Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ECO - LABELLING
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN
PERIKANAN BERKELANJUTAN
OLEH:
NI PUTU PUTRI WIJAYANTI, S.PT., M.PT
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
i
ECO - LABELLING
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN
PERIKANAN BERKELANJUTAN
OLEH:
NI PUTU PUTRI WIJAYANTI, S.PT., M.PT
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
ii
KATA PENGANTAR
Akhir-akhir ini isu “ECO-LABELLING” terutama di sektor perikanan
sudah semakin santer terdengar. Bahkan mungkin, menjadi bahan
polemik dikalangan para stakeholder perikanan baik itu dari pihak
pemerintah, dari kalangan akademisi dan para pengusaha. Antara pro
dan kontra yang mempertanyakan apakah Indonesia sudah selayaknya
mengikuti aturan terutama dalam kemungkinannya untuk
menerapkannya.
Indonesia sebagai negara yang memilki sumber daya perikanannya
(SDI) yang cukup berlimpah. Sampai saat ini masih dikelompokkan
dalam negara yang SDI nya belum mengalami “overfishing” (lebih
tangkap). Namun, kalau pengelolaannya tidak memperhatikan
pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab niscaya pada suatu
saat tertentu akan masuk dalam kelompok negara yang telah
mengalami overfishing.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah terutama dalam
melakukan pengelolaan sumber daya perikanannya, yaitu dengan
menggunakan prinsip/pendekatan keberhati-hatian (precotionary
approach). Dimana dengan menerapkan suatu kebijakan yang disebut
dengan “Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab” atau “Code
of Cunduct for Responsible Fisheries” (CCRF).
Kebijakan dalam penerapan CCRF ini adalah dalam upaya untuk
menjamin terlaksananya pembangunan perikanan yang berkelanjutan
(sustainable). Dengan memperhatikan suatu pengelolaan perikanan
yang ramah lingkungan dan Eco-Labelling ini adalah termasuk dalam
kebijakan yang pada intinya memperhatikan adanya isu lingkungan
tersebut. Semoga tulisan ini bisa memberikan pengetahuan tambahan
kepada pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
1. PENDAHULUAN
2. ISTILAH-ISTILAH DALAM PENGGUNAAN LABEL
3. PENERAPAN ECO-LABELLING DI SEKTOR PERIKANAN
Tujuan Penerapan Eco-Labelling
Pokok-pokok Penerapan Eco-Labelling
Prakarsa Penerapan Eco-Labelling
4. ECO-LABELLING DAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
5. LANGKAH-LANGKAH UNTUK MENDAPATKAN
SERTIFIKASI MARINE STEWARDSHIP COUNCIL (MSC)
6. PENUTUP
DAFTAR REFERENSI
1 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
1. PENDAHULUAN
Potensi sektor perikanan Indonesia yang besar serta strategis,
merupakan aset alam yang digunakan sebesar-besarnya bagi
manusia. Menurut FAO, sektor perikanan menyediakan rata-rata
paling tidak 15% protein hewani per kapita kepada lebih 2,9 miliar
penduduk dunia (Fauzi, 2010). Ketika permintaan ikan dunia
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, maka
intensitas penangkapan ikan duniapun meningkat secara signifikan
(Andrianto, 2005). Aktivitas perikanan tangkap saat ini dihadapkan
pada beberapa permasalahan yaitu: (1) masih maraknya aktivitas IUU
(Illegal, Unregulated and Unreported) fishing; (2) gejala tangkap
lebih/ overfishing pada beberapa perairan pantai Indonesia, akibat
pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) yang umumnya masih bersifat
open acces (belum melaksanakan limited entry secara penuh); (3)
masih ditemukan pemakaian alat tangkap bersifat destruktif, dan; (4)
sistem pengawasan pemanfaatan SDI yang masih lemah/belum
efektif (BAPPENAS, 2014).
Salah satu masalah lingkungan yang saat ini harus ditanggulangi
secara seksama adalah overfishing. Secara sederhana overfishing
dapat diartikan sebagai penurunan jumlah sumberdaya laut yang
tajam disebabkan karena aktivitas penangkapan yang semakin tinggi,
sementara sumber daya ikan dan biota laut lainnya semakin
berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi (Cahaya, 2015).
Salah satu wilayah yang mengalami overfishing adalah Laut Jawa.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Laut Jawa dan
Bali telah mencapai sebesar 130%. (Triarso, 2012). Eco-Labeling yang
saat ini sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh FAO bisa
menjadi salah satu solusi dalam mengatasi overfishing (Brecard dkk.,
2009) dan juga penciptaan pasar produk perikanan ramah lingkungan.
