180
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24 59 BULAN DI KECAMATAN MUARA KABUPATEN TAPANULI UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2017 T E S I S RIANI PARDEDE 157032143 PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24 – 59 BULAN DI KECAMATAN MUARA

KABUPATEN TAPANULI UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2017

T E S I S

RIANI PARDEDE

157032143

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

THE FACTORS THAT AFFECTING STUNTING EVENTS ON THE AGE OF 24 - 59 MONTHS IN THE DISTRICT MUARA REGENCY OF NORTH TAPANULI

IN NORTH SUMATERA PROVINCE IN 2017

T E S I S

RIANI PARDEDE

157032143

MAGISTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM

FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24 – 59 BULAN DI KECAMATAN MUARA

KABUPATEN TAPANULI UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2017

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Kebijakan Gizi Masyarakat

Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

RIANI PARDEDE

157032143

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Telah diuji

Pada tanggal : 18 Agustus 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof .Dr. Ir.Albiner Siagian, M.Si

Anggota :1. Ir.Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D

2. Prof. Dr. Ir.Evawani Y. ArItonang

3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI KECAMATAN MUARA

KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2O17

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 18 Agustus 2017

(Riani Pardede)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

ABSTRAK

Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang berdampak buruk terhadap

kualitas hidup anak dalam mencapai tumbuh kembang yang optimal sesuai dengan

potensi genetiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor yang paling

dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di

Kecamatan Muara tahun 2017.

Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan rancangan cross-

sectional. Pengolahan data menggunakan uji chi square (bivariat) dan regresi logistic

(multivariate) dengan jumlah sampel sebanyak 88 orang dari populasi 732 balita yang

diambil secara systematic random sampling. Variabel yang digunakan diantaranya

adalah karakteristik balita meliputi usia, berat badan lahir, panjang badan lahir, jenis

kelamin, ASI eksklusif, riwayat penyakit dan asupan pangan, ntuk karakteristik

keluarga meliputi usia ibu, tinggi badan ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, usia ayah,

tinggi badan ayah, pekerjaan ayah, penghasilan keluarga serta jumlah anggota

keluarga.

Hasil analisis menunjukkan bahwa balita stunting sebanyak 31,8%. Hasil

analisis multivariate menunjukkan bahwa variable yang merupakan faktor yang

paling besar mempengaruhi kejadian stunting adalah asupan pangan dengan OR= 9,4,

dan riwayat penyakit dengan OR= 8,7. Peneliti menyarankan agar ibu balita lebih

memperhatikan asupan pangan balita serta menjaga kesehatan balita dengan baik agar

tidak mudah sakit sehingga status gizinya boleh lebih baik.

Kata Kunci: stunting, balita 24-59 bulan, asupan pangan, riwayat penyakit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

ABSTRACT

Stunting is one of the nutritional problems that adversely affect the quality of life of

children in achieving optimal growth according to their genetic potential. This study aims to

determine the most dominant factor associated with the incidence of stunting in children aged

24-59 months in Muara District in 2017.

This research is descriptive observational with cross-sectional design. Data

processing using chi square test (bivariate) and logistic regression (multivariate) with the

number of samples as many as 88 people from the population of 732 infants taken by

systematic random sampling. Variables used include toddler characteristics including age,

birth weight, body length, gender, exclusive breastfeeding, history of disease and food intake,

for family characteristics including maternal age, maternal height, maternal education,

mother's job, father's age, Father's height, father's work, family income and family members.

The results of the analysis showed that stunting children were 31.8%. The result of

multivariate analysis showed that the variable which is the biggest factor influenced the

stunting incidence was food intake with OR = 9,4, and history of disease with OR = 8,7. The

researcher suggested that the mother of children under five years old to pay more attention to

the intake of toddler food and also to keep the health of the baby well so as not to get sick

easily and they can have better nutrition:s status.

Keywords: stunting, children aged 24-59 months, food intake, history of disease.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

KATA PENGANTAR

Segala Puji, Hormat serta Syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus, yang hanya oleh karena Kasih dan KemurahanNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Muara tahun 2017”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik agar dapat

menyelesaikan pendidikan pada Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat terlaksana tanpa

bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof.Dr.Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara dan sebagai Pembimbing II saya.

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, selaku Pembimbing Iyang telah dengan

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan serta meluangkan waktu

untuk membimbing penulis mulai dari pengajuan judul hingga penulisan tesis

ini dapat selesai.

5. Prof. Dr. Ir. Evawani Y. Aritonang selaku Pembimbing I yang telah banyak

memberikan saran dan masukan mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini.

6. Dr. Ir. Zulhaidah Lubis, M.Kes, selaku Penguji II yang telah banyak

memberikan saran dan masukan mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang

sangat berharga selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara khususnya Roida, SKM selaku

Kepala UPT Puskesmas Muara dan seluruh teman-teman staf Puskesmas

Muara dan para bidan desa yang telah banyak membantu penulis dalam

pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian.

9. Teristimewa buat kedua orang tua saya yang tercinta Bapak.K. Pardede dan

Ibu T. Sitorus yang selalu membawa saya dalam setiap doa-doanya, yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

telah memberikan semangat dan dukungan penuh dalam segala halserta kasih

saying, dan tak lupa kepada kedua mertua saya Bapak R. Sihaloho dan Ibu M.

Simarmata yang selalu membawa saya dalam doanya serta kepada seluruh

kakak dan adik-adik saya yang tetap memberikan semangat dan dukungan

dalam penyelesaian tesis ini.

10. Terkhusus buat suami saya Benget Sihaloho, SP yang senantiasa memberikan

motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

11. Kepda yang penulis sayangi putri saya Irene Yabesri Sihaloho dan putra saya

Ishak Yesiel Sihaloho yang telah menjadi motivasi bagi penulis agar dapat

menyelesaikan tesis ini tepat waktu

12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

khususnya Minat Studi Administrasi Kebijakan Gizi Masyarakat Tahun 2015

yang telah banyak memberikan dukungan dalam pembuatan tesis ini.

Akhirnya penulismenyadari segala keterbatasan dan kekurangan yang ada

dalam penulisan tesis ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang

membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita

semua, Tuhan memberkati.

Medan, 18 Agustus 2017

Penulis

Riani Pardede

157032143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Riani pardede dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1975 di

Medan, anak Kedua dari tujuh bersaudara dari keluarga Bapak K.Pardede dan Ibu

T.Sitorus beragama Kristen. Penulis tinggal di Kompleks Puskesmas Muara

Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidika di SD Parulian A Medan

tamat tahun 1987, SMP Negeri 7 Medan tamat tahun 1990, SMA RK Tri Sakti

Medan tamat tahun 1993, Akademi Gizi Lubuk Pakam tamat tahun 1997, Poltekes

Depkes RI Lubuk Pakam Program Studi DIV tamat tahun 2008.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Progran Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Sudi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Universitas

Sumatra Utara tahun 2015-2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………………………….……...…………..……..…………… i

ABSTRACT ………………………………………………………………… ii

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. iii

RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………... v

DAFTAR ISI ……………………………….……….……………..………. vi

DAFTAR TABEL ……………………….……………..…………….……. ix

DAFTAR GAMBAR …………………….………………………………… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……………….………………..……………….…. xii

DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………….. xiii

BAB 1. PENDAHULUAN …….……………………..……………..……. 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1

1.2 Permasalahan ……………………………………….............. 7

1.3 Tujuan Penelitian ………………………….……………...…. 8

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….….... 9

2.1 Balita …..………………….……………………………..…... 9

2.2 Stunting …..…………………………………………….…,,.. 9

2.3 Dampak Stunting pada Balita ………………….………….... 13

2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting 14

2.4.1 Karakteristik Balita …….…………………………… 15

2.4.2 Karakteristik Rumah Tangga ………………………. 27

2.5 Penilaian Status Gizi ……………..………………………...... 40

2.6 Landasan Teori .……………………..……………………...... 42

2.7 Kerangka Konsep ………….……………….………………... 45

2.8 Hipotesis ……………………………..…………………….... 46

BAB 3. METODE PENELITIAN..….………………………………..…... 47

3.1 Jenis Penelitian ……..…….………………….………….….... 47

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian.……..…………..….. 47

3.3 Populasi dan Sampel …………………………………….…… 47

3.4 Metode Pengumpulan Data …..………………………………. 48

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional………..……………….... 48

3.6 Metode Pengukuran ….…………………………………..….. 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

3.7 Metode dan Analisa Data ………………………………….... 55

BAB 4. HASIL PENELITIAN …..….………………………………..……. 58

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian .…………….…….………..……. 58

4.2 Analisis Univariat ……………………….…………………….. 62

4.2.1 Karakteristik Balita Usia 24-59 Tahun ……………….. 62

4.2.2 Karakteristik Rumah Tangga ………………….……… 64

4.2.3 Stunting pada Balita Usia 24-59…………………….... 65

4.3 Hasil Analisis Bivariat ……………………………………….... 66

4.3.1 Hubungan Umur Balita dengan Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan ……..………………………... 66

4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan …………………………. 67

4.3.3 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan …..…………………… 68

4.3.4 Hubungan Panjang Badan Lahir dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan …….……...….. 69

4.3.5 Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan ……..…………………... 70

4.3.6 Hubungan Riwayat Penyakit dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan ………………………….. 71

4.3.7 Hubungan Asupan Pangan dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan ..………………………... 72

4.3.8 Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan ……………………………….. 73

4.3.9 Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan …………………………... 74

4.3.10 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian

Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan …….……...….. 75

4.3.11 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan ……..…………………... 76

4.3.12 Hubungan Tinggi Badan Ayah dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan ………………………….. 77

4.313 HubunganTingkat Pendidikan Ayah dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan ………………... 78

4.3.14 Hubungan Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan …….………………...….. 79

4.3.15 Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan ……..………..... 80

4.3.16 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan ..……………….. 81

4.4. Hasil Analisis Multivariat ………….. …………………………... 82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

4.4.1 Seleksi Variabel untuk Uji Regresi Logistik …….…...….. 83

4.4.2 Model Regresi Logistik terhadap Kejadian Stunting

pada Balita Usia 24-59 Bulan ……..…………………... 84

BAB 5. PEMBAHASAN ………………………………………………………. 86

5.1 Gambaran Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan ……. 86

5.2 Hubungan Karakteristik Balita dengan Kejadian Stunting ..….. 87

5.2.1 Usia Balita …………………………………………….. 87

5.2.2 Jenis Kelamin ……………………..….……………….. 88

5.2.3 Berat Badan Lahir ………..…..………………………... 89

5.2.4 Panjang Badan Lahir ………………….…….……...….. 91

5.2.5 ASI Eksklusif ……………………..…………………... 93

5.2.6 Riwayat Penyakit ……………………………..……….. 95

5.2.7 Asupan Pangan ………………………………………... 96

5.3 Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kejadian Stunting …. 98

5.3.1 Usia Ibu ……………….……………………………….. 98

5.3.2 Tinggi Badan Ibu ………… …………………………... 99

5.3.3 Pendidikan Ibu …………..………………….……...….. 101

5.3.4 Pekerjaan Ibu ……………….……..…………………... 103

5.3.5 Tinggi Badan Ayah …………………………………….. 104

5.3.6 Tingkat Pendidikan …………………..………………... 105

5.3.7 Pekerjaan ………………….…….………………...….. 106

5.3.8 Penghasilan Keluarga ……………………..………..... 107

5.3.9 Jumlah Anggota Keluarga …………....……………….. 108

5.4 Faktor-Faktor yang Paling Dominan terhadap Kejadian Stunting. 109

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ..……………………………….….... 111

6.1 Kesimpulan …………………….………….…….…………..….. 111

6.2 Saran ……………….……………………….……………………. 112

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 113

LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan PB/U atau TB/U Anak

Umur 0-60 Bulan …………..………………………………… 12

4.1 Populasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin Tahun 2014 ………………………………………….. 59

4.2 Jumlah Kasus Penyakit Terbesar yang Dilayani di Puskesmas

Muara Bulan Juni 2017 ………………….……………………. 61

4.3 Distribusi Frekwensi Karakteristik Balita …………………… 63

4.4 Distribusi Frekwensi Karakteristik Rumah Tangga ..……..… 64

4.5 Distribusi Frekwensi Status Gizi Balita (TB/U) ……………… 65

4.6 Tabulasi Silang Hubungan Umur Balita dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………………....……… 67

4.7 Tabulasi Silang Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………………....……… 68

4.8 Tabulasi Silang Hubungan Berat Badan Lahir dengan

Kejadian Stunting pada Balita ………………………....……… 69

4.9 Tabulasi Silang Hubungan Panjang Badan Lahir dengan

Kejadian Stunting pada Balita ………………………....……… 70

4.10 Tabulasi Silang Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………………....……… 71

4.11 Tabulasi Silang Hubungan Riwayat Penyakit dengan Kejadian

Stunting pada Balita ……………………………………...……… 72

4.12 Tabulasi Silang Hubungan Asupan Pangan dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………………......……… 73

4.13 Tabulasi Silang Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Stunting

pada Balita …………………………………....………………..… 74

41.4 Tabulasi Silang Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………………....………… 75

4.15 Tabulasi Silang Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian

Stunting pada Balita ………………………......................……… 76

4.16 Tabulasi Silang Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian

Stunting pada Balita ……………………….......................….…… 77

4.17 Tabulasi Silang Hubungan Tinggi Badan Ayah dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………….………....……… 78

4.18 Tabulasi Silang Hubungan Pendidikan Ayah dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………………….....……… 79

4.19 Tabulasi Silang Hubungan Pekerjaan Ayah dengan Kejadian

Stunting pada Balita …………………………..………......……… 80

4.20 Tabulasi Silang Hubungan Penghasilan Keluarga dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Kejadian Stunting pada Balita ……………………….....……… 81

4.21 Tabulasi Silang Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan

Kejadian Stunting pada Balita …..…………..………......……… 82

4.22 Hasil Seleksi Variabel yang Dapat Masuk Dalam Model Regresi

Logistik Ganda ………………………..……………….....……… 83

4.19 Model Regresi Logistik Tahap Pertama Terhadap Kejadian

Stunting pada Balita …………………………..……….........…… 84

4.19 Model Regresi Logistik Tahap Kedua Terhadap Kejadian

Stunting pada Balita …………………………..……….........…… 84

4.19 Model Regresi Logistik Tahap Ketiga Terhadap Kejadian

Stunting pada Balita …………………………..……….........…… 85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Kerangka Teori …………..………………………..….…………..… 44

2.2 Kerangka Konsep…………………..………….………………….… 45

4.1 Peta Kecamatan Muara ……………….…………………………..… 58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Surat Permohonan izin Survey Pendahuluan ……………………… 122

2. Surat Izin Survey Pendahuluan ……………………………………. . 123

3. Surat Permohonan Izin Penelitian …………………………..……... 124

4. Surat Izin Penelitian ………………………………………………… 125

5. Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Subjek Penelitian ……………. 126

6. Kuesioner Penelitian ………………………………………………,. 127

7. Hasil Perhitungan Statistik …………………………………………. 134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

DAFTAR ISTILAH

AKB : Angka Kematian Bayi.

AKG : Angka Kecukupan Gizi.

Antropometri : pengukuran dimensi tubuh manusia

ASI : Air Susu Ibu

ASI Eksklusif : pemberian ASI saja kepada bayi baru lahir

hingga umur 6 bulan.

Baduta : bawah dua tahun.Balita : bawah lima tahun.

Bappenas : badan perencanaan pembangunan nasional.

BB : Berat Badan.

BBLR : Berat Badan Lahir Rendah.

BPPN : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

BPS : Badan Pusat Statistik.

Caregiver : pengasuh.

Catch up grow : tumbuh kejar.

Child Growth Standard : standard penentuan pertumbuhan/status gizi

balita.

Deficit : kekurangan.

Defisiency mikronutrient : kekurangan zat gizi mikro/mineral.

D/S : jumlah balita yang ditimbang dibagi dengan

Jumlah balita seluruhnya, untuk mengetahui

tingkat pencapaian program

FAO : Food and Agriculture Organization, organisasi

dunia yang membidangi pertanian dan

makanan.

FFQ : Food Frequency Questioners.

Global Nutrition Targets : target pencapaian penurununan jumlah

angka penderita masalah gizi.

Golden period : masa keemasan, usia 0-1000 hari kehidupan.

Growth faltering : gagal tumbuh.

Intake : asupan.

IQ : Inteligence Quotient, tingkat kecerdasan.

IUGR : Intrauterine growth retardation

Terhambatnya pertumbuhan janin dalam

kandungan.

Kasein : protein nabati.

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak.

KMS : Kartu Menuju Sehat.

Lost generation : generasi yang hilang.

Malnutrisi : masalah gizi/ gizi salah.

Maternal reproductive outcomes : hasil reproduksi ibu.

MCA : Ministry of Corporate Affairs.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Non public health problem : bukan masalah kesehatan masyarakat.

OR : Od Ratio

Over weight : kelebihan berat badan/gemuk.

PB : Panjang Badan.

PB/U : penentuan status gizi berdasarkan panjang

badan menurut umur.

Performance : penampilan.

Plastisitas : kemempuan untuk menyesuaikan diri terhadap

kondisi lingkungan.

Prediktor : perkiraan, pencetus, penyebab.

Pre_mature : belum cukup umur.

Prevalensi : angka kejadian.

PSG : Pemantauan Status Gizi.

Puskesmas : pusat kesehatan masyarakat.

PTSU : Pendek Tidak Sesuai Umur.

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar.

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah.

SAM : Severe Acute Malnutrition, kekurangan gizi

kronis.

Scalling up nutrition : zat gizi yang dibutuhkan agar dapat bertumbuh

dengan baik.

SDM : Sumber Daya Manusia.

Severe stunted : sangat pendek.

Skizofenia : gila/stress.

SK Menkes : Surat Keputusan Meteri Kesehatan.

Stunting : pertumbuhan tinggi badan tidak sesuai dengan

umur.

TB/U : penentuan status gizi berdasarkan panjang

badan menurut umur.

TB : Tinggi Badan.

UNICEF : United Nations Children’s Fund, organisasi

dunia yang membidangi masalah anak-anak.

USAID : United States Agency for International

Development.

Wasting : sangat kurus

WHA : Worl Health Assembly, pertemuan yang

membahas masalah kesehatan di dunia.

Window opportunity : masa pertumbuhan.

Whey : protein hewani.

WHO : World Health Organization, organisasi

yang membidangi masalah kesehatan.

WHO_Anthro : standard penentuan status gizi menurut WHO.

Under weight : kurus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya

manusia. Masalah gizi dapat dialami oleh semua kelompok umur, termasuk balita.

Hal ini disebabkan karena anak balita lebih rentan terhadap perubahan dan usia balita

merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat.

Gizi sangat penting untuk pembentukan dan perkembangan fungsional sistem saraf

pusat (SSP). Apabila pada proses pembentukan ini terjadi gangguan maka akan

mempengaruhi fungsi otak. Dampak malnutrisi yang terjadi dapat menyebabkan

terhambatnya perkembangan otak. Hal ini juga dapat menyebabkan perubahan besar

pada prilaku anak-anak yang kurang gizi (Laus MF, 2011).

Gizi buruk tidak hanya dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian,

tetapi juga dapat menurunkan produktifitas, menghambat sel-sel pembentukan otak

yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan. Terdapat kaitan yang sangat

erat antara status gizi dengan dengan konsumsi makanan. Status gizi yang optimal

akan dapat tercapai jika kebutuhan gizi terpenuhi, demikian pula sebaliknya, juka

kebutuhan gizi tidak dapat terpenuhi maka status gizi yang optimal juga tidak akan

tercapai. Status gizi seseorang pada suatu waktu bukan hanya ditentukan oleh tingkat

konsumsi pada masa lampau namun jauh sebelum itu, yang berarti status gizi pada

masa balita, mempunyai andil dalam status gizi saat dewasa (Kadir S et al, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan

sehingga diperlukan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya (Kurniasih, 2010).

Pada masa balita dibutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas

yang lebih banyak, karena pada umumnya aktifitas fisik yang cukup tinggi dan masih

dalam proses belajar. Apabila intake zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik

dan intelektualitas balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan

menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang (lost generation), dan dampak

yang luas negara akan kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

(Welasasih BD et al, 2012).

Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui FAO melaporkan bahwa, saat ini

sekitar 805 juta orang mengalami masalah gizi, ini berarti bahwa hampir sekitar satu

dari sembilan orang di dunia mengalami masalah gizi . Diperkirakan sepertiga dari

orang-orang ini adalah wanita usia subur (FAO, 2014). Kekurangan gizi yang

dialami oleh ibu hamil dapat menghambat perkembangan otak janin di dalam

kandungan yang kelak dapat menyebabkan gangguan dalam belajar. Apabila hal ini

berlanjut terus hingga balita dan hingga dewasa, maka hal tersebut dapat

meningkatkan resiko kejiwaan seperti depresi, gangguan kepribadian dan skizofenia

(Chertoff M, 2015).

Ada beberapa masalah gizi yang dapat dialami oleh balita diantaranya

adalah gizi buruk dan stunting (pendek). Stunting merupakan kondisi kronis yang

menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang.

Stunting menurut WHO Child Growth Standard didasarkan pada indeks panjang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan

batas (z-score) kurang dari -2 SD (WHO, 2010).

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang

terjadi sejak masa kehamilan, masa kanak-kanak dan di sepanjang siklus kehidupan.

Pada masa ini yang merupakan proses terjadinya stunting pada anak serta peluang

meningkatnya terjadi stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Faktor gizi

ibu sebelum dan selama masa kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang

memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil

dengan gizi kurang dapat menyebabkan janin mengalami intrauterine growth

retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dalam keadaan kurang gizi, dan

mengalami gangguan dalam pertumbuhan maupun dalam perkembangannya (Lius

MF, 2011).

Anak-anak akan terhambat pertumbuhannya oleh karena kurangnya asupan

makanan yang memadai serta penyakit infeksi yang berulang yang menyebabkan

meningkatnya kebutuhan metabolik dan berkurangnya nafsu makan. Hal ini dapat

menyebabkan meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini akan semakin

mempersulit cara untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang

menyebabkan terjadinya stunting.

Balita pendek memiliki dampak negatif yang akan berlangsung dalam

kehidupan selanjutnya. Sebuah studi menunjukkan bahwa balita pendek mempunyai

hubungan yang erat dengan prestasi pendidikan yang buruk dan pendapatan yang

rendah ketika dia dewasa. Balita pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang

sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (UNICEF, 2012).

Kejadian stunting pada balita merupakan salah satu permasalahan gizi

secara global. Berdasarkan data UNICEF 2000–2007 menunjukkan bahwa prevalensi

kejadian stunting di dunia mencapai 28%, di Afrika bagian Timur dan Selatan sebesar

40%, dan di Asia Selatan sebesar 38%. Bila dibandingkan dengan batas “non public

health problem” menurut WHO untuk masalah stunting sebesar 20%, maka hampir

seluruh negara di dunia mengalami masalah kesehatan masyarakat. Kejadian stunting

pada balita lebih banyak terjadi di negara berkembang. Hal ini dibuktikan dengan

jumlah prevalensi kejadian stunting pada balita di negara berkembang sebesar 30%

(UNICEF Report, 2009).

Menurut WHO pada tahun 2012 diperkirakan diseluruh dunia terdapat 162

juta balita pendek, dan jika tren ini terus berlanjut tanpa adanya upaya penurunan,

maka diproyeksikan akan menjadi 217 juta pada tahun 2025. Dengan perincian

sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika (WHO, 2012). Masalah

balita stunting merupakan masalah global yang dialami di beberapa negara di dunia.

Hal ini terbukti dengan adanya trend yang meningkat dari tahun 2012 ke tahun 2013

tercatat jumlah angka stunting di dunia sebanyak 178 juta anak balita pada tahun

2013. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia

juga tertinggi jika dibandingkan dengan Myanmar sebesar 35%, Vietnam sebesar

23%, Malaysia sebesar 17%, Thailand sebesar 16% dan Singapura sebesar 4%,

(UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi

yakni stunting, wasting dan overweight pada balita.

Tingginya prevalensi stunting pada anak usia 0-23 bulan di Indonesia saat

ini dapat menurunkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kualitas

manusia Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti

Malaysia, Thailand, dan Filipina. Ranking Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indonesia tahun 2011 adalah 124 dari 187 negara, sedangkan Malaysia 61, Thailand

103, dan Filipina 112.

Di Indonesia data pada Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013

mencatat bahwa prevalensi stunting nasional mencapai 37,2%, hal ini menunjukkan

adanya peningkatan dari tahun 2010 yakni sebesar 35,6% dan tahun 2007 sebesar

36,8%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tidak maksimal diderita oleh

sekitar 8 juta anak Indonesia atau satu dari tiga anak Indonesia menderita stunting

yang berarti bahwa lebih dari sepertiga anak berusia dibawah lima tahun di Indonesia

tinggi badannya berada di bawah rata-rata. Prevalensi stunting di Indonesia lebih

tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%),

Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Dan menurut data Riskesdas tersebut proporsi

kejadian stunting paling besar terdapat pada balita usia 24–59 bulan, (Riskesdas,

2013).

Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015, menyatakan

bahwa sebesar 29% balita di Indonesia termasuk kategori pendek. Menurut WHO,

prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

20% atau lebih, oleh karena itu persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi

dan merupakan masalah kesehatan yang harus segera ditanggulangi.

Salah satu program prioritas dari empat program prioritas pembangunan

kesehatan dalam periode tahun 2015–2019 adalah penurunan prevalensi balita

pendek (stunting). Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan

prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang

tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

tahun 2015–2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek)

pada anak baduta (dibawah 2 tahun) yakni menjadi 28% (BPPN, 2014).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki angka

kejadian stunting pada balita yang masih tinggi. Berdasarkan data Riskesdas (2010)

empat provinsi di Pulau Sumatera memiliki angka kejadian stunting pada balita tinggi

yaitu Provinsi Aceh (39.0%), Sumatera Utara (42.3%), Sumatera Selatan (40.4%),

dan Lampung (36.2%). Angka prevalensi tersebut dapat dinyatakan tinggi jika

dibandingkan dengan prevalensi kejadian rata-rata stunting pada balita secara

nasional yaitu 35.6%.

Data Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten

menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia

masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak

balita Indonesia baik perempuan dan laki-laki mempunyai rata-rata tinggi badan

masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari standard rujukan WHO 2005,

bahkan pada kelompok usia 5–19 tahun kondisi ini lebih buruk karena anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

perempuan pada kelompok ini tingginya 13,6 cm di bawah standar dan anak laki-laki

10,4 cm di bawah standar WHO. Kelompok ibu pendek terbukti melahirkan 46,7 %

bayi pendek.

Berdasarkan data-data diatas maka stunting pada balita perlu menjadi

perhatian khusus karena dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak.

Purwadini K (2013) menyatakan bahwa stunting berkaitan dengan peningkatan risiko

kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan

mental. Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan

kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di

masa mendatang (UNICEF, 2013). Pada tahun 2012, WHO dalam World Health

Assembly mencanangkan Global Nutrition Targets yang salah satunya adalah

penurunan angka stunting sebesar 40% pada tahun 2025.

