Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi © 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Program Studi Meteorologi

© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

PENERBITAN ONLINE AWAL

Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.

Page 2: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

1

Pengaruh Inisialisasi terhadap Simulasi CAM3

Studi Kasus Monsun Break Januari 2007

NURFIENA SAGITA PUTRI

Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Untuk dapat melakukan prediksi musiman menggunakan Community Atmosphere Model 3

(CAM3), masih diperlukan penyesuaian, khususnya masalah terkait initial condition (IC). CAM3 ini

merupakan salah satu model atmosfer global yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric

Research (NCAR) yang dapat dijalankan secara standalone untuk melakukan simulasi iklim. Namun saat

ini tools yang tersedia untuk mempersiapkan IC CAM3 sulit diperoleh. Dalam penelitian ini diusulkan

metode spin-up sebagai cara menghasilkan IC CAM3 untuk keperluan simulasi monsun break pada

Januari 2007. Metode spin-up yang digunakan terbagi menjadi tiga contoh kasus. Kasus pertama adalah

dengan melakukan spin-up biasa tanpa disertai penggantian variabel IC dengan FNL. Pada kasus kedua

dicoba spin-up dengan melakukan transplant analysis menggunakan data FNL sebanyak satu kali, yaitu

hanya pada awal IC hasil proses spin-up awal. Pada kasus ketiga dilakukan transplant analysis yang

disertai dengan metode “nudging” secara bertahap, tanpa dilakukan penambahan suku relaksasi pada

persamaan model CAM3. IC yang dihasilkan melalui proses spin-up pada kasus ketiga lebih baik

daripada dua kasus lainnya, meskipun masih terdapat bias yang cukup besar untuk variabel temperatur

permukaan. Berdasarkan hasil simulasi, terlihat CAM3 dapat menunjukkan fenomena monsun break yang

terjadi pada 3 – 17 Januari 2007 dengan menggunakan IC dari kasus ketiga yang melibatkan proses

“nudging” bertahap. Dapat terlihat juga bahwa inisialisasi merupakan faktor yang sangat penting dalam

melakukan prediksi musiman, terlihat dari ketidakmampuan kedua kasus lainnya dalam menggambarkan

fenomena monsun break yang terjadi secara tepat pada periode kajian.

Kata kunci: Community Atmosphere Model 3, inisialisasi model atmosfer, spin-up, transplant analysis,

nudging, monsun break Januari 2007

1. Pendahuluan

Monsun yang terlambat ataupun lemah dapat

berakibat pada pendeknya atau buruknya masa tanam

dan hal tersebut berdampak pada penurunan produksi

di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang

lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan

prediksi tentang bagaimana perubahan monsun dari

tahun ke tahun ini sangat diperlukan untuk dapat

mengurangi potensi kerugian jiwa dan harta benda,

termasuk juga di luar daerah monsun (Yang, 2008).

Oleh karena itulah prediksi musiman terkait monsun

sangat diperlukan.

Salah satu model yang dapat digunakan untuk

melakukan simulasi dan prediksi monsun adalah

Community Atmosphere Model 3 (CAM3; Chen,

2010 dan Santriyani, 2011). CAM3 merupakan salah

satu model atmosfer global yang dikembangkan oleh

National Center for Atmospheric Research (NCAR)

dan source code-nya dapat diperoleh secara gratis di

UCAR (2012b). Model ini merupakan komponen

model atmosfer dari model iklim coupled Community

Climate System Model (CCSM). Dalam versi coupled

bersama komponen CCSM lainnya, CAM3 biasa

digunakan untuk melakukan prediksi iklim.

Model CAM3 yang dapat dijalankan secara

standalone memungkinkan penghematan sumber daya

komputasi yang diperlukan untuk menjalankan model

tersebut. Keuntungan ini membuat CAM3 berpotensi

untuk dikembangkan menjadi model prediksi

musiman operasional. Namun, untuk dapat melakukan

prediksi musiman tersebut CAM3 masih memerlukan

penyesuaian, salah satunya adalah masalah terkait

initial condition (IC).

Saat ini tools yang tersedia untuk

mempersiapkan IC CAM3 cukup sulit diperoleh.

Padahal menurut Kalnay (2003), masalah penentuan

IC menjadi merupakan masalah yang sangat penting

dalam melakukan prediksi dengan model prediksi

cuaca numerik. Semakin akurat perkiraan IC, maka

akan semakin baik kualitas prediksi yang dihasilkan.

Boyle dkk. (2004) melakukan teknik nudging dan

transplant analysis dalam penelitiannya untuk

menginisialisasi CAM2, seperti terlihat pada Gambar

Page 3: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

2

1.1. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa nudging

merupakan suatu teknik asimilasi data dengan cara

menambahkan suku relaksasi pada persamaan model

yang memaksa model untuk dapat terintegrasi dengan

kondisi observasi. Metode tersebut berkerja dengan

cukup baik dan dapat menghasilkan kondisi yang

cukup realistis untuk model dapat dijalankan dalam

mode prediksi. Sayangnya, teknik ini mengharuskan

pengubahan source code model dan cara ini cukup

sulit dilakukan.

