Upload
ngokhanh
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
1
Hubungan Antara Aktivitas Petir CG (Cloud-to-Ground) dan Awan Konvektif (Studi Kasus Wilayah Jawa Barat)
RACHMY FITRIANI Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Aktivitas petir cloud-to-ground (CG) telah diketahui memiliki pengaruh signifikan terhadap kegiatan manusia. Di wilayah
Jawa, kajian mengenai karakteristik petir secara umum telah diteliti dan didapat hubungan antara kejadian petir dengan pola
diurnal. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui hubungan aktivitas awan konvektif dengan sambaran petir CG.
Data awan konvektif diperoleh dari data temperatur puncak awan satelit MTSAT(Multi-Functional Transport Sattelite) dan
data sambaran petir CG didapat dari stasiun pengamatan. Perbandingan kedua data dilakukan dengan timeseries dan spasial.
Hubungan antara aktivitas awan konvektif terhadap sambaran petir CG di wilayah Jawa Barat pada penelitian ini
menjelaskan bahwa intensitas jumlah sambaran petir CG memiliki hubungan erat dengan aktivitas pertumbuhan awan
konvektif.
Kata kunci: Petir, Cloud-to-Ground (CG), CG negatif, CG positif, Multi-Functional Transport Sattelite ( MTSAT),
Awan Konvektif.
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara tropis
dengan pertumbuhan awan konvektif yang aktif
(Tjasyono, HK. 2004) dan awan ini merupakan tipe
awan yang dapat tumbuh menjadi badai guruh yang
menghasilkan petir (Jones, 1950). Salah satu jenis
sambaran yang sering terjadi adalah sambaran
cloud-to-ground (CG) yang dilaporkan sebagai
penyebab umum atas kerusakan atau kecelakaan
yang disebabkan oleh kejadian petir (Rust,1986).
Penelitian ini membahas pengaruh aktivitas
awan konvektif terhadap jumlah sambaran petir CG
di wilayah kajian dilihat dari pola spasial dan
temporal serta melihat karakteristik petir CG saat
terjadi pertumbuhan aktivitas awan konvektif di
darat dan laut. berdasarkan pendekatan penelitian-
penelitian sebelumnya, aktivitas petir diamati
melalui berbagai macam parameter seperti
temperatur puncak awan (Lhermitte dan Krehbiel,
1979), tinggi vertikal dan radius dasar awan (Holle
dan Maier, 1982) sampai pada laju pertumbuhan
pembentukan awan (Workman dan Reynolds,
1949). Kajian mengenai petir di wilayah regional
sendiri telah diteliti oleh Hamid (2000) mengenai
aktivitas petir di Indonesia menggunakan satelit
TRMM/LIS, selain itu Hidayat (1999) juga
meneliti mengenai karakteristik petir di wilayah
Jawa menggunakan Lighning Location Network
dan juga terdapat penelitian mengenai
perbandingan data satelit TRMM/LIS terhadap data
pengamatan permukaan di wilayah Jawa (Hamid,
1999). Pembahasan penelitian ini mencakup tentang
petir, awan konvektif dan hubungan antara kedua
variabel dan karakteristik masing-masing variabel
di wilayah kajian yang berasal dari penelitian
sebelumnya dilanjutkan dengan menampilkan data
yang mendukung penelitian kemudian dilakukan
analisa potensi awan konvektif menggunakan data
pengamatan awan dari satelit Multi-Functional
Transport Sattelite (MTSAT) kanal IR1,
selanjutnya dilakukan validasi data terhadap data
observasi petir melalui dengan dua cara, yaitu
timeseries dan pola spasial. Pada analisa timeseries
diambil dua sampel yaitu darat dan laut dalam
wilayah kajian, sedangkan pengamatan spasial
dilakukan dengan membandingkan aktivitas awan
konvektif terhadap lokasi dan intensitas kejadian
petir CG. Terakhir dilakukan analisafase konvektif
serta hubungannya dengan karakteristik CG yaitu
dilakukan pengamatan aktivitas awan konvektif
berkaitan dengan proses pembentukan dan
pelenyapan awan konvektif pada wilayah kajian.
