11
29 FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA PADA PT AMANAH DI MAKASSAR LIFE PHILOSOPHY OF BUGINEESE TOWARD CORPORATE CULTURE OF PT AMANAH FINANCE IN MAKASSAR Safriadi Universitas Hasanuddin Department of Anthropology FISIP UNHAS Jl, Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea, Makassar Pos-el: [email protected] Diterima: 10 Januari 2020; Direvisi: 11 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT The integration of the life philosophy of the Bugineese at PT Amanah FinanceMakassar. Type of research is a descriptive with qualitative paradigm which explains the life philosophy of the Buginese that integrated on the organizational culture of the company. Methods of data collection using observation, in-depth interviews and literary study techniques in order to find written data related to the theme of research. The results showed that the Bugis cultural value system such as “mappasona ri dewwata sewwae, resopa temmangingi na malomo naletei pemmase dewatae, and sipatuo sipatokkong” manifested in the company philosophy called Jalan Kalla, which became the basic value and reference in employee activities and management levels of the company. This Jalan Kalla becomes the fundamental pattern in formulating company policies and business strategies in order to continue its life cycle. Keywords: Philosophy of life, value system, and organizational culture. ABSTRAK Tulisan ini mendeskripsikan tentang falsafah hidup dan sistem nilai budaya masyarakat Bugis pada PT Amanah Finance Makassar.Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menjelaskan falsafah hidup masyarakat bugis yang terintegrasi pada budaya organisasi perusahaan. Metode pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan untuk menemukan data tertulis terkait tema penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa falsafah hidup masyarakat Bugis seperti, mappasona ri dewwata sewwae, resopa temmangingi na malomo naletei pemmase dewatae, dan sipatuo sipatokkong” yang diwujudkan dalam filosopi perusahaan yang disebut dengan Jalan Kalla menjadi nilai dasar dan acuan dalam beraktivitas karyawan maupun level manajemen perusahaan. Jalan Kalla tersebut menjadi pola dasar dalam merumuskan kebijakan dan strategi bisnis perusahaan dalam rangka melanjutkan daur hidupnya. Kata kunci: Falsafah hidup, sistem nilai, dan budaya organisasi. PENDAHULUAN Budaya adalah konsep yang sering mencul pemikiran misalnya tentang karya seni seperti Monet, simfoni Mozart, atau balerina dalam menari ballet. Budaya dalam kajian budaya populer sering merujuk pada seni. Seseorang yang berbudaya memiliki pengetahuan dan kelektor karya seni. Namun dalam antropologi hal-hal seperti ini hanyalah aspek dari budaya. Jadi menurut para antropolog untuk memahami konsep budaya kita perlu berpikir lebih luas dan holistik. Antropologi menempatkan konsep kebudayaan sebagai inti kajian. Namun hingga kini belum ada kesepakatan di kalangan ilmuwan antropologi mengenai definisi kebudayaan dengan kata lain bahwa terdapat perbedaan di kalangan ahli antropologi dalam memahami konsep kebudayaan. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan asumsi

FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

29

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA PADA PT AMANAH DI MAKASSAR

LIFE PHILOSOPHY OF BUGINEESE TOWARD CORPORATE CULTURE OF PT AMANAH FINANCE IN MAKASSAR

SafriadiUniversitas Hasanuddin

Department of Anthropology FISIP UNHASJl, Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea, Makassar

Pos-el: [email protected]: 10 Januari 2020; Direvisi: 11 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACTThe integration of the life philosophy of the Bugineese at PT Amanah FinanceMakassar. Type of research is a descriptive with qualitative paradigm which explains the life philosophy of the Buginese that integrated on the organizational culture of the company. Methods of data collection using observation, in-depth interviews and literary study techniques in order to find written data related to the theme of research. The results showed that the Bugis cultural value system such as “mappasona ri dewwata sewwae, resopa temmangingi na malomo naletei pemmase dewatae, and sipatuo sipatokkong” manifested in the company philosophy called Jalan Kalla, which became the basic value and reference in employee activities and management levels of the company. This Jalan Kalla becomes the fundamental pattern in formulating company policies and business strategies in order to continue its life cycle.

Keywords: Philosophy of life, value system, and organizational culture.

ABSTRAKTulisan ini mendeskripsikan tentang falsafah hidup dan sistem nilai budaya masyarakat Bugis pada PT Amanah Finance Makassar.Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menjelaskan falsafah hidup masyarakat bugis yang terintegrasi pada budaya organisasi perusahaan. Metode pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan untuk menemukan data tertulis terkait tema penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa falsafah hidup masyarakat Bugis seperti, “mappasona ri dewwata sewwae, resopa temmangingi na malomo naletei pemmase dewatae, dan sipatuo sipatokkong” yang diwujudkan dalam filosopi perusahaan yang disebut dengan Jalan Kalla menjadi nilai dasar dan acuan dalam beraktivitas karyawan maupun level manajemen perusahaan. Jalan Kalla tersebut menjadi pola dasar dalam merumuskan kebijakan dan strategi bisnis perusahaan dalam rangka melanjutkan daur hidupnya.

Kata kunci: Falsafah hidup, sistem nilai, dan budaya organisasi.

PENDAHULUAN

Budaya adalah konsep yang sering mencul pemikiran misalnya tentang karya seni seperti Monet, simfoni Mozart, atau balerina dalam menari ballet. Budaya dalam kajian budaya populer sering merujuk pada seni. Seseorang yang berbudaya memiliki pengetahuan dan kelektor karya seni. Namun dalam antropologi hal-hal seperti ini hanyalah aspek dari budaya. Jadi menurut para antropolog untuk memahami

konsep budaya kita perlu berpikir lebih luas dan holistik.

Antropologi menempatkan konsep kebudayaan sebagai inti kajian. Namun hingga kini belum ada kesepakatan di kalangan ilmuwan antropologi mengenai definisi kebudayaan dengan kata lain bahwa terdapat perbedaan di kalangan ahli antropologi dalam memahami konsep kebudayaan. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan asumsi

Page 2: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

30

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pertama berasal dari antropolog Inggris abad ke-19 Edward Tylor yang menjelaskan budaya adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor,1920:1). Ini mungkin definisi budaya yang paling lama bertahan meskipun lebih berkaitan dengan sesuatu yang spesifik, atau khusus, dalam suatu kelompok budaya.