Gambar 1.1. Ilustrasi metode inisialisasi CAM2 dengan

teknik (a) nudging dan (b) transplant analysis

berdasarkan penelitian Boyle (2004).

Teknik transplant analysis yang digunakan

Boyle dkk. (2004) merupakan teknik yang meniru

prosedur dalam prediksi cuaca operasional dimana

prediksi dilakukan dengan inisialisasi inti model

menggunakan hasil analisis dari inti model lainnya.

Pada teknik ini dilakukan interpolasi langsung

terhadap variabel dari suatu koordinat horizontal dan

vertikal dari suatu model tertentu ke dalam model

lainnya. Teknik transplant analysis tidak dapat

diterapkan secara langsung untuk CAM3 karena

terdapat beberapa variabel dalam IC CAM3 yang tidak

dijelaskan secara rinci

Salah satu cara lain untuk memperoleh IC

CAM3 adalah dengan melakukan spin-up. Penelitian

ini membahas tentang cara menghasilkan IC CAM3

dengan waktu spin-up yang relatif singkat, yaitu 3

bulan, dengan melakukan penyederhaan terhadap

kedua teknik yang digunakan oleh Boyle (2004). Studi

kasus monsun break panjang pada Januari 2007

yangterkait dengan kemunculan southerly surge aktif

(Hadi, 2009 dalam Amelia, 2010), tepatnya pada 3 –

17 Januari 2007 (Octarina, 2011), dipilih sebagai

fenomena yang disimulasikan dalam uji coba IC yang

diperoleh. Kajian ini dipilih karena monsun break

merupakan suatu variabilitas intramusiman yang

menunjukkan perkembangan kondisi atmosfer pada

suatu musim dan suatu model prediksi musiman yang

baik seharusnya dapat menggambarkan fenomena ini.

2. Data dan Metode

Data yang digunakan dalam penelitian ini

terbagi atas data input model untuk inisialisasi awal,

yaitu data set IC atmosfer CAM3 bawaan dan data

NCEP FNL1, dan boundary condition (BC) berupa

data SST dan sea-ice concentration, yaitu Merged SST

Hadley OI.v2 (Hurrel dkk., 2008). Data pembanding

yang digunakan untuk evaluasi adalah NCEP/NCAR

Reanalysis2 (R1) dan NCEP/DOE Reanalysis II

3 (R2).

Dalam penelitian ini, CAM3 dijalankan secara

standalone pada resolusi T85 dengan inti dinamis

Eulerian untuk proses spin-up maupun simulasi.

Konfigurasi lainnya yang digunakan untuk

menjalankan CAM3 (seperti parameterisasi) adalah

konfigurasi default. CAM3 dijalankan standalone

secara minimal dengan komponen model daratan

CCSM yang digunakan adalah Commmunity Land

Model (CLM), sedangkan komponen model laut yang

digunakan adalah Data Ocean Model (DOM; UCAR,

2012a). Inisialisasi untuk CLM tidak dibahas dalam

penelitian ini. Penjelasan lebih lanjut mengenai CAM3

dapat dilihat pada CAM3 Description (NCAR, 2004a)

dan CAM3 User’s Guide (NCAR. 2004b).

Penelitian diawali dengan persiapan BC untuk

CAM3. Data Merged SST Hadley OI.v2 sebagai input

DOM perlu di-regrid menjadi gaussian grid yang

sesuai untuk menjalankan CAM3. Langkah

selanjutnya adalah persiapan IC CAM3 dengan spin-

up selama tiga bulan, dari 1 September – 1 Desember

2006. Proses spin-up terbagi menjadi dua tahap, yaitu

spin-up awal dan spin-up lanjutan. Spin-up awal

dilakukan dengan menggunakan data IC atmosfer

bawaan dari CAM3.

Penelitian ini membagi proses persiapan IC

menjadi 3 contoh kasus. Pada kasus I, spin-up lanjutan

dilakukan langsung tanpa ada masukan dari data FNL.

Pada kasus II dilakukan percobaan transplant analysis

dengan menggunakan data FNL terhadap IC hasil

spin-up awal dan berikutnya spin-up lanjutan

dilakukan tanpa “nudging”. Pada kasus III dilakukan

percobaan transplant analysis yang disertai “nudging”

pada proses spin-up lanjutan. Ilustrasi proses spin-up

dalam penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

1 U.S. National Centers for Environmental Prediction, ter-update

secara harian: NCEP FNL Operational Model Global Tropospheric

Analyses, dimulai dari 1999 Juli. Dataset ds083.2 dipublikasikan oleh CISL Data Support Section at the National Center for

Atmospheric Research, Boulder, CO, tersedia online pada

http://dss.ucar.edu/datasets/ds083.2/. 2 U.S. National Centers for Environmental Prediction, ter-update

secara bulanan: NCEP/NCAR Global Reanalysis Products, 1948 – sekarang. Dataset ds090.0 dipublikasikan oleh CISL Data Support

Section at the National Center for Atmospheric Research, Boulder,

CO, tersedia online pada http://dss.ucar.edu/datasets/ds090.0/. 3 U.S. National Centers for Environmental Prediction, 2000:

NCEP/DOE Reanalysis II. Dataset ds091.0 dipublikasikan oleh CISL Data Support Section at the National Center for Atmospheric

Research, Boulder, CO, tersedia online pada

http://dss.ucar.edu/datasets/ds091.0/.

