Upload
dhilla-lharisa
View
80
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Zoonosis Diare
Citation preview
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
Zoonosis
Dosen Pembimbing:
dr. Fauziah Elytha, MSc
DHILLA LHARISA
(1411212037)
NADA NADIA ULFAH (1411212052)
ISMA FEBRIANY A. (1411212057)
NURMALISAH PUTRI (1411212063)
FATIMAH SHOLEHAH (1411212066)
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2015
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberik rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah mengenai “Zoonosis” dalam rangka memenuhi salah satu tugas
perkuliahan Epidemiologi Penyakit Menular.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun tentunya mendapat banyak
bimbingan ataupun saran dan koreksian. Untuk itu, terima kasih penyusun
ucapakan kepada Dosen Pembimbing Epidemiologi Penyakit Menular dan teman-
teman yang telah bekerja sama dalam kelompok belajar. Semoga makalah ini
dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penyusun dan juga pembaca.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalam
makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Padang, 13 September 2015
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
2.1 RABIES.....................................................................................................2
2.1.1 Penyebab penyakit...................................................................................2
2.1.2 Alur Penularan.........................................................................................2
2.13 Etiologi.....................................................................................................3
2.1.4 Pencegahan dan Penanggulangan............................................................4
2.2 Cacingan....................................................................................................5
2.2.1 Penyebab Penyakit...................................................................................5
2.2.2 Alur Penularan.........................................................................................6
2.2.3 Etiologi....................................................................................................7
2.2.4 Pencegahan dan Penanggulangan............................................................7
2.3 Pes.............................................................................................................9
2.3.1 Penyebab Penyakit...................................................................................9
2.3.2 Alur Penularan.........................................................................................9
2.3.3 Etiologi..................................................................................................13
2.3.4 Pencegahan dan Penanggulangan..........................................................16
BAB III PENUTUP..............................................................................................19
3.1 Kesimpulan...................................................................................................19
3.2 Saran.............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber
dari hewan telah banyak mewabah di dunia. Istilah tersebut dikenal dengan
zoonosis, yaitu untuk menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada
manusia yang ditularkan dari hewan. Hal inilah yang sekarang ini menjadi
sorotan publik dan menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek
yang berkaitan dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya akan
diperoleh suatu sistem terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya.
Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat
membawa dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas
yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat dan veteriner.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, zoonosis belum
mendapatkan perhatian yang cukup serius baik pemerintah maupun
rakyatnya. Bukti konkritnya adalah kasus rabies. Di samping itu, masih
banyak kasus-kasus zoonosis lainnya yang mewabah di Indonesia seperti
cacingan. Kesuksesan penanggulangan penyakit zoonosis di negara lain patut
menjadi contoh bagi Indonesia untuk keluar dari ancaman penyakit zoonosis.
Setiap perjalanan kehidupan manusia selalu disertai dengan kemunculan
suatu penyakit yang baru dan baru yang terkadang penyakit tersebut lebih
ganas dari sebelumnya, perubahan social, penyebaran populasi manusia serta
perubahan lingkungan pada era globalisasi ini dapat berimplikasi pada
kemunculan suatu penyakit zoonosis. Peningkatan populasi manusia dan
globalisasi menyebabkan perpindahan manusia dari satu benua ke benua
lainnya. Seiring dengan hal tersebut maka juga akan terjadi perpindahan
hewan antar wilayah, bahkan benua, melalui perusakan habitat, perdagangan,
permintaan pribadi dan kepentingan teknologi, dimana mikroorganisme, juga
1
mengalami perpindahan ke daerah yang baru. Pada dasarnya, penyakit yang
ada di dunia juga mengalami perkembangan yang sejalan dengan
perkembangan dunia yang cukup pesat.
Sehingga sampai sekarang belum dapat diketahui dari mana virus itu
berasal, atau hewan apa yang menjadi "host" awalnya. Berbagai binatang yang
dijumpai di sekitar tepian sungai Ebola diteliti, dari serangga, ular, sampai
monyet, tetapi tidak ditemukan indikasi bahwa virus itu dari hewan-hewan
tersebut. Sehingga membuat para peneliti yang melakukan penelitian akan
penyebab terjadinya penyakit ini hingga menyebabkan wabah di daerah Afrika
belum dapat dipecahkan dan didapatkan solusi pengobatannya.
Hal ini memerlukan pengembangkan kesatuan kebijakan, strategi, dan
program untuk menangani penyakit zoonosis pada hewan, kedokteran,
kesehatan masyarakat, dan kesehatan lingkungan. Peningkatan kesehatan
hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan diakui dapat
mengendalikan penyebaran penyakit zoonosis. Hal ini memiliki konsekuensi
positif bagi kesehatan dan manfaat bagi pembangunan ekonomi, pengentasan
kemiskinan dan produksi makanan manusia, terutama pada populasi
pedesaan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian penyakit Zoonosis?