1.2 Permasalahan

Kecamatan Muara merupakan salah satu dari 15 kecamatan yang ada di

Kabupaten Tapanuli Utara, dan satu-satunya kecamatan yang memiliki masyarakat

yang tinggal di daerah pegunungan dan daerah pantai yakni salah satu pulau yang ada

di danau Toba. Di Kecamatan Muara pada tahun 2016 terdapat sekitar 23% balita

pendek (stunting) dan 2% balita sangat pendek (severe stunted). Kemungkinan

jumlah balita stunted dan severe stunted yang ada di wilayah kerja Puskesmas Muara

lebih tinggi dari angka diatas, karena pada kenyataannya masih banyaknya balita

yang tidak dibawa oleh ibu balita ke posyandu setiap bulannya untuk memantau

pertumbuhan dan perkembangan balitanya, hal ini dapat dilihat dari pencapaian D/S

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

(peran serta masyarakat) sekitar 65% yang masih berada dibawah target nasional

yakni 80%.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya di

dalam latar belakang, maka dapat diketahui bahwa permasalahan dalam penelitian ini

adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita usia

24–59 bulan di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera

Utara tahun 2017.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja

yang mempengaruhi kejadian stunting, serta faktor apa yang paling dominan

mempengaruhi kejadian stunting pada balita usia 24–59 bulan di Kecamatan Muara

Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatra Utara tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan

Kabupaten Tapanuli Utara khususnya Puskesmas Muara sebagai masukan dalam

pengambilan kebijakan mengenai penanganan masalah stunting pada balita di

Kabupaten Tapanuli Utara khususnya di wilayah kerja Puskesmas Muara Kabupaten

Tapanuli Utara dan juga dapat menjadikan penelitian ini sebagai bahan penunjang

dalam evaluasi program masalah kesehatan terkait stunting yang belum berjalan

secara maksimal selama ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Balita

Masa balita sering disebut sebagai masa emas atau "golden age". Pada

masa ini anak berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat

unik, artinya anak balita memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik

(koordinasi motorik halus dan motorik kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta,

kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap dan perilaku serta

agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan

perkembangan yang sedang dilalui oleh anak balita tersebut. Secara psikologis,

rentang usia tersebut dapat dibagi dalam 3 tahapan yakni masa sebelum lahir, masa

bayi dan masa awal kanak-kanak. Pada ketiga tahapan tersebut banyak terjadi

perubahan yang mencolok, baik dalam fisik maupun psikologis (Lestari L et.al 2014).

2.2. Stunting

Stunting merupakan gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya

gangguan pertumbuhan tinggi badan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang

cukup lama sehingga dapat menyebabkan tinggi badan yang tidak sesuai dengan

umur (Welasasih, 2012). Stunting juga merupakan salah satu masalah gizi yang

berdampak buruk terhadap kualitas hidup anak dalam mencapai tumbuh kembang

yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Stunting yang terjadi pada masa

anak-anak merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan meningkatnya angka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

kematian, rendahnya kemampuan kognitif dan perkembangan motorik serta fungsi

tubuh yang tidak seimbang (Allen dan Gillespie, 2010). Masalah-masalah gizi yakni

stunting, underweight, wasting serta Severe Acute Malnutrition (SAM) akibat dari

defisiensi mikronutrient dan juga karena rendahnya asupan makanan yang beragam

(Uauy R et al, 2012).

Stunting juga merupkan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi semenjak janin masih

dalam kandungan dan baru akan nampak pada saat anak berusia dua tahun.

Kekurangan gizi yang terjadi pada usia dini dapat meningkatkan jumlah angka

kematian bayi dan anak, yang akan menyebabkan penderitanya mudah sakit dan

memiliki postur tubuh yang tidak maksimal ketika dewasa. Kemampuan kognitif para

penderita stunting juga berkurang, yang mengakibatkan kerugian ekonomi jangka

panjang, (MCA-Indonesia, 2014).

Stunting merupakan suatu keadaan sebagai akibat interaksi makanan dan

kesehatan yang diukur secara antropometri dengan menggunakan indikator panjang

badan menurut umur pada ambang batas <-2 SD jika dibandingkan dengan standar

WHO–Anthro. Seorang anak dikatakan berstatus gizi pendek (stunting) apabila pada

indeks antropometri berdasarkan indikator TB/U berada pada ambang batas <-2 SD

baku rujukan WHO–Anthro. Anak yang gizi kurang (stunting) berat mempunyai rata-

rata IQ 11 poin lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata anak yang tidak

mengalamai gangguan gizi atau stunting .

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier yang defisit dalam

panjang atau tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan

Keputusan Menteri Kesehatan No. 1955/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standard

Penilaian Status Gizi Anak (Depkes R.I, 2010). Stunting dapat disebabkan oleh

kumulasi episode stres yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama

seperti infeksi dan asupan makanan (pola konsumsi) yang buruk semenjak janin

masih di dalam kandungan, yang kemudian hal ini tidak diimbangi dengan catch up

growth atau dikenal dengan tumbuh kejar setelah bayi lahir. (Siswanto, 2010.)

Tinggi Badan (TB) seseorang dalam keadaan normal akan bertambah

seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti

pertambahan berat badan, pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap

masalah kekurangan gizi yang terjadi dalam kurun waktu yang pendek. Pengaruh

kekurangan zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak dalam waktu yang relatif

lama sehingga indeks ini dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi pada

masa lalu (Supariasa, 2016). Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks PB/U (panjang

badan menurut umur) atau TB/U (tinggi badan menurut umur) dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan PB/U atau TB/U Anak

Umur 0-60 Bulan

____________________________________________________________________

Indeks Status Gizi Ambang Batas

Panjang Badan menurut Sangat Pendek < -3 SD

Umur (PB/U) Pendek -3 SD sampai < -2 SD

atau Tinggi Badan Normal -2 SD sampai 2 SD

menurut Umur (TB/U) Tinggi > 2 SD

____________________________________________________________________

Sumber : SK Menkes RI NO: 1995/MENKES/SK/XII/2010

Pertumbuhan linear yang tidak sesuai dengan umur dapat merefleksikan

masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) akan berdampak

terhadap pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan produktivitas. Masalah gizi

kurang jika tidak segera ditangani akan dapat menimbulkan masalah yang lebih besar,

bangsa Indonesia dapat mengalami lost generation (Soekirman, 2013).

Kusharisupeni (2013) menyatakan bahwa kondisi stunting menunjukkan

ketidak cukupan gizi dalam jangka waktu lama (kronis), yang dimulai sebelum

kehamilan, saat kehamilan, dan kehidupan setelah dilahirkan. Ibu hamil dengan status

gizi yang tidak baik dan asupan gizi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan

retardasi pertumbuhan pada masa janin. Berat dan panjang lahir bayi mencerminkan

adanya retardasi pertumbuhan pada masa janin. Pertumbuhan yang terhambat tersebut

dapat terus berlanjut, apabila anak tidak mendapat asupan gizi yang cukup. Stunting

memiliki efek jangka panjang, diantaranya dapat mempengaruhi perkembangan

kognitif anak, mempengaruhi produktivitas ekonomi saat dewasa, dan juga

mempengaruhi maternal reproductive outcomes (Dewey KG, 2011).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

2.3 Dampak Stunting pada Balita

Berdasarkan data UNICEF tahun 1998, ada beberapa fakta terkait stunting

serta pengaruhnya yakni bahwa anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yakni

sebelum berusia enam bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua

tahun. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak

tersebut. Faktor dasar yang menyebabkan stunting juga dapat menganggu

pertumbuhan dan perkembangan intelektual.

Stunting yang parah pada anak-anak dapat menyebabkan terjadinya defisit

jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk

belajar secara optimal di sekolah dibandingkan dengan anak-anak lain yang memiliki

tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunting cenderung lebih lama masuk

sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan dengan anak-anak dengan

kondisi status gizi baik. Tentu saja hal ini dapat memberikan konsekuensi terhadap

kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang (UNICEF, 1998).

Pada kenyataannya sebagian besar anak-anak yang mengalami stunting

mengkonsumsi makanan yang berbeda di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi,

umumnya mereka berasal dari keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah

pinggiran kota dan komunitas pedesaan.

Akibat lainnya dari kekurangan gizi/stunting terhadap perkembangan yakni

sangat merugikan performance anak. Jika kondisi buruk terjadi pada masa golden

period perkembangan otak (0–3 tahun) maka tidak dapat berkembang dengan baik

dan kondisi ini akan sulit untuk dapat pulih kembali. Hal ini disebabkan karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

8–90% jumlah sel otak terbentuk semenjak masa dalam kandungan hingga usia 2

(dua) tahun. Apabila gangguan tersebut terus berlangsung maka akan terjadi

penurunan skor tes IQ sebesar 10–13 point.

Penurunan perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian serta

manghambat prestasi belajar dan produktifitas akan menurun sebesar 20–30%, yang

akan mengakibatkan terjadinya lost generation (generasi yang hilang), artinya anak-

anak tersebut hidup tetapi tidak dapat berbuat banyak baik dalam bidang pendidikan,

ekonomi serta bidang lainnya. Generasi yang demikian hanya akan menjadi beban

bagi masyarakat dan pemerintah, karena terbukti keluarga dan pemerintah harus

mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi karena warganya mudah sakit (Supariasa

IDN, 2016).

2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting

Stunting merupakan penggambaran dari status gizi kurang yang bersifat

kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan (Ni’imah K,

2012). Berdasarkan beberapa hasil penelitian Rahayu LS et al. (2011) dan Welasasih

(2012) yang terkait dengan stunting ada beberapa faktor yang berhubungan dengan

kejadian stunting pada balita, khususnya balita usia 24–59 bulan, dan beberapa

diantaranya ialah karekteristik balita yang meliputi usia balita, panjang badan lahir,

berat badan lahir, ASI eksklusif, riwayat penyakit, serta pola konsumsi, juga

karakteristik keluarga yang meliputi usia ibu, tinggi badan ibu, tingkat pendidikan ibu,

pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ayah dan jumlah

anggota keluarga serta penghasilan keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

2.4.1 Karakteristik Balita

Karakteristik balita meliputi beberapa hal yakni usia balita, panjang badan

lahir, berat badan lahir, ASI eksklusif, riwayat penyakit, dan pola konsumsi. Bawah

lima tahun atau sering disingkat dengan balita merupakan salah satu periode usia

manusia setelah bayi dengan rentang usia dimulai dari dua sampai dengan lima tahun,

atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24–60 bulan. Periode di usia ini

disebut juga sebagai usia prasekolah.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang pada masa balitanya

mengalami stunting memiliki tingkat kognitif rendah, prestasi belajar dan psikososial

buruk (Achadi, 2012). Anak yang mengalami severe stunting (sangat pendek) di dua

tahun pertama kehidupannya memiliki hubungan sangat kuat terhadap keterlambatan

kognitif yang akan terjadi di masa kanak-kanak nantinya dan akan berdampak jangka

panjang terhadap mutu sumber daya manusia (Brinkman et al. 2010; Martorell et al,

2010).

Kejadian stunting yang berlangsung sejak masa kanak-kanak memiliki

hubungan terhadap perkembangan motorik lambat dan tingkat intelegensi lebih

rendah (Martorell et al, 2010). Anak (9-24 bulan) yang stunting selain memiliki

tingkat intelegensi lebih rendah, juga memiliki penilaian lebih rendah pada lokomotor,

koordinasi tangan dan mata, pendengaran, berbicara, maupun kinerja jika

dibandingkan dengan anak normal (Chang et al, 2010).

Pada penelitian Hanum et al (2014) menunjukkan bahwa anak stunting

lebih banyak terdapat pada balita berumur 48-59 bulan (29.8%) sedangkan anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

normal lebih banyak terdapat pada balitaberumur 6-11 bulan (37.2%). Hal ini

mengindikasikan bahwa bertambahnya umur anak, maka akan semakin jauh dari

pertumbuhan linier normal. Kondisi ini diduga disebabkan oleh semakin tinggi usia

anak maka kebutuhan energi dan zat gizinya juga semakin meningkat. Pertumbuhan

anak semakin menyimpang dari normal dengan bertambahnya umur jika penyediaan

makanan (kuantitas dan kualitas) tidak memadai.

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting pada balita. Perempuan mengandung lebih banyak lemak dalam tubuhnya,

hal ini berarti terdapat lebih banyak jaringan yang tidak aktif dalam tubuhnya

walaupun dalam kondisi berat badannya sama dengan laki-laki. Hasil penelitian Devi

Mazarina (2010) menyatakan bahwa dari hasil Uji Chi-Square diperoleh bahwa tidak

ada hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan status gizi balita.

Periode 1.000 hari pertama kehidupan sejak janin berada dalam kandungan,

atau ketika wanita dalam kondisi hamil sampai anak berusia dua tahun merupakan

periode kritis yang akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia dalam siklus

kehidupan (USAID, 2012). Kesehatan bayi yang dilahirkan merupakan indikator

penting dalam Scalling Up Nutrition. Ukuran lahir mencerminkan bagaimana

pertumbuhan janin dalam kandungan (Bappenas, 2012)

Berat badan lahir bayi adalah berat badan bayi yang di timbang dalam

waktu satu jam pertama setelah lahir. Jika dilihat dari hubungan antara waktu

kelahiran dengan umur kehamilan, kelahiran bayi dapat dikelompokan menjadi tiga.

Pertama yakni kelompok bayi kurang bulan (prematur), yaitu bayi yang dilahirkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

dengan masa gestasi (kehamilan) <37 minggu (<259 hari). Kedua, bayi cukup bulan,

yakni bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi antara 37–42 minggu (259–293 hari),

dan kelompok ke tiga adalah bayi lebih bulan, ialah bayi yang dilahirkan dengan

masa gestasi >42 minggu (>294 hari).

Berat badan lahir bayi merupakan indikator untuk kelangsungan hidup,

pertumbuhan, kesehatan jangka panjang dan pengembangan psikososial dan juga

dapat mencerminkan secara mendasar kualitas perkembangan intra terin serta

pemeliharaan kesehatan yang mencakup pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu

selama masa kehamilannya. Berat badan bayi pada saat dilahirkan juga merupakan

indikator potensial untuk pertumbuhan bayi, respon bayi terhadap rangsangan

lingkungan dan untuk bayi dapat bertahan hidup, bayi yang lahir dengan berat badan

yang cukup akan bertumbuh dengan baik (Fitri, 2012).

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat

badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR tidak hanya dapat terjadi pada bayi

premature, tapi juga pada bayi yang cukup bulan yang mengalami hambatan

pertumbuhan selama kehamilan (Depkes RI, 2014). Gizi kurang yang terjadi pada

anak-anak remaja dan pada saat kehamilan mempunyai dampak yang buruk terhadap

berat badan lahir bayi. Berat badan lahir rendah atau BBLR (<2.500 gram) dengan

kehamilan genap bulan (intra uterine growth retardation) mempunyai risiko

kematian yang lebih besar dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal

(≥2.500 gram) pada masa neonatal maupun pada masa bayi selanjutnya (UNICEF,

2010).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Prediktor terkuat terjadinya stunting pada usia 12 bulan adalah berat badan

lahir rendah. Sebagian besar bayi dengan BBLR mengalami gangguan pertumbuhan

pada masa kanak-kanak. Di negara-negara Asia, seperti Bangladesh, RRC, India,

Pakistan, Filipina, dan Sri Lanka, menunjukkan bahwa kejadian BBLR dapat

memprediksi keadaan gizi anak pada masa prasekolah. Pertumbuhan bayi yang IUGR

(Intra Uterine Growth Retardation) akan mengalami kegagalan pertumbuhan pada

dua tahun pertama.

Kondisi stunting menunjukkan ketidak cukupan gizi dalam jangka waktu

yang lama (kronis). Berat lahir merupakan salah satu prediktor kejadian stunting pada

balita. Anak dengan berat lahir 3.150 gram atau memiliki odds 1,24 kali untuk

menjadi stunting dibandingkan dengan anak dengan berat lahir 3.150 gram atau lebih.

Dengan hasil ini disimpulkan bahwa walaupun berat lahir berhubungan signifikan

dengan kejadian stunting, tetapi merupakan faktor prediktor yang lemah terhadap

terjadinya stunting pada anak umur 6-23 bulan di Indonesia (Putri et al 2015)

Balita yang memiliki berat lahir kurang mempunyai risiko 1,31 kali

mengalami stunting dibandingkan dengan balita berat lahir normal (Oktarina, 2013).

Penelitian di Pulau Sulawesi juga menunjukkan bahwa anak dengan berat lahir

kurang dari 3.000 g memiliki risiko menjadi stunting 1.3 kali dibandingkan anak

dengan berat lahir lebih dari atau sama dengan 3.000 g (Simanjuntak, 2011).

Kebanyakan BBLR disebabkan oleh faktor dari ibu, faktor terbesar yaitu anemia saat

kehamilan (67%). Faktor dari kehamilan sendiri, faktor paling besar adalah

komplikasi saat kehamilan (22%), sedangkan faktor lain yaitu genetik hanya sebesar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

7% (Asiyah et al, 2010). Penelitian Maryanto (2015) menyatakan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara BBLR dengan kejadian stunting pada siswa kelas 1

di SDN Sambek, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo.

Hasil penelitian Rahayu LS et al (2011) menyatakan bahwa kejadian berat

badan lahir rendah (BBLR) memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian

stunting padabayi usia 6–12 bulan. Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai

risiko akan mengalami stunting pada usia 6–12 bulan sebesar 3,6 kali lebih besar

dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Kejadian pre

mature juga berhubungan dengan kejadian stunting pada saat bayi berumur 6–12

bulan. Bayi yang lahir pre mature memiliki risiko untuk mengalami stunting sebesar

2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal

normal (Rahayu L et al, 2011).

Dalam penelitian Nadiyah (2014) berat badan lahir rendah (BBLR)

menjadi faktor yang paling dominan berisiko terhadap stunting pada anak (OR=2.21;

95%CI:1.01-4.86, p<0.05). Hasil serupa ditemukan pula oleh Fitri (2012) dalam

penelitiannya terhadap 3.126 balita di Sumatera dimana ditemukan bahwa faktor

risiko yang paling dominan terhadap terjadinya stunting adalah BBLR (OR=1.71;

95%CI:1.22-2.39). Penelitian yang dilakukan oleh Candra et.al (2011) di Semarang

menyatakan bahwa berat badan lahir merupakan faktor risiko kejadian stunting.

Sementara itu hasil penelitian Hairunis MN (2016) menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara status BBLR dengan kejadian stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Soromandi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 40: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Wiyogowati (2012)

menyatakan hal yang sama bahwa BBLR tidak berhubungan dengan kejadian

stunting di Papua Barat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anak balita dengan

stunting tidak mengalami BBLR pada saat lahir. Dampak dari bayi yang memiliki

berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya.

Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di

masa dewasa.

Bagi perempuan yang lahir dengan berat badan rendah, memiliki resiko

besar untuk menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi

dengan berat lahir rendah seperti dirinya antara anak balita yang stunting dengan

yang normal memiliki peluang yang sama untuk lahir dengan status BBLR. Selain itu,

anak balita dengan dengan berat badan lahir normal dapat pula mengalami stunting.

Hal ini disebabkan oleh ketidak cukupan asupan zat gizi pada balita normal yang

menyebabkan terjadinya growth faltering (gagal tumbuh) (Supriasa IDN et al, 2016).

Saat ini, ukuran lahir yang menjadi perhatian penting adalah panjang lahir

di samping ukuran lahir lainnya. Panjang badan lahir pendek menunjukkan gangguan

pertumbuhan janin. Pertambahan panjang badan dalam kandungan akan bertumbuh

dan berkembang dengan plastisitas yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, tetapi

bila terjadi perubahan, maka tidak dapat kembali ke keadaan semula. Kekurangan gizi

selama dalam kandungan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian berupa

perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel

tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 41: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Menurut Kemenkes (2011) panjang lahir normal pada bayi baru lahir

yakni >46,1 cm untuk laki laki dan >45,4 untuk perempuan. Pada penelitian Nugroho

(2016) dari hasil analisis hubungan antara panjang lahir dengan stunting diperoleh

bahwa ada sebanyak 28,6% anak yang memiliki panjang lahir pendek mengalami

stunting, sedangkan anak yang memiliki panjang lahir normal yaitu sebanyak 71,4%

juga mengalami stunting. Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,042. Maka dapat

disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara panjang lahir anak dengan kejadian

stunting.

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang paling baik untuk bayi segera

setelah lahir. Kelebihan dan kehebatan ASI sudah tidak disangsikan lagi, ASI

mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi dengan komposisi

sesuai dengan kebutuhan bayi. ASI ekslusif yaitu pemberian hanya air susu ibu saja

tanpa tambahan cairan atau makanan lain (Depkes R.I, 2010). ASI berisi semua zat-

zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi dalam jumlah yang cukup. Kandungan energi ASI

berkisar 65 mg/100ml ASI, adapun kandungan protein dalam ASI 0,9 mg/100 ml ASI.

Kandungan protein dalam ASI memang lebih rendah dibandingkan dengan kadar

protein susu formula (1,6 mg/100 ml), namun kualitas protein ASI sangat tinggi dan

mengandung asam-asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh pencernaan

bayi Keistimewaan protein ASI adalah rasio protein whey dan kasein yang seimbang

(60 : 40), dibanding dengan susu sapi (20 : 80). Hal ini menguntungkan bayi karena

pengendapan dari protein whey lebih halus dibanding kasein sehingga protein whey

lebih mudah cerna (Lawrence, R & Lawerence R.M, 2011).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 42: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Hasil penelitian Ni’imah (2015) menunjukkan bahwa balita yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada kelompok

balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,8%). Hasil

uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI

eksklusif dengan kejadian stunting dengan OR sebesar 4,64, yang berarti bahwa bayi

yang tidak mendapat ASI eksklusif beresiko 4,64 kali lebih besar dapat mengalami

stunting dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.

Ibu balita tidak memberikan ASI eksklusif pada anaknya karena ASI tidak

keluar pada saat anak lahir sehingga bayi diberikan susu formula sebagai pengganti.

Setelah ASI sudah lancar maka ASI diberikan kepada anaknya dengan tetap ditambah

susu formula. Selain itu, makanan tambahan ASI diberikan lebih awal agar bayi tidak

menangis atau rewel. Hasil ini sejalan dengan penelitian Arifin (2012) dan Fikadu et

al (2014) di Ethiopia Selatan yang menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan

ASI eksklusif selama 6 bulan pertama memiliki risiko yang lebih besar terhadap

kejadian stunting. Pemberian ASI yang tidak eksklusif menjadi faktor risiko 3,70 kali

terhadap kejadian stunting pada balita..

Stunting dipengaruhi oleh riwayat pemberian ASI eksklusif dan penyakit

infeksi, seperti diare dan ISPA. Kebutuhan zat gizi pada usia 0-6 bulan dapat

dipenuhi dari ASI. Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko lebih tinggi

untuk kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan. Begitu juga

anak yang mengalami infeksi rentan terjadi status gizi kurang. Anak yang mengalami

infeksi jika dibiarkan maka berisiko terjadi stunting. ASI eksklusif dapat menurunkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 43: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

risiko kejadian stunting, karena kandungan kalsium pada ASI mempunyai

bioavailabilitas yang tinggi sehingga dapat diserap dengan optimal terutama dalam

fungsi pembentukan tulang anak (Susilowati et al, 2010).

Pemberian ASI yang kurang serta pemberian makanan atau formula terlalu

dini dapat meningkatkan risiko stunting karena bayi cenderung lebih mudah terkena

penyakit infeksi seperti diare dan pernafasan (Rahayu, 2011). Pemberian ASI

bersamaan dengan susu formula dapat memenuhi kebutuhan zat gizi bayi sehingga

pertumbuhannya tidak terganggu. Akan tetapi, susu formula tidak mengandung zat

antibodi sebaik kandungan zat antibodi pada ASI sehingga bayi lebih rawan terhadap

penyakit dengan balita yang mengalami stunting sangat berhubungan erat dengan

riwayat pemberian ASI esklusif (Anugraheni et al, 2012).

Pemberian ASI ekslusif terlalu lama (> 6 bulan) dapat menyebabkan bayi

kehilangan kesempatan untuk melatih kemampuan menerima makanan lain sehingga

susah menerima bentuk makanan selain cair. Hal tersebut dapat menyebabkan growth

faltering karena bayi mengalami defisiensi zat gizi. Pemberian ASI eksklusif dapat

mempengaruhi Angka Kematian Bayi (AKB) karena ASI dapat meningkatkan dan

mempertahankan sistem kekebalan tubuh pada bayi sehingga bayi tidak mudah

terserang penyakit infeksi, dan tentu saja hal ini juga mempengaruhi status gizi balita

khususnya stunting.

Menurut data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) pada tahun

2007 bahwa angka kematian bayi mengalami penurunan dari 39,5% pada tahun 2002

menjadi 32,4%. Hal ini disebabkan karena pemberian ASI secara eksklusif yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 44: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

sudah semakin baik (Kemenkes RI, 2010). Dan menurut penelitian Suiraoka (2011)

menyatakan bahwa kaitan infeksi terhadap penyakit dapat memperburuk keadaan gizi

dan keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah terkena penyakit infeksi yang

mengakibatkan menurunnya nafsu makan, penyerapan pada saluran pencernaan

terganggu atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit sehingga

kebutuhan zat gizinya tidak terpenuhi dan mengakibatkan malnutrisi. Salah satu

faktor yang berpotensi mempengaruhi prevalensi malnutrisi pada bayi yang tinggi

adalah pemberian makanan tambahan dan pemberian ASI yang salah.

Masa balita merupakan masa paling rawan terhadap berbagai masalah

kesehatan, karena pada masa ini balita sering terkena penyakit infeksi sehingga

menjadikan anak beresiko tinggi menjadi kurang gizi. Penyakit diare terutama pada

bayi perlu mendapatkan tindakan secepatnya karena dapat membawa bencana bila

terlambat ditangani (Proverawati, 2010).

Salah satu faktor resiko kejadian stunting menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh Welassih (2012) adalah riwayat penyakit infeksi. Salah satu faktor

kejadian stunting yaitu riwayat penyakit yang diderita oleh balita. Sedangkan dalam

penelitian lainnya dinyatakan bahwa bayi yang mempunyai keadaan gizi kurang akan

berisiko terkena penyakit infeksi dan akan menderita stunting (Rosha et al, 2013).

Kejadian penyakit infeksi yang terjadi berulang-ulang tidak hanya dapat

mengakibatkan menurunnya berat badan namun akan tampak pada rendahnya nilai

indikator tinggi badan menurut umur yang dapat menyebabkan terjadinya stunting

pada balita (Welasasih, 2012).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 45: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Adriani (2014) menyatakan bahwa infeksi akan lebih mudah

mengakibatkan dampak yang berbahaya bila menyerang seseorang yang kurang gizi.

Infeksi menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan tubuh, baik untuk bibit

penyakit itu sendiri maupun penghancuran untuk memperoleh protein yang

diperlukan untuk mempertahankan tubuh. Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh

anak akan semakin memperburuk keadaan jika disertai muntah dan diare. Dalam

kondisi ini, dalam tubuh terjadi penurunan immunitas atau penurunan daya tahan

tubuh terhadap serangan penyakit.

Gangguan gizi dan penyakit infeksi sering bekerja bersama-sama dan hal

ini akan memberikan akibat yang lebih buruk. Kurang gizi dapat memperburuk

kemampuan anak mengatasi serangan penyakit infeksi. Kuman yang berbahaya bagi

anak gizi baik dapat menyebabkan kematian bagi anak gizi kurang. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dan penyakit infeksi, yaitu

setiap penyakit infeksi akan memperburuk status gizi.

Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Hairunis MN (2016)

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan

kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Soromandi. Hal ini berkaitan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Naomi (2012) di Kota Manado yaitu durasi dan

frekuensi penyakit infeksi pada balita dengan terjadinya stunting. Hal ini juga

didukung oleh penelitian Welasasih BD (2012) berdasarkan hasil uji Chi-Square

dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan p = 0,021 (p < α), artinya ada hubungan

yang bermakna antara frekuensi sakit dengan status gizi balita stunting di Desa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 46: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Kembangan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, dan dengan hasil uji Chi-

Square dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan p = 0,012 (p < α), artinya ada

hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan status gizi balita stunting.