Page 4: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

3

Gambar 2.1. Ilustrasi alur proses spin-up untuk kasus I, II,

dan III. Proses spin-up awal dilakukan selama satu bulan

dari 1 September – 1 Oktober 2006 dengan

menggunakan data set IC atmosfer CAM3 default. Spin-

up lanjutan kemudian dilakukan mulai 1 Oktober – 1

Desember 2006 menggunakan IC masing-masing kasus

dan BC yang sama dengan spin-up awal.

Teknik “nudging” dalam penelitian ini tidak

dilakukan dengan menambahkan suku relaksasi ke

dalam persamaan model, melainkan langsung

melakukan penggantian terhadap beberapa variabel di

dalam IC dengan variabel dari data FNL secara

bertahap. Namun sebelumnya, perlu diperhatikan

bahwa data FNL yang tersedia setiap 6 jam dirata-

ratakan terlebih dahulu menjadi data harian. Rata-rata

harian inilah yang digunakan untuk melakukan

transplant analysis dalam penelitian ini. Adapun

variabel IC yang diganti dengan variabel FNL untuk

kasus II dan kasus III, antara lain tekanan permukaan,

angin zonal dan meridional, temperatur, dan planetary

boundary layer height (PBLH).

Khusus pada kasus III, proses spin-up lanjutan

dibagi menjadi 6 subproses dengan selang waktu antar

spin-up adalah 10 hari. Pada setiap awal proses spin-

up tersebut dilakukan penggantian variabel IC dari

FNL dengan bobot data FNL yang semakin meningkat

dan bobot variabel asli IC yang semakin menurun

seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Daftar tanggal dimulai dan berakhirnya sub

proses spin-up lanjutan pada kasus III beserta

perbandingan bobot variabel FNL dan IC CAM3 ketika

dilakukan penggantian variabel pada IC hasil setiap sub

proses spin-up

Setelah IC diperoleh, penelitian dilanjutkan de

ngan verifikasi terhadap IC tersebut. Proses verifikasi

dilakukan dengan meninjau pola tekanan dan

temperatur permukaan. Pada bagian ini, IC ditinjau

selisih antara IC CAM3 dengan data pembanding.

Selanjutnya dilakukan verifikasi secarakuantitatif

terhadap variabel multilevel, yaitu temperatur, angin

zonal dan meridional, dan kelembapan spesifik. Proses

verifikasi terakhir dilakukan dengan cara meninjau

pola integrated moisture transport. Integrated

moisture transport ini dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan 2-1.(Webster dan Fasullo,

2003)

merupakan rata-rata moisture transport

secara vertikal, ( ) adalah kelembapan spesifik pada

ketinggian dan ( ) adalah vektor kecepatan angin

horizontal pada ketinggian .Setelah verifikasi selesai,

kemudian dilakukan uji coba simulasi menggunakan

IC yang telah diperoleh. Uji coba ini dilakukan untuk

meninjau apakah dengan IC yang telah dihasilkan,

CAM3 dapat menggambarkan fenomena monsun

break yang terjadi pada Januari 2007.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil Spin-up

Gambar 3.1. Selisih temperatur permukaan (K) antara IC

CAM3 untuk (a) kasus I, (b) kasus II, dan (c) kasus III

dengan data R2 pada 1 Desember 2006.

IC yang dihasilkan oleh setiap contoh kasus

memiliki bias di daerah belahan bumi utara,

khususnya pada daerah daratan (Gambar 3.1). Setiap

kasus menunjukkan kecenderungan over estimation

Page 5: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

4

(warna merah) untuk wilayah daratan di lintang

menengah bagian utara. Collins dkk. (2006a)

menemukan bahwa temperatur permukaan daratan

musim dingin yang disimulasikan oleh CCSM3

memang cenderung tinggi. Tingginya temperatur

daratan ini berakibat pada besarnya fluks panas di

dalam proses transfer turbulen dari tanah menuju

atmosfer sehingga temperatur udara permukaan yang

disimulasikan oleh CAM3 pun menjadi tinggi.

Terlihat pula transplant analysis yang dilakukan pada

kasus II dan III masih tidak dapat memperbaiki under

estimation yang terjadi di wilayah kutub utara.

Pada daerah lautan, perbedaan temperatur tidak

terlihat terlalu besar pada setiap kasus IC. Pola yang

cukup serupa di atas lautan untuk setiap kasus IC ini

disebabkan oleh SST yang digunakan sebagai BC

sama pada setiap kasus. Dapat terlihat bahwa

pengaruh BC tersebut sangat kuat karena meskipun

telah diganggu dengan data lain, pola temperatur

permukaan di atas lautan untuk kasus II dan III masih

menunjukkan pola yang serupa dengan kasus I. Selain

itu pola temperatur permukaan di daerah ekuator

terlihat mengalami perbaikan pada kasus II dan III

dibandingkan kasus I yang tidak melibatkan

penggantian variabel IC dengan variabel FNL dalam

proses spin-up.

