40
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR Zoonosis Dosen Pembimbing: dr. Fauziah Elytha, MSc DHILLA LHARISA (1411212037) NADA NADIA ULFAH (1411212052) ISMA FEBRIANY A. (1411212057) NURMALISAH PUTRI (1411212063) FATIMAH SHOLEHAH (1411212066)

EPM Zoonosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Zoonosis Diare

Citation preview

Page 1: EPM Zoonosis

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Zoonosis

Dosen Pembimbing:

dr. Fauziah Elytha, MSc

DHILLA LHARISA

(1411212037)

NADA NADIA ULFAH (1411212052)

ISMA FEBRIANY A. (1411212057)

NURMALISAH PUTRI (1411212063)

FATIMAH SHOLEHAH (1411212066)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

Page 2: EPM Zoonosis

2015

ii

Page 3: EPM Zoonosis

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah

memberik rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan

makalah mengenai “Zoonosis” dalam rangka memenuhi salah satu tugas

perkuliahan Epidemiologi Penyakit Menular.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun tentunya mendapat banyak

bimbingan ataupun saran dan koreksian. Untuk itu, terima kasih penyusun

ucapakan kepada Dosen Pembimbing Epidemiologi Penyakit Menular dan teman-

teman yang telah bekerja sama dalam kelompok belajar. Semoga makalah ini

dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penyusun dan juga pembaca.

Penyusun menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalam

makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang

konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 13 September 2015

Penyusun

i

Page 4: EPM Zoonosis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Tujuan.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

2.1 RABIES.....................................................................................................2

2.1.1 Penyebab penyakit...................................................................................2

2.1.2 Alur Penularan.........................................................................................2

2.13 Etiologi.....................................................................................................3

2.1.4 Pencegahan dan Penanggulangan............................................................4

2.2 Cacingan....................................................................................................5

2.2.1 Penyebab Penyakit...................................................................................5

2.2.2 Alur Penularan.........................................................................................6

2.2.3 Etiologi....................................................................................................7

2.2.4 Pencegahan dan Penanggulangan............................................................7

2.3 Pes.............................................................................................................9

2.3.1 Penyebab Penyakit...................................................................................9

2.3.2 Alur Penularan.........................................................................................9

2.3.3 Etiologi..................................................................................................13

2.3.4 Pencegahan dan Penanggulangan..........................................................16

BAB III PENUTUP..............................................................................................19

3.1 Kesimpulan...................................................................................................19

3.2 Saran.............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................20

ii

Page 5: EPM Zoonosis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber

dari hewan telah banyak mewabah di dunia. Istilah tersebut dikenal dengan

zoonosis, yaitu untuk menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada

manusia yang ditularkan dari hewan. Hal inilah yang sekarang ini menjadi

sorotan publik dan menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek

yang berkaitan dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya akan

diperoleh suatu sistem terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya.

Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat

membawa dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas

yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat dan veteriner.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, zoonosis belum

mendapatkan perhatian yang cukup serius baik pemerintah maupun

rakyatnya. Bukti konkritnya adalah kasus rabies. Di samping itu, masih

banyak kasus-kasus zoonosis lainnya yang mewabah di Indonesia seperti

cacingan. Kesuksesan penanggulangan penyakit zoonosis di negara lain patut

menjadi contoh bagi Indonesia untuk keluar dari ancaman penyakit zoonosis.

Setiap perjalanan kehidupan manusia selalu disertai dengan kemunculan

suatu penyakit yang baru dan baru yang terkadang penyakit tersebut lebih

ganas dari sebelumnya, perubahan social, penyebaran populasi manusia serta

perubahan lingkungan pada era globalisasi ini dapat berimplikasi pada

kemunculan suatu penyakit zoonosis. Peningkatan populasi manusia dan

globalisasi menyebabkan perpindahan manusia dari satu benua ke benua

lainnya. Seiring dengan hal tersebut maka juga akan terjadi perpindahan

hewan antar wilayah, bahkan benua, melalui perusakan habitat, perdagangan,

permintaan pribadi dan kepentingan teknologi, dimana mikroorganisme, juga

1

Page 6: EPM Zoonosis

mengalami perpindahan ke daerah yang baru. Pada dasarnya, penyakit yang

ada di dunia juga mengalami perkembangan yang sejalan dengan

perkembangan dunia yang cukup pesat.

Sehingga sampai sekarang belum dapat diketahui dari mana virus itu

berasal, atau hewan apa yang menjadi "host" awalnya. Berbagai binatang yang

dijumpai di sekitar tepian sungai Ebola diteliti, dari serangga, ular, sampai

monyet, tetapi tidak ditemukan indikasi bahwa virus itu dari hewan-hewan

tersebut. Sehingga membuat para peneliti yang melakukan penelitian akan

penyebab terjadinya penyakit ini hingga menyebabkan wabah di daerah Afrika

belum dapat dipecahkan dan didapatkan solusi pengobatannya.

