Upload
lammien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI GUGAT
DI PENGADILAN AGAMA KOTA PALEMBANG
Oleh:
Rusmala Dewi Jayanti 103044128090
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1428 H / 2007 M
FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI
GUGAT DI PENGADILAN AGAMA KOTA PALEMBANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Disusun Oleh:
Rusmala Dewi Jayanti 103044128090
Dibawah Bimbingan:
Drs.H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A Sri Hidayati, M.Ag NIP:150 169 102 NIP:150 282 403
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1428 H / 2007 M
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi yang berjudul Faktor Penyebab Tingginya Perkara Cerai Gugat di
Pengadilan Agama Kota Palembang , telah diujikan dalam sidang munanqasah Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15
Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Ahwal As-Sakhsiyyah.
Jakarta, September 2007
Disahkan oleh
Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH.MA.MM) NIP: 150 210 422
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua : Drs.H.A Basiq Djalil. SH.MA (……………………)
NIP: 150 169 102
Sekretaris : Kamarusdiana. S.Ag.MH (……………………)
NIP: 150 285 972
Pembimbing I : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, M.H (……………………)
NIP: 150 169 102
Pembimbing II : Sri Hidayati. M.Ag (……………………)
NIP: 150 282 403
Penguji I : Drs. H. Husni Thoyar, M.Ag ( ……………………)
NIP: 150 050 919
Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag, M.H ( ……………………)
NIP: 150 285 972
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar…
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang Maha
Mengetahui. Yang Maha Mendengar. Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada
hambaNya yang dhaif ini. Atas berkat, izin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Hanya Dia-lah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Dibandingkan
dengan ilmu-Nya, maka ilmu yang Dia berikan kepada penulis ibarat setitik tinta yang
dicelupkan di Samudera yang luas. Hanya Dia-lah satu-satunya tempat penulis memohon
segala sesuatu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “FAKTOR
PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
KOTA PALEMBANG”
Salawat dan salam semoga senantiasa terus mengalir kepada Rasul tercinta
Muhammad Saw, yang dengannya tercapailah risalah islam ini hingga menebar
keharumannya di seluruh jagad alam ini, beserta sahabat dan keluarganya, semoga kita
termasuk kafilah penerus perjuangan rasul tercinta. Amin Ya Rabbal Alamin. Dalam
kehidupan ini senantiasa ada orang-orang yang menjadi batu pijakan untuk meraih
keberhasilan. Apakah itu besar atau kecil, peranan orang-orang tersebut tidak dapat di
abaikan begitu saja.
Penulis menyadari, bahwa selesainya skripsi ini tidak luput dari dorongan dan
bantuan berbagai pihak, baik moril maupun materill, untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, terutama kepada :
1. Bapak Djohan Syafri dan Ibunda Hj. Tugirah, S.Pd, kakakku Darmawan Hertanto
dan Adindaku Rini Sri Astuti yang tiada hentinya dan tiada lelahnya memberikan
motivasi dan do’a kepada penulis serta memberikan bantuan moril terlebih lagi
materil. Semoga Allah swt melimpahkan rahmt dan kasih sayangNya kepada kalian
semua. Rabbifirli waliwalidayya waliman dakhala baitiya mu’minan wally
mu’mininna wal mu’minnati. Amin Ya Rabbal Alamin.
2. Bapak Pof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum.
3. Bapak Drs.H. A. Basiq Djalil, S.H, M.A, selaku Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah
dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H, selaku Sekretaris Jurusan Ahwal
Syakhsiyyah
4. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, M.A dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku
pembimbing skripsi penulis yang dengan kesabarannya membimbing penulis dan
meluangkan waktu sibuknya untuk penulis.
5. Bapak Drs. Andi Makil, H.M, selaku Ketua Pengadilan Agama Palembang yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan riset di Pengadilan Agama
Palembang. Ibu Dra. Asma Zainuri, S.H, Hakim Pengadilan Agama Palembang
yang dari beliau penulis melakukan wawancara menyangkut skripsi penulis. Bapak
Drs. Azkar, S.H, Bapak Edy Syafiq, S.H, Bapak Sahlanudin, S.Ag, S.H, Bapak Qori
dan seluruh staf dan karyawan di Pengadilan Agama Kota Palembang yang telah
banyak membantu penulis selama melakukan riset di Pengadilan Agama
Palembang.
6. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan
IAIN Raden Fatah Palembang beserta karyawannya yang telah memberikan
fasilitas serta kemudahan pada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan,
Jazakumullah Khairan Katsiran.
7. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya di program studi Ahwal
Syakhsiyyah, Jazakumulllah Khairan Katsiran atas bimbingan dan ilmu yang
diberikan selama penulis menimba ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum ini.
8. Keluarga besar kosan Al-Kautsar Bapak H. Wanhar besarta keluarga dan teman-
teman kos, ika, nur, e’em, rahmah dan yang lainnya,. Jazakumullah atas
kebersamaannya.
9. Ayundaku Shinta Radesti, S.Si yang selalu memberikan motivasi kepada penulis
lewat sms-smsnya dan setia mendengarkan curhat penulis selama menyelesaikan
skripsi ini.
10. Sahabat-sahabatku tercinta Pit, Ferry, Bad, Dila, Cicit, Firman, Fai, Hadziq, Fa’at,
Arif dan yang lainnya kelas PA (B) angkatan tahun 2003. Juga untuk sahabat dari
Malaysia, K’Erny, K’Noni, K’Shaimah, K’Syidah, Hafiz bin Yunus, K’Saefullah,
serta sahabat-sahabat seperjuanganku lainnya yang tidak bisa disebut satu-persatu.
Jazakumullah khairan katsiran, penulis mencintai dan menyayangi kalian semua
karena Allah Swt. “Rabbi au ziqni an asykura ni’matakal lati anamta alaiya Wa
ala waalidayya wa an a’ mala shalihan tardhohu wa adkhilni birahmatika fi i’
Badikasshalihin.” Semoga segala bantuan yang telah diberikan akan dibalas oleh
Allah Swt dengan pahala yang berlipat ganda. Amin ya rabbal alamin.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt semuanya penulis pasrahkan. “Hasbiyallahu
laillahaillahu,’alaihi tawakaltu wahuwarabbul arsyil adzim”. Semoga skripsi ini
bermanfaat, terutama bagi penulis, maupun bagi pembaca pada umumnya. Amin.
Jakarta, 16 Jumadil Akhir 1428 H. 1 Juli 2007 M.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
D. Metode Penelitian .......................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan..................................................................... 9
BAB II PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ....................................... 11
B. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian ......................................... 25
C. Perbedaan Cerai Gugat dan Permohonan Cerai ............................ 29
D. Prosedur Administrasi Cerai Gugat ............................................... 32
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA PALEMBANG
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Palembang ............................ 39
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Palembang....................... 49
C. Kompetensi Absolute dan Relatif Pengadilan Agama Palembang.. 53
D. Statistik Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang .. 58
BAB IV FAKTOR PENYEBAB CERAI GUGAT DI PENGADILAN
AGAMA PALEMBANG
A. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang …………. 61
B. Latar Belakang Penggugat …………………………….…………. 62
C. Faktor-Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang
……………………………………………………….. 62
D. Analisa Tentang Tingginya Perkara Cerai Gugat ………………… 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 77
B. Saran-Saran ………………………………………………………. 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... ........ 83
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama
Palembang Tahun 2004-2006............................................................... 59
Tabel 3.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan yang Diputus Tahun
2004-2006............................................................................................. 59
Tabel 3.3 Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun
2004-2006............................................................................................. 60
Tabel 3.4 Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun (Tahun 2004 sampai Tahun2006)
..............................................................................................................60
Tabel 4 Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun
2006 ...................................................................................................... 65
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
F. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
G. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 5
H. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
I. Metode Penelitian .......................................................................... 7
J. Sistematika Penulisan..................................................................... 9
BAB II PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN
E. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ....................................... 11
F. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian ......................................... 25
G. Perbedaan Cerai Gugat dan Permohonan Cerai ............................ 28
H. Prosedur Administrasi Cerai Gugat ............................................... 32
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA PALEMBANG
E. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Palembang ............................ 38
F. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Palembang....................... 48
G. Kompetensi Absolute dan Relatif Pengadilan Agama Palembang.. 52
H. Statistik Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang .. 57
BAB IV FAKTOR PENYEBAB CERAI GUGAT DI PENGADILAN
AGAMA PALEMBANG
A. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang …………. 60
E. Latar Belakang Penggugat …………………………….…………. 61
F. Faktor-Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang
……………………………………………………….. 61
G. Analisa Tentang Tingginya Perkara Cerai Gugat ………………… 72
BAB V PENUTUP
C. Kesimpulan ………………………………………………………. 79
D. Saran-Saran ………………………………………………………. 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... ........ 85
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama
Palembang Tahun 2004-2006............................................................... 58
Tabel 3.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan yang Diputus Tahun
2004-2006............................................................................................. 58
Tabel 3.3 Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun
2004-2006............................................................................................. 59
Tabel 3.4 Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun (Tahun 2004 sampai Tahun2006)
..............................................................................................................59
Tabel 4 Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun
2006 ...................................................................................................... 59
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama
Palembang Tahun 2004-2006............................................................... 59
Tabel 3.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan yang Diputus Tahun
2004-2006............................................................................................. 59
Tabel 3.3 Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun
2004-2006............................................................................................. 60
Tabel 3.4 Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun (Tahun 2004 sampai Tahun2006)
..............................................................................................................60
Tabel 4 Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun
2006 ...................................................................................................... 65
MOTTO :
“Janganlah mengambil ilmu dari
buku saja. Barang siapa tidak pernah
mendatangi ulama (ilmuan), maka ia
tidak akan berakar dalam kemuliaan.
Barang siapa tidak pernah menanggung
derita belajar maka ia tidak akan
merasakan lezatnya ilmu pengetahuan”
“Wattazawwadu Fainna Khairraz
Zaddit Taqwa”, Berbekallah dan Sebaik-
baik bekal adalah TAQWA”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu di alam wujud ini diciptakan oleh Allah Swt berpasang-
pasangan, Allah Swt berfirman:
ومن آل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذآرونArtinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebesaran Allah”. (az-Zariyat/51: 49)
Dan juga firman-Nya,
أنه خلق الزوجين الذآر والأنثىوArtinya: “Dan bahwa Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan
perempuan” . (Al-Najm/53: 45)
Al Qur'an menjelaskan bahwa manusia (laki-laki) secara naluriah, di samping
mempunyai keinginan terhadap harta dunia, anak keturunan dan yang lain-lain, juga
sangat menyukai lawan jenisnya.
Perkawinan merupakan ikatan yang suci dan kokoh. Oleh sebab itu perkawinan
oleh Al-Qur'an disebut dengan kata nikah dan misaq (perjanjian). Nikah secara bahasa
ialah al-dhammu wa al-wath’u1 yang berarti berkumpul dan bersetubuh. Muhammad
Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakiah
Daradjat 2:
1 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuh, (Baerut: Darul Fikr, 1991), Juz VII, h. 29 2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenda Media, 2003), Cet. Ke-1, h.9
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan
memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.
Segala sesuatu yang disyari'atkan Islam mempunyai tujuan sekurang-kurangnya
mengandung hikmah tertentu tak terkecuali perkawinan. Tujuan perkawinan Islam tidak
dapat dilepaskan dari pernyataan Al-Qur'an. Al-Qur'an menjelaskan:
ة إن ودة ورحم نكم م ل بي ا وجع ومن ءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليه
في ذلك لآيات لقوم يتفكرونArtinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan isteri-isteri
bagi para laki-laki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram (sakinah), kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir”. (Ar-Rum/30: 21)
Ayat tersebut di atas mengungkapkan tujuan dasar dari setiap pembentukkan
rumah tangga, yaitu di samping untuk mendapatkan keturunan yang shaleh adalah
untuk dapat hidup tenteram adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang.
Ikatan pertama pembentukkan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang
dilakukan waktu akad nikah. Kalimat ijab kabul sangat mudah untuk di ucapkan oleh
calon suami dan wali calon isteri.
Artinya, bahwa ucapan ijab kabul sungguh gampang diucapkan namun berat
pada pelaksanaannya karena memerlukan perhatian yang serius dan terus menerus.3
3 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi
Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, 2004 ), hal. 96
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami isteri penuh
kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa
kasih sayang itu bila tidak dibina bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti
dengan kebencian. Jika kebencian sudah datang dan suami isteri tidak dengan sungguh
hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya maka akan
berujung ke arah perceraian. Dalam sebuah rumah tangga sulit digambarkan tidak
terjadinya sebuah percekcokan. Akan tetapi, percekcokan itu sendiri beragam
bentuknya ada yang ibarat seni dan irama dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
mengurangi keharmonisan dan ada pula yang menjurus kepada kemelut berkepanjangan
yang bisa mengancam eksistensi lembaga perkawinan.
Setiap perkawinan tentulah diharapkan akan bertahan seumur hidup. Ada
kalanya harapan ini tidak tercapai karena rumah tangga bahagia yang diidam-idamkan
melalui perkawinan berubah menjadi neraka. Maka terbukalah pintu bagi perceraian.
Karena awal dari suatu perkawinan adalah cinta kasih yang membayangkan
kebahagiaan, maka selalulah peristiwa perceraian diliputi oleh ledakan-ledakan emosi.
Menjadilah kasus perceraian di Pengadilan sebagai perkara yang paling banyak di
tangani hakim. Tak terkecuali Pengadilan agama kota Palembang dalam beberapa tahun
terakhir ini banyak sekali menerima perkara perceraian khususnya perkara cerai gugat.