Gambar 3.2. Selisih tekanan permukaan (mb) antara IC

CAM3 untuk (a) kasus I, (b) kasus II, dan (c) kasus III

dengan data R2 pada 1 Desember 2006.

Pada Gambar 3.2, kasus III menunjukkan bias

tekanan permukaan yang paling kecil daripada dua

kasus lainnya, khususnya untuk daerah kutub utara.

Hal ini menunjukkan bahwa proses “nudging”

bertahap yang dilakukan dapat memperbaiki

perhitungan IC untuk tekanan permukaan. Namunpada

setiap kasus masih terlihat bias yang sangat mencolok

untuk daerah dataran tinggi, seperti wilayah dataran

tinggi Tibet di daratan Asia dan Pegunungan Andes di

Amerika Selatan, walaupun bias ini jauh berkurang

pada kasus III. Hal ini dapat disebabkan oleh

perbedaan definisi topografi antara data R2 dan

CAM3 sehingga perhitungan tekanan permukaan

menjadi berbeda.

Gambar 3.3. Analisis statistik (a) koefisien korelasi, (b)

NRMSE, dan (c) RMSVE pada setiap level ketinggian

antara hasil spin-up CAM3 dan data R1 di setiap

ketinggian pada 1 Desember 2006. Garis tebal

menunjukkan variabel kelembapan spesifik, garis putus-

putus menunjukkan variabel temperatur, dan titik-titik

menunjukkan variabel angin.

Berdasarkan Gambar 3.3, kasus III memiliki

pola yang cukup serupa dengan R1, khususnya untuk

variabel angin. Pola laju angin pada kasus III lebih

baik dari dua kasus lainnya, terlihat dari nilai koefisien

korelasi yang lebih tinggi dan nilai RMSVE yang

lebih kecil daripada dua kasus lainnya, meskipun pada

level atas (di sekitar 30 mb) masih terlihat pola yang

kurang baik dari kasus III jika dibandingkan dengan

kasus I dan II. Hal ini dapat disebabkan oleh buruknya

nilai kecepatan angin level atas dari FNL yang

dimasukkan ke dalam IC CAM3 yang berakibat pada

buruknya kondisi angin tersebut.

Untuk variabel kelembapan spesifik, kasus III

memiliki pola yang lebih baik dari dua kasus lainnya

sampai pada ketinggian 500 mb. Kasus II dapat

menggambarkan kelembapan spesifik dengan sangat

baik pada wilayah troposfer atas. Kasus I dengan

proses spin-up yang tidak melibatkan data FNL

terlihat tidak dapat menggambarkan pola

kelembapanspesifik dengan baik jika dibandingkan

dengan kedua kasus lainnya.

Page 6: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

5

Ketiga kasus terlihat gagal memperoleh pola

temperatur yang baik pada level 150 mb. Collins

(2006b) menemukan bahwa CAM2 menghasilkan bias

temperatur yang sangat besar di dekat tropopause

daerah tropis. Meskipun hal ini telah dapat diperbaiki

pada CAM3 karena perbaikan parameterisasi partikel

air-es awan cirrus, tetapi pada kenyataannya bias ini

masih terlihat jelas pada level tersebut. Namun, secara

keseluruhan ketiga kasus IC telah dapat memberikan

pola temperatur yang baik pada daerah troposfer,

terlihat dari nilai korelasi di atas 0.9 pada level 925

mb hingga 250 mb.

Gambar 3.4. Transpor kelembapan rata-rata pada 20

November 2006 hingga 1 Desember 2006 untuk (a) R1,

(b) kasus I, (c) kasus II, dan (d) kasus III.

Gambar 4.4 menunjukkan transpor kelembapan

rata-rata R1 dan IC setiap kasus. Rata-rata ini diambil

dari periode siklus spin-up terakhir pada kasus III

karena pola transpor kelembapan pada satu hari tidak

cukup representatif. Warna putih menunjukkan tingkat

transpor kelembapan yang rendah, sedangkan warna

jingga menunjukkan tingkat transpor kelembapan

tinggi. Secara teoritis, transpor kelembapan paling

besar untuk musim dingin BBU (belahan bumi utara)

terjadi di wilayah Samudera Pasifik dan Samudera

Atlantik bagian barat (di utara daratan Amerika

Selatan; Webster dan Fasullo, 2003) seperti yang

ditunjukkan oleh Error! Reference source not

found.a. Pada Error! Reference source not found.b,

3.4c, dan 3.4d dapat terlihat bahwa pola besar yang

muncul pada transpor kelembapan R1 juga muncul

pada setiap kasus IC, meskipun IC cenderung

mengalami over estimation pada pola besar tersebut.

Over estimation khususnya terjadi di wilayah Laut

Cina Selatan dan Samudera Pasifik, sedangkan under

estimation terjadi di sekitar Samudera Atlantik barat.

Gambar 3.5. Nilai cosine similarity spasial untuk transpor

kelembapan rata-rata (a) kasus I, (b) kasus II, dan (c)

kasus III pada 20 November 2006 hingga 1 Desember

2006

Berdasarkan Gambar 3.5, setiap kasus memiliki

kesamaan arah transpor kelembapan yang cukup baik

untuk daerah lautan. Hal tersebut dapat terlihat dari

nilai cosine similarity yang mendekati nilai 1.

Perbedaan arah lebih banyak terjadi di wilayah daratan

karena angin sebagai media transportasi kelembapan

tersebut cenderung memiliki pola yang acak di atas

daratan. Pola yang cenderung acak ini disebabkan oleh

besarnya pengaruh gaya-gaya permukaan di atas

daratan. Gaya permukaan tersebut, seperti gesekan,

dapat menyebabkan perubahan arah angin di level

bawah dan berakibat pada perubahan arah transpor

kelembapan pada level bawah.

Pada Gambar 3.5 terlihat bahwa seluruh kasus

tidak dapat menunjukkan arah transpor kelembapan

yang baik untuk wilayah Indonesia. Hal ini

disebabkan oleh pola angin yang sangat acak di atas

Indonesia karena Indonesia merupakan wilayah

pertemuan angin dari BBU dan BBS sehingga pola

anginnya cukup sulit untuk disimulasikan oleh CAM3.

Berdasarkan analisis statistik variabel multilevel

pada Gambar 3.3, kasus III memiliki pola yang paling

baik untuk angin dan kelembapan spesifik pada

troposfer bawah dibandingkan dengan kasus I dan II.

Meskipun kasus II menunjukkan kelembapan spesifik

yang jauh lebih baik daripada dua kasus lainnya,

transpor kelembapan total yang dihasilkan oleh kasus

III lebih baik karena transpor kelembapan sangat

dipengaruhi oleh nilai pada lapisan batas. Metode

transplant analysis dan “nudging” yang diterapkan

pada proses spin-up kasus III dapat menghasilkan IC

yang cukup baik untuk CAM3, meskipun ada

beberapa variabel yang malah cenderung menjauhi

kondisi aktual.

Page 7: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

6

3.2. Simulasi Monsun

Gambar 3.6. Plot time-series terhadap lintang (a) data reanalisis, (b) kasus I, (c) kasus II, dan (d) kasus III untuk angin zonal,

angin meridional, divergensi, dan laju presipitasi. Angin zonal, angin meridional, dan divergensi merupakan rata-rata

zonal 100° – 180° BT pada 850 mb, sedangkan laju presipitasi merupakan rata-rata zonal di sekitar Pulau Jawa, yaitu

100° – 120° BT. Kotak hitam menunjukkan wilayah Pulau Jawa, sedangkan kotak hijau menandakan kejadian monsun

break pada 3 – 17 Januari 2007.

Page 8: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

7

Berdasarkan kriteria Murakami (1982), monsun

break pada Gambar 3.6a teridentifikasi pada kisaran

tanggal 21 Desember 2006 – 1 Januari 2007 dan 16 –

21 Februari 2007. Namun jika meninjau kejadian

monsun break melalui pola presipitasi di Pulau Jawa,

periode break teridentifikasi pada 3 – 17 Januari 2007

dimana pada periode ini terjadi monsun break menurut

Octarina (2011).Dapat terlihat bahwa kondisi angin

pada tanggal 3 – 17 Januari 2007 untuk Gambar 3.6a

tidak mengalami perubahan seperti penjelasan

Murakami (1982) tentang identifikasi monsun break

melalui angin. Kondisi angin baratan pada Gambar

3.6acenderung mengalami penguatan pada periode

breakJanuari 2007, padahal menurut Mukarami ketika

terjadi break seharusnya terjadi perubahan arah angin

baratan menjadi angin timuran.

Kejadian monsun break pada 3 – 17 Januari

2007 dapat dijelaskan oleh fenomena SS (southerly

surge). Jika meninjau pola angin meridional pada

Gambar 3.6a, dapat terlihat perubahan arah angin

northerly menjadi angin southerly pada periode

Desember 2006 akhir hingga Januari 2007 awal yang

diikuti penguatan angin southerly pada 11 – 16 Januari

2007. Berdasarkan Gambar 3.6b, 3.6c, dan 3.6d, pola

angin di wilayah BBS cenderung beragam untuk

setiap kasus. Namun dapat terlihat dalam Gambar 3.6d

untuk angin zonal, bahwa pada kasus III terlihat

terjadi pelemahan angin timuran di sekitar tanggal 1

Januari 2007 pada 20° – 30° LS, sama halnya seperti

pola angin zonal data reanalisis pada Gambar 3.6a.

Ketiga kasus gagal menunjukkan keberadaan monsun

break berdasarkan kriteria Murakami. Namun, kasus

II menunjukkan sedikit gejala pelemahan angin

timuran pada 21 Desember 2006 pada daerah ekuator

meskipun tidak terjadi perubahan arah angin menjadi

angin timuran. Jika meninjau pola presipitasi, gejala

monsun break pada 3 – 17 Januari 2007 dapat terlihat

dengan jelas pada kasus I dan kasus III. Kasus I

(Gambar 3.6b) menunjukkan penurunan laju

presipitasi pada awal Januari 2007 di selatan Pulau

Jawa, yaitu di sekitar wilayah 10° – 15° LS. Namun,

periode break yang terjadi pada kasus I jauh lebih

panjang daripada periode break yang ditunjukkan oleh

data reanalisis.