Hal ini memerlukan pengembangkan kesatuan kebijakan, strategi, dan

program untuk menangani penyakit zoonosis pada hewan, kedokteran,

kesehatan masyarakat, dan kesehatan lingkungan. Peningkatan kesehatan

hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan diakui dapat

mengendalikan penyebaran penyakit zoonosis. Hal ini memiliki konsekuensi

positif bagi kesehatan dan manfaat bagi pembangunan ekonomi, pengentasan

kemiskinan dan produksi makanan manusia, terutama pada populasi

pedesaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian penyakit Zoonosis?

2. Apa penyebab penyakit Zoonosis?

3. Bagaimana alur penularan penyakit Zoonosis?

4. Apa etiologi penyakit zoology?

5. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan penykit Zoonosis?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Zoonosis.

2. Untuk mengetahui penyebab penyakit Zoonosis.

3. Untuk mengetahui alur penularan penyakit Zoonosis.

4. Untuk mengetahui etiologi penyakit zoonosis.

2

Page 7: EPM Zoonosis

5. Untuk mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan penykit

Zoonosis.

3

Page 8: EPM Zoonosis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penyakit Zoonosis

Pengertian Zoonosis secara umum adalah : Penyakit yang dapat ditularkan

dari hewan ke manusia atau sebaliknya.

Berikut penjelasan singkat tentang penyakit ini  :

Menurut UU No. 6 tahun 1967 pengertian zoonosis adalah penyakit yang

dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya atau disebut juga

Anthropozoonosis. Begitu pula dalam UU No. 18 tahun 2009 tentang

peternakan dan kesehatan hewan, sebagai pengganti UU No. 6 tahun 1967

dinyatakan bahwa penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular

dari hewan kepada manusia dan sebaliknya.

Sedangkan pengertian zoonosis yang diberikan WHO, zoonosis adalah

suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan

vertebrata ke manusia.

Zoonosis, menurut badan Kesehatan sedunia (OIE=Office Internationale

Epizooticae) merupakan penyakit yang secara alamiah dapat menular

diantara hewann vertebrata dan manusia. Penyakit yang tergolong dalam

zoonosis dengan penyebaranpenyakit tersebar ke seluruh penjuru dunia

dan yang sering ditemukan di Indonesia misalnya antraks, rabies,

leptospirosis, brucelosis, toxoplasmosis, tuberkolosis, salmonellosis, avian

Influenza, dan lain-lain. (Mangku Sitepoe, 2009, hal 1)

2.2 RABIES

2.2.1 Penyebab penyakit

Rabies adalah penyakit infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat yang

disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zooniotik, yaitu ditularkan dari

hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case

Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang

4

Page 9: EPM Zoonosis

terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan gigitan hewan misalnya

oleh anjing, kucing, kera, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila.

Rabies diakibatkan virus rabies, di mana virus rabies ini tergolong dalam

famili genus Lysavirus dan Rhabdoviridae. Ciri utama dari virus keluarga

Rhabdoviridae yakni Cuma mempunyai satu utas (-) RNA yang tak memiliki

segmen. Jenis virus ini biasa hidup di beberapa macam hewan, di mana hewan

tersebut berperan menjadi perantara penularan. Untuk spesies hewannya sendiri,

itu bermacam-macam, karena tergantung pada posisi geografisnya.

2.2.2 Alur Penularan

Selain karena gigitan, infeksi juga bisa diakibatkan oleh jilatan dari hewan

pada kulit Anda yang terluka, itu juga bisa menjadi saluran penularan infeksi

rabies. Sesudah mengalami infeksi, virus pun dapat masuk dari saraf-saraf 

menuju daerah sumsum tulang belakang juga otak, kemudian bereplikasi

(Bertambah banyak) di situ. Sesudahnya, virus tak berhenti begitu saja, namun

berpindah lagi dari saraf ke jaringan non saraf, contohnya saja kelenjar liur

kemudian masuk menuju dalam dari air liur. Penularan yang berikutnya juga bisa

diakibatkan udara yang sudah tercemar dengan virus rabies, biasanya jika udara

ini dihirup maka Anda akan terjangkit rabies juga. Udara seperti ini biasanya di

tempat tinggal kelelawar, atau tempat yang banyak kelelawarnya. Walaupun type

penularan yang terakhir ini benar-benar jarang terjadi.

5

Page 10: EPM Zoonosis

2.2.3 Etiologi

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam

familia Rhabdoviridae,genus Lyssa. Virus ini berbentuk peluru atau silindris

dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang

berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dariribonukleokapsid dibagian

tengah, memiliki membrane selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada

permukaannya terdapat tonjolan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah.

Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.

Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membrane

selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjolan

(spikes) yang jum;ahnya lebih dari 500 buah. Pada membrane selubung (amplop)

terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter

75nm, tonjolan berukuran 9nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka

terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%, yodium, fenol dan

klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50%.