2. Metode Penelitian
2.1. Analisa Potensi Awan Konvektif
Persebaran awan konvektif pada wilayah
kajian dapat diketahui melalui perhitungan indeks
konvektif, yaitu selisih temperatur puncak awan
dengan threshold temperatur IR awan. Threshold
temperatur IR awan dicari dengan menggunakan
teknik yang diajukan oleh Arkin (1979) tentang
hubungan linear antara curah hujan dan temperatur
IR pada puncak awan, dimana temperatur IR
puncak awan digunakan untuk mencari potensi
awan konvektif dengan korelasi yang tertinggi
berasal dari threshold temperatur IR puncak awan
235 K. Meski begitu, untuk temperatur 220 - 260 K
korelasi CH dan temperatur IR puncak awan masih
menunjukkan hubungan yang baik (0.80 - 0.88).
Dengan alasan tersebut, maka pada penelitian ini
threshold temperatur IR puncak awan dinaikkan
2
untuk mendapat potensi awan konvektif yang lebih
luas.
2.2. Validasi data
Validasi data pada penelitian ini dilakukan
dengan membandingkan persebaran awan
konvektif dengan jumlah kejadian sambaran petir
CG. Validasi dilakukan melalui dua cara, melalui
time series dan pola spasial.
Gambar 2.1. Wilayah kajian pengamatan, warna
biru adalah sampel penelitian di laut
dan merah adalah sampel penelitian di
darat.
Pada analisa time series diambil dua sampel
(darat dan laut) dalam wilayah kajian untuk
variabel jumlah sambaran petir CG dan persebaran
awan konvektif yang diwakili oleh indeks
konvektif. Dari time series dapat dilihat hubungan
kedua variabel tersebut dan karakteristiknya seiring
waktu dibandingkan terhadap penelitian
sebelumnya, selain itu juga dilakukan pengamatan
statistik untuk mengetahui distribusi kejadian petir
CG seiring aktivitas konvektif awan secara
kuantitatif.
Pola spasial dilakukan dengan mengamati
posisi relatif kejadian sambaran petir terhadap
persebaran awan konvektif. Meskipun akurasi
posisi kejadian petir tidak diperhitungkan karena
metode perhitungan akurasi lokasi tidak dapat
diaplikasikan dalam penelitian ini. Pengamatan
spasial dilakukan dengan membandingkan aktivitas
awan konvektif terhadap lokasi dan intensitas
kejadian petir CG.
2.3. Analisa Fase Konveksi serta Hubungan
CG Negatif dan CG Positif
Aktivitas awan konvektif berkaitan dengan
proses pembentukan dan pelenyapan awan
konvektif pada wilayah kajian. Analisa yang
dilakukan pada penelitian ini berasal dari
pengamatan spasial dengan mengamati hubungan
dan karakteristik antara jumlah sambaran petir CG
negatif dan positif terhadap pertumbuhan awan
konvektif baik yang terjadi di darat atau laut.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Perbandingan Timeseries Petir CG dan Indeks
Konvektif
Pola timeseries indeks konvektif pada Gambar
3.1(b) pada hari pertama (3-5 Februari)
memperihatkan adanya dominasi aktivitas
konvektif di wilayah laut, dan pada waktu yang
sama timeseries kejadian petir juga cenderung
memperlihatkan aktivitas CG di laut yang lebih
tinggi dibandingkan hari lainnya. Berbeda ketika
indeks konvektif lebih aktif di darat (13-15
Februari), aktivitas petir CG di darat dan laut lebih
rendah dibandingkan jumlah sambaran pada hari
lainnya, meskipun ketika terlihat peningkatan
aktivitas konvektif di laut (9-11 Februari), aktivitas
petir CG di darat ikut mengalami kenaikan. Tetapi
ketika terjadi pola diurnal yang kuat (20-25
Februari) aktivitas petir CG meningkat terutama di
daratan.