2. Apa penyebab penyakit Zoonosis?
3. Bagaimana alur penularan penyakit Zoonosis?
4. Apa etiologi penyakit zoology?
5. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan penykit Zoonosis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Zoonosis.
2. Untuk mengetahui penyebab penyakit Zoonosis.
3. Untuk mengetahui alur penularan penyakit Zoonosis.
4. Untuk mengetahui etiologi penyakit zoonosis.
2
5. Untuk mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan penykit
Zoonosis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penyakit Zoonosis
Pengertian Zoonosis secara umum adalah : Penyakit yang dapat ditularkan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Berikut penjelasan singkat tentang penyakit ini :
Menurut UU No. 6 tahun 1967 pengertian zoonosis adalah penyakit yang
dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya atau disebut juga
Anthropozoonosis. Begitu pula dalam UU No. 18 tahun 2009 tentang
peternakan dan kesehatan hewan, sebagai pengganti UU No. 6 tahun 1967
dinyatakan bahwa penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular
dari hewan kepada manusia dan sebaliknya.
Sedangkan pengertian zoonosis yang diberikan WHO, zoonosis adalah
suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan
vertebrata ke manusia.
Zoonosis, menurut badan Kesehatan sedunia (OIE=Office Internationale
Epizooticae) merupakan penyakit yang secara alamiah dapat menular
diantara hewann vertebrata dan manusia. Penyakit yang tergolong dalam
zoonosis dengan penyebaranpenyakit tersebar ke seluruh penjuru dunia
dan yang sering ditemukan di Indonesia misalnya antraks, rabies,
leptospirosis, brucelosis, toxoplasmosis, tuberkolosis, salmonellosis, avian
Influenza, dan lain-lain. (Mangku Sitepoe, 2009, hal 1)
2.2 RABIES
2.2.1 Penyebab penyakit
Rabies adalah penyakit infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zooniotik, yaitu ditularkan dari
hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case
Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang
4
terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan gigitan hewan misalnya
oleh anjing, kucing, kera, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila.
Rabies diakibatkan virus rabies, di mana virus rabies ini tergolong dalam
famili genus Lysavirus dan Rhabdoviridae. Ciri utama dari virus keluarga
Rhabdoviridae yakni Cuma mempunyai satu utas (-) RNA yang tak memiliki
segmen. Jenis virus ini biasa hidup di beberapa macam hewan, di mana hewan
tersebut berperan menjadi perantara penularan. Untuk spesies hewannya sendiri,
itu bermacam-macam, karena tergantung pada posisi geografisnya.
2.2.2 Alur Penularan
Selain karena gigitan, infeksi juga bisa diakibatkan oleh jilatan dari hewan
pada kulit Anda yang terluka, itu juga bisa menjadi saluran penularan infeksi
rabies. Sesudah mengalami infeksi, virus pun dapat masuk dari saraf-saraf
menuju daerah sumsum tulang belakang juga otak, kemudian bereplikasi
(Bertambah banyak) di situ. Sesudahnya, virus tak berhenti begitu saja, namun
berpindah lagi dari saraf ke jaringan non saraf, contohnya saja kelenjar liur
kemudian masuk menuju dalam dari air liur. Penularan yang berikutnya juga bisa
diakibatkan udara yang sudah tercemar dengan virus rabies, biasanya jika udara
ini dihirup maka Anda akan terjangkit rabies juga. Udara seperti ini biasanya di
tempat tinggal kelelawar, atau tempat yang banyak kelelawarnya. Walaupun type
penularan yang terakhir ini benar-benar jarang terjadi.
5
2.2.3 Etiologi
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam
familia Rhabdoviridae,genus Lyssa. Virus ini berbentuk peluru atau silindris
dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang
berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dariribonukleokapsid dibagian
tengah, memiliki membrane selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada
permukaannya terdapat tonjolan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah.
Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.
Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membrane
selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjolan
(spikes) yang jum;ahnya lebih dari 500 buah. Pada membrane selubung (amplop)
terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter
75nm, tonjolan berukuran 9nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka
terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%, yodium, fenol dan
klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50%.
Pada suhu 600 C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering
beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan selama beberapa tahun
6
2.2.4 Pencegahan dan Penanggulangan
Penularan rabies dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi secara berkala
biasanya hanya diberikan pada mereka yang dalam pekerjaannya sering
berinteraksi dengan hewan sehingga berpotensi tinggi untuk terjangkit, contohnya
adalah dokter hewan dan pengurus kebun binatang. Vaksinasi rabies biasanya
tidak perlu diberikan kepada mereka yang hanya akan melakukan liburan singkat
ke daerah pedesaan.
Untuk yang masih belum pernah diimunisasi dalam waktu 10 tahun
terakhir, dapat diberikan suntikan tetanus.
Untuk yang masih belum pernah divaksin rabies, bisa diberikan suntikan
untuk globulin imun rabies, di mana pemberian ini juga dikombinasikan dengan
pemberian vaksin. Untuk separuh dosisnya disuntikkan pada tempat gigitan,
sementara separuhnya lagi diberikan di otot, umumnya pada daerah pinggang. Di
jangka waktu periode 28 hari, Anda bisa berikan 5 x suntikan. Untuk suntikan
pertama itu menentukan resiko virus rabies karena bekas gigitan. Sementara sisa
suntikannya diberikan di hari 3, 7, 14, kemudian 28. Memang terkadang terjadi
kemerahan, rasa sakit, gatal, atau bengkak di tempat penyuntikan vaksin tersebut,
namun itu normal.
Menjaga diri sendiri dan keluarga dari penularan virus rabies sebenarnya
tidak sulit. Ketika mengunjungi desa atau daerah pelosok yang belum bebas dari
rabies, usahakan agar Anda dan keluarga Anda tidak sembarangan menyentuh
hewan liar. Ajarkan pada anak-anak Anda mengenai bahaya memelihara hewan
liar tersebut, serta alasannya.
Jika terdapat luka pada anak-anak Anda, tanyakan pada mereka dari mana
luka tersebut berasal karena dikhawatirkan didapat dari gigitan atau cakaran
hewan yang terinfeksi rabies. Didik anak-anak Anda agar paham bahwa gigitan
hewan bisa berbahaya.
Menurut Depkes (2000), setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies
harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin, untuk mengurangi atau
7
mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan. Pengobatan luka gigitan
meliputi:
Pertolongan pertama: Usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan
dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit,
kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah atau lainnya).
Tetapi, walaupun pencucian luka sudah dilakukan, harus dicuci kembali lukanya
di puskesmas atau rumah sakit. Pengobatan luka secara khusus (dengan
pengawasan dokter).
Berdasarkan rekomendasi dari WHO pengobatan luka secara khusus sebagai
berikut:
1) Lakukan pencucian seperti di atas
2) Semprotkan serum anti rabies ke dalam luka dan infiltrasikan serum
tersebut di sekitar luka.
3) Luka jangan segera dijahit, tapi jika perlu luka jahitan lakukanlah
infiltrasi dengan serum anti rabies di sekitar luka.
4) Berikan pencegahan terhadap tetanus bila ada indikasi dan antibiotika
untuk mencegah infeksi sekunder dengan kuman.
2.3 Cacingan
2.3.1 Penyebab Penyakit
Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang
masih rendah didukung okeh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan
perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi
infeksi cacing usus yang ditularkan di Indonesia (Zit, 2000).
Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
dan cacing cambuk (Trichuris trichura). (Depkes RI, 2004). Ascaris lumbricoides
merupakan helmintiasis yang paling sering menyerang anak-anak, cacing ini telah
menyebabkan lebih dari satu milyar kasus kecacingan di seluruh dunia.
8
Angka kejadian infeksi Ascaris lumbricoides di Indonesia sebesar 70 ±
80%, keadaan ini menyebabkan penyakit ascariasis menjadi penting dan hingga
saat ini masih merupakan masalah dibidang ilmu kesehatan anak dan kesehatan
masyarakat. Penyakit cacingan merupakan salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang kotor, kuku panjang
dan kotor menyebabkan telur cacing terselip.
2.3.2 Alur Penularan
Penularan ascariasis ada 2, yaitu :
1. Sumber Penularan
Reservoir atau sumber penularan dapat berupa organisme hidup atau benda mati
(misalnya tanah dan air), dimana unsur penyebab penyakit menular dapat hidup
secara normal dan berkembang biak. Konsep reservoir pada Ascaris
lumbricoides, adalah tanah, air dan makanan yang mengandung telur Ascaris
lumbricoides.
2. Cara Penularan
Ascaris lumbricoides ditularkan melalui makanan yang tercemar cacing. Benda
yang mengandung telur cacing berfungsi sebagai penyalur penularan disebut
terkontaminasi. Biasanya sayuran yang menggunakan pupuk dari kotoran
manusia banyak terkontaminasi dengan telur cacing Ascaris lumbricoides.
Kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan jenis telur cacing, tanpa
disertai perilaku mencuci tangan sebelum makan sering menjadi cara penularan
pada jenis cacing ini.
2.3.3 Etiologi
Ascariasis disebabkan oleh Ascaris Lumbricoides. Stadium infektif
Ascaris Lumbricoides adalah telur yang berisi larva matang. Sesudah tertelan oleh
hospes manusia, larva dilepaskan dari telur dan menembus diding usus sebelum
9
migrasi ke paru-paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan
paru-paru masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan
tertelan kembali. Setelah sampai ke usus kecil larva berkembang menjadi cacing
dewasa (jantan berukuran 15-25cm x 3mm dan betina 25-35cm x 4mm).
Cacing betina mempunyai masa hidup 1-2 tahun dan dapat menghasilkan
200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-60 µm
dan lebar 35-50 µm. Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan
berkembang menjadi infektif dalam 5-10 hari pada kondisi lingkungan yang
mendukung.
2.3.4 Pencegahan dan Penanggulangan
Untuk pencegahan, terutama dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak
buang air besar di sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran
kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan, dan tidak memakai/ tinja manusia
sebagai pupuk tanaman.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah
sebagai berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus
hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk.
Penanggulangannya bisa dengan
1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis
tunggal dengan dosis maksimum 3 g/hari
2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)
10
3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)
4. Santonin: tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan.
Biasanya dicampur dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam
jumlah yang sama diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Dosis :
0-1tahun = 3 x 5 mg
1-3 tahun = 3 x 10 mg
3-5 tahun = 3 x 15 mg
Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg
Dewasa = 3 x 25 mg
5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis
tunggal.
6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan
cacing. Preparatnya : Fellardon.
7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400
mg P.O. sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3
hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate
(11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate
(pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval
12 hari).
Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemi.
2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi
tinggi seperti anak-anak sekolah dasar.
3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit
atau infeksi yang telah lalu.
4. Peningkatan kondisi sanitasi
5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.
6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.
11
2.4 Pes
2.4.1 Penyebab Penyakit
Pes atau yang juga dikenal dengan nama Pesteurellosis atau
Yersiniosis/Plague merupakan penyakit Zoonosa terutama pada tikus dan rodent
lain dan dapat ditularkan kepada manusia. Pes juga merupakan infeksi pada
hewan pengerat liar yang ditularkan dari satu hewan pengerat ke hewan lain dan
kadang-kadang dari hewan pengerat ke manusia karena gigitan pinjal.
2.4.2 Alur Penularan
Secara alamiah penyakit pes dapat bertahan atau terpelihara pada rodent.
Kuman-kuman pes yang terdapat di dalam darah tikus sakit, dapat ditularkan ke
hewan lain atau manusia, apabila ada pinjal yang menghisap darah tikus yang
mengandung kuman pes tadi, dan kuman-kuman tersebut akan dipindahkan ke
hewan tikus lain atau manusia dengan cara yang sama yaitu melaluigigitan.
Mengenai terjadinya wabah pes pada tikus dan manusia dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Terjadinya wabah pes pada tikus
Wabah pada hewan umumnya disebut epi-zooti dari (epi = pada, zoo =
hewan; Epi-demi berasal dari epi = pada, demi/demos = rakyat). Wabah pes
pada manusia didahului oleh epizooti pes pada tikus, dan ini tentunya ada
hubungan antara epizooti tikus dengan epidemic manusia. Pada seekor tikus
yang menderita penyakit pes terdapat gejala penyakit: suhu badan naik,
sangat gelisah, berkeliaran kian kemari. Mungkin tikus ini akan mati
disembarang tempat. Pinjal-pinjalnya yang telah ketularan karena
menghisap darah tikus yang sakit tadi segera meninggalkan bangkai tikus
yang telah dingin. Pinjal tersebut akan meloncat-loncat tidak lebih 50 cm
dan jauh tidak lebih 60 cm. jika perut pinjal itu mengandung darah yang
berisi basil-basil pes, basil tersebut dapat hidup di dalam perut pinjal selama
40 hari. Bila pinjal yang tertular tersebut menggigit tikus yang sehat, tikus
12
tersebut akan menderita penyakit pes dan akan mati dalam 4 atau 5 hari.
Dengan cara demikian timbullah epizooti pada tikus. Pada epizooti ini
mungkin banyak tikus yang mati, baik di dalam maupun di luar rumah.
Untuk menetapkan bahwa tikus itu mati karena pes, bangkai tikus itu perlu
dikirim ke perusahan Negara Laboratorium Bio Farma. Bangkai tikus itu
harus dicapit dengan capit yang panjangnya lebih kurang 1 cm, mengingat
bahwa pinjal-pinjal itu dapat meloncat sampai kurang 90 cm. lalu bangkai
itu dimasukkan ke dalam blek minyak tanah kosong dan dikirim ke Lab dan
ditutup rapat.
Bila banyak tikus yang mati karena pes, banyak pula pinjal-pinjal tikus
yang meninggalkan bangkai tikus itu. Pinjal dapat juga melewati lubang
pada langit-langit rumah yang lubangnya tidak tertutup rapat. Dengan
melalui lubang pada langit-langit ia dapat masuk ke dalam rumah. Barulah
manusia menjadi sasarannya seperti pada gambar 01. Pinjal tikus yang telah
kelaparan dapat menghisap darah dengan kuat. Jika di dalam perut pinjal itu
banyak terdapat basil pes, basil itu akan menyumbat lubang antara
proventrikulus dan ventrikulus. Karena penyumbatan itu, pada permulaan
proventrikulus akan penuh dengan darah, akan tetapi tidak menimbulkan
rasa kenyang. Pinjal itu akan mencabut moncongnya dan menggigit lagi.
Pada waktu moncong dicabut, darah yang tercampur dengan basil pes akan
turut keluar dan masuk ke dalam tempat penggigitan. Dengan cara itu
manusia dapat ketularan basil pes dan mulailah perkembangan penyakit pes
di dalam tubuh manusia.
Pengalaman para ahli menunjukkan bahwa suatu wabah biasanya terjadi
dalam musim hujan dan mempunyai puncaknya pada bulan desember atau
januari. Agar pada puncak wabah didapat kekebalan yang cukup, immunitas
biasanya dimulai 2/3 bulan sebelumnya. Pada daerah-daerah dengan suhu
iklim kurang dari 30ºC seperti di pegunungan penyakit pes akan menetap.
2. Perkembangan wabah pes di dalam tubuh manusia.
Pada tempat gigitan pinjal akan timbul gelembung kecil yang berisi cairan
yang Hemoragis, juga akan timbul pada kulit setempat yang agak besaran.
13
Bentuk demikian disebut pes kulit. Menurut Prof. De Lange 5% dari gigitan
pinjal yang ketularan menimbulkan pes kulit. Basil pes kemudian ikut
dengan aliran getah bening, menuju daerah kelenjar getah bening, dan
menimbulkan Limpadenitis atau bubo. Jika digigit di tangan, bubo akan
timbul di ketiak. Jika digigit dikaki, bubo akan timbul di lipatan paha, dan
jika digigit dikepala, bubo akan timbul di leher. Jika orang yang tertular itu
tidak pernah menerima vaksinasi terhadap pes dan tidak memiliki
kekebakan tubuh, bubo itu menimbulkan gejala: peradangan merah, panas,
bengkak, sakit yang hebat disertai suhu badan yang tinggi. Penderita terlihat
sangat gelisah. Selaput lendir mata yang kemerah-merahan seringkali
sebagai gejala yang terlihat. Bubo di lipatan paha sedemikian sakitnya,
sehingga penderita berbaring dengan rasa tak berdaya, sedang pahanya
terkaku dalam fleksi. Lalu bubo itu akan pecah, dan keluarlah nanah
bercampur darah dari jaringan yang mati. Penyembuhan berjalan sangat
perlahan, hal ini berlainan dengan bisul karena stafilokokkus yang lekas
sembuh setelah pecah. Dengan penderita yang agak lama, bubo ini akan
merusak badan penderita sampai kurus. Kematian dapat meningkat sampai
60% pada panderita yang belum pernah mendapat vaksinasi anti-pes.
Pada penyakit pes yang disebabkan karena basil pes yang sangat ganas,
mungkin tidak timbul bubo. Daerah kelenjar limpa dilewati dan melalui
duktus thorasikus, basil itu masuk ke dalam peredaran darah. Timbullah
keadaan pes-sepsis (pes-bakteri aemi, atau pes septichaemi) dengan gejala
intoksikosis yang hebat dan penderita menderita panas yang tinggi. Ia
kelihatan gelisah, mungkin penderita berkeliaran di luar ruamah dan
meninggal di sembarang tempat. Bila di daerah yang ketularan pes
ditemukan mayat yang berbadan baik, tidak memperlihatkan gejala sakit
dan penganiayaan, kemungkinan orang itu meninggal karena pes.
Pes-septichaemi juga dapat terjadi pada penderita pes bubo. Setelah terjadi
pes bubo mungkin bubo itu dilewati oleh basil pes. Dengan melalui duktus
torasikus ia masuk ke peredaran darah, selanjutnya masuk ke vena kava
superior, ke serambi kanan, bilik kanan, arteria pulmonalis, dan sampai di
paru-paru akan menimbulkan pes paru-paru. Pes paru ini disebut pes paru
14
sekunder. Karena terjadi dengan melalui pes bubo dan pes-septichaemi.