Karena itu keseimbangan kedudukan suami isteri dalam menangani kasus perceraian
sangat penting artinya. Ini tidak saja menyangkut keadilan dan kepastian hukum, tetapi
juga menghilangkan prasangka-prasangka yang tidak berdasar dari suami isteri yang
sedang berperkara terhadap hakim yang menangani perkaranya.4
Kasus perceraian di Kota Palembang, selama beberapa tahun ini tertinggi di
Sumatera Selatan.5 Pengadilan Agama Palembang dalam kurun waktu 3 tahun yaitu
dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 perkara yang diterima dan yang diputus
untuk perkara perceraian semakin meningkat, khususnya gugatan perkara yang diajukan
oleh pihak isteri. Banyaknya cerai gugat yang diajukan oleh pihak isteri ini , tentulah
dilatar belakangi oleh banyak faktor.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengkajinya dalam skripsi
yang berjudul “FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI GUGAT
DI PENGADILAN AGAMA KOTA PALEMBANG”. Hal yang memotivasi penulis
untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Palembang menyangkut judul
diatas adalah dari penelitian tersebut diharapkan mampu memberikan jawaban dan
penjelasan yang gamblang mengenai faktor penyebab perkara cerai gugat di Pengadilan
Agama Palembang. Di samping itu juga karena penulis adalah asli putri daerah tersebut
ingin memberikan sebuah wacana dan pencerahan kepada masyarakat mengenai
keberadaan Pengadilan Agama Palembang.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini, perlu
kiranya penulis membatasi masalah sehingga jelas masalah yang akan dibahas. Dalam
4 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke- 1, h. 124-125 5 http://www.kompas.com/kesehatan/news/0508/05/073853.htm, h.2
skripsi ini penulis membatasi masalahnya yaitu perkara cerai talak dan perkara cerai
gugat. Namun yang menjadi fokus bahasannya adalah perkara cerai gugat. Selain itu
juga membahas faktor yang menjadi penyebab tingginya perkara cerai gugat di
Pengadilan Agama Kota Palembang. Untuk itu penulis memfokuskan dan
mengefektifkan pengolahan datanya hanya pada perkara cerai gugat dari tahun 2004
sampai tahun 2006 yang terdapat di Pengadilan Agama Kota Palembang.
Dari latar belakang dan batasan masalah tersebut maka dapat penulis rumuskan
sebagai berikut: “Perceraian hal yang sangat dibenci Allah, walaupun halal.
Sebaliknya perkawinan merupakan hal yang terpuji dan BP4 merupakan lembaga
perdamaian/penasehat yang memberi pengarahan serta pembinaan kepada suami isteri
agar dapat menghindari perceraian. Namun kenyataan di lapangan jumlah perkara
perceraian semakin banyak di tangani hakim. Hal ini penulis ingin telusuri
penyebabnya untuk kemudian dapat diambil langkah yang lebih tepat untuk
mengatasinya.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Mengacu pada masalah penelitian, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab tingginya perkara cerai gugat di
Pengadilan Agama Palembang selama kurun waktu 3 tahun dari tahun 2004 sampai
tahun 2006. Selain itu juga untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
tingginya kasus perceraian khususnya untuk perkara cerai gugat di Pengadilan Agama
Palembang.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu pengamalan antara teori yang
telah didapatkan di perkuliahan dengan praktek yang ada di lapangan. Dan sebagai
bahan evaluasi bagi tokoh masyarakat, Da’i, pendidik serta yang lainnya, untuk
dapat menanamkan nilai-nilai atau dasar-dasar pemahaman agama yang kuat kepada
masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga memberikan informasi dan wacana baru
mengenai Pengadilan Agama yang ada di kota Palembang.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan lapangan penelitian
khususnya di bidang hukum keluarga.
D. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif yaitu berupaya
menghimpun data dan informasi yang telah ada atau telah terjadi di lapangan.6
Bersifat eksploratif yaitu peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab-sebab
atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan bertujuan untuk
6 Nana Sudjana dan Awal Kusumah, Proposal Penelitian Di Perguruan Tinggi, (Bandung: PT. Sinar
Baru Algensindo, 2000), h. 85
menggambarkan keadaan sesuatu.7 Dalam hal ini peneliti hanya ingin mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu yaitu apa saja yang menjadi
sebab tingginya perkara cerai gugat yang terdapat di Pengadilan Agama Kota
Palembang.
2. Sumber Data
Penentuan instrument penelitian ini berupa peneliti sebagai instrument
peneliti utama dengan menggunakan pengamatan/observasi terlibat, wawancara,
penggunaan dokumen dan sumber tertulis lainnya. Wawancara diperlukan untuk
melakukan analisis dan interpretasi langsung dari hasil pengamatan. Menilik jenis
penelitian ini, maka jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif dan kuantitatif
yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber tertulis baik yang sifatnya primer dan
skunder.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer berupa, (i) Studi
dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data yang terdapat di Pengadilan Agama
Palembang berupa putusan hakim dan dokumentasi tentang sejarah Pengadilan
Agama Palembang. (ii) Interview (wawancara) yang dimaksudkan untuk menggali
keterangan-keterangan dan informasi penting dari narasumber yang berkaitan
dengan skripsi ini. Narasumber tersebut adalah Hakim di Pengadilan Agama
Palembang. Interview dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa tape
recorder.
7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1998), Cet. Ke -11, h. 245
3. Pengolahan dan Analisa Data
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif analitik
yaitu teknik analisa data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari
hasil observasi di lapangan kemudian data tersebut di analisa secara kuantitatif
untuk mencari seberapa besar tingkat perkara yang telah diterima dan yang telah
diputus oleh Pengadilan Agama Palembang. Data kuntitatif ini diproses dengan 2
(dua) cara8 yaitu pertama dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang
diharapkan dan diperoleh persentase, kedua diklasifikasikan, dijumlahkan sehingga
menjadi suatu susunan urut data untuk selanjutnya dibuat tabel. Kemudian di proses
lebih lanjut menjadi perhitungan untuk diambil kesimpulan. Pada akhirnya data
tersebut diintrpretasikan dengan merujuk pada buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dijabarkan dalam skripsi ini.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisannya, penulis berpedoman pada buku penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2005.
E. Sistematika Penulisan
8 Suharsimi Arikunto, Op., Cit., h. 246
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk
bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu dari
masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Bab pertama berisi Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua berisi Pengertian dan Prosedur Perceraian, memuat pengertian dan
dasar hukum perceraian, hikmah dan akibat hukum perceraian, perbedaan cerai gugat
dan permohonan cerai dan prosedur administrasi cerai gugat.
Bab ketiga berisi Gambaran Umum Pengadilan Agama Palembang, memuat
sejarah singkat pengadilan agama Palembang, struktur organisasi pengadilan agama
Palembang, kompetensi absolute dan relatif pengadilan agama Palembang dan statistik
perkara perceraian di pengadilan agama Palembang.
Bab keempat berisi tentang Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Palembang memuat, perkara cerai gugat di pengadilan agama Palembang, latar
belakang Penggugat, faktor-faktor penyebab cerai gugat di Pengadilan Agama
Palembang dan analisa tentang tingginya perkara cerai gugat
Bab kelima berisi Penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB II
PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian
Keutuhan dan kelanggengan kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang di gariskan Islam. Akad nikah merupakan suatu perjanjian untuk selamanya
dan langgeng hingga meninggal dunia. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai
ikatan yang paling kokoh. Ikatan kokoh antara suami isteri oleh al-Qur’an disebut
dengan mitsaqan ghalidzan.9 Allah Swt berfirman :
غليظا ميثاقا منكم وأخذن بعض إلى بعضكم أفضى وقد تأخذونه وآيف
Artinya:” Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu sekalian perjanjian yang kuat”. ( An-Nisa/4:21)
Ikatan kokoh tersebut bisa menjadi tidak kokoh lagi, jika di dalam
kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut sering terjadi perselisihan.
Perselisihan tersebut terkadang sulit untuk didamaikan yang menyebabkan pihak
suami ataupun isteri menuntut cerai. Islam adalah agama yang solutif yaitu setiap
masalah senantiasa dicari jalan keluarnya. Seperti masalah shiqoq (percekcokan)
ini, ketika masalah percekcokan dalam rumah tangga tersebut terjadi, maka
9 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1, h.316
penyelesaiannya haruslah diselesaikan lewat hakam terlebih dahulu baik dari pihak
isteri ataupun dari pihak suami untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Sebagaimana diataur dalam Qs.An-Nisa:35 :
هما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصالحا وإن خفتم شقاق بين
يوفق الله بينهما إن الله آان عليما خبيراArtinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada shiqoq (percekcokan/ persengketaan)
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam ini bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (An-Nisa/4:35)
Jika kedua orang hakam yang ditunjuk untuk persoalan shiqoq ini
menghendaki hubungan suami isteri diteruskan, maka kedua suami isteri tersebut
tetap harus melanjutkan hubungan suami isteri (perkawinan) mereka. Akan tetapi,
andaikan lewat jalur hakam ini masalah shiqoq tidak dapat diselesaikan dan di
antara suami isteri tetap saling bertengkar, maka tidak ada cara lain, perceraian
merupakan salah satu jalan (solusi) agar tidak terjadi pertengkaran yang terus
menerus karena cinta dan kasih sayang sudah tidak dapat dibina lagi.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai matinya
salah seorang suami isteri tersebut. Inilah sebenarnya yang dikehendaki Islam.
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya
perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka
kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan
sebagai langkah terakhir dari usaha merukunkan rumah tangga, putusnya
perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan yang baik.10
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami
isteri. Dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad, maka sebab putusnya ikatan
perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang merupakan hak
pada isteri.11 Putusnya perkawinan atas kehendak dari suami oleh alasan tertentu
dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu disebut dengan talak yang
merupakan haknya. Sedangkan putusnya perkawinan atas kehendak isteri dan
merupakan haknya disebut dengan khulu’.12 “Perceraian” dalam istilah ahli fiqh
disebut dengan “talak” atau “furqah”. Talak berarti “membuka ikatan”,
“membatalkan perjanjian”. Furqah berarti bercerai lawan dari berkumpul.
Talak sendiri dalam hadits Nabi Saw dikatakan sebagai perkara yang
dibenci, namun halal untuk dilakukan. Sebagaimana Hadits Rasulullah Saw,
عن محارب بن , حدثنا محمد بن خالد عن معرف بن واصل, حدثنا آثير بن عبيدابغض الحالل إلى اهللا : (ليه وسلم قالعن ابن عمر عن النبي صلى اهللا ع, دثار
13)رواه ابو داود) (عزوجل الطالقArtinya :” Dikatakan Katsir Ibnu Ubaid, dikatakan Muhammad bin Khalid dari Mu’arif bin Wasil, dari Muharib bin Ditsar, dari Umar dari Nabi Saw berkata : “(perbuatan halal di sisi Allah adalah Talak)”.
10 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1,
h.124 11 Acmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1,
h.117 12 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakrata: Prenada Media, t.th), h.197 13 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1994), h. 226
Perkara halal di sini menurut Yusuf Qardhawi memberikan pengertian,
bahwa talak itu suatu rukhsah (keringanan) yang diadakan semata-mata karena
darurat yaitu ketika memburuknya hubungan suami isteri dan keduanya benar-benar
mengajukan perceraian.14 Di masa dulu talak merupakan hak “prerogatif” pria
(suami) yang bisa dipergunakan “kapan saja” dan “dimana saja”. Karena di masa
lampau banyak penyalahgunaan wewenang talak, maka kini dengan dibentuknya
hukum keluarga kontemporer diadakan rambu-rambu pemakaiannya. Artinya hak
talak itu tetap berada ditangan suami, tetapi penggunaannya harus di depan sidang
Pengadilan Agama.15
Dilain pihak isteri juga mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan
hukum yang akan menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan. Perbuatan hukum
tersebut disebut dangan khulu’ yaitu pihak isteri meminta agar pihak suami bersedia
memutus ikatan perkawinan, bersedia menceraikan dan pihak isteri menyediakan
pembayaran yang besarnya disetujui oleh pihak suami (yang lazim paling besar
tidak melebihi mahar)16 atau dengan kata lain isteri mempunyai hak untuk
mengajukan perceraian dari suaminya dengan membayar ‘iwadh (tebusan) dengan
cara mengembalikan mahar yang pernah suami berikan kepadanya.17 Adapun lebih
jelasnya, Talak menurut pengertian bahasa ialah pelepasan ikatan yang kokoh. Kata
“talak” diambil dari “ithlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan. Talak
14 Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, terj. Muammal Hamidi, (Surabaya:
PT.Bina Ilmu, 1980), h.284 15 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), Cet ke-2, h.103-107 16 Ahmad Kuzari, Op., Cit., h.12 17 Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo : Daar al-Fath, 2000), Cet ke-1, jilid 2, h.191
menurut pengertian istilah (syara’) ialah pelepasan akad perkawinan.18 Menurut
Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, terdapat
tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama talak,
yaitu:19
Pertama, kata ”melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung
arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat yaitu ikatan
perkawinan.
Kedua, kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu
mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan
itu membolehkan hubungan antara suami dan isteri maka dengan telah dibuka
ikatan itu status suami dan isteri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.
Ketiga, kata dengan lafaz “tha-la-qa” dan sama maksudnya dengan itu
mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan
yang digunakan itu adalah kata-kata talak.
Talak memang banyak macamnya, tetapi bila ditinjau dari segi ada atau
tidak adanya kemungkinan bekas suami rujuk kembali kepada bekas isteri, maka
talak terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Talak Raj’i
18 Al- Shan’any, Op., Cit, h.609 19 Amir Syarifuddin, Op., Cit., h.199
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah.20
b. Talak Bain
Talak bain yaitu talak yang terjadi ketiga kalinya atau talak sebelum
isteri dicampuri atau talak tebusan isteri kepada suaminya. Talak bain ini terdiri
dari 2 (bagian), yaitu:
1) talak bain sughra
2) talak bain kubra.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119, ayat (1) dijelaskan,
bahwa: “Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah”. Dan
dalam ayat (2) diterangkan, bahwa: “Talak ba’in shugra sebagaimana tersebut
pada ayat satu adalah (a) talak yang terjadi qobla al dukhul (sebelum
dicampuri), (b) talak dengan tebusan atau khulu’ dan (c) talak yang dijatuhkan
oleh Pengadilan Agama.
Pada pasal 120 Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai talak ba’in
kubro dijelaskan, bahwa: “Talak ba’in kubro adalah talak yang terjadi untuk
ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah
lagi dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul (setelah
dicampuri) dan habis masa iddahnya.”