Gambar 3.1. Plot time series jumlah sambaran petir
dan rataan indeks konvektif per jam
pada wilayah sampel.
Pola sambaran petir CG yang lebih jelas dapat
dilihat pada Gambar 3.2(a), disini dapat dilihat
sambaran petir lebih dominan di darat pada hari-
hari pertama (1-5 Februari) kemudian bergeser ke
darat pada 8-10 Februari dan terus mengalami
penurunan sampai tanggal 15 Februari, hingga
setelahnya (16-28 Februari) mengalami kenaikan
jumlah sambaran petir CG yang signifikan,
terutama di wilayah darat.
Pada Gambar 3.1 telah dijelaskan pada 13-15
Feb terjadi aktivitas konvektif darat yang lebih
dominan tetapi kejadian sambaran petir lebih kecil
dibandingkan hari lainnya, dan pada gambar 3.2(a)
terlihat tingginya jumlah sambaran petir di darat
pada tanggal (8-11 Februari), jika kejadian ini
dibandingkan dengan plot indeks konvektif pada
Gambar 3.1(b) diketahui aktivitas konvektif di
dominasi oleh darat dengan aktivitas konvektif
dilaut yang cukup signifikan dibandingkan dengan
tanggal (13-15 Februari) dimana terdapat aktivitas
3
konvektif darat yang dominan tetapi aktivitas
konvektif lautnya sangat rendah.
Maka dapat disimpulkan bahwa pola jumlah
sambaran petir CG mengikuti pola aktivitas
konveksi di wilayah tersebut, meskipun terdapat
kemungkinan adanya pengaruh aktivitas konveksi
di laut terhadap intensitas jumlah sambaran petir
CG di darat ketika indeks konvektif darat lebih kuat.
(a)
(b)
Gambar 3.2 (a) Timeseries rataan perhari sambaran
petir, (b)Normalisasi selisih indeks
konvektif darat dikurangi indeks
konvektif laut, nilai positif adalah
dominan darat dan negatif merupakan
dominan laut.
3.2. Perbandingan Timeseries Petir CG dan
Aktvitas Awan Konvektif Diurnal
Berdasarkan grafik perbandingan antara
aktivitas petir CG dengan indeks konvektif perhari
menunjukkan adanya perbedaan fasa antara kedua
variabel tersebut baik di darat atau laut. Di darat,
CG negatif selalu memiliki intensitas yang lebih
tinggi dibandingkan CG positif dan selalu berada
dalam fase yang sama, berbeda dengan CG negatif
dan CG positif di laut yang memiliki fase yang
berlainan dan intensitas yang berbeda setiap
waktunya.
Perbedaan dominan aktivitas konvektif dapat
mempengaruhi jumlah kejadian petir CG di darat,
misalnya pada kondisi variasi diurnal kuat jumlah
sambaran lebih tinggi dibandingkan pada ketiga
kondisi lainnya, sedangkan pada kondisi indeks
konvektif dominan darat jumlah kejadian petir CG
cukup kuat, dan yang paling rendah pada saat
kondisi indeks konvektif dominan laut.
Pada Gambar 3.4(a,b,c). saat kondisi aktivitas
konvektif menurun, sambaran petir masih terjadi
dan bertambah pada pukul 19.00 WIB kemudian
menurun satu jam setelahnya. Posisi sambaran petir
cenderung berpusat pada tempat pengamatan dan
tidak terlihat terpengaruh oleh posisi indeks
konvektif. Sedangkan saat kondisi aktivitas awan
konvektif mengalami peningkatan pada Gambar
3.4(d,e,f), terlihat posisi sambaran petir cenderung
menyebar dan tidak selalu berada dalam awan
konvektif. Posisi sambaran petir cenderung jauh
terhadap lokasi potensi awan konvektif.
(a) (b)
(c)
Gambar 3.3 Sampel perbandingan aktivitas petir CG dan Indeks konvektif (a)Indeks konvektif dominan darat,
(b) Indeks konvektif dominan laut, dan (c) Variasi diurnal kuat.
