33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering mengalami dilema dalam kode etik kesehatan maupun masalah moral. Dimana kita dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien kita. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal ini akan berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika tiba-tiba pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam melakukan RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tapi masalahnya jika kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema dan hal ini terjadi pada pasien- pasien dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang di cap 1

Etik Legal Do Not Resuscitate

Embed Size (px)

DESCRIPTION

resuscitate

Citation preview

Page 1: Etik Legal Do Not Resuscitate

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering

mengalami dilema dalam kode etik kesehatan maupun masalah moral. Dimana kita

dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak

melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan  pasien kita.

Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal

ini akan  berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti

sebuah perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika

tiba-tiba pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam

melakukan RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tapi masalahnya jika

kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh

pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema dan hal ini terjadi

pada pasien-pasien dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra

indikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia (dibiarkan mati ataupun

suntik mati karena karena kehidupan yang sudah tidak terjamin).

Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya

resusitasi yang biasanya terdapat  pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu

masuk, sudah ada tanda tulisan “DNR”. Pasien DNR tidak benar-benar mengubah

perawatan medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara yang

sama. Semua ini dimaksudkan hanya jika tubuh pasien meninggal (berhenti

bernapas, atau jantung  berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan

CPR/RJP.

Menjadi pasien DNR tidak berarti obat  berhenti untuk diberikan. Salah satu

alasan utama orang menandatangani perintah DNR adalah karena apa yang terjadi

setelah petugas kesehatan mencoba untuk melakukan RJP atau apa efek setelah

1

Page 2: Etik Legal Do Not Resuscitate

melakukan RJP tersebut. Situasi ini umumnya disebut sebagai "kode." Hal ini

kadang-kadang diberikan nama samaran yang berbeda di rumah sakit yang

berbeda. Tindakan RJP yaitu dada akan dikompresi dengan tangan untuk

menstimulasikan detak jantung dan sirkulasi darah. Sebuah tabung dimasukkan ke

dalam mulut dan tenggorokan kemudian pasien dipasang ventilator untuk bernafas.

Jika jantung pasien dalam irama mematikan kemudian pasien dilakukan kejut

jantung, pasien akan terkejut dengan jumlah listrik yang besar dan kemudian akan

kembali ke irama.

Konsekuensi menjadi diresusitasi, salah satu konsekuensi potensial utama

dilakukan RJP adalah kekurangan oksigen ke organ-organ tubuh. Meskipun

penekanan dada sedang dilakukan untuk mengedarkan darah melalui tubuh, masih

belum seefektif detak jantung biasa. Meskipun oksigen dipompa ke paru-paru

mekanik, penyakit itu sendiri dapat mencegah beberapa oksigen mencapai aliran

darah. Semakin lama RJP berlangsung, semakin  besar kemungkinan kerusakan

pada organ-organ. Tapi jika tidak dilakukan RJP akan berdampak dari kerusakan

otak, kerusakan ginjal, hati, atau kerusakan paru-paru. Apa pun bisa rusak

berhubungan dengan kurangnya oksigenasi.

Obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuh juga dapat berkontribusi untuk

kerusakan organ. Obat ini dirancang dengan satu organ adalah hati sebagai pusat

metabolisme dan penetral racun. Obat ini berfungsi untuk me-restart jantung dan

mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan darah. Kadang-

kadang organ-organ lain juga terkena kerusakan dari obat ini. Ada juga

kemungkinan trauma tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk

mendengar retak tulang rusuk. Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompresi

jantung dengan sternum dan tulang rusuk yang berada di sampingnya. Terutama

orang tua biasanya mengalami kerusakan karena ini. Kejutan listrik  juga dapat

menyebabkan traumatis. Jadi bahkan jika Pasien bangkit kembali, kemungkinan

Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat berpotensi jauh lebih rendah

daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien berakhir pada

2

Page 3: Etik Legal Do Not Resuscitate

ventilator setelah RJP. Jika pasien memiliki organ yang rusak, kerusakannya

terutama pada otak, ada kemungkinan bukan karena ventilator tapi karena

terlambatnya oksigen masuk ke otak.