20 KHI, Pasal 118, h. 57
Mengenai ketentuan talak ba’in kubro, diterangkan dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 230 yang menyatakan:
عليهما جناح فال طلقها فإن غيره زوجا تنكح حتى بعد من له تحل فال طلقها فإن
يعلمون لقوم يبينها الله حدود وتلك الله حدود يقيما أن ظنا إن يتراجعا أنArtinya:” Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (al-Baqarah/2::230)
Dewasa ini talak bukan lagi merupakan hak mutlak suami untuk
menjatuhkannya karena menjatuhkan talak harus terlebih dahulu dipenuhi syarat-
syarat tertentu. Menurut hukum perkawinan di Indonesia, talak adalah ikrar suami
di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
hubungan perkawinan. Ikrar talak diucapkan di depan sidang Pengadilan setelah
mendengar keterangan saksi-saksi, baik dari pihak keluarga maupun dari orang
dekat. Setelah Pengadilan memutuskan dan diucapkan ikrar talak di depan sidang
Pengadilan oleh suami, maka putuslah hubungan suami terhadap isteri atau
hubungan kedua suami isteri tersebut.21
Perceraian (talak) ditinjau dari cara dan waktu menjatuhkannya terbagi
menjadi 2 (dua) macam, yaitu: (1) talak sunni dan (2) talak bid’i.
21 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam (Bandung: Mandar Maju, 1997),
Cet. Ke-1, h.31
Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 121 menyatakan: “Talak sunni
adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang
sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”. Sedangkan talak bid’i
dalam pasal 122 dinyatakan:”Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak
yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan
suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut”.
Dari penjelasan di atas ada pergeseran pemahaman talak (perceraian) antara
ketentuan fiqh dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia.
Dalam fiqh talak dapat dilakukan kapan saja ia suka dan dimanapun ia mau, tetapi
perceraian dalam aturan hukum perkawinan di Indonesia harus melalui sidang
Pengadilan Agama agar tercapai ketentuan hukum yang tidak semena-mena oleh
suami untuk mentalak isterinya.
Hukum Islam memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian
dengan menggunakan jalan khulu’ sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada
suami untuk menceraikan isterinya dengan jalan talak.
Bila seorang isteri melihat pada diri suaminya sesuatu yang tidak diredhoi
Allah untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan si suami tidak mau
menceraikannya, maka si isteri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan
kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima
dan menceraikan isterinya atas dasar uang ganti itu, maka putuslah perkawinan
antara keduanya. Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa
arab secara etimologi berarti menangguhkan atau membuka pakaian.22
Dihubungkan dengan kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam al-Qur’an
disebutkan bahwa suami itu sebagai pakaian bagi isterinya dan isteri itu pakaian
bagi suaminya. Dalam surat al-Baqarah(2) ayat 187 dijelaskan:
... لهن لباس وأنتم لكم لباس هن ...Artinya: “…mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian
bagi mereka…”. (al-Baqarah/2: 187)
Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh, khulu’ diartikan
dengan:“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan
ucapan talak atau khulu”.23
Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang
menjadi karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa
syarat. Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ adalah:
a. Suami yang menceraikan isterinya dengan tebusan
b. Isteri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan
c. Uang tebusan atau ‘iwadh
d. Alasan untuk terjadinya khulu’
Sedangkan yang menjadi syarat dari khulu’ antara lain:
22 Amir Syarifuddin, Op., Cit., h.231 23 Ibid
Pertama, syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’
sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah
dapat diperhitungkan secara syar’i, yaitu akil, baliqh dan bertindak atas
kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Seluruh mazhab, kecuali Hambali
sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-
laki yang melakukan khulu’. Hambali mengatakan bahwa khulu’ sebagimana halnya
dengan talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz ( telah
mengerti sekalipun belum baligh).24 Bila suami masih belum dewasa atau suami
sedang dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’
adalah walinya.25
Kedua, isteri yang di khulu’, para ulama mazhab sepakat bahwa isteri yang
mengajukan khulu’ kepada suaminya itu wajib sudah baligh dan berakal sehat. Isteri
yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
a. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau
yang telah diceraikan, namun masih dalam iddah raj’i.
b. Ia adalah seseorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk
keperluan pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia
harus seseorang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan
dan sudah cerdas bertindak atas harta. Kalau tidak memenuhi persyaratan ini,
maka yang melakukan khulu’ adalah walinya.
24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h.462 25 Amir Syarifuddin, Op., Cit., h.235
Ketiga: adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau ‘iwadh. Para ulama
mazhab sepakat bahwa harta tebusan (dalam khulu’) hendaknya mempunyai nilai
dan jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak dari pada mahar. Dalam
peraturan hukum perkawinan di Indonesia besarnya ‘iwadh ditentukan oleh Menteri
Agama, sebelum adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
‘iwadh yang harus dibayar sebesar Rp.10,- seperti yang tertera di dalam buku Akta
Nikah. Akan tetapi pada saat ini besarnya ‘iwadh ditentukan menurut peraturan
yang telah ditetapkan itu.26
Kempat, shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam
ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau “ ‘iwadh”. Menurut para ulama
ucapan khulu’ itu ada dua macam :
a. Menggunakan lafaz yang jelas dan terang atau sharih. Yang termasuk ke dalam
lafaz yang sharih untuk khulu’ itu adalah pertama, lafaz khulu’ seperti ucapan
suami “ saya khulu’ kamu dengan ‘iwadh sebuah sepeda motor”. Kedua, lafaz
tebusan, seperti ucapan suami, “saya bercerai denganmu dengan tebusan
sekian”. Ketiga, lafaz fasakh, seperti ucapan suami “ saya fasakh kamu dengan
‘iwadh sebuah kitab Al-Qur’an “.
b. Menggunakan lafaz kinayah yaitu lafaz lain yang tidak langsung berarti
perceraian tapi dapat dipergunakan untuk itu. Terjadinya khulu’ dengan lafaz
kinayah ini disyaratkan harus disertai dengan niat. Umpamanya ucapan suami, “
26 Asma Zainuri, Hakim Pengadilan Agama Palembang, Wawancara Pribadi, 30 April 2007
pergilah pulang ke rumah orang tuamu dan kamu membayar ‘iwadh sejuta
rupiah “
Kelima, adanya alasan untuk terjadinya khulu’. Baik dalam ayat Al-Qur’an
maupun dalam hadits Nabi terlihat adanya alasan untuk terjadinya khulu’ yaitu isteri
khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tugasnya sebagai isteri yang
menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah.
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama
sekali dalam Undang-Undang Perkawinan. Namun di dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada pasal 1 ayat (1) yang
menegaskan bahwa “Khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri
dengan memberikan tebusan dan ‘iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya”.
Dan di pasal 124 yang berbunyi “Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian
sesuai ketentuan pasal 116”.
Putusnya ikatan perkawinan dalan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun1974 tentang Perkawinan disebut dengan
kata “perceraian”, sehingga sama dengan penggunaan hak talak oleh suami dan
penggunaan hak khulu’ oleh isteri pun hanya diperkenankan apabila mempunyai
alasan seperti yang tersebut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
itu
3. Dasar Hukum Perceraian
Pengaturan perceraian (talak) dalam Islam diatur melalui ketentuan al-
Qur'an dan Sunah Nabi Saw. Dengan adanya ketentuan tersebut dapat dijadikan
landasan bahwa agama Islam membolehkan perceraian.
a. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 229:
... الطالق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…”. (al- Baqarah/2:229)
b. Surat at-Thalaq ayat 1, dalam penggalannya menyebutkan:
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة واتقوا الله ربكم
... Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu…”. (at-Thalaq/65:1)
c. Hadits Rasulullah Saw:
بارح منع, لاص ون بفرع من عدال خن بدمح مانثدح, ديب عن بريثا آنثدحى ل إلالح الضغبا: (ال قملس وهيل عى اهللال صيب النن عرم عنب انع, ارث دنب
27)رواه ابو داود) (قالالط لجوز عاهللاArtinya : ”Dikatakan Katsir Ibnu Ubaid, dikatakan Muhammad bin Khalid dari Mu’arif bin Wasil, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar dari Nabi Saw berkata : “(perbuatan halal disisi Allah Talak)”. (HR. Abu Daud)
Dasar hukum disyariatkannya khulu’ ialah firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 229 :
27 Abu Daud, Op.Cit.,
وال يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا إال أن يخافا أال يقيما حدود الله فإن خفتم
...أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما فيما افتدت بهArtinya: “…Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya…” (al-Baqarah/2:229)
Dasar hukum dari hadits :
ن ابن عةمرك عن عدالا خنثد حيفق الثابهو الدبا عنثد حليم جنبرهذا أنثدح, اهللالوساري: تالق فملس وهيل عى اهللال صيب النتت أسي قن بتاب ثةأرم ان أاسبع الق فمالسإلي ا فرفك الهرآي أنكلو, ني دال وقلى خف هيل عبتعا أ مسي قن بتابث اهللالوس رالق. معن: تالق) ؟هتقيد حهيل عنيدرتأ: (ملس وهيل عى اهللال ص اهللالوسر ن عهي فعابت ي ال اهللادب عوب أالق) ةقيلطا تهقلط وةقيدح اللبقا: (ملس وهيل عى اهللالص 28)رواه البخارى (اسب عناب
Artinya: “Dikatakan Azhar Ibnu Jamil, dikatakan Abdul Wahab Tsaqafi, dikatakan Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. Sesungguhnya isteri Tsabit bin Qais datang menghadap Nabi Saw, seraya berkata : Ya Rasulullah, Tsbit bin Qais itu tidak ada yang saya cela akhlaknya dan agamanya. Akan tetapi, saya tidak mau kufur dalam Islam.29 Lalu Rasulullah Saw, bersabda :Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya ? Dia menjawab: Ya, Lalu Rasulullah Saw, bersabda: terimalah kebun itu dan talaqlah isterimu satu kali.” Dikatakan Abu Abdillah mengikuti padanya dari Ibnu Abbas. (HR.Bukhari)
28 Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Darr Al-Fikr,
1994), Juz.ke-3, h. 208-209 29 Maksudnya, saya tidak mencela akhlak dan agamanya, maksudnya ia, isteri (Tsabit bin Qais)
berpisah dari suaminya bukan karena akhlaknya yang buruk atau agamanya yang kurang. Tetapi ia berpisah karena ia benci melihat mukanya (wajahnya). Ia khawatir kebenciannya ini menyebabkan ia tidak dapat melaksanakan kewajiban kepada suaminya dengan baik. Dan yang dimaksud dengan kufur/ingkar ialah ingkar terhadap hak pergaulan dengan suaminya.
B. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian
1. Akibat Hukum Perceraian
a. Akibat terhadap anak
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105, dijelaskan bahwa pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
Untuk anak yang sudah mumayyiz hak pengasuhannya diserahkan kepada anak
tersebut untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Selain itu, biaya pemeliharaan
ditanggug oleh ayahnya.30
b. Akibat terhadap masa iddah
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,
kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.31
Untuk seorang janda waktu tunggunya ditentukan sebagai berikut:32
• Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 hari (seratus tiga puluh hari);
• Apabila perkawinan putus karena peceraian, waktu tunggu yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari,
• Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
30 KHI, h.52-53 31 KHI pasal 153 ayat (1) 32 KHI pasal 153 ayat (2), h. 70
• Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinannya karena perceraian
sedang janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. Bagi perkawinan
yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang
dalam menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu
haid. Dalam hal keadaan isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah
tidak haid bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi
bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga
kali waktu suci.33
c. Akibat terhadap nafkah
Dalam hal nafkah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menjelaskan,
bilamana perkawinannya putus karena talak, maka bekas suami wajib:
• Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali isteri tersebut qobla al dukhul;
• Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama masa iddah,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil;
33 Ibid, h.71
• Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al
dukhul;
• Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun.
2. Hikmah Perceraian
Meski Allah dan rasul-Nya membenci perceraian namun membolehkannya,
karena di dalamnya mengandung manfaat atau hikmah yang bisa diambil dari
pasangan suami isteri yang menganggap perceraian lebih baik bagi mereka.
Walaupun talak itu itu dibenci terjadi dalam suatu rumah tangga, namun
sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan. Hikmah dibolehkannya talak yaitu adalah karena dinamika kehidupan
rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan
tujuan pembentukkan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan
juga rumah tangga akan menimbulkan mudarat kepada kedua belah pihak dan orang
di sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih
baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian, talak
dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.34 Dengan kata lain hikmahnya
adalah melepaskan pergaulan suami isteri yang tidak terdapat lagi kerukunan hidup
berumah tangga dan juga untuk menghindari mafsadat yang lebih buruk.35
34 Amir Syarifuddin, Op., Cit., h.201 35Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin. S, Fiqh Madzhab Syafi’i:Edisi lengkap Muamalat, Munakahat dan
Jinayat, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h.355
Adapun hikmah dari khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah
sehubungan dengan hubungan suami isteri. Bila suami berhak melepaskan diri dari
hubungan dengan isterinya menggunakan cara talak, isteri juga mempunyai hak dan
kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’. Hal ini
didasarkan kepada pandangan fiqh bahwa perceraian itu merupakan hak mutlak
seorang suami yang tidak dimiliki oleh isterinya, kecuali dengan cara lain.36
C. Perbedaan Cerai Gugat dan Permohonan Cerai
Di dalam perundang-undangan dijelaskan ada pembedaan terhadap perkara
perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Hal ini disebabkan karena karakteristik
hukum Islam menghendaki demikian. Sehingga proses atas kehendak suami berbeda
dengan proses atas kehendak isteri.
Ada dua bentuk perkara perceraian di Pengadilan Agama, yaitu (1) perkara
permohonan (voluntair) dan (2) perkara gugatan (kontensius). Perkara voluntair ialah
perkara yang sifatnya permohonan dan di dalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga
tidak ada lawan. Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali
kepentingan undang-undang menghendaki demikian. Sedangkan perkara kontensius
ialah perkara gugatan/permohonan yang di dalamnya mengandung sengketa antara
pihak-pihak. Perkara ijin ikrar talak meskipun dengan istilah permohonan, tetapi karena
mengandung sengketa maka termasuk perkara kontensius.37
36 Ibid, h.234 37 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), Cet Ke-1, h. 41
Yang dimaksud dengan cerai talak (permohonan cerai) adalah ikrar suami
dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131 Kompilasi Hukum
Islam (KHI).38 Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
pasal 66 ayat 1 diterangkan bahwa pengertian cerai talak yaitu : “Seorang suami yang
beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”. Dengan demikian,
apabila suami hendak mengucapkan ikrar talak, ia tidak mengajukan gugatan cerai
melainkan mengajukan permohonan ijin untuk mengucapkan ikrar talak.39 Pengadilan
Agama akan menilai, apakah sudah selayaknya suami mentalak isterinya dengan
melihat alasan-alasan sehingga terciptalah suatu perceraian yang baik, sebagaimana
yang dikehendaki oleh agama Islam.