Pada suhu 600 C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering

beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan selama beberapa tahun

6

Page 11: EPM Zoonosis

2.2.4 Pencegahan dan Penanggulangan

Penularan rabies dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi secara berkala

biasanya hanya diberikan pada mereka yang dalam pekerjaannya sering

berinteraksi dengan hewan sehingga berpotensi tinggi untuk terjangkit, contohnya

adalah dokter hewan dan pengurus kebun binatang. Vaksinasi rabies biasanya

tidak perlu diberikan kepada mereka yang hanya akan melakukan liburan singkat

ke daerah pedesaan.

Untuk yang masih belum pernah diimunisasi dalam waktu 10 tahun

terakhir, dapat diberikan suntikan tetanus.

Untuk yang masih belum pernah divaksin rabies, bisa diberikan suntikan

untuk globulin imun rabies, di mana pemberian ini juga dikombinasikan dengan

pemberian vaksin. Untuk separuh dosisnya disuntikkan pada tempat gigitan,

sementara separuhnya lagi diberikan di otot, umumnya pada daerah pinggang. Di

jangka waktu periode 28 hari, Anda bisa berikan 5 x suntikan. Untuk suntikan

pertama itu menentukan resiko virus rabies karena bekas gigitan. Sementara sisa

suntikannya diberikan di hari 3, 7, 14, kemudian 28. Memang terkadang terjadi

kemerahan, rasa sakit, gatal, atau bengkak di tempat penyuntikan vaksin tersebut,

namun itu normal.

Menjaga diri sendiri dan keluarga dari penularan virus rabies sebenarnya

tidak sulit. Ketika mengunjungi desa atau daerah pelosok yang belum bebas dari

rabies, usahakan agar Anda dan keluarga Anda tidak sembarangan menyentuh

hewan liar. Ajarkan pada anak-anak Anda mengenai bahaya memelihara hewan

liar tersebut, serta alasannya.

Jika terdapat luka pada anak-anak Anda, tanyakan pada mereka dari mana

luka tersebut berasal karena dikhawatirkan didapat dari gigitan atau cakaran

hewan yang terinfeksi rabies. Didik anak-anak Anda agar paham bahwa gigitan

hewan bisa berbahaya.

Menurut Depkes (2000), setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies

harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin, untuk mengurangi atau

7

Page 12: EPM Zoonosis

mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan. Pengobatan luka gigitan

meliputi:

Pertolongan pertama:  Usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan

dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit,

kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah atau lainnya).

Tetapi, walaupun pencucian luka sudah dilakukan, harus dicuci kembali lukanya

di puskesmas atau rumah sakit. Pengobatan luka secara khusus (dengan

pengawasan dokter).

Berdasarkan rekomendasi dari WHO pengobatan luka secara khusus sebagai

berikut:

1) Lakukan pencucian seperti di atas

2) Semprotkan serum anti rabies ke dalam luka dan infiltrasikan serum

tersebut di sekitar luka.

3) Luka jangan segera dijahit, tapi jika perlu luka jahitan lakukanlah

infiltrasi dengan serum anti rabies di sekitar luka.

4) Berikan pencegahan terhadap tetanus bila ada indikasi dan antibiotika

untuk mencegah infeksi sekunder dengan kuman.

2.3 Cacingan

2.3.1 Penyebab Penyakit

Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang

masih rendah didukung okeh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan

perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi

infeksi cacing usus yang ditularkan di Indonesia (Zit, 2000).

Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

dan cacing cambuk (Trichuris trichura). (Depkes RI, 2004). Ascaris lumbricoides

merupakan helmintiasis yang paling sering menyerang anak-anak, cacing ini telah

menyebabkan lebih dari satu milyar kasus kecacingan di seluruh dunia.

8

Page 13: EPM Zoonosis

Angka kejadian infeksi Ascaris lumbricoides di Indonesia sebesar 70 ±

80%, keadaan ini menyebabkan penyakit ascariasis menjadi penting dan hingga

saat ini masih merupakan masalah dibidang ilmu kesehatan anak dan kesehatan

masyarakat. Penyakit cacingan merupakan salah satu masalah kesehatan di

Indonesia. Penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang kotor, kuku panjang

dan kotor menyebabkan telur cacing terselip.

2.3.2 Alur Penularan

Penularan ascariasis ada 2, yaitu :

1. Sumber Penularan

Reservoir atau sumber penularan dapat berupa organisme hidup atau benda mati

(misalnya tanah dan air), dimana unsur penyebab penyakit menular dapat hidup

secara normal dan berkembang biak. Konsep reservoir pada Ascaris

lumbricoides, adalah tanah, air dan makanan yang mengandung telur  Ascaris

lumbricoides.

2. Cara Penularan

Ascaris lumbricoides ditularkan melalui makanan yang tercemar cacing. Benda

yang mengandung telur cacing berfungsi sebagai penyalur  penularan disebut

terkontaminasi. Biasanya sayuran yang menggunakan pupuk dari kotoran

manusia banyak terkontaminasi dengan telur cacing Ascaris lumbricoides.

Kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan jenis telur cacing, tanpa

disertai perilaku mencuci tangan sebelum makan sering menjadi cara penularan

pada jenis cacing ini.

2.3.3 Etiologi

Ascariasis disebabkan oleh Ascaris Lumbricoides. Stadium infektif

Ascaris Lumbricoides adalah telur yang berisi larva matang. Sesudah tertelan oleh

hospes manusia, larva dilepaskan dari telur dan menembus diding usus sebelum

9

Page 14: EPM Zoonosis

migrasi ke paru-paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan

paru-paru masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan

tertelan kembali. Setelah sampai ke usus kecil larva berkembang menjadi cacing

dewasa (jantan berukuran 15-25cm x 3mm dan betina 25-35cm x 4mm).

Cacing betina mempunyai masa hidup 1-2 tahun dan dapat menghasilkan

200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-60 µm

dan lebar 35-50 µm. Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan

berkembang menjadi infektif dalam 5-10 hari pada kondisi lingkungan yang

mendukung.

2.3.4 Pencegahan dan Penanggulangan

Untuk pencegahan, terutama dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak

buang air besar di sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran

kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan, dan tidak memakai/ tinja manusia

sebagai pupuk tanaman.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah

sebagai berikut :

1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik

ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus

hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.

4. Makan makanan yang dimasak saja.

5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang

menggunakan tinja sebagai pupuk.

Penanggulangannya bisa dengan

1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis

tunggal dengan dosis maksimum 3 g/hari

2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)

10

Page 15: EPM Zoonosis

3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)

4. Santonin: tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan.

Biasanya dicampur dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam

jumlah yang sama diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Dosis :

0-1tahun = 3 x 5 mg

1-3 tahun = 3 x 10 mg

3-5 tahun = 3 x 15 mg

Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg

Dewasa = 3 x 25 mg

5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis

tunggal.

6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan

cacing. Preparatnya : Fellardon.

7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400

mg P.O. sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3

hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate

(11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate

(pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval

12 hari).

Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemi.

2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi

tinggi seperti anak-anak sekolah dasar.

3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit

atau infeksi yang telah lalu.

4. Peningkatan kondisi sanitasi

5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.

6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.

11

Page 16: EPM Zoonosis

2.4 Pes

2.4.1 Penyebab Penyakit

Pes atau yang juga dikenal dengan nama Pesteurellosis atau

Yersiniosis/Plague merupakan penyakit Zoonosa terutama pada tikus dan rodent

lain dan dapat ditularkan kepada manusia. Pes juga merupakan infeksi pada

hewan pengerat liar yang ditularkan dari satu hewan pengerat ke hewan lain dan

kadang-kadang dari hewan pengerat ke manusia karena gigitan pinjal.

2.4.2 Alur Penularan

Secara alamiah penyakit pes dapat bertahan atau terpelihara pada rodent.

Kuman-kuman pes yang terdapat di dalam darah tikus sakit, dapat ditularkan ke

hewan lain atau manusia, apabila ada pinjal yang menghisap darah tikus yang

mengandung kuman pes tadi, dan kuman-kuman tersebut akan dipindahkan ke

hewan tikus lain atau manusia dengan cara yang sama yaitu melaluigigitan. 

Mengenai terjadinya wabah pes pada tikus dan manusia dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1. Terjadinya wabah pes pada tikus

Wabah pada hewan umumnya disebut epi-zooti dari (epi = pada, zoo =

hewan; Epi-demi berasal dari epi = pada, demi/demos = rakyat). Wabah pes

pada manusia didahului oleh epizooti pes pada tikus, dan ini tentunya ada

hubungan antara epizooti tikus dengan epidemic manusia. Pada seekor tikus

yang menderita penyakit pes terdapat gejala penyakit: suhu badan naik,

sangat gelisah, berkeliaran kian kemari. Mungkin tikus ini akan mati

disembarang tempat. Pinjal-pinjalnya yang telah ketularan karena

menghisap darah tikus yang sakit tadi segera meninggalkan bangkai tikus

yang telah dingin. Pinjal tersebut akan meloncat-loncat tidak lebih 50 cm

dan jauh tidak lebih 60 cm. jika perut pinjal itu mengandung darah yang

berisi basil-basil pes, basil tersebut dapat hidup di dalam perut pinjal selama

40 hari. Bila pinjal yang tertular tersebut menggigit tikus yang sehat, tikus

12

Page 17: EPM Zoonosis

tersebut akan menderita penyakit pes dan akan mati dalam 4 atau 5 hari. 

Dengan cara demikian timbullah epizooti pada tikus. Pada epizooti ini

mungkin banyak tikus yang mati, baik di dalam maupun di luar rumah.

Untuk menetapkan bahwa tikus itu mati karena pes, bangkai tikus itu perlu

dikirim ke perusahan Negara Laboratorium Bio Farma. Bangkai tikus itu

harus dicapit dengan capit yang panjangnya lebih kurang 1 cm, mengingat

bahwa pinjal-pinjal itu dapat meloncat sampai kurang 90 cm. lalu bangkai

itu dimasukkan ke dalam blek minyak tanah kosong dan dikirim ke Lab dan

ditutup rapat.

Bila banyak tikus yang mati karena pes, banyak pula pinjal-pinjal tikus

yang meninggalkan bangkai tikus itu. Pinjal dapat juga melewati lubang

pada langit-langit rumah yang lubangnya tidak tertutup rapat. Dengan

melalui lubang pada langit-langit ia dapat masuk ke dalam rumah. Barulah

manusia menjadi sasarannya seperti pada gambar 01. Pinjal tikus yang telah

kelaparan dapat menghisap darah dengan kuat. Jika di dalam perut pinjal itu

banyak terdapat basil pes, basil itu akan menyumbat lubang antara

proventrikulus dan ventrikulus. Karena penyumbatan itu, pada permulaan

proventrikulus akan penuh dengan darah, akan tetapi tidak menimbulkan

rasa kenyang. Pinjal itu akan mencabut moncongnya dan menggigit lagi.

Pada waktu moncong dicabut, darah yang tercampur dengan basil pes akan

turut keluar dan masuk ke dalam tempat penggigitan. Dengan cara itu

manusia dapat ketularan basil pes dan mulailah perkembangan penyakit pes

di dalam tubuh manusia. 

Pengalaman para ahli menunjukkan bahwa suatu wabah biasanya terjadi

dalam musim hujan dan mempunyai puncaknya pada bulan desember atau

januari. Agar pada puncak wabah didapat kekebalan yang cukup, immunitas

biasanya dimulai 2/3 bulan sebelumnya. Pada daerah-daerah dengan suhu

iklim kurang dari 30ºC seperti di pegunungan penyakit pes akan menetap. 

2. Perkembangan wabah pes di dalam tubuh manusia.

Pada tempat gigitan pinjal akan timbul gelembung kecil yang berisi cairan

yang Hemoragis, juga akan timbul pada kulit setempat yang agak besaran.

13

Page 18: EPM Zoonosis

Bentuk demikian disebut pes kulit. Menurut Prof. De Lange 5% dari gigitan

pinjal yang ketularan menimbulkan pes kulit. Basil pes kemudian ikut

dengan aliran getah bening, menuju daerah kelenjar getah bening, dan

menimbulkan Limpadenitis atau bubo. Jika digigit di tangan, bubo akan

timbul di ketiak. Jika digigit dikaki, bubo akan timbul di lipatan paha, dan

jika digigit dikepala, bubo akan timbul di leher. Jika orang yang tertular itu

tidak pernah menerima vaksinasi terhadap pes dan tidak memiliki

kekebakan tubuh, bubo itu menimbulkan gejala: peradangan merah, panas,

bengkak, sakit yang hebat disertai suhu badan yang tinggi. Penderita terlihat

sangat gelisah. Selaput lendir mata yang kemerah-merahan seringkali

sebagai gejala yang terlihat. Bubo di lipatan paha sedemikian sakitnya,

sehingga penderita berbaring dengan rasa tak berdaya, sedang pahanya

terkaku dalam fleksi. Lalu bubo itu akan pecah, dan keluarlah nanah

bercampur darah dari jaringan yang mati. Penyembuhan berjalan sangat

perlahan, hal ini berlainan dengan bisul karena stafilokokkus yang lekas

sembuh setelah pecah. Dengan penderita yang agak lama, bubo ini akan

merusak badan penderita sampai kurus. Kematian dapat meningkat sampai

60% pada panderita yang belum pernah mendapat vaksinasi anti-pes.

Pada penyakit pes yang disebabkan karena basil pes yang sangat ganas,

mungkin tidak timbul bubo. Daerah kelenjar limpa dilewati dan melalui

duktus thorasikus, basil itu masuk ke dalam peredaran darah. Timbullah

keadaan pes-sepsis (pes-bakteri aemi, atau pes septichaemi) dengan gejala

intoksikosis yang hebat dan penderita menderita panas yang tinggi. Ia

kelihatan gelisah, mungkin penderita berkeliaran di luar ruamah dan

meninggal di sembarang tempat. Bila di daerah yang ketularan pes

ditemukan mayat yang berbadan baik, tidak memperlihatkan gejala sakit

dan penganiayaan, kemungkinan orang itu meninggal karena pes. 

Pes-septichaemi juga dapat terjadi pada penderita pes bubo. Setelah terjadi

pes bubo mungkin bubo itu dilewati oleh basil pes. Dengan melalui duktus

torasikus ia masuk ke peredaran darah, selanjutnya masuk ke vena kava

superior, ke serambi kanan, bilik kanan, arteria pulmonalis, dan sampai di

paru-paru akan menimbulkan pes paru-paru. Pes paru ini disebut pes paru

14

Page 19: EPM Zoonosis

sekunder. Karena terjadi dengan melalui pes bubo dan pes-septichaemi.

Penderita ini dapat menyemburkan basil pes dengan dahaknya yang halus ke

udara. Basil pes ini akan masuk ke pernafasan orang sehat dengan cara

langsung dan akan timbul pes paru primer (terlihat pada gambar 01 di atas).

Pes paru adalah penyakit yang berat dan dapat mengakibatkan kematian

dalam beberapa hari saja. Penderita kelihatannya sangat lemah, sedemikian

lemahnya sehingga tidak mampu batuk dengan keras. Jika batuk, dahaknya

bercampur dengan darah. 

Dari peristiwa terjadinya wabah pes di atas, ada beberapa penularan penyakit pes

tersebut. Adapun bagan penularan penyakit pes sebagai berikut.

Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang–orang yang bila digigit

oleh pinjal tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada pekerja-pekerja di

hutan, ataupun pada orang-orang yang mengadakan rekreasi/camping di

hutan.                  

Penularan pes ini dapat terjadi pada orang yang berhubungan erat dengan tikus

hutan, misalnya para ahli Biologi yang sedang mengadakan penelitian di hutan,

dimana orang tersebut terkena darah atau organ tikus yang mengandung kuman

pes.

 Kasus yang umum terjadi dimana penularan pes pada seseorang karena digigit

oleh pinjal infeksi setelah menggigit tikus domestik/komersial yang mengandung

kuman pes.

15

Page 20: EPM Zoonosis

Penularan pes dari tikus hutan komersial melalui pinjal. Pinjal yang efektif

kemudian menggigit manusia.

Penularan pes dari seseorang ke orang lain dapat juga terjadi melalui gigitan pinjal

manusia Culex Irritans (Human flea)

Penularan pes dari seseorang yang menderita pes paru-paru kepada orang lain

melalui percikan ludah atau pernapasan. Pada no.1 sampai dengan 5, penularan

pes melalui gigitan pinjal akan mengakibatkan pes bubo. Pes bubo dapat berlanjut

menjadi pes paru-paru (sekunder pes).

2.4.3 Etiologi

Pes (plague) adalah penyakit yang disebabkan oleh enterobakter yersina

pestis (dinamai dari bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin). Penyakit pes dibawa oleh

hewan pengerat (terutamatikus). Wabah penyakit ini banyak terjadi dalam sejarah,

dan telah menimbulkan korban jiwa yang besar. Selama abad ke-14, pedagang

dari kota-kota pelabuhan Laut Tengah dan Laut Hitam mengadakan perjalanan ke

Cina, dan sepulangnya, membawa kembali sutera serta kulit binatang yang

berharga. Ketika kembali dari perjalanan seperti ini pada tahun 1343, sekelompok

pedagang dari Genoa menurut laporang lari ketakutan karena adanya pasukan

orang Tartar, dan berlindung di balik tembok kota perdagangan Caffa di

Semenanjung Krim. Orang Tartar segera mengepung kota tersebut. Selama tiga

tahun tak ada pihak yang mendapatkan kemajuan, sampai pada suatu hari orang

Tartar berhenti melemparkan batu ke dalam kota Caffa dan mulai melemparkan

mayat-mayat tentara mereka sendiri yang meninggal karena pes.

16

Page 21: EPM Zoonosis

Sejak dahulu kala sampai kini, infeksi mikroba merupakan ancaman utama

terhadap kesehatan manusia beradab. Penyakit pes – lebih daripada “pes-pes” di

kemudian hari seperti misalnya kolera, cacar, demam kuning dan influenza-tetap

merupakan contoh utama mengenai siatu penyakit infeksi yang datang dari luar

negeri dan menyerang orang Filistin melalui pelabuhan laut mereka. Wabah raya

penyakit pes yang pertama, yakni pes Justinius pada Abad ke-6, berkecamuk

waktu perdagangan internasional meningkat.