Kejadian stunting merupakan peristiwa yang terjadi dalam periode waktu

lama, sehingga tingkat asupan protein yang terjadi sekarang bukan menjadi salah satu

penyebab kejadian stunting. Asupan protein bukan merupakan satu-satunya faktor

yang memengaruhi kejadian stunting. Faktor-faktor lain yang menyebabkan anak

menjadi stunting selain kurang asupan protein adalah defisiensi zat gizi mikro, zat

gizi dalam kandungan, ukuran tubuh ibu, dan infeksi (Lee et al, 2010).

Pada masa balita dibutuhkan pola makan yang cukup atau kecukupan gizi

yang seimbang. Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko

meningkatnya angka kematian, rendahnya kemampuan kognitif, dan perkembangan

motorik serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen & Gillespie, 2010).

Pada penelitian Oktarina (2013) terdapat hubungan antara tingkat asupan energi

dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang memiliki asupan energi rendah

mempunyai risiko 1.28 kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang

memiliki tingkat asupan energi yang cukup.

Hasil penelitian Zilda dan Trini (2013) menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara tingkat asupan energi dengan kejadian stunting pada balita. Balita

yang memiliki asupan energi rendah mempunyai risiko 1,28 kali mengalami stunting

dibandingkan dengan balita yang memiliki tingkat asupan energi yang cukup baik.

Hal ini juga sesuai dengan kerangka teori UNICEF yang menyatakan bahwa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 47: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

konsumsi makanan tidak adekuat merupakan salah satu faktor yang dapat

mengakibatkan terjadinya stunting (UNICEF 1998).

Solihin et al (2013) di Kabupaten Bogor menyatakan bahwa tingkat

kecukupan energi balita berhubungan positif dengan status gizi balita secara

signifikan. Makin tinggi tingkat kecukupan energi, semakin baik status gizi balita.

Setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan energi balita, akan menambah

z-skor TB/U balita sebesar 0.032 satuan. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson

dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Hanum Farida et al (2014) menunjukkan

tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi

balita (p>0.05; r= -0.123). Hal ini diduga karena tingkat kecukupan energi yang

diperoleh hanya menggambarkan keadaan konsumsi anak sekarang, sementara status

gizi anak sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga

konsumsi hanya pada hari tertentu tidak langsung memengaruhi status gizinya.

2.4.2 Karakteristik Rumah Tangga

Ada beberapa karakteristik rumah tangga yang mempengaruhi kejadian

stunting pada balita diantaranya adalah usia ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu,

tinggi badan ayah, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ayah dan jumlah anggota

keluarga serta pendapatan keluarga. Berbagai faktor dapat memengaruhi terjadinya

stunting. Organ reproduksi wanita yang berusia kurang dari 20 tahun belum siap

untuk menerima kehamilan dan melahirkan anak. Stres dapat memengaruhi bayi

melalui perubahan fisik yang terjadi seperti peningkatan detak jantung dan

peningkatan hormon adrenalin. Ibu hamil yang mengalami stres tinggi dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 48: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

meningkatkan risiko melahirkan bayi pre-mature. Wanita usia lebih dari 35 tahun

tergolong berisiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan karena pada usia ini

berbagai penyakit dan komplikasi kehamilan serta komplikasi persalinan meningkat

(Asiyah et al, 2010).

Menurut Devi (2010) bayi yang lahir dari ibu beresiko dengan usia <20

tahun atau >35 tahun memiliki kemungkinan akan melahirkan bayi lahir belum cukup

bulan (premature) dan berpotensi memiliki berat badan lahir rendah. Anak yang

dilahirkan dengan berat badan lahir rendah berpotensi menjadi anak dengan keadaan

gizi kurang. Lebih lanjut lagi, gizi buruk pada anak balita akan berdampak pada

penurunan tingkat kecerdasan atau IQ pada anak balita. Hasil penelitian Nadiyah et al

(2014) menyatakan bahwa umur ibu saat melahirkan dapat mempengaruhi panjang

badan lahir anak balita, rata-rata panjang badan anak balita dengan umur ibu

melahirkan berisiko (< 20 tahun dan > 35 tahun) lebih pendek dibandingkan dengan

panjang badan (PB) anak balita dengan umur ibu melahirkan antara 20-35 tahun.

Namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan baik antara paritas ataupun umur

ibu melahirkan de-ngan stunting pada anak (p>0.05).

Berdasarkan ilmu kesehatan, umur ideal yang matang secara biologis dan

psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita, kemudian umur 25-30 tahun bagi pria.

Usia tersebut dianggap masa yang paling baik untuk berumah tangga, karena sudah

matang dan bisa berpikir dewasa secara rata-rata. Agar pasangan yang baru menikah

memiliki kesiapan matang dalam mengarungi rumah tangga, sehingga dalam keluarga

juga tercipta hubungan yang berkualitas, sekaligus untuk menjaga keharmonisan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 49: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

rumah tangga diperlukan kedewasaan berpikir dan bertindak setiap adanya guncangan

yang muncul, baik guncangan akibat ekonomi, masalah internal maupun eksternal.

(BKKBN, 2017)

Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa sifat

pendek dalam tubuhnya kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut

kepada anaknya. Tetapi apabila sifat pendek orang tua tersebut disebabkan karena

masalah nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan

kepada anaknya. Menurut Depkes RI (2010), di Indonesia, prevalensi anak balita

pendek dari kelompok ibu yang pendek (<150 cm) adalah 46.7 %, sedangkan

prevalensi balita pendek dari kelompok ibu yang tinggi (>150 cm) adalah 34.8 %.

Hasil penelitian Nadiyah (2014) menyatakan bahwa tinggi badan ibu kurang dari 150

cm menjadi faktor risiko stunting pada anak usia 0-23 bulan (OR=1.77; 95%CI:1.20-

2.59, p<0.005).

Tinggi badan ibu merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

kurang gizi. Ibu pada kelompok umur yang paling tinggi memiliki anak dengan

resiko stunting adalah ibu dengan tinggi badan kurang dari 155 cm (Yang XL et. al.

2010). Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Oktarina (2013)

ditemukan bahwa ada hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting

pada balita. Ibu yang memiliki tinggi badan pendek mempunyai risiko 1.36 kali

memiliki balita stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan normal.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013)

bahwa tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan status gizi anak balita. Namun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 50: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

bertentangan dengan penelitian Solihin et al (2013), yang menyatakan bahwa tinggi

badan ibu berhubungan signifikan dengan status gizi (TB/U) anak balita. Kejadian

anak stunting mengalami peningkatan pada ibu yang memiliki TB <150 cm. Hasil

penelitian Hairunis MN et al (2016) menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan

yang bermakna antara faktor genetik dengan kejadian stunting.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nasikhah (2012) yang

menyatakan bahwa tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting. Hal itu disebabkan karena apabila orang tua

pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumuh

dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko yang

lain. Akan tetapi anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun

keduanya, lebih berisiko unttuk tumbuh pendek dibandingkan anak dengan orang tua

yang tinggi badannya normal. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat

kondisi patologi (seperti defisiensi hormone pertumbuhan) memiliki gen dalam

kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak

mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting (Wiyogowati, 2012).

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson dalam penelitian Hanum (2014) tidak ada

hubungan yang signifikan (p>0.05, r=0.562) antara tinggi badan ibu dengan status

gizi (TB/U) anak. Hal ini diduga karena ibu pendek akibat patologis atau kekurangan

zat gizi bukan karena kelainan gen dalam kromosom.

Salah satu penyebab wasting dan stunting adalah pola asuh ibu terhadap

balitanya. Pola asuh ibu terkait dengan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 51: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

ibu. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah lebih sulit menerima informasi dari pada

ibu dengan tingkat pendidikan tinggi. Pengetahuan yang kurang dapat menjadikan

pola asuh ibu kurang sehingga memengaruhi kejadian wasting dan stunting pada

balita (Cholifatun N et al, 2015). Hal senada juga dinyatakan oleh Ni’imah (2015)

yakni bahwa pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian

stunting pada balita (p=0,029) dengan OR sebesar 3,378, dari distribusi data yang

menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu balita stunting memiliki tingkat

pendidikan yang rendah (61,8%), sementara lebih dari separuh ibu pada kelompok

balita normal memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (67,6%).

Erma (2010) menyatakan semakin tinggi jenjang pendidikan seorang ibu,

semakin ibu mengerti tentang informasi nutrisi yang harus dipenuhi serta pola makan

bagi sang balita. Pendidikan yang tinggi akan memperluas ibu dalam mendapatkan

pengetahuan yang optimal dan dapat berpengaruh dalam hal – hal yang positif.

Melalui proses belajar, seseorang akan menjadi tahu sehingga akan dapat merubah

perilaku sebelumnya. Sama halnya dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi

terutama pada sang ibu, akan berdampak pada kurangnya kemampuan

mengaplikasikan informasi khususnya tentang gizi yang nantinya akan berakibat pada

status gizi sang balita (Notoatmodjo, 2011). Hal ini sesuai dengan pernyataan

Roedjito dalam Erma (2010), pengetahuan gizi ibu dan status gizi anak berbanding

lurus. Semakin baik pengetahuannya semakin baik juga status gizinya.

Hal serupa dijabarkan oleh Pahlevi Andriani (2012) pada penelitiannya di

SD Negeri Ngesrep 02 Kecamatan Banyumaik Kabupaten Semarang tahun 2011.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 52: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Pada penelitiannya yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu

dengan status gizi balita. Pengetahuan akan gizi yang di bawah rata–rata, dapat

menyebabkan usaha untuk mengoptimalkan gizi menjadi terhambat. Maka dari itu,

pemerintah mengadakan program–program melalui penyuluhan dan lain–lain guna

membantu masyarakat dalam mengatasi masalah gizi mereka.

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik pada penelitian Picauly I (2013)

menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki peluang

anaknya mengalami stunting sebesar 0.049 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan

pendidikan tinggi. Hal ini berarti bahwa jika pendidikan ibu tinggi maka akan diikuti

dengan penurunan kejadian stunting sebesar 3.022 kali. Hal ini didukung oleh

penelitian Rahayu dan Kairiyati (2014) bahwa walaupun tidak menunjukkan

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian

stunting, namun diperoleh sebesar 24 orang (92,3%) baduta yang mengalami stunting

memiliki ibu dengan tingkat pengetahuan gizi rendah. Baduta yang mengalami

stunting di wilayah Puskesmas Cempaka, Banjarbaru disebabkan oleh tingkat

pendidikan ibu (p-value=0,027). Nilai OR hasil analisis ini adalah 5,1, artinya bahwa

ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah berpeluang 5,1 kali lebih besar

mempunyai anak umur 6-23 bulan mengalami stunting.

Nasikhah dan Margawati (2012) yang mengatakan bahwa tinggi badan

orang tua yang pendek, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, dan tingkat

pendapatan orang tua yang rendah serta status ibu balita (bekerja dan tidak bekerja)

merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian stunting. Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 53: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Sumarni et al (2013) menunjukkan bahwa pada ibu yang bekerja, status gizi anak

balitanya sebagian besar gizi kurang (45,6%), pada ibu yang tidak bekerja status gizi

anaknya menunjukkan dominan gizi baik sebesar 65,0%.

Berdasarkan hasil penelitian Wahdah et al (2015) tinggi badan orang tua

mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting yang ditunjukkan

yang ditunjukkan dengan nilai OR masing-masing 8,3 (ayah) dan 5,6 (ibu). Hal ini

berarti bahwa ayah yang tinggi badannya <-2 SD mempunyai risiko untuk memiliki

anak stunting 8,3 kali lebih tinggi dibandingkandengan ayah yang tinggi badannya

≥-2 SD, sedangkan ibu yang tinggi badannya <-2 SD berisiko untuk melahirkan anak

yang stunting 5,6 kali lebih besar jika dibandingkan ibu yang memiliki tinggi badan

≥-2 SD.

Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang yang

berimplikasi pada kondisi pertumbuhannya adalah tingkat sosial ekonomi rumah

tangga yang terdiri dari : pendapatan keluarga, pendidikan, pekerjaan orang tua,

jumlah anggota keluarga, budaya, dan lain-lain. Pada penelitian Wahdah et al (2015)

rata-rata tingkat pendidikan orang tua subjek hanya sampai SD dan pendidikan ayah

pada anak yang menderita stunting relatif lebih rendah dibandingkan dengan

pendidikan ayah pada anak normal. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan

tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting.

Hal ini disebabkan karena ayah tidak mengambil peran yang dominan dalam

keputusan penentuan kebutuhan gizi karena penyediaan kebutuhan gizi diperankan

oleh ibu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 54: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian Rahayu L (2011)

di Cirebon yang menyatakan bahwa pendidikan ayah merupakan faktor yang

berhubungan dengan perubahan status stunting dari normal menjadi stunting. Faktor

pendidikan ayah dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam rumah

tangga. Hal ini disebabkan peranan ayah yang lebih dominan dalam menentukan

berbagai macam keputusan dalam keluarga, termasuk keputusan yang berkaitan

dengan kesehatan keluarga. Di Indonesia, pendidikan ayah yang tinggi berkaitan erat

dengan pola pengasuhan anak di dalam keluarga, penggunaan jamban tertutup,

pemberian imunisasi dan vitamin A, penggunaan garam beryodium, serta

pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu, dengan pendidikan yang tinggi seorang

ayah mempunyai peluang yang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan yang lebih

baik, sehingga dengan demikian kemempuan ayah lebih besar untuk dapat memenuhi

kebutuhan keluarganya.

Berdasarkan penelitian Sukoco et al (2015) dinyatakan bahwa dari segi

pekerjaan ayah dan ibu balita, terdapat perbedaan pada ayah yang mengasuh anaknya

dengan status kerja tetap/bekerja dengan perlu waktu banyak. Perbedaan tersebut

adalah Ayah 18,0% (2007) dan 36,0% (2013); Ibu 3,4% (2007) dan 10,1% (2013).

Hal ini dimungkinkan karena ayah sudah semakin memahami peran dan tanggung-

jawabnya yang penting dalam kesehatan keluarga. Demikian juga terjadi pada para

ibu yang bekerja, namun bagi ibu tidak mengurangi perannya sebagai pemberi asuhan

yang utama. Sebagian besar dari orang tua balita yang bekerja hanya salah satu saja

(bapak atau ibu) adalah 79,3% (2007) dan 77,5% (2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 55: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Hal ini sebagai bagian dari rasa tanggungjawab orang tua balita terhadap

anaknya. Rasa tanggungjawab ini dilaksanakan daripada pengasuhan anak diberikan

kepada orang lain. Bila dilihat dari segi pendidikan orang tua, hasil penelitian

menunjukkan bahwa ayah dengan pendidikan tinggi yang berperan sebagai pengasuh

pada tahun 2013 meningkat dua kali lipat daripada tahun 2007 yaitu 23,8% (2007)

dan 45,4% (2013). Demikian juga dengan ibu terdapat peningkatan serupa yaitu 16,3%

(2007) dan 41,3% (2013). Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pemahaman

orang tua akan pentingnyaperan sebagai pengasuh (caregiver).

Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi status gizi anak balita dengan

kedua orang tua bekerja dan yang sering ditinggal kedua orang tuanya bekerja belum

tentu lebih jelek, kenyataannya malah sebaliknya lebih bagus karena si ibu terus

memantau. Kedua orang tua yang bekerja di perusahaan dan mempunyai latar

belakang pendidikan maju biasanya mereka menitipkan anaknya di Tempat Penitipan

Anak (TPA) di sekitar pabrik. Selain TPA, ada kegiatan lain yang berhubungan

dengan anak yaitu posyandu dan bina keluarga balita (BKB) (Sukoco et al, 2015).

Hasil penelitian Farida Hanum (2014) menyatakan bahwa berdasarkan

tabulasi silang, diperoleh bahwa persentase status gizi kurang lebih tinggi dari pada

status gizi baik pada balita dari ayah yang tidak bersekolah dan berpendidikan hanya

sampai tamat SD dan Sekolah Menengah Pertama. Hasil penelitian Nadiyah (2014)

juga menyatakan bahwa baik pendidikan ibu maupun pendidikan bapak, keduanya

signifikan berhubungan dengan stunting pada anak (p<0.05). Pendidikan ibu tampak

lebih kuat hubungannya dengan stunting.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 56: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Berdasarkan hasil penelitian Rahayu dan Khairiyati (2014) dinyatakan

bahwa sebagian besar baduta yang stunting memiliki ayah dengan tinggi badan

kategori ≥-2 SD sebesar 24 orang (92,3%) dan baduta stunting memiliki ibu dengan

tinggi badan kategori <-2 SD sebanyak 19 orang (73,1%). Berdasarkan hasil uji

statistik diperoleh nilai p-value adalah 0,419 (tinggi badan ayah) dan p-value adalah

0,488 (tinggi badan ibu); hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu dengan kejadian stunting pada

balita periode window of opportunity.

Khoirun (2015) menyatakan bahwa proporsi tingkat pendidikan ayah yang

rendah pada kelompok balita stunting sedikit lebih tinggi (47,1%) dibandingkan

dengan kelompok balita normal (32,4%). Akan tetapi hasil uji Chi Square tidak

menunjukkan hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dengan kejadian

stunting pada balita (p=0,32). Hal ini bisa disebabkan karena peran pengasuhan lebih

besar dilakukan oleh ibu sedangkan ayah lebih banyak bekerja sehingga waktu

dengan anaknya akan lebih berkurang.

Ada berbagai macam faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting.

Faktor sosial demografi meliputi pendapatan yang rendah, pendidikan orang tua yang

rendah, jumlah anggota keluarga, dan faktor ekonomi dalam rumah tangga secara

tidak langsung juga berhubungan dengan kejadian stunting (WHO, 2010) dan

(Musthaq M et al, 2011). Faktor utama yang mepengaruhi status gizi anak balita

adalah perekonomian keluarga Alom (2011). Prevalensi malnutrisi pada anak dapat

disebabkan karena lingkungan dan status ekonomi keluarga. Kondisi sosial ekonomi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 57: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

yang buruk seperti rendahnya gaji ayah mendorong gizi buruk pada anak-anak. Ayah

yang bekerja tetapi memiliki penghasilan rendah atau memiliki pekerjaan yang tidak

stabil cenderung kurang dapat mencukupi nutrisi anak-anak mereka (Ayensu, 2013).

Di Indonesia, terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan

dan status ekonomi, semakin tinggi persentase pemberian makanan prelakteal berupa

susu. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin

tinggi persentase pemberian makanan prelakteal non-susu (air putih, air gula, air tajin,

air kelapa, sari buah, teh manis, madu, pisang, nasi/bubur, dan lainnya). Masalah

pemberian makanan pre-lakteal ditemui pada rumah tangga dengan sosial ekonomi

rendah maupun tinggi (Nadiyah, 2014).

Pendapatan akan mempengaruhi pemenuhan zat gizi keluarga dan

kesempatan dalam mengikuti pendidikan formal. Rendahnya pendidikan disertai

dengan rendahnya pengetahuan gizi sering dihubungkan dengan kejadian malnutrisi

(Nashikhah R, 2012). Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor dalam status

ekonomi. Jika dalam suatu rumah tangga, pendapatan yang didapatkan minimal atau

kurang dari normal dapat menyebabkan kebutuhan primer, terutama pangan menjadi

terhambat sehingga pemenuhan nutrisi tidak optimal dan akan mengakibatkan

masalah kekurangan gizi atau malnutrisi (Repi, 2013).

Keluarga dengan status ekonomi rendah akan mempunyai kesempatan

untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga yang rendah, sehingga anak

lebih rentan terjadi stunting. Keluarga dengan status ekonomi tinggi memiliki

kesempatan untuk memilih bahan makanan yang lebih bervariatif serta kebutuhan zat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 58: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

gizi tercukupi, sehingga risiko kejadian masalah gizi dapat ditekan. Hasil ini sesuai

dengan penelitian di Maluku, bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah

merupakan faktor risiko kejadian stunting (Anugraheni HS & Kartasurya MI, 2012).

Pada tahun 2010, lebih dari 100 juta anak di bawah usia lima tahun di

negara-negara berkembang masih kekurangan berat badan. Anak-anak di golongan

miskin dua kali lebih berisiko untuk menjadi kurus. Gizi buruk pada anak merupakan

penyebab kematian diperkirakan 35 persen dari semua kematian anak di bawah usia

lima tahun (FAO, 2012).

Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Wardani GAP (2016) di wilayah

kerja Puskesmas Minggir Kabupaten Sleman Yogyakarta menyatakan bahwa

keluarga dengan pendapatan keluarga yang tinggi sebagian besar memiliki balita

dengan status gizi baik yakni sebanyak 80,0%. Berdasarkan perhitungan chi square

nilai signifikansi p value sebesar 0,034 (p<0,05) artinya terdapat hubungan

pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Nilai RR sebesar 2,292 artinya

keluarga dengan pendapatan rendah berpeluang untuk memiliki balita dengan gizi

tidak baik 2,3 kali lebih besar dibandingkan keluarga dengan pendapatan tinggi.

Berdasarkan hasil uji regresi logistik ganda pada penelitian Oktarina (2013)

bahwa jumlah anggota rumah tangga merupakan faktor dominan yang berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita. Di antara faktor sosiodemografi faktor yang

paling berisiko tinggi terhadap kejadian stunting adalah besarnya keluarga. Hal ini

karena keluarga butuh kemampuan lebih agar dapat menyediakan makanan dalam

jumlah banyak untuk seluruh anggota keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 59: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Hasil tabulasi silang pada penelitian Farida Hanum (2014) diperoleh bahwa

keluarga dengan jumlah anggota dibawah 4 orang memiliki persentase status gizi baik

lebih tinggi dari status gizi buruk. Pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga

lebih dari 4 orang, status gizi kurang balita lebih tinggi dibanding dengan status gizi

baik. Semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin besar persentase status gizi

kurang yang dialami balita. Komposisi dan jumlah anggota keluarga seringkali

merupakan faktor resiko terjadinya kurang gizi yang merupakan manifestasi sekaligus

indikator kemiskinan. Hasil penelitian Devi M (2010) Berdasarkan hasil Uji Chi-

Square diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara sebaran jumlah

anggota keluarga dengan status gizi baik ayah maupun ibu yang menjadi orang tua

balita.

Tingkat sosial ekonomi keluarga memiliki hubungan yang erat dengan

ketersediaan pangan dalam keluarga, semakin tinggi social ekonomi keluarga

semakin besar peluang ketersediaan pangan yang baik, dimana ketersediaan pangan

yang rendah akan meningkatkan risiko 3,64 kali lebih besar untuk menghasilkan anak

yang stunting dibandingkan dengan ketersediaan pangan keluarga yang baik.

Rendahnya ketersediaan pangan mengancam penurunan konsumsi makanan yang

beragam, bergizi seimbang dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya, akan

berdampak pada semakin beratnya masalah gizi masyarakat, termasuk stunting pada

batita. Masalah akses dan ketersediaan pangan untuk penduduk miskin merupakan

gabungan dari masalah kemiskinan, kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai

rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli (BAPENAS, 2011).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 60: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Oktarina (2013) menyatakan bahwa balita yang berasal dari keluarga

dengan status ekonomi rendah lebih banyak mengalami stunting dibandingkan balita

dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Secara statistik hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting pada balita. Balita yang berasal dari keluarga dengan status

ekonomi rendah 1.29 kali berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan balita

dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Wahdah S et al (2015) menyatakan

bahwa berdasarkan hasil analisis multivariat memperlihatkan bahwa faktor sosial

ekonomi yaitu pendapatan keluarga dan jumlah anggota rumah tangga merupakan

faktor risiko yang menentukan kejadian stunting pada anak, selain pemberian ASI

eksklusif, tinggi badan ayah, dan tinggi badan ibu. Hal ini disebabkan rendahnya

pendapatan keluarga dan banyaknya anggota rumah tangga serta sedikitnya jumlah

ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada anaknya.

2.5 Penilaian Status Gizi

Status gizi merupakan hasil dari keseimbangan atau perwujudan dari nutrisi

dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2016). Keseimbangan antara asupan dan

kebutuhan zat gizi menentukan seseorang tergolong dalam kriteria status gizi tertentu,

dan merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam rentang waktu yang cukup

lama (Sayogo, 2011). PSG (Penilaian Status Gizi) merupakan proses pemeriksaan

keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat

objektif maupun subjektif. Data yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan

dengan baku/standard yang telah tersedia. PSG dapat dilakukan dengan dua cara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 61: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak

langsung.

Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status gizi

secara langsung dan merupakan penilaian yang paling sering digunakan di

masyarakat. Antropometri dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi

perseorangan maupun masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh

siapa saja dengan hanya melakukan latihan sederhana, selain itu antropometri

memiliki metode yang tepat dan akurat karena memiliki ambang batas dan rujukan

yang pasti, mempunyai prosedur yang sederhana, dan dapat dilakukan dalam jumlah

sampel yang besar.

Jenis ukuran tubuh yang paling sering digunakan dalam survei gizi adalah

berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas yang disesuaikan dengan usia anak.

Pengukuran yang sering dilakukan untuk keperluan perorangan dan keluarga adalah

pengukuran berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB).

Antropometri merupakan pengukuran dari beberapa parameter yang merupakan rasio

dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran, atau yang dihubungkan

dengan umur. Indeks antropometri yang umum dikenal yaitu BB/U, TB/U, dan berat

BB/PB atau BB/TB. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini

(saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena

berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.

Indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa lalu. Indikator BB/TB

menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Supariasa, 2016).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 62: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Keuntungan indeks TB/U yaitu merupakan indikator yang baik untuk

mengetahui kejadian kurang gizi di masa lampau, alatnya mudah dibawa kemana-

mana dan dibuat secara lokal, jarang orang tua keberatan diukur anaknya. Kelemahan

indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun, dapat

terjadi kesalahan yang mempengaruhi presisi, akurasi dan dan validitas pengukuran.

Sumber kesalahan bisa berasal dari tenaga yang kurang terlatih, kesalahan pada alat

dan tingkat kesulitan pengukuran.

TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena

merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Seorang yang

tergolong pendek “pendek tak sesuai umurnya (PTSU)” kemungkinan keadaan gizi

masa lalunya tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh

bersamaan dengan bertambahnya umur seseorang. Pengaruh kurang gizi terhadap

pertumbuhan tinggi badan baru akan dapat terlihat dalam kurun waktu yang cukup

lama .

2.6 Landasan Teori

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stunting pada

anak yakni karakteristik anak, karakteristik keluarga serta lingkungan. Karakteristik

anak mencakup intake makanan yang tidak adekuat yang disebabkan oleh kualitas

makanan yang buruk, durasi EF yang singkat serta makanan pelengkap yang tidak

adekuat, berat badan lahir rendah yang disebabkan oleh gizi dan kesehatan ibu yang

buruk dan status kesehatan yang buruk (yakni diare, ARI serta imunisasi yang tidak

lengkap).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 63: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

Sedangkan karakteristik keluarga meliputi kualitas dan kuantitas makanan

yang tidak adekuat yang disebabkan oleh produksi pangan yag tidak cukup, produksi

dan akses yang tidak adekuat. Sumber rumah tangga yang rendah termasuk dalam

karakteristik keluarga, hal ini dipengaruhi oleh pendapatan dan produksi. Struktur dan

banyaknya anggota keluarga dipengaruhi oleh umur pertama kali melahirkan, jarak

lahir dan banyaknya anggota keluarga. Prilaku keluarga yang kurang yakni pemberian

makan pada bayi, kebersihan dan perawatan pada saat kehamilan juga merupakan

faktor keluarga. Faktor keluarga lainnya yakni pelayanan kesehatan yang kurang

seperti imunisasi, monitoring pertumbuhan dan prenatal care, serta pelayan tidak

adekuat berupa air bersih dan fasilitas sanitasi lainnya.