Sedangkan cerai gugat ialah perceraian suami isteri yang inisiatif perceraiannya
itu berasal dari isteri.40. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
pasal 73 ayat (1), diterangkan bahwa: “gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau
kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin tergugat”. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 132 ayat
(1) dinyatakan “gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya, pada
38 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN JKT, 2006), h. 65 39 A. Mukti Arto, Op., Cit, h. 202-203 40 A. Sutarmadi , Op., Cit, h. 69
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami”.
Dalam perkara cerai gugat ini, maka isteri tidak mempunyai hak untuk
menceraikan suami. Dan oleh sebab itulah ia harus mengajukan gugatan untuk bercerai
dan hakim yang akan memutuskan perkawinan dengan kekuasaannya.41 Pada pasal 73
ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut telah
menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan
berkedudukan sebagai penggugat adalah “isteri”. Pada pihak lain, “suami” di tempatkan
sebagai pihak tergugat. Dengan demikian, masing-masing telah mempunyai jalur
tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami melalui upaya cerai talak
sedangkan jalur isteri melalui upaya cerai gugat.
Perkara cerai gugat jika dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur
dalam hukum acara benar-benar murni bersifat “contentiosa”, ada sengketa yakni
sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak-pihak yang
sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Isteri sebagai penggugat dan suami sebagai
tergugat.42
Di dalam PP No. 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di dalam pasal 20 ayat (1) dijelaskan:” gugatan perceraian
41 A. Mukti Arto, Op., Cit, h. 203 42 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No.7
Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), Cet Ke-3, h. 252
diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat”.43
Akibat hukum dari cerai gugat ini adalah jatuh talak ba’in shugro. Produk
putusannya adalah dengan petitum;
1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat
2. Menetapkan jatuh talak 1 (satu) bai’in shugro dari tergugat kepada penggugat
3. Memberitahukan Panitera Pengadilan Agama untuk mengirimkan salinan putusan
itu setelah berkekuatan hukum tetap kepada Pejabat Pencatat Nikah/Kantor Urusan
Agama yang mewilyahi tempat kediaman penggugat dan tergugat dilangsungkan,
untuk dicatat ke daftar yang disediakan untuk itu.
4. Menetapkan biaya perkara menurut ketentuan yang berlaku.44
D. Prosedur Administrasi Cerai Gugat
Dalam cerai gugat, isteri atau kuasa hukumnya mengajukan gugatan perceraian
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal isteri
sebagai penggugat. Kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
suami. Jika isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami maka
gugatan harus ditujukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat kediaman suami. Gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri harus
43 Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam
44 Asma Zainuri, Hakim Pengadilan Agama Palembang, Wawancara Pribadi, 30 April 2007
mencantumkan alasan yng menjadi dasar gugatannya dan harus pula dilengkapi dengan
persyaratan berikut:
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
2. Surat keterangan untuk cerai dari Kepala Desa/Lurah
3. Kutipan Akta Nikah
4. Membayar uang muka biaya perkara menurut peraturan yang berlaku
5. Surat izin cerai dari atasan atau kesatuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota
Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polisi Republik Indonesia (POLRI).
Pengadilan agama yang bersangkutan akan memeriksa gugatan perceraian
tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah surat gugatan perceraian
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama. Dalam pemeriksaan tersebut, hakim
harus memanggil suami sebagai tergugat dan juga isteri sebagai penggugat untuk
meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak dan hakim harus terus berupaya
mendamaikan mereka pada setiap persidangan.
Apabila hakim berhasil mendamaikan suami isteri yang sedang berperkara itu,
maka mereka tidak dapat lagi mengajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan
yang sama. Akan tetapi apabila tidak berhasil mendamaikan mereka sehingga terdapat
alasan kuat yang membolehkan perceraian, maka hakim menjatuhkan putusannya.
Terhadap keputusan tersebut para pihak dapat mengajukan upaya banding dan kasasi.
Setelah perkara cerai gugat itu diputuskan, panitera Pengadilan Agama
menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami, isteri atau kuasanya
dengan menaruh kutipan akta nikah dari masing-masing yang bersangkutan dan
membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan akta nikah itu bahwa mereka
telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian,
nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. Selanjutnya panitera
Pengadilan Agama berkewajiban memberikan akta cerai kepada suami isteri selambat-
lambatnya 7 hari setelah putusan cerai gugat itu mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Setelah itu, selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan cerai gugat itu
mempunyai kekuatan hukum tetap, panitera Pengadilan Agama berkewajiban pula
mengirimkan satu helai salinan putusan cerai gugat tanpa bermaterai kepada penghulu
yang wilayahnya meliputi tempat kediaman suami isteri untuk mendaftarkan putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
Setelah menerima satu helai salinan putusan cerai gugat di panitera Pengadilan
agama, penghulu yang mewilayahi tempat tinggal isteri berkewajiban mendaftarkan
perceraian tersebut dalam sebuah buku pendaftaran cerai gugat model C. Buku
pendaftaran cerai tersebut harus ditandantangani oleh penghulu. Kemudian penghulu
memasukkannya dalam data peristiwa terjadinya cerai gugat.
Apabila penghulu yang mewilayahi tempat tinggal isteri berbeda pengadilan
dengan penghulu tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan
putusan cerai gugat tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada penghulu tempat
pernikahan dilangsungkan dan penghulu tersebut berkewajiban memberikan catatan
pada kolom akta nikah yang bersangkutan. Catatan itu berisi tempat dan tanggal
kejadian perceraian serta tanggal dan nomor putusan Pengadilan tersebut.45
Ringkasnya prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama
a. Cerai gugat dilakukan oleh seorang isteri yang perkawinannya dilaksanakan
sesuai dengan ajaran Islam.
b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama (pasal 40 ayat 1 jo pasal
63 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Gugatan
tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama setempat, yaitu wilayah tempat
tinggal isteri. Surat gugatan yang didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan
Agama harus dilengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan administrasi dan
surat-surat. Termasuk diantaranya mereka yang hendak bercerai harus
melampirkan surat keterangan dari kelurahan atau Kepala desa masing-
masing.46
2. Pemanggilan Pihak-Pihak
a. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa perceraian baik suami
maupun isteri atau kuasa hukum mereka dipanggil untuk menghadiri sidang
tersebut. Hakim menanyakan kepada semua pihak-pihak yang berkaitan atau
45 A. Sutarmadi, Op., Ci t, h. 69-71 46 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet Ke-9, h. 67
kepada wakilnya tentang segala sesuatu yang dianggap perlu untuk dapat
menjatuhkan suatu putusan yang tepat.47
b. Panggilan dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti
c. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai di tempat tinggalnya, panggilan disampaikan
melaui Lurah atau Kepada desa.
d. Panggilan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh yang bersangkutan
atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum siding.
e. Panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah
Pengadilan lain, dilakukan melalui Pengadilan Agama di tempat kediaman pihak
yang dipanggil.
3. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-
lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan didaftarkan di Kepaniteraan.
b. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian juga dalam memeriksa
saksi-saksi (pasal 80 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
4. Pembuktian
47 Wijono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1982), Cet
Ke-8, h. 90
Jadi Hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan
menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan
atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.48
Tentang alasan cerai gugat hakim harus membuktikan posita yang dijadikan alasan
isteri untuk menggugat cerai suaminya. Posita yang dijadikan alasan tersebut harus
dibuktikan dengan bukti-bukti tertulis maupun lisan ataupun lewat saksi-saksi yang
dihadirkan.
5. Putusan
Pengadilan Agama setelah memeriksa gugatan cerai dan berkesimpulan bahwa:
a. Isteri mempunyai alasan yang cukup untuk bercerai
b. Alasan-alasan tersebut telah terbukti
c. Kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, maka Pengadilan Agama
memutuskan bahwa gugatan cerai dikabulkan dengan suatu “putusan”. Putusan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam suatu gugatan perceraian apabila ternyata :
a. Penyebab perceraian itu timbul dari suami atau tidak dapat diketahui dengan
pasti maka perkawinan diputuskan dengan talak ba’in.
b. Apabila penyebab perceraian itu timbul dari isteri maka perkawinan diputuskan
dengan khulu’, sehingga isteri diwajibkan membayar tebusan khulu’ yang
48 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1998), Cet Ke-1, h. 130
besarnya dipertimbangkan oleh Hakim secara adil dan bijaksana. Terhadap
putusan Hakim para pihak dapat mengajukan banding.
6. Biaya Perkara
Biaya perkara dalam hal ini dibebankan kepada penggugat. Berbeda dengan
hukum acara perdata pada umumnya, yang menetapkan bahwa biaya perkara
dibebankan pada pihak pada pihak yang kalah. Karena dalam perceraian tidak ada
pihak yang menang maupun yang kalah, maka biaya perkara dibebankan kepada
penggugat selaku pencari keadilan.
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA PALEMBANG
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Palembang49
Pengadilan Agama yang ada di Palembang merupakan bagian dari pengadilan
yang ada di Indonesia dan tak dapat dipisahkan, dengan demikian tentu saja pengadilan
ini memiliki latar belakang sejarah yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui,
terutama para peneliti yang berkeinginan mengetahui tentang eksistensi dari Pengadilan
Agama kelas I A Palembang, untuk itu pada BAB III ini akan diuraikan tentang sejarah
Pengadilan Agama Palembang dan perkembangannya dari zaman kesultanan sampai
saat reformasi sekarang ini.
1. Zaman Kesultanan Palembang
Palembang, yang menurut ungkapan De La Faille sebagai suatu kota khas
Melayu kuno, yang terletak di tepi sungai Musi, tempat dimana Ogan dan
Komering bermuara di dekat pulau Kemaro yang menjadi sebuah kesultanan
ditahun 1675, yaitu di masa pemerintahan Ki Mas Hindi (1662-1706) yang bergelar
Pangeran Ratu.
Walaupun dalam banyak catatan sejarah dinyatakan Islam masuk ke
Palembang dari Demak dimulai dari tahun 1440, namun sejak timbulnya kesultanan
Palembang itulah agama ini dapat tersebar secara rata keseluruh pedalamannya .
49 Dokumentasi Pengadilan Agama Palembang, “Sejarah Pengadilan Agama Palembang”, disusun
dalam rangka memperingati satu Abad (1882-1982) Peradilan Agama di Indonesia
Pangeran Ratu sendiri di tahun 1681 memberi gelar dirinya sebagai Sultan
Jamaluddin yang bermaksud penamaan itu sebagai suatu usaha untuk menampakkan
identitas agamanya. Bahkan ditahun 1690, beliau disebut-sebut juga sebagai Sultan
Ratu Abdurrahman.
Menurut sebuah tulisan Melayu di tahun 1822 yang dikutip oleh De Roo De
La Faille, anggota Raad Van Indie ( Dewan Hindia Belanda) yang banyak membuat
telaah ilmiah tentang permasalahan adat asli dengan kebijaksanaan pemerintahan
Hindia Belanda, dalam tradisi kesultanan Palembang dikenal tentang empat
“Mancanegara”, yaitu para pembesar negara yang mendampingi Sultan, seperti
halnya “Catur Manggala” dalam tradisi Jawa.
Pembesar pertama ialah Pepatih, bergelar Pangeran Natadiraja yang
memegang seluruh urusan kerajaan, baik di Ibukota maupun di daerah hulu sungai.
Pembesar kedua ialah Pangeran Nata Agama, Kepala alim ulama yang mengadili
hal-hal sesuai dengan hukum agama. Pembesar ketiga, Kyai Tumenggung Karta,
bawahan pepatih yang melaksanakan tugas-tugas pengadilan menurut hukum adat
di dalam negeri Palembang serta jajahannya. Putusan Tumenggung harus diperkuat
oleh Sultan sebelum dilaksanakan. Adapun pembesar keempat, juga merupakan
bawahan pepatih, ialah Pangeran Citra, kepala dari yang disebut “Pangalasan”,
yaitu hulubalang-hulubalang Sultan yang bersenjata lengkap.
Melihat susunan aparat di atas, kekuasaaan untuk mengadili pada zaman
kesultanan Palembang secara garis besar dapat dibagi dua:
Pertama dari Pangeran Nata Agama yang berwenang dalam urusan-urusan
keagamaan seperti perkawinan, kelahiran, kematian, kewarisan, perwalian, kelalaian
atau pelanggaran terhadap hukum-hukum agama.
Kedua dari Kyai Tumenggung dalam memutuskan perkara-perkara pidana.
Pembagian ini diakui oleh Van Sevenhoven yang pernah menjabat Komisaris Raad
Van Indie.
Dari penjelasan diatas, terlepas dari kecenderungan banyak para ahli
Belanda yang ingin memisahkan hukum adat dengan Islam, dapat ditarik
kesimpulan berdasarkan wewenang mengadili dari Pangeran Nata Agama, maka
lembaga seperti Peradilan Agama di Palembang sudah ada sejak abad ke 17, yaitu
sejak terbentuknya kesultanan Palembang itu sendiri.
2. Masa Sesudah Hapusnya Kesultanan Palembang
Masa surutnya kesultanan Palembang boleh dikatakan di mulai ketika di
tahun 1790 Belanda mengadakan perundingan dengan Sultan Mohammad
Badaruddin untuk memaksa agar Sultan memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai
dengan kontrak dan melunasi hutang-hutang yang diberikan Pemerintah Batavia di
tahun 1731 daan 1742 kepada neneknya Sultan Badaruddin Lemah Abang.
Ketika Sultan menolak untuk dipaksa bahkan menerima tawaran bantuan
senjata dari Raffles untuk mengusir Belanda, pemerintah Batavia mendapat alasan
yang kuat untuk menyerang dan menguasai Palembang sepenuhnya dan dengan
demikian berakhirlah sejarah kesultanan Palembang.
Walaupun demikian, lembaga Peradilan Agama yang menjadi wewenang
dari Pangeran Nata Agama tetap berjalan. Tentu saja bukan sebagai aparat
pemerintahan seperti di zaman Sultan, melainkan sebagai pejabat tradisional yang
lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Penghulu, dengan wewenang yang lebih
sempit meliputi urusan perkawinan, waris, hibah, waqaf, penentuan awal puasa dan
hari raya.