Kasus II (Gambar 3.6c) tidak menunjukkan pola

penurunan laju presipitasi yang diharapkan. Laju

presipitasi yang rendah di Pulau Jawa terlihat pada

akhir Desember 2006, sedangkan data reanalisis

menunjukkan puncak laju presipitasi di Pulau Jawa

pada periode tersebut.

Kasus III (Gambar 3.6d) menunjukkan

penurunan laju presipitasi pada awal Januari 2007 di

sekitar wilayah Pulau Jawa, tepatnya di sekitar 5° –

15° LS. Gejala ini cukup sesuai dengan gejala yang

ditunjukkan oleh data reanalisis. Hanya saja

penurunan presipitasi pada kasus III terjadi pada

periode yang sedikit lebih awal dan pada bagian utara

Pulau Jawa masih terlihat tingkat presipitasi yang

cukup tinggi.

Kecenderungan kejadian SS dapat terlihat untuk

pola angin meridional pada kasus III (Gambar 3.6d)

meskipun terdapat lag-time dan nilai yang berbeda

dengan data reanalisis (Gambar 3.6a). Dapat terlihat

pada Gambar 3.6d terjadi penguatan angin southerly

pada 11 – 16 Januari 2007. Kasus I dan II tidak

menunjukkan perubahan yang terlalu signifikan pada

pola angin meridional.

(mm/hari)

Gambar 3.7. Pola spasial laju presipitasi (mm/hari) dan streamline angin 850 mb di wilayah Indonesia pada periode monsun

break 3 – 17 Januari 2007 untuk (a) data reanalisis, (b) kasus I, (c) kasus II, dan (d) kasus III.

Berdasarkan Error! Reference source not

found., dapat terlihat masing-masing kasus memiliki

kekurangan dan kelebihan dalam menggambarkan

pola streamline angin. Kasus I menunjukkan

kemiripan pola streamline dengan data reanalisis di

wilayah timur Pulau Papua. Kasus II dapat

menunjukkan keberadaan vorteks di utara Pulau

Kalimantan dengan baik. Pola streamline di wilayah

Laut Cina Selatan dapat digambarkan dengan sangat

baik oleh kasus III. Ketiga kasus dapat

menggambarkan vorteks pada Pantai Barat Australia,

meskipun vorteks tersebut mengalami pergeseran ke

arah barat laut.

Pada Error! Reference source not found.a,

terlihat laju presipitasi data reanalisis di wilayah Pulau

Jawa sangat minim. Error! Reference source not

found.b menunjukkan pola presipitasi kasus I yang

masih relatif tinggi untuk wilayah Pulau Jawa, yaitu 5

– 10 mm/hari. Gambar 3.7c, dan 3.7d menunjukkan

laju presipitasi yang rendah di wilayah Pulau Jawa (di

bawah 5 mm/hari). Namun pada Gambar 3.7c, terlihat

kasus II menunjukkan pola laju presipitasi yang tinggi

untuk wilayah timur Pulau Jawa. Pada Gambar 3.7d

Page 9: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

8

laju presipitasi yang tinggi masih tampak di utara

Pulau Jawa.

Kasus I dan II tidak menggambarkan pola laju

presipitasi spasial yang cukup baik pada periode

monsun break. Pola laju presipitasi kisaran 5 – 10

mm/ hari terlihat mengalami pelebaran di wilayah

Laut Cina Selatan pada kasus I. Terlihat pula laju

presipitasi di wilayah Kalimantan dan Sumatera

bagian utara pada kasus I cukup rendah dibandingkan

dengan data reanalisis. Pola laju presipitasi di

Indonesia bagian selatan terlihat mengalami over

estimation pada kasus II. Secara keseluruhan kasus III

mampu menggambarkan pola laju presipitasi yang

sesuai dengan data reanalisis, terlihat dari sebaran

sabuk hujan dan kondisi kering di wilayah Samudera

Hindia, sebelah barat Australia.

Menurut Hermawanto (2011), wilayah monsoon

trough umumnya mengalami gangguan cuaca berupa

terjadinya hujan atau gangguan sinoptik lainnya.

Berdasarkan Gambar 3.7, data reanalisis maupun

ketiga kasus menunjukkan posisi sabuk hujan di

daerah ekuator. Sabuk hujan ini dapat diasosiasikan

dengan keberadaan monsoon trough tersebut. Hal ini

menunjukkan pergeseran letak monsoon trough ke

arah utara pada periode break, karena secara teoritis

monsoon trough terletak di utara Australia pada

musim dingin BBU (North. Territory, 2011).

Gambar 3.8. Plot angin meridional rata-rata dari 25° – 30°

LS dan 105° – 115° BT di level 850 mb pada tanggal 1 –

31 Januari 2007. Garis hitam menunjukkan data

reanalisis, garis merah menunjukkan kasus I, garis hijau

menunjukkan kasus II, dan garis biru menunjukkan

kasus III. Garis hitam putus-putus menunjukkan

threshold SS aktif, yaitu 6.7 m/s sesuai dengan

penelitian Amelia (2010). Kotak hitam merupakan

pembatas waktu 3 – 17 Januari 2007.

