32
1 BAB I 1.1 Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit menular (melalui buih yang keluar dari mulut), penyakit keturunan, menakutkan dan memalukan (Baker, 2009). Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh gambaranbahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden terdapat padagolongan anak dan lanjut usia. Penelitian insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai negara, tetapi di Indonesia belum diketahui secara pasti. Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20- 70 per 100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum. Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita epilepsi. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering

epilepsi anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anak

Citation preview

1

BAB I

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di

masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial

dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Kehidupan sehari-

hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk

menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit

menular (melalui buih yang keluar dari mulut), penyakit keturunan, menakutkan

dan memalukan (Baker, 2009).

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang

umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum

diperoleh gambaranbahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak

insiden terdapat padagolongan anak dan lanjut usia. Penelitian insidensi dan

prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai negara, tetapi di Indonesia belum

diketahui secara pasti. Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20- 70 per

100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum.

Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita

epilepsi. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan

perempuan. Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering

terjadi pada usia dini dibandingkan usia selanjutnya (Djoenaidi, 2000).

World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju

berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per

100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara

berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak

permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal,

serta post natal (WHO, 2001).

Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa.

Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta

didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada

kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU

dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada

2

anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -

10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%)

(Soetomenggolo, 2009).

Akibat banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat

pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan

psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. Oleh karena

itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, etiologi,

klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, terapi epilepsy dan asuhan

keperawatan pada anak epilepsy.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dengan epilepsy?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada anak dengan epilepsy

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan konsep medis epilepsy

2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan anak dengan epilepsi

3

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Otak memiliki kurang lebih 15 millar neuron yang membangun subtansia

alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan

sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas: gerakan

motorik, sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat

kedudukan memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom.

sel-sel otak bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik.

Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari

sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik

merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas

otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.

Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak), hipokampus, dan area

fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya

serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan

korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan

serangan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area

subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteksdan area otak

lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap

aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan

penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan parsial atau munculnya

serangan epilepsi umum primer (Bate, 2012).

2.2 Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya

bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang

terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara

paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis

dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung

secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,

4

disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan

disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Pallgreno, 2006).

2.3 Etiologi

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu (Shorvon,

2005) :

1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari

penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,

awitanbiasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu

pengetahuan danditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih

kelompok ini makin kecil

2. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf

pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),

gangguanmetabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,

lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),

kelainan neurodegeneratif.

3. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut

dan epilepsi mioklonik

2.4 Patofisiologi

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak

yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara

serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001).

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin )

kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara

berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan

Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan

juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi

GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang

menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA

5

dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic

potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa

aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat

yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada

GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset

membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan

inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok

besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari

kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan

epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat

kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara

berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat)

berlebihan.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,

kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut

dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi

neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang

memadai (Budiarto, 2009).

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara

lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan

kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan

selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan

otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah

hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi

parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan

merupakan tempat asal epilepsi dapatan(Chadwick, 2000).

Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena

efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.

Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan

pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau

6

lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,

gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan

epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam

hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal

serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang

mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama (Budiarto,

2009).

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membrane neuron

sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke

intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan

lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik

demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu

serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat

serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah

pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selainitu juga sistem-sistem

inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuronneuron tidak terus-

menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat

menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron

akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Aminoff, 2005).

2.5 KLASIFIKASI

Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsy (Price dan Wilson, 2006).

