42
LAPORAN KASUS OS Endoftalmitis post Trauma Oculus Perforans I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : 48 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Makassar RS : Unhas Tanggal pemeriksaan : 13 Mei 2016 RM : 060025 Pemeriksa : dr. F II. ANAMNESIS Keluhan utama : Nyeri pada mata kiri Anamnesis terpimpin : Nyeri pada mata kiri dialami sejak 1 bulan yang lalu, setelah menjalani operasi bola mata di RSUD akibat terkena paku pada bagian tumpulnya. Mata rasa berpasir (+), mata merah (+), air mata berlebih 1

endoftalmitis refarat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

endoftalmitis refarat

Citation preview

Page 1: endoftalmitis refarat

LAPORAN KASUS

OS Endoftalmitis post Trauma Oculus Perforans

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 48 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Makassar

RS : Unhas

Tanggal pemeriksaan : 13 Mei 2016

RM : 060025

Pemeriksa : dr. F

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri pada mata kiri

Anamnesis terpimpin : Nyeri pada mata kiri dialami sejak 1 bulan yang

lalu, setelah menjalani operasi bola mata di RSUD

akibat terkena paku pada bagian tumpulnya. Mata

rasa berpasir (+), mata merah (+), air mata berlebih

(+), kotoran mata berlebih (+), penurunan

penglihatan (+).

Nyeri kepala menyeluruh (+) nyeri sensasi panas

dirasakan terus-menerus sejak 1 bulan yang lalu

hingga saat ini. Demam (-).

1

Page 2: endoftalmitis refarat

Riwayat berobat sebelumnya di puskesmas dan

dirujuk ke RS. Labuang Baji mendapat obat tetes

mata.

Riwayat penyakit infeksi (-), riwayat diabetes (-),

riwayat HT (-), riwayat alergi (-).

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata

Status Umum : Sakit sedang /Gizi Cukup/Sadar

Tanda Vital :

Tekanan Darah: 130/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

Suhu : 36,5oC

IV. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

FOTO KLINIS PASIEN

2

Page 3: endoftalmitis refarat

A. INSPEKSI

PEMERIKSAAN OD OS

1. Palpebra Edema (-) Edema (+)

2. Aparatus Lakrimalis Laserasi (-) Laserasi (-)

3. Silia Sekret (-) Sekret (+)

4. Konjungtiva Hiperemis (-), Hiperemis, Mixed

injeksion (+)

5. Mekanisme

Muskular

- ODS

- OD

- OS

Ke segala arah Ke segala arah

6. Kornea Normal Keruh, tampak jahitan

arah jam 11,terdapat

fibrin dan massa lensa?

7. BMD Normal Dangkal

8. Iris Coklat,kripte (+) Sinekia posterior

9. Pupil Bulat, sentral, RC (+) Tidak bulat, sentral, RC

sulit dinilai

10. Lensa Keruh Keruh

3

Page 4: endoftalmitis refarat

B. PALPASI

PALPASI OD OS

1. Tensi Okuler Tn Tn-1

2. Nyeri tekan (-) (+)

3. Massa tumor (-) (-)

4. Glandula preaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. TONOMETRI

TOD = 16 mm Hg (NCT)

TOS = sulit dievaluasi

D. VISUS

VOD : 20/25

VOS : 1/300

E. CAMPUS VISUAL

Tidak dilakukan pemeriksaan

F. COLOR SENSE

Tidak dilakukan pemeriksaan

4

Page 5: endoftalmitis refarat

G. LIGHT SENSE

Tidak dilakukan pemeriksaan.

H. FUNDUSKOPI

Tidak dilakukan pemeriksaan.

I.PENYINARAN OBLIK

Pemeriksaan OD OS

Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+),

mixed injektio

Kornea Edema (-), jernih Edema (+), keruh

Bilik Mata Depan Normal Dangkal

Iris Coklat, kripte (+) Sinekia posterior

Pupil Bulat, sentral,

RC(+)

Tidak bulat,

sentral, RC(-)

Lensa Sentral, keruh Sentral, keruh

J. SLIT LAMP

SLOD : Palpebra edema (-), hiperlakrimasi (-), silia sekret (-),

konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal,

iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa

keruh.

SLOS : Palpebra edema (+), hiperlakrimasi (+), silia sekret (+),

konjungtiva hiperemis mixed injektio (+), tampak jahitan di

sklera arah jam 11 dan 12 menembus kornea, simpul

terbenam, hampir terekspose, tampak fibrin keluar dari

jahitan hingga ke depan kornea, kornea edema dan keruh,

5

Page 6: endoftalmitis refarat

neovaskularisasi, BMD Van herick I, iris sinekia posterior,

pupil tidak bulat, sentral, RC (-), Lensa sentral keruh.

K. BIOMETRI

Tidak Dilakukan Pemeriksaan.

L. TES SEIDEL

Tes seidel : Negatif

6

Page 7: endoftalmitis refarat

M. LABORATORIUM

Parameter Hasil Nilai Normal

WBC 8.97 x 10³/uL 4.00-11.00

RBC 5.78 x 106 4.50-5.50

HGB 15.6 g/dL 13.0-16.0

HCT 47.0% 40.0-50.0

PLT 281 x 10³ /uL 150-450

GDS 117 mg/dL 80-180

Ureum 45 mg/dL 0-53

Creatinin 1.5 mg/dL 0.6-1.3

HbsAg Non reaktif Non reaktif

N. GONIOSKOPI

Tidak dilakukan pemeriksaan

O. PERIMETRI

Tidak Dilakukan Pemeriksaan.

