5
Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan Selasa, 17 Agustus 2010 | 23:45 WIB Ilustrasi/Net Oleh : *) Ir. Ichsanudin Setelah krisis multi dimensi yang terjadi tahun 1997, kita semua mengetahui bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini masih dalam upaya bangkit kembali melalui reformasi segala bidang. Selain pemulihan pasca krisis yang merupakan agenda mendesak untuk diselesaikan, di depan kita juga sudah terbentang beragam tantangan yang lebih besar yang satu diantaranya adalah masalah Perubahan Iklim (Climate Change) yang muncul akibat Pemanasan Global (Global Warming). Persoalan penting ini kadangkala dianggap klise oleh sebagian kalangan karena sering disebut dan dibicarakan tanpa pengetahuan dan pengertian yang benar serta pemahaman mendalam. Oleh karena itu, sebagian kalangan cenderung mengabaikan realitas peristiwa terkait, dampak negatif dan konsekuensi logis yang akan menyertainya. Sebagaimana diketahui bahwa di seputar isu lingkungan global ini telah memunculkan sedikitnya 2 fakta yang terjadi. Pertama, adalah fakta tentang masalah Global Warming saat ini, yang bisa diketahui melalui film dokumenter An Inconvenient Truth yang diproduksi oleh Al Gore. Wakil Presiden AS (1993-2001) pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton itu berhasil menyakinkan dunia bahwa Pemanasan Global memang terjadi. Mengikuti sebuah temuan ilmiah mengenai energi "umpan balik" atau back to space dalam earth-athmosphere energy balance, diyakinkan bahwa manusia telah memindahkan Karbon Dioksida (CO2) -salah satu emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab pemanasan global- dari perut bumi ke atmosfir, dengan cara membakar minyak bumi sebagai sumber energi dalam kecepatan yang menakjubkan dan berlangung selama 150 tahun terakhir. Akibatnya, panas pantulan dari bumi, yang seharusnya lepas ke angkasa, tertahan di atmosfir dan memantulkannya kembali ke permukaan bumi, yang pada giliran berikutnya terjadi peningkatan temperatur -fenomena ini disebut Efek Rumah Kaca. Kedua, sebuah fakta yang mengungkap bahwa Global Warming merupakan siklus alam yang tidak dapat dicegah karena secara kronologisnya pemanasan global ini telah terjadi semenjak 130.000 tahun lampau, disertai juga dengan siklus pendinginan (Medieval Warming). Dampak yang muncul akibat pemanasan global diantaranya kekeringan, bencana kelaparan akibat perubahan masa tanam, dan munculnya beragam masalah kesehatan. Dalam fakta kedua ini, sebagian ahli peneliti menyebutkan bahwa beberapa dampak negatif dari pemanasan global bisa direduksi melalui kebijakan fleksible yang bersifat adaptasi dari tiap negera dalam menyikapi

Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan

Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan BerkelanjutanSelasa, 17 Agustus 2010 | 23:45 WIB