1. Berkaitan dengan letak fokus

1.1. Idiopatik (primer)

1.1.1 Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal

(Rolandik benigna )

1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

1.1.3 Primary reading epilepsy

1.2. Simtomatik (sekunder)

1.2.1 Lobus temporalis

1.2.2 Lobus frontalis

7

1.2.3 Lobus parietalis

1.2.4 Lobus oksipitalis

1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua

1.3. Kriptogenik

2. Umum

2.1. Idiopatik (primer)

2.1.1 Kejang neonatus familial benigna

2.1.2 Kejang neonatus benigna

2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

2.1.4 Epilepsi absans pada anak

2.1.5 Epilepsi absans pada remaja

2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.7 Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga

2.1.8 Epilepsi tonik kionik dengan serangan acak

2.2. Kriptogenik atau simtomatik

2.2.1 Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)

2.2.2 Sindroma Lennox Gastaut

2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik

2.2.4 Epilepsi absans miokionik

2.3. Simtomatik

2.3.1 Etiologi non spesifik

- Ensefalopati miokionik neonatal

- Sindrom Ohtahara

2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik

- Malformasi serebral

- Gangguan metabolisme

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

3.1. Serangan umum dan fokal

- Serangan neonatal

- Epilepsi miokionik berat pada bayi

- Sindroma Taissinare

- Sindroma Landau Kleffner

8

3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Epilepsi berkaitan dengan situasi

4.1 Kejang demarn

4.2 Berkaitan dengan alkohol

4.3 Berkaitan dengan obat-obatan

4.4 Eklamsi

4.5 Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang

dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya

sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan,

etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4

kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi

dapat dikelompokkan sebagai berikut (Arcaid, 2004):

1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan Serangan epilepsi pada anak

berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari

manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip

sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan

berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi

disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya

buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.

2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun Pada kelompok ini sering terjadi

kejang demam, karena kelompok ini sangat peka terhadap infeksi dan

demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapi merupakan faktor

risiko utama terjadinyaepilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi pada

kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantileatau Sindrom West dan

sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi mioklonik.

3. Kelompok umur 4 - 9 tahun Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi

klinis dari epilepsi umum primer terutama manifestasi dari epilepsi

kriptogenik atau epilepsi karena fokus epileptogenik heriditer. Jenis

epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand mal dan Benign

epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia 17

9

tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan

obat.

4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun.

1) Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau

epilepsi umum lesionik.

2) Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi

psikomotor. Kecuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap

dilanda bangkitan epileptik pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis

absence dapat muncul pada kelompok ini.

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis epilepsy (Wilkinson, 2005):

1. Kejang parsial simplek: serangan dimana pasien akan tetap sadar, pasien akan

mengalami berupa deja vu (perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang

sama sebelumnya), perasaan senang atau takut secara tiba-tiba, perasaan seperti

kebas, gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu,

halusinasi.

2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks, Serangan mengenai bagian otak yang

lebih luas dan bertahan lebih lama, pasien hanya sadar sebagian dan

kemungkinan besar tidak mengingat waktu serangan, gejalanya meliputi

gerakan seperti mengunyah, gerakan yang sama berulang-ulang, berbicara

tidak jelas, menendang atau meninju, gerakan yang tidak jelas.

3. Kejang tonik klonik (epilepsy grandma): tipe kejang paling sering, tahap tonik

atau kaku diikuti tahap klonik, pasien dapat kehilangan kesadaran, otot

menegang, lidah tergigit, mengompol, pasien lemas, letih atau ingin tidur

setelah serangan kejang.

2.7 Diagnosis

Diagnosis epilepsy didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan EEG dan radiologis (PERDOSSI,2008):

1. Anamnesis:

1) Pola serangan

2) Lama serangan

10

3) Gejala sebelum, selama dan paska serangan

4) Frekuensi serangan

5) Faktor pencetus

6) Ada/tidak penyakit lain yang diderita

7) Usia saat serangan terjadinya pertama

8) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

9) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

10) Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

3. Pemeriksaan penunjang

1) EEG

2) Pemeriksaan radiologis

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan terapi epilepsy adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk

pasien. Prinsip terapi farmakologi yaitu (Kliegman, 2008):

1. Obat diberikan bila diagnosis epilepsy sudah dipastikan, terdapat minimal

dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga mengetahui tujuan

pengobatan dan kemungkinan efek sampinng.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai

dosis efektif mencapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma

ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

4. Bila penggunaan dosis maksimum obat tidak dapat mengontrol bangkitan,

ditambahkan lini kedua. Bila lini kedua telah mencapai kadar terapi, maka

lini pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

5. Penambahan lini ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak

dapat diatasi dengan penambahan dosis maksimal kedua lini pertama.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsy:

1. Meningkatan neurotransmitter inhibisi (GABA)

2. Menurunkan eksitasi melalui modifikasi konduksi ion Na, Ca, K, Cl atau

aktivitas neutransmitter.

11

Penghentian pemberian obat antiepilepsi:

1. Penghentian obat dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarga setelah

minimal 2 tahun bebas bangkitan

2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,

setiap bulan dalam jangka 3-6 bulan

3. Bila digunakan lebih dari satu obat anti epilepsy, maka penghentian

dimulai dari satu obat yang bukan obat utama

Jenis obat sesuai lini

12

2.9 Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah

1. Perkembangan motorik

Seiring dengan perkembangan fisik yang beranjak matang, perkembangan

motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah

selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Masa ini ditandai dengan kelebihan

gerak atau aktivitas. Anak cenderung menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang

cukup gesit dan lincah.Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk

belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik, seperti menulis,

menggambar, melukis, mengetik, berenang, main bola dan atletik. Perkembangan

fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar,

baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan. Dengan kata lain,

perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan belajar anak di sekolah

13

dasar. Pada masa usia ini, kematangan perkembangan motorik umumnya sudah

dicapai, karena itu anak sudah siap untuk menerima pelajaran keterampilan.

2. Perkembangan intelektual

Intelektual merupakan salah satu aspek yang harus dikembangkan pada

anak. Intelektual sering kali disinonimkan dengan kognitif, karena proses

intelektual banyak berhubungan dengan berbagai konsep yang telah dimiliki anak

dan berkenaan dengan bagaimana anak menggunakan kemampuan berfikirnya

dalam memecahkan suatu persoalan. Dalam kehidupannya mungkin saja anak

dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang menuntut adanya pemecahan.

Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri

anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan, anak perlu memiliki

kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya.

Faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam

belajar, karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan

masalah mengingat dan berfikir. Kedua hal ini merupakan aktivitas kognitif yang

perlu dikembangkan. Perkembangan struktur kognitif berlangsung menurut urutan

yang sama bagi semua anak. Setiap anak akan mengalami dan melewati setiap

tahapan itu, sekalipun kecepatan perkembangan dari tahapan-tahapan tersebut

dilewati secara relatif dan ditentukan oleh banyak faktor seperti : kematangan

psikis, struktur syaraf, dan lamanya pengalaman yang dilewati pada setiap tahapan

perkembangan. Mekanisme utama yang memungkinkan anak maju dari satu tahap

pemungsian kognitif ke tahap berikutnya oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi

dan ekuilibrium.

Piaget sebagai tokoh Psikologi Kognitif, memandang anak sebagai

partisipan aktif di dalam proses perkembangan. Piaget menyakini bahwa anak

harus dipandang seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban dalam

upaya melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi.

Misalnya anak ingin tahu apa yang terjadi bila anak mendorong piring keluar dari

meja. Hasil dari eksperimen miniatur anak menyebabkan anak menyusun “teori”.

Piaget menyebutnya teori itu sebagai “skema” (bila jamak disebut skemata)

tentang bagaimana dunia fisik dan sosial beroperasi. Anak membangun skema

berdasarkan eksperimen yang dilakukannya. Saat anak menemukan benda atau

14

peristiwa baru, anak berupaya untuk memahaminya berdasarkan skema yang telah

dimilikinya. Piaget menyebut hal itu sebagai proses asimilasi. Asimilasi

merupakan proses dimana stimulus baru dari lingkungan diintegrasikan pada

skema yang telah ada. Proses ini dapat diartikan sebagai suatu obyek atau ide baru

ditafsirkan sehubungan dengan gagasan atau teori yang telah diperoleh anak.

Asimilasi tidak menghasilkan perkembangan atau skemata, melainkan hanya

menunjang pertumbuhan skemata. Menurut Piaget, jika skema lama tidak tepat

untuk mengakomodasi peristiwa baru, maka anak seperti layaknya seorang

ilmuwan yang baik akan memodifikasi skema dan memperluas teorinya tentang

dunia. Piaget menyebut proses revisi skema ini sebagai akomodasi. (Piaget &

Inhelder, 1969 dalam Rita L. Atkinson, tt : 145).

Akomodasi merupakan proses yang terjadi apabila berhadapan dengan

stimulus baru. Anak mencoba mengasimilasikan stimulus baru itu tetapi tidak

dapat dilakukan karena tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini

anak akan menciptakan skema baru atau mengubah skema yang sudah ada

sehingga cocok dengan stimulus tersebut. Akomodasi dapat dikatakan sebagai

proses pembentukan skema baru atau perubahan skema yang telah ada. Asimilasi

dan akomodasi berlangsung terus sepanjang hidup. Jika anak selalu mengasimilasi

stimulus tanpa pernah mengakomodasikan, ada kecenderungan ia memiliki skema

yang sangat besar, sehingga ia tidak mampu mendeteksi perbedaan diantara

stimulus yang mirip. Sebaliknya jika anak selalu mengakomodasi stimulus dan

tidak pernah mengasimilasikannya, ada kecenderungan ia tidak pernah dapat

mendeteksi persamaan dari stimulus untuk membuat generalisasi. Oleh karenanya

harus terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi yang disebut

sebagai ekuilibrium. Ekuilibrium merupakan suatu keadaan yang seimbang

dimana anak (individu) tidak perlu lagi merubah hal-hal yang ada disekelilingnya

untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak harus mengubah dirinya untuk

mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru. Perkembangan intelektual atau

perkembangan kognitif dapat dipandang sebagai suatu perubahan dari suatu

keadaan seimbang ke dalam keseimbangan baru. Setiap tahap perkembangan

kognitif mempunyai bentuk keseimbangan tertentu sebagai fungsi dari

kemampuan memecahkan masalah pada tahap itu. Pada periode ini anak sudah

15

memiliki kemampuan dalam hal perhitungan (angka) seperti menambah,

mengurangi, mengalikan dan membagi. Di samping itu, pada akhir masa ini anak

sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang

sederhana.

3. Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam

pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomuniasi, dimana pikiran dan

perasaan dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, isyarat atau gerak dengan

menggunakan kata-kata, kalimat bunyi, lambar, gambar atau lukisan. Dengan

bahasa semua manusia dapat mengenal dirinya, sesama manusia, alam sekitar,

ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral atau agama. Usia sekolah dasar merupakan

masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan

kata (vocabulary). Pada masa awal sekolah dasar (usia 6 tahun) anak sudah

menguasai sekitar 2500 kata, usia 8 tahun 20000 kata dan pada masa akhir (usia

11-12 tahun) telah menguasai sekitar 50000 kata (Abin Syamsudin M, 1991; Nana

Syaodih S, 1990). Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi

dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang

bersifat kritis (tentang perjalanan/petualangan, riwayat para pahlawan dsb). Pada

masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal

waktu dan sebab akibat. Oleh karena itu, kata tanya yang digunakannya yang

semula hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan : “dimana”,

“darimana”, “ke mana”,“mengapa” dan “bagaimana”.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak adalah :

1. Proses kematangan, dengan perkataan lain anak menjadi matang (organ-

organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.

2. Proses belajar, yang berarti anak yang sudah matang untuk berbicara

mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru

ucapan.kata-kata yang didengarnya.

4. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam

berhubungan sosial atau merupakan suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri

dengan normanorma kelompok, tradisi maupun moral agama. Perkembangan

16

sosial pada anak usia 8 tahun sudah mulai ditandai dengan adanya perluasan

hubungan di samping dengan keluarga juga dengan orang dewasa dan teman lain

di sekitarnya. Selain dari itu, pada usia ini anak mulai membentuk ikatan baru

dengan teman sebaya (peer group) atau dengan teman sekelas, sehingga ruang

gerak hubungan sosialnya menjadi lebih luas.