Faktor lingkungan meliputi infrastruktur sosial ekonomi (yakni akses jalan,

pendapatan, pasar serta variasi makan), pelayanan pendidikan (meliputi akses ke

sekolah serta kualitas pendidikan), pelayanan kesehatan (yakni akses, kualitas dan

tersedianya obat-obatan) serta air dan sanitasi (yakni akses mendapatkan air bersih

dan pelayanan sanitasi. Hal ini dapat dilihat dari kerangka teori berikut ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 64: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

64

2.6 Landasan Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : UNICEF and World Bank)

Intake makanan yang tidak adekuat

Kualitas makanan yang buruk, durasi

EF yang singkat, dan makanan

pelengkap yang tidak adekuat

Infrastruktur Sosial

Ekonomi:

Akses jalan, pendapatan,

pasar, dan variasi makanan

Kualitas dan

kuantitas

makanan yang

tidak adekuat :

PP yang tidak

cukup,

produksi dan

akses yang

tidak adekuat

ANAK

Status Kesehatan yang buruk :

Diare, ARI, imunisasi yang tidak

lengkap

Berat Badan Lahir Rendah :

Gizi dan kesehatan ibu yang

buruk

Air dan Sanitasi

Akses mendapatkan

air bersih dan

pelayanan sanitasi

LINGKUNGAN

Pelayanan Kesehatan:

Akses, kualitas, dan

tersedianya obat-obatan

Pelayanan

Pendidikan :

Akses ke sekolah dan

kualitas pendidikan

Pelayan

tidak

adekuat:

Air bersih

dan fasilitas

sanitasi

lainnya

Pelkes yang

kurang ;

Imunisasi,

monitoring

pertumbuhan,

dan prental

care

KELUARGA

Prilaku yang

kurang :

Pemberian

makan pada

bayi,

kebersihan,

dan perawatan

pada saat

kehamilan

Struktur dan

Banyaknya

anggota

keluarga;

Umur pertama

kali

melahirkan,

jarak lahir, dan

banyaknya

anggota

keluarga

Sumber RT

yang

rendah :

Pendapatan

dan Produksi

STUNTING

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 65: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

65

2.7 Kerangka Konsep

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting pada anak

balita usia 24 – 59 bulan dan yang menjadi variabel independen dari penelitian ini

adalah karakteristik balita yang meliputi usia balita, panjang badan lahir, berat badan

lahir, ASI eksklusif, riwayat penyakit, dan pola konsumsi, juga karakteristik keluarga

yang meliputi usia ibu, tinggi badan ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tinggi

badan ayah, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ayah, penghasilan keluarga dan

jumlah anggota keluarga. Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka konsep faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting

Karakteristik Balita

• Usia Balita

• Jenis Kelamin

• Berat Badan Lahir

• Panjang Badan Lahir

• Asi Eksklusif

• Riwayat Penyakit

• Pola Konsumsi

Karakteristik Rumah Tangga

• Usia Ibu

• Tinggi Badan Ibu

• Pendidikan Ibu

• Pekerjaan Ibu

• Tinggi Badan Ayah

• Pendidikan Ayah

• Pekerjaan Ayah

• Penghasilan Keluarga

• Jumlah Anggota

Keluarga

Stunting pada

Balita usia 24 – 59

bulan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 66: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

66

2.8 Hipotesis

1. Ada pengaruh karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir,

panjang badan lahir, ASI eksklusif, pola konsumsi dan riwayat penyakit)

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24–59 bulan di Kecamatan

Muara Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatra Utara.

2. Ada pengaruh karakteristik rumah tangga (tinggi badan ibu, tingkat

pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, tingkat pendidikan ayah,

pekerjaan ayah, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendapatan keluarga)

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Kecamatan

Muara Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 67: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional

deskriptif dengan rancangan cross-sectional atau potong lintang dengan pendekatan

kuantitatif.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Muara Kecamatan

Muara Kabupaten Tapanuli Utara, yakni di 15 desa yang ada dan dilaksanakan pada

bulan April 2017 sampai bulan Juli 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki balita

usia 24 – 59 bulan yang terdapat pada 15 desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas

Muara sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang

memiliki balita usia 24 – 59 bulan dngan kriteria yakni balita yang memiliki Kartu

Menuju Sehat (KMS) tercatat di buku register penimbangan serta orang tua sampel

yakni ibu bersedia menjadi responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara

simple random sampling, yang ditentukan dengan menggunakan rumus yakni:

𝑛 =𝑁

1 +𝑁(𝑑2 )

𝑛 =709

1 + 709(0,12 ) 𝑛 =

709

8,09 𝑛 = 88 balita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 68: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

68

Keterangan:

n = Besarnya sample yang diinginkan

d = 0,1

N = Populasi = jumlah balita (usia 24–59 bulan) seluruhnya = 732 balita

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan

dengan cara wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner,

yakni meliputi data karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir,

panjang badan lahir, ASI eksklusif, pola konsumsi dan riwayat penyakit) dan

karakteristik keluarga yakni usia ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tinggi

badan ayah, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ayah, penghasilan keluarga dan

jumlah anggota keluarga. Kuesioner yang digunakan berasal dari kuesioner riskesdas

2013 dan FFQ (Food Frequency Questioners).

Data status gizi balita diukur secara antropometri dengan cara menimbang

berat badan balita dengan timbangan digital dan mengukur tinggi badan balita dengan

microtoise dan menentukan status gizinya dengan menggunakan standard WHO-

Anthro. Dan untuk data sekunder yang meliputi jumlah populasi dan data demografi

lokasi penelitian diperoleh melalui dokumen dari instansi terkait serta penelusuran

kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian yang sifatnya ilmiah.

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari beberapa variable, yakni varibel

dependent (terikat) yaitu stunting pada balita dan variable independent (bebas) yaitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 69: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

69

karakteristik balita, serta karakteristik keluarga. Defenisi operasional dari masing-

masing variable adalah sebagai berikut :

1. Stunting (pendek) pada anak usia 24 – 59 bulan adalah suatu indikator

keadaan gizi anak umur 24 – 59 bulan yang ditentukan secara antropometri

berdasarkan indeks TB/U dengan menggunakan klasifikasi WHO-Anthro.

2. Usia balita adalah usia atau lama waktu hidup responden dihitung dalam

bulan sejak lahir sampai ulang bulan terakhir dengan hitungan bulan genap

(30 hari).

3. Jenis kelamin adalah identitas yang dibedakan secara fisik berdasarkan organ

genitalis ekseternal.

4. Berat badan lahir adalah bobot badan bayi pada saat dilahirkan dalam gram

yang tercatat dalam KMS (Kartu Menuju Sehat) atau buku KIA (Kesehatan

Ibu dan Anak).

5. Panjang badan lahir adalah panjang badan bayi pada saat dilahirkan dalam cm

yang tercatat dalam KMS atau buku KIA.

6. ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sampai usia 6

bulan tanpa susu formula atau makanan tambahan.

7. Riwayat penyakit adalah riwayat penyakit yang diderita oleh balita baik

penyakit ISPA maupun diare yang pernah diderita lebih dari 3 hari selama tiga

bulan terakhir sampai pelaksanaan penelitian.

8. Pola konsumsi adalah kebiasaan makan anak balita sejak mulai diberi makan

sampai pelaksanaan penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 70: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

70

9. Tinggi badan ibu adalah jarak vertikal dari lantai sampai bagian atas kepala,

diukur saat subjek dalam posisi berdiri tegak lurus ke depan.

10. Usia ibu adalah usia atau lama waktu hidup ibu responden dihitung dalam

bulan sejak lahir sampai ulang bulan terakhir.

11. Pendidikan ibu adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah

dicapai oleh ibu balita.

12. Pekerjaan ibu adalah keadaan atau kedudukan ibu balita yang bekerja untuk

memperoleh penghasilan .

13. Tinggi badan ayah adalah jarak vertikal dari lantai sampai bagian atas kepala,

diukur saat subjek dalam posisi berdiri tegak lurus ke depan.

14. Pendidikan ayah adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah

dicapai oleh ayah balita.

15. Pekerjaan ayah adalah keadaan atau kedudukan ayah balita yang bekerja

untuk mendapatkan penghasilan.

16. Penghasilan keluarga adalah besarnya pendapatan keluarga (bapak, ibu,

anggota keluarga lain) yang dikelompokkan berdasarkan upah minimum

Kabupaten Tapanuli Utara (UMK) tahun 2017 yaitu Rp 1.673.000,-.

17. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam satu

rumah termasuk kepala rumah tangga dan pembantu menjadi tanggung jawab

kepala keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 71: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

71

3.6 Metode Pengukuran

Meode yang digunakan dalam pengukuran data-data yang hendak

dikumpulkan adalah sebagai berikut :

1. Variabel stunting dilakukan dengan pengukuran antropometri dengan indeks

TB/U (pengukuran tinggi badan menurut umur), yang diukur dengan standard

WHO-Anthro skala ukur interval dengan hasil ukur yaitu :

a. 0 = stunting, gabungan stunting dan severe stunting : Z-score < -2 SD

b. 1 = Normal Z-score ≥ -2 SD

2. Usia balita diukur dengan menggunakan kuesioner dan dihitung dari tanggal

lahir hingga bulan terakhir dengan skala ukur interval dengan hasil ukur yang

dikategorikan dengan :

a. 0 = 24 – 36 bulan

b. 1 = 37 – 59 bulan

3. Jenis kelamin diperoleh dengan wawancara langsung dengan skala ukur

nominal dengan hasil ukur yang dikategorikan dengan :

a. 0 = laki-laki

b. 1 = prempuan

4. Pengukuran berat badan lahir diperoleh dari hasil wawancara dengan

responden dan data dari KMS dan buku KIA, skala interval dengan hasil ukur

berdasarkan yang dikategorikan dengan :

a. 0 = jika berat badan lahir : rendah (< 2500 gram) Kemenkes 2010

b. 1 = jika berat badan lahir : normal (≥ 2500 gram)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 72: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

72

5. Pengukuran panjang badan lahir diperoleh dari hasil wawancara langsung

dengan responden dan data dari KMS dan buku KIA, dengan skala interval

dengan hasil ukur berdasarkan yang dikategorikan dengan :

a. 0 = jika panjang badan lahir pendek ( ≤ 46,1 cm untuk laki laki dan ≤ 45,4

cm untuk perempuan) Kemenkes 2010

b. 1 = jika panjang badan lahir normal ( > 46,1 cm untuk laki laki dan > 45,4

cm untuk perempuan)

6. Pengukuran variabel pemberian ASI Eksklusif dilakukan dengan wawancara

langsung kepada responden dengan didasarkan pada skala ordinal dengan

hasil ukur yang dikategorikan dengan :

a. 0 = jika balita tidak memperoleh ASI eksklusif

b. 1 = jika balita memperoleh ASI Eksklusif

7. Pengukuran variabel riwayat penyakit infeksi dilakukan dengan wawancara

langsung kepada responden mengenai penyakit ISPA (demam, batuk, pilek)

dan diare dengan menggunakan beberapa kuesioner. Setiap jawaban dari

masing-masing kuesioner mempunyai nilai skor tertinggi adalah 4 dan

terendah adalah 1, kemudian skor ditotal dan dirata-ratakan dan didasarkan

pada skala ordinal, dengan kategori :

a. 0 = apabila jumlah skor < nilai rata-rata

b. 1 = apabila jumlah skor ≥ nilai rata- rata

8. Pengukuran variabel pola konsumsi dilakukan dengan cara wawancara

langsung kepada responden dengan menggunakan beberapa kuesioner. Setiap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 73: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

73

jawaban dari masing-masing kuesioner mempunyai nilai skor tertinggi adalah

2 dan terendah adalah 1, kemudian skor ditotal dan dirata-ratakan dan

didasarkan pada skala ordinal, dengan kategori :

c. 0 = apabila jumlah skor < nilai rata-rata

d. 1 = apabila jumlah skor ≥ nilai rata-rata

9. Usia ibu diperoleh dengan wawancara langsung dengan menggunakan

kuesioner dengan menghitung bulan lahir hingga bulan terakhir dengan genap

tahun (12 bulan) dengan skala interval dengan hasil ukur yang dikategorikan

dengan :

a. 0 = jika usia ibu < 25 tahun atau > 35 (BKKBN, 2017)

b. 1 = tahun jika usia ibu 25 – 35 tahun

10. Tinggi badan ibu diperoleh dengan mengukur TB ibu dengan menggunakan

microtoise dengan skala interval dengan hasil ukur yang dikategorikan

dengan :

a. 0 = Jika TB ibu pendek (< 150 cm) (Depkes R.I, 2010)

b. 1 = jika TB ibu normal (≥ 150 cm)

11. Pendidikan ibu diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner dengan skala interval dengan hasil ukur yang

dikategorikan dengan :

a. 0 = apabila pendidikan ibu tidak sekolah atau tamat Sekolah Dasar (SD)

dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)

b. 1 = apabila pendidikan ibu minimal tamat SLTA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 74: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

74

12. Pekerjaan ibu diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner dengan skala ordinal dengan hasil ukur :

a. 0 = apabila ibu tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan tetap yakni

sekolah, wiraswasta, buruh dan lainnya.

b. 1 = apabila ibu memiliki penghasilan tetap yakni POLRI/TNI,

PNS/pegawai.

13. Tinggi badan ayah diperoleh dengan mengukur tinggi badan ayah dengan

menggunakan microtoise dengan skala interval dengan hasil ukur yang

dikategorikan dengan :

c. 0 = Jika tinggi badan ayah pendek (< 160 cm) (Depkes R.I, 2010).

d. 1 = jika tinggi badan ayah normal (≥ 160 cm).

14. Pendidikan ayah diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner dengan skala interval dengan hasil ukur :

a. 0 = apabila pendidikan ayah tidak sekolah atau tamat Sekolah Dasar (SD)

dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

b. 1 = apabila pendidikan ayah tamat SLTA atau PT.

15. Pekerjaan ayah diperoleh dengan wawancara langsung dengan menggunakan

kuesioner dengan skala ordinal dengan hasil ukur :

a. 0 = apabila ayah tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan tetap yakni

sekolah, wiraswasta, buruh dan lainnya.

b. 1 = apabila ayah memiliki penghasilan tetap yakni POLRI/TNI,

PNS/pegawai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 75: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

75

16. Penghasilan keluarga dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan

kuesioner dengan menjumlahkan besarnya pendapatan keluarga (bapak, ibu,

anggota keluarga lain) dengan skala interval dengan katagori

0 = apabila pendapatan keluarga < Rp. 1.673.000,- (UMR Kabupaten Taput)

1 = apabila pendapatan keluarga ≥ Rp. 1.673.000,-

17. Jumlah anggota keluarga diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner dengan skala interval dengan hasil ukur yang

dikategorikan dengan :

a. 0 = besar, apabila jumlah anggota keluarga > 4 orang

b. 1 = kecil, apabila jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang

3.7 Metode dan Analisis Data

Agar analisis data penelitian dapat menghasilkan informasi yang benar

sesuai dengan yang dibutuhkan, maka terlebih dahulu dilakukan pengolahan data.

Pengolahan data dilakukan secara manual dan dengan komputer, dengan langkah –

langkah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Data yang sudah terkumpul dalam isian kuesioner diperiksa apakah jawaban

semua pertanyaan sudah terisi, tulisannya cukup jelas, relevan dengan

pertanyaan dan konsisten dengan jawabannya.

2. Pemberian Kode (Coding)

Data yang telah dikumpulkan dikoreksi kelengkapannya kemudian diberi

kode dari bentuk huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan, agar dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 76: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

76

mempermudah pada saat menganalisa data dan mempercepat pada saat

pengentryan data.

3. Pemasukan Data (Entry)

Setelah data diberi kode dalam bentuk angka/bilangan kemudian data

dimasukkan kekomputer (entry)

4. Tabulasi data

Data ditabulasi dengan pemasukan data ke komputer (entry) kemudian data

diklarifikasikan ke dalam tabel yang telah dipersiapkan.

Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis statistik, karena statistik

dapat menunjukkan kesimpulan (generalisasi) penelitian dengan memperhitungkan

faktor kesahihan. Pertimbangan lain menggunakan analisis statistik adalah karena

statistik bekerja dengan angka, statistik bersifat objektif serta statistik bersifat

universal, dalam arti dapat digunakan hampir pada semua penelitian. Analisa data

dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian, maka pendekatan

analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Analisis Data Univariat

Analisis data univariat dimaksudkan untuk melihat gamabaran deskriptif baik

pada variable independen maupun dependen. Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita usia 24–59 bulan.

Sedangkan variable independen dalam penelitian ini adalah data karakteristik

balita dan karakteristik keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 77: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

77

2. Analisis Data Bivariat

Analisis data bivariat merupakan analisis lanjutan yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara dua variable, yaitu variable independen meliputi

data karakteristik balita dan karakteristik keluarga dengan variable dependen

kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan. Untuk membuktikan adanya

hubungan diantara dua variable tersebut, peneliti menggunakan uji statistik

Chi Square (𝝌2) dengan derajat kepercayaan 95 %. Apabila dari hasil

analisis data bivariat diperoleh nilai p < 0,05, maka hal tersebut menunjukkan

bahwa hasil yang diperoleh memiliki hubungan yang bermakna. Sedangkan

jika nialai p > 0,05 menunjukkan baha hasil yang diperoleh tidak memiliki

hubungan yang bermakna.

3. Analisis Multivariat

Hasil analisis bivariat dilanjutkan ke analisis multivariat apabila diantara

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting cukup berbeda bermakna.

Analisis multivariat dilakukan guna mengetahui faktor yang paling dominan

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Uji yang digunakan

adalah regresi logistik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 78: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

78

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kecamatan Muara merupakan salah satu dari 15 kecamatan yang ada di

Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara, dan berdasarkan luas wilayahnya

merupakan kecamatan yang terkecil dari kecamatan-kecamatan lainnya yakni hanya

sekitar 2,10% (79,75 km2) dari luas Kabupaten Tapanuli Utara. Kecamatan Muara

berada sekitar 900 s/d 1.700 metter diatas permukaan laut. Wilayah Kecamatan

Muara disebelah utara berbatasan dengan Danau Toba, sebelah Selatan berbatasan

dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Siborong-borong, sebelah

Barat dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan sebelah Timur dengan

Kabupaten Toba Samosir seperti yang dapat kita lihat pada peta berikut.

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Muara

Sumber : BPS, Kecamatan Muara dalam Angka (2016)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 79: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

79

Kecamatan Muara memiliki 15 desa, dengan kriteria 3 desa maju yakni Desa

Hutanagodang (ibukota kecamatan), Desa Untemungkur dan Desa Simatupang, 9

desa berkembang yakni Desa Silando, Desa Dolok Martumbur, Desa Sitanggor, Desa

Aritonang, Desa Batubinumbun, Desa Silalitoruan, Desa Baribaniaek dan Desa Huta

Lontung, serta 3 desa tertinggal yaitu desa yang ada di Pulau Sibandang yakni Desa

Sibandang, Desa Papande dan Desa Sampuran. Dari 15 kepala desa yang ada 1 orang

tamat SMP (Desa Silalitoruan), 1 orang tamat D2 (Desa Huta Ginjang), dan 13 orang

tamat SLTA. Di Kecamatan Muara terdapat 21 unit SD, 4 unit SMP, 1 unit SMA, 1

unit SMK, 10 unit PAUD, 60 unit gereja, 1 hotel, 3 penginapan. Populasi penduduk

berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin dapat kita lihat dalam tabel berikut.

Tabel 4.1 Populasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin Tahun 2014

____________________________________________________________________

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Total

(Tahun)

0-4 844 786 1.630

5-9 854 815 1.673

10-14 871 859 1.730

15-19 717 690 1.407

20-24 350 248 598

25-29 372 314 686

30-34 360 360 346

35-39 346 375 720

40-44 345 375 721

45-49 363 399 762

50-59 326 414 740

60-64 313 395 708

65-69 317 348 605

70-74 100 187 287

≥75 109 239 248

Total 6.690 7.037 13.727

Sumber. BPS, Kecamatan Muara Dalam Angka (2016)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 80: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

80

Jumlah penduduk Kecamatan Muara 13.727 jiwa (3.235 KK). Mayoritas

pekerjaan penduduk Muara bertani yakni sekitar 70%, selebihnya nelayan, pedagang

dan PNS. Secara Umum mayoritas penduduk Kecamatan Muara tamat SLTA (48%),

SLTP (2%), PT (15%), lainnya (belum bersekolah, belum tamat SD, tidak tamat SD,

tamat SD) sekitar 35%. Alat transportasi di Kecamatan Muara sepeda motor,

mobil/angkutan, becak, dan kapal motor serta sebuah kapal motor ferri yang setiap

saat beroperasi sebagai angkutan penyeberangan ke pulau Sibandang.

Di Kecamatan Muara terdapat 1 unit Puskesmas yang terletak di ibu kota

kecamatan yakni di Desa Hutanagodang, 3 unit Puskesmas Pembantu yang terletak di

Desa Hutaginjang, Desa Aritonang dan Desa Sibandang. Seluruh desa di Kecamatan

Muara memiliki minimal 1 unit poskesdes/polindes, jumlah seluruh poskesdes/

polindes ada 19 unit. Jumlah posyandu 20 unit yang terdapat di seluruh desa yang ada,

dan beberapa desa memiliki 2 sampai 3 posyandu, yakni di Desa Hutaginjang 2 unit,

Desa Sitanggor 2 unit, Desa Untemungkur 2 Unit serta Desa Hutanagodang 3 unit.

Untuk meningktkan pelayanan pada masyarakat Puskesmas Muara memiliki 4 unit

sepeda motor, 2 unit mobil Puskesmas keliling, dan 1 unit kapal motor cepat.

Puskesmas Muara melayani masyarakat selama 24 jam sehari dengan para

tenaga kesehatan yang melayani di puskesmas yaitu terdiri dari 2 orang dokter umum,

1 orang SKM (Ka.UPT.Puskesmas), 1 orang ahli gizi, 3 orang bidan PNS, 11 orang

bidan TKS, 4 orang perawat PNS, 4 orang perawat TKS (Tenaga Kerja Sukarela), 1

perawat gigi,dan 1 orang tenaga LCPK (Latihan Cepat Pekarya Kesehatan) dan 1

asisten apoteker Tenaga Kerja Sukarela (TKS). Sedangkan di desa para petugas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 81: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

81

kesehatan yang melayani terdiri dari 3 orang bidan Pustu, 15 orang bidan desa,1

orang perawat dan 12 orang perawat Tenaga Kerja Sukarela (TKS).

Tabel 4.2 Jumlah Kasus Penyakit Terbesar yang Dilayani di Puskesmas

Muara pada Bulan Juni 2017.

____________________________________________________________________

No Jenis Penyakit Jumlah Kasus

1 ISPA 141

2 Dyspepsia 62

3 Rheumatik 59

4 Hipertensi 31

5 Tonsilitis 20

6 Penyakit Mata 18

7 Karies Gigi 17

8 Kecelakaan 15

9 Diabetes Melitus 15

10 Otitis Media Akut 15

11 Diare 14

12 Disentri 13

13 Scabies 13

14 Kecacingan 12

15 Penyakit Kulit Alergi 11

16 Bronchitis 10

17 Asthma 9

18 Penyakit Kulit Infeksi 9

19 Anemia 3

Total 487

Sumber : Dokumen Puskesmas Muara

Pada tabel 4.1 diatas dapat kita lihat bahwa jumlah kasus penyakit terbesar

yakni penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) sebanyak 141 kasus, diikuti

dengan penyakit dyspepsia sebanyak 62 kasus dan rheumatic sebanyak 59 kasus.

Sedangkan kasus penyakit yang terkecil adalah kasus penyakit anemia sebanyak 3

kasus, penyakit kulit serta infeksi 9 kasus. Jumlah kasus tersebut belum termasuk

dengan pasien rujukan serta pasien yang membeli obat bebas dari toko obat yang ada.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 82: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

82

Jumlah balita di Kecamatan Muara sebanyak 1.252 orang, yakni usia 0-6

bulan 120 orang, usia 7-12 bulan 133 orang, usia 13-24 bulan 248 orang, usia 25-36

bulan 262 orang, usia 37-59 bulan 489 orang. Jumlah balita yang terbanyak di Desa

Hutaginjang yaitu 154 orang dan yang paling sedikit di Desa Huta Lontung sebanyak

39 orang. Sudah lebih dari 10 tahun di Kecamatan Muara selalu ditemukan balita gizi

buruk, dan umumnya penderita gizi buruk tersebut memiliki penyakit penyerta.

4.2 Analisa Univariat

Analisis Univariat merupakan analisis yang menggambarkan secara tunggal

variabel-variabel penelitian baik independen maupun dependen dalam bentuk

distribusi frekuensi dan dihitung persentasenya. Hasil dari analisis univariat dapat

memberikan gambaran distribusi frekwensi dari kejadian stunting pada balita usia

24-59 bulan di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara yakni karakteristik

balita serta karakteristik rumah tangga.

4.2.1 Karakteristik Balita Usia 24-59 Tahun

Karakteristik balita meliputi usia, berat badan lahir, panjang badan lahir,

jenis kelamin, ASI eksklusif, pola konsumsi serta riwayat penyakit. Jumlah balita usia

24–36 bulan sebanyak 26 orang diantaranya terdapat 11 orang laki-laki (2 orang

stunting, 4 orang ASI eksklusif,4 orang memiliki pola konsumsi kurang baik, 3 orang

yang sering sakit) dan 15 orang perempuan (4 orang stunting, 7 orang ASI eksklusif,

6 orang memiliki pola konsumsi kurang baik, 3 orang sering sakit), usia 37–48 bulan

sebanyak 31 orang yaitu terdiri dari 18 orang laki-laki (6 orang stunting, 1 orang berat

badan lahir rendah, 1 orang panjang badan lahir rendah, 5 orang ASI eksklusif, 7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 83: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

83

orang memiliki pola konsumsi kurang baik, 7 orang sering sakit), dan 13 orang

perempuan (2 orang stunting, 3 ASI eksklusif, 1 orang memiliki pola konsumsi

kurang baik, 1 orang sering sakit), dan usia 48–59 bulan sebanyak 31 orang,

diantaranya 21 orang laki-laki (10 orang stunting, 10 orang ASI eksklusif, 8 orang

memiliki pola konsumsi kurang baik, 8 orang sering sakit) dan 10 orang perempuan

(4 orang stunting, 4 orang ASI eksklusif, 3 orang memiliki pola konsumsi kurang

baik, 3 orang sering sakit) seperti yang dapat kita lihat pada table-tabel berikut

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita Usia 24-59 Bulan

Karakteristik Balita Usia 24-59 Bulan Frekuensi %

Umur Balita

24-36 bulan 26 29.5

37-59 bulan 62 70.5

Jenis Kelamin

Laki-Laki 50 56.8

Perempuan 38 43.2

Berat Badan Lahir

Rendah (<2500 gr) 1 1.1

Normal (≥2500 gr) 87 98.9

Panjang Badan Lahir (cm) %

Pendek (LK ≤46,1 PR ≤45,4) 1 1.1

Norrmal (LK >46,1 PR >45,4) 87 98.9

ASI Eksklusif

Tidak 55 62.5

Ya 33 37.5

Riwayat Penyakit

Sering Sakit 25 28.4

Jarang Sakit 63 71.6

Pola Konsumsi

Kurang Baik 29 33.0

Baik 59 67.0

Total 88 100.0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 84: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

84

4.2.2 Karakteristik Rumah Tangga

Karakteristik rumah tangga meliputi usia ibu, TB ibu, pendidikan ibu,

pekerjaan ibu, usia ayah, TB ayah, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendapatan

keluarga serta jumlah anggota keluarga dapat kita lihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Rumah Tangga

Karakeristik Rumah Tangga Frekuensi %

Usia ibu

<25 tahun atau >35 tahun 42 47.7

25-35 tahun 46 52.3

Tinggi badan ibu

Pendek <150 cm 15 17.0

Normal ≥150 cm 73 83.0

Pendidikan ibu

Tidak Sekolah/Tamat SD/ SMP

Tamat SLTA/PT

1

87

1.1

98.9

Pekerjaan ibu

Tidak bekerja/tidak memiliki penghasilan tetap 76 86.4

Memiliki penghasilan tetap1 12 13.6

Tinggi Badan Ayah

Pendek <160 cm 23 26.1

Normal ≥160 cm 65 73.9

Pendidikan Ayah

Tidak Sekolah/tamat SD/SMP

Tamat SLTA/PT

1

87

1.1

98.9

Pekerjaan Ayah

Tidak bekerja/tidak memiliki penghasilan tetap 83 94.3

Memiliki penghasilan tetap 5 5.7

Penghasilan Keluarga

<Rp.1.673.000 66 75.0

≥Rp.1.673.000 22 25.0

Jumlah Anggota Keluarga

>4 orang 48 54.5

≤4 orang 40 45.5

Total 88 100.0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 85: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

85

Usia ibu yang paling muda adalah 22 tahun ayah 29 tahun, dan usia ibu yang

paling tua 48 tahun dan ayah 48 tahun. TB ibu yang paling tinggi yakni 168 cm ayah

173 cm dan yang paling pendek 145 cm (3 orang) dan ayah 145 cm. Pendidikan ibu

yang terendah tamat SMP ayah tamat SMP, terdapat 5 orang ibu tamatan D3, 8 orang

S1, dan 8 orang ayah tamatan S1. Pekerjaan ibu umumnya petani, 4 orang tenaga

kesehatan, 10 orang PNS dan guru honorer serta 1 orang wiraswasta, dan pekerjaan

ayah mayoritas petani, 1 orang supir, 1 orang karyawan, 8 orang wiraswasta dan 5

orang PNS dan guru honorer. Penghasilan keluarga yang paling sedikit Rp.