Kebudayaan adalah salah satu konsep juga dalam kajian ilmu antropologi. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, kebudayaan mengalami perubahan secara lambat tetapi pasti demikian perspektif evolusionisme melihat kebudayaan. Kebudayaan pada hakikatnya terkait dengan lambang atau simbol. Namun jika dilihat dalam perspektik kebudayaan sebagai suatu keseluruhan, maka kebudayaan terkait dengan seluruh aktivitas manusia dalam masyarakat. Keseluruhan yang dimaksud adalah segala sesuatu bersifat sangat kompleks ke yang paling sederhana meliputi sistem pengetahuan, sistem religi, sisten nilai, norma, moral dan menjadi adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun melalui proses belajar serta menjadi milik bersama anggota masyarakat. Aliran pemikiran bersifat omnibus. Pendukung perspektif ini antara lain seperti Konjaraningrat dan Taylor (Keesing, 1989).

Kebudayaan sebagai sistem nilai memengaruhi sikap dan aktivitas berpola manusia sebagai anggota masyarakat sehingga dikatakan kebudayaan sebagai pola bagi tindakan manusia.

Pada jajaran studi antropologi dalam perkembangannya beberapa aliran yang menjelaskan kebudayaan antara dalam perspektif yang berbeda-beda antara lain; aliran evolusionisme yang merupakan aliran pemikiran tertua, kemudian selanjutnya aliran struktural fungsional, aliran kognitivisme, strukturalisme, dan simbolik interpretatif.

Kebudayaan dalam konsepsi evolusionis mengandung tiga hal utama, yaitu kebudayaan sebagai sistem gagasan, pikiran, konsep,

dalam memandang kebudayaan.Akan tetapi terlepas dari perbedaan tersebut semua ilmuwan antropologi menyepakati bahwa kebudayaan merupakan prestasi manusia sebagai mahluk sosial yang fenomenal, dan membuatnya jauh lebih unggul dibandingkan dengan hewan lainnya.

Dulu orang memandang – dan bahkan sekarang ini masih ada yang berpandangan bahwa adalah kebudayaan wujud dari budi luhur manusia dan yang bersifat trasedental dan spiritual, seperti religi, filsafati, kesusastraan, seni bangunan, seni rupa, kemampuan literasi, ilmu pengetahuan, tata negara, teknologi maju, masyarakat kota yang maju dan kompleks dan sebagainya. Pandangan itu kemudian melahirkan perbedaan antara “bangsa-bangsa yang berbudaya” (beradab) dan “bangsa-bangsa alam” (primitif, tidak berbudaya/beradab). Dengan demikian, pandangan tersebut melihat kebudayaan dan peradaban memiliki cakupan pengertian yang sama. Namun pandangan tersebut telah lama disingkirkan, terutama dalam ilmu antropologi. Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi dari kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Manusia dalam melakoni kehidupannya berbeda dengan hewan, di mana hewan tunduk sepenuhnya pada kodrat alam, sementara manusia dengan perangkat akalnya senantiasa mengotak-atik dan mengubah alam. Entah mereka menggarap ladang dengan menggunakan tugal atau membuat sebuah pesawat ruang angkasa untuk tujuan penelitian; entah mereka mengolah dan mengawetkan bahan makanan atau memikirkan tentang hakikat alam semesta dan keberadaannya sebagai manusia. Pendek kata, manusia senantiasa mengotak-atik lingkungan hidup alamiahnya, dan hal itulah sesungguhnya yang disebutkan sebagai kebudayaan

Para antropolog telah lama memperdebat-kan definisi budaya yang tepat. Bahkan saat ini beberapa antropolog mengkritik konsep budaya sebagai budaya yang terlalu menyederhanakan dan stereotip, yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini. Definisi budaya antropologis

29—39

Page 3: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

31

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

nilai-nilai, norma, pandangan hidup, undang-undang dan sebagainya yang berbentuk absrak yang disebut sebagai tata budaya kelakuan. Kemudian kebudayaan sebagai aktivitas seperti pola kerja, upacara adat, dalam lainnya yang bersifat konkret disebut sebagai sistem sosial.Sedangkan dalam wujudnya berupa artifak atau benda-benda budaya disebut sebagai budaya material atau hasil dari kelakukan. Wujud kebudayaan ini kemudian dianalisis dengan motode singkronik dan diakronik untuk melihat persamaan dan perbedaan kebudayaan sebagi suatu proses perubahan atau evolusi budaya (Nasir. 2007;17-20).

Kesimpulan penting dalam memahami konsep budaya dengan merujuk pada pendapat di atas atau referesensi lainnya bagi penulis bahwa budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki sejak lahir artinya budaya itu bersifat non-biologis. Budaya dipelajari sepanjang hidup manusia. Budaya dibagikan bersama anggota pendukung kebudayaan itu. Di sisi lain budaya bersifat kontestual karena masing-masing memiliki kekhasan budaya sendiri, kita berbagi sebagian besar budaya kita dengan orang lain. Berikutnya bahwa budaya adalah simbol. Ini memberi arti pada banyak hal, misalnya bahasa mungkin menjadi contoh paling penting dari sifat simbolis budaya. Bahasa adalah salah satu cara utama berkomunikasi satu sama lain dan terakhir budaya bersifat holistik. Jadi secara ideal budaya mencakup aspek kehidupan manusia. Ini adalah cetak biru untuk hidup dan memberi tahu kita bagaimana merespons dalam situasi apa pun. Tentu saja dalam kenyataannya, budaya tidak memberi kita semua jawaban. Saat itulah kita melihat perubahan budaya. Terakhir, budaya terintegrasi. Misalnya dianalogikan sebagai sebuah jam. Jam memiliki sistem mekanik yang rumit yang bekerja bersama untuk membuat jam beroperasi. Budaya juga merupakan sistem - sistem institusi yang bekerja bersama untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Demikian pula halnya dalam organisasi.