3

Page 4: Etik Legal Do Not Resuscitate

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya

resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP)

bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat

pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Cardiopulmonary resuscitation

(CPR) memiliki kemampuan untuk membalikkan kematian dini. Hal ini  juga

dapat memperpanjang pasien pada penyakit terminal, dan meningkatkan

ketidaknyamanan. Meskipun keinginan untuk menghormati otonomi pasien, ada

banyak alasan mengapa prosedur CPR dapat rumit dalam pengaturan perioperatif.

B. SEJARAH

Perintah  Do-Not_Resuscitate (DNR) telah digunakan selama kurang lebih

dua dekade. Argumen untuk  penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi

pasien, menghindari intervensi medis yang sia-sia, dan  biaya rawat inap. ICU

adalah pengaturan di mana pasien dapat dikenakan intervensi medis yang mahal,

menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada praktik yang terkait dengan

jantung-paru. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam situasi klinis

tertentu CPR hampir selalu sia-sia.

Tugas petugas kesehatan adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuannya

tentang kedua kemungkinan yang akan terjadi dan hasil yang bisa dicapai dari RJP

(Resusitasi Jantung Paru) kepada pasien dan keluarga pasien dan kemudian untuk

membantu pasien (dan / atau keluarga pasien) dalam membuat keputusan tentang

resusitasi. Kunci untuk proses ini adalah tindakan di awal, komunikasi efektif

antara petugas kesehatan, pasien, dan keluarga pasien.

4

Page 5: Etik Legal Do Not Resuscitate

Awalnya digambarkan pada tahun 1960, massage pada dada di dekat jantung

diterapkan pada pasien yang mengalai cardiopulmonal arrest. Singkat kata, pasien

yg dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat. Statistik pada orang miskin

tercermin pelayanan yang sembarangan. Literatur menunjukkan bahwa resusitasi

mana diyakini menjadi sia-sia atau nonbeneficial, staf rumah sakit melakukan

upaya resusitasi  palsu ('kode lambat') atau tidak mengaktifkan 'tim kode' sama

sekali.

Beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara rahasia untuk

mengidentifikasi orang-orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya

resusitasi penuh. Kekhawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak

memadai, akuntabilitas petugas kesehatan, dan fakta bahwa pasien dan keluarga

mereka sering dikecualikan dari proses  pengambilan keputusan. Tuduhan

paternalisme dan pengambilan keputusan rahasia yang dibuat, dan kekhawatiran

yang timbul mengenai kurangnya kepercayaan antara petugas kesehatan dan

masyarakat. Itu tidak sampai pertengahan 1970-an bahwa keputusan untuk tidak

resusitasi pertama kali disahkan. Di Amerika Serikat American Medical

Association pertama direkomendasikan bahwa keputusan untuk mengorbankan

resusitasi secara resmi didokumentasikan dan dikomunikasikan . Selain itu,

ditekankan  bahwa CPR dimaksudkan untuk pencegahan kematian, tiba-tiba tak

terduga - bukan pengobatan penyakit, terminal ireversibel.

Eksplisit DNR kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk menentukan

nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, diasumsikan bahwa pasien

akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan

dengan itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus mempertanyakan

pendekatan semacam itu dan berpendapat bahwa CPR tidak  pernah dimaksudkan

(juga tidak berkhasiat) dalam segala situasi. Oleh karena itu, CPR seharusnya

hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis diindikasikan.