Gambar 3.8 menunjukkan indeks SS

berdasarkan nilai angin meridional rata-rata pada level

850 mb. SS dikategorikan aktif jika angin meridional

rata-rata lebih besar dari threshold tertentu (dalam hal

ini 6.7 m/s). Berdasarkan indeks SS tersebut, frekuensi

kemunculan SS aktif selama bulan Januari 2007 pada

data reanalisis adalah 4 kali, kasus I adalah 5 kali,

kasus II adalah 3 kali, dan kasus III adalah 3 kali.

Ketiga kasus mengalami over estimation dalam

menggambarkan SS aktif pada akhir bulan Januari

2007 (setelah tanggal 22 Januari 2007).

Dapat terlihat dalam Gambar 3.8 bahwa kasus

III mampu menunjukkan keberadaan SS aktif pada

rentang waktu 3 – 17 Januari 2007. Kasus I dan kasus

II dapat menunjukkan gejala SS aktif di sekitar

tanggal 13 – 15 Januari 2007, tetapi tidak terlalu

signifikan seperti gejala yang ditunjukkan oleh kasus

III pada 6 – 12 Januari 2007.

Dengan meninjau hasil simulasi yang diperoleh

untuk setiap kasus, dapat terlihat besarnya

ketidakpastian dalam melakukan prediksi musiman.

Meskipun kasus III pada akhirnya dapat menunjukkan

pola angin meridional rata-rata terkait SS, tetapi pola

angin dari kasus I dan II dapat menunjukkan pola yang

lebih serupa dengan data reanalisis pada waktu dan

wilayah tertentu. Oleh karena itulah dalam melakukan

prediksi musiman, sebenarnya tidak cukup hanya

dengan meninjau hasil dari sebuah kasus prediksi

secara deterministik, melainkan harus melalui kajian

yang lebih mendalam menggunakan metode ensemble

(Kalnay, 2003).

4. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

persiapan IC untuk CAM3 dapat dilakukan dengan

menggunakan metode spin-up dengan periode selama

tiga bulan. Proses pembuatan IC CAM3 dapat

diperbaiki dengan memasukkan data FNL ke dalam

proses spin-up. Terdapat dua teknik yang dapat

dilakukan, yaitu teknik transplant analysis dan

“nudging” bertahap.

Secara keseluruhan, proses spin-up yang

dilakukan pada kasus III dengan metode “nudging”

bertahap dapat memperbaiki IC yang dihasilkan.

Teknik “nudging” tersebut tidak dilakukan dengan

menambahkan suku relaksasi ke dalam persamaan

model, melainkan dengan melakukan penggantian

variabel IC CAM3 dengan variabel dari FNL secara

bertahap pada proses spin-up. Teknik transplant

analysis pada kasus II tidak disarankan untuk

diterapkan karena CAM3 cenderung menghasilkan IC

yang kurang baik, terlihat dari hasil verifikasi dimana

IC kasus II lebih baik daripada kasus I dan III hanya

untuk variabel kelembapan spesifik pada level atas.

Meskipun begitu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut

untuk menilai prosedur pembuatan IC yang lebih baik

dengan cara meningkatkan jumlah sampel dalam

evaluasi, misalnya dengan meningkatkan jumlah kasus

maupun memperpanjang periode kajian.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa simulasi

CAM3 dengan IC yang dihasilkan melalui proses

spin-up pada kasus III dapat menggambarkan

fenomena monsun break pada Januari 2007 yang

terkait dengan southerly surge. Fenomena tersebut

dapat teridentifikasi berdasarkan pola angin

meridional dan tingkat presipitasi. Kasus III dapat

menunjukkan penurunan presipitasi dalam rentang

waktu 3 – 17 Januari 2007 untuk daerah Pulau Jawa.

Kasus I dapat menunjukkan kecenderungan monsun

break di selatan Pulau Jawa, hanya saja periode yang

ditunjukkan oleh kasus I terlalu panjang dibandingkan

Page 10: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan ... ( V) adalah vektor kecepatan

9

reanalisis. Kasus II tidak menunjukkan gejala monsun

break pada rentang waktu 3 – 17 Januari 2007.

Berdasarkan pola angin meridional pada level 850 mb

di wilayah 25° – 30° LS dan 105° – 115° BT, kasus III

menunjukkan kemunculan southerly surge aktif pada

rentang waktu 3 – 17 Januari 2007.

Dapat disimpulkan juga bahwa untuk melakukan

simulasi ataupun prediksi musiman selama tiga bulan

ke depan dengan menggunakan CAM3, pengaruh

inisialisasi cukup signifikan. Simulasi monsun dengan

IC kasus I dan II tidak dapat menggambarkan

fenomena monsun break yang ditinjau secara tepat.