Kebudayaan dalam ruang organisasi formal misalnya birokrasi, perusahaan, atau

organisasi modern lainnya digambarkan dalam konteks cultural universal atau tujuh unsur kebudayaan. Tujuh unsur tersebut terdiri dari sistem pengetahuan, Bahasa dan simbol, organisasi sosial masyakat, sistem teknologi, jenis- jenis mata pencarian, sistem kepercayaan dan religi, serta kesenian. Misalnya pada sebuah perusahaan costumer goods maka menganalisis perilaku konsumen didalam frame konseptual seperti ini dijelaskan sebagai pilihan-pilihan rasional individu berdasar sistem nilai yang dijadikan acuan pilihan-pilihan tindakan maupun pada pemilihan-pemilihan benda budaya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada organisasi formal, budaya diciptakan dan sosialisasi kepada anggota organisasi. Budaya organisasi merupakan refresentasi dari visi dan misi, untuk itu diciptakan, dipelajari dan dibagi secara bersama.

Terkait dengan penelitian ini PT Amanah Finance sebagai anak perusahaan dari Kalla Group adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembiayaan kendaraan beroda empat. Perusahaan ini sebagai bagian dari Kalla Group menerapkan Jalan Kalla sebagai sistem nilai dalam budaya organisasinya. Untuk itulah Jalan Kalla ini menarik untuk dikaji sebagai sistem nilai perusahaan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dan filosofi hidup masyarakat Bugis sebagai bagian dari perumusannya.

METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif- kualitatif. Data diperoleh melalui metode pengamatan secara partisipasif dan wawancara mendalam.Telaah pustaka untuk data sekunder yang berupa dokumen, bahan bacaan, naskah serta data tertulis lainnya. Data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut dianalisis dengan tahapan sebagai berikut: kategorisasi data, reduksi data, dan selanjunya dideskripsikan dalam sebuah laporan peneltian.

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Makassar yang fokus pada Kantor Pusat Kalla Group di Wisma Kalla, Jl. Ratulangi. Pemilihan lokasi tersebut digunakan metode

Falsafah Hidup Orang Bugis Terhadap Budaya Kerja... Safriadi

Page 4: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

32

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

purposive dengan pertimbangan Kantor pusat Kalla Group merupakan tempat yang paling tepat karena ketersediaan data dan akses yang mudah.Untuk penentuan informan, juga dipilih secara purposive dengan pertimbangan, mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, terutama yang berkaitan dengan budaya orgnisasi dan pola kerja dalam perusahaan. Ada pun informan yang dipilih antara lain: Direktur Operasional, Manajer Keuangan, Manajer SDM, Pimpinan Cabang, Supervisor, dan Karyawan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi partisipasi dengan ikut serta pada even-even yang dilakukan perusahaan, wawancara mendalam dengan para informan terutama terkait dengan falsafah dan sistem nilai yang digunakan sebagai pedoman dalam bekerja, dan telaah kepustakaan dan dokumen untuk menemukan data pendukung maupun data kuantitatif terkait dengan perusahaan.

PEMBAHASAN

Budaya OrganisasiTerminologi kebudayaan yang diguna-

kan dalam studi-studi organisasi pada dasarnya diawali dari kajian antropologi sosial. Kebudayaan dalam organisasi atau budaya organisasi adalah sekumpulan asumsi penting yang dipegang bersama-sama anggota organisasi. Setiap organisasi memiliki budayanya sendiri. Budaya suatu organisasi mirip dengan kepribadian seseorang, seperti suatu tema yang tidak berwujud namun ada dan hadir, menyediakan arti, arahan, serta dasar dari sebuah tindakan. Secara umum istilah budaya organisasi mengacu pada nilai-nilai dan kepercayaan suatu organisasi. Prinsip-prinsip, ideologi serta kebijakan yang diikuti oleh suatu organisasi membentuk budayanya. Budaya tempat kerjalah yang menentukan cara individu berinteraksi satu sama lain dan berperilaku dengan orang-orang di luar perusahaan. Karyawan harus menghormati budaya organisasi mereka agar mereka dapat memberikan konstribusi pada level terbaik dan

menikmati pekerjaan mereka. Masalah muncul ketika individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya kerja baru dan karenanya merasa terdemotivasi dan enggan untuk melakukan.

Budaya organisasi adalah praktik, prinsip, kebijakan, dan nilai-nilai organisasi membentuknya budaya organisasi menentukan cara karyawan berperilaku di antara mereka sendiri maupun orang-orang di luar organisasi.

Budaya organisasi dapat dipahami dalam dua tipe antara lain (1) Budaya normatif yaitu dalam budaya seperti itu, norma dan prosedur organisasi sudah ditentukan sebelumnya dan aturan dan peraturan ditetapkan sesuai dengan pedoman yang ada. Karyawan berperilaku dengan cara yang ideal dan secara ketat mematuhi kebijakan organisasi. Tidak ada karyawan yang berani melanggar peraturan dan berpegang teguh pada kebijakan yang telah ditetapkan. (2) Budaya pragmatis yaitu dalam budaya pragmatis, lebih banyak penekanan diberikan pada klien dan pihak eksternal. Kepuasan pelanggan adalah motif utama karyawan dalam budaya pragmatis. Organisasi semacam itu memperlakukan klien mereka sebagai dewa dan tidak mengikuti aturan yang ditetapkan. Setiap karyawan berusaha keras untuk memuaskan kliennya untuk mengharapkan bisnis yang maksimal dari pihak mereka (Denison, 1990).

Menurut Schein (1992) organisasi tidak mengadopsi budaya dalam satu hari, melainkan terbentuk pada waktunya karena karyawan mengalami berbagai perubahan, beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan menyelesaikan masalah. Mereka mendapatkan dari pengalaman masa lalu dan mulai mempraktikkannya setiap hari sehingga membentuk budaya tempat kerja. Karyawan baru juga berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru dan menikmati kehidupan yang bebas stres.