Namun, laporan tahun 1983 Komisi Presiden untuk Studi Masalah Etis di

Kepetugas kesehatanan tidak setuju, upaya resusitasi yang dilakukan di hampir

5

Page 6: Etik Legal Do Not Resuscitate

semua kasus, dan pasien dianggap telah memberikan persetujuan implisit untuk

CPR. Dengan demikian, CPR menjadi standar perawatan, dan semua pasien 'kode

penuh' kecuali jelas didokumentasikan sebaliknya. CPR menjadi satu-satunya

terapi medis yang diperlukan perintah DNR. Perintah DNR kemudian diambil

beberapa waktu untuk mendapatkan penerimaan luas di semua lingkungan rumah

sakit. Sebelum tahun 1990-an, kebijakan formal untuk mengakomodasi pasien

peri-operatif dengan perintah DNR jarang. Akibatnya, keputusan yang biasanya

diserahkan kepada ahli bedah dan / atau anaesthesiologist, dan DNR secara rutin

ditangguhkan selama periode intraoperatif dan pasca operasi segera. Pada tahun

1991, beberapa artikel mengkritik praktek ini meluas. Akibatnya, muncul

keprihatinan  bahwa pasien dipaksa untuk berkompromi otonomi mereka dan hak

untuk menentukan nasib sendiri agar memenuhi syarat untuk operasi. Hal ini

menyebabkan kebijakan 'peninjauan kembali yang diperlukan', dan tiga kursus

yang berbeda dari tindakan yang telah diidentifikasi. The American Society of

Anesthesiologists formalized membuat kebijakan ini dalam seperangkat pedoman

yang disetujui pada tahun 1993 dan diperbarui pada tahun 1998.

C. ARGUMEN KELOMPOK PRO vs KONTRA DNR

Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan

yang juga diatur dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah

berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena

teknologi resusitasi telah memungkinkan jantungdan paru-paru yang semua

terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-parudapat dipompa

untuk berkembang kempis kembali.Konsep mati sering menimbulkan keraguan

karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian

menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.

Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara

permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu juga dipertanyakan karena

organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati.

6

Page 7: Etik Legal Do Not Resuscitate

Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral

tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun

tidak terpadu lagi. Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk sosial yaitu

individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupan kekhususannya,

kemampuannya mengingat menentukan sikap dan mengambil keputusan,

mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, mampu menikmati,

mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baiksecara fisik

maupun sosial makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terdapat dalam

batang otak, oleh karena itu jika batang otak telahmati (brain system death) dapat

diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan

demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskanresusitasi

(DNR, do not resuscitation) penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan

dalam world.

Medical Assembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini

dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan tanggung

jawab sah petugas kesehatan. Petugas kesehatan dapat menentukan sesorangsudah

mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang

telahdiketahui oleh semua petugas kesehatan.Yang penting dalam penentuan saat

mati disini adalah proses kematian tersebut sudahtidak dapat dikemabalikan lagi

(irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan kembaliapapun. Walaupun

sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat

digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan

untuk maksud tersebut.

  Namun ada di beberapa negara yang tidak menerapkan kondisi DNR. Di

negara-negara di mana tidak tersedia DNR keputusan untuk mengakhiri resusitasi

dibuat semata-mata oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan berusaha untuk

menyadarkan semua pasien terlepas dari keinginan individu atau keluarga. Di

Israel, penandatanganan formulir DNR diperbolehkan asalkan keadaan pasien

sekarat dan menyadari tindakan mereka.

7

Page 8: Etik Legal Do Not Resuscitate

Di Inggris, DNR digunakan untuk perawatan medis, pasien hanya dapat

diberikan informed consent,  jika mereka memiliki kapasitas sebagaimana

didefinisikan dalam Undang-Undang Kapasitas Mental 2005; jika mereka tidak

memiliki kapasitas kerabat akan sering diminta pendapat mereka keluar dari rasa

hormat namun tidak memiliki kekuatan hukum keras pada keputusan petugas

kesehatan. Dalam situasi ini, itu tugas petugas kesehatan untuk bertindak dalam

'kepentingan terbaik' mereka, apakah itu berarti meneruskan atau menghentikan

pengobatan, dengan menggunakan penilaian klinis mereka. Atau, pasien dapat

menentukan keinginan mereka dan / atau mengalihkan mereka pengambilan

keputusan yang diwakili menggunakan arahan yang advance, yang sering disebut

sebagai ‘Living Wills’.

Amerika Serikat Di Amerika Serikat dokumentasi tersebut cukup rumit,

dimana di setiap negara menerima bentuk yang  berbeda, dan  petunjuk advance

serta ”living wills” tidak diterima oleh EMS sebagai bentuk sah secara hukum.

Jika pasien memiliki hidup yang menyatakan akan pasien ingin menjadi DNR

tetapi tidak memiliki resusitasi tepat mengisi formulir yang disponsori negara yang

ikut ditandatangani oleh petugas kesehatan, EMS akan mencoba. Ini adalah fakta

yang diketahui sedikit banyak pasien dan petugas kesehatan perawatan primer

yang dapat menyebabkan pasien untuk menerima perawatan yang mereka tidak

inginkan, dan hukum ini saat ini sedang dievaluasi untuk tantangan konstitusional.

