Upload
vuonghuong
View
242
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
EVALUASI KEGIATAN AGROFORESTRI DI HUTAN
PENDIDIKAN GUNUNG WALAT
MUKHLISAH JAMIL
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kegiatan
Agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Mukhlisah Jamil
NIM E14110088
ABSTRAK
MUKHLISAH JAMIL. Evaluasi Agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat.
Dibimbing oleh IIN ICHWANDI.
Agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) diperkenalkan
pertama kali pada tahun 2001 sebagai upaya mempertahankan kelestarian hutan dan
mengatasi permasalahan perambahan hutan. Dalam perkembangannya jumlah
petani yang berpartisipasi dalam kegiatan agroforestri tersebut terus berkurang
sementara keberadaan agroforestri dibutuhkan sebagai penunjang kegiatan
pendidikan HPGW. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi agroforestri
terbaru sebagai bahan evaluasi bagi kegiatan agroforestri yang telah lama dilakukan
di HPGW. Saat ini jumlah petani penggarap agroforestri HPGW berjumlah 12
orang dengan luas total garapan 5.58 ha. Tanaman pertanian yang ditanam bersama
tanaman kehutanan adalah tanaman singkong, padi, sereh, lengkuas, kopi dan
kapolaga. Secara ekonomi, kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman
kapolaga merupakan pola kombinasi agroforestri terbaik untuk di terapkan pada
tegakan hutan rapat (>100 pohon/ ha). Pada tegakan hutan jarang (20 – 40 pohon
/ha), tanaman sereh merupakan tanaman yang tepat ditanam di antara tegakan
utama. Kontribusi ekonomi rata-rata yang diperoleh petani dari kegiatan
agroforestri HPGW adalah sebesar 13.04 %. Kegiatan ini juga memperoleh persepsi
yang baik dari petani penggarap agroforestri.
Kata kunci: agroforestri, HPGW, pelestarian hutan
ABSTRACT
MUKHLISAH JAMIL. Evaluation of Agroforestry Activities in Gunung Walat
Educational Forest. Supervised by IIN ICHWANDI.
Agroforestry in Gunung Walat Educational Forest (HPGW) was first introduced in
2001 as a effort to keep the forest conservation and to handle forest encroachment
issues. In its development, the number of farmers participating in the agroforestry
activities continues to decrease while the presence of agroforestry is needed to
support educational activities in HPGW. This study is supposed to assess the latest
condition of agroforestry in HPGW. Currently there are 12 farmers managing
agroforestry in HPGW with total area of 5.58 ha. Agricultural plants planted
together with forestry plants are cassava, rice, lemongrass, galangal, coffee and
kapolaga. Economically, combination between forestry plants and kapolaga is the
best combination of agroforestry pattern to be applied in dense stand ( >100
trees/ha). In spare stand (20 – 40 trees/ ha), lemongrass is the best plant to planted
together with forestry plants. The average economic contribution the farmers
obtained from agrofoestry activities in HPGW is 13.04%. This activity also
obtained a good perception from the farmers of agroforestry.
Keywords: agroforestry, HPGW, forest conservation
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
EVALUASI KEGIATAN AGROFORESTRI DI HUTAN
PENDIDIKAN GUNUNG WALAT
MUKHLISAH JAMIL
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
karunia dan nikmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyusun karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Adapun judul penelitian dalam karya
ilmiah ini adalah Evaluasi Kegiatan Agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung
Walat.
Penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Iin Ichwandi, MScF selaku
dosen pembimbing skripsi penulis yang telah memberi nasihat, saran, bimbingan,
dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini,
seluruh staf Hutan Pendidikan Gunung Walat yang membantu dalam proses
pengumpulan data, seluruh dosen Manajemen Hutan yang telah memberikan ilmu
dan pemahamannya kepada penulis, keluarga yang telah memberikan dorongan dan
motivasi bagi penulis dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata
bahasa. Masukan, saran, dan arahan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih
baik. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Mukhlisah Jamil
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 11
Latar Belakang 11
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Lokasi dan Waktu Penelitian 3
Objek dan Alat Penelitian 3
Prosedur Penelitian 3
Definisi Operasional 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 7
Kondisi Agroforestri HPGW Saat Ini 11
Kondisi Sosial Ekonomi Petani Agroforestri HPGW 23
Persepsi Petani Terhadap Kegiatan Agroforestri HPGW 27
SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 31
RIWAYAT HIDUP 32
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan teknik pengumpulan data penelitian 4 2 Tingkat persepsi berdasarkan Skala Likert 6 3 Pola penggunaan lahan 8 4 Data penduduk menurut kelompok umur penduduk Desa Hegarmanah 8 5 Mata pencaharian penduduk Desa Hegarmanah 9 6 Kombinasi tanaman penyusun agroforestri pada masing-masing pola
agroforestri 13 7 Jangka waktu pengelolaan petani agroforestri 22 8 Nilai Ekonomi Agroforestri HPGW masing-masing pola 22 9 Karakteristik petani masing-masing pola agroforestri. 24 10 Pengeluaran rumah tangga petani agroforestri HPGW tahun 2015
pada masing-masing jenis konsumsi 25
11 Profil penghasilan petani penggarap agroforestri HPGW tahun 2015 26 12 Tingkat persepsi petani agroforestri HPGW 27
DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian 3 2 Lokasi agroforestri Hutan Pendidikan Gunung Walat 12 3 Struktur tanaman pada agroforestri I. Terdiri atas a. damar (Agathis
lorantifolia) dan b. kopi (Coffea sp) 14 4 Struktur tanaman pada agroforestri I. Terdiri atas a. puspa (Schima
walichii) dan b. padi ladang (Oryza sativa) 15 5 Struktur tanaman pada agroforestri I. Terdiri atas a. puspa (Schima
walichii), b. manggis (Garcinia manggostana), c. duren (Durio
zibethinus) dan d. singkong (Manihot esculenta) 16 6 Layout agroforestri II dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
kopi dan kapolaga 17 7 Struktur tanaman pada agroforestri II. Terdiri atas a. damar (agathis
lorantifolia), b. puspa (Schima walichii), c. kopi (Coffea sp), dan d.
kapolaga (Amomum sp) 17
8 Layout agroforestri II dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
tanaman kopi dan singkong 18 9 Struktur tanaman pada agroforestri II terdiri atas a. damar (Agathis
loranthifolia), b. pinus (Pinus merkusii), c. kopi (Coffea sp) dan d.
singkong (Manihot esculenta) 18 10 Layout agroforestri II dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
tanaman sereh dan lengkuas 19
11 Struktur tanaman agroforestri II terdiri atas a. puspa (Schima walichii),
b. lengkuas (Alpinia galanga) dan c. sereh (Cymbopogon citratus) 19 12 Layout agroforestri III dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
tanaman kopi, singkong dan kapolaga 20 13 Struktur tanaman pada agroforestri III terdiri atas a. puspa (Schima
walichii), b. pinus (Pinus merkusii), c. kopi (Coffea sp), d. singkong
(Manihot esculenta) dan e. kapolaga (Amomum sp) 20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan agroforestri telah lama menjadi alternatif untuk memenuhi
kebutuhan harian berupa kayu, obat-obatan dan bumbu dapur bagi masyarakat yang
tinggal di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat. Kegiatan agroforestri tersebut
biasanya dilakukan secara tradisional dalam bentuk kebun campuran atau
pekarangan di lahan milik. Sementara itu, masyarakat yang tidak memiliki lahan
memenuhi kebutuhan tersebut dari dalam hutan.
Kegiatan agroforestri di lahan Hutan Pendidikan Gunung Walat pertama kali
diperkenalkan pada tahun 2001 dalam upaya mengurangi perambahan hutan besar-
besaran yang terjadi akibat krisis yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan
ekonomi di Indonesia dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin di pedesaan
yang terjadi pasca reformasi tahun 1998 (Febriani 2003). Kegiatan agroforestri
tersebut dikenalkan dalam konsep penanaman tanaman pangan dibawah tegakan
hutan.
Febriani (2003) menyatakan bahwa jumlah kepala keluarga yang melakukan
kegiatan agroforestri di HPGW pada masa itu sebanyak 254 KK dengan luas total
lahan yang dikerjakan seluas 74.98 ha dengan rata-rata luas garapan sebesar 0.25
ha. Praktek agroforestri tersebut dikelola secara berkelompok yang terbagi dalam
lima blok yakni : Blok Cipeureu, Blok Sindang, Blok Citalahab, Blok Sampay, dan
Blok Nanggerang. Tanaman pertanian yang ditanam dibawah tegakan hutan
sebagian besar berupa tanaman pisang dan tanaman singkong. Selain tanaman
pisang dan tanaman singkong, tanaman padi, talas, kopi dan kapulaga juga ditanam
dibawah tegakan hutan tetapi sedikit jumlahnya. Kontribusi hasil agroforestri
terhadap penghasilan rumah tangga petani penggarap agroforestri saat itu adalah
sebesar 3.28 %.
Pada tahun 2005, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerja sama
dengan ASEAN-Korea Enviromental Coorporation Project (AKECOP) dalam
proyek restorasi hutan dengan sistem agroforestri yang menyertakan partisipasi
masyarakat di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dalam proyek tersebut
dibentuk tiga pola agroforestri yang disusun berdasarkan kerapatan hutan. Tanaman
pertanian yang ditanam pada saat itu berupa tanaman pisang, cabai, padi, jagung,
kopi dan kapolaga. Pada hutan dengan kerapatan < 10 pohon/ha, ditanam juga
tanaman pendukung berupa tanaman sengon. Petani yang berpartisipasi dalam
proyek tersebut berjumlah 148 KK yang berasal dari kampung Citalahab, Cipeureu,
Sindang dan Sampai. Luas lahan garapan bervariasi antara 0.04 – 1.6 ha dengan
rata-rata luas garapan 0.3 ha. Dalam penelitian Isnaini (2006) ketiga pola
agroforestri tersebut layak untuk diusahakan dengan nilai B/C lebih dari satu
dengan kontribusi ekonomi rata-rata sebesar 11.73 %.
Sebagai hutan pendidikan, keberadaan agroforestri di HPGW memberikan
peran penting bagi kegiatan pendidikan yang merupakan utama HPGW. Selain itu,
kegiatan agroforestri HPGW berperan dalam kesejahteraan masyarakat melalui
kontribusi terhadap pendapatan keluarga. Penelitian terkait perkembangan
2
agroforestri di HPGW telah lama tidak dilakukan sejak tahun 2006. Oleh karenanya
perlu dilakukan pembaruan informasi terkait kondisi agroforestri tersebut
Rumusan Masalah
Sebagai hutan pendidikan, keberadaan agroforestri di HPGW memberikan
peran penting bagi kegiatan utama HPGW. Selain itu, kegiatan agroforestri HPGW
berperan dalam kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi terhadap pendapatan
keluarga. Akan tetapi, jumlah petani yang berpartisipasi dalam kegiatan agroforestri
semakin bekurang sejak diperkenalkannya sistem tersebut pada tahun 2001 yakni
sebanyak 254 KK menjadi tinggal 148 KK pada tahun 2006. Penelitian terkait
kondisi terbaru agroforestri di HPGW telah lama tidak dilakukan. Oleh karenanya
perlu dilakukan pembaruan informasi terkait kondisi agroforestri tersebut.
Informasi yang perlu dikaji terkait pembaruan informasi tersebut yaitu:
1. Bagaimana pola agroforestri yang masih dikerjakan masyarakat meliputi
komposisi jumlah dan jenis tanaman penyusun agroforestri dan bagaimana
pola tanam yang digunakan?
2. Bagamaina kondisi sosial ekonomi petani agroforestri dan berapa kontribusi
ekonomi yang diperoleh dari kegiatan agroforestri yang dilakukan?
3. Bagaimana persepsi petani tentang manfaat agroforestri baik manfaat
ekonomi maupun manfaat ekologi dalam melakukan kegiatan agroforestri di
HPGW?
Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi
agroforestri di hutan pendidikan gunung walat saat ini. Secara khusus tujuan dari
penelitian ini diantaranya:
1. Mengetahui pola agroforestri yang dikerjakan oleh petani yang masih
melakukan kegiatan agroforestri di HPGW.
2. Mengetahui kondisi sosial ekonomi petani agroforestri dan menghitung
kontribusi yang diperoleh kegiatan agroforestry.
3. Mengetahui persepsi dalam melakukan kegiatan agroforestri di HPGW.
Manfaat Penelitian
Bagi akademisi penelitian ini diharapkan mampu menjadi gambaran
mengenai pengelolaan Sumberdaya Alam yang berada di sekitar hutan dan juga
tindakan – tindakan rasional yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dan bagaimana tindakan tersebut mempengaruhi kelestarian lingkungan.
Bagi masyarakat terutama masyarakat Desa Hegarmanah penelitian ini
diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai model agroforestri yang tepat
dengan kondisi saat ini sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal.
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan pihak
pengelola HPGW untuk menentukan arah kebijakan terkait pengembangan
program agroforestri guna tercapainya pengelolaan hutan lestari dan masyarakat
yang sejahtera.
3
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengamatan pola agroforestri Hutan Pendidikan Gunung Walat dilakukan di
lokasi agroforestri Hutan Pendidikan Gunung Walat. Wawancara dilakukan pada
petani agroforestri yang tinggal di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat yaitu
Desa Hegamanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi. Lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian dilakukan pada Bulan September-Oktober
2015.
Gambar 1 Lokasi Penelitian
Objek dan Alat Penelitian
Objek penelitian ini adalah praktek agroforestri dan petani agroforestri di
HPGW. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kuisioner sebagai panduan
wawancara, alat tulis dan kamera.
Prosedur Penelitian
Data yang dikumpulkan dapat digolongkan menjadi data primer dan
sekunder. Data primer meliputi hasil yang diperoleh dari kegiatan observasi berupa
struktur tanaman agroforestri secara vertikal maupun horizontal dan hasil kegiatan
wawancara meliputi kondisi sosial ekonomi petani dan persepsi petani mengenai
kegiatan agroforestri di HPGW. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari studi
literatur dari penelitian sebelumnya mengenai agroforestri di HPGW dan juga
data-data dari instansi pemerintahan.
4
Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan melalui tiga metode yaitu observasi,
wawancara dan studi pustaka. Observasi dilakukan dengan teknik penulusuran
wilayah/ transek dan denah kebun/ farm skecth. Peneluran wilayah dilakukan
dengan cara melakukan pengamatan langsung lingkungan dan sumber daya
masyarakat, dengan cara berjalan menelusuri wilayah mengikuti suatu lintasan
yang bertujuan untuk mengetahui struktur tanaman di lokasi agroforestri. Lintasan
tersebut dibuat pada garis terpanjang kebun agroforestri. Denah kebun/ farm skecth
dibuat untuk mengetahui komposisi komponen agroforestri secara horizontal. Hasil
pengamatan dituangkan ke dalam bagan atau gambar irisan muka bumi.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara kepada
petani penggarap agroforestri HPGW. Wawancara dilakukan untuk mengetahui
kondisi sosial ekonomi petani dan persepsi petani terhadap kegiatan agroforestri
HPGW. Studi pustaka dilakukan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan agroforestri di HPGW dan data dari instansi pemerintahan Desa
Hegarmanah. Jenis dan teknik pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan teknik pengumpulan data penelitian
Jenis Data Data Teknik Pengumpulan
Data
Sumber data
Primer 1. Pola Agroforestri meliputi
komposisi tanaman secara
vertikal dan horizontal
dan pengelolaan yang
dilakukan petani
penggarap
Observasi dengan teknik
transek wilayah dan farm
skecth
2. Kondisi sosial ekonomi
petani penggarap meliputi
karakteristik rumah
tangga, profil penghasilan
rumah tangga dan
kontribusi ekonomi
agroforestri HPGW
terhadap penghasilan
rumah tangga
Wawancara Petani Penggarap
agroforestri
3. Persepsi petani penggarap
terhadap kegiatan
agroforestri di HPGW
Wawancara
Sekunder 1. Kondisi umum HPGW,
meliputi lokasi, kondisi
iklim dan tanah, sejarah
pengelolaan dan sejarah
agroforestri di HPGW.
Kondisi umum Desa
Hegarmanah, meliputi
lokasi, kependudukan
dan penggunaan lahan.
Studi Literatur Dokumen HPGW,
penelitian terkait
agroforestri di
HPGW dan data
potensi Desa
Hegarmanah
5
Pengolahan Data dan Analisis Data
A. Pola agroforestri
Data pola agroforestri berupa komposisi tanaman penyusun agroforestri
dalam bentuk gambar transek dan denah kebun dikelompokkan berdasarkan jumlah
jenis tanaman pertanian dari pola sederhana menuju pola komplek. Gambar transek
digunakan untuk melihat stuktur tanaman secara vertikal sementara denah kebun
dilakukan untuk melihat kombinasi tanaman pokok dan tanaman pertanian secara
horizontal. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan masing-masing petani diperoleh
dari hasil wawancara dan ditabulasi berdasarkan jangka waktu pengelolaan yang
dilakukan.
B. Nilai ekonomi hasil agroforestri
Nilai ekonomi hasil agroforestri digunakan untuk menentukan kombinasi
pola agroforestri yang paling menguntungkan secara ekonomi bagi petani. Nilai
ekonomi lahan per ha ditentukan dengan mengalikan rata-rata jumlah panen yang
diperoleh petani yang dinyatakan dalam kg/ha/tahun dengan harga jual masing-
masing komoditas.
Nilai ekonomi hasil agroforestri = Jumlah panen (kg/ha/tahun) × Harga (Rp/Kg)
Jumlah panen rata-rata diperoleh dari hasil wawancaara yang dilakukan
dengan petani yang bersangkutan. Harga yang digunakan merupakan harga jual
masing-masing komoditas pada waktu penelitian (2015) yang diperoleh melalui
wawancara terhadap petani yang bersangkutan.
C. Kondisi sosial dan ekonomi petani
Kondisi sosial dan ekonomi petani yang dikaji pada penelitian ini yaitu pola
karakteristik rumah tangga petani, konsumsi rumah tangga, pola konsumsi rumah
tangga, profil penghasilan rumah tangga dan kontribusi ekonomi hasil agroforestri
terhadap penghasilan rumah tangga petani. Karakteristik rumah tangga petani yang
dikaji meliputi usia petani, jumlah tanggungan keluarga dan asal kampung petani.
Pola konsumsi keluarga diperoleh dari akumulasi pengeluaran keluarga
selama satu tahun untuk pemenuhan kebutuhan rutin seperti makan, pendidikan,
transportasi, listrik, kebersihan (mandi dan mencuci) dan pajak, dan kebutuhan
tidak rutin seperti membeli pakaian, hiburan dan lainnya.
Profil penghasilan rumah tangga merupakan dari besarnya penghasilan petani
yang diperoleh dari berbagai sumber terhadap total penghasilan per tahun yang
dinyatakan dalam bentuk persen (%). Besarnya penghasilan masing-masing sumber
penghasilan tersebut dihitung menggunakan rumus:
Besar penghasilan (%) =Besar penghasilan dari berbagai sumber penghasilan
Total penghasilan RT × 100 %
Kontribusi ekonomi hasil agroforestri merupakan besarnya penghasilan yang
berasal dari kegiatan agroforestri terhadap total penghasilan rumah tangga.
6
D. Persepsi
Persepsi petani penggarap terhadap kegiatan agroforestri diukur dengan
melakukan sejumlah pernyataan melalui kuesioner. Pernyataan tersebut ditentukan
berdasarkan persepsi petani berkaitan dengan teknis pelaksanaan, manfaat ekonomi
dan manfaat ekologi dari kegiatan agroforestri di HPGW.
Metode yang digunakan untuk mengukur persepsi yaitu metode rating yang
dijumlahkan atau penskalaan Likert (Mueller, 1996). Merupakan metode
penskalaan pernyataan sikap/persepsi yang menggunakan distribusi respons
sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Responden akan diminta untuk menyatakan
kesetujuan atau ketidaksetujuannya terhadap isi pernyataan dalam lima kategori
jawaban, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Tidak Dapat
Menentukan atau Entahlah (E), Setuju (S) dan Sangat Setuju (SS). Dari masing-
masing kategori jawaban akan diberi nilai tergantung dari bentuk pernyataannya
baik yang berupa pernyataan positif maupun negatif.
Pemberian nilai dari 0 sampai 4 tergantung bentuk pernyataannya, apabila
positif maka nilai terbesar untuk kategori jawaban persetujuan atau Sangat Setuju
(SS) sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif, nilai terbesar untuk kategori
jawaban penolakan atau Sangat Tidak Setuju (STS). Hasil dari kuesioner dicari nilai
rata-rata dari tiap butir pernyataan dengan menjumlahkan nilai dari tiap jawaban
dan membaginya dengan jumlah responden. Sehingga diperoleh nilai yang
menggambarkan tingkat persepsi responden. Interval nilai rata-rata dari pernyataan/
tanggapan untuk tingkat persepsi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2 Tingkat persepsi berdasarkan Skala Likert
Interval nilai tanggapan Tingkat Persepsi
3.00 – 4.00 Tinggi
2.00 – 2.99 Sedang
0.00 – 1.99 Rendah
Definisi Operasional
Agroforestri merupakan teknik pengelolaan hutan multistrata dengan menanam
tanaman pangan diantara tegakan hutan (Hairiah et al 2003).
Sistem Agroforestri Sistem agroforestri dapat didasarkan pada komposisi biologis
serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-
ekonominya (Sardjono et al 2003).
Praktek Agroforestri penggunaan istilah praktek dalam agroforestri menjurus
kepada operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestri yang
murni didasarkan pada kepentingan/kebutuhan ataupun juga pengalaman
dari petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang di dalamnya terdapat
komponen komponen agroforestri (Sardjono et al 2003)..
Pola Agroforestri merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan komposisi
tanaman yang ditanam di lahan agroforestri (Sardjono et al 2003).
Petani Penggarap merupakan kepala keluarga petani yang menggarap lahan
agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat.
Kerapatan Hutan merupakan keadaan hutan yang dinyatakan dalam pohon/ha
Jenis pekerjaan merupakan usaha tertentu yang dilakukan oleh anggota keluarga
dalam rangka memperoleh penghasilan berupa uang.
7
Usia merupakan lama hidup contoh terhitung sejak lahir hingga tahun 2015 yang
dinyatakan dalam tahun.
Persepsi kesan, penafsiran atau penilaian berdasarkan pengalaman yang diperoleh
mengenai kegiatan agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Hutan Pendidikan Gunung Walat
Secara geografis terletak pada koordinat 60o53’35” – 60o55’10” LS dan
106o047’50” – 106o051’30” BT. Administrasi kehutanan areal HPGW termasuk
BKPH Gede Barat, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat,
sedangkan secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan
Cicantayan dan Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
HPGW merupakan bagian dari pegunungan dan hampir seluruh kawasannya
berada di ketinggian 500 mdpl. Tingkat kemiringan lereng dari Curam (15 – 25%)
hingga sangat curam (>40%) (Badan Eksekutif HPGW 2010).
Berdasarkan peta tanah Gunung Walat skala 1:10.000 tahun 1981, jenis tanah
Gunung Walat, yaitu: keluarga tropophumult tipik (latosol merah kekuningan),
tropodult (latosol coklat), dystropept tipik (podsolik merah kekuningan), dan
troporpent lipik (latosol).
Kondisi Iklim berdasarkan tipe iklim Schimidt dan Ferguson, daerah di
sekitar HPGW termasuk tipe iklim B. Ketinggian tempat dari permukaan air laut
adalah 600 mdpl. Suhu minimum pada malam hari adalah 22°C sedangkan suhu
maksimum pada siang hari adalah 30°C.
Saat ini penutupan lahan di HPGW telah mencapai 95% dari seluruh area.
HPGW memiliki tegakan sejenis seperti agathis (Agathis loranthifolia), pinus
(Pinus merkusii), dan puspa (Schima walichii) dan tegakan campuran terdiri dari
mahoni (Swietenia mahagony), sengon (Paraseranthes falcataria), kayu afrika
(Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), meranti (Shorea sp), akasia
(Acacia mangium), dan randu (Ceiba pentandra).
Masyarakat Sekitar HPGW Sebagian besar wilayah administrasi HPGW masuk ke dalam Desa
Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi. Oleh karenanya
HPGW sangat dipengaruhi oleh interaksi masyarakat Desa Hegarmanah dengan
hutan, termasuk kegiatan agroforestri.
Menurut Amallia (2010) pada tahun 1980 Desa Hegarmanah merupakan
pemekaran dari Desa Cantayan, dengan pertimbangan letak desa terlalu jauh dari
pusat desa, areal desa yang terlalu luas, dan jumlah penduduk yang sudah
memungkinkan untuk pemekaran. Desa Hegarmanah terdiri atas 6 kampung yang
sudah dipadatkan yaitu Hegarmanah, Longkewang, Nangerang, Cilubang, Ciparay
dan Citalahab. Desa Hegarmanah secara administratif termasuk dalam Kecamatan
Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara geografis terletak di koordinat
6.57˚ LS dan 106.41˚ BT.
8
Desa Hegarmanah memiliki luas 1488.33 ha yang terdiri atas hutan HPGW,
perkebunan, persawahan, dan perkampungan masyarakat. Penggunaan lahan
terbesar untuk perkebunan yaitu seluas 1007.8 ha (67.71 %) dan terkecil untuk
perkampungan seluas 49.5 ha (3.32%).
Tabel 3 Pola penggunaan lahan
No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%)
1 Perkebunan 1007.8 67.71
2 Hutan HPGW 350 23.51
3 Persawahan 81 5.44
4 Perkampung 49.5 3.32
Total 1488.3 100
Sumber: Potensi Desa Hegarmanah 2014
Berdasarkan data kependudukan yang dikeluarkan oleh balai desa tahun
2014, penduduk Desa Hegarmanah berjumlah 6071 jiwa. Jumlah laki-laki (3058
jiwa) hampir sebanding dengan jumlah penduduk perempuan (3013 jiwa). Usia
produktif (15 – 64 tahun) memiliki jumlah terbanyak, yaitu 4073 jiwa atau 67.4%
dari total penduduk. Data kependudukan Desa Hegarmanah dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Data penduduk menurut kelompok umur penduduk Desa Hegarmanah
No Kelas umur (tahun) Jumlah Persentase (%)
1 0 - 9 1057 17.49
2 10 - 19 892 14.76
3 20 - 29 1125 18.62
4 30 - 39 1042 17.24
5 40 - 49 757 12.53
6 50 - 59 529 8.75
7 60 - 69 416 6.88
8 70 - 74 120 1.99
9 ≥ 75 105 1.74
Total 6043 100
Sumber: Potensi Desa Hegarmanah tahun 2014
Sebagian besar penduduk Desa Hegarmanah berprofesi sebagai pelajar
sebanyak 1458 (38.22%) dan buruh sebanyak 1234 (32.35%). Sisanya berprofesi
sebagai pedagang (10.75%), wiraswasta (6.37%), petani (4.98%) dan pekerjaan
lain. Data pekerjaan warga penduduk Desa Hegarmanah dapat dilihat pada Tabel 5.
9
Tabel 5 Mata pencaharian penduduk Desa Hegarmanah
Sumber: Potensi Desa Hegarmanah tahun 2014
Keberadaan HPGW secara langsung memberikan pengaruh terhadap
masyarakat disekitarnya. Menurut laporan kegiatan Ecological Social Mapping
yang dilakukan oleh Forest Management Student Club (2012) Keberadaan HPGW
bagi masyarakat sekitar cukup penting. 96.4% masyarakat sekitar mengatakan
keberadaan HPGW harus dijaga karena banyak manfaat yang diberikan bagi
mereka. Interaksi masyarakat sekitar HPGW, khususnya Desa Hegarmanah berupa
mencari kayu bakar, pemanfaatan sumber air bersih, mencari rumput untuk pakan
ternak, kegiatan penyadapan kopal dan dan getah pinus, mencari tanaman obat dan
kegiatan penggarapan lahan agroforestri.
Sejarah Pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat
Hutan Pendidikan Gunung Walat mengalami tiga masa pengelolaan, yaitu
pada jaman Belanda, pada masa dikelola oleh pemerintah dan pada masa dikelola
oleh IPB. Masa pengelolaan kolonial Belanda dilakukan sebelum kemerdekaan RI
1945. Pada tahun 1925 pemerintahan kolonial Belanda melakukan penutupan areal
HPGW setelah sebelumnya digarap masyarakat sebagai kompensasi tenaga untuk
pembangunan jalan. Pada tahun 1940 masyarakat kembali meminta izin untuk
menggarap areal tersebut hingga ditutup kembali pada tahun 1946 (Rohilah 2003).
Setelah kemerdekaan, pengelolaan HPGW dilakukan oleh pemerintah
Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kehutanan. Masyarakat mulai membuka
lahan di Legok Muncang tahun 1960, lalu diminta menanam pohon jati. Namun
dalam pengembangannya pohon jati tersebut banyak dirusak dan diambil daunnya
untuk dijual. Setelah terjadi kerusakan tersebut akhirnya pohon jati (Tectona
grandis) diganti dengan pohon damar (Aghatis loranthifolia) secara keseluruhan
dan mulai dilakukan penanaman pohon pinus (Pinus merkusii) untuk Blok
Cikatomas dan tanaman puspa (Schima wallichii) pada tahun 2003 (Rohilah 2003).
Pada tahun 1961 Hutan Pendidikan Gunung Walat mulai dikelola oleh
Fakultas Kehutanan IPB dengan status pinjaman dari Direktorat Jenderal
No Mata Pencarian Jumlah Presentase (%)
1 Pelajar 1458 38.22
2 Buruh 1234 32.35
3 Pedagang 410 10.75
4 Wiraswasta 243 6.37
5 Petani 190 4.98
6 Tukang 86 2.25
7 Peternak 57 1.49
8 Guru 50 1.31
9 PNS 33 0,87
10 Dukun beranak 18 0.47
11 Mekanik 10 0.26
12 PRT 10 0.26
13 Supir 6 0.16
14 Ustadz 6 0.16
15 Pensiunan 4 0.10
Total 3815 100
10
Kehutanan. Selanjutnya dilakukan penjajagan oleh IPB untuk mengusahakan hutan
Gunung Walat pada tahun 1967 hingga ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan melalui
Surat Keputusan (SK) Kepala Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat Tanggal 14
Oktober 1969 No. 7041/IV/69. Dalam SK tersebut pengelolaan, pengaman, dan
segala sesuatu yang menyangkut kawasan tersebut merupakan tanggung jawab
Fakultas Kehutanan IPB (Febriani 2003). Pengelolaan HPGW seluas 359 ha
selanjutnya diberikan kepada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor hingga
waktu tidak terbatas sesuai dengan surat ketetapan Menteri Kehutanan
No.SK.702/Menhut-II/2009.
Sejarah dan Perkembangan Agroforestri di HPGW
Agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat mulai diperkenalkan pada
tahun 2001 untuk mengurangi pencurian kayu dan perambahan hutan yang
dilakukan besar-besaran sejak tahun 1998 akibat terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia. Agar kegiatan agroforestri tersebut berjalan lancar dibuat kerjasama
antara pihak pengelola HPGW dengan petani penggarap (Rohilah 2003). Perjanjian
tersebut berlaku selama 10 tahun, selama waktu tersebut pihak HPGW berhak
mencabut izin untuk menggarap apabila petani penggarap melanggar isi perjanjian
tersebut seperti menebang tanaman pokok yang ada di arealnya. Selain itu petani
jug tidak diizinkan untuk menyerahkan izin garapan (andil) ke pihak lain tanpa
persetujuan dari pihak pengelola HPGW.
Dalam Febriani (2003) terdapat 245 KK petani penggarap yang tergabung
dalam 24 kelompok tani. Andil pengelolaan lahan garapan tersebut dibagi dalam
lima blok yakni : Blok Cipeureu, Blok Sindang, Blok Citalahab, Blok Sampay, dan
Blok Nanggerang. Praktek agroforestri yang dilakukan masih sangat sederhana,
berupa penanaman tanaman singkong dan pisang sebagai tanaman sela. Beberapa
petani juga menanam kapulaga dan kopi, namun karena harga pasar yang tidak
stabil tanaman ini banyak mulai ditinggalkan petani. Akan tetapi pelaksanaan
progam ini belum dilakukan secara serius, segala permasalahan lahan yang
dirasakan petani belum dapat diatasi dengan baik. Program ini dinilai belum mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat (terutama petani penggarap) karena
kontribusi hasil pertanian yang berasal dari lahan garapan hanya 3.28%.
Pada tahun 2005, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerja sama
dengan ASEAN-Korea Enviromental Coorporation Project (AKECOP) dalam
proyek restorasi hutan dengan sistem agroforestri yang menyertakan partisipasi
masyarakat di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dalam proyek tersebut
dibentuk tiga pola agroforestri yang disusun berdasarkan kerapatan hutan. Tanaman
pertanian yang ditanam pada saat itu berupa tanaman pisang, cabai, padi, jagung,
kopi dan kapolaga. Petani yang berpartisipasi dalam proyek tersebut berjumlah 148
KK yang berasal dari kampung Citalahab, Cipeureu, Sindang dan Sampai. Luas
lahan garapan bervariasi antara 0.04 – 1.6 ha dengan rata-rata luas garapan 0.3 ha.
Pola pertama didesain untuk memulihkan areal hutan yang benar-benar tidak
tertanami pohon atau istilahnya tegakan hutan yang gundul dengan jumlah pohon
yang tersisa kurang dari 25 pohon/ha. Tanaman kehutanan yang ditanam berupa
tanaman Paraserianthes falcataria (sengon) dan Agathis loranthifolia (damar),
sedangkan untuk tanaman pertaniannya adalah padi, jagung, pisang, nanas,
singkong, kapulaga dan kopi.
11
Pola kedua merupakan modifikasi dari pola pertama dan jika kondisi hutan
sudah agak gundul atau jumlah pohon yang tersisa dari 25 – 100 pohon/ha.
Apabila kondisi hutannya masih cukup rapat atau jumlah pohon yang tersisa lebih
dari 100 pohon/ha merupakan pola III. Pada pola ini tidak dilakukan penanaman
kembali jenis pohon tetapi hanya penataan dan penanaman tanaman pertanian yang
tahan naungan, seperti kopi, kapulaga dan pisang. Di areal dimana terdapat cukup
cahaya dapat ditanami dengan singkong, padi gogo, jagung atau kacang tanah.
Dalam penelitian Isnaini (2006), ketiga pola tersebut menghasilkan B/C lebih
dari satu yakni 1.50 untuk pola I, 1.2 untuk pola II, dan 2.18 untuk pola III. Artinya
pola pemanfaatan lahan agroforestri di HPGW layak di usahakan. Selain itu pada
hasil penelitian ini juga menunjukan persepsi positif dari petani terhadap
keberlanjutan program. Hal ini menunjukkan bahwa sistem agroforestri di HPGW
memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan mampu mengurangi tekanan
masyarakat terhadap perambahan hutan.
Kondisi Agroforestri HPGW Saat Ini
Minat masyarakat untuk menggarap lahan HPGW semakin lama semakin
berkurang. Saat ini areal hutan yang masih dikerjakan masyarakat untuk
agroforestri adalah seluas total 5.58 ha yang dikerjakan oleh 12 petani dalam 13
petak dengan luas berkisar 0.12 ha – 1.2 ha. Lokasi lahan garapan agroforestri yang
tersisa saat ini berada di kampung Sampay dan kampung Sindang.
Sebagian besar petani yang ditemui pada saat penelitian berlangsung
merupakan petani yang sudah melakukan kegiatan agroforestri sejak tahun 2000
yaitu saat sistem agroforestri diperkenalkan dan dibuat perjanjian kerjasama antara
pihak pengelola HPGW dan petani penggarap agroforestri. Sebagian lagi telah
melakukan kegiatan agroforestri di HPGW selama 10 tahun, saat berlangsungnya
program rehabilitasi lahan yang didanai AKECOP tahun 2005. Sisanya baru mulai
melakukan kegiatan agroforestri kurang dari 10 tahun meneruskan izin menggarap
(andil) petani yang telah meninggalkan lahan tersebut atau dikenal sebagai oper
garap.
Prosedur oper garap dilakukan dengan cara jual beli tanaman pertanian yang
ditanam petani di dalam lahan agroforestri yang digarap. Berdasarkan keterangan
salah seorang pelaku oper garap, untuk dapat mengelola 1 ha lahan agroforestri, ia
melakukan tiga kali transaksi jual beli pada tiga petani yang berbeda yakni Rp 1
500 000 kepada Bapak Arud, Rp 1 000 000 pada Bapak Ukad dan Rp 1 000 000
kepada Ibu Teti. Meskipun begitu petani memahami sebagian besar isi perjanjian
antara pihak pengelola HPGW dengan petani penggarap agroforestri salah satunya
larangan menebang pohon yang ada dalam areal agroforestri tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, tanaman pertanian yang diusahakan di sela-
sela tanaman utama adalah tanaman tahunan berupa tanaman singkong, padi, sereh
dan lengkuas, dan tanaman parennial yaitu tanaman pangan yang hasilnya dapat
dipanen terus menerus berupa tanaman kopi dan kapolaga. Berdasarkan jumlah
jenis tanaman pertanian penyusun agroforestri, terdapat tiga pola agroforestri yang
ditemui di HPGW, yaitu :
1. Agroforestri I, yaitu pola agroforestri dengan satu jenis tanaman pertanian
2. Agroforestri II, yaitu pola agroforestri dengan dua jenis tanaman pertanian,
dan
12
3. Agroforestri III, yaitu pola agroforestri dengan lebih dari dua jenis tanaman
pertanian.
Lokasi pemanfaatan agroforestri masing-masing pola tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Lokasi agroforestri Hutan Pendidikan Gunung Walat
Interaksi tanaman kehutanan dan tanaman pertanian pada masing-masing
pola menghasilkan beberapa kombinasi yang berbeda. Kombinasi tanaman
kehutanan dengan tanaman pertanian pada masing-masing pola agroforestri dapat
dilihat pada Tabel 6.
13
Tabel 6 Kombinasi tanaman penyusun agroforestri pada masing-masing pola
agroforestri
Pola
Agroforestri
No Petak Luas
Rata-
Rata (ha)
Jumlah
Pohon / ha
Jenis Tanaman
Tanaman Kehutanan Tanaman
Pertanian
Agroforestri I 12
13
5 dan 11
1
0.70
0.40
0.22
0.12
100
100
40
120
Damar
Damar
Puspa, rasamala, pinus
Puspa, pinus, durian,
manggis, melinjo, damar
Kopi
Kapol
Padi
Singkong
Agroforestri II 2 dan 7
3,4, dan
11
9 dan 10
0.11
0.38
0.62
30
78
40
Puspa
Puspa, pinus, mahoni,
damar
Puspa, pinus, damar
Sereh dan
Lengkuas
Kopi dan
Kapol
Kopi dan
Singkong
Agroforetri III 6 dan 8 0.45 30 Puspa, pinus, damar Kopi,
Kapol dan
Singkong
A. Kombinasi tanaman pada agroforestri I
Bentuk agroforestri dengan satu jenis tanaman pertanian di HPGW dapat
dijumpai dalam empat jenis pola kombinasi yang berbeda, yaitu:
1. Kombinasi tanaman utama dengan tanaman pertanian kopi
2. Kombinasi tanaman utama dengan tanaman petanian kapolaga
3. Kombinasi tanaman utama dengan tanaman pertanian padi
4. Kombinasi tanaman utama dengan tanaman pertanian singkong
Kapolaga dan kopi merupakan tanaman parennial. Kombinasi antara tanaman
pokok dengan kedua jenis tanaman ini memiliki pola dan struktur tanaman yang
serupa. Pada larikan tanaman utama berupa tanaman damar (Agathis lorantifolia)
yang ditanam seragam dengan jarak tanam 10 m x 10 m ditanam tanaman bawah
dari jenis kapolaga (Amomum sp) atau kopi (Coffea sp) dengan pola berbaris
berjarak tanam 2m x 2m. Kombinasi tersebut membentuk agroforestri dengan 2
strata yaitu tanaman damar pada strata tingkat V dengan tinggi 20 – 30 m dan
tanaman kopi atau kapolaga pada strata tingkat II dengan tinggi 1 – 5 m. Struktur
tanaman agroforestri I dapat dilihat pada Gambar 3.
14
.Gambar 3 Struktur tanaman pada agroforestri I. Terdiri atas a. damar (Agathis
lorantifolia) dan b. kopi (Coffea sp)
Kombinasi kedua pada pola agroforestri I yaitu kombinasi tanaman
kehutanan dengan tanaman padi. Tanaman kehutanan yang menyusun komponen
agroforestri ini adalah tanaman puspa dan rasamala yang tumbuh secara tidak
beraturan. Selain itu, pada petak agroforestri ini terdapat tanaman pinus yang baru
ditanam pada tahun 2010 yang ditanam dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Sementara
itu padi ditanam dengan cara ditugal menggunakan alat kayu yang diruncingkan
dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Dalam setiap lubang tanam diisi 5 (lima) sampai
10 (sepuluh) biji padi yang sudah dicampur pupuk. Akibat anakan pinus yang masih
muda tersebut, kombinasi tersebut membentuk agroforestri dengan 3 tingkat strata
vegetasi yaitu tanaman rasamala dan puspa pada tingkat V, tanaman pinus pada
tingkat II dan padi sebagai penutup lahan pada strata vegetasi tingkat I .
15
Gambar 4 Struktur tanaman pada agroforestri I. Terdiri atas a. rasamala (Altingia
excelsa), b. puspa (Schima walichii), c. pinus (Pinus merkusii) dan d.
padi ladang (Oryza sativa)
Pola ketiga pada bentuk agroforestri ini merupakan kombinasi antara tanaman
kehutanan dari jenis puspa (Schima walichii) yang tumbuh secara acak pada petak
agroforestri dan tanaman kehutanan dari jenis tanaman multi purpose tree species
(MPTS) dari jenis manggis (Garcinia manggostana), melinjo (Gnetum gnemon)
dan durian (Durio zibethinus) yang ditanam dengan jarak tanam 8 m x 8m dan
tanaman pertanian berupa tanaman singkong (Manihot usculenta).
Pola tanam pada agroforestri kombinasi ini adalah dengan membagi ruang
antara tanaman pertanian dengan tanaman kehutanan. Tanaman pertanian berupa
tanaman singkong ditanam dengan jarak tanam 0.5 m x 0.5 m. Struktur tanaman
pada kombinasi agroforestri ini memiliki 4 tingkat strata vegetasi yaitu tegakan
utama berupa puspa, pinus dan damar pada tingkat V, tegakan campuran jenis
MPTS pada tingkat II dan IV dan tanaman singkong pada strata II.
16
Gambar 5 Struktur tanaman pada agroforestri I. Terdiri atas a. puspa (Schima
walichii), b. manggis (Garcinia manggostana), c. duren (Durio
zibethinus), d. melinjo (Gnetum gnemon) dan e. singkong (Manihot
esculenta)
B. Kombinasi tanaman pada agroforestri II
Terdapat tiga jenis pola kombinasi agroforestri dengan dua jenis tanaman
pertanian di HPGW, yaitu:
1. Tanaman utama dengan kombinasi tanaman pertanian dari jenis kopi (Coffea
sp) dan kapolaga (Amomum sp).
2. Tanaman utama dengan kombinasi tanaman pertanian jenis kopi (Coffea sp)
dan singkong (Manihot esculenta).
3. Tanaman utama dengan kombinasi tanaman pertanian jenis sereh dan
lengkuas.
Pola agroforestri tanaman utama dengan kombinasi tanaman pertanian jenis
kopi (Coffea sp) dan kapolaga (Amomum sp) merupakan pola yang paling banyak
diterapkan oleh petani penggarap agroforestri di HPGW. Selain memiliki nilai
ekonomi tinggi, tanaman kopi dan tanaman kapolaga dapat tumbuh dengan baik
dibawah tegakan yang rapat.
Berbeda dengan agroforestri I yang hanya mengkombinasikan salah satu dari
tanaman tersebut dengan tanaman utama, pada pola agroforestri II tanaman kopi
ditanam jarak tanam lebih jarang yaitu 3 m x 4 m diantara tanaman utama sesuai
dengan ruang yang tersedia dan tanaman kapol ditanam secara berumpun mengisi
ruang kosong diantara tanaman kopi. Tanaman kehutanan penyusun agroforestri ini
adalah tanaman puspa (Schima walichii), damar (Aghatis loranthifolia), dan mahoni
(Sweitenia mahagoni) yang tumbuh secara acak dengan kerapatan 78 pohon/ ha
(Gambar 6).
17
Gambar 6 Layout agroforestri II dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
kopi dan kapolaga (luas plot 0.1 ha)
Gambar 7 Struktur tanaman pada agroforestri II. Terdiri atas a. damar (agathis
lorantifolia), b. mahoni (Sweitenia mahagoni), c. kopi (Coffea sp), dan
d. kapolaga (Amomum sp)
Selain kapolaga, petani juga mengkombinasikan tanaman kopi dengan
tanaman singkong (Mannihot esculenta) yang ditanam secara tumpang sari dengan
jarak tanam 0.5 m x 0.5 m dengan tanaman kopi yang ditanam dengan jarak tanam
3m x 4m. Tanaman kehutanan penyusun agroforestri pada kombinasi ini lebih
jarang dibanding kerapatan hutan pada kombinasi kopi dan kapolaga yaitu hanya
18
berkisar 40 pohon/ ha. Hal ini disebabkan karena lokasi yang berbatasan langsung
dengan pemukiman, dan merupakan lahan yang pernah di jarah pada masa lampau.
Layout pola taman agroforestri ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Layout agroforestri II dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
tanaman kopi dan singkong (luas 0.2 ha)
Gambar 9 Struktur tanaman pada agroforestri II terdiri atas a. damar (Agathis
loranthifolia), b. pinus (Pinus merkusii), c. kopi (Coffea sp) dan d.
singkong (Manihot esculenta)
Selain kombinasi tanaman kopi, ada pula petani yang mengkombinasikan
tanaman utama dengan tanaman sereh (Cymbopogon citratus) dan lengkuas
19
(Alpinia galanga). Hanya ada dua petani yang menerapkan pola ini, hal ini
disebabkan naungan berpengaruh tidak baik terhadap kualitas kedua tanaman
tersebut sehingga tidak dapat diterapkan di hutan yang rapat. Petani yang
menerapkan pola ini adalah bapak Adin dan Bapak Enjang dengan tanaman utama
berupa pohon puspa (Schima walichii) dengan kerapatan hutan ± 30/ Ha.
Tanaman sereh ditanam pada guludan dengan jarak antar guludan sekitar 1
m. Sereh ditanam secara berumpun dimana satu lubang tanam diisi 1-2 anakan.
Sementara itu tanaman lengkuas ditanam pada sela-sela guludan sereh (Gambar 10).
Sebelum dilakukan penanaman, lahan terlebih dahulu dipastikan bebas dari gulma.
Pembersihan gulma dilakukan menggunakan parang, kemudian sisa-sisa tanaman
dibakar agr lahan benar-benar bersih dari tanaman pengganggu.
Gambar 10 Layout agroforestri II dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
tanaman sereh dan lengkuas (0.1 ha)
Gambar 11 Struktur tanaman agroforestri II terdiri atas a. puspa (Schima walichii),
b. lengkuas (Alpinia galanga) dan c. sereh (Cymbopogon citratus)
20
C. Kombinasi tanaman pada agroforestri III
Bentuk agroforestri dengan lebih dari dua jenis tanaman peratanian
merupakan kombinasi antara tanaman pokok, kopi, singkong dan kapolaga.
Tanaman kopi pada pola ini ditanam lebih jarang dengan jarak tanam 3 m x 5 m
sementara diantara tanaman kopi ditanam dengan jarak 1 m x 0.5 m, dan kapolaga
ditanam secara berumpun pada sisi-sisi areal agroforestri. Tanaman kehutanan yang
menyusun agroforestri ini adalah tanaman puspa dan pinus yang tumbuh secara
acak dengan kerapatan 30 pohon / ha (Gambar 12).
Gambar 12 Layout agroforestri III dengan pola kombinasi tanaman utama dengan
tanaman kopi, singkong dan kapolaga (0.2 ha)
Gambar 13 Struktur tanaman pada agroforestri III terdiri atas a. puspa (Schima
walichii), b. pinus (Pinus merkusii), c. kopi (Coffea sp), d. singkong
(Manihot esculenta) dan e. kapolaga (Amomum sp)
21
Kegiatan Pengelolaan
Kegiatan pengelolaan yang dilakukan petani penggarap agroforestri meliputi
kegiatan pesiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Kegiatan
persiapan lahan terutama dilakukan pada tanaman pertanian semusim seperti padi,
sereh, dan singkong. Sebelum dilakukan penanaman, lahan terlebih dahulu
dipastikan bebas dari gulma dan sisa tanaman sebelumnya. Pembersihan lahan dari
gulma dilakukan secara sederhana menggunakan arit atau parang.
Teknik penanaman tanaman pertanian di lahan agroforestri HPGW dilakukan
dengan teknologi sederhana sesuai dengan intuisi dan kebiasaan petani. Penanaman
rutin dilakukan terutama pada tanaman pertanian musiman seperti singkong, padi,
sereh, dan lengkuas. Singkong ditanam menggunakan stek batang lokal, bukan bibit
unggul. Padi ditanam dengan cara ditugal menggunakan alat kayu yang
diruncingkan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Dalam setiap lubang tanam diisi
5 (lima) sampai 10 (sepuluh) biji padi yang sudah dicampur pupuk. Tanaman sereh
ditanam pada guludan tanpa mulsa dengan jarak antar guludan sekitar 1 m. Sereh
ditanam secara berumpun dimana satu lubang tanam diisi 1-2 anakan.
Kapolaga dapat dipanen setiap empat bulan sekali yaitu sekitar bulan Januari,
Mei dan September jika kondisi tanah cukup subur, namun jika kondisi tanah
kurang subur, kapolaga dipanen enam bulan sekali (Rohilah 2003). Namun saat ini,
petani penggarap hanya memanen kapolaga setahun sekali dikarenakan kondisi
tanah yang tidak begitu subur dan kondisi petani yang tidak lagi prima sehingga
tidak dapat terlalu sering ke kebun.
Kopi dipanen secara bertahap, karena kopi tidak masak secara serempak.
Tahapan pemanenan kopi adalah sebagai berikut :
1. Petik longsong, yaitu mengambil buah yang terkena hama bubuk buah.
2. Petik onclong, yaitu mengambil buah sehat yang sudah masak.
3. Panen raya, yaitu pemetikan buah kopi secara besar-besaran.
4. Petik rampasan, yaitu mengambil buah yang masih tersisa di pohon.
5. Petik lelesan, yaitu mengambil buah yang tercecer ditanah.
Padi ladang biasanya ditanam pada saat curah hujan cukup tinggi yaitu sekitar
bulan November, dan dipanen empat bulan dari penanaman sekitar bulan Februari.
Setelah panen padi, lahan dibiarkan kosong sementara petani mengerjakan tanaman
di tempat lain atau menjadi buruh tani kepada petani lain.
Intensitas petani untuk melakukan kegiatan pengelolan berbeda-beda
tergantung pada jarak rumah ke lahan garapan dan kegiatan yang perlu dilakukan.
Ada petani yang melakukan pemeliharaan setiap hari berupa penyiangan dan
pembersihan gulma, ada petani yang melakukan pemeliharaan hanya 1 -2 kali
perbulan, ada pula petani hanya melakukan kegiatan pengelolaan 1 – 2 kali per
tahun yaitu hanya saat kegiatan penanaman dan pemanenan. Jangka waktu petani
penggarap melakukan kegiatan pengelolaan dan kegiatan yang dilakukan di lahan
garapan dapat dilihat pada Tabel 7.
22
Tabel 7 Jangka waktu pengelolaan petani agroforestri
Jangka
waktu
pengelolaan
Tanaman yang dikelola Kegiatan yang dilakukan Jumlah petani
(orang)
Harian Singkong, padi, sereh Penyiangan tumbuhan
bawah, penanaman,
pemanenan
4
Bulanan Kopi, kapolaga Penyiangan, pemanenan 5
Tahunan Kopi, kapolaga, singkong Penanaman, pemanenan 3
Rata-rata petani melakukan kegiatan pengelolaan secara rutin setiap bulan
sekitar 1 – 2 kali, hal ini disebabkan tanaman yang ditanam (kopi dan kapolaga)
merupakan tanaman yang tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sehingga
pemeliharaan hanya dilakukan seperlunya, bahkan beberapa petani hanya
melakukan kegiatan penngelolaan kopi dan kapolaga saat melakukan kegiatan
pemanenan saja sehingga sering kali petani tidak mengetahui apabila hasil
panennya dicuri. Petani yang menanam tanaman padi dan sereh melakukan kegiatan
pengelolaan yang lebih intensif karena tanaman tersebut harus disiangi setiap hari.
Selain itu, petani yang memiliki lahan garapan dekat dengan rumah juga cenderung
melakukan pemeliharaan setiap hari yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu.
Nilai Ekonomi hasil Agroforestri
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani penggarap lahan terkait hasil
pertanian yang biasa diperoleh setiap tahun, berikut adalah produksi agroforestri di
Hutan Pendidikan Gunung Walat pada masing-masing pola pengelolaan.
Tabel 8 Nilai Ekonomi Agroforestri HPGW masing-masing pola
Pola agroforestri Jenis
komoditas
Produksi rata-
rata
(kg/tahun/0,1
ha)
Harga Jual
(Rp/kg)
Nilai Ekonomi
Lahan (Rp/
ha/tahun)
Agroforestri I Kopi 100 3000 300 000
Kapolaga 62.5 6000 375 000
Padi 112.5 3000 337 500
Manggis
Singkong
16.6
125
10 000
1000
291 000
Rata-rata 325 875
Agroforestri II Kopi
Kapolaga
48.4
18.2
3000
6000
254 400
Kopi
Singkong
35.7
42.9
3000
1000
150 000
Sereh
Lengkuas
125
175
20 000
2000
2 850 000
Rata-rata 1 084 800
Agroforestri III Kopi
Kapolaga
Singkong
27.7
11.1
55.5
3000
6000
1000
252 000
Rata-rata 252 000
Dari Tabel 8 terihat kombinasi tanaman pokok dengan tanaman pertanian
berupa sereh (Cymbopogon citratus) dan lengkuas (Alpinia galanga) merupakan
kombinasi pola agroforestri paling menguntungkan secara ekonomi, hal ini
23
disebabkan tanaman sereh merupakan tanaman dengan harga jual yang tinggi
dibanding tanaman lainnya. Selain kombinasi tersebut, kombinasi tanaman pokok
dengan tanaman kapolaga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Selain nilai ekonomi, kecocokan tanaman pertanian dengan tapak juga perlu
dipertimbangkan dalam penentuan kombinasi pola agroforestri terbaik. Salah satu
yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman pertanian agroforestri
adalah pertimbangan aspek biofisik. Aktifitas pengelolaan lahan dapat
mengakibatkan penurunan kesuburan lahan, hal tersebut dapat diatasi dengan
pemberian pupuk untuk mengembalikan unsur hara yang hilang tersebut. Dari
masing-masing tanaman pertanian pendamping agroforestri, tanaman musiman
seperti singkong, padi, sereh, dan lengkuas memiliki tingkat kehilangan hara yang
cukup tinggi sehingga petani perlu memberikan pupuk sebagai penyeimbang unsur
hara dalam tanah. Akan tetapi tanaman musiman dapat diganti dengan mudah
apabila harga jual tidak stabil.
Sementara itu pada tanaman parennial seperti kopi dan kapolaga tingkat
kehilangan unsur hara tidak terlalu tinggi sehingga petani tidak perlu menambahkan
pupuk secara berkala, pemberian pupuk hanya dilakukan saat awal penanaman saja..
Selain penerunan kesuburan lahan, aktifitas agroforestri juga berkaitan
dengan interaksi antar tajuk tanaman kehutanan (pohon) dengan tanaman pertanian
pendamping. Tanaman padi, sereh dan lengkuas merupakan tanaman yang
membutuhkan cahaya cahaya matahari yang banyak, sehingga hanya dapat ditanam
pada areal yang terbuka. Dalam perkembangannya, terutama terkait rehabilitasi
hutan, kombinasi tanaman tersebut mungkin tidak dapat diterapkan lagi di masa
yang akan datang akibat tutupan tajuk yang semakin rapat.
Kondisi Sosial Ekonomi Petani Agroforestri HPGW
Karakteristik Rumah Tangga Petani
Kelestarian hutan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan. Sistem agroforestri HPGW diperkenalkan untuk mengajak
masyarakat berpartisipasi dalam pengamanan dan rehabilitasi hutan. Partisipasi
tersebut dapat berjalan dengan baik apabila masyarakat yang berpartisipasi
merasakan manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut.
Sebagaimana yang diketahui sebelumnya, jumlah petani yang berpartisipasi
dalam kegiatan agroforestri di HPGW telah jauh berkurang sejak diperkenalkannya
sistem agroforestri pada tahun 2001. Pada saat ini jumlah petani yang masih
melakukan kegiatan agroforestri berjumlah 12 orang yang telah berusia di atas 50
tahun dengan rata-rata usia 65 tahun atau diatas batas usia produktif BPS yakni 15-
64 tahun.
. Usia mempengaruhi curahan waktu petani dalam menggarap lahannya
sehingga mempengaruhi jenis tanaman pertanian yang dipilih untuk ditanam di
lahan garapannya. Petani dengan usia tua cenderung menanam tanaman musiman
seperti padi, singkong, dan sereh, yang memerlukan curahan waktu yang cukup
tinggi, hal ini disebabkan kegiatan petani diluar itu sudah sangat sedikit, sehingga
mereka merasa perlu untuk menggerakkan badannya setiap hari. Selain itu, tanaman
tersebut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena hasilnya
dapat dikonsumsi sendiri. Sebaliknya, petani yang berusia lebih muda, memilih
untuk bertanam tanaman parennial yang tidak terlalu membutuhkan curahan waktu
24
yang banyak, namun menghasilkan uang yang lumayan seperti kopi dan kapolaga
yang hanya membutuhkan curahan waktu saat pemeliharaan dan pemanenan. Rata-
rata usia petani masing-masing pengelolaan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9 Karakteristik petani masing-masing pola agroforestri.
Pola Agroforestri Jenis Tanaman
Pertanian
N
(orang)
Asal
Kampung
Rata-rata
usia
Jumlah
Tanggungan
Agroforestri I Kopi 1 Citalahab 50 2
Kapolaga 1 Citalahab 59 3
Padi 2 Sindang,
Sampay
86 2
Singkong 1 Sampay 70 3
Agroforestri II Kopi + kapolaga 3 Sampay,
Sindang
58 2
Kopi + singong 2 Sampay 78 2
Sereh + Lengkuas 2 Sampay 71 3
Agroforestri III Kopi + kapolaga +
Singkong
2 Sampay 59 2
Jumlah tanggungan rumah tangga terutama mempengaruhi besarnya
konsumsi rumah tangga petani, semakin besar jumlah tanggungan rumah tangga,
semakin besar pula konsumsi rumah tangga yang harus dikeluarkan oleh petani. Hal
ini menyebabkan petani sebagai kepala rumah tangga harus berusaha memperoleh
penghasilan yang lebih tinggi. Jumlah tanggungan rumah tangga petani penggarap
agroforestri di HPGW hanya berjumlah 2-3 orang per keluarga. Jumlah tersebut
tidak berarti jumlah keluarga petani hanya berjumlah 2-3 orang, tetapi sebagian
anggota keluarga telah membangun rumah tangganya sendiri. Petani dengan jumlah
anggota keluarga lebih banyak cenderung menanam tanaman dengan nilai ekonomi
tinggi namun tidak membutuhkan perawatan yang intensif seperti kopi dan
kapolaga
Pengeluaran Rumah Tangga Petani
Penghasilan yang diperoleh dari berbagai sumber penghasilan dikeluarkan
untuk memenuhi konsumsi keluarga meliputi konsumsi pangan, sandang,
kesehatan, pendidikan, dan hiburan. Konsumsi yang dikeluarkan petani sangat
tergantung pada jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung petani.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, petani agroforestri HPGW umumnya
sudah memasuki usia senja, sehingga pada saat penelitian berlangsung petani
umumnya hanya hidup seorang diri atau bersama istrinya, karena sebagian anggota
keluarga telah memiliki keluarganya sendiri.
Pangan merupakan kebutuhan utama yang harus dikeluarkan petani.
Konsumsi pangan tersebut meliputi beras, belanja harian, dan bahan bakar untuk
memasak. Rata-rata konsumsi beras keluarga petani agroforestri adalah setengah
liter per orang per hari dengan harga beras waktu penelitian sebesar Rp 8.000/liter.
Belanja harian yang dikeluarkan untuk makan berkisar Rp 10.000 – Rp 30.000 per
hari. Bahan makanan yang dibeli biasanya berupa ikan asin, telur, tahu dan tempe.
Kebutuhan sayuran dipenuhi dari kebun atau pekarangan, sayuran yang biasa
dikonsumsi adalah daun singkong. Sebagian besar petani menggunakan gas 3 kg
dengan harga Rp 16 000/tabung, dengan konsumsi bahan bakar rata-rata 1 – 2
25
tabung per bulan. Total konsumsi pangan rata-rata petani agroforestri HPGW
adalah sebesar Rp 9 354 670 / tahun.
Setelah konsumsi pangan, konsumsi utama petani agroforestri Hutan
Pendidikan Gunung Walat adalah pendidikan. Biaya pendidikan yang dikeluarkan
berupa biaya transportasi dan uang jajan anak, biaya spp, dan biaya tahunan seperti
biaya perpisahan, ujian dan lain-lain. Hanya terdapat 4 petani agroforestri HPGW
yang masih memiliki tanggungan biaya pendidikan. Rata-rata konsumsi pendidikan
agroforestri HPGW adalah sebesar Rp 3 940 000/ tahun.
Konsumsi sandang petani agroforestri HPGW masih rendah. Frekuensi
pembelian pakaian hanya dilakukan sekali setahun yaitu saat hari raya Idul Fitri,
itupun hanya untuk anak-anak, orang tua biasanya tidak ikut membeli pakaian.
Sebagaimana yang diungkapkan beberapa petani. Rata-rata konsumsi sandang
petani adalah Rp 122 220/ tahun.
Konsumsi kesehatan petani berupa peralatan mandi, sabun cuci, serta biaya
pelayanan kesehatan. Sekali berobat di puskesmas petani mengeluarkan biaya
Rp 3000. Selain pelayanan kesehatan di puskesmas petani memanfaatkan tumbuhan
obat yang tumbuh di halaman atau di sekitar Hutan. Konsumsi kesehatan rata-rata
petani agroforestri adalah sebesar Rp 275 560/tahun.
Hiburan yang dikonsumsi penggarap biasanya berupa kegiatan rekreasi,
hajatan dan menonton TV. Konsumsi hiburan dikeluarkan dalam bentuk tagihan
listrik dan biaya rekreasi. Konsumsi hiburan rata-rata yang dikeluarkan petani
penggarap agroforestri adalah sebesar Rp 760 000 /tahun.
Pengeluaran rumah tangga petani petani agroforestri HPGW tahun 2015
masing-masing jenis konsumsi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Pengeluaran rumah tangga petani agroforestri HPGW tahun 2015 pada
masing-masing jenis konsumsi
Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa sebagian besar pengeluaran rumah
tangga petani dialokasikan untuk konsumsi pangan yakni sebesar 79.14 %.
Sementara konsumsi untuk sandang dan kesehatan masih relatif sedikit saja yaitu
hanya sebesar 0.99% dan 2.33% dari total pengeluaran rumah tangga per tahun.
26
Penghasilan dan Sumber Penghasilan Petani Kegiatan agroforestri HPGW saat ini bukan merupakan sumber penghasilan
utama petani agroforestri HPGW. Kegiatan agroforestri dilakukan hanya unutuk
memperoleh penghasilan tambahan dari sumber penghasilan utama. Bagi sebagian
petani yang memiliki penghasilan yang sudah mencukupi kebutuhan rumah tangga,
kegiatan agroforestri hanya dilakukan sebagai pengisi waktu luang.
Sumber penghasilan utama petani sendiri berasal dari kegiatan dagang,
bekerja sebagai buruh dan kegiatan mengolah tanah di lahan milik sendiri. Tanaman
yang ditanam petani di lahan milik biasanya berupa tanaman palawija yang ditanam
di pekarangan rumah dalam jumlah kecil. Profil penghasilan petani penggarap
agroforestri HPGW tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Profil penghasilan petani penggarap agroforestri HPGW tahun 2015
Apabila dibandingkan dengan total pengeluaran rumah tangga petani yang
tercantum pada Tabel 10, total penghasilan petani (Tabel 11) hampir sama besar
dengan total pengeluaran rumah tangga petani. Kelebihan penghasilan yang
diperoleh petani tidak terlalu banyak, hanya dapat dipergunakan untuk tambahan
keperluan tidak terduga sehingga sulit untuk menambah aset rumah tangga petani.
Beberapa petani bahkan memiliki penghasilan yang lebih sedikit daripada
pengeluaran rumah tangga, untuk menutupi kekurangan petani memperoleh
tambahan dari anak yang telah bekerja dan berkeluarga yang sesekali mengirimkan
uang untuk keperluan harian orang tuanya.
Kontribusi ekonomi yang diperoleh dari hasil agroforestri HPGW sangat
beragam dari 1.44 % hingga 32.08 %. Kontribusi rata-rata agroforestri HPGW
adalah 13.02%. Besarnya kontribusi ekonomi hasil agroforestri bagi petani
penggarap agroforestri HPGW tahun 2015 tidak jauh berbeda dengan kontribusi
hasil agroforestri HPGW pada Insnaini (2006) yaitu sebesar 11.73 %, artinya petani
tetap tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya dari hasil agroforestri tersebut.
Petani dengan lahan garapan sempit dan tidak menanam tanaman dengan nilai
ekonomi tinggi cenderung tidak bergantung pada hasil agroforestri HPGW
sehingga kontribusi ekonomi hasil agroforestri rendah bahkan sangat rendah.
Pekerjaan sebagai pedagang atau buruh memberikan penghasilan yang lebih pasti
dibanding agroforestri HPGW. Sementara itu, petani dengan lahan garapan yang
27
luas memungkinkan petani untuk menggantungkan hidupnya dari hasil agroforestri
yang digarapnya. Tanaman dengan nilai ekonomi tinggi seperti sereh, kopi, dan
kapolaga memungkinkan petani untuk memperoleh penghasilan agroforestri tang
lebih tinggi.
Pola agroforestri dengan satu jenis tanaman pertanian memberikan kontribusi
ekonomi paling sedikit bagi rumah tangga petani yakni 7.8%. Nilai kontribusi
ekonomi paling tinggi pada pola agroforestri dengan satu jenis tanaman pertanian
ini yakni sebesar 12.7% merupakan petani yang menanam jenis tanaman kapolaga.
Sementara itu petani yang menanam padi atau singkong hanya memperoleh
kontribusi ekonomi sebesar 1.4 % - 9.7%. Meskipun hasil yang diperoleh tidak
besar, tetapi petani enggan mengganti tanaman pertanian dengan tanaman dengan
nilai ekonomi tinggi seperti kopi atau kapolaga, karena bibit tanaman tersebut
cenderung mahal dan tidak dapat menghasilkan dalam waktu cepat seperti tanaman
musiman yang dapat dipanen dalam waktu kurang dari satu tahun. Selain itu
tanaman musiman lebih mudah diganti apabila harga jual tidak stabil.
Persepsi Petani Terhadap Kegiatan Agroforestri HPGW
Berawal dari persepsi terhadap hutan besar pengaruhnya pada wujud
hubungan manusia dengan hutan, yang dapat dibedakan menjadi seseorang
menolak lingkungannya, bekerjasama dan mengurus lingkungan (mengekploitasi).
Seseorang menolak lingkungan disebabkan seseorang tersebut mempunyai
pandangan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, sehinggga orang
tersebut dapat memberikan bentuk tindakan terhadap hutan sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Sebaliknya bagi seseorang yang mempunyai persepsi menerima
lingkungan, sesorang dapat memanfaatkan hutan sekaligus menjaga dan
menyelamatkan hutan dari kerusakan, sehingga hutan memberi manfaat yang terus
menerus. Dengan demikian lingkungan akan terjaga dari kerusakan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar (Junianto 2007).