1.000.000,- dan yang paling banyak Rp. 13.000.000,- . Jumlah anggota keluarga yang

paling banyak 9 orang dan yang paling sedikit 3 orang, terdapat sekitar 10% keluarga

yang tinggal bersama dengan orangtua/mertua, dan beberapa keluarga memiliki anak

yang tidak tinggal serumah karena bersekolah di daerah lain.

4.2.3 Stunting pada Balita Usia 24-59 Tahun

Distribusi frekwensi status gizi balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja

Puskesmas Muara berdasarkan indeks TB/U pada 88 orang sampel balita dapat

dilihat pada table berikut.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Stunting pada Balita Usia

24-59 Bulan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan Frekuensi %

Stunting 28 31.8

Tidak Stunting 60 68,2

Total 88 100.0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 86: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

86

Pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa stunting pada balita usia 24-59 bulan

mayoritas tidak stunting sebanyak 60 orang (68,2%), dan prevalensi balita stunting

sebanyak 31,8%. Hal ini berarti masalah stunting di Kecamatan Muara masih cukup

tinggi sehingga harus dianggap serius dan perlu segera ditangani dengan baik.

4.3 Hasil Analisis Bivariat

Analisis Bivariat merupakan analisis lanjutan untuk mengetahui pengaruh

variabel independen yakni BB lahir, pemberian ASI Eksklusif, pendapatan keluarga,

riwayat penyakit infeksi, pola konsumsi terhadap variabel dependen yakni kejadian

stunting pada balita dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil analisis bivariat

digunakan untuk mengetahui hubungan variabel dependen yakni karakteristik balita

dan karakteristik rumah tangga dengan variabel independen yakni kejadian stunting.

4.3.1 Hubungan Umur Balita dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan

sehingga dibutuhkan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya (Kurniasih, 2010).

Dari seluruh anggota keluarga, ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang paling

rentan mengalami masalah kesehatan, seperti kesakitan (morbiditas) dan gizi

(malnutrisi). Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan (disability)

bahkan dapat menyebabkan kematiam atau mortalitas (Depkes RI, 2012). Hasil

analisis bivariat akan menunjukkan bagaimana hubungan kejadian stunting pada

balita usia 24-59 bulan dengan karakteristik balita, yang dapat kita lihat lihat pada

tabel berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 87: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

87

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Hubungan Umur Balita dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan

Umur Balita

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

24-36 bulan 6 23.1 20 76.9 26 100.0

0,374 37-59 bulan 22 32.5 40 64.5 62 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 26 balita usia 24-36 bulan terdapat 6

orang (23.1%) yang mengalami stunting dan 20 orang (76.9%) yang tidak stunting.

Sedangkan dari 62 orang umur balita 37-59 bulan terdapat 22 orang (35.5%) yang

mengalami stunting dan 40 orang (64.5%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan umur balita dengan kejadian stunting

pada balita usia 24-59 bulan (p=0,374).

4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Pada tahun pertama kehidupan, laki-laki lebih rentan mengalami malnutrisi

dari pada perempuan karena ukuran tubuh laki-laki yang besar dimana hal ini berarti

laki-laki membutuhkan asupan energi yang lebih besar juga, sehingga bila asupan

makan tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama

dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan (Supriasa IDN, 2016). Hubungan

kejadian stunting pada balita terhadap jenis kelamin balita dapat kita lihat pada tabel

berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 88: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

88

Tabel 4.7 Tabulasi Silang Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan

Jenis Kelamin

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Laki-laki 18 36.0 32 64.0 50 100.0

0.462 Perempuan 10 26.3 28 73.7 38 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 50 orang balita yang berjenis kelamin

laki-laki terdapat 18 orang (36,0%) yang mengalami stunting dan 32 orang (64,0%)

yang tidak stunting. Sedangkan dari 38 orang balita yang berjenis kelamin perempuan

terdapat 10 orang (28.3%) yang mengalami stunting dan 28 orang (73.7%) yang tidak

stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan jenis

kelamin balita dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=0,462).

4.3.3 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita

Usia 24 – 59 Bulan

Berat badan lahir rendah memiliki kaitan yang erat dengan kurang gizi yang

terjadi selama masa kehamilan hingga bayi lahir. Ibu yang kurang mengkonsumsi

makanan bergizi dengan jumlah yang cukup serta kuantitas yang kurang baik selama

masa kehamilan cenderung akan melahirkan bayi yang memiliki berat badan lahir

rendah (BBLR). Secara umum berat badan lahir bayi akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa yang akan datang. Hubungan kejadian

stunting pada balita terhadap berat badan lahir balita dapat kita lihat pada tabel

berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 89: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

89

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Hubungan Berat Badan Lahir dengan

Kejadian Stunting pada Balita

Berat Badan Lahir

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Rendah (<2500 gr) 0 0.0 1 100.0 1 100.0

1.000 Normal (≥2500 gr) 28 32.2 59 67.8 87 100.0

Total 28 31.8 52 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah (<2500 gr)

terdapat 1 orang balita (100%) dan tidak mengalami stunting. Sedangkan dari 87

orang balita yang memiliki berat badan lahir normal (≥2500 gr) terdapat 28 orang

(32,2%) yang mengalami stunting dan 59 orang (87,8%) yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan berat badan lahir

dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=1,000).

4.3.4 Hubungan Panjang Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita

Usia 24 – 59 Bulan

Panjang badan lahir yang rendah dapat mencerminkan dari gagalnya proses

perttumbuhan yang berkelanjutan atau stunting. Namun jika anak yang gagal tumbuh

didukung dengan pemberian asupan zat gizi yang adekuat maka akan dapat mengejar

pertumbuhan seperti pada anak balita normal.yang disebut juga dengan catch up grow.

Hubungan kejadian stunting pada balita terhadap panjang badan lahir balita dapat kita

lihat pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 90: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

90

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Hubungan Panjang Badan Lahir dengan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59

Panjang Badan Lahir

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % N % N %

Pendek 0 0.0 1 100 1 100.0

1.000 Normal 28 32.2 59 67.8 87 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.9 menunjukkan bahwa panjang badan lahir pendek (≤46,1 cm LK,

≤45,4 cm PR) terdapat 1 orang balita (100%) yang tidak mengalami stunting.

Sedangkan dari 87 orang balita yang memiliki panjang badan lahir normal (>46,1 cm

LK, >45,4 cm PR) terdapat 28 orang (32,2%) yang mengalami stunting dan 59 orang

(68.2%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan panjang badan lahir dengan kejadian stunting pada balita usia 24-

59 bulan (p=1,000).

4.3.5 Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Kebutuhan zat gizi bayi usia 0-6 bulan dapat dipenuhi dari ASI. Pemberian

ASI yang kurang serta pemberian makanan atau formula terlalu dini dapat

menyebabkan bayi cenderung lebih muda terkena penyakit infeksi dan diare karena

saluran pencernaan bayi belum dapat mencerna makanan lain selain ASI. Pemberian

ASI eksklusif dapat menurunkan risiko kejadian stunting. Hubungan kejadian

stunting terhadap pemberian ASI eksklusif pada balita dapat kita lihat pada tabel

berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 91: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

91

Tabel 4.10 Tabulasi Silang Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

ASI Eksklusif

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % N %

Tidak 17 30.9 38 69.1 55 100.0

1.000 Ya 11 33.3 22 66.7 33 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa dari 55 orang balita yang tidak diberi

ASI Eksklusif terdapat 17 orang (30,9%) yang mengalami stunting dan 38 orang

(69,1%) yang tidak stunting. Sedangkan dari 33 orang balita yang diberi ASI

Eksklusif terdapat 11 orang (33,3%) yang mengalami stunting dan 22 orang (66,7%)

yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan

(p=1.000).

4.3.6 Hubungan Riwayat Penyakit dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Penyakit infeksi bagaimanapun derajatnya, memiliki pengaruh terhadap

status gizi. Kejadian penyakit infeksi yang berulang tidak hanya dapat menurunkan

berat badan namun akan tampak pada rendahnya nilai indicator tinggi badan menurut

umur sehingga dapat menyebabkan stunting. Penyakit diare masih merupakan

masalah kesehatan yang sering timbul di negara berkembang. Hubungan antara

kejadian stunting pada balita dengan riwayat penyakit pada balita dapat kita lihat

pada tabel berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 92: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

92

Tabel 4.11 Tabulasi Silang Hubungan Riwayat Penyakit dengan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Riwayat Penyakit

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Sering sakit 18 72.0 7 28.0 25 100.0

0.001 Jarang sakit 10 15.9 53 84.1 63 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.11 menunjukkan bahwa dari 25 orang balita yang memiliki

riwayat penyakit sering sakit terdapat 18 orang (72,0%) yang mengalami stunting dan

7 orang (28,0%) yang tidak stunting. Sedangkan dari 60 orang balita yang memiliki

riwayat penyakit jarang sakit terdapat 10 orang (31,8%) yang mengalami stunting dan

53 orang (84,1%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa

terdapat hubungan riwayat penyakit dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59

bulan (p= 0,001).

4.3.7 Hubungan Pola Konsumsi dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi juga semakin

meningkat. Pola makan dengan gizi seimbang, dapat mendukung balita agar dapat

tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk kecerdasannya Pertumbuhan anak

semakin menyimpang dari normal dengan bertambahnya umur jika penyediaan

makanan baik kuantitas maupun kualitasnya tidak memadai. Hubungan antara

kejadian stunting dengan pola konsumsi pada balita dapat kita lihat pada tabel

berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 93: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

93

Tabel 4.12 Tabulasi Silang Hubungan Pola Konsumsi dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Pola Konsumsi

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Kurang baik 20 69.0 9 31.0 29 100.0

0,001 Baik 8 13.6 51 66.4 59 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.12 menunjukkan bahwa dari 29 orang balita dengan pola

konsumsi yang kurang baik terdapat 20 orang balita (69,0%) yang mengalami

stunting dan terdapat 9 orang balita (31,0%) yang tidak stunting. Sedangkan dari 59

orang balita dengan pola konsumsi yang baik terdapat 8 orang balita (13,6%) yang

mengalami stunting dan 51 orang balita (66,4%) yang tidak stunting. berdasarkan

hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola konsumsi

dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0,001).

4.3.8 Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59

Bulan

Masalah kesehatan ibu dan anak sedikit banyak turut juga dipengaruhi oleh

umur, yang sangat mempengaruhi kematangan mental dan fisik seseorang, (Depkes

RI, 2012). Berdasarkan ilmu kesehatan, umur ideal yang matang secara biologis dan

psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita, kemudian umur 25-30 tahun bagi pria.

Usia tersebut dianggap masa yang paling baik untuk berumah tangga, karena sudah

matang dan bisa berpikir dewasa secara rata-rata, (BKKBN, 2017). Hubungan

kejadian stunting pada balita dengan usia ibu dapat kita lihat pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 94: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

94

Tabel 4.13 Tabulasi Silang Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24–59 Bulan

Usia ibu

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

N % n % N %

<25 tahun atau >35 tahun 9 21.4 33 78.6 42 100.0

0,077 25-35 tahun 19 41.3 27 58.7 46 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada table 4.13 menunjukkan bahwa dari 42 orang ibu yang berusia <25 tahun

atau >35 tahun terdapat 9 orang (21,4%) balita yang mengalami stunting dan 33

orang (78,6%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari 46 ibu yang berusia 25 -35

tahun terdapat 19 orang (41,3%) balita yang mengalami stunting dan 27 orang (58,7%)

balita yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan usia ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0,077).

4.3.9 Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetic, dan

merupakan factor yang dapat diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian

stunting. Anak dengan orang tua yang pendek baik salah satu maupun keduanya,

memiliki resiko yang lebih besar untuk tumbuh pendek dibandingkan dengan anak

dengan orang tua yang tinggi badannya normal (Supriasa IDN, 2016). Hubungan

antara kejadian stunting pada balita dengan tinggi badan ibu dapat kita lihat pada

tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 95: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

95

Tabel 4.14 Tabulasi Silang Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Tinggi Badan Ibu

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Pendek <150 cm 4 26.7 11 73.3 15 100.0

0.868 Normal ≥150 cm 24 32.9 49 67.1 73 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.14 menunjukkan bahwa dari 15 orang ibu dengan tinggi badan

pendek <150 cm terdapat 4 orang (26,7%) balita yang mengalami stunting dan 11

orang (73,3%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari 73 orang ibu dengan tinggi

badan normal ≥150 cm terdapat 24 orang (31,8%) balita yang mengalami stunting

dan 49 orang (58,9%) balita yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita

usia 24-59 bulan (p= 0,868).

4.3.10 HubunganTingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita

Usia 24 – 59 Bulan

Pendidikan merupakan salah satu sumber terpenting bagi wanita agar dapat

meningkatkan kemampuannya dalam memelihara anak-anaknya. Pengetahuan gizi

ibu dapat menjadi penentu status gizi anak-anak maupun ibu itu sendiri. Hubungan

antara kejadian stunting pada balita dengan tingkat pendidikan ibu dapat kita lihat

pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 96: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

96

Tabel 4.15 Tabulasi Silang Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Pendidikan ibu

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % N % n %

Tidak Sekolah/Tamat

SD/SMP

Tamat SLTA/PT

0

28

0.0

32.2

1

59

100.0

67.8

1

87

100.0

100.0

1.000

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa terdapat 1 orang ibu balita (100%) yang

tingkat pendidikannya tidak sekolah/tamat SD/SMP terdapat 1 orang balita (100%)

yang tidak mengalami stunting. Sedangkan dari 87 orang ibu balita yang memiliki

tingkat pendidikan tamat SLTA/PT terdapat 28 orang (32,2%) yang mengalami

stunting dan 59 orang (68.2%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian

stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=1,000).

4.3.11 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Ibu yang bekerja dapat mempengaruhi pendapatan keluarga, dan pendapatan

keluarga yang memadai dapat menunjang tumbuh kembang anak , karena orangtua

dapat memenuhi kebutuhan primer dan sekunder anak. Secara umum pekerjaan ibu

yakni responden dalam penelitian ini adalah bertani. Hubungan antara pekerjaan ibu

dengan kejadian stunting pada balita dapat kita lihat pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 97: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

97

Tabel 4.16 Tabulasi Silang Hubungan Pekerjaan Ibu denganKejadian

Stunting pada Balita Usia 24–59 Bulan

Pekerjaan ibu

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Tidak bekerja/tidak

memiliki penghasilan

tetap

25 32.9 51 67.1 76 100.0

0.832 Memiliki penghasilan

tetap 3 25.0 9 75.0 12 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.16 menunjukkan bahwa dari 76 orang ibu yang tidak

bekerja/tidak memiliki penghasilan tetap terdapat 25 orang (32,9%) balita yang

mengalami stunting dan 51 orang (67,1%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari

12 orang ibu yang bekerja/ memiliki penghasilan tetap terdapat 3 orang (25,0%)

balita yang mengalami stunting dan 9 orang (75,0%) balita yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan pekerjaan ibu dengan

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0,832).

4.3.12 Hubungan Tinggi Badan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita

Usia 24 – 59 Bulan

Secara umum tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting. Hubungan antara kejadian stunting pada

balita dengan tinggi badan ayah di Kecamatan Muara dapat kita lihat pada tabel

berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 98: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

98

Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Tinggi Badan Ayah dengan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Tinggi Badan Ayah

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Pendek <160 cm 6 26.1 17 73.9 23 100.0

0.670 Normal ≥160 cm 22 33.8 43 66.2 65 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.17 menunjukkan bahwa dari 23 orang ayah balita yang memiliki

tinggi badan pendek ≥160 cm terdapat 6 orang (26,1%) balita yang mengalami

stunting dan 17 orang (73,9%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari 65 orang

ayah balita yang memiliki tinggi badan normal <160 cm terdapat 222 orang (33.8%)

balita yang mengalami stunting dan 43 orang (66.2%) balita yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan tinggi badan ayah

dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0.670).

4.3.13 Hubungan Tingkat Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24 – 59 Bulan

Di Indonesia tingkat pendidikan ayah yang tinggi mempengaruhi proses

pengambilan keputusan dalam keluarga dan berkaitan dengan pola asuh anak dalam

keluarga, dan pendidikan yang tinggi membuat ayah mempunyai peluang lebih besar

memperoleh pekerjaan yang lebih baik.. Hubungan antara kejadian stunting pada

balita dengan tingkat pendidikan ayah dapat kita lihat pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 99: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

99

Tabel 4.18 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pendidikan Ayah

dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Pendidikan ayah

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Tidak Sekolah/Tamat

SD/SMP

Tamat SLTA/PT

1

27

100.0

31.0

0

60

0.0

69.0

1

87

100.0

100.0

0.695

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.18 menunjukkan bahwa terdapat 1 orang ayah balita (100%)

yang tingkat pendidikannya tidak sekolah/tamat SD/SMP terdapat yang memiliki

balita stunting. Sedangkan dari 87 orang ibu balita yang memiliki tingkat pendidikan

tamat SLTA/PT terdapat 27 orang (31,0%) yang mengalami stunting dan 60 orang

(69,0%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan tingkat pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada balita usia

24-59 bulan (p=0,695).

4.3.14 Hubungan Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Pekerjaan yang lebih baik dapat meningkatkan pendapatan ayah dan dengan

demikian ayah dapat memenuhi kebutuhan keluarga baik kebutuhan akan pangan dan

kesehatan maupun kebutuhan lainnya, sehingga dapat meningkatkan derajat

kesehatan keluarga. Hubungan antara kejadian stunting pada balita dengan pekerjaan

ayah dapat kita lihat pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 100: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

100

Tabel 4.19 Tabulasi Silang Hubungan Pekerjaan Ayah dengan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Pekerjaan Ayah

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

Tidak bekerja/tidak

memiliki penghasilan tetap 26 31.3 57 68.7 83 100.0

1.000 Memiliki penghasilan tetap 2 40.0 3 60.0 5 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.19 menunjukkan bahwa dari 83 orang ayah balita yang tidak

bekerja /tidak memiliki penghasilan tetap terdapat 26 orang (31.3%) balita yang

mengalami stunting dan 57 orang (68.7%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari

5 orang ayah balita yang bekerja/memiliki penghasilan tetap terdapat 2 orang (40%)

balita yang mengalami stunting dan 3 orang (60%) balita yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan pekerjaan ayah

dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 1,000).

4.3.15 Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24 – 59 Bulan

Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

status ekonomi. Jika dalam suatu rumah tangga, pendapatan yang didapatkan minimal

atau kurang dari normal maka dapat menyebabkan terhambatnya pemenuhan

kebutuhan primer terutama kebutuhan akan pangan yang baik (Repi, 2013) UMR

(Upah Minimum Rate) Kabupaten Tapanuli Utara merupakan UMR terendah dari

seluruh kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Secara umum jumlah

penghasilan keluarga dibawah Upah Minimum Rate Kabupaten Tapanuli Utara yakni

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 101: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

101

sebesar Rp.1.673.000. Hubungan antara kejadian stunting pada balita dengan jumlah

penghasilan keluarga dapat kita lihat pada tabel berikut

Tabel 4.20 Tabulasi Silang Hubungan Penghasilan Keluarga dengan

Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Penghasilan keluarga

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

<Rp.1.673.000 27 40.9 39 59.1 66 100.0

0.428 ≥Rp.1.673.000 9 40.9 13 59.1 22 100.0

Total 36 40.9 52 59.1 88 100.0

Pada tabel 4.20 menunjukkan bahwa dari 66 orang ayah balita dengan

penghasilan keluarga <Rp.1.673.000 terdapat 37 orang (40,9%) balita yang

mengalami stunting dan 39 orang (59,1%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari

22 orang ayah balita dengan penghasilan keluarga <Rp.1.673.000 terdapat 9 orang

(40,9%) balita yang mengalami stunting dan 13 orang (59,1%) balita yang tidak

stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

penghasilan keluarga dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=

0.428).

4.3.16 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24 – 59 Bulan

Semakin besar jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak bahan

pangan yang dibutuhkan oleh keluarga. Hubungan antara kejadian stunting pada

balita dengan jumlah anggota keluarga dapat kita lihat pada tabel berikut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 102: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

102

Tabel 4.21 Tabulasi Silang Hubungan Jumlah Anggota Keluarga

dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Jumlah Anggota

Keluarga

Kejadian Stunting pada

Balita Usia 24-59 Bulan Total

p

Stunting

Tidak

Stunting

n % n % n %

>4 orang 16 33.3 32 66.7 48 100.0

0.917 ≤4 orang 12 30.0 28 70.0 40 100.0

Total 28 31.8 60 68.2 88 100.0

Pada tabel 4.21 menunjukkan bahwa dari 48 orang jumlah anggota

keluarga >4 orang terdapat 16 orang (33.3%) balita mengalami stunting dan 32 orang

(66.7%) balita tidak stunting. Sedangkan dari 40 orang jumlah anggota keluarga ≤4

orang terdapat 12 orang (30.0%) balita mengalami stunting dan 28 orang (70.0%)

balita tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan penghasilan keluarga dengan kejadian stunting pada balita (p= 0,917).

4.4 Hasil Analisis Multivariat

Analisis multivariat dapat digunakan untuk mengetahui variable independen

yakni karakteristik balita dan karakteristik rumah tangga yang dianggap paling

dominan terhadap variable dependen yakni kejadian stunting pada balita usia 24-59

bulan. Analisis Multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda

digunakan dalam penelitian ini untuk melihat faktor yang paling berhubungan

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Muara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 103: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

103

4.4.1 Seleksi Variabel Untuk Uji Regresi Logistik

Variabel yang dimasukan dalam uji regresi logistik adalah variabel yang

mempunyai nilai p<0,25 yang diseleksi dengan melihat p value pada bagian block

hasil omnibus test. dimana hasil seleksi variabel dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.22 Hasil Seleksi Variabel Yang Dapat Masuk Dalam Model

Regresi Logistik Ganda

Variabel p value Nilai

Ketetapan

Pemodelan

Usia Balita 0,246 p<0,25 Masuk pemodelan

Jenis Kelamin 0,331 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Berat Badan Lahir 0,380 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Panjang Badan Lahir 0,380 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Asi Eksklusif 0,813 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Riwayat Penyakit <0,001 p<0,25 Masuk pemodelan

Pola Konsumsi <0,001 p<0,25 Masuk pemodelan

Usia Ibu 0,044 p<0,25 Masuk pemodelan

Tinggi Badan Ibu 0,634 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Pendidikan ibu 0,380 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Pekerjaan Ibu 0,578 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Tinggi Badan Ayah 0,487 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Pendidikan ayah 0,268 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Pekerjaan Ayah 0,691 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Penghasilan Keluarga 0,297 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Jumlah Anggota Keluarga 0,738 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan

Pada tabel 4.22 menujukkan bahwa variabel umur balita, riwayat penyakit,

pola konsumsi dan usia ibu merupakan faktor-faktor yang memiliki nilai p<0,25

sehingga faktor-faktor tersebut dapat masuk dalam model regresi logistik ganda,

sedangkan variable faktor-faktor lainnya dalam karakteristik balita yakni berat badan

lahir, panjang badan lahir, ASI eksklusif, serta faktor lainnya dalam karakteristik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 104: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

104

keluarga selain usia ibu memiliki nilai p>0,25 yang berarti tidak masuk dalam

pemodelan regresi logistik ganda.

4.4.2 Model Regresi Logistik terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia

24 – 59 Bulan

Langkah awal yang dilakukan untuk analisis multivariat dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut

Tabel 4.23 Model Regresi Logistik Tahap Pertama Terhadap Kejadian

Stunting Pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Variabel B Sig. OR 95% C.I

Lower Upper

Umur balita -1.127 0.130 0.324 0.075 1.391

Riwayat penyakit 2.040 0.002 7.687 2.076 28.459

Asupan pangan 2.589 0.000 13.319 3.475 51.048

Usia ibu -1.140 0.083 0.320 0.088 1.161

Constan -0.698 0.407 0.497

Pada tabel 4.23 menunjukkan bahwa variabel riwayat penyakit, pola

konsumsi memiliki nilai p<0,05 sedangkan umur balita dan usia ibu memiliki nilai

p>0,05 sehingga variabel tersebut dikeluarkan secara bertahap dimulai nilai p paling

besar dari pemodelan seperti berikut tabel ini.

Tabel 4.24 Model Regresi Logistik Tahap Kedua terhadap Kejadian

Stunting Pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Variabel B Sig. OR 95% C.I

Lower Upper

Riwayat penyakit 2.090 0.001 8.087 2.245 29.136

Pola Konsumsi 2.396 0.000 10.982 3.089 39.043

Usia ibu -1.098 0.090 0.334 0.094 1.188

Constan -1.433 0.039 0.239

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 105: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

105

Pada tabel 4.24 menunjukkan bahwa variabel riwayat penyakit, pola

konsumsi memiliki nilai p<0,05 sedangkan usia ibu memiliki nilai p>0,05 sehingga

variabel tersebut dikeluarkan dari pemodelan seperti berikut tabel ini

Tabel 4.25 Model Regresi Logistik Tahap Ketiga terhadap Kejadian

Stunting Pada Balita Usia 24 – 59 Bulan

Variabel B Sig. OR 95% C.I

Lower Upper

Riwayat penyakit 2.166 0.001 8.723 2.526 30.119

Pola Konsumsi 2.245 0.000 9.444 2.860 31.186

Constan -1.989 0.001 0.137

Pada tabel 4.25 menunjukkan bahwa variabel riwayat penyakit, pola

konsumsi memiliki nilai p<0,05. Dari hasil analisis multivariat ini maka variabel

yang dominan berpengaruh terhadap stunting pada balita usia 24-59 bulan adalah pola

konsumsi (p= <0,001;OR= 9,4 95%CI 2,860-31,186) artinya bahwa balita yang

pola konsumsinya kurang baik memiliki peluang berisiko 9,4 kali lebih besar

mengalami stunting dibanding dengan balita yang pola konsumsinya baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 106: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

106

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan

Tinggi badan dalam keadaan normal akan bertambah seiring dengan

bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti pertambahan berat

badan, pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah

kekurangan gizi yang terjadi dalam kurun waktu yang pendek. Pengaruh kekurangan

zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang relatif lama sehingga

indeks ini dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi pada masa lalu

(Supariasa, 2016).