Keputusan DNR oleh pasien pertama kali pada tahun 1976 diligitasi Di

Quinlan. The New Jersey Mahkamah Agung menguatkan hak orang tua Karen

Ann Quinlan untuk memesan penghapusan dia dari ventilasi buatan. Pada tahun

1991 Kongres meloloskan ke dalam hukum. Penentuan Nasib Sendiri Pasien

diamanatkan rumah sakit menghormati keputusan individu dalam perawatan

kesehatan mereka. 49 negara saat ini memungkinkan keluarga terdekat untuk

membuat keputusan medis kecuali Missouri. Missouri memiliki Living Will

Statute yang membutuhkan dua orang saksi untuk setiap  perintah sebelumnya

ditandatangani yang menghasilkan kode status DNR di rumah sakit. Di AS,

8

Page 9: Etik Legal Do Not Resuscitate

resusitasi cardiopulmonary (CPR) tidak akan dilakukan jika ditulis valid "DNR".

Banyak negara bagian di Amerika tidak mengenali kehendak hidup atau proxy

kesehatan dalam pengaturan pra-rumah sakit dan personil pra-rumah sakit di

daerah tersebut mungkin diperlukan untuk memulai tindakan resusitasi kecuali

bentuk keadaan tertentu yang disponsori tepat diisi dan cosigned oleh petugas

kesehatan.

D. PEDOMAN BAGI PETUGAS KESEHATAN

Pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal

College of Nursing mengatakan  bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan

setelah diskusi dengan pasien atau keluarga mereka. Meskipun mungkin sulit

untuk berdiskusi dengan pasien dan keluarga mereka tentang apakah untuk  pasien

dapat hidup kembali atau tidak, tapi bagaimanapun juga diskusi terhadap keluarga

pasien diperlukan untuk mengambil keputusan dilakukan atau tidaknya CPR.

Kasus-kasus yang paling sulit untuk didiskusikan biasanya pasien yang

menderita rasa sakit berlebih, tapi kemungkinan bisa hidup selama beberapa bulan

Dr. Robin Loveday, konsultan mengatakan, "DNR adalah situasi di mana anda

benar-benar membutuhkan  banyak diskusi dengan pasien dan keluarga mereka

untuk membantu mereka membuat keputusan, jika mereka menderita serangan

jantung, apakah tepat untuk memberi harapan mereka hidup beberapa bulan lagi.

Di Inggris, NHS Trust harus memastikan:

1. Kebijakan resusitasi sepakat bahwa menghormati hak-hak pasien adalah di

tempat seorang direktur non-eksekutif diidentifikasi untuk mengawasi

pelaksanaan kebijakan

2. Kebijakan ini tersedia untuk pasien, keluarga dan perawat

3. Kebijakan tersebut diletakkan di bawah audit dan dipantau dengan teratur

9

Page 10: Etik Legal Do Not Resuscitate

E. PRINSIP ETIK

Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya

harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non

maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi

prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antar kebudayaan yang berbeda.

Di Amerika Serikat sebagaian besar penekanan pada otonomi individual.

Di Eropa lebih menekankan pada otonomi penyedia layanan kesehatan yang

menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul masalah.

Sedangkan dia Asia, keputusan kelompok masyarakat mendominasi keputusan

yang diambil.

Dikatakan bahwa resusitasi adalah paduan usaha antara data ilmiah dan

nilai-nilai sosial sedangkan pada saat yang sama juga terdapat upaya

mempertahankan otonomi budaya, sehingga petugas kesehatan harus memainkan

peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan

keinginan (preferensi) pasien.

1. Prinsip Beneficence

Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-

fungsinya, serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Resusitasi elektif

yang dilakukan pada tahun 1940-an dan awal 1950 seperti perawatan

pernafasan intensif dapat meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis

bulbar dari 15% menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20

pasien (70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru dapat bertahan

hidup.

Kouwenhoven, et. al melaporkan bahwa tingkat pemulangan pasien di RS

John Hopkins berkisar 14% pada tahun 1985 dan dibawah 10% pada tahun

1994. Tingkat kesuksesan sekitar 70% tidak pernah dipublikasikan.

Keuntungan terbesardari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari

20% telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis

obat dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventrikular primer.