Pada dasarnya semua anggota organisasi dapat dengan mudah mengetahui keyakinan dan nilai dari organisasi tanpa berbagi secara pribadi. Keyakinan dan nilai tersebut memiliki lebih banyak arti pribadi jika anggota itu memandang

29—39

Page 5: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

33

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

keyakinan dan nilai itu suatu panduan atas perilaku yang pantas dalam organisasi oleh karena itu harus dipatuhi. Secara fundamental anggota akan berkomitmen terhadap keyakinan dari nilai ketika mereka menyerap dua hal tersebut dalam dirinya yaitu memegang erat sebagai keyakinan dan nilai pribadi. Dalam hal ini perilaku yang timbul akan menjadi penghargaan intrinsik bagi anggota organisasi tersebut. Ia mendapatkan kepuasan pribadi dari tindakannya dalam organisasi karena tindakan tersebut sesuai dengan kepercayaan dan nilai pribadi yang dimilikinya.

Schein (2004) melihat kebudayaan dalam organisasi dengan menyandingkan antara kebudayaan dan kepemimpinan. Schein melihat budaya dan kepemimpinan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama, menyatakan bahwa ciri khas kepemimpinan yang unik adalah penciptaan dan pengelolaan budaya. Dia menolak definisi budaya kontemporer dan lebih suka mencari definisi yang lebih mendalam dengan pemahaman kebudayan di luar konsep benda budaya, dan budaya sebagi pola perilaku.Lebih lanjut dijelaskan bahwa budaya itu dinamis dan multipenampakan, tidak dapat dinilai secara sederhana misalnya sebagai sesuatu yang baik-buruk, kuat-lemah, atau efektif-tidak efektif. Budaya itu kontekstual dan hidup di dalam diri sebagai individu maupun dalam kelompok. Meskipun para pemimpin perusahaan mensosialisasikan, menciptakan dan mengelola budaya karena budaya akan terus berkembang melalui pembelajaran kelompok dalam bentuk proses belajar bersama pada kehidupan sehari-hari.

Pada beberapa karya budaya Schein kebudayaan dapat dikelompokan ke dalam beberapa prinsip antara lain; (1) Pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok yang digunakan dalam memecahkannya masalah pada proses adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi. Pola asumsi dianggap mampu dan valid digunakan dalam bekerja, oleh karena itu harus diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat

untuk melihat, berpikir, dan merasakan dalam kaitannya dengan masalah-masalah organisasi. (2) Asumsi bersama dan pembelajaran anggota kelompok. Konsep asumsi bersama adalah jantung dan jiwa dari prinsip budaya Schein. Anggota kelompok datang untuk membagikan kepercayaan dan nilai saat mereka bekerja bersama. Mereka mengamati proses penyelesaian masalah yang berhasil atau pun gagal dan pencapaian berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai mereka. Membuang nilai yang tidak dapat digunakan dalam konteks kerja lingkungan, sehingga keyakinan dan nilai menjadi tertanam seiring berjalannya waktu menjadi pikiran bawah sadar anggota kelompok dan tidak bisa dinegosiasikan lagi (Schein, 2004, hlm. 17).

Falsafah Hidup Orang Bugis

Suku Bugis sudah menganut kepercayaan asli dan menyebut tuhan dengan nama Dewata Seuwae yang berarti Tuhan kita yang tunggal. Hal ini sudah ada sebelum mengenal agama Islam. Dewata Seuwae adalah istilah dalam hal itu menunjukkan kepercayaan kepada Tuhan yang esa secara monoteis. Konsep bertuhan seperti sudah dimiliki oleh orang Bugis sebelum islam masuk.

Pada aksara lontara Dewata Seuwae mengungkapkanya dengan beberapa ungka-pan misalnya Dewata, De’wangta, dan De’watangna yang bermakna tak wujud, esensi dan sifat Tuhan dalam pandangan sistem kepercayaan orang Bugis. De’watangna berarti tidak berwujud, sedangkan De’wangta atau De’batang berarti yang tidak bertubuh. Sistem religi ini memiliki konsep tentang jagad raya yang dipercayai oleh masyarakat suku Bugis yang bagi dalam tiga bagian dunia kehidupan, yaitu dunia paling atas (boting langi), dunia bagian tengah (lino atau ale kawa) yang berpenghuni manusia, dunia bawah (peretiwi) yang dihuni oleh tumbuh-tumbuhan dan binatang. Hubungan antara tingkatan dunia ini saling saling mempengaruhi terutama dalam kehidupan manusia (Pelras, 2006).

Falsafah Hidup Orang Bugis Terhadap Budaya Kerja... Safriadi

Page 6: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

34

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Sejarah masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan merupakan bagian yang lain yang juga dikaji oleh Pelras. Menurutnya Islam masuk di Sulawesi Selatan dibawa oleh beberapa pendatang dari Minangkabau dipimpin oleh Datuk Ribandang pada awal abad ke-17. Meskipun era sebelumnya sudah terdapat komunitas di Sulawesi Selatan penganut agama Islam. Namun demikian agama Islam memasuki perkembangan yang pesat setelah Datuk Ribandang menjadikan agama resmi kerajaan Luwu dan Gowa. Orang-orang Bugis yang beragama Islam kemudian mengasimilasi nilai-nilai ajaran agama Islam ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di dalam catatan Belanda ditulis bahwa orang Aceh bersama-sama dengan orang Minang, Banjar dan Bugis merupakan kelompok suku yang paling kuat dalam penerapan nilai-nilai keislamannya di Nusantara. Hal ini kemudian dapat menjelaskan kedekatan sistem nilai budaya Bugis dengan nilai-nilai Islam dalam berbagai konsteks, misalnya dunia bisnis dengan pemaknaan etika bisnis islam yang umumnya juga merupakan etika bisnis dalam masyarakat Bugis.

Orang Bugis-Makassar adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan.Wujud dalam harga diri dan kehormatan yang berupa garis keturunan, tingkat ekonomi/harta kekayaan, kedudukan atau status sosial.