Ilustrasi/NetOleh : *) Ir. IchsanudinSetelah krisis multi dimensi yang terjadi tahun 1997, kita semua mengetahui bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini masih dalam upaya bangkit kembali melalui reformasi segala bidang. Selain pemulihan pasca krisis yang merupakan agenda mendesak untuk diselesaikan, di depan kita juga sudah terbentang beragam tantangan yang lebih besar yang satu diantaranya adalah masalah Perubahan Iklim (Climate Change) yang muncul akibat Pemanasan Global (Global Warming). Persoalan penting ini kadangkala dianggap klise oleh sebagian kalangan karena sering disebut dan dibicarakan tanpa pengetahuan dan pengertian yang benar serta pemahaman mendalam. Oleh karena itu, sebagian kalangan cenderung mengabaikan realitas peristiwa terkait, dampak negatif dan konsekuensi logis yang akan menyertainya.Sebagaimana diketahui bahwa di seputar isu lingkungan global ini telah memunculkan sedikitnya 2 fakta yang terjadi. Pertama, adalah fakta tentang masalah  Global Warming saat ini, yang bisa diketahui melalui film dokumenter  An Inconvenient Truth yang diproduksi oleh Al Gore. Wakil Presiden AS (1993-2001) pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton itu berhasil menyakinkan dunia bahwa Pemanasan Global memang terjadi. Mengikuti sebuah temuan ilmiah mengenai energi "umpan balik" atau back to space dalam earth-athmosphere energy balance, diyakinkan bahwa manusia telah memindahkan Karbon Dioksida (CO2) -salah satu emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab pemanasan global- dari perut bumi ke atmosfir, dengan cara membakar minyak bumi sebagai sumber energi dalam kecepatan yang menakjubkan dan berlangung selama 150 tahun terakhir. Akibatnya, panas pantulan dari bumi, yang seharusnya lepas ke angkasa, tertahan di atmosfir dan memantulkannya kembali ke permukaan bumi, yang pada giliran berikutnya terjadi peningkatan temperatur -fenomena ini disebut Efek Rumah Kaca.Kedua, sebuah fakta yang mengungkap bahwa Global Warming merupakan siklus alam yang tidak dapat dicegah karena secara kronologisnya pemanasan global ini telah terjadi semenjak 130.000 tahun lampau, disertai juga dengan siklus pendinginan (Medieval Warming). Dampak yang muncul akibat pemanasan global diantaranya kekeringan, bencana kelaparan akibat perubahan masa tanam, dan munculnya beragam masalah kesehatan. Dalam fakta kedua ini, sebagian ahli peneliti menyebutkan bahwa beberapa dampak negatif dari pemanasan global bisa direduksi melalui kebijakan fleksible yang bersifat adaptasi dari tiap negera dalam menyikapi setiap perubahan iklim. Dan pada kondisi tertentu, pemanasan global akan memiliki manfaat terhadap peningkatan panen akibat terjadinya peningkatan stimulan CO? di udara, dan menurunkan angka kematian dibandingkan saat iklim berubah dingin -pendinginan global.Meskipun secara scientific-ideology kedua fakta tentang Pemanasan Global tersebut memiliki konteks pemahaman berbeda dan cenderung berlawanan, sebenarnya masih ada keterkaitan, saling mendukung dan komplementer. Materi ceramah ilmiah tentang Pemanasan Global, yang selanjutnya dibukukan dalam An Inconvenient of Truth, The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It (2006), telah menjadi kampanye lingkungan paling radikal dan provokatif secara internasional dan sudah dikonsumsi sebagian besar masyarakat serta menjadi narasi besar yang membangkitkan rasa keprihatinan masif terhadap kondisi parah bumi.Dalam konteks ini, industri dan kota besar disebut sebagai kontributor terbesar emisi gas CO? penyebab pemanasan global, dan kecenderungan negatif dalam hal kelestarian lingkungan mengakibatkan beberapa kerusakan alam yang selanjutnya menimbulkan kenaikan temperatur sekitar. Oleh karena selanjutnya semua ini akan berdampak secara signifikan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan di bumi, khususnya kesejahteraan umat manusia, maka muncul beberapa supporting impact seperti upaya melestarikan hutan, penghijauan kota dan industri atau kawasan, gaya hidup efisien dan hemat energi, pencegahan dan

Page 2: Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan

penanggulangan bencana, peduli terhadap kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).Adanya kepedulian masyarakat internasional terhadap masalah pemanasan global ini ditandai dengan mulai diadopsinya Konvensi Perubahan Iklim oleh sebagian besar Negara pada KTT Bumi, bulan Juni 1992, di Rio de Janiero, Brazil. Dimana, Tujuan yang paling utama dari pembentukan Konvensi Perubahan Iklim Internasional tersebut adalah mengurangi emisi GRK sehingga konsentrasi gas-gas tersebut tidak melampaui batas aman dan tidak membahayakan iklim dunia.Sejak saat itu lompatan besar perihal Pemanasan Global memasuki babak yang serius hingga dihasilkannya Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang mengharuskan Negara-negara Industri Maju (Annex-1) mengurangi emisi gas tertentu guna tercapainya stabilitas konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Disamping itu, skema Konvensi Internasional dimaksud selanjutnya juga mewajibkan para pihak melakukan; Joint Implementation(Implementasi Bersama), Emmission Trading (Perdagangan Emisi), dan Clean Development Mechanism - CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) yang mengharuskan Negara-negara Industri Maju dalam Annex-1 membantu Negara lainnya dalam Non Annex-1, dalam rangka pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan, diantaranya melalui investasi, pendanaan dan alih teknologi.Walaupun pada KTT Perubahan Iklim Ketiga di Kyoto, Jepang tersebut telah ditetapkan dan sepakat untuk mengikat secara hukum pengurangan emisi gas rumah kaca rata-rata 6% sampai 8% di bawah level pada tahun 1990 untuk tahun 2008-2012, kenyataannya sampai tahun 2004 emisi gas rumah kaca malah mencapai 20% diatas level tahun 1990 sebagaimana laporan IPCC AR-4.Sedangkan perjanjian mengenai mekanisme yang fleksibel untuk pelaksanaan bersama dari Perdagangan Emisi dan Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM, serta keputusan adanya aturan operasional diantara para pihak dalam Protokol Kyoto tentang perdagangan karbon dihasilkan dalam tahun 2001 pada KTT Perubahan Iklim Keenam di Bonn, Jerman dan Ketujuh di Moroko.Dimana dalam kenyataan yang terkait kedua hal ini juga ditemukan beragam permasalahan seperti kelembagaan, pendanaan, mekanisme dan aturan main yang cenderung rumit didalamnya. Kenyataan-kenyataan tersebut jelas menunjukan adanya semacam keengganan di Negara maju melakukan tindakan signifikan dalam hal adaptasi dan mitigasi guna stabilitas temperatur global. Ironisnya lagi, sampai hari ini sikap AS, yang merupakan negeri asal mulainya masalah global warming, tetap menolak dengan tidak dilakukannya ratifikasi terhadap Protokol Kyoto.Masalah Pemanasan Global yang disertai dengan Perubahan Iklim dianggap sebagai"commodity" seputar -badan, lembaga atau organisasi terkait- lingkungan semata dan bukan menjadi tanggung jawab para pihak. Padahal, segenap upaya yang akan dilakukan untuk tercapainya stabilitas konsentrasi emisi gas rumah kaca pada tingkat yang aman, dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan kondisi perubahan iklim sekarang ini mutlak dibutuhkan peran serta aktif semua pihak sebagai wujud konkrit adanya kesadaran dan tanggung jawab bersama.Berdasarkan laporan ke-4 (Assesment Report 4) Intergovernmental Panel on Climate Change(IPCC) tahun 2007, kegiatan manusia diyakini memberikan andil yang besar dalam percepatan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir sehingga mengakibatkan kenaikan suhu bumi yang mendorong terjadinya perubahan iklim. Dampak yang timbul akibat fenomena ini beragam dan dirasakan oleh manusia di seluruh dunia; mulai dari kenaikan permukaan air laut, kekeringan hingga gangguan terhadap ketahanan pangan. Korban utama yang mengalami dampak ini adalah masyarakat miskin, terutama di negara-negara yang bukan negara maju. Karena kehidupannya sangat bergantung pada sektor-sektor yang dipengaruhi oleh iklim seperti pertanian dan perikanan, serta beberapa ketidakmampuan, khususnya secara ekonomi untuk menanggulangi dampaknya telah menjadikan masyarakat ini rentan terhadap perubahan iklim.Upaya penanggulangan dampak perubahan iklim terutama di negara miskin dan negara berkembang menimbulkan dilema antara mendahulukan perkembangan ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan atau menanggulangi dampak perubahan iklim. Karena, pada umumnya negara-negara tersebut memerlukan energi dari bahan bakar fosil sebagai komponen pendukung dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.Selain mudah diperoleh, bahan bakar fosil tergolong murah harganya. Namun, pembakaran sumber energi fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup tinggi, dan bila dibiarkan berlangsung terus menerus, fenomena pemanasan global akan semakin parah. Sementara itu, Protokol Kyoto menjabarkan lebih rinci tentang apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah perubahan iklim, namum tidak memuat pernyataan langsung mengenai usaha penanggulangan masalah kemiskinan.Hanya disebutkan bahwa salah satu tujuan Clean Development Mechanism (CDM) -yang merupakan satu-satunya mekanisme fleksibilitas yang melibatkan negara berkembang ini-  adalah untuk memfasilitasi negara-negara dalam Non Annex 1, yaitu negara-negara berkembang mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Lantas, bagaimana caranya agar negara-negara miskin dan berkembang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonominya dan menanggulangi kemiskinan sambil berkontribusi menangani dampak perubahan iklim global dewasa ini.?Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim terdapat bagian pasal yang menjadi acuan dalam penyusunan Protokol Kyoto diatas menyebutkan bahwa aktivitas yang terkait dengan perubahan iklim tidak

Page 3: Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan

boleh mengganggu upaya pembangunan ekonomi dan harus tetap menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penanganan perubahan iklim harus berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Dalam melakukan respon terhadap perubahan iklim, negara berkembang harus mempertimbangkan usaha-usaha penanggulangan kemiskinan dan hal ini penting menjadi prioritas negara berkembang.Artinya, meskipun penanggulangan masalah kemiskinan tidak disinggung secara jelas dalam Protokol Kyoto, sebagaimana rincian penjabaran lebih mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah perubahan iklim, mensyaratkan bahwa setiap aktivitas dimaksud harus memberikan manfaat konkret kepada masyarakat miskin yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dan sekarang ini dunia telah menjadikan skema Konvensi Perubahan Iklim Internasional berikut mekanisme yang ada sebagai "solusi" global guna menyelamatkan bumi dan keberlangsungan hidup didalamnya.Bagi Indonesia, yang termasuk Negara dalam Non Annex-1 dan juga telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No: 6 tahun 1994 serta UU No: 17 tahun 2004 untuk Protokol Kyoto, fenomena internasional di atas merupakan peluang sekaligus tantangan sehubungan dengan upaya percepatan menuju pembangunan berkelanjutan. Melalui pengembangan proyek-proyek CDM meliputi beberapa sektor potensial disertai kolaborasi inovatif didalamnya sangat memungkinkan dapat menarik investasi, pendanaan maupun alih teknologi dari Negara industri maju dalam Annex-1 sebagaimana tertuang dalam skema Konvensi Internasional tersebut, dan memaksimalkan akses pada beberapa bidang tertentu untuk bantuan yang lebih menyentuh kepada kehidupan masyarakat miskin dan paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dan secara simultan menetapkan program-program prioritas terkait pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan percepatan beberapa sektor dengan komponen pendukung lainnya seiring konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang telah dikibarkan sebagai fatwa di bidang perencanaan pembangunan.Serupa halnya dengan masalah perubahan iklim internasional, konsep pembangunan berwawasan lingkungan ini telah menjadi bahan pembicaraan dimana-mana, sehingga hampir tidak satu pun dokumen perencanaan yang tidak mencatumkan kata tersebut dalam beberapa tahun belakangan ini. Istilah pembangunan berwawasan lingkungan disini terlalu banyak dipergunakan sehari-hari sehingga mengakibatkan hilangnya makna, arti kata itu sendiri karena terlalu sering dibahas dan dibicarakan semata.Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah yang merupakan produk hukum dan produk politik, sebagai landasan terciptanya pembangunan berwawasan lingkungan, yang seharusnya ditaati justru paling sering dilanggar. Sehingga, bukan merupakan hal yang aneh apabila ada pembangunan suatu wilayah kota bertentangan dengan peruntukannya, yang pada akhirnya sebuah kota tumbuh seperti tanpa rencana.Seperti halnya, suatu kawasan yang semestinya untuk pemukiman didirikan suatu pabrik. Sebaliknya kawasan pemukiman justru dibangun di wilayah yang disediakan sebagai daerah resapan air yang pada giliran selanjutnya menurunkan kualitas air tanah yang semakin memburuk, dan bencana banjir melanda seiring dengan datangnya musim hujan. Disamping akibat penyalahgunaan fungsi daerah resapan air yang berubah fungsi menjadi pemukiman, kondisi ini diperparah lagi dengan pemusnahan hutan kota atau ruang terbuka hijau lainnya yang digunakan untuk membangun gedung-gedung atau kawasan bisnis dan industri.Kebiasaan yang sering muncul dan dilakukan oleh Pemerintah kota serta pihak swasta terkait adalah merubah fungsi ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun, yang kemudian telah menjadikan kota bertumbuh dengan pesatnya, "memangsa" kawasan hijau, menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah terpanjang, mencemari bumi dan sumber airnya sendiri.Kehijauan kota dengan hutan dan taman-taman didalamnya digantikan dengan hutan beton dan belantara gedung-gedung tinggi. Padahal, kehadiran hutan dan taman-taman kota sebagai ruang publik (public sphere) dapat menimbulkan ketenangan secara psikologis bagi warga kotanya. Pembangunan kota atau kawasan sangat jauh dari idealnya Building Converage Ratio (BCR) atau perbandingan antara bagian terbangun dengan daerah terbuka sebesar 40 berbanding 60, yang memberikan porsi ruang terbuka yang cukup bagi terciptanya lingkungan yang selaras dengan alam.Dampak dari semua itu, disamping hilangnya fasilitas umum yang biasa digunakan warga masyarakat dan tempat bermain anak, juga rusaknya sistem tata keseimbangan sumber daya lingkungan. Padahal, untuk mengatasi persoalan krisis iklim global saat ini mutlak dibutuhkan hadirnya sebuah pembangunan berkelanjutan yang concern terhadap lingkungan dan manusia selanjutnya.Dari kondisi obyektif semacam ini, meskipun agak terlambat nampaknya mulai disadari pemerintah dan sebagian kalangan masyarakat. Intinya, bahwa perkembangan kota terasa menyebabkan banyak masalah seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, ekspansi infrastuktur, industri, bisnis dan sentra-sentra perkotaan. Diantara permasalahan kota dewasa ini, salah satunya adalah adalah terjadinya perubahan fungsi lahan yang cenderung mengabaikan soal lingkungan.Seiring dengan munculnya masalah pemanasan global dan krisis iklim sekarang ini, pemerintah dan beberapa pihak terkait disini agaknya menyadari tentang keberadaan ruang terbuka hijau, yang sesuai dengan standar Building Converage Ratio (BCR) dalam pembangungan, sangat bermanfaat untuk stabilitas sistem lingkungan dan dapat menjauhkan manusia dari berbagai bencana merugikan seperti banjir, keterbatasan air bersih, gangguan kesehatan, dan lain sebagainya.