Eco-Labeling berasal dari kata Eco yang berarti lingkungan
hidup dan Label yang berarti suatu tanda pada produk yang
membedakannya dari produk lain. Eco-Labeling membantu konsumen
2 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
untuk memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi
sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen
bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan (Grunet dan
Wills, 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka tergambarkan bahwa
kegunaan utama Eco-Labeling adalah untuk membantu konsumen
membuat suatu pilihan, karena Eco-Labeling memungkinkan adanya
perbandingan antara produk-produk sejenis. Eco-Labeling yang dapat
dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang
independen untuk menilai bahwa suatu produk diproduksi dengan
mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Mengacu
pada GATT (General agreement on tariff and trade), Eco-Labeling
didasarkan pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela (Santoso,
2014). Dasar sukarela berarti bahwa sistem sertifikasi bekerja atas
dasar insentif pasar.
Jaminan ramah lingkungan, atau lazimnya dikenal sebagai eco-
label, menunjukkan bahwa produk tersebut terjamin mutunya. Lay
(2012) mendefinisikan Eco-Labeling sebagai alat mempromosikan
perikanan berkelanjutan di seluruh dunia. Bukti pemenuhan standar
Eco-Labeling diwujudkan dalam bentuk pemberian label (melalui
proses sertifikasi). Sertifikasi merupakan cara pemberian jaminan
produk yang diberikan lisensi penggunaan tanda Eco-Labeling yang
telah memenuhi kriteria yang ditetapkan (Suminto, 2011).
3 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
2. ISTILAH-ISTILAH DALAM PENGGUNAAN
LABEL
Ada beberapa istilah dalam penggunaan label dan memerlukan
pengaturan dari pihak pemerintah, yaitu:
1) Nutrition Label; definisi nutrition labell berdasarkan Codex
Alimentarius adalah sebuah deskripsi yang dimaksudkan untuk
memberikan informasi kepada konsumen akan kandungan gizi
makanan.
Nutrition Label ini secara implisit mengandung komponen
yaitu:
a) Nutrition Declaration, pernyataan atau daftar jenis-jenis
nutrisi yang terkandung pada bahan makanan, dan
b) Nutrition Supplementary, yang berisi tentang informasi-
informasi tambahan atau pelengkap.
2) Nutrition Claims Label; definisi menurut Codex adalah suatu
pernyataan secara langsung atau tidak langsung bahwa
makanan yang diolah/dikemas memiliki beberapa ciri dan
karakter yang berhubungan dengan dari mana bahan makanan
tersebut berasal, kandungan gizi, keaslian (alami/artificial), cara
memproduksi/processing, komposisinya dan sifat-sifat lainnya.
Nutrition Claims juga mengandung komponen:
a) Nutrition Content Claims, yang berkaitan dengan
informasi jenis kandungan gizi bahan makanan,
b) Nutrition Comparative Claims, yang berkaitan dengan
informasi perbandingan atau persentase dari setiap
kandungan gizi yang terkandung dalam bahan makanan.
3) Nutrition Health Claims Label; adalah pernyataan yang
berkaitan dengan nilai manfaat bahan makanan dilihat dari sisi
kesehatan.
4 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Nutrition Health Claims ini juga mengandung komponen:
a) Nutrition Function Claims, yang menggambarkan sisi peran
psikologis dari gizi bahan makanan yang dikaitkan dengan
proses pertumbuhan,
b) Fungsi-fungsi Claims lainnya, yang isinya tentang efek
yang memberi efek yang menguntungkan kalau
mengkonsumsi bahan makanan tertentu (seperti makanan
untuk diet atau untuk kesegaran dll.), dan
c) Reduction of Disease Claims, yang isinya tentang informasi
mengenai bahan makanan yang dapat mengurangi resiko
atau yang berkaitan dengan kesehatan (seperti bahan
makanan non kolestrol).
4) Eco-Label: adalah label yang isinya berupa pernyataan-
pernyataan yang berkaitan dengan isu lingkungan dalam upaya
untuk terjaminnya adanya pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable), seperti kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan
dan kegiatan yang bersifat perlindungan/konservasi (seperti:
tanda/keterangan asal barang, penangkapan ikan lumba-lumba
bebas /dolphin safe label, organic food label, green label dll.)
Penggunaan istilah-istilah ini bisa saja berbeda-beda diantara
berbagai negara, seperti negara-negara Asean (Singapura dan
Malaysia) istilah Nutrition Claims dianggap sama dengan Health
Claims. Begitu juga dengan penerapan label tentang informasi
Nutrion claims seperti di Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina,
Singapura dan Thailand sifatnya masih secara sukarela (voluntary).
Dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam penerapan atau
penggunaan istilah-istilah ini sudah tentu dapat mempersulit bagi
negara-negara yang akan melakukan kegiatan perdagangan
internasionalnya. Oleh karena itu, perlu adanya harmonisasi diantara
negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasionalnya baik
yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral.
5 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
3. PENERAPAN ECO-LABELLING DI SEKTOR
PERIKANAN
Dalam upaya untuk melakukan pembangunan yang
berkelanjutan, khususnya dalam pembangunan industri perikanan,
perlindungan atau konservasi terhadap keanekaragaman hayati
(biodiversity) ikan, maka dunia internasional telah sepakat
memberikan dukungan terhadap rencana penerapan label yang
disebut dengan “Eco-Labelling”. Landasan hukum yang digunakan
adalah beberapa hasil atau nota kesepakatan dalam
pertemuan/konfrensi Internasional. Hal ini menyangkut masalah
peningkatan terhadap adanya perbaikan dalam pengelolaan/
manajemen dan perlindungan/konservasi terhadap keanekaragaman
antara lain:
1) UN Convention on Law of the Sea and Ensuing Instruments,
1982.
2) Agreement on the Conservation and Management of Straddling
Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock (Straddling Stock
Agreement), 1995.
3) FAO Agreement to Promote Compliance with International
Conservation and Management Measure by Fishing Vessel on
the High Seas (Compliance Agreement), 1993.
4) FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries and the
Technical Guidelines Development in Support its
Implementation (the Precautionary Approach, to Improve
Fisheries Management), 1995.
5) UN Conference on Environment and Development (UNCED) held
in Rio de Janeiro, Brazil, 1992.
6) Convention on Biological Diversity Gave Political Support to the
Goals of Improve Fisheries Management as Well as to
Conservation and Sustainable Use of Marine Biodiversity, 1992.
6 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
7) Convention on Trade in Endangered Species of Fauna and Flora
(CITES) Highlights International Support for the Principle of
Protecting Endangered Species, 1973.
TUJUAN PENERAPAN ECO-LABELLING
Rencana atau inisiatif terhadap penerapan Eco-Labelling di
sektor perikanan tujuannya adalah untuk mempromosikan
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan produk-produk hasil
perikanan kepada konsumen. Oleh karena itu, penerapan Eco-
Labelling ini diharapkan dapat menciptakan insentif pasar yang
berbasis pada isu lingkungan seperti produk dan cara pengolahan
yang ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan Eco-Labelling juga
diharapkan dapat melengkapi penggunaan label-label yang lainnya
yang selama ini telah digunakan yang kesemuanya itu tujuannya
adalah untuk memenuhi hak konsumen dalam menentukan
pilihannya terhadap pembelian suatu produk. Dalam penerapannya
dapat bersifat wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary).
Dalam hal mandatory Eco-Labelling, harus mendapat dukungan
yang kuat pemerintah melalui aturan-aturannya terutama yang
berkaitan dengan aturan impor yang ketat (restrictive trade) terhadap
produk perikanan, seperti kalau terdapat impor perikanan yang tidak
memenuhi penggunaan Eco-Labelling produk tersebut harus ditolak,
begitu juga terhadap produk lokal kalau tidak produknya tidak
menggunakan Eco-Labelling harus dikenakan sanksi.
Dan kalau sifatnya voluntary labels, diserahkan kepada para
produsen apakah mau menerapkan atau tidak (sukarela), jadi
diharapkan konsumen yang akan memutuskan apakah mereka akan
membeli produk yang menggunakan atau tidak menggunakan Eco-
Labelling, namun dalam hal yang sifatnya sukarela peranan
pemerintah hanya sekedar memberikan dukungan dan atau
7 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
pembiayaan bagi yang mau menggunakannya. Untuk saat ini
penerapan Eco-Labelling ini di sebagian negara masih bersifat
voluntary dan kedepan dengan semakin sadarnya masyarakat
konsumen terhadap isu lingkungan ini tidak menutup kemungkinan
penerapannya bersifat mandatory.
POKOK-POKOK PENERAPAN ECO-LABELLING
Terdapat beberapa harapan yang diinginkan dalam rencana
penerapan Eco-Labelling di sektor perikanan, antara lain:
Tersedianya informasi yang berkaitan dengan adanya dampak
lingkungan yang terjadi akibat memproduksi suatu produk, dan
mempermudah untuk memperoleh informasi mengenai
tingkah laku pembelian terhadap produk yang dilakukan oleh
para pedagang perantara dan konsumen.