Nilai-nilai budaya Bugis secara keseluruhan terkandung dalam konsep siri ‘ na pesse. Konsepnya adalah cara hidup dan kunci elemen dalam memahami sosial budaya Bugis masyarakat. Siri konsep sentral dalam budaya. Menurut Abdullah, H. (1985) siri bukan hanya memalukan, tetapi juga melibatkan masalah yang paling sensitif adalah jiwa dan roh, menyangkut martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan. Siri menempatkan keberadaan manusia di atas segalanya. Siri adalah pertahanan harga diri. Dalam Lontara dinyatakan bahwa Bugis hidup di dunia hanya

untuk siri. Menurut penjelasan diketahui bahwa orang Bugis dianggap memiliki martabat di dunia akan terpuji jika memiliki nilai siri. Masyarakat bugis menjadikan nilai siri sebagai bentuk upaya mengendalikan alam dan perilaku agar tetap berharga di hadapan Allah dan manusia.

Menurut Christian Pelras (2006), siri inti nilai sebagai elemen penggerak yang menyebabkan Bugis bertahan hidup sebagai masyarakat yang dinamis dan kuat kepribadian adalah: keberanian, kecerdasan, kepatuhan ketajaman agama, dan bisnis. Perilaku Bugis adalah manifestasi tindakan yang terkait erat dengan budaya nilai-nilai dirangkum dalam konsep siri ‘na pesse. Pesse dalam konsep Kluckhohn mengasosiasikan dengan substansi nilai-nilai budaya komunitas Bugis beberapa nilai yang ditemukan terkandung dalam konsep siri ‘na pesse. Nilai-nilai siri dan adalah nilai-nilai yang meliputi makna: sifat kehidupan manusia, sifat hubungan manusia dengan sifat, sifat pekerjaan manusia, dan sifat persepsi manusia tentang waktu. Sementara nilai pesse termasuk makna: hakikat kehidupan manusia dan sifat hubungan manusia. Nilai-nilai Bugis, diidentifikasi dari analisis termasuk: (1) Nilai Siri yang meliputi: faktor pendorong memperkuat aturan / norma, menjaga keseimbangan antarke-hidupan dan agama sebagai motivasi untuk mempertahankan perilaku hubungan manusia dan alam, mengejar untuk membangun dan melestarikan ciptaan yang baik dan penampilan yang menarik, dan upaya untuk meningkatkan harga diri dengan pengembangan potensi diri. (2) Nilai-nilai yang termasuk: faktor pendorong untuk prestasi dan kreatif, faktor pendorong memulihkan keseimbangan hidup manusia, faktor pendorong untuk melakukan yang terencana dan efisien, dan mengemudi faktor untuk mencapai martabat. (3) Nilai pesse yang meliputi: faktor pendorong dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan budaya yang sesuai, menjadi hubungan pengikat dan perekat antara anggota, dan makna kekeluargaan dan persaudaraan yang dalam. Selanjutnya, nilai-

29—39

Page 7: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

35

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

nilai ini untuk memandu pembentukan norma adat yang tertera dalam pesan-pesan Puang ri Maggalatung bahwa : padecengiwi bicara-e, parakai ampe-ampe malebbi-e, gau-gau lalo’ tennga-e, dan pari tengngai bicara ri tennga-e. Arti dari pesan ini adalah “perbaiki cara berbicara jika bicara, perbaiki tingkah laku yang mulia dan terhormat, bergerak dengan langkah sederhana atau tidak angkuh serta tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, dan tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.

Jalan Kalla dan Nilai–Nilai Lokal Masyarakat Bugis.

Budaya perusahan atau budaya korporasi merupakan isu penting dalam kajian berbagai disiplin, seperti manajemen, administrasi, psikologi maupun antropologi. Bagaimana nilai siri na pacce ini melekat dalam budaya organisasi PT Amanah Finance dalam konteks makro, sedangkan dalam konteks mikro untuk menjelaskan makna dapat dilihat dalam praktik organisasi yang terkait dengan hubungan kerabat seorang karyawan dengan status struktur organisasi. Di dalam alam bawah sadar akan muncul istilah bahwa orangnya Si A terkait dengan karyawan yang direkomendasikan oleh orang yang berpengaruh dalam organisasi. Hal tersebut terkait dengan sipakatau dalam masyarakat Bugis yang dapat diasosiasikan dalam nilai apresiasi yang dimaknai sebagai penghargaan kepada orang lain, bisa penghargaan kepada yang lebih tua, tokoh, pejabat maupun orang berpengaruh lainnya.

Penjelasan lainnya yang lebih mendetail menggambarkan hubungan budaya Bugis dengan budaya organisasi PT Amanah Finance adalah kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan secara umum dan khususnya pada suku Bugis Makassar. Tata nilai norma maupun ajaran-ajaran ini, sudah ada dan tertulis dalam tulisan lontara.

Poin-poin penting yang tertulis dalam lontara tersebut, ada lima pesan penting yang

diperuntukkan bagi generasi pada saat itu dan generasi yang selanjutnya. Pesan-pesan penting ini diharapkan untuk dipegang, dipedomani dan ditegakkan dalam kehidupan sebagaimana yang ditulis oleh Moein (1990:17-18) dalam bukunya ”Menggali Nilai-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce”adalah (1) menyampaikan apa adanya dengan tidak ada kebohongan (ada’ tongeng); (2) manusia harus berbuat sesuatu dengan berpedoman pada nilai kejujuran (lempu’); (3) teguh pada pendirian mengedepankan keyakinan dan pendirian pada prinsip kebenaran (getteng); (4) manusia harus saling menghormati dan menjaga kehormatan orang lain (sipakatau), (5) manusia harus berserah diri pada kehendak Allah SWT (mappesona ri dewata Seuwae) yang diterjemahkan dalam bentuk amanah, jujur, istiqamah, saling menghargai, dan ihklas.

Penjelasan dapat dilihat nilai filosofis “kerja adalah ibadah” pada nilai “mappasona ri dewata Seuwae” yang dapat dimaknai bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus selalu bersandar pada Tuhan YME. Jadi, semua pekerjaan yang dilakukan harus bersandar pada nilai ibadah, tentu dengan segala indikator yang dijalankan, misalnya berkata yang benar dan jujur sebagai jalan untuk mendapatkan ridha dari Tuhan YME. Jadi, kerja adalah ibadah merupakan suatu kemutlakan dalan implementasi nilai mappasona ri dewata Seuwae.

Selanjutnya, falsafah aktif bersama dimaknai bahwa fitrah manusia memiliki sifat kekeluargaan dan tolong-menolong dalam nilai lokal masyarakat Bugis disebut sipatuwo-sipatokkong dan sipakatau. Bagi insan kalla, nilai-nilai kekeluargaan, tolong-menolong (sipatuwo-sipatokkong), adalah bagian dari aktivitas sehari-hari dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Falsafah aktif bersama dapat dikatakan berasal dari nilai-nilai Bugis yang diwujudkan sebagai filosofi organisasi. Pemilihan nilai tentu tidak terlepas dari latar belakang pendiri dari Kalla Group yang memang berasal dari keluarga Bugis Bone yang

Falsafah Hidup Orang Bugis Terhadap Budaya Kerja... Safriadi

Page 8: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

36

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

tentu saja dibesarkan dengan nilai-nilai yang hidup pada masyarakat Bugis.

Selanjutnya, falsafah lebih cepat lebih baik dapat dipahami dalam perspektif usaha/kerja, masyarakat Bugis umumnya juga memaknai hidup ini dengan kerja keras (reso). Bahkan dalam adat istiadat orang Bugis, makna reso merupakan satu sistem dengan nilai kehormatan yang merupakan salah satu bentuk dari manifestasi nilai siri. Orang Bugis akan sangat merasa malu jika seorang yang sudah cukup umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan menjadi beban bagi orang lain (masiri narekko tuo mappale) sehingga tidak mengherankan jika dalam kebudayaan suku Bugis memegang teguh prinsip reso’ temmangingngi nalletei pammase dewata (usaha yang sungguh-sungguh diiringi ridha Yang Maha Kuasa), dan inilah yang menjadikan suku Bugis terkenal sebagai salah satu suku pekerja ulet di segala bidang, termasuk dalam bidang usaha pertanian apalagi Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sentra tanaman pangan dan sawah adalah salah satu tolok ukur wibawa suku Bugis.

Budaya kerja masyarakat suku Bugis begitu melekat pada diri pribadi sehingga kemana pun merantau (sompe’), prinsip kerja keras menjadi bagian hidup mereka, dan ikut mewarnai hidupnya. Fakta menunjukkan, suku Bugis terkenal sebagai pelaut ulung dalam mengarungi lautan, pekerja ulet dalam bidang usaha tani, dan pengusaha yang sabar dalam menjalankan usahanya. Jadi, filosopi lebih cepat lebih baik dihubungkan dengan karakter berusaha yang dibangun dengan kecermatan melihat peluang bisnis.

Demikian pula dengan melihat karakter orang Bugis menurut kebanyakan orang bersifat otoriter, ketoriteran karakter Bugis itu sendiri bukan otoriter menurut pemaknaan sebenarnya. Akan tetapi, kedisiplinan dan ketaatan untuk tidak melakukan hal yang tidak biasa atau di luar unsur kebiasaan dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma dan asas-asas beretika yang berlandaskan dari kebiasaan. Oleh suku Bugis hal-hal tersebut biasanya disebut dengan

pamali. Begitu pun dengan gaya mendidik anaknya.

Bekal lain dalam budaya siri yang menyiratkan etos kedisiplinan dalam gaya mendidik masyarakat Bugis di dalamnya terdapat kewajiban menjaga nama baik dan martabat keluarga. Dalam hal ini, nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan proses orang tua memberikan pengertian kepada anak agar anak lebih bertanggung jawab atas etika dan penanaman karakter yang lebih matang. Biasanya, dengan pola pemikiran anak akan menjadi lebih baik. Seorang anak lebih memahami kepekaan terhadap nilai sosial dan seorang anak juga akan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Karakter yang dimunculkan dari pola pendidikan seperti ini kemudian dicerminkan oleh pendiri Kalla Group dengan motto “lebih cepat lebih baik”. Karena implementasi falsafah ini hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang memiliki kematangan berpikir dan rasa tanggung jawab yang besar. Hal itu dapat dimunculkan dalam karakter pendidikan anak orang Bugis.

Penjelasan lain dapat dilihat dari konsep ”Kapitalisme Bugis” yang digunakan sebagai judul buku ini karya Ahmadin (2015). Semangat bisnis yang tumbuh dalam upaya menelusuri aspek sosio-budaya orang Bugis yang sesungguhnya merupakan etika bisnis orang Bugis. Kapitalisme Bugis yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah paham kemodalan, yakni orientasi usaha atau produksi yang mengejar keuntungan atau bentuk kehidupan berbasis pada permodalan.

Pandangan mengenai falsafah hidup sebagai sumber motivasi kerja bagi orang Bugis bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal masyarat. Misalnya terkait dengan ethos yaitu kerja keras (reso) merupakan bagian penting dalam mendukung suksesnya seseorang dalam proses daur hidupnya, sepert pesan yang berbunyi resopa temmangingi namallomo naletei pammase dewata (hanya dengan bekerja keras dan maka rahmat dari Allah SWT akan diperoleh). Filosofi ini hanyalah salah satu cikal

29—39

Page 9: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

37

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

bakal dari asumsi dasar kerja adalah ibadah. Kerja keras merupakan bentuk ibadah kepada Tuhan dan pekerjaan dianggap berberkah ketika Tuhan meridhoi pekerjaan kita.