Masih berjalannya fungsi Pangeran Nata Agama ini terbukti dari produk
hukum tertua yang berhasil diketemukan berbentuk Penetapan Hibah.
3. Perubahan Nata Agama Menjadi Raad Agama
Tidak dapat dipastikan secara historigrafi kapan sebenarnya terjadi
perubahan istilah dan wewenang dalam mengadili perkara-perkara di bidang agama
dari Nata Agama yang di kepalai oleh seorang Pangeran Penghulu kepada Raad
Agama yang di ketuai oleh Hoofd (kepala) Penghulu. Sebab walaupun dalam “
Memorandum Tentang Pengadilan Agama Di Seluruh Indonesia” disebut bahwa
dasar dari Pengadilan Agama di beberapa daerah di Sumatera selain Sumatera
Timur, Aceh dan Riau adalah pasal 12 Staatsblad 1932 No.80 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama yang mengandung ketentuan bahwa Hoofd Van Gewestelijk
Bastuur yakni kepala daerah setempat mempunyai kekuasaan menunjuk:
“godsdienstige rechters”50 untuk mengadili perkara-perkara di bidang agama.
Namun pada kenyataannya di Palembang pada tahun 1906 telah ada produk hukum
50 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam Di
Indonesia, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983), h.58
Raad Agama berbentuk Penetapan Hibah, Penetapan Nomor : 7/1906 tertanggal 28
April 1906 tentang Penetapan Hibah dengan formasi majelis yang di pimpin oleh
seorang Hoofd Penghulu. Dengan bergantinya dari Nata Agama menjadi Raad
Agama, berarti lembaga tersebut berada dibawah Peradilan Umum yang disebut
Landraad dan pengangkatan Hoofd Penghulu sendiri sepenuhnya berada di tangan
pemerintah kolonial Belanda.
Sampai dengan tahun 1918 Hoofd Penghulu pada Raad Agama Palembang
adalah Sayid Abdurrahman, yang kemudian diganti oleh Kiagus Muhammad Yusuf
di tahun 1919. Pada tanggal 19 Februari 1922, ditunjuk sebagai Hoofd Penghulu
Kiagus Haji Nangtoyib bin Kiagus Haji Muhammad Azhari, yang bertugas sampai
dengan tanggal 14 Februari 1942 yaitu sampai awal masa pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang ini, hampir tidak ada perubahan yang berarti
dalam bidang Tata Hukum di Indonesia, termasuk susunan kekuasaan peradilan,
kecuali mengenai tata pemerintahan dan pergantian nama-nama badan peradilan.
Berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1942 tentang Perubahan Nama
Badan Peradilan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Militer Jepang, nama Raad
Agama yang oleh Belanda sering disebut Penghulugerecht (Majelis Pengadilan
Penghulu) dirubah menjadi Sooryoo Hoin.
Di Palembang sampai pada masa Proklamasi kemerdekaan, penghulu pada
Tihoo Hoin atau Landraad51 tetap dipegang oleh Kiagus Haji Nangtoyib dengan
tugas-tugas Sooryoo Hoin.
4. Ditengah Suasana Revolusi Kemerdekaan
Dalam suasana gejolak revolusi kemerdekaan, Mahkamah Syar’iyah di
Palembang dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1946 yang di ketuai oleh Ki H.
Abubakar Bastary. Pembentukkan Mahkamah ini diakui sah oleh wakil Pemerintah
Pusat Darurat di Pematang Siantar dengan kawatnya tanggal 13 Januari 1947.
Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena pecahnya clash
(pendudukan) II dan Palembang jatuh kembali ke tangan pihak Belanda. Dengan
sendirinya Mahkamah Syar’iyah yang baru lahir itu bubar karena Pemerintahan
Militer Belanda lebih setuju bidang Peradilan Agama diletakkan di bawah
kekuasaan Pengadilan Adat.52 Hal ini terbukti dari usaha mereka selain merestui
berdirinya suatu Pengadilan Agama Islam yang lain dari Mahkamah Syar’iyah yang
sudah ada, mereka juga membentuk pengadilan banding yang disebut “Rapat
Tinggi” yang baru di Palembang.
Sesudah kedaulatan, atas instruksi Gubernur Sumatera Tengku Mohammad
Hasan di bentuk Pengadilan Propinsi di Palembang pada tahun 1950 dengan
ketuanya Ki. H. Abubakar Bastary. Pengadilan ini walaupun menyandang predikat
Propinsi, bukanlah pengadilan tingkat banding. Terbukti dengan persetujuan
51 Lihat Daniel S.Lev, terj. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi
tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, (Jakarta: PT. Intermasa, t.th), h.34 52 Baca Daniel S. Lev, Peradilan., h.111-113
Residen Palembang tanggal 25 September 1950 Nomor : A/14/9658, pengadilan ini
mengadakan sidang keliling ke daerah Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak dua
kali, ke daerah-daerah Ogan Komering Ulu (OKU) dan Lubuk Linggau masing-
masing satu kali. Menurut catatan Ki. H. Abu Bakar Bastary, selama berdirinya
pengadilan ini berhasil menyelesaikan sebanyak 228 perkara.
Seperti halnya Mahkamah Syar’iyah Palembang, Pengadilan Agama
Propinsi ini pun tidaklah berumur panjang. Pada bulan Nopember 1951, atas
perintah Kementerian Agama melalui Biro Peradilan Agama Pusat, Pengadilan ini
dibekukan. Sebagai gantinya, Kementerian Agama mengaktifkan kembali secara
resmi Pengadilan Agama Palembang sebagai lanjutan dari Raad Agama Palembang
dengan Penetapan Menteri Agama No.15 Tahun 1952 tentang Kedudukan
Kekuasaan Pengadilan Agama di kota Palembang53 dan menunjuk kembali Kiagus
Haji Nangtoyib sebagai ketuanya.
Inilah Pengadilan Agama pertama di Sumatera yang diaktifir kembali secara
resmi, sementara di tempat-tempat lain masih diperlukan pembicaraan-pembicaraan
dengan pihak Kementerian Kehakiman.
Pada tahun 1955 Kiagus Haji Nangtoyib mulai menjalani masa pensiun dan
digantikan oleh Ki. H. Abubakar Bastary.
53 Zaini Ahmad Noeh., Op., Cit., h. 57
5. Perkembangan sesudah PP. No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura54
Sebagai realisasi dari PP. No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah diluar Jawa dan Madura, pada tanggal 13 Nopember 1957
Menteri Agama mengeluarkan Penetapan Nomor 58 Tahun 1957 tentang
Pembentukkan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sumatera. Dengan
demikian di Palembang di bentuk sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
yang mempunyai daerah hukum meliputi Kotamadya Palembang dan sebuah
Pengadilan Agama Syar’iyah Propinsi yang juga berkedudukan di Palembang
sebagai Pengadilan tingkat banding dengan wilayah hukum meliputi Provinsi
Sumatera Selatan, yang pada saat itu masih mencakup Lampung dan Bengkulu.
Ketika hampir seluruh kabupaten di Sumatera Selatan di bentuk Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah, kecuali kabupaten Musi Banyuasin, maka daerah ini
dimasukkan ke dalam wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
Palembang.
Ki Haji Abu Bakar Bastary yang semula menjabat Ketua Pengadilan Agama
dengan menggantikan Kiagus Haji Nangtoyib diangkat menjadi ketua Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi, sedangkan yang ditunjuk sebagai ketua
Pengadilan Agama Palembang adalah Kemas Haji Muahmmad Yunus.
54 PP 45/1957 (LN 1957-99,TLN 1441) menetapkan peraturan tentang Pengadilan Agama diluar
Jawa Madura . PP ini mencabut PP 9/1957 (LN 1957-73, TLN 1358) menetapkan peraturan tentang Pengadilan Agama di Provinsi NAD tetapi kemudian dicabut dengan UU No. 7/1989 (LN 1989-49, TLN3400) Tentang Peradilan Agama
Pada masa-masa sebelum tahun 1965 Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah Palembang menempati gedung di jalan Diponegoro No.13 Kelurahan 26
Ilir Palembang. Pada tahun 1965 pindah menumpang pada lokal Madrasah
Qur’aniyah 15 Ilir Palembang. Setelah kurang lebih setahun kemudian, yaitu pada
tahun 1966, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang mendapat gedung
baru pinjaman dari Walikota Madya Palembang di jalan Segaran 15 Ilir Palembang
bersama-sama dengan Kantor Camat Kepala Wilayah Kecamatan Ilir Timur I dan
Kodim 0418 Palembang.
Tahun 1971 ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang
Kemas Haji Muahmmad Yunus mulai menjalani masa pensiun. Sebagai pengganti
diangkat Drs. Saubari Cholik yang pada saat itu menjabat sebagai Panitera Kepala.
Tanggal 14 April 1976 terjadi musibah kebakaran besar yang sempat
memusnahkan beberapa kelurahan di kota Palembang. Kantor Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang termasuk lokasi yang menjadi korban. Tak
ada yang bisa diselamatkan dari musibah ini, termasuk semua data dan dokumen-
dokumen penting yang berguna sekali bagi penyusunan sejarah Pengadilan Agama
itu sendiri.
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang kemudian sejak
tanggal 21 April berkantor di jalan Mayor Santoso Km. 3 Palembang, lagi-lagi
dengan status menumpang yaitu pada gedung Dinas Pertanian Kotamadya
Palembang. Baru pada tanggal 19 April 1977 menempati gedung milik sendiri yang
juga terletak di jalan Mayor Santoso Km. 3 Palembang , berhadapan dengan Kantor
Dinas Pertanian Kota Madya Palembang. Setelah sekian lama Pengadilan Agama
menempati gedung sendiri, kini Pengadilan Agama harus pindah lagi ketempat yang
lebih baik bila dibandingkan dengan tempat yang sebelumnya yakni pindah ke jalan
Pangeran Ratu Jaka Baring yang bertempat di dekat gedung Komisi Pemilihan
Umum Palembang, perpindahan tersebut atas Keputusan dari Mahkamah Agung
yang terhitung sejak tanggal 1 April 2005. Gedung sendiri ini diresmikan langsung
oleh ketua Mahkamah Agung pada tanggal 23 Maret 2006.
Dengan telah berdirinya gedung milik sendiri hal ini akan memberikan angin
segar bagi Pengadilan Agama, paling tidak nasib dari Pengadilan Agama akan
semakin membaik tidak seperti semula dengan tempat yang berpindah-pindah
apalagi statusnya menumpang di kantor atau instansi lain, hal ini adalah suatu ujian
bagi Pengadilan Agama.
Demikian juga terhadap personil atau peralatan kantor juga dari tahun ke
tahun akan semakin membaik dan dengan demikian akan menambah volume
perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Palembang.
Mengenai wilayah hukum sampai saat ini Pengadilan Agama Palembang
(sebutan Pengadilan Agama sebagai ganti dari Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah adalah penyeragaman sesuai dengan Keputusan Menteri Agama No. 6
tahun 1980 tentang Penyeragaman Nama Bagi Peradilan Agama) masih
membawahi Kabupaten Musi Banyuasin karena daerah ini belum dibentuk
Pengadilan Agama tersendiri.
Pada tanggal 3 Nopember 1979 jabatan Ketua Pengadilan Agama
Palembang diserah terimakan dari Drs. Saubari Cholik kepada H. Suratul Kahfie
Bo. Hk., setelah perpindahan jabatan ketua tersebut maka terlihat ada peningkatan
yang dilakukan, diantaranya memperbanyak volume sidang dari dua kali dalam
sebulan menjadi dua kali seminggu untuk melakukan persidangan yaitu pada hari
rabu dan sabtu, peningkatan ini dapat memperlancar jalannya pelayanan bagi
masyarakat pencari keadilan, sehingga dalam tahun 1980 dan 1981 Pengadilan
Agama Palembang tidak lagi memiliki tunggakan perkara.
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Palembang
Struktur organisasi secara Hiearkis (tingkatan) Institusional diatur dalam pasal 6
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut ketentuan pasal
ini, secara institusional, lingkungan Peradilan Agama terdiri dari dua tingkat:
1. Pengadilan Agama sebagai Pengadilan tingkat pertama
2. Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding
Pengadilan kelas I A Palembang merupakan pengadilan tingkat pertama yaitu
sebagai pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa dan memutus setiap
permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah.
Secara struktural susunan pengadilan agama sesuai pasal 9 Undang-undang No.
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama ayat (1) yaitu:
“Susunan Pengadilan Agama terdiri dari seorang pimpinan, hakim anggota,
panitera, sekretaris dan juru sita”.
Secara struktural susunan organisasi Pengadilan Agama Palembang adalah
sebagai berikut:
Ketua : Drs. H. Andi Makil, H.M
Wakil Ketua : Abdul Madjid, S.H
Panitera/Sekretaris : Drs. Azkar, S.H
Wakil Panitera : Drs. R. Ach. Syarnubi, S.H
Wakil Sekretaris : Yuli Suryadi, S.H
Panitera Muda Permohonan : Drs. Suratman Hadi
Panitera Muda Gugatan : Drs. Darul Kutni
Panitera Muda Hukum : Edy Syafiq, S.H
Kabag Kepegawaian : Ratna Sari, S.H
Kabag Keuangan : Matnur, S.H
Kabag Umum : Sahlanudin, S.Ag, S.H
Panitera Pengganti : 1. Dra. Hj. Khodijah Rozak 11. Dra. Maimunah
2. Abdul Ghofar, S.H 12. Ustri Marni, S.Ag
3. Drs. Sundari 13. Sopendi, S.H
4. Drs. Syamsu 14. Syarifah Arini, S.H
5. Ummu Azima, S.H, M.Hum 15. Alhamidi, S
6. Dra. Husnawati Zein
7. Bahder Johan, S.H
8. Dra. Maimunah
9. Yurnalis, S.H
10. Dra. Khodijah, S.H
Juru Sita Pengganti : 1. Jupriadi, S.H
2. Azri
3. Husein Thamrin
4. Supawit
5. Hafsi, S.H
6. Nofriendri
7. Taufiq Saleh, S.H.I
Sedangkan hakim-hakim yang terdapat di Pengadilan Agama Kelas I A Palembang
antara lain:
1. Drs. Harun Hamid 7. Dra. Matsunah, S.H
2. Husnul Arifin, S.H 8. Dra. Asma Zainuri, S.H
3. Drs. Ahd. Sufri Hamid 9.Dra. Laila Amin, S.H
3. Drs. M. Syukri, S.H 10. Dra. Asmah Arfan, S.H
5. Drs. Syamsul Bahri, S.H 11. Dra.Sri Wahyuningsi, S.H
6.Drs. M. Rum Abdullah, S.H
Struktur organisasi Pengadilan Agama Palembang dibentuk berdasarkan
KMA/013/SK/IV/1998 dan SK Menag No.303/1990, yaitu :
C. Kompetensi Absolute dan Relatif Pengadilan Agama Palembang
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia
dilaksanakan oleh Pengadilan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan
umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan peradilan Tata Usaha Negara yang
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi. Pengadilan
pada keempat lingkungan peradilan itu memiliki cakupan dan batasan kekuasaan
masing-masing. Cakupan dan batasan kekuasaan pemberian kekuasaan untuk mengadili
(attribute van rechtsmacht) itu ditentukan oleh bidang yuridiksi yang limpahkan
Undang-undang kepadanya. Berkenaan dengan hal itu, terdapat atribusi cakupan dan
batasan kekuasaan masing-masing badan peradilan.55 Kekuasan pengadilan pada
masing-masing lingkungan peradilan itu terdiri atas kekuasaan relatif (relative
competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).56
Kata “kekuasaan” sering disebut “kompetensi” yang berasal dari bahasa
Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan “kewenangan” dan
terkadang dengan “kekuasaan”. Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya
adalah dengan hukum acara, menyangkut dua hal yaitu; kekuasaan relatif dan
kekuasaan absolute.
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu
tingkatan dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama
tingkatan.57 Misalnya Pengadilan Agama Palembang dan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat. Makna satu jenis yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu
tingkatan yaitu sama-sama tingkat pertama.
Adapun wewenang mengadili Pengadilan Agama Palembang adalah
sebagaimana wewenang mengadili badan Peradilan Agama pada umumnya, dimana
terdapat dua macam kewenangan, yaitu:
55 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet
ke-II, h.162 56 Terdapat beberapa istilah yang sama arti dan maksudnya dengan kekuasaan, yaitu kompetensi
(competentie), kewenangan, wewenang dan yuridiksi. Oleh karena itu, biasanya ditemukan istilah kekuasaan relatif, kewenangan relatif, wewenang relatif dan yuridiksi relatif yang maksudnya sama. Demikian pula sering ditemukan istilah kekuasaan mutlak, wewenang mutlak, wewenang absolute, yuridiksi mutlak dan yuridiksi absolute, yang maksudnya sama.
57 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Perdilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syari’at Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet Ke-1, h. 138
3. Kewenangan Mutlak (absolute competentie), yaitu kewenangan untuk mengadili
suatu perkara yang diberikan undang-undang, artinya perkara tersebut hanya bisa
diperiksa oleh Pengadilan Agama, sementara pengadilan lain tidak memiliki
kewenangan untuk mengadili apalagi memutuskan perkara tersebut. Dalam istilah
lain disebut dengan “Atribute Van Rechtmacht”. Contohnya perkara perceraian
antara orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara
Islam. Kekuasaan mutlak badan Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo pasal 49 Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
Terhadap kekuasaan yang absolute ini, maka Pengadilan Agama Palembang
diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya. Kekuassan absolute
Pengadilan Agama ini sangat terkait dengan asas-asas personalitas keislaman
sebagai dasar kewenangan Pengadilan Agama. Asas-asas tersebut adalah :
a. Suatu perkara yang menyangkut status hukum seorang muslim
b. Suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan hukum yang terjadi
berdasarkan hukum Islam atau berdasarkan erat dengan status hukum sebagai
seorang muslim dalam keluarga sebagaimana yang dimaksud pasal 49 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. Kewenangan Relatif (relative competentie), yaitu kewenangan mengadili suatu
perkara yang berhubungan dengan wilayah atau daerah hukum (yuridiksi), hal ini
biasanya dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara dan atau
tempat objek sengketa/perkara apabila gugatan menyangkut barang tetap. Dalam
istilah lain disebut “Distribute Van Rechtmacht”.
Adapun mengenai kewenangan relatif ini diatur dalam pasal 4 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 Undang-Undang No.
3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, yang berbunyi :
a. Pengadilan Agama berkedudukan di Ibu kota kabupaten/kota dan daerah
hukumnya meliputi wilyah kabupaten/kota
b. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibu kota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi
Dasar utama menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama adalah
merujuk kepada pasal 142 RBg, jo pasal 66 dan pasal 73 Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam ketentuan gugatan, diajukan kepada
pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (pasal 142 ayat 2 RBg).58
Sedangkan gugatan mengenai barang tetap, diajukan ke Pengadilan yang
mewilayahi letak barang tetap tersebut berada, umpama ada sengketa tentang tanah
waris yang letaknya berbeda dengan tempat tinggal penggugat atau tergugat, maka
58 Berbunyi: “Dalam hal ada beberapa tergugat yang tempat tinggalnya tidak terletak di dalam
wilayah satu pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berada di wilayah salah satu antara para tergugat, menurut pilihan penggugat. Dalam hal ini para tergugat berkedudukan sebagai debitur penanggungnya, maka sepanjang tidak tunduk kepada ketentuan-ketentuan termuat dalam ayat (2) pasal 6 Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di Indonesia (selanjutnya disingkat R.O.) gugatan diajukan kepada ketua pengdilan negeri tempat tinggal orang yng berutang pokok (debitur pokok) atau seorang di antara para debitur pokok”
pengajuan gugatan harus di tempat dimana tanah tersebut berada (pasal 142 ayat 5
RBg),59 pengadilan berhak mengadili suatu perkara disebut dengan “ Aktor Sequitur
Forum Rei” .
Pengadilan Agama sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya
memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 24
b. Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman
c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
d. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
e. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-
Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
f. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
g. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
59 Berbunyi: “Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepada ketua
pengadilan negeri di wilayah letak barang tersebut; jika barang-barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa pengadilan negeri, gugatan diajukan kepada salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan penggugat”
h. Peraturan/ Instruksi/ Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
i. Keputusan Menteri Agama
j. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
k. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
l. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan tata kerja dan wewenang
Pengadilan Agama
Adapun pelaksanaan teknis administrasi sebagai berikut :
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Organisasi Departemen
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 1984 tentang Susunan
Organisasi Departemen
3. Keputusan Menteri Agama No. 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Agama yang telah disempurnakan dengan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia No. 75 Tahun 1984
Maka Pengadilan Agama berwenang memberikan pelayanan hukum dan
keadilan dalam bidang hukum keluarga bagi mereka yang beragama Islam yang
berdasarkan hukum Islam.60
D. Statistik Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Palembang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Palembang maka
perkara perceraian yang diterima oleh Pengadilan Agama Palembang selama kurun
waktu 3 tahun yaitu dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 sebanyak 2.094 perkara
dan yang diputus sebanyak 1.705 perkara.
Tabel 3.1
Perkara Perceraian Yang Diterima dan Diputus Pada Pengadilan Agama Palembang Tahun
2004-2006
TAHUN DITERIMA DIPUTUS
2004 681 518
2005 654 588
2006 759 599
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Palembang
60 A. Mukti Arto, Loc., Cit, h.2
Data statistik perkara perceraian di atas adalah perkara perceraian cerai talak dan
cerai gugat. Rincian statistik perkaranya baik cerai talak dan cerai gugat terlihat dalam tabel
data statistik dibawah ini:
Tabel 3.2
Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan Yang Diputus Tahun 2004-2006
TAHUN DITERIMA DIPUTUS
2004 212 160
2005 199 178
2006 236 185
Sumber Data: Statistik Pengadilan Agama Palembang
Tabel 3.3
Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun 2004-2006
TAHUN DITERIMA DIPUTUS
2004 469 358
2005 455 410
2006 523 414
Sumber Data: Statistik Pengadilan Agama Palembang
Tabel 3.4
Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun
(Tahun 2004 Sampai Tahun 2006)
PERKARA JUMLAH PROSENTASE
Yang Diterima 1447 55 %
Yang Diputus 1182 45 %
Berdasarkan data-data statistik perceraian di atas, diketahui perbandingan antara
jumlah perkara cerai talak dan cerai gugat baik yang diterima maupun yang diputus,
diperoleh bahwa jumlah perkara cerai gugat melebihi dari jumlah perkara cerai talak. Atau
dengan kata lain intensitas perkara cerai gugat bertambah tiap tahunnya.
BAB IV
FAKTOR PENYEBAB CERAI GUGAT
DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG
A. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang
Perkara cerai gugat yang ada di Pengadilan Agama Palembang dalam kurun
waktu yaitu dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 telah menerima perkara cerai
gugat sebanyak 1447 perkara atau 55% dan yang dapat diselesaikan adalah 1182
perkara atau 45%. Data ini penulis ambil dari data statistik perkara yang ada dalam
laporan tahunan Pengadilan Agama Palembang. Adapun rincian perkara pertahunnya
adalah sebagai berikut :
1. Perkara cerai gugat yang masuk pada tahun 2004 adalah sebanyak 469 perkara atau
32, 4% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 358 perkara atau 30,2%
2. Perkara cerai gugat yang masuk pada tahun 2005 adalah sebanyak 455 perkara atau
31,4% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 410 perkara atau 34, 6%
2. Perkara cerai gugat yang masuk pada tahun 2006 adalah sebanyak 523 perkara atau
36% dan yang dapat diselesaikan adalah sebanyak 414 perkara atau 35%.
Berdasarkan data statistik perkara cerai gugat yang ada di Pengadilan Agama
Palembang dari tahun 2004 sampai tahun 2006, terus mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya.
B. Latar Belakang Penggugat
Latar belakang penggugat yang mengajukan gugatan di Pengadilan Agama
Palembang ini kebanyakan dari mereka adalah yang sudah sadar hukum. Dilihat dari
segi profesi kebanyakan dari mereka adalah ibu rumah tangga, ada juga yang berprofesi
sebagai pegawai negeri sipil. Bila dilihat dari status pendidikannya umumnya adalah
lulusan SMA ada juga yang telah mencapai gelar S1. Sedangkan bila dilihat dari status
ekonomi sangat tergantung pada pekerjaan atau profesinya.61
C. Faktor-Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut prinsip
mempersukar terjadinya perceraian. Selain dimuatnya aturan bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan suami isteri yang akan bercerai tersebut
(Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115), ternyata dimuat pula ketentuan bahwa
61 Asma Zainuri, Hakim Pengadilan Agama Palembang, Wawancara Pribadi , 1 Mei 2007
perceraian hanya dapat terjadi jika ada alasan atau faktor-faktor yang membolehkan62
untuk bercerai.
Dari perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Palembang diketahui bahwa yang
menyebabkan terjadinya perceraian adalah karena tidak ada keharmonisan, gangguan
pihak ketiga, tidak ada tanggung jawab, ekonomi, cemburu, poligami dan krisis akhlak.
Di dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 pasal 19 (a) tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan alasan-
alasan perceraian yaitu :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejian atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun.
62 A. Sutarmadi, Loc., Cit., h. 64
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 ditambahkan dua alasan lagi
yaitu: Suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Para hakim di Pengadilan Agama Palembang pada umumnya dalam
memberikan putusan mengambil dasar hukum pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.63
Perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Palembang khususnya cerai gugat,
pada umumnya dilatar belakangi oleh faktor:
1. Tidak ada keharmonisan
Tidak ada keharmonisan merupakan salah satu alasan bagi seorang isteri
untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama Palembang. Tidak adanya
keharmonisan dalam rumah tangga merupakan faktor terbesar yang menyebabkan
terjadinya percekcokan dan perselisihan yang terus menerus yang akan berujung di
Pengadilan. Hal ini disebabkan karena adanya sikap-sikap dan prilaku yang tidak
baik dari suami seperti suami sering bersikap kasar terhadap penggugat, suami
63 Asma Zainuri, Hakim Pengadilan Agama Palembang, Wawancara Pribadi, Palembang, 30 April
2007
jarang pulang ke rumah, suami yang tidak mandiri (selalu bergantung pada orang
tua) dan suami yang selalu lebih mementingkan keluarganya dari pada penggugat.
Faktor tidak adanya keharmonisan ini merupakan faktor yang terbesar dan
yang paling banyak terjadi di Pengadilan Agama Palembang sebanyak 808 perkara
atau 48,3%. Berdasarkan tabel berikut ini dapat dilihat faktor cerai gugat yang ada
di PA Palembang
Tabel 4
Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun 2006
Sebab Perceraian Jumlah Prosentase
Tidak Ada keharmonisan 808 48, 3 %
Gangguan Pihak Ketiga 350 20, 9 %
Tidak Ada Tanggung
Jawab
257 15, 3 %
Ekonomi 157 9,4 %
Cemburu 65 3,4 %
Poligami Tidak Sehat 31 1,9 %
Krisis Akhlak 3 0,1 %
Sumber Data: Statistik Pengadilan Agama Palembang
2. Gangguan pihak ketiga
Gangguan pihak ketiga merupakan salah satu penyebab terjadinya
percekcokan di antara suami isteri. Perceraian karena pihak ketiga ini, maksudnya
ada pihak luar selain suami isteri yang berperan dalam menyebabkan perceraian.
Dari wawancara dengan hakim64 ditemukan informasi bahwa gangguan
pihak ketiga ini adalah kehadiran orang ketiga atau ada Wanita Idaman Lain (WIL)
dalam kehidupan rumah tangga yang menyebabkan putusnya ikatan perkawinan.
Apabila suami sudah memiliki dan menjalin hubungan asmara dengan wanita lain
(selingkuh) dan diketahui oleh salah satu pihak maka akan sangat berpotensi terjadi
pertengkaran pada suami isteri tersebut. Sudah merupakan fitrah manusia bahwa
siapa pun akan sangat merasa tidak senang apabila pasangannya melakukan
perselingkuhan dan tidak jarang pertengkaran yang akan berakhir dengan
perceraian. Kasus cerai gugat karena gangguan pihak ketiga ini cukup besar
jumlahnya sebanyak 350 kasus atau 20,9 %.