7

Page 8: endoftalmitis refarat

P. USG

Lensa kesan keruh

Vitreus kesan keruh, tampak posterior vitreus detachment

Tampak fibrosis retina DD/ koroidal detachment

N. optik dalam batas normal

8

Page 9: endoftalmitis refarat

V. RESUME

Seorang laki-laki berusia 48 tahun datang ke poli RS Unhas dengan keluhan utama

nyeri oculi sinistra yang dialami sejak ± 1 bulan yang lalu setelah menjalani operasi

mata akibat trauma oculi. Trauma oculi diketahui terkena sisi tumpul dari

paku. Pasien mengeluh adanya penurunan visus secara tiba-tiba dan rasa

berpasir pada oculi sinistra. Selain itu, pasien mengeluhkan mata hiperemis,

hiperlakrimasi dan sekret berlebih pada oculi sinistra. Cefalgia ada, sensasi

panas dan difus.

Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan SLOS alpebra edema

(+), hiperlakrimasi (+), silia sekret (+), konjungtiva hiperemis mixed injektio

(+), tampak jahitan di sklera arah jam 11 dan 12 menembus kornea, simpul

terbenam, hampir terekspos, tampak fibrin keluar dari jahitan hingga ke depan

kornea, kornea edema dan keruh, neovaskularisasi, BMD Van herick I, iris

sinekia posterior, pupil tidak bulat, sentral, RC (-), lensa sentral keruh. Palpasi

OS nyeri tekan (+), NCT ODS 16 mmHg/ sulit dievaluasi. Terdapat

penurunan visus dengan hasil VOD: 20/25 VOS: 1/300. Seidel tes negatif.

VI. DIAGNOSA KERJA

OS Endoftalmitis post trauma oculus perforans + PVD

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad sanationem : Dubia et malam

Quo ad visum : Dubia et malam

Quo ad kosmeticum : Dubia et bonam

9

Page 10: endoftalmitis refarat

VIII. TERAPI

A. TERAPI FARMAKOLOGI SISTEMIK

Levofloksasin 500mg/12jam/iv

Ketorolac 30mg/8jam/iv

Dexamethasone 5mg/8jam/iv

B. TERAPI FARMAKOLOGI TOPIKAL

Moksifloksasin 1 tetes/4jam/ OS

Nevanac 1tetes/6jam/ OS

C. tropin 1% 1tetes/ 24jam/ OS

Inj. Intravitreal (vancomycin + ceftazidime)

Rencana os eksplorasi dan repair kornea sklera

IX. DISKUSI

Pasien ini didiagnosa dengan OS endoftalmitis karena dari anamnesis

didapatkan keluhan nyeri pada mata kiri yang disertai mata merah dan

penurunan penglihatan. Keluhan dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, setelah

menjalani operasi mata akibat trauma sebelumnya. Keluhan semakin

memberat tiap harinya sehingga pasien tidak mampu melihat dengan baik

lagi. Kotoran mata berlebih ada. Air mata berlebih ada. Dari pemeriksaan

visus didapatkan VOS 1/300. Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan

SLOS alpebra edema (+), hiperlakrimasi (+), silia sekret (+), konjungtiva

hiperemis mixed injektio (+), tampak jahitan di sklera arah jam 11 dan 12

menembus kornea, simpul terbenam, hampir terekspose, tampak fibrin keluar

dari jahitan hingga ke depan kornea, kornea edema dan keruh,

neovaskularisasi, BMD Van herick I, iris sinekia posterior, pupil tidak bulat,

sentral, RC (-), lensa sentral keruh. Palpasi OS nyeri tekan (+), ODS NCT 16

mmHg/ sulit dievaluasi. Terdapat penurunan visus dengan hasil VOD : 20/25

VOS : 1/300. Seidel tes negatif.

10

Page 11: endoftalmitis refarat

Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisis ini mendukung kesesuaian

terhadap diagnosis endoftalmitis yang dicurigai kausa eksogen, yang

diketahui dengan adanya riwayat trauma dan operasi pada mata kiri pasien.

Selain itu, penurunan visus pada mata kiri yang dialami pasien dapat terjadi

akibat kelainan pada corpus vitreous yang ditandai dengan adanya kekeruhan

pada vitreous sebagaimana ditemukan dari hasil pemeriksaan USG.

Hiperemis konjungtiva terjadi akibat bertambahnya asupan pembuluh

darah ataupun berkurangnya pengeluaran darah misalnya terjadi

pembendungan pembuluh darah. Pada konjungtiva terdapat arteri konjungtiva

posterior yang memperdarahi konjungtiva bulbi dan arteri siliar anterior.

Arteri siliar anteriorini memberikan cabang ; (1) arteri episklera yang masuk

kedalam bola mata dengan arteri siliar posterior longus bergabung

membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang memperdarahi iris

dan badan siliar, (2) arteri perikornea yang memperdarahi kornea, dan (3)

arteri episklera yang terletak diatas sklera yang memperdarahi ke dalam bola

mata. Injektio konjungtiva terjadi karena melebarnya pembuluh darah arteri

konjungtiva posterior, yang sifatnya mudah digerakkan dari dasarnya karena

arteri konjungtiva posterior melekat secara longgar pada konjungtiva bulbi,

biasa ditemukan di daerah forniks, ukuran pembuluh darah makin besar

kebagian perifer, berwarna merah, dan biasa gatal. Pasien ini didapatkan

mixed injektio pada konjungtiva, yang merupakan campuran dari injektio

konjungtiva dan injektio siliar. Injektio siliar terjadi karena melebarnya

pembuluh darah perikornea (a. siliar anterior), sukar digerakkan karena ia

menempel erat dengan jaringan perikornea, berukuran halus disekitar kornea,

paling padat di sekitar kornea dan berkurang kearah forniks.

