat akan dilakukan operasi GDP 253

mg/dl (pkl 06.39).

B. Durante Operasi 6,8,9,10,11,12

Pada pasien ini dilakukan teknik General Anestesi (GA) dengan semiclosed dengan

sungkup muka (face mask). Sungkup muka menghantar udara / gas anestesi dari alat

resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa

sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor

dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut / hidung (Latief, 2001). Pasien berada dalam

posisi supine kemudian dilakukan pemberian obat anestesi secara intravena.

Selama pembedahan kadar glukosa harus ditetapkan : 1.) Sebelum induksi anestesi ;

2.) 30 menit sesudah induksi ; 3.) Setiap 45 menit selama tindakan ; 4.) Pada akhir tindakan ;

5.) 30 menit sesudah sadar ; 6.) Setiap jam selama 6 jam atau sampai boleh makan.

Pemeriksaan glukosa lebih sering (tiap 30 menit) bila glukosa > 200 mg/dl dan tiap 15 menit

jika < 80 mg/dl selama anestesia. Pada pasien ini, saat dilakukan pembedahan, gula darah

puasa sangat tinggi (253 gr/dL) dan tidak diberikan infus insulin.

43

Page 44: Finish

Pasien diberikan medikasi dengan propofol sebanyak 130 mg dan fentanil sebanyak

50 μg. Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso-profil fenol, berupa

cairan berwarna putih susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi,

mulai kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan kesadaran segera terjadi

setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB),

pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai

efek samping misalnya mual, muntah, sakit kepala, dan lainnya.

Propofol bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang

diberikan. Selain itu, propofol juga mendepresi sistem kardiovaskuler sehingga terjadi

penurunan tekanan darah yang segera dengan kompensasi peningkatan denyut nadi. Propofol

tidak mendepresi sintesis hormon adrenal dan tidak menimbulkan pelepasan histamin.

Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek analgetik maupun

relaksasi otot (Mangku, 2010). Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri. Oleh

karena itu, pada pasien ini diberikan tambahan fentanil sebagai analgetik.

Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang bekerja terutama pada

reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang

poten, mempunyai potensi analgesia 50-100 kali efek morfin, dan bersifat lipofilik yang

memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanil banyak

digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat

dibandingkan morfin dan meperidin (sekitar 5 menit) dengan lama kerja 30 menit. Pemberian

secara infus akan memperpanjang lama kerja analgesik opioid tersebut. Fentanil bersifat

depresan terhadap saraf pusat, pernapasan, menekan respon sistem hormonal dan metabolik

akibat stress anestesia dan pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular.

Dosis fentanil sebagai analgesia adalah 1-2 μg/KgBB.

44

Page 45: Finish

Tahap maintenance dilakukan dengan pemberian O2, N2O, dan Isofluran. Rumatan

anestesia mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis), analgesia cukup,

diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi oto lurik yang

cukup. Nitrous oksida (N2O) berkhasiat sebagai analgesia dan tidak memiliki khasiat

hipnotikum. Khasiat analgesianya relatif lemah oleh karena itu dikombinasikan dengan

oksigen. Pada pemakaiannya yang lazim dalam anestesia, N2O tidak menimbulkan pengaruh

negatif terhadap sistem kardiovaskuler, hanya menimbulkan sedikit dilatasi pada jantung.

Sistem organ lain seperti sistem respirasi, ginjal, reproduksi, otot rangka, endokrin, dan

metabolisme tidak mengalami perubahan.

Dalam penggunaannya, N2O dapat dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan

yang bervariasi, N2O : O2 = 70 : 30 pada pasien normal, N2O : O2 = 60 : 40 pada pasien yang

memerlukan tunjangan oksigen lebih banyak, dan N2O : O2 = 70 : 30 pada pasien risiko

tinggi. Pada kasus ini digunakan N2O sebanyak 2L demikian O2 sebanyak 2L. Pada akhir

anestesia, setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga

terjadi pengenceranO2 dan terjadi hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia

difusi dapat diberikan O2 100% selama 5-10 menit dan hal ini dilakukan pada pasien.

Pada kasus ini, Isofluran 1,5% digunakan sebagai komponen hipnotik dalam

pemeliharaan anestesia umum. Selain itu, isofluran memiliki efek analgesi ringan dan

relaksasi otot ringan. Dosis pemeliharaan dengan pola napas spontan adalah 1 - 2,5 %,

sedangkan pada napas kendali berkisar antara 0,5 - 1%. Isofluran akan mendepresi sistem

saraf pusat sesuai dengan dosis yang diberikan, pada dosis anestesia tidak menimbulkan

vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta mekanisme autoregulasi tetap stabil.

Terhadap kadar gula darah isofluran tidak memiliki pengaruh yang nyata.

Tekanan darah dipantau setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan

darah yang bermakna. Penurunan tekanan sistole pada pasien sekitar 20 mmHg dan belum

45

Page 46: Finish

mencapai 20% dari tekanan darah awal sehingga tidak perlu diberi tindakan untuk menaikkan

tekanan darah. Selain itu, nadi dan SpO2 juga dipantau dengan bantuan pulse oxymetri untuk

mengetahui ada tidaknya peningkatan atau penurunan nadi maupun gangguan perfusi O2.

Selain itu, perlu juga dipantau warna kulit dan suhu. Jika pasien merasa dingin serta

berkeringat kemungkinan mengalami hipoglikemi dan harus di periksa kadar gula darah serta

berikan glukosa secara intravena.

Selanjutnya, pasien diberikan ketorolac 30 mg iv dan ondansetron 4 mg iv.

Ketorolac 30 mg diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut

sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non

steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga digunakan sebagai

analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai anti infalamasi. Obat ini mempunyai

efektiftas analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan

morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan secara

intramuskular dan intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat oral.

Ondansetron secara selektif akan menghambat reseptor serotonin 5 - HT 3, dengan

sedikit atau tanpa efek terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5 – HT 3 yang terdapat perifer

(eferen vagal abdominal) dan sentral (chemoreceptor trigger zone pada area postrema dan

nukleus traktus solitarius) yang mempunyai peranan penting dalam permulaan refleks

muntah. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk ondansetron sebagai

pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum induksi

anestesi atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan

pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.

Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 1000 ml untuk mengganti

defisit cairan puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat

pembedahan serta mengganti perdarahan yang terjadi. Cairan Ringer Laktat merupakan

46

Page 47: Finish

cairan yang paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak dipergunakan

sebagai replacement therapy, antara lain untuk : syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka

bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan di metabolisme oleh hati menjadi bikarbonat

untuk memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis.

Terapi cairan durante operasi dijabarkan sebagai berikut :

Usia : 46 tahun

Berat badan : 65 kg

Terapi Cairan :

Maintenance = (4 x 10 + 2 x 10 + 1 x 45) = 105 cc

Pengganti Puasa

(PP)

=

=

=

6 x maintenance

6 x 105

630

Stress Operasi = 6cc/kgBB (Sedang)

= 6cc x 65

= 390 cc

Jam I = ½ PP + M + SO

= 315 + 105 + 390

= 810 cc

Jam II = ¼ PP + M + SO

=

=

157,5 + 105 + 390 cc

652,5 cc

Estimated Blood Volume = 65 x BB

= 65 x 65 kg

= 4225 cc

Allowed Blood Loss = 20% x EBV = 20% x 4225 = 845 cc

47

Page 48: Finish

C. Post operatif 6,8,9,10,11,12,13

Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Pengawasan ketat di

UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi) harus seperti sewaktu di kamar bedah sampai pasien

bebas dari bahaya, karena itu perlu peralatan monitor yang baik. Tensimeter, pulse oxymeter,

EKG, peralatan resusitasi jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri.

Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan

adekwat serta kesadaran masih belum sadar betul. Tekanan darah selama 30 menit pertama

pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg. Kemudian digunakan penilaian pemulihan anestesi

dengan menggunakan skala aldrette. Pada pasien ini, total penilaian dengan menggunakan

skala aldrette adalah 9 sehingga pasien dapat di bawa ke ruang perawatan. Dianggap sudah

pulih dari anestesia dan dapat pindah dari ruang pemulihan ke ruang  perawatan apabila skor

> 8. Komponen dari skor aldrette dapat dilihat pada tabel berikut :

Komponen Skor

Gerakan

Dapat menggerakkan ke 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah

Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah

Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah

2

1

0

Pernapasan

Bernapas dalam dan kuat serta batuk

Bernapas berat atau dispneu

Apnue atau napas dibantu

2

1

0

Tekanan Darah

Sama dengan nilai awal 2

48

Page 49: Finish

Tekanan darah berubah 20-50% dari nilai awal

Tekanan darah lebih dari 50% dari nilai awal

1

0

Kesadaran

Sadar penuh

Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan

Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan

2

1

0

Warna kulit

Merah

Pucat, ikterus

Sianosis

2

1

0

Pada pasien ini juga diberikan medikasi post operatif yaitu ketorolac 30 mg jika

pasien kesakitan dan ondansetron 4 mg jika pasien mual muntah. GDS pasien setelah di

ruangan perawatan adalah 192 mg/dl (pkl 16.36) yang menunjukan tidak terjadi hiperglikemi.

BAB IV

KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, pasien Tn. B dengan diagnosis tumor colli dextra dengan diabetes

mellitus tipe II yang tidak terkontrol, dilakukan tindakan insisi drainase dan biopsi.

Pengontrolan kadar gula darah perlu dilakukan saat pre operatif, intra operatif dan

post operatif untuk menghindari hipoglikemi serta mencegah komplikasi dari

hiperglikemi. GDP pasien saat akan operasi adalah 253 mg/dl.

2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik general anestesi menggunakan semi closed

face mask. Sebagai medikasi induksi diberikan propofol 130 mg dan fentanil 50 µg,

dan sebagai maintenance digunakan isofluran 1,5%, O2, dan N2O. medikasi

49

Page 50: Finish

tambahan diberikan Ketorolac 30 mg sebagai analgesic dan Ondansetron 4 mg

sebagai anti muntah.

3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 1000 ml.

4. Lama operasi pada pasien ini adalah 20 menit.

5. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang

pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekwat serta

kesadaran masih belum sadar betul. Kemudian digunakan penilaian pemulihan

anestesi dengan menggunakan skala aldrette. Pada pasien ini, total penilaian dengan

menggunakan skala aldrette adalah 9 sehingga pasien dapat di bawa ke ruang

perawatan.

6. GDS pasien ini setelah operasi adalah 192 (pkl 16.36) yang menunjukan tidak terjadi

hiperglikemi.

50