Stunting merupakan penggambaran dari status gizi kurang yang bersifat

kronik pada seseorang yang terjadi pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak

awal kehidupan (Ni’imah K, 2012). Stunting juga merupakan suatu keadaan sebagai

akibat dari interaksi makanan dan kesehatan yang diukur secara antropometri dengan

menggunakan indikator panjang badan menurut umur pada ambang batas <-2 SD jika

dibandingkan dengan standar WHO – Anthro. Seorang anak dikatakan berstatus gizi

pendek (stunting) apabila pada indeks antropometri berdasarkan indikator TB/U

berada pada ambang batas <-2 SD baku rujukan WHO – Anthro. Anak yang gizi

kurang (stunting) berat mempunyai rata-rata IQ 11 poin lebih rendah jika

dibandingkan dengan rata-rata anak yang tidak mengalamai gangguan gizi atau

stunting (WHO, 2010)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 107: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

107

Indonesia merupakan negara yang memiliki prevalensi stunting yang masih

sangat tinggi. Salah satu fokus utama dari empat sektor lainnya untuk mencapai

Indonesia sehat tahun 2015–2019 dengan sasaran pendekatan keluarga adalah

menurunkan prevalensi balita stunting.

Hasil penelitian ini ditemukan prevalensi balita usia 24 – 59 bulan di

Kecamatan Muara yang mengalami stunting sebesar 28 orang balita (31,8%). Angka

ini lebih rendah dari angka stunting hasil riskesdas 2013 yakni sebesar 37,2 persen.

Namun angka tersebut lebih tinggi dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun

2015, yang menyatakan bahwa sebesar 29% balita di Indonesia termasuk kategori

pendek. Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan

masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih, oleh karena itu persentase balita

pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus

segera ditanggulangi.

5.2 Hubungan Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Stunting

5.2.1 Usia Balita

Anak yang mengalami severe stunting di dua tahun pertama kehidupannya

memiliki hubungan sangat kuat terhadap keterlambatan kognitif di masa kanak-kanak

nantinya dan berdampak jangka panjang terhadap mutu sumber daya (Brinkman et al.

2010; Martorell et al. 2010). Hasil analisis bivariat setelah dilakukan tabulasi silang

dan uji statistik chi- square antara usia balita dengan kejadian stunting pada balita

menunjukkan bahwa dari 26 orang umur balita 24-36 bulan terdapat 6 orang (23.1%)

stunting dan 20 orang (76.9%) yang tidak stunting. Sedangkan dari 62 orang umur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 108: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

108

balita 37-59 bulan terdapat 22 orang (35.5%) yang mengalami stunting dan 40 orang

(64.5%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan umur balita dengam kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan

(p=0,374).

Hasil tersebut sejalan dengan hasil pada penelitian Hanum et.al (2014) dan

Martorell et al (2010) yang menyatakan bahwa anak stunting lebih banyak berumur

48-59 bulan (29.8%) sedangkan anak normal lebih banyak berumur 6-11 bulan

(37.2%). Hal ini mengindikasikan bahwa bertambahnya umur anak, maka akan

semakin jauh dari pertumbuhan linier normal. Kondisi ini diduga disebabkan oleh

semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi juga semakin meningkat.

Pertumbuhan anak semakin menyimpang dari normal dengan bertambahnya umur

jika penyediaan makanan (kuantitas dan kualitas) tidak memadai.

5.2.2 Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil analisis bivariat setelah dilakukan tabulasi silang dan uji

statistik chi- square antara usia balita dengan kejadian stunting pada balita

menunjukkan bahwa dari 50 orang balita yang berjenis kelamin laki-laki terdapat 18

orang (36,0%) yang mengalami stunting dan 32 orang (64,0%) yang tidak stunting.

Sedangkan dari 38 orang balita yang berjenis kelamin perempuan terdapat 10 orang

(28.3%) yang mengalami stunting dan 28 orang (73.7%) yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh jenis kelamin balita

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=0,462). Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Devi Mazarina (2010) yang menyatakan bahwa dari hasil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 109: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

109

uji chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara jenis kelamin

dengan status gizi.

5.2.3 Berat Badan Lahir

Berat badan lahir rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat badan lahir

kurang dari 2.500 gram. Bayi dengan BBLR akan meningkatkan risiko kesakitan dan

kematian. Hal ini disebabkan karena bayi rentan terhadap serangan infeksi. Bayi

BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari

2.500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Berat badan lahir pada

umumnya sangat erat kaitannya dengan kematian janin, neonatal, dan postneonatal,

morbiditas bayi dan anak seta pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang. Maka

dari itu bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan

intrauteri dan dampak dari bayi yang memiliki BBLR akan terus berlangsung dari

generasi ke generasi dimana anak dengan BBLR akan memiliki ukuran antropometri

yang kurang pada perkembangannya (Rahmad, 2013; Menezes, 2012).

Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa dari data

berat badan lahir <2500 gr terdapat 1 orang balita (100%) yang tidak mengalami

stunting. Sedangkan dari 87 orang balita yang memiliki berat badan lahir ≥2500 gr

terdapat 28 orang (32,2%) yang mengalami stunting dan 59 orang (87,8%) yang tidak

stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh berat

badan lahir terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=1,000). Hal ini

disebabkan karena hanya terdapat 1 orang sampel balita yang BBLR, walaupun balita

tersebut stunting namun dari hasil uji statistik tidak menunjukkan tidak adanya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 110: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

110

hubungan yang bermakna antara berat badan lahir balita dengan kejadian stunting.

Hal ini dapat terjadi bila dapat tumbuh kejar (catch up grow)

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Marfina (2013) di Kota Banda Aceh

yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 artinya

tidak ada pengaruh kejadian BBLR terhadap kejadian stunting. BBLR bukan

merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada anak dengan nilai OR=1,37. Pada

penelitian ini ditemukan sebanyak 89,5% anak yang mengalami stunting dengan

riwayat berat badan lahir normal.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Anugraheni dan Martha

(2012) yang menemukan bahwa BBLR bukan merupakan faktor resiko kejadian

stunting pada anak usia 12-36 bulan dikecamatan Pati Kabupaten Pati. Begitu juga

dengan hasil penelitian Hutasoit (2012) yang menyatakan bahwa berat badan lahir

bukanlah merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada anak sekolah dasar di

kabupaten Tapanuli Utara.

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardani (2015)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian pendek

pada balita (<0,001). Anak dengan BBLR yang diiringi dengan konsumsi makanan

yang tidak adekuat, pelayanan kesehatan yang tidak layak, dan sering terjadi infeksi

pada masa pertumbuhan akan terus mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan

akan menghasilkan anak yang pendek (Mardani, 2015).

Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan hasil penelitian Atikah Rahayu,

et al (2016) Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara status status

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 111: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

111

BBLR dengan kejadian pendek pada anak usia 6-24 (p=0,030). Anak dengan berat

badan lahir yang rendah memiliki risiko 6,1 kali untuk mengalami kejadian pendek

dibadingkan anak dengan berat badan lahir yang normal hal ini menunjukkan bahwa

berat lahir rendah memiliki efek yang besar terhadap kejadian pendek.

Fitri (2012) juga menemukan hasil yang berbeda dengan penelitian ini.

Penelitiannya menyatakan bahwa berat badan lahir rendah berhubungan secara

signifikan dengan stunting pada balita (p<0,05). Balita yang mempunyai berat badan

lahir rendah beresiko menjadi stunting 1,7 kali dibanding balita yang mempunyai

berat badan lahir normal. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan hasil

penelitian Oktarina Zilda & Trini Sudiarti (2013) yang menunjukkan bahwa kejadian

stunting pada balita memiliki hubungan dengan berat lahir Pada penelitian tersebut

ditemukan hubungan antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita. Balita

yang memiliki berat lahir kurang mempunyai risiko 1.31 kali mengalami stunting

dibandingkan dengan balita berat lahir normal.

5.2.4 Panjang Badan Lahir

Menurut Kemenkes (2011) panjang lahir normal pada bayi baru lahir

yakni >46,1 cm untuk laki laki dan >45, 4 untuk perempuan. Pada penelitian

Nugroho (2016). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa

terdapat 1 orang balita (100%) perempuan dengan panjang badan lahir ≤46,1 cm laki-

laki dengan panjang badan lahir ≤45,4 cm dan balita tersebut tidak mengalami

stunting. Sedangkan dari 87 orang balita yang memiliki panjang badan lahir >46,1 cm

pada laki-laki dan >45,4 cm pada perempuan terdapat 28 orang (32,2%) yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 112: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

112

mengalami stunting dan 59 orang (68.2%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh panjang badan lahir terhadap kejadian

stunting pada balita usia 24-59 bulan (p=1,000). Hal ini sejalan dengan penelitian

Rahayu (2011) di Tangerang yang menyatakan bahwa panjang badan lahir

merupakan factor resiko stunting yang masih dapat diatasi. Anak balita dengan

panjang badan lahir pendek akan tetap stunting sampai usia 6-12 bulan, namun dapat

mencapai tinggi badan normal pada usia 3-4 tahun.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Martha (2012) yang

menemukan bahwa berat badan lahir rendah bukan merupakan faktor resiko kejadian

stunting pada anak usia 12-36 bulan dikecamatan Pati Kabupaten Pati. Begitu juga

dengan hasil penelitian Hutasoit (2012) yang menyatakan bahwa berat badan lahir

bukanlah merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada anak sekolah dasar di

kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian Rahayu (2011) di Tangerang juga

menyatakan bahwa panjang badan lahir merupakan factor resiko stunting yang masih

dapat diatasi, anak yang lahir dengan panjang lahir pendek akan tetap stunting hingga

usia 5-12 bulan, namun dapat mencapai tinggi badan normal pada usia 3-4 tahun.

Sementara itu hasil penelitian Anugraheni H.S ( 2012) di Pati menyatakan

bahwa panjang badan lahir merupakan factor resiko kejadian stunting pada anak usia

12-36 bulan. Faktor asupan pangan dan penyakit memiliki peran penting dalam

menentukan apakah anak yang lahir dengan panjang lahir rendah akan tetap stunting

selama masa hidupnya atau dapat berhasil mencapai catch up grow atau tumbuh kejar

yang optimal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 113: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

113

5.2.5 ASI Eksklusif

ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi tanpa makanan dan

minuman lain kepada bayi seperti air tajin, air gula, madu, dan sebagainya sejak lahir,

kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan sangat

penting untuk pertumbuhan serta status gizi anak. ASI mengandung zat gizi paling

sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan, ASI juga mengandung zat kekebalan

tubuh yang sangat berguna bagi kesehatan bayi dan kehidupan bayi selanjutnya. Bayi

yang berusia 6 bulan pertama, seharusnya hanya diberikan ASI (Air Susu Ibu) atau

dikenal dengan sebutan ASI eksklusif. ASI diberikan secara eksklusif pada 6 bulan

pertama, kemudian dianjurkan tetap diberikan setelah 6 bulan berdampingan dengan

makanan tambahan lainnya hingga umur 2 tahun atau lebih. Bayi yang berusia lebih

dari 6 bulan seharusnya sudah menerima MP ASI untuk memenuhi kebutuhan

gizinya, sehingga apabila tidak diberi MP ASI dapat menyebabkan anak kehilangan

kesempatan untuk melatih kemampuan menerima makanan lain yang menyebabkan

growth faltering (gagal tumbuh) (Vaktskjold, 2010).

Hasil penelitian ini ditemuukan bahwa dari 55 orang balita yang tidak diberi

ASI Eksklusif terdapat 17 orang (30,9%) yang mengalami stunting dan 38 orang

(69,1%) yang tidak stunting. Sedangkan dari 33 orang balita yang diberi ASI

Eksklusif terdapat 11 orang (33,3%) yang mengalami stunting dan 22 orang (66,7%)

yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat

pengaruh ASI Eksklusif terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan

(p=1.000). Hal tersebut dapat terjadi walaupun balita tersebut tidak diberikan ASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 114: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

114

eksklusif namun masih tetap memperoleh ASI hingga umur 2 tahun disamping balita

tersebut juga memiliki pola makan yang cukup baik.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Atikah Rahayu (2016) yang

menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status pemberian ASI eksklusif

dengan kejadian pendek pada anak usia 6-24 bulan (p=0,453). Penelitian ini juga

sejalan dengan yang dilakukan Mardani et al (2015) bahwa tidak terdapat hubungan

antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian pendek pada anak bulan (0,45)

(Mardani, 2015). ASI eksklusif tidak menjadi faktor risiko pada penelitian ini juga

dimungkinkan karena ASI eksklusif berpengaruh pada usia tertentu, yaitu 0-6 bulan.

Keluarga yang memberikan pola asuh baik terutama terhadap kebutuhan zat gizi,

maka akan mempengaruhi status gizi anak. Pemberian MP-ASI yang tepat pada anak

usia akan menurunkan risiko malnutrisi, karena pada usia tersebut kebutuhan zat gizi

anak tidak dapat tercukupi hanya dari ASI saja. Perlu juga diperhatikan, bahwa

pemberian ASI saja yang sudah terlalu lama atau lebih dari 6 bulan juga kurang baik

bagi bayi, karena ASI saja tidak dapat lagi mencukupi seluruh kebutuhan zat gizi bayi

yang sudah berusia lebih dar 6 bulan.

Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil analisis pada penelitian

Marfina (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian ASI

Eksklusif terhadap kejadian stunting diperoleh bahwa ada sebanyak 21 orang (55,3%)

anak tidak mendapatkan ASI Eksklusif menderita stunting, sedangkan yang tidak

stunting sebanyak sebanyak 10 orang (26,3%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p <

0,05 menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 115: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

115

stunting. Nilai OR = 3,459 ( CI 95% ; 1,31 – 9,07 ) artinya anak yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif beresiko 3,4 kali lebih besar mengalami stunting

dibanding anak yang mendapatkan ASI Eksklusif.

5.2.6 Riwayat Penyakit

Anak-anak merupakan subjek yang rentan terhadap penyakit infeksi karena

secara alami kekebalan anak tergolong rendah. Kematian dan kesakitan pada anak-

anak umumnya dikaitkan dengan sumber air minum yang tercemar dan sanitasi yang

tidak memadai. Beberapa penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kualitas

sumber air minum memiliki hubungan positif dengan pengurangan kejadian diare dan

kematian pada anak (Adewara et al. 2011). Penyakit infeksi dapat juga terjadi karena

rendahnya daya tahan tubuh, hal ini dapat saja disebabkan karena status imunisasi

yang tidak lengkap.

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa dari 25 orang balita sampel yang

memiliki riwayat penyakit sering sakit terdapat 18 orang (72,0%) yang mengalami

stunting dan 7 orang (28,0%) yang tidak stunting. Sedangkan dari 60 orang balita

yang memiliki riwayat penyakit jarang sakit terdapat 10 orang (31,8%) yang

mengalami stunting dan 53 orang (84,1%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh riwayat penyakit terhadap kejadian stunting

pada balita usia 24-59 bulan (p= <0,001).

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Priyogo et al (2015) di Puskesmas

Randu Agung yang menyatakan bahwa sebagian besar anak balita dengan status gizi

stunting memiliki penyakit infeksi, yaitu sebanyak 43 anak balita (93,48). Hasil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 116: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

116

analisis bivariat antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting diperoleh nilai p =

0,009 (p < a), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada anak balita usia 12-36 bulan di

wilayah kerja Puskesmas Randuagung.

Suiraoka (2011) juga menyatakan bahwa kaitannya infeksi terhadap

penyakit dapat memperburuk keadaan gizi. Keadaan gizi yang kurang baik dapat

mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi yang mengakibatkan terjadinya

penurunan nafsu makan, penyerapan pada saluran pencernaan terganggu atau

peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizinya

tidak terpenuhi dan mengakibatkan malnutrisi.

Hasil tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Marfina

(2013) di Banda Aceh yang menyatakan bahwa hasil analisis pengaruh penyakit

infeksi terhadap kejadian stunting diperoleh bahwa ada sebanyak 27 orang (71,1%)

anak pernah menderita penyakit infeksi selama satu tahun terakhir mengalami

stunting, sedangkan yang tidak stunting sebanyak 26 orang (64,8%). Hasil uji statistik

diperoleh nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penyakit infeksi

terhadap kejadian stunting. Nilai OR = 1,133 ( CI 95% ; 0,425 – 3,017 ) artinya

penyakit infeksi bukan merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada anak.

5.2.7 Pola Konsumsi

Stunting dapat terjadi akibat kekurangan zat gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas dalam waktu cukup

lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Dari hasil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 117: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

117

penelitian ini ditemukan bahwa bahwa dari 29 orang balita dengan pola konsumsi

kurang baik terdapat 20 orang (69,0%) yang mengalami stunting dan 9 orang (31,0%)

yang tidak stunting. Sedangkan dari 59 orang balita dengan pola konsumsi yang baik

terdapat 8 orang (13,6%) yang mengalami stunting dan 51 orang (66,4%) yang tidak

stunting. Secara umum, hamper seluruh balita makan 3 kali sehari, namun hidangan

yang disajikan di pagi hari dikonsumsi hingga malam hari.

Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan pola konsumsi

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= <0,001). Hal ini karena

walaupun orang tua balita tidak memiliki pekerjaan tetap serta tidak memiki

penghasilan keluarga di atas UMR Kabupaten Tapanuli Utara, namun ketersediaan

pangan yang ada di lingkungan sekitar dapt dimanfaatkan untuk mendukung

pertumbuhan balita.

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Oktarina Zilda dan Trini Sudiarti

(2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat asupan energi

dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang memiliki asupan energi rendah

mempunyai risiko 1.28 kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang

memiliki tingkat asupan energi yang cukup baik.

Sementara itu hasil penelitian Marfina (2013) menunjukkan bahwa

berdasarkan hasil analisis pola asuh makan terhadap kejadian stunting diperoleh

bahwa ada sebanyak 20 orang (52,6%) anak dengan pola asuh makan kurang baik

mengalami stunting, sedangkan yang tidak stunting sebanyak 21 orang (55,3%). Hasil

uji statistik diperoleh nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pola

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 118: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

118

asuh makan terhadap kejadian stunting. Nilai OR = 0,899 ( CI 95% ; 0,365 – 2,218 )

57 artinya pola asuh makan bukan merupakan faktor resiko terjadinya stunting pada

anak.

5.3 Hubungan Karakteristik Keluarga terhadap Kejadian Stunting

Faktor-faktor karakteristik keluarga yang di duga berhubungan dengan

tingginya angka kejadian stunting di kecamatan Muara yang menjadi variabel

independent dalam penelitian ini yakni usia ibu, tinggi badan ibu, pendidikan ibu,

pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, penghasilan

keluarga serta jumlah anggota keluarga.

5.3.1 Usia Ibu

Organ reproduksi wanita yang kurang dari 20 tahun belum siap untuk

menerima kehamilan dan melahirkan. Stres pada masa kehamilan dapat memengaruhi

bayi melalui perubahan fisik yang terjadi seperti peningkatan detak jantung dan

peningkatan hormon adrenalin. Ibu hamil yang mengalami stres tinggi dapat

meningkatkan risiko melahirkan prematur. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun

tergolong berisiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan karena pada usia ini

berbagai penyakit dan komplikasi kehamilan serta komplikasi persalinan akan

meningkat (Asiyah et al. 2010).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari 42 orang ibu yang berusia

<21 tahun atau >35 tahun terdapat 9 orang (21,4%) balita yang mengalami stunting

dan 33 orang (78,6%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari 46 orang ibu yang

berusia 21 -35 tahun terdapat 19 orang (41,3%) balita yang mengalami stunting dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 119: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

119

27 orang (58,7%) balita yang tidak stunting.. Dari hasil uji statistik menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh usia ibu terhadap kejadian stunting pada balita usia

24-59 bulan (p= 0,077). Usia ibu bukan merupakan faktor resiko terjadinya stunting

karena bertambahnya usia tidak memiliki korelasi dengan meningkatnya pengetahuan

tentang kesehatan.

Hasil penelitian ini didukung oleh Fitri Handayani (2013) dengan

memanfaatkan data Riskesdas 2013 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara usia ibu dengan kejadian stunting pada balita di Propinsi

Sumatera Utara. Sedangkan Ole Tankoi EO, et al (2016) menyatakan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan kejadian stunting pada balita usia

6-59 bulan di Trans-Mara Kenya.

5.3.2 Tinggi Badan Ibu

Supriasa IDN (2016) menyatakan bahwa tinggi badan merupakan salah satu

bentuk dari ekspresi genetic, dan merupakan factor yang dapat diturunkan kepada

anak serta berkaitan dengan kejadian stunting. Anak dengan orang tua yang pendek

baik salah satu maupun keduanya, memiliki resiko yang lebih besar untuk tumbuh

pendek dibandingkan dengan anak dengan orang tua yang tinggi badannya normal.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari 15 orang ibu dengan tinggi

badan pendek <150 cm terdapat 4 orang (26,7%) balita yang mengalami stunting dan

11 orang (73,3%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari 73 orang ibu dengan

tinggi badan normal ≥150 cm terdapat 24 orang (31,8%) balita yang mengalami

stunting dan 49 orang (58,9%) balita yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 120: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

120

menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh tinggi badan ibu terhadap kejadian

stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0,868). Ibu dengan TB < 150 cm dapat

memiliki balita yang tidak stunting apabila di dukung oleh pemberian makanan yang

bergizi baik. Hal ini di duga karena ibu pendek akibat patologis atau kekurangan zat

gizi bukan karena kelainan gen dalam kromosom. Hal ini di dukung oleh penelitian

Hanum (2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05,

r=0.562) antara tinggi badan ibu dengan status gizi (TB/U) anak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rr Dewi Ngatiyah (2016)

yang menyatakan bahwa bahwa ibu yang pendek kecenderungan memiliki balita

stunting sebanyak 19 balita (59,4%). Proporsi tersebut lebih besar bila dibandingkan

dengan ibu pendek yang memiliki anak normal sebanyak 13 balita (40,6 %).

Selanjutnya setelah dilaksanakan Uji Chi Square pada α = 0,05 diperoleh p-value

sebesar 0,195. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tinggi

badan ibu dengan kejadian stunting pada balita. Hasil penelitian ini juga sejalan

dengan penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013) bahwa tinggi badan ibu tidak

berhubungan dengan tinggi badan balita.

.Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Marfina (2013) yang

menyatakan bahwa ditemukan hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian

stunting pada balita. Ibu yang memiliki tinggi badan pendek mempunyai risiko 1.36

kali memiliki balita stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan

normal. Hal ini di dukung oleh penelitian di Cina yang menunjukkan adanya

hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting. Tinggi badan ibu <155

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 121: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

121

cm lebih berisiko memiliki anak stunting (Yang et al. 2010).Hasil ini juga tidak

sejalan dengan hasil penelitian Rr Dewi Ngaisyah, et al (2016) yang menyatakan

bahwa masalah intergenerasi terlihat dengan jelas, karena dari kelompok ibu yang

pendek prevalensi balita pendek adalah 59,4%, disbanding pada kelompok ibu yang

normal dijumpai prevalensi balita pendeknya lebih kecil yaitu sebesar 43,6%. Hal ini

menunjukkan prevalensi anak balita pendek cenderung banyak terdapat pada ibu yang

pendek (tinggi kurang dari 150 cm), hal ini senada dengan survei BAPPENAS (2012)

menunjukkan proporsi yang sama yaitu kelompok ibu yang pendek prevalensi balita

pendek adalah 46% dibandingkan pada kelompok ibu yang tinggi yang prevalensi

balita pendek hanya 34,8%.

5.3.3 Pendidikan Ibu

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 1 orang ibu balita (100%)

yang tingkat pendidikannya tidak sekolah/tamat SD/SMP terdapat 1 orang balita

(100%) yang tidak mengalami stunting. Sedangkan dari 87 orang ibu balita yang

memiliki tingkat pendidikan tamat SLTA/PT terdapat 28 orang (32,2%) yang

mengalami stunting dan 59 orang (68.2%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian

stunting pada balita (p=1,000). Walaupun pendidikan ibu tersebut hanya tamat SMP

namun dapat memiliki balita yang tidak stunting, hal ini disebabkan karena didukung

oleh lingkungan sekitar yang baik. Hal ini di dukung dengan penelitian Wahdah

(2012) yang menyatakan bahwa pendidikan kedua orang tua secara statistik tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada anak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 122: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

122

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Atikah Rahayu, et al

(2016) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian

pendek pada anak usia 6-24 bulan (p=0,112). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi

memang akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi

dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari dalam hal

kesehatan dan gizi, khususnya pendidikan wanita. Peningkatan pendidikan juga akan

meningkatkan pengetahuan kesehatan gizi yang selanjutnya akan menimbulkan sikap

dan perilaku positif. Namun, sering kali walaupun orang tua memiliki tingkat

pendidikan tinggi tetapi kemampuan orang tua baik ayah maupun ibu untuk

mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan yang ia peroleh tidak terwujud. Kemampuan

seseorang untuk menyusun hidangan tidak sepenuhnya diturunkan dari orang tua,

tetapi melalui proses belajar dan kebiasaan yang secaa terus menerus dilakukan.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Huriah (2014),

bahwa tidak terdapatnya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian pendek

pada anak. Pengetahuan gizi merupakan kemampuan yang yang dimiliki seseorang

dalam memahami konsep dan prinsip gizi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti latar belakang pendidikan, akses informasi,

kondisi geografis, keadaan sosial ekonomi, dan lain-lain (Huriah, 2014)

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Nadiyah, et al (2014) di

Provinsi Bali yang menyatakan bahwa baik pendidikan ibu maupun pendidikan bapak,

keduanya signifikan berhubungan dengan stunting pada anak (p<0.05). Pendidikan

ibu tampak lebih kuat hubungannya dengan stunting.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 123: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

123

5.3.4 Pekerjaan Ibu

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 76 orang ibu yang tidak

bekerja/tidak memiliki penghasilan tetap terdapat 25 orang (32,9%) balita yang

mengalami stunting dan 51 orang (67,1%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari

12 orang ibu yang bekerja/ memiliki penghasilan tetap terdapat 3 orang (25,0%)

balita yang mengalami stunting dan 9 orang (75,0%) balita yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pekerjaan ibu terhadap

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0,832). Hal ini menunjukkan

bahwa walaupun ibu tidak memiliki pekerjaan/penghasilan tetap (petani) namun hal

tersebut dapat menjadi suatu kondisi yang dapat mendukung ibu agar memiliki waktu

lebih banyak dalam mengasuh balita dan memantau pertumbuhannya serta hal

tersebut juga dapat mempermudah ibu memperoleh bahan pangan bagi keluarga dari

hasil pertanian yang terdapat dilingkungan sekitar. Hsil penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Nebiru Dejire (2014) yang menyatakan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian

stunting yang terjadi pada balita sampel pada keluarga di Shashogo Woreda, Eitophia

Selatan.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Ole Tankoi (2016) di Kenya yang

menyatakan bahwa ibu yang merupakan pengambil keputusan dalam keluarga, dalam

penelitian nya dinyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja memiliki peluang 3,6 kali

memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki ayah dan ibu

pekerja.(OR: 3.56; 95%CI: 1.22-10.39).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 124: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

124

5.3.5 Tinggi Badan Ayah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 23 orang ayah balita yang

memiliki tinggi badan pendek ≥160 cm terdapat 6 orang (26,1%) balita yang

mengalami stunting dan 17 orang (73,9%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari

65 orang ayah balita yang memiliki tinggi badan normal <160 cm terdapat 222 orang

(33.8%) balita yang mengalami stunting dan 43 orang (66.2%) balita yang tidak

stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh tinggi

badan ayah terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0.670).