Pada usia sekolah dasar anak sudah mulai memiliki kesanggupan untuk

menyesuaikan diri dari sifat egosentris (berfokus pada diri sendiri) kepada sikap

yang kooperatif (bekerjasama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan

orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya,

dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok

(gang). Anak merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.

Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok

teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.

5. Perkembangan Emosi

Menginjak usia sekolah dasar, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan

emosi secara kasar tidak dapat diterima dalam masyarakat. Anak mulai belajar

untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan

mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasan).

Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya

sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga

yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung

stabil. Akan tetapi apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya

kurang stabil dan kurang kontrol misalnya melampiaskan kemarahan dengan

sikap agresif, mudah mengeluh, kecewa atau pesimis dalam menghadapi masalah,

maka perkembangan emosi anak cenderung kurang stabil.

Pada anak usia 5-7 tahun sudah mulai tumbuh bahwa anak tidak harus

memahami orang lain saja, tetapi sudah mulai tumbuh pemahaman tentang dirinya

sendiri. Pada usia ini anak baru bisa memahami satu sifat atau satu kondisi tentang

dirinya. Misalnya anak mengatakan “saya senang matematika, atau saya tidak

suka olah raga). Beranjak pada usia 8 tahun, anak sudah mulai memiliki

pemahaman dua sifat secara bersama-sama, sambil dapat menjelaskan mengapa

suka dan tidak suka. Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap

17

perkembangan usia sekolah dasar adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih

sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang, nikmat atau bahagia).

Namun selain dari itu, pada usia 8 tahun anak juga sudah mampu menilai diri

sendiri dan konsep dirinya sudah lebih akurat dan realistis.

Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku

individu, termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan

senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu

untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti

memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif dalam berdiskusi,

mengerjakan tugas dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya apabila yang menyertai

proses itu adalah emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak

bergairah maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti individu

tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar

anak akan mengalami kegagalan dalam belajarnya.

6. Perkembangan Moral

Moral (kata latinnya “moris”) merupakan suatu adat istiadat, kebiasaan,

peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas adalah

kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-

prinsip moral. Yang termasuk dalam katagori nilai-nilai moral adalah: (1) seruan

untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,

memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (2) larangan mencuri,

berzina, membunuh meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dikatakan

bermoral apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang

dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara yakni :

1) Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah

laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau

orang dewasa lainnya. Di samping itu perlunya keteladanan orang tua,

guru dan orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral.

2) Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan

atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang

tua, guru, kiai, atau orang dewasa lainnya)

18

3) Proses coba-coba (trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan

tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan

pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan sementara tingkah laku

yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.

Penanaman nilai-nilai moral dimulai dari lingkungan keluarga dimana orang

tua memiliki andil yang besar untuk memberi pemahaman pada anak tentang

mana yang baik dan salah. Pada mulanya mungkin anak tidak mengerti konsep

moral ini, namun lambat laun anak akan dapat memahaminya. Ketika anak berusia

di bawah 6 tahun, perilaku yang ditunjukkannya didasari atas kepatuhannya

terhadap aturan orang tua atau orang dewasa lainnya, tetapi memasuki usia 6-8

tahun perkembangan moral anak sudah berubah, pada usia ini anak memiliki

kemampuan lebih dalam memahami dan merefleksikan nilai-nilai moral. Anak

sudah lebih mampu melaksanakan peraturan mana yang benar dan mana yang

salah. Selain itu, pada usia ini anak sudah dapat memahami perbedaan pendapat

dengan orang lain

2.10 Konsep Asuhan Keperawatan Epilepsi

2.10.1 Pengkajian

1. Biodata: angka epilepsy lebih tinggi di Negara berkembang, di negara

berkembang mencapai 100/100.000. di negara berkembang diantaranya

tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki lebih sedikit

daripada perempuan. Insidsn tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2

tahun (262/100.000 kasus).

2. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama: kejang

2) Riwayat penyakit sekarang: kejang selama kurang lebih 20 detik dengan

mata melirik keatas, tangan kaku dan kaki kanan terangkat, lidah tergigit,

ngompol, saat kejang berhenti pasien tertidur.