3. Tidak Ada Tanggung Jawab
Tidak ada tanggung jawab juga dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama Palembang. Tidak adanya tanggung jawab lebih
menekankan pada pengabaian terhadap kewajiban yang diemban dalam keluarga.
Alasan karena tidak ada tanggung jawab pada cerai gugat di Pengadilan Agama
Palembang ini maksudnya suami tidak bertanggung jawab dalam hal membiayai
nafkah rumah tangga. Selain itu juga suami jarang pulang ke rumah. Cerai gugat
karena sebab ini di Pengadilan Agama Palembang selama tahun 2004-2006
sebanyak 257 kasus atau 15,3%.
64 Asma Zainuri, Hakim Pengadilan Agama Palembang, Wawancara Pribadi,1 Mei 2007
4. Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya perselisihan dan
pertengkaran antara suami isteri. Ekonomi merupakan salah satu faktor penting bagi
tegaknya keluarga dan merupakan faktor penunjang bagi berhasil tidaknya dalam
berkeluarga. Sekalipun ekonomi bukan segala-galanya, namun tanpa adanya faktor
keuangan yang memadai akan memunculkan banyak masalah. Hasil wawancara
dengan Asma Zainuri, hakim di Pengadilan Agama Palembang di temukan
informasi bahwa suami tidak dapat memberikan nafkah ekonomi kepada isteri dan
anak-anaknya, dikarenakan suami terkena PHK yang menyebabkan suami menjadi
pengangguran. Sehingga perekonomian keluarga menjadi kurang membaik.
Kewajiban memberi nafkah merupakan perintah agama yang ditetapkan
Allah dalam Al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 7 :
نفسا الله يكلف ال الله آتاه مما فلينفق رزقه عليه قدر ومن سعته من سعة ذو لينفق
يسرا عسر بعد الله سيجعل آتاها ما إال
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang di sempitkan rezkinya hendaklah memberi nqfkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (ath-Thalaq/65: 7)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 ayat 2 dan 4 dinyatakan
bahwa kewajiban suami terhadap isteri adalah : suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
kemampuannya. Serta sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak
c. biaya pendidikan bagi anak.65
Berdasarkan ayat dan pasal tersebut di atas, maka suami wajib memberikan
nafkah kepada isteri dan anak-anaknya (biaya kehidupan). Tidak semata-mata
perceraian karena faktor ekonomi yang menyebabkan perceraian, lain di antaranya:
isteri merasa tidak cukup dengan penghasilan dari suaminya sementara isteri selalu
menuntut lebih. Cerai gugat yang disebabkan karena faktor ekonomi di Pengadilan
Agama Palembang selama tahun 2004-2006 sebanyak 157 kasus atau 9, 4%.
5. Cemburu
Cemburu merupakan sifat yang sangat manusiawi. Hanya saja rasa cemburu
terjadi berkaitan dengan kepribadian seseorang. Cemburu merupakan tindakan dan
sikap yang terpuji bila ia berjalan sesuai dengan batas-batasnya dan tidak
berlebihan. Sehingga kecemburuan seorang suami kepada isterinya merupakan
tindakan yang terpuji sekaligus yang dianjurkan oleh syara’.
Tersebut di dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah, r.a, Rasulullah Saw
bersabda:
66)متفق عليه(وغيرة اهللا تعالى ان يأتى المرء ماحرم اهللا عليه , ان اهللا تعالى يغار
65 Kompilasi Hukum Islam , h. 44 66 Zainuddin Hamidy, dkk, Terjemah Sahih Bukhari; Hadits ke 1411, (Jakarta: Widjaya, t.th), Jilid
IV, H. 1611
Artinya: “Allah pencemburu, Allah cemburu (marah sekali), kalau seseorang yang
beriman melakukan apa yang diharamkan Tuhan.”
Cemburu ini adalah tudingan atau dugaan isteri kepada suaminya bahwa
suaminya selingkuh dengan wanita lain meskipun dia tidak bisa membuktikan.
Sulit untuk memperkirakan betapa besar kesengsaraan yang di alami seorang
suami yang selalu di cemburui atau di curigai oleh isterinya, karena curiga yang
tidak ada dasar atau alasan yang benar akan menghancurkan kehidupan berkeluarga.
Bahkan tidak jarang menimbulkan pertengkaran dan perselisihan yang tidak henti-
hentinya yang bisa memporak-porandakan suasana keluarga serta membawa anak-
anak kepada kesengsaraan.
Di antara faktor penyebab kecurigaan isteri terhadap suaminya adalah
ketidakpuasannya terhadap perangai suaminya. Sesuatu yang sering kali menjadi
sasaran kecurigaan adalah orang-orang yang sering berhubungan dengan suami,
seperti teman sekerjanya atau sekretarisnya di kantor. Kecurigaan biasanya timbul
apabila hubungan hangat dalam keluarga berkurang. Isteri kurang mendapat
perhatian dari suami, kurang diperhatikan, sehingga isteri akan selalu mengamati
dan meneliti setiap ucapan, sikap dan perangai suami.67
Curiga yang mempunyai alasan atau dasar yang masuk akal atau ada
faktanya adalah wajar saja, bahkan diperlukan untuk memelihara ikatan keluarga.
Faktor cerai gugat karena cemburu yang terjadi di Pengadilan Agama Palembang
sebanyak 65 kasus atau 3,4%.
67 Asma Zainuri, Op., Cit.,
6. Poligami
Poligami merupakan salah satu alasan isteri untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama. Poligami ini adalah suami menikah lagi tanpa mendapat izin
dari isteri atau Pengadilan Agama. Ini terjadi disebabkan karena suami tidak merasa
puas terhadap isterinya karena isteri tersebut tidak bisa melayani suaminya dengan
baik atau juga karena isterinya tidak bisa memberikan keturunan (mandul). Karena
sebab tersebutlah suami menikah lagi kalau pun dilakukan secara tidak resmi.68
Menurut ajaran islam poligami dibolehkan asalkan mempunyai alasan-
alasan yang dibenarkan menurut syara’ dan tidak lebih dari 4 orang isteri.
Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع
نى ألا تعولوافإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أد
Artinya: “ Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (an-Nisa’/4: 3)
Berdasarkan ayat tersebut di atas seorang laki-laki boleh menikahi wanita
yang disukainya dua, tiga atau empat akan tetapi jarang sekali wanita yang mau
dimadu, bagi wanita yang tidak mau dimadu pastilah akan memberontak terhadap
68 Ibid
suaminya dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya pertengkaran dan percekcokan
yang bisa berakhir pada perceraian.
Meskipun berpoligami dibolehkan, agama sangat memberatkan persyaratan
dengan tujuan agar tidak dilakukan sekehendak suami. Poligami dibolehkan karena
berdampak, misalnya jika isteri mengalami kemandulan, maka poligami boleh
dilakukan bukan semata karena nafsu seks belaka melainkan untuk melanjutkan
keturunan. Tetapi harus memenuhi syarat adil dan mampu. Maksudnya adil dalam
segala hal baik secara materil dan immaterial terhadap isteri-isterinya. Dan letak
sulitnya adalah untuk mencapai keadilan itu. Perceraian akibat poligami tidak sehat
ini sebesar 31 kasus atau 1,9 %.
7. Krisis Akhlak
Krisis akhlak ini menyangkut perangai suami yang memperlakukan isteri
dan keluarganya tidak sepatutnya. Isteri diperlakukan tidak semestinya sebagai
isteri, suami suka membentak dan berbicara kasar pada isteri. Krisis akhlak ini
dikaitkan dengan ketaatan suami pada agama. Suami tidak patuh dan taat dalam
menjalankan perintah agama dengan baik, padahal isteri menghendaki suaminya
sholat, berpuasa dan menjalankan perintah agama lainnya tetapi suami menolak dan
menentang hal ini dan tetap melakukan kebiasaaan buruknya seperti judi, mabuk-
mabukkan dan sebagainya.69 Menjadi seorang pemabuk dan penjudi sangatlah tidak
baik karena bukan hanya dibenci manusia akan tetapi Allah pun sangat
membencinya. Dalam QS. al-Maidah ayat 90 dinyatakan :
69 Asma Zainuri, Op., Cit
ا ا ي ذين أيه وا ال ا آمن ر إنم سر الخم صاب والمي ن رجس واألزالم واألن ل م عم
تفلحون لعلكم فاجتنبوه الشيطانArtinya: “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(al-Maidah/5:90)
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19 huruf (a)
dijelaskan “salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”.
Agama Islam dan Negara sangat tidak menyukai kegiatan perjudian dan
minum-minuman keras. Dampak yang ditimbulkannya juga sangatlah besar bagi
keluarga dan masyarakat yang bisa mengakibatkan keluarga menjadi berantakan
karena sering menimbulkan pertengkaran yang berakhir pada perceraian.
Selain hal tersebut di atas, adakalanya juga suami memperkosa anak
kandungnya sendiri bahkan saudaranya sendiri.70 Hal ini pun sangat dimurkai Allah
Swt.
Cerai gugat karena sebab ini di Pengadilan Agama Palembang selama tahun
2004 sampai tahun 2006 sebanyak 3 kasus dan ini semua terjadi di tahun 2006 atau
0,1 %
D. Analisa Tentang Tingginya Perkara Cerai Gugat
70 Ibid
Dalam menjalankan kehidupan suami isteri kemungkinan akan terjadi salah
paham antara suami isteri, salah seorang atau kedua-duanya tidak melakukan
kewajiban-kewajibannya, tidak saling mempercayai dan sebagainya. Keadaan tersebut
adakalanya dapat diatasi dan diselesaikan atau didamaikan bahkan tak jarang pula
menimbulkan kebencian, kebengisan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami
isteri. Isteri yang sudah tidak dapat lagi mempertahankan kehidupan rumah tangga
akibat perlakuan suami yang sudah melewati batas, baik dalam sikap dan tingkah laku
yang mengharuskan isteri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Dari hasil penelitian penulis di Pengadilan Agama Palembang, bahwa perkara
cerai gugat yang diterima dari tahun 2004 sampai tahun 2006 berjumlah 1447 perkara
atau 55% dan yang sudah diselesaikan oleh hakim sebanyak 1182 perkara atau 45%.
Dari jumlah angka statistik perkara cerai gugat, penulis pahami bahwa kondisi
ini banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Membangun keharmonisan
rumah tangga memang bukan hal mudah, karena perkawinan merupakan penyatuan
dua pribadi yang berasal dari latar belakang berbeda, baik itu sosial, budaya,
ekonomi dan lingkungan keluarga. Karenanya sering terdengar meskipun
pernikahan sudah dijalani selama bertahun-tahun masih saja terbentur dengan
hambatan-hambatan dalam membangun kehamonisan suami isteri. Seperti di usia
tiga tahun perkawinan ternyata belum dapat merasakan kehamonisan dalam
berumah tangga. Banyak penyebab yang menjadi pemicu pertengkaran suami
dengan isteri, dari masalah keuangan, sikap kasar suami terhadap isteri dan terutama
masalah komunikasi yang sering menemui jalan buntu. Seperti contoh kasus perkara
cerai gugat di PA Palembang antara Linda Patri Lan binti Arsad sebagai penggugat
dan Marzuki Rahman bin Herman sebagai tergugat. Yang mana inti dari gugatannya
adalah disebabkan adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus karena
tergugat tidak mau hidup mandiri, tergugat melarang penggugat untuk
bersilaturrahmi dengan orang tua penggugat, selain itu juga tergugat selalu lebih
mementingkan keluarganya dari pada penggugat (isterinya). Dalam keadaan seperti
ini sangat menjadikan kehidupan keluarga menjadi sangat tidak harmonis lagi.
Padahal membangun keharmonisan di dalam kehidupan berumah tangga merupakan
hal yang harus benar-benar diperhatikan.
2. Kehadiran pihak ketiga yang mengganggu kehidupan pasangan suami isteri dapat
mengancam kehidupan perkawinan. Suami menjalin hubungan asmara
(berselingkuh) dengan wanita lain. Banyak faktor penyebab suami berselingkuh
dengan orang lain. Salah satunya karena sudah merosotnya rasa cemburu (ghirah).
Istri tidak berdaya melarang suaminya menggauli wanita lain yang bukan haknya.
Pria yang berselingkuh mungkin karena tidak lagi merasakan kehangatan hidup
dengan istrinya. Apalagi diselingi percekcokan yang sering bikin stress. Kesetiaan
isteri harus pula diimbangi lebih baik lagi oleh para suami. Perhatian, kasih sayang
dan kehangatan haruslah diberikan kepada suami. Dengan begitu tidak ada
keinginan suami untuk serong kepada wanita lain. Praktik serong selama ini lebih
disebabkan karena kebutuhan fisik dan psikis suami tidak di penuhi dengan baik
oleh isteri.
3. Dalam kehidupan berumah tangga baik suami maupun isteri mempunyai tanggung
jawabnya masing-masing. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan kehidupan berumah tangga. Masing-masing mempunyai kewajiban,
suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Kedudukan suami
sebagai kepala keluarga wajib menafkahi isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami
ini terdapat dalam pasal 80 KHI, salah satunya dijelaskan di dalam ayat (4) huruf a
yaitu, suami dengan penghasilannya menanggung nafkah, kiswah dan tempat
kediaman bagi isteri Adanya seorang isteri yang mengajukan cerai ke Pengadilan
Agama disebabkan suami melalaikan kewajibannya dalam menafkahi isteri dan
anak-anaknya. Kewajiban suami yang lainnya adalah sebagai pembimbing terhadap
isteri dan rumah tangganya, wajib melindungi isterinya dan memberikan sesuatu
keperluan hidup berumah tangga dan sebagainya. Ditegaskan dalam pasal 34 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ayat (3) yang menegaskan bahwa jika suami
isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama.
4. Masalah keuangan atau ekonomi sebuah keluarga merupakan masalah yang harus
diperhatikan. Dalam membina keluarga yang sakinah dan tenteram harus di bangun
dengan kesepahaman akan masalah keuangan.
Perbedaan sikap terhadap keuangan bisa menjadi kerikil-kerikil tajam yang bisa
merusak ketentraman keuangan keluarga bila tidak didiskusikan secara baik.