Hal ini sejalan denan hasil penelitian Rr Dewi Ngatiyah (2016) yang

menyatakan bahwa sebagian besar kelompok ayah pendek memiliki anak yang

stunting yakni sebanyak 17 orang (58,8%). Meskipun tidak terpaut banyak, namun

secara proporsi menunjukkan lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok ayah

pendek yang memilik balita normal, yakni sebanyak 14 orang (45,2%). Selanjutnya

dengan menggunakan uji Chi Square dengan α = 0,05 diperoleh p-value 0,507. Hal

ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tinggi badan ayah dengan

kejadian stunting balita.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Wahdah et.al (2015) yang

menyatakan bahwa tinggi badan orang tua mempunyai hubungan yang signifikan

terhadap kejadian stunting yang ditunjukkan yang ditunjukkan dengan nilai OR

masing-masing 8,3 (ayah) dan 5,6 (ibu). Hal ini berarti bahwa ayah yang tinggi

badannya <-2 SD mempunyai risiko untuk memiliki anak stunting 8,3 kali lebih

tinggi dibandingkandengan ayah yang tinggi badannya ≥-2 SD, sedangkan ibu yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 125: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

125

tinggi badannya <-2 SD berisiko untuk melahirkan anak yang stunting 5,6 kali lebih

besar jika dibandingkan ibu yang memiliki tinggi badan ≥-2 SD. Penelitian

Roudhotun S, et al (2012) juga menjelaskan bahwa tinggi badan orang tua

berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang pendek merupakan salah satu

satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.

5.3.6 Pendidikan Ayah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 1 orang ayah balita

(100%) yang tingkat pendidikannya tidak sekolah/tamat SD/SMP terdapat yang

memiliki balita stunting. Sedangkan dari 87 orang ayah balita yang memiliki tingkat

pendidikan tamat SLTA/PT terdapat 27 orang (31,0%) yang mengalami stunting dan

60 orang (69,0%) yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa

tidak terdapat pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian stunting pada balita

usia 24-59 bulan (p=0,695). Hal ini sejalan dengan penelitian Novita Siahaan (2013)

di Tanjung Tiram Kabupaten Barubara yang menyatakan Pendidikan orangtua yang

rendah berdampak kepada tingkat penghasilan, yang mempengaruhi kebutuhan

pangan dalam keluarga dan akhirnya akan berpengaruh terhadap status gizi anak. Hal

ini berarti pendidikan orang tua tidak memiliki hubungan yang berarti dengan status

gizi anak.

Hal ini di dukung oleh penelitian Wahdah et.al (2015) yang menyatakan

bahwa rata-rata tingkat pendidikan orang tua subjek hanya sampai SD dan pendidikan

ayah pada anak yang menderita stunting relatif lebih rendah dibandingkan dengan

pendidikan ayah anak normal. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 126: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

126

ada hubungan antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting. Hal ini disebabkan

karena ayah tidak mengambil peran yang dominan dalam keputusan penentuan

kebutuhan gizi karena penyediaan kebutuhan gizi diperankan oleh ibu

5.3.7 Pekerjaan Ayah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 83 orang ayah balita yang tidak

bekerja/tidak memiliki penghasilan tetap terdapat 26 orang (31.3%) balita yang

mengalami stunting dan 57 orang (68.7%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari

5 orang ayah balita yang bekerja/memiliki penghasilan tetap terdapat 2 orang (40%)

balita yang mengalami stunting dan 3 orang (60%) balita yang tidak stunting. Dari

hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pekerjaan ayah

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 1,000). Hal ini

kemungkinan disebabkan walaupun ayah tidak memiliki pekerjaan dengan

penghasilan tetap (petani) namun hasil dari pertanian dapat dikonsumsi sebagai bahan

pangan keluarga.

Sukoco et.al, (2015) menyatakan bahwa kondisi status gizi anak balita

dengan kedua orang tua yang bekerja dan yang sering ditinggal kedua orang tuanya

bekerja belum tentu lebih jelek dari balita yang orang tuanya tidak bekerja,

kenyataannya malah sebaliknya lebih bagus karena si ibu terus memantau. Kedua

orang tua yang bekerja di perusahaan dan mempunyai latar belakang pendidikan maju

biasanya mereka menitipkan anaknya di Tempat Penitipan Anak (TPA) di sekitar

pabrik. Selain TPA, ada kegiatan lain yang berhubungan dengan anak yaitu posyandu

dan Bina Keluarga Balita (BKB).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 127: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

127

5.3.8 Penghasilan Keluarga

Menurut Alom (2011) bahwa faktor utama yang mempengaruhi status gizi

anak balita adalah faktor ekonomi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 66

orang ayah balita dengan penghasilan keluarga <Rp.1.673.000 terdapat 37 orang

(40,9%) balita yang mengalami stunting dan 39 orang (59,1%) balita yang tidak

stunting. Sedangkan dari 22 orang ayah balita dengan penghasilan keluarga

<Rp.1.673.000 terdapat 9 orang (40,9%) balita yang mengalami stunting dan 13

orang (59,1%) balita yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa

tidak terdapat pengaruh penghasilan keluarga terhadap kejadian stunting pada balita

usia 24-59 bulan (p= 0.428). Hal ini kemungkinan karena walaupun keluara memiliki

pendapatan dibawah UMR, namun pengeluaran untuk pangan dapat dihemat dengan

memanfaatkan hasil pertanian dan peternakan di sekitar rumah.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Lee et al (2010) yang

menyatakan bahwa status ekonomi keluarga yang lebih rendah cenderung memiliki

anak stunting. Hal itu di dukung oleh Marfina (2013) juga menyatakan bahwa hasil

uji statistik diperoleh nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa ada pengaruh peendapatan

keluarga terhadap kejadian stunting. Nilai OR = 4,167 ( CI 95% ; 1,599 – 10,856 )

artinya anak dengan pendapatan keluarga rendah beresiko 4,16 kali lebih besar

mengalami stunting dibanding anak dengan pendapatan keluarga tinggi. Nabiyu

Dereje (2014) juga menyatakan bahwa keluarga dengan sosial ekonomi rendah

memiliki anak yang kurus (OR: 6.4; 95%CI: 1.98-20.69) dan stunting (OR: 5.67;

95%CI: 1.85-17.36).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 128: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

128

5.3.9 Jumlah Anggota Keluarga

Konsumsi makanan dipengaruhi oleh besarnya jumlah anggota keluarga,

ketersediaan makanan dan pembagian makanan dalam keluarga. Jumlah anggota

keluarga merupakan indikator penting dalam pembagian makanan. Semakin banyak

anggota keluarga maka akan semakin panjang rantai makanan yang dapat dikonsumsi

setiap anggota keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 48 orang

jumlah anggota keluarga >4 orang terdapat 16 orang (33.3%) balita yang mengalami

stunting dan 32 orang (66.7%) balita yang tidak stunting. Sedangkan dari 40 orang

jumlah anggota keluarga ≤4 orang terdapat 12 orang (30.0%) balita yang mengalami

stunting dan 28 orang (70.0%) balita yang tidak stunting. Dari hasil uji statistik

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penghasilan

keluarga dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan (p= 0,917), hal ini

kemungkinan disebabkan karena bahan pangan dapat diperoleh dari lingkungan

sekitar.

Hasil penelitian ini tidak sejalan denngan Siti Wahdah et al, (2015)

menyatakan bahwa balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga banyak

cenderung mengalami stunting dibandingkan balita dari keluarga dengan jumlah

anggota rumah tangga cukup. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian stunting pada balita. Balita dari

keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga banyak lebih berisiko 1.34 kali

mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan jumlah anggota

rumah tangga cukup.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 129: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

129

5.4 Faktor-Faktor yang Paling Dominan terhadap Kejadian Stunting

Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan variabel yang paling

berpengaruh sebagai faktor resiko kejadian stunting. Variabel yang dimasukan dalam

uji regresi logistik adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,25 yang diseleksi

dengan melihat p value pada bagian block hasil omnibus test. dimana hasil seleksi

variabel yang menujukkan bahwa variabel umur balita, riwayat penyakit, pola

konsumsi dan usia ibu memiliki nilai p<0,25 sehingga dapat masuk dalam model

regresi logistik ganda, sedangkan variabel lainnya memiliki nilai p>0,25 yang berarti

tidak masuk dalam pemodelan regresi logistik ganda.

Pada regresi logistik tahap pertama menunjukkan bahwa variabel riwayat

penyakit, pola konsumsi memiliki nilai p<0,05 sedangkan umur balita dan usia ibu

memiliki nilai p>0,05 sehingga variabel tersebut dikeluarkan secara bertahap dimulai

nilai p paling besar dari pemodelan. Pada regresi logistik tahap kedua menunjukkan

bahwa variabel riwayat penyakit, pola konsumsi memiliki nilai p<0,05 sedangkan

usia ibu memiliki nilai p>0,05 sehingga variabel tersebut dikeluarkan dari pemodelan.

Pada regresi logistik tahap ketiga menunjukkan bahwa variabel riwayat

penyakit, pola konsumsi memiliki nilai p<0,05. Dari hasil analisis multivariat ini

maka variabel yang dominan berpengaruh terhadap stunting pada balita usia 24-59

bulan adalah pola konsumsi (p= <0,001;OR= 9,4;95%CI 2,860-31,186) artinya

bahwa pola konsumsi yang kurang baik memiliki peluang berisiko 9,4 kali lebih

besar balita usia 24-59 bulan mengalami stunting dibanding dengan pola konsumsi

yang baik. Sedangkan riwayat penyakit (p=<0,001;OR=8,7;95%CI 2,256-30,119)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 130: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

130

yang berarti bahwa balita yang sering sakit memiliki peluang resiko 8,7 kali lebih

besar mengalami stunting daripada balita yang jarang sakit. Hal ini berarati bahwa

yang paling berpengaruh dari keseluruhan variabel independen baik karakteristik

balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir, ASI eksklusif, pola

konsumsi dan riwayat penyakit) dan karakteristik rumah tangga (tinggi badan ibu,

tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, tingkat pendidikan ayah,

pekerjaan ayah, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendapatan keluarga) adalah

pola konsumsi dan riwayat penyakit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 131: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

131

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Muara

Kabupaten Tapanuli Utara dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Prevalensi kejadian stunting di Kecamatan Muara 31,8%, angka ini lebih

tinggi dari angka nasional berdasarkan hasil PSG tahun 2015 yaitu 29%.

2. Tidak terdapat hubungan antara usia balita, berat badan lahir, panjang

badan lahir, ASI eksklusif, usia ibu, tinggi badan ibu, pendidikan ibu,

pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, pendidikan ayah, pekerjaan ayah,

penghasilan keluarga serta jumlah anggota keluarga terhadap kejadian

stunting pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Muara.

3. Determinan kejadian stunting pada balita yang paling dominan adalah

pola konsumsi (p= <0,001;OR= 9,4 95% CI 2,860-31,186 artinya bahwa

pola konsumsi yang kurang baik memiliki peluang berisiko 9,4 kali lebih

besar balita usia 24-59 bulan mengalami stunting dibanding dengan pola

konsumsi yang baik. Sedangkan riwayat penyakit memiliki nilai p<0,05.;

OR=8,7% CI2,526-30,119% artinya bahwa balita usia 24-59 bulan yang

sering sakit memiliki peluang 8,7 kali mengalami stunting dibandingkan

dengan balita yang jarang sakit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 132: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

132

6.2 Saran

1. Memberikan perhatian lebih kepada masyarakat khususnya PUS (Pasangan

Usia Subur) agar memiliki kemampuan yang baik dalam pola asuh balita dan

penyediaan makanan yang baik bagi keluarga khususnya balita, karena

dengan asupan pangan yang baik dapt meningkatkan status gizi balita

sehingga diharapkan angka balita stunting dapat menurun.

2. Untuk menurunkan angka kesakitan pada balita maka perlu ditingkatkan

sanitasi dan pelayanan kesehatan di masyarakat serta peningkatan cakupan

imunisasi pada bayi dan balita dan pencapaian UCI (seluruh bayi memperoleh

lima imunisasi dasar lengkap).

.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 133: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

DAFTAR PUSTAKA

Achadi, L.A., 2012. Seribu Hari Pertama Kehidupan Anak. Disampaikan pada

Seminar Sehari dalam Rangka Hari Gizi Nasional ke 60. FKM UI, Maret 2012

Depok.

Adewara, S.O, Labisi, & Martine V. 2011. Use of Anthropometric Measures to

Analyze How Sour-ces of Water and Sanitation Affect Children’s Health in

Nigeria. Environment for Development Discussion Paper Series DP 1 1-0 2.

Adriani, M., Wirjatmadi, B., 2014 Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta: Kencana; 2014.

Asiyah, S., Suwoyo, Mahaendriningtyastuti. 2010. Karakteristik Bayi Berat Lahir

Rendah Sampai Tribulan II Tahun 2009 di Kota Kediri. Jurnal Kesehatan

Suara Forikes, 1(3), p.210—222.

Allen, L..H., Gillespie, S.R., 2010. What Works? The Review of the Efficacy and

Effectiveness on Nutritio Interventions. Manila. ADB

Alom. 2011. Nutritional Status Of Under-Five Children In Bangladesh: A Multilevel

Analysis.

Arifi D. Z., Irdasari, S. Y., & Handayana, S. 2012. Analisis Sebaran dan Faktor

Risiko Stunting pada Balita di Kabupaten Purwakarta. Diakses dari

http://www.pustaka.unpad.ac.id. Diunduh tgl 03 Maret 2017

Anugraheni, H.S, Kartasurya, M.I. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak

Usia 12- 36 Bulan Di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.Universitas

Diponegoro. Semarang.

Ayensu. 2013. An Assessment of the Nutritional Status of Under Five Children in

Four Districts in the Central Region of Ghana. Asian Journal of Agriculture

and Rural Development.

BPPN. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. (Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.

BAPPENAS. 2012. Kerangka Kebijkan Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka Seribu

Hari Pertama Kehidupan (1000 PKH). Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi

Masyarakat;

BKKBN. 2017. Usia Pernikahan 21-25 Tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 134: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

134

BPS, 2016. Muara Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli

Utara. Katalog BPS 1102002.1205180.

BPS, 2016. Kabupaten Tapanuli Utara Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik

Kabupaten Tapanuli Utara. Katalog BPS 1102001.1205.

Brinkman, H.J, de Pee, S., Sanogo, I.. 2010. High Food Prices and The Global

Financial Crisis Have Reduced Access to Nutritious Food and Worsened

Nutritional Status and Health. J. Nut, 140, 153S—161S.

Candra, A., Puruhita, N., Susanto, J.C,. Risk Factor of Stunting Among 1 – 2 Years

Old Children in Semarang City. Media Medika Indonesiana. 2011; 45: 206-12.

Chang, S.M., Susan, P.W., Grantham-McG, S., Christine, A.P., 2010. Early

Childhood Stunting and Later Fine Motor Abilities. Developmental Medicine

and Child Neurology, 52 (9), p. 831—836

Chertoff,. 2015. Protein Malnutrition and Brain Develovment. Brain Disorders &

Theraphy. 4:3. Diunduh dari http://dx.doi.org/10.4172/2168-975X.1000171

Diunduh tanggal 03 Maret 2017.

Cholifatun,. Lailatul, M., 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Pola Asuh Ibu

dengan Wasting dan Stunting pada Balita Keluarga Miskin. Media Gizi

Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015: p. 84–90

Dereje, N., 2014. Determinants of Severe Acute Malnutrition among Under Five

Children in Shashogo Woreda, Southern Ethiopia: A Community Based

Matched Case Control Study. J Nutr Food Sci ISSN: 2155-9600, an open

access journal Volume 4 • Issue 5 • 1000300

Depkes R.I. 2012. Profil Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2012. Departemen

Kesehatan

Devi, M,. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi

Balita Di Pedesaan. Jurnal: Universitas Negeri Malang. Jurnal Teknologi dan

Kejuruan. 33(2): 183 – 192. Pinggiran Kota Padang. Jurnal Kesehatan

Andalas. 3(2):182-187.

Dewey, K.G., and Begum, K. 2011. Long Term Consequences of Stunting in Early

Life. Maternal and Child Nutrition.7: p.5-18

FAO. 2012. The State of Food Insecurity in the World 2012. Economic Growth is

Necessary but not Sufficient to Accelerate Reduction of Hunger and

Malnutrition. Rome: FAO.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 135: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

135

FAO, 2014. The State of Food Insecurity in the World. Strengthening Enabling the

Envirovement to Improve Food Security and Nutrition.Rome : FAO

Fikadu, T., Assegid, S. & Dube, L. (2014). Factor associated with stunting among

children age 24 to 59 months in Meskan District, Gurage Zone, South

Ethiopia: A case-control study. BMC Public Health, 14(800). Diakses dari

http://www.biomedcentral.com /1471-2458/14/800. Diunduh tanggal 17

Januari 2017

Fitri, H., 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita

(12—59 bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010) [Tesis]. Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Hairunis, M.N., Rohmawati, N., Leersia, Y.R.,. 2016. Determinan Kejadian Stunting

pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Soromandi Kabupaten Bima

Nusa Tenggara Barat. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 4 (no. 2) Mei 2016

p.323 – 329.

Handasari, E., Rosidi, A., Widyaningsih, J. 2010. Hubungan Pendidikan Gizi Ibu

Dengan Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Anak TK Nurul Bahri Desa

Wukir Sari Kecamatan Batang Kabupaten Batang. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Indonesia. 6: p. 79-88.

Hanum, F., Khomsan, A., Yayat Heriyatno, Y., 2014. Hubungan Asupan Gizi dan

Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. ISSN 1978 – 1059.Jurnal

Gizi dan Pangan, Maret 2014, 9(1): p.1—6

Huriah, T.,. 2014. Upaya Peningkatan Status Gizi Balita Malnutrisi Akut Berat

Melalui Program Home Care. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 9 (2):

130-136.

Hutasoit, Henny, M.A.I., 2012. Analisis Faktor Risiko Stunting Pada Anak Sekolah

Dasar di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat.

USU.

Kemenkes. 2011. SK Menkes 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status

Gizi Anak. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.

Direktorat Bina Gizi.

Kemenkes. 2013. Levels & Trends in Child Mortality Report 2013 JKN 2015 . Di

akses pada www.jkn.kemenkes.go.id. Diunduh tanggal 03 Maret 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 136: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

136

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional. 2014. Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN).p. 2015 – 2019.

Kurniasih, L., 2010. Sehat dan bugar berkat giziseimbang. Jakarta: Gramedia.

Kusuma KE & Nuryanto. 2013. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3

Tahun (studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of Nutrition College,

2(4), p. 523—530

Laus, M.F., Vales, L.D., Costa, T.M., Almeida, S.S., 2011. Early Postnatal

Proteincalorie Malnutrition and Cognition: a Review of Human and Animal

Studies. Int J Environ Res Public Health 8: 590-612

Lawrence, R., Lawerence, R.M., 2011. Breastfeeding A Guide For The Medical

Profession, 7th Ed, Elsevier Health Sciences, USA.

Lee, J., Houser, R.F., Must, A., de Fulladolsa, P.P, Bermudez, O.I., 2010.

Disentangling Nutritional Factors and Household Characteristics Related to

Child Stunting and Maternal Overweight in Guatemala. Economics and

Human Biology, 8(2), 188—196.

Lestari, L., Wanda, Margawati, A., Rahfiludin, Z., 2014. Faktor Resiko Stunting pada

Anak Umur 6-24 Bulan di Kecamatan Pananggalan Kota Subulussalam

Provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia 3.1;37-45

Mardani, R.A.D., Wetasin, K., Suwanwaiphatthana, W. 2015. Faktor Prediksi yang

Mempengaruhi Stunting pada Anak Usia di Bawah Lima Tahun. KEMAS

Jurnal. 11 (1): 1-7.

Marfina, 2013, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Usia

12-24 Bulan di Kecamatan Ulele Kareng Kota Banda Aceh Tahun 2013. Tesis

Maryanto, S., Anugrah, R.M., 2015. Hubungan Antara Penyakit Tuberkulosis paru

(Tb paru) dan BBLR Dengan Kejadian Stunting Pada Siswa Kelas 1 di SD

negeri Sambek Kecamatan Wonososbo. 2015. Tesis

Martorell et. al. 2010, Weight Gain in The First Two Years of Life is an Important

Predictor of Schooling Outcomes in Pooled Analyses from Five Birth Cohorts

from Low and Middle Income Countries“, Journal of Nutrition. doi:10.3945/

jn.109.112300

MCA-Indonesia, 2014. Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat Untuk

Mengurangi Stunting. In: Corporation MC, editor. Jakarta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 137: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

137

Menezes, F..S., Leite, H.P., Nogueira P.C.K., 2012. Malnutrition as an Independent

Predictor of Clinical Outcome in Critically in Children. Nutrition. 29 (6):

612-8.

Nadiyah, Briawan, D., Martianto, D., 2014. Faktor Resiko Stunting pada Anak Usia

0 – 23 Bulan di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal

Gizi dan Pangan, Juli 2014, 9(2): p.125—132

Naomi, S.,2012. Durasi dan Frekuensi Sakit Balita dengan Terjadinya Stunting pada

Anak di Kecamatan Malalayang Kota Manado. Skripsi. Manado : Jurusan

Kebidanan Poltekes Kemenkes Manado.

Nasikhah, R., 2012. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-36 Bulan

di Kecamatan Semarang Timur.Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Semarang :

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Univesritas Diponegoro.

Ni’imah, K., Nadhiroh, S.N., 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015:

p. 13–19

Rr Dewi N. , Septriana,. 2016. Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan Kejadian

Stunting. Jurnal Ilmu Kebidanan, Jilid 3, Nomor 1, hlm 49-57

Notoatmojo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta.

Nugroho, A., 2016. Determinan Growth Failure (Stunting) pada Anak Umur 1 s/d 3

Tahun (studi di Kecamatan Tanjungkarang Barat Kota Bandar Lampung.

Jurnal Kesehatan, Volume VII, Nomor 3, November 2016, p. 470-479

Oktarina, Z., Trini Sudiarti. 2013. Faktor Risiko Stunting pada Balita (24-59 bulan) di

Sumatra. Jurnal Gizi dan Pangan. P.175-180.

Ole Tankoi, E.O., Asito, S.A, Adoka, S., (2016) Determinants of Malnutrition among

Children Aged 6-59 Months in Trans-Mara East Sub-County, Narok County,

Kenya. Int J Pub Health Safe 1: 116

Pahlevi, A.E., 2012. Determinan Status Gizi Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal

Kesehatan Masyarakat. 2:p.122-126.

Picauly, I., Sarci, M.T., 2013. Analisis Determinan dan Pengaruh Stunting Terhadap

Prestasi Belajar Anak Sekolah di Kupang dan Sumba Timur,NTT. ISSN 1978

– 1059 Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1): p. 55—62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 138: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

138

Priyono, D.I.P, Sulistiyani, Leersia, Y.R., 2015. Determinan Kejadian Stunting pada

Anak Balita Usia 12-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Randuagung

Kabupaten Lumajang. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (no. 2) Mei 2015

Proverawati, L., 2010. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Nuha Medika : ogyakarta.

Purwandini, K., Kartasurya, M., 2013. Pengaruh Pemberian Mikronutrient Sprinkle

Terhadap Perkembangan Motorik Anak Stunting Usia 12-36 bulan. Journal of

Nutrition College 2013; 2(1): p.147-163.

Putri, D.S.C., Utami, N.H., 2015.Nilai Batas Berat Lahir sebagai Prediktor Kejadian

Stunting pada Anak Umur 6-23 bulan di Indonesia. Pusat Teknologi Intervensi

Kesehatan Masyarakat Badan Litbang Kesehatan, Jl Percetakan Negara 29

Jakarta, Indonesia

Rahayu, A., Khairiyati, L., 2014. Resiko Pendidikan Ibu Terhadap Kejadian Stunting

pada Anak 6-23 Bulan. Penelitian Gizi Makan, Drsember 2014 Vol. 37 (2):

p.129-136

Rahayuh, A., Yulidasari, F.,, Putri, A.O., Rahman, F.,, Rosadi, D., 2016. Faktor

Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pendek pada Anak Usia 6-24

Bulan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. KEMAS 11 (2) (2016) xx-

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas

Rahayu, L.S., Sofyaningsih, M. 2011. Pengaruh BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

dan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Perubahan Status Stunting Pada Balita

di Kota dan Kabupaten Tangerang. Disampaikan pada Prosiding Seminar

Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di

Indonesia” 12 April 2011, diunduh tanggal 03 Maret 2017.

Rahmad, A.H., Miko, A., Hadi, A,. 2013. Kajian Kejadian Pendek pada Anak Balita

Ditinjau dari Pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI, Status Imunisasi dan

Karakteristik Keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah

Nasuwakes; 6 (2): 169-184.

Repi, A., Kawengian, S.E.S., Bolang. A.S.L. 2013. Hubungan Antara Status Sosial

Ekonomi Dengan Status Gizi Anak Sekolah Dasar Kelas 4 dan Kelas 5 SDN 1

Tounelet Dan SDN Katolik St. Monica Kecamatan Lawongan Barat. Manado.

Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsi

Riset Kesehatan Dasar 2010: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional [serial online]. 2010. Diunduh

dari: http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id Diunduh tanggal 03 Maret

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 139: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

139

Riset Kesehatan Dasar 2013: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional [serial online]. 2013. Diunduh

dari: http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id Diunduh tanggal 03 Maret

2017.

Rosha, Bunga Ch., Hardinsyah, Yayuk, F.B., 2012. Analisis Determinan Stunting

Anak 0-23 bulan pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. The

Journal of Nutrition and Food Research) p.34-41

Sayogo, S., 2011. Gizi Remaja Putri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Shrimpton, R., et al. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for

Nutritional Interventions. American Academi of Pediatric.

Siagian, A., 2010. Epidemiologi Gizi. Erlangga Medical Series (EMS)

Siahaan, N., Lubis., Z, Ardiani, F., 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan

Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram

Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Tahun 2013. (Tesis) FKM

USU

Simanjuntak, B., 2011. Hubungan antara Berat Badan Lahir dan Faktor-Faktor

Lainnya dengan Stunting (Pendek) pada Anak Usia 12—59 Bulan di Sulawesi

Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010) [Tesis]. FKM UI, Depok.

Solihin, R.D.M, Anwar F, & Sukandar D. 2013. Kaitan antara status gizi,

perkembangan kognitif, dan perkembangan motorik pada anak usia

prasekolah. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 36 (1), p. 62—72.