10

Page 11: Etik Legal Do Not Resuscitate

Pada tahun 1995, tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17% yang

diikuti oleh pelaksanaan tindakan RJP pada pasien di ruang unit jantung

koroner terpadu dan dimonitor oleh pegawai yang terlatih, jarang sekali pasien

bertahan hidup setelah dilakukan tindakan RJP ketika henti jantung yang

timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan

hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) biala henti

jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker, atau AIDS, dan

dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversibel, diikuti dengan

trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonisa.

Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup

pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda

untuk dilakukan RJP. RJP yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan

tingkat harapan hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang

dicapai dibandingkan dengan data yang terdapat di literatur saat ini. Pada

daerah lalu lintas yang mempunyai sistem yang lebih buruk, angka

keberhasilan RJP lebih rendah.

Secara spesifik di kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup

setelah tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang

terlambat terkait dengan padatnya arus lalu lintas. Usia bukan merupakana

salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan

proses penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan

penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi

tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk.

2. Prinsip Non Maleficence (Do Not Harm)

Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakana RJP bervariasi antara

10-83%. Pada sslaah satu penelitian, 55 dari 60 anak meninggal karena

pemberian RJP yang berkepanjangan; lima lainnya bertahan hidup pada

kondisi coma persistant atau status vegetatif di rumah sakit. Banyak pasien

11

Page 12: Etik Legal Do Not Resuscitate

dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam

kondisi yang sama dengan kematian.

RJP menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika resiko kerusakan otak

relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat

menyebakan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil hanya jika

dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari Swedia melaporkan bahwa

harapan hidup melebihi 80% pada pemberian RJP oleh orang di sekitar korban

dan ambulan datang kurang dari 2 menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih

buruk bahkan kurang dari 6% ketika ambulan datang lebih dari 6 menit atau

tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada beberapa negara

di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah membatasi

dilakukannya RJP di lapangan, namun ternyata masih dapat ditemukan bukti

RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang

dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya

RJP. T indakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang

didapatkan lebih besar. 

3. Prinsip Otonomi

Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian

besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan

kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak

tindakan medis termasuk RJP. Di Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap

memiliki kapasitas dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah

menyatakan bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat keputusan

tindakan medis sedangkan di negara lain keputusan pengadilan tidak

diperlukan untuk penderita-penderita dengan incompetency seperti pada

penderita penyakit jiwa.

 

12

Page 13: Etik Legal Do Not Resuscitate

4. Informed consent Mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi

yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medik

yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan

medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapa- sitasnya dalam mengambil

keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai

kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut

terganggu. Oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta, maka

kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat,

dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu yang terbatas untuk

mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk memberikan perawatan medis yang

stan- dard. Pasien biasanya tidak mempunyai rencana tentang apa yang terjadi

pada akhir kehidupannya (end of life), banyak yang tidak ingin menyiapkan

advanced directives, living wills (surat wasiat) atau mendiskusikan RJP.

Petugas kesehatan juga jarang mendiskusikan hal-hal tersebut

dengan pasien- pasiennya,  bahkan jika pasien tersebut menderita sakit

yang parah. Banyak pasien memiliki pemahaman yang samar-samar tentang

RJP dan konsekuensi-konsekuensinya. Masyarakat umumnya berharap

banyak tentang kemungkinan untuk bertahan hidup dari serangan jantung.

Beberapa penderita mungkin akan menolak dilakukan RJP karena mereka

mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan

tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas hidup penderita yang

selamat dari serangan  jantung menyatakan bahwa risiko tersebut dapat

diterima. Baik petugas kesehatan dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang

berbeda tentang kualitas hidup. Petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk

menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan

keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman

yang baik tentang persepsi dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat

timbul karena banyak petugas kesehatan tidak dapat memprediksi secara

13

Page 14: Etik Legal Do Not Resuscitate

akurat tentang kemungkinan hidup dari serangan jantung, sehingga

penderita tidak dapat dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang

tindakan RJP. Baik Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan moral

otonom harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat

keputusan. Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para

pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu komunitas. Dari

prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus dapat

menentukan  pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita

mengkaji ulang dan menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu

memikirkan hasil dari keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus

selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang

tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan.