Ciri utama orang Bugis yang berkaitan dengan keperibadian ditandai dengan sikap yang sangat menjunjung tinggi sportivitas serta harga diri dan kehormatan. Bahkan pada beberapa kasus nilai harga diri diwujudkan dengan tindakan kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa yang kerap terjadi. Tindakan mereka yang berwujud kekerasan dan dianggap sebagai suatu kewajiban adalah ketika membela siri (harga diri dan kehormatan). Meskipun demikian, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang peramah, menghargai orang lain dan memiliki solidaritas yang sangat tinggi. Dalam interaksi sehari-hari pada kehidupan masyarakat Bugis menganut azas bilateral dalam pola hubungan kekerabatan. Selain itu sistem patron-klien juga merupakan ciri khas dari pola hubungan fungsional yang terjalin misalnya dalam sebuah kelompok, nilai loyalitas dan pertemanan antara seorang pemimpin dan pengikutnya bersifat resiprokal dan menyeluruh pada seluruh aspek kehidupan mereka. Namun demikian sebuah ikatan kelompok tidak berarti melemahkan kepribadian masing-masing. Struktur sosial dalam masyarakat Bugis terkesan rumit dan kaku karena sistem nilai yang melekat pada struktur itu sangat beragam, oleh karena dinamika kompetisi sangat tinggi terutama untuk mencapai kedudukan sosial tertentu, baik melalui posisi dalam pemerintahan maupun terkait dengan kepemilikan harta benda dan kekayaan. Inilah kemudian yang menjadi pendorong dalam menggerakkan ekonomi dan dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan Bugis pada umumnya.

Prinsip kerja keras juga dikawal oleh pesan leluhur lain berbunyi, “aja mumaelo natunai sekke, naburukilabo” (jangan berbuat hina dengan sifat kikir dan berbuat boros) karena itu orang Bugis Wajo pada umumnya berpedoman pada pesan tellu ampikalena to Wajo,E (tiga prinsip hidup) yaitu: tau’eri Dewata, siri’eri

padata rupatau, siri’Ewatakkale (Bertakwah pada Allah SWT, rasa malu terhadap orang lain dan pada diri kita sendiri). Bahkan, dilengkapi dengan definisi sukses dan kaya menurut pesan yang terkandung dalam naskah lontarak, selain makna siri’ yang dihubungkan dengan motivasi usaha dan etika bisnis orang Bugis.Nilai-nilai ini juga terjewantahkan dalam Jalan Kalla (kerja adalah ibadah, lebih cepat lebihbaik, kerja bersama, dan apresiasi pelanggang). Pelanggaran dalam hal etika yang diwujudkan dalam Jalan Kalla juga masuk dalam ranah siri’ atau malu. Karyawan yang melanggar etika akan mengalami kondisi malu pada lingkungan sekitarnya karena hal itu merupakan sanksi sosial dari masyarakat.

Ciri khas orang Bugis yang memiliki sikap kadang saling berlawan bagi Pelras bukan merupakan sisi negatif dari mereka melainkan sisi kemampuan mengelola diri pada prinsip dan ciri khas yang saling berlawanan itulah yang membuat orang Bugis memiliki mobilitas yang sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau”. Hampir di semua wilayah nusantara banyak ditemukan orang Bugis yang bekerja dengan berbagai jenis aktivitas pekerjaan, mulai dari berdagang, bertani, berlayar, atau membuka lahan pertanian di hutan. Semua jenis pekerjaan mereka lakukan sesuai dengan kondisi tempat mereka berada.

Menurut Pelras (2006:255-290) yang mendasari kemampuan orang Bugis untuk tinggal di berbagai tempat karena mentalitas empat sifat yang tersirat dalam karakter mereka dalam bahasa Bugis disebut sulappa eppa (persegi empat), yaitu to-warani, yang berarti menjadi orang berani, to-acca, yang berarti menjadi orang pandai, to-sugi, yang berarti menjadi orang kaya dengan sappa dalle hallala mencari kekayaan melalui cara yang halal, dan to-panrita’, yang berarti menjadi orang yang mengerti masalah keagamaan.

Hal-hal yang mendukung keberhasilan perantau Bugis di setiap wilayah rantauannya dengan mengacu pendapat Pelras bahwa kemampuan mereka untuk berubah dan

Falsafah Hidup Orang Bugis Terhadap Budaya Kerja... Safriadi

Page 10: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

38

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad. Namun demikian, selain kemampuan adaptabilitasnya, di balik itu orang Bugis masih menonjolkan karakter khasnya yang berlawanan, yakni kemampuan adaptabilitas yang tinggi mengikuti perubahan lingkungan di sisi lain mereka tetap mempertahankan nilai identitasnya sebagai orang Bugis yang merdeka. Sebagaimana karakter yang ditampilkan oleh beberapa tokoh Bugis di kancah nasional. Namun satu hal yang sangat mempengaruhi hal ini adalah nilai pesse. Pesse (dapat diartikan solidaritas) adalah tanggapan kasih sayang dari hati menuju interaksi alam sekitarnya. Pesse adalah orang yang adil dan beradab kemanusiaan yang bisa menyalakan semangat berkorban, kerja keras dan tidak mudah menyerah. Nilai pesse dalam masyarakat Bugis menjamin kohesi internal dalam keluarga atau sosial grup. Nilai pesse juga memiliki makna dikaitkan dengan nilai siri yang mengandung makna kesetaraan, hak / kewajiban manusia, penegakan kemanusiaan, toleransi, dan pertahanan berani kebenaran dan keadilan. Ini sejalan dengan pepatah Bugis itu ada empat penyebab kebajikan dan kedamaian dalam diri kita: kejujuran, kebijaksanaan, harmoni, dan kesabaran menyatakan bahwa orang Bugis memiliki sikap yang berlawanan antara hierarkis dan egaliter pandangan, dorongan bersaing juga dikompromikan, dan menjunjung tinggi kehormatan itu sendiri juga solidaritas (Pelras, 2006).