Soekirman. 2013. Pencegahan Stunting. Seminar Gizi November 2013. Diunduh 03

Maret 2017

Suiraoka, I.P., Kusumajaya, A.A.N., Larasati, N., 2011. Perbedaan Konsumsi Energi,

Protein dan Vitamin A dan Frekwensi Sakit karena Infeksi pada Anak Balita

Status Gizi Pendek (Stunted) dan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas

Karangasem 1. Jurnal Ilmu Gizi. Volume 2 no 1.p.14-82

Sukoco, N.E.W., Pambudi, J., Herawati, M.H., 2015. Hubungan Status Gizi Anak

Balita dengan Orang tua Bekerja. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol.

18 No. 4 Oktober 2015: p.387–397

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 140: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

140

Sumarni, Fridayanti, W., Wahyuni, T,. 2013. The Differences in Nutritional Status of

Children of Working Mothers with aren’t Working in the Kejobong District

Purbalingga Regency. Jurnal Kebidanan, 5 (01),p. 36-42.

Sunanto, K., Pakaya, S., 2015. Pengaruh Penerapan Prilaku Keluarga Sadar Gizi

(KADARZI) dengan Status Gizi Balita. Universitas Negri Gorontalo.

Supriasa, I.D.N, Bakri, B., Fajar, I., 2016. Penentuan Status Gizi. Edisi 2. Jakarta:

EGC. Penerbit Buku Kedokteran.

Susilowati, Kusharisupeni, Fikawati S., Achmad K., 2010. Breast Feeding Duration

and Children’s Nutritional Status at Age 12-24 Months. Paediatrica

Indonesiana. 2010; 50(1):p. 56-61

Uauy, R., Desjeux, J.F., Ahmed, T., Hossain, M., Brewster D., et al. (2012) Global

Efforts to Address Severe Acute Malnutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr

55:p.476-481

UNICEF, 1998. The State of The World’s Children. United Nations Children’s Fund

Oxford: Oxford University Press

UNICEF.2000.The State of the World’s Children 2000. United Nations Children’s

Fund (UNICEF), New York

UNICEF. 2010 Penuntun Hidup Sehat. Jakarta: United Nations Children’s Fund

Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2010.

UNICEF. 2012. Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta: United Nations Children’s Fund

Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2012.

UNICEF. 2013. The state of the world’s children 2013. United Nations Children’s

Fund (Children with disabilities [Internet]. New York: Available from:

http://www.unicef.org.uk/Documents/Publication-pdfs/sowc-2013-children-

withdisabilities.pdf. Diunduh tanggal 11 Januari 2017

UNICEF. 2014. World Health Statistic 2014. United Nations Children’s Fund

USAID. 2012. Save the children-state of the world’s mothers. Nutrition in the First

1,000 Days. Johnson & Johnson, Mattel, Inc and Brookstone.

Vaktskjold A., Van Tri D., Trong Phi D. and Sandanger T., 2010. Stunted growth in a

cohort of two-years old in The Khanh Hoa Province In Vietnam: a follow up

study. J Rural Trop Public Health, 9: 77-81.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 141: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

141

Wahdah, S.,M. Juffrie, Huriyati, E., 2015. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada

Anak Umur 6-36 Bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kapuas

Hulu, Kalimantan Barat. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. Vol. 3, No. 2,

Mei 2015: 119-130

Wardani, G.A.P., 2016. Hubungan Karakteristik Ibu dan Pendapatan Keluarga

dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Minggir Kaabupaten

Sleman Yokyakarta, Naskah Publikasi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Welassih. B.D, Wirjatmadi R.B.,.2012. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan

Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 8,

No. 3 Maret 2012: p. 99–104

Wiyogowati, 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada

Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012’. Skripsi.

Depok : FakultasKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

WHO. 2007. Community Based Management of Severe Acut Malnutrition. World

Health Organization

WHO. 1991. Child Growth Standar Malnutrition Among Children in Poor Area of

China. World Health Organization Public Health Nutr. 1991;12:8.

WHO. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile

Indicators: World Health Organization Interpretation Guide [serial online].

Diunduh dari: http://www.who.int/nutrition diunduh tanggal 03 Maret 2017

WHO. 2012. Global Nutrition Targets 2025: Stunting Policy Brief. Geneva World

Health Organization. ([Internet]; 2012. Available from:

http://www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief. pdf.

Diunduh tanggal 11 Januari 2017

Yang, X.L.., Ye, R.W, Zheng, J.C,, Jin, L., Liu, J.M., Ren, A.G., 2010. Analysis on

Influencing Factorsfor Stunting and Underweight among Children Age 3-6

years in 15 countries of Jiangsu and Zhejiang Provinces, 31(5) p. 506-509

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 142: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jalan Universitas No.21 Kampus USU Medan 20155

Telp. (061) 8213221, Fax. (061) 8213221 Wibesite : http://fkm.usu.ac.id - Email : [email protected]

Lampiran 1

SURAT PERNYATAAN

BERSEDIA MENJADI SUBJEK PENELITIAN

Kami yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama ibu :

Nama anak balita :

Tempat/tanggal lahir :

Alamat :

Dengan ini menyatakan bahwa kami bersedia menjadi subjek dan responden penelitian dan

akan memberikan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan penelitian yang berjudul

“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Balita Usia 24 – 59 bulan di

Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatra Utara Tahun 2017”.

Demikianlah surat pernyataan ini kamibuat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan

kami berhak menuntut kerahasiaan atas informasi yang kami berikan.

Muara, ………….……………..2017

Yang Membuat Pernyataan,

(__________________)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 143: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

143

Lampiran 2

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24 – 59 BULAN DI KECAMATAN MUARA

KABUPATEN TAPANULI UTARA PROVINSI SUMATRA UTARA

TAHUN 2017

1. Nama Enumerator : ………………………………………..

2. Tanggal pengumpulan data : ……../ …….../ 2014

3. Kode responden :

4. Alamat responden : ………………………………………….

5. No Telepon/HP : …………………………………………

I. DATA RESPONDEN

A. Identitas Ibu (responden)

1. Nama ibu : ……………….

2. Umur ibu : ………………. tahun

3. Tinggi badan ibu : ………………. cm

4. Pendidikan Ibu :

1. Tidak sekolah 4. SLTA/Sederajat

2. SD/MI 5. Diploma/ PT

3. SLTP/Sederajat

5. Pekerjaan Ibu :

1. PNS/BUMN/TNI/POLRI 4. Buruh

2. Petani/Berkebun 5. Nelayan

3. Pedagang/Wiraswasta 6. Lain2 (sebutkan …………………………..)

6. Pendapatan Ibu : Rp. …………………………….. ,-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 144: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

144

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jalan Universitas No.21 Kampus USU Medan 20155

Telp. (061) 8213221, Fax. (061) 8213221 Wibesite : http://fkm.usu.ac.id - Email : [email protected]

B. Identitas Ayah

1. Nama Ayah : …………………...

2. Umur ayah : ……………………

3. Tinggi Badan Ayah : …………. cm

4. Pendidikan ayah :

1. Tidak sekolah 4. SLTA/Sederajat

2. SD/MI 5. Diploma/ PT

3. SLTP/Sederajat

5. Pekerjaan ayah :

1. PNS/BUMN/TNI/POLRI 4. Buruh

2. Petani/Berkebun 5. Nelayan

3. Pedagang/Wiraswasta 6. Lain2 (sebutkan …………………………..)

6. Pendapatan Ayah : Rp. ………………………..,-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 145: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

145

Lampiran 2

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24 – 59 BULAN DI KECAMATAN MUARA

KABUPATEN TAPANULI UTARA PROVINSI SUMATRA UTARA

TAHUN 2017

1. Nama Enumerator : ………………………………………..

2. Tanggal pengumpulan data : ……../ …….../ 2014

3. Kode responden :

4. Alamat responden : ………………………………………….

5. No Telepon/HP : …………………………………………

I. DATA RESPONDEN

A. Identitas Ibu (responden)

1. Nama ibu : ……………….

2. Umur ibu : ………………. tahun

3. Tinggi badan ibu : ………………. cm

4. Pendidikan Ibu :

1. Tidak sekolah 4. SLTA/Sederajat

2. SD/MI 5. Diploma/ PT

3. SLTP/Sederajat

5. Pekerjaan Ibu :

1. PNS/BUMN/TNI/POLRI 4. Buruh

2. Petani/Berkebun 5. Nelayan

3. Pedagang/Wiraswasta 6. Lain2 (sebutkan …………………………..)

6. Pendapatan Ibu : Rp. …………………………….. ,-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 146: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

146

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jalan Universitas No.21 Kampus USU Medan 20155

Telp. (061) 8213221, Fax. (061) 8213221 Wibesite : http://fkm.usu.ac.id - Email : [email protected]

B. Identitas Ayah

1. Nama Ayah : …………………...

2. Umur ayah : ……………………

3. Tinggi Badan Ayah : …………. cm

4. Pendidikan ayah :

1. Tidak sekolah 4. SLTA/Sederajat

2. SD/MI 5. Diploma/ PT

3. SLTP/Sederajat

5. Pekerjaan ayah :

1. PNS/BUMN/TNI/POLRI 4. Buruh

2. Petani/Berkebun 5. Nelayan

3. Pedagang/Wiraswasta 6. Lain2 (sebutkan …………………………..)

6. Pendapatan Ayah : Rp. ………………………..,-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 147: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

147

Lampiran 7

Hasil Perhitungan Statistik

1. Frequency Table

Umur balita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 24-36 bulan 26 29.5 29.5 29.5

37-59 bulan 62 70.5 70.5 100.0

Total 88 100.0 100.0

Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-laki 50 56.8 56.8 56.8

Perempuan 38 43.2 43.2 100.0

Total 88 100.0 100.0

Berat badan lahir

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Rendah 1 1.1 1.1 1.1

Normal 87 98.9 98.9 100.0

Total 88 100.0 100.0

Panjang badan lahir

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Pendek 1 1.1 1.1 1.1

Normal 87 98.9 98.9 100.0

Total 88 100.0 100.0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 148: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

148

ASI Eksklusif

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 55 62.5 62.5 62.5

Ya 33 37.5 37.5 100.0

Total 88 100.0 100.0

Riwayat penyakit

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Sering sakit 25 28.4 28.4 28.4

Jarang sakit 63 71.6 71.6 100.0

Total 88 100.0 100.0

Pola konsumsi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kurang baik 29 33.0 33.0 33.0

Baik 59 67.0 67.0 100.0

Total 88 100.0 100.0

Usia ibu

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <25 tahun atau >35 tahun 42 47.7 47.7 47.7

25-35 tahun 46 52.3 52.3 100.0

Total 88 100.0 100.0

Tinggi badan ibu

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Pendek 15 17.0 17.0 17.0

Normal 73 83.0 83.0 100.0

Total 88 100.0 100.0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 149: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

149

Pendidikan ibu

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak sekolah/tamat SD/SMP 1 1.1 1.1 1.1

Tamat SMA dan PT 87 98.9 98.9 100.0

Total 88 100.0 100.0

Pekerjaan ibu

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak bekerja/tidak memiliki

penghasilan tetap

76 86.4 86.4 86.4

Memiliki penghasilan tetap 12 13.6 13.6 100.0

Total 88 100.0 100.0

Tinggi badan ayah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Pendek 23 26.1 26.1 26.1

Normal 65 73.9 73.9 100.0

Total 88 100.0 100.0

Pendidikan ayah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak sekolah/tamat SD/SMP 1 1.1 1.1 1.1

Tamat SMA dan PT 87 98.9 98.9 100.0

Total 88 100.0 100.0

Pekerjaan ayah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak bekerja/tidak memiliki

penghasilan tetap

83 94.3 94.3 94.3

Memiliki penghasilan tetap 5 5.7 5.7 100.0

Total 88 100.0 100.0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 150: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

150

Penghasilan keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <Rp.1.673.000 66 75.0 75.0 75.0

>Rp.1.673.000 22 25.0 25.0 100.0

Total 88 100.0 100.0

Jumlah anggota keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid >4 orang 48 54.5 54.5 54.5

<4 orang 40 45.5 45.5 100.0

Total 88 100.0 100.0

Stunting pada balita usia 24-59 tahun

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Stunting 28 31.8 31.8 31.8

Tidak stunting 60 68.2 68.2 100.0

Total 88 100.0 100.0

2. Crosstabs

Umur balita * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Umur balita 24-36 tahun Count 6 20 26

% within umur balita 23.1% 76.9% 100.0%

% of Total 6.8% 22.7% 29.5%

37-59 Count 22 40 62

% within umur balita 35.5% 64.5% 100.0%

% of Total 25.0% 45.5% 70.5%

Total Count 28 60 88

% within umur balita 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 151: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

151

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.300a 1 .254

Continuity Correctionb .791 1 .374

Likelihood Ratio 1.347 1 .246

Fisher's Exact Test .320 .188

Linear-by-Linear Association 1.285 1 .257

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.27.

b. Computed only for a 2x2 table

Jenis kelamin * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

jenis kelamin Laki-laki Count 18 32 50

% within Jenis kelamin 36.0% 64.0% 100.0%

% of Total 20.5% 36.4% 56.8%

Perempuan Count 10 28 38

% within Jenis kelamin 26.3% 73.7% 100.0%

% of Total 11.4% 31.8% 43.2%

Total Count 28 60 88

% within jenis kelamin 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .933a 1 .334

Continuity Correctionb .540 1 .462

Likelihood Ratio .943 1 .331

Fisher's Exact Test .365 .232

Linear-by-Linear Association .923 1 .337

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.09.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 152: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

152

Berat badan lahir * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Berat badan lahir Rendah Count 0 1 1

% within berat badan lahir .0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 1.1% 1.1%

Normal Count 28 59 87

% within berat badan lahir 32.2% 67.8% 100.0%

% of Total 31.8% 67.0% 98.9%

Total Count 28 60 88

% within berat badan lahir 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .472a 1 .492

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .771 1 .380

Fisher's Exact Test 1.000 .682

Linear-by-Linear Association .467 1 .495

N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .32.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 153: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

153

Panjang badan lahir * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita

usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Panjang badan lahir Pendek Count 0 1 1

% within panjang badan

lahir

.0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 1.1% 1.1%

Normal Count 28 59 87

% within panjang badan

lahir

32.2% 67.8% 100.0%

% of Total 31.8% 67.0% 98.9%

Total Count 28 60 88

% within panjang badan

lahir

31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .472a 1 .492

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .771 1 .380

Fisher's Exact Test 1.000 .682

Linear-by-Linear Association .467 1 .495

N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .32.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 154: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

154

ASI Eksklusif * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59

bln

Total Stunting Tidak stunting

ASI Eksklusif Tidak Count 17 38 55

% within ASI Eksklusif 30.9% 69.1% 100.0%

% of Total 19.3% 43.2% 62.5%

Ya Count 11 22 33

% within ASI Eksklusif 33.3% 66.7% 100.0%

% of Total 12.5% 25.0% 37.5%

Total Count 28 60 88

% within ASI Eksklusif 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .056a 1 .813

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .056 1 .813

Fisher's Exact Test .818 .497

Linear-by-Linear Association .055 1 .814

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.50.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 155: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

155

Riwayat penyakit * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Riwayat penyakit Sering sakit Count 18 7 25

% within riwayat penyakit 72.0% 28.0% 100.0%

% of Total 20.5% 8.0% 28.4%

Jarang sakit Count 10 53 63

% within riwayat penyakit 15.9% 84.1% 100.0%

% of Total 11.4% 60.2% 71.6%

Total Count 28 60 88

% within riwayat penyakit 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 25.989a 1 .000

Continuity Correctionb 23.467 1 .000

Likelihood Ratio 25.306 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 25.694 1 .000

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.95.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 156: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

156

Pola konsumsi * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Pola konsumsi Kurang baik Count 20 9 29

% within Pola konsumsi 69.0% 31.0% 100.0%

% of Total 22.7% 10.2% 33.0%

Baik Count 8 51 59

% within Pola konsumsi 13.6% 86.4% 100.0%

% of Total 9.1% 58.0% 67.0%

Total Count 28 60 88

% within Pola konsumsi 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 27.513a 1 .000

Continuity Correctionb 25.018 1 .000

Likelihood Ratio 27.331 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 27.200 1 .000

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.23.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 157: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

157

Usia ibu * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Usia ibu <25 tahun atau >35 tahun Count 9 33 42

% within usia ibu 21.4% 78.6% 100.0%

% of Total 10.2% 37.5% 47.7%

25-35 tahun Count 19 27 46

% within usia ibu 41.3% 58.7% 100.0%

% of Total 21.6% 30.7% 52.3%

Total Count 28 60 88

% within usia ibu 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.998a 1 .046

Continuity Correctionb 3.134 1 .077

Likelihood Ratio 4.071 1 .044

Fisher's Exact Test .066 .038

Linear-by-Linear Association 3.952 1 .047

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.36.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 158: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

158

Tinggi badan ibu * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Tinggi badan ibu Pendek Count 4 11 15

% within tinggi badan ibu 26.7% 73.3% 100.0%

% of Total 4.5% 12.5% 17.0%

Normal Count 24 49 73

% within tinggi badan ibu 32.9% 67.1% 100.0%

% of Total 27.3% 55.7% 83.0%

Total Count 28 60 88

% within tinggi badan ibu 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .221a 1 .638

Continuity Correctionb .028 1 .868

Likelihood Ratio .227 1 .634

Fisher's Exact Test .766 .444

Linear-by-Linear Association .219 1 .640

N of Valid Cases 88

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.77.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 159: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

159

Pendidikan ibu * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Pendidikan ibu Tidak sekolah/tamat

SD/SMP

Count 0 1 1

% within pendidikan ibu .0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 1.1% 1.1%

Tamat SMA dan PT Count 28 59 87

% within pendidikan ibu 32.2% 67.8% 100.0%

% of Total 31.8% 67.0% 98.9%

Total Count 28 60 88

% within pendidikan ibu 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .472a 1 .492

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .771 1 .380

Fisher's Exact Test 1.000 .682

Linear-by-Linear Association .467 1 .495

N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .32.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 160: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

160

Pekerjaan ibu * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Pekerjaan ibu Tidak bekerja/tidak memiliki

penghasilan tetap

Count 25 51 76

% within pekerjaan ibu 32.9% 67.1% 100.0%

% of Total 28.4% 58.0% 86.4%

Memiliki penghasilan tetap Count 3 9 12

% within pekerjaan ibu 25.0% 75.0% 100.0%

% of Total 3.4% 10.2% 13.6%

Total Count 28 60 88

% within pekerjaan ibu 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .298a 1 .585

Continuity Correctionb .045 1 .832

Likelihood Ratio .309 1 .578

Fisher's Exact Test .745 .428

Linear-by-Linear Association .294 1 .587

N of Valid Cases 88

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.82.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 161: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

161

Tinggi badan ayah * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln

Total Stunting Tidak Stunting

Tinggi badan ayah Pendek Count 6 17 23

% within tinggi badan ayah 26.1% 73.9% 100.0%

% of Total 6.8% 19.3% 26.1%

Normal Count 22 43 65

% within tinggi badan ayah 33.8% 66.2% 100.0%

% of Total 25.0% 48.9% 73.9%

Total Count 28 60 88

% within tinggi badan ayah 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .471a 1 .492

Continuity Correctionb .182 1 .670

Likelihood Ratio .483 1 .487

Fisher's Exact Test .606 .340

Linear-by-Linear Association .466 1 .495

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.32.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 162: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

162

Pendidikan ayah * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Pendidikan ayah Tidak sekolah/tamat

SD/SMP

Count 1 0 1

% within pendidikan ayah 100.0% .0% 100.0%

% of Total 1.1% .0% 1.1%

Tamat SMA dan PT Count 27 60 87

% within pendidikan ayah 31.0% 69.0% 100.0%

% of Total 30.7% 68.2% 98.9%

Total Count 28 60 88

% within pendidikan ayah 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.167a 1 .141

Continuity Correctionb .154 1 .695

Likelihood Ratio 2.315 1 .128

Fisher's Exact Test .318 .318

Linear-by-Linear Association 2.143 1 .143

N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .32.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 163: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

163

Pekerjaan ayah * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita

usia 24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Pekerjaan ayah Ttidak bekerja/tidak

memiliki penghasilan tetap

Count 26 57 83

% within pekerjaan ayah 31.3% 68.7% 100.0%

% of Total 29.5% 64.8% 94.3%

Memiliki penghasilan tetap Count 2 3 5

% within pekerjaan ayah 40.0% 60.0% 100.0%

% of Total 2.3% 3.4% 5.7%

Total Count 28 60 88

% within pekerjaan ayah 31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .164a 1 .686

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .158 1 .691

Fisher's Exact Test .651 .512

Linear-by-Linear Association .162 1 .688

N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.59.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 164: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

164

Penghasilan keluarga * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Penghasilan keluarga <Rp.1.673.000 Count 19 47 66

% within penghasilan

keluarga

28.8% 71.2% 100.0%

% of Total 21.6% 53.4% 75.0%

>Rp.1.673.000 Count 9 13 22

% within penghasilan

keluarga

40.9% 59.1% 100.0%

% of Total 10.2% 14.8% 25.0%

Total Count 28 60 88

% within penghasilan

keluarga

31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.117a 1 .290

Continuity Correctionb .629 1 .428

Likelihood Ratio 1.087 1 .297

Fisher's Exact Test .303 .212

Linear-by-Linear Association 1.105 1 .293

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.00.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 165: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

165

Jumlah anggota keluarga * Kejadian stunting pada balita usia 24-59 bln

Crosstab

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln

Total Stunting Tidak stunting

Jumlah anggota keluarga >4 orang Count 16 32 48

% within jumlah anggota

keluarga

33.3% 66.7% 100.0%

% of Total 18.2% 36.4% 54.5%

<4 orang Count 12 28 40

% within jumlah anggota

keluarga

30.0% 70.0% 100.0%

% of Total 13.6% 31.8% 45.5%

Total Count 28 60 88

% within jumlah anggota

keluarga

31.8% 68.2% 100.0%

% of Total 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .112a 1 .738

Continuity Correctionb .011 1 .917

Likelihood Ratio .112 1 .738

Fisher's Exact Test .820 .459

Linear-by-Linear Association .110 1 .740

N of Valid Cases 88

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.73.

b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 166: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

166

3. Regresi Logistik

Umur Balita

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 1.347 1 .246

Block 1.347 1 .246

Model 1.347 1 .246

Jenis Kelamin

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .943 1 .331

Block .943 1 .331

Model .943 1 .331

Berat Badan Lahir

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .771 1 .380

Block .771 1 .380

Model .771 1 .380

Panjang Badan Lahir

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .771 1 .380

Block .771 1 .380

Model .771 1 .380

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 167: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

167

ASI Eksklusif

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .056 1 .813

Block .056 1 .813

Model .056 1 .813

Riwayat Penyakit

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 25.306 1 .000

Block 25.306 1 .000

Model 25.306 1 .000

Pola Konsumsi

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 27.331 1 .000

Block 27.331 1 .000

Model 27.331 1 .000

Usia Ibu

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 4.071 1 .044

Block 4.071 1 .044

Model 4.071 1 .044

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 168: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

168

Tinggi Badan Ibu

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .227 1 .634

Block .227 1 .634

Model .227 1 .634

Pendidikan Ibu

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .771 1 .380

Block .771 1 .380

Model .771 1 .380

Pekerjaan Ibu

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .309 1 .578

Block .309 1 .578

Model .309 1 .578

Tinggi Badan Ayah

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .483 1 .487

Block .483 1 .487

Model .483 1 .487

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 169: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

169

Pendidikan Ayah

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 2.315 1 .268

Block 2.315 1 .268

Model 2.315 1 .268

Pekerjaan Ayah

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .158 1 .691

Block .158 1 .691

Model .158 1 .691

Penghasilan Keluarga

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 1.087 1 .297

Block 1.087 1 .297

Model 1.087 1 .297

Jumlah Anggota Keluarga

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step .112 1 .738

Block .112 1 .738

Model .112 1 .738

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 170: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

170

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 88 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 88 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 88 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

stunting 0

tidak stunting 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 0 Kejadian stunting pada

balita usia 24-59 tahun

Stunting 0 28 .0

Tidak stunting 0 60 100.0

Overall Percentage 68.2

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .762 .229 11.089 1 .001 2.143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 171: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

171

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Umur_balita 1.300 1 .254

Riwayat_penyakit 25.989 1 .000

Pola konsumsi 27.513 1 .000

Usia_ibu 3.998 1 .046

Overall Statistics 41.248 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 45.398 4 .000

Block 45.398 4 .000

Model 45.398 4 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 64.688a .403 .565

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter

estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 1 Kejadian stunting pada

balita usia 24-59 tahun

stunting 20 8 71.4

tidak stunting 3 57 95.0

Overall Percentage 87.5

a. The cut value is .500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 172: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

172

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a Umur_balita -1.127 .744 2.298 1 .130 .324 .075 1.391

Riwayat_pny 2.040 .668 9.326 1 .002 7.687 2.076 28.459

Pola konsumsi 2.589 .685 14.267 1 .000 13.319 3.475 51.048

Usia_ibu -1.140 .658 3.005 1 .083 .320 .088 1.161

Constant -.698 .841 .689 1 .407 .497

a. Variable(s) entered on step 1: umur_balita, riwayat_pny, asupan_pangan, usia_ibu.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 88 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 88 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 88 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Stunting 0

tidak stunting 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 0 Kejadian stunting pada

balita usia 24-59 tahun

stunting 0 28 .0

tidak stunting 0 60 100.0

Overall Percentage 68.2

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is .500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 173: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

173

Variables in the Equation

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .762 .229 11.089 1 .001 2.143

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables riwayat_pny 25.989 1 .000

asupan_pangan 27.513 1 .000

usia_ibu 3.998 1 .046

Overall Statistics 39.587 3 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 42.883 3 .000

Block 42.883 3 .000

Model 42.883 3 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 67.203a .386 .540

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter

estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 1 Kejadian stunting pada balita

usia 24-59 tahun

Stunting 21 7 75.0

Tidak stunting 5 55 91.7

Overall Percentage 86.4

a. The cut value is .500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 174: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

174

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a Riwayat_penyakit 2.090 .654 10.218 1 .001 8.087 2.245 29.136

Pola konsumsi 2.396 .647 13.710 1 .000 10.982 3.089 39.043

Usia_ibu -1.098 .648 2.869 1 .090 .334 .094 1.188

Constant -1.433 .694 4.268 1 .039 .239

a. Variable(s) entered on step 1: riwayat_pny, asupan_pangan, usia_ibu.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 88 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 88 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 88 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Stunting 0

Tidak stunting 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 0 Kejadian stunting pada

balita usia 24-59 tahun

stunting 0 28 .0

tidak stunting 0 60 100.0

Overall Percentage 68.2

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is .500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 175: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

175

Variables in the Equation

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .762 .229 11.089 1 .001 2.143

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Riwayat_penyakit 25.989 1 .000

Pola konsumsi 27.513 1 .000

Overall Statistics 37.794 2 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 39.834 2 .000

Block 39.834 2 .000

Model 39.834 2 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 70.253a .364 .510

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter

estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 1 Kejadian stunting pada

balita usia 24-59 tahun

stunting 14 14 50.0

tidak stunting 2 58 96.7

Overall Percentage 81.8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 176: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

176

Classification Tablea

Observed

Predicted

Kejadian stunting pada balita usia

24-59 bln Percentage

Correct Stunting Tidak stunting

Step 1 Kejadian stunting pada

balita usia 24-59 tahun

stunting 14 14 50.0

tidak stunting 2 58 96.7

Overall Percentage 81.8

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a Riwayat_penyakit 2.166 .632 11.735 1 .001 8.723 2.526 30.119

Pola konsumsi 2.245 .610 13.571 1 .000 9.444 2.860 31.186

Constant -1.989 .612 10.545 1 .001 .137

a. Variable(s) entered on step 1: riwayat_pny, asupan_pangan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 177: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

177

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 178: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

178

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 179: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

179

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 180: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING …

180

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA