5
Etika Kedokteran Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhna dasar, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi paien. Pelanggaran hak asasi pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien. Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistic hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Hubungan kontarktual ini menitikberatkan kepada hak otonomi pasien dalam menetukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Tetapi kemudian sifat hubungan dokter-pasien ini dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi hubungan fiduciary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai- nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hokum dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethics. Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa peraturan di bawahnya. Ke 4 kaidah dasar moral tersebut adalah: 1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak- hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.

Etika Kedokteran makalah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

herpes zooster

Citation preview

Etika KedokteranDi dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhna dasar, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi paien. Pelanggaran hak asasi pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistic hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Hubungan kontarktual ini menitikberatkan kepada hak otonomi pasien dalam menetukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Tetapi kemudian sifat hubungan dokter-pasien ini dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi hubungan fiduciary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hokum dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethics.

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa peraturan di bawahnya. Ke 4 kaidah dasar moral tersebut adalah:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan untuk kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).

3. Prinsip non-maleficence, yang prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm.

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights, dn individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan Johns S Mills berkata bahwa kontrol sosial atas seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain.

Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Decralation of Lisbon dari World Medical Association (WMA) adalah the rights to accept or to refuse treatment after receiving adequate information (WMA 1981). Secara implisit amandemen UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) juga menyebutkan demikian Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, dst. Selanjutnya UU No 23/1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian diuraikan dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis.

Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hokum (tort).

Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia menerima dan memahami informasi yang diperlukan. Informed consent dapat dianggap sebagai a patient with substanstial understanding and in substansial absence of control by others, intentionally authorizes a professional to do something.Informed Consent

Adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hokum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih kea rah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.

Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:

1. Threshold elements

Tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat yaitu pemberi consent haruslah seorang yang kompeten. Kompeten tersebut diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis).

Secara hokum dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar, dan berada dalam keadaaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah nikah.

2. Information elements

Terdiri dari dua bagian yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).

Seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar yaitu standar praktek profesi, standar subyektif, dan standar pada reasonable person.

3. Consent elements

Terdiri dari 2 bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).

Etika KlinikPembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinis dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral. Jonsen, Siegler, dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essensial dalam pelayanan klinik, yaitu:

1. Medical indocation

2. Patient preferrences

3. Quality of life

4. Contextual features

Dalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilain aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan non-maleficence.

Pada topik patient preferences kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah otonomi. Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempenrgaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hokum.