Tes seidel adalah tes yang menggunakan pewarna (fluorescein dye)

dan cahaya biru untuk mendeteksi benda asing di mata. Tes ini juga dapat

mendeteksi kerusakan pada kornea dan permukaan luar mata. Tes ini

dilakukan dengan cara, sepotong kertas blotting yang mengandung pewarna

disentuh ke permukaan mata pasien. Kemudian pasien diminta untuk

berkedip. Berkedip akan menyebarkan pewarna sekitar dan melapisi film air 11

Page 12: endoftalmitis refarat

matayang menutupi permukaan kornea. Film air mata mengandung air,

minyak, dan lendir untuk melindungi dan melumasimata. Lampu biru

diarahkan ke mata pasien. Setiap masalah pada kornea akan diwarnai dengan

pewarna dan tampak hijau di bawah cahaya biru. Tes seidel negatif pada

pasien.

Terapi yang dapat diberikan adalah antibiotik topikal, antibiotik

sistemik, antibiotik intravitreal, steroid, dan terapi suportif serta dapat

dilakukan tindakan vitrektomi untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan

fokus infeksi pada bola mata. Sebagai terapi suportif diberikan cendotropine

eye drops yan merupakan midriatikum dan sikloplegik yang bekerja

menghambat M. constrictor pupillae dan M. siliaris lensa mata, sehingga

menyebabkan midriasis dan sikloplegia (paralisis mekanisme akomodasi).

Cendrotropine berfungsi untuk mengurangkan nyeri karena immobilisasi iris,

mencegah sinekia lensa dengan iris, menstabilkan barrier darah aqueous, dan

mencegah terjadinya flare.

Pada kasus ini mempunyai prognosis dubia ad malam karena pasien

sudah mengalami penurunan visus yang berat. Dengan terapi yang optimal

sekalipun, endoftalmitis memiliki prognosis yang buruk. Prognosis penderita

endoftalmitis tergantung dari kondisi imunitas pasien, durasi dari

endoftalmitis, virulensi bakteri, dan jangka waktu infeksi sampai

penatalaksanaan.

12

Page 13: endoftalmitis refarat

TINJAUAN PUSTAKA

ENDOPHTHALMITIS

I. PENDAHULUAN

Endophthalmitis merupakan suatu penyakit yang jarang terjadi, namun

berpotensi menyebabkan penurunan visus atau bahkan kebutaan, yang ditandai

dengan inflamasi berat dari jaringan serta cairan intraokuler. keadaan patologis ini

dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu endophthalmitis endogen dan

eksogen. Endophthalmitis eksogen disebabkan inokulasi mikroorganisme dari

lingkungan luar dan paling sering terjadi sebagai komplikasi dari operasi mata,

trauma, atau injeksi intravitreal. Endophthalmitis endogen disebabkan penyebaran

organisme penyebab secara hematogen dari fokus infeksi tertentu di dalam tubuh.

Kedua kategori tersebut dapat menyebabkan inflamasi intraokuler dan berpotensi

menyebabkan hilangnya kemampuan visual.(1)

Endophthalmitis endogen lebih jarang terjadi dan terjadi secara sekunder

dari fokus infeksi yang menyabar secara hematogen dalam tubuh. Pada pasien

dengan endophthalmitis endogen, biasanya dapat ditemukan faktor predisposisi.(2)

Pada kebanyakan kasus, tanpa memandang asalnya, gejala yang ditimbulkan

endophthalmitis antara lain penurunan visus, mata merah, nyeri dan edema

palpebra. Vitritis yang progresif merupakan satu temuan kunci dari semua jenis

endophthalmitis, dan pada sekitar 75% pasien, hipopion dapat ditemukan pada

pemeriksaan. Penyakit ini dapat berkembang menjadi panophthalmitis, infiltrasi

kornea, dan perforasi, menimbulkan komplikasi pada struktur orbita, dan phthisis

bulbi.(2)

Secara umum, insidens dari endophthalmitis tercatat menurun pada dekade

belakangan, dan untungnya, penyakit ini tergolong sangat jarang terjadi. Namun

demikian, tingkat keparahan yang ditunjukkan dan prognosisnya yang tidak jelas,

membutuhkan waktu dan pengobatan yang efektif sehingga diperoleh kemampuan

visual seperti yang diharapkan.(2)

13

Page 14: endoftalmitis refarat

II. EPIDEMIOLOGI

Operasi katarak merupakan operasi mata yang paling sering dilakukan di

dunia, dan endophthalmitis akut post katarak merupakan salah satu komplikasi

operasi yang terjadi pada 0,03% - 0,2% kasus. Di USA dan Eropa, hampir seluruh

kasus diakibatkan oleh bakteri, sedangkan pada wilayah tropis seperti India, 10-

20% kasus disebabkan oleh jamur. Operasi lain yang dilaporkan memiliki

komplikasi onset cepat / akut berupa endophthalmitis antara lain; keratoplasty

penetrasi, scleral buckling, dan implantasi alat drainase glaukoma.(1,3,6) Sedangkan

endophthalmitis sebagai komplikasi operasi onset lambat terjadi pada 0,02%

tindakan operasi, atau dengan perbandingan 1 : 3,5 terhadap komplikasi operasi

onset cepat.(1)

Jenis endophthalmitis lain ditemukan sebagai komplikasi injeksi intravitreal.

Penelitian pelayanan kesehatan tersier di Australia pada tahun 2007-2010

menunjukkan tingkat kejadian bervariasi antara 0,025% - 0,2% dari total tindakan

injeksi intravitreal. Studi menggunakan sebuah database Medicare dari 40.903

injeksi, disimpulkan bahwa tingkat kejadian endophthalmitis adalah 0,09% per

injeksi.(3)

Endophthalmitis terjadi pada 3-10% kasus trauma penetrasi okulus,

walaupun tindakan operasi perbaikan secara cepat dan antibiotik sistemik

profilaksis menurunkan insidensi penyakit ini menjadi <1%.(3)

III. ANATOMI & FISIOLOGI BOLA MATA

Sturktur bola mata berada di dalam dan dilindungi oleh cavum orbita, yang

dibentuk oleh glandula lakrimalis, os. maxillaris, os. zygomaticum, os. frontalis,

os. sphenoidalis, os. ethmoidalis, serta otot-otot pergerakan bola mata. Otot

pergerakan bola mata ber-origo pada tengkoran dan ber-insersio pada sklera.

Dipersarafi oleh nervus kranialis III, IV, dan VI. Selain otot intrinsik yang telah

disebutkan, terdapat pula otot lain yang bertujuan melindungi bola mata, yaitu m.

orbicularis oculi yang dipersarafi nervus kranialis VII dan m. levator palpebrae

yang dipersarafi nervus kranialis III.(4)

14

Page 15: endoftalmitis refarat

Gambar 1. Anatomi mata(4)

Secara umum, bola mata tersusun atas 3 lapisan utama, yaitu sklera, koroid,

dan retina. Sklera merupakan lapisan paling tebal yang tersusun dari jaringan

fibrosa, yang terlihat sebagai bagian putih mata. Pada bagian paling anterior,

terdapat kornea yang tidak memiliki pembuluh darah sehingga berwarna jernih,

serta berfungsi sebagai salah satu media refraksi. Lapisan koroid kaya akan

pembuluh darah serta pigmen biru gelap (melanin) yang berfungsi menyerap

cahaya yang masuk ke mata sehingga tidak terjadi glare. Bagian anterior lapisan

ini mengalami spesialisasi dan modifikasi membentuk corpus ciliaris, yaitu otot

yang mengelilingi lensa, berfungsi memfiksasi lensa melalui zonula zinn, dan

berperan dalam proses akomodasi. Selain corpus ciliaris, koroid anterior

membentuk iris, yang memiliki pigmen warna, dan berperan dalam membatasi

jumlah cahaya yang masuk dengan cara menyesuaikan ukuran pupil, melalui otot

- otot konstriktor dan dilator, yang dipersarafi oleh nervus kranialis III.lapisan

terdalam adalah retina yang tersusun atas sel-sel fotoreseptor yang mengubah

cahaya menjadi impuls yang merangsang nervus optikus.(4)

15

Page 16: endoftalmitis refarat

Terdapat dua kavitas dalam bola mata, yaitu kavitas anterior yang berisi

humor aquous, yang berperan penting dalam nutrisi lensa dan kornea, dan kavitas

posterior yang berisi vitreous humour, yang berperan mempertahankan posisi

retina pada perlekatannya terhadap koroid.(4)

IV. DEFINISI

Endophthalmitis merupakan proses inflamasi yang meliputi kavitas bola

mata dan lapisan bola mata yang berdampingan, walaupun tanpa melibatkan

keseluruhan ketebalan lapisan-lapisan bola mata. Selain akibat infeksi, penyakit

ini juga timbul akibat gangguan pada lensa atau proses autoimun. Namun

demikian, pada praktek klinis, biasanya endophthalmitis digunakan untuk

menunjukkan suatu proses infeksi.(6)

Ketika proses inflamasi tersebut meluas hingga mencakup keseluruhan

lapisan bola mata dan kapsula Tenon serta jaringan orbita disekitar bola mata,

maka disebut sebagai panophthalmitis.(6)

V. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO

Endophthalmitis infeksiosa diakibatkan adanya perkembangan / kolonisasi

bakteri pada segmen anterior dan posterior sebagai konsekuensi dari operasi

intraokuler atau trauma okulus penetrasi atau dari penyebaran metastasis dari

fokus infeksi tertentu dalam tubuh.(6)

Endophthalmitis banyak terjadi setelah operasi intraokuler. Staphylococcus

koagulase negatif, umumnya ditemukan sebagai flora normal kompleks bola mata,

dilaporkan menyebabkan hingga 70% kasus endophthalmitis post-op katarak.

Organisme lain penyebab endophthalmitis termasuk Staphylococcus aureus,

Streptococcus viridans, serta bakteri gram positif dan gram negatif lain. Jamur

juga merupakan penyebab umum terjadinya endophthalmitis post-op. Antibiotik

topikal pre-op, umum digunakan untuk mengurangi jumlah organisme pada

lapisan air mata dan jaringan sekitar, tetapi agen antibiotik ini tidak mensterilkan

area operasi. Endophthalmitis post-op onset lambat dapat terjadi beberapa minggu

16

Page 17: endoftalmitis refarat

hingga bulan setelah operasi. Infeksi lambat ini umumnya diakibatkan oleh

organisme yang relatif avirulen, seperti Propionibacterium acnes dan

Staphylococcus koagulasi negatif.(6)

Endophthalmitis post trauma terjadi pada tingkat insidensi yang lebih tinggi

dibandingkan post-op (3 - 17% terhadap 0,01%), dan disebabkan oleh organisme

lingkungan yang lebih beragam. Pada banyak kasus, Staphylococcus selain S.

epidermidis dilaporkan mendominasi, diikuti spesien Bacillus. Organisme gram

negatif juga lebih banyak menjadi penyebab pada kasus post trauma (5-25%

kasus) dibandingkan dengan kasus post-op. Dari semua faktor yang dipelajari

berkaitan dengan trauma dan dijadikan sebagai subyek analisa multivariat, hanya

ruptur lensa yang secara statistik berkaitan dengan terjadinya endophthalmitis.