Kedua, merupakan prinsip keadilan yang menghasilkan kemampuan untuk

menerima sesuatu, bukan otonomi. Dalam formulasi terbarunya Beuchamp dan

Childress lebih akurat mengatakan prinsip ini sebagai “penghormatan

terhadap otonomi”. Ada beberapa bukti bahwa wali pengganti yang

bertindak atas nama pasien pada saat pasien telah kehi- langan

kapasitas pengambilan keputusan, ternyata pasien tidak secara

tepat dapat mengatakan keinginan yang sebenarnya. Sekitar sepertiga

penderita ginjal kronik mene- rima keputusan yang diambil oleh wali

pengganti, ternyata keputusan itu bertentangan dengan keinginannya. 

5. Prinsip Keadilan (Justice) Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-

hak untuk menerima sesuatu,  persaingan untuk mendapatkan kepentingan pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial. Masalahnya adalah seharusnya diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis kepada yang memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan dalam perlakuan yang sering timbul dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan diri dengan sumber

14

Page 15: Etik Legal Do Not Resuscitate

penghasilan masyarakat untuk merawat mereka berdasarkan sumber penghasilan yang secara umum disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau dukungan institusi secara langsung. Akan tetapi, untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam memberikan pelayanan medis harus dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi, o l eh karena itu diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya: a. mencegah, mengobati, dan mengusahakan one- year survival lebih

dari 75 persen b. menghasilkan lebih sedikit toksisitas atau disabilitas  jangka panjang c. dapat memberikan manfaat dan d. secara nyata lebih mengun- tungkan daripada memberatkan. 

6. Prinsip kesia-siaan (Principle Of Futility)

“ Futility” adalah kata yang berarti tidak adanya ke- untungan. Kata

“sia-sia” berasal dari bahasa Latin “futilis”, yang berarti mudah meleleh

atau mengalir. Penggunaan kata ini berasal dari legenda Yunani ketika Raja

Argos dibunuh atas kejahatan yang dilakukannya, kemudian istri dan anak-

anaknya dikutuk selama-lamanya untuk mengumpulkan air dengan

menggunakan ember yang bocor ke suatu tempat sehingga saat sampai

di tempat tujuan ember tersebut kosong.  Definisi “sia- sia”,

“tidak berguna” atau “futility” digunakan untuk menggambarkan

ketidakbergunaan atau tidak adanya efek, khususnya tidak adanya efek

yang diinginkan dan jika diasumsikan bahwa efek yang diinginkan intervensi

medis adalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi pasien maka sia-sia

menggambarkan ketiadaan manfaat tersebut.  Dalam  Roget ’ s Link

Thesaurus sia-sia digunakan dengan konsep umum inutility, sama dengan

kata-kata seperti tidak berguna, inefficacy, kebodohan,

ketidakmampuan, unfruitfulness, suatu pekerjaan yang sia-sia

bahkan tidak berharga dan hanya lelucon dan dengan konsep

umum absurditas seperti “kedunguan,” ”omong kosong, “kesalahan”,

15

Page 16: Etik Legal Do Not Resuscitate

“kekacauan,”, “keledai,” “omong kosong” “kesa  Dikatakan juga kesiasiaan

menggambarkan tidak ada manfaat tanpa pertimbangan. Bagaimana jika

tindakan intervensi medis yang dilakukan memberikan sedikit manfaat.

Ketika kehidupan seseorang digambarkan dengan penyakit lanjut,

ketergantungan penuh dengan orang lain, demensia, sedangkan keuntungan

yang didapat dari tindakan RJP ternyanta tidak adekuat dan tidak sesuai yang

diharapkan. Memberikan hak sepenuhnya kepada pasien untuk memutuskan

tindakan yang akan dilakukan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika

permasalahan yang terkait dengan kematian dan koma menjadi sangat sulit

maka perlu ketegasan tentang tujuan sebenarnya yang akan dicapai. Jika

resusitasi adalah sia-sia maka setiap kerugian yang terjadi akan membawa

sesuatu yang tidak menguntungkan/ membahayakan keseimbangan, sehingga

melakukan tindakan tanpa tujuan yang berguna adalah suatu hal yang tidak

efektif. Tomlinson dan brody mengakui bahwa untuk menyatakan suatu

tindakan atau intervensi medik harus melibatkan keseimbangan yang

kompleks antara ketidak pastian dan kewajiban akan tanggungjawab.