Tersedianya beberapa peluang bagi konsumen untuk
mengekspresikan pilihannya dikaitkan dengan isu lingkungan
terhadap pembelian suatu melalui mekanisme pasar dan
kebiasaannya dalam membeli produk (seperti dengan
menunjukkan dedikasinya untuk membeli produk-produk
ramah lingkungan atau “Green-Catches”).
Mendorong para pedagang eceran (retailers) dan para
konsumen untuk membeli hanya terhadap produk-produk
perikanan yang dihasilkan dari pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan (sustainably managed resources).
Menumbuhkan adanya standar-standar yang berkaitan dengan
aspek lingkungan dalam menghasilkan komoditas perikanan.
Menyebabkan terjadinya perbedaan harga antara produk yang
menggunakan Eco-Labelling dengan produk yang tidak
menggunakan Eco-Labelling.
Meningkatnya insentif bagi para produsen yang menggunakan
bahan baku yang memenuhi kriteria Eco-Labelling dalam
8 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
rangka untuk memperoleh peningkatan pendapatan dan
meningkatnya pangsa pasar.
Terciptanya keunggulan kompetitif dan terbukanya akses pasar
ke pasar-pasar yang lebih besar dan lebih luas dengan akibat
dari penggunaan produk yang di kelola secara berkelanjutan.
Meningkatkan dukungan yang berasal dari berbagai pihak
seperti dari kalangan industri, pihak-pihak yang berkepentingan
dalam upaya meningkatkan pengelolaan perikanan yang lebih
baik lagi.
PRAKARSA PENERAPAN ECO-LABELLING
Prakarsa untuk penerapan Eco-Labelling di sektor perikanan ini
dimulai dari berbagai pihak yang peduli terhadap isu lingkungan,
berikut ini diberikan beberapa contoh dan sekaligus label yang
digunakan:
1. MARK OF ORIGIN; banyak contoh dimana para produsen sudah
melihat pentingnya dan manfaat yang diperoleh dalam
meningkatkan daya saing/keunggulan kompetitifnya, mereka
menggunakan cara mencantumkan keterangan asal “CERTIFICATE
OF ORIGIN” dari ikan yang diproduksinya. Bahkan dibeberapa
negara penggunaan Eco-Labelling ini juga diharapkan dapat
membantu tugas pemerintah dalam melakukan pengelolaan
perikanan terutama untuk mempermudah melakukan identifikasi
dan penelusuran yang efektif (effective tracking) terhadap produk-
produk perikanannya. Bagi Indonesia yang sampai saat ini
kekayaan lautnya masih banyak di curi oleh nelayan asing sudah
tentu keterangan asal ikan ini sangat memberikan manfaat untuk
mencegah terjadinya illegal fishing.
9 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Gambar 1. Contoh Certificate of Origin dari Ikan Koi
2. DOLPHIN SAFE LABELLS; begitu juga halnya yang terjadi di
Amerika Serikat banyak perusahaan dengan prakarsa sendiri-
sendiri mencantumkan label “DOLPHIN SAFE” dan bahkan pada
tahun 1991, The Dolphin Protection Consumers information Act
(DPCIA) sudah membuat suatu kriteria bagaimana cara
menangkap yang baik dan terbebas dari ikut tertangkapnya ikan
lumba-lumba.
Gambar 2. Logo Dolphin Safe pada produk perikanan
3. ORGANIC SEAFOOD LABELLS; beberapa pengusaha perikanan juga
melakukan penggunaan label “ORGANIC SEAFOOD” terhadap ikan
hasil tangkapan atau hasil budidaya yang tidak menggunakan
10 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
bahan-bahan berbahaya seperti penggunaan pupuk non organik,
obat-obatan kimia, dan lain-lain. Penggunaan label ini oleh
pengusaha pada dasarnya adalah untuk meningkatkan daya saing.
Gambar 3. Salah Satu Logo dari Organic Seafood
4. THE MARINE STEWARDSHIP COUNCIL (MSC); adalah suatu
lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang sifatnya nirlaba
(nonprofit) dan independen, berkedudukan di London, Inggris
(UK), dengan didukung oleh World Wide Fund for Nature (WWF)
dan Perusahaan Unilever telah memprakarsai adanya pengelolaan
ikan, dan cara-cara penangkapan ikan yang bertanggung jawab di
seluruh dunia. MSC mengajak para pengusaha penangkapan ikan
untuk menggunakan labelnya dengan harapan para pengusaha
dapat meningkatkan daya saing dan sekaligus melakukan
usahanya secara berkesinambungan/berkelanjutan. Bahkan di
Indonesia sudah ada beberapa perusahaan penangkapan ikan
yang menggunakan label MSC ini terutama bagi yang melakukan
ekspornya ke Uni Eropa dan Amerika Serikat.