Plague, disebut juga penyakit pes, adalah infeksi yang disebabkan bakteri

Yersinia pestis (Y. pestis) dan ditularkan oleh kutu tikus (flea), Xenopsylla

cheopis. Yesinia pestis penyebab pes berbentuk batang pendek, gemuk dengan

ujung membulat dengan badan mencembung, berukuran 1,5 µ × 5,7 µ dan bersifat

Gram positif. Kuman ini serirtutung menunjukkan pleomorfisme. Pada pewarnaan

tampak bipolar, mirip peniti tertutup. Kuman tidak bergerak, tidak membentuk

dari spora dan diselubu Selain jenis kutu tersebut, penyakit ini juga ditularkan

oleh kutu jenis lain. Di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara kutu carrier

plague adalah Xenophylla astia. Penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus,

gigitan/cakaran binatang yang terinfeksi plague, dan kontak dengan tubuh

binatang yang terinfeksi. Kutu yang terinfeksi dapat membawa bakteri ini sampai

berbulan2 lamanya. Selain itu pada kasus pneumonic plague, penularan terjadi

dari dari percikan air liur penderita yang terbawa oleh udara. Kutu menyebarkan

penyakit ketika mengisap darah tikus atau manusia. Tetapi bakteri wabah pes

belum terbasmi tuntas. Di Bolivia dan Brazil, misalnya, terdapat lebih dari 100

laporan kasus pes per sejuta penduduk. Wabah pes dikenal dengan black

death karena menyebabkan tiga jenis wabah, yaitu bubonik, pneumonik dan

septikemik. Ketiganya menyerang system limfe tubuh, menyebabkan pembesaran

kelenjar, panas tinggi, sakit kepala, muntah dan nyeri pada persendian. Wabah

pneumonik juga menyebabkan batuk lendir berdarah, wabah septikemik

menyebabkan warna kulit berubah menjadi merah lembayung. Dalam semua

kasus, kematian datang dengan cepat dan tingkat kematian bervariasi dari 30-75%

bagi bubonik, 90-95% bagi pneumonik dan 100% bagi septikemik. Akan tetapi,

17

Page 22: EPM Zoonosis

dengan pengobatan yang tepat, penyakit pes dapat disembuhkan, karena berhasil

diobati dengan sukses menggunakan antibiotika.

Ada 3 jenis penyakit plague yaitu:

1. Bubonic plague : Masa inkubasi 2-7 hari. Gejalanya kelenjar getah bening yang

dekat dengan tempat gigitan binatang/kutu yang terinfeksi akan membengkak

berisi cairan (disebut Bubo). Terasa sakit apabila ditekan. Pembengkakan akan

terjadi. Gejalanya mirip flu, demam, pusing, menggigil, lemah, benjolan lunak

berisi cairan di di tonsil/adenoid (amandel), limpa dan thymus. Bubonic plague

jarang menular pada orang lain.

2. Septicemic plague : Gejalanya demam, menggigil, pusing, lemah, sakit pada

perut, shock, pendarahan di bawah kulit atau organ2 tubuh lainnya, pembekuan

darah pada saluran darah, tekanan darah rendah, mual, muntah, organ tubuh

tidak bekerja dg baik. Tidak terdapat benjolan pada penderita. Septicemic

plague jarang menular pada orang lain. Septicemic plague dapat juga

disebabkan Bubonic plague dan Pneumonic plague yang tidak diobati dengan

benar.

3. Pneumonic plague : Masa inkubasi 1-3 hari. Gejalanya pneumonia (radang

paru2), napas pendek, sesak napas, batuk, sakit pada dada. Ini adalah penyakit

plague yang paling berbahaya dibandingkan jenis lainnya. Pneumonic plague

menular lewat udara, bisa juga merupakan infeksi sekunder akibat Bubonic

plague dan Septicemic plague yang tidak diobati dengan benar.

Yersinia pestis adalah, nonmotile pleomorphic, coccobacillus gram-negatif

yang nonsporulating. Bakteri yang mempunyai endotoksin lipopolisakarida,

koagulase, dan fibrinolisin, yang merupakan faktor utama dalam patogenesis

plague.

18

Page 23: EPM Zoonosis

2.4.4 Pencegahan dan Penanggulangan

Pencegahan penyakit pes dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pendidikan

kesehatan kepada masyarakat dengan cara mengurangi atau mencegah terjadinya

kontak dengan tikus sertapinjalnya. Cara pencegahannya:

1. Penempatan kandang ternak di luar rumah.

2. Perbaikan konstruksi rumah dan gedung-gedung sehingga mengurangi

kesempatan bagi tikus untuk bersarang (rat proof).

3. Membuka beberapa buah genting pada siang hari atau memasang genting

kaca sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sebanyak-

banyaknya.

4. Menggunakan lantai semen.

5. Menyimpan bahan makanan dan makanan jadi di tempat yang tidak

mungkin dicapai atau mengundang tikus.

6. Melaporkan kepada petugas Puskesmas bilamana menjumpai adanya tikus

mati tanpa sebab yang jelas (rat fall).

7. Tinggi tempat tidur lebih dari 20 cm dari tanah.

Surasetja (1980), menyatakan bahwa selain upaya pencegahan, ada pula upaya

pemberantasan penyakit pes yaitu sebagai berikut.

1. Keharusan melaporkan terjadinya penyakit pes oleh para dokter supaya

tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit dapat dijalankan.

Keharusan ini tercantum dalam undang-undang karantina danepidemi (UU

Wabah 1962).