Schneiderman dan Jacker telah mempelajari tentang makna kesia-siaan dan

membuat definisi kuantitatif dari sia-sia yang membutuhkan kepastian

bahwa intervensi tersebut minimal 100 kali gagal digunakan. Hal itu

menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki suatu kejelasan tertentu,

sehingga diperlukan diskusi yang mendalam dengan pasien atau keluarga

untuk mengevaluasi keuntungan dan beban atau tanggung jawab yang masih

tersisa.

Di unit perawatan intensif (ICU) pasien yang meninggal sebagai akibat

dari keputusan dipertahankanya atau ditariknya alat-alat pendukung

kehidupan adalah sekitar 70-90%. Persentase tersebut meningkat secara

signifikan dari waktu ke waktu, dan alasan yang paling umum untuk

dilakukannya tindakan medis untuk mempertahankan alat0alat penunjang

16

Page 17: Etik Legal Do Not Resuscitate

kehidupan tersebut adalah persepsi bahwa pasien mempunyai prognosis

yang buruk.

RJP adalah tindakan medis yang paling sering dipertahankan dan

ventilasi mekanis adalah tindakan medis yang paling sering ditarik kembali.

Upaya untuk mengukur kesia-siaan adalah berdasarkan pada penilaian RJP

fisiologis atau fitur prognosis lainya yang ternyata memberikan hasil yang

tidak banyak bermanfaat. Berbagai definisi kesia-siaan termasuk disini

adalah gagal untuk memperpanjang hidup gagal untuk mencapai efek

fisiologis pada tubuh untuk mencapai manfaat terapeutik bagi pasien.

Waisel dan Troug menyimpulkan tiga perbedaan yang konseptual

dari definisi kesia- siaan. Kesia-siaan fisiologis terjadi apabila gagal atau

tidak dapat memberikan tujuan fisiologis. Sebagai contoh ketika RJP tidak

menghasilkan denyut nadi atau ketika transfusi tidak menghasilkan tekanan

darah, maka intervensi tersebut adalah sia-sia dari perspektif definisi sebuah

kesia-siaan fisiologis.

Schneiderman et al, berpendapat bahwa konsep kesia-siaan fisiologis

bukan merupakan nilai bebas, penilaian terapi tersebut adalah sebuah

“pilihan nilai” dan bahwa pilihan yang dibuat adalah nilai pengukuran fungsi

organ daripada nilai hasil untuk pasien. Definisi kesia-siaan lainnya adalah

kesia-siaan yang berpusat pada asas manfaat (benefit centered), yang

didefinisikan sebagai kesia-siaan yang terdiri dari pertimbangan kuantitatif

dan kualitatif. Perkiraan kuantitatif kesia-siaan adalah saat intervensi medis

dianggap sia-sia jika gagal dalam jumlah yang ditentukan terakhir kali

mencoba, dan disarankan usaha tersebut berhasil apabila dilakukan 100 kali

sebagai ambang batas mknimal yang dianggap oleh penilaian profesional

pada umumnya. Komponen kualitatif menggambarkan kesia-siaan yang

terjadi saat kualitas hidup pasien jatuh di bawah ambang batas minimal yang

dianggap oleh penilaian professional pada umumnya. Murphy dan Finucane

menggusulkan definisi kesia-siaan operasional sebagai perlakuan yang

17

Page 18: Etik Legal Do Not Resuscitate

sangat tidak mungkin untuk berhasil dan banyak orang awam maupun

kalangan profesional menganggap bahwa hal tersebut tidak sepadan dengan

biaya.

The American Thoracic Society mengadopsi makna kesia-siaan

dengan lebih konservatif, namun definisinya lebih samar-samar, dimana

dikatakan bahwa intervensi medis tersebut dikatakan sia-sia jika sudah

sangat tidak mungkin untuk menghasilkan makna kehidupan. Oleh karena

itu, The American Thoracic Society memberikan definisi kesia-siaan berasal

dari campuran antara kuantitatif (sangat tidak mungkin) dan kualitatif

(bermakna untuk bertahan hidup).