Page 4: Fenomena Perubahan Iklim Dan Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan

Sehingga pada perkembangannya dewasa ini muncul beragam aktivitas program dan kegiatan digulirkan cenderungan lebih sehat dan serba hijau untuk dilaksanakan disertai dukungan dan peran aktif segenap anggota masyarakat didalamnya. Fenomena gerakan rehabilitasi hutan dan taman-taman kota, "one man one tree", penghijauan lingkungan dan kegiatan-kegiatan pembangunan berorientasi energi hemat, bersih dan terbarukan ataugreen building merupakan beberapa contoh yang nyata dalam konteks kekinian.Langkah positif lainnya juga ditunjukkan dengan munculnya beberapa rencana program prioritas konstruktif dalam rangka percepatan dengan tetap menjamin terlaksananya pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat yang rentan terhadap dampak masalah pemanasan global, dan kehidupannya sangat tergantung pada sektor-sektor yang dipengaruhi iklim seperti pertanian dan perikanan.Dalam upaya pengembangan dimunculkan sebuah model kawasan perkotaan yang terbentuk dari potensi-potensi ekonomi pedesaan, yang dapat mendorong perkembangan sektor - sektor dimaksud yang sifatnya subsistem atau tradisional menjadi bersifat modern. Sehingga kedepannya dapat bermanfaat, memiliki nilai tambah atau bersifat profit oriented dalam bentuk agroindustri dan agrobisnis, yang pada gilirannya kemudian akan tercipta aglomerasi ekonomi yang seimbang seiring proses perkembangannya. Dan penghijauan pun dilakukan secara berkesinambungan, mengubah lahan tandus, gersang, kritis dan kurang produktif menjadi "ijo royo-royo", lebih produktif serta berpotensi mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat, dan bukan sebaliknya.Model pengembangan kawasan serupa ini, selain bersifat antisipasi terhadap kecenderungan negatif yang menyertai perkembangan kota umumnya, merupakan langkah konkrit bagi "solusi" masalah global dewasa ini. Sebagaimana dimaksud dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim bahwa segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penanganan perubahan iklim harus berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Semangat serupa ini tentunya perlu daya dukung yang konkrit dari semua pihak yang terkait didalamnya. ***