2. Keharusan melaporkan adanya kematian sebelum mayat dikubur. Pada

mayat itu dilakukan fungsi paru, limfa dan pada bubo. Pes paru primer

dapat dinyatakan bila cairan paru pasitif dan pes cairan limpa negatif. Pes

paru sekunder terjadi bila cairan paru dan cairan limpa positif. Pes

septichaemi jika cairan paru negatif dan cairan limpa positif.

3. Tindakan selanjutnya jika telah dinyatakan diagnosa pes adalah penderita

pes paru (primer dan sekunder) harus diisolasi dan dirawat di rumah sakit.

Penduduk di sekitar rumah pes divaksinasi. Rumah disemprot dengan

19

Page 24: EPM Zoonosis

DDT. Kemudian rumah itu dibuka atapnya agar matahari dapat masuk.

Lalu rumah tersebut diperbaiki kembali.

4. Suntikan anti pes secara umum.

5. Pembasmian pinjal tikus dilakukan dengan bubuk DDT yang ditaruh pada

tempat yang biasa dilalui oleh tikus. Bubuk DDT akan melekat pada bulu

tikus sehingga akan membunuh pinjal-pinjal itu. Hal ini dapat pula

dilakukan serangkaian pemberantasan nyamuk malaria melalui

penyemprotan.

6. Pembasmian tikus dengan racun, perangkap dan kucing.

7. Pengawasan angkutan padi dan lain-lain dengan pikulan, gerobak, dan

sebagainya agar tikus yang tertular pes tidak terangkut dari satu daerah ke

daerah yang lain.

8. Perbaikan rumah agar tikus tidak bersarang di dalam rumah.

9. Tindakan kebersihan seperti menjemur alat-alat tidur setiap minggu.

Jangan ada sisa-sisa makanan yang berhamburan dan menarik tikus.

Upaya pengobatan:

1)    Untuk tersangka pes

Tetracycline 4x250 mg biberikan selama 5 hari berturut-turut atau

Cholamphenicol 4x250 mg diberikan selama 5 hari berturut-turut

2)    Untuk Penderita Pes

Streptomycine dengan dosis 3 gram/hari (IM) selama 2 hari berturut-

turut, kemudian dosis dikurangi menjadi 2 garam/hari selama 5 hari

berturut-turut.Setelah panas hilang.

Dilanjutkan dengan pemberian :

Tetracycline 4-6 gram/hari selama 2 hari berturut-turut,kemudian

dosis diturunkan menjadi 2 gram/hari selama 5 hari berturut-turut

atau

Chlomphenicol 6-8 gram/hari selama 5 hari berturut –turut,

kemudian dosis diturunkan menjadi 2 gram/hari selama 5 hari

berturut-turut.

20

Page 25: EPM Zoonosis

3)    Untuk pencegahan terutama ditujukan pada:

Penduduk yang kontak (serumah) dengan pendeita pes bobo.

Seluruh penduduk desa/dusun/RW jika ada penderita pes paru.

Tetapi yang dianjurkan adalah dengan pemberian Tertracycline 500 mg/hari

selama 10 hari berturut-turut.

21

Page 26: EPM Zoonosis

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

22

Page 27: EPM Zoonosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Berhman RE, Kliegman RM, dan Arvin AM. 1999. Ilmu Kesehatan Anak

Nelson. Editor edisi bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 15. Volume 2.

Jakarta: EGC.

2. Entjang, Indan. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Alumni : Bandung.

Jawetz, Erner. 1996.

3. Surasetja, Admiral. 1980. Mikrobiologi Kedokteran. EGC : Jakarta. Ilmu

Penyakit Khusus untuk Perawat bagian III. Bhatara Karya Aksara: Jakarta

4. Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Editor edisi

bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 20. Volume 1. Jakarta : EGC.

5. Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Ttopis dan Infeksi

di Indonesia. Cetakan 1. Surabaya : Airlangga University Press.

6. Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit

Binacipta.

7. http://www.penyakitsaraf.com/penyakit-rabies-dan-bagaimana-

pencegahannya.html (diakses pada 13 September 2015)

8. http://imamfjr.blogspot.co.id/2013/04/makalah-rabies.html (diakses pada 13

September 2015)

9. http://www.alodokter.com/rabies (diakses pada 13 September 2015)

10. http://masterparlemen.blogspot.co.id/2014/02/ascariasis-cacingan.html

(diakses pada 13 September 2015)

11. https://bidandelima.wordpress.com/2013/09/19/penyakit-pes-plague/ (diakses

pada 13 September 2015)

12. http://katrinakewa.blogspot.co.id/2013/05/makalah-epidemiologidan-

pemberantasan.html (diakses pada 13 September 2015)

13. http://lenkabelajar.blogspot.co.id/2012/09/penyakit-pes.html (diakses pada 13

September 2015)

14. http://ajibondhankottama.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-zoonosis-

beserta-contoh.html (diakses pada 13 September 2015)

23