Perekonomian keluarga terletak di tangan suami. Suamilah yang menjadi sumber
ekonomi dalam keluarga, karena itu merupakan kewajibannya dalam mengayomi
dan mencukupi kehidupan isteri dan anak-anaknya. Jika suami terkena PHK dan
menjadi seorang yang pengangguran maka kehidupan perekonomian akan
terganggu. Bila ternyata suami sudah tidak lagi mampu mencari nafkah atau bahkan
suami merasa nyaman dengan kondisi seperti ini (pengangguran). Maka sangat
tidak baik karena membuat suami menjadi lengah terhadap tanggung jawabnya
sebagai qowwam dalam keluarga. Sehingga menyebabkan isteri menjadi demikan
berat menjalani kehidupan berumah tangga. Ada seorang isteri yang menjalani
peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus mengurusi kebutuhan keluarga. Tentu
hal ini sangat menguras tenaga dan pikiran seorang isteri yang seharusnya lebih
fokus kepada tugas utamanya yakni melayani suami dan mendidik anak.
5. Dari sudut psikologi, cemburu adalah perasaan sakit hati, marah, tidak percaya, dan
kurang yakin seseorang terhadap pasangan yang dicintai. Perasaan ini timbul
lantaran sikap suami atau isteri yang membayangkan pasangannya mempunyai
hubungan istimewa dengan seseorang di luar pengetahuannya. Ada dua macam
cemburu, positif dan negatif. Ketika suami terlambat pulang, isteri sibuk mencari
tahu tentang keberadaan suaminya karena khawatir terjadi apa-apa pada diri
suaminya, inilah cemburu yang positif. Namun jika keterlambatan suami itu
melahirkan prasangka buruk, berprasangka yang bukan-bukan kepada suami
sehingga melahirkan percekcokan, ini disebut cemburu yang negatif. Ikatan
perkawinan perlu ada sikap saling mempercayai antara satu sama lain. Banyak hal
yang dapat dilakukan sehingga tidak berlebihan dalam mencurigai pasangan
diantaranya memberi perhatian dan kasih sayang supaya isteri tidak berprasangka
yang bukan-bukan kepada suami dan juga menjaga komunikasi dengan pasangan.
Jika sikap saling curiga diantara suami isteri sudah berlebihan maka akan dapat
mengarah kepada perceraian.
6. Islam tidak melarang jika seorang suami ingin memiliki isteri lebih dari satu asalkan
dapat memenuhi syarat-syaratnya diantaranya mampu untuk berlaku adil dan
mampu untuk menghidupi isteri-isterinya. Jika tidak bisa berlaku adil maka satu
orang isteri saja cukup. Poligami di Pengadilan Agama menjadi salah satu faktor
penyebab perceraian. Kasus perceraian akibat poligami ini dikarenakan suami
melakukan poligami dengan tanpa memenuhi persyaratan peraturan yang berlaku
seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang
Perkawinan sama sekali tidak menutup pintu untuk berpoligami. Namun hanya
mengatur syarat-syaratnya. Adanya syarat ijin istri yang harus diperoleh seorang
suami untuk berpoligami seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
dimaksudkan untuk menghindari dampak buruk akibat poligami.
7. Seorang muslim haruslah memiliki akhlak yang baik sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh baginda Rasul. Ada di antara manusia yang mempunyai akhak
yang dapat menyamai seperti malaikat bahkan lebih tinggi, namun ada pula yang
memiliki akhlak yang lebih rendah dari binatang. Hal ini menyangkut dengan
keimanan seseorang. Seseorang yang berakhlak atau bermoral tidak baik cenderung
mengarahkan perbuatannya pada perbuatan yang tidak baik pula. Krisis akhlak yang
menjadi salah satu penyebab perceraian merupakan perbuatan yang tidak baik yang
dilakukan seorang suami kepada isteri dan keluarganya bahkan kepada penciptanya.
Seperti contoh suami selingkuh dan menikah lagi dengan perempuan lain tanpa
mempertimbangkan baik buruknya dalam rumah tangganya dan juga seperti
tindakan perkosaan yang dilakukan suami baik kepada saudaranya sendiri bahkan
kepada anaknya. Akhlak seperti ini apabila dibiarkan terjadi berkepanjangan akan
sangat mengancam berlangsungnya kehidupan berumah tangga. Untuk menghindari
akhlak yang tidak baik yang berlangsung terus menerus ada pada diri suami, maka
perceraian merupakan pintu darurat yang membolehkan pasangan suami isteri
bercerai.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1. Suami dan isteri masing-masing mempunyai hak yang sama untuk mengajukan
cerai. Suami mempunyai hak talak sedangkan isteri mempunyai hak untuk
mengajukan gugatan perceraian. Dalam islam hak isteri ini dikenal dengan istilah
khulu’.
2. Pada umumnya penggugat yang mengajukan cerai ke Pengadilan Agama
Palembang adalah mereka yang sudah sadar hukum. Profesi mereka kebanyakkan
adalah ibu rumah tangga, namun ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri
sipil. Bila dilihat dari status pendidikannya umumnya adalah sebatas SMA tapi ada
juga yang telah mencapai gelar S1.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka cerai gugat di Pengadilan Agama
Palembang antara lain :
a. Tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, karena diantara suami dan
isteri sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang berlangsung secara terus
menerus. Sebab ini terjadi sebesar 48,3%
b. Gangguan pihak ketiga seperti kehadiran Wanita Idaman Lain (WIL) dalam
kehidupan rumah tangga akan menyebabkan runtuhnya ikatan perkawinan.
Apabila suami sudah memiliki dan melakukan hubungan asmara dengan orang
lain (selingkuh) dan diketahui oleh salah satu pihak maka akan sangat
berpotensi terjadi pertengkaran pada suami isteri tersebut dan berujung pada
perceraian. Sebab ini terjadi sebesar 20,9%
c. Tidak ada tanggung jawab lebih menekankan pada pengabaian terhadap
kewajiban yang diemban dalam keluarga seperti tidak bertanggung jawab dalam
hal menafkahi keluarga. Sebab ini terjadi sebesar 15,3%
d. Ekonomi yang merupakan salah satu faktor penunjang bagi berhasil tidaknya
dalam berkeluarga. Sekalipun ekonomi bukan segala-galanya, namun tanpa
adanya keuangan yang memadai akan memunculkan banyak masalah. Sebab ini
terjadi sebesar 9,4%
e. Cemburu ini adalah tudingan atau dugaan isteri kepada suaminya bahwa
suaminya ada main atau selingkuh dengan wanita lain meskipun dia tidak bisa
membuktikannya. Sebab ini terjadi sebesar 3,4%
f. Poligami tidak sehat (suami menikah lagi tanpa mendapat izin dari isteri atau
dari Pengadilan Agama). Hal ini terjadi karena suami tidak merasa puas
terhadap isterinya isterinya tersebut tidakbisa melayani suaminya dengan baik
dan juga karena tidak bisa memberikan keturunan (mandul). Sebab ini terjadi
sebesar 1,9%
g. Karena masalah moral atau krisis akhlak, seperti suami selingkuh dan menikah
lagi dengan perempuan lain dan juga seperti tindakan perkosaan yang dilakukan
suami baik kepada saudaranya sendiri bahkan kepada anaknya. Sebab ini terjadi
sebesar 0,1%.
4. Permohonan cerai merupakan ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan agama yang
menjadi sebab putusnya perkawinan
5. Cerai gugat adalah perceraian antara suami isteri yang inisiatif perceriannya berasal
dari isteri
B. Saran-saran
1. Dalam pengajian-pengajian maupun ceramah agama ditekankan bahwa dalam
kehidupan suami isteri harus menerima segala kekurangan dan kelebihan masing-
masing pasangannya dengan niat untuk membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah dan warrahmah.
2. Memaksimalkan keberadaan BP 4 dalam memberikan bimbingan kepada
bmasyarakat mengenai kehidupan rumah tangga yang ideal.
3. Penyuluhan agama dalam upaya pembinaan keluarga sakinah dengan
menitikberatkan pada tanggung jawab, gangguan pihak ketiga dan keharmonisan
dalam hubungan suami isteri di keluarga.
4. Memasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai dari Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah sampai
Perguruan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama RI, 1987 Abu Zakariya Yahya, Imam, Riadussalihin, terjemahan Ust. Al Hafidh Masrap Suhaimi,
B.A, Surabaya: Mahkota Surabaya, Cet. Ke 9, 1994 Ahmad Noeh, Zaini, H., dan H. Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Islam Di Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983 Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Beirut:
Darul Fikr, 1994 Ali, Mohammad Daud, Prof., H., S.H., Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Cet.ke 2, 2002 Arifin, Bustanul, Prof., DR., S.H., Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, Cet.ke 1, 1996 Arikunto, Suharsimi, Prof., Dr., Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, Cet.ke 11, 1998 Ayyub, Syaikh Hassan, Fiqh Keluarga, Jakarta: Pustka al- Kautsar, Cet.ke 1, 2006 Basiq Djalil, Ahmad., Drs., H., S.H., M.A., Peradilan Agama di Indonesia, Gemuruhnya
Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Perdilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syari’at Islam Aceh, Jakarta: Kencana, Cet.ke 1, 2006
Daud, Abu, Sunan Abu Daud, Beirut: Darul Fikr, 1994 Djaelani, Abdul Qadir., H, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet.ke 1, 1995 Effendi M. Zein, Satria, Prof., Dr., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Prenada Media, 2004
Ghazaly, Abd. Rahman, Drs., H., M.A, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke 1, 200
Hasan Bisri, Cik, Drs., MS., Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998 Harahap, M. Yahya, S.H., Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undang No.7 Tahun 1989), Jakarta: Pustaka Kartini, Cet.ke 3, 1997 Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2006 Johan Nasution, Bahder dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju,
Cet.ke 1, 1997 Kuzari, Acmad, Drs, M.A., Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet.ke 1, 1995 Mas’ud, Ibnu, Drs., H., dan Drs. H. Zainal Abidin. S, Fiqh Madzhab Syafi’i; Edisi Lengkap
Mu’amalat, Munakahat dan Jinayat, Jakarta: CV. Pustaka Setia, Cet.ke 1, 2000 Mukti Arto, Ahmad., Drs., H., S.H., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke 1, 1996 Prodjodikoro, Wirjono, S.H., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung, Cet.ke 8, 1982 Qardhawi, Muhammad Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, terjemahan Muammal Hamidi,
Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980 Rahman I Doi, A, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet.ke 1, 2002 Rasyid, Raihan A, H., S.H., M.A., Hukum Acara Pengadilan Agama, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet.ke 9, 2002 Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Agrisindo, Cet.ke 1, 1994 Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.th -----------, Fiqh Sunnah, Kairo : Daar al-Fath, Cet.ke 1, jilid 2, 2000 Sudjana, Nana, DR., H dan Ir., H., Awal Kusumah, MS Proposal Penelitian Di Perguruan
Tinggi, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000
Sutarmadi, Ahmad, Prof., Dr., H., dan Mesraini, M.Ag., Administrasi Pernikahan dan
Manajemen Keluarga, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN JKT, 2006 Syaltut Ali As-Syais, Mahmud; Penterjemah oleh K.H. Abdullah Zaky al-Kaff, Fikih Tujuh
Mazhab, Jakarta: Pustka Setia, 2000 Syarifuddin, Amir, Prof., Dr., Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana Prenada Media,
Cet.ke 1, 2003 ------------, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, t.th Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al Islamy Wa adiatuh, Beirut: Dar al Fikr Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Perundang-Undangan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Perundang-Undangan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Peraturan Perundang-Undangan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No.1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1974 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan http://www.kompas.com/kesehatan/news/0508/05/073853.htm
HASIL WAWANCARA
NAMA :Dra. Asma Zainuri, SH
JABATAN : Hakim
TANGGAL : 30 April 2007
TEMPAT : Pengadilan Agama kelas I A Palembang
1. Menurut ibu yang dimaksud cerai gugat itu apa ?
• cerai yang diajukan oleh pihak istri
2. Apa faktor yang menyebabkan banyaknya gugatan cerai di P A Palembang ini ?
• Banyak faktor yang menyebabkan banyaknya gugatan cerai di P A Palembang
ini antara lain karena suaminya tidak bertanggung jawab, punya WIL
(selingkuh), cek-cok, dan adakalanya salah satu pihak menjalani hukuman
pidana dan masalah KDART.
3. Latar belakang penggugat yang mengajukan gugatan, seperti apa di PA Palembang ini ?
• Kebanyakan dari mereka itu sudah sadar hukum, sama banyaknya yang
mengajukan perceraian, baik dari yang berpendidikan tinggi atau pun rendah.
4. Alasan-alasan apa saja yang dapat diterima oleh PA Palembang dari seorang isteri yang
mengajukan gugatan cerai ?
• Oh,… Alasannya sesuai dengan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dengan pasal 116
KHI, seperti karena alas an murtad dan pelanggaran taklik talak.
5. Seorang isteri yang mengajukan gugatan cerai memberikan ‘iwadh. Ditentukan oleh
siapa besarnya ‘iwadh yang harus dibayar ?
• Ditentukan oleh Menteri Agama. Sebelum adanya Undang- undang Perkawinan
‘iwadh yang harus dibayar itu sebesar Rp. 50,- seperti yang terdapat dibuku Akta
Nikah.
6. Apa dasar hukum bagi Hakim dalam memutus perkara gugat cerai?
• Dasar hukumnya, ya…. kembali lagi ke UU No. 1 Tahun 1974, KHI, dan UU No.
7 Tahun 1989.
7. Berapa lama perkara gugat cerai baru bisa diselesaikan?
• Tergantung para pihak, bisa cepat bisa lambat, jika suaminya ghoib, diumumkan
selama 4 bulan, bagi PNS selama 6 bulan.
8. Apa akibat hukum dari cerai gugat ini ?
• Akibat hukum dari cerai gugat ini adalah jatuh talak ba’in sughro.
• Produk putusan hakimnya yaitu :
1. menerima dan mengabulkan gugatan penggugat
2. menetapkan jatuh talak 1 ba’in sughro dari tergugat kepada penggugat
3. menetapkan biaya perkara menurut ketentuan yang berlaku.
Palembang, 30 April 2007
Rusmala Dewi Jayanti Dra. Asma Zainuri, SH
Pewawancara Hakim
STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA KELAS I A PALEMBANG
STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA KELAS I A PALEMBANG