Dalam kaitan kegiatan agroforestri di HPGW, persepsi yang positif akan
memberikan dorongan bagi petani untuk terus melakukan kegiatan agroforestri dan
mengembangkan pengelolaan yang lebih baik. Persepsi yang diukur dalam
penelitian ini meliputi aspek teknis pelaksanaan agroforestri dan manfaat yang
dirasakan petani baik manfaat ekonomi maupun manfaat ekologi dari kegiatan
agroforestri dan HPGW. Hasil pengukuran tingkat persepsi petani pada masing-
masing aspek dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Tingkat persepsi petani agroforestri HPGW
No Aspek Persepsi Nilai Rata-Rata Tingkat Persepsi
1 Teknis pelaksanaan Agroforestri
Pemilihan tanaman
Biaya pengelolaan
Pendampingan
Hasil dan pemasaran hasil
Keberlanjutan program
2.73
2.64
1.91
2,45
3,14
S
S
R
S
T
Rata-rata 2.57 T
2 Manfaat Agroforestri
Manfaat Ekonomi
Manfaat Ekologi
2,48
1,45
S
R
Rata-rata 1,96 R
28
Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa tingkat
persepsi terkait teknis pelaksanaan agroforestri di HPGW meliputi pemilihan
tanaman, biaya pengelolaan, kegiatan pendampingan, hasil dan pemasaran hasil dan
keberlanjutan program, memiliki tingkat persepsi sedang dengan nilai rata-rata
persepsi 2.75. Sementara itu persepsi petani terkait manfaat agroforestri meliputi
manfaat ekonomi dan ekologi memiliki tingkat persepsi rendah dengan nilai rata-
rata persepsi 1.96. Secara keseluruhan persepsi petani terkait kegiatan agroforestri
di HPGW memiliki tingkat persepsi rata – rata sedang dengan nilai persepsi rata –
rata 2.36.
Tingkat persepsi yang tinggi terutama berkaitan dengan keberlanjutan
program agroforestri, yang berarti petani agroforestri hutan pendidikan gunung
walat memiliki persepsi positif untuk tetap melaksanakan kegiatan agroforestri di
hutan pendidikan gunung walat. Meskipun memiliki tingkat persepsi yang tinggi,
pada kenyataannya dari tahun ke tahun jumlah petani yang berpartisipasi dalam
kegiatan agroforestri di HPGW terus berkurang akibat hasil yang diperoleh tidak
dapat mencukupi kehidupan rumah tangga petani. Akan tetapi dari tingkat persepsi
keberlanjutan program tersebut, petani menyatakan tidak keberatan dan tidak
merasa terpaksa untuk tetap melakukan kegiatan agroforestri di lahan garapannya.
Bahkan apabila petani sudah tidak lagi mampu menggarap lahan, lahan garapan
tersebut dapat diteruskan karena sudah dianggap sebagai aset bagi petani.
Sementara itu persepsi petani terkait kegiatan pendampingan yang dilakukan
pihak pengelola terhadap kegiatan agroforestri memiliki tingkat rendah dengan nilai
rata-rata persepsi 1.91, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pendampingan belum
mampu memberikan dampak yang positif bagi petani agroforestridi HPGW. Selain
itu kegiatan petani cenderung tidak tertarik dan tidak merasakan perlunya kegiatan
pendampingan tersebut.
Persepsi petani terkait hasil pertanian yang diperoleh cukup baik terlihat dari
tingkat persepsi yang sedang dengan nilai rata-rata persepsi 2.45 hal ini karena
seluruh hasil tanaman pertanian menjadi hak petani penggarap agroforestri. Selain
itu petani dapat dengan mudah memasarkan hasil pertanian yang diperoleh melalui
tengkulak-tengkulak yang banyak tersebar di sekitar desa. Begitupun dengan
pemilihan tanaman dan biaya pengelolaan, petani bebas menentukan sendiri jenis
tanaman pertanian yang ditanam di sela – sela tegakan yang ada sesuai dengan
minat petani dan biaya yang mampu dikeluarkan petani untuk pengelolaan tanaman
sehinnga petani tidak merasa terbebani.
Tingkat persepsi rata-rata petani terkait manfaat yang dirasakan dari
kegiatan agroforestri memiliki tingkat persepsi rendah. Artinya hanya sedikit petani
yang merasakan manfaat agroforestri secara langsung. Sebenarnya tingkat persepsi
petani terhadap manfaat secara ekonomi sedang dengan nilai rata-rata persepsi 2.48.
Petani merasa kegiatan agroforestri menguntungkan dan dapat meningkatkan
pendapatan petani meski tidak dapat meningkatkan taraf hidup petani. Kegiatan
agroforestri juga mampu menaikan status sosial petani yang tidak memiliki lahan.
Akan tetapi, sebagian besar petani tidak merasakan adanya manfaat secara ekologi
dari kegiatan agroforestri terutama masalah kesuburan lahan akibat banyaknya
unsur hara yang hilang akibat kegiatan pertanian. Terlihat dari tingkat persepsi yang
rendah terhadap manfaat ekologi dengan nilai rata-rata persepsi sebesar 1.45.
Dari tingkat persepsi tersebut dapat tergambar bahwa pada dasarnya
persepsi petani terhadap kegiatan agroforestri HPGW cukup baik. Akan tetapi,
29
masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki salah satunya adalah masalah
pendampingan dan pemasaran hasil agroforestri. Pendampingan tersebut
dimaksudkan agar hasil yang diperoleh lebih baik dan manfaat kegiatan agroforestri
dapat dirasakan oleh petani.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jumlah petani agroforestri
HPGW saat ini telah jauh berkurang dari sebelumnya yakni dari 148 KK dengan
luas total 44.4 ha pada tahun 2006 tinggal 12 KK dengan luas total 5.58 ha. Terdapat
3 pola agroforestri berdasarkan jumlah jenis tanaman pertanian yang ditanam,
dengan 8 kombinasi tanaman pertanian. Pola agroforestri dengan 2 jenis tanaman
pertanian berupa kopi dan kapolaga merupakan pola agroforesri yang paling banyak
diterapkan oleh petani agroforestri di HPGW.
Pada hutan rapat, tanaman kapolaga merupakan tanaman paling cocok
dipadukan dengan tegakan utama HPGW dan menghasilkan keuntungan yang
cukup tinggi. Sementara itu pada tegakan jarang dan didominasi tegakan muda,
tanaman sereh merupakan tanaman sela yang menghasilkan keuntungan paling
tinggi.
Kontribusi ekonomi rata-rata hasil agroforestri HPGW bagi petani penggarap
agroforestri HPGW adalah sebesar 13.04% yang berarti kegiatan agroforestri
HPGW cukup berperan dalam kehidupan petani penggarap agroforestri. Kegiatan
agroforestri juga mendapat persepsi yang baik dari petani penggarap dengan tingkat
persepsi rata-rata sedang.
Saran
Agar petani memperoleh keuntungan maksimal, pada tegakan hutan rapat
tanaman pertanian yang paling disarankan sebagai tanaman sela pada agroforestri
di HPGW adalah tanaman kopi dan kapolaga. Sementara pada hutan jarang
tanaman pertanian yang paling disarankan sebagai tanaman sela pada agroforestri
di HPGW adalah tanaman sereh. Selain itu kegiatan pendampingan terhadap petani
agroforestri perlu ditingkatkan agar memperoleh hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Amallia D. 2010. Potensi pengembangan hutan rakyat di Desa Hegarmanah
Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Badan Eksekutif HPGW. 2010. Management Plan of Gunung Walat Educational
Forest. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
[FMSC] Forest Management Student Assossiation. 2012. The Exploration of
Resources and Communities Interaction in Gunung Walat University Forest.
Ecological Social Mapping 2012. Bogor (ID) : Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.
30
Febriani D. 2003. Telaahan Kondisi Petani Penggarap Sistem Agroforestri Hutan
Pendidikan Gunun Walat ( Kasus Desa Hegarmanah Kecamatan Citayantan
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan
Ajaran 1. Bogor (ID): ICRAF.
Isnaini DN. 2006. Kelayakan Usaha Agroforesry di Hutan Pendidikan Gunung
Walat Kabupaten Sukabumi. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Isusanty E. 2003. Persepsi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Nilai
Sumberdaya Hutan (Studi kasus di Desa Cihanyamar kecamatan Nagrak,
kabupaten Sukabumi).[skripsi]. Bogor(ID) : IPB.
Junianto B.2007. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat Sekitar Terhadap
Keberadaan Hutan Penelitian Haurbentes (Studi kasus di Desa Jugalaya,
RPH Jasinga, BKPH Jasinga). [skripsi]. Bogor : IPB.
Mueller DJ. 1996. Mengukur Sikap Sosial ; Pegangan Untuk Peneliti Dan Praktisi.
Eddy SK, penerjemah. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Rohilah E. 2003. Perencanaan Pengembangan Wisata Agroforestri di Hutan
Pendidikan Gunung Walat. [skripsi]. Bogor (ID) : IPB
Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS, Wijayanto N. 2003. Klasifikasi dan Pola
Kombinasi Komponen Agroforestri. Bahan Ajaran 2. Bogor (ID):ICRAF.
Sarwono SW. 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori Psikologi Sosial. Jakarta
(ID) : Balai Pustaka.
Widianto K, Hairiah, Suharjito D, Sardjono MA. 2003. Fungsi dan Peran
Agroforestri. Bahan Ajaran 3. Bogor (ID): ICRAF.
31
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor pada tanggal 10 Agustus 1992, sebagai putri kedua dari
pasangan Aam Alamudi dan Herli Suryani. Penulis menempuh pendidikan
menengah di SMA Negeri 7 Kota Bogor pada tahun 2007 – 2010 dan kemudian
melanjutkan pendidikan tinggi pada tahun 2011 di Departemen Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di UKM Merpati Putih IPB
sebagai divisi Humas pada Tahun 2011 dan divisi fundraising pada tahun 2012.
Penulis juga merupakan anggota divisi Keprofesian Himpunan Profesi Forest
Management Studen Club (FMSC) pada tahun 2012 – 2013. Penulis juga pernah
aktif dalam kegiatan kepanitian dalam kampus diantaranya pada kegiatan
Pertandingan Pencak Silat Antar Pelajar dan Mahasiswa se Pulau Jawa IPB OPEN
2012 sebagai Ketua Divisi Dana Usaha dan Sponsorship. Prestasi yang pernah
diraih penulis selama menjadi mahasiswa IPB adalah meraih medali perunggu pada
pertandingan kelas B putri dewasa di IAIN Cup 2012. Kegiatan praktek lapang yang
pernah diikuti penulis yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur
Gunung Sawal – Pangandaran tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan
Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang di
IUPHHK-HT PT.Wirakarya Sakti pada tahun 2014.