11 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Gambar 4. Label Sertifikasi MSC
5. THE MARINE AQUARIUM COUNCIL (MAC); suatu lembaga
International nonprofit yang berkedudukan di Hawaii (USA),
bersama-sama dengan perwakilan pengusaha akuarium,
penikmat/penghobi, organisasi konservasi, pemerintah dan
komunitas pencinta akuarium, memprakarsai perlindungan bagi
karang, ikan hias dengan membuat berbagai standar, pendidikan,
dan memberikan sertifikat terhadap karang dan ikan hias yang
penangkapannya dilakukan dengan cara-cara yang ramah
lingkungan. Khusus untuk kegiatan MAC di Indonesia telah
melakukan beberapa pelatihan/training bagaimana melakukan
penangkapan ikan hias dengan menggunakan alat yang ramah
lingkungan dan telah memberikan sertifikat kepada beberapa
pengusaha ikan hias seperti di Bali, Pulau Seribu dan Sulawesi
Selatan.
Gambar 5. Logo Marine Aquarium Council
12 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
6. THE RESPONSIBLE FISHERIES SOCIETY of THE UNITED STATES (RFS)
and THE GLOBAL AQUACULTURE ALLIANCE (GAA); RFS dan GAA
yang berkedudukan di Amerika Serikat telah mengumumkan
bahwa mereka juga akan terlibat secara langsung dalam
penerapan Eco-Labelling ini, dalam upaya untuk melakukan
pengelolaan perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan secara
bertanggunag jawab. Sampai saat ini kedua organisasi ini telah
berhasil menghimpun/bekerjasama dengan lebih dari 200
perusahaan dan individu untuk mempromosikan sustainable
seafood harvest. Program yang diprakarsai oleh RFS dan GAA ini
terbuka bagi segala segmen (seperti produsen, importir,
distributor, retailer dan restoran). Sementara ini RFS fokusnya
untuk seluruh produk perikanan tetapi baru sebatas domestik
(Amerika Serikat) sedangkan GAA fokusnya pada usaha
pembudiayaan udang di seluruh dunia, termasuk juga melakukan
pemberian sertifikat.
Gambar 6. Logo Fisheries Society dan Global Aquaculture Alliance
7. INTERNATIONAL ORGANIZATION FOR STANDARDIZATION (ISO);
merupakan lembaga swasta (NGO) yang bergerak dalam bidang
sertifikasi terhadap berbagai macam standar salah satunya adalah
terhadap standar yang ada kaitannya dengan isu lingkungan (ISO
14.000 series). ISO telah membentuk jaringan hampir di seluruh
negara di dunia (130 negara), dengan kantor pusatnya di Geneva
13 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
dan Switzerland. Di setiap negara terdapat kantor (National
Member Body) yang bisa saja berbentuk badan usaha/swasta atau
badan pemerintah dari negara yang bersangkutan. Penggunaan
standar ISO ini juga masih bersifat voluntary, namun bagi
perusahaan perikanan yang ingin meningkatkan daya saingnya
mereka menggunakan label ISO agar menarik bagi konsumen yang
peduli terhadap isu lingkungan.
Gambar 7. Logo ISO
Berikut adalah beberapa contoh produk-produk perikanan dan
olahan hasil perikanan yang sudah diberi label atau sudah
mempunyai sertifikat berbasis lingkungan:
Gambar 8. Contoh produk yang bersertifikat MSC
14 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Gambar 9. Contoh produk yang bersertifikat Dolphin Safe
Gambar 10. Contoh produk yang bersertifikat Marine Aquarium
Dari sekian banyak sertifikasi Eco-Labeling saat ini, memang
yang memiliki tingkat popularitas yang tinggi adalah The Marine
Stewardship Council (MSC) Certification. Hal ini dikarenakan MSC
merupakan sertifikasi yang dikhususkan untuk produk perikanan laut
15 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
dan memiliki kriteria penilaian yang sangat lengkap dan sesuai untuk
marine fishery product. Sertifikasi MSC adalah market based
instruments, dimana standar dan aturan pada sistem sertifikasi akan
memberikan keuntungan pada lingkungan dan mendukung
penangkapan ikan yang lestari. Sertifikasi MSC tidak akan berpihak
pada kelompok atau negara tertentu. Sertifikasi ini akan berlaku adil
terhadap semua produk yang ingin mendapatkan sertifikasi, karena
MSC adalah sertifikasi yang berdasarkan permintaan pasar, dalam hal
ini konsumen yang sangat berperan dalam memilih dan menentukan.
MSC memiliki kriteria penilaian yang lebih kompleks jika dibandingan
dengan sertifikasi Eco-labelling lain terhadap manajemen dan cara
penangkapan yang ramah lingkungan lestari.
Meskipun berkembang ekolabel makanan laut lainnya, MSC
tetap lebih dominan di bidang ini, memberikan kuasa-monopoli baik
terhadap pasokan pasar (dalam hal jumlah dan cakupan perikanan
bersertifikat) dan permintaan pasar (pangsa pasar di antara ekolabel
perikanan digunakan oleh pengecer dan prosesor bermerek). Satu-
satunya label yang ada lainnya yang mencakup perikanan tangkap
yang dianggap sebagai kompetitif pada MSC adalah Friend of the Sea
(FOS).
Gambar 11. Logo Friend of the Sea
16 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Gambar 12. Logo Friend of the Sea pada Produk Perikanan
17 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
4. ECO-LABELLING DAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
Penerapan Eco-Labelling dalam perdagangan internasional
ternyata masih banyak diperdebatkan dan masih banyak terdapat
kesalahan persepsi terhadap Eco-Labelling ini, seperti adanya
kekhawatiran digunakan sebagai hambatan yang terselubung dalam
melakukan perdagangan. Bahkan, dalam WTO Eco-Labelling ini
dimasukkan dalam perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT), yang
mengurusi masalah standarisasi baik yang sifatnya mandatory
maupun yang voluntary. Dimasukkannya Eco-Labelling ini dalam TBT
mengingat standar yang ditanganinya mencakup karakteristik produk,
metode proses, dari produk, terminology dan simbol, serta
persyaratan kemasan dan label. Ketentuan-ketentuan yang ada
tersebut untuk memberikan jaminan bagi kualitas produk ekspor,
memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan hidup.
Dalam perundingan-perundingan WTO khususnya yang
membahas tentang TBT, semua anggota setuju bahwa teknik regulasi
dan standar jangan sampai menimbulkan adanya hambatan yang
terselubung (Undisguised Restriction) dalam menghadapi
perdagangan internasional. Teknik regulasi dan standar justru
seharusnya merupakan suatu sarana yang dapat mengurangi
terjadinya hambatan-hambatan di dalam memasuki pasar
internasional (market access). Oleh karena itu, setiap teknik regulasi
maupun standar yang ada sudah seharusnya memenuhi kriteria
internasional (yang bisa diikuti oleh semua negara anggota).
Bagaimana kemungkinan penerapan Eco-Labelling di Indonesia,
dalam menerapkan Eco-Labelling yang perlu diperhatikan adalah
18 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
bahwa Eco-Labelling itu seharusnya memenuhi beberapa kriteria
antara lain:
1. Pada saat awal sebaiknya diterapkan pada level sukarela
(voluntary), perlu sosialisasi dan edukasi, serta diharapkan dapat
mendorong pasar (market driven).
2. Harus transparan, sehingga tidak menimbulkan persepsi sebagai
suatu alat yang dapat menghambat perdagangan (hambatan
terselubung).
3. Jangan menimbulkan adanya diskriminasi dan jangan dapat
menciptakan adanya hambatan dalam perdagangan (kompetisi
harus adil).
4. Adanya lembaga yang jelas untuk melakukan audit dan adanya
lembaga yang akan menerbitkan sertifikat penggunaan label.
5. Audit dan verifikasinya harus dapat dilakukan secara realistis.
6. Harus sesuai dengan aturan yang ada baik secara nasional maupun
internasional.
7. Standar yang mungkin timbul harus equivalen diantara standar
yang yang ada terutama dengan negara-negara lain.
8. Dan semua persyaratan harus atas dasar kejadian ilmiah (scientific
evidence).
9. Dapat dilaksanakan, realistis, dan konsisten.
10. Dapat menjamin informasi yang terdapat dalam Eco-Labelling
tersebut informasi yang jujur dan tidak ada unsur penipuan
(economic fraud).
Agar tetap kompetitif di tengah ketatnya persaingan pasar,
para pelaku bisnis dituntut untuk memberikan solusi dalam
menghadapi berbagai permasalahan lingkungan yang bermunculan
melalui pengembangan green product. Peningkatan pasar yang peduli
lingkungan merupakan dampak dari meningkatnya perhatian pelaku
bisnis terhadap isu-isu lingkungan yang merebak (Laroche et al.,
2001) Bahkan saat ini, para pelaku bisnis mulai menerapkan standar
19 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
internasional atau lebih dikenal dengan ISO-14000 mengenai
manajemen lingkungan. Untuk itu, pemerintah Indonesia dirasa perlu
untuk mempertimbangkan penerapan sertifikasi Eco-Labeling untuk
green product yang diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak
terkubur dalam persaingan dengan green product asal luar negeri.