4
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
Gambar 3.4. Plot overlay sambaran petir CG terhadap potensi awan konvektif pada (a) 8 Februari 2009, 18.00
WIB (b) 8 Februari 2009, 19.00 WIB (c) 8 Februari 2009, Pukul 20.00 WIB. (d) 28 Februari 2009,
13.00 WIB (e) 28 Februari 2009, 14.00 WIB (f) 28 Februari 2009, 15.00 WIB. Kontur
menunjukkan temperatur puncak awan dalam Celcius ( oC), daerah berarsir merupakan potensi
awan konvektif.
3.3. Perbandingan Aktivitas Awan Konvektif
terhadap CG Positif dan CG Negatif
Dengan asumsi terjadi lag waktu, dilakukan
korelasi lag antara data sambaran petir CG dan
potensi awan konvektif dengan nilai korelasi
tertinggi pada lag waktu 9 jam. Selanjutnya analisa
pengamatan antara data petir CG dan potensi awan
konvektif dilakukan berdasarkan lag waktu ini.
Gambar 3.5. Korelasi lag antara sambaran petir CG
dan Indeks konvektif selama bulan
Februari.
3.3.1. Aktivitas Konvektif di Darat
Di darat aktivitas konvektif memiliki fasa
yang sama terhadap sambaran CG negatif dan
positif. Pada saat terjadi peningkatan aktivitas
konvektif, didahului oleh peningkatan jumlah
sambaran CG negatif, peningkatan jumlah
sambaran CG positif terjadi setelah peningkatan
aktivitas konvektif.
Secara umum sambaran petir CG terjadi di
sekitar inti awan konvektif, dan jenis sambaran
yang mendominasi adalah sambaran CG negatif.
Dalam penelitian ini, jumlah sambaran yang sering
terjadi di darat adalah sambaran CG negatif dengan
rasio jumlah sambaran CG positif berbanding CG
negatif adalah 0.3 dengan standar deviasi 0.05.
3.3.2. Aktivitas Konvektif di Laut
Peningkatan aktivitas konvektif di laut tidak
selalu diiringi oleh aktivitas petir. Pada kondisi
terdeteksi sambaran petir, saat proses pembentukan
awan konvektif terdeteksi CG negatif di sekitar
pusat awan konvektif dan CG negatif di tepi awan
konvektif, kedua jenis sambaran tersebut mulai
berada pada tutupan awan konvektif. Ketika terjadi
puncak aktivitas awan konvektif sambaran CG
negatif lebih banyak terjadi dibandingkan CG
positif, semua aktivitas petir berada dekat inti awan.
Dan pada saat penurunan aktivitas konvektif tidak
terlihat adanya kejadian petir dekat inti awan,
meskipun terlihat ada kejadian sambaran CG ketika
awan yang telah mengalami penurunan aktivitas
5
konvektif tersebut mencapai daerah pantai.
Meskipun terdapat beberapa kejadian dimana
sambaran petir CG positif lebih dominan
dibandingkan CG negatif, dan dilihat dari time
series kedua jenis sambaran tidak memiliki fase
yang sama seperti pada aktivitas konvektif di darat.
(a) (b) (c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3.6. Plot overlay sambaran petir CG terhadap potensi awan konvektif dengan lag 9 jam terhadap indeks
konvektif. Aktivitas awan konvektif di darat (a)19 Februari 2009, 15.00 WIB (b)19 Februari
2009, 19.00 WIB (c)19 Februari 2009, 23.00 WIB; Aktivitas awan konvektif di laut (d)1 Maret
2009, 02.00 WIB (e) 1 Maret 2009, 03.00 WIB (f) 1 Maret 2009, 04.00 WIB.. Kontur
menunjukkan temperatur puncak awan dalam Celcius ( oC), daerah berarsir merupakan potensi
awan konvektif.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
pada kondisi kajian wilayah Jawa Barat bulan
Februari 2009 dapat disimpulkan bahwa;
· Jumlah sambaran petir CG berkaitan dengan
intensitas aktivitas pertumbuhan awan konvektif,
data aktivitas awan konvektif melalui perhitungan
indeks konvektif dapat menggambarkan kejadian
petir di wilayah kajian.