Masalah utama yang mempengaruhi nilai budaya Bugis adalah sifat pekerjaan manusia. Substansi kerja alam adalah upaya manusia dalam mencapai ide atau prinsip idealnya. Orang Bugis memiliki karakter senang bekerja atau perdagangan. Fakta ini dapat dilihat oleh banyak pedagang Bugis bekerja di luar negeri sejak era kolonial. Anggapan itu terlihat upaya Bugis berusaha untuk memperbaiki hidupnya dengan selalu berusaha keras dengan etos kerja yang tinggi. Dalam budaya Bugis, dipahami bahwa hanya upaya tak kenal lelah dan berdoa

kepada Tuhan, cara untuk meningkatkan kehidupan mereka. Itu kemudian substansi yang meninspirasi nilai keras, rajin, dan bertekun dalam memperbaiki nasib. Nasib seseorang atau keluarga hanya dapat diubah dengan keyakinan teguh pada diri sendiri, ketekunan dan tekun berdasarkan keterampilan, kejujuran, dan ketegasan, dan kesabaran. Tuhan menentukan nasib tetapi tergantung pada manusia.

Banyak sekali terdapat anjuran di dalam budaya Bugis untuk dipahami dan dipraktikkan sebagai pegangan hidup secara pribadi maupun sebagai pandangan secara sosial kemasyarakatan termasuk pranata mempertahankan diri, siri’ (malu adalah bagian dari harga diri). Pribadi seperti lempu’ (jujur), acca (cerdas), warani (berani), getteng (integritas; teguh pendirian), dan sipakatau (saling memanusiakan) merupakan sifat-sifat yang baik bagi kepemimpinan. Nilai ini bukan hanya untuk kepemimpinan dalam pemerintahan, melainkan juga sangat baik diaplikasikan dalam memajukan kinerja perusahaan dalam bentuk wujud manifestasi sistem nilai Mengapresiasi Pelanggan. Prinsip lempu (jujur), acca (cerdas) warani (berani), dan getteng (teguh pada pendirian) adalah kebutuhan pribadi maka sipakatau (saling menghargai) adalah kebutuhan sosial (menguatkan tali silaturahmi, meluaskan pertemanan dan mengembangkan jaringan).

Prinsip dasar ini akan terus terpelihara dan diridhoi oleh Allah SWT mappesona ri pawinru Dewata Seuwae’ (memohon berkat dan perlindungan serts ridho Ilahi, Tuhan maha pencipta). Pernyataan ini adalah implementasi dari salah satu nilai dalam Kalla Group kerja adalah ibadah. Falsafah hidup dengan tata nilai yang bersandar kepada Yang maha pencipta ini adalah hasil adaptasi pengetahuan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga menjadi nilai-nilai kearifan lokal tersendiri yang berfungsi untuk mempedomani setiap aktivitas dan perilaku masyarakat Bugis dalam penyelesaian berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari misalnya

29—39

Page 11: FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS TERHADAP BUDAYA KERJA …

39

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

hubungan perkawinan, hubungan kerabat, hukum, dan institusi politik, ekonomi maupun agama.

PENUTUP

Pedoman hidup atau falsafah adalah substansi ucapan maupun sebagai pola aktivitas sehari-hari dalam kehidupan umat manusia. Jika falsafah diwujudkan dalam manajemen perusahaan maupun dalam birokrasi pemerintahan akan menjalan dengan bersih (transparan dan akuntabel) karena senantiasa memelihara siri’ (kehormatan dirinya) dan sipakatau (saling menghargai dan memelihara martabat). Pemimpin yang menjaga prinsip nilai siri’ dan sipakatau dalam lingkup kerja maupun jaringan sosialnya maka akan dapat menjaga reputasi organisasi yang dipimpinnya maupun dirinya sendiri. Jadi menggambarkan siri sebagai pencerminan diri, termasuk konsekunesi yang diakibatkan. Individu-individu yang mengedepankan nilai siri’ (rasa malu) akan menjaga motivasi kerjanya melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya karena baginya salah satu bentuk adalah abai dari pekerjaan. Penurunan kualitas pekerjaan meskipun adalah hal yang biasa, namun jika penyebabnya sesuatu yang memalukan adalah hal terkait dengan siri .Jadi pegawai atau karyawan akan menjaga siri-nya dengan meningkatkan kinerja diruang kerjanya baik itu di perusahaan, birokrasi pemerintahan, maupun, organisasi lainnya. Termasuk dalam konteks PT Amanah Finance. Filosopi Bugis adalah salah satu rujukan dalam menjelaskan budaya organisasi, yakni Jalan Kalla sebagai refresentasi dari Kalla Group.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H., (1985). Manusia Bugis Makassar. Intidayu Pers, Jakarta

Ahmadin, (2015). Kapitalisme Bugis : Etika Bisnis Berbasis Kearifan Lokal, Rayhan Intermedia, Jakarta.

Bailey, Kanneth D. (2000).Methods of Sosial Research, New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc.

Denison. D.R, (1990). Coorporate Culture and Organizational Effectivness (Review Book), New York : John Wiley

Denison, (2000). “Bringing Corporate Culture to the Bottom Line,” Organisational Dynamics, Winter London: Sage

Fedyani, Ahmad S, (2009), Antropologi Kontemporer, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Keesing, Roger M, (1989), Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer (Jilid 2) (Edisi 2), Jakarta, PT. Erlangga

Koentjaraningrat (1987), Sejarah Teori Antropologi I; Teori Struktur Sosial A. R. Radcliffe Brown, UI Press, Jakarta

Kuper, Adam, 1999, Culture: The Anthropologists’ Account, Harvard, Harvard University Press.

Moein, Andi MG, 1990, Menggali Niali-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce, Yayasan Mapress, Makassar.

Nasir, Ridwan, 2007, Mashab-Mashab Antropologi, Yogyakarta, PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.

Pelras, Christian, (2006), Manusia Bugis, Jakarta, Nalar.

Schein, Edgar H, (2004), Organizational Culture and Leadership, Jossey Bass, San Francisco, pdf file.

Tylor, E.Burnett, (1920), Primitive Culture. New York: J.P. Putnam’s Sons.

Falsafah Hidup Orang Bugis Terhadap Budaya Kerja... Safriadi