Berdasarkan fenomena dan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan Eco-
Labeling pada green product terhadap kesadaran konsumen untuk
membeli green product.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia sebenarnya
sudah mengajukan usulan sertifikasi perikanan untuk cakalang,
rajungan, kerapu, kakap, big eye dan yellow fin tuna, namun sampai
sekarang belum ada yang berhasil mendapatkan sertifikasi. Sertifikasi
ini sangat bagus bagi Indonesia walaupun memerlukan waktu yang
cukup lama. Adapun manfaat yang akan didapat pengusaha setelah
mendapatkan sertifikasi ini adalah pasar ekspor yang lebih terbuka,
mengurangi hambatan non tarif, harga jual menjadi lebih tinggi dan
kepercayaan konsumen luar untuk mengonsumsi produk perikanan
Indonesia. Globalisasi perdagangan makanan, perkembangan
teknologi dalam produksi perikanan, penanganan, pengolahan dan
distribusi serta peningkatan kepedulian dan permintaan konsumen
untuk keamanan dan mutu makanan yang tinggi menjadikan
keamanan pangan dan jaminan kualitas yang tinggi dalam kepedulian
publik dan perioritas bagi banyak pemerintah (Syarif, 2009).
20 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
5. LANGKAH-LANGKAH UNTUK
MENDAPATKAN SERTIFIKASI MARINE
STEWARDSHIP COUNCIL (MSC)
Langkah-langkah untuk mendapatkan sertifikat MSC yaitu Pre-
assessment (optional), Full assessment, Annual audits, dan
Reassessment (MSC get Certified Fisheries Guide, 2014):
1. Pre-assessment terdiri dari pertemuan antara klien dengan
lembaga sertifikasi, kunjungan (opsional), peninjauan kembali
data yang tersedia, identifikasi masalah, kemudian dibuatlah
laporan pra-penilaian yang menguraikan sejauh mana
perikanan anda memenuhi standar MSC serta menjelaskan
hambatan yang perlu diatasi sebelum perikanan anda
memenuhi standar MSC. 2. Full assessment, pada tahap ini terdiri dari beberapa langkah
yaitu:
a. Announce full assessment pada tahap ini lembaga
sertifikasi memberitahukan kepada klien bahwa
penilaian akan dilakukan serta siapa tim penilai yang
ditunjuk,
b. Assessment tree adapted yaitu penilaian dengan sistem
penilaian pohon yang digunakan sebagai standar
penilaian oleh lembaga sertifikasi. Tim penilai
independent akan menentukan apakah perikanan klien
sudah memenuhi kriteria penilaian dan setelah penilaian
selesai pihak penilai akan memberikan hasil penilaian
kepada klien dan klien diperbolehkan untuk berkomentar
maupun berkonsultasi selama 30 hari setelah hasil
dikeluarkan. Tahap ini merupakan tahapan terpenting
dalam mendapatkan sertifikasi perikanan.
c. Information gathering and scoring, pada tahap ini tim
penilai akan menganalisis semua informasi terkait
21 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
perikanan klien serta akan mengatur kunjungan untuk
mewawancarai klien dan stakeholders yang mengetahui
semua informasi baik potensi maupun permasalahan
pada perikanan klien.
d. Client and peer review, dimana hasil penilaian sistem
pohon akan ditinjau oleh para ahli perikanan dengan
kesepakatan bersama antara klien, lembaga sertifikasi
serta ahli perikanan.
e. Public review of draft report yaitu setelah hasil review
selesai maka lembaga sertifikasi akan mengeluarkan
laporan, kemudian laporan akan diberikan kepada
stakeholders serta masyarakat umum, diberikan waktu
30 hari untuk mengomentari laporan tersebut. Laporan
ini mencakup rancangan penentuan perikanan klien yang
dianjurkan untuk disertifikasi. Setelah 30 hari, apabila
stakeholders serta masyarakat merekomendasikan untuk
dilanjutkan maka lembaga akan meneruskan proses ke
tahap selanjutnya, namun apabila belum
direkomendasikan maka klien dipersilahkan untuk
mendaftar ulang penilaian kapan saja.
f. Final report and determination, pada tahp ini akan dibuat
laporan akhir yang mencakup penentuan akhir tim
penilaian apakah klien layak diberikan sertifikat. Namun
tahap ini berlangsung cukup lama karena harus
dipastikan tidak ada keberatan dari pihak yang terkait.