Hasil simulasi menggunakan IC dari ketiga

kasus juga menunjukkan besarnya ketidakpastian

dalam prediksi musiman. Hal ini dapat terlihat dari

adanya perbedaan perkembangan kondisi musim yang

digambarkan dalam simulasi dari masing-masing IC,

serta adanya kondisi dimana kasus I dan kasus II

menunjukkan pola yang lebih baik daripada kasus III

meskipun IC dari kasus III merupakan IC terbaik

berdasarkan hasil verifikasi. Oleh karena itulah,

prediksi musiman sebaiknya tidak dilakukan secara

deterministik, melainkan menggunakan metode

ensemble untuk mengatasi ketidakpastian tersebut.

Terkait dengan penelitian yang telah dilakukan

ini, masih diperlukan suatu kajian lanjutan mengenai

metode untuk inisialisasi model daratan CLM sebagai

model yang secara aktif berinteraksi dengan CAM3

yang dijalankan secara standalone. Hal ini penting

dilakukan untuk memperbaiki hasil simulasi atmosfer

oleh CAM3 karena beberapa bias yang terjadi pada

hasil spin-up, contohnya temperatur permukaan,

merupakan akibat dari interaksi antara model daratan

dan atmosfer.

REFERENSI

Amelia, Y. (2010). Kajian variasi Pola Curah Hujan Januari

di Wilayah Monsun Asia-Australia dan

Keterkaitannya dengan Fenomena Southerly Surge.

Tugas Akhir S1, Institut Teknologi Bandung, Program

Studi Meteorologi, FITB.

Boyle, J. D., D. Williamson, R. Cederwall, M. Fiorino, J.

Hnilo, J. Olson, T. Phillips, G. Potter, dan S. Xie.

(2004). Diagnosis of CAM2 in NWP configuration at

ARM sites. Journal of Geophysical Research

(submitted version).

Chen, H. T. (2010). Performance of the New NCAR

CAM3.5 in East Asian Summer MonsoonSimulations:

Sensitivity to Modifications of the Convection

Scheme. Journal of Climate , 23, 3657–3675.

Collins, W. D., C. M. Bitz, M. L. Blackmon, G. B. Bonan,

C. S. Bretherton, J. A. Carton, Ping Chang, S. C.

Doney, J. J. Hack, T. B. Henderson, J. T. Kiehl, W. G.

Large, D. S. Mckenna, B. D. Santer, dan R. D. Smith.

(2006a). The Community Climate System Model

Version 3 (CCSM3). Journal of Climate , 19, 2122–

2143.

Collins, W. D., Philip J. Rasch, Byron A. Boville, James J.

Hack, James R. Mccaa, David L. Willliamson, dan

Bruce P. Briegleb . (2006b). The Formulation and

Atmospheric Simulation of the Community

Atmosphere Model Version 3 (CAM3). Journal of

Climate , 19, 2144–2161.

Hurrel, J. W., James J. Hack, Dennis Shea, Julie M. Caron,

dan James Rosinski. (2008). A New Sea Surface

Temperature and Sea Ice Boundary Dataset for the

Community Atmosphere Model. Journal of Climate ,

21, 5145–5153.

Kalnay, E. (2003). Atmospheric Modelling, Data

Assimilation, and Predictability. New York:

Cambridge University Press.

Murakami, T. dan Sumi A. (1982). Southern Hemisphere

Summer Monsoon Circulation during the 1978-79

WMONEX Part II : Onset, Active and Break

Monsoon. Journal of the Meteorological Society of

Japan , 60 (2), 649-670.

NCAR. (2004a). NCAR Technical Note: Description of the

NCAR Community Atmosphere Model (CAM 3.0).

NCAR. (2004b). User's Guide to the NCAR Community

Atmosphere Model (CAM 3.0). Boulder, Colorado.

Octarina, D. T. (2011). Pengaruh Monsun Aktif dan Break

terhadap Karakteristik Vertikal Awan konvektif

Berdasarkan Analisis Data Cloudsat. Tugas Akhir S1,

Institut Teknologi Bandung, Program Studi

Meteorologi, FITB.

Santriyani, M. (2011). Analisis Pengaruh Climate Shift

terhadap Sirkulasi Monsun Asia Menggunakan Model

CAM V3.1. Tugas Akhir S1, Institut Teknologi

Bandung, Program Studi Meteorologi, FITB.

UCAR. (2012a). CCSM Introduction. Diakses pada 9 Juni

2012, dari

http://www.cesm.ucar.edu/models/ccsm3.0/ccsm/doc/

UsersGuide/UsersGuide/node3.html

UCAR. (2012b). CESM Models: CAM 3.1 Download.

Diakses pada 18 Februari 18 2012, dari CESM

Models: http://www.cesm.ucar.edu/models/atm-

cam/download/

Webster, P. J. dan J. Fasullo. (2003). Monsoon: Dynamical

theory. Encyclopedia of Atmospheric Sciences, J.

Holton dan J. A. Curry, Eds., Academic Press, 1370–

1386.

Yang, Song, Zuqiang Zhang, Vernon E. Kousky, R. Wayne

Higgins, Soo-Hyun Yoo, Jianyin Liang, dan Yun Fan.

(2008). Simulations and Seasonal Prediction of the

Asian Summer Monsoon in the NCEP Climate

Forecast System. Journal of Climate , 21, 3755–3775.