American Heart Association mengambil definisi kualitatif kesia-siaan

secara ekstrem, dikatakan bahwa RJP adalah sia-sia karena tidak ada yang

selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah penelitian yang didesain

dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa tindakan RJP

adalah tidak sia-sia. Definisi yang dikemukakan oleh American Heart

Association tersebut tampaknya untuk mendukung tidak dilakukan RJP pada

situasi-situasi yang akan membawa lebih banyak kerugiannya daripada

keuntungannya, dan definisi kesia-saian tersebut konsisten dengan definisi

kesia-siaan yang ada yaitu tidak ada manfaatnya.

F. Resusitasi Dalam Pandangan Islam

Di Bawah situasi ini resusitasi diperbolehkan dalam Islam untuk

menandatangani DNR bagi seseorang apabila dokter pikir ini adalah satu-satunya

hal terbaik untuk dilakukan. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang telah

didefinisikan oleh para ulama adalah sbb :

1. Jika orang sakit telah dibawa ke rumah sakit dan mati, dalam hal ini tidak perlu

menggunakan peralatan resusitasi.

18

Page 19: Etik Legal Do Not Resuscitate

2. Jika kondisi pasien tidak cocok untuk resusitasi menurut pendapat tiga dokter

spesialis yang dapat dipercaya, dalam hal ini ada juga tidak perlu menggunakan

peralatan resusitasi.

3. Jika pasien penyakit ini kronis dan tak terobati, dan kematian tidak dapat

dihindarkan menurut kesaksian tiga dokter spesialis yang dapat dipercaya,

dalam hal ini tidak perlu menggunakan peralatan resusitasi.

4. Jika pasien tidak mampu, atau negara bagian vegetatif yang gigih dan sakit

kronis, atau dalam kasus kanker pada tahap lanjutan, atau kronis penyakit

jantung dan paru-paru, dengan berulang-ulang penghentian dari jantung dan

paru-paru, dan tiga dokter spesialis dapat dipercaya telah ditentukan itu, maka

tidak ada perlu menggunakan peralatan resusitasi.

5. Jika ada indikasi pada pasien cedera otak yang tidak dapat diperlakukan sesuai

dengan laporan dari tiga dokter spesialis yang dapat dipercaya maka tidak ada

perlu menggunakan peralatan resusitasi, karena tidak ada gunanya melakukan

hal itu.

6. Jika menghidupkan kembali jantung dan paru-paru tidak bermanfaat dan tidak

tepat karena situasi tertentu menurut pendapat tiga dokter spesialis yang dapat

dipercaya, maka tidak ada perlu menggunakan peralatan resusitasi, dan tidak

ada perhatian harus dibayarkan kepada pendapat pasien kerabat tentang

penggunaan peralatan resusitasi atau sebaliknya, karena ini bukan spesialisasi

mereka. Dalam resolusi Dewan Fiqih Islam tidak ada (5), tanggal 3/07/86,

mengenai peralatan resusitasi, ia mengatakan: Dalam pertemuan Dewan Fiqih

Islam ketiga diadakan selama konferensi di 'Ammaan, ibukota Kerajaan

Yordania Hashemit 8-13 Safar/11 sampai 16 Oktober 1986. Setelah diskusi

tentang segala aspek pada subjek peralatan resusitasi dan ekstensif

mendengarkan penjelasan dari dokter spesialis, Ditentukan sebagai berikut:

Dalam syariat seseorang dianggap telah meninggal dan semua keputusan yang

dihasilkan dari kematian datang ke dalam bermain jika salah satu dari dua tanda

berikut terbukti:

19

Page 20: Etik Legal Do Not Resuscitate

1. Jika hatinya dan pernapasan telah berhenti sama sekali dan para dokter

telah menetapkan bahwa mereka tidak dapat dimulai ulang.

2. Jika semua fungsi otak telah berhenti sepenuhnya, dan spesialis, dokter

ahli telah menentukan bahwa penghentian ini adalah ireversibel, dan

otaknya telah mulai hancur. Dalam kasus ini, menghapus resusitasi

peralatan yang terhubung ke orang itu diperbolehkan, meskipun

beberapa organ seperti jantung masih dapat berfungsi secara artifisial

karena tindakan life support equipment.

 

20