Penderita ini dapat menyemburkan basil pes dengan dahaknya yang halus ke
udara. Basil pes ini akan masuk ke pernafasan orang sehat dengan cara
langsung dan akan timbul pes paru primer (terlihat pada gambar 01 di atas).
Pes paru adalah penyakit yang berat dan dapat mengakibatkan kematian
dalam beberapa hari saja. Penderita kelihatannya sangat lemah, sedemikian
lemahnya sehingga tidak mampu batuk dengan keras. Jika batuk, dahaknya
bercampur dengan darah.
Dari peristiwa terjadinya wabah pes di atas, ada beberapa penularan penyakit pes
tersebut. Adapun bagan penularan penyakit pes sebagai berikut.
Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang–orang yang bila digigit
oleh pinjal tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada pekerja-pekerja di
hutan, ataupun pada orang-orang yang mengadakan rekreasi/camping di
hutan.
Penularan pes ini dapat terjadi pada orang yang berhubungan erat dengan tikus
hutan, misalnya para ahli Biologi yang sedang mengadakan penelitian di hutan,
dimana orang tersebut terkena darah atau organ tikus yang mengandung kuman
pes.
Kasus yang umum terjadi dimana penularan pes pada seseorang karena digigit
oleh pinjal infeksi setelah menggigit tikus domestik/komersial yang mengandung
kuman pes.
15
Penularan pes dari tikus hutan komersial melalui pinjal. Pinjal yang efektif
kemudian menggigit manusia.
Penularan pes dari seseorang ke orang lain dapat juga terjadi melalui gigitan pinjal
manusia Culex Irritans (Human flea)
Penularan pes dari seseorang yang menderita pes paru-paru kepada orang lain
melalui percikan ludah atau pernapasan. Pada no.1 sampai dengan 5, penularan
pes melalui gigitan pinjal akan mengakibatkan pes bubo. Pes bubo dapat berlanjut
menjadi pes paru-paru (sekunder pes).
2.4.3 Etiologi
Pes (plague) adalah penyakit yang disebabkan oleh enterobakter yersina
pestis (dinamai dari bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin). Penyakit pes dibawa oleh
hewan pengerat (terutamatikus). Wabah penyakit ini banyak terjadi dalam sejarah,
dan telah menimbulkan korban jiwa yang besar. Selama abad ke-14, pedagang
dari kota-kota pelabuhan Laut Tengah dan Laut Hitam mengadakan perjalanan ke
Cina, dan sepulangnya, membawa kembali sutera serta kulit binatang yang
berharga. Ketika kembali dari perjalanan seperti ini pada tahun 1343, sekelompok
pedagang dari Genoa menurut laporang lari ketakutan karena adanya pasukan
orang Tartar, dan berlindung di balik tembok kota perdagangan Caffa di
Semenanjung Krim. Orang Tartar segera mengepung kota tersebut. Selama tiga
tahun tak ada pihak yang mendapatkan kemajuan, sampai pada suatu hari orang
Tartar berhenti melemparkan batu ke dalam kota Caffa dan mulai melemparkan
mayat-mayat tentara mereka sendiri yang meninggal karena pes.
16
Sejak dahulu kala sampai kini, infeksi mikroba merupakan ancaman utama
terhadap kesehatan manusia beradab. Penyakit pes – lebih daripada “pes-pes” di
kemudian hari seperti misalnya kolera, cacar, demam kuning dan influenza-tetap
merupakan contoh utama mengenai siatu penyakit infeksi yang datang dari luar
negeri dan menyerang orang Filistin melalui pelabuhan laut mereka. Wabah raya
penyakit pes yang pertama, yakni pes Justinius pada Abad ke-6, berkecamuk
waktu perdagangan internasional meningkat.
Plague, disebut juga penyakit pes, adalah infeksi yang disebabkan bakteri
Yersinia pestis (Y. pestis) dan ditularkan oleh kutu tikus (flea), Xenopsylla
cheopis. Yesinia pestis penyebab pes berbentuk batang pendek, gemuk dengan
ujung membulat dengan badan mencembung, berukuran 1,5 µ × 5,7 µ dan bersifat
Gram positif. Kuman ini serirtutung menunjukkan pleomorfisme. Pada pewarnaan
tampak bipolar, mirip peniti tertutup. Kuman tidak bergerak, tidak membentuk
dari spora dan diselubu Selain jenis kutu tersebut, penyakit ini juga ditularkan
oleh kutu jenis lain. Di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara kutu carrier
plague adalah Xenophylla astia. Penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus,
gigitan/cakaran binatang yang terinfeksi plague, dan kontak dengan tubuh
binatang yang terinfeksi. Kutu yang terinfeksi dapat membawa bakteri ini sampai
berbulan2 lamanya. Selain itu pada kasus pneumonic plague, penularan terjadi
dari dari percikan air liur penderita yang terbawa oleh udara. Kutu menyebarkan
penyakit ketika mengisap darah tikus atau manusia. Tetapi bakteri wabah pes
belum terbasmi tuntas. Di Bolivia dan Brazil, misalnya, terdapat lebih dari 100
laporan kasus pes per sejuta penduduk. Wabah pes dikenal dengan black
death karena menyebabkan tiga jenis wabah, yaitu bubonik, pneumonik dan
septikemik. Ketiganya menyerang system limfe tubuh, menyebabkan pembesaran
kelenjar, panas tinggi, sakit kepala, muntah dan nyeri pada persendian. Wabah
pneumonik juga menyebabkan batuk lendir berdarah, wabah septikemik
menyebabkan warna kulit berubah menjadi merah lembayung. Dalam semua
kasus, kematian datang dengan cepat dan tingkat kematian bervariasi dari 30-75%
bagi bubonik, 90-95% bagi pneumonik dan 100% bagi septikemik. Akan tetapi,
17
dengan pengobatan yang tepat, penyakit pes dapat disembuhkan, karena berhasil
diobati dengan sukses menggunakan antibiotika.
Ada 3 jenis penyakit plague yaitu:
1. Bubonic plague : Masa inkubasi 2-7 hari. Gejalanya kelenjar getah bening yang
dekat dengan tempat gigitan binatang/kutu yang terinfeksi akan membengkak
berisi cairan (disebut Bubo). Terasa sakit apabila ditekan. Pembengkakan akan
terjadi. Gejalanya mirip flu, demam, pusing, menggigil, lemah, benjolan lunak
berisi cairan di di tonsil/adenoid (amandel), limpa dan thymus. Bubonic plague
jarang menular pada orang lain.
2. Septicemic plague : Gejalanya demam, menggigil, pusing, lemah, sakit pada
perut, shock, pendarahan di bawah kulit atau organ2 tubuh lainnya, pembekuan
darah pada saluran darah, tekanan darah rendah, mual, muntah, organ tubuh
tidak bekerja dg baik. Tidak terdapat benjolan pada penderita. Septicemic
plague jarang menular pada orang lain. Septicemic plague dapat juga
disebabkan Bubonic plague dan Pneumonic plague yang tidak diobati dengan
benar.
3. Pneumonic plague : Masa inkubasi 1-3 hari. Gejalanya pneumonia (radang
paru2), napas pendek, sesak napas, batuk, sakit pada dada. Ini adalah penyakit
plague yang paling berbahaya dibandingkan jenis lainnya. Pneumonic plague
menular lewat udara, bisa juga merupakan infeksi sekunder akibat Bubonic
plague dan Septicemic plague yang tidak diobati dengan benar.
Yersinia pestis adalah, nonmotile pleomorphic, coccobacillus gram-negatif
yang nonsporulating. Bakteri yang mempunyai endotoksin lipopolisakarida,
koagulase, dan fibrinolisin, yang merupakan faktor utama dalam patogenesis
plague.
18
2.4.4 Pencegahan dan Penanggulangan
Pencegahan penyakit pes dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat dengan cara mengurangi atau mencegah terjadinya
kontak dengan tikus sertapinjalnya. Cara pencegahannya:
1. Penempatan kandang ternak di luar rumah.
2. Perbaikan konstruksi rumah dan gedung-gedung sehingga mengurangi
kesempatan bagi tikus untuk bersarang (rat proof).
3. Membuka beberapa buah genting pada siang hari atau memasang genting
kaca sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sebanyak-
banyaknya.
4. Menggunakan lantai semen.
5. Menyimpan bahan makanan dan makanan jadi di tempat yang tidak
mungkin dicapai atau mengundang tikus.
6. Melaporkan kepada petugas Puskesmas bilamana menjumpai adanya tikus
mati tanpa sebab yang jelas (rat fall).
7. Tinggi tempat tidur lebih dari 20 cm dari tanah.
Surasetja (1980), menyatakan bahwa selain upaya pencegahan, ada pula upaya
pemberantasan penyakit pes yaitu sebagai berikut.
1. Keharusan melaporkan terjadinya penyakit pes oleh para dokter supaya
tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit dapat dijalankan.
Keharusan ini tercantum dalam undang-undang karantina danepidemi (UU
Wabah 1962).
2. Keharusan melaporkan adanya kematian sebelum mayat dikubur. Pada
mayat itu dilakukan fungsi paru, limfa dan pada bubo. Pes paru primer
dapat dinyatakan bila cairan paru pasitif dan pes cairan limpa negatif. Pes
paru sekunder terjadi bila cairan paru dan cairan limpa positif. Pes
septichaemi jika cairan paru negatif dan cairan limpa positif.
3. Tindakan selanjutnya jika telah dinyatakan diagnosa pes adalah penderita
pes paru (primer dan sekunder) harus diisolasi dan dirawat di rumah sakit.
Penduduk di sekitar rumah pes divaksinasi. Rumah disemprot dengan
19
DDT. Kemudian rumah itu dibuka atapnya agar matahari dapat masuk.
Lalu rumah tersebut diperbaiki kembali.
4. Suntikan anti pes secara umum.
5. Pembasmian pinjal tikus dilakukan dengan bubuk DDT yang ditaruh pada
tempat yang biasa dilalui oleh tikus. Bubuk DDT akan melekat pada bulu
tikus sehingga akan membunuh pinjal-pinjal itu. Hal ini dapat pula
dilakukan serangkaian pemberantasan nyamuk malaria melalui
penyemprotan.
6. Pembasmian tikus dengan racun, perangkap dan kucing.
7. Pengawasan angkutan padi dan lain-lain dengan pikulan, gerobak, dan
sebagainya agar tikus yang tertular pes tidak terangkut dari satu daerah ke
daerah yang lain.
8. Perbaikan rumah agar tikus tidak bersarang di dalam rumah.
9. Tindakan kebersihan seperti menjemur alat-alat tidur setiap minggu.
Jangan ada sisa-sisa makanan yang berhamburan dan menarik tikus.
Upaya pengobatan:
1) Untuk tersangka pes
Tetracycline 4x250 mg biberikan selama 5 hari berturut-turut atau
Cholamphenicol 4x250 mg diberikan selama 5 hari berturut-turut
2) Untuk Penderita Pes
Streptomycine dengan dosis 3 gram/hari (IM) selama 2 hari berturut-
turut, kemudian dosis dikurangi menjadi 2 garam/hari selama 5 hari
berturut-turut.Setelah panas hilang.
Dilanjutkan dengan pemberian :
Tetracycline 4-6 gram/hari selama 2 hari berturut-turut,kemudian
dosis diturunkan menjadi 2 gram/hari selama 5 hari berturut-turut
atau
Chlomphenicol 6-8 gram/hari selama 5 hari berturut –turut,
kemudian dosis diturunkan menjadi 2 gram/hari selama 5 hari
berturut-turut.
20
3) Untuk pencegahan terutama ditujukan pada:
Penduduk yang kontak (serumah) dengan pendeita pes bobo.
Seluruh penduduk desa/dusun/RW jika ada penderita pes paru.
Tetapi yang dianjurkan adalah dengan pemberian Tertracycline 500 mg/hari
selama 10 hari berturut-turut.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Berhman RE, Kliegman RM, dan Arvin AM. 1999. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Editor edisi bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 15. Volume 2.
Jakarta: EGC.
2. Entjang, Indan. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Alumni : Bandung.
Jawetz, Erner. 1996.
3. Surasetja, Admiral. 1980. Mikrobiologi Kedokteran. EGC : Jakarta. Ilmu
Penyakit Khusus untuk Perawat bagian III. Bhatara Karya Aksara: Jakarta
4. Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Editor edisi
bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 20. Volume 1. Jakarta : EGC.
5. Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Ttopis dan Infeksi
di Indonesia. Cetakan 1. Surabaya : Airlangga University Press.
6. Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit
Binacipta.
7. http://www.penyakitsaraf.com/penyakit-rabies-dan-bagaimana-
pencegahannya.html (diakses pada 13 September 2015)
8. http://imamfjr.blogspot.co.id/2013/04/makalah-rabies.html (diakses pada 13
September 2015)
9. http://www.alodokter.com/rabies (diakses pada 13 September 2015)
10. http://masterparlemen.blogspot.co.id/2014/02/ascariasis-cacingan.html
(diakses pada 13 September 2015)
11. https://bidandelima.wordpress.com/2013/09/19/penyakit-pes-plague/ (diakses
pada 13 September 2015)
12. http://katrinakewa.blogspot.co.id/2013/05/makalah-epidemiologidan-
pemberantasan.html (diakses pada 13 September 2015)
13. http://lenkabelajar.blogspot.co.id/2012/09/penyakit-pes.html (diakses pada 13
September 2015)
14. http://ajibondhankottama.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-zoonosis-
beserta-contoh.html (diakses pada 13 September 2015)
23