· Jumlah sambaran CG terdeteksi tertinggi pada
saat intensitas diurnal kuat, diikuti oleh pada
kondisi awan konvektif dominan darat, dan yang
paling rendah pada kondisi awan konvektif
dominan laut.
· Aktivitas awan konvektif di darat memiliki
fase yang sama terhadap sambaran petir CG.
Sambaran CG negatif mengalami
peningkatan aktivitas mendahului aktivitas
awan konvektif darat diikuti peningkatan
aktivitas jumlah sambaran CG positif.
Jumlah sambaran yang dominan pada
aktivitas awan konvektif darat adalah CG
negatif. Aktivitas awan konvektif di laut
tidak selalu diikuti oleh aktivitas petir.
Semua kejadian sambaran petir CG terjadi di
sekitar pusat awan konvektif.
5. Saran dan Diskusi
Kajian mengenai petir CG di Indonesia masih
terbatas jumlahnya dan dalam penelitian tugas
akhir mengenai petir CG ini masih banyak
pembahasan yang dapat dikembangkan.
Penambahan jumlah stasiun dapat dilakukan untuk
menentukan posisi kejadian petir yang lebih akurat,
selain itu dapat diteliti mengenai karakteristik petir
CG di wilayah Indonesia pada bulan kering, atau
dapat menggunakan parameter lain untuk melihat
hubungannya terhadap aktivitas petir CG. Selain itu
perlu diperhatikan pengecekan waktu data
pengamatan lightning detector dengan waktu acuan,
karena data pengamatan lightning detector
mengambil data waktu dari komputer lokal.
6
REFERENSI
Arkin, P. A. (1979). The Relationship between
Fractional Coverage of High Cloud and
Rainfall Accumulation during GATE over
the B-Scale Array. Monthly Weather Review
vol.107 , 1382-1387.
Hidayat, S. a. (1998). Spatial and temporal
distribution of lightning activity around
Java. Journal Geophysics Research ,
103(D12).
Hidayat, S. K. (1999). Lightning Characteristics on
Java Island Observed by Lightning Location
Network. London: 11th International
Symposium on High-Voltage Engineering.
Jones, R. (1950). The Temperature at The Tops of
Radar Echoes Associated with Various
Cloud Systems. Quarterly Journal of The
Royal Meteorology Society , 312-330.
Krehbiel, P. R. (1986). The Electrical Structure of
Thunderstorms. Dalam The Earth's
Electrical Environment (hal. 90-113).
Washington D.C.: National Academy Press.
Krider, E. P. (1986). Physics of Lightning. Dalam
The Earth's electrical environment (hal. 30).
Washington, DC: National Academy Press.
Lhermitte, R., dan Krehbiel, P. (1979). Doppler
Radar and Radio Observations of
Thunderstorms. IEEE Transactions on
Geoscience Electronics , 162-171.
Lhermitte, R., dan Williams, E. (1985).
Thunderstorms electrification: A case study.
Journal Geophysics Res. , 6071-6078.
Rust, W. D. (1986). Positive Cloud-to-Ground
Lightning. Dalam The Earth's electrical
environtment (hal. 41). Washington DC:
National Academy Press.
Syahputra, R. (2008). Kajian Korelasi Rain-rates
dan Temperatur Puncak Awan dalam
Estimasi Curah Hujan dengan
Menggunakan Data Satelit Geostasioner
dan TRMM (Tropical Rainfall Measuring
Mission). Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Tjasyono HK, B. (2004). Klimatologi. Bandung:
Penerbit ITB.
Tjasyono HK, B. (2008). Meteorologi Terapan.
Bandung: Penerbit ITB.
Workman, E., dan Reynolds, S. (1949). Electrical
Activity as Related to Thunderstorm Cell
Growth. America Meteorological Society ,
142-144.