Pada studi yang sama, adanya foreign body intra okuler mendekati, namun tidak

signifikan secara statistik.(2,6)

Endophthalmitis ondogen diakibatkan adanya penyebaran metastasis dari

organisme selama keadaan bakteremia atau fungemia. Endophthalmitis jenis ini

sangat jarang terjadi, namun dapat menjadi sangat berbahaya karena umumnya

terjadi bilateral. Tidak seperti post-op atau post trauma yang mana bakteri masuk

dari anterior, pada penyakit endogenus, mikroorganisme pada aliran darah masuk

ke mata, melewati blood-retina barrier, dan menginfeksi jaringan okuler. Karena

aliran darah yang lebih tinggi, koroid dan corpus ciliaris merupakan fokus primer

infeksi pada mata, dengan infeksi sekunder pada retina dan vitreous body.

Sehingga, endophthalitis endogen mungkin pada awalnya diketahui sebagai

chorioretinitis tanpa tanda vitreitis yang berarti. Populasi yang berisiko besar,

termasuk pasien-pasien imunodefisiensi, atau pada pasien yang membutuhkan

peralatan medis penunjang hidup dalam jangka waktu lama. Abses hepar

dilaporkan sebagai fokus infeksi yang tersering menimbulkan endophthalmitis,

diikuti pneumonia, endokarditis, infeksi saluran kemih, meningitis, dan orbital

selulitis. Di Eropa dan USA, Streptococcus sp., S. aureus, dan bakteri gram positif

lain dilaporkan pada 2/3 kasus, dan bakteri gram negatif hanya ditemukan pada

32% kasus endophthalmitis endogen. Sedangkan pada wilayah Asia timur,

Klebsiella ditemukan pada 80-90% kasus.(2,6)

17

Page 18: endoftalmitis refarat

VI. PATOGENESIS

Bakteri yang telah melakukan penetrasi ke struktur internal bola mata dapat

secara leluasa ber-replikasi tanpa perlawanan berarti dari sistem imun akibat

kompartmentalisasi pembuluh darah dan mekanisme supresi aktif. Selama

perkembangan koloni, produksi toksin oleh organisme virulen menyebabkan

hilangnya fungsi retina sejalan dengan jumlah koloni organisme itu sendiri.(7)

Sebagai tambahan dari toksin yang dihasilkan, adanya organisme tertentu,

dapat menstimulasi inflamasi intraokuler. Kapsul sel, fragmen peptidoglikan, serta

asam theicoic atau lipopolisakarida, sebagaimana organisme hidupnya sendiri,

dapat berinteraksi dan menstimulasi sel-sel imun intraokuler untuk memproduksi

sitokin - sitokin pro-inflamasi atau mediator imun lainnya. Produksi mediator

imun menginisiasi tahapan inflamasi, termasuk meningkatkan permeabilitas

blood-ocular fluid barrier, yang menyebabkan influx mediator imun dan sel-sel

inflamasi fagositik dalam jumlah yang lebih banyak. Sel-sel inflamasi ini

selanjutnya memprodusi lebih banyak sitokin inflamasi, sebagai tambahan dari

enzim toksik dan reactive oxygen species (ROS) yang terlibat dalam fagositosis.(7)

Selama fase kronik endophthalmitis, limfosit dapat bermigrasi ke jaringan

intraokuler yang mengalami inflamasi dan menimbulkan respon imunoglobulin.

Hasil yang paling ditakutkan adalah kerusakan struktur retina dan kematian sel-sel

fotoreseptor yang tidak memiliki kemampuan regenerasi dan respons inflamasi

intraokuler yang signifikan dari struktur yang mengalami kerusakan, dapat

menyebabkan eksaserbasi efek buruk dari pertumbuhan bakteri dan produksi

toksin.(7)

VII. KLASIFIKASI

1. ENDOPHTHALMITIS EKSOGEN

a. Endophthalmitis Post Operatif

Onset cepat umumnya terjadi dalam 6 minggu setelah operasi mata

dilakukan. Pada studi endophthalmitis vitrektomi (EVS), 94% pasien

endophthalmitis post-op katarak dengan onset cepat mengeluhkan penurunan

18

Page 19: endoftalmitis refarat

visus, 82% datang dengan injeksi konjungtiva dan hipopion, 74% dengan nyeri

pada bola mata, dan sekitar 35% dengan edema palpebra.(1)

Onset lambat terjadi setelah 6 minggu operasi, dengan rata-rata diagnosis

pada hari ke-340 setelah dilakukannya operasi mata. Endophthalmitis post-op

onset lambat memiliki karakteristik progesifitas yang lambat dan biasanya

hanya berupa inflamasi ringan. Jika dibandingkan dengan onset cepat, tipe

onset lambat ini jarang disertai dengan adanya hipopion. Nyeri dapat dirasakan,

atau juga tidak, oleh pasien. Sering ditemukan adanya plak putih dalam

kantong kapsuler.(1)

Infeksi yang lebih buruk berkaitan dengan hilangnya refleks fundus,

defek papillary afferent, dan persepsi cahaya hanya pada awal gejala. Adanya

infiltrasi kornea atau abnormalitas luka operasi katarak, berkaitan erat dengan

organisme gram negatif, yang lebih virulen. Sebagai tambahan, semakin

virulen organisme penyebabnya, gejala dan tanda endophthalmitis akan muncul

lebih cepat. Hal ini penting diketahui karena kasus-kasus seperti ini secara

signifikan berkaitan dengan kemampuan visual kedepannya.(2)

b. Endophthalmitis Post Trauma

Gejala dan onset endophthlamitis post trauma bervariasi tergantung dari

mekanisme trauma dan faktor virulensi organisme penyebabnya sendiri.

Endophthalmitis dapat muncul beberapa jam hingga beberapa bulan bahkan

menahun setelah trauma okuli. Gejala dan tanda yang ditimbulkan kurang lebih

sama dengan post-op, antara lain hipopion, penurunan visus, nyeri yang tidak

berkaitan dengan derajat trauma okuli, periphlebitis, retinitis / nekrosis retina,

dan vitritis. Temuan lain yang berpotensi mengarahkan dokter ke diagnosis

endophthalmitis, adalah hilangnya refleks kornea dan / atau edema palpebra

serta hilangnya refleks fundus.(2)

2. ENDOPHTHALMITIS ENDOGEN

Gejala dari endophthalmitis endogen termasuk penurunan visus, mata

merah, nyeri bola mata, fotofobia, floater, serta edema palpebra. Tanda klinis

yang dilaporkan, antara lain hipopion, perdarahan subkonjungtiva, injeksi

19

Page 20: endoftalmitis refarat

konjungtiva, iritis / retinitis, edema kornea, dan reflsk fundus yang berkurang

atau hilang. Karena patogenesis dari endophthalmitis endogen barkaitan

dengan penyebaran secara hematogen, maka dapat pula ditemukan gejala

sistemik dan relatif terjadi bilateral. Gejala dan tanda sistemik termasuk

demam, menggigil, dan mual muntah. Pada infeksi kandida, nodul berwarna

putih pada retina atau subretina dapat berkaitan dengan “perkabutan” vitreous.(2)

VIII. DIAGNOSA

Suspek endophthalmitis awalnya ditentukan berdasarkan gejala dan tanda

klinis yang diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta

ophthalmologi, dilanjutkan dengan konfirmasi dengan pewarnaan gram atau

kultur dari vitreous atau aquous humour.(1,7)

Pada anamnesis dapat ditanyakan adanya riwayat operasi mata (mis,

katarak), adanya riwayat trauma, atau riwayat penyakit infeksi lain (mis. abses

hepar atau perikarditis). Gejala yang umum dikeluhkan pasien yaitu adanya

penurunan visus yang signifikan, hal ini mungkin merupakan gejala yang

memaksa pasien melakukan kunjungan ke dokter. Gejala lain seperti nyeri dan

mata merah. Pada pemeriksaan fisik dan ophthalmologi dapat ditemukan adanya

hiperemis konjungtiva, reaksi inflamasi pada bilik mata depan (mis. hipopion),

edema kornea, gambaran vitritis dan retinitis.(6) Berdasarkan hasil pemeriksaan

ophthalmoligi pada studi yang dilakukan EVS, lebih dari 2/3 kasus menunjukkan

visus penderita endophthalmitis sangat buruk, umumnya sebatas light perception

(1/∞) dan refleks fundus negatif, pada pemeriksaan fundoskopi, terutama pada

kasus-kasus dengan kultur positif bakteri gram negatif dan bakteri gram positif

selain Staphylococcus epidermidis.(5)

Setelah diagnosa klinis dapat ditegakkan, konfirmasi dapat dilakukan

dengan pewarnaan gram, kultur atau PCR spesimen vitreous, yang memberikan

hasil kultur yang lebih akurat dan reliable, atau menggunakan spesimen humour

aquous.(1,7) B-scan USG dapat dilakukan, terutama pada kasus-kasus dengan

20

Page 21: endoftalmitis refarat

kavitas bola mata mengalami kekeruhan akibat kolonisasi bakteri, untuk

mengetahui keterlibatan vitreous dan mengetahui adanya komorbid, seperti

ablasio retina.(5)

IX. DIAGNOSIS BANDING

1. TOXIC ANTERIOR SEGMENT SYNDROME

Toxic anterior segment syndrome (TASS) merupakan inflamasi steril

post-op yang disebabkan substansi non-infeksius yang masuk ke segmen

anterior dan menyebabkan kerusakan pada jaringan intra okuler.(5)

TASS memiliki presentasi klinik serupa dengan endophthalmitis

(penurunan visus, hipopion, fibrin). Umumnya TASS memiliki onset cepat (12-

24 jam post-op), edema kornea (kerusakan pada endotel kornea), kerusakan iris

(pupil ireguler), tekanan intraokuler yang tinggi (kerusakan trabecular

meshwork), dan tanpa vitritis (hanya mengenai segmen anterior).(5)

Berdasarkan etiologinya dan berbeda dengan endophthalmitis, TASS

hanya memerlukan tatalaksana berupa kortikosteroid topikal.(5)

2. PANOPHTHALMITIS

Gambar 2. Gambaran klinis dan keterlibatan struktur sekitar bola mata pada endohpthalmitis

(A & C) dibandingkan dengan panophthalmitis (B & D)(6)

Panophthalmitis memiliki etiologi dan patomekanisme yang serupa

dengan endophthalmitis. Dapat dikatakan bahwa panophthalmitis merupakan 21

Page 22: endoftalmitis refarat

kelanjutan dari endophthalmitis yang tidak mendapatkan tatalaksana yang

cepat dan tepat. Proses inflamasi yang meluas membedakan kedua kondisi ini,

dimana proses inflamasi pada panophthalmitis tidak hanya melibatkan seluruh

lapisan bola mata, tetapi juga kapsul Tenon dan jaringan sekitar bola mata.

Sebagai tambahan dari endophthalmitis, pada panophtalmitis juga akan

ditemukan adanya nyeri hebat, kongesti orbita berat, ophthalmoplegia eksterna

dan proptosis.(6)

X. TATALAKSANA

Keberhasilan penatalaksanaan endophthalmitis memberikan tantangan

tersendiri, mengingat struktur anatomi dan fisiologi mata. Opasitas yang muncul

akibat inflamasi pada kornea, bilik mata depan, lensa, dan/atau vitreus akan

mengganggu terbentuknya bayangan obyek yang jelas pada retina. Kerusakan

pada trabecular meshwork dan/atau corpus ciliaris akibat inflamasi akan

menyebabkan glaukoma atau hipotoni okuler. Yang paling kritis, kerusakan pada

neurosensoris retina dan epitel pigmen retina akan merusak proses photochemical

dasar pengelihatan.(7)

Tidak seperti retina yang kaya akan suplai darah, vitreous dan bilik mata

depan merupakan struktur avaskuler dan terisolir dari sirkulasi sistemik oleh

blood-ocular fluid barrier. Keunikan anatomi ini akan menghambat suplai, tidak

hanya mediator imun seluler dan humoral, tetapi juga agen anti-inflamasi dan

antibiotik yang diberikan sistemik. Permasalahan kedua timbul akibat sensitifitas

sel fotoreseptor dan sel retina lain yang berbatasan langsung dengan vitreus. Sel-

sel ini sangat sensitif tidak hanya terhadap patogen dan respons inflamasi yang

ditimbulkan, tetapi juga sangat sensitif terhadap agen antimikroba dosis tinggi

yang diberikan lokal untuk mengatasi infeksi.(7)

22

Page 23: endoftalmitis refarat

1. ANTIBIOTIK

Tatalaksana yang dianjurkan untuk endophthalmitis bakterial termasuk

injeksi langsung antibiotik ke dalam vitreous. Antibiotik sistemik juga

digunakan, walaupun beberapa antibiotik yang dinilai efektif (vancomycin dan

aminoglikosida), tidak berpenetrasi dengan baik ke dalam vitreous, karena efek

protektif dari blood-ocular fluid barrier. Meskipun inflamasi intraokuler

meningkatkan permeabilitas blood-ocular fluid barrier, sehingga

meningkatkan penetrasi antibiotik sistemik ke dalam vitreous, penggunaan

antibiotik sistemik, seperti yang digunakan pada penelitian oleh National

Institute of Health (Endopthalmitis Vitrectomy Study / EVS), tidak memberikan

perbaikan visus ketika digunakan sebagai kombinasi pemberian antibiotik

intravitreal.(7)

Berdasarkan penelitian tersebut, tidak dianjurkan menggunakan

antibiotik parenteral. Namun demikian, dokter memiliki kebebasan untuk tidak

mengikuti anjuran tersebut. Data terbaru menunjukkan fluoroquinolon

berpenetrasi secara lebih baik dibandingkan antibiotik lain ke dalam vitreous

yang sedang mengalami inflamasi ataupun yang sehat.(7)

Pemberian antibiotik intravitreal merupakan komponen kunci dalam

penatalaksanaan endophthalitis bakterial eksogen. Tiga jenis antibiotik yang

paling sering digunakan untuk pemberian intravitreal, yaitu vancomycin 1,0

mg, amikacin 0,4 mg, dan ceftazidime 2,2 mg. Baik vancomycin dan amikacin

dimasukkan ke dalam protokol yang diterbitkan oleh EVS. Namun demikian

banyak dokter yang mengganti amikacin dengan ceftazidime karena efek

samping berupa mikrovaskulitis retina, yang mungkin terjadi akibat ketidak-

tepatan dosis aminoglikosida, dapat ditangani dengan baik.(7)

2. ANTI-INFLAMASI

Respons inflamasi okuler terhadap organisme intravitreal dipicu baik

oleh kolonisasi bakteri, serta bakteri yang tidak aktif bermetabolisme,

keseluruhan dinding sel bakteri, atau bahkan komponen dari dinding sel

bakteri. Meskipun respons inflamasi ini dinilai vital dalam pembersihan

23

Page 24: endoftalmitis refarat

organisme pada proses infeksi, respons ini dinilai dapat merusak pula struktur

jaringan neurologis yang sensitif. Pemberian antibiotik yang menginduksi

pelepasan dinding sel bakteri atau komponen dinsing sel dapat memperparah

inflamasi selama pengobatan endophthalmitis. Filtrat steril dari Bacillus

subtilin yang diberikan antibiotik, dengan bahan aktif yang merusak dinding

sel bakteri tersebut, memicu terjadinya inflamasi dan menyebabkan berkurang

atau hilangnya respons retina.(7)

Melihat hal tersebut, penelitian yang dilakukan pada meningitis,

digunakan kortikosteroid untuk menekan inflamasi ini. Pada studi

eksperimental, pemberian dexamethason dilaporkan memberikan keuntungan,

tidak memberikan efek, atau justru memperburuk outcome infeksi. Terlepas

dari hasil yang kontroversi tersebut, dexamethason sering digunakan sebagai

tambahan terapi antibiotik untuk endophthalmitis.(7)

3. VITRECTOMY

Meskipun antibiotik intravitreal memberikan efek yang baik dalam

pengobatan endophthalmitis, vitrectomy dapat digunakan sebagai tambahan

tatalaksana. Vitrectomy (operasi penggantian komposisi vitreous dengan

larutan garam fisiologis) memberikan efek debridement kavitas vitreous dari

bakteri, sel-sel inflamasi, dan debri toksik lain; membantu difusi antibiotik

menjadi lebih baik; mengeleminasi membran inflamasi; memberikan perbaikan

retina lebih cepat; dan mungkin mempercepat perbaikan visus.(7)

Terdapat perdebatan dalam penentuan waktu yang tepat dilakukannya

vitrectomy pada mata yang bermasalah. Namun demikian, banyak laporan

setuju bahwa vitrectomy sebaiknya dilakukan tanpa penundaan pada kasus-

kasus enpohthalmitis yang parah, terutama yang diakibatkan oleh corpus

alienum intraokuler.(7)

4. ANTIFUNGAL

Organisme penyebab lain endophthalmitis, seperti jamur, tentunya

memerlukan terapi yang berbeda. Protokol merekomendasikan pemberian

24

Page 25: endoftalmitis refarat

amphotericin B (5-10 µg/0,1 mL) dan triazol sebagai pilihan utama. Keduanya

dapat diberikan sistemik atau intravitreal.(2)

Namun demikian, beberapa studi melaporkan penetrasi amphotericin B,

dengan pemberian topikal maupun sistemik, sangat terbatas, dan

penggunaannya berkaitan dengan toksisitas terhadap retina. Studi terbaru

menunjukkan penggunaan triazole generasi kedua (mis. Voriconazole) dapat

digunakan sebagai alternatif yang menjanjikan. Voriconazole dapat diberikan

secara sistemik maupun intravitreal. Agen ini berpenetrasi secara baik ke

jaringan intraokuler dengan pemberian secara sistemik. Efek samping sistemik

terlihat lebih rendah dibandingkan dengan pemberian amphotericin B dan

beberapa studi in-vitro menunjukkan safety profile voriconazole lebih baik

dibandingkan amphotericin B.(2)

XI. PROGNOSIS & KOMPLIKASI

Prognosis dari endophthalmitis, baik yang berasal dari endogen maupun

eksogen, biasanya buruk. Secara umum, endophthalmitis dikenal sebagai penyakit

yang sangat berpotensial menyisakan fungsi visual yang sangat terbatas pada

kebanyakan pasien.(2) Pada studi EVS, hanya 53% pasien sembuh dengan visus

20/40 atau lebih baik, dan 15% pasien sembuh dengan visus 20/200 atau lebih

buruk. Penelitian lain menunjukkan, visus 20/40 hanya diperoleh pada kasus-

kasus inflamasi steril (kultur negatif) atau pada kultur positif Staphylococcus.

Sedangkan kultur positif Streptococcus, dengan prevalensi yang lebih tinggi

dibandingkan Stahphylococcus, memberikan visus akhir 20/200 atau lebih buruk.(1)

Begitu pula dengan penyebab lain, seperti kausa jamur, secara signifikan

memberikan outcome yang buruk, dimana 1/5 kasus menghasilkan visus akhir

kurang dari 20/200.(1)

Mengingat hal tersebut, diperlukan diagnosis dini dan pengobatan secara

tepat untuk mendapatkan outcome visual yang baik. Sebagai tambahan,

meningkatnya frekuensi operasi mata, tentu juga meningkatkan risiko terjadinya

25

Page 26: endoftalmitis refarat

endophthalmitis. Sehingga diperlukan metode profilaksis yang efektif dalam

meningkatkan keamanan operasi.(2) Penggunaan antiseptik povidone-iodine pre-

op, secara signifikan menurunkan tingkat kejadian endophthalmitis bakterial. The

European Society of Cataract and Refractive Surgeons (ESCRS) melakukan uji

prospektif skala besar dan melaporkan bahwa injeksi cefuroxime intracameral

selama fakoemulsifikasi menurunkan insidensi endophthalmitis post-op sebanyak

5 kali lipat.(1)

26

Page 27: endoftalmitis refarat

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaziri K, Schwartz SG, Kishor K. Endophthalmitis: State of the art. Clin Oph-

thalmol. 2015 Jan 8;9:95-108.

2. Kernt M, Kampik A. Endophthalmitis: Pathogenesis, clinical presentation, man-

agement, and perspectives. Clin Ophthalmol. 2010; 4: 121–135.

3. Durand ML. Endophthalmitis. Clin Microbiol Infect. 2013 Mar;19(3):227-34.

4. Scanlon VC, Sanders T. The Senses. In: Essentials of anatomy and physiology.

5th ed. Philadelphia: F. A. Davis Company; 2007. p. 220-228.

5. Barry P, Cordoves L, Gardner S. ESCRS guidelines for prevention and treatment

of endophthalmitis following cataract surgery: Data, dilemmas and conclusions

2013. Section 1. Stockholm: The European Society for Cataract & Refractive

Surgeons; 2013. p. 1-46.

6. Callegan MC, Gilmore MS, Parke DW. The Pathogenesis of Infectious Endoph-

thalmitis. In: Duane's Ophthalmology. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins. 2007.

7. Callegan MC, Engelbert M, Parke DW. Bacterial endophthalmitis: Epidemiol-

ogy, therapeutics, and bacterium-host interactions. Clin Microbiol Rev. 2002

Jan;15(1):111-24.

27