Kemudian apabila tim penilai sudah mengeluarkan final
report, sertifikasi berlangsung maksimal lima tahun
tergatung dewan audit.
g. Public certification report and getting your certificate,
dimana pada tahap ini lembaga sertifikasi akan
menerbitkan ekolabel MSC terhadap perikanan anda.
22 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
3. Setelah didapatkan sertifikat, lembaga sertifikasi terus
mengawasi dengan diadakannya Annual audits audit setiap
tahunnya. Lembaga sertifikasi akan meninjau kemajuan
perikanan dan perbaikan yang telah dilakukan. Audit dilakukan
sebelum atau selambatnya saat tanggal sertifikat diterbitkan
pada tahun selanjutnya (ulang tahun sertifikat). Dewan audit
diperbolehkan/diizinkan melakukan audit tanpa
pemberitahuan serta diperbolehkan mengundang stakeholders
yang mengetahui perikanan klien untuk memberikan informasi
kepada dewan audit. Kemudian akan dikeluarkan laporan audit. 4. Re-assessment, lebih mudah disebut dengan perpanjangan
sertifikat. Re-assessment dilaksanakan setelah lima tahun
sertifikat diterbitkan. Re-assessment terdapat dua macam yaitu
re-assesment penuh yaitu apabila kegiatan perikanan masih
dalam standar penilaian sesuai kondisi awal, re-assessment
sebagian yaitu apabila perikanan klien dinilai tidak sesuai
dengan kondisi awal sehingga perikanan klien harus dinilai
ulang namun penilaian yang dilakukan sistem tertutup sehingga
tetap masih bisa menggunakan sertifikat yang ada.
23 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Gambar 13. Panduan untuk membuat sertifikasi MSC (www.msc.org)
24 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
6. PENUTUP
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para stakeholder
perikanan, baik sebagai bahan untuk menentukan arah kebijakan,
sebagai studi literatur dan mungkin dalam mempersiapkan diri kalau
saja Eco-Labelling ini pada saatnya harus kita terapkan, dan juga
sebagai tambahan pengetahuan tentang Eco-Labelling pada sektor
perikanan secara umum.
25 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Referensi
Andrianto, L. 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsibility
Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang. Jurnal Hukum
Internasional (Indonesian Journal of International Law). Jakarta:
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Volume 2, Nomor 3. (463-482).
Anonimous. 2001. International Plan of Action to prevent, Deter and
Elimination Illegal, unreported and Unregulated Fishing, FAO,
Rome.
BAPPENAS. 2014. Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan
Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS-Direktorat
Kelautan dan Perikanan.
Brechard, D., dkk. 2009. Determinants of Demand for Green Products:
An Aplication to Eco-label Demand for Fish in Europe,
Ecological Economics, Vol. 69, 115-125.
Cahaya, A. I. 2015. Tepatkah Perpres No 115/2015 Untuk Melawan
"Overfishing"?,http://www.neraca.co.id/article/62520/tepatka
h-perpres-no-1152015-untuk melawan-overfishing (Diakses
tanggal 28 Juli 2018)
Carolyn, D. 1999. Eco-Labelling and Sustainable Fisheries, UNCN/FAO,
Rome.
Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan (Teori, Kebijakan, dan
Pengelolaan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
26 ECO-LABELLING DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN
Grunert, K. G. and Wills, J. M. 2007. A review of European research on
consumer response to nutrition information on food labels.
Journal of Public Health, Vol. 15
Kotler, P. and Keller K. L. 2006. Marketing Management, Prentice Hall
International, New Jersey, USA.
Laroche, M., Bergeron, J. and Barbaro-Forleo, G. 2001. Targeting
consumers who are willing to pay more for environmentally
friendly products. Journal of Consumer Marketing, 18 (6), 503-
20.
Lay. K. 2012. Seafood Ecolabels: For Whom and to What Purpose?.
Dalhousie Journal of Interdiciplinary Management. Volume 8,
Fall 2012. (3-15).
MSC get certified Fisheries guide. 2014. Marine Stewardship Council.
Marine Haouse. London. United Kingdom.
Pauline, C. 2007 Up-Date on Nutrition Labelling and Claims in Shout
East Asia, Asia Pacific Pod Industry, Jakarta, Indonesia.
Santoso, H. 2014. Model Ekolabel Sebagai Instrumen Pengelolaan
Lingkungan Pada Industri Furnitur di Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Disertasi tidak dipublikasikan, Semarang:
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Triarso, I. 2012. Potensi Dan Peluang Pengembangan Usaha Perikanan
Tangkap Di Pantura Jawa Tengah, Jurnal Saintek Perikanan, Vol.
8, No. 1.