3) Riwayat penyakit dahulu: kejang demam, meningitis, ensefalitis, trauma

kepala

4) Riwayat penyakit keluarga: ada keluarga menderita epilepsy

19

3. Pemeriksaan Fisik

B1: sesak, ada secret berlebih, ada sumbatan jalan napas

B2: takikardia, hipotensi, sianosis, hipertermia

B3: penurunan kesadaran, kejang, mata melirik keatas, lidah tergigit.

B4: ngompol

B5: BAB tanpa kontrol

B6: kekakuan otot.

2.10.2 Diagnosa keperawatan (NANDA, 2012):

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan penyempitan jalan

napas

2. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder

akibat kejang

3. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan

kerusakan serebral

4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan perubahan status kesehatan

anak

2.10.3 Intervensi

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penyempitan

jalan napas

Tujuan: jalan napas efektif

Kriteria hasil:

Pasien tidak sesak, tidak ada suara ngorok, kedalaman napas normal

Intervensi:

1) Posisikan anak terlentang dengan kepala miring dan bersihkan muntahan

atau lendir di mulut atau hidung

R/ membebaskan jalan napas

2) Berikan Oksigen sesuai indikasi

R/ mempertahankan perfusi jaringan intraserebral

3) Kolaborasi dengan dokter terapi anti konvulsi

R/ anti konvulsi dapat menurunkan kejang

4) Diskusikan dengan keluarga cara pertolongan pertama kejang di rumah

R/ meningkatka pengetahuan

20

2. Risiko Cedera

Tujuan: tidak terjadi cedera

Kriteria hasil: pasien tidak jatuh, px mengetahui tanda-tanda kejang

1) Diskusikan bersama orang tua perlunya pemantauan anak

R/ menurunkan cedera

2) Motivasi orang tua untuk rutin kontrol

R/ pengobatan teratur dapat mengendalikan kejang dan menurunkan

cedera

3) Jauhkan dari benda-benda tajam

R/ menurunkan cedera

3. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

Tujuan: tahap tumbuh kembang normal

Kriteria hasil: px mampu melewati perkembangan motoric halus, motoric

kasar, social dan bahasa sesuai usia.

1) Berikan waktu anak untuk bermain sendiri dan mengeksploitasi

lingkungan

R/ meningkatan perkembangan anak

2) Diskusikan bersama orang tua untuk merangsang perkembangan motoric

halus, motoric kasar, bahasa dan social

R/ menstimulasi perkembangan

3) Ingatkan orang tua untuk rutin kontrol ke ahli tumbuh kembang

R/ keteraturan dapat mempertahankan tumbuh kembang sesuai usia

4) Kolaborasi dengan ahli terapi wicara

R/menstimulasi perkembangan bahasa.

21

DAFTAR PUSTAKA

Aminoff, 2005. Clinical neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill

Baker, 2009. The stigma of epilepsy a European perspective. 41 (1): 98-104

Bate, 2012. Moleculer genetics of human epilepsies. Diakses http://www.ermm.cbcu.cam.uk pada 18 Juli 2013

Budiarto, 2009. Beberapa karakteristik kejang demam sebagai faktor risiko terjadinya epilepsy. Tesis. Semarang. Program pendidikan dokter spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP

Kliegman, 2008. Treatment of epilepsy. Nelson Textbook of pediatrics. Philadelphia: Saunders Elsevier

PERDOSSI, 2008. Pedoman tatalaksana epilepsy. Jakarta: PERDOSSI

Price dan Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed.6. Jakarta: EGC

Shorvon, 2005. Handbook of epilepsy treatment forms, causes and therapy in children and adult. 2nd ed. Amerika: Blackwell Publishing

Soetomenggolo, 2009. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: IDAI

WHO, 2009. Epidemiology, prevalence, incidence, mortality of epilepsy. Diakses www.who.in/inf-fs/en/fact165.html pada 18 Juli 2013

Widiastuti, 2001. Patofisiology of the epilepsy. Epilepsy. 1:8-13

Wilkinson, 2005. Essential neurology. 6th ed